gambaran umum ekonomi jagung indonesia

24
474 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia Faisal Kasryno 1 , Effendi Pasandaran 1 , Suyamto 2 , dan Made O. Adnyana 2 1 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor PENDAHULUAN Dalam numenklatur ekonomi tanaman pangan Indonesia, jagung merupa- kan komoditas penting kedua setelah padi/beras. Akan tetapi, dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan. Geografi komoditas jagung juga mengalami pergeseran. Pada saat masih berstatus sebagai komoditas pangan, daerah penyebaran jagung didominasi oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dengan berkembangnya industri peternakan maka peran Lampung dan Sumatera Utara mulai mengalahkan posisi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Perubahan pola permintaan jagung juga mendorong perubahan adopsi teknologi benih. Mulai awal tahun 1990an, industi benih jagung hibrida berkembang pesat yang diikuti oleh percepatan adopsi teknologi jagung hibrida. Percepatan adopsi ini terkait dengan promosi dan penyuluhan yang dilakukan oleh industri benih jagung hibrida. Diperkirakan luas areal tanam jagung hibrida lebih 30% dari total areal pertanaman jagung di Indonesia. Penyebaran jagung lokal diperkirakan kurang dari 25% yang mayoritas ditanam di Madura (Jawa Timur), Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Semula, pada saat permintaan jagung didominasi oleh jagung konsumsi, jagung umumnya diusahakan pada lahan kering, terutama pada musim hujan. Dengan berkembangnya adopsi teknologi maka areal pertanaman jagung menyebar ke lahan sawah beririgasi, terutama di Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Utara. Permintaan jagung akan sangat dinamis, terkait dengan meningkatnya harga minyak bumi. Permintaan jagung untuk energi alternatif, bahan baku industri pakan, dan industri makanan akan terus meningkat di masa mendatang. Perubahan pola permintaan jagung ke depan perlu dijadikan

Upload: vancong

Post on 13-Jan-2017

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

474 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Faisal Kasryno1, Effendi Pasandaran1, Suyamto2, dan Made O. Adnyana2

1Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor

PENDAHULUAN

Dalam numenklatur ekonomi tanaman pangan Indonesia, jagung merupa-

kan komoditas penting kedua setelah padi/beras. Akan tetapi, dengan

berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen

utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan

jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi

pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya

dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih

sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan.

Geografi komoditas jagung juga mengalami pergeseran. Pada saat masih

berstatus sebagai komoditas pangan, daerah penyebaran jagung didominasi

oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Dengan berkembangnya industri peternakan maka peran Lampung dan

Sumatera Utara mulai mengalahkan posisi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,

dan Nusa Tenggara Timur.

Perubahan pola permintaan jagung juga mendorong perubahan adopsi

teknologi benih. Mulai awal tahun 1990an, industi benih jagung hibrida

berkembang pesat yang diikuti oleh percepatan adopsi teknologi jagung

hibrida. Percepatan adopsi ini terkait dengan promosi dan penyuluhan yang

dilakukan oleh industri benih jagung hibrida. Diperkirakan luas areal tanam

jagung hibrida lebih 30% dari total areal pertanaman jagung di Indonesia.

Penyebaran jagung lokal diperkirakan kurang dari 25% yang mayoritas

ditanam di Madura (Jawa Timur), Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi

Selatan.

Semula, pada saat permintaan jagung didominasi oleh jagung konsumsi,

jagung umumnya diusahakan pada lahan kering, terutama pada musim

hujan. Dengan berkembangnya adopsi teknologi maka areal pertanaman

jagung menyebar ke lahan sawah beririgasi, terutama di Jawa Timur,

Lampung, dan Sumatera Utara.

Permintaan jagung akan sangat dinamis, terkait dengan meningkatnya

harga minyak bumi. Permintaan jagung untuk energi alternatif, bahan baku

industri pakan, dan industri makanan akan terus meningkat di masa

mendatang. Perubahan pola permintaan jagung ke depan perlu dijadikan

Page 2: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

475Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

acuan dalam penentuan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia dan

negara berkembang lainnya.

Tulisan ini menyajikan aspek perubahan ekonomi jagung pada masa

kini dan perkiraan pada masa datang. Selain itu, dikemukakan pula analisis

perubahan pola usahatani jagung dalam struktur pola usahatani komoditas

pad i .

PERKEMBANGAN PRODUKTIVITAS JAGUNG

Peningkatan produksi jagung nasional baru terlihat setelah tercapainya

swasembada beras pada 1984. Hal ini antara lain disebabkan oleh kebijakan

pembangunan sejak akhir 1960an sampai tercapainya swasembada beras

terfokus pada upaya peningkatan produksi padi. Dalam dokumen Repelita

III dan IV memang dikemukakan bahwa setelah swasembada beras

terwujud, prioritas baru diberikan kepada diversifikasi pertanian.

Dalam Gambar 1 terlihat bahwa produktivitas jagung mulai meningkat

relatif cepat setelah tahun 1980an. Dalam periode 1960-80 dilepas 18 varietas

unggul jagung komposit. Dalam periode 1980-90 dilepas pula jagung hibrida

varietas CP1, CP2, dan Pioner dengan potensi hasil 5-7 t pipilan kering/ha.

Diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk melihat dampak penemuan

varietas unggul jagung komposit terhadap perkembangan produktivitas

jagung di Indonesia.

Propinsi utama penghasil jagung di Indonesia adalah Jawa Timur dengan

pangsa produksi pada tahun 2005 sebesar 35%, diikuti oleh Jawa Tengah

17%, Lampung 11%, Sumatera Utara 6%, Sulawesi Selatan 6%, dan Nusa

Tenggara Timur 5%. Pada tahun 1981 pangsa produksi jagung Jawa Timur

adalah 43%, Jawa Tengah 22%, Sulawesi Selatan 11%, Nusa Tenggara Timur

6%, Lampung 2%, dan Sumatera Utara 1,0%. Dengan demikian telah terjadi

pergeseran sentra produksi jagung Indonesia. Peregeseran ini didorong

oleh perkembangan industri pakan yang terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa

Timur, Lampung, dan Sumatera Utara.

Analisis lebih lanjut perkembangan produktivitas jagung di Indonesia

disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 tercermin bahwa produktivitas

jagung sebagai bahan pokok relatif mengalami stagnasi di sentra produksi.

Di Madura misalnya, produktivitas jagung masih berkisar antara 1,0-1,5 t/ha.

Hal ini terkait dengan prioritas penelitian lebih banyak mengarah kepada

upaya menghasilkan teknologi produksi jagung untuk bahan baku industri.

Di Sulawesi Selatan yang sebagian penduduknya mengonsumsi jagung

sebagai makanan pokok, produktivitas jagung juga relatif stagnan sampai

Page 3: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

476 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Gambar 1. Perkembangan ekonomi jagung Indonesia, 1960-2005

(Sumber: ERS/USDA/PSD 2007).

Gambar 2. Perkembangan produktivitas jagung di propinsi sentra produksi, 1980-2006

(Sumber: BPS dan Pusat Data Pertanian 1980-2006).

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Pro

duktiv

itas (

t/ha)

Jaw a Timur

Jaw a Tengah

Sumatera Utara

Lampung

Sulaw esi Selatan

NTT

-1.000

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

1962 1965 1968 1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2002 2003 2004 2005

Impor (‘000 t)

Produktivitas (kg/ha)

Pakan (‘000 t)

Produksi (‘000 t)

-1.000

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

1962 1965 1968 1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2002 2003 2004 2005

Impor (‘000 t)

Produktivitas (kg/ha)

Pakan (‘000 t)

Produksi (‘000 t)

Page 4: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

477Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

pertengahan 1990an. Di Sumatera Utara dan Lampung, produktivitas jagung

meningkat relatif cepat. Pada tahun 2000 produktivitas jagung di Jawa Timur,

Jawa Tengah, Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan hampir sama,

sedangkan di Nusa Tenggara Timur masih jauh ketinggalan. Peningkatan

produktivitas jagung setelah pertengahan 1990an terutama didorong oleh

semakin gencarnya promosi yang digelar oleh produsen benih jagung

hibrida, seperti Charoen Pokphand dan Pioneer. Diperkirakan lebih dari

30% areal pertanaman jagung di sentra produksi ditanami dengan benih

hibrida, bahkan di Lampung dan Sumatera Utara diperkirakan telah

mencapai lebih dari 45% (Kasryno 2005).

Pada Gambar 3 disajikan perkembangan produktivitas jagung di Madura

dan Jawa Timur tidak termasuk Madura. Di Madura sebagian besar (>90%)

jagung yang dikembangkan untuk pangan adalah jenis lokal, sedangkan di

Jawa Timur, selain Madura, telah didominasi (>70%) oleh varietas unggul

bersari bebas dan hibrida. Data pada Gambar 3 juga mencerminkan bahwa

jagung lokal untuk konsumsi pangan belum banyak mendapat sentuhan

teknologi maju. Senjang produktivitas jagung lokal konsumsi dengan jagung

bahan baku industri makin besar dengan meluasnya penyebaran jagung

hibrida sejak awal tahun 1990an. Adanya sedikit kenaikan produktivitas

jagung lokal dari 1,5 t menjadi sekitar 2,0 t/ha dalam dua dasawarsa ini

antara lain disebabkan oleh imbas penggunaan pupuk. Ke depan, kondisi

ini perlu mendapat perhatian karena sekitar 30% areal jagung di Jawa Timur

berada di Madura, dan luas areal jagung di Madura sekitar 360.000 ha, lebih

luas dibandingkan dengan di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tengga

Timur, dan Lampung. Pada Tabel 1 disajikan komposisi areal panen jagung

menurut varietas di beberapa sentra produksi.

Gambar 3. Perkembangan produktivitas jagung lokal (Madura) dan Jawa Timur tanpa

Madura (Sumber: BPS Jawa Timur 2007 dan Pusat Data Pertanian 2007).

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Pro

duktiv

itas (

t/ha)

Jatim minus Madura

Madura

Page 5: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

478 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Tab

el

1.

Are

al

pa

ne

n

jag

un

g

me

nu

rut

vari

eta

s ya

ng

d

ita

na

m

pa

da

ta

hu

n

19

98

, 2

00

1,

da

n

20

06

d

i e

mp

at

pro

pin

si

uta

ma

p

en

gh

asi

l ja

gu

ng

d

i

Ind

on

es

ia.

Sum

ater

a U

tara

(ha

)

Lam

pung

(ha

)

Jaw

a Te

ngah

(ha

)

Jaw

a T

imur

(ha

)

Va

rie

tas

/

mu

sim

ta

na

m1

99

82

00

12

00

61

99

82

00

12

00

61

99

82

00

12

00

61

99

82

00

12

00

6

Hib

rid

a

MH

29

.67

04

8.7

10

50

.32

61

42

.00

01

32

.56

01

34

.31

37

7.8

30

59

.38

01

36

.88

49

1.0

80

13

0.0

90

20

1.3

81

MK

I

32

.40

04

8.2

40

49

.11

85

6.2

60

69

.99

08

3.2

33

26

.67

02

3.1

40

64

.33

43

7.5

10

51

.29

01

07

.31

9

MK

II

42

.22

03

4.3

90

43

.17

04

4.8

80

29

.84

01

5.0

52

51

.80

03

0.0

10

47

.16

31

10

.07

01

17

.77

01

60

.54

5

To

tal

10

6.2

90

13

1.3

40

14

2.6

14

24

3.1

30

23

2.3

90

23

1.5

98

24

3.1

30

11

2.5

30

24

8.3

81

23

8.6

70

30

1.1

50

46

9.2

45

Ko

mp

os

it

MH

10

.09

01

4.0

40

21

.19

64

6.9

40

39

.94

02

0.7

80

12

1.6

50

11

2.1

10

77

.37

68

4.0

70

17

2.1

10

13

7.1

83

MK

I

10

.85

01

4.8

20

18

.83

72

3.0

30

30

.88

01

5.2

47

33

.30

05

5.4

10

33

.05

75

1.9

80

66

.93

05

1.1

67

MK

II

14

.47

01

2.6

20

10

.08

61

8.3

30

19

.51

06

.19

48

7.4

90

76

.54

01

7.2

35

10

5.7

30

64

.89

04

0.8

48

To

tal

35

.41

04

1.4

80

50

.11

98

8.2

90

90

.33

04

2.2

21

24

2.4

40

24

4.0

60

12

7.6

68

24

1.7

80

30

2.9

30

22

9.1

98

Lo

ka

l

MH

17

.23

06

.99

01

.97

62

7.0

30

22

.82

03

0.3

37

13

5.1

70

79

.47

06

2.5

77

54

0.2

20

34

7.6

00

29

8.3

44

MK

I

20

.47

01

1.4

50

1.4

59

9.4

90

17

.82

02

3.6

10

42

.94

04

0.1

90

39

.73

31

62

.30

09

0.9

40

84

.37

6

MK

II

16

.05

07

.45

01

.77

26

.90

01

4.9

00

3.8

74

71

.42

05

2.6

50

19

.56

91

65

.49

09

2.2

30

18

.02

1

To

tal

53

.75

02

5.8

90

5.2

07

43

.42

05

5.5

40

57

.82

12

71

.42

01

72

.32

01

21

.87

98

68

.01

05

30

.77

04

00

.74

1

To

tal

Ja

gu

ng

MH

56

.99

06

9.7

40

73

.49

82

15

.97

01

95

.32

01

85

.43

03

34

.65

02

50

.96

02

76

.83

77

15

.37

06

49

.80

06

36

.90

8

MK

I

63

.72

07

4.5

10

69

.41

48

8.7

80

11

8.6

90

12

1.8

95

10

2.9

10

11

8.7

40

12

4.9

61

25

1.7

90

20

9.1

60

17

4.7

19

MK

II

72

.74

05

4.4

60

55

.02

87

0.1

10

64

.25

02

5.1

20

21

0.7

10

15

9.2

00

83

.96

73

81

.29

02

74

.89

02

25

.11

1

To

tal

19

3.4

50

19

8.7

10

19

7.9

40

37

4.8

60

37

8.2

60

33

2.4

45

64

8.2

70

52

8.9

00

49

7.9

28

1.3

48

.45

01

.13

3.8

50

1.0

99

.18

4

Pe

rse

nta

se

17

,70

/2

6,6

0/

42

,69

/

Jag

un

g

hib

rid

a5

4,9

46

6,1

07

2.0

56

6,1

06

1,4

56

9.6

03

7,5

02

1,3

04

9,8

8(2

6,8

6*)

(3

9,6

8*)

(58

.10

*)

Pe

rse

nta

se

17

,93

/2

6,7

2/

22

,70

/

Jag

un

g

kom

po

sit

18

,30

20

,87

25

.33

23

,55

23

,88

12

.70

37

,40

46

,15

26

,30

(31

,86

*)(3

4,1

0*)

(31

,42

*)

*)

Jaw

a

Tim

ur

min

us

Ma

du

ra,

di

ma

na

M

ad

ura

9

9,1

%

ad

ala

h

jag

un

g

loka

l,

kon

sum

si.

Su

mb

er:

B

PS

(1

99

9,

20

02

, 2

00

7)

Ba

sis

da

ta

surv

ei

pe

rta

nia

n

19

98

, 2

00

1,

da

n

20

06

(D

iola

h).

Page 6: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

479Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa areal tanam jagung hibrida

meningkat cukup berarti. Pada tahun 2006 pangsa penanaman jagung

hibrida mencapai 50% di Jawa Tengah dan 58% di Jawa Timur di luar Madura.

Peningkatan pangsa penanaman jagung hibrida mendorong penurunan

pangsa jagung lokal dan pada kondisi tertentu juga jagung komposit. Secara

nasional, pangsa penanaman jagung hibrida diperkirakan di atas 50%

dengan rata-rata produktivitas 3,5 t pipilan kering/ha. Data ini konsisten

dengan produktivitas jagung Thailand yang juga sekitar 3,5 t/ha dengan

pangsa jagung hibrida 60% (Pingali 2001).

Menurunnya penyerapan varietas lokal antara lain disebabkan oleh

penelitian terhadap varietas lokal belum mendapat prioritas, terutama di

bidang pemuliaan tanaman jagung terkait dengan upaya peningkatan

kemampuan genetik varietas lokal. Konsumsi jagung juga menurun, antara

lain disebabkan oleh teknologi pascapanen primer maupun sekunder di

tingkat petani belum mendapat perbaikan yang berarti. Jika diperhatikan

data pada Gambar 2 dan 3, serta perkembangan jagung hibrida, maka

peningkatan produktivitas jagung di Jawa Timur (tanpa Madura), Sumatera

Utara, dan Lampung antara lain disebabkan oleh perkembangan adopsi

varietas jagung hibrida yang cukup cepat. Hal ini merupakan dampak dari

promosi dan penyuluhan yang diberikan oleh pengusaha benih jagung

hibrida, adanya pola kemitraan antara petani dengan pengusaha jagung,

dan cukup kompetitifnya harga jagung yang diterima petani. Perkembangan

adopsi varietas hibrida terkait dengan makin pesatnya pertumbuhan industri

peternakan yang didorong oleh perkembangan permintaan daging yang

cukup cepat pula (demand driven). Apabila pertumbuhan produksi jagung

dalam negeri tidak dapat mengimbangi permintaan maka volume impor

jagung akan terus meningkat.

Di sisi lain terjadi penurunan pangsa penggunaan jagung unggul

komposit. Hal ini antara lain disebabkan oleh teknologi yang tersedia masih

kalah bersaing dengan teknologi jagung hibrida. Sebenarnya, teknologi

jagung sudah banyak tersedia di lembaga penelitian, tetapi promosi jagung

unggul komposit belum mampu mengimbangi promosi jagung hibrida yang

dilakukan oleh produsen benihnya. Tantangan ini menuntut lembaga

penelitian yang menangani jagung untuk memberikan prioritas yang lebih

besar terhadap diseminasi dan promosi teknologi.

PERKEMBANGAN PRODUKSI JAGUNG

Di Indonesia, pertumbuhan produksi jagung lebih disebabkan oleh per-

kembangan permintaan (demand driven) untuk pakan ternak, sedangkan

pertumbuhan produksi padi disebabkan oleh supply driven karena didorong

oleh inovasi teknologi benih unggul.

Page 7: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

480 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Dewasa ini telah terjadi perubahan sentra produksi jagung (Gambar 4).

Kalau pada tahun 1980an sentra produksi jagung adalah Jawa Timur, Jawa

Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, maka pada tahun 2005

telah bergeser menjadi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera

Utara. Pada Gambar 5 disajikan perkembangan luas areal panen jagung

selama periode 1980- 2004.

Data pada Gambar 5 mengindikasikan bahwa areal panen di sentra-

sentra produksi jagung sudah sulit ditingkatkan. Perkembangan produksi

selama ini hanya disebabkan oleh pesatnya perkembangan adopsi teknologi

maju, terutama jagung hibrida. Di daerah pengembangan baru (Lampung

dan Sumatera Utara) terjadi peningkatan areal tanam jagung yang cukup

cepat, terutama dalam periode 1980-2000. Setelah tahun 2000 perluasan

areal panen mulai melambat. Di Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi

jagung di Kawasan Timur Indonesia, luas areal tanam jagung cenderung

menurun, yaitu dari sekitar 300.000 pada tahun 1980an menjadi 205.000 ha

pada tahun 2004. Dengan demikian, fokus utama upaya peningkatan

produksi jagung ke depan lebih dititikberatkan kepada peningkatan

produktivitas dan efisiensi usahatani.

Peningkatan produksi jagung juga dapat diupayakan melalui perluasan

areal tanam pada lahan sawah beririgasi sebagaimana terjadi di Jawa Timur

dan Lampung (Kasryno 2005). Pada lahan sawah beririgasi, jagung ke-

banyakan ditanam pada musim tanam kedua dan ketiga setelah padi

(Sumaryanto 2006).

Gambar 4. Perkembangan produksi jagung di propinsi penghasil utama jagung

di Indonesia 1980-2006 (Sumber: BPS dan Pusat Data Pertanian).

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

Pro

duksi (juta

t)

Jawa Timur

Jawa Tengah

Sumatera Utara

Lampung

Sulawesi Selatan

NTT

Page 8: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

481Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Gambar 5. Perkembangan areal panen jagung di propinsi penghasil utama jagung di

Indonesia 1980-2006 (Sumber: BPS, Pusat Data Pertanian 2007, dan Dinas

Pertanian Jawa Timur).

Dalam Tabel 2 disajikan perkembangan areal panen jagung di beberapa

propinsi sentra produksi menurut ekosistem dan musim tanam. Untuk

daerah yang masih memungkinkan bagi perluasan areal tanam seperti di

Sumatera, perluasan areal jagung dapat diarahkan ke lahan tegalan maupun

lahan sawah setelah pertanaman padi. Sementara seperti di Sulawesi Selatan,

perluasan areal jagung dapat diarahkan ke lahan sawah tadah hujan yang

selama ini bera setelah padi.

POLA USAHATANI TANAMAN PANGAN

Di daerah aliran sungai (DAS) Brantas di Jawa Timur jagung juga ditanam

pada lahan sawah beririgasi, di mana penanaman terluas (48%) pada MT III

(Tabel 3).

Pada MT I areal tanam padi sawah di DAS Brantas mencapai 86,2% dari

total areal, jagung 3,5%, dan tebu 3,7%. Pada MT II, areal tanam padi 65,7%

dan jagung 11,3%. Pada MT III, areal tanam padi hanya 4,2% sedangkan

areal tanam jagung meningkat menjadi 26,6%. Indeks pertanaman (IP)

mencapai 262% dan IP padi 156% (Sumaryanto 2006). Adanya areal yang

terpaksa diberakan disebabkan antara lain oleh genangan air yang terlalu

dalam sehingga sulit ditanami, atau areal jauh dari saluran irigasi sehingga

tidak mendapatkan air pada MT II maupun pada MT III. Petani yang menanam

jagung hibrida dan sayuran pada MT II dan MT III banyak yang menggunakan

air pompa untuk mengairi tanaman.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

Are

al p

anen (

juta

ha

)

Jaw a Timur Jaw a Tengah Sumatera UtaraLampung NTT Sul. SelatanMadura

Page 9: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

482 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Tab

el

2.

Pe

rke

mb

an

ga

n

are

al

pa

ne

n

jag

un

g

me

nu

rut

eko

sist

em

la

ha

n

da

n

mm

usi

m

tan

am

d

i b

eb

era

pa

se

ntr

a

pro

du

ksi

jag

un

g

di

Ind

on

esi

a,

19

90

-

20

06

.

Sum

ater

a U

tara

(ha

)

Lam

pung

(ha

)

Jaw

a Te

ngah

(ha

)

J

awa

Tim

ur (

ha)

Ta

hu

n/m

us

im

tan

am

Te

ga

lan

Sa

wa

hT

eg

ala

nS

aw

ah

Te

ga

lan

Sa

wa

hT

eg

ala

nS

aw

ah

19

90

MH

31

.10

02

.10

01

09

.50

08

00

23

4.0

00

67

.07

06

24

.65

08

0.2

00

MK

I

27

.50

04

.50

06

2.4

00

6.4

00

89

.80

05

1.7

00

18

9.5

00

12

9.9

50

MK

II

18

.80

01

.70

03

0.7

00

9.4

00

81

.20

01

35

.10

03

9.5

00

16

0.5

00

To

tal

77

.40

08

.30

02

02

.60

01

6.6

63

95

.00

02

53

.90

08

53

.65

02

90

.65

0

19

95

MH

65

.30

02

.90

01

87

.40

05

.60

02

71

.90

08

8.2

00

64

7.1

00

65

.90

0

MK

I

41

.90

01

.90

09

8.1

00

20

.50

01

01

.10

04

2.8

00

19

4.3

00

12

4.9

50

MK

II

51

.90

01

.90

03

2.7

00

19

.30

06

9.7

00

10

7.4

00

39

.10

01

93

.20

0

To

tal

15

8.1

00

6.7

00

31

8.2

00

45

.40

04

42

.70

02

38

.40

08

80

.50

03

18

.15

0

20

01

MH

68

.10

01

.68

01

89

.59

05

.72

02

16

.39

03

4.6

00

61

9.3

60

30

.44

0

MK

I

69

.50

05

.02

09

1.8

40

26

.84

08

3.4

60

35

.30

01

42

.00

05

5.9

60

MK

II

43

.00

01

1.5

00

40

.84

02

3.5

20

66

.39

09

2.8

00

90

.76

01

84

.10

0

To

tal

18

0.2

00

18

.20

03

22

.27

05

5.9

80

36

6.2

40

16

2.7

00

85

2.1

20

28

3.7

00

20

06

MH

66

.17

87

.33

31

79

.25

46

.17

62

35

.05

24

1.7

85

60

5.6

32

31

.27

6

MK

I

63

.61

07

.37

21

07

.94

41

4.1

46

10

7.4

69

29

.65

51

70

.86

47

1.9

98

MK

II

50

.95

04

.70

31

4.3

50

10

.74

02

2.1

18

61

.84

92

0.8

11

19

8.6

03

To

tal

18

0.7

38

19

.40

83

01

.54

83

1.0

62

36

4.6

39

13

3.2

89

79

7.3

07

30

1.8

77

Su

mb

er:

B

PS

(1

99

0,

19

95

, 2

00

1,

da

n

20

06

)

Ba

sis

da

ta

surv

ei

pe

rta

nia

n

19

90

-20

06

(d

iola

h).

Page 10: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

483Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Dalam Tabel 4 disajikan simulasi pola tanam optimal yang didasarkan

atas ketersediaan irigasi, curah hujan, perkolasi tanah, penguapan,

kebutuhan air pertanaman, dan air hujan yang hilang karena run off.

Pertimbangan juga memasukkan aspek ekonomi komoditas. Berdasarkan

simulasi tersebut terlihat bahwa intensitas tanam padi adalah 148%,

intensitas tanam palawija dan hortikultura 106%, dan tebu 22% karena setiap

musim terdapat 7,2% areal baku sawah yang ditanami tebu dan 23,1% areal

sawah diberakan pada MT III. Pertanaman palawija didominasi oleh jagung,

kedelai, dan kacang hijau. Luas penanaman padi pada MT III hanya 3,8%.

Tabel 3. Pola tanam dominan di lahan beririgasi DAS Brantas, Jawa Timur, 1999/2000.

Jumlah petak Luas areal

Pola tanam

J u m l a h % h a %

Padi -pad i -kede la i 2 0 3 1 9 , 9 4 3 , 6 1 9 , 8

Pad i -pad i -d iberakan 2 1 2 2 0 , 8 3 7 , 0 1 6 , 9

Padi -padi - jagung 1 2 5 1 2 , 2 2 8 , 1 1 2 , 8

Padi - jagung- jagung 4 3 4 , 2 1 3 , 2 6 , 0

Padi-padi-kacang hijau 7 6 7 , 4 1 2 , 4 5 , 6

Pad i - t embakau 5 4 5 , 3 1 0 , 2 4 , 6

Padi-padi -padi , 4 4 4 , 3 9 , 3 4 , 2

Pad i -bengkoang- jagung 3 0 2 , 9 6 , 7 3 , 1

Te b u 8 0 , 8 6 , 4 2 , 9

Pad i -pad i -b lewah 1 3 1 , 3 5 , 4 2 , 5

Lainnya(74 tipe kecil) 2 1 3 2 0 , 8 4 7 , 3 2 1 , 5

To ta l 1 0 2 1 1 0 0 , 0 2 1 9 , 6 1 0 0 , 0

Sumber: Sumaryanto et al. (2001), IFPRI dan CASERD, Kimpraswil-Jasa Tirta.

Tabel 4. Penerimaan petani jagung dan padi pada berbagai musim tanam di DAS Brantas,

1999 /2000 .

Penerimaan (Rp ‘000/ha)

Ke te rangan

MT I MT II MT III Rata-rata

Padi

P e n e r i m a a n 5 .209 ,0 5 .230 ,3 4 .822 ,7 5 .087 ,3

Biaya produksi tunai 2 .943 ,8 3 .030 ,9 2 .691 ,3 2 .888 ,7

Pendapatan 2 .265 ,2 2 .199 ,3 2 .131 ,4 2 .198 ,6

Jagung

P e n e r i m a a n 4 .023 ,0 4 .519 ,2 4 .333 .9 4 .431 ,9

Biaya produksi tunai 2 .195 ,2 2 .334 ,8 2 .199 ,5 2 .316 ,0

Pendapatan atas biaya tunai 1 .827 ,8 2 .184 ,4 2 .133 ,9 2 .115 ,9

Sumber: Sumaryanto (2006).

Page 11: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

484 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Dengan simulasi ini terlihat adanya penurunan intensitas tanam padi dari

156% menjadi 148%, areal penanaman tebu meningkat dari 6,5% menjadi

7,2% setiap musim atau dari areal baku sawah irigasi. Namun, areal yang

diberakan meningkat dari 16,9% menjadi 23,1%. Di sisi lain, intensitas tanam

palawija dan hortikultura meningkat dari 75% menjadi 107%. Hal ini

sebenarnya telah terjadi di Kabupaten Kediri, Blitar, dan Nganjuk, di mana

areal panen jagung meningkat dalam lima tahun terakhir, sedangkan areal

panen padi menurun (Kasryno 2005).

Penerimaan petani yang menanam jagung dan padi pada setiap musim

tanam disajikan dalam Tabel 5. Data ini merupakan hasil penelitian intensif

yang dilakukan di DAS Brantas selama tahun 1999/2000. Pengumpulan data

dilakukan untuk setiap petak lahan yang diusahakan petani. Untuk lebih

menggambarkan keadaan DAS Brantas, lokasi petani contoh dibagi menurut

hulu, tengah, dan hilir. Perbedaan lokasi menyebabkan perbedaan dalam

penyediaan air irigasi.

Penanaman jagung mulai meluas ke lahan sawah beririgasi dan lahan

dengan ekosistem basah (Lampung dan Sumatera Utara). Perubahan ini

disebabkan oleh “Revolusi Hijau” yang memerlukan pemupukan dengan

takaran yang tinggi, di mana pemupukan akan menjadi efektif apabila

kelembaban tanah memadai. Penananam jagung di lahan sawah beririgasi

terutama didominasi oleh jagung hibrida, sedangkan jenis lokal bisanya

ditanam di lahan kering.

Pendapatan petani padi dan petani jagung relatif berimbang. Akan tetapi,

apabila dipilah menurut varietas unggul komposit dan hibrida akan berbeda.

Rata-rata hasil jagung hibrida adalah 6,05 t/ha dan jagung nonhibrida 4,8 t/ha.

Biaya produksi jagung hibrida lebih tinggi, tetapi keuntungan bersih lebih

besar (Sumaryanto 2006). Peningkatan luas panen jagung di Kediri, Blitar,

dan Nganjuk (Kasryno 2005) adalah karena areal tanam jagung hibrida

lebih dominan (>70%) di tiga kabupaten ini. Di samping itu, harga relatif

jagung terhadap padi juga meningkat.

PERKEMBANGAN HARGA JAGUNG

Permintaan jagung untuk industri, terutama industri pakan, telah mendorong

peningkatan harga jagung di dalam negeri maupun di pasar international.

Harga jagung di pasar dunia pada tahun 2004 adalah 111,8 dolar AS/ton,

turun menjadi 98,7 dolar AS pada tahun 2005, naik menjadi 121,9 dolar AS

pada tahun 2006 dan mencapai 160,9 dolar AS pada periode Januari-Agustus

2007. Harga jagung diperkirakan akan terus meningkat karena meningkatnya

permintaan untuk industri etanol sebagai bahan bakar nabati (BBN).

Page 12: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

485Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Tab

el

5.

Sim

ula

si

po

la

tan

am

o

pti

ma

l d

i D

AS

B

ran

tas

Jaw

a

Tim

ur.

Periode (

Bula

n)

DA

S H

ulu

D

AS

Tengah

DA

S H

ilir

Agre

gat

Musim

G

rup k

om

oditas

Okt

Nov

Des

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

ha

%

ha

%

ha

%

ha

%

Padi 1.

1.9

53

15,9

4.2

10

14,6

3.5

78

13,1

9.4

72

14,2

2

.

5.8

65

47,6

13.6

72

47,3

13.2

43

48,4

32.7

79

47,8

3

.

- -

5.3

27

18,4

2.0

87

7,6

7.4

14

10,8

4

.

2.5

64

20,8

715

2,5

4.1

58

15,2

7.4

37

10,8

Tota

l padi

10.3

82

84,3

23.9

24

82,8

23.0

66

84,3

57.3

72

83,6

Pal/h

ort

. 1

.

581

4,7

1.9

14

6,6

1.3

84

5,1

3.8

79

5,7

2.

145

1,2

-

- -

- 145

0,2

3.

414

3,4

1.0

72

3,7

733

2,7

2.2

20

3,2

Musim

huja

n

(MT

I)

Tota

l pal/hort

.

1.1

41

9,3

2.9

86

10,3

2.1

17

7,8

6.2

44

9,1

Padi 1

.

2.9

49

23,9

7.1

96

24,9

5.6

96

20,8

15.8

40

23,1

2.

3.6

29

29,5

9.4

93

32,8

10.3

79

37,9

23.5

00

34,3

3.

902

7,3

961

3,3

581

2,1

2.4

43

3,6

Tota

l padi

7.4

79

60,7

17.6

49

61,6

16.6

56

60,9

41.7

84

60,9

Pal/h

ort

. 1.2

-

- 743

2,6

-

- 743

1,1

1.3

-

- 4.3

67

15,1

1.1

72

4,3

5.5

38

8,1

1.4

.

2.5

43

20,6

715

2,5

4.1

58

15,2

7.4

16

10,8

Pal/h

ort

. 2.2

1.4

05

11,4

3.4

36

11,9

2.8

63

10,5

7.7

05

11,2

2.3

-

- -

- 334

1,2

334

0,5

2.4

95

0,8

-

- -

- 95

0,1

Musim

kem

ara

u

(MT

II)

Tota

l pal/hort

.

4.0

43

32,8

9.2

61

32,0

8.5

28

31,2

21.8

32

31,8

Padi 1

.

473

3,8

1.1

01

3,8

-

- 1.5

73

2,3

Padi 4

.

-

- 17

0,1

1.0

34

3,8

1.0

50

1,5

Tota

l padi

473

3,8

1.1

17

3,9

1.0

34

3,8

2.6

24

3,8

Pal/h

ort

. 1.1

3.8

82

31,5

8.0

06

27,7

4.0

14

14,7

15.9

02

23,2

Pal/h

ort

. 1.2

-

- 3.7

54

13,0

4.2

96

15,7

8.0

50

11,7

Pal/h

ort

. 1.4

1.3

40

10,9

689

2,4

3.1

24

11,4

5.1

63

7,5

Pal/h

ort

. 2.1

-

- 1.5

25

5,3

4.5

45

16,6

6.0

70

8,9

Pal/h

ort

. 2.3

1.4

50

11,8

-

- -

- 1.4

50

2,1

Pal/h

ort

. 2.4

1.3

69

1,1

5.3

27

18,4

1.8

58

6,8

8.5

54

12,5

Tota

l pal/hort

.

8.0

41

65,3

19.3

11

66,8

17.8

37

65,2

45.1

89

65,9

Musim

kem

ara

u

MT

I II

T e

b u

798

6,5

1.9

94

6,9

2.1

79

8,0

4.9

71

7,2

Tota

l seta

hun

Tota

l k

om

oditas

Page 13: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

486 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Kenaikan harga terkait dengan meningkatnya harga minyak bumi yang

sudah mendekati 100 dolar AS/barel. Dalam Gambar 6 disajikan per-

kembangan harga relatif jagung dan kedelai. Penurunan harga kedelai sejak

1993 disebabkan oleh deregulasi perdagangan dan harga kedelai pada tahun

1993.

Pada Gambar 6 terlihat pula bahwa harga jagung mulai meningkat setelah

tahun 2000, sejalan dengan peningkatan harga jagung di pasar dunia yang

dipacu oleh peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku untuk

industri bahan bakar nonmigas/nabati.

Pada Gambar 7 dan 8 disajikan perkembangan harga jagung di pasar

dunia dalam periode 2003-2007, terlihat jelas kenaikan harga jagung yang

tajam sejak 2005. Harga perdagangan internasional jagung pada bulan Juni

2007 mencapai 165,2 dolar AS/ton dan turun menjadi 151,2 dolar AS/ton

pada bulan Agustus 2007 (World Bank 2007b). Berdasar perkiraan yang

disimulasikan oleh IFPRI (2006) dengan berbagai skenario pertumbuhan

biofuel, harga jagung diperkirakan dapat meningkat 20-41% pada tahun

2010 dan 2020, dibandingkan dengan harga pada tahun 2007. Kenaikan

harga jagung akan mempengaruhi ketahanan pangan dan industri pakan,

dan tentunya juga mempengaruhi pendapatan petani.

Gambar 6. Perkembangan harga relatif jagung dan kedelai terhadap harga beras.

(Sumber: BPS Statistik Indonesia 1984-2006).

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

19

84

19

85

19

86

19

87

19

88

19

89

19

90

19

91

19

92

19

93

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

Harg

a (

do

lar

AS

/t)

Jagung

Kedelai

Page 14: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

487Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Gambar 7. Perkembangan harga jagung di pasar dunia, 2000-2007

(Sumber: World Bank 2007c)

Gambar 8. Perkembangan harga jagung ekspor Amerika Serikat, 2003-2007.

(Sumber: USDA/ERS/FAS/ 2007).

PERUBAHAN STRUKTUR PERMINTAAN JAGUNG

Sebelum tahun 1980an jagung dikenal sebagai komoditas pangan utama

setelah beras, karena merupakan makanan pokok sebagian penduduk

Indonesia seperti di Madura, beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur,

Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan beberapa kabupaten di

Sulawesi. Dengan berkembangnya industri peternakan maka terjadi

perubahan pola komsumsi jagung di Indonesia.

40

80

120

160

200

Jan-00 Jan-01 Jan-02 Jan-03 Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08

Harg

a(d

ola

rA

S/t

)

40

80

120

160

200

Jan-00 Jan-01 Jan-02 Jan-03 Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08

Harg

a(d

ola

rA

S/t

)

75

100

125

150

175

200

225

Ha

rga

(dola

rA

S/t)

Sep-0

3

De

s-0

3

Mar-

04

Ju

n-0

4

Sep-0

4

De

s-0

4

Mar-

05

Ju

n-0

5

Sep-0

5

De

s-0

5

Mar-

06

Ju

n-0

6

Sep-0

6

De

s-0

6

Mar-

07

Ju

n-0

7

Se

p-0

7

Sorgum

Jagung

75

100

125

150

175

200

225

Ha

rga

(dola

rA

S/t)

Sep-0

3

De

s-0

3

Mar-

04

Ju

n-0

4

Sep-0

4

De

s-0

4

Mar-

05

Ju

n-0

5

Sep-0

5

De

s-0

5

Mar-

06

Ju

n-0

6

Sep-0

6

De

s-0

6

Mar-

07

Ju

n-0

7

Se

p-0

7

Sorgum

Jagung

Page 15: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

488 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Berdasarkan perkiraan USDA (PSD 2006), konsumsi jagung untuk pakan

pada tahun 1982 baru mencapai 867.000 ton (19% dari total produksi jagung

dalam negeri). Angka ini meningkat menjadi 3,27 juta ton pada tahun 1998

(42,1% dari total produksi) dan 3,75 juta ton (51% dari total produksi) pada

tahun 2004. Pada tahun 2004 konsumsi jagung sebagai pangan diperkirakan

hanya sekitar 3,0 juta ton (42% dari total produksi). Indonesia selalu menjadi

net importer jagung sejak 1992, kecuali pada saat krisis ekonomi 1997/98,

Indonesia kembali menjadi net exporter karena merosotnya penggunaan

jagung untuk pakan. Impor jagung Indonesia pada tahun 2006/07 mencapai

1,9 juta ton (Food Outlook 2007).

Dengan tingkat konsumsi daging yang masih rendah, peningkatan

pendapatan dan urbanisasi akan mengubah pola konsumsi penduduk ke

komoditas peternakan (ADB 2006). Peningkatan konsumsi produk

peternakan akan memacu permintaan jagung untuk pakan ternak. Di

samping itu, permintaan jagung untuk industri pangan olahan juga akan

meningkat. Dengan perubahan ini maka jagung bukan lagi sebagai

komoditas pangan pokok, tapi telah berubah menjadi bahan baku industri.

Hal ini memerlukan penyesuaian dalam pengembangan jagung di masa

depan .

Tingkat konsumsi daging di Indonesia pada tahun 2005 hanya 3,0 kg/

kapita daging ayam ras, sedangkan di Malaysia telah mencapai 38,1 kg/

kapita, dan Thailand 11,9 kg/kapita/tahun (FAS/ERS/USDA 2007).

Sebagai indikator daya beli, pengeluaran/kapita/bulan penduduk pada

tahun 2005 berdasarkan harga konstan 1993 adalah 90,2 dolar AS di

Indonesia, 154,5 dolar AS di Thailand, dan 382,9 dolar AS di Malaysia. Dengan

meningkatnya pendapatan maka tingkat konsumsi daging dan produk

hortikultura juga akan meningkat. Peningkatan konsumsi produk

peternakan akan mencapai di atas 5% per tahun dan ini akan menyebabkan

permintaan jagung untuk pakan akan meningkat di atas 4% per tahun.

Selama ini peningkatan produksi jagung hanya sekitar 3% per tahun. Oleh

karena itu, impor jagung akan terus berlanjut, sebagaimana diperkirakan

oleh FAO (2007) dan ERS/USDA (2007). Pendapatan nasional per kapita pada

tahun 2006 adalah 1.420 dolar AS di Indonesia, 2.990 dolar AS di Thailand,

dan 5.490 dolar AS di Malaysia. Paritas daya beli pendapatan nasional (PPP

GNI) pada tahun 2006 adalah 3.950 dolar AS di Indonesia, 9.140 dolar AS di

Thailand, dan 11.300 dolar AS di Malaysia (World Bank 2007). Tingkat

pendapatan dan urbanisasi juga akan mempengaruhi pola konsumsi rumah

tangga.

Dalam Tabel 6 disajikan perubahan pola konsumsi penduduk Indonesia

selama dua dasawarsa yang lalu. Data ini konsisten dengan data yang

disajikan dalam Gambar 9, di mana konsumsi beras sudah mulai menurun,

Page 16: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

489Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

sedangkan konsumsi daging, telur, dan ikan meningkat. Pengeluaran pen-

duduk Indonesia untuk beras dan serealia lainnya rata-rata 20% dari total

pengeluaran. Angka yang sama juga dikeluarkan untuk daging, buah-

buahan, dan sayuran, dibandingkan dengan tahun 1980, adalah 39%

pengeluaran untuk pangan pokok beras dan sereal (World Bank 2007a).

Perubahan pola konsumsi produk peternakan yang cepat ini merupakan

salah satu indikasi telah terjadinya revolusi di bidang peternakan (Delgado

et al. 1999).

Tabel 6. Perubahan konsumsi bahan makanan di Indonesia, 1984-2002.

Konsumsi (kg/kapita/tahun)

Bahan makanan

1 9 8 4 1 9 8 7 1 9 9 0 1 9 9 3 1 9 9 6 1 9 9 9 2 0 0 2

B e r a s 1 0 6 , 6 1 1 6 , 5 1 1 8 , 1 1 1 6 , 0 1 1 1 , 2 1 0 3 , 5 1 0 0 , 0

J a g u n g 1 9 , 8 1 1 , 0 9 , 0 7 , 3 1 1 , 4 1 3 , 4 1 2 , 5

U m b i - u m b i a n 2 4 , 0 2 4 , 0 2 2 , 4 2 0 , 0 1 1 , 5 1 2 , 8 1 1 , 6

I k a n 1 2 , 1 1 2 , 5 1 4 , 2 1 5 , 1 1 5 , 3 1 2 , 9 1 5 , 4

Daging sapi 0 , 5 0 , 5 1 , 0 4 1 , 0 4 0 , 8 0 0 , 5 2 0 , 5 3

Daging ayam 1 , 0 4 1 , 8 7 1 , 9 2 2 , 2 8 3 , 5 4 1 , 7 2 3 , 2 8

Te l u r 1 , 5 6 2 , 6 0 2 , 6 0 3 , 1 2 4 , 5 8 3 , 1 2 4 , 9 4

Minyak makan 3 , 7 5 5 , 0 0 5 , 8 3 6 , 6 6 7 , 1 2 6 , 9 5 8 , 2 0

G u l a 8 , 4 0 9 , 1 0 9 , 5 0 9 , 5 2 1 0 , 0 2 9 , 2 0 1 0 , 3 0

Sumber: BPS, Susenas (1990, 1993, 1996, dan 2002).

Gambar 9. Perkembangan pola konsumsi negara berkembang

(Sumber: World Development Report 2008).

0

50

100

150

200

1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002

Ko

nsu

msi/kapita

/hari

Hortikultura

Daging

Serealia

250

0

50

100

150

200

1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 20021981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002

Ko

nsu

msi/kapita

/hari

Hortikultura

Daging

Serealia

250

Page 17: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

490 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Data dalam Tabel 6 juga memperlihatkan total konsumsi jagung sebagai

makanan pokok menurun dan konsumsi daging ayam meningkat dengan

cepat. Untuk memproduksi 1 kg daging ayam diperlukan sekitar 3 kg jagung.

Angka ini menunjukan bahwa peningkatan konsumsi jagung dihela oleh

meningkatnya konsumsi produk peternakan, sedangkan konsumsi jagung

sebagai makanan pokok menurun.

Di samping ayam ras, komoditas peternakan yang juga memerlukan

pakan dengan bahan baku jagung adalah sapi perah. Pada tahun 2005

konsumsi susu bubuk mencapai 196.000 MT, sekitar 167.000 MT di antaranya

diimpor. Konsumsi susu bubuk meningkat dengan laju 5% per tahun.

Keinginan untuk meningkatkan pangsa produksi susu dalam negeri juga

akan mendorong permintaan jagung dalam negeri.

Faktor lainnya yang juga akan mempengaruhi pasar jagung internasional

adalah peningkatan konsumsi etanol untuk bahan bakar kendaraan ber-

motor, meningkatnya harga minyak bumi dalam lima tahun terakhir. Di

Amerika Serikat dan Brazil, jagung juga digunakan sebagai bahan baku

etanol (ERS/USDA 2007).

Data pada Gambar 10 menunjukkan adanya peningkatan penggunaan

jagung untuk industri etanol di Amerika Serikat. Hal ini akan mempengaruhi

harga jagung di pasar dunia seperti terlihat pada Gambar 11. Tren harga

jagung didasarkan atas perkiraan harga minyak bumi tidak lebih dari 85

dolar AS/barel pada tahun 2016. Apabila harga minyak bumi di atas 80 dolar

AS/barel, maka harga jagung juga akan berubah. Harga minyak bumi pada

Nopember 2007 sudah mencapai 96 dolar AS/barel. Peningkatan produksi

Gambar 10. Perkembangan dan perkiraan permintaan jagung Amerika Serikat, 1980-2015

(Sumber: ERS/USDA: Agricultural Projections to 2016, February 2007).

Penggunaan dalam negeri

Etanol

Ekspor

20152010200520001995199019851980

0

2

4

6

8

10

12

Mily

ar

bushe

l

Penggunaan dalam negeri

Etanol

Ekspor

20152010200520001995199019851980

0

2

4

6

8

10

12

Mily

ar

bushe

l

Penggunaan dalam negeri

Etanol

Ekspor

20152010200520001995199019851980

0

2

4

6

8

10

12

Mily

ar

bushe

l

Page 18: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

491Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Gambar 11. Perkiraan harga jagung, gandum, dan kedelai Amerika Serikat, 1980-2015

(Sumber: ERS/USDA: Agricultural Projections to 2016. February 2007).

etanol di Amerika Serikat di samping didorong oleh peningkatan harga

minyak bumi, juga mendapatkan insentif dari pemerintah. Bantuan

pemerintah Amerika Serikat untuk produksi etanol diperkirakan 0,38-0,49

dolar AS/barel setara minyak bumi. Peningkatan harga jagung di pasar dunia

sebesar 23% pada tahun 2006 dan bahkan 60% pada tahun 2005 adalah

akibat peningkatan penggunaan jagung untuk industri etanol (World Bank

2007c).

Untuk memproduksi 100 liter etanol (bahan bakar kendaraan bermotor)

diperlukan 240 kg jagung, setara dengan konsumsi pangan seorang

penduduk/tahun. Dengan demikian kompetisi permintaan jagung untuk

pangan dan bahan bakar akan makin meningkat. Di Amerika Serikat pada

tahun 2006/07, sekitar 20% produksi jagung digunakan untuk etanol yang

hanya mampu mensubstitusi 3% kebutuhan bahan bakar minyak di negara

ini. Di Indonesia, penggunaan jagung untuk biofuel sebaiknya dihindari,

dan diganti dengan komoditas lainnya seperti jarak pagar (World Bank

2007b). Hal yang sama juga terjadi pada minyak makan, akibat naiknya harga

minyak kelapa sawit di pasar dunia karena sebagian digunakan untuk

biodiesel di Eropa dan beberapa negara lainnya.

Penelitian menunjukan bahwa pengembangan areal kelapa sawit

dengan mengkonversi hutan dan lahan rawa akan menghilangkan fungsi

hutan sebagai pengendali emisi gas rumah kaca (GRK) untuk beberapa

lama. Dengan demikian, perluasan perkebunan kelapa sawit untuk produksi

biodiesel kurang tepat dan berdampak negatif terhadap kelestarian

lingkungan (World Bank 2007a).

Kedelai

Gandum

Jagung

20152010200520001995199019851980

0

1

2

3

4

5

6

7

8

Dola

rA

S p

er

bushe

l

Kedelai

Gandum

Jagung

20152010200520001995199019851980

0

1

2

3

4

5

6

7

8

Dola

rA

S p

er

bushe

l

Page 19: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

492 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

IMPLIKASI BAGI PENELITIAN JAGUNG

Diperkirakan saat ini penyebaran jagung hibrida di Indonesia sudah

mendekati 40% dari total areal jagung. Penyebaran jagung lokal untuk

makanan pokok masih sekitar 25% dari areal tanam jagung. Di Madura,

lebih dari 90% areal tanam jagung menggunakan varietas lokal, demikian

juga di Nusa Tenggara Timur. Produktivitas jagung lokal 1,5 t/ha, sedangkan

jagung hibrida 6,0 t/ha. Ketimpangan produktivitas ini disebabkan karena

belum adanya terobosan teknologi jagung lokal untuk konsumsi pangan

(Kasryno 2005).

Prioritas penelitian lembaga penelitian publik hendaknya lebih difokus-

kan kepada upaya peningkatan produktivitas jagung bersari bebas untuk

konsumsi penduduk. Penelitian jagung hibrida dapat diserahkan kepada

lembaga penelitian swasta. Kalaupun penelitian jagung hibrida, perlu

diarahkan pada target pengembangan tertentu yang belum ditangani

swasta, misalnya sesuai daerah kering, berkualitas baik, dan sebagainya.

Lembaga penelitian publik hendaknya melakukan penelitian secara

komprehensif, mencakup perbenihan, budi daya, panen, dan pengolahan

hasil untuk meningkatkan efisiensi produksi, dan penelitian biokimia jagung.

Dengan berkembangnya permintaan jagung untuk industri pakan,

lembaga penelitian publik perlu merintis penelitian substitusi jagung untuk

pakan dengan komoditas pertanian lainnya, atau limbah pengolahan hasil

pertanian, seperti limbah pengolahan kelapa sawit, kakao, dan kopi. Perlu

pula adanya penelitian perbaikan genetik ayam kampung agar tidak me-

merlukan pakan konsentrat, sehingga permintaan jagung untuk industri

pakan bisa dikurangi.

Penelitian hendaknya lebih berorientasi pada pemecahan masalah yang

dihadapi petani di lapangan (demand driven) dan lebih banyak pula

melakukan penelitian bersama petani (joint innovation). Pada dasarnya

petani lebih tekun melakukan pengamatan terhadap pertanamannya karena

menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian (BPTP) yang ada di setiap provinsi dituntut kemampuannya

memahami kondisi pertanian di daerahnya, tidak sebagai pelaksana

penelitian tetapi sebagai mitra balai penelitian komoditas dalam mengkaji

dan mengembangkan teknologi.

Paradigma penelitian yang dalam era revolusi hijau adalah supply driven,

sudah berlalu, lingkungan strategis telah berubah, maka paradigma

penelitian juga harus berubah mengarah demand driven. Tanpa perubahan

paradigma penelitian, lembaga penelitian publik menjadi kurang

bermanfaat bagi petani. Petani senantiasa membutuhkan teknologi, apalagi

di daerah tertinggal.

Page 20: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

493Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

KESIMPULAN

1. Telah terjadi perubahan yang sangat mendasar pada ekonomi jagung

Indonesia, dari yang semula sebagai bahan pangan pokok setelah padi

dan komoditas lahan kering menjadi komoditas bahan baku industri

dan kamoditas lahan beririgasi atau lahan basah. Perubahan ini

membawa berbagai implikasi dalam pengembangan jagung di masa

depan. Di samping itu juga terjadi segmentasi dari komoditas jagung,

jagung untuk bahan baku industri memiliki persyaratan tertentu yang

berbeda dengan jagung untuk konsumsi pangan. Semua perubahan

ini mempunyai implikasi tersendiri bagi kebijakan pengembangan

jagung.

2. Revolusi hijau pada jagung didorong oleh perubahan pola permintaan

(demand driven) dan tumbuhnya kemitraan antara petani dan swasta,

sedangkan revolusi hijau pada padi sawah adalah karena adanya

terobosan teknologi budi daya (supply driven). Industri peternakan dan

industri benih memegang peranan penting dalam pengembangan

jagung, sedangkan pada komoditas beras peran pemerintah sangat

m e n o n j o l .

3. Sistem usahatani jagung sudah memasuki sistem industrial, di mana

sekitar 60% kebutuhan jagung digunakan untuk industri pakan dan

makanan, dan sekitar 60% dari total biaya tunai usahatani jagung

digunakan untuk pembelian sarana produksi dan sewa alat pertanian.

Akan tetapi, usahatani jagung masih tetap dikelola oleh petani kecil.

4. Perubahan ekosistem jagung ke lahan sawah beririgasi merupakan titik

awal perubahan pola usahatani pada lahan beririgasi. Di beberapa

daerah telah terjadi pula peningkatan penggunaan lahan sawah

beririgasi untuk usahatani komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi

seperti sayuran dan buah-buahan.

5. Perubahan ini menghendaki perubahan teknologi irigasi dan drainase

lahan sawah beririgasi, karena pengairan sawah konvensional hanya

dirancang untuk usahatani padi.

6. Dengan berubahnya ekonomi jagung maka fokus lembaga penelitian

publik adalah menangani jagung untuk konsumsi rumah tangga.

Penelitian jagung hibrida untuk bahan baku industri lebih baik menjadi

tugas lembaga penelitian swasta yang selama ini telah berperan dalam

pengembangan jagung hibrida. Sampai saat ini, varietas jagung hibrida

yang ditanam petani hampir seluruhnya dihasilkan oleh lembaga

penelitian swasta. Lembaga penelitian publik dapat melakukan penelitian

jagung unggul bersari bebas untuk mengimbangi varietas jagung hibrida

swasta. Dengan demikian akan ada berbagai pilihan teknologi yang akan

diadopsi petani.

Page 21: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

494 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

7. Di sentra utama produksi jagung (Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung,

dan Sumatera Utara), pangsa areal tanam jagung hibrida sudah di atas

50% dan cenderung meningkat. Peningkatan ini antara lain dengan

mengganti jagung lokal dan atau jagung komposit dengan jagung

hibrida, karena memiliki keunggulan komparatif. Produktivitas jagung

nasional 3,5 t pipilan kering/ha, diperkirakan pangsa areal jagung hibrida

sekitar 50%. Data ini konsisten dengan produktivitas jagung Thailand

yang juga sekitar 3,5 t/ha dengan pangsa jagung hibrida 60%.

8. Lembaga penelitian publik bukan hanya sebatas menghasilkan varietas

unggul, tetapi juga harus aktif mempromosikan teknologi dan varietas

unggul yang dihasilkan. Ini dapat dilakukan dengan membina petani

dalam pengembangan dan penangkaran benih unggul. Promosi ini

dapat dilakukan oleh BPTP bekerjasama dengan petani. Tanpa aktif mem-

promosikan dan memasarkan varietas unggul, maka adopsi teknologi

akan berjalan lambat dan benih unggul tetap tersimpan di lembaga

penelitian. Kebijakan ini telah dijalankan oleh industri benih swasta.

9. Bagi lembaga penelitian publik, promosi dan penyebaran benih unggul

akan membantu dalam menjaring umpan balik mengenai varietas

unggul yang dihasilkan dan mendapatkan informasi tentang kebutuhan

teknologi petani (demand driven).

10. Fokus lembaga penelitian publik dalam menghasilkan teknologi budi

daya jagung juga perlu diarahkan pada ekosistem lahan kering di

Kawasan Timur Indonesia, yang selama ini belum banyak mendapat

sentuhan teknologi.

11. Laju pertumbuhan produksi jagung selama ini sekitar 3% per tahun,

sementara laju permintaan jagung untuk industri pakan sekitar 5% per

tahun, maka Indonesia akan tetap mengimpor jagung sebesar 1,2-2,0

MT per tahun. Harga jagung di pasar dunia cenderung meningkat.

Peningkatan ini akan meningkatkan keunggulan kompetitif dan

komparatif usahatani jagung, sehingga penanaman jagung di lahan

sawah beririgasi cenderung naik, terutama pada MT II dan MT III (MK I

dan MK II).

12. Belajar dari pengalaman pengembangan jagung di Indonesia selama

ini maka fokus kebijakan pemerintah adalah: (a) penelitian dan

pengembangan secara komprehensif seluruh aspek budi daya dan

pascapanen, pengolahan hasil, pemasaran, dan promosi pasar (tech-

nological capital); (b) pengembangan sumber daya manusia petani

melalui Sekolah Lapang Petani (human capital) dan sekaligus melibatkan

petani dalam inovasi ( joint innovation); (c) pengembangan kelembagaan

(social capital) petani sebagai kegiatan lanjutan Sekolah Lapang Petani;

(d) investasi prasarana irigasi dan drainase yang lebih fleksibel (physical

capital); dan (e) investasi prasarana ekonomi dan pedesaan.

Page 22: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

495Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Aquino, P., F. Currion, and R. Calvo. 1999. Selected maize statistics. In World

Maize Facts and Trends 1997 per 1998. CIMMYT, Mexico.

BPS. 1969-1971, 1979-1981, 1989-1991, 1998-2006. Produksi padi dan palawija

di Jawa dan Indonesia. BPS. Jakarta.

BPS. 1999. 2003. Survei sosial ekonomi nasional 1990, 1999, dan 2002. (Data

Base). BPS Jakarta.

BPS. 2000, 2003, dan 2005. Luas lahan pertanian menurut penggunaannya

di Indonesia BPS, Jakarta.

Chainuvati, C. 1997. Seed extension in Thailand. Department of Agricultural

Extension, Ministry of Agriculture and Cooperative of Thailand.

Bangkok .

Delgado, C., M.W. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui, and C. Courbois. 1999.

Live-stocks to 2020. The next food revolution. IFPRI, Washington D.C.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1998-2004. Statistik Peternakan Indonesia

1998-2004. Dit. Peternakan. Jakarta.

Erwidodo dan Ning Pribadi. 2002. Produksi dan permintaan jagung di

Indonesia: perkembangan dan proyeksi. Badan Ketahanan Pangan,

Departemen Pertanian. Jakarta.

Falvey, L. 2000. Thai agriculture: golden cradle of millenia. Kasetsart Uni.

Press. Bangkok.

Fang, Cheng, and J. Fabiola. 2002. Does the U.S. Midwest have a cost

advantage over China in producing corn, soybeans, and hogs.

MATRIC Research Paper 02-MRP, 4 August 2002. Iowa State Univesity,

Ames Iowa.

FAO. 2001. Review of basic food policies. Rome.

FAO. 2007. Food outlook, June 2007. Rome.

Foreign Agricultural Service. 2007. Production, supply, and demand (PSD).

Data for world agriculture. FAS, USDA,February, 2002. Washington

D.C.

Gonzales, L.A., Faisal Kasryno, N.D. Perez, and M.W. Rosegrant. 1992.

Economic insentives and comparative advantage in Indonesian food

crop production. IFPRI Research Report 93. IFPRI. Washington D.C.

Heisey, P.W. and G.O. Edmeades. 1999. Maize production in drought-stressed

environment. In World Maize Facts and Trends 1997 per 1998. CIMMYT,

Mex ico .

Page 23: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

496 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Kasryno, F. 2005. Highlight of corn economic development and its commodity

policy in Indonesia. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi

(Eds.). Ekonomi jagung Indonesia, cet. II. Badan Litbang Pertanian.

Jakarta.

Kasryno, F. 2005. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia dan

implikasinya bagi Indonesia. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan

A.M. Fagi (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia, cet. II. Badan Litbang

Pertanian. Jakarta.

Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M. Fagi. 2005. Dinamika produksi dan

pengembangan sistem komoditas jagung Indonesia. Dalam: F.

Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Eds.). Ekonomi jagung

Indonesia, cet. II. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Lence, Sergio H. 2000. A comparative marketing analysis of major agricultural

products in the United States and Argentina. MATRIC Research Paper

00-MRP 2.CARD Iowa State University, Ames, Iowa. June 2000.

Mink, S.D., P.A. Dorosh, and D.H. Perry. 1987. Corn production systems. In C.

P. Timmer (Ed.). The corn economy of Indonesia. Cornell Univ. Press

Ithaca and London.

Nugraha, U., Subandi, A. Hassanudin, dan Subandi. 2003. Perkembangan

teknologi budi daya dan industri benih. Dalam: F. Kasryno, E.

Pasandaran, B. Tangejaya, dan U. Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung

Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Pingali, P. 2001. CIMMYT, World maize facts and trends 1999 per 2000. Meeting

World Maize Needs: Technological Opportunities and Priorities for

the Public Sector. CIMMYT, Mexico.

Pingali, P. and S. Pandey. 2001. Meeting world maize needs: technological

opportunities and priorities for the public sector. In: P. Pingali (Ed.).

World maize facts and trends 1999 per 2000. CIMMYT, Mexico.

Reardon, T. and C. B. Barret. 2000. Agroindustrilization, globalization, and

international development. An overview of issues, patterns, and

determinants. Agricultural Economics 23 (2000):195-205.

Rosegranrt, M.W., M.S. Paisner, S. Meir, and Julie Witcover. 2001. Global food

projection to 2020: emerging trends and alternatives futures. IFPRI,

Washington D.C.

Schnepf, R.D, Erik Dohlman, and C. Bolling. 2001. Agriculture in Brazil and

Argentina, developments prospects for major field crops. WRS-01-3.

USDA, Agriculture and Trade Report. Washington D.C.

Page 24: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

497Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia

Simatupang, P. 2003. Daya saing dan efisiensi usahatani jagung hibrida

Indonesoia. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, B. Tangenjaya, dan U.

Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian.

Jakarta.

Sumaryanto. 2003.Usahatani jagung di lahan sawah beririgasi: kasus daerah

aliran sungai (DAS) Brantas. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, B.

Tangejaya, dan U. Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia. Badan

Litbang Pertanian. Jakarta.

Sumaryanto. 2006. Iuran berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan

efisiensi penggunaan air irigasi: pendekatan dan analissis faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Disertasi Doktor: IPB, Bogor.

Sumaryanto; M. Siregar, and M. Wahida. 2001. Socio economic analysis of

farm households in irrigated area of Brantas River Basin. Paper

presented in IFPRI Seminar on Irrigation Investment, Fiscal Policy,

and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam. Issues,

Concept, and Modeling Workshop. June 2001. IFPRI, Washington

D.C.

Tangenjaya, B., Y. Yusdja, dan Nyak Ilham. 2003. Analisa ekonomi permintaan

jagung untuk pakan. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, B. Tangejaya,

dan U. Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia. Badan Litbang

Pertanian, 2003. Jakarta.

Timmer, C.Peter. 1987. The corn economy of Indonesia. Cornell University

Press. Ithaca and London.

World Bank. 2007a. Agriculture for Development, World Development Report

2008. World Bank, Washington D.C.

World Bank. 2007b. Commodity prospect April 2007. World Bank,

Washington D.C.

World Bank. 2007c. Commodity price (pink sheet), September 2007. World

Bank Washington D.C. (Electronic Data Base).