gambaran umum ekonomi jagung indonesia
TRANSCRIPT
474 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Faisal Kasryno1, Effendi Pasandaran1, Suyamto2, dan Made O. Adnyana2
1Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
PENDAHULUAN
Dalam numenklatur ekonomi tanaman pangan Indonesia, jagung merupa-
kan komoditas penting kedua setelah padi/beras. Akan tetapi, dengan
berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen
utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan
jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi
pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya
dan bibit. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih
sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan.
Geografi komoditas jagung juga mengalami pergeseran. Pada saat masih
berstatus sebagai komoditas pangan, daerah penyebaran jagung didominasi
oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Dengan berkembangnya industri peternakan maka peran Lampung dan
Sumatera Utara mulai mengalahkan posisi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,
dan Nusa Tenggara Timur.
Perubahan pola permintaan jagung juga mendorong perubahan adopsi
teknologi benih. Mulai awal tahun 1990an, industi benih jagung hibrida
berkembang pesat yang diikuti oleh percepatan adopsi teknologi jagung
hibrida. Percepatan adopsi ini terkait dengan promosi dan penyuluhan yang
dilakukan oleh industri benih jagung hibrida. Diperkirakan luas areal tanam
jagung hibrida lebih 30% dari total areal pertanaman jagung di Indonesia.
Penyebaran jagung lokal diperkirakan kurang dari 25% yang mayoritas
ditanam di Madura (Jawa Timur), Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi
Selatan.
Semula, pada saat permintaan jagung didominasi oleh jagung konsumsi,
jagung umumnya diusahakan pada lahan kering, terutama pada musim
hujan. Dengan berkembangnya adopsi teknologi maka areal pertanaman
jagung menyebar ke lahan sawah beririgasi, terutama di Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Utara.
Permintaan jagung akan sangat dinamis, terkait dengan meningkatnya
harga minyak bumi. Permintaan jagung untuk energi alternatif, bahan baku
industri pakan, dan industri makanan akan terus meningkat di masa
mendatang. Perubahan pola permintaan jagung ke depan perlu dijadikan
475Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
acuan dalam penentuan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia dan
negara berkembang lainnya.
Tulisan ini menyajikan aspek perubahan ekonomi jagung pada masa
kini dan perkiraan pada masa datang. Selain itu, dikemukakan pula analisis
perubahan pola usahatani jagung dalam struktur pola usahatani komoditas
pad i .
PERKEMBANGAN PRODUKTIVITAS JAGUNG
Peningkatan produksi jagung nasional baru terlihat setelah tercapainya
swasembada beras pada 1984. Hal ini antara lain disebabkan oleh kebijakan
pembangunan sejak akhir 1960an sampai tercapainya swasembada beras
terfokus pada upaya peningkatan produksi padi. Dalam dokumen Repelita
III dan IV memang dikemukakan bahwa setelah swasembada beras
terwujud, prioritas baru diberikan kepada diversifikasi pertanian.
Dalam Gambar 1 terlihat bahwa produktivitas jagung mulai meningkat
relatif cepat setelah tahun 1980an. Dalam periode 1960-80 dilepas 18 varietas
unggul jagung komposit. Dalam periode 1980-90 dilepas pula jagung hibrida
varietas CP1, CP2, dan Pioner dengan potensi hasil 5-7 t pipilan kering/ha.
Diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk melihat dampak penemuan
varietas unggul jagung komposit terhadap perkembangan produktivitas
jagung di Indonesia.
Propinsi utama penghasil jagung di Indonesia adalah Jawa Timur dengan
pangsa produksi pada tahun 2005 sebesar 35%, diikuti oleh Jawa Tengah
17%, Lampung 11%, Sumatera Utara 6%, Sulawesi Selatan 6%, dan Nusa
Tenggara Timur 5%. Pada tahun 1981 pangsa produksi jagung Jawa Timur
adalah 43%, Jawa Tengah 22%, Sulawesi Selatan 11%, Nusa Tenggara Timur
6%, Lampung 2%, dan Sumatera Utara 1,0%. Dengan demikian telah terjadi
pergeseran sentra produksi jagung Indonesia. Peregeseran ini didorong
oleh perkembangan industri pakan yang terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa
Timur, Lampung, dan Sumatera Utara.
Analisis lebih lanjut perkembangan produktivitas jagung di Indonesia
disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 tercermin bahwa produktivitas
jagung sebagai bahan pokok relatif mengalami stagnasi di sentra produksi.
Di Madura misalnya, produktivitas jagung masih berkisar antara 1,0-1,5 t/ha.
Hal ini terkait dengan prioritas penelitian lebih banyak mengarah kepada
upaya menghasilkan teknologi produksi jagung untuk bahan baku industri.
Di Sulawesi Selatan yang sebagian penduduknya mengonsumsi jagung
sebagai makanan pokok, produktivitas jagung juga relatif stagnan sampai
476 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Gambar 1. Perkembangan ekonomi jagung Indonesia, 1960-2005
(Sumber: ERS/USDA/PSD 2007).
Gambar 2. Perkembangan produktivitas jagung di propinsi sentra produksi, 1980-2006
(Sumber: BPS dan Pusat Data Pertanian 1980-2006).
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Pro
duktiv
itas (
t/ha)
Jaw a Timur
Jaw a Tengah
Sumatera Utara
Lampung
Sulaw esi Selatan
NTT
-1.000
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
1962 1965 1968 1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2002 2003 2004 2005
Impor (‘000 t)
Produktivitas (kg/ha)
Pakan (‘000 t)
Produksi (‘000 t)
-1.000
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
1962 1965 1968 1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2002 2003 2004 2005
Impor (‘000 t)
Produktivitas (kg/ha)
Pakan (‘000 t)
Produksi (‘000 t)
477Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
pertengahan 1990an. Di Sumatera Utara dan Lampung, produktivitas jagung
meningkat relatif cepat. Pada tahun 2000 produktivitas jagung di Jawa Timur,
Jawa Tengah, Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan hampir sama,
sedangkan di Nusa Tenggara Timur masih jauh ketinggalan. Peningkatan
produktivitas jagung setelah pertengahan 1990an terutama didorong oleh
semakin gencarnya promosi yang digelar oleh produsen benih jagung
hibrida, seperti Charoen Pokphand dan Pioneer. Diperkirakan lebih dari
30% areal pertanaman jagung di sentra produksi ditanami dengan benih
hibrida, bahkan di Lampung dan Sumatera Utara diperkirakan telah
mencapai lebih dari 45% (Kasryno 2005).
Pada Gambar 3 disajikan perkembangan produktivitas jagung di Madura
dan Jawa Timur tidak termasuk Madura. Di Madura sebagian besar (>90%)
jagung yang dikembangkan untuk pangan adalah jenis lokal, sedangkan di
Jawa Timur, selain Madura, telah didominasi (>70%) oleh varietas unggul
bersari bebas dan hibrida. Data pada Gambar 3 juga mencerminkan bahwa
jagung lokal untuk konsumsi pangan belum banyak mendapat sentuhan
teknologi maju. Senjang produktivitas jagung lokal konsumsi dengan jagung
bahan baku industri makin besar dengan meluasnya penyebaran jagung
hibrida sejak awal tahun 1990an. Adanya sedikit kenaikan produktivitas
jagung lokal dari 1,5 t menjadi sekitar 2,0 t/ha dalam dua dasawarsa ini
antara lain disebabkan oleh imbas penggunaan pupuk. Ke depan, kondisi
ini perlu mendapat perhatian karena sekitar 30% areal jagung di Jawa Timur
berada di Madura, dan luas areal jagung di Madura sekitar 360.000 ha, lebih
luas dibandingkan dengan di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tengga
Timur, dan Lampung. Pada Tabel 1 disajikan komposisi areal panen jagung
menurut varietas di beberapa sentra produksi.
Gambar 3. Perkembangan produktivitas jagung lokal (Madura) dan Jawa Timur tanpa
Madura (Sumber: BPS Jawa Timur 2007 dan Pusat Data Pertanian 2007).
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Pro
duktiv
itas (
t/ha)
Jatim minus Madura
Madura
478 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tab
el
1.
Are
al
pa
ne
n
jag
un
g
me
nu
rut
vari
eta
s ya
ng
d
ita
na
m
pa
da
ta
hu
n
19
98
, 2
00
1,
da
n
20
06
d
i e
mp
at
pro
pin
si
uta
ma
p
en
gh
asi
l ja
gu
ng
d
i
Ind
on
es
ia.
Sum
ater
a U
tara
(ha
)
Lam
pung
(ha
)
Jaw
a Te
ngah
(ha
)
Jaw
a T
imur
(ha
)
Va
rie
tas
/
mu
sim
ta
na
m1
99
82
00
12
00
61
99
82
00
12
00
61
99
82
00
12
00
61
99
82
00
12
00
6
Hib
rid
a
MH
29
.67
04
8.7
10
50
.32
61
42
.00
01
32
.56
01
34
.31
37
7.8
30
59
.38
01
36
.88
49
1.0
80
13
0.0
90
20
1.3
81
MK
I
32
.40
04
8.2
40
49
.11
85
6.2
60
69
.99
08
3.2
33
26
.67
02
3.1
40
64
.33
43
7.5
10
51
.29
01
07
.31
9
MK
II
42
.22
03
4.3
90
43
.17
04
4.8
80
29
.84
01
5.0
52
51
.80
03
0.0
10
47
.16
31
10
.07
01
17
.77
01
60
.54
5
To
tal
10
6.2
90
13
1.3
40
14
2.6
14
24
3.1
30
23
2.3
90
23
1.5
98
24
3.1
30
11
2.5
30
24
8.3
81
23
8.6
70
30
1.1
50
46
9.2
45
Ko
mp
os
it
MH
10
.09
01
4.0
40
21
.19
64
6.9
40
39
.94
02
0.7
80
12
1.6
50
11
2.1
10
77
.37
68
4.0
70
17
2.1
10
13
7.1
83
MK
I
10
.85
01
4.8
20
18
.83
72
3.0
30
30
.88
01
5.2
47
33
.30
05
5.4
10
33
.05
75
1.9
80
66
.93
05
1.1
67
MK
II
14
.47
01
2.6
20
10
.08
61
8.3
30
19
.51
06
.19
48
7.4
90
76
.54
01
7.2
35
10
5.7
30
64
.89
04
0.8
48
To
tal
35
.41
04
1.4
80
50
.11
98
8.2
90
90
.33
04
2.2
21
24
2.4
40
24
4.0
60
12
7.6
68
24
1.7
80
30
2.9
30
22
9.1
98
Lo
ka
l
MH
17
.23
06
.99
01
.97
62
7.0
30
22
.82
03
0.3
37
13
5.1
70
79
.47
06
2.5
77
54
0.2
20
34
7.6
00
29
8.3
44
MK
I
20
.47
01
1.4
50
1.4
59
9.4
90
17
.82
02
3.6
10
42
.94
04
0.1
90
39
.73
31
62
.30
09
0.9
40
84
.37
6
MK
II
16
.05
07
.45
01
.77
26
.90
01
4.9
00
3.8
74
71
.42
05
2.6
50
19
.56
91
65
.49
09
2.2
30
18
.02
1
To
tal
53
.75
02
5.8
90
5.2
07
43
.42
05
5.5
40
57
.82
12
71
.42
01
72
.32
01
21
.87
98
68
.01
05
30
.77
04
00
.74
1
To
tal
Ja
gu
ng
MH
56
.99
06
9.7
40
73
.49
82
15
.97
01
95
.32
01
85
.43
03
34
.65
02
50
.96
02
76
.83
77
15
.37
06
49
.80
06
36
.90
8
MK
I
63
.72
07
4.5
10
69
.41
48
8.7
80
11
8.6
90
12
1.8
95
10
2.9
10
11
8.7
40
12
4.9
61
25
1.7
90
20
9.1
60
17
4.7
19
MK
II
72
.74
05
4.4
60
55
.02
87
0.1
10
64
.25
02
5.1
20
21
0.7
10
15
9.2
00
83
.96
73
81
.29
02
74
.89
02
25
.11
1
To
tal
19
3.4
50
19
8.7
10
19
7.9
40
37
4.8
60
37
8.2
60
33
2.4
45
64
8.2
70
52
8.9
00
49
7.9
28
1.3
48
.45
01
.13
3.8
50
1.0
99
.18
4
Pe
rse
nta
se
17
,70
/2
6,6
0/
42
,69
/
Jag
un
g
hib
rid
a5
4,9
46
6,1
07
2.0
56
6,1
06
1,4
56
9.6
03
7,5
02
1,3
04
9,8
8(2
6,8
6*)
(3
9,6
8*)
(58
.10
*)
Pe
rse
nta
se
17
,93
/2
6,7
2/
22
,70
/
Jag
un
g
kom
po
sit
18
,30
20
,87
25
.33
23
,55
23
,88
12
.70
37
,40
46
,15
26
,30
(31
,86
*)(3
4,1
0*)
(31
,42
*)
*)
Jaw
a
Tim
ur
min
us
Ma
du
ra,
di
ma
na
M
ad
ura
9
9,1
%
ad
ala
h
jag
un
g
loka
l,
kon
sum
si.
Su
mb
er:
B
PS
(1
99
9,
20
02
, 2
00
7)
Ba
sis
da
ta
surv
ei
pe
rta
nia
n
19
98
, 2
00
1,
da
n
20
06
(D
iola
h).
479Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa areal tanam jagung hibrida
meningkat cukup berarti. Pada tahun 2006 pangsa penanaman jagung
hibrida mencapai 50% di Jawa Tengah dan 58% di Jawa Timur di luar Madura.
Peningkatan pangsa penanaman jagung hibrida mendorong penurunan
pangsa jagung lokal dan pada kondisi tertentu juga jagung komposit. Secara
nasional, pangsa penanaman jagung hibrida diperkirakan di atas 50%
dengan rata-rata produktivitas 3,5 t pipilan kering/ha. Data ini konsisten
dengan produktivitas jagung Thailand yang juga sekitar 3,5 t/ha dengan
pangsa jagung hibrida 60% (Pingali 2001).
Menurunnya penyerapan varietas lokal antara lain disebabkan oleh
penelitian terhadap varietas lokal belum mendapat prioritas, terutama di
bidang pemuliaan tanaman jagung terkait dengan upaya peningkatan
kemampuan genetik varietas lokal. Konsumsi jagung juga menurun, antara
lain disebabkan oleh teknologi pascapanen primer maupun sekunder di
tingkat petani belum mendapat perbaikan yang berarti. Jika diperhatikan
data pada Gambar 2 dan 3, serta perkembangan jagung hibrida, maka
peningkatan produktivitas jagung di Jawa Timur (tanpa Madura), Sumatera
Utara, dan Lampung antara lain disebabkan oleh perkembangan adopsi
varietas jagung hibrida yang cukup cepat. Hal ini merupakan dampak dari
promosi dan penyuluhan yang diberikan oleh pengusaha benih jagung
hibrida, adanya pola kemitraan antara petani dengan pengusaha jagung,
dan cukup kompetitifnya harga jagung yang diterima petani. Perkembangan
adopsi varietas hibrida terkait dengan makin pesatnya pertumbuhan industri
peternakan yang didorong oleh perkembangan permintaan daging yang
cukup cepat pula (demand driven). Apabila pertumbuhan produksi jagung
dalam negeri tidak dapat mengimbangi permintaan maka volume impor
jagung akan terus meningkat.
Di sisi lain terjadi penurunan pangsa penggunaan jagung unggul
komposit. Hal ini antara lain disebabkan oleh teknologi yang tersedia masih
kalah bersaing dengan teknologi jagung hibrida. Sebenarnya, teknologi
jagung sudah banyak tersedia di lembaga penelitian, tetapi promosi jagung
unggul komposit belum mampu mengimbangi promosi jagung hibrida yang
dilakukan oleh produsen benihnya. Tantangan ini menuntut lembaga
penelitian yang menangani jagung untuk memberikan prioritas yang lebih
besar terhadap diseminasi dan promosi teknologi.
PERKEMBANGAN PRODUKSI JAGUNG
Di Indonesia, pertumbuhan produksi jagung lebih disebabkan oleh per-
kembangan permintaan (demand driven) untuk pakan ternak, sedangkan
pertumbuhan produksi padi disebabkan oleh supply driven karena didorong
oleh inovasi teknologi benih unggul.
480 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Dewasa ini telah terjadi perubahan sentra produksi jagung (Gambar 4).
Kalau pada tahun 1980an sentra produksi jagung adalah Jawa Timur, Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, maka pada tahun 2005
telah bergeser menjadi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera
Utara. Pada Gambar 5 disajikan perkembangan luas areal panen jagung
selama periode 1980- 2004.
Data pada Gambar 5 mengindikasikan bahwa areal panen di sentra-
sentra produksi jagung sudah sulit ditingkatkan. Perkembangan produksi
selama ini hanya disebabkan oleh pesatnya perkembangan adopsi teknologi
maju, terutama jagung hibrida. Di daerah pengembangan baru (Lampung
dan Sumatera Utara) terjadi peningkatan areal tanam jagung yang cukup
cepat, terutama dalam periode 1980-2000. Setelah tahun 2000 perluasan
areal panen mulai melambat. Di Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi
jagung di Kawasan Timur Indonesia, luas areal tanam jagung cenderung
menurun, yaitu dari sekitar 300.000 pada tahun 1980an menjadi 205.000 ha
pada tahun 2004. Dengan demikian, fokus utama upaya peningkatan
produksi jagung ke depan lebih dititikberatkan kepada peningkatan
produktivitas dan efisiensi usahatani.
Peningkatan produksi jagung juga dapat diupayakan melalui perluasan
areal tanam pada lahan sawah beririgasi sebagaimana terjadi di Jawa Timur
dan Lampung (Kasryno 2005). Pada lahan sawah beririgasi, jagung ke-
banyakan ditanam pada musim tanam kedua dan ketiga setelah padi
(Sumaryanto 2006).
Gambar 4. Perkembangan produksi jagung di propinsi penghasil utama jagung
di Indonesia 1980-2006 (Sumber: BPS dan Pusat Data Pertanian).
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pro
duksi (juta
t)
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sumatera Utara
Lampung
Sulawesi Selatan
NTT
481Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Gambar 5. Perkembangan areal panen jagung di propinsi penghasil utama jagung di
Indonesia 1980-2006 (Sumber: BPS, Pusat Data Pertanian 2007, dan Dinas
Pertanian Jawa Timur).
Dalam Tabel 2 disajikan perkembangan areal panen jagung di beberapa
propinsi sentra produksi menurut ekosistem dan musim tanam. Untuk
daerah yang masih memungkinkan bagi perluasan areal tanam seperti di
Sumatera, perluasan areal jagung dapat diarahkan ke lahan tegalan maupun
lahan sawah setelah pertanaman padi. Sementara seperti di Sulawesi Selatan,
perluasan areal jagung dapat diarahkan ke lahan sawah tadah hujan yang
selama ini bera setelah padi.
POLA USAHATANI TANAMAN PANGAN
Di daerah aliran sungai (DAS) Brantas di Jawa Timur jagung juga ditanam
pada lahan sawah beririgasi, di mana penanaman terluas (48%) pada MT III
(Tabel 3).
Pada MT I areal tanam padi sawah di DAS Brantas mencapai 86,2% dari
total areal, jagung 3,5%, dan tebu 3,7%. Pada MT II, areal tanam padi 65,7%
dan jagung 11,3%. Pada MT III, areal tanam padi hanya 4,2% sedangkan
areal tanam jagung meningkat menjadi 26,6%. Indeks pertanaman (IP)
mencapai 262% dan IP padi 156% (Sumaryanto 2006). Adanya areal yang
terpaksa diberakan disebabkan antara lain oleh genangan air yang terlalu
dalam sehingga sulit ditanami, atau areal jauh dari saluran irigasi sehingga
tidak mendapatkan air pada MT II maupun pada MT III. Petani yang menanam
jagung hibrida dan sayuran pada MT II dan MT III banyak yang menggunakan
air pompa untuk mengairi tanaman.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Are
al p
anen (
juta
ha
)
Jaw a Timur Jaw a Tengah Sumatera UtaraLampung NTT Sul. SelatanMadura
482 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tab
el
2.
Pe
rke
mb
an
ga
n
are
al
pa
ne
n
jag
un
g
me
nu
rut
eko
sist
em
la
ha
n
da
n
mm
usi
m
tan
am
d
i b
eb
era
pa
se
ntr
a
pro
du
ksi
jag
un
g
di
Ind
on
esi
a,
19
90
-
20
06
.
Sum
ater
a U
tara
(ha
)
Lam
pung
(ha
)
Jaw
a Te
ngah
(ha
)
J
awa
Tim
ur (
ha)
Ta
hu
n/m
us
im
tan
am
Te
ga
lan
Sa
wa
hT
eg
ala
nS
aw
ah
Te
ga
lan
Sa
wa
hT
eg
ala
nS
aw
ah
19
90
MH
31
.10
02
.10
01
09
.50
08
00
23
4.0
00
67
.07
06
24
.65
08
0.2
00
MK
I
27
.50
04
.50
06
2.4
00
6.4
00
89
.80
05
1.7
00
18
9.5
00
12
9.9
50
MK
II
18
.80
01
.70
03
0.7
00
9.4
00
81
.20
01
35
.10
03
9.5
00
16
0.5
00
To
tal
77
.40
08
.30
02
02
.60
01
6.6
63
95
.00
02
53
.90
08
53
.65
02
90
.65
0
19
95
MH
65
.30
02
.90
01
87
.40
05
.60
02
71
.90
08
8.2
00
64
7.1
00
65
.90
0
MK
I
41
.90
01
.90
09
8.1
00
20
.50
01
01
.10
04
2.8
00
19
4.3
00
12
4.9
50
MK
II
51
.90
01
.90
03
2.7
00
19
.30
06
9.7
00
10
7.4
00
39
.10
01
93
.20
0
To
tal
15
8.1
00
6.7
00
31
8.2
00
45
.40
04
42
.70
02
38
.40
08
80
.50
03
18
.15
0
20
01
MH
68
.10
01
.68
01
89
.59
05
.72
02
16
.39
03
4.6
00
61
9.3
60
30
.44
0
MK
I
69
.50
05
.02
09
1.8
40
26
.84
08
3.4
60
35
.30
01
42
.00
05
5.9
60
MK
II
43
.00
01
1.5
00
40
.84
02
3.5
20
66
.39
09
2.8
00
90
.76
01
84
.10
0
To
tal
18
0.2
00
18
.20
03
22
.27
05
5.9
80
36
6.2
40
16
2.7
00
85
2.1
20
28
3.7
00
20
06
MH
66
.17
87
.33
31
79
.25
46
.17
62
35
.05
24
1.7
85
60
5.6
32
31
.27
6
MK
I
63
.61
07
.37
21
07
.94
41
4.1
46
10
7.4
69
29
.65
51
70
.86
47
1.9
98
MK
II
50
.95
04
.70
31
4.3
50
10
.74
02
2.1
18
61
.84
92
0.8
11
19
8.6
03
To
tal
18
0.7
38
19
.40
83
01
.54
83
1.0
62
36
4.6
39
13
3.2
89
79
7.3
07
30
1.8
77
Su
mb
er:
B
PS
(1
99
0,
19
95
, 2
00
1,
da
n
20
06
)
Ba
sis
da
ta
surv
ei
pe
rta
nia
n
19
90
-20
06
(d
iola
h).
483Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Dalam Tabel 4 disajikan simulasi pola tanam optimal yang didasarkan
atas ketersediaan irigasi, curah hujan, perkolasi tanah, penguapan,
kebutuhan air pertanaman, dan air hujan yang hilang karena run off.
Pertimbangan juga memasukkan aspek ekonomi komoditas. Berdasarkan
simulasi tersebut terlihat bahwa intensitas tanam padi adalah 148%,
intensitas tanam palawija dan hortikultura 106%, dan tebu 22% karena setiap
musim terdapat 7,2% areal baku sawah yang ditanami tebu dan 23,1% areal
sawah diberakan pada MT III. Pertanaman palawija didominasi oleh jagung,
kedelai, dan kacang hijau. Luas penanaman padi pada MT III hanya 3,8%.
Tabel 3. Pola tanam dominan di lahan beririgasi DAS Brantas, Jawa Timur, 1999/2000.
Jumlah petak Luas areal
Pola tanam
J u m l a h % h a %
Padi -pad i -kede la i 2 0 3 1 9 , 9 4 3 , 6 1 9 , 8
Pad i -pad i -d iberakan 2 1 2 2 0 , 8 3 7 , 0 1 6 , 9
Padi -padi - jagung 1 2 5 1 2 , 2 2 8 , 1 1 2 , 8
Padi - jagung- jagung 4 3 4 , 2 1 3 , 2 6 , 0
Padi-padi-kacang hijau 7 6 7 , 4 1 2 , 4 5 , 6
Pad i - t embakau 5 4 5 , 3 1 0 , 2 4 , 6
Padi-padi -padi , 4 4 4 , 3 9 , 3 4 , 2
Pad i -bengkoang- jagung 3 0 2 , 9 6 , 7 3 , 1
Te b u 8 0 , 8 6 , 4 2 , 9
Pad i -pad i -b lewah 1 3 1 , 3 5 , 4 2 , 5
Lainnya(74 tipe kecil) 2 1 3 2 0 , 8 4 7 , 3 2 1 , 5
To ta l 1 0 2 1 1 0 0 , 0 2 1 9 , 6 1 0 0 , 0
Sumber: Sumaryanto et al. (2001), IFPRI dan CASERD, Kimpraswil-Jasa Tirta.
Tabel 4. Penerimaan petani jagung dan padi pada berbagai musim tanam di DAS Brantas,
1999 /2000 .
Penerimaan (Rp ‘000/ha)
Ke te rangan
MT I MT II MT III Rata-rata
Padi
P e n e r i m a a n 5 .209 ,0 5 .230 ,3 4 .822 ,7 5 .087 ,3
Biaya produksi tunai 2 .943 ,8 3 .030 ,9 2 .691 ,3 2 .888 ,7
Pendapatan 2 .265 ,2 2 .199 ,3 2 .131 ,4 2 .198 ,6
Jagung
P e n e r i m a a n 4 .023 ,0 4 .519 ,2 4 .333 .9 4 .431 ,9
Biaya produksi tunai 2 .195 ,2 2 .334 ,8 2 .199 ,5 2 .316 ,0
Pendapatan atas biaya tunai 1 .827 ,8 2 .184 ,4 2 .133 ,9 2 .115 ,9
Sumber: Sumaryanto (2006).
484 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Dengan simulasi ini terlihat adanya penurunan intensitas tanam padi dari
156% menjadi 148%, areal penanaman tebu meningkat dari 6,5% menjadi
7,2% setiap musim atau dari areal baku sawah irigasi. Namun, areal yang
diberakan meningkat dari 16,9% menjadi 23,1%. Di sisi lain, intensitas tanam
palawija dan hortikultura meningkat dari 75% menjadi 107%. Hal ini
sebenarnya telah terjadi di Kabupaten Kediri, Blitar, dan Nganjuk, di mana
areal panen jagung meningkat dalam lima tahun terakhir, sedangkan areal
panen padi menurun (Kasryno 2005).
Penerimaan petani yang menanam jagung dan padi pada setiap musim
tanam disajikan dalam Tabel 5. Data ini merupakan hasil penelitian intensif
yang dilakukan di DAS Brantas selama tahun 1999/2000. Pengumpulan data
dilakukan untuk setiap petak lahan yang diusahakan petani. Untuk lebih
menggambarkan keadaan DAS Brantas, lokasi petani contoh dibagi menurut
hulu, tengah, dan hilir. Perbedaan lokasi menyebabkan perbedaan dalam
penyediaan air irigasi.
Penanaman jagung mulai meluas ke lahan sawah beririgasi dan lahan
dengan ekosistem basah (Lampung dan Sumatera Utara). Perubahan ini
disebabkan oleh “Revolusi Hijau” yang memerlukan pemupukan dengan
takaran yang tinggi, di mana pemupukan akan menjadi efektif apabila
kelembaban tanah memadai. Penananam jagung di lahan sawah beririgasi
terutama didominasi oleh jagung hibrida, sedangkan jenis lokal bisanya
ditanam di lahan kering.
Pendapatan petani padi dan petani jagung relatif berimbang. Akan tetapi,
apabila dipilah menurut varietas unggul komposit dan hibrida akan berbeda.
Rata-rata hasil jagung hibrida adalah 6,05 t/ha dan jagung nonhibrida 4,8 t/ha.
Biaya produksi jagung hibrida lebih tinggi, tetapi keuntungan bersih lebih
besar (Sumaryanto 2006). Peningkatan luas panen jagung di Kediri, Blitar,
dan Nganjuk (Kasryno 2005) adalah karena areal tanam jagung hibrida
lebih dominan (>70%) di tiga kabupaten ini. Di samping itu, harga relatif
jagung terhadap padi juga meningkat.
PERKEMBANGAN HARGA JAGUNG
Permintaan jagung untuk industri, terutama industri pakan, telah mendorong
peningkatan harga jagung di dalam negeri maupun di pasar international.
Harga jagung di pasar dunia pada tahun 2004 adalah 111,8 dolar AS/ton,
turun menjadi 98,7 dolar AS pada tahun 2005, naik menjadi 121,9 dolar AS
pada tahun 2006 dan mencapai 160,9 dolar AS pada periode Januari-Agustus
2007. Harga jagung diperkirakan akan terus meningkat karena meningkatnya
permintaan untuk industri etanol sebagai bahan bakar nabati (BBN).
485Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Tab
el
5.
Sim
ula
si
po
la
tan
am
o
pti
ma
l d
i D
AS
B
ran
tas
Jaw
a
Tim
ur.
Periode (
Bula
n)
DA
S H
ulu
D
AS
Tengah
DA
S H
ilir
Agre
gat
Musim
G
rup k
om
oditas
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
ha
%
ha
%
ha
%
ha
%
Padi 1.
1.9
53
15,9
4.2
10
14,6
3.5
78
13,1
9.4
72
14,2
2
.
5.8
65
47,6
13.6
72
47,3
13.2
43
48,4
32.7
79
47,8
3
.
- -
5.3
27
18,4
2.0
87
7,6
7.4
14
10,8
4
.
2.5
64
20,8
715
2,5
4.1
58
15,2
7.4
37
10,8
Tota
l padi
10.3
82
84,3
23.9
24
82,8
23.0
66
84,3
57.3
72
83,6
Pal/h
ort
. 1
.
581
4,7
1.9
14
6,6
1.3
84
5,1
3.8
79
5,7
2.
145
1,2
-
- -
- 145
0,2
3.
414
3,4
1.0
72
3,7
733
2,7
2.2
20
3,2
Musim
huja
n
(MT
I)
Tota
l pal/hort
.
1.1
41
9,3
2.9
86
10,3
2.1
17
7,8
6.2
44
9,1
Padi 1
.
2.9
49
23,9
7.1
96
24,9
5.6
96
20,8
15.8
40
23,1
2.
3.6
29
29,5
9.4
93
32,8
10.3
79
37,9
23.5
00
34,3
3.
902
7,3
961
3,3
581
2,1
2.4
43
3,6
Tota
l padi
7.4
79
60,7
17.6
49
61,6
16.6
56
60,9
41.7
84
60,9
Pal/h
ort
. 1.2
-
- 743
2,6
-
- 743
1,1
1.3
-
- 4.3
67
15,1
1.1
72
4,3
5.5
38
8,1
1.4
.
2.5
43
20,6
715
2,5
4.1
58
15,2
7.4
16
10,8
Pal/h
ort
. 2.2
1.4
05
11,4
3.4
36
11,9
2.8
63
10,5
7.7
05
11,2
2.3
-
- -
- 334
1,2
334
0,5
2.4
95
0,8
-
- -
- 95
0,1
Musim
kem
ara
u
(MT
II)
Tota
l pal/hort
.
4.0
43
32,8
9.2
61
32,0
8.5
28
31,2
21.8
32
31,8
Padi 1
.
473
3,8
1.1
01
3,8
-
- 1.5
73
2,3
Padi 4
.
-
- 17
0,1
1.0
34
3,8
1.0
50
1,5
Tota
l padi
473
3,8
1.1
17
3,9
1.0
34
3,8
2.6
24
3,8
Pal/h
ort
. 1.1
3.8
82
31,5
8.0
06
27,7
4.0
14
14,7
15.9
02
23,2
Pal/h
ort
. 1.2
-
- 3.7
54
13,0
4.2
96
15,7
8.0
50
11,7
Pal/h
ort
. 1.4
1.3
40
10,9
689
2,4
3.1
24
11,4
5.1
63
7,5
Pal/h
ort
. 2.1
-
- 1.5
25
5,3
4.5
45
16,6
6.0
70
8,9
Pal/h
ort
. 2.3
1.4
50
11,8
-
- -
- 1.4
50
2,1
Pal/h
ort
. 2.4
1.3
69
1,1
5.3
27
18,4
1.8
58
6,8
8.5
54
12,5
Tota
l pal/hort
.
8.0
41
65,3
19.3
11
66,8
17.8
37
65,2
45.1
89
65,9
Musim
kem
ara
u
MT
I II
T e
b u
798
6,5
1.9
94
6,9
2.1
79
8,0
4.9
71
7,2
Tota
l seta
hun
Tota
l k
om
oditas
486 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Kenaikan harga terkait dengan meningkatnya harga minyak bumi yang
sudah mendekati 100 dolar AS/barel. Dalam Gambar 6 disajikan per-
kembangan harga relatif jagung dan kedelai. Penurunan harga kedelai sejak
1993 disebabkan oleh deregulasi perdagangan dan harga kedelai pada tahun
1993.
Pada Gambar 6 terlihat pula bahwa harga jagung mulai meningkat setelah
tahun 2000, sejalan dengan peningkatan harga jagung di pasar dunia yang
dipacu oleh peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku untuk
industri bahan bakar nonmigas/nabati.
Pada Gambar 7 dan 8 disajikan perkembangan harga jagung di pasar
dunia dalam periode 2003-2007, terlihat jelas kenaikan harga jagung yang
tajam sejak 2005. Harga perdagangan internasional jagung pada bulan Juni
2007 mencapai 165,2 dolar AS/ton dan turun menjadi 151,2 dolar AS/ton
pada bulan Agustus 2007 (World Bank 2007b). Berdasar perkiraan yang
disimulasikan oleh IFPRI (2006) dengan berbagai skenario pertumbuhan
biofuel, harga jagung diperkirakan dapat meningkat 20-41% pada tahun
2010 dan 2020, dibandingkan dengan harga pada tahun 2007. Kenaikan
harga jagung akan mempengaruhi ketahanan pangan dan industri pakan,
dan tentunya juga mempengaruhi pendapatan petani.
Gambar 6. Perkembangan harga relatif jagung dan kedelai terhadap harga beras.
(Sumber: BPS Statistik Indonesia 1984-2006).
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
19
84
19
85
19
86
19
87
19
88
19
89
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
Harg
a (
do
lar
AS
/t)
Jagung
Kedelai
487Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Gambar 7. Perkembangan harga jagung di pasar dunia, 2000-2007
(Sumber: World Bank 2007c)
Gambar 8. Perkembangan harga jagung ekspor Amerika Serikat, 2003-2007.
(Sumber: USDA/ERS/FAS/ 2007).
PERUBAHAN STRUKTUR PERMINTAAN JAGUNG
Sebelum tahun 1980an jagung dikenal sebagai komoditas pangan utama
setelah beras, karena merupakan makanan pokok sebagian penduduk
Indonesia seperti di Madura, beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan beberapa kabupaten di
Sulawesi. Dengan berkembangnya industri peternakan maka terjadi
perubahan pola komsumsi jagung di Indonesia.
40
80
120
160
200
Jan-00 Jan-01 Jan-02 Jan-03 Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08
Harg
a(d
ola
rA
S/t
)
40
80
120
160
200
Jan-00 Jan-01 Jan-02 Jan-03 Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08
Harg
a(d
ola
rA
S/t
)
75
100
125
150
175
200
225
Ha
rga
(dola
rA
S/t)
Sep-0
3
De
s-0
3
Mar-
04
Ju
n-0
4
Sep-0
4
De
s-0
4
Mar-
05
Ju
n-0
5
Sep-0
5
De
s-0
5
Mar-
06
Ju
n-0
6
Sep-0
6
De
s-0
6
Mar-
07
Ju
n-0
7
Se
p-0
7
Sorgum
Jagung
75
100
125
150
175
200
225
Ha
rga
(dola
rA
S/t)
Sep-0
3
De
s-0
3
Mar-
04
Ju
n-0
4
Sep-0
4
De
s-0
4
Mar-
05
Ju
n-0
5
Sep-0
5
De
s-0
5
Mar-
06
Ju
n-0
6
Sep-0
6
De
s-0
6
Mar-
07
Ju
n-0
7
Se
p-0
7
Sorgum
Jagung
488 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Berdasarkan perkiraan USDA (PSD 2006), konsumsi jagung untuk pakan
pada tahun 1982 baru mencapai 867.000 ton (19% dari total produksi jagung
dalam negeri). Angka ini meningkat menjadi 3,27 juta ton pada tahun 1998
(42,1% dari total produksi) dan 3,75 juta ton (51% dari total produksi) pada
tahun 2004. Pada tahun 2004 konsumsi jagung sebagai pangan diperkirakan
hanya sekitar 3,0 juta ton (42% dari total produksi). Indonesia selalu menjadi
net importer jagung sejak 1992, kecuali pada saat krisis ekonomi 1997/98,
Indonesia kembali menjadi net exporter karena merosotnya penggunaan
jagung untuk pakan. Impor jagung Indonesia pada tahun 2006/07 mencapai
1,9 juta ton (Food Outlook 2007).
Dengan tingkat konsumsi daging yang masih rendah, peningkatan
pendapatan dan urbanisasi akan mengubah pola konsumsi penduduk ke
komoditas peternakan (ADB 2006). Peningkatan konsumsi produk
peternakan akan memacu permintaan jagung untuk pakan ternak. Di
samping itu, permintaan jagung untuk industri pangan olahan juga akan
meningkat. Dengan perubahan ini maka jagung bukan lagi sebagai
komoditas pangan pokok, tapi telah berubah menjadi bahan baku industri.
Hal ini memerlukan penyesuaian dalam pengembangan jagung di masa
depan .
Tingkat konsumsi daging di Indonesia pada tahun 2005 hanya 3,0 kg/
kapita daging ayam ras, sedangkan di Malaysia telah mencapai 38,1 kg/
kapita, dan Thailand 11,9 kg/kapita/tahun (FAS/ERS/USDA 2007).
Sebagai indikator daya beli, pengeluaran/kapita/bulan penduduk pada
tahun 2005 berdasarkan harga konstan 1993 adalah 90,2 dolar AS di
Indonesia, 154,5 dolar AS di Thailand, dan 382,9 dolar AS di Malaysia. Dengan
meningkatnya pendapatan maka tingkat konsumsi daging dan produk
hortikultura juga akan meningkat. Peningkatan konsumsi produk
peternakan akan mencapai di atas 5% per tahun dan ini akan menyebabkan
permintaan jagung untuk pakan akan meningkat di atas 4% per tahun.
Selama ini peningkatan produksi jagung hanya sekitar 3% per tahun. Oleh
karena itu, impor jagung akan terus berlanjut, sebagaimana diperkirakan
oleh FAO (2007) dan ERS/USDA (2007). Pendapatan nasional per kapita pada
tahun 2006 adalah 1.420 dolar AS di Indonesia, 2.990 dolar AS di Thailand,
dan 5.490 dolar AS di Malaysia. Paritas daya beli pendapatan nasional (PPP
GNI) pada tahun 2006 adalah 3.950 dolar AS di Indonesia, 9.140 dolar AS di
Thailand, dan 11.300 dolar AS di Malaysia (World Bank 2007). Tingkat
pendapatan dan urbanisasi juga akan mempengaruhi pola konsumsi rumah
tangga.
Dalam Tabel 6 disajikan perubahan pola konsumsi penduduk Indonesia
selama dua dasawarsa yang lalu. Data ini konsisten dengan data yang
disajikan dalam Gambar 9, di mana konsumsi beras sudah mulai menurun,
489Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
sedangkan konsumsi daging, telur, dan ikan meningkat. Pengeluaran pen-
duduk Indonesia untuk beras dan serealia lainnya rata-rata 20% dari total
pengeluaran. Angka yang sama juga dikeluarkan untuk daging, buah-
buahan, dan sayuran, dibandingkan dengan tahun 1980, adalah 39%
pengeluaran untuk pangan pokok beras dan sereal (World Bank 2007a).
Perubahan pola konsumsi produk peternakan yang cepat ini merupakan
salah satu indikasi telah terjadinya revolusi di bidang peternakan (Delgado
et al. 1999).
Tabel 6. Perubahan konsumsi bahan makanan di Indonesia, 1984-2002.
Konsumsi (kg/kapita/tahun)
Bahan makanan
1 9 8 4 1 9 8 7 1 9 9 0 1 9 9 3 1 9 9 6 1 9 9 9 2 0 0 2
B e r a s 1 0 6 , 6 1 1 6 , 5 1 1 8 , 1 1 1 6 , 0 1 1 1 , 2 1 0 3 , 5 1 0 0 , 0
J a g u n g 1 9 , 8 1 1 , 0 9 , 0 7 , 3 1 1 , 4 1 3 , 4 1 2 , 5
U m b i - u m b i a n 2 4 , 0 2 4 , 0 2 2 , 4 2 0 , 0 1 1 , 5 1 2 , 8 1 1 , 6
I k a n 1 2 , 1 1 2 , 5 1 4 , 2 1 5 , 1 1 5 , 3 1 2 , 9 1 5 , 4
Daging sapi 0 , 5 0 , 5 1 , 0 4 1 , 0 4 0 , 8 0 0 , 5 2 0 , 5 3
Daging ayam 1 , 0 4 1 , 8 7 1 , 9 2 2 , 2 8 3 , 5 4 1 , 7 2 3 , 2 8
Te l u r 1 , 5 6 2 , 6 0 2 , 6 0 3 , 1 2 4 , 5 8 3 , 1 2 4 , 9 4
Minyak makan 3 , 7 5 5 , 0 0 5 , 8 3 6 , 6 6 7 , 1 2 6 , 9 5 8 , 2 0
G u l a 8 , 4 0 9 , 1 0 9 , 5 0 9 , 5 2 1 0 , 0 2 9 , 2 0 1 0 , 3 0
Sumber: BPS, Susenas (1990, 1993, 1996, dan 2002).
Gambar 9. Perkembangan pola konsumsi negara berkembang
(Sumber: World Development Report 2008).
0
50
100
150
200
1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002
Ko
nsu
msi/kapita
/hari
Hortikultura
Daging
Serealia
250
0
50
100
150
200
1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 20021981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002
Ko
nsu
msi/kapita
/hari
Hortikultura
Daging
Serealia
250
490 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Data dalam Tabel 6 juga memperlihatkan total konsumsi jagung sebagai
makanan pokok menurun dan konsumsi daging ayam meningkat dengan
cepat. Untuk memproduksi 1 kg daging ayam diperlukan sekitar 3 kg jagung.
Angka ini menunjukan bahwa peningkatan konsumsi jagung dihela oleh
meningkatnya konsumsi produk peternakan, sedangkan konsumsi jagung
sebagai makanan pokok menurun.
Di samping ayam ras, komoditas peternakan yang juga memerlukan
pakan dengan bahan baku jagung adalah sapi perah. Pada tahun 2005
konsumsi susu bubuk mencapai 196.000 MT, sekitar 167.000 MT di antaranya
diimpor. Konsumsi susu bubuk meningkat dengan laju 5% per tahun.
Keinginan untuk meningkatkan pangsa produksi susu dalam negeri juga
akan mendorong permintaan jagung dalam negeri.
Faktor lainnya yang juga akan mempengaruhi pasar jagung internasional
adalah peningkatan konsumsi etanol untuk bahan bakar kendaraan ber-
motor, meningkatnya harga minyak bumi dalam lima tahun terakhir. Di
Amerika Serikat dan Brazil, jagung juga digunakan sebagai bahan baku
etanol (ERS/USDA 2007).
Data pada Gambar 10 menunjukkan adanya peningkatan penggunaan
jagung untuk industri etanol di Amerika Serikat. Hal ini akan mempengaruhi
harga jagung di pasar dunia seperti terlihat pada Gambar 11. Tren harga
jagung didasarkan atas perkiraan harga minyak bumi tidak lebih dari 85
dolar AS/barel pada tahun 2016. Apabila harga minyak bumi di atas 80 dolar
AS/barel, maka harga jagung juga akan berubah. Harga minyak bumi pada
Nopember 2007 sudah mencapai 96 dolar AS/barel. Peningkatan produksi
Gambar 10. Perkembangan dan perkiraan permintaan jagung Amerika Serikat, 1980-2015
(Sumber: ERS/USDA: Agricultural Projections to 2016, February 2007).
Penggunaan dalam negeri
Etanol
Ekspor
20152010200520001995199019851980
0
2
4
6
8
10
12
Mily
ar
bushe
l
Penggunaan dalam negeri
Etanol
Ekspor
20152010200520001995199019851980
0
2
4
6
8
10
12
Mily
ar
bushe
l
Penggunaan dalam negeri
Etanol
Ekspor
20152010200520001995199019851980
0
2
4
6
8
10
12
Mily
ar
bushe
l
491Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Gambar 11. Perkiraan harga jagung, gandum, dan kedelai Amerika Serikat, 1980-2015
(Sumber: ERS/USDA: Agricultural Projections to 2016. February 2007).
etanol di Amerika Serikat di samping didorong oleh peningkatan harga
minyak bumi, juga mendapatkan insentif dari pemerintah. Bantuan
pemerintah Amerika Serikat untuk produksi etanol diperkirakan 0,38-0,49
dolar AS/barel setara minyak bumi. Peningkatan harga jagung di pasar dunia
sebesar 23% pada tahun 2006 dan bahkan 60% pada tahun 2005 adalah
akibat peningkatan penggunaan jagung untuk industri etanol (World Bank
2007c).
Untuk memproduksi 100 liter etanol (bahan bakar kendaraan bermotor)
diperlukan 240 kg jagung, setara dengan konsumsi pangan seorang
penduduk/tahun. Dengan demikian kompetisi permintaan jagung untuk
pangan dan bahan bakar akan makin meningkat. Di Amerika Serikat pada
tahun 2006/07, sekitar 20% produksi jagung digunakan untuk etanol yang
hanya mampu mensubstitusi 3% kebutuhan bahan bakar minyak di negara
ini. Di Indonesia, penggunaan jagung untuk biofuel sebaiknya dihindari,
dan diganti dengan komoditas lainnya seperti jarak pagar (World Bank
2007b). Hal yang sama juga terjadi pada minyak makan, akibat naiknya harga
minyak kelapa sawit di pasar dunia karena sebagian digunakan untuk
biodiesel di Eropa dan beberapa negara lainnya.
Penelitian menunjukan bahwa pengembangan areal kelapa sawit
dengan mengkonversi hutan dan lahan rawa akan menghilangkan fungsi
hutan sebagai pengendali emisi gas rumah kaca (GRK) untuk beberapa
lama. Dengan demikian, perluasan perkebunan kelapa sawit untuk produksi
biodiesel kurang tepat dan berdampak negatif terhadap kelestarian
lingkungan (World Bank 2007a).
Kedelai
Gandum
Jagung
20152010200520001995199019851980
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Dola
rA
S p
er
bushe
l
Kedelai
Gandum
Jagung
20152010200520001995199019851980
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Dola
rA
S p
er
bushe
l
492 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
IMPLIKASI BAGI PENELITIAN JAGUNG
Diperkirakan saat ini penyebaran jagung hibrida di Indonesia sudah
mendekati 40% dari total areal jagung. Penyebaran jagung lokal untuk
makanan pokok masih sekitar 25% dari areal tanam jagung. Di Madura,
lebih dari 90% areal tanam jagung menggunakan varietas lokal, demikian
juga di Nusa Tenggara Timur. Produktivitas jagung lokal 1,5 t/ha, sedangkan
jagung hibrida 6,0 t/ha. Ketimpangan produktivitas ini disebabkan karena
belum adanya terobosan teknologi jagung lokal untuk konsumsi pangan
(Kasryno 2005).
Prioritas penelitian lembaga penelitian publik hendaknya lebih difokus-
kan kepada upaya peningkatan produktivitas jagung bersari bebas untuk
konsumsi penduduk. Penelitian jagung hibrida dapat diserahkan kepada
lembaga penelitian swasta. Kalaupun penelitian jagung hibrida, perlu
diarahkan pada target pengembangan tertentu yang belum ditangani
swasta, misalnya sesuai daerah kering, berkualitas baik, dan sebagainya.
Lembaga penelitian publik hendaknya melakukan penelitian secara
komprehensif, mencakup perbenihan, budi daya, panen, dan pengolahan
hasil untuk meningkatkan efisiensi produksi, dan penelitian biokimia jagung.
Dengan berkembangnya permintaan jagung untuk industri pakan,
lembaga penelitian publik perlu merintis penelitian substitusi jagung untuk
pakan dengan komoditas pertanian lainnya, atau limbah pengolahan hasil
pertanian, seperti limbah pengolahan kelapa sawit, kakao, dan kopi. Perlu
pula adanya penelitian perbaikan genetik ayam kampung agar tidak me-
merlukan pakan konsentrat, sehingga permintaan jagung untuk industri
pakan bisa dikurangi.
Penelitian hendaknya lebih berorientasi pada pemecahan masalah yang
dihadapi petani di lapangan (demand driven) dan lebih banyak pula
melakukan penelitian bersama petani (joint innovation). Pada dasarnya
petani lebih tekun melakukan pengamatan terhadap pertanamannya karena
menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) yang ada di setiap provinsi dituntut kemampuannya
memahami kondisi pertanian di daerahnya, tidak sebagai pelaksana
penelitian tetapi sebagai mitra balai penelitian komoditas dalam mengkaji
dan mengembangkan teknologi.
Paradigma penelitian yang dalam era revolusi hijau adalah supply driven,
sudah berlalu, lingkungan strategis telah berubah, maka paradigma
penelitian juga harus berubah mengarah demand driven. Tanpa perubahan
paradigma penelitian, lembaga penelitian publik menjadi kurang
bermanfaat bagi petani. Petani senantiasa membutuhkan teknologi, apalagi
di daerah tertinggal.
493Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
KESIMPULAN
1. Telah terjadi perubahan yang sangat mendasar pada ekonomi jagung
Indonesia, dari yang semula sebagai bahan pangan pokok setelah padi
dan komoditas lahan kering menjadi komoditas bahan baku industri
dan kamoditas lahan beririgasi atau lahan basah. Perubahan ini
membawa berbagai implikasi dalam pengembangan jagung di masa
depan. Di samping itu juga terjadi segmentasi dari komoditas jagung,
jagung untuk bahan baku industri memiliki persyaratan tertentu yang
berbeda dengan jagung untuk konsumsi pangan. Semua perubahan
ini mempunyai implikasi tersendiri bagi kebijakan pengembangan
jagung.
2. Revolusi hijau pada jagung didorong oleh perubahan pola permintaan
(demand driven) dan tumbuhnya kemitraan antara petani dan swasta,
sedangkan revolusi hijau pada padi sawah adalah karena adanya
terobosan teknologi budi daya (supply driven). Industri peternakan dan
industri benih memegang peranan penting dalam pengembangan
jagung, sedangkan pada komoditas beras peran pemerintah sangat
m e n o n j o l .
3. Sistem usahatani jagung sudah memasuki sistem industrial, di mana
sekitar 60% kebutuhan jagung digunakan untuk industri pakan dan
makanan, dan sekitar 60% dari total biaya tunai usahatani jagung
digunakan untuk pembelian sarana produksi dan sewa alat pertanian.
Akan tetapi, usahatani jagung masih tetap dikelola oleh petani kecil.
4. Perubahan ekosistem jagung ke lahan sawah beririgasi merupakan titik
awal perubahan pola usahatani pada lahan beririgasi. Di beberapa
daerah telah terjadi pula peningkatan penggunaan lahan sawah
beririgasi untuk usahatani komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi
seperti sayuran dan buah-buahan.
5. Perubahan ini menghendaki perubahan teknologi irigasi dan drainase
lahan sawah beririgasi, karena pengairan sawah konvensional hanya
dirancang untuk usahatani padi.
6. Dengan berubahnya ekonomi jagung maka fokus lembaga penelitian
publik adalah menangani jagung untuk konsumsi rumah tangga.
Penelitian jagung hibrida untuk bahan baku industri lebih baik menjadi
tugas lembaga penelitian swasta yang selama ini telah berperan dalam
pengembangan jagung hibrida. Sampai saat ini, varietas jagung hibrida
yang ditanam petani hampir seluruhnya dihasilkan oleh lembaga
penelitian swasta. Lembaga penelitian publik dapat melakukan penelitian
jagung unggul bersari bebas untuk mengimbangi varietas jagung hibrida
swasta. Dengan demikian akan ada berbagai pilihan teknologi yang akan
diadopsi petani.
494 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
7. Di sentra utama produksi jagung (Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung,
dan Sumatera Utara), pangsa areal tanam jagung hibrida sudah di atas
50% dan cenderung meningkat. Peningkatan ini antara lain dengan
mengganti jagung lokal dan atau jagung komposit dengan jagung
hibrida, karena memiliki keunggulan komparatif. Produktivitas jagung
nasional 3,5 t pipilan kering/ha, diperkirakan pangsa areal jagung hibrida
sekitar 50%. Data ini konsisten dengan produktivitas jagung Thailand
yang juga sekitar 3,5 t/ha dengan pangsa jagung hibrida 60%.
8. Lembaga penelitian publik bukan hanya sebatas menghasilkan varietas
unggul, tetapi juga harus aktif mempromosikan teknologi dan varietas
unggul yang dihasilkan. Ini dapat dilakukan dengan membina petani
dalam pengembangan dan penangkaran benih unggul. Promosi ini
dapat dilakukan oleh BPTP bekerjasama dengan petani. Tanpa aktif mem-
promosikan dan memasarkan varietas unggul, maka adopsi teknologi
akan berjalan lambat dan benih unggul tetap tersimpan di lembaga
penelitian. Kebijakan ini telah dijalankan oleh industri benih swasta.
9. Bagi lembaga penelitian publik, promosi dan penyebaran benih unggul
akan membantu dalam menjaring umpan balik mengenai varietas
unggul yang dihasilkan dan mendapatkan informasi tentang kebutuhan
teknologi petani (demand driven).
10. Fokus lembaga penelitian publik dalam menghasilkan teknologi budi
daya jagung juga perlu diarahkan pada ekosistem lahan kering di
Kawasan Timur Indonesia, yang selama ini belum banyak mendapat
sentuhan teknologi.
11. Laju pertumbuhan produksi jagung selama ini sekitar 3% per tahun,
sementara laju permintaan jagung untuk industri pakan sekitar 5% per
tahun, maka Indonesia akan tetap mengimpor jagung sebesar 1,2-2,0
MT per tahun. Harga jagung di pasar dunia cenderung meningkat.
Peningkatan ini akan meningkatkan keunggulan kompetitif dan
komparatif usahatani jagung, sehingga penanaman jagung di lahan
sawah beririgasi cenderung naik, terutama pada MT II dan MT III (MK I
dan MK II).
12. Belajar dari pengalaman pengembangan jagung di Indonesia selama
ini maka fokus kebijakan pemerintah adalah: (a) penelitian dan
pengembangan secara komprehensif seluruh aspek budi daya dan
pascapanen, pengolahan hasil, pemasaran, dan promosi pasar (tech-
nological capital); (b) pengembangan sumber daya manusia petani
melalui Sekolah Lapang Petani (human capital) dan sekaligus melibatkan
petani dalam inovasi ( joint innovation); (c) pengembangan kelembagaan
(social capital) petani sebagai kegiatan lanjutan Sekolah Lapang Petani;
(d) investasi prasarana irigasi dan drainase yang lebih fleksibel (physical
capital); dan (e) investasi prasarana ekonomi dan pedesaan.
495Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aquino, P., F. Currion, and R. Calvo. 1999. Selected maize statistics. In World
Maize Facts and Trends 1997 per 1998. CIMMYT, Mexico.
BPS. 1969-1971, 1979-1981, 1989-1991, 1998-2006. Produksi padi dan palawija
di Jawa dan Indonesia. BPS. Jakarta.
BPS. 1999. 2003. Survei sosial ekonomi nasional 1990, 1999, dan 2002. (Data
Base). BPS Jakarta.
BPS. 2000, 2003, dan 2005. Luas lahan pertanian menurut penggunaannya
di Indonesia BPS, Jakarta.
Chainuvati, C. 1997. Seed extension in Thailand. Department of Agricultural
Extension, Ministry of Agriculture and Cooperative of Thailand.
Bangkok .
Delgado, C., M.W. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui, and C. Courbois. 1999.
Live-stocks to 2020. The next food revolution. IFPRI, Washington D.C.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1998-2004. Statistik Peternakan Indonesia
1998-2004. Dit. Peternakan. Jakarta.
Erwidodo dan Ning Pribadi. 2002. Produksi dan permintaan jagung di
Indonesia: perkembangan dan proyeksi. Badan Ketahanan Pangan,
Departemen Pertanian. Jakarta.
Falvey, L. 2000. Thai agriculture: golden cradle of millenia. Kasetsart Uni.
Press. Bangkok.
Fang, Cheng, and J. Fabiola. 2002. Does the U.S. Midwest have a cost
advantage over China in producing corn, soybeans, and hogs.
MATRIC Research Paper 02-MRP, 4 August 2002. Iowa State Univesity,
Ames Iowa.
FAO. 2001. Review of basic food policies. Rome.
FAO. 2007. Food outlook, June 2007. Rome.
Foreign Agricultural Service. 2007. Production, supply, and demand (PSD).
Data for world agriculture. FAS, USDA,February, 2002. Washington
D.C.
Gonzales, L.A., Faisal Kasryno, N.D. Perez, and M.W. Rosegrant. 1992.
Economic insentives and comparative advantage in Indonesian food
crop production. IFPRI Research Report 93. IFPRI. Washington D.C.
Heisey, P.W. and G.O. Edmeades. 1999. Maize production in drought-stressed
environment. In World Maize Facts and Trends 1997 per 1998. CIMMYT,
Mex ico .
496 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Kasryno, F. 2005. Highlight of corn economic development and its commodity
policy in Indonesia. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi
(Eds.). Ekonomi jagung Indonesia, cet. II. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Kasryno, F. 2005. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia dan
implikasinya bagi Indonesia. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan
A.M. Fagi (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia, cet. II. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M. Fagi. 2005. Dinamika produksi dan
pengembangan sistem komoditas jagung Indonesia. Dalam: F.
Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Eds.). Ekonomi jagung
Indonesia, cet. II. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Lence, Sergio H. 2000. A comparative marketing analysis of major agricultural
products in the United States and Argentina. MATRIC Research Paper
00-MRP 2.CARD Iowa State University, Ames, Iowa. June 2000.
Mink, S.D., P.A. Dorosh, and D.H. Perry. 1987. Corn production systems. In C.
P. Timmer (Ed.). The corn economy of Indonesia. Cornell Univ. Press
Ithaca and London.
Nugraha, U., Subandi, A. Hassanudin, dan Subandi. 2003. Perkembangan
teknologi budi daya dan industri benih. Dalam: F. Kasryno, E.
Pasandaran, B. Tangejaya, dan U. Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Pingali, P. 2001. CIMMYT, World maize facts and trends 1999 per 2000. Meeting
World Maize Needs: Technological Opportunities and Priorities for
the Public Sector. CIMMYT, Mexico.
Pingali, P. and S. Pandey. 2001. Meeting world maize needs: technological
opportunities and priorities for the public sector. In: P. Pingali (Ed.).
World maize facts and trends 1999 per 2000. CIMMYT, Mexico.
Reardon, T. and C. B. Barret. 2000. Agroindustrilization, globalization, and
international development. An overview of issues, patterns, and
determinants. Agricultural Economics 23 (2000):195-205.
Rosegranrt, M.W., M.S. Paisner, S. Meir, and Julie Witcover. 2001. Global food
projection to 2020: emerging trends and alternatives futures. IFPRI,
Washington D.C.
Schnepf, R.D, Erik Dohlman, and C. Bolling. 2001. Agriculture in Brazil and
Argentina, developments prospects for major field crops. WRS-01-3.
USDA, Agriculture and Trade Report. Washington D.C.
497Kasryno et al.: Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia
Simatupang, P. 2003. Daya saing dan efisiensi usahatani jagung hibrida
Indonesoia. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, B. Tangenjaya, dan U.
Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Sumaryanto. 2003.Usahatani jagung di lahan sawah beririgasi: kasus daerah
aliran sungai (DAS) Brantas. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, B.
Tangejaya, dan U. Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.
Sumaryanto. 2006. Iuran berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan
efisiensi penggunaan air irigasi: pendekatan dan analissis faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Disertasi Doktor: IPB, Bogor.
Sumaryanto; M. Siregar, and M. Wahida. 2001. Socio economic analysis of
farm households in irrigated area of Brantas River Basin. Paper
presented in IFPRI Seminar on Irrigation Investment, Fiscal Policy,
and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam. Issues,
Concept, and Modeling Workshop. June 2001. IFPRI, Washington
D.C.
Tangenjaya, B., Y. Yusdja, dan Nyak Ilham. 2003. Analisa ekonomi permintaan
jagung untuk pakan. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, B. Tangejaya,
dan U. Nugroho (Eds.). Ekonomi jagung Indonesia. Badan Litbang
Pertanian, 2003. Jakarta.
Timmer, C.Peter. 1987. The corn economy of Indonesia. Cornell University
Press. Ithaca and London.
World Bank. 2007a. Agriculture for Development, World Development Report
2008. World Bank, Washington D.C.
World Bank. 2007b. Commodity prospect April 2007. World Bank,
Washington D.C.
World Bank. 2007c. Commodity price (pink sheet), September 2007. World
Bank Washington D.C. (Electronic Data Base).