gambaran epidemiologi penyakit demam berdarah dengue serta
TRANSCRIPT
Gambaran Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue serta Hubungannya dengan Kepadatan Penduduk dan Angka Bebas Jentik
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 – 2013
Agung Winasis, Syahrizal Syarif
1. Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2. Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia karena hampir terjadi setiap tahun. DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Kota Tangerang Selatan. Incidence rate (IR) DBD di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 52 per 100.000 penduduk (2011), 60 per 100.000 penduduk (2011) dan 54 per 100.000 penduduk (2013). Skripsi ini membahas mengenai gambaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) menurut variabel epidemiologi yaitu variabel orang, variabel tempat dan variabel waktu serta hubungannya dengan kepadatan penduduk dan angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 – 2013. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan studi ekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 2011 – 2013 penderita DBD terbanyak adalah jenis kelamin laki-laki, pada golongan umur > 15 tahun dan kasus tertinggi terjadi di bulan Desember (2011) dan bulan Juni (2012 dan 2013). Penelitian menunjukkan bahwa tidak cukup bukti untuk membuktikan bahwa antara kepadatan penduduk dan angka bebas jentik berhubungan dengan incidence rate (IR) DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 – 2013.
A Description Epidemiology of A Dengue Haemorrhagic Fever and its Relation with Population Density and Larvae Free Numbers in Tangerang Selatan City
Year 2011 – 2013
Abstrack Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still a serious health problem in Indonesia because almost happens every year. DHF is also still a health problem in Tangerang Selatan City. Incidence rate (IR) of DHF in Tangerang Selatan city was 52 per 100,000 inhabitants (2011), 60 per 100,000 inhabitants (2011) and 54 per 100,000 inhabitants (2013). This thesis discusses the overview of dengue hemorrhagic fever (DHF) according to the epidemiological variables (person, place, time) variables and its relation to population density and larvae-free numbers in Tangerang Selatan City in 2011-2013. This study is a descriptive research approach to ecological studies. The results showed that during 2011 - 2013 is the highest DHF male gender, the age group > 15 years and the highest cases occurred in December (2011) and June (2012 and 2013). Research shows that there is sufficient evidence to prove that the population density and larvae-free numbers associated with incidence rate (IR) of DHF in Tangerang Selatan City in 2011-2013. Keywords: Tangerang Selatan, dengue hemorrhagic fever, incidence rate Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan
oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp yang terinfeksi virus
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Dengue. Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor utama penyakit DBD
(Kemenkes RI, 2013).
Dengue atau demam berdarah dilaporkan pada abad kesembilan belas dan awal abad
kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania timur, Asia dan Australia,
dan di berbagai pulau di Samudra Hindia, selatan dan tengah Pasifik dan Karibia. Setiap tahun
diperkirakan ada 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkan sekitar 24.000 kematian. Di
Asia Tenggara, penyakit DBD pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953. Selama
tiga dekade berikutnya, DBD ditemukan di Kamboja, Cina, India, Indonesia, Republik
Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Maladewa, Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Vietnam,
dan beberapa kelompok pulau Pasifik (WHO, 1997).
Di Indonesia demam berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun
1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (angka
kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir.
Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota
yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 provinsi (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada
tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009 (Buletin Jendela
Epidemiologi, Vol. 2, Agustus 2011).
Pada tahun 2011 penyakit dengue telah tersebar di 33 provinsi, 440 Kab/Kota. Kasus
DBD terbanyak dilaporkan di daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi, seperti provinsi-
provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Incidence Rate (IR) tahun 2011 telah mencapai
65,62/100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,87% (Ditjen PP & PL,
Kemenkes RI, 2011).
Pada tahun 2012 jumlah kasus DBD terbanyak di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663
kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta
(6.669 kasus). Provinsi-provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar dengan
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga merupakan salah satu faktor risiko
penyebaran DBD (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2013).
Di Provinsi Banten, menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten dari Januari
hingga pertengahan Februari 2014 ini telah terjadi 384 kasus demam berdarah dengue (DBD)
di Banten. Angka kasus DBD ini cukup tinggi dan mengalami kenaikan dibandingkan awal
2013 lalu. Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) pada Dinas
Kesehatan Provinsi Banten Didin Aliyudin menerangkan bahwa faktor meluasnya virus
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
dengue dari gigitan nyamuk Aedes aegypti itu antara lain adalah karena jumlah penduduk
semakin padat dan mobilisasi penduduk serta perilaku hidup sehat melalui pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) masih rendah (http://bantenraya.com, 2014).
Angka insiden (IR) DBD per 100.000 penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun
2010 sebesar 92,13. Pada tahun 2011 terjadi penurunan angka kesakitan sehingga IR juga
kecil yaitu 51,65 per 100.000 penduduk. Tahun 2011 tercatat 707 kasus dengan korban
meninggal dua orang. Pada 2012, jumlah kasus DBD mencapai 842 kasus dengan jumlah
korban meninggal sebanyak lima orang. Selain itu sebagai kota pengembangan baru yang
terus berkembang, Kota Tangerang Selatan pun mengalami pertambahan penduduk setiap
tahunnya. Data dari BPS Kota Tangerang Selatan selama kurun waktu 2011 – 2013 didapat
bahwa laju pertumbuhan penduduk diatas 3% pertahun.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran dan peningkatan kasus DBD
diantaranya pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, urbanisasi penduduk,
pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti yang lemah di daerah endemis DBD serta
meningkatnya mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lain.
Cara mencegah penyakit DBD masih terbatas pada memberantas nyamuk penularnya
karena belum ada vaksin pencegah DBD. Pemberantasan vektor DBD dipandang sebagai cara
yang paling memadai memutus rantai penularan DBD (Kemenkes, 2011). Pelaksanaannya di
masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah
Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Tujuannya adalah mengendalikan
populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
Ukuran keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan angka bebas jentik
(ABJ). Angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan cenderung meningkat dari 92,4%
(2011) menjadi 95,1% (2013) sehingga dapat diasumsikan potensi penularan di Kota
Tangerang Selatan cenderung menurun.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran penyakit DBD di Kota Tangerang
Selatan tahun 2011 – 2013 berdasarkan variabel epidemiologi orang, tempat dan waktu serta
hubungannya dengan faktor kepadatan penduduk dan angka bebas jentik.
Tinjauan Teoritis
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam 2-7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, jumlah trombosit < 100.000 /mm3, adanya tanda-tanda kebocoran
plasma (peningkatan hematokrit 20 % dari nilai normal, dan atau efusi pleura, dan atau
ascites, dan atau hypoproteinemia/albuminemia) dan atau hasil pemeriksaan serologis pada
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
penderita tersangka DBD menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja
atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris). (Modul
Pengendalian DBD, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2011).
Penyebab penyakit DBD adalah Arthrophod borne virus, famili Flaviviridae, genus
flavivirus. Virus dengue berukuran 50 nm dan memiliki single standard RNA. Virion-nya
terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris dan terbungkus dalam amplop
lipoprotein. Genome (rangkaian kromosom) virus dengue terbentuk dari tiga gen protein
struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C), membrane-associated protein (M) dan
suatu protein envelope (E) serta gen protein non struktural (NS). (WHO, 2009).
Virus dengue terdiri dari empat serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-
4 dan empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian
di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan
merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan
Dengue-4.
Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan menyebabkan
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat
serotipe virus tersebut mempunyai daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam
menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari
mereka (Kemenkes RI, 2011).
Vektor DBD adalah nyamuk yang dapat menularkan, memindahkan dan atau menjadi
sumber penular DBD. Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk yang bisa menularkan virus dengue
yaitu Aedes aegypti, Aedes albopictus dan Aedes scutellaris. Seseorang yang di dalam
darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular DBD. Virus dengue
ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes, khususnya Aedes aegypti
merupakan vektor epidemi yang paling utama (Kemenkes RI, 2011).
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor
dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur
vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan
penyakit (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2011). Pengendalian vektor DBD yang paling
efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik.
Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus.
Tujuan PSN-DBD adalah mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sasaran PSN-DBD yaitu semua tempat
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
perkembangbiakan nyamuk penular DBD seperti tempat penampungan air (TPA) untuk
keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA)
dan tempat penampungan air alamiah. Ukuran keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain
dapat diukur dengan angka bebas jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%
diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan melihat gambaran
epidemiologi penyakit DBD berdasarkan variabel orang, tempat dan waktu. Namun
berdasarkan pendekatan kasus yang diterapkan, penelitian ini juga dapat dikatakan
menggunakan rancangan penelitian korelasi, yaitu melihat korelasi antara faktor kepadatan
penduduk dan angka bebas jentik (ABJ) dengan insiden penyakit DBD di Kota Tangerang
Selatan tahun 2011 – 2013.
Populasi yang merupakan obyek telaah berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan yaitu seluruh insiden DBD yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan dari tahun 2011 – 2013. Selanjutnya sampel pada penelitian ini adalah
seluruh populasi atau seluruh insiden DBD yang tercatat di Dinas Kesehatan. Pada penelitian
ini tidak dilakukan sampling karena pengamatan dilakukan pada total populasi. Unit analisis
pengamatan adalah kecamatan (tingkat kecamatan).
Analisa data secara kuantitatif dilakukan dengan statistik deskriptif, mulai dari
pengumpulan data mentah, penyusunan tabel distribusi frekuensi, penyajian distribusi
frekuensi yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan dideskipsikan. Analisis bivariat digunakan
untuk melihat hubungan antara variabel independen (kepadatan penduduk dan angka bebas
jentik) dengan angka insiden DBD. Uji yang digunakan adalah uji korelasi yaitu untuk
mengetahui keeratan hubungan dan pola hubungan dengan melihat nilai koefisien korelasi (r)
dengan nilai p value <0,05 dan Confident Interval (CI) 95%.
Hasil dan Pembahasan
1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan tahun 2011 – 2013 disajikan pada tabel
dibawah ini.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Tabel 1
Jumlah Penduduk Kota Tangerang Selatan Menurut Kecamatan Tahun 2011 – 2013
No Kecamatan Jumlah Penduduk 2011 2012 2013
1 Pamulang 302.186 313.212 324.238 2 Ciputat 205.186 210.295 215.404 3 Ciputat Timur 192.020 195.648 199.276 4 Setu 68.065 72.458 76.851 5 Serpong 143.910 150.127 156.344 6 Serpong Utara 132.277 138.405 144.533 7 Pondok Aren 321.714 331.620 341.526 Jumlah 1.365.358 1.411.765 1.458.172
Berdasarkan tabel diatas, setiap kecamatan di Kota Tangerang Selatan mengalami
peningkatan pertambahan penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2013, kecamatan Pondok
Aren merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak yaitu 341.526 jiwa, selanjutnya
diikuti kecamatan Pamulang sebanyak 324.238 jiwa. Kecamatan Setu merupakan kecamatan
yang paling sedikit penduduknya yaitu sebanyak 76.851 jiwa pada tahun 2013.
2. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan tahun 2011 – 2013 disajikan pada tabel
dibawah ini. Tabel 2
Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Selatan Menurut Kecamatan
Tahun 2011 – 2013
No Kecamatan Kepadatan Penduduk (km2) 2011 2012 2013
1 Pamulang 11.267 11.678 12.089 2 Ciputat 11.164 11.442 11.719 3 Ciputat Timur 12.445 12.680 12.915 4 Setu 4.599 4.896 5.193 5 Serpong 5.986 6.245 6.503 6 Serpong Utara 7.415 7.758 8.102 7 Pondok Aren 10.767 11.098 11.430
Tangerang Selatan 9.276 9.591 9.907
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa Kota Tangerang Selatan mengalami
peningkatan kepadatan penduduk per km2 setiap tahun. Kecamatan dengan kepadatan
penduduk tertinggi pada tahun 2011 – 2013 adalah kecamatan Ciputat Timur. Kepadatan
penduduk di kecamatan Ciputat Timur pada tahun 2013 yaitu 12.915 jiwa per km2. Diikuti
pada urutan kedua yaitu kecamatan Pamulang. Sedangkan kecamatan dengan kepadatan
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
penduduk terrendah pada tahun 2011 – 2013 adalah kecamatan Setu. Kepadatan penduduk di
kecamatan Setu pada tahun 2013 yaitu 5.193 jiwa per km2. Perbedaan kepadatan penduduk
antara kecamatan berpenduduk terpadat (Ciputat Timur) dengan kecamatan berpenduduk
terrendah (Setu) mencapai 2 kali lipat. Rata-rata kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan
adalah 9.276 jiwa per km2 (2011), 9.591 jiwa per km2 (2012) dan 9.907 per km2 (2013).
3. Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Orang Tahun 2011 – 2013
3.1. Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Umur Tahun 2011 – 2013
Distribusi frekuensi kasus DBD menurut umur dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3
Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Umur
di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
No Umur 2011 2012 2013 Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
1 <15 thn 313 44,27 220 26,13 202 25,83 2 >15 thn 394 55,73 622 73,87 580 74,17
Jumlah 707 100 842 100 782 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa selama 2011 – 2013 kasus DBD banyak ditemukan pada
kelompok umur >15 tahun. Proporsi DBD pada kelompok umur >15 adalah 55,7% (2011),
73,87% (2012), 74,2% (2013). Sedangkan pada kelompok umur <15 tahun adalah 44,2%
(2011), 26,1% (2012) dan 25,8% (2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Hakim (1997) di Kota Bogor tahun 1994 – 1996 juga
menunjukkan bahwa kasus DBD tertinggi berada pada golongan umur >15 tahun (1994 dan
1996) dan golongan umur <15 tahun (1995). Penelitian Hakim menemukan bahwa jumlah
kasus terrendah berada pada golongan umur <5 tahun. Penelitian serupa yang dilakukan di
Kota Depok oleh Dwirahmadi (2003) juga menemukan bahwa dari tahun 2000 – 2002 kasus
DBD pada kelompok umur >15 tahun besarnya mencapai 60%.
Melihat perkembangan kasus DBD di Kota Tangerang Selatan selama 2011 – 2013,
yang paling banyak terkena DBD adalah golongan umur >15 tahun. Golongan umur tersebut
umumnya termasuk anak sekolah usia SMP – SMA, mahasiswa dan pekerja. Penyakit DBD
dapat menyerang baik anak-anak maupun orang dewasa. Kota Tangerang Selatan merupakan
kota yang banyak terdapat perumahan. Kondisi ini juga menimbulkan asumsi bahwa mereka
kemungkinan tertular virus dengue di lingkungan sekolah/kampus atau lingkungan kerja.
Golongan umur >15 tahun biasanya memiliki mobilitas tinggi dan sering berada di tempat
umum.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
3.2. Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Jenis Kelamin Tahun 2011 – 2013
Distribusi frekuensi kasus DBD menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Jenis Kelamin
di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
No Jenis Kelamin 2011 2012 2013 Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
1 Laki-laki 356 50,35 454 53,92 405 51,79 2 Perempuan 351 49,65 388 46,08 377 48,21
Jumlah 707 100 842 842 100 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2011 – 2013 kejadian DBD paling
banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, yaitu antara 50 – 51%. Sedangkan pada jenis
kelamin perempuan angkanya antara 48 – 49%.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas yang relatif sama tinggi antara
laki-laki dan perempuan sehingga angka kejadian DBD antara laki-laki dan perempuan relatif
tidak berbeda. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh peluang digigit nyamuk yang juga
relatif sama antara laki-laki dan perempuan.
Penelitian oleh Asmara (2008) menemukan bahwa persentase terbesar penderita DBD
di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2005 – 2007 adalah laki-laki. Penelitian di Kota Depok
oleh Dwirahmadi (2003) juga menemukan bahwa kasus DBD dari tahun 2000 – 2002
terbanyak pada laki-laki.
4. Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Tempat (Kecamatan) Tahun 2011-2013
Selama kurun waktu 2011 – 2013, pada tahun 2011 kejadian DBD tertinggi di
kecamatan Pamulang, diikuti kecamatan Pondok Aren dan Ciputat. Pada tahun 2012, kejadian
DBD tertinggi di kecamatan Pondok Aren, diikuti kecamatan Pamulang dan Ciputat.
Sedangkan di tahun 2013, kejadian DBD tertinggi di kecamatan Pamulang, diikuti kecamatan
Pondok Aren dan Ciputat. Secara umum, selama 2011 – 2013 kasus DBD terbanyak terjadi di
kecamatan Pamulang, Ciputat dan Pondok Aren.
Distribusi frekuensi kasus DBD menurut kecamatan di Kota Tangerang Selatan tahun
2011 – 2013 selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Kecamatan di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
No Kecamatan 2011 2012 2013 Frekuensi % Frekuensi % Freknsi %
1 Pamulang 162 22.91 169 20.07 190 24.30 2 Ciputat 110 15.56 146 17.34 122 15.60 3 Ciputat Timur 97 13.72 113 13.42 85 10.87 4 Setu 26 3.68 36 4.28 52 6.65 5 Serpong 97 13.72 99 11.76 90 11.51 6 Serpong Utara 61 8.63 68 8.08 75 9.59 7 Pondok Aren 154 21.78 211 25.06 168 21.48
Jumlah 707 100 842 100 782 100
Kasus DBD yang banyak terjadi di 3 kecamatan tersebut mungkin disebabkan karena
jumlah penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lain. Sedangkan
kecamatan Setu merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang paling sedikit. Penyebaran
virus dengue akan semakin mudah pada daerah yang berpenduduk padat dan pertumbuhan
penduduknya tidak memiliki pola tertentu (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2011).
5. Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Waktu (Bulan) Tahun 2011 -2013
Distribusi frekuensi kasus DBD menurut waktu (bulan) di Kota Tangerang Selatan
tahun 2011 – 2013 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 6
Distribusi Frekuensi Kasus DBD Menurut Waktu (Bulan)
di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
No Bulan 2011 2012 2013 Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
1 Januari 94 13,30 76 9,03 82 10,49 2 Februari 73 10,33 93 11,05 79 10,10 3 Maret 51 7,21 90 10,69 71 9,08 4 April 41 5,80 77 9,14 61 7,80 5 Mei 31 4,38 107 12,71 71 9,08 6 Juni 75 10,61 122 14,49 88 11,25 7 Juli 95 13,44 109 12,95 68 8,70 8 Agustus 50 7,07 32 3,80 56 7,16 9 September 16 2,26 17 2,02 64 8,18 10 Oktober 19 2,69 27 3,21 48 6,14 11 November 64 9,05 26 3,09 62 7,93 12 Desember 98 13,86 66 7,84 32 4,09
Jumlah 707 100 842 100 782 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 kasus DBD tertinggi terjadi pada bulan
Desember sebanyak 98 kasus (13,86 %) dan terrendah pada bulan September sebanyak 16
kasus (2,26 %). Pada 2012 kasus DBD tertinggi pada bulan Juni sebanyak 122 kasus (14,49
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
%) dan terrendah pada bulan September sebanyak 17 kasus (2,02 %). Sedangkan tahun 2013
kasus DBD tertinggi juga terjadi pada bulan Juni sebanyak 88 kasus (11,25 %) dan terrendah
pada bulan Desember sebanyak 32 kasus (4,09 %).
Grafik kasus DBD menurut bulan selama tahun 2011 – 2013 dapat dilihat pada grafik
sebagai berikut. Grafik 1
Jumlah Kasus DBD Menurut Waktu (Bulan) di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
Berdasarkan Grafik 1 diatas terlihat bahwa selama tahun 2011 – 2013 kejadian kasus
DBD memiliki pola yang berbeda-beda. Tetapi secara umum kasus DBD hampir dijumpai
setiap bulan sepanjang tahun 2011 – 2013 dan tidak mengenal musim kemarau atau musim
hujan.
Musim hujan yang biasanya dimulai pada bulan Oktober sampai akhir bulan Februari
kerap ditemukan banyak kasus DBD. Pada musim pancaroba (peralihan dari musim hujan ke
musim kemarau) yaitu sepanjang bulan Maret atau akhir bulan April sampai dengan bulan
Juni kasus DBD umumnya meningkat pesat. Hal ini ditunjukkan pada bulan Juni tahun 2012
dan 2013, yang merupakan puncak kejadian kasus DBD. Pada musim kemarau, yang
umumnya mulai pada awal bulan Juli sampai Oktober kasus DBD cenderung menurun.
Pada tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan jumlah kasus dari bulan Januari
sampai Mei, meningkat pada bulan Juni – Juli lalu kasus menurun lagi sampai bulan
September – Oktober. Selanjutnya kasus DBD meningkat lagi selama bulan November –
Desember 2011.
Pada tahun 2012 kasus DBD mulai meningkat pada Februari – Maret, sedikit menurun
pada April dan meningkat lagi kasusnya pada Mei – Juni, kemudian menurun kasusnya
0
20
40
60
80
100
120
140
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okto Nov Des
2011 2012 2013
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
sepanjang Agustus – November dan meningkat lagi pada bulan Desember. Pada tahun 2013
kasus DBD mengalami penurunan kasus dari Januari sampai April, kemudian kasusnya
meningkat sepanjang Mei – Juni, kemudian kasus menurun berangsur-angsur sampai bulan
Desember.
6. Distribusi Incidence Rate (IR) Kasus DBD Menurut Kecamatan Tahun 2011 –2013
Distribusi frekuensi Incidence Rate (IR) kasus DBD menurut kecamatan Kota
Tangerang Selatan tahun 2011 – 2013 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 7
Distribusi Incidence Rate DBD (per 100.000) Menurut Kecamatan
di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
No Kecamatan 2011 2012 2013
Jml Pndk Jml kasus IR Jml Pndk Jml
kasus IR Jml Pndk Jml kasus IR
1 Pamulang 302.186 162 54 313.212 169 54 324.238 190 59 2 Ciputat 205.186 110 54 210.295 146 69 215.404 122 57 3 Ciputat Timur 192.020 97 51 195.648 113 58 199.276 85 43 4 Setu 68.065 26 38 72.458 36 50 76.851 52 68 5 Serpong 143.910 97 67 150.127 99 66 156.344 90 58 6 Serpong Utara 132.277 61 46 138.405 68 49 144.533 75 52 7 Pondok Aren 321.714 154 48 331.620 211 64 341.526 168 49
Jumlah 1.365.358 707 52 1.411.765 842 60 1.458.172 782 54
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2011 – 2013 angka IR di Kota
Tangerang Selatan nilainya bervariasi. IR menunjukkan angka insiden per 100.000 penduduk.
Tahun 2011, IR tertinggi terjadi di kecamatan Serpong yaitu sebesar 67 per 100.000
penduduk diikuti kecamatan Pamulang dan Ciputat dengan IR sebesar 54 per 100.000
penduduk. IR terrendah terjadi di kecamatan Setu yaitu sebesar 38 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2012, IR tertinggi terjadi di kecamatan Ciputat yaitu sebesar 69 per
100.000 penduduk diikuti kecamatan Serpong dengan IR sebesar 66 per 100.000 penduduk.
IR terrendah diraih oleh kecamatan Serpong Utara yaitu sebesar 49 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2013 angka IR tertinggi terjadi di kecamatan Setu yaitu sebesar
68 per 100.000 penduduk. Kasus DBD di kecamatan Setu melonjak dua kali lipat dibanding
kasus DBD tahun 2011. Kasus DBD di Setu tahun 2011 sebesar 26 kasus, tahun 2012
sebanyak 36 kasus dan tahun 2013 sebanyak 52 kasus. Kecamatan Setu selalu mengalami
pertambahan jumlah kasus DBD yang tinggi setiap tahunnya. Sedangkan IR terrendah terjadi
di kecamatan Ciputat Timur yaitu sebesar 43 per 100.000 penduduk.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Angka IR di Kota Tangerang Selatan menunjukkan gambaran yang fluktuatif selama
tahun 2011 – 2013. Tahun 2011 IR DBD di Kota Tangerang Selatan sebesar 52 per 100.000
penduduk, kemudian meningkat menjadi 60 per 100.000 penduduk di tahun 2012. Tahun
berikutnya di 2013 menurun menjadi 54 per 100.000 penduduk.
Program pengendalian DBD menetapkan bahwa target nasional IR DBD tahun 2012
adalah < 53 per 100.000 penduduk. Dengan demikian, angka IR di Kota Tangerang Selatan
selama 2012 – 2013 kurang memenuhi target nasional yang ditetapkan.
7. Distribusi Case Fatality Rate (CFR) DBD Menurut Kecamatan Tahun 2011 – 2013
Distribusi Case Fatality Rate (CFR) kasus DBD menurut kecamatan tahun 2011 – 2013
dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 8
Distribusi Case Fatality Rate (CFR) DBD Menurut Kecamatan
di Kota Tangerang Selatan 2011 – 2013
No Kecamatan 2011 2012 2013
Jml kasus
Jml mati
CFR (%)
Jml kasus
Jml mati
CFR (%)
Jml kasus
Jml mati
CFR (%)
1 Pamulang 162 0 0 169 0 0,00 190 2 1,05 2 Ciputat 110 0 0 146 1 0,68 122 0 0,00 3 Ciputat
Timur 97 0 0 113 1 0,88 85 0 0,00
4 Setu 26 0 0 36 0 0,00 52 0 0,00 5 Serpong 97 0 0 99 2 2,02 90 0 0,00 6 Serpong
Utara 61 0 0 68 0 0,00 75 1 1,33
7 Pondok Aren 154 2 1,30 211 1 0,47 168 3 1,79 Jumlah 707 2 0,28 842 5 0,59 782 6 0,77
Tabel 8 menunjukkan bahwa tahun 2011 Case Fatality Rate (CFR) DBD hanya terjadi
di kecamatan Pondok Aren yaitu sebesar 1,30%. Tahun 2012 CFR tertinggi terjadi di
kecamatan Serpong yaitu sebesar 2,02% diikuti kecamatan Ciputat Timur 0,88%, Ciputat
0,68% dan Pondok Aren 0,47%. Sedangkan pada tahun 2013 CFR tertinggi terjadi di
kecamatan Pondok Aren sebesar 1,79% kemudian Serpong Utara sebesar 1,33%.
Pada tahun 2011 CFR hanya terjadi di kecamatan Pondok Aren dan tidak terjadi di
wilayah kecamatan lainnya di Kota Tangerang Selatan sehingga CFR-nya nol. Tahun 2012
tidak ditemukan CFR di tiga kecamatan yaitu Pamulang, Setu dan Serpong Utara sehingga di
tiga kecamatan itu CFR-nya nol. Sedangkan di tahun 2013 kecamatan yang angka CFR-nya
nol yaitu kecamatan Ciputat, Ciputat Timur, Setu dan Serpong.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Dari tahun 2011 – 2013 dapat dilihat bahwa CFR di Kota Tangerang Selatan bersifat
fluktuatif yaitu 0,28% (2011), 0,59% (2012) dan 0,77% (2013). Secara umum CFR di Kota
Tangerang Selatan adalah < 1%. Standar nasional CFR yang ditetapkan adalah sebesar < 1%
(Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2011). Sedangkan standar CFR yang ditetapkan oleh WHO
tidak lebih dari 1/100.000 kasus (WHO, 2009). Dapat ditarik kesimpulan bahwa CFR di Kota
Tangerang Selatan sudah memenuhi target nasional.
CFR yang < 1% terkait dengan penemuan dan penatalaksanaan kasus DBD yang
dilakukan di sarana pelayanan kesehatan. Hal ini juga erat kaitannya dengan pelayanan
pengobatan gratis yang diberlakukan di setiap puskesmas di Kota Tangerang Selatan bagi
warga Kota Tangerang Selatan dan pembebasan biaya perawatan dan pengobatan bagi pasien
yang tidak mampu melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
8. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Kecamatan
8.1. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Kecamatan Tahun 2011
Distribusi angka bebas jentik menurut kecamatan tahun 2011 dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Tabel 9
Jumlah Rumah Diperiksa dan Angka Bebas Jentik Menurut Kecamatan
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011
No Kecamatan Jumlah
Bangunan Seluruhnya
Jumlah Bangunan Diperiksa
Bangunan Diperiksa
(%)
Jumlah Bangunan
Bebas Jentik
Angka Bebas Jentik (%)
1 Pamulang 80.191 23.087 28,8% 20.902 90,5% 2 Ciputat 34.474 17.793 51,6% 17.191 96,6% 3 Ciputat Timur 33.941 11.743 34,6% 10.409 88,6% 4 Setu 16.046 6.157 38,4% 5.883 95,5% 5 Serpong 27.904 13.087 46,9% 12.216 93,3% 6 Serpong Utara 21.760 16.324 75,0% 15.628 95,7% 7 Pondok Aren 47.149 36.628 77,7% 33.140 90,5%
Tangerang Selatan 261.465 124.819 47,7% 115.369 92,4%
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, angka bebas jentik tertinggi terjadi di
kecamatan Ciputat yaitu sebesar 96,6%, kemudian kecamatan Serpong Utara sebesar 95,7%
dan kecamatan Setu sebesar 95,5%. Angka bebas jentik terrendah ditemukan di kecamatan
Ciputat Timur yaitu sebesar 88,6%.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
8.2. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Kecamatan Tahun 2012
Distribusi angka bebas jentik menurut kecamatan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Tabel 10
Jumlah Rumah Diperiksa dan Angka Bebas Jentik Menurut Kecamatan
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2012
No Kecamatan Jumlah
Bangunan Seluruhnya
Jumlah Bangunan Diperiksa
Bangunan Diperiksa
(%)
Jumlah Bangunan
Bebas Jentik
Angka Bebas Jentik (%)
1 Pamulang 80.214 38.087 47,5% 35.588 93,4% 2 Ciputat 36.084 20.624 57,2% 19.696 95,5% 3 Ciputat Timur 33.920 25.681 75,7% 24.353 94,6% 4 Setu 16.096 7.882 49,0% 7.131 90,5% 5 Serpong 28.014 20.316 72,5% 19.466 95,8% 6 Serpong Utara 21.799 4.949 22,7% 4.115 83,1% 7 Pondok Aren 47.201 33.438 70,8% 30.427 91,0% Tangerang
Selatan 263.328 150.977 57,3% 139.676 92,5%
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada tahun 2012 angka bebas jentik tertinggi terjadi di
kecamatan Serpong yaitu sebesar 95,8% diikuti oleh kecamatan Ciputat Timur sebesar 95,6%
dan kecamatan Ciputat sebesar 95,5%. Angka bebas jentik terrendah ditemukan di kecamatan
Serpong Utara yaitu sebesar 83,1%.
8.3. Distribusi ABJ Menurut Kecamatan Tahun 2013
Distribusi angka bebas jentik menurut kecamatan tahun 2013 dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Tabel 11
Jumlah Rumah Diperiksa dan Angka Bebas Jentik Menurut Kecamatan
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
No Kecamatan Jumlah
Bangunan Seluruhnya
Jumlah Bangunan Diperiksa
Bangunan Diperiksa
(%)
Jumlah Bangunan
Bebas Jentik
Angka Bebas Jentik (%)
1 Pamulang 80.221 5.347 9,7% 5.242 98.0% 2 Ciputat 36.091 2.976 8,5% 2.465 92.9% 3 Ciputat Timur 33.926 4.094 10,7% 3.957 95.4% 4 Setu 16.345 2.818 19,1% 2.699 92.3% 5 Serpong 28.921 5.197 18,0% 5.031 96.2% 6 Serpong Utara 21.900 2.134 3,9% 2.029 95.1% 7 Pondok Aren 47.514 6.900 12,2% 6.594 94.2% Tangerang
Selatan 264.918 29.467 11,1% 28.016 95,1%
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Tabel 11 menunjukkan bahwa pada tahun 2013 angka bebas jentik tertinggi ditemukan
di wilayah kecamatan Pamulang yaitu sebesar 98,0%. Kemudian diikuti oleh kecamatan
Serpong sebesar 96,2% dan kecamatan Ciputat Timur sebesar 95,4%. Sedangkan kecamatan
yang terrendah angka bebas jentiknya ialah kecamatan Setu sebesar 92,3%.
Standar nasional untuk angka bebas jentik adalah sebesar ≥ 95%. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2011 dan 2012, angka bebas jentik di Kota Tangerang
Selatan masih belum memenuhi standar nasional yang diinginkan. Sedangkan pada tahun
2013, angka bebas jentik sudah mencapai 95,1% dan telah memenuhi target nasional yang
ditetapkan Kemenkes RI.
Angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan ini belum mencakup seluruh bangunan.
Pada tahun 2011, jumlah bangunan seluruhnya sebanyak 261.465 unit dengan jumlah
bangunan yang diperiksa jentiknya sebanyak 124.819 unit sehingga persentase bangunan
yang diperiksa jentiknya sebesar 47,7%.
Sedangkan tahun 2012, jumlah bangunan seluruhnya sebanyak 263.328 unit dengan
jumlah bangunan yang diperiksa jentiknya sebanyak 150.977 unit sehingga persentase
bangunan yang diperiksa jentiknya sebesar 57,3%.
Tahun 2013, jumlah bangunan seluruhnya sebanyak 264.918 unit dengan jumlah
bangunan yang diperiksa jentiknya sebanyak 29.467 unit sehingga persentase bangunan yang
diperiksa jentiknya sebesar 11,1%.
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan jentik di Kota Tangerang Selatan belum
melingkupi seluruh bangunan (total coverage). Angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan
belum dapat dikatakan sudah mencapai tujuan program penanggulangan DBD. Agar
mencapai tujuan dan standar yang ditetapkan maka kegiatan PSN DBD dan pemantauan
jentik oleh jumantik harus ditingkatkan dan mencakup semua wilayah.
9. Hubungan Kepadatan Penduduk dengan IR DBD di Kota Tangerang Selatan Tahun
2011 – 2013
Hasil analisis korelasi antara kepadatan penduduk dengan IR DBD dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Tabel 12
Analisis Korelasi Kepadatan Penduduk dengan IR DBD Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 – 2013
Tahun r Nilai p N
2011 0,116 0,804 7 2012 0,338 0,458 7 2013 0,673 0,098 7
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan nilai r dan nilai p setiap tahunnya
dan dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan kekuatan hubungan antara variabel kepadatan
penduduk dengan angka insiden DBD.
Pada tahun 2011, antara variabel kepadatan penduduk dengan kejadian DBD di Kota
Tangerang Selatan tahun 2011 menunjukkan korelasi yang positif dengan kekuatan hubungan
yang rendah (r = 0,116). Tahun 2012 menunjukkan korelasi yang positif dengan kekuatan
hubungan yang sedang (r = 0,338). Kemudian tahun 2013 menunjukkan korelasi yang positif
dengan kekuatan hubungan yang kuat (r = 0,673).
Berdasarkan jumlah sampel yang dianalisis (N = 7) dan nilai p = 0,804 (2011), nilai p
= 0,458 (2012), p nilai = 0,098 (2013) maka disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk
membuktikan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan IR DBD.
Penelitian Prasetiya (2010) di kecamatan Jatinegara Jakarta Timur juga menyatakan
tidak ada hubungan signifikan antara kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD.
Penelitian Wukufianti (2010) juga menyatakan tidak ada hubungan antara kepadatan
penduduk dengan angka insiden DBD. Namun hasil yang berbeda didapat oleh Haning
(2004), Putri (2008) dan Admiral (2010) yang menyatakan adanya hubungan antara kepadatan
penduduk dengan angka insiden DBD (Prasetiya, 2010).
Selain itu peningkatan kekuatan hubungan (r) antara variabel kepadatan penduduk dan
angka insiden DBD serta makin mengecilnya nilai p dapat pula disebabkan karena makin
besarnya kerentanan penduduk terkena DBD. Kepadatan penduduk yang semakin tinggi
menyebabkan peluang nyamuk untuk menggigit dan menularkan virus dengue semakin besar.
Kepadatan penduduk juga dapat menyebabkan sanitasi lingkungan menjadi semakin buruk
sehingga penduduk semakin rentan terkena DBD.
10. Hubungan Angka Bebas Jentik dengan IR DBD di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2011 – 2013
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Hasil analisis korelasi antara angka bebas jentik dengan IR DBD dapat dilihat pada
tabel dibawah ini. Tabel 13
Analisis Korelasi Angka Bebas Jentik dengan IR DBD
Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 – 2013
Tahun r Nilai p N 2011 - 0,164 0,726 7 2012 0,725 0,064 7 2013 -0,317 0,489 7
Tabel diatas menunjukkan bahwa antara variabel angka bebas jentik dengan kejadian
DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 menunjukkan korelasi yang negatif dengan
kekuatan hubungan yang rendah (r = - 0,164). Hal ini berarti semakin tinggi angka bebas
jentik maka akan semakin rendah pula angka insidennya.
Antara variabel angka bebas jentik dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan
tahun 2012 menunjukkan korelasi yang positif dengan kekuatan hubungan yang kuat (r =
0,785). Hal ini berarti semakin tinggi angka bebas jentik namun semakin tinggi pula angka
insidennya. Antara variabel angka bebas jentik dengan kejadian DBD di Kota Tangerang
Selatan tahun 2013 menunjukkan korelasi yang negatif dengan kekuatan hubungan yang
sedang (r = -0,317). Hal ini berarti semakin tinggi angka bebas jentik maka akan semakin
rendah pula angka insidennya.
Berdasarkan jumlah sampel yang dianalisis (N = 7) dan nilai p maka disimpulkan
bahwa tidak cukup bukti untuk membuktikan bahwa angka bebas jentik berhubungan dengan
IR DBD.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis penelitian dapat disimpulkan bahwa
menurut variabel orang, proporsi DBD tahun 2011 – 2013 kasus DBD lebih banyak
ditemukan pada kelompok umur >15 tahun serta paling banyak terjadi pada jenis kelamin
laki-laki.
Menurut variabel tempat, kejadian DBD tertinggi 2011 di Pamulang, tahun 2012
kejadian DBD tertinggi di kecamatan Pondok Aren, tahun 2013 kejadian DBD tertinggi di
kecamatan Pamulang. Paling rendah kasus DBD sepanjang 2011 – 2013 adalah kecamatan
Setu.
Menurut variabel waktu, kasus DBD tertinggi tahun 2011 terjadi pada bulan
Desember. Pada 2012 dan 2013 tertinggi pada bulan Juni.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Incidence Rate (IR) di Kota Tangerang Selatan sebesar 52 per 100.000 penduduk
(2011), 60 per 100.000 penduduk (2012) dan 54 per 100.000 penduduk (2013). Selama 2012
– 2013 kurang memenuhi target nasional yang ditetapkan.
Korelasi kepadatan penduduk dengan kejadian DBD disimpulkan tidak cukup bukti
untuk membuktikan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan IR DBD. Demikian
juga korelasi ABJ dengan kejadian DBD disimpulkan tidak cukup bukti untuk membuktikan
bahwa ABJ berhubungan dengan IR DBD.
Saran
Upaya pencegahan penyakit DBD harus lebih diutamakan, dengan fokus pada daerah
endemis yang angka insidennya tinggi dan daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi
seperti Pamulang dan Ciputat Timur dan mengajak peran serta masyarakat untuk aktif ikut
dalam program pencegahan penyakit DBD melalui kegiatan PSN-DBD.
Kepustakaan
Achmadi, U.F. (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Kompas. Asmara, Lela. (2008). Skripsi: Hubungan Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate Kasus
Tersangka Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kecamatan Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005 - 2007. Depok: FKM-UI.
Boewono, D.T, Widiarti dan Ristiyanto. (2012). Laporan penelitian: Analisis Spasial
Distribusi Kasus DBD Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur. B2P2VRP. Besral. (2011). Pedoman Pengolahan dan Analisis Data Menggunakan SPSS. Depok: FKM-
UI. Dwirahmadi, Febi. (2004). Skripsi: Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah Dengue serta
Hubungannya dengan Kepadatan Penduduk dan Curah Hujan di Kota Depok Tahun 2000 – 2003. Depok: FKM-UI.
Hadinegoro, dkk. (2000). Demam Berdarah Dengue. Jakarta: UI Press Haning, F.W. (2004). Skripsi: Kejadian Demam Berdarah dan Faktor-faktor yang
Berhubungan di Tingkat Kelurahan di Kodya Jakarta Utara Tahun 2003. Depok: FKM-UI
Kasus DBD Meningkat. (18 Februari 2014). Diakses 10 Maret 2014.
http://bantenraya.com/metropolis/4053-kasus-dbd-meningkat. Prasetiya, Edi. (2010). Skripsi: Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur Tahun 2009. Depok: FKM-UI.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014
Rohimat, Toni. (2003). Skripsi: Gambaran Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Hubungan Faktor Lingkungan dengan Insiden Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Data Surveilans Epidemiologi di Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 1999 – 2001. Depok: FKM-UI.
Syahwani. (2003). Skripsi: Hubungan Antara Kepadatan Penduduk dan Mobilitas dengan
Angka Insiden DBD di Kabupaten Tangerang Tahun 1999 – 2001. Depok: FKM-UI. Subagyo, Dwi Siswo. (2001). Skripsi: Gambaran Epidemiologi Kasus Demam Berdarah
Dengue di Wilayah Kodya Jakarta Timur Tahun 1998 – 2000. Depok: FKM-UI. Sungono,Veli. (2004). Skripsi: Hubungan Iklim dengan Angka Bebas Jentik dan Insiden
Demam Berdarah (DBD) di Kotamadya Jakarta Utara Tahun 1999 – 2003. Depok: FKM-UI.
Yuliasari, Ratna. (2010). Skripsi: Hubungan Kepadatan dan Mobilitas Penduduk dengan
Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor 2004 – 2006. Depok: FKM-UI. Kemenkes RI. (2011). Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Ditjen
PP&PL. Murti, Bisma. (2003). Prinsip & Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Notoatmodjo, Soekidjo. (1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta. Sutanto, Priyo Hastono. (2006). Analisis Data. Depok: FKM-UI. Timmreck, Thomas J. (2002). Epidemiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tangerang Selatan, Dinas Kesehatan. (2011). Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kota
Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan. Tangerang Selatan, Dinas Kesehatan. (2012). Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kota
Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan. World Health Organization. (2009). Dengue, Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention
and Control. Geneva: WHO Publication.
Gambaran epidemiologi..., Agung Winasis, FKM UI, 2014