gambar essai
DESCRIPTION
trTRANSCRIPT
Essai
DESA RENGED DAN AHMED ZAKY ISKANDAR
( SEBUAH “ROMANTISISME VERSUS , ....!”)
OLEH: JAJA SUHARJA, S.I.P
ALUMNUS FISIP UNIVERSITAS LAMPUNG
Sangatlah tepat jika pernyataan Romo Mudji Sutrisno , SJ(lihat, “Kolom Gatra” ,
7/5/2014) tersematkan pada diri seorang Ahmed Zaky Iskandar bahwa , sebuah
“pemaknaan eksistensi” di tentukan oleh hal ekologis yang berperan membentuk
watak, intelektualitas dan mentalitas seseorang. Maka, dalam kapasitas yang
demikianlah Essai ini saya persembahkan untuk : Ahmed Zaky Iskandar ! Seorang
penerus, “Trah Tigaraksa” – yang idealnya futuristik ! Namun kenapa , penulis bilang
sebagai “Romantisisme Versus?” ketika di sematkan pada frasa , “Desa Renged?”
Berikut di bawah ini adalah deskripsi historisisme ( bahwa jejak bernama sejarah
masa lalu itu di kenang dalam sebuah track napak tilas juga, menjadi : “olah pikir”
sebuah dekonstruksi bagaimana , mendudukan sejarah dengan arif. Sehingga yang di
sebut masa depan itu juga , yang terbangun dari masa lalu). Metafora ini secara
paradoksal – “berarus-balik” terjadi pada nasib “Desa Renged” yang statis historitas
dalam ruang dan waktu kekinian ! Sementara pada saat yang bersamaan , secara
struktural kepala daerah yang memimpinnya – Ahmed Zaky Iskandar adalah “gerbong
masa depan” – yang terbangun dari masa lalu sebuah genealogy : Ismet Iskandar!
“Romantisisme Versus!”
“…dulu , Bapakku pengerek pedal sepeda buatan Jepang dan aku , anak laki-
lakinya ( kini, seorang perekam sekian peristiwa dan mencatatkannya di kepala. Puluhan
tahun kemudian , 2015. Pada KTP-ku tercatat ; aku seorang seniman , penulis lepas).”
Prolog dari “bakal novel” karya penulis di atas , mengawali deskripsi gambar di
bawah ini :
“Track Masa Kecil”
Untuk keperluan penulisan ini – penulis menapaki kembali jejak masa lalu ,
sebuah rute perjalanan “menuju Kampung Halaman” yaitu Desa Renged , Kecamatan
Kresek Kabupaten Tangerang. Sebuah “jejak masa lalu” – yang di tapaki bukan
berarti menjadi “Ahistorisisme” ( adakah sesuatu yang final dalam sebuah ruang
pemaknaan bagi terma kehidupan?).
Pada romantisisme bernama, “track bersepeda” menuju kampung halaman
“almarhum Bapak” . Saya melewati jalur masa kecil tepatnya jalur “halaman
belakang” yaitu, dari arah depan (jalan raya Cikande) pertigaan Tambak – Pamarayan
(rangkasbitung) belok kiri arah ke Kota Serang , dan belok kanan menuju Kecamatan
Balaraja.Terus belok kiri menembus hutan karet.
Ini adalah “treck” masa kecil saya bersepeda dengan almarhum Bapak. Lalu ,
sampai ke sebuah kali kecil (dulu Almarhum Bapak biasa memanggul Sepedanya
melewati Kali yang dangkal itu).Begitu kaki keluar dari dalam kali dan siap menjejak
pada tanah.Hamparan “ranjau darat” (berupa kotoran manusia) dengan aroma busuk
yang khas itu telah terpaku sebagai budaya akut, “B.A.B” masyarakat sekitar.
Terhampar seluas mata memandang! Itulah gambaran Desa Renged masa kecil
Saya yang tersimpan dalam memori , 30 tahun yang lalu.
Desa Renged masuk kedalam wilayah kecamatan :Kresek , juga terdiri dari dua
suku kata: “kre-sek”.Merujuk pada hal nama apakah:kresek?Sehingga dijadikan
sebuah nama kewilayahan pemerintahan? Tapi, romantisisme penulis, tidak hendak
masuk pada sebuah ranah “etimologis”.
Ada romantisisme lain yang lebih urgent !
Konon, sebuah “Romantisisme” tergelar . Bukan sekedar pada terma, “masa lalu”
yang di kenang dalam sebuah “napak tilas” tapi ada, “Dekonstruktivisme” – sebuah
misi pembongkaran dalam “mendudukan” masalah Sosial-Budaya yang akut (sisi lain
yang tersembunyi dari gebyar , “Halaman Depan” sebuah rumah yang di sebut , “masa
depan” Kabupaten Tangerang di bawah kepemimpinan tokoh muda, Intelektual dan
berwajah rupawan : Ahmed Zaki Iskandar).
“Misi Pembongkaran Identitas”
Maka, atas kondisi demikian pertanyaan kecil penulis , “mungkinkah sebuah nama
seperti, “Renged” (Kresek) itu di rubah?”
Supaya gema di dalam diri individu-individu “pengguna (namanya)” adalah melulu
gejolak jiwa yang haus pada dinamisasi .“Rumus Sejarah” ini tak dimiliki oleh Desa
Renged (Kresek) yang dalam perspektif Ibu Saya bahwa,
“di Desa Renged jika (Dia, individu) itu kaya (kaya sekali) dan
sebaliknya jika (Dia, individu) itu miskin (miskin sekali, belangsak).”
Rumus sejarah tentang dinamisasi budaya berlaku, “ hidup sehat” dalam sanitasi
yang baik bukannya tidak di upayakan. Namun tidak maksimal. Pemda Kabupaten
Tangerang pada 2010 telah mencanangkan tonggak “Desa Sehat” .Tapi empaty yang
sebatas formalisme dalam, “Praksisme: APBD” tidak menyentuh pada perubahan pola
perilaku hidup sehat warganya. Perlu menjadi semacam, “Menara” mercusuar atas
“titah” – seorang Ahmed Zaky Iskandar!
Ia adalah pemegang tongkat estafet yang diwariskan Ayahnya,”Ismet Iskandar”
yang dulu mencanangkan Desa Sehat 2010. Masa untuk persoalan “remeh temeh”
buang hajat saja, bisa membuat,”Halaman Depan” rumah Kabupaten Tangerang
tercoreng!
Tentu menjadi sebuah cerita yang tidak lucu untuk sebuah “Halaman Depan”
Kabupaten Tangerang yang yang asri oleh gebyar hedonistik bernama metropolisme!
Bandar Lampung, 26 September 2015.