galuga laporan

37
PENDAHULUAN Latar Belakang Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan. Aktivitas manusia baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sisa (buangan) berupa sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal dengan limbah pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut memiliki potensi besar terhadap pencemaran. Sampah merupakan salah satu masalah bagi lingkungan. Permasalahan sampah terlihat lebih kompleks di daerah perkotaan karena kota merupakan kawasan pemusatan usaha atau industri. Ironisnya sampai sekarang perhatian masyarakat terhadap sampah relatif rendah serta belum adanya sistem perencanaan, pengelolaan, serta pengendalian sampah yang baik dan benar, sehingga cenderung menjadi masalah yang terpinggirkan, seperti yang terjadi di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Dalam mengatasi permasalahan sampah padat, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor masih menggunakan sistem konvensional yaitu dikumpulkan di beberapa titik pengumpulan atau Tempat Pembuangan Sementara (TPS) kemudian diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Salah satu TPA yang ada di Bogor yaitu TPA Galuga. Jumlah sampah erat kaitannya dengan populasi penduduk, semakin banyak penduduk bermukim di kota atau suatu daerah, maka semakin banyak sampah yang terkumpul. Besarnya jumlah penduduk yang ada di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor mengakibatkan besarnya volume sampah yang ditimbulkan setiap hari. Pertambahan penduduk yang pesat menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk dan sampah. Kualitas sampah semakin banyak dan bersifat tidak membusuk, akibatnya sampah menumpuk di TPA. Timbunan sampah yang akhirnya terdegradasi dan menimbulkan turunnya kualitas lingkungan, kulitas hidup manusia, dan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di sekitarnya. Permasalahan sampah di Kota Bogor semakin pelik dan butuh penanganan yang serius. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bogor menyebabkan aktivitas ekonomi yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pola konsumsi masyarakat sehingga jenis sampah yang dihasilkan beragam. Sebagai agroindustrialis, pengetahuan mengenai sistem pembuangan akhir diperlukan sebagai kesadaran terhadap lingkungan akibat aktivitas industri yang dilakukan. Tujuan Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah mengidentifikasi penentuan lokasi, dampak baik terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, mekanisme penanganan sampah, dan hal-hal terkait dari Tempat Pembuangan Akhir Galuga, Bogor.

Upload: hafizah-khaerina

Post on 01-Jan-2016

378 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Laporan Kunjungan Galuga

TRANSCRIPT

Page 1: GALUGA LAPORAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik

berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak

dapat terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke

lingkungan. Aktivitas manusia baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan

sisa (buangan) berupa sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal

dengan limbah pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi

masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut

memiliki potensi besar terhadap pencemaran.

Sampah merupakan salah satu masalah bagi lingkungan. Permasalahan

sampah terlihat lebih kompleks di daerah perkotaan karena kota merupakan

kawasan pemusatan usaha atau industri. Ironisnya sampai sekarang perhatian

masyarakat terhadap sampah relatif rendah serta belum adanya sistem perencanaan,

pengelolaan, serta pengendalian sampah yang baik dan benar, sehingga cenderung

menjadi masalah yang terpinggirkan, seperti yang terjadi di Kota Bogor dan

Kabupaten Bogor. Dalam mengatasi permasalahan sampah padat, Kota Bogor dan

Kabupaten Bogor masih menggunakan sistem konvensional yaitu dikumpulkan di

beberapa titik pengumpulan atau Tempat Pembuangan Sementara (TPS) kemudian

diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). TPA merupakan tempat dimana

sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap

lingkungan sekitarnya. Salah satu TPA yang ada di Bogor yaitu TPA Galuga.

Jumlah sampah erat kaitannya dengan populasi penduduk, semakin banyak

penduduk bermukim di kota atau suatu daerah, maka semakin banyak sampah yang

terkumpul. Besarnya jumlah penduduk yang ada di Kota Bogor dan Kabupaten

Bogor mengakibatkan besarnya volume sampah yang ditimbulkan setiap hari.

Pertambahan penduduk yang pesat menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk

dan sampah. Kualitas sampah semakin banyak dan bersifat tidak membusuk,

akibatnya sampah menumpuk di TPA. Timbunan sampah yang akhirnya

terdegradasi dan menimbulkan turunnya kualitas lingkungan, kulitas hidup

manusia, dan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di sekitarnya.

Permasalahan sampah di Kota Bogor semakin pelik dan butuh penanganan

yang serius. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bogor menyebabkan

aktivitas ekonomi yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pola konsumsi

masyarakat sehingga jenis sampah yang dihasilkan beragam. Sebagai

agroindustrialis, pengetahuan mengenai sistem pembuangan akhir diperlukan

sebagai kesadaran terhadap lingkungan akibat aktivitas industri yang dilakukan.

Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah mengidentifikasi penentuan

lokasi, dampak baik terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan,

mekanisme penanganan sampah, dan hal-hal terkait dari Tempat Pembuangan

Akhir Galuga, Bogor.

Page 2: GALUGA LAPORAN

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan Kunjungan Lapangan ini dilaksanakan selama 1 hari yaitu pada hari

kamis, pada tanggal 21 November 2013. Tempat pelaksanaan kegiatan ini adalah

dilakukan di TPA Galuga, Bogor.

Metodologi

Dalam pelaksanaan pembuatan makalah digunakan metode di bawah, yaitu:

1. Pengamatan di Lapangan

Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan mengamati kondisi TPA

Galuga. Pada pengamatan di lapangan mahasiswa dapat mengidentifikasi

masalah yang terjadi dan memberikan solusi yang dapat digunakan untuk

mengatasi masalah yang terjadi.

2. Wawancara dan Diskusi dengan Pihak Terkait

Kegiatan wawancara ini dilakukan sebagai upaya pengumpulan informasi dan

data yang berhubungan dengan aspek yang dipelajari. Wawancara dilakukan

untuk menjelaskan dan mengklarifikasi serta menerangkan masalah-masalah

teknis yang ada di lapangan.

3. Studi Pustaka

Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan mencari referensi dan literatur yang

berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dan membandingkan dengan situasi

yang terjadi di lapangan. Kegiatan ini berfungsi sebagai pendukung dan

pembanding dalam pembuatan laporan berdasarkan data informasi yang

diperoleh dari studi pustaka dan data informasi yang diperoleh dari lapangan.

Studi pustaka juga dilakukan untuk membantu menganalisis masalah yang

teridentifikasi di lapangan dan mencari alternatif-alternatif solusinya.

Page 3: GALUGA LAPORAN

KEADAAN UMUM TPA GALUGA

Kondisi Geografis dan Administratif

TPA Galuga merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang secara

geografis berada di wilayah Kabupaten Bogor. Secara administrasi Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) Galuga berada di Desa Galuga, Kecamatan

Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi TPA tersebut sekitar 3 km

dari Ibukota kecamatan atau 25 km dari pusat Kota Bogor, berada pada ketinggian

300 meter dari permukaan laut. Secara Geografis, TPA Sampah Galuga terletak

pada 106o38’15’’BT-106o39’07’’BT sampai 06o33’20’’LS- 06o34’20’’LS. Sungai

utama yang mengalir di daerah tersebut adalah sungai Cianten. Secara administratif

TPA sampah Galuga ini berbatasan dengan :

Sebelah utara : Areal pertanian Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang

Sebelah timur : Perbukitan Kampung Cimangir

Sebelah selatan : Kampung Moyan, Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang

Sebelah barat : Kampung Lalamping, Desa Galuga

Sebagai tempat pembuangan akhir, TPA sampah Galuga menerima masukan

sampah dari Kota Bogor dan sebagian sampah dari Kabupaten Bogor.

Pengelolaanya merupakan tangung jawab Pemerintah Kota Bogor dimana lahan

tersebut diperoleh melalui pembebasan tanah warga sejak tahun 1986. Luas areal

TPA milik Kota Bogor sampai akhir tahun 2011 sekitar 27,8 ha sedangkan milik

Kabupaten Bogor seluas 4 ha dari total luasan areal sekitar 31,8 ha.

Kondisi Iklim

Desa Galuga memiliki curah hujan yang cukup tinggi, yaitu 2000 mm/tahun

dengan jumlah bulan basah 4 bulan. Suhu rata-rata desa Galuga sekitar 23o-32oC.

Kelembaban relatif cukup tinggi sepanjang tahun dengan rata-rata bulanan 70%-

90% dan rata-rata tahunan 90%. Kecepatan angin bertiup rata-rata 2,7 km/jam atau

3-4 knot. Penyinaran matahari bulanan berkisar antara 50%-90% dengan rata-rata

tahunan sebesar 60%.

Kondisi Morfologi

Wilayah penelitian sebagian besar morfologinya berada pada bentang

wilayah pegunungan, dengan puncak tertinggi ditempati oleh Gunung Galuga yang

mempunyai ketinggian 291 mdpl. Ke arah utara morfologi semakin datar. Gunung

Galuga dan sekitarnya memiliki kelerengan lebih tinggi dengan kelerengan 15%-

30% sehingga jika terjadi hujan run off lebih besar dibanding daya infiltrasi. Tetapi

di sekitar, lahan yang digunakan sebagai kebun dan semak belukar menjadikan air

diserap tahan dengan jumlah yang besar. Sehingga run off berkurang.

Page 4: GALUGA LAPORAN

Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia disekitar TPA Galuga mempunyai tingkat pendidikan

yang bervariasi. Pendidikan penduduk Desa Galuga, Desa Cijujung dan Desa

Dukuh tidak sekolah, tamat SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah

Menengah Atas. Sarana pendidikan mulai dari sekolah dasar, jumlah sekolah Dasar

2 di Desa Galuga, 3 buah di Desa Dukuh, dan Cijujung 4 buah. Sekolah lanjutan

tingkat pertama Desa Dukuh 1 buah dan Desa Cijujung 1 buah. Keadaan tingkat

pendidikan Desa Galuga, Desa Dukuh dan Desa Cijujung pada tahun 2009, dapat

dilihat sebagaimana pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Cijujung, Desa Galuga dan Desa

Dukuh Tahun 2009

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang)

1.

2.

3.

4.

5.

Tidak tamat Sekolah Dasar

Galuga

Dukuh

Cijujung

Tamat Sekolah Dasar

Galuga

Dukuh

Cijujung

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

Galuga

Dukuh

Cijujung

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)

Galuga

Dukuh

Cijujung

Belum Sekolah

Galuga

Dukuh

Cijujung

1073

1174

1233

1565

1687

3007

945

1170

1789

741

967

1354

716

782

822

Sumber : Badan Pusat Statistik Kecamatan dalam angka Cibungbulang 2009

Pada saat ini sumber daya manusia yang langsung terkait dengan pengelolaan

TPA Galuga berjumlah 29 orang yang terdiri atas 10 orang dengan status PNS, 4

orang tenaga kontrak dan 15 padat karya masyarakat. Di lokasi TPA Galuga

terdapat sekitar 600-700 orang pemulung aktif yang mengolah dan memanfaatkan

sampah non-organik sehingga dapat didaur ulang (recycle) dan/atau dipergunakan

kembali (reuse) yang pada akhirnya memberikan pendapatan bagi para pemulung

tersebut. Selain itu ada sekitar 46 warga sekitar yang menjadi karyawan di TPA

yang terkait dengan kegiatan pembuatan kompos tetapi sudah enam bulan tidak

beroperasi. Keberadaaan pemulung dan pengepul juga mampu memberikan

kontribusi terhadap pengurangan volume dari tumpukan sampah di TPA Galuga.

Jumlah pemulung yang melakukan aktivitas di sekitar TPA Galuga sampai saat ini

± 400 orang yaitu anak-anak, dewasa dan orang tua.

Page 5: GALUGA LAPORAN

Sistem pengelolaan sampah di TPA Galuga saat ini adalah masih

menggunakan sistem open dumping yaitu pembuangan sampah secara terbuka,

dimana sampah dibuang saja pada tanah kosong dan dibiarkan membusuk tanpa ada

proses penimbunan, pemadatan dan penutupan dengan tanah sehingga dapat

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, seperti pencemaran

bau, tempat berkembangnya serangga dan nyamuk. Untuk mengurangi dampak

negatif yang ditimbulkan akibat penumpukan sampah di TPA Galuga, Pemerintah

Kota Bogor mendirikan pabrik kompos melalui pola kemitraan dengan Paguyuban

Tumaritis. Kegiatan pengomposan bertujuan untuk mengurangi beban TPA

terhadap timbunan sampah yang terus meningkat jumlahnya, mengurangi biaya

pengelolaan sampah, penggunaan teknologi yang sederhana, memberikan nilai

tambah dan dapat menyerap tenaga kerja.

Sistem kemitraan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan

Kebersihan Kota Bogor belum mampu mengurangi jumlah sampah secara

keseluruhan karena selama ini sampah yang dikomposkan hanya sampah yang

berasal dari sampah pasar sedangkan sampah yang berasal dari sampah rumah

tangga, pertokoan, industri, fasilitas umum dan sosial, sapuan jalan dan lain-lain.

Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak sampah yang terbuang ke lingkungan

dan tidak termanfaatkan. Sehingga kemungkinan besar sampah akan terakumulasi

dan mencemari lingkungan sekitar seperti akan berpengaruh pada banyaknya

volume air lindi yang terbuang ke dalam tanah akibatnya kualitas air tanah akan

menurun. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lokasi,

sampah pasar merupakan sampah organik yang mudah membusuk dan 75 % dari

sampah tersebut dapat dikomposkan yang terdiri dari sampah sayur- sayuran, buah-

buahan, dan dedaunan. Sampah pasar masih merupakan bahan baku utama

pembuatan kompos di TPA Galuga karena bagi pengusaha kompos, sampah pasar

tidak membutuhkan biaya dan tenaga terlalu besar untuk memilah sampah dari

sampah anorganik sehingga biaya produksi dapat ditekan. Selain itu sampah pasar

sangat kecil kemungkinan tercampur bahan-bahan yang berbahaya.

Peran pemerintah dalam kelembagaan persampahan saat ini hanya sebagai

pembuat kebijakan melalui undang-undang dan peraturan-peraturan dan pemberi

subsidi dalam pengelolaan persampahan. Untuk keberhasilan pengelolaan

persampahan diharapkan pemerintah mampu menjadi fasilisator baik sebagai

penyedia informasi maupun sebagai penyedia sarana dan prasarana dalam

pengelolaan sampah sehingga mampu menjembatani semua pihak yang terlibat

dalam pengelolaan sampah terutama merangkul pihak swasta untuk berinvestasi

dalam pengelolaan sampah.

Page 6: GALUGA LAPORAN

PEMILIHAN LOKASI TPA

Pengelolaan sampah di Indonesia merupakan permasalahan nasional,

terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : ketersediaan lahan yang terbatas dan

tidak seimbang dengan peningkatan volume timbunan sampah, pemerintah belum

mempunyai system perencaan pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut

tercermin pada rencana umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum

memasukkan secara rinci rencana lokasi TPA sampah, partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan sampah masih rendah dan belum tersedia teknologi tepat guna

untuk kondisi di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah.

Menurut Darmasetiawan (2004), TPA merupakan tempat dimana sampah

mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber,

pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA

merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan dan memusnahkan sampah

dengan cara tertentu sehingga dampak negatif yang ditimbulkan kepada lingkungan

dapat dihilangkan atau dikurangi (Basyarat 2006).

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 03-3241-1994 dalam

Wikantika (2008), persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan

lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-

undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak

lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah

tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-

peraturan pelaksanaannya. Adapun ketentuan-ketentuan atau tata cara yang harus

dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA terdapat pada SNI nomor 03-3241-1994,

yaitu :

1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut.

2. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahap yaitu:

- Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi

daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona

kelayakan

- Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua

lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan

pada tahap regional

- Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi

yang berwenang.

3. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi

TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.

Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), persyaratan umum

lokasi TPA diantaranya: sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan

daerah, jenis tanah kedap air, daerah yang tidak produktif untuk pertanian, dapat

dipakai minimal untuk 5-10 tahun, tidak membahayakan/mencemarkan sumber air,

jarak dari daerah pusat pelayanan maksimal 10 km, dan daerah yang bebas banjir.

Page 7: GALUGA LAPORAN

Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), kriteria pemilihan

lokasi untuk TPA ditentukan berdasarkan 3 bagian:

1. Kriteria Regional yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak

atau zona tidak layak sebagai berikut:

a. Kondisi geologi: tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona

bahaya geologi

b. Kondisi hidrogeologi:

- tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter

- tidak boleh kelulusan tanah lebih dari 10-6 cm/det

- jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter

- dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka

harus diadakan masukan teknologi

c. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %

d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk

penerbangan turbo jet dan lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain

e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode

ulang 25 tahunan

2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik,

diantaranya yaitu:

a. Iklim:

- Hujan, intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik

- Angin, arah angin dominan tidak menuju ke permukiman dinilai makin baik

b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik

c. Lingkungan Biologis:

- Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik

- Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik

d. Kondisi tanah:

- Produktifitas tanah: makin tidak produktif dinilai makin baik

- Kapasitas dan umur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama

dinilai lebih baik

- Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup,dinilai

lebih baik

- Status tanah: kepemilikan tanah makin bervariasi dinilai tidak baik

e. Demografi: kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik

f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik

g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakinbaik

h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik

j. Ekonomi: semakin rendah biaya satuan pengelolaan sampah (Rp/m3 atau

Rp/ton) dinilai semakin baik

3. Kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang

untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan

instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku Anonim (2008)

mengemukakan tentang pemilihan lokasi layak TPA sampah tahapan regional

yang dilakukan dengan meninjau aspek-aspek sebagai berikut:

Page 8: GALUGA LAPORAN

a. Aspek Tata Guna Lahan

Peninjauan pemilihan lokasi layak TPA sampah berdasarkan tata guna lahan

ialah menetapkan lokasi-lokasi yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi TPA

sampah karena alasan tata guna lahan. Peninjauan ini dilakukan untuk

menghindari pemilihan lokasi-lokasi layak TPA sampah pada lahan yang telah

ditetapkan penggunaannya atau lahan yang mempunyai kegunaan khusus atau

yang penting. Daerah-daerah yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi TPA

yaitu: 1) Daerah danau, sungai dan laut; 2) Daerah perkotaan dan permukiman;

3) Daerah pertanian potensial; 4) Daerah industri, konservasi lingkungan; 5)

Daerah khusus yang dilestarikan; dan 6) Daerah yang jauh dari lapangan terbang.

b. Aspek Geologi

Pemilihan lokasi layak berdasarkan kondisi geologi adalah untuk menempatkan

lokasi tersebut pada formasi geologi yang aman terhadap pencemaran

lingkungan. Formasi yang diinginkan adalah lapisan geologi dimana pada

lapisan itu terdapat kondisi yang dapat menahan dan mengurangai kadar

pencemaran. Kondisi tersebut hanya ada pada lapisan yang mempunyai

permeabilitas kecil, mempunyai cukup ketebalan dan mampu mengurangi kadar

pencemaran. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat dari batuan lempung (sedimen

clay). Pemilihan yang dilakukan juga menghindari faktor struktur geologi seperti

patahan, retakan, longsoran dan lain-lain.

c. Aspek Kemiringan Lereng

Pemilihan lokasi layak berdasarkan kemiringan lereng dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya longsoran, baik terhadap timbunan sampah tersebut

maupun longsoran yang tidak stabil. Untuk itu kriteria yang dianjurkan dalam

hal kemiringan ini adalah 20%. Kemiringan lereng di sekitar lokasi berkisar

antara 0-15%. Namun pada daerah-daerah tertentu kemiringannya dapat

mencapai lebih dari 45%. Pada umumnya kemiringan lokasi TPA berkisar antara

0-10%, dan pada beberapa lokasi kemiringan mencapai 10-15%.

d. Aspek Hidrogeologi

Pemilihan lokasi layak berdasarkan aspek hidrogeologi ialah menempatkan

lokasi tersebut pada daerah yang bukan akuifer penting dan sedapat mungkin

tidak didaerah discharge. Pemilihan tersebut juga memperhitungkan arah aliran

air tanah.

e. Aspek Bahaya Lingkungan

Pemilihan lokasi layak berdasarkan aspek bahaya lingkungan ialah

menempatkan lokasi tersebut pada daerah yang tidak berpotensi terhadap bahaya

lingkungan, sehingga tidak membahayakan kelangsungan dan keutuhan TPA

sampah tersebut. Bahaya lingkungan yang harus diperhatikan adalah gerakan

tanah, kegempasan, kegunungapian, pengikisan banjir dan genangan air. Dengan

pertimbangan aspek bahaya lingkungan, maka lokasi layak untuk TPA sampah

adalah daerah-daerah di luar bahaya tersebut.

Evaluasi lahan untuk TPA Galuga dan kawasan sekitarnya berpedoman

kepada kriteria yang ditentukan dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dan

Widiatmaka et al. (2004). Parameter utama seperti kesesuaian lahan untuk lokasi

tempat pembuangan akhir sampah berbasis daya dukung lahan dan lingkungan

meliputi geologi, topografi atau fisiografi, jenis tanah, tekstur tanah, drainase, dan

penggunaan lahan, kriteria atau parameter lainnya juga harus diperhatikan. Kriteria

Page 9: GALUGA LAPORAN

kesesuaina lahan untuk tempa pembuangan sampah secara terbuka (Hardjowigeno

dan Widiatmaka 2007) diantaranya adalah ancaman banjir, kedalaman sampai

hamparan batuan, kedalaman sampai padas keras, permeabilitas, muka air tanah

meliputi apparent dan perched, kemiringan lereng serta longsor menjadi kriteria

lahan lainnya yahg menjadi kajian. Kriteria ini dinilai sangat penting untuk

dijadikan referensi pembangunan suatu TPA.

Berdasarkan SK SNI T-11-1991-03 bencana alam merupakan salah satu

kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah. Daerah yang

rawan dengan bencana alam sulit dijadikan menjadi lokasi TPA. Lokasi TPA

Galuga berada pada bentuk wilayah yang bergelombang. Sifat fisik tanah yang

cukup baik menyerap air hujan menyebabkan potensi bencana berupa ancaman

longsor dari lahan dan banjir tidak pernah terjadi di kawasan ini. Berdasarkan

kondisi tersebut daerah kawasan TPA Galuga termasuk sesuai untuk dijadikan

menjadi lokasi TPA.

Page 10: GALUGA LAPORAN

SKEMA LOKASI DAN FASILITAS TPA

Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan

prasarana dan sarana yang meliputi:

a. Prasarana Jalan

Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.

Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan

sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi. Konstruksi jalan TPA cukup

beragam disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA

dengan konstruksi:

− Hotmix

− Beton

− Aspal

− Perkerasan situ

− Kayu

Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:

− Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang

telah tersedia

− Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian

lain dalam wilayah TPA

− Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju

titik pembongkaran sampah

Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan

penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi. Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) Galuga telah memiliki beberapa prasarana yang

sesuai dengan peraturan perundangan, seperti jalan yang dilalui kendaraan

pengangkut sampah menuju TPA merupakan konstruksi dari aspal dan akses

menuju TPA dari jalan raya sangat mudah untuk dilalui kendaraan, walaupun

jalan yang tersedia sangat kecil, sehingga sangat sulit jika dua truk saling

berpapasan.

b. Prasarana Drainase

Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan

dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah.

Seperti diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang

dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah

akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan

memperkecil kebutuhan unit pengolahannya. Secara teknis drainase TPA

dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak

masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya

dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang

telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai penangkap aliran

limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut. Untuk itu

permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran

drainase. Bentuk tekstur tanah akan memperlihatkan bentuk drainase tanah.

Drainase tanah merupakan kemampuan permukaan tanah untuk meresapkan

airsecara alami. Drainase tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian

yaitu drainase baik (tidak pernah tergenang secara periodik), drainase sedang

Page 11: GALUGA LAPORAN

(tergenang secara periodik), dan drainase buruk (tergenang secara terus

menerus) (Hardjowigeno, 2007). Berdasarkan data yang didapatkan, kondisi

drainase tanah wilayah Desa Galuga ada 2 (dua) bentuk yang terlihat dari

perbedaan jenis tanah. Jenis tanah latosol cokelat kemerahan memiliki drainase

sedang, sedangkan untuk jenis tanah aluvial cokelat dan aluvial cokelat

kekelabuan memiliki drainase sedang sampai agak terhambat. Kawasan TPA

Galuga dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan memiliki drainase sedang.

c. Fasilitas Penerimaan

Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang

datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada

umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA.

Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari

maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan

pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut

sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan

dapat dijalankan.

d. Lapisan Kedap Air

Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk

di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus

dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding. Bila

tersedia di tempat, tanah lempung setebal +50 cm merupakan alternatif yang baik

sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan

lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi.

e. Fasilitas Pengamanan Gas

Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan

dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit

jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan

global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas

tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa-

pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik

tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA.

Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan

gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara

pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.

f. Fasilitas Pengamanan Lindi

Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan

banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar

khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan

pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani

dengan baik. Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas

pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran

pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga lindi secara

otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada

mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan. Tempat pengumpulan lindi

umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya dihitung berdasarkan debit

lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam

pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA

tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan. Pengolahan

Page 12: GALUGA LAPORAN

lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya: penguapan/evaporasi

terutama untuk daerah dengan kondisi iklim kering, sirkulasi lindi ke dalam

timbunan TPA untuk menurunkan baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya,

atau pengolahan biologis seperti halnya pengolahan air limbah.

g. Alat Berat

Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator

dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda

dalam operasionalnya. Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan

pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat

efisien dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah.

Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah

tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan. Untuk TPA kecil disarankan dapat

memiliki bulldozer atau excavator, sementara TPA yang besar umumnya

memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.

h. Penghijauan

Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah:

peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan

lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu

mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya

(permukiman, jalan raya, dll)

i. Fasilitas Penunjang

Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian

TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist

blower), kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.

Pemanfaatan lahan di Desa Galuga relatif homogen. Terlihat pada Citra

Quickbird tahun 2010 (UPTD TPA Kota Bogor 2011), wilayah ini didominasi oleh

vegetasi meliputi pepohonan dan rerumputan dengan luas areal mencapai 120.425

ha atau 52,53%. Kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah berupa sawah

ataupun lahan kering berupa kebun campuran masih menjadi alternatif oleh

penduduk sekitar dalam pemanfaatan lahan.

Daerah persawahan memiliki luas sekitar 60.611 ha atau 26,44%. Daerah

persawahan berada di bentuk wilayah datar yang berada di sebelah timur dan di

sebelah barat bagian utara Desa Galuga. Sedangkan kebun campuran memiliki luas

6,341 ha atau 2,77%. Sampai pada tahun 2011, dari citra terlihat kawasan TPA

Galuga menghabiskan sekitar 5 ha atau 2,2% lahan Desa Galuga untuk tempat

buangan TPA. Kawasan pemukiman terlihat lebih mengelompok yang berada di

sebelah selatan dan sebelah timur yang terletak di sepanjang jalan desa dan sedikit

di sebalah tengah bagian timur yang relatif menyebar. Tipe penggunaan lahan

dengan luas disajikan pada Tabel 2, sedangkan peta penggunaan lahan Desa Galuga

disajikan pada Gambar 1.

Page 13: GALUGA LAPORAN

Gambar 1 Peta Penggunaan Lahan Desa Galuga

Tabel 2 Tipe dan Luas Penggunaan Lahan di Desa Galuga

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas (%)

Badan Air 8.005 3.51

Industri 7.108 3.10

Kebun Campuran 6.341 2,77

Lahan Terbuka 6.146 2.68

Pemukiman 20.571 8.97

Sawah Irigasi 60.661 26.44

Vegetasi 120.425 52.53

Sumber : Citra Quickbird Tahun 2010 (UPTD TPA Kota Bogor 2011)

Kondisi dilapangan berdasarkan peta guna lahan yang dari Bakosurtanal

(1999) kondisi fisik pada lapangan adalah ± 75% lahan digunakan sebagai kebun

dan persawahan, pemukiman digunakan ± 16% Semak belukar 7%, tegalan 1% dan

lokasi TPA ± 1%. Pada sekitar lokasi TPA terdapat bangunan yang tidak permanen,

gubuk yang merupakan tempat penampungan barang-barang yang diambil dari

TPA, dan di sekitar jalan masuk menuju TPA terdapat bangunan yang permanen

yaitu pemukiman penduduk. Penggunaan lahan dan kegiatan lain di sekitar TPA

Galuga dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 14: GALUGA LAPORAN

Tabel 3 Penggunaan Lahan TPA Galuga

No Penggunaan Lahan Luas (ha)

1 Areal Pembongkaran sampah 1.040

2 Sarana jalan dan saluran drainase 0.510

3 Saluran dan kolam pengolahan lindi 0.360

4 Kantor dan pos pengawas 0.600

5 Pos pelayanan kesehatan 0.020

6 Lahan penampungan sampah 7.476

7 Pabrik kompos 1.000

8 Penggunaan lainnya 3.500

Sumber : KLH Bogor tahun 2010

Pada dasarnya penempatan pengelolaan sampah harus sesuai dengan

ketentuan peraturan yang berkenaan dengan tata ruang. Namun dalam

pelaksanaannya di TPA Galuga sendiri masih jauh dari konsep tata ruang yang

ideal, artinya dari segi tempat yang dikatakan telah masuk kategori sesuai dengan

tempat pembuangan akhir yakni jauh dari sumber mata air, jauh dari sungai, jauh

dari pemukiman namun sebenarnya jika meruntut pada teknis operasional

pengelolaan sampah sendiri banyak hal yang mesti dibenahi dan diperbaiki mulai

dari sarana yang menjadi unsur utama dalam pengelolaan sampah seperti lahan

yang tidak akan mencemari lingkungan, kemudian peralatan yang mendukung

dalam operasional pengolahan sampah seperti alat berat, drainase, saluran lindi,

pipa ventilasi pengaman gas dan lain sebagainya. Namun memang jika

permasalahan-permasalahan yang timbul juga akibat kurangnya pendanaan dari

pemerintah, terlebih unsur pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan, unsur

tata ruang, dinas kebersihan, lingkungan hidup dan semua unsur yang ikut terlibat

dalam pengelolaan tata ruang yang ada di Kabupaten Bogor.

Page 15: GALUGA LAPORAN

ALAT ANGKUT DAN PENUNJANG TPA GALUGA

Berdasarkan informasi dari pihak terkait, ada 2 jenis alat angkut yang

digunakan untuk mengumpulkan sampah di Galuga, yaitu dam truk dan amrol.

Untuk mengangkut sampah yang berasal dari kota, Pemerintah Kota Bogor

menyediakan 63 dump truck dan 29 arm roll, sedangkan untuk mengangkut sampah

yang berasal dari Kabupaten Bogor, tersedia 200 dam truk yang digunakan setiap

harinya. Sampah yang diangkut dari kota dan kabupaten ini dibawa ke Galuga

sebagai tempat pembuangan akhir. Galuga memiliki alat penunjang untuk

pengolahan sampah warga Bogor berupa satu unit bulldozer, tiga unit wheeldozer

atau wheel loader , dan 1 unit beko atau alat keruk.

1. Alat Angkut Di TPA Galuga

- Dump truck

Merupakan kendaraan angkut yang dilengkapi sistem hidrolis untuk mengangkat

bak dan membongkar muatannya. Pengisian muatan masih tetap secara manual

dengan tenaga kerja. Truk ini memiliki kapasitas yang bervariasi yaitu 6m3, 8m3,

10m3, 14m3. Dalam pengangkutan sampah, efisiensi penggunaan dump truck

dapat dicapai apabila memenuhi beberapa kriteria yaitu jumlah trip atau ritasi

perhari minimum 3 dan jumlah crew maksimum 3 orang. Agar tidak

mengganggu lingkungan selama perjalanan ke TPA, dump truck sebaiknya

dilengkapi dengan tutup terpal. Dump truck memiliki prinsip kerja yang dapat

dibedakan menjadai dua bagian, yaitu:

a. Gerakan Travelling (Gerakan Jalan)

Gerakan yang dimaksud di sini adalah gerakan dari dump truck untuk berjalan

mengangkut muatan dari satu tempat menuju tempat lain untuk memindahkan

dan menumpahkan muatan tersebut. Gerakan tersebut dimulai dari dari suatu

sumber tenaga yang dinamakan dengan mesin penggerak. Mesin ini akan

memutar poros penggerak, kemudian melalui kopling akan menggerakkan

transmisi roda gigi yang diatur oleh handle gigi. Transmisi ini memutar roda-

roda dump truck untuk berjalan dan memindahkan muatan, melalui poros

propeller dan gigi diferensial.

b. Gerakan Dumping atau Menumpahkan Muatan

Pada saat menumpahkan muatan dengan pengangkatan bak, dump truck

menggunakan sistem hidrolis. Sistem ini merupakan pemindah daya dengan

menggunakan zat cair atau fluida sebagai perantaranya. Sistem hidrolis

merupakan pengubahan tenaga dari tenaga hidrolis menjadi mekanis. Dengan

gerakan dumping yang berprinsip kerja sistem hidrolis tersebut, muatan akan

dengan mudah meluncur ke bawah. Saat memiringkan muatan tersebut sistem

hidrolis didapatkan dari mesin penggerak kemudian diteruskan pada mekanisme

roda gila untuk menggerakkan pompa hidrolik. Pompa tersebut akan mendorong

atau mengalirkan fluida menuju katup pengontrol. Dari katup inilah aliran fluida

akan diatur oleh tekanan minyak oli yang masuk ke dalam silinder hidrolik.

Tekanan minyak yang telah diatur tersebut akan mendorong silinder hidrolik

untuk menumpahkan muatan material yang ada dalam bak truck.

Page 16: GALUGA LAPORAN

Adapun spesifikasi dari kendaraan dump truck sendiri ialah :

a. Kendaraan standar berchasis baja, mempunyai 6 roda (roda belakang double dan

ukuran Ban 7.00–16– 14 PR atau 7.50-16-12 PR

b. Dilengkapi alat pengangkat hidrolis untuk menaikkan/menurunkan/mengangkat

BAK dengan sudut angkat sekurang-kurangnya 45o

c. Menggunakan gear pump tekanan tinggi yang kerjanya diatur dengan mesin

truk. Semua peralatan dioperasikan dari kabin kendaraan. Semua bagian logam

harus diproteksi terhadap bahaya korosi.

d. Dimensi total dump truck tidak lebih dari P x L x T = 6,5 x 2,5 x 3 m

e. Mesin kendaraan angkut dump truck tipe diesel 4 silinder dengan daya 120 kw

(90 Hp) dan torsi maksimum sekurang-kurangnya 20 kg

f. Berat kosong alat angkut dump truck tidak lebih dari 3.500 kg dengan berat bak

ditambah beban maksimum sebesar 3.500 kg

Gambar 2 Dump Truck

- Arm Roll Truck

Merupakan kendaraan angkut yang dilengkapi sistem hidrolis untuk mengangkat

bak dan membongkar muatannya. Pengisian muatan masih tetap secara manual

dengan tenaga kerja. Truk ini memiliki kapasitas yang bervariasi yaitu 6m3, 8m3,

dan 10m3. Dalam pengangkutan sampah, efisiensi penggunaan arm roll truck

dapat dicapai apabila memenuhi beberapa kriteria yaitu jumlah trip atau ritasi

perhari minimum 5 dan jumlah crew maksimum 1 orang. Agar tidak

mengganggu lingkungan selama perjalanan ke TPA, container sebaiknya

memiliki tutup dan tidak rembes sehingga leachate tidak mudah tercecer.

Kontainer yang tidak memiliki tutup sebaiknya dilengkapi dengan tutup terpal

selama pengangkutan. Spesifikasi dari mobil Arm roll Truck ini adalah :

a. ART-1 : Kendaraan standar berchasis baja, mempunyai 6 roda (roda belakang

double dan ukuran ban 7.00–16–14 PR atau 7.50-16-12 PR,

b. Dilengkapi alat pengangkat hidrolis untuk menaikkan/ menurunkan/

mengangkat container dengan sudut angkat sekurang-kurangnya 45o

c. Menggunakan Gear Pump tekanan tinggi yang kerjanya diatur dengan mesin

truk. Semua peralatan dioperasikan dari kabin kendaraan. Semua bagian logam

harus diproteksi terhadap bahaya korosi.

Page 17: GALUGA LAPORAN

d. Dimensi total ART-1 tidak lebih dari P x L x T = 6,5 x 2,5 x 3 m

e. Mesin kendaraan angkut ART-1 type diesel 4 silinder dengan daya 120 kw (90

Hp) dan torsi maksimum sekurangkurangnya 20 kgm Berat kosong alat angkut

container tidak lebih dari 3.500 kg dengan berat bak ditambah beban maksimum

sebesar 3.500 kg

Gambar 3 Arm Roll Truck

Gambar 4 Teknis Kerja Hidrolis Bak Arm Roll Truck

2. Alat penunjang pengolahan sampah

- Bulldozer,

Pada dasarnya bulldozer menggunakan traktor sebagai tempat dudukan

penggerak utama, tetapi lazimnya traktor tersebut dilengkapi dengan sudut

sehingga dapat berfungsi sebagai Bulldozer yang bisa untuk menggusur tanah.

Bulldozer adalah salah satu jenis dozer yang bergerak ke depan, sedangkan jenis

lainnya adalah angle dozer yang bergerak serong 25o. Type bulldozer, tergantung

dari macam blade dan alat geraknya. Bulldozer digunakan sebagai alat

pendorong tanah lurus ke dapan maupun ke samping, tergantung pada sumbu

kendaraannya. Bulldozer adalah jenis peralatan konstruksi (biasa disebut alat

berat atau construction equipment) bertipe traktor menggunakan Track/ rantai

serta dilengkapi dengan pisau (dikenal dengan blade) yang terletak di depan.

Bulldozer diaplikasikan untuk pekerjaan menggali, mendorong dan menarik

material (tanah, pasir, dsb). Selain blade sebagai perlengkapan standar

Bulldozer, pada sisi belakang Bulldozer bisa dipasang perlengkapan tambahan

berupa :

Page 18: GALUGA LAPORAN

a. Ripper untuk membongkar material yang tidak dapat digali menggunakan blade,

biasanya untuk pekerjaan pembuatan jalan atau pertambangan.

b. Winch untuk menarik material, sering digunakan pada pekerjaan pengeluaran

kayu di hutan.

Umumnya bulldozer banyak digunakan di pekerjaan pertambangan, terutama

untuk pertambangan batubara. Bulldozer ini digunakan untuk meratakan tanah,

menggali dan menumbangkan pohon saat proses land clearing. Tapi tidak

menutup kemungkinan alat ini digunakan di tempat pembuangan sampah,

bulldozer digunakan untuk memindahkan sampah dengan cara mendorong

sampah sekaligus meratakan kembali tempat yang tadinya terdapat gunungan

sampah.

Gambar 5 Bulldozer

- Wheeldozer Atau Wheel Loader

Wheel loader adalah alat berat mirip dozer shovel, tetapi beroda karet (ban),

sehingga baik kemampuan maupun kegunaannya sedikit berbeda. Wheel Loader

menggunakan ban sebagai penggeraknya yang memudahkan mobilitas dan juga

fungsi articulate yang memberikan ruang gerak fleksibel. Wheel loader

merupakan alat yang dipergunakan untuk pemuatan material kepada dump truck

dan sebagainya. Sebagai prime mover loader menggunakan tracktor. Disini

dikenal dua macam loader (ditinjau dari prime movernya), yakni :

a. Loader dengan penggeraknya crawler tractor atau disebut track cavator.

b. Loader dengan penggeraknya crawler tractor atau disebut wheel tractor

Wheel Loader di TPA Galuga digunakan untuk memindahkan sampah ke dump

truck guna dipindahkan ke tempat lainnya atau memindahkan sendiri sampah ke

tempat yang jangkauannya tidak terlalu jauh.

Page 19: GALUGA LAPORAN

Gambar 6 Whell Loader

- Excavator

Excavator adalah Alat berat yang terdiri dari batang, tongkat, keranjang dan

rumah rumah dalam sebuah wahana putar dan digunakan untuk penggalian

(akskavasi). Sistem hidrolik pada excavator digunakan untuk mengendalikan

pengendalian boom raise/lower, stick out/in, bucket close/open, swing right/left,

atau kombinasi dari gerakan-gerakan di atas. Sistem tenaga hidrolik ini dikontrol

oleh main control valve, yang terdiri dari beberapa katup directional control

valve (DCV). Sistem hidrolik digerakan oleh dua buah variable pump dengan

jenis pompa piston (axial piston pump) dimana pompa ini menyalurkan tenaga

dari engine pada excavator. Excavator pada TPA Galuga ini berfungsi untuk

mengeruk timbunan sampah agar tidak menggunung dan memindahkan sampah

dari titik pembuangan oleh truck ke tempat seharusnya baik untuk diolah

maupun dipindahkan pada sanitary landfill.

Gambar 7 Excavator di Tempat Pembuangan Sampah

Page 20: GALUGA LAPORAN

MEKANISME PENANGANAN SAMPAH

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga merupakan TPA yang berada di

Kabupaten Bogor. TPA tersebut didirikan pada tahun 1986 dengan luas lahan yang

terus mengalami pertambahan. TPA Galuga beroperasi menerima sampah dimulai

dari pukul 05.00 – 15.00 WIB untuk sampah yang berasal dari Kota Bogor,

sedangkan untuk sampah yang berasal dari Kabupaten Bogor tidak memiliki

batasan waktu. Setiap 5 tahun diadakan perjanjian (MoU) antara Pemda Kabupaten

Bogor dan Pemda Kota Bogor serta penduduk setempat dalam hal perpanjangan

kontrak pembuangan sampah penduduk Kota Bogor ke Kabupaten Bogor. Saat ini

Pemerintah Kabupaten Bogor mempersiapkan alternatif TPA lain di daerah Nambo

sebagai daerah pembuangan sampah alternatif apabila pembuangan sampah ke TPA

Galuga mengalami kendala dari segi teknis maupun sosial.

Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata

Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah

Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor

591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir

(TPA) Sampah. Terdapat dua jalur transportasi sampah pada TPA Galuga yakni

jalur transportasi masuk dan jalur transportasi keluar. Jalur tersebut memiliki rute

seperti cycle sehingga truk yang membawa sampah tidak memutar balikkan truknya

tetapi hanya mengikuti rute yang telah ada. Kemudian terdapat IPAL yang

ditunjukkan dengan pengolahan air lindi yang dihasilkan. Selain itu terdapat

pengolahan sampah organik menjadi kompos.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya

terutama di Kota Bogor, jumlah sampah yang dihasilkan terus bertambah dari

waktu ke waktu dan jenisnya semakin beragam. Menurut Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kota Bogor, sampah yang dihasilkan Kota Bogor berasal dari aktivitas

pemukiman, sampah pasar, sampah pertokoan, dan sampah fasilitas umum dan

sampah UKM. Sampah ini sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir biasanya

ditampung pada tempat pembuangan sementara yang berbentuk bak-bak sampah

atau menggunakan kontainer sampah yang dapat langsung dibawa oleh truk

sampah. Kemudian oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, sampah

disetiap penampungan sementara diangkut ke pembuangan akhir di Tempat

Pembuangan Akhir sampah Galuga. Sampah B3 seperti sampah dari RS dan

industri tidak diperkenankan membuang sampahnya pada TPA Galuga. Hal ini

disebabkan oleh terdapat banyak pemukiman penduduk di sekitar TPA Galuga

sehingga sampah B3 yang dibuang akan menjadi polusi tanah dan air dan

membahayakan kesehatan penduduk bahkan dapat menyebabkan kematian.

Ketentuan ini tercantum dalam peraturan Pemkot Bogor dengan pelanggaran

bersifat pidana atau denda. Secara umum jenis limbah yang boleh dibuang di TPA

adalah plastik, limbah makanan, kertas, limbah sayur dan buah dan barang

rongsokan serta abu.

Pada tahun 1997 Pemerintah Kota Bogor mengalihkan pembuangan sampah

ke TPA Rancamaya, tetapi karena terjadi bencana alam di TPA Rancamaya pada

tahun 1999 maka pembuangan sampah pun dialihkan kembali ke TPA Galuga.

Pengelolaan sampah di TPA Galuga awalnya masih menggunakan metode open

dumping yaitu sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir

tanpa ada perlakuan apapun, tetapi saat ini telah sistem tersebut sudah diubah

Page 21: GALUGA LAPORAN

menjadi controlled landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010).

Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk

mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun

dengan lapisan tanah secara periodik. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan

efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga

perataan dan pemadatan sampah. Pengolahan TPA yang baik seharusnya

menggunakan metode sanitary landfill. Metode controlled landfill masih dilakukan

karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut.

Penerapan metode sanitary landfill membutuhkan lahan yang luas serta biaya

pengelolaan yang besar. Sebanyak satu atau beberapa kali dalam setahun TPA

Galuga melakukan penimbunan permukaan lahan sampah yang telah padat dengan

tanah. Keberlangsungan kegiatan ini ditentukan oleh APBD yang ada. Gambar 8

menunjukkan lahan penampungan sampah TPA Galuga (controlled landfill).

Gambar 8 Lahan Pembuangan Sampah Galuga

Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa sampah yang dibuang pada TPA

Galuga berasal dari Kota dan Kabupaten Bogor serta beberapa daerah diluar bogor

seperti Jonggol. Total sampah dari Kota Bogor yang dibuang pada TPA Galuga per

hari mencapai 1670 m3 (2012) dengan menggunakan alat transportasi truk armroll

dan Dumptruck. Truk Armroll memiliki kapasitas sekitar 5 – 6 m3 dan Dumptruck

memiliki kapasitas 8 – 10 m3. Setiap hari sebanyak 63 dumptruck mengangkut

sampah dari Kota Bogor sedangkan sebanyak 29 truk amerol mengangkut sampah

dari kota. Asumsi jumlah sampah yang masuk ke TPA per hari mencapai lebih dari

2000 m3.

Pemisahan dan Pengolahan Sampah

Sampah yang masuk ke TPA Galuga harus melalui kegiatan pemisahan dan

pengolahan sampah yang dibuang pada TPA. Sampah yang masuk ke TPA Galuga

umumnya adalah sampah domestik (penduduk Kota dan Kabupaten Bogor) dan

sampah pasar (sebagian besar sampah organik).

Page 22: GALUGA LAPORAN

Kegiatan pemisahan dilakukan oleh pemungut pada sampah domestik

maupun sampah pasar. Sampah yang datang telah mengalami pemisahan sederhana

dari sumber sampah yakni sampah domestik (penduduk) dimasukkan pada Limbah

Semen (tempat penerimaan sampah awal) sedangkan sampah dari pasar yang

sebagian besar terdiri dari sampah organik dimasukkan dalam bagian

pengomposan. Pada bagian pengomposan sampah non organik yang masih terdapat

pada sampah pasar akan dipisahkan kemudian sampah organik yang telah

dipisahkan akan dikomposkan. Adapun pada Gambar 9 tampak hasil pemisahan

sampah non organik dari sampah pasar berikut alat penghancur sampah organik.

Gambar 9 Hasil pemisahan sampah non organik dari sampah pasar dan alat

pengecil ukuran sampah organik

Pada limbah semen, sampah yang datang kemudian dipisahkan sebagian oleh

pemungut (plastik atau barang – barang non organik lain). Hal ini sebenarnya bukan

kegiatan pemisahan karena tidak semua sampah terpisahkan (organik dan non

organik). Pemungut yang ada pada TPA Galuga yang berperan dalam kegiatan ini

mencapai 250 pemulung dengan pendapat satu hari maksimum 200.000 rupiah dari

hasil penjualan barang-barang yang dipisahkan. Gambar 10 menunjukkan kegiatan

pemisahan pada area limbah semen (areal pendaratan sampah).

Gambar 10 Limbah Semen

Page 23: GALUGA LAPORAN

Pengomposan

Pengolahan sampah di TPA Galuga adalah dalam bentuk pengomposan

sampah organik yang hasilnya adalah pupuk organik (kompos) yang dijual ke petani

yang ada di sekitar TPA Galuga. Dalam sehari bisa dihasilkan 5 ton kompos yang

dijual dengan harga Rp. 700,- per kg nya. Pada Gambar 11 tampak hasil

pengomposan berupa pupuk yang telah dikemas dan disimpan dalam gudang.

Gambar 11 Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah organik

Gambar 12 Penumpukan kompos di gudang pengolahan sampah TPA Galuga

Saat ini jarang sekali sampah organik yang diolah menjadi kompos karena

kompos yang dihasilkan belum semua terjual sehingga terjadi penumpukan di

gudang yang tampak pada Gambar 12. Alasan mengapa kompos yang dihasilkan

tidak atau kurang diminati adalah karena sampai sekarang petani masih belum

banyak menggunakan kompos (pupuk organik) untuk tanaman atau sayuran yang

ditanamnya. Petani baik yang ada di sekitar TPA Galuga masih banyak yang

menggunakan pupuk kimia dibandingkan pupuk organik (kompos), sehingga

penjualan kompos yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik di TPA Galuga

kurang maksimal.

Adapun alur proses pengomposan yang ada di TPA Galuga adalah seperti

terpampang pada Gambar 13.

Page 24: GALUGA LAPORAN

Gambar 13 Alur proses pembuatan kompos dari sampah organik

Komposisi pembuatan kompos (pupuk organik) di TPA Galuga ini adalah

umumnya sampah sayur (>60%) yang berasal dari pasar-pasar yang ada di

Kabupaten dan Kota Bogor. Setelah itu dilakukan fermentasi selama 50 hari

dilakukan dengan penembahan serbuk gergaji sebanyak 15% dan kotoran sapi

sebanyak 25%. Setelah fermentasi 50 hari kemudian dikeringkan selama 1 – 2 hari

yang kemudian masuk ke mesin pencacah yang ada di TPA Galuga (sebanyak 3

buah). Mesin pencacah ini akan menghasilkan ketebalan 1 mm. Karena umur mesin

yang sudah tua, sehingga sebelum masuk ke mesin pencacah akan lebih baik apabila

sebelum dilakukan fermentasi terlebih dahulu dilakukan pemilahan sampah-

sampah yang akan dijadikan kompos.

Pemadatan dan Penimbunan

Pada kegiatan pemadatan digunakan beberapa alat berat yaitu pengeruk,

bulldozer, kobe dan beco. Pemadatan dilakukan dengan menekan timbunan sampah

pada lahan dengan alat berat dengan tujuan memperkecil volume sampah sehingga

memungkinkan sampah-sampah baru dapat dimuat pada lahan (meningkatkan

kapasitas penampungan sampah). Selain pemadatan, dilakukan penimbunan lahan

dengan tanah. Kegiatan ini dilakukan dengan menambahkan tanah pada permukaan

tumpukan sampah yang telah dipadatkan. Pengolahan ini sesuai dengan aturan

sistem pembuangan akhir controlled landfill.

Sampah Pasar Pemilahan Pembersihan

Penambahan Bahan

FermentasiFermentasiPencacahan

PengayakanPengemasan

(kg)Pengemasan

(karung)

Page 25: GALUGA LAPORAN

LIMBAH CAIR TPA GALUGA

Pembuangan sampah secara rutin ke dalam TPA dapat menimbulkan

pencemaran terhadap perairan baik di permukaan maupun di dalam tanah. Sampah

yang bertambah secara terus-menerus akan mempengaruhi tingkat degradasi dari

sampah tersebut (Pohland dan Harper 1985). Penguraian sampah organik bisa

menghasilkan zat hara, zat-zat kimia yang bersifat toksik dan bahan-bahan organik

terlarut. Semua zat tersebut akan mempengaruhi kualitas air, baik air permukaan

maupun air tanah dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia ,

dan biologi perairan (Pohland dan Harper 1985).

Tumpukan sampah akan menyebabkan bau busuk yang mencemari udara dan

lingkungan di sekitar. Sampah terdiri dari berbagai macan bahan material mulai dari

bahan organik dan bahan anorganik. Apabila sampah dibiarkan terus menerus

menumpuk akan berdampak pada tanah. Ketika tanah yang dijadikan tempat

pembuangan sampah secara open dumping dan sanitari landfill turun hujan maka

akan menyebabkan air tersebut mengalami infiltrasi, mencuci sampah dan

membawa zat-zat kimia yang ada pada sampah tersebut meresap kedalam tanah.

Sehingga terjadi pencemaran air tanah.

Air lindi merupakan air yang keluar dari tumpukan sampah karena masuknya

rembesan air hujan ke dalam tumpukan lalu bersenyawa dengan komponen-

komponen hasil penguraian sampah. Lindi sampah TPA Galuga dihasilkan oleh

tumpukan sampah yang ditampung. Komposisi lindi yang terbentuk akan sesuai

dengan jenis sampah yang masuk ke dalam TPA. Secara gravitasi, air lindi yang

terbentuk pada TPA Galuga mengalir ke tempat yang lebih rendah melalui saluran

permanen yang terbuat dari tembok beton dengan panjang saluran sekitar 400 m,

lebar 1-1,5 m dan dalam 0,5-1 m. Lindi tersebut kemudian masuk ke dalam kolam

pengolahan (pengendapan) permanen sebanyak 4 buah. Pada keempat kolam

pengolahan ini, lindi yang masuk akan diendapkan dan selanjutnya dikeluarkan ke

saluran pembuangan. Saluran pembuangan ini dibuat tidak permanen dengan lebar

1 m dan tinggi air sekitar 10-25 cm yang langsung berhubungan dengan saluran

irigasi penduduk.

TPA sampah Galuga mempunyai 4 buah kolam pengolahan. Sebelum air lindi

hasil buangan sampah terbuang keperairan umum, lindi tersebut diolah terlebih

dahulu pada kolam-kolam pengolahan. Menurut DKP (2003), keempat kolam

tersebut dirancang dengan fungsi tertentu. Kolam pengolahan pertama mempunyai

fungsi sebagai kolam aerasi dengan ukuran sekitar 20 m3. Kolam pengolahan kedua

dan ketiga sebagai kolam flokulasi dengan ukuran masing-masing sekitar 40 m3 dan

kolam keempat sebagai kolam pengendapan mempunyai ukuran sekitar 12 m3.

Kenyataannya pada saat pengamatan setiap bak pengolahan tersebut tidak

difungsikan sesuai dengan seharusnya. Pada setiap bak pengolahan, air lindi yang

masuk hanya dialirkan, diendapkan, kemudian dikeluarkan kesaluran perairan

umum tanpa ada proses pengolahan lebih lanjut. Hal ini sangat disayangkan, karena

bak pengolahan yang telah dirancang tidak dioperasikan sesuai dengan fungsinya.

Page 26: GALUGA LAPORAN

Gambar 14 Pengolahan Air Lindi TPA Galuga

Turunnya hujan pada kondisi topografi tertentu dapat mengakibatkan

masuknya lindi ke dalam sumur gali di sekitar TPA sampah. Penelitian

menyebutkan bahwa intensitas curah hujan rata-rata perjam di daerah Leuwiliang

dan sekitarnya berkisar antara 61,1 mm hingga 117,9 mm. Curah hujan seperti ini

dapat menjadi larutan air lindi dan yang terpapar dideposit sampah, kemudian

sebagian masuk ke dalam tanah (bercampur dengan air tanah) dan sebagian lagi

mengalir ke permukaan tanah. Menurut Alfons, Kristijanto dan Soenarto (2005) air

hujan dapat mempercepat proses pembusukan mikrobiologi dan bahan-bahan

organik yang ada di sampah. Pada waktu yang sama, partikel-partikel seperti nitrat,

fosfat, besi, sulfat, kation dan anion lainnya akan terlarut. Selain itu, air hujan juga

bertindak sebagai media meresapnya air lindi ke air tanah. Air mengalami

penurunan kualitas seperti kulitas fisika, kimia, dan mikrobiologi air minum.

Berkenaan dengan siklus air di TPA Galuga dan sekitarnya, dapat dilihat

bagaimana kemungkinan terjadinya rembesan arah air permukaan (run off) di TPA

Galuga. Kemungkinan terjadi pencemaran air hujan turun terjadi infiltrasi di tempat

TPA. Lokasi yang lebih rendah topografinya dan kelerengan yang lebih rendah

dapat mempengaruhi kualitas air sumur melalui akibat rembesan dengan membawa

bahan-bahan terlarut (senyawa organik, ion-ion larut, gas-gas larut). Kemudian

bahan-bahan yang terlarut menjadi bagian air tanah dan air bawah tanah. Terjadi

aliran bawah permukaan jadi mata air tercemar masuk sumur-sumur gali penduduk

(Gambar 15).

Page 27: GALUGA LAPORAN

Gambar 15 Siklus air dan kemungkinan terjadinya pencemaran mata air dan air

sumur gali penduduk

Syahrulyati (2005) mengemukakan bahwa dampak pencemaran lindi dari

TPA Galuga secara umum membentuk pola pengaliran dari Selatan ke Utara bahwa

wilayah perkampungan yang terkena dampak meliputi Desa Galuga, Lalamping,

Desa Dukuh dan bagian Utara Moyan Ganteng pada kontur muka air tanah paling

tinggi pada level 194 m. Arah aliran pergerakan air bawah permukaan disekitar

TPA Galuga dipengaruhi oleh sifat batuan yang mendasarinya. Berdasarkan hasil

analisis kandungan BOD/COD, DO, NH4 dan E.coli, air di sekitar TPA Galuga

telah tercemar ringan oleh air lindi. Kandungan E.coli air bersih sudah

memperlihatkan terkontaminasi oleh bakteri, kandungan amoniak melebihi ambang

batas. Tingginya kadar sulfat, mangan karena faktor batuan secara mineralogist.

Peneliti mencoba melakukan penelitian bagaimana kondisi air pada pola pengaliran

air daerah yang terpengaruh dan daerah yang tidak terpengaruh pola aliran air

bawah arah aliran pergerakan air bawah permukaan di sekitar TPA Galuga

dipengaruhi oleh sifat batuan yang mendasarinya.

Apabila mencermati kualitas air sumur yang berada di sekitar TPA, maka ada

indikasi bahwa keberadaan sampah di TPA Galuga telah mencemari air tanah yang

berada di sekitarnya, khususnya sebelah Utara (bagian hilir) dari areal penumpukan

sampah, berupa pencemaran mikrobiologi yang lebih tinggi dari BML (Permenkes

No. 416/1990). Dengan demikian air sumur tersebut bukan untuk air minum, tetapi

untuk keperluan lain, seperti budidaya pertanian. Keadaan tersebut sudah dapat

dimengerti oleh penduduk setempat karena air sumur tersebut mereka gunakan

untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK) sedangkan kebutuhan air minum

dipasok dari pelayanan air bersih yang disediakan oleh pengelola TPA Galuga

(Pemkot Bogor).

Adapun, cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai

juga akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga

beberapa spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis

perairan. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan

pencemaran air dari kelangsungan pengelolaan sampah di TPA Galuga serta upaya

pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu

air yang berlaku.

Page 28: GALUGA LAPORAN

LIMBAH GAS TPA GALUGA

Penanganan Gas Metana

Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbon

dioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan

menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani karena

merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas

H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak. Gas metana sebenarnya

merupakan salah satu gas yang berbahaya, jika tidak dimanfaatkan maka gas

metana yang keluar dari timbunan sampah bisa menambah efek rumah kaca yang

dapat merusak alam dan lingkungan.

Gas metana terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa

udara) oleh bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas

untuk mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung bahan organik

(biomassa) sehingga terbentuk gas metana (CH4) yang apabila dibakar dapat

menghasilkan energi panas. Pada tempat-tempat tertentu proses perubahan ini

terjadi secara alamiah, seperti pada TPA sampah.

Gambar 16 Siklus gas metana

Proses dekomposisi bahan organik secara anerobik pada dasarnya adalah

proses yang terdiri atas dua tahap, yaitu proses asidifikasi (pengasaman) dan proses

pembentukan metana. Proses asidifikasi terjadi karena kehadiran bakteri

pembentuk asam yang disebut dengan bakteri asetogenik. Bakteri ini akan

memecah struktur organik kompleks menjadi asam-asam volatil (struktur kecil).

Pada proses penguraian protein dipecah menjadi asam-asam amino,

karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana, lemak dipecah

menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan dipecah lebih

jauh menjadi asam-asam volatil. Bakteri asetogenik juga melepaskan gas hidrogen

dan gas karbondioksida. Bakteri pembentuk metan (bakteri metanogenik)

menggunakan asam yang terbentuk darl proses asidifikasi. Selain itu juga terdapat

Page 29: GALUGA LAPORAN

bakteri yang dapat membentuk gas metana dari gas hidrogen dan karbondioksida

yang dihasilkan dari proses pertama.

Gas metana yang dihasilkan dari proses penguraian secara alami di TPA harus

dikelola dengan baik karena jika dibiarkan begitu saja maka akan menyebabkan

pencemaran udara dan memungkinkan terjadinya ledakan. Pemanfaatan gas metana

hasil pengolahan sampah yang dilakukan secara terpadu dapat menjadi sumber

energi terbarukan sebagai bahan bakar maupun sumber energi listrik sehingga dapat

dinikmati oleh masyarakat sekitar. Selain itu pula, pemanfaatan tersebut juga

mengurangi dampak dari efek rumah kaca sehingga kelestarian lingkungan yang

terdapat disekitar TPA tetap terjaga.

Namun pemanfaatan tersebut belum terjadi pada TPA Galuga. Penanganan

gas metana yang dihasilkan dari sampah yang berada di TPA belum dikelola secara

efektif dan belum dimanfaatkan dengan baik. Sampai saat ini gas metana tetap

dibiarkan berada dan terakumulasi di TPA yang menjadi ancaman bagi para pekerja

dan warga sekitar karena menjadi “bom waktu” yang kapan saja dapat

meledak.Waktu yang diperlukan untuk menumpuk sampah pada satu sisi area di

TPA Galuga dapat lebih dari 5 tahun. Sehingga untuk sampah yang timbunannya

telah berumur lebih dari 5 tahun diperlukan pipa-pipa asap yang berfungsi untuk

menyalurkan gas metan (CH4) yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh bakteri.

Gas metana yang tidak disalurkan ke udara bebas dapat menimbulkan ledakan hebat

hingga terjadi kebakaran TPA.

Walaupun TPA Galuga telah menerapkan sistem pemisahan sampah organik

untuk komposting dan sampah anorganik untuk dipadatkan, namun pada sampah-

sampah organik masih terdapat sampah organik yang jumlahnya cukup banyak dan

sangat berpontensi terurai dan membentuk gas metana. Oleh karena itu, di TPA

Galuga diperlukan proses pengolahan atau pemanfaatan gas metana dengan

menggunakan pipa saluran untuk gas metana.

Pengolahan sampah organik yang akan dibuat untuk membuat kompos dapat

dikombinasikan dengan proses penampungan dan penyaluran gas metana untuk

menjadi sumber listrik dan energi. Pertama limbah organik dicampur dengan air

kemudian diendapkan dalam digester yang dijaga agar dalam kondisi anerobik

supaya proses penguraian dapat dilakukan oleh bakteri anaerobik. Setelah itu gas

metana yang dihasilkan disalurkan ke penampungan gas dan didistribusikan untuk

sumber energi dan listrik. Sedangkan cairan dan endapan yang dihasilkan menjadi

kompos cair dan kompos padat organik yang siap untuk digunakan.

Gambar 17 Siklus gas metana

Page 30: GALUGA LAPORAN

Gas metana yang terdapat pada TPA dapat dikumpulkan dengan

menggunakan pipa-pipa yang dipasang disepanjang TPA. Pipa dipasang secara

mendatar dan vertikal diantara tumpukan sampah. Dalam proses ini, gas akan

masuk ke dalam pipa karena adanya tekanan alami atau karena keadaan yang sedikit

vakum. Setelah itu udara bergerak menuju kompresor dan mesin untuk memisahkan

metana dari gas CO2 dan O2. Kompresor adalah alat mekanik yang berfungsi untuk

meningkatkan tekanan fluida mampu mampat, yaitu gas atau udara, bertujuan

meningkatkan tekanan dapat untuk mengalirkan atau kebutuhan proses dalam suatu

sistem proses yang lebih besar. Setelah itu gas melewati flare (cuar) untuk

menghasilkan panas tinggi tanpa harus ada ledakan. Gas metana kemudian di

transformasi menjadi energi listrik atau sumber energi untuk memasak kebutuhan

sehari-hari.

Gambar 18 Skema penanganan dan pemanfaatan landfill gas

Page 31: GALUGA LAPORAN

DAMPAK SOSIAL DAN LINGKUNGAN TPA GALUGA

Lingkungan merupakan salah satu bagian dari ekosistem tempat manusia

hidup dan berinteraksi. Keberadaan lingkungan memiliki arti penting dalam

menunjang kehidupan manusia. Kualitas lingkungan yang baik dapat membantu

mewujudkan kualitas hidup manusia yang lebih baik. Menurut Hadiwiyoto (1983),

sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan dan kesehatan.

Gangguan itu yaitu: (1) pencemaran udara dan bau yang tidak sedap; (2) sampah

bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan kondisi physicochemis yang dapat

mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan pH; (3) kekurangan oksigen pada

daerah pembuangan sampah; (4) gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi

sampah dapat membahayakan kesehatan dan kadang-kadang beracun dan dapat

mematikan, (5) penularan penyakit yang ditimbulkan oleh sampah; dan (6) secara

estetika pemandangan yang tidak nyaman untuk dinikmati.

Begitu halnya dengan TPAS Galuga, timbul beberapa pencemaran

lingkungan akibat penumpukan sampah yang diolah dengan tidak optimal. Miner

et al. (2000) mengatakan bahwa secara umum sampah dapat menimbulkan

pencemaran baik udara, air, maupun tanah. Pencemaran pada tanah terutama adalah

pencemaran terhadap air permukaan dan air dalam tanah yang sangat

membahayakan bagi kesehatan manusia. Di samping itu, pencemaran bahan kimia

dapat menimbulkan kerusakan tanah sehingga mempengaruhi kegunaan sumber

daya tersebut.

Sirodjuddin (2008) menyebutkan bahwa efek sampah terhadap manusia dan

lingkungan adalah:

1. Dampak terhadap kesehatan

Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah: (a) penyakit

diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah

dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum, penyakit demam

berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang

pengelolaan sampahnya kurang memadai; (b) penyakit jamur dapat juga

menyebar (misalnya jamur kulit); (c) penyakit yang dapat menyebar melalui

rantai makanan, salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan

oleh cacing pita (taenia), cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaan

binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan atau sampah;

(d) sampah beracun.

2. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi

Potensi bahaya sampah terhadap keadaan sosial dan ekonomi yang dapat

ditimbulkan adalah: (a) membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan

bagi masyarakat, bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena

sampah bertebaran dimana-mana; (b) memberikan dampak negatif terhadap

kepariwisataan; (c) menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal

penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk

mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk

kerja, rendahnya produktivitas); (d) pembuangan sampah padat ke badan air

dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas

pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain; (e) infrastruktur

lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai,

seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air.

Page 32: GALUGA LAPORAN

Pengelolaan sampah di TPA pada setiap daerah berbeda-beda tergantung

pada ketersediaan lahan, biaya, teknologi, dan faktor lingkungan sosial

sekitarnya. Keberadaan sampah menimbulkan masalah, karena lahan perkotaan

sangat terbatas. Alokasi serta pengadaan lahan sangat terbatas untuk fasilitas

TPA selalu diabaikan dan tidak terencana dengan tepat. Oleh karena itu,

pengelolaan sampah yang komprehensif harus memperhatikan sumber sampah,

lokasi dan interaksi terhadap lingkungan. Sebagian sampah di Indonesia masih

menerapkan pembuangan sampah terbuka, termasuk TPA sampah Galuga,

Cibungbulang. Kesederhanaan sistem pembungan terbuka, dapat memberikan

keuntungan terutama dapat memberikan lapangan pekerjaan pada masyarakat.

Namun memberikan masalah terutama menyangkut masalah penurunan estetika,

bau dan gangguan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Pengelolaan sampah di

TPA Galuga merupakan proyek yang akan berpengaruh terhadap aspek sosial

lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Setidaknya ada tiga

dampak positif yang timbul sebagai kesejahteraan penduduk, yaitu semakin

terbukanya informasi daerah sekitar TPA terhadap daerah lainnya, Terjadinya

peningkatan interaksi sosial masyarakat di sekitar TPA dengan masyarakat

lainnya, terjadinya peningkatan perbedaan status sosial, sejalan dengan

kesenjangan pendapatan dikalangan masyarakat (Tonny 1990).

Sampah adalah sesuatu bahan padat yang sudah tidak digunakan lagi

dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Pemanfaatan kembali limbah padat

atau sampah banyak memberikan kembali keuntungan bagi kehidupan manusia.

Sampah yang semula tidak berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui

proses daur ulang menjadi bernilai ekonomis seperti: kertas, bahan organik,

tekstil/pakaian, gelas, logam karet, kulit dan plastik (Wardhana 2004).

Masyarakat banyak berpendapat tentang rendahnya pekerjaan pemulung,

tetapi tidak disadari manfaat yang dapat dikerjakan oleh pemulung sampah.

Pekerjaan ini bukanlah menjadi hambatan bagi mereka yang melihatnya dari

aspek pemanfaatan, dan dapat dipakai sebagai mata pencaharian atau dipakai

sebagai aspek ekonomi yang dapat menunjang pendapatan keluarga.

Awalnya areal TPA Galuga digunakan sebagai tempat pembuangan

sampah dan keberadaan rumah penduduk berada cukup jauh dari areal TPA

dimana selama aktifitas TPA berjalan tidak menggangu masyarakat sekitar.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, sebagian masyarakat mulai melirik TPA

dan melihat peluang bahwa keberadaan TPA dapat memberikan manfaat bagi

warga sekitar untuk mencari nafkah dengan memafaatkan limbah sampah yang

masih dapat bernilai ekonomis. Secara informal pemulung mengambil barang

(sampah) yang mempunyai potensi untuk didaur ulang (kertas, karton, logam

dan lain-lain), dipakai, dan dijual kembali sehingga bernilai ekonomi. Akibatnya

seiring berjalannnya waktu, bermunculan warga lainnya yang berprofesi

menjadi pemulung, bandar dan sebagainya. Rata-rata penduduk yang berprofesi

sebagai bandar memiliki lokasi yang dekat TPA atau pinggir kawasan TPA

sebagai tempat tinggal atau pemukiman. Sehingga sampai saat ini banyak

pemukiman yang berada di pinggir dekat dengan kawasan TPA. Diperkirakan

terdapat sekitar 600-700 orang pemulung yang melakukan aktivitas di lokasi

TPA Galuga yang merupakan warga sekitar dan beberapa orang pendatang.

Page 33: GALUGA LAPORAN

Keberadaan pemulung cukup mengganggu kelancaran petugas TPA

(operator alat berat) karena dalam melakukan pekerjaannya para pemulung

kurang memperhatikan keselamatan. Namun, selain mengganggu kelancaran

operasional TPA, keberadaan pemulung juga dinilai cukup baik diantaranya

mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke areal TPA dimana sampah-sampah

seperti plastik, kertas, alumunium besi dan lainnya yang bernilai ekonomis

dimanfaatkan kembali (daur ulang) oleh pemulung.

Dampak sosial-ekonomi yang terlihat di TPAS Galuga adalah adanya

perubahan mata pencaharian penduduk di sekitar tempat pembuangan yang

semula mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani atau peternak, kini banyak

yang beralih menjadi pemulung atau pengolah sampah. Sepanjang perjalanan

menuju TPAS Galuga banyak dijumpai rumah warga yang menjadi

penampungan dan pendauran sampah. Selain itu, kerusakan infrastruktur seperti

badan jalan juga terjadi di PTAS Galuga. Kerusakan ini disebabkan banyaknya

truk sampah dan kendaraan berat seperti bulldozer yang melalui jalan tersebut.

Kondisi badan jalan bergelombang dan berlubang.

3. Dampak terhadap kualitas udara dan air

Macam pencemaran udara yang ditimbulkan misalnya mengeluarkan bau

yang tidak sedap, debu gas-gas beracun. Pembakaran sampah dapat

meningkatkan karbonmonoksida (CO), karbondioksida (CO2) nitrogen-

monoksida (NO), gas belerang, amoniak dan asap di udara. Macam pencemaran

perairan yang ditimbulkan oleh sampah misalnya terjadinya perubahan warna

dan bau pada air sungai, penyebaran bahan kimia dan mikroorganisme yang

terbawa air hujan dan meresapnya bahan-bahan berbahaya sehingga mencemari

sumur dan sumber air. Bahan-bahan pencemar yang masuk kedalam air tanah

dapat muncul ke permukaan tanah melalui air sumur penduduk dan mata air. Jika

bahan pencemar itu berupa B3 (bahan berbahaya dan beracun) misalnya air raksa

(merkuri), chrom, timbale, cadmium, maka akan berbahaya bagi manusia, karena

dapat menyebabkan gangguan pada syaraf, cacat pada bayi, kerusakan sel-sel

hati atau ginjal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hifdziyah (2011) terhadap 60

responden menunjukkan hasil bahwa responden yang menilai kebersihan

lingkungannya bersih sebesar 50,00 persen. Hal ini dikarenakan responden

sudah terbiasa dengan keadaan lingkungan yang ada karena sebagian besar

responden sudah tinggal di lingkungan pemukiman sekitar TPAS Galuga dalam

waktu yang cukup lama. Persentase penilaian ini tidak berbeda jauh dengan

responden yang menilai kebersihan lingkungan sekitarnya kotor yaitu sebesar

48,33 persen. Sedangkan responden yang menilai kebersihan lingkungannya

sangat kotor sebesar 1,67 persen.

Adapun hasil penelitian tentang kebersihan air di sekitar TPAS Galuga

adalah kualitas air di lingkungan sekitar TPAS Galuga sebagian besar tidak

bermasalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase untuk penilaian kondisi air

tercemar sebesar 38,33 persen dan kondisi air tidak tercemar sebesar 61,67

persen. Selain itu ditunjukkan dengan nilai rata-rata semantic differential yang

menunjukkan angka 0,6 angka ini mendekati nilai skala kedua, sehingga secara

kualitatif sebagian besar responden menilai bahwa kondisi air di Desa Galuga

tidak tercemar.

Page 34: GALUGA LAPORAN

PENILAIAN TPA GALUGA

Pengelolaan TPA Galuga pada saat ini belum berjalan dengan baik atau masih

tergolong pada penilaian poor. Penilaian ini dilakukan pada beberapa aspek,

seperti:

1. Pengelolaan sampah

Pengangkutan sampah ke TPA yang berlangsung setiap hari mengakibatkan

volume sampah di TPA terus bertambah. Upaya pengelolaan yang dilakukan

pada prinsipnya adalah untuk mengurangi volume timbulan sampah. Upaya-

upaya yang dilakukan adalah penggunaan ulang sampah dan pengelolaan

sampah menjadi kompos. Penggunaan ulang sampah hanya sebatas dilakukan

oleh pemulung yang memilah sampah di lokasi TPA. Sedangkan pengelolaan

sampah menjadi kompos belum berjalan dengan optimal.

2. Penurunan kualitas air

Penurunan kualitas air permukaan dan air tanah terjadi di sekitar lingkungan

TPA Galuga. Sumber pencemaran air lindi yang berasal dari tumpukan sampah.

Upaya pengelolaan yang dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas air

permukaan dan air tanah adalah membuat saluran air lindi instalasi pengolah air

lindi. Sistem yang digunakan dalam pengolahan lindi adalah pengendapan dan

oksidasi. Namun di lapangan pengolahan lindi tidak berfungsi karena ada

beberapa permasalahan konstruksi. Hal-hal yang menyebabkan pengolahan air

lindi tidak optimal adalah kolam penampung dan pengolah lindi tidak berfungsi

dengan baik. Apabila mencermati kualitas air sumur yang berada di sekitar TPA,

maka ada indikasi bahwa keberadaan sampah di TPA Galuga telah mencemari

air tanah yang berada di sekitarnya, khususnya sebelah utara (bagian hilir) dari

areal penumpukan sampah.

3. Penurunan kualitas udara

Penurunan kualitas udara dapat terjadi akibat dari operasional TPA. Sumber-

sumber polutan adalah gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah dan air

lindi serta emisi kendaraan pengangkut sampah dan alat berat. Bahaya kebakaran

juga mengancam dari sampah yang secara alami akan mengalami dekomposisi.

Proses dekomposisi ini menghasilkan gas metan. Gas metan tersebut apabila

tidak dikelola berpotensi menimbulkan kebakaran. Upaya yang dilakukan untuk

mencegah terjadinya kebakaran di lokasi TPA adalah dengan pemasangan pipa

penyalur gas metan. Pelepasan gas metan ke udara dapat mengeliminasi

terjadinya kebakaran pada sampah. Di lokasi TPA Galuga, telah dibuat beberapa

titik pipa pelepasan gas metan, namun akan lebih optimal apabila gas metan yang

terproduksi diolah lebih lanjut daripada dilepas langsung ke lingkungan.

Page 35: GALUGA LAPORAN

PENUTUP

Kesimpulan

Pengelolaan TPA Galuga pada saat ini belum berjalan dengan baik atau masih

tergolong pada penilaian poor. Pemilihan Desa Galuga sebagai TPA dulunya

memenuhi persyaratan ataupun kriteria yang ditetapkan. Tetapi, dalam

perawatannya masih kurang baik dan menjadikan TPA Galuga menjadi kurang

sesuai untuk dijadikan TPA. Pada mulanya pemilihan Galuga sebagai TPA

ditentukan berdasarkan kriteria regional, kriteria penyisih, dan kriteria penetapan.

Salah satunya karena Galuga merupakan tempat yang bukan daerah rawan bencana

dan sifat tanahnya dapat menyerap air dengan baik, maka Galuga sesuai untuk

dijadikan sebagai lokasi TPA.

Pemilihan Galuga sebagai lokasi TPA dengan menggunakan pertimbangan

berbagai kriteria, tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik. Banyak hal yang

masih harus dibenahi dan diperbaiki mulai dari sarana yang menjadi unsur utama

dalam pengelolaan sampah seperti lahan yang tidak akan mencemari lingkungan,

kemudian peralatan yang mendukung dalam operasional pengolahan sampah

seperti alat berat, drainase, saluran lindi, pipa ventilasi pengaman gas dan lain

sebagainya. Meskipun sudah ada upaya baru untuk pengolahan sampah organik

menjadi kompos, namun dalam kenyataanya juga belum berjalan dengan optimal.

Pada TPA Galuga, menggunakan dua jenis alat angkut untuk mengumpulkan

sampah yaitu truk dan amrol. Sedangkan alat penunjang untuk pengolahan sampah

berupa bulldozer, wheeldozer atau wheel loader, excavator. Pengelolaan sampah di

TPA Galuga sekarang menjadi controlled landfill yang sebelumnya menggunakan

metode open dumping. Sanitary landfill yang merupakan metode yang lebih baik

dalam pengolahan di TPA belum bisa diterapkan di TPA Galuga karena kurang

luasnya lahan dan keterbatasan dana yang ada.

Dampak yang ditimbulkan akibat dibangunnya TPA Galuga ini sangat

beragam. Terhadap kesehatan, banyak sekali jenis penyakit yang timbul menyerang

warga di sekitar lokasi TPA. Sedangkan dampak terhadap sosial ekonomi,

lingkungan di sekitar menjadi jauh dari estetika keindahan dan adanya perubahan

mata pencaharian penduduk sekitar menjadi pemulung. Lalu dampak yang lain

adalah menjadi menurunnya kualitas udara dan air terutamanya di sekitar TPA

Galuga.

Saran

Sebaiknya, perawatan dan pengelolaan TPA Galuga lebih diperbaiki lagi.

Konsekuensi ketika menjadikan wilayah Galuga sebagai TPA adalah tetap

berkomitmen untuk mengelola TPA Galuga dengan baik dan oleh siapapun juga.

Masyarakat di sekitar TPA sebaiknya juga lebih diperhatikan lagi dengan tujuan

mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan baik dampak lingkungan, sosial,

ekonomi, kesehatan, maupun dampak yang lain. Prinsip dan teori yang terbaik

dalam pengelolaan sampah pada TPA Galuga sebaiknya lebih diterapkan.

Keterbatasan dana yang ada seharunya bukan menjadi suatu masalah karena hal ini

berkaitan erat dengan lingkungan secara umum dan kehidupan di masa mendatang.

Page 36: GALUGA LAPORAN

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, A. Marimis, AIK dan Soenarto, N. Status Pencemaran Air Sungai

Kreo,Yang Menerima Masukan Air Lindi TPA Jatibarang, Semarang. J

teknik lingkungan Edisi Khusus, Oktober 2005. 141-148.

[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 1999. Peta Rupa

Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 17.500 Lembar 1209-134 Leuwiliang.

Basyarat, A. 2006. Kajian Terhadap Penetepan Lokasi TPA Sampah

Leuwinanggung-Kota Depok. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang.

[BPS]. 2009. Penduduk Kecamatan Cibungbulang Bogor. Badan Pusat Statistika.

www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab

=1. [diakses pada tanggal 17 Oktober 2009].

Darmasetiawan, M. 2004. Perencanaan Tempat Pembuanagn Akhir (TPA).

Ekamitra Engineering, Jakarta.

Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor. 2010. Laporan Pelaksanaan Revisi

Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan

(UPL) TPAS Galuga. Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor. Bogor

Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. 2003. Upaya Pengelolaan

Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL – UPL) Tempat

Pembuangan Akhir Sampah Galuga. Bogor.

Fauzi, Azanur. 2010. http://azanurfauzi.blogspot.com/2010/06/alat-alat-berat.html

(diakses Tanggal 27 november 2013 01:00 WIB)

Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta: Yayasan

Idayu.

Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan &

Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hifdziyah, Lisanatul. 2011. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar

Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat

[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Hikari, Irfan. 2012. http://dunia-atas.blogspot.com/2012/03/wheel-loader.html

(diakses Tanggal 27 november 2013 01:00 WIB)

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2001. Penggunaan Lahan TPA Galuga.

Bogor: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Miner, J. R., F. J. Humerik., M. R. Overcash. 2000. Managing Livestock Wastes to

Presure Environmental Quality. Lowa State University Press, Ames.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor Tentang Penyelenggaraan Prasarana

Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan

Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

Permenkes No. 416/Men.Kes/Per./IX/1990 Tentang Air Bersih.

Page 37: GALUGA LAPORAN

Pohland, F.G. dan S.R. Harper. 1985. Critical Review and Summary of Leachate

and Gas Production from Landfills. U.S. Environmental Protection Agency.

Ohio. 165 p.

Sirodjuddin, A. 2008. Efek Sampah Terhadap Manusia dan Lingkungan.

http://ardansirodjuddin.wordpress.com/2008/08/05/efek-sampah-

terhadapmanusia- dan-lingkungan/. [diakses pada tanggal 25 November

2013].

Syahrulyati, T. 2005. Analisis Sebaran Dampak Pencemaran Lindi Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Terhadap Kualitas Air Bawah

Permukaan. Studi Kasus Desa Galuga dan Sekitarnya Kecamatan

Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tesis. Bogor: Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.

Tonny F. 1990. Metoda dan Teknik Sosial Ekonomi. Khursus Penyusunan AMDAL.

Bogor: IPB.

[UPTD TPA]. 2011. Komposisi Sampah dalam Angka. Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kota Bogor, Bogor.

Wardana, A W. 2004. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: Andi.

Widiatmaka, M. Selari., W. Ambarwulan., L. Suryani., dan Janudianto. 2004. Studi

Penentuan Alternatif Lokasi Pembuangan Sampah (Waste Disposal Site)

Berbasis Daya Dukung Lahan dan Lingkungan di Propinsi DKI Jakarta.

Laporan Akhir. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan Institut Pertanian

Bogor.

Wikantika. K. 2008. Kriteria Penentuan Lokasi Pembuangan Sampah.

http://wikantika.wordpress.com/2008/05/07/kriteria-penentuan-

lokasipembuangan-sampah/. [diakses pada tanggal 22 November 2013].