galuga laporan
DESCRIPTION
Laporan Kunjungan GalugaTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik
berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak
dapat terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke
lingkungan. Aktivitas manusia baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan
sisa (buangan) berupa sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal
dengan limbah pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi
masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut
memiliki potensi besar terhadap pencemaran.
Sampah merupakan salah satu masalah bagi lingkungan. Permasalahan
sampah terlihat lebih kompleks di daerah perkotaan karena kota merupakan
kawasan pemusatan usaha atau industri. Ironisnya sampai sekarang perhatian
masyarakat terhadap sampah relatif rendah serta belum adanya sistem perencanaan,
pengelolaan, serta pengendalian sampah yang baik dan benar, sehingga cenderung
menjadi masalah yang terpinggirkan, seperti yang terjadi di Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor. Dalam mengatasi permasalahan sampah padat, Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor masih menggunakan sistem konvensional yaitu dikumpulkan di
beberapa titik pengumpulan atau Tempat Pembuangan Sementara (TPS) kemudian
diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). TPA merupakan tempat dimana
sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap
lingkungan sekitarnya. Salah satu TPA yang ada di Bogor yaitu TPA Galuga.
Jumlah sampah erat kaitannya dengan populasi penduduk, semakin banyak
penduduk bermukim di kota atau suatu daerah, maka semakin banyak sampah yang
terkumpul. Besarnya jumlah penduduk yang ada di Kota Bogor dan Kabupaten
Bogor mengakibatkan besarnya volume sampah yang ditimbulkan setiap hari.
Pertambahan penduduk yang pesat menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk
dan sampah. Kualitas sampah semakin banyak dan bersifat tidak membusuk,
akibatnya sampah menumpuk di TPA. Timbunan sampah yang akhirnya
terdegradasi dan menimbulkan turunnya kualitas lingkungan, kulitas hidup
manusia, dan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Permasalahan sampah di Kota Bogor semakin pelik dan butuh penanganan
yang serius. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bogor menyebabkan
aktivitas ekonomi yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pola konsumsi
masyarakat sehingga jenis sampah yang dihasilkan beragam. Sebagai
agroindustrialis, pengetahuan mengenai sistem pembuangan akhir diperlukan
sebagai kesadaran terhadap lingkungan akibat aktivitas industri yang dilakukan.
Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah mengidentifikasi penentuan
lokasi, dampak baik terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan,
mekanisme penanganan sampah, dan hal-hal terkait dari Tempat Pembuangan
Akhir Galuga, Bogor.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan Kunjungan Lapangan ini dilaksanakan selama 1 hari yaitu pada hari
kamis, pada tanggal 21 November 2013. Tempat pelaksanaan kegiatan ini adalah
dilakukan di TPA Galuga, Bogor.
Metodologi
Dalam pelaksanaan pembuatan makalah digunakan metode di bawah, yaitu:
1. Pengamatan di Lapangan
Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan mengamati kondisi TPA
Galuga. Pada pengamatan di lapangan mahasiswa dapat mengidentifikasi
masalah yang terjadi dan memberikan solusi yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah yang terjadi.
2. Wawancara dan Diskusi dengan Pihak Terkait
Kegiatan wawancara ini dilakukan sebagai upaya pengumpulan informasi dan
data yang berhubungan dengan aspek yang dipelajari. Wawancara dilakukan
untuk menjelaskan dan mengklarifikasi serta menerangkan masalah-masalah
teknis yang ada di lapangan.
3. Studi Pustaka
Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan mencari referensi dan literatur yang
berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dan membandingkan dengan situasi
yang terjadi di lapangan. Kegiatan ini berfungsi sebagai pendukung dan
pembanding dalam pembuatan laporan berdasarkan data informasi yang
diperoleh dari studi pustaka dan data informasi yang diperoleh dari lapangan.
Studi pustaka juga dilakukan untuk membantu menganalisis masalah yang
teridentifikasi di lapangan dan mencari alternatif-alternatif solusinya.
KEADAAN UMUM TPA GALUGA
Kondisi Geografis dan Administratif
TPA Galuga merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang secara
geografis berada di wilayah Kabupaten Bogor. Secara administrasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Galuga berada di Desa Galuga, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi TPA tersebut sekitar 3 km
dari Ibukota kecamatan atau 25 km dari pusat Kota Bogor, berada pada ketinggian
300 meter dari permukaan laut. Secara Geografis, TPA Sampah Galuga terletak
pada 106o38’15’’BT-106o39’07’’BT sampai 06o33’20’’LS- 06o34’20’’LS. Sungai
utama yang mengalir di daerah tersebut adalah sungai Cianten. Secara administratif
TPA sampah Galuga ini berbatasan dengan :
Sebelah utara : Areal pertanian Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang
Sebelah timur : Perbukitan Kampung Cimangir
Sebelah selatan : Kampung Moyan, Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang
Sebelah barat : Kampung Lalamping, Desa Galuga
Sebagai tempat pembuangan akhir, TPA sampah Galuga menerima masukan
sampah dari Kota Bogor dan sebagian sampah dari Kabupaten Bogor.
Pengelolaanya merupakan tangung jawab Pemerintah Kota Bogor dimana lahan
tersebut diperoleh melalui pembebasan tanah warga sejak tahun 1986. Luas areal
TPA milik Kota Bogor sampai akhir tahun 2011 sekitar 27,8 ha sedangkan milik
Kabupaten Bogor seluas 4 ha dari total luasan areal sekitar 31,8 ha.
Kondisi Iklim
Desa Galuga memiliki curah hujan yang cukup tinggi, yaitu 2000 mm/tahun
dengan jumlah bulan basah 4 bulan. Suhu rata-rata desa Galuga sekitar 23o-32oC.
Kelembaban relatif cukup tinggi sepanjang tahun dengan rata-rata bulanan 70%-
90% dan rata-rata tahunan 90%. Kecepatan angin bertiup rata-rata 2,7 km/jam atau
3-4 knot. Penyinaran matahari bulanan berkisar antara 50%-90% dengan rata-rata
tahunan sebesar 60%.
Kondisi Morfologi
Wilayah penelitian sebagian besar morfologinya berada pada bentang
wilayah pegunungan, dengan puncak tertinggi ditempati oleh Gunung Galuga yang
mempunyai ketinggian 291 mdpl. Ke arah utara morfologi semakin datar. Gunung
Galuga dan sekitarnya memiliki kelerengan lebih tinggi dengan kelerengan 15%-
30% sehingga jika terjadi hujan run off lebih besar dibanding daya infiltrasi. Tetapi
di sekitar, lahan yang digunakan sebagai kebun dan semak belukar menjadikan air
diserap tahan dengan jumlah yang besar. Sehingga run off berkurang.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia disekitar TPA Galuga mempunyai tingkat pendidikan
yang bervariasi. Pendidikan penduduk Desa Galuga, Desa Cijujung dan Desa
Dukuh tidak sekolah, tamat SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah
Menengah Atas. Sarana pendidikan mulai dari sekolah dasar, jumlah sekolah Dasar
2 di Desa Galuga, 3 buah di Desa Dukuh, dan Cijujung 4 buah. Sekolah lanjutan
tingkat pertama Desa Dukuh 1 buah dan Desa Cijujung 1 buah. Keadaan tingkat
pendidikan Desa Galuga, Desa Dukuh dan Desa Cijujung pada tahun 2009, dapat
dilihat sebagaimana pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Cijujung, Desa Galuga dan Desa
Dukuh Tahun 2009
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang)
1.
2.
3.
4.
5.
Tidak tamat Sekolah Dasar
Galuga
Dukuh
Cijujung
Tamat Sekolah Dasar
Galuga
Dukuh
Cijujung
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
Galuga
Dukuh
Cijujung
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
Galuga
Dukuh
Cijujung
Belum Sekolah
Galuga
Dukuh
Cijujung
1073
1174
1233
1565
1687
3007
945
1170
1789
741
967
1354
716
782
822
Sumber : Badan Pusat Statistik Kecamatan dalam angka Cibungbulang 2009
Pada saat ini sumber daya manusia yang langsung terkait dengan pengelolaan
TPA Galuga berjumlah 29 orang yang terdiri atas 10 orang dengan status PNS, 4
orang tenaga kontrak dan 15 padat karya masyarakat. Di lokasi TPA Galuga
terdapat sekitar 600-700 orang pemulung aktif yang mengolah dan memanfaatkan
sampah non-organik sehingga dapat didaur ulang (recycle) dan/atau dipergunakan
kembali (reuse) yang pada akhirnya memberikan pendapatan bagi para pemulung
tersebut. Selain itu ada sekitar 46 warga sekitar yang menjadi karyawan di TPA
yang terkait dengan kegiatan pembuatan kompos tetapi sudah enam bulan tidak
beroperasi. Keberadaaan pemulung dan pengepul juga mampu memberikan
kontribusi terhadap pengurangan volume dari tumpukan sampah di TPA Galuga.
Jumlah pemulung yang melakukan aktivitas di sekitar TPA Galuga sampai saat ini
± 400 orang yaitu anak-anak, dewasa dan orang tua.
Sistem pengelolaan sampah di TPA Galuga saat ini adalah masih
menggunakan sistem open dumping yaitu pembuangan sampah secara terbuka,
dimana sampah dibuang saja pada tanah kosong dan dibiarkan membusuk tanpa ada
proses penimbunan, pemadatan dan penutupan dengan tanah sehingga dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, seperti pencemaran
bau, tempat berkembangnya serangga dan nyamuk. Untuk mengurangi dampak
negatif yang ditimbulkan akibat penumpukan sampah di TPA Galuga, Pemerintah
Kota Bogor mendirikan pabrik kompos melalui pola kemitraan dengan Paguyuban
Tumaritis. Kegiatan pengomposan bertujuan untuk mengurangi beban TPA
terhadap timbunan sampah yang terus meningkat jumlahnya, mengurangi biaya
pengelolaan sampah, penggunaan teknologi yang sederhana, memberikan nilai
tambah dan dapat menyerap tenaga kerja.
Sistem kemitraan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan
Kebersihan Kota Bogor belum mampu mengurangi jumlah sampah secara
keseluruhan karena selama ini sampah yang dikomposkan hanya sampah yang
berasal dari sampah pasar sedangkan sampah yang berasal dari sampah rumah
tangga, pertokoan, industri, fasilitas umum dan sosial, sapuan jalan dan lain-lain.
Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak sampah yang terbuang ke lingkungan
dan tidak termanfaatkan. Sehingga kemungkinan besar sampah akan terakumulasi
dan mencemari lingkungan sekitar seperti akan berpengaruh pada banyaknya
volume air lindi yang terbuang ke dalam tanah akibatnya kualitas air tanah akan
menurun. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lokasi,
sampah pasar merupakan sampah organik yang mudah membusuk dan 75 % dari
sampah tersebut dapat dikomposkan yang terdiri dari sampah sayur- sayuran, buah-
buahan, dan dedaunan. Sampah pasar masih merupakan bahan baku utama
pembuatan kompos di TPA Galuga karena bagi pengusaha kompos, sampah pasar
tidak membutuhkan biaya dan tenaga terlalu besar untuk memilah sampah dari
sampah anorganik sehingga biaya produksi dapat ditekan. Selain itu sampah pasar
sangat kecil kemungkinan tercampur bahan-bahan yang berbahaya.
Peran pemerintah dalam kelembagaan persampahan saat ini hanya sebagai
pembuat kebijakan melalui undang-undang dan peraturan-peraturan dan pemberi
subsidi dalam pengelolaan persampahan. Untuk keberhasilan pengelolaan
persampahan diharapkan pemerintah mampu menjadi fasilisator baik sebagai
penyedia informasi maupun sebagai penyedia sarana dan prasarana dalam
pengelolaan sampah sehingga mampu menjembatani semua pihak yang terlibat
dalam pengelolaan sampah terutama merangkul pihak swasta untuk berinvestasi
dalam pengelolaan sampah.
PEMILIHAN LOKASI TPA
Pengelolaan sampah di Indonesia merupakan permasalahan nasional,
terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : ketersediaan lahan yang terbatas dan
tidak seimbang dengan peningkatan volume timbunan sampah, pemerintah belum
mempunyai system perencaan pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut
tercermin pada rencana umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum
memasukkan secara rinci rencana lokasi TPA sampah, partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sampah masih rendah dan belum tersedia teknologi tepat guna
untuk kondisi di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah.
Menurut Darmasetiawan (2004), TPA merupakan tempat dimana sampah
mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber,
pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA
merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan dan memusnahkan sampah
dengan cara tertentu sehingga dampak negatif yang ditimbulkan kepada lingkungan
dapat dihilangkan atau dikurangi (Basyarat 2006).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 03-3241-1994 dalam
Wikantika (2008), persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan
lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-
undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak
lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah
tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-
peraturan pelaksanaannya. Adapun ketentuan-ketentuan atau tata cara yang harus
dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA terdapat pada SNI nomor 03-3241-1994,
yaitu :
1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut.
2. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahap yaitu:
- Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi
daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona
kelayakan
- Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua
lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan
pada tahap regional
- Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi
yang berwenang.
3. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi
TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.
Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), persyaratan umum
lokasi TPA diantaranya: sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan
daerah, jenis tanah kedap air, daerah yang tidak produktif untuk pertanian, dapat
dipakai minimal untuk 5-10 tahun, tidak membahayakan/mencemarkan sumber air,
jarak dari daerah pusat pelayanan maksimal 10 km, dan daerah yang bebas banjir.
Menurut SK SNI T-11-1991-03 dalam Basyarat (2006), kriteria pemilihan
lokasi untuk TPA ditentukan berdasarkan 3 bagian:
1. Kriteria Regional yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak
atau zona tidak layak sebagai berikut:
a. Kondisi geologi: tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona
bahaya geologi
b. Kondisi hidrogeologi:
- tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter
- tidak boleh kelulusan tanah lebih dari 10-6 cm/det
- jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter
- dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka
harus diadakan masukan teknologi
c. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk
penerbangan turbo jet dan lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain
e. Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode
ulang 25 tahunan
2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik,
diantaranya yaitu:
a. Iklim:
- Hujan, intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
- Angin, arah angin dominan tidak menuju ke permukiman dinilai makin baik
b. Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik
c. Lingkungan Biologis:
- Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik
- Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik
d. Kondisi tanah:
- Produktifitas tanah: makin tidak produktif dinilai makin baik
- Kapasitas dan umur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama
dinilai lebih baik
- Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup,dinilai
lebih baik
- Status tanah: kepemilikan tanah makin bervariasi dinilai tidak baik
e. Demografi: kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik
f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik
g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakinbaik
h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik
j. Ekonomi: semakin rendah biaya satuan pengelolaan sampah (Rp/m3 atau
Rp/ton) dinilai semakin baik
3. Kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang
untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan
instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku Anonim (2008)
mengemukakan tentang pemilihan lokasi layak TPA sampah tahapan regional
yang dilakukan dengan meninjau aspek-aspek sebagai berikut:
a. Aspek Tata Guna Lahan
Peninjauan pemilihan lokasi layak TPA sampah berdasarkan tata guna lahan
ialah menetapkan lokasi-lokasi yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi TPA
sampah karena alasan tata guna lahan. Peninjauan ini dilakukan untuk
menghindari pemilihan lokasi-lokasi layak TPA sampah pada lahan yang telah
ditetapkan penggunaannya atau lahan yang mempunyai kegunaan khusus atau
yang penting. Daerah-daerah yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi TPA
yaitu: 1) Daerah danau, sungai dan laut; 2) Daerah perkotaan dan permukiman;
3) Daerah pertanian potensial; 4) Daerah industri, konservasi lingkungan; 5)
Daerah khusus yang dilestarikan; dan 6) Daerah yang jauh dari lapangan terbang.
b. Aspek Geologi
Pemilihan lokasi layak berdasarkan kondisi geologi adalah untuk menempatkan
lokasi tersebut pada formasi geologi yang aman terhadap pencemaran
lingkungan. Formasi yang diinginkan adalah lapisan geologi dimana pada
lapisan itu terdapat kondisi yang dapat menahan dan mengurangai kadar
pencemaran. Kondisi tersebut hanya ada pada lapisan yang mempunyai
permeabilitas kecil, mempunyai cukup ketebalan dan mampu mengurangi kadar
pencemaran. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat dari batuan lempung (sedimen
clay). Pemilihan yang dilakukan juga menghindari faktor struktur geologi seperti
patahan, retakan, longsoran dan lain-lain.
c. Aspek Kemiringan Lereng
Pemilihan lokasi layak berdasarkan kemiringan lereng dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya longsoran, baik terhadap timbunan sampah tersebut
maupun longsoran yang tidak stabil. Untuk itu kriteria yang dianjurkan dalam
hal kemiringan ini adalah 20%. Kemiringan lereng di sekitar lokasi berkisar
antara 0-15%. Namun pada daerah-daerah tertentu kemiringannya dapat
mencapai lebih dari 45%. Pada umumnya kemiringan lokasi TPA berkisar antara
0-10%, dan pada beberapa lokasi kemiringan mencapai 10-15%.
d. Aspek Hidrogeologi
Pemilihan lokasi layak berdasarkan aspek hidrogeologi ialah menempatkan
lokasi tersebut pada daerah yang bukan akuifer penting dan sedapat mungkin
tidak didaerah discharge. Pemilihan tersebut juga memperhitungkan arah aliran
air tanah.
e. Aspek Bahaya Lingkungan
Pemilihan lokasi layak berdasarkan aspek bahaya lingkungan ialah
menempatkan lokasi tersebut pada daerah yang tidak berpotensi terhadap bahaya
lingkungan, sehingga tidak membahayakan kelangsungan dan keutuhan TPA
sampah tersebut. Bahaya lingkungan yang harus diperhatikan adalah gerakan
tanah, kegempasan, kegunungapian, pengikisan banjir dan genangan air. Dengan
pertimbangan aspek bahaya lingkungan, maka lokasi layak untuk TPA sampah
adalah daerah-daerah di luar bahaya tersebut.
Evaluasi lahan untuk TPA Galuga dan kawasan sekitarnya berpedoman
kepada kriteria yang ditentukan dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dan
Widiatmaka et al. (2004). Parameter utama seperti kesesuaian lahan untuk lokasi
tempat pembuangan akhir sampah berbasis daya dukung lahan dan lingkungan
meliputi geologi, topografi atau fisiografi, jenis tanah, tekstur tanah, drainase, dan
penggunaan lahan, kriteria atau parameter lainnya juga harus diperhatikan. Kriteria
kesesuaina lahan untuk tempa pembuangan sampah secara terbuka (Hardjowigeno
dan Widiatmaka 2007) diantaranya adalah ancaman banjir, kedalaman sampai
hamparan batuan, kedalaman sampai padas keras, permeabilitas, muka air tanah
meliputi apparent dan perched, kemiringan lereng serta longsor menjadi kriteria
lahan lainnya yahg menjadi kajian. Kriteria ini dinilai sangat penting untuk
dijadikan referensi pembangunan suatu TPA.
Berdasarkan SK SNI T-11-1991-03 bencana alam merupakan salah satu
kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah. Daerah yang
rawan dengan bencana alam sulit dijadikan menjadi lokasi TPA. Lokasi TPA
Galuga berada pada bentuk wilayah yang bergelombang. Sifat fisik tanah yang
cukup baik menyerap air hujan menyebabkan potensi bencana berupa ancaman
longsor dari lahan dan banjir tidak pernah terjadi di kawasan ini. Berdasarkan
kondisi tersebut daerah kawasan TPA Galuga termasuk sesuai untuk dijadikan
menjadi lokasi TPA.
SKEMA LOKASI DAN FASILITAS TPA
Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan
prasarana dan sarana yang meliputi:
a. Prasarana Jalan
Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.
Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan
sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi. Konstruksi jalan TPA cukup
beragam disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA
dengan konstruksi:
− Hotmix
− Beton
− Aspal
− Perkerasan situ
− Kayu
Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:
− Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang
telah tersedia
− Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian
lain dalam wilayah TPA
− Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju
titik pembongkaran sampah
Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan
penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi. Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Galuga telah memiliki beberapa prasarana yang
sesuai dengan peraturan perundangan, seperti jalan yang dilalui kendaraan
pengangkut sampah menuju TPA merupakan konstruksi dari aspal dan akses
menuju TPA dari jalan raya sangat mudah untuk dilalui kendaraan, walaupun
jalan yang tersedia sangat kecil, sehingga sangat sulit jika dua truk saling
berpapasan.
b. Prasarana Drainase
Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan
dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah.
Seperti diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang
dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah
akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan
memperkecil kebutuhan unit pengolahannya. Secara teknis drainase TPA
dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak
masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya
dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang
telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai penangkap aliran
limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut. Untuk itu
permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran
drainase. Bentuk tekstur tanah akan memperlihatkan bentuk drainase tanah.
Drainase tanah merupakan kemampuan permukaan tanah untuk meresapkan
airsecara alami. Drainase tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian
yaitu drainase baik (tidak pernah tergenang secara periodik), drainase sedang
(tergenang secara periodik), dan drainase buruk (tergenang secara terus
menerus) (Hardjowigeno, 2007). Berdasarkan data yang didapatkan, kondisi
drainase tanah wilayah Desa Galuga ada 2 (dua) bentuk yang terlihat dari
perbedaan jenis tanah. Jenis tanah latosol cokelat kemerahan memiliki drainase
sedang, sedangkan untuk jenis tanah aluvial cokelat dan aluvial cokelat
kekelabuan memiliki drainase sedang sampai agak terhambat. Kawasan TPA
Galuga dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan memiliki drainase sedang.
c. Fasilitas Penerimaan
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang
datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada
umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA.
Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari
maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan
pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut
sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan
dapat dijalankan.
d. Lapisan Kedap Air
Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk
di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus
dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding. Bila
tersedia di tempat, tanah lempung setebal +50 cm merupakan alternatif yang baik
sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan
lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi.
e. Fasilitas Pengamanan Gas
Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan
dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit
jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan
global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas
tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa-
pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik
tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA.
Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan
gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara
pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.
f. Fasilitas Pengamanan Lindi
Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan
banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar
khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan
pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani
dengan baik. Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas
pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran
pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga lindi secara
otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada
mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan. Tempat pengumpulan lindi
umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya dihitung berdasarkan debit
lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam
pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA
tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan. Pengolahan
lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya: penguapan/evaporasi
terutama untuk daerah dengan kondisi iklim kering, sirkulasi lindi ke dalam
timbunan TPA untuk menurunkan baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya,
atau pengolahan biologis seperti halnya pengolahan air limbah.
g. Alat Berat
Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator
dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda
dalam operasionalnya. Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan
pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat
efisien dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah.
Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah
tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan. Untuk TPA kecil disarankan dapat
memiliki bulldozer atau excavator, sementara TPA yang besar umumnya
memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.
h. Penghijauan
Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah:
peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan
lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu
mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya
(permukiman, jalan raya, dll)
i. Fasilitas Penunjang
Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian
TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist
blower), kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.
Pemanfaatan lahan di Desa Galuga relatif homogen. Terlihat pada Citra
Quickbird tahun 2010 (UPTD TPA Kota Bogor 2011), wilayah ini didominasi oleh
vegetasi meliputi pepohonan dan rerumputan dengan luas areal mencapai 120.425
ha atau 52,53%. Kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah berupa sawah
ataupun lahan kering berupa kebun campuran masih menjadi alternatif oleh
penduduk sekitar dalam pemanfaatan lahan.
Daerah persawahan memiliki luas sekitar 60.611 ha atau 26,44%. Daerah
persawahan berada di bentuk wilayah datar yang berada di sebelah timur dan di
sebelah barat bagian utara Desa Galuga. Sedangkan kebun campuran memiliki luas
6,341 ha atau 2,77%. Sampai pada tahun 2011, dari citra terlihat kawasan TPA
Galuga menghabiskan sekitar 5 ha atau 2,2% lahan Desa Galuga untuk tempat
buangan TPA. Kawasan pemukiman terlihat lebih mengelompok yang berada di
sebelah selatan dan sebelah timur yang terletak di sepanjang jalan desa dan sedikit
di sebalah tengah bagian timur yang relatif menyebar. Tipe penggunaan lahan
dengan luas disajikan pada Tabel 2, sedangkan peta penggunaan lahan Desa Galuga
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta Penggunaan Lahan Desa Galuga
Tabel 2 Tipe dan Luas Penggunaan Lahan di Desa Galuga
Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas (%)
Badan Air 8.005 3.51
Industri 7.108 3.10
Kebun Campuran 6.341 2,77
Lahan Terbuka 6.146 2.68
Pemukiman 20.571 8.97
Sawah Irigasi 60.661 26.44
Vegetasi 120.425 52.53
Sumber : Citra Quickbird Tahun 2010 (UPTD TPA Kota Bogor 2011)
Kondisi dilapangan berdasarkan peta guna lahan yang dari Bakosurtanal
(1999) kondisi fisik pada lapangan adalah ± 75% lahan digunakan sebagai kebun
dan persawahan, pemukiman digunakan ± 16% Semak belukar 7%, tegalan 1% dan
lokasi TPA ± 1%. Pada sekitar lokasi TPA terdapat bangunan yang tidak permanen,
gubuk yang merupakan tempat penampungan barang-barang yang diambil dari
TPA, dan di sekitar jalan masuk menuju TPA terdapat bangunan yang permanen
yaitu pemukiman penduduk. Penggunaan lahan dan kegiatan lain di sekitar TPA
Galuga dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Penggunaan Lahan TPA Galuga
No Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Areal Pembongkaran sampah 1.040
2 Sarana jalan dan saluran drainase 0.510
3 Saluran dan kolam pengolahan lindi 0.360
4 Kantor dan pos pengawas 0.600
5 Pos pelayanan kesehatan 0.020
6 Lahan penampungan sampah 7.476
7 Pabrik kompos 1.000
8 Penggunaan lainnya 3.500
Sumber : KLH Bogor tahun 2010
Pada dasarnya penempatan pengelolaan sampah harus sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berkenaan dengan tata ruang. Namun dalam
pelaksanaannya di TPA Galuga sendiri masih jauh dari konsep tata ruang yang
ideal, artinya dari segi tempat yang dikatakan telah masuk kategori sesuai dengan
tempat pembuangan akhir yakni jauh dari sumber mata air, jauh dari sungai, jauh
dari pemukiman namun sebenarnya jika meruntut pada teknis operasional
pengelolaan sampah sendiri banyak hal yang mesti dibenahi dan diperbaiki mulai
dari sarana yang menjadi unsur utama dalam pengelolaan sampah seperti lahan
yang tidak akan mencemari lingkungan, kemudian peralatan yang mendukung
dalam operasional pengolahan sampah seperti alat berat, drainase, saluran lindi,
pipa ventilasi pengaman gas dan lain sebagainya. Namun memang jika
permasalahan-permasalahan yang timbul juga akibat kurangnya pendanaan dari
pemerintah, terlebih unsur pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan, unsur
tata ruang, dinas kebersihan, lingkungan hidup dan semua unsur yang ikut terlibat
dalam pengelolaan tata ruang yang ada di Kabupaten Bogor.
ALAT ANGKUT DAN PENUNJANG TPA GALUGA
Berdasarkan informasi dari pihak terkait, ada 2 jenis alat angkut yang
digunakan untuk mengumpulkan sampah di Galuga, yaitu dam truk dan amrol.
Untuk mengangkut sampah yang berasal dari kota, Pemerintah Kota Bogor
menyediakan 63 dump truck dan 29 arm roll, sedangkan untuk mengangkut sampah
yang berasal dari Kabupaten Bogor, tersedia 200 dam truk yang digunakan setiap
harinya. Sampah yang diangkut dari kota dan kabupaten ini dibawa ke Galuga
sebagai tempat pembuangan akhir. Galuga memiliki alat penunjang untuk
pengolahan sampah warga Bogor berupa satu unit bulldozer, tiga unit wheeldozer
atau wheel loader , dan 1 unit beko atau alat keruk.
1. Alat Angkut Di TPA Galuga
- Dump truck
Merupakan kendaraan angkut yang dilengkapi sistem hidrolis untuk mengangkat
bak dan membongkar muatannya. Pengisian muatan masih tetap secara manual
dengan tenaga kerja. Truk ini memiliki kapasitas yang bervariasi yaitu 6m3, 8m3,
10m3, 14m3. Dalam pengangkutan sampah, efisiensi penggunaan dump truck
dapat dicapai apabila memenuhi beberapa kriteria yaitu jumlah trip atau ritasi
perhari minimum 3 dan jumlah crew maksimum 3 orang. Agar tidak
mengganggu lingkungan selama perjalanan ke TPA, dump truck sebaiknya
dilengkapi dengan tutup terpal. Dump truck memiliki prinsip kerja yang dapat
dibedakan menjadai dua bagian, yaitu:
a. Gerakan Travelling (Gerakan Jalan)
Gerakan yang dimaksud di sini adalah gerakan dari dump truck untuk berjalan
mengangkut muatan dari satu tempat menuju tempat lain untuk memindahkan
dan menumpahkan muatan tersebut. Gerakan tersebut dimulai dari dari suatu
sumber tenaga yang dinamakan dengan mesin penggerak. Mesin ini akan
memutar poros penggerak, kemudian melalui kopling akan menggerakkan
transmisi roda gigi yang diatur oleh handle gigi. Transmisi ini memutar roda-
roda dump truck untuk berjalan dan memindahkan muatan, melalui poros
propeller dan gigi diferensial.
b. Gerakan Dumping atau Menumpahkan Muatan
Pada saat menumpahkan muatan dengan pengangkatan bak, dump truck
menggunakan sistem hidrolis. Sistem ini merupakan pemindah daya dengan
menggunakan zat cair atau fluida sebagai perantaranya. Sistem hidrolis
merupakan pengubahan tenaga dari tenaga hidrolis menjadi mekanis. Dengan
gerakan dumping yang berprinsip kerja sistem hidrolis tersebut, muatan akan
dengan mudah meluncur ke bawah. Saat memiringkan muatan tersebut sistem
hidrolis didapatkan dari mesin penggerak kemudian diteruskan pada mekanisme
roda gila untuk menggerakkan pompa hidrolik. Pompa tersebut akan mendorong
atau mengalirkan fluida menuju katup pengontrol. Dari katup inilah aliran fluida
akan diatur oleh tekanan minyak oli yang masuk ke dalam silinder hidrolik.
Tekanan minyak yang telah diatur tersebut akan mendorong silinder hidrolik
untuk menumpahkan muatan material yang ada dalam bak truck.
Adapun spesifikasi dari kendaraan dump truck sendiri ialah :
a. Kendaraan standar berchasis baja, mempunyai 6 roda (roda belakang double dan
ukuran Ban 7.00–16– 14 PR atau 7.50-16-12 PR
b. Dilengkapi alat pengangkat hidrolis untuk menaikkan/menurunkan/mengangkat
BAK dengan sudut angkat sekurang-kurangnya 45o
c. Menggunakan gear pump tekanan tinggi yang kerjanya diatur dengan mesin
truk. Semua peralatan dioperasikan dari kabin kendaraan. Semua bagian logam
harus diproteksi terhadap bahaya korosi.
d. Dimensi total dump truck tidak lebih dari P x L x T = 6,5 x 2,5 x 3 m
e. Mesin kendaraan angkut dump truck tipe diesel 4 silinder dengan daya 120 kw
(90 Hp) dan torsi maksimum sekurang-kurangnya 20 kg
f. Berat kosong alat angkut dump truck tidak lebih dari 3.500 kg dengan berat bak
ditambah beban maksimum sebesar 3.500 kg
Gambar 2 Dump Truck
- Arm Roll Truck
Merupakan kendaraan angkut yang dilengkapi sistem hidrolis untuk mengangkat
bak dan membongkar muatannya. Pengisian muatan masih tetap secara manual
dengan tenaga kerja. Truk ini memiliki kapasitas yang bervariasi yaitu 6m3, 8m3,
dan 10m3. Dalam pengangkutan sampah, efisiensi penggunaan arm roll truck
dapat dicapai apabila memenuhi beberapa kriteria yaitu jumlah trip atau ritasi
perhari minimum 5 dan jumlah crew maksimum 1 orang. Agar tidak
mengganggu lingkungan selama perjalanan ke TPA, container sebaiknya
memiliki tutup dan tidak rembes sehingga leachate tidak mudah tercecer.
Kontainer yang tidak memiliki tutup sebaiknya dilengkapi dengan tutup terpal
selama pengangkutan. Spesifikasi dari mobil Arm roll Truck ini adalah :
a. ART-1 : Kendaraan standar berchasis baja, mempunyai 6 roda (roda belakang
double dan ukuran ban 7.00–16–14 PR atau 7.50-16-12 PR,
b. Dilengkapi alat pengangkat hidrolis untuk menaikkan/ menurunkan/
mengangkat container dengan sudut angkat sekurang-kurangnya 45o
c. Menggunakan Gear Pump tekanan tinggi yang kerjanya diatur dengan mesin
truk. Semua peralatan dioperasikan dari kabin kendaraan. Semua bagian logam
harus diproteksi terhadap bahaya korosi.
d. Dimensi total ART-1 tidak lebih dari P x L x T = 6,5 x 2,5 x 3 m
e. Mesin kendaraan angkut ART-1 type diesel 4 silinder dengan daya 120 kw (90
Hp) dan torsi maksimum sekurangkurangnya 20 kgm Berat kosong alat angkut
container tidak lebih dari 3.500 kg dengan berat bak ditambah beban maksimum
sebesar 3.500 kg
Gambar 3 Arm Roll Truck
Gambar 4 Teknis Kerja Hidrolis Bak Arm Roll Truck
2. Alat penunjang pengolahan sampah
- Bulldozer,
Pada dasarnya bulldozer menggunakan traktor sebagai tempat dudukan
penggerak utama, tetapi lazimnya traktor tersebut dilengkapi dengan sudut
sehingga dapat berfungsi sebagai Bulldozer yang bisa untuk menggusur tanah.
Bulldozer adalah salah satu jenis dozer yang bergerak ke depan, sedangkan jenis
lainnya adalah angle dozer yang bergerak serong 25o. Type bulldozer, tergantung
dari macam blade dan alat geraknya. Bulldozer digunakan sebagai alat
pendorong tanah lurus ke dapan maupun ke samping, tergantung pada sumbu
kendaraannya. Bulldozer adalah jenis peralatan konstruksi (biasa disebut alat
berat atau construction equipment) bertipe traktor menggunakan Track/ rantai
serta dilengkapi dengan pisau (dikenal dengan blade) yang terletak di depan.
Bulldozer diaplikasikan untuk pekerjaan menggali, mendorong dan menarik
material (tanah, pasir, dsb). Selain blade sebagai perlengkapan standar
Bulldozer, pada sisi belakang Bulldozer bisa dipasang perlengkapan tambahan
berupa :
a. Ripper untuk membongkar material yang tidak dapat digali menggunakan blade,
biasanya untuk pekerjaan pembuatan jalan atau pertambangan.
b. Winch untuk menarik material, sering digunakan pada pekerjaan pengeluaran
kayu di hutan.
Umumnya bulldozer banyak digunakan di pekerjaan pertambangan, terutama
untuk pertambangan batubara. Bulldozer ini digunakan untuk meratakan tanah,
menggali dan menumbangkan pohon saat proses land clearing. Tapi tidak
menutup kemungkinan alat ini digunakan di tempat pembuangan sampah,
bulldozer digunakan untuk memindahkan sampah dengan cara mendorong
sampah sekaligus meratakan kembali tempat yang tadinya terdapat gunungan
sampah.
Gambar 5 Bulldozer
- Wheeldozer Atau Wheel Loader
Wheel loader adalah alat berat mirip dozer shovel, tetapi beroda karet (ban),
sehingga baik kemampuan maupun kegunaannya sedikit berbeda. Wheel Loader
menggunakan ban sebagai penggeraknya yang memudahkan mobilitas dan juga
fungsi articulate yang memberikan ruang gerak fleksibel. Wheel loader
merupakan alat yang dipergunakan untuk pemuatan material kepada dump truck
dan sebagainya. Sebagai prime mover loader menggunakan tracktor. Disini
dikenal dua macam loader (ditinjau dari prime movernya), yakni :
a. Loader dengan penggeraknya crawler tractor atau disebut track cavator.
b. Loader dengan penggeraknya crawler tractor atau disebut wheel tractor
Wheel Loader di TPA Galuga digunakan untuk memindahkan sampah ke dump
truck guna dipindahkan ke tempat lainnya atau memindahkan sendiri sampah ke
tempat yang jangkauannya tidak terlalu jauh.
Gambar 6 Whell Loader
- Excavator
Excavator adalah Alat berat yang terdiri dari batang, tongkat, keranjang dan
rumah rumah dalam sebuah wahana putar dan digunakan untuk penggalian
(akskavasi). Sistem hidrolik pada excavator digunakan untuk mengendalikan
pengendalian boom raise/lower, stick out/in, bucket close/open, swing right/left,
atau kombinasi dari gerakan-gerakan di atas. Sistem tenaga hidrolik ini dikontrol
oleh main control valve, yang terdiri dari beberapa katup directional control
valve (DCV). Sistem hidrolik digerakan oleh dua buah variable pump dengan
jenis pompa piston (axial piston pump) dimana pompa ini menyalurkan tenaga
dari engine pada excavator. Excavator pada TPA Galuga ini berfungsi untuk
mengeruk timbunan sampah agar tidak menggunung dan memindahkan sampah
dari titik pembuangan oleh truck ke tempat seharusnya baik untuk diolah
maupun dipindahkan pada sanitary landfill.
Gambar 7 Excavator di Tempat Pembuangan Sampah
MEKANISME PENANGANAN SAMPAH
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga merupakan TPA yang berada di
Kabupaten Bogor. TPA tersebut didirikan pada tahun 1986 dengan luas lahan yang
terus mengalami pertambahan. TPA Galuga beroperasi menerima sampah dimulai
dari pukul 05.00 – 15.00 WIB untuk sampah yang berasal dari Kota Bogor,
sedangkan untuk sampah yang berasal dari Kabupaten Bogor tidak memiliki
batasan waktu. Setiap 5 tahun diadakan perjanjian (MoU) antara Pemda Kabupaten
Bogor dan Pemda Kota Bogor serta penduduk setempat dalam hal perpanjangan
kontrak pembuangan sampah penduduk Kota Bogor ke Kabupaten Bogor. Saat ini
Pemerintah Kabupaten Bogor mempersiapkan alternatif TPA lain di daerah Nambo
sebagai daerah pembuangan sampah alternatif apabila pembuangan sampah ke TPA
Galuga mengalami kendala dari segi teknis maupun sosial.
Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor
591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir
(TPA) Sampah. Terdapat dua jalur transportasi sampah pada TPA Galuga yakni
jalur transportasi masuk dan jalur transportasi keluar. Jalur tersebut memiliki rute
seperti cycle sehingga truk yang membawa sampah tidak memutar balikkan truknya
tetapi hanya mengikuti rute yang telah ada. Kemudian terdapat IPAL yang
ditunjukkan dengan pengolahan air lindi yang dihasilkan. Selain itu terdapat
pengolahan sampah organik menjadi kompos.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya
terutama di Kota Bogor, jumlah sampah yang dihasilkan terus bertambah dari
waktu ke waktu dan jenisnya semakin beragam. Menurut Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Bogor, sampah yang dihasilkan Kota Bogor berasal dari aktivitas
pemukiman, sampah pasar, sampah pertokoan, dan sampah fasilitas umum dan
sampah UKM. Sampah ini sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir biasanya
ditampung pada tempat pembuangan sementara yang berbentuk bak-bak sampah
atau menggunakan kontainer sampah yang dapat langsung dibawa oleh truk
sampah. Kemudian oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, sampah
disetiap penampungan sementara diangkut ke pembuangan akhir di Tempat
Pembuangan Akhir sampah Galuga. Sampah B3 seperti sampah dari RS dan
industri tidak diperkenankan membuang sampahnya pada TPA Galuga. Hal ini
disebabkan oleh terdapat banyak pemukiman penduduk di sekitar TPA Galuga
sehingga sampah B3 yang dibuang akan menjadi polusi tanah dan air dan
membahayakan kesehatan penduduk bahkan dapat menyebabkan kematian.
Ketentuan ini tercantum dalam peraturan Pemkot Bogor dengan pelanggaran
bersifat pidana atau denda. Secara umum jenis limbah yang boleh dibuang di TPA
adalah plastik, limbah makanan, kertas, limbah sayur dan buah dan barang
rongsokan serta abu.
Pada tahun 1997 Pemerintah Kota Bogor mengalihkan pembuangan sampah
ke TPA Rancamaya, tetapi karena terjadi bencana alam di TPA Rancamaya pada
tahun 1999 maka pembuangan sampah pun dialihkan kembali ke TPA Galuga.
Pengelolaan sampah di TPA Galuga awalnya masih menggunakan metode open
dumping yaitu sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir
tanpa ada perlakuan apapun, tetapi saat ini telah sistem tersebut sudah diubah
menjadi controlled landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010).
Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk
mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun
dengan lapisan tanah secara periodik. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga
perataan dan pemadatan sampah. Pengolahan TPA yang baik seharusnya
menggunakan metode sanitary landfill. Metode controlled landfill masih dilakukan
karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut.
Penerapan metode sanitary landfill membutuhkan lahan yang luas serta biaya
pengelolaan yang besar. Sebanyak satu atau beberapa kali dalam setahun TPA
Galuga melakukan penimbunan permukaan lahan sampah yang telah padat dengan
tanah. Keberlangsungan kegiatan ini ditentukan oleh APBD yang ada. Gambar 8
menunjukkan lahan penampungan sampah TPA Galuga (controlled landfill).
Gambar 8 Lahan Pembuangan Sampah Galuga
Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa sampah yang dibuang pada TPA
Galuga berasal dari Kota dan Kabupaten Bogor serta beberapa daerah diluar bogor
seperti Jonggol. Total sampah dari Kota Bogor yang dibuang pada TPA Galuga per
hari mencapai 1670 m3 (2012) dengan menggunakan alat transportasi truk armroll
dan Dumptruck. Truk Armroll memiliki kapasitas sekitar 5 – 6 m3 dan Dumptruck
memiliki kapasitas 8 – 10 m3. Setiap hari sebanyak 63 dumptruck mengangkut
sampah dari Kota Bogor sedangkan sebanyak 29 truk amerol mengangkut sampah
dari kota. Asumsi jumlah sampah yang masuk ke TPA per hari mencapai lebih dari
2000 m3.
Pemisahan dan Pengolahan Sampah
Sampah yang masuk ke TPA Galuga harus melalui kegiatan pemisahan dan
pengolahan sampah yang dibuang pada TPA. Sampah yang masuk ke TPA Galuga
umumnya adalah sampah domestik (penduduk Kota dan Kabupaten Bogor) dan
sampah pasar (sebagian besar sampah organik).
Kegiatan pemisahan dilakukan oleh pemungut pada sampah domestik
maupun sampah pasar. Sampah yang datang telah mengalami pemisahan sederhana
dari sumber sampah yakni sampah domestik (penduduk) dimasukkan pada Limbah
Semen (tempat penerimaan sampah awal) sedangkan sampah dari pasar yang
sebagian besar terdiri dari sampah organik dimasukkan dalam bagian
pengomposan. Pada bagian pengomposan sampah non organik yang masih terdapat
pada sampah pasar akan dipisahkan kemudian sampah organik yang telah
dipisahkan akan dikomposkan. Adapun pada Gambar 9 tampak hasil pemisahan
sampah non organik dari sampah pasar berikut alat penghancur sampah organik.
Gambar 9 Hasil pemisahan sampah non organik dari sampah pasar dan alat
pengecil ukuran sampah organik
Pada limbah semen, sampah yang datang kemudian dipisahkan sebagian oleh
pemungut (plastik atau barang – barang non organik lain). Hal ini sebenarnya bukan
kegiatan pemisahan karena tidak semua sampah terpisahkan (organik dan non
organik). Pemungut yang ada pada TPA Galuga yang berperan dalam kegiatan ini
mencapai 250 pemulung dengan pendapat satu hari maksimum 200.000 rupiah dari
hasil penjualan barang-barang yang dipisahkan. Gambar 10 menunjukkan kegiatan
pemisahan pada area limbah semen (areal pendaratan sampah).
Gambar 10 Limbah Semen
Pengomposan
Pengolahan sampah di TPA Galuga adalah dalam bentuk pengomposan
sampah organik yang hasilnya adalah pupuk organik (kompos) yang dijual ke petani
yang ada di sekitar TPA Galuga. Dalam sehari bisa dihasilkan 5 ton kompos yang
dijual dengan harga Rp. 700,- per kg nya. Pada Gambar 11 tampak hasil
pengomposan berupa pupuk yang telah dikemas dan disimpan dalam gudang.
Gambar 11 Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah organik
Gambar 12 Penumpukan kompos di gudang pengolahan sampah TPA Galuga
Saat ini jarang sekali sampah organik yang diolah menjadi kompos karena
kompos yang dihasilkan belum semua terjual sehingga terjadi penumpukan di
gudang yang tampak pada Gambar 12. Alasan mengapa kompos yang dihasilkan
tidak atau kurang diminati adalah karena sampai sekarang petani masih belum
banyak menggunakan kompos (pupuk organik) untuk tanaman atau sayuran yang
ditanamnya. Petani baik yang ada di sekitar TPA Galuga masih banyak yang
menggunakan pupuk kimia dibandingkan pupuk organik (kompos), sehingga
penjualan kompos yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik di TPA Galuga
kurang maksimal.
Adapun alur proses pengomposan yang ada di TPA Galuga adalah seperti
terpampang pada Gambar 13.
Gambar 13 Alur proses pembuatan kompos dari sampah organik
Komposisi pembuatan kompos (pupuk organik) di TPA Galuga ini adalah
umumnya sampah sayur (>60%) yang berasal dari pasar-pasar yang ada di
Kabupaten dan Kota Bogor. Setelah itu dilakukan fermentasi selama 50 hari
dilakukan dengan penembahan serbuk gergaji sebanyak 15% dan kotoran sapi
sebanyak 25%. Setelah fermentasi 50 hari kemudian dikeringkan selama 1 – 2 hari
yang kemudian masuk ke mesin pencacah yang ada di TPA Galuga (sebanyak 3
buah). Mesin pencacah ini akan menghasilkan ketebalan 1 mm. Karena umur mesin
yang sudah tua, sehingga sebelum masuk ke mesin pencacah akan lebih baik apabila
sebelum dilakukan fermentasi terlebih dahulu dilakukan pemilahan sampah-
sampah yang akan dijadikan kompos.
Pemadatan dan Penimbunan
Pada kegiatan pemadatan digunakan beberapa alat berat yaitu pengeruk,
bulldozer, kobe dan beco. Pemadatan dilakukan dengan menekan timbunan sampah
pada lahan dengan alat berat dengan tujuan memperkecil volume sampah sehingga
memungkinkan sampah-sampah baru dapat dimuat pada lahan (meningkatkan
kapasitas penampungan sampah). Selain pemadatan, dilakukan penimbunan lahan
dengan tanah. Kegiatan ini dilakukan dengan menambahkan tanah pada permukaan
tumpukan sampah yang telah dipadatkan. Pengolahan ini sesuai dengan aturan
sistem pembuangan akhir controlled landfill.
Sampah Pasar Pemilahan Pembersihan
Penambahan Bahan
FermentasiFermentasiPencacahan
PengayakanPengemasan
(kg)Pengemasan
(karung)
LIMBAH CAIR TPA GALUGA
Pembuangan sampah secara rutin ke dalam TPA dapat menimbulkan
pencemaran terhadap perairan baik di permukaan maupun di dalam tanah. Sampah
yang bertambah secara terus-menerus akan mempengaruhi tingkat degradasi dari
sampah tersebut (Pohland dan Harper 1985). Penguraian sampah organik bisa
menghasilkan zat hara, zat-zat kimia yang bersifat toksik dan bahan-bahan organik
terlarut. Semua zat tersebut akan mempengaruhi kualitas air, baik air permukaan
maupun air tanah dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia ,
dan biologi perairan (Pohland dan Harper 1985).
Tumpukan sampah akan menyebabkan bau busuk yang mencemari udara dan
lingkungan di sekitar. Sampah terdiri dari berbagai macan bahan material mulai dari
bahan organik dan bahan anorganik. Apabila sampah dibiarkan terus menerus
menumpuk akan berdampak pada tanah. Ketika tanah yang dijadikan tempat
pembuangan sampah secara open dumping dan sanitari landfill turun hujan maka
akan menyebabkan air tersebut mengalami infiltrasi, mencuci sampah dan
membawa zat-zat kimia yang ada pada sampah tersebut meresap kedalam tanah.
Sehingga terjadi pencemaran air tanah.
Air lindi merupakan air yang keluar dari tumpukan sampah karena masuknya
rembesan air hujan ke dalam tumpukan lalu bersenyawa dengan komponen-
komponen hasil penguraian sampah. Lindi sampah TPA Galuga dihasilkan oleh
tumpukan sampah yang ditampung. Komposisi lindi yang terbentuk akan sesuai
dengan jenis sampah yang masuk ke dalam TPA. Secara gravitasi, air lindi yang
terbentuk pada TPA Galuga mengalir ke tempat yang lebih rendah melalui saluran
permanen yang terbuat dari tembok beton dengan panjang saluran sekitar 400 m,
lebar 1-1,5 m dan dalam 0,5-1 m. Lindi tersebut kemudian masuk ke dalam kolam
pengolahan (pengendapan) permanen sebanyak 4 buah. Pada keempat kolam
pengolahan ini, lindi yang masuk akan diendapkan dan selanjutnya dikeluarkan ke
saluran pembuangan. Saluran pembuangan ini dibuat tidak permanen dengan lebar
1 m dan tinggi air sekitar 10-25 cm yang langsung berhubungan dengan saluran
irigasi penduduk.
TPA sampah Galuga mempunyai 4 buah kolam pengolahan. Sebelum air lindi
hasil buangan sampah terbuang keperairan umum, lindi tersebut diolah terlebih
dahulu pada kolam-kolam pengolahan. Menurut DKP (2003), keempat kolam
tersebut dirancang dengan fungsi tertentu. Kolam pengolahan pertama mempunyai
fungsi sebagai kolam aerasi dengan ukuran sekitar 20 m3. Kolam pengolahan kedua
dan ketiga sebagai kolam flokulasi dengan ukuran masing-masing sekitar 40 m3 dan
kolam keempat sebagai kolam pengendapan mempunyai ukuran sekitar 12 m3.
Kenyataannya pada saat pengamatan setiap bak pengolahan tersebut tidak
difungsikan sesuai dengan seharusnya. Pada setiap bak pengolahan, air lindi yang
masuk hanya dialirkan, diendapkan, kemudian dikeluarkan kesaluran perairan
umum tanpa ada proses pengolahan lebih lanjut. Hal ini sangat disayangkan, karena
bak pengolahan yang telah dirancang tidak dioperasikan sesuai dengan fungsinya.
Gambar 14 Pengolahan Air Lindi TPA Galuga
Turunnya hujan pada kondisi topografi tertentu dapat mengakibatkan
masuknya lindi ke dalam sumur gali di sekitar TPA sampah. Penelitian
menyebutkan bahwa intensitas curah hujan rata-rata perjam di daerah Leuwiliang
dan sekitarnya berkisar antara 61,1 mm hingga 117,9 mm. Curah hujan seperti ini
dapat menjadi larutan air lindi dan yang terpapar dideposit sampah, kemudian
sebagian masuk ke dalam tanah (bercampur dengan air tanah) dan sebagian lagi
mengalir ke permukaan tanah. Menurut Alfons, Kristijanto dan Soenarto (2005) air
hujan dapat mempercepat proses pembusukan mikrobiologi dan bahan-bahan
organik yang ada di sampah. Pada waktu yang sama, partikel-partikel seperti nitrat,
fosfat, besi, sulfat, kation dan anion lainnya akan terlarut. Selain itu, air hujan juga
bertindak sebagai media meresapnya air lindi ke air tanah. Air mengalami
penurunan kualitas seperti kulitas fisika, kimia, dan mikrobiologi air minum.
Berkenaan dengan siklus air di TPA Galuga dan sekitarnya, dapat dilihat
bagaimana kemungkinan terjadinya rembesan arah air permukaan (run off) di TPA
Galuga. Kemungkinan terjadi pencemaran air hujan turun terjadi infiltrasi di tempat
TPA. Lokasi yang lebih rendah topografinya dan kelerengan yang lebih rendah
dapat mempengaruhi kualitas air sumur melalui akibat rembesan dengan membawa
bahan-bahan terlarut (senyawa organik, ion-ion larut, gas-gas larut). Kemudian
bahan-bahan yang terlarut menjadi bagian air tanah dan air bawah tanah. Terjadi
aliran bawah permukaan jadi mata air tercemar masuk sumur-sumur gali penduduk
(Gambar 15).
Gambar 15 Siklus air dan kemungkinan terjadinya pencemaran mata air dan air
sumur gali penduduk
Syahrulyati (2005) mengemukakan bahwa dampak pencemaran lindi dari
TPA Galuga secara umum membentuk pola pengaliran dari Selatan ke Utara bahwa
wilayah perkampungan yang terkena dampak meliputi Desa Galuga, Lalamping,
Desa Dukuh dan bagian Utara Moyan Ganteng pada kontur muka air tanah paling
tinggi pada level 194 m. Arah aliran pergerakan air bawah permukaan disekitar
TPA Galuga dipengaruhi oleh sifat batuan yang mendasarinya. Berdasarkan hasil
analisis kandungan BOD/COD, DO, NH4 dan E.coli, air di sekitar TPA Galuga
telah tercemar ringan oleh air lindi. Kandungan E.coli air bersih sudah
memperlihatkan terkontaminasi oleh bakteri, kandungan amoniak melebihi ambang
batas. Tingginya kadar sulfat, mangan karena faktor batuan secara mineralogist.
Peneliti mencoba melakukan penelitian bagaimana kondisi air pada pola pengaliran
air daerah yang terpengaruh dan daerah yang tidak terpengaruh pola aliran air
bawah arah aliran pergerakan air bawah permukaan di sekitar TPA Galuga
dipengaruhi oleh sifat batuan yang mendasarinya.
Apabila mencermati kualitas air sumur yang berada di sekitar TPA, maka ada
indikasi bahwa keberadaan sampah di TPA Galuga telah mencemari air tanah yang
berada di sekitarnya, khususnya sebelah Utara (bagian hilir) dari areal penumpukan
sampah, berupa pencemaran mikrobiologi yang lebih tinggi dari BML (Permenkes
No. 416/1990). Dengan demikian air sumur tersebut bukan untuk air minum, tetapi
untuk keperluan lain, seperti budidaya pertanian. Keadaan tersebut sudah dapat
dimengerti oleh penduduk setempat karena air sumur tersebut mereka gunakan
untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK) sedangkan kebutuhan air minum
dipasok dari pelayanan air bersih yang disediakan oleh pengelola TPA Galuga
(Pemkot Bogor).
Adapun, cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai
juga akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga
beberapa spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis
perairan. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran air dari kelangsungan pengelolaan sampah di TPA Galuga serta upaya
pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu
air yang berlaku.
LIMBAH GAS TPA GALUGA
Penanganan Gas Metana
Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbon
dioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan
menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani karena
merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas
H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak. Gas metana sebenarnya
merupakan salah satu gas yang berbahaya, jika tidak dimanfaatkan maka gas
metana yang keluar dari timbunan sampah bisa menambah efek rumah kaca yang
dapat merusak alam dan lingkungan.
Gas metana terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa
udara) oleh bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas
untuk mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung bahan organik
(biomassa) sehingga terbentuk gas metana (CH4) yang apabila dibakar dapat
menghasilkan energi panas. Pada tempat-tempat tertentu proses perubahan ini
terjadi secara alamiah, seperti pada TPA sampah.
Gambar 16 Siklus gas metana
Proses dekomposisi bahan organik secara anerobik pada dasarnya adalah
proses yang terdiri atas dua tahap, yaitu proses asidifikasi (pengasaman) dan proses
pembentukan metana. Proses asidifikasi terjadi karena kehadiran bakteri
pembentuk asam yang disebut dengan bakteri asetogenik. Bakteri ini akan
memecah struktur organik kompleks menjadi asam-asam volatil (struktur kecil).
Pada proses penguraian protein dipecah menjadi asam-asam amino,
karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana, lemak dipecah
menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan dipecah lebih
jauh menjadi asam-asam volatil. Bakteri asetogenik juga melepaskan gas hidrogen
dan gas karbondioksida. Bakteri pembentuk metan (bakteri metanogenik)
menggunakan asam yang terbentuk darl proses asidifikasi. Selain itu juga terdapat
bakteri yang dapat membentuk gas metana dari gas hidrogen dan karbondioksida
yang dihasilkan dari proses pertama.
Gas metana yang dihasilkan dari proses penguraian secara alami di TPA harus
dikelola dengan baik karena jika dibiarkan begitu saja maka akan menyebabkan
pencemaran udara dan memungkinkan terjadinya ledakan. Pemanfaatan gas metana
hasil pengolahan sampah yang dilakukan secara terpadu dapat menjadi sumber
energi terbarukan sebagai bahan bakar maupun sumber energi listrik sehingga dapat
dinikmati oleh masyarakat sekitar. Selain itu pula, pemanfaatan tersebut juga
mengurangi dampak dari efek rumah kaca sehingga kelestarian lingkungan yang
terdapat disekitar TPA tetap terjaga.
Namun pemanfaatan tersebut belum terjadi pada TPA Galuga. Penanganan
gas metana yang dihasilkan dari sampah yang berada di TPA belum dikelola secara
efektif dan belum dimanfaatkan dengan baik. Sampai saat ini gas metana tetap
dibiarkan berada dan terakumulasi di TPA yang menjadi ancaman bagi para pekerja
dan warga sekitar karena menjadi “bom waktu” yang kapan saja dapat
meledak.Waktu yang diperlukan untuk menumpuk sampah pada satu sisi area di
TPA Galuga dapat lebih dari 5 tahun. Sehingga untuk sampah yang timbunannya
telah berumur lebih dari 5 tahun diperlukan pipa-pipa asap yang berfungsi untuk
menyalurkan gas metan (CH4) yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh bakteri.
Gas metana yang tidak disalurkan ke udara bebas dapat menimbulkan ledakan hebat
hingga terjadi kebakaran TPA.
Walaupun TPA Galuga telah menerapkan sistem pemisahan sampah organik
untuk komposting dan sampah anorganik untuk dipadatkan, namun pada sampah-
sampah organik masih terdapat sampah organik yang jumlahnya cukup banyak dan
sangat berpontensi terurai dan membentuk gas metana. Oleh karena itu, di TPA
Galuga diperlukan proses pengolahan atau pemanfaatan gas metana dengan
menggunakan pipa saluran untuk gas metana.
Pengolahan sampah organik yang akan dibuat untuk membuat kompos dapat
dikombinasikan dengan proses penampungan dan penyaluran gas metana untuk
menjadi sumber listrik dan energi. Pertama limbah organik dicampur dengan air
kemudian diendapkan dalam digester yang dijaga agar dalam kondisi anerobik
supaya proses penguraian dapat dilakukan oleh bakteri anaerobik. Setelah itu gas
metana yang dihasilkan disalurkan ke penampungan gas dan didistribusikan untuk
sumber energi dan listrik. Sedangkan cairan dan endapan yang dihasilkan menjadi
kompos cair dan kompos padat organik yang siap untuk digunakan.
Gambar 17 Siklus gas metana
Gas metana yang terdapat pada TPA dapat dikumpulkan dengan
menggunakan pipa-pipa yang dipasang disepanjang TPA. Pipa dipasang secara
mendatar dan vertikal diantara tumpukan sampah. Dalam proses ini, gas akan
masuk ke dalam pipa karena adanya tekanan alami atau karena keadaan yang sedikit
vakum. Setelah itu udara bergerak menuju kompresor dan mesin untuk memisahkan
metana dari gas CO2 dan O2. Kompresor adalah alat mekanik yang berfungsi untuk
meningkatkan tekanan fluida mampu mampat, yaitu gas atau udara, bertujuan
meningkatkan tekanan dapat untuk mengalirkan atau kebutuhan proses dalam suatu
sistem proses yang lebih besar. Setelah itu gas melewati flare (cuar) untuk
menghasilkan panas tinggi tanpa harus ada ledakan. Gas metana kemudian di
transformasi menjadi energi listrik atau sumber energi untuk memasak kebutuhan
sehari-hari.
Gambar 18 Skema penanganan dan pemanfaatan landfill gas
DAMPAK SOSIAL DAN LINGKUNGAN TPA GALUGA
Lingkungan merupakan salah satu bagian dari ekosistem tempat manusia
hidup dan berinteraksi. Keberadaan lingkungan memiliki arti penting dalam
menunjang kehidupan manusia. Kualitas lingkungan yang baik dapat membantu
mewujudkan kualitas hidup manusia yang lebih baik. Menurut Hadiwiyoto (1983),
sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan dan kesehatan.
Gangguan itu yaitu: (1) pencemaran udara dan bau yang tidak sedap; (2) sampah
bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan kondisi physicochemis yang dapat
mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan pH; (3) kekurangan oksigen pada
daerah pembuangan sampah; (4) gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi
sampah dapat membahayakan kesehatan dan kadang-kadang beracun dan dapat
mematikan, (5) penularan penyakit yang ditimbulkan oleh sampah; dan (6) secara
estetika pemandangan yang tidak nyaman untuk dinikmati.
Begitu halnya dengan TPAS Galuga, timbul beberapa pencemaran
lingkungan akibat penumpukan sampah yang diolah dengan tidak optimal. Miner
et al. (2000) mengatakan bahwa secara umum sampah dapat menimbulkan
pencemaran baik udara, air, maupun tanah. Pencemaran pada tanah terutama adalah
pencemaran terhadap air permukaan dan air dalam tanah yang sangat
membahayakan bagi kesehatan manusia. Di samping itu, pencemaran bahan kimia
dapat menimbulkan kerusakan tanah sehingga mempengaruhi kegunaan sumber
daya tersebut.
Sirodjuddin (2008) menyebutkan bahwa efek sampah terhadap manusia dan
lingkungan adalah:
1. Dampak terhadap kesehatan
Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah: (a) penyakit
diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah
dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum, penyakit demam
berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang
pengelolaan sampahnya kurang memadai; (b) penyakit jamur dapat juga
menyebar (misalnya jamur kulit); (c) penyakit yang dapat menyebar melalui
rantai makanan, salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan
oleh cacing pita (taenia), cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaan
binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan atau sampah;
(d) sampah beracun.
2. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi
Potensi bahaya sampah terhadap keadaan sosial dan ekonomi yang dapat
ditimbulkan adalah: (a) membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan
bagi masyarakat, bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena
sampah bertebaran dimana-mana; (b) memberikan dampak negatif terhadap
kepariwisataan; (c) menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal
penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk
mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk
kerja, rendahnya produktivitas); (d) pembuangan sampah padat ke badan air
dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas
pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain; (e) infrastruktur
lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai,
seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air.
Pengelolaan sampah di TPA pada setiap daerah berbeda-beda tergantung
pada ketersediaan lahan, biaya, teknologi, dan faktor lingkungan sosial
sekitarnya. Keberadaan sampah menimbulkan masalah, karena lahan perkotaan
sangat terbatas. Alokasi serta pengadaan lahan sangat terbatas untuk fasilitas
TPA selalu diabaikan dan tidak terencana dengan tepat. Oleh karena itu,
pengelolaan sampah yang komprehensif harus memperhatikan sumber sampah,
lokasi dan interaksi terhadap lingkungan. Sebagian sampah di Indonesia masih
menerapkan pembuangan sampah terbuka, termasuk TPA sampah Galuga,
Cibungbulang. Kesederhanaan sistem pembungan terbuka, dapat memberikan
keuntungan terutama dapat memberikan lapangan pekerjaan pada masyarakat.
Namun memberikan masalah terutama menyangkut masalah penurunan estetika,
bau dan gangguan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Pengelolaan sampah di
TPA Galuga merupakan proyek yang akan berpengaruh terhadap aspek sosial
lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Setidaknya ada tiga
dampak positif yang timbul sebagai kesejahteraan penduduk, yaitu semakin
terbukanya informasi daerah sekitar TPA terhadap daerah lainnya, Terjadinya
peningkatan interaksi sosial masyarakat di sekitar TPA dengan masyarakat
lainnya, terjadinya peningkatan perbedaan status sosial, sejalan dengan
kesenjangan pendapatan dikalangan masyarakat (Tonny 1990).
Sampah adalah sesuatu bahan padat yang sudah tidak digunakan lagi
dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Pemanfaatan kembali limbah padat
atau sampah banyak memberikan kembali keuntungan bagi kehidupan manusia.
Sampah yang semula tidak berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui
proses daur ulang menjadi bernilai ekonomis seperti: kertas, bahan organik,
tekstil/pakaian, gelas, logam karet, kulit dan plastik (Wardhana 2004).
Masyarakat banyak berpendapat tentang rendahnya pekerjaan pemulung,
tetapi tidak disadari manfaat yang dapat dikerjakan oleh pemulung sampah.
Pekerjaan ini bukanlah menjadi hambatan bagi mereka yang melihatnya dari
aspek pemanfaatan, dan dapat dipakai sebagai mata pencaharian atau dipakai
sebagai aspek ekonomi yang dapat menunjang pendapatan keluarga.
Awalnya areal TPA Galuga digunakan sebagai tempat pembuangan
sampah dan keberadaan rumah penduduk berada cukup jauh dari areal TPA
dimana selama aktifitas TPA berjalan tidak menggangu masyarakat sekitar.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, sebagian masyarakat mulai melirik TPA
dan melihat peluang bahwa keberadaan TPA dapat memberikan manfaat bagi
warga sekitar untuk mencari nafkah dengan memafaatkan limbah sampah yang
masih dapat bernilai ekonomis. Secara informal pemulung mengambil barang
(sampah) yang mempunyai potensi untuk didaur ulang (kertas, karton, logam
dan lain-lain), dipakai, dan dijual kembali sehingga bernilai ekonomi. Akibatnya
seiring berjalannnya waktu, bermunculan warga lainnya yang berprofesi
menjadi pemulung, bandar dan sebagainya. Rata-rata penduduk yang berprofesi
sebagai bandar memiliki lokasi yang dekat TPA atau pinggir kawasan TPA
sebagai tempat tinggal atau pemukiman. Sehingga sampai saat ini banyak
pemukiman yang berada di pinggir dekat dengan kawasan TPA. Diperkirakan
terdapat sekitar 600-700 orang pemulung yang melakukan aktivitas di lokasi
TPA Galuga yang merupakan warga sekitar dan beberapa orang pendatang.
Keberadaan pemulung cukup mengganggu kelancaran petugas TPA
(operator alat berat) karena dalam melakukan pekerjaannya para pemulung
kurang memperhatikan keselamatan. Namun, selain mengganggu kelancaran
operasional TPA, keberadaan pemulung juga dinilai cukup baik diantaranya
mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke areal TPA dimana sampah-sampah
seperti plastik, kertas, alumunium besi dan lainnya yang bernilai ekonomis
dimanfaatkan kembali (daur ulang) oleh pemulung.
Dampak sosial-ekonomi yang terlihat di TPAS Galuga adalah adanya
perubahan mata pencaharian penduduk di sekitar tempat pembuangan yang
semula mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani atau peternak, kini banyak
yang beralih menjadi pemulung atau pengolah sampah. Sepanjang perjalanan
menuju TPAS Galuga banyak dijumpai rumah warga yang menjadi
penampungan dan pendauran sampah. Selain itu, kerusakan infrastruktur seperti
badan jalan juga terjadi di PTAS Galuga. Kerusakan ini disebabkan banyaknya
truk sampah dan kendaraan berat seperti bulldozer yang melalui jalan tersebut.
Kondisi badan jalan bergelombang dan berlubang.
3. Dampak terhadap kualitas udara dan air
Macam pencemaran udara yang ditimbulkan misalnya mengeluarkan bau
yang tidak sedap, debu gas-gas beracun. Pembakaran sampah dapat
meningkatkan karbonmonoksida (CO), karbondioksida (CO2) nitrogen-
monoksida (NO), gas belerang, amoniak dan asap di udara. Macam pencemaran
perairan yang ditimbulkan oleh sampah misalnya terjadinya perubahan warna
dan bau pada air sungai, penyebaran bahan kimia dan mikroorganisme yang
terbawa air hujan dan meresapnya bahan-bahan berbahaya sehingga mencemari
sumur dan sumber air. Bahan-bahan pencemar yang masuk kedalam air tanah
dapat muncul ke permukaan tanah melalui air sumur penduduk dan mata air. Jika
bahan pencemar itu berupa B3 (bahan berbahaya dan beracun) misalnya air raksa
(merkuri), chrom, timbale, cadmium, maka akan berbahaya bagi manusia, karena
dapat menyebabkan gangguan pada syaraf, cacat pada bayi, kerusakan sel-sel
hati atau ginjal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hifdziyah (2011) terhadap 60
responden menunjukkan hasil bahwa responden yang menilai kebersihan
lingkungannya bersih sebesar 50,00 persen. Hal ini dikarenakan responden
sudah terbiasa dengan keadaan lingkungan yang ada karena sebagian besar
responden sudah tinggal di lingkungan pemukiman sekitar TPAS Galuga dalam
waktu yang cukup lama. Persentase penilaian ini tidak berbeda jauh dengan
responden yang menilai kebersihan lingkungan sekitarnya kotor yaitu sebesar
48,33 persen. Sedangkan responden yang menilai kebersihan lingkungannya
sangat kotor sebesar 1,67 persen.
Adapun hasil penelitian tentang kebersihan air di sekitar TPAS Galuga
adalah kualitas air di lingkungan sekitar TPAS Galuga sebagian besar tidak
bermasalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase untuk penilaian kondisi air
tercemar sebesar 38,33 persen dan kondisi air tidak tercemar sebesar 61,67
persen. Selain itu ditunjukkan dengan nilai rata-rata semantic differential yang
menunjukkan angka 0,6 angka ini mendekati nilai skala kedua, sehingga secara
kualitatif sebagian besar responden menilai bahwa kondisi air di Desa Galuga
tidak tercemar.
PENILAIAN TPA GALUGA
Pengelolaan TPA Galuga pada saat ini belum berjalan dengan baik atau masih
tergolong pada penilaian poor. Penilaian ini dilakukan pada beberapa aspek,
seperti:
1. Pengelolaan sampah
Pengangkutan sampah ke TPA yang berlangsung setiap hari mengakibatkan
volume sampah di TPA terus bertambah. Upaya pengelolaan yang dilakukan
pada prinsipnya adalah untuk mengurangi volume timbulan sampah. Upaya-
upaya yang dilakukan adalah penggunaan ulang sampah dan pengelolaan
sampah menjadi kompos. Penggunaan ulang sampah hanya sebatas dilakukan
oleh pemulung yang memilah sampah di lokasi TPA. Sedangkan pengelolaan
sampah menjadi kompos belum berjalan dengan optimal.
2. Penurunan kualitas air
Penurunan kualitas air permukaan dan air tanah terjadi di sekitar lingkungan
TPA Galuga. Sumber pencemaran air lindi yang berasal dari tumpukan sampah.
Upaya pengelolaan yang dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas air
permukaan dan air tanah adalah membuat saluran air lindi instalasi pengolah air
lindi. Sistem yang digunakan dalam pengolahan lindi adalah pengendapan dan
oksidasi. Namun di lapangan pengolahan lindi tidak berfungsi karena ada
beberapa permasalahan konstruksi. Hal-hal yang menyebabkan pengolahan air
lindi tidak optimal adalah kolam penampung dan pengolah lindi tidak berfungsi
dengan baik. Apabila mencermati kualitas air sumur yang berada di sekitar TPA,
maka ada indikasi bahwa keberadaan sampah di TPA Galuga telah mencemari
air tanah yang berada di sekitarnya, khususnya sebelah utara (bagian hilir) dari
areal penumpukan sampah.
3. Penurunan kualitas udara
Penurunan kualitas udara dapat terjadi akibat dari operasional TPA. Sumber-
sumber polutan adalah gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah dan air
lindi serta emisi kendaraan pengangkut sampah dan alat berat. Bahaya kebakaran
juga mengancam dari sampah yang secara alami akan mengalami dekomposisi.
Proses dekomposisi ini menghasilkan gas metan. Gas metan tersebut apabila
tidak dikelola berpotensi menimbulkan kebakaran. Upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya kebakaran di lokasi TPA adalah dengan pemasangan pipa
penyalur gas metan. Pelepasan gas metan ke udara dapat mengeliminasi
terjadinya kebakaran pada sampah. Di lokasi TPA Galuga, telah dibuat beberapa
titik pipa pelepasan gas metan, namun akan lebih optimal apabila gas metan yang
terproduksi diolah lebih lanjut daripada dilepas langsung ke lingkungan.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengelolaan TPA Galuga pada saat ini belum berjalan dengan baik atau masih
tergolong pada penilaian poor. Pemilihan Desa Galuga sebagai TPA dulunya
memenuhi persyaratan ataupun kriteria yang ditetapkan. Tetapi, dalam
perawatannya masih kurang baik dan menjadikan TPA Galuga menjadi kurang
sesuai untuk dijadikan TPA. Pada mulanya pemilihan Galuga sebagai TPA
ditentukan berdasarkan kriteria regional, kriteria penyisih, dan kriteria penetapan.
Salah satunya karena Galuga merupakan tempat yang bukan daerah rawan bencana
dan sifat tanahnya dapat menyerap air dengan baik, maka Galuga sesuai untuk
dijadikan sebagai lokasi TPA.
Pemilihan Galuga sebagai lokasi TPA dengan menggunakan pertimbangan
berbagai kriteria, tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik. Banyak hal yang
masih harus dibenahi dan diperbaiki mulai dari sarana yang menjadi unsur utama
dalam pengelolaan sampah seperti lahan yang tidak akan mencemari lingkungan,
kemudian peralatan yang mendukung dalam operasional pengolahan sampah
seperti alat berat, drainase, saluran lindi, pipa ventilasi pengaman gas dan lain
sebagainya. Meskipun sudah ada upaya baru untuk pengolahan sampah organik
menjadi kompos, namun dalam kenyataanya juga belum berjalan dengan optimal.
Pada TPA Galuga, menggunakan dua jenis alat angkut untuk mengumpulkan
sampah yaitu truk dan amrol. Sedangkan alat penunjang untuk pengolahan sampah
berupa bulldozer, wheeldozer atau wheel loader, excavator. Pengelolaan sampah di
TPA Galuga sekarang menjadi controlled landfill yang sebelumnya menggunakan
metode open dumping. Sanitary landfill yang merupakan metode yang lebih baik
dalam pengolahan di TPA belum bisa diterapkan di TPA Galuga karena kurang
luasnya lahan dan keterbatasan dana yang ada.
Dampak yang ditimbulkan akibat dibangunnya TPA Galuga ini sangat
beragam. Terhadap kesehatan, banyak sekali jenis penyakit yang timbul menyerang
warga di sekitar lokasi TPA. Sedangkan dampak terhadap sosial ekonomi,
lingkungan di sekitar menjadi jauh dari estetika keindahan dan adanya perubahan
mata pencaharian penduduk sekitar menjadi pemulung. Lalu dampak yang lain
adalah menjadi menurunnya kualitas udara dan air terutamanya di sekitar TPA
Galuga.
Saran
Sebaiknya, perawatan dan pengelolaan TPA Galuga lebih diperbaiki lagi.
Konsekuensi ketika menjadikan wilayah Galuga sebagai TPA adalah tetap
berkomitmen untuk mengelola TPA Galuga dengan baik dan oleh siapapun juga.
Masyarakat di sekitar TPA sebaiknya juga lebih diperhatikan lagi dengan tujuan
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan baik dampak lingkungan, sosial,
ekonomi, kesehatan, maupun dampak yang lain. Prinsip dan teori yang terbaik
dalam pengelolaan sampah pada TPA Galuga sebaiknya lebih diterapkan.
Keterbatasan dana yang ada seharunya bukan menjadi suatu masalah karena hal ini
berkaitan erat dengan lingkungan secara umum dan kehidupan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, A. Marimis, AIK dan Soenarto, N. Status Pencemaran Air Sungai
Kreo,Yang Menerima Masukan Air Lindi TPA Jatibarang, Semarang. J
teknik lingkungan Edisi Khusus, Oktober 2005. 141-148.
[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 1999. Peta Rupa
Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 17.500 Lembar 1209-134 Leuwiliang.
Basyarat, A. 2006. Kajian Terhadap Penetepan Lokasi TPA Sampah
Leuwinanggung-Kota Depok. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang.
[BPS]. 2009. Penduduk Kecamatan Cibungbulang Bogor. Badan Pusat Statistika.
www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab
=1. [diakses pada tanggal 17 Oktober 2009].
Darmasetiawan, M. 2004. Perencanaan Tempat Pembuanagn Akhir (TPA).
Ekamitra Engineering, Jakarta.
Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor. 2010. Laporan Pelaksanaan Revisi
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) TPAS Galuga. Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor. Bogor
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. 2003. Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL – UPL) Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Galuga. Bogor.
Fauzi, Azanur. 2010. http://azanurfauzi.blogspot.com/2010/06/alat-alat-berat.html
(diakses Tanggal 27 november 2013 01:00 WIB)
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta: Yayasan
Idayu.
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan &
Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hifdziyah, Lisanatul. 2011. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Hikari, Irfan. 2012. http://dunia-atas.blogspot.com/2012/03/wheel-loader.html
(diakses Tanggal 27 november 2013 01:00 WIB)
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2001. Penggunaan Lahan TPA Galuga.
Bogor: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Miner, J. R., F. J. Humerik., M. R. Overcash. 2000. Managing Livestock Wastes to
Presure Environmental Quality. Lowa State University Press, Ames.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor Tentang Penyelenggaraan Prasarana
Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
Permenkes No. 416/Men.Kes/Per./IX/1990 Tentang Air Bersih.
Pohland, F.G. dan S.R. Harper. 1985. Critical Review and Summary of Leachate
and Gas Production from Landfills. U.S. Environmental Protection Agency.
Ohio. 165 p.
Sirodjuddin, A. 2008. Efek Sampah Terhadap Manusia dan Lingkungan.
http://ardansirodjuddin.wordpress.com/2008/08/05/efek-sampah-
terhadapmanusia- dan-lingkungan/. [diakses pada tanggal 25 November
2013].
Syahrulyati, T. 2005. Analisis Sebaran Dampak Pencemaran Lindi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Terhadap Kualitas Air Bawah
Permukaan. Studi Kasus Desa Galuga dan Sekitarnya Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tesis. Bogor: Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.
Tonny F. 1990. Metoda dan Teknik Sosial Ekonomi. Khursus Penyusunan AMDAL.
Bogor: IPB.
[UPTD TPA]. 2011. Komposisi Sampah dalam Angka. Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Bogor, Bogor.
Wardana, A W. 2004. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: Andi.
Widiatmaka, M. Selari., W. Ambarwulan., L. Suryani., dan Janudianto. 2004. Studi
Penentuan Alternatif Lokasi Pembuangan Sampah (Waste Disposal Site)
Berbasis Daya Dukung Lahan dan Lingkungan di Propinsi DKI Jakarta.
Laporan Akhir. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan Institut Pertanian
Bogor.
Wikantika. K. 2008. Kriteria Penentuan Lokasi Pembuangan Sampah.
http://wikantika.wordpress.com/2008/05/07/kriteria-penentuan-
lokasipembuangan-sampah/. [diakses pada tanggal 22 November 2013].