g30s pki dr berbagai versi

112
Tentang Matinya Para Jendral Tentang Matinya Para Jendral Tentang Matinya Para Jendral Tentang Matinya Para Jendral Oleh Ben Anderson Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu. Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah. Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan. Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama : 1. pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu; 2. identifikasi atas mayat; 3. deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan; 4. uraian rinci tentang luka-luka; 5. kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian; 6. pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu, 7. bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya. A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark

Upload: naksintink

Post on 16-Jun-2015

2.226 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Tentang Matinya Para JendralTentang Matinya Para JendralTentang Matinya Para JendralTentang Matinya Para Jendral

Oleh

Ben Anderson

Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang

bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi

rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub,

saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya

merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.

Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli

kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani,

Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda

(Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.

Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah

kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah

lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan

majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan

dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.

Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut

bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku

Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat

(RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono

Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu

ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama

selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah

malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus

bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru

bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah

melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah

pembunuhan terjadi.

Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat

membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu

dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti

patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung

Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut

tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.

Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama :

1. pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;

2. identifikasi atas mayat;

3. deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;

4. uraian rinci tentang luka-luka;

5. kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;

6. pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,

7. bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana

mestinya.

A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark

2

Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya

masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa

yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita

Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut.

Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri

telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang

dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober,

tidak mengudara.

Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-

suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang

ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa

kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.

Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga

edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih

menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari

itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu.

Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah

membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab

berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan".

Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh

dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan

sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita." Mayjen Suharto

sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata

kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh

petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'".

Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan

Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia

dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai

"penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti tentang penyiksaan ini

ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa

"anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi".

Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari-

hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan

bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita

Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam

sehelai kain hitam.

Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang

bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan

tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam

sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesinnya yang

seperti harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang

bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.

Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan

kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun

ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada

dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil".

3

Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan

Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya

keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain

yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan."

Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya

Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang

Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita

Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- perempuan ini,

digunakan sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."

Begitu surat kabar-surat kabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta

merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah

militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa "alat pencungkil" yang

digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti

komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa

Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai

tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya.

Pada tanggal 25 Oktober surat kabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama

Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang

mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa "di luar

batas kesusilaan" oleh anggota-anggota Gerwani.

Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita

menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas

Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan

sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun,

mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima

pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30

September.

Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang-

orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang

telah mereka tangkap itu. ("Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet... menusuk-

nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965).

Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada

tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan

mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut

serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember

Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan "Tarian Bunga

Harum" di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum

terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.

Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober,

November dan Desember ini -- sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap

orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan -- terkandung

dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh

kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan -- khususnya dicungkil mata dan

dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan

adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.

4

Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5

Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para

kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh.

Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.

Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan:

mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh

dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral

Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah

dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo,

serta Letnan Tendean.

Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah

peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan

dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan

Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal

28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah

dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan

yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah

pimpinan operasi Lettu Doel Arief.

Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensik. Para ahli

forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan

sepuluh luka tembak masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak

pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono

timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat tembakan. Penyebab

kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka

yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah

luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-

satunya digambarkan "pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka

disebabkan oleh barang tumpul."

Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus

mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan -- jarang

penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka -- dan luka

itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36

kaki dalamnya.

Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam

suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita

Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu

tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap

empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak

diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai berikut :

1. S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada

kepala; dan, di samping itu, "robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan

kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras -- popor bedil

atau dinding dan lantai sumur -- tetapi jelas bukan luka-luka "siksaan", juga tidak

sebagai akibat silet atau pisau lipat.

5

2. Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya.

Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari

benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul

pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu "akibat benda tumpul" yang

sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas"; dan tiga sayatan

yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet.

Sekali lagi "benda tumpul" mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-

benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu

sumur), dan bukannya silet atau pisau,

3. Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang

"tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras".

Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda

pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.

4. Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan

luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga "tiga luka akibat trauma pejal

pada kepala."

Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak

tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena

hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari benda pejal

dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun "pergelan gan kaki,

tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain -- pada umumnya

tampak sembarangan.

Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur,

mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-sebut.

Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-

korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam

rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak

kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan

peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh

dari ketinggian 36 kaki -- yaitu kira-kira tiga tingkat lantai -- ke dalam sumur yang

berdinding batu.

Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada

Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang

telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-

dokter yang telah memeriksa mayat para korban menyatakan, tentang tidak adanya

perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam

pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965).***

Sumber Tunggal : http://www.geocities.com/edicahy

Ditulis ulang oleh Haryono

Ketua Harian Mabigus Smda 01. 129/130 Panembahan Senopati masa bhakti 2007 - 2010

Ben Anderson Tentang Pembunuhan Massal 65Ben Anderson Tentang Pembunuhan Massal 65Ben Anderson Tentang Pembunuhan Massal 65Ben Anderson Tentang Pembunuhan Massal 65

Ben Anderson adalah profesor ilmu politik di Cornell. Sekarang dia sedang menjadi

dosen tamu di Yale. Bagaimana jenderal-jenderal itu dibunuh? "Tentara atau pimpinan

tentara tahu betul bahwa jenderal-jenderal itu dibunuh oleh sesama tentara. Sama

sekali tidak ada siksaan, tidak ada penganiayaan, dsb." Mengapa media massa

menyiarkan kabar bohong? "Saya yakin itu justru diperintahkan oleh Suharto bersama

orang yang dekat-dekat dia seperti Ali Murtopo. Mereka dengan darah dingin sekali

membuat kampanye fitnah untuk kepentingan politik."

BAGAIMANA JENDERAL-JENDERAL ITU DIBUNUH?

T : Untuk studi tentang pembunuhan 6 orang jenderal dan seorang letnan pada tgl 1

Oktober 1965, Pak Ben menggunakan laporan otopsi jenasah mereka. Studi Pak

Ben diterbitkan dalam majalah Indonesia nomor 43, April 1987, berjudul "How did

the generals die?" Kami ingin mengetahui hasil studi itu. Apakah laporan otopsi itu

asli? Dari mana Pak Ben mendapat laporan otopsi itu?

J : Asli. Ini suatu kebetulan. Waktu itu kira-kira awal tujuh puluhan. Atas desakan dari

Pak Kahin, saya, dsb, akhirnya disampaikan, oleh orang-orang CSIS-nya Benny

Murdani, beberapa kilo berkas-berkas Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa)

yang pernah diadakan oleh pemerintah Indonesia. Setiap proses verbal itu

tebalnya bukan main. Sekarang ini saya tidak ingat persis proses verbal yang

mana, tapi di dalamnya ada serentetan lampiran yang panjang sekali. Pada kira-

kira halaman 700 atau 800 saya temukan laporan otopsi itu sebagai dokumen resmi

yang ditanda-tangani oleh dokter-dokter Universitas Indonesia. Mereka disuruh

Soeharto untuk mengadakan pemeriksaan mayat-mayat yang ditemukan di Lubang

Buaya. Jadi jelas sumbernya dari berkas yang diserahkan kepada kami oleh

pemerintah Indonesia. Jadi itu sama sekali bukan barang palsu, tanda tangan

semuanya ada di situ, dan laporannya cukup mendetail.

T : Apakah laporan otopsi ini pernah dijadikan barang bukti di pengadilan?

J : Kalau masuk berkas Mahmilub itu berarti termasuk dokumen yang dipakai di

pengadilan. Tetapi saya tidak tahu apakah dokumen ini memang pernah

dibacakan di pengadilan. Tapi jelas termasuk barang-barang yang seharusnya

dipikirkan oleh para hakim.

T : Siapa yang memerintahkan para dokter untuk melakukan otopsi?

J : Itu jenderal Soeharto. Pemeriksaan diadakan atas perintah dari pejabat Kasad saat

itu, yaitu Soeharto. Dan tanda-tangan Soeharto memang ada di situ.

T : Tanggal 7 Oktober 65 koran Angkatan Bersenjata bilang, "Matanya dicongkel."

Apakah memang ditemukan bukti-bukti penganiayaan sebelum mereka dibunuh?

Apa ada yang dicukil matanya atau disayat-sayat badannya?

J : Sama sekali tidak ada. Itu yang menarik buat saya sewaktu membaca. Karena jelas

mereka semua mati karena ditembak. Dan kalau ada luka-luka lain itu arena kena

pinggiran sumur atau terbentur batu-batu di dalamnya. Jenasah itu dilemparkan ke

dalam sumur yang dalamnya lebih dari 10 meter. Jadi sama sekali tidak ada tanda

siksaan. Dan dokter tidak pernah menyebutkan ada ekas-bekas siksaan. Jadi

matanya, oke. Kemaluannya juga utuh, malah disebut 4 disunat dan 3 nggak

disunat.

2

T : Bagaimana pemberitaan koran dan TV pada bulan Oktober dan Nopember 1965?

Misalnya Angkatan Bersenjata 5 Oktober 65 itu bilang, "Perbuatan biadab berupa

penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan." Berita sejenis ini

muncul setiap hari selama beberapa minggu baik di koran, radio maupun di TV.

J : Itu jelas direkayasa. Karena pimpinan tentara tahu betul bahwa tidak ada siksaan.

Tapi ini salah satu strategi untuk menimbulkan suasana yang tegangnya bukan

main. Ini sudah biasa. Di mana saja di dunia, kalau mau diadakan pembataian

massal, harus diciptakan suasana di mana orang merasa apa saja boleh. Karena

calon korban sudah berbuat hal-hal diluar perikemanusiaan.

T : Otopsi selesai tgl 5 Oktober sekitar jam 12 siang. Karena Soeharto yang

memerintahkan, tentu dia orang pertama yang diberi tahu hasil otopsi itu. Soeharto

tahu tidak ada bukti-bukti penyiksaan di Lubang Buaya. Mengapa Soeharto

membiarkan koran-koran -terutama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, koran

Angkatan Darat yang bisa dia kontrol- menyiarkan kabar bohong tentang

penyiksaan, kekejaman, dsb?

J : Saya tidak mengatakan bahwa Soeharto membiarkan. Saya yakin itu justru

diperintahkan oleh Soeharto bersama orang yang dekat-dekat dia seperti Ali

Murtopo. Ini jelas justru untuk membantu mereka dalam hal menghancurkan PKI

dan pada akhirnya mengambil kekuasaan dari tangan Bung Karno. Yang bisa

menjadi penyokong Bung Karno yang paling kuat dan paling terorganisir adalah

PKI. Kalau PKI sudah tidak ada, Bung Karno tidak punya kekuatan konkrit yang

terorganisir yang bisa melawan tentara.

T : Apakah Soeharto, sebagai Pangkopkamtib pada tahun 1965 itu, pernah

menjelaskan pada masyarakat umum tentang bagaimana sebenarnya jenderal-

jenderal itu dibunuh, siapa yang membunuh, dsb?

J : Saya nggak yakin Soeharto saat itu sudah menjadi Pangkopkamtib. Saya lupa

persis kapan dia menjadi Pangkopkamtib. Yang paling penting ketika itu adalah

pidato Jenderal Nasution sewaktu anaknya yang malang itu dikuburkan. Jadi

Soeharto sendiri pada waktu itu tidak menonjol sebagai tukang pidato. Tetapi

media massa yang dikuasai oleh Soeharto dkk terus menerus mengatakan itu PKI

yang menjadi dalang dari peristiwa. Soeharto itu sendiri juga memberi pidato.

Tapi saya merasa yang penting bukan pidato dia sendiri tapi suasana yang

diciptakan media massa yang direkayasa oleh kelompok Soeharto.

T : Bagaimana dengan kabar ditemukannya alat-alat pencukil mata? Misalnya dalam

berita di koran Api Pancasila tgl 20 Oktober, "Alat cukil mata ditemukan di kantor

PKI di desa Haurpanggang di Garut."

J : Saya yakin ini bikin-bikinan. Masa orang menyimpan alat pencukil di Garut? Juga

apa yang disebut sebagai alat pencukil, saya kurang tahu persis. Rasanya ini

sebenarnya cuma satu alat yang dipakai oleh petani untuk urusan sehari-hari. Atau

mungkin alat untuk buruh yang kerja di perkebunan. Jadi bukan alat khusus

pencukil mata. Mungkin kalau anda sendiri lihat gambarnya bisa menjelaskan

sebenarnya itu alat apa.

T : Bagaimana dengan berita tentang pengakuan dari saksi mata yang dimuat dalam

Angkatan Bersenjata tgl 10 Oktober, "Korban dicungkil matanya. Ada yang

dipotong alat kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan an

di luar perikemanusiaan." Apakah ‘pengakuan’ saksi mata itu benar? Atau bikinan

tentara?

3

J : Saya kira nggak. Waktu itu ada dua saksi penting. Yang paling penting itu seorang

gadis berumur 15 tahun yang jelas sudah diteror habis-habisan. Buktinya kedua

wanita ini, yang pernah mengaku ikut mencukil mata, tidak pernah diadili. Jadi ini

jelas bikin-bikinan.

T : Jadi mereka dituduh ikut menyiksa tetapi tidak ada bukti?

J : Sama sekali tidak ada bukti. Kalau ada bukti ini akan menjadi kasus yang bagus

untuk pihak pimpinan tentara. Tapi ini cuma dibikin untuk memanaskan suasana.

Setelah itu gadis ini tidak pernah kedengaran namanya lagi.

T : Apa kesimpulan studi tentang pembunuhan di Lubang Buaya ini?

J : Apa yang sebenarnya terjadi di Lubang Buaya itu lain soal. Yang penting ialah

sebelum kampanye media massa, tentara atau pimpinan tentara tahu betul bahwa

jenderal-jenderal itu dibunuh oleh sesama tentara. Sama sekali tidak ada siksaan,

tidak ada penganiayaan dsb. Jadi mereka dengan darah dingin sekali membuat

kampanye fitnah untuk kepentingan politik. Dan itu bisa dibuktikan oleh dokumen

yang berasal dari tokoh itu sendiri, juga oleh dokter-dokter dari fakultas

kedokteran Universitas Indonesia yang kejujurannya dalam hal ini tidak

disangsikan.

T : Apakah Pak Ben mendapatkan data baru yang merubah kesimpulan atau hasil

studi yang ditulis tahun 1987 ini?

J : Tidak ada. Dalam versi sejarah dan juga film yang dibuat Orde Baru, pembunuhan

para jenderal itu dilakukan oleh orang-orang PKI. Tetapi sebenarnya siapa yang

membunuh para jenderal itu? "Jelas oleh kelompok tentara sendiri. Sama sekali

tidak ada bukti bahwa orang sipil ikut."

SIAPA YANG MEMBUNUH

T : Siapa yang membunuh 3 jenderal (Yani, Panjaitan dan Haryono) di rumahnya?

J : Sepengetahuan kami sampai sekarang pembunuhan yang terjadi di rumah

jenderal-jenderal dilakukan oleh kesatuan dari Cakrabirawa yang dipimpin

langsung oleh letnan Dul Arief yang sampai sekarang nggak ada bekasnya.

Bagaimana nasibnya, ke mana larinya, dibunuh di mana, itu tidak diketahui. Jadi

jelas oleh kelompok tentara sendiri. Jenderal Nasution sendiri dalam

pengakuannya mengatakan memang rumahnya diserang oleh tentara.

T : Siapa yang melakukan pembunuhan 3 jenderal (Parman, Suprapto dan Sutoyo) dan

letnan Tendean di Lubang Buaya?

J : Kalau yang terjadi di Lubang Buaya itu saya kira sama juga. Mungkin bukan orang-

orang dari Cakra saja, tetapi juga dapat bantuan dari kelompok kecil dari AURI.

Sampai sekarang tidak jelas, karena bagaimanapun waktu itu Halim alam

kekuasaan AURI. Sama sekali tidak ada bukti bahwa orang sipil ikut.

T : Jadi bunuh-membunuh itu antara tentara sendiri.

J : Oh iya. Justru itu menjadi faktor yang sangat menentukan. Karena perpecahan di

kalangan tentara ini justru sesuatu yang menjadi skandal besar yang bisa

menghancurkan nama ABRI di mata umum. Jadi kalau ada ABRI membunuh ABRI,

ya bagaimana? Sangat diperlukan dalang yang bukan ABRI.

4

T : Apakah ada anggota PKI, atau ormasnya seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani,

yang ikut melakukan pembunuhan di Lubang Buaya?

J : Tidak ada bukti.

T : Apakah semua pembunuh diajukan ke pengadilan?

J : Ya, satu dua. Malah masih ada satu yang dulu sersan dari Cakra. Kalau nggak salah

dia sampai sekarang masih nongkrong di yang dalam bahasa Inggris dinamakan

"Death Row." Dia divonis hukum mati 25 tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang

belum dijalankan. Tapi sebagian besar dari kelompok Cakra itu hilang tanpa

bekas. Kita nggak tahu bagaimana nasibnya mereka. Untung sendiri ditangkap

dan diadili. Tapi dia sendiri tidak langsung memimpin kesatuan yang menyerbu

rumah jenderal dan sebagainya.

T : Apakah kesaksian yang pernah diadili itu konsiten dengan otopsi?

J : Saya tidak ingat lagi. Kami tidak pernah menerima berkas proses verbal dari

sersan-sersan Cakra. Yang kami terima cuma berkas-berkas dari perkaranya

orang-orang yang dianggap tokoh dalam G-30-S dan beberapa orang sipil seperti

Subandrio, dll. Kalau yang dianggap orang kecil, seperti sersan ini dan sersan itu,

tidak pernah disampaikan.

T : Apakah ada orang yang mempermasalahkan tentang hilangnya para pelaku

pembunuhan di Lubang Buaya yang tanpa bekas ini?

J : Tidak pernah. Yang lebih mengherankan adalah bahwa kelompok pimpinan

Kodam Diponegoro yang mendukung G-30-S, Kolonel Suherman asiten satu,

Kolonel Maryono asisten tiga, Letkol Usman asisten empat, dsb, untuk selama kira-

kira 48 jam, menguasai hampir seluruh Jawa Tengah, kemudian mereka juga

hilang. Tidak pernah diantara mereka ada yang diadili, diajukan ke pengadilan,

dsb. Mereka hilang tanpa bekas. Itu tidak pernah diisukan. Malah kalau membaca

laporan dari Buku Putih apa yang terjadi di Jawa Tengah sama sekali tidak menjadi

masalah. Jadi semua perhatian dengan sengaja dipusatkan pada apa yang terjadi

di Jakarta.

T : Sebenarnya yang tahu soal orang hilang ini siapa?

J : Ya, harus tanya pada pemerintah di Indonesia. Suherman di mana? Maryono,

Usman di mana? Dsb. Banyak sekali tokoh-tokoh dari G-30-S hilang tanpa bekas. Yang tahu bagaimana nasibnya, ya tentara sendiri.

T : Kemudian bagaimana Pak Ben menjelaskan kehadiran anggota Pemuda Rakyat

dan Gerwani di Halim?

J : Ini dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Memang ada kebijaksanaan dari

pemerintah. Selain dari anggota ABRI ada juga orang sipil yang dilatih sebagian

sebagai sukarelawan untuk dikirim ke perbatasan. Tapi ada sebagian juga yang

dilatih untuk membantu seandainya Ingris melakukan serangan udara ke Jakarta

sebagai pembalasan terhadap aksi dari pihak Indonesia. Dan pada umumnya

Angkatan Darat tidak begitu antusias. Tapi AURI di bawah pimpinan Omar Dhani

yang dekat dengan Bung Karno, rupanya mulai suatu sistim latihan itu di beberapa

pangkalan udara. Dan mereka minta dari parpol-parpol dan ormas-ormas supaya

anggota-anggota mereka dilatih. Dan yang paling antusias pada waktu itu, ya PKI.

Jadi kalau ada Gerwani dan Pemuda Rakyat di Halim itu karena mereka dikirim

oleh pimpinan PKI di Jakarta untuk latihan.

5

Dan karena tugasnya setengah militer, mereka ini harus yang muda-muda. Mereka

bisa dilatih oleh petugas-petugas dari AURI, dalam hal ini ya mayor Suyono. Bukan

PKI saja, juga ada PNI dan NU dilatih.

T : Apa yang dilatih di Halim itu tidak hanya PKI tetapi juga PNI dan NU.

J : NU saya nggak jelas apakah dilatihnya di Halim. Tetapi di pangkalan lain jelas ada.

T : Kalau begitu keberadaan mereka secara kebetulan saja?

J : Tidak kebetulan. Memang ada program dari pemerintah. Tetapi tidak dilatih untuk

membunuh jenderal. Mereka dilatih untuk mempertahankan pangkalan kalau

diserang oleh Inggris.

T : Bagaimana Pak Ben menjelaskan kehadiran DN Aidit, ketua PKI, di Halim? Apa

yang dia lakukan selama di Halim pada tanggal 1 Oktober itu?

J : Sampai sekarang ini menjadi teka-teki yang besar. Karena sepengetahuan kami

tidak ada bukti bahwa DN Aidit berbuat apa-apa. Justru ini yang aneh. seolah-olah

dia dijemput oleh kelompok tertentu, dibawa ke Halim, terus ditaroh di salah satu

rumah di situ sepanjang hari. Pada akhirnya dia dapat pesan, mungkin ada kurir

atau apa dari Bung Karno, dia disuruh pergi ke Jawa Tengah untuk menenangkan

situasi. Jadi tidak ada bukti kalau dia ketemu dengan pimpinan G-30-S. Tidak ada

bukti bahwa dia memberi instruksi apa-apa. Malah ada kemungkinan juga dia mau

disembunyikan di Halim di bawah perlindungan AURI. Seandainya ada usaha

menculik dia dari rumahnya atau dari kantor PKI.

T : Tadi dikatakan bahwa dia disuruh pergi ke Jawa Tengah untuk menenangkan

situasi. Jadi ke Jawa Tengahnya bukan inisiatif dia sendiri?

J : Tidak ada bukti. Yang jelas setelah Bung Karno melihat situasi pada malam hari

tanggal 1 Oktober, dia tahu bahwa situasi itu sangat berbahaya. BK juga tahu

situasi di Jawa Tengah. Dia merasa mungkin ini bisa menjadi permulaan dari suatu

perang saudara. Dia juga takut jangan-jangan PKI merasa harus berbuat sesuatu,

padahal mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka kan tidak punya senjata. Saya

kira Aidit juga takut jangan-jangan ada kelompok di daerah yang tidak mengerti

keadaan lantas membuat sesuatu yang bisa dipakai sebagai provokasi oleh lawan.

Kita harus sadar bahwa dalam ingatan orang-orang PKI, Peristiwa Madiun tahun

1948 itu menjadi trauma yang besar. Waktu Madiun, orang-orang tingkat lokal

membuat sesuatu yang kemudian menyeret pimpinan partai dan akhirnya

menghancurkan partai pada waktu itu. Jadi seperti, ya sudah ada ide dalam partai,

itu jangan terjadi lagi, jangan sampai bisa diprovokasi sekali lagi Pada bulan

Januari 1966 Ben Anderson dan Ruth McVey, waktu itu masih mahasiswa S-3,

menulis makalah yang kemudian dikenal luas dengan nama "Cornell Paper."

Dalam makalah itu Pak Ben menyatakan, "Tokoh-tokoh utama dari gerakan ini baik

di Jawa Tengah maupun Jakarta sendiri adalah perwira-perwira dari kodam

Diponegoro. Mereka semuanya bekas bawahan dari Soeharto sendiri." Bagaimana

peranan PKI dan Bung Karno? "Sampai sekarang sama sekali tidak ada bukti bahwa

Bung Karno ada di belakangnya. Masalah PKI lebih ruwet. Setelah tahun 66 ada

beberapa data yang masuk seolah-olah ada orang PKI yang terseret. Saya tidak

bisa mengatakan bahwa sama sekali PKI tidak ada sangkut pautnya. Tapi saya

masih tetap berpendapat mereka bukan penciptautama G-30-S."

6

CORNELL PAPER

T : Tiga bulan setelah pembunuhan para jenderal, Pak Ben dan Ibu Ruth menyusun

hasil studi berjudul "A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in

Indonesia." Studi itu selesai ditulis tgl 10 Januari 1966 dan semula cuma diedarkan

di kalangan terbatas. Baru diterbitkan untuk umum, tanpa perubahan, pada tahun

1971. Studi itu kemudian dikenal dengan nama "Cornell Paper." Apa pokok pikiran

dalam Cornell Paper? Dan apa bukti-bukti utama yang menunjang pokok pikiran

itu?

J : Pada waktu itu kami ingin mengecek sampai kemana versi resmi dari apa yang

terjadi itu masuk di akal. Versi resmi bunyinya, "Ini suatu komplotan jahat, yang

didalangi oleh PKI." Pada waktu itu kami ingin mengecek apa ini cocok dengan

informasi dan data-data yang masuk. Laporan itu selesai ditulis tanggal 10 Januari.

Tapi saya kira bahan-bahan itu makan waktu tiga minggu untuk penulisan. Jadi

bahan-bahan yang masuk itu hanya sampai pertengahan Desember. Nah,

kebetulan kira-kira tiga minggu setelah peristiwa, situasi belum 100% bisa

dikontrol oleh Soeharto. Jadi masih banyak koran beredar di Jawa Timur, Jawa

Tengah, Medan, dsb. Dan kebetulan Cornell punya koleksi koran Indonesia yang

paling lengkap di dunia. Pada waktu itu memang luar biasa kami dapat segala

macam koran dari Surabaya, semarang, Yogya, Solo, dll. Dan ternyata dari

laporan-laporan itu banyak yang tidak cocok dengan versi resmi. Selain itu kami

punya arsip tentang tentara. Dari situ kami bisa juga sedikit banyak mengecek

siapa sebenarnya orang-orang seperti Suherman, Usman, dsb. Dari situ kami bisa

mengetahui bahwa umpamanya Suherman baru kembali dari latihan di Amerika.

Dia dilatih sebagai orang inteljen oleh AS. Untuk kita tidak masuk di akal bahwa

ada seorang PKI bisa menjadi lulusan latihan AS dan dikasih jabatan sebagai tokoh

intel di Jawa Tengah. Selain dari itu juga ada beberapa informasi dalam bentuk

surat dari teman-teman yang kebetulan jalan-jalan di Jawa Tengah dan Jawa Timur

pada waktu itu. Mereka menulis apa yang mereka lihat dengan mata sendiri.

T : Cornell Paper dibuka dengan kalimat ini, "The weight of the evidence so far

assembled and the (admittedly always fragile) logic of probabilities indicate that

the coup of October 1, 1965, was neither the work of PKI nor of Sukarno himself."

Apa yang Pak Ben maksud dengan "logic of probabilities" itu?

J : Ini kesimpulan dari dua sudut logika. Bung Karno sama sekali tidak dapat

keuntungan dari peristiwa berdarah ini. Justru beliau bisa berdiri di atas segala

kelompok diIndonesia karena bisa mengimbangi kelompok ini dengan kelompok

itu. Kalau politik sudah bergeser dari politik sipil, yaitu omong-omong, organisasi,

dsb, ke lapangan kekerasan, BK nggak bisa apa-apa. Jadi jelas G-30-S

membahayakan dia, bukan membantu dia. Dari sudut PKI, kami merasa selain dari

faktor trauma-48, PKI pada waktu tahun 1965 cukup sukses dalam politiknya. Yaitu

politik damai. Di mana dia semakin lama semakin berpengaruh. Justru karena

mereka tidak mengambil jalan seperti Ketua Mao dengan perang gerilya, dsb.

Mereka pakai strategi sipil. Justru mereka akan jadi susah kalau mulai konflik

bersenjata. Karena mereka tidak punya senjata, tidak punya kesatuan-kesatuan

yang bersenjata. Jadi logika dua kelompok ini, BK dan PKI, menuntut supaya politik

tetap politik normal bukan politik bedil. Logika ini diperkuat dengan hal-hal yang

kongkrit. Banyak hal yang aneh dalam G-30-S. Pertama, pengumuman-

pengumuman dari G-30-S itu nggak mungkin disusun oleh tokoh-tokoh PKI yang

cukup berpengalaman dalam bidang politik.

7

Saya kasih dua contoh. Pertama, yang dikatakan Dewan Revolusi yang diumumkan

G-30-S, itu suatu Dewan yang sama sekali tidak masuk di akal. Karena banyak

tokoh-tokoh yang penting, seperti Ali Sastroamidjojo, yang tidak masuk. Tapi

banyak tokoh-tokoh yang hampir tidak dikenal namanya justru masuk. Malahan

banyak orang kananpun masuk, itu umpamanya Amir Machmud. Jadi ini bukan

suatu Dewan Revolusi yang meyakinkan. Jadi rasanya kacau. Yang kedua, yang

lebih meyakinkan lagi, adalah pengumuman dari Untung kepada sesama tentara,

bahwa mulai saat itu tidak akan ada lagi pangkat dalam tentara yang lebih tinggi

dari pangkatnya Letkol Untung sendiri. Nah itu jelas membuat setiap kolonel,

brigjen, mayjen, letjen, dsb, jengkelnya bukan main. Dan ini suatu move yang

membuat semua pimpinan tentara akan anti dengan gerakan ini. Nggak mungkin

ada orang yang punya otak politik akan membiarkan suatu pengumuman seperti

itu. Itu jelas suatu pengumuman yang keluar dari hati nurani Letkol Untung sendiri.

Karena dia jengkel dengan atasannya. Atau bisa juga itu provokasi yang diatur

oleh dalang sebenarnya dari peristiwa ini. Yang memakai Untung, yang jelas

bukan orang pinter, sebagai pionnya.

T : Setelah 30 tahun, apakah Pak Ben tetap berpegang pada pendapat itu?

J : Kalau Sukarno jelas. Sampai sekarang sama sekali tidak ada bukti bahwa Bung

Karno ada di belakangnya. Masalah PKI lebih ruwet. Setelah tahun 66 ada

beberapa data yang masuk seolah-olah ada orang PKI yang terseret. Saya sendiri

pernah ikut persidangan Mahmilub Sudisman pada tahun 1967, dan mendengar

pidato uraian tanggung jawabnya. Dalam pengadilan itu yang dinamakan Ketua

Biro Khusus yaitu si Kamaruzaman, atau Syam, nongol sebagai saksi. Di sana cukup

jelas bahwa Syam ini adalah orang yang dikenal betul oleh Sudisman.

Bagaimanapun Syam ada hubungan langsung dengan pimpinan PKI. Jadi apa ada

sebagian dari orang-orang PKI ikut-ikutan, apa ada sebagian dari PKI yang

dibodohin oleh kelompok ini-itu, masih tidak jelas. Jadi saya tidak bisa

mengatakan bahwa sama sekali PKI tidak ada sangkut pautnya. Tapi saya masih

tetap berpendapat mereka bukan pencipta utama G-30-S.

T : Kalimat terakhir dalam alinea pertama "Cornell Paper" itu, "The actual originators

of the coup are to be found not in Djakarta, but in Central Java, among middle-level

Army officers in Semarang, at the headquarters of the Seventh (Diponegoro)

Territorial Division." Apa bukti-bukti utama dari pernyataan ini?

J : G-30-S hanya sukses bisa menguasai daerah di Jawa Tengah. Dan tokoh-tokoh

utama dari gerakan ini baik di Jawa Tengah maupun Jakarta sendiri adalah

perwira-perwira dari kodam Diponegoro, kecuali Supardjo. Mereka semuanya

bekas bawahan dari Soeharto sendiri, termasuk Supardjo. Yang paling menonjol

tentu pada waktu itu adalah fakta bahwa Untung dan Latif kedua-duanya dekat

sekali dengan Soeharto. Soeharto sendiri pada tahun 64 pergi jauh-jauh ke salah

satu desa di Jawa Tengah untuk ikut menghadiri perkawinan bawahannya yang

tercinta, yaitu Untung. Jadi itu yang pertama. Kedua, fakta bahwa apa yang terjadi

di Jawa Tengah sampai sekarang 100% ditutupi oleh versi resmi. Ini aneh. Karena

nggak ada pengadilan, nggak ada cerita apa yang terjadi di Semarang. Terus

kesatuan-kesatuan utama yang ikut gerakan di Jakarta itu sebagian besar juga dari

Diponegoro. Itu yang penting.

8

T : Apa motivasi perwira-perwira Diponegoro itu?

J : Ini jelas tentara yang belum berbintang. Otaknya seolah-olah pangkat mayor,

letkol, kolonel, dibantu oleh kapten, letnan, sersan, dsb. Kalau kita membaca

pengumuman G-30-S, seolah-olah masalahnya itu masalah intern. Mereka

menuduh jenderal-jenderal ikut serta dengan CIA dalam rangka mendongkel

Bung Karno. Menuduh jenderal-jenderal orang yang hidup mewah, orang yang

suka main perempuan, yang tidak menghiraukan nasib dari bawahannya, dsb. Jadi

terasa sekali ada semacam konflik antara tentara yang bawahan, yang pada

umumnya miskin-miskin, dan tokoh jenderal-jenderal yang berduit. Pada waktu itu

di Jakarta cuma ada satu mobil Lincoln Continental yang putih. Dan pemiliknya

siapa? Jenderal Yani, kan? Padahal Indonesia saat itu miskinnya bukan main. Jadi

sangat menyolok. Jadi kalau motivasinya dikatakan sebagai kecemburuan sosial,

juga bisa.

T : Apa ada hubungan antara motivasi itu dengan lingkungan para perwira

Diponegoro pendukung G-30-S itu?

J : Sebagian karena Jawa Tengah terkenal sebagai daerah yang paling miskin

dibandingkan dengan Jawa Barat dan Timur. Juga kultur di Jawa Tengah di mana

patriotisme kejawa-jawaan itu paling kuat. Dari dulu ada persaingan antara

Diponegoro dan Siliwangi. Perwira Siliwangi dianggap orang yang statusnya lebih

tinggi, biasa pakai bahasa Belanda diantara mereka sendiri dan biasa kebarat-

baratan, dan paling dekat dengan Amerika. Perwira Jawa Tengah sebagian besar

berasal dari Peta, bikinan Jaman Jepang. Waktu revolusi mereka merasa diri

sebagai orang Jogya lah. Orang yang mempertahankan nilai-nilai dari revolusi 45,

patriotisme Jawa, dsb. Pokoknya kalau jenderal-jenderal Bandung omong, mereka

tidak pernah pakai—ken, ken. Tapi ini bukan masalah suku. Karena tokoh utama

dari semuanya itu orang Jawa dan sasaran utamanya juga orang Jawa.

T : Pada minggu pertama Oktober 1965, dari 5 pucuk pimpinan PKI, 3 orang ada di

Jawa Tengah (Aidit, Lukman dan Sakirman). Nyoto sedang berada di Sumatra Utara

sedangkan Sudisman di Jakarta. Kemudian Lukman dan Nyoto menghadiri Rapat

Kabinet di Bogor tgl 6 Oktober. Apa yang dilakukan para pimpinan PKI selama

berada di Jawa Tengah setelah 1 Oktober?

J : Dari informasi yang masuk, dari laporan sopirnya Lukman, dsb, ya mereka putar-

putar. Aidit dan Lukman menghubungi cabang dan ranting-ranting PKI, memberi

tahu apa yang sedang terjadi, dan diminta untuk waspada dan jangan sampai bisa

diprovokasi. Dalam hal ini kita belum tahu banyak. Karena sampai sekarang

kebanyakan orang PKI yang masih hidup, di dalam maupun di luar negeri, belum

sempat menulis secara jujur, terang-terangan, tentang kehidupan intern partai

pada saat itu. Munculnya tokoh Syam, Ketua Biro Khusus PKI, membuat pendapat

Ben Anderson bergeser. Tentang tokoh itu, "Syam ini orangnya cukup misterius."

Tentang Biro Khusus, "Banyak hal yang masih belum jelas." Tentang peranan

RPKAD, "Pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah RPKAD berpindah

dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal baru mulai setelah

RPKAD pindah dari Jawa Timur ke Bali."

9

BIRO KHUSUS

T : Tadi Pak Ben bilang, munculnya tokoh Syam itu membuat pendapat Pak Ben

bergeser?

J : Ya. Maka itu kami menamakan "Laporan Sementara." Dan sampai sekarang status

sebagai laporan sementara tetap dipertahankan. Karena bagaimanapun sebagian

besar tokoh-tokoh yang paling penting sudah dibunuh, atau sudah hilang. Dan ada

juga yang berkaitan langsung tetapi belum mau ngomong. Jadi harus nunggu.

T : Ini bukan bahan dari Cornell Paper, tapi dari Buku Putih yang diterbitkan

Sekretariat Negara tahun 1994. Dalam Buku Putih soal Biro Khusus PKI dibahas

panjang lebar. Menurut Pak Ben sendiri seberapa besar peranan Biro Khusus PKI

ini dalam G-30-S?

J : Dalam hal Biro Khusus ini ada beberapa sisi yang sampai sekarang sulit

dimengerti. Pertama, pada umumnya partai komunis, di manapun juga di dunia,

punya format yang sama. Susunan organisasinya sangat standard. Dan sampai

sekarang belum ditemukan partai komunis lain yang pernah menciptakan

semacam Biro Khusus. Ini tidak mustahil. Tetapi cukup aneh. Kedua, istilah atau

bahasa yang dipakai oleh orang-orang yang dianggap tokoh Biro Khusus ada juga

yang mencurigakan. Umpamanya mereka pakai istilah "pembina." Jadi, untuk

menggambarkan aktivitas mereka, ada para pembina yang mengadakan

pembinaan-pembinaan. Sepanjang pengetahuan saya, ini bukan bahasa marxist

dan bukan bahasa komunis. Tapi dari dulu ini bahasanya tentara. Rada aneh kalau

waktu itu PKI berlawanan dengan tentara, kok yang dianggap organisasi rahasia

PKI itu justru pakai istilah teknis dari tentara? Yang ketiga, sampai sekarang

identitas dan nasibnya Kamaruzaman alias Syam tu masih menjadi teka-teki.

Setelah memeriksa beberapa dokumen di Amerika, di Indonesia dan di Belanda,

ternyata si Syam ini pernah menjadi anggota PSI. Dalam majalah resmi dari PSI

namanya pernah disebut pada tahun 1951 sebagai ketua ranting. Kalau tidak salah

di Rangkasbitung, Banten. Selain itu ditemukan juga dokumen dalam arsip Belanda

di mana Kamaruzaman ini pada waktu revolusi pernah diangkat sebagai orang

intelnya Recomba Jawa Barat. Recomba itu pemerintah federal buatan Belanda. Itu

bisa juga. Karena pada waktu itu ada juga patriot-patriot yang pura-pura jadi

pegawai Belanda untuk mengetahui rahasianya Belanda. Tapi toh rada aneh. Terus

di koran-koran Indonesia ada informasi bahwa pada akhir tahun 50-an

Kamaruzaman nongol sebagai informan dari komandan KMK (Komando Militer

Kota) Jakarta. Jadi Syam ini orangnya cukup misterius. Jelas dia dikenal baik oleh

pimpinan PKI. Tetapi dia juga pegang peranan di Recomba, di PSI, di tentara, dsb.

Sampai sekarang serba misterius. Di mana kesetiaannya? Buat saya tidak jelas.

Walaupun pemerintah mengumumkan bahwa Syam sudah dieksekusi, itu masih

disangsikan kebenarannya. Mungkin dia cuma disimpen saja. Yang terakhir, ini

kesan saya waktu mengikuti pengadilan Sudisman. Di sana Syam diberi

kesempatan untuk omong panjang lebar. Saya bisa membandingkan kesaksiannya

dengan kesaksian Sudisman. Itu sangat berbeda. Kesaksian Sudisman itu

mengesankan, jelas, mendalam dan bahasanya teratur. Sedangkan kesaksian

Syam itu bukan main kacau-balaunya. Dia banyak memakai bahasa-bahasa dari

jaman revolusi yang sudah tidak berlaku lagi. Malahan seolah-olah orangnya itu

agak sinting. Jadi sulit masuk di akal kalau orang seperti ini menjadi kepala biro

yang sangat rahasia dan penting. Jadi banyak hal yang masih belum jelas.

10

T : Pak Ben mengikuti sendiri pengadilan Sudisman. Dia satu-satunya pucuk pimpinan

PKI yang diadili. Apa kesimpulan Pak Ben dari pengadilan Sudisman itu?

J : Dari kesaksian Sudisman saya dapat kesan bahwa dia merasa diri dalam keadaan

di mana partai yang ikut dia pimpin itu dihancurkan secara mengerikan. Ratusan

ribu yang mati. Dan dia sebagai seorang pemimpin dan sebagai seorang Jawa

merasa bertanggung-jawab. Bagaimanapun, kalau pimpinannya baik dan beres

seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu dia menamakan pembelaannya

itu "Uraian Tanggung Jawab." Dia tidak mau debat tentang soal ini-itu. Dia cuma

bilang, "Bagaimanapun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya

memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi." Sudisman

tidak pernah bilang bahwa dia ikut merencanakan G-30-S. Dia cuma bilang bahwa

rupanya ada unsur-unsur PKI yang terseret. Dia tidak membicarakan soal Biro

Khusus. Tidak membenarkan dan juga tidak membantah adanya. Waktu Syam

memberi kesaksian, Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak mau

menjawabnya. Yang jelas, untuk sebagian besar dari saksi-saksi waktu itu

informasi tentang adanya Biro Khusus itu sesuatu yang mengejutkan sekali. Jelas

mereka sama sekali tidak tahu menahu.

PERANAN RPKAD

T : Ini catatan dalam Cornell Paper. Pasukan RPKAD sampai di Semarang tgl 19

Oktober. Bentrokan pertama dengan ormas PKI terjadi di Boyolali tgl 21 Oktober.

Selama 3 minggu, tgl 1 sampai 21 Oktober, tidak ada bentrokan berdarah.

Walaupun pemberitaan di koran, TV dan radio tentang Lubang Buaya sangat

memanaskan suasana, menyebarkan ketakutan, dst. Bagaimana Pak Ben

menjelaskan 3 minggu tanpa bentrokan ini?

J : Saya kira sebagian karena kekuatan sosial pada tingkat sipil cukup seimbang. Jadi

orang merasa bahwa organisasi PKI dan keluarga besar PNI itu kira-kira seimbang.

Di Jawa Tengah NU itu tidak begitu berpengaruh. Pertama orang merasa tidak ada

kelompok yang dominan. Dan walaupun suasana tegangnya bukan main, saya

nggak yakin bahwa orang Jawa Tengah, kalau tidak ada orang yang mengipasi

mereka, mau cepat-cepat membantai tetangganya. Kita harus ingat di desa-desa,

di kota-kota, orang PKI itu bukannya bergerak di bawah tanah. Mereka itu

tetangga, yang saban hari ketemu, masih famili, dsb. Banyak anggota PNI yang

punya saudara PKI, dsb. Kalau tidak dibikin suasana yang luar biasa tegangnya

tidak akan terjadi apa-apa, dalam arti pembantaian. Justru pentingnya kedatangan

RPKAD adalah orang-orang anti PKI merasa bahwa angin sudah berada di pihak

mereka. Mereka yang mau netral dapat petunjuk dari RPKAD kalau membuktikan

kamu bukan orang PKI maka kamu harus membunuh PKI. Ini khususnya ditujukan

kepada pemuda-pemuda, pemuda Islam, pemuda Banteng, pemuda Kristen,

Katolik, dsb. Jadi kalau tidak ada pembantaian sebelum RPKAD datang. Itu justru

menunjukan apa yang terjadi tidak spontan. PKI sendiri juga takut.

T : Kesatuan-kesatuan yang mendukung G-30-S itu dari Diponegoro, lalu mereka

menguasai Jawa Tengah. Lalu RPKAD datang. Bukankah kedua kekuatan itu

seimbang?

J : Itu benar pada hari-hari pertama. Tetapi jangan lupa bahwa Suherman, Maryono,

sman, dkk, itu hanya berkuasa selama kira-kira 48 jam. Setelah itu Pangdamnya,

Suryosumpeno, sempat ambil kembali posisi sebagai panglima.

11

Lalu orang-orang ini hilang entah ke mana. Bahwa ada kesatuan-kesatuan di Jawa

Tengah yang bersimpati pada PKI, itu mungkin sekali. Karena sebagai kelompok

teritorial bagaimanapun mereka berada di tengah masyarakat Jawa Tengah.

Tentara ini sedikit-banyak akan membantu PKI. Tapi kira-kira mulai tanggal 3

Oktober, pimpinan Diponegoro tidak lagi di tangan perwira-perwira yang pro G-

30-S. Dan kesatuan-kesatuan yang dicurigai itu langsung ditarik ke daerah lain.

Tapi, ini dapat dibuktikan, pembunuhan juga baru mulai di Jawa Timur setelah

RPKAD berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Bali, pembunuhan massal

baru mulai setelah RPKAD pindah dari Jawa Timur ke Bali. Kalau membandingkan

tiga propinsi ini, tiga minggu yang tenang di Jawa Tengah itu aneh. Lebih aneh lagi

karena ada enam minggu yang tenang di Jawa Timur. Dan malahan ada dua bulan

yang tanpa pembunuhan di pulau Bali. Bagaimana pembunuhan massal itu

dilaksanakan? "Faktor yang pertama adalah policy atau kebijaksanaan dari

pimpinan tentara di Jakarta yang diwujudkan dengan pengiriman RPKAD ke Jawa

Tengah, Jawa Timur dan Bali. Senjata, latihan, perlindungan, kendaraan, dsb,

dikasih kepada kelompok-kelompok pemuda yang mereka hubungi." Mengapa

orang mau disuruh membunuh? Mau dipakai sebagai alat? "Itu mungkin

menunjukan gejala yang lebih mendasar. Buat saya faktor yang utama adalah

keadaan ekonomi. Mulai kira-kira tahun 1961-62 inflasi di Indonesia melejit secara

mengerikan." Tentang konflik antara kelompok agama dengan PKI, "Ini timbul

sebagai akibat Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi

Hasil."

PEMBUNUHAN MASSAL

T : Sekarang (1996) hampir semua koran di dunia melaporkan orang PKI yang

dibunuh pada tahun 1965 itu jumlahnya sekitar 500 ribu. Misalnya dalam editorial

New York Times (1 Ags), The Economist (3 Ags) dan editorial Washington Post (20

Ags). Dalam pemberitaan media di Indonesia, jumlah korban ini jarang

diungkapkan. Dan siapa yang jadi korban itu juga tidak dijelaskan. Tahun 1985,

dalam majalah Indonesia nomor 40, Pak Ben bilang, "Probably between 500.000

and 1.000.000 Indonesians died at the hands of other Indonesians."

J : Pertama harus dikatakan bahwa tidak ada orang yang tahu persis berapa

jumlahnya orang yang dibunuh pada waktu itu. Angka 500 ribu itu diambil dari

pernyataan Adam Malik dan pernah juga dari Soedomo. Tapi apa mereka sendiri

tahu? Itu nggak jelas. Itu cuma perkiraan.

T : Menurut Pak Ben apa sebab terjadinya pembunuhan massal selama akhir 1965 itu?

J : Kalau sebab-sebab ada dua faktor. Faktor yang pertama adalah policy atau

kebijaksanaan dari pimpinan tentara di Jakarta yang diwujudkan dengan

pengiriman RPKAD ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Mereka ingin supaya PKI

dihancurkan dan mereka ingin juga bahwa ini tidak hanya dikerjakan oleh tentara

tapi juga oleh kelompok-kelompok yang mau dijadikan sekutu untuk membangun

apa yang belakangan dinamakan Orde Baru. Jadi mereka menyertakan warga

Banteng, NU, Katolik, Protestan, dsb. Karena itu senjata, latihan, perlindungan,

kendaraan, dsb, dikasih kepada kelompok-kelompok pemuda yang mereka

hubungi. Jadi kalau policy pimpinan tentara ini tidak ada, kemungkinan terjadi

pembunuhan massal itu saya kira tidak besar. Tetapi mengapa orang mau disuruh

membunuh? Mau dipakai sebagai alat? Itu mungkin menunjukan gejala yang lebih

mendasar. Buat saya faktor yang utama adalah keadaan ekonomi.

12

Mulai kira-kira tahun 1961-62 inflasi di Indonesia melejit secara mengerikan. Saat

itu saya sendiri ada di Indonesia. Saya lihat saban minggu itu harga barang bisa

berlipat ganda. Duit tidak ada arti sama sekali. Khususnya bagi orang-orang gajian

itu menimbulkan suasana yang panik. Kalau pejabat gajinya tidak berarti lagi,

mereka cepat-cepat lari ke dunia korupsi, catut, dsb. Orang melarikan duitnya

untuk beli tanah. Karena tanah dianggap sesuatu yang bisa mempertahankan

harganya. Keadaan ekonomi waktu itu menimbulkan suatu kegelisahan di seluruh

Indonesia. Orang merasa masa depannya sangat gelap, tidak normal dan serba tak

tentu. Ini yang penting. Terus, ada kemiskinan yang luar biasa. Saya ingat waktu

itu jalan-jalan di Yogya-Solo, banyak orang yang geleparan di pinggir jalan. Orang

yang mati karena busung lapar. Bung Karno sendiri tidak malu untuk bikin

propaganda supaya orang makan tikus sawah. Dan dia sendiri mengaku pernah

makan tikus sawah. Saya sendiri nggak percaya. Tapi itu penting. Ketiga, konflik

antara kelompok agama dengan PKI. Ini timbul sebagai akibat undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). PKI

memperjuangkan Land Reform justru ketika tanah menjadi sangat penting, beras

menjadi sangat penting, pembagian hasil menjadi sumber konflik yang luar biasa.

Apalagi dalam hal Land Reform salah satu pengecualian yang penting adalah

tanah-tanah yang menjadi milik dari lembaga agama -umpamanya mesjid, surau,

gereja dsb- tidak boleh diganggu gugat. Dalam suasana seperti itu orang-orang

yang punya tanah lebih, supaya bisa tetap pegang tanahnya, lebih sering justru

menyerahkannya kepada wakaf, kalau Islam. Dan lembaga yang seperti itu juga

untuk yang Kristen. Di mana dia bisa ikut sebagai pimpinan. Jadi seperti

dilaporkan oleh Lance Castles dalam artikelnya dalam majalah Indonesia pada

tahun 1966 itu, kita ambil contoh pesantren Gontor. Dalam satu tahun tanah yang

dimiliki oleh Gontor ini bisa bertambah sepuluh kali. Jadidengan mendadak

lembaga agama menjadi tuan tanah yang terbesar. Kalau orang-orang kiri, orang-

orang yang pro-Land Reform, mau ribut soal tanah ini, mereka langsung

berhadapan bukan dengan individu tuan tanah tapi langsung menghadapi

lembaga agama. Banyak orang tergugah untuk membela. Mereka bukannya mau

melindungi tuan tanah tapi bagaimanapun mereka pasti mau melindungi atau

membela lembaga agama mereka.

T : Pembunuhan massal terjadi di desa-desa Jateng, Jatim dan Bali. Di Jateng yang

dominan itu Islam abangan. Di Jatim Islam santri, dan di Bali itu semuanya Hindhu.

Tapi di Jawa Barat, tidak ada pembunuhan besar-besaran. Padahal Jabar adalah

daerah yang Islamnya paling taat, daerahnya Masyumi. Pemenang Pemilu-55 dan

Pemilu Daerah-57 di Jabar adalah Masyumi. Bagaimana Pak Ben memahami

hubungan antara pembunuhan massal ini dengan agama penduduk setempat?

J : Isu agama ini gampang dipakai selama PKI dapat dianggap sebagai kelompok anti

agama. Dan harus diingat bahwa paman Karl Marx pernah mengatakan bahwa

agama itu candu supaya masyarakat tidak menghadapi realitas siapa yang

menindas. Ini sulit dicabut oleh PKI, walaupun mereka berusaha supaya tidak

confrontational terhadap agama. Tapi isu agama ini gampang dipakai. Apalagi di

negara komunis pimpinan agama diusir, Uni Soviet itu atheis, dsb. Jadi

bagaimanapun isu agama ini salah satu alat pemukul di kalangan lawan PKI. Tetapi

waktu mengikuti pengadilan Sudisman, saya lihat banyak saksi-saksi dari pihak

PKI. Dan hanya sedikit - Sudisman sendiri, mungkin satu-dua lagi yang tidak mau

ambil sumpah secara agama, menggunakan Al Qur’an, Al Kitab, dsb. Jadi saya

yakin sebagian besar dari orang-orang PKI itu sebenarnya juga orang beragama.

Itu faktor penting.

13

Soal perbedaan antara daerah-daerah memang menarik. Karena pembunuhan ini

tidak terjadi di mana-mana secara merata di seluruh Indonesia. Di sini kami bisa

melihat betapa menentukan faktor pimpinan tentara lokal. Ambil contoh

umpamanya Jabar. Pada tahun 68 saya sempat mewawancara jenderal Ibrahim

Adjie yang pada waktu peristiwa dia menjadi Pangdam Siliwangi. Pada waktu itu

dia dianggap sebagai saingannya Soeharto, lalu dibuang ke London jadi Dubes di

sana. Saya ngomong lama sama beliau. Saya tanya, kenapa kok tidak ada

pembunuhan besar-besaran di Jawa Barat? Sebenarnya memang ada, umpamanya

di Indramayu, tetapi tidak meluas. Dia bilang, "Itu sebabnya karena saya tidak

ingin ada pembantaian di Jawa Barat. Karena merasa bagaimanapun ini sebagian

besar orang biasa, orang-orang kecil. Akan mengerikan kalau mereka itu dibunuh.

Saya sudah kasih perintah kepada semua kesatuan di bawah saya, orang ini

ditangkap, diamankan. Tapi jangan sampai ada macem-macem." Ternyata

kewibawaan si Adjie yang terkenal jenderal kanan, yang dekat dengan Amerika,

itu berlaku penuh. Sebaliknya di Jawa Timur pimpinan tentara pada waktu itu

lemah. Saya lupa nama panglimanya. Mungkin Sunaryadi? Tapi jelas kolonel-

kolonel, komandan Korem merasa bisa bergerak dangan sendirinya. Umpamanya

Danrem di Kediri yang masih famili dengan salah satu jenderal yang dibunuh di

Jakarta, itu mengambil inisiatif sendiri. Sebagian timbul karena perpecahan. Kalau

RPKAD sudah masuk orang merasa bahwa untuk selamat mereka harus berbuat

sesuatu. Di Bali juga begitu. Ini menarik dan penting. Karena di Jawa Barat, di mana

RPKAD tidak pernah putar-putar, justru tidak terjadi pembantaian.

T : Mengapa tidak ada perlawanan dari orang PKI?

J : Ya karena mereka tidak punya senjata. Mau apa?

PENGARUH LUAR NEGERI? BUDAYA?

T : Bagaimana pengaruh faktor luar negeri?

J : Daftar orang PKI yang dibikin orang kedutaan Amerika itu?

T : Ya. Orang kedutaan AS itu kan bikin daftar 5 ribu orang PKI, lalu dia serahkan ke

Soeharto.

J : Saya juga kenal dengan orang Amerika itu. Karena waktu di Jakarta saya kadang-

kadang ke Kedutaan Amerika dan ini orang memang punya obsesi yang aneh.

Mungkin karena dia dididik sebagai Kremlinologist, dia sibuk bikin daftar dari

orang-orang PKI. Pada waktu itu menjadi bahan ketawaan pegawai di kedutaan

sendiri. Seolah-olah tentara Indonesia tidak pernah bikin daftar. Padahal mereka

jauh lebih mengikuti seluk beluknya politik di Indonesia dari pada orang

Aamerika. Pada waktu itu orang kedutaan Amerika yang dapat berbahasa

Indonesia dengan fasih, boleh dikatakan baru satu-dua. Saya tidak percaya bahwa

tentara memerlukan daftar yang dibuat oleh pegawai kedutaan Amerika. PKI itu

tidak di bawah tanah.

T : Salah satu studi Pak Ben yang lain adalah tentang "Mitologi dan Toleransi Orang

Jawa," terbit tahun 1965. Bagaimana Pak Ben menjelaskan pembunuhan massal itu

dari pemahaman tentang budaya Jawa?

J : Saya merasa kita harus membedakan kebudayaan dalam keadaan normal, ketika

tidak ada ketegangan mencekam, tidak ada suasana ketakutan yang luar biasa.

Kalau melihat kehidupan sehari-hari dari orang Jawa, apalagi orang Jawa Tengah,

mereka berusaha menghindari konflik yang terbuka, dsb.

14

Tapi dalam masyarakat apapun juga kalau kita lihat sejarah dunia modern

pembantaian, pembunuhan yang luar biasa kejamnya, bisa timbul dalam suasana

ketika orang merasa situasi sudah tidak ada ketentuan. Saya ambil contoh,

umpamanya Yugoslavia. Pada akhir kesatuan Yugoslavia orang makin merasa

bahwa hukum tidak berlaku, alat negara jelas terpecah, sebagian ikut ini sebagian

ikut itu. Situasi ekonomi sudah mulai hancur. Dalam situasi seperti itu orang akan

coba menyelamatkan diri sendiri dengan cara apapun. Mereka harus berbuat

sesuatu yang dalam keadaan normal tidak mungkin terjadi. Kita lihat umpamanya

di Yugoslavia banyak sekali terjadi perkawinan antara orang Serbia dan Bosnia.

Dan memang bahasanya sama. Jadi selama tiga puluh tahun sebelum terjadi huru-

hara nggak ada masalah. Tapi kalau ketakutan besar sudah mulai, ya bisa terjadi

bahwa si bapak yang Serbia terpaksa - supaya tidak dianggap antek karena

bininya sebagai orang Bosnia calon penghianat dia harus berbuat sesuatu yang

kejem, demi keselamatan diri sendiri. Bisa juga dia malah membunuh istrinya

sendiri. Dan ini bener-bener terjadi. Kita lihat situasi yang sama umpamanya

ketika terjadi pembagian India dan Pakistan oleh Inggris. Dan terjadi juga di

tempat-tempat yang lain. Saya yakin di Amerikapun, kalau dalam situasi ketakutan

seperti itu, akan banyak kekejaman yang bisa terjadi. Jadi saya merasa ini tidak

kontradiktif dengan toleransi sehari-hari orang Jawa. Kekejaman ini harus

dikaitkan dengan situasi yang serba tidak tentu. Kita lihat bagaimana setelah

peristiwa terjadi tidak pernah ada orang yang nongol di depan umum dengan

bangga ngaku bahwa saya telah membunuh seratus lima puluh orang PKI. Malah

propaganda dari pemerintah seolah-olah korban dari pihak pemerintah dan dari

PKI kira-kira samalah. Jadi tidak ada kebanggaan atas pembantaian. Jaman

sekarang istilah yang paling sering disebut adalah trauma. Itu jelas bukan trauma

untuk yang mati, karena mereka sudah mati. Trauma justru untuk yang menang

dan yang membunuh. Banyak orang yang membunuh akhirnya menjadi gila.

T : Orang Jawa sangat dipengaruhi cerita wayang. Dalam cerita wayang, Mahabarata

itu diakhiri dengan Perang Baratayuda. Ramayana juga diakhiri dengan perang

besar menyerbu Alengka. Apakah ada pengaruh dari budaya wayang ini?

J : Mahabarata dan Ramayana itu berasal dari India. Kalau orang Jawa itu pantang

menggelarkan lakon Baratayuda karena sangat bahaya. Lakon itu dianggap dapat

membawa malapetaka. Jadi itu pantang sekali. Setahu saya cuma ada satu desa di

Delanggu, entah karena apa, setiap setahun sekali Baratayuda itu harus digelar.

Tapi itupun harus dengan macam-macam upacara sebelumnya. Jadi sulit juga

kalau dikatakan bahwa orang Jawa suka Baratayuda Siapa yang bertanggung-

jawab? "Soeharto dan pimpinan Angkatan Darat itu bertanggung jawab atas

pembunuhan ini, itu jelas." Tentang kesalahan PKI, "Bisa dikatakan bahwa

pimpinan PKI yang bertanggung-jawab atas politik partai itu mungkin memang

ada salahnya." Lalu Pak Ben membuat catatan panjang tentang kesalahan pimpinan

PKI. Tentang anak muda sekarang, "Kalau anak muda mengerti apa yang terjadi,

mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih. Mereka harus melihat ke

depan, jangan cuma menengok ke belakang." Pelajaran apa yang bisa ditarik,

"Kita sebagai manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh. Jadi kita

harus berusaha keras supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam

diri kita masing-masing bisa ke luar."

15

PELAJARAN SEJARAH

T : Pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan jenderal-jenderal itu?

J : Saya tidak tahu pelajaran apa yang diambil dari pembunuhan jenderal. Kecuali

bahwa orang yang hidup dari kekerasan akan dihancurkan oleh kekerasan. Jadi

Untung, Supardjo, Latif, dll, harus bertanggung jawab atas apa yang mereka

kerjakan. Bagaimanapun kalau orang tidur di rumah tahu-tahu dibrondong

mitraliyur itu mengerikannya bukan main.

T : Kalau orang Indonesia tahu kebohongan tentang Lubang Buaya, lalu tahu ada

pembunuhan massal, bagaimana sejarah akan menilai Suharto?

J : Banyak sejarah yang hilang. Ratusan ribu orang yang jadi korban itu tidak bisa

bicara lagi. Berapa sebenarnya jumlah yang dibunuh, itu mungkin kita tidak akan

bisa tahu dengan pasti. Dan dalam sejarah memang banyak peristiwa pembunuhan

atau kekejaman yang kemudian tidak bisa diungkapkan. Misalnya saja sejarah

perdagangan budak di Afrika. Kita tidak tahu berapa yang dibunuh, bagaimana

dibunuhnya, siapa yang membunuh, dst. Jadi jangan terlalu yakin bahwa seluruh

sejarah 1965 ini akan bisa diungkapkan. Sekarang memang banyak sejarah yang

dihapus. Kita juga harus ingat bahwa Orba selama ini justru melakukan apa yang

suka saya sebut "kebijaksanaan pembodohan" masyarakat Indonesia sendiri.

Bukan hanya tentang pembunuhan tahun 65. Tetapi juga tentang bagaimana

munculnya kesadaran nasional, sejarah Jaman Pergerakan yang sebenarnya,

tentang Jaman Jepang, Jaman Revolusi, dsb. Karena yang mau dijadikan pahlawan

itu cuma ABRI. Padahal ABRI kan belum lahir waktu orang lain sudah berjuang

puluhan tahun. Tapi toh sekarang mulai terlihat usaha anak-anak muda untuk

mencari informasi, untuk menggali kembali sejarah bangsanya. Seperti terlihat

dalam buku "Bayang-Bayang PKI" itu, antara lain. Dan memang ini tugas anak

muda, kan? Untuk tidak mau dibodohi. Tapi bahwa Suharto dan pimpinan

Angkatan Darat itu bertanggung jawab atas pembunuhan ini, itu jelas. Dan bukan

pembunuhan ini saja. Mereka juga bertanggung jawab atas ratusan ribu korban

pembunuhan di Timtim, dan ribuan lagi orang yang dibunuh dalam kasus-kasus

Irian Jaya, Aceh, Petrus, dsb. Sepanjang sejarah Indonesia, termasuk selama Jaman

Belanda dan Jaman Jepang, belum pernah ada kelompok penguasa yang

tangannya begitu berlumuran darah. Ya, itu fakta.

T : Tadi Pak Ben bilang soal pembunuhan di Kediri yang luar biasa kejam. Tapi ada

juga propinsi seperti Jabar, di mana pembunuhan tidak meluas. Apa yang bisa

dipelajari dari fakta-fakta seperti itu?

J : Laporan Cornell itu topik utamanya bukan pembunuhan massal. Tetapi apa yang

terjadi dalam Gerakan 30 September. Apa sebabnya terjadi pembunuhan massal?

Itu soal lain lagi. Untuk tahu tentang pembunuhan massal itu kita sudah tahu politik

dari tentara di pusat. Tapi itu tidak selalu dilaksanakan pada tingkat lokal.

Mengapa di Kediri pembunuhan meluas, tadi sudah dibicarakan, karena

Danremnya saudara dari jenderal yang dibunuh. Kenapa di Jabar pembunuhan

tidak meluas, juga sudah kita bicarakan. Pembunuhan di Aceh juga sangat kejam.

Dan di Aceh juga banyak sekali orang Cina yang dibunuh. Itu juga karena inisiatif

Pangdam Aceh waktu itu, Ishak Juarsa. Jadi ada dua tingkat. Kebijaksanaan pusat

dan kebijaksanaan lokal dari pangdam, danrem, dsb. Studi yang lengkap memang

belum ada.

16

T : Ini soal media. Sebelum pembunuhan massal, media massa-koran, radio, TV

dipakai Suharto untuk menyebarkan kabar bohong tentang kekejaman PKI di

Lubang Buaya. Akibatnya masyarakat jadi tegang, ketakutan, saling curiga. Apa

yang bisa kami pelajari dari pengalaman dengan media ini?

J : Kita harus belajar menghadapi media massa. Apalagi kalau sudah dimonopoli oleh

suatu kelompok. Kita harus skeptis, curiga, jangan cepat percaya. Harus bisa

membandingkan informasi dari media yang dikontrol penguasa itu dengan

informasi lain, dengan pengalaman diri sendiri, dengan media luar negeri,

internet, dll. Karena media massa itu jelas alat penguasa yang dipakai untuk

kepentingan penguasa. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika juga begitu. Kalau

lihat TV di sini selalu saya punya sikap curiga. Pokoknya belum tentu benar.

Apalagi kalau media itu condong menghasut si penonton untuk jadi fanatik, untuk

membenci, dsb. Kita harus skeptis. Belajar menjaga diri supaya nggak ikut

terseret. Saya sudah mengalami keadaan demikian di beberapa negara. Bukan

cuma di Indonesia saja. Saya lihat bagaimana media massa di Inggris waktu

Perang Malvinas. Media massa di Amerika waktu Perang Vietnam juga begitu. Jadi

ini bukan sifat khusus media massa di Indonesia. Tetapi sifat khusus dari penguasa

yang kalang kabut atau yang punya maksud jelek. Kalau sekarang, kita bisa lihat

umpamanya dalam Peristiwa 27 Juli. Tahu-tahu dicarikan kambing hitam.

Sekelompok anak muda yang nggak sampai 200 orang jumlahnya. Ini jelas suatu

usaha untuk bikin suasana panik. Untuk menutupi sebab-sebab sebenarnya dari

peristiwa itu.

T : Menurut Pak Ben apa kesalahan PKI?

J : Saya tidak mau bilang bahwa PKI punya salah. Karena PKI itu suatu keluarga besar

yang isinya jutaan orang. Saya tidak percaya kalau suatu organisasi yang begitu

banyak manusianya, yang begitu beraneka warna, itu punya salah. Tapi bisa

dikatakan bahwa pimpinan PKI yang bertanggung-jawab atas politik partai itu

mungkin memang ada salahnya. Pertama, pimpinan PKI mungkin tidak betul-betul

mengerti atau tidak mempertimbangkan dengan matang kontradiksi yang ada

antara strategi politik yang berdasarkan pemilihan umum, aktivitas terbuka yang

legal, keanggotaan partai yang jutaan dengan retorika yang sangat radikal.

Retorika PKI waktu itu cocok untuk dipakai dalam perang gerilya. Di mana pada

akhirnya perjuangan akan ditempuh dengan jalan kekerasan. PKI menganjurkan

banyak sekali orang-orang biasa untuk ikut. Dan mereka jelas tidak pernah ada

pikiran bahwa sewaktu-waktu bakal ada pembunuhan besar-besaran. Kalau mau

mengajak jutaan orang biasa yang kerja di kantor, di desa, di kampung, untuk ikut

suatu partai yang legal, di atas tanah, memakai lembaga-lembaga parlemen,

pemilu, dsb. Tetapi sekaligus juga memakai retorika bahwa seolah-olah sewaktu-

waktu bakal terjadi krisis yang revolusioner, di mana ini mau dihancurkan, itu mau

dihancurkan, maka itu menimbulkan kontradiksi yang lumayan bahayanya. Karena

lawan politik yang mendengar retorika seperti itu bahwa sekali waktu kamu akan

dihancurkan, akan dibeginikan-dibegitukan tentu merasa pada akhirnya akan

terjadi suatu konflik fisik yang luar biasa dahsyatnya. Jadi dengan sendirinya

mereka akan mempersiapkan diri. Dan pada waktu itu justru lawan PKI lah yang

punya senjata. Saya pernah dengar-dengar, Mao Tse Tung pernah mengatakan

begini kepada pimpinan PKI, "Ini nggak bener. Kalau kamu mau menghancurkan

ini, menghancurkan itu, ya itu nggak bisa di kota-kota, nggak bisa di

parlemen,nggak bisa di tengah orang ramai. Itu harus di gunung, harus bikin

perang pembebasan rakyat.

17

Dan sebaliknya kalau kamu betul-betul mau pakai cara parlementer, maka retorika

dan analisamu harus cocok dengan situasi dan strategi yang kamu pakai." Jadi

dengan demikian ada kemungkinan pimpinan PKI juga ikut membuka kesempatan

untuk apa yang kemudian terjadi. Tapi, ya tentu ini cuma pendapat orang luar,

seorang outsider. Saya juga merasa, kadang-kadang PKI juga terlalu mencari

musuh yang nggak perlu. Umpamanya kampanye terhadap Manikebu (Manifesto

Kebudayaan). Itu bukan kelompok yang penting, cuma beberapa orang yang sama

sekali tidak berbahaya. Padahal lawan sebenarnya dari PKI itu, ya konglomerat,

pimpinan tentara, dsb. Tetapi PKI tidak berani langsung menghadapi mereka. Lalu

dicarikan target yang lebih gampang. Secara taktis ini tidak baik. Dan

menimbulkan kesan PKI selalu ingin menang sendiri. Pada waktu ada pemilihan

umum yang bebas di Indonesia, partai yang paling besarpun tidak bisa dapat

pendukung lebih dari 25% dari masyarakat. Tidak mungkin ada suatu organisasi

yang bisa menang secara mutlak. Bagaimanapun Indonesia baru akan bisa maju

dengan baik kalau ada persekutuan, ada aliansi antara kelompok-kelompok yang

beraneka ragam. Selain itu saya juga dapat kesan begini. Ini kesan yang timbul

ketika mengikuti pengadilan Sudisman. Pada waktu Sudisman menghadapi

kematiannya sendiri, dia tahu bahwa pengadilan itu adalah saat terakhir dia bisa

ngomong. Dia banyak melepaskan diri dari bahasa resmi, bahasa formal, bahasa

standard dari partainya. Lalu dia mulai ngomong sebagai manusia. Ya tentu bahasa

partainya juga cukup banyak. Tetapi pidatonya itu mengesankan justru karena

tidak pakai bahasa resmi. Dia ngomong sebagai orang Jawa, sebagai orang

Indonesia, orang yang pernah ikut revolusi, yang ikut berjuang, dsb. Itu

mengesankan. Jadi sepertinya PKI terlalu mengajak orang untuk ngomong dengan

bahasa yang terlalu distandarisasikan, terlalu monoton, terlalu uniform. Sehingga

bisa dibilang itu membunuh atau mengurangi kreatifitas.

T : Apakah rasa dendam dari mereka yang keluarganya dibunuh itu mungkin bakal

muncul sekali waktu nanti?

J : Ada kemungkinan bakal muncul individu-individu yang demikian. Tapi jangan

lupa bahwa peristiwa ini terjadi 30 tahun yang lalu. PKI sudah hancur selama 30

tahun. Dan kemenangan tentara adalah kemenangan yang mengerikan. Tetapi,

dan ini perlu dimengerti juga, bahwa dalam proses membunuh, menyiksa, dsb,

ternyata ada juga sebagian anggota partai, malahan juga di kalangan atasnya,

yang kemudian ikut jadi penyiksa dan pembunuh. Jadi PKI tidak hanya

dihancurkan oleh lawannya. Tetapi sebagian juga dihancurkan oleh anggotanya

sendiri. Nah ini suatu luka yang sangat dalam. Kalau anak muda mengerti apa yang

terjadi, mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih. Dan toh Indonesia

sudah banyak berubah. Masalah Indonesia sudah lain dan dunia juga sudah lain.

Mereka harus melihat kedepan, jangan cuma menengok ke belakang. Harapan

ada didepan. Tidak pernah ada di belakang.

T : Dalam periode sejarah yang serem ini, apakah Pak Ben melihat orang-orang yang

bisa dianggap pahlawan?

J : Saya bukan orang yang gampang mencari pahlawan. Tapi saya tahu ada orang-

orang yang semangat dan achlaknya memang saya kagumi. Saya kasih contoh 3

orang. Pertama, Pak Pram tentunya. Yang dengan segala penderitaannya toh bisa

menciptakan karya sastra yang luar biasa dan tidak pernah mau tunduk kepada

penindasnya. Saya juga angkat topi kepada teman saya yang sudah lama

meninggal, si Soe Hok Gie. Yang walaupun aktif melawan PKI, tetapi pada waktu

pembantaian massal, penangkapan dan pengiriman ke Buru, dia satu-satunya

orang yang pada waktu itu berani mengatakan di pers bahwa ini salah.

18

Dia satu-satunya orang yang menyatakan begitu pada tahun 60-an. Yang ketiga,

tentunya almarhum Pak Yap. Dia bersedia membela orang-orang yang sudah pasti

akan dihukum mati. Yang notabene adalah lawan politiknya. Tapi dia berusaha

keras membela mereka sebagus mungkin. Walaupun karena itu dia sendiri tentu

rugi. Karena jadi dibenci oleh penguasa. Apakah mereka ini bisa dianggap

pahlawan? Mungkin belum tentu. Tetapi sebagai orang yang punya karakter,

punya moralitas, punya integritas, saya mengagumi mereka.

T : Kalau di antara politikus?

J : Sorry ya, nggak ada yang saya kagumi.

T : Kalau di kalangan orang-orang biasa? Pahlawan saya itu orang-orang biasa, pak.

Tentu banyak juga orang-orang biasa yang sudah berani ambil resiko untuk

menolong korban waktu itu. Atau menolong keluarga dan anak-anak orang yang

dibunuh, dipenjara atau dibuang. Atau orang seperti Ibu Pram, dalam memoar Pak

Pram di P. Buru, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu." Atau seperti Ibu Oey dalam

„Memoar Oey Tjoe Tat." Mereka itu istri yang setia luar biasa dan tabah bukan

main. Mereka bisa terus mengurus keluarga ketika suaminya dibuang belasan

tahun, waktu anaknya masih kecil-kecil. Mereka kan orang biasa. Mungkin lebih

gampang buat jadi contoh.

J : Ya. Tentu banyak orang yang bisa kita jadikan contoh. Cuma kita tidak tahu ama

mereka. Tapi saya tahu dua contoh. Waktu pengadilan Sudisman saya masih ingat

banyak saksi dari PKI, dari atas sampai bawah. Banyak sekali dari golongan atas

yang sebenarnya memalukan sekali kesaksiannya. Mereka elas-jelas mau

mencoba mencuci tangan, melarikan diri dari tanggung-jawab ebagai atasan. Tapi

ada dua orang yang sikapnya bagus. Yang pertama Sri Ambar dari Gerwani. Dan

yang paling mengesankan itu seorang anak Cina yang masih muda. Saya tidak

ingat namanya. Dia menjadi kurirnya Sudisman waktu dalam persembunyian. Anak

muda itu orangnya polos, berani, sopan, dan tidak pernah mau bertekuk lutut

terhadap pengadilan. Tentu dia bukan orang yang penting, bukan orang yang

dikenal namanya. Tetapi sikapnya hebat.

T : Secara umum, pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan massal-65?

J : Kalau tentang pembunuhan massal, ada perasaan umum di Indonesia yang seolah-

olah peristiwa serem semacam itu jangan sampai terjadi lagi. Ini suatu yang

mengerikan dan memalukan. Pelajaran satu lagi, bahwa kita sebagai manusia

dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh. Jadi kita harus berusaha keras

supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam diri kita masing-masing

bisa ke luar.

(Wawancara tgl 20 & 23 September 1996).

Sumber : http://www.munindo.brd.de/artikel/art_ben1.html

Ditulis ulang oleh Haryono

Ketua Harian Mabigus Smda 01. 129/130 Panembahan Senopati masa bhakti 2007 - 2010

Prof. Ben AndersonProf. Ben AndersonProf. Ben AndersonProf. Ben Anderson tentangtentangtentangtentang Suharto,Suharto,Suharto,Suharto, G30S, PKI, OrdeG30S, PKI, OrdeG30S, PKI, OrdeG30S, PKI, Orde Baru, TNI dllBaru, TNI dllBaru, TNI dllBaru, TNI dll Wawancara Radio Nederland Siaran Indonesia , 2 September 2005

.Hari Jum'at 30 September mendatang, tepat 40 tahun lalu terjadi peristiwa G30S yang

mengubah sejarah Indonesia. Profesor Benedict Anderson guru besar emeritus pada

Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat adalah salah satu pengarang apa yang

disebut Cornell Paper atau Makalah Cornell, yaitu risalah pertama yang meragukan

versi Soeharto terhadap peristiwa yang dikenal sebagai G30S/PKI itu. Apa

sebenarnya Cornell Paper itu dan penemuan-penemuan lebih lanjut apa yang

didapatkan oleh Profesor Ben Anderson?

Baret merah Ben Anderson [BA] :

"Apa yang terjadi begini. Kebetulan pada waktu itu saya masih mahasiswa di Cornell

terus ada dua teman lagi. Satu cowok namanya Fred Bunnell masih mahasiswa dan

mbak Ruth McVey yang sudah lulus dan senior kita. Kami mengikuti apa yang terjadi

di Indonesia dengan sangat cermat karena bingung. Kok ini bisa terjadi? Apa asal

usulnya? Dan kebetulan pada waktu itu Cornell satu-satunya tempat di Amerika di

mana hampir semua koran, majalah masuk dengan cukup cepat. Majalah dalam

bahasa Indonesia, majalah dalam bahasa Jawa. Jadi kita dapat koran dari Medan, dari

Balikpapan dari Solo dari Bali, dari Surabaya dan sebagainya. Ini luar biasa. Jadi kami

bisa mengikuti apa yang terjadi pada bulan Oktober-November-Desember 1965,

bukan bergantungan pada sumber-sumber di Jakarta yang dikuasai sepenuhnya oleh

Soeharto. Tapi di lain-lain daerah."

"Dan dari situ kami melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Jakarta, sama sekali tidak

masuk akal. Karena mengikuti apa yang terjadi di Solo, Yogya dan sebagainya, kita

lihat bahwa pembunuhan massal mulai di Solo, Jawa Tengah, persis pada hari itu baret

merah masuk. Sebelumnya tidak ada. Terus satu bulan lagi kira-kira tanggal 17

November 1965 itu sudah mulai di Surabaya persis pada waktu RPKAD masuk. Dan

sebaliknya, baru di pertengahan Desember 1965, dus hampir tiga bulan setelah G30S,

pembunuhan mulai di Bali. Sekali lagi, ketika baret merah masuk." Versi Soeharto tak

masuk akal

"Jadi itu jelas sekali bahwa pembunuhan ini bukan sesuatu yang spontan, yang timbul

karena kemarahan rakyat dan sebagainya. Tapi timbul dalam situasi di mana tentara

masuk dan memberi sokongan kepada golongan-golongan yang anti PKI. Malah di

beberapa kasus yang saya tahu betul pada waktu itu, mereka masuk di salah satu

desa. Terus bilang pada salah satu orang di situ, mana itu orang komunis di sini.

Orang dalam desa ingin menjaga mereka punya keluarga dan sanak saudara, bisanya

bilang, ya tidak ada. Tapi tentara bilang ini daftarnya, mana orangnya? Lalu orangnya

didorong ke depan. Terus tentara itu bilang sama salah satu orang di sekitarnya, kamu

anti komunis atau tidak? Ya, saya anti komunis. Baik, untuk membuktikan, silahkan

membunuh empat orang ini. Jadi orang seperti ini, tani biasa, antara dibunuh oleh

tentara, atau membunuh temennya sendiri atau keluarga sendiri, ya akhirnya harus

cari selamat."

"Nah, cara yang begini yang sangat sadis, itu kami sudah tahu pada waktu itu. Jadi,

timbul usaha untuk coba membongkar rahasia apa sebenarnya yang terjadi pada

waktu itu. Kami mencek beberapa hipotesa. Seandainya ini Bung Karno di

belakangnya, PKI di belakangnya, tentara di belakangnya.

2

Dan walaupun kita tidak dapat suatu kepastian yang jelas, tapi berdasar informasi

yang ada pada waktu itu, versinya Soeharto jelas tidak masuk akal."

Proyek penting tak terlaksana "Kami dapet kesimpulan bahwa ini mulainya dengan

perselisihan di dalam tentara sendiri. Itu selesai kira-kira tanggal 3 Januari atau 4

Januari 1966. Kami kerja siang malam. Bertiga. Setelah selesai, kami merasa bahwa ini

suatu dokumen yang berbahaya. Bukan untuk kita sendiri. Tapi kalau tentara di

Jakarta tahu bahwa dokumen ini ada, mungkin orang-orang yang pernah ke Cornell,

orang-orang yang pernah menjadi teman kita, walaupun mereka sama sekali tidak

ada hubungan dengan apa yang kita tulis, toh bisa dikorbankan."

"Tapi di lain pihak kami ingin supaya orang-orang yang kami percaya, orang-orang

seperti Pak Wertheim, Pak Dan Lev, bisa melihat hasil riset kami. Kami menulis pada

mereka, bilang, ini kalian bisa pakai fakta-fakta yang kami sudah dapatkan, kalau

kalian ingin menulis, terserah. Tapi jangan sebut dokumen ini. Pada waktu itu kami

amatiran. Ternyata itu akhirnya bocor dan tentunya bukan golongan Ali Moertopo cs

yang marah, tapi banyak orang Amerika di pemerintah Amerika juga marah. Karena

ini seolah-olah cerita bahwa tentara berhak untuk membunuh banyak orang. Karena

memang PKI yang mau bikin kup sebelumnya, mungkin tidak benar. Dan legitimasi

pemerintah Soeharto yang sudah jelas menuju ke diktatoran harus direstui. Dan

memang itu maksudnya pemerintah Amerika pada waktu itu."

"Yang tidak lama setelah itu saya diusir dari Indonesia. Dan dalam satu hal

sebenarnya saya merasa salah sendiri. Artinya, karena itu saya sudah merasa tidak

ada harapan untuk meneruskan riset itu tadi karena gak ada akses ke Indonesia. Dan

pada waktu itu belum ada orang lain yang bersedia untuk meneruskannya. So ini

proyek tentang saat yang sangat penting di Indonesia, tidak sampai terlaksana. Itu

ceritanya."

Kampanye Machiavellis Radio Nederland [RN] :

"Tapi menurut Profesor Anderson bahan untuk melanjutkan studi Cornell Paper itu

masih banyak dan ada dan bisa dilakukan ya?"

BA :

"Ya. Bahan yang utama adalah segala macem dokumen-dokumen dari Mahmilub yang

ada. Entah berapa, mungkin 20 jilid. Yang walaupun banyak sekali informasi lainnya,

jelas itu hasil dari siksaan, toh juga cukup banyak yang menarik. Apalagi kalau

dibandingkan satu sama yang lain. Nah ini memerlukan pekerjaan yang lama dan

berat. Untuk memeriksa ini semua, membandingkannya satu sama yang lain. Mencari

kunci-kunci yang ada. Itu sampai sekarang belum dilakukan."

"Tetapi betapa pentingnya sumber ini bisa dijelaskan oleh suatu insiden yang terjadi

waktu saya kebetulan periksa ratusan halaman dari salah satu Mahmilub. Dan di sana

saya ketemu satu dokumen yang sangat penting. Yaitu visum et repertum tentang

meninggalnya Ahmad Yani dan teman-temannya yang dituduh sebagai dewan

jenderal."

"Pemeriksaan terhadap tubuh-tubuh jenderal-jenderal ini sangat teliti. Dikerjakan

oleh dokter-dokter militer dan dokter-dokter sipil di Universitas Indonesia.

Diselesaikan tanggal 3 Oktober 1965.

3

Dan laporannya ditujukan kepada Soeharto sebagai Pangkostrad pada waktu itu. Dari

laporan ini jelas sekali bahwa cerita yang dikeluarkan oleh Soeharto cs pada tanggal

5-6 Oktober 1965, di koran dan di massa media bahwa orang-orang ini disiksa oleh

PKI. Kemaluan mereka dipotong-potong oleh Gerwani yang gila seks dan gila drugs.

Bahwa ada segala macam horor, dicungkil matanya dan sebagainya. Itu sama sekali

tidak bener."

"Itu sangat sengaja. Jadi laporan tentang apa yang sebenarnya terjadi sudah ada di

tangan Soeharto tiga hari sebelum kampanye horor anti PKI mulai. Jadi itu sangat sinis,

sangat dingin. Anehnya, laporan ini menjadi lampiran entah keberapa pada akhir dari

jilid Mahmilub ini itu. Dan jelas masuk dengan tidak sengaja oleh seorang tentara

kecil-kecilan yang dengan lugunya mungkin merasa bahwa ini dokumen yang tidak

penting."

"Padahal itu satu dokumen yang sangat penting dan sangat menghancurkan konsep

bahwa Moertopo, Soeharto dan sebagainya itu bertindak atas dasar keyakinan. Tidak.

Justru sebaliknya, itu suatu kampanye yang sangat Machiavellis, yang dilaksanakan

dengan penuh kesadaran."

Informasi selalu ada "Jadi ini suatu contoh bagaimana kalau orang rajin mencari

informasi itu bisa ketemu. Jadi orang-orang tua, baik dari pihak yang menang,

maupun dari pihak yang kalah, juga bisa diusahakan. Orang-orang yang mengunjungi

tapol-tapol dalam penjara pada waktu itu mungkin mereka bikin catatan dan

sebagainya, itu belum ditelusuri."

"Saya masih ingat, sangat kebetulan pada waktu, mungkin tahun 1972, saya membeli

suatu bungkusan, apa saya nggak tahu di jalan Surabaya di Jakarta. Itu memang

daerah loak. Dan saya heran karena bungkusan itu, ternyata itu dokumen-dokumen

intel Jawa Timur, yang setelah itu saya terjemahkan dan memang sudah diterbitkan di

majalah Indonesia. Ini semacam mata-mata dari Jakarta yang putar-putar di Jawa

Timur, untuk lapor tentang apa yang terjadi di Jawa Timur pada waktu itu." "Dia cerita

tentang perselisihan antara perwira-perwira tinggi di situ. Dia melihat bahwa

pembersihan yang jalan sangat baik di Jombang, kok ada masalah umpamanya di

Jember dan sebagainya. Banyak orang dibunuh di situ, tapi kok sayang di daerah

Bojonegoro tidak ada, dan kemungkinan sebab-sebabnya begini begini. Kan

bagaimanapun pemerintah itu suatu birokrasi yang selalu tulis menulis, selalu ada

laporan, selalu ada ini ini." "Dan saya yakin ada gudang yang penuh dengan segala

macam dokumen, yang orang sekarang, malah tidak tahu ada apa di situ. Memang

pada waktu reformasi lagi bergejolak, salah satu harapan tersembunyi dalam hati

saya adalah bahwa anak-anak muda yang pergi rame-rame akan membongkar

gudang-gudang ini dari tangan tentara dan tangan pemerintah. Seperti yang terjadi

pada tahun 1965, di mana Deplu dibongkar, waktu itu banyak dokumen-dokumen dari

zamannya Soebandrio, kan masuk gelanggang umum."

Demikian bagian pertama wawancara Profesor Benedict Anderson dari Cornell

University.

Letkol Heru Bantah Dalangi G30S/PKILetkol Heru Bantah Dalangi G30S/PKILetkol Heru Bantah Dalangi G30S/PKILetkol Heru Bantah Dalangi G30S/PKI

SOLO - Satu lagi saksi Gerakan 30 September 1965 atau yang sering disebut

G30S/PKI angkat bicara. Letkol Pnb (Purn) Heru Atmodjo, asisten Direktur Intelijen

Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), membantah tudingan yang menyebut

dirinya dalang gerakan tersebut.

Setidaknya dia membantah tulisan-tulisan Dr Coen Holtzappel, guru besar Universitas

Leiden yang datang ke Indonesia pada 1966 untuk mengikuti sidang-sidang

Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) atas perkara Letkol Untung dan Njono,

Sekretaris CDB PKI Jakarta Raya saat Gestok berlangsung. Celakanya, tulisan-tulisan

itu justru dijadikan salah satu acuan dalam penyebaran sejarah di Indonesia.

Pada forum bedah buku Gerakan 30 September 1965, Kesaksian Letkol Pnb Heru

Atmodjo yang digelar di Hotel Agas Solo, kemarin, purnawirawan perwira menengah

itu menegaskan, buku-buku sejarah tentang G30S/PKI yang diajarkan tidak utuh

dalam menggambarkan fakta.''G30S/PKI dipotong hanya pada kejadian itu sendiri.

Saya tak percaya bahwa gambaran yang sesungguhnya dapat dimunculkan. Teman-

teman saya ajak mempelajari apa yang terjadi sejak Proklamasi (17 Agustus 1945)

dibacakan Bung Karno hingga sekarang,'' tegas dia pada forum yang diadakan LSM

Yaphi dan People's Empowerment Consortium (PEC) itu.

Mantan penerbang yang dibebaskan pada 31 Agustus 1980 setelah 15 tahun

meringkuk di penjara dengan tudingan terlibat G30S/PKI itu menuding, berbagai

buku putih dan film yang bermateri kejadian tersebut mengandung banyak

kebohongan.

Berbagai bantahan dan tepisan itu dia luapkan dalam bukunya yang diterbitkan PEC

Jakarta dengan cetakan pertama Oktober 2004. Pada buku itu, Heru menuliskan, apa

yang diketahui dan dijalaninya jam per jam pada 30 September dan 1 Oktober 1965

hingga hari-hari berikutnya termasuk perintah dan orang-orang yang dia temui pada

waktu itu.

Salah seorang editor bukunya, Harsono Sutedjo (editor lainnya Garda Sembiring),

pada forum itu juga menandaskan, sekarang sejarah hanya merupakan konsep dan

bukan hanya berdasarkan fakta. Menurut penilaiannya, banyak tudingan yang

menyebutkan bahwa yang bergerak pada peristiwa G30S adalah PKI tanpa ada yang

menyebut kemungkinan-kemungkinan lain.

Serial G30S ( 17 Serial G30S ( 17 Serial G30S ( 17 Serial G30S ( 17 ---- 17 )17 )17 )17 )

G30S DIRANCANG UNTUK GAGAL Oleh : Harsutejo

Meletusnya peristiwa G30S dan seluruh tragedi 1965 [dan 1966] merupakan salah satu

ujung perang dingin antara dua kubu kekuatan di dunia, baik kubu kapitalis versus

komunis maupun kubu revisionis versus dogmatis ekstrim kiri [berdasarkan istilah

para pihak] dan kubu imperialis versus gerakan kemerdekaan yang ikut menyeret

Indonesia ke dalam pusarannya. Menurut rumusan Bung Karno (BK) pertentangan dua

kubu antara oldefos melawan nefos. Hanya dengan memahami situasi ini semua maka

kita dapat mengerti tragedi 1965 beserta seluruh akibatnya, sebagai bagian

suksesnya kubu anti-Sukarno di dalam negeri [yang dipandegani sejumlah jenderal

AD] dan luar negeri [yang dibenggoli Amerika Serikat] untuk menjatuhkan Presiden

Sukarno.

Kekuatan dalam dan luar negeri anti-komunis dan anti-Sukarno memiliki kepentingan

yang sama untuk menghancurkan PKI yang perkembangannya ketika itu menakutkan

musuh-musuhnya, serta menggulingkan Presiden Sukarno sekaligus. Pertentangan

internal Indonesia antara kekuatan kaum kanan [yang didukung oleh kaum militer

kanan, khususnya AD] melawan kaum kiri dengan PKI sebagai kekuatan pokoknya

[tentunya juga dengan dukungan tersembunyi kaum militer kiri].

Pertentangan politik yang terus memanas sepanjang 1960-an sebelum 1 Oktober 1965

ditandai dengan berbagai peristiwa yang menelan korban di Jawa Timur, Jawa

Tengah, Sumatra Utara dsb. dalam skala kecil. Pertentangan yang memanas itu

ditandai juga adanya sejumlah teror terhadap pimpinan dan organisasi kiri,

kampanye pengganyangan setan kota dan desa, kabir, masalah Manikebu dan BPS,

aksi sepihak untuk melaksanakan undang-undang yang telah disetujui DPR berupa

UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-Undang Pokok Bagi

Hasil) yang menguntungkan petani penggarap dan buruh tani yang jumlahnya

berjuta-juta.

Situasi politik memang panas, akan tetapi tidak ada situasi yang menjurus apa yang

disebut sebagai keadaan "membunuh atau dibunuh." Ini sama sekali tidak ada dan

tidak ada buktinya, apalagi situasi yang kadang disebut menuju "perang saudara,"

suatu sebutan yang mengada-ada. Situasi panas itu dengan arus pokok yang

menguntungkan kubu pendukung Presiden Sukarno serta kaum kiri, PKI khususnya.

Setelah dihancurkannya PKI dan kekuatan kiri yang lain serta digulingkannya

Presiden Sukarno, maka hasilnya Indonesia jatuh ke tangan kekuasaan diktator militer

di bawah Jenderal Suharto, menjadi negeri tergadai yang tunduk dan tergantung pada

kapital global sebagai bagian dari neokolonialisme dengan dukungan senjata dan

hukum sampai saat ini.

Tinjauan dan Kegagalan G30S

Dalam sejumlah pertemuan sebelum 1 Oktober 1965 yang dihadiri oleh mereka yang

oleh pimpinan PKI dinamai Perwira Progresif terdiri dari Kolonel Inf Latief, Letkol Inf

Untung, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi, dihadiri

sejumlah orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC) PKI. Dengan

kehadiran pimpinan BC PKI, apakah ini berarti konsep G30S berasal dari mereka?

Bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC?

2

Apa sekedar karena sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK)

dan pendukung BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku

putih Orba sebagai komplotan PKI. Jika G30S merupakan komplotan PKI, apa sebab

massa PKI yang amat besar, yang berjuta-juta itu sama sekali tidak dikerahkan atau

dipersiapkan, bahkan mereka tidak tahu-menahu, termasuk banyak pimpinan PKI

yang tersebar di seluruh Indonesia tidak tahu dengan tepat? Msih banyak pertanyaan

lain yang jawabnya tidak begitu jelas dan tidak memuaskan yang selalu menimbulkan

pertanyaan baru.

Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief, Mayor

Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana operasi

penangkapan para jenderal yang dipandangnya tidak profesional. Usulan dia tentang

penutupan jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi pada saat

gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan tajam, apa

sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal (DD,

ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu yang

harus menangkapnya? Karena Mayor Inf Agus Sigit, anak buah Kolonel Inf Latief, tidak

setuju dengan sejumlah masalah penting yang dibicarakan dalam rapat 17 September

1965, ia tidak lagi mengikuti pertemuan-pertemuan berikutnya, bahkan kemudian

pada 1 Oktober 1965 pasukannya tidak muncul. Masalah-masalah penting yang

dikemukakan dan dipertanyakan Agus Sigit rupanya tidak mendapatkan perhatian

semestinya dari yang lain. Kemudian terbukti hal-hal itu menjadi sebagian kelemahan

mendasar gerakan.

Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru lima

bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil bagian

dalam gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang dilaporkan, logistik

tidak memadai, atau bahkan tidak ada), dokumen-dokumen G30S saling

bertentangaqn satu sama lain, tidak menyebut kedudukan BK. Dekrit No.1

menyebutkan, "Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan

Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner";

dalam Keputusan No.2 disebut, "Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI

pada 30 September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September..." lalu ada

penurunan pangkat.

Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di tempat, membunuh

sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya, bertentangan dengan pemahaman perintah

Letkol Untung. Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Suharto dua

kali. Siapa yang menugaskan dirinya? Syam bersaksi ia yang berada di tempat agak

jauh di tempat yang sama. Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga

batalion tetapi yang ikut bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi

Markas.

Nama Latief tidak tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi "hanya" sebagai

anggota Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen

Suparjo. Dapat ditambahkan bahwa Brigjen Suparjo tidak pernah ikut rapat-rapat

persiapan, mungkin sekali ia hanya menerima informasi bahwa segala sesuatunya

beres, sebagaimana tercantum dalam "dokumen Suparjo."

Jika Suharto bukan dari bagian komplotan, maka Latief yang telah menemuinya

sampai dua kali dan menyampaikan tentang gerakan yang sedang diikutinya

merupakan pembocoran rahasia gerakan sebagai yang dituduhkan sementara orang.

bahkan ada juga yang menuduhnya ia berkhianat terhadap gerakan, padahal

kepergiannya setahu Letkol Untung dan Brigjen Suparjo.

3

Latief mempuyai hubungan dekat dengan bekas atasannya, tentunya sedikit banyak ia

tahu tentang pandangan politik Suharto. Apalagi justru Jenderal Suharto yang

memanggil dan menginspeksi pasukan Yon 530 Brawijaya dan Yon 434 Diponegoro

yang dianggap terlibat G30S.

Setidaknya menurut Syam pasukan itu mendukung gerakan meskipun kita tidak dapat

melihat di mana letak dukungannya itu, kecuali sebagian pasukan Yon 434

Diponegoro yang hendak mengundurkan diri ke PAU Halim dan yang ditolak oleh

pihak AU, lalu berada di pinggiran Halim. Mereka ini yang terlibat kontak senjata

dengan pasukan RPKAD.

Pada pagi setelah jam 08.30 1 Oktober 1965 Letkol Pnb Heru Atmodjo sesuai dengan

tugasnya mengantarkan Brigjen Suparjo yang baru saja bertemu Men/Pangau Omar

Dani ke rumah Sersan Anis Suyatno di kompleks perumahan bintara di Halim. Di sana

Heru Atmodjo melihat kembali beberapa orang yang pagi itu diperkenalkan

kepadanya di gedung Penas, Kolonel Latief, Letkol Untung dan dua orang sipil

bersama Mayor Suyono. Di belakang hari diketahuinya kedua orang sipil itu bernama

Syam Kamaruzaman dan Pono. Sebagai seorang tentara yang memiliki pengalaman

memimpin operasi militer, ia tidak melihat adanya sekelompok pimpinan yang

sedang memimpin operasi. Apalagi operasi yang dilakukan [seperti dikatakan oleh

Mayor Udara Suyono setingkat divisi, tentunya ada staf pemikir dan pembantu bagi

komandan atau panglima pasukan. Karena ia melihat sendiri gerakan itu dari dekat,

maka "gerakan ini seperti dirancang sedemikian rupa untuk menemui kegagalannya"

Demikian tulis Heru Atmodjo. G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya

ada satu rencana, itu merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer maupun

politik seperti ditulis Jenderal Nasution.

Pada sore hari 1 Oktober 1965 dari Halim Presiden Sukarno mengeluarkan perintah

dihentikannya tembak-menembak di antara seluruh pasukan serta ajakan menunggu

penyelesaian politik oleh Presiden. Perintah tersebut oleh pasukan RPKAD tidak boleh

disiarkan lewat RRI Jakarta. Ini merupakan permulaan pemberangusan terhadap

Presiden Sukarno yang dilakukan oleh kekuasaan Jenderal Suharto. Sejak jam 19.00 1

Oktober 1965 RRI terus-menerus menyiarkan pernyataan Jenderal Suharto. Kini bukan

saja pasukan Suharto menguasai lapangan, tetapi juga bidang komunikasi. Sabotase

ini berlanjut sampai dijatuhkannya Presiden Sukarno.

Sebagai diulas oleh Letkol Pnb Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer yang

serius, seharusnya dipimpin seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang secara

intelektual maupun pengalaman lapangan memadai. Tetapi justru dia tidak pernah

dilibatkan dalam rapat persiapan. Dalam buku Jenderal Nasution (1988), apa yang

biasa disebut "dokumen Suparjo," suatu dokumen yang dipercaya sebagai ditulis oleh

Brigjen Suparjo setelah gagalnya G30S, telah diulas secara singkat, antara lain sbb:

(1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dkk menghadapi kegagalan gerakan,

semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal, mereka bingung, tidak ada

perintah jelas, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak

mendapat makanan, bahkan ada yang minta ke Kostrad. Pasukan meninggalkan RRI

tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan menghentikan gerakan, masing-masing

bubar, pulang, sambil menunggu situasi.

4

Peran Intelijen, Amerika Pura-Pura Kaget

Perang dingin yang di Indonesia berpuncak pada tragedi 1965 tidak dapat dilepaskan

dari peranan barisan dinas intelijen dalam dan luar negeri dengan operasi

intelijennya yang saling bekerjasama, menusuk, menjegal, menipu, menyesatkan dan

memerangi. Jika BC PKI setidaknya sebagian tugasnya menyerupai dinas intelijen,

mereka ini jauh lebih asor dibandingkan dengan yang dimiliki AD misalnya. Syam

Kamaruzaman biasanya disebut sebagai agen ganda, dari kesaksiannya di Mahmillub

kita ketahui dengan cekatan ia sepenuhnya mengabdi pada militer di bawah Jenderal

Suharto. Seorang spion AD bernama Sriharto Harjomiguno yang sudah bertahun-tahun

berada di tubuh PKI, dalam jangka tertentu menjadi pengawal DN Aidit selama di

Jawa Tengah sesudah 2 Oktober 1965 tanpa bisa diendus. Belum lagi kita bicara

tentang kecanggihan CIA atau dan KGB.

CIA dan moyangnya telah malang melintang di Indonesia sejak permulaan

kemerdekaan, salah satu puncaknya di masa pemberontakan PRRI dan Permesta.

Dalam bulan Desember 1964, seorang Duta Besar Pakistan di Eropa menulis laporan

kepada Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto antara lain berisi percakapannya

dengan seorang perwira intelijen Nato. Sejumlah dinas intelijen Barat sedang

menyusun suatu skenario akan terjadinya suatu kudeta militer yang terlalu dini yang

dirancang untuk gagal. Dengan itu akan terbuka kesempatan legal yang ditunggu-

tunggu bagi AD untuk menghancurkan kaum komunis dan menjadikan Sukarno

sebagai tawanan AD. Demikian diungkapkan oleh penelitian Neville Maxwell. Dalam

memorandum rahasia Washington 23 Februari 1965 dibicarakan tentang dukungan

terhadap elemen anti-komunis menghadapi PKI dan politik Sukarno dengan selebaran

dan siaran radio gelap, kalau perlu menggunakan ajaran Sukarno. Dalam telegram

rahasia Dubes Jones 24 Mei 1965 dibicarakan tentang rancangan kudeta yang

terpaksa diundur. Dubes AS ini menyebutkan tentang adanya "hubungan pribadi

dengan salah satu pemimpin kelompok kudeta yang mewakili elemen sipil dan militer penting." Setelah kudeta [di radio] oleh G30S pada 1 Oktober 1965, Dubes Marshall

Green yang menggantikan Jones menyatakan dengan "bijaksana,"...... "bahwa sikap

yang paling bijaksana [pihak AS] ialah mengakui kup itu benar-benar mengagetkan

kami [AS]..... " Pendeknya pemerintah AS dan CIA yang sudah tahu jauh-jauh hari

serta ikut merancangnya itu pura-pura kaget dan tidak tahu apa yang harus

diperbuat..... Tipuan sederhana inilah yang dipercaya sebagian sejarawan dan

pengulas sejarah G30S meski sudah dibuat jelas oleh mantan Dubes AS Marshall

Green sebagai tipuan. Kudeta di radio itu kemudian segera diikuti oleh kudeta

sebenarnya Jenderal Suharto.

Setelah kegagalan G30S dan PKI mendapat hantaman palu godam Jenderal Suharto cs,

selapisan pimpinan PKI [di antaranya Sudisman yang mengaku terlibat] mengadakan

kritik otokritik pada 1965/1966 [yang terkenal dengan sebutan KOK]. Sudisman

menghubungkan kegagalan G30S tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di

bidang ideologi, politik dan organisasi sejak 1950-an. Tak pelak para penyusunnya

ikut ambil bagian dan bertanggungjawab terhadap kesalahan tersebut, hal ini

didasarkan pada kenyataan tidak adanya oposisi mendasar yang berarti sebelum

tragedi 1965 terhadap pimpinan kolektif PKI.

Apa pun yang terjadi, dari berbagai kelemahan dan kesalahan mendasar G30S yang

merugikan dan bahkan menyabot diri sendiri, maka hanya ada satu kesimpulan

bahwa G30S memang dirancang untuk gagal sebagai tangga panjatan sang dalang

sebenarnya.

Serial G30S ( 16 Serial G30S ( 16 Serial G30S ( 16 Serial G30S ( 16 ---- 17 )17 )17 )17 )

SEKITAR G30S, SUHARTO, PKI DAN TNI-AD DEWAN REVOLUSI DAN KUDETA

DI RADIO Oleh : Harsutejo

Menyerimpung Politik PKI

Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Ketua BC PKI Syam

menyatakan seluruh perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit

termasuk pengumuman dan dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut

pengakuannya disusun oleh Aidit. Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh

dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang

diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang terdiri dari pengumuman Letkol Untung,

Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2, rendah mutu politiknya. Dalam

pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya dokumen semacam itu

disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah malang melintang

secara nasional dan internasional, pemimpin komunis kaliber dunia.

Dalam pengumuman yang dibacakan di RRI Jakarta pada 1 Oktober 1965 jam 07.00

pagi a.l. disebutkan, “Presiden Sukarno selamat dalam lindungan Gerakan 30

September. Juga sejumlah tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang menjadi sasaran

tindakan Dewan Jenderal berada dalam lindungan Gerakan 30 September.”

Pernyataan ini tidak benar karena keberadaan Presiden Sukarno di PAU Halim

merupakan kehendak beliau sendiri berdasarkan prosedur baku penyelamatan.

Rombongan presiden ini berada dalam lindungan lingkungan PAU Halim, sedang

pasukan G30S berada di luarnya, ketika hendak masuk ke wilayah PAU Halim mereka

diusir oleh pasukan penjaga pangkalan. Memang Brigjen Suparjo, salah seorang

pemimpin G30S menemui BK di Halim. Dari Halim Presiden Sukarno memanggil

sejumlah petinggi negara untuk menemuinya.

Selanjutnya dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian

diperjuangkan oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan persekutuan

PKI dengan Presiden Sukarno. Dalam Dekrit No.1 antara lain disebut, “Dewan

Revolusi Indonesia menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara

Republik Indonesia,” selanjutnya, “Dengan jatuhnya kekuasaan negara ke tangan

Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus

demisioner.” Ini berarti kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno, meski dalam

kenyataannya hanya di atas kertas dan tidak pernah mewujud. Apa mungkin Aidit

mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada saat BK masih segar bugar?

Pendeknya dokumen-dokumen tersebut menyerimpung politik PKI ketika itu, sesuatu

yang mokal jika disusun oleh seorang Ketua PKI DN Aidit.

Kekanak-kanakan dan Mencari Musuh

Dalam pengumuman Letkol Untung tentang gerakan termuat retorika emosional.

“Jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan nasib

anak buah, yang di atas tumpukan penderitaan anak buah hidup bermewah-mewah

dan berfoya-foya menghina kaum wanita dan menghambur-hamburkan uang negara

harus ditendang keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukuman setimpal....”

Kegiatan Dewan Revolusi (DR) sehari-hari disebutkan diwakili oleh Presidium Dewan

yang terdiri dari komandan dan wakil-wakil Gerakan 30 September (G30S), yang

semuanya dari kalangan ABRI (termasuk polisi) yakni Letkol Untung (Komandan),

2

Brigjen Suparjo (Wakil Komandan), Letkol Udara Heru (Wakil Komandan), Kol Laut

Sunardi (Wakil Komandan), Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas (Wakil Komandan).

Dengan kata lain pemerintah harian dipegang oleh militer alias pemerintah militer.

Lima orang ini sekaligus menjadi Ketua dan Wakil ketua DR yang seluruh anggotanya

terdiri dari 45 orang (termasuk ketua dan wakilnya), dengan 23 orang dari kalangan

ABRI, 2 orang pemimpin PKI eselon dua atau tiga. Apa pun susunannya, dewan ini

tidak pernah eksis dalam sejarah Indonesia.

Dalam keputusan No.2 disebutkan, “... segenap kekuasaan dalam negara Republik

Indonesia.... diambil alih oleh Gerakan 30 September....” Dokumen ini masih

berlanjut “....Gerakan 30 September yang Komandannya adalah perwira dengan

pangkat Letnan Kolonel, maka dengan ini dinyatakan tidak berlaku lagi pangkat

dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang di atas Letnan Kolonel atau

setingkat....” Pendeknya dokumen ini selain sekali lagi menegaskan penyingkiran

Presiden Sukarno, sementara dalam pengumuman pertama disebutkan tentang

penyelamatan Presiden Sukarno, secara kekanak-kanakan tidak mengakui pangkat

setara atau di atas sang komandan Letkol Untung. Bukan saja kekanak-kanakan, tetapi

juga mencari musuh lebih banyak lagi alias memperlebar front musuh.

Dokumen DARIPADA

Dua dokumen penting yang disiarkan oleh RRI Jakarta pada Oktober1965 yang

mungkin selama ini kurang mendapat perhatian dari segi bahasanya. Yang pertama

dokumen pengumuman G30S tentang penurunan dan penaikan pangkat yang

disiarkan RRI pada siang hari 1 Oktober 1965. Dokumen kedua pidato Mayjen Suharto

di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 yang malamnya disiarkan oleh RRI.

Dokumen pertama dari G30S pada butir kedua berbunyi sbb, “Karena Gerakan 30

September pada dasarnya adalah gerakan DARIPADA Prajurit bawahan, terutama

DARIPADA Tamtama dan Bintara, maka dengan ini dinyatakan, bahwa semua

Tamtama dan Bintara dari semua Angkatan Bersenjata RI yang mendukung Gerakan

30 September dinaikkan satu tingkat lebih tinggi DARIPADA sebelum tanggal 30

September 1965”. Sedangkan dokumen kedua pidato Mayjen Suharto pada bagian

akhir kalimat alinea kedua dan kalimat pertama alinea ketiga berbunyi sbb, “…. tidak

mungkin tidak ada hubungan dengan peristiwa ini DARIPADA oknum-oknum

DARIPADA anggota AURI. Oleh sebab itu saya sebagai warga DARIPADA anggota AD

mengetok jiwa perasaan DARIPADA patriot anggota AU bilamana benar-benar ada

oknum-oknum yang terlibat dengan pembunuhan yang kejam DARIPADA para

Jenderal kita yang tidak berdosa ini saya mengharapkan agar supaya para patriot

anggota AU membersihkan juga DARIPADA anggota-anggota AU yang terlibat”.

Meninjau kedua dokumen tersebut haruslah dalam konteks jamannya, gaya bahasa

dengan penggunaan kata DARIPADA semacam itu tidaklah lazim di masa itu. Hal ini

amat berbeda dengan gaya bahasa selama lebih dari 30 tahun Orba yang begitu

dominan, bahkan sampai saat ini sering masih kita temukan keluar dari mulut

‘daripada’ para pemimpin dan ‘daripada’ birokrat di depan publik, juga mereka yang

bicara di televisi. Kita semua mengenal gaya bahasa itu mula-mula milik Suharto,

selalu dipeliharanya tanpa putus sepanjang kekuasaan dan sesudahnya. Dalam pidato

pendek pengalihan kekuasaannya kepada BJ Habibie, Jenderal Besar Suharto telah

menggunakan berpuluh ‘daripada’. Rupanya Suharto memang ‘daripada’ kampiun

dan pencinta ‘daripada’ yang tiada bandingnya.

3

Dalam dokumen pertama dalam satu kalimat terdapat 3 (tiga) ‘daripada’, sedang pada

dokumen kedua dalam dua kalimat terdapat 6 (enam) ‘daripada’. Dari situ dapat

dibuat beberapa kesimpulan sementara, Letkol Untung, Komandan G30S [atau

katakan DN Aidit] mempunyai gaya bahasa yang sama dengan Mayjen Suharto,

Panglima Kostrad yang baru saja melumpuhkan G30S. Atau dokumen-dokumen

tersebut mempunyai pabrik tunggal?

Menurut pengakuan Letkol Untung kepada Letkol Heru Atmodjo, mantan Perwira

Intelijen AURI selama di penjara, ia tidak tahu menahu dokumen tersebut di atas.

Sedang dokumen sebelumnya tentang pengumuman G30S yang disiarkan RRI pada 1

Oktober 1965 setelah warta berita jam 7.00 pagi disodorkan oleh Syam Kamaruzaman

kepadanya untuk ditandatangani.

Serial G30S ( 15 Serial G30S ( 15 Serial G30S ( 15 Serial G30S ( 15 ---- 17 )17 )17 )17 )

DN AIDIT, PKI DAN G30S Oleh : Harsutejo

Pemimpin Muda yang Enerjetik

Sudah sejak muda, sejak jaman penjajahan Belanda, Aidit dalam umur belasan tahun

telah ikut serta dalam gerakan melawan penjajahan dalam berbagai bentuknya.

Sudah sejak muda pula ia gemar membaca dan tertarik pada marxisme. Di masa

revolusi fisik ada sebutan populer di kalangan kaum kiri, "mabuk marxisme" dalam

artian positif, giat belajar teori dengan membaca, berdiskusi dan berdebat serta

kursus-kursus politik sejak masa pendudukan Jepang, serta menerapkannya dalam

praktek perjuangan. Selanjutnya juga menuliskan berbagai gagasannya.

Di Menteng 31 bersama banyak pemuda yang lain ia digembleng para pemimpin

nasional. Sejumlah pemuda di antara mereka itu di kemudian hari menjadi tokoh

komunis, di samping DN Aidit, di antaranya Wikana (salah seorang tokoh pemuda

yang berperan penting dalam "penculikan" Bung Karno dan Bung Hatta pada 15

Agustus 1945), MH Lukman, Sidik Kertapati dsb. Jadi tidak benar jika sejarawan Prof

Dr Brigjen Nugroho Notosusanto menyatakan kaum komunis tidak punya peran dalam

Proklamasi 17 Agustus 1945, ini bagian dari pemalsuan sejarah. Pada usia 38 tahun

pada 1951 Aidit menjadi pemimpin tertinggi PKI bersama MH Lukman dan Nyoto.

Pada 1952, setahun setelah kepemimpinannya, anggota PKI terdiri dari 8.000 orang.

Tetapi pada 1964 mereka telah menghimpun jutaan anggota. Dalam pemilu

demokratis pertama pada 1955 PKI keluar sebagai partai terbesar keempat, dalam

pemilu di Jawa pada 1957 PKI meningkat sebagai partai terbesar pertama. Ini sungguh

suatu prestasi luar biasa yang dicapai para pemimpin PKI muda usia. Oleh karenanya

pihak pimpinan AD tidak menyukai pemilu semacam itu. Sebelum tragedi 1965 PKI

mengklaim memiliki 3 juta anggota dengan 20 juta pengikut dan simpatisan, di

antaranya terhimpun dalam organisasi massa.

PKI menjadi partai komunis terbesar di luar kubu sosialis. Dengan demikian Aidit

menjadi tokoh komunis internasional yang suaranya tidak dapat diabaikan oleh kawan

maupun lawan. Namanya berkibar dalam iklim perang dingin antara blok kapitalis

dengan blok komunis, perang ideologi antara komunis "murni" dan komunis

"revisionis", persaingan dan perkelahian antara blok Partai Komunis Uni Soviet (PKUS)

dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Dalam perselisihan ideologi ini PKI di bawah

pimpinan Aidit cs berusaha bersikap netral secara politik.

Sebagai partai massa PKI memiliki disiplin tinggi, keanggotaannya diatur secara

berjenjang yang dimulai dengan calon anggota sebelum seseorang diterima sebagai

anggota penuh yang didampingi seorang pembina. Hal itu di antaranya didasarkan

pada ideologi seseorang serta pengalaman perjuangan dan kontribusinya terhadap

Partai. Dengan kriteria semacam itulah seseorang dapat menduduki kepengurusan

Partai maupun jabatan dalam pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Untuk hal-

hal penting semacam di atas, butir kredit buat pemimpin kolektif tertinggi PKI,

utamanya pada tokoh Aidit. Pemimpin muda ini sangat dinamis, berani, bergerak

cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya

terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan

akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.

2

Teori Kudeta, Retorika Revolusi

Aidit berada dalam rombongan delegasi Indonesa keluar negeri dalam rangka KAA di

Aljazair yang gagal pada akhir Juni 1965, karena kudeta Kolonel Boumedienne

terhadap Presiden Ben Bella yang baru saja terjadi. Delegasi melanjutkan perjalanan

ke Paris,. di kota ini Aidit bertemu dengan enam orang kameradnya pelarian dari

Aljazair. Ia menganjurkan mereka kembali ke negerinya untuk mendukung Kolonel

Boumedienne. Kudeta itu disebutnya sebagai kudeta progresif. Jika kudeta itu

didukung oleh paling tidak 30% rakyat maka hal itu dapat diubah menjadi revolusi

rakyat. Demikian kata Aidit sebelum bertolak ke Moskow.

Barangkali ia pun mengambil model Revolusi Oktober 1917 yang digerakkan Lenin

dan Trotsky berupa pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan militer. Sekalipun

demikian banyak pihak di kalangan kaum komunis yang tidak setuju dengan teori

baru ini, dikatakan sebagai bertentangan dengan teori marxis. Konon hal ini juga

menjadi perdebatan di Moskow. Perkembangan politik di tanahair yang relatif damai

ketika itu dengan arus pokok berpihak kepada PKI.

Dalam bulan Agustus 1965, koran PKI Harian Rakjat memuat pernyataan Aidit berupa

isyarat yang mengatakan biarlah mangkok, piring, gelas berpecahan untuk

kepentingan revolusi. Pada 9 September 1965, di depan sukwati Deppen Aidit

menyatakan kaum revolusioner bagaikan bidan dari masyarakat baru yang hendak

dilahirkan, sang bayi pasti lahir dan tugas mereka untuk menjaga keselamatannya

dan agar sang bayi cepat menjadi besar. Hal ini disambut dengan pernyataan

petinggi PKI yang lain, Anwar Sanusi, tanahair sedang hamil tua. Sementara itu

serangkaian sidang Politbiro dan Politbiro yang diperluas selama bulan Agustus dan

September 1965 membicarakan tentang sakitnya Presiden Sukarno dan rencana

pukulan dari pihak Dewan Djenderal (DD) ketika BK tak lagi dapat menjaga

keseimbangan politik. Selanjutnya dilaporkan oleh Aidit adanya sejumlah perwira

maju yang hendak mendahului guna mencegah kudeta DD.

Sangat menarik pesan Aidit kepada kedua adiknya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit

yang bertemu di Beijing dalam bulan Agustus 1965. "...Dan juga ingat, sementara ini,

mungkin bertahun-tahun ini, jangan dulu memikirkan pulang! ...tanahair dalam

keadaan gawat dan semakin akan gawat...". "...kita ini dalam keadaan ancaman... dari

pihak tentara... Angkatan Darat." Sedang kepada Asahan setelah mengetahui adiknya

baru akan pulang setahun lagi, ia menyatakan sayang karena ia takkan dapat ikut

revolusi. "Revolusi tidak akan menunggumu." Dalam dua catatan dari dua orang

berdasarkan ingatan setelah sekian puluh tahun berlalu itu secara implisit

mengandung persamaan penting yakni disebut akan terjadinya sesuatu yang gawat,

malah yang ke dua disebut sebagai revolusi.

Sementara itu selama bulan September 1965 terjadi juga serangkaian pertemuan

sejumlah perwira militer (Letkol Inf Untung, Kolonel Inf Latief, Mayor Udara Suyono,

Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi) yang juga dihadiri oleh Ketua Biro Chusus

(BC) PKI Syam beserta pembantunya Pono. Gerakan ini berlanjut dengan penculikan

dan pembunuhan 6 orang jenderal AD dan seorang perwira pertama pada dini hari 1

Oktober 1965 oleh gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September

sesuai dengan apa yang diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi harinya.

3

Diculik atau Dijemput untuk Memimpin Gerakan?

Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit, pada 30 September 1965 malam hari DN

Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit yang juga sedang berada di rumah yang

sama tidak memberikan gambaran kecuali "dibawa dengan mobil oleh orang yang

tidak kukenal" bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun,

Ilham Aidit, agaknya lebih jernih, "Ibunya membentak dua orang berseragam militer

warna biru di depan rumah" (Tempo 7 Okt.2007:76). Salah seorang yang

menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan

membawa DN Aidit ke lingkungan PAU Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh

Ketua BC PKI Syam.

Apakah Aidit diculik bersama pengawalnya? Itu mokal, tidak ada adegan kekerasan

di rumahnya di Jl. Pegangsaan, ia pun kemudian "bebas" pergi ke Yogya bersama

pegnawalnya dengan pesawat pada tengah malam 2 Oktober 1965. Apa itu sesuai

dengan kehendak dan rencana dirinya? Ini sulit dijawab karena terbukti segala

rencana dilakukan oleh Ketua BC Syam, ia toh pembantu Ketua PKI Aidit. Apakah dia

tidak mengetahui rencana G30S? Mokal jika dia tidak tahu, bisa saja pengetahuan

dirinya kemudian dimanipulasi oleh Syam. Apalagi jika kita hubungkan dengan teori

Aidit tentang kudeta tersebut di atas, lalu retorika sejumlah petinggi PKI selama bulan

Agustus dan September 1965 serta topik sejumlah sidang Politbiro serta pesannya

kepada kedua adiknya di Beijing. Apakah dia memimpin G30S? Ini tidak ada

buktinya, sebab yang terbukti gerakan ini di lapangan dipimpin oleh Letkol Untung

(yang mungkin sekali sekedar wayang), di baliknya lagi-lagi Ketua BC Syam. Apa

Syam pun bukan sekedar wayang? Dari mana Syam menerima segala instruksi? Lagi-

lagi ini sulit dijawab. Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Salah satu saksi

kunci, DN Aidit telah dilenyapkan dengan buru-buru atas instruksi Jenderal Suharto,

tentu dengan suatu alasan kuat. Ada kepentingan apa Jenderal Suharto menghendaki

Aidit cepat-cepat dibungkam? Adakah informasi yang dapat mencelakakan diri

Suharto jika Aidit diberi kesempatan bicara di depan pengadilan, pengadilan

sandiwara sekalipun? Saksi kunci yang lain, Jenderal Suharto, telah melenyapkan

banyak hal dan memanipulasi segala sesuatu. Apa yang bisa diharap dari

kesaksiannya? Apa dia masih punya hati nurani untuk bicara yang sebenarnya terjadi

ketika belum "pikun"? Sementara sejumlah pelaku seperti Letkol Untung, Brigjen

Suparjo, Mayor Udara Suyono dieksekusi mati dengan segera maka Syam yang

ditangkap pada 1967, dijatuhi hukuman mati pada 1968, menurut catatan resmi baru

dieksekusi pada 1986.

Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Syam menyatakan seluruh

perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit termasuk pengumuman

dan dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut pengakuannya disusun oleh

Aidit. Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh dibilang tidak dapat diperiksa dan

dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang

terdiri dari pengumuman Letkol Untung, Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan

No.2, rendah mutu politiknya. Dalam pengumuman pertama bernada emosional. Sulit

dipercaya dokumen semacam itu disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin

politik yang telah malang melintang secara nasional dan internasional, pemimpin

komunis kaliber dunia. Dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang

mati-matian diperjuangkan oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan

persekutuannya dengan Presiden Sukarno, kekuasaan negara diambilalih oleh Dewan

Revolusi, kabinet Presiden Sukarno didemisionerkan.

4

Apa mungkin Aidit mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada saat BK masih

segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen tersebut menyerimpung politik PKI

ketika itu.

Pembelaan Sudisman dan KOK

Tidak ada pihak di lingkungan PKI [setidaknya yang pernah saya ketahui], di dalam

maupun di luar negeri yang meragukan kesahihan dokumen Kritik Otokritik (KOK)

Politbiro CC PKI, terlepas di mana dan siapa saja penyusunnya. Sesuai dengan

namanya, dokumen ini disusun oleh Politbiro CC PKI dengan sejumlah anggota yang

pada akhir 1965 masih hidup sebagai buron rezim militer. Dewasa ini masih ada saksi

hidup dalam hal proses penyusunan dokumen ini. Selanjutnya ada dokumen lain

berupa pembelaan yang dibacakan Sudisman di depan Mahmillub pada 21 Juli 1967

yang diberi judul "Uraian Tanggungjawab." Dari tangan Sudisman masih ada satu

dokumen lagi berupa pernyataan politik (yang belum selesai ditulis) sebelum ia

dieksekusi mati beberapa bulan sesudah Oktober 1968. Sejauh ini juga belum ada

pihak yang meragukan kesahihan dokumen yang disusun oleh orang nomor satu PKI

ini setelah dibunuhnya DN Aidit, Nyoto dan MH Lukman [sekali lagi setidaknya yang

pernah saya dengar].

Dalam pembelaannya Sudisman dengan tegas mengakui "Saya pribadi terlibat dalam

G30S yang gagal." Adakah ini berarti Sudisman atau Aidit terlibat langsung pada

operasional gerakan militer G30S, setidaknya memberikan arahan politik? Tidak ada

bukti yang mendukungnya. Di bagian lain Sudisman juga dengan tegas menyatakan

"tokoh-tokoh PKI, [maksudnya pemimpin teras PKI, hs].... terlibat dalam G30S, tetapi

PKI sebagai Partai tidak terlibat...." Mari kita cermati, Sudisman memisahkan antara

pimpinan teras PKI dengan partai bernama PKI, artinya memisahkan pimpinan itu

dengan jutaan anggota dan puluhan juta massa PKI.

Bukankah di sini antara lain letak keblingernya pimpinan PKI, sejak kapan pimpinan

PKI harus dipisahkan dengan Partai-nya, anggota dan massanya, melangkah sendiri

tanpa keterlibatan anggota dan massa pendukung? Ataukah kata-kata Sudisman ini

sekedar upaya terakhir untuk menyelamatkan Partai yang dia ketahui telah

berantakan? Instruksi yang dibawa para utusan dari Jakarta atas petunjuk Aidit,

"dengarkan pengumumam RRI pusat dan sokong Dewan Revolusi [DR]." Dan itulah

yang dilakukan sejumlah massa kiri di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 melakukan

demonstrasi yang kepancal kereta, ketika gerakan di Jakarta telah berhenti sehari

sebelumnya dan situasi sudah berada dalam genggaman Jenderal Suharto. Instruksi

untuk mendukung DR tidak dijalankan di tempat lain.

Sudisman juga menyatakan, "Dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan di samping

keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu yang tepat

dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi oleh G30S sehingga

menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah sama sekali dari

kebangkitan massa." Dapatkah dikatakan menurut Sudisman secara implisit,

setidaknya secara politik, G30S dipimpin oleh para petinggi PKI yang terpisah dari

massa anggota dan pendukungnya? Selanjutnya Sudisman menghubungkan hal

tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan

organisasi sebagaimana dibahas dalam KOK. Ada keterangan menarik, ketika Aidit

baru saja sampai dari Jakarta, ia mengatakan, "Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto."

Demikian yang diceritakan oleh seseorang yang pernah bekerja di kantor CC PKI.

Sayang keterangan ini tidak dapat dirujuk silang dengan narasumber lain yang

memadai.

5

Ketika PKI dan seluruh organisasi massa pendukungnya diobrak-abrik oleh pasukan

militer Jenderal Suharto dengan dukungan massa kanan, maka ada instruksi dari

pimpinan PKI yang tersohor di kalangan anggota bawah, yakni apa yang disebut

"defensif aktif.' Suatu istilah yang tidak dikenal dalam yargon mereka, instruksi kabur

yang membingungkan tanpa keterangan jelas. Umumnya mereka menafsirkan

sebagai "selamatkan diri, jangan melakukan perlawanan apa pun." Karena tidak ada

lagi tempat untuk menyelamatkan diri dan berlindung maka berbondong-bondonglah

orang menyerahkan diri kepada musuh, sebagian dengan ilusi akan mendapatkan

perlindungan. Kenyataan tiadanya perlawanan sebagai yang digembar-gemborkan

pimpinan PKI semasa damai ini cukup mengejutkan pihak pasukan Suharto dan para

aktivis kanan. Maka tidak aneh jika sejarawan Jacques Leclerc kemudian menyebut

PKI sebagai raksasa berkaki lempung. Tetapi hampir dapat dipastikan Leclerc akan

menulis yang lain jika ia lakukan sebelum tragedi, terlebih apabila ia menghadiri

parade 45 tahun PKI pada 23 Mei 1965.

Bagaimanapun PKI sebuah partai politik, tidak memiliki barisan bersenjata. Di pihak

lain pimpinan PKI mengklaim memiliki pengaruh besar di kalangan angkatan

bersenjata. Dalam kenyataannya pengaruh ini tidak punya peran dalam memperkecil

korban. Sejumlah batalion yang disebut "merah" yang ditarik dari Kalimantan dalam

rangka konfrontasi, kemudian dilucuti dan dijebloskan ke penjara. Pembersihan di

kalangan angkatan bersenjata dilakukan bertahap dan sangat sistimatis.

Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai

akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap BK akan segera memberikan perintah untuk

menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum mereka lebih

merajalela dan menjerumuskan negeri ini. Itulah yang juga ditunggu pimpinan PKI

untuk waktu tertentu, setidaknya suatu penyelesaian politik yang tidak kunjung tiba,

sampai PKI hancurluluh. Sebagaimana diuraikan dalam KOK, pimpinan PKI tidak

bertindak independen, tetapi menggantungkan diri pada Presiden Sukarno.

Diukur dari ajaran BK maka apa yang telah dilakukan Jenderal Suharto sepenuhnya

keblinger, kita tak dapat berharap yang lain dari dirinya. Para pemimpin lain yang

memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan terhadap kegiatan berdarah

Jenderal Suharto serta menghentikannya juga telah keblinger karena praktis

membiarkan Suharto bersimaharajalela.

Serial G30S (14 Serial G30S (14 Serial G30S (14 Serial G30S (14 ---- 17 )17 )17 )17 )

PRESIDEN SUKARNO, G30S, PKI Oleh : Harsutejo

"Teori" Presiden Sukarno Sebagai Dalang G30S

Bung Karno (BK) yang sejak remaja berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia,

pada puncak kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia, tiba-tiba dituduh

dan diperlakukan sebagai orang yang hendak melakukan perebutan kekuasaan alias

kudeta, bahkan sebagai pemberontak. Betapa absurdnya! Prof Dr Brigjen Nugroho

Notosusanto menulis, "Pada 1 Oktober 1965 beberapa kelompok pemberontak

berkumpul di Pangkalan Udara Halim. Kelompok Cenko menempati gedung Penas,

Presiden beserta pengikut-pengikutnya menempati rumah Komodor Udara Susanto,

dan kelompok ketiga (yang lebih kecil jumlahnya), yang terdiri dari Ketua PKI Aidit

beserta pembantunya, menempati rumah Sersan Dua Udara Suwardi". Seperti kita

ketahui keberadaan BK di Halim pada 1 Oktober 1965 berdasarkan prosedur baku

penyelamatan Presiden, karena di Halim selalu siap pesawat yang dapat

membawanya ke mana pun pada saat keadaan memerlukan.

Presiden Sukarno dituduh melakukan pemberontakan dan kudeta.

Kudeta itu dilakukan terhadap pemerintahan Presiden Sukarno, untuk menjatuhkan

dirinya dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Betapa kacau balaunya jalan pikiran

Pak Profesor yang ahli filsafat sejarah ini, tidak masuk akal dan tidak tahu malu. Tak

aneh jika Pak Profesor ini pula yang berusaha menghapuskan gambar BK dalam foto

bersejarah detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, Jakarta,

seolah BK tak pernah hadir di sana. Doktor sejarah ini telah memperlakukan ilmu

sejarah dan sejarah sebagai milik pribadinya ketika ia ikut kemaruk kekuasaan yang

sedang berkibar, seperti lupa bahwa masih ada pakar sejarah lain di samping dirinya

serta pelajar sejarah di kemudian hari maupun kaum awam yang cukup cerdas

membaca sejarah.

Apa yang dituduhkan oleh sejarawan Orde Baru tersebut dioper dalam analisis

terhadap G30S yang dilakukan oleh Jenderal Nasution (dengan "bijak" Jenderal

Suharto tidak ikut menuduhnya secara terbuka) dalam bukunya Memenuhi Panggilan

Tugas, Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, 1988. Nasution menggunakan dua hal,

pertama pidato BK di Senayan pada malam hari 30 September 1965 yang mengambil

dunia pewayangan antara lain BK mengutip nasehat tokoh Kresna kepada ksataria

Arjuna bahwa tugas itu tidak menghitung-hitung korban [ia menghubungknnya

dengan G30S yang sedang dipersiapkan]. Lalu disebutkan bahwa BK bergembira ria

malam itu dengan menyanyi-nyanyi dan menari [maksudnya menyongsong

kemenangan G30S].

Selanjutnya ia juga menggunakan kesaksian Kolonel KKO Bambang Wijanarko, salah

seorang pengawal Presiden Sukarno dalam interogasi yang dilakukan oleh Kopkamtib

tentang penerimaan surat oleh BK di Senayan malam itu dari Letkol Untung [yang

notabene sedang mempersiapkan pasukan G30S untuk menculik para jenderal].

Analisis tersebut menjadi dongeng semacam kisah detektif yang dirangkai murahan.

Seluruh rakyat Indonesia, bahkan seluruh dunia, mengenal BK sebagai orator yang

selalu berpidato berapi-api sejak muda dengan mengutip kata-kata bijak banyak

tokoh dunia, juga kisah pewayangan yang sangat disukainya.

2

Beliau pun menyukai bernyanyi dan menari bergembira ria dalam banyak

kesempatan. Jadi kisah Jenderal Nasution tentang hal itu mengenai BK sama sekali

bukan hal baru. Kisah itu sekedar menggiring pembacanya yang dapat dibodohi dan

ditipu untuk mendapatkan persepsi bahwa BK terlibat G30S, bahkan dalangnya.

Apa yang dikemukakan Jenderal Nasution di atas kemudian dikemas secara lebih

"ilmiah" dan dijadikan "teori" oleh Antonie Dake dalam bukunya In the Spirit of Red

Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking, 2002. Lalu diperbarui

dalam bukunya Sukarno File - Berkas-Berkas Sukarno1965-1967, Kronologi Suatu

Keruntuhan, 2005. Bahwa inisiatif G30S untuk mengambil tindakan terhadap sejumlah

jenderal datang dari Presiden Sukarno, selanjutnya Aidit cs menggunakan

kesempatan untuk membonceng. Boleh dibilang "teori" Dake ini semata-mata

didukung oleh bahan interogasi terhadap Bambang Wijanarko. Tanpa mengupas

bagaimana suatu kesaksian dapat dikorek dan disusun oleh penguasa militer yang

memperlakukan mereka bagai nyamuk yang dapat dijentiknya setiap saat tanpa

perlindungan. Mereka yang berpengalaman dengan interogasi model rezim ini

mengetahui benar kesaksian macam apa yang mungkin diberikan oleh Wijanarko

yang dikutip Dake dan dijadikan pilar teorinya. Dake menambahkan kenyataan ketika

1972 ia datang ke Indonesia, ia mendapati pemerintah Suharto memandang Sukarno

tidak tersangkut dalam peristiwa G30S. Dengan begitu kemungkinan kesaksian

Wijanarko direkayasa untuk merugikan Sukarno terbantah meski masih terbuka

kemungkinannya. Agaknya Dake kurang dapat menangkap roh rezim Orba.

Setiap pelajar politik mengetahui, pada saat diperlukan jika para pembantu Suharto

bicara tentang Sukarno, mereka pun hendak merangkul dengan cara "menghibur"

jutaan rakyat yang masih tetap mencintai BK dengan ungkapan Jawa yang digemari

Suharto, mikul dhuwur mendhem jero. Kesaksian Bambang Wijanarko tersebut

dibantah keras oleh Kolonel Pomad Maulwi Saelan, Wadan Cakrabirawa yang malam

itu, 30 September 1965 di Senayan, tidak pernah beranjak dari dekat BK sampai

kembali ke istana, tak ada gerak gerik BK yang lepas dari pengamatan Saelan. Ia

menganggap hal itu sebagai aneh dan direkayasa. Keterangan yang direkayasa ini

mendapat imbalan, Bambang Wijanarko tidak ditahan dan Saelan yang di depan

pemeriksa membantah keras keterangan Bambang Wijanarko ditahan selama lebih

dari 4 tahun. "Teori" di atas selanjutnya dikembangkan oleh Victor M Fic dengan

memasukkan unsur romantik ke dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi

Tentang Konspirasi yang melibatkan buah diskusi antara Aidit dengan Mao Dzedong

yang juga mirip dengan kisah detektif, yang pernah menghebohkan Jakarta pada

2005 yang lalu.

Yang Keblinger

Menurut analisis Presiden Sukarno tentang G30S yang sebelumnya juga disebut

dengan Gestok, sebagai yang tercantum dalam pidato pelengkap Nawaksara,

"ditimbulkan oleh 'pertemuannya' tiga sebab, yaitu: a) keblingernya pimpinan PKI, b)

kelihaian subversi Nekolim, c) memang adanya oknum-oknum yang 'tidak benar'".

Menurut sementara orang apa yang dikatakan BK ini sangat merugikan PKI karena

melegitimasi tuduhan Jenderal Suharto dan pendukungnya terhadap PKI sebagai

dalang G30S, dengan demikian memberikan andilnya yang penting dalam

penghancuran PKI termasuk pembantaian massal.

3

Benarkah begitu?

Kesimpulan ini jauh dari kenyataan yang terjadi. Pidato tersebut disampaikan BK pada

10 Januari 1967 di Istana Merdeka dan tercantum dalam surat pelengkap pidato

Nawaksara kepada pimpinan MPRS pada tanggal yang sama. Ketika itu PKI sudah

dihancurlumatkan oleh Jenderal Suharto pada 1965-1966, jutaan orang telah dibantai,

ratusan ribu ada dalam penjara dan kamp tahanan di seluruh Indonesia. Sedang yang

masih selamat di luar lari lintang-pukang mencari selamat atau menjadi buron sambil

mencari makan dan tanpa perlindungan dari pihak mana pun kecuali dari

perorangan. Setiap saat mereka yang di luar maupun di tahanan terancam kawan

mereka sendiri yang menjadi cecunguk Orba termasuk sejumlah pimpinan teras.

Penghancuran PKI dan pembunuhan massal itu sudah dalam perencanaan dan

dipersiapkan jauh sebelumnya jika kita cermati dokumen rahasia CIA dan kejadian di

berbagai tempat pada permulaan Oktober 1965 seperti di Sumatra Utara, Banten dan

sejumlah tempat di Jawa Tengah dan Timur.

Seperti kita ketahui gerakan militer G30S di Jakarta hanya berlangsung kurang dari 24

jam setelah dihadapi oleh pasukan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie.

Pada 1 Oktober 1965 Presiden Sukarno memerintahkan semua pihak menghentikan

gerakan, pimpinan militer untuk sementara dipegangnya. Hal ini tidak dihiraukan

oleh Jenderal Suharto, karena dia memang bagian dari mereka yang kemudian

disebut BK sebagai 'oknum tidak benar' yang lebih keblinger lagi.

Ia melakukan tindakan militer lebih jauh lagi dengan pembantaian. Sebagian besar

pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai akhir 1965 dan

permulaan 1966 berharap sang penyambung lidah rakyat akan segera memberikan

perintah untuk menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum

sang pembangkang lebih bersimaharajalela dan menjerumuskan negeri ini. Sukarno

tidaklah sebodoh dongengan Jenderal Nasution bahwa beliau melakukan kasak-kusuk

dan avonturisme kekanak-kanakan yang tidak bermutu. Sukarno seorang negarawan

yang terus-menerus mendambakan dan memperjuangkan persatuan rakyat

Indonesia. Negarawan besar itu pada saat-saat terakhir telah mempertaruhkan

kekuasaan dan pribadinya untuk mempertahankan persatuan yang sedang dipoteng-

poteng oleh rezim militer Jenderal Suharto.

Jenderal Suharto justru menggunakan 'celah' pihak BK guna melakukan langkah

selanjutnya untuk menjinakkan BK serta meringkusnya. BK selalu mendambakan

persatuan dan anti kekerasan, dan terus-menerus menjaganya sampai detik terakhir

kekuasaannya, justru memberi peluang kepada Jenderal Suharto untuk melakukan

kekerasan berdarah besar-besaran dan secara sistimatis membasmi sekelompok

rakyat Indonesia yang setia mendukung BK, praktis tanpa perlawanan berarti

bagaikan menyerahkan leher mereka masing-masing untuk digorok. Sampai detik

terakhir BK menolak usulan para pengikutnya terutama dari kalangan Angkatan

Bersenjata untuk melakukan perlawanan terhadap langkah-langkah kekerasan

berdarah Jenderal Suharto. Taktik yang digunakan Jenderal Suharto dalam

pembantaian PKI dan gerakan kiri sebagai kekuatan politik yang tangguh, kemudian

diikuti sasaran berikutnya: Presiden Sukarno, dipuji oleh AS dalam catatan rahasia

dokumen CIA untuk Presiden Johnson setelah suatu pertemuan dengan Dubes Green

tertanggal 23 Februari 1966 sebagai brilian.

4

Setelah Jatuhnya Presiden Sukarno

Setelah dijatuhkannya BK maka sejarah Indonesia menyimpang dari garis-garis yang

telah diletakkan dan diperjuangakan olehnya sejak muda, Indonesia telah

terjungkirbalik menjadi negara penuh penindasan, menjadi negeri tergantung hampir

dalam segalanya. Budaya korupsi telah benar-benar mencengkeram seluruh aspek

kehidupan bangsa dengan mengkhianati ajaran Trisakti, bebas dalam politik, berdiri

atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Pancasila yang dikumandangkan oleh penggalinya sebagai alat pemersatu seluruh

potensi bangsa telah dijadikan alat pecahbelah oleh rezim militer Orba, alat

manipulasi dalam berbagai bidang. Jadilah Pancasila azas tunggal dengan tafsir

tunggal rezim militer Jenderal Suharto menurut kepentingan sang rezim, dengan

demikian Pancasila justru dijadikan alat pecahbelah dan diskriminasi terhadap

bangsa sendiri disertai budaya kekerasan yang melekat sampai saat ini.

Sang pakar sejarah Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto bahkan bersikeras

menyatakan penggali Pancasila bukanlah BK, Pancasila tidak lahir pada 1 Juni 1945

dengan pidato BK yang tersohor yang kemudian diberi judul "Lahirnya Pancasila".

Setiap orang yang belajar sejarah dan membaca tulisan-tulisan BK sejak muda, sejak

1926, akan tahu Pancasila yang kemudian dirumuskan dalam pidato 1 Juni 1945 itu

suatu perkembangan wajar dari seluruh gagasan BK tentang dasar-dasar negara

Indonesia Merdeka. Pancasila bukanlah suatu gagasan baru yang tiba-tiba lahir, tetapi

sesuatu yang telah lama menjadi berbagai wacana tulisan dan gagasan BK selama

puluhan tahun dalam berbagai tulisan dan perdebatan yang kemudian disampaikan

secara lebih lengkap dalam pidato 1 Juni tersebut di atas. Selanjutnya intisari pidato

Pancasila itu dirumuskan kembali secara bersama menjadi Pembukaan UUD 1945.

Serial G30S ( 13 - 17 )

PEMBANTAIAN MASSAL SEBAGAI PEMBUNUHAN TERENCANA

Oleh : Harsutejo

Prof Teuku Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang

cukup mencengangkan. Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan

menunjukkan kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut

kuku, menjepit ibu jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan

panas, menjepit daging dengan jepitan membara, memotong urat, membuang,

memperbudak, memenggal kepala, menggantung, melempar dari tempat tinggi,

mencekik, membenamkan, mengubur hidup-hidup, mencincang, sampai membunuh

atau memperkosa anggota keluarganya di depan mata, menjemur, tidak memberi

makan, menyeret dengan kuda, membakar dalam unggun api, dan sebagainya...

sebagian besar dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.

Begitu sulit dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim

militer Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang

begitu tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi

khasanah penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka:

memasukkan tahanan politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang

amat dalam, memasukkan ke dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya,

meneggelamkan hidup-hidup tahanan dengan beban besi atau batu, menyiram gua

dan ruba tempat persembunyian dengan bensin dan membakarnya serta

melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki perempuan ketika mereka

dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam vagina, dan tindakan

keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal dan sulit dipercaya oleh

masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha keras untuk menghapusnya

dari memori orang banyak dengan segala macam cara termasuk memalsu sejarah dan

menggantinya dengan memori rekayasa, Pancasila sakti.

Perburuan dan pembantaian orang-orang PKI dan yang disangka PKI serta seluruh

gerakan kiri sering dimulai dengan apa yang disebut sebagai "penemuan" dokumen-

dokumen di kantor atau tokoh PKI atau organisasi yang lain tentang daftar hitam

tokoh-tokoh lawan PKI yang hendak dibunuh. Di samping itu juga adanya dokumen

yang berisi rencana-rencana gelap dan jahat yang lain. Setelah 1 Oktober 1965 dan

sepanjang tahun 1966, koran dan penerbitan di Indonesia penuh dengan berita segala

macam kekejian dan kekotoran PKI beserta ormasnya sampai dengan yang paling

ganjil dan tidak masuk akal, telah menimbulkan histeria nasional dan histeria bangsa

sebagai landasan subur untuk melakukan pembasmian terhadap mereka. Tidak

selembar pun dokumen semacam itu pernah diajukan di suatu pengadilan.

Dalam telegram No. 868 kepada Kemlu AS pada tanggal 5 Oktober 1965, sore hari

setelah menghadiri pemakaman para jenderal di Kalibata, Dubes AS Marshall Green

memaparkan tentang petunjuk dasar dalam membantu rezim militer di Indonesia agar

benar-benar dijaga kerahasiaannya. Pentingnya disebarkan dongeng kesalahan dan

pengkhianatan PKI serta kebiadabannya, sesuatu yang bersifat amat mendesak.

Kedubes Inggris di Jakarta menghubungi kantor besar dinas rahasia mereka di

Singapura tentang langkah-langkah yang perlu segera diambil menghadapi

perkembangan situasi di Indonesia. Perang urat syaraf alias perang penyesatan

terhadap lawan untuk merongrong dan melemahkan PKI. Tema propaganda berupa

kisah kebiadaban PKI dalam pembunuhan para jenderal dan puteri Jenderal Nasution,

bahwa PKI agen asing.

2

Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan halus, seolah sama sekali tidak melibatkan

Inggris, bahan semacam itu sebaiknya dikirim dari Pakistan atau Filipina sebagai

tercantum dalam telegram rahasia kedubes Inggris No.1835 6 Oktober 1965.

Sebagai spesialis propaganda Norman Reddaway dipilih oleh Dubes Inggris

Gilchrist sebagai orang terbaik untuk pekerjaan kotor itu. Selanjutnya sang spesialis

antara lain memanfaatkan jalur koresponden BBC Asia Tenggara, Roland Challis. Ia

meminta sang koresponden melakukan apa saja untuk merusak dan menghancurkan

Sukarno, di samping PKI serta mendukung Jenderal Suharto dengan menyiapkan

dokumen-dokumen untuk dimanfaatkan olehnya. Karena sang koresponden tak bisa

masuk ke Indonesia sampai pertengahan 1966, maka ia menggunakan sumber-

sumber MI6 yang agen-agennya mondar mandir keluar masuk Indonesia. Dalam

berita-berita yang ditulisnya tak satu pun menyinggung adanya pembantaian ribuan

orang di Indonesia, yang ada perang saudara dan gerombolan komunis bersenjata.

Berita itulah yang muncul dalam koran-koran Inggris The Times, Daily Telegraph, Observer, dan Daily Mail.

Robert J Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes

Amerika di Jakarta telah berhasil menyusun daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang

kader PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan

rincian jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan bantuan

para pegawai CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky, Deputi

Kepala CIA di Jakarta. Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira intelijen

Kostrad Ali Murtopo, secara berkala yang bersangkutan melaporkan siapa-siapa dari

daftar itu telah ditangkap dan siapa-siapa telah dibunuh. Kostrad menjadi pusat

pemantauan terhadap laporan pihak militer dari seluruh penjuru tentang

penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum komunis dan golongan kiri lain.

Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco Exeminer, 20 Mei 1990.

Penghancuran terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi

secara fisik para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang

terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution serta

para pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan.

Pertama-tama perlu diingatkan bahwa segala macam aksi terhadap gerakan kiri dan

pendukung BK yang lain yang antara lain dimotori oleh KAP (Komite Aksi

Pengganyangan) Gestapu, mendapatkan dana dari kekuatan asing yang selalu

disebut oleh BK dengan Nekolim. Resminya badan ini didirikan oleh tokoh NU

Subchan ZE bersama Harry Tjan, tapi di baliknya beberapa perwira Kostrad dengan

Brigjen Sucipto sebagai pemrakarsa. Pemerintah Amerika dengan CIA nya

mendukung dana sebesar Rp50 juta [ketika itu setara dengan US1,2 juta] yang

diberikan lewat tangan Adam Malik sebagaimana yang dimintanya. Meskipun jumlah

bantuan itu menurut CIA relatif kecil, tetapi cukup berarti untuk kegiatan badan ini. Di

pihak lain bantuan ini akan dapat meningkatkan pamor Adam Malik (CIA 2001:379-

380), ini berarti pamor sang kancil telah dibeli dengan dollar.

Pada 17 Oktober 1965, pasukan elite RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhi, lulusan

sekolah staf AD Australia, berada di basis PKI segi tiga Boyolali-Klaten-Sala dengan

tugas dengan cara apa pun juga untuk menghancurkan basis itu. Ketika disadari

bahwa jumlah pasukan tidak mencukupi untuk tugas, maka "Kami memutuskan untuk

menggalang barisan anti komunis untuk membantu tugas tersebut. Di Solo kami

mengumpulkan para pemuda kelompok nasionalis dan Islam.

3

Kami memberikan latihan selama dua tiga hari, kemudian mengirimkan mereka untuk

membantai kaum komunis", demikian kata Sarwo Edhi. Hal ini berlanjut pada akhir

Oktober dan permulaan November 1965 di Jawa Timur dan pada Desember 1965 dan

permulaan 1966 di Bali.

Dalam penyelidikannya tentang pembantaian di Jawa Timur, terutama di daerah

Kediri, sejarawan Hermawan Sulistyo menemukan bahwa para perwira tertinggi [AD]

setempat (Korem, Kodim), perwira intelijen, dalam derajat tertentu memulai

pembantaian. Kemudian juga pimpinan partai politik dan tokoh setempat termasuk

beberapa ulama berpengaruh. Lapis selanjutnya adalah organisasi seperti Ansor

dengan Banser-nya. Dalam beberapa kasus, si pembunuh menjilati darah korban,

meskipun hal itu dilarang oleh para kiai, tetapi jalan terus. Dan dengan rasa kesetanan

mereka membantai korban-korban berikutnya. Algojo kadang memotong alat

kelamin korban, kuping, jari, untuk menyebarkan teror.

Di Sumatra Utara, pembunuhan-pembunuhan telah dimulai sejak 1 Oktober 1965.

Brigjen Kemal Idris yang sedang bertugas di daerah itu mengambil inisiatif

membersihkan wilayahnya dari orang-orang komunis dalam radius 5 km dari

pengkalan mereka di Tebing Tinggi. Ketika perintah datang dari Jakarta, ia telah

membunuh 20% buruh perkebunan karet di Medan area.

Dalam banyak kasus para kader dan aktivis komunis dibunuh beserta seluruh

keluarganya, agar di belakang hari tidak akan timbul pembalasan dendam atau

retaliasi (Cribb 2000:13). Pendeknya pembunuhan menumpas sampai cindil abange,

sampai bayi yang baru lahir. Ini rupanya versi pelaksanaan perintah Jenderal Suharto

dan seruan Jenderal Nasution 'menumpas sampai ke akar-akarnya'.

Di banyak tempat terutama di Jawa Timur, setelah dibantai beramai-ramai mayat

mereka ditinggalkan begitu saja berserak di berbagai tempat sampai berhari-hari tak

seorang pun berani mengurusnya. Atau mayat-mayat itu beramai-ramai diseret

dilempar ke sungai. Mendapatkan laporan keadaan itu Presiden Sukarno dalam

pidatonya pada 18 Desember 1965 mengutuk pembunuhan-pembunuhan dan

mengingatkan akan perintah agama tentang soal merawat jenasah.

Di Bali ribuan orang komunis atau yang disebut komunis diburu dan dibantai.

Ribuan anak-anak dan perempuan diusir dari desa mereka, lalu desa itu

diluluhlantakkan dengan api. Dari malam yang satu ke malam yang lain, api menyala

di banyak desa di Bali, menghancurkan pemukiman beserta penghuninya dalam

kuburan massal. Adakah desa-desa yang hancur itu kemudian diresaikel.

Seseorang bercerita bahwa di bawah hotel Oberoi yang mewah itu sampai ke pantai

terkubur 2000 mayat mereka yang dibantai. Mungkin berbeda dengan di Jawa, di Bali

tempat-tempat kuburan massal semacam itu dijadikan sasaran pemerintah Orba untuk

mendirikan proyek-proyek sebagai cara untuk menghilangkan jejak secara

permanen. Konon sejumlah tengkorak manusia sering ditemukan dalam proyek

semacam itu, sesuatu yang biasa bagi orang Bali, dan mereka tahu tengkorak macam

apa itu. Hal ini tidak pernah diberitakan media massa [selama rezim Orba, hs]

Penjagalan TerhadapTapol

Ratusan ribu orang ditahan dalam ratusan rumah tahanan dan penjara serta tahanan

darurat di seluruh Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lain. Kata-kata Jenderal Suharto,

"Siapa yang akan memberi makan mereka?" dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di

banyak tempat. Umumnya pada malam hari puluhan atau ratusan tahanan,

4

tergantung pada kapasitas tahanan atau pun pada besarnya logistik yang dapat

mereka siapkan berupa truk dan tenaga pembantai. Mereka dinaikkan truk-truk untuk

dipindah, tetapi tangan mereka dalam keadaan terikat. Sesampai di suatu tempat

yang telah ditentukan, maka lubang-lubang besar sudah siap untuk menelan mereka

selama-lamanya, setelah para pembantai beraksi serentak baik dengan senjata api

mau pun senjata tajam. Sebuah kuburan massal. Mereka berasal dari penjara-penjara

Kalisosok Surabaya, Lowokwaru Malang, Banyuwangi, Madiun, Kediri, Tulungagung,

Blitar, Sala, Sragen, Yogya, Wonosobo, Semarang, Ambarawa, Nusakambangan dan

dari banyak tempat tahanan lain termasuk Jakarta dan Bandung.

Pulau Kemarau terletak di tengah Sunga Musi. Di situ terdapat bangunan bekas tempat

usaha penimbunan besi tua yang diubah sebagai tempat tahanan. Pada permulaan

Maret 1966 para tahanan mendapat jatah makan sekali sehari sebanyak tiga sendok.

Kemudian makanan ini diganti jagung sebanyak 25 butir tiap kepala. Pada 1 Juni 1966

semua sel dikunci, selama tiga hari tiga malam para tahanan tidak diberi makan

maupun minum. Maka satu per satu mereka menjadi tengkorak dan mayat. Mayat

ditumpuk jadi satu disusun selang seling kepala dan kaki, lalu dibungkus karung dan

diikat. Dengan diganduli besi, karung-karung tersebut dibuang ke Sungai Musi.

Kejadian ini berlangsung hampir sebulan lamanya. Dari seluruh penjuru Jawa Tengah

dan Timur, ribuan tapol diangkut ke penjara-penjara Nusakambangan, mencapai

30.000 orang. Di samping yang mati kelaparan dan penyakit, maka tiap malam

berpuluh tapol dibawa ke Pasir Putih di bagian barat pulau untuk dibantai dan

dikubur secara massal. Selama 1966-1969 jatah makanan begitu buruknya, tiap orang

menunggu kematian.

Yang sangat umum terjadi selama 1965 sampai 1969 adalah sangat buruknya jatah

makanan dan kesehatan di seluruh tahanan dan penjara, di banyak tempat hampir

tanpa layanan medis apa pun. Satu-satunya pengecualian adalah rumah tahanan

Nirbaya, tempat sejumlah menteri ditahan. Tak aneh apabila segala macam penyakit

dari hongerudim, tifus, tbc dsb melanda para tapol. Ribuan orang dibunuh secara

perlahan-lahan dengan cara ini. Selama tahun 1967/68 di penjara Kalisosok Surabaya,

puluhan orang meninggal setiap harinya, sedang di Nusakambangan rata-rata 20

orang tiap harinya. Kembali ribuan orang ditangkap setelah operasi Trisula di Blitar

Selatan. Pendeknya pembunuhan massal telah terjadi di banyak tahanan dan penjara.

Inilah praktek dari perikemanusiaan yang adil dan beradab model Orde Baru

Para tapol yang selama bertahun-tahun dibuat lapar serta menderita busung lapar

serta berbagai penyakit lain itu secara ironis pada setiap tahunnya menjelang puasa

diajari oleh ulama yang didatangkan dari dunia bebas, tentang pentingnya berpuasa,

menahan lapar, menahan nafsu..." Demikian Pramoedya mencatat pengalamannya

Sasaran Pembunuhan

Sasaran pembunuhan yang telah direncanakan di samping tokoh-tokoh PKI dari

puncak sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan

organisasi massanya. Di samping itu terdapat target khusus yang lain berupa kaum

intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru,

seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis.

Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang

setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia.

Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA seperti tersebut di atas

yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Suharto.

5

Pemilihan target ini dilakukan baik dengan pembunuhan secara langsung maupun

ditujukan bagi mereka yang telah mendekam di ratusan kamp tahanan dan penjara.

Dengan demikian rezim militer Orba hendak memastikan bahwa tidak ada peluang

lagi bagi kemungkinan kebangkitan mereka. Sebagaimana tak henti-hentinya

dicanangkan oleh Jenderal Suharto dan Jenderal Nasution yang diikuti oleh media

massa, 'pembasmian kaum komunis dan komunisme sampai ke akar-akarnya'. Dan

yang mereka maksud dan mereka laksanakan pertama-tama adalah pembasmian

fisik. Selanjutnya diikuti oleh penghapusan dan rekayasa memori sosial dengan

penghancuran segala macam dokumentasi, buku, perpustakaan, dan karya budaya

dan intelektual yang lain sebagai bagian dari vandalisme. Karena itu betapa tidak

masuk akalnya jika pembunuhan itu terjadi secara spontan tanpa perencanaan

matang.

Standar Ganda dan Terorisme Negara

Biarlah pembantaian itu berjalan terus, toh yang dibunuh orang komunis!

Begitulah standar ganda perikemanusiaan dan hak asasi manusia yang dianut rezim

Barat yang mereka terapkan sebagai yang telah dianut jurnalisme majalah Time

dalam artikel 'Vengeance in Smile' pada 15 Juli 1966 yang melukiskan pembantaian

massal itu sebagai "Kabar paling bagus bagi Barat selama bertahun-tahun di Asia",

"The West's best news for years in Asia."

Celakanya standar ganda semacam ini pun masih terus hidup di Indonesia sebagai

hasil gelombang fitnah tak berkesudahan termasuk lewat buku pelajaran sejarah dan

upaya cuci otak yang terus-menerus dilakukan rezim Orba selama 32 tahun, dalam

beberapa hal bahkan sampai saat ini, sering tanpa sadar dianut oleh jutaan rakyat

Indonesia termasuk sejumlah kecil intelektualnya. Untuk meletakkan nilai-nilai

perikemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan Pancasila dan ajaran semua

agama, diperlukan daya upaya yang terus menerus tiada kenal lelah dari semua yang

memiliki kesadaran dan kemauan baik dengan memerangi standar ganda tersebut di

atas. Untuk itu diperlukan waktu, barangkali setidaknya setara dengan waktu

bercokolnya rezim militer Orba Suharto atau lebih. Menyebarkan nilai luhur sekaligus

memerangi kejahatan memerlukan waktu dan daya upaya jauh lebih besar daripada

kebalikannya.

Apabila terorisme didefinisikan sebagai ancaman, penistaan dan pembantaian

terhadap penduduk sipil dalam jumlah amat besar dalam waktu pendek, terhadap

mereka yang tidak tahu-menahu urusannya, tidak memiliki kemampuan melawan atau

membela diri sendiri beserta keluarganya serta tanpa peluang menyelamatkan diri,

maka ini merupakan terorisme paling hebat dan mengerikan di jaman modern,

terorisme yang dilakukan oleh negara. (Dipetik dari Harsutejo, "Sejarah Gelap G30S"

- revisi)

Upaya Mengelak Tanggung jawab

Sejumlah petinggi militer, sebagai yang pernah ditulis Jnderal Yasir Hadibroto yang

membanggakan diri sebagai eksekutor DN Aidit, ketika itu (1965-1966) merupakan

keadaan perang. Selanjutnya sejumlah pelaku dan penulis pendukung Orba seperti

Sulastomo, Fadly Zon, Mayjen Samsudin, menggambarkan seolah-olah ketika itu

dalam keadaan "membunuh atau dibunuh". Itu semua bohong dan tidak ada buktinya,

sekedar upaya mengelakkan tanggungjawab, agar pembantaian itu sah adanya. Apa

ada situasi "membunuh atau dibunuh" di kamp tahanan dan penjara sebagai yang

dipropagandakan untuk penyesatan oleh pendukung rezim Orba, agar pembunuhan

massal itu dapat diterima sebagai kewajaran.

6

Meski keadaan politik tegang tetapi situasi relatif aman sebagai yang direkam buku

yang populer disebut Cornell Paper yang disusun berdasarkan berita koran Orba

sampai dengan Desember 1965, karenanya laporan Benedict Anderson dan Ruth

McVey ini dinamainya A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in

Indonesia, 1971. Fakta-fakta yang terhimpun dalam buku ini didukung dan dilengkapi

dengan fakta-fakta berupa sejarah lisan dari berpuluh-puluh narasumber mereka

yang mengalami langsung pada 1965/1966 yang antara lain terekam dalam buku John

Roosa cs (ed), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, , 2004 dan HD Haryo Sasongko,

Korupsi Sejarah dan Kisah Derita Akar Rumput, 2005.

Pembunuhan itu dilakukan dengan senjata bedil oleh pasukan militer, juga dengan

menggunakan golongan anti-komunis yang termakan propaganda hitam dan rakyat

yang dipaksa dan melakukannya baik dengan senjata api maupun senjata tajam,

termasuk dengan bambu runcing.

Apa pun celoteh mereka, termasuk mencoretnya dari buku-buku sejarah yang

diajarkan di sekolah, pembunuhan massal terhadap satu sampai tiga juta rakyat tak

berdosa itu merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang tidak akan dapat

dilupakan dengan Jenderal Besar (Purn) Suharto sebagai pelaku tertingginya.

Serial G30S ( 3 Serial G30S ( 3 Serial G30S ( 3 Serial G30S ( 3 ---- 17)17)17)17)

LUBANG BUAYA

Oleh: Harsutejo

Pada 1 Oktober 1965 telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal

dan seorang perwira pertama AD yang kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di

desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di

bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan

pengawal Presiden.

Pada 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang

Buaya, Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas

yang menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan biadab

sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur luka di

seluruh tubuh para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya

berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda

Rakyat dan Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik

Kodam Jaya. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan film jenazah yang telah

rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan tentang penganiayaan biadab

itu. Hal itu diliput oleh media massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta

koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media

massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober.

Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani

bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya telah dipersiapkan

skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan

propaganda hitam terhadap PKI secara besar-besaran dan serentak. Dilukiskan

terdapat kerjasama erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani serta anggota

ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret,

menendang, memukul, mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan

pisau, menoreh silet ke mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu

dilukiskan sebagai telah kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian

harum bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban,

menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya....

Maaf pembaca, itu semua bukan lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam koran-

koran Orba milik AD yang kemudian dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit

lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa serta buku-

buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri

koran AB, yang diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai

Badai. Anda juga dapat menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang

direstui oleh pihak AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel

yang bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib

ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun-tahun. Dan jangan

lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila

Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai

dihancurkan, tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini berdiri

monumen kebohongan perzinahan politik”, agar kita semua belajar bahwa pernah

terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya dengan

fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap para jenderal yang dibunuh

itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.

Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum

tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan

2

kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan biadab,

mata dan kemaluan korban dalam keadaan utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama

sekali diabaikan dan tak pernah diumumkan.

Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan

selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan

yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan

sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas

terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta

informasi.

Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan

situasi, membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju

ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin

membasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka

telah berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan

imajinasi para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan

rumah seseorang ada lubang, misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau

sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka

serta-merta ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan telah

mempersiapkan “lubang buaya” untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh-

tokoh lawan politik PKI setempat. Dongeng tersebut masih dihidup-hidupkan sampai

saat ini.

Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan “lubang buaya” yang

dipersiapkan PKI dan konco-konconya untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini

bertaburan di banyak berita koran 1965-1966 dan terekam juga dalam sejumlah buku

termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan

fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi dengan apa yang disebut “daftar maut”

meskipun keduanya tak pernah dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di

pengadilan.

Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa

Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam

lubang untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang sejumlah polisi

dan tentara dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya ketika ia

sedang menggali lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang

mempersiapkan lubang untuk mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam

interogasi terjadi percakapan seperti di bawah.

“Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!”

“Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang

hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?] “Lubang boyo iku yo lubange

boyo sing ana boyone PKI!” [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik

pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang memeriksanya tidak tahu apa

sebenarnya lubang buaya itu, mereka tidak tahu bahwa Lubang Buaya itu nama

sebuah desa di Pondokgede, Jakarta.

Dikiranya di situ lubang yang benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot

tetapi kenyataan pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh karena adanya

“bukti telak” terhadap tuduhan tak terbantahkan.

Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam

salah satu bukunya. (Dari berbagai sumber, petikan naskah belum terbit).

Serial G30S ( 2 Serial G30S ( 2 Serial G30S ( 2 Serial G30S ( 2 ---- 17 )17 )17 )17 )

GESTAPU, GESTOK

Oleh : Harsutejo

Gerakan 30 September merupakan nama "resmi" gerakan sesuai dengan apa yang

telah diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk

keperluan praktis media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang

Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar

berkonotasi dengan Gestapo-nya Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya

sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan koran Angkatan Bersenjata, telah banyak

belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas nama ini merupakan pemaksaan

dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan hukum DM), kepentingan

politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara luas melalui

media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku Putih

digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar ganda yang dengan

sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan

Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa "lebih

ilmiah" bahwa G30S ya PKI.

Sementara itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah

Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip

istilah yang digunakan begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara

membebek tidak kritis. Dengan demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu

sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, telah

menulis buku yang "menghebohkan" itu karena secara murahan menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan istilah Gestapu, ketika dia

menggunakan istilah netral 'Gerakan 30 September' selalu diikuti dalam kurung

(GESTAPU).

Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk

gerakan yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada

gerakan Letkol Untung. Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno

adalah gerakan yang dilakukan Letkol Untung menculik sejumlah jenderal dan

kemudian membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam gerakan yang

melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap gerakan Mayjen Suharto

yang dilakukan menghadapi gerakan Untung serta mencegah kepergian Jendral

Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus

mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh

Presiden Sukarno serta membangkang terhadap perintah-perintah Presiden untuk

tidak melakukan gerakan militer.

Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21

Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan,

"..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu

ditembak mati... Tetapi marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah

mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi". Mungkin sekali ini maksudnya

setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili,

maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi

kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana

Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan

para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab (a)

keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c) adanya oknum "yang

tidak benar"

2

Dalam dokumen yang disebut "Dokumen Slipi" yang berisi hasil pemeriksaan

Bung Karno sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan

kesaksian terakhir BK (1968),

"...1 Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang melawan G30S

pada 1 Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak

saat itu gerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya

berpendapat G30S lawannya Gestok...". Jika dokumen ini memang benar adanya, hal

itu sesuai dengan seluruh perkembangan kejadian serta analisis BK tentang G30S

tersebut di atas. Brigjen Suparjo segera menghentikan gerakan G30S sementara

Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya. Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa

Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini,

justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya. Sebenarnyalah peristiwa

G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang

tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih

lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto

dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan

gerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung BK, ujungnya menjatuhkan

Presiden Sukarno. Inilah tragedi sebenarnya dengan pembukaan pembunuhan enam

orang jenderal dan seorang perwira pertama oleh pihak militer sendiri. (Dari

berbagai sumber).

Serial G30S (1Serial G30S (1Serial G30S (1Serial G30S (1---- 17)17)17)17)

G30S

Oleh : Harsutejo

Pada dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian

menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang

jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah

pengawalnya. Lolosnya jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang

kemudian tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan

kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen

Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad),

Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV

Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).

Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya

terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta

menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada

jam 07.00 menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung.

Maka Yoga pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar

gudang. Ini PKI berontak”. Jangan-jangan Kolonel Yoga, Kostrad, dan - siapa lagi

kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya drama tragedi

yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat

mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai

skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak

penutup.

Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen

Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan

30 September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan

Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang

sah pada 5 Oktober 1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai

dengan ajaran resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan

menangkap mereka guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka

dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya, Jakarta.

Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut

pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini

telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan

intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman

sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena

perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan

Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu

atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan

pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut

emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu

yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto,

maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji

kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan

segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke

keranjang sampah bernama DN Aidit.

Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua

(double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari

pengakuannya yang terus-menerus merugikan PKI dan Aidit.

2

Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC PKI, pada saat itu menjadi agen

yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam ada bayang-bayang

buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya Jenderal Suharto.

Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek keterangannya di

depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan

menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto

sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit.

Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak

dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub

menyebutnya perintah itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya?

Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang

diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak,

Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika

Jenderal Yani tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang menggantikannya.

Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal

Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto

menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan

memanjat lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum

diketahui jelas.

Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah

diketahui beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian

berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi

salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak

mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa

dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa

mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih

dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh tersebut memiliki

riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan korupsi

sebagai Pangdam Diponegoro.

Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke

Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung

pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang

diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui

dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya,

di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali

Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat

membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu.

Mungkin saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion

tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke

markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan

Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat

keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan

dengan mengorbankan 6 jenderal.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti

tidak, lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian

menyesalkan, kenapa tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan), di

puncaknya ialah Jenderal Suharto yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi

kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan mempunyai kesempatan

membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya,

3

bukan sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan

Suharto cs. Jika ini berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau.

Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang

Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer

untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah

Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai

wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji

tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para

jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter

yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya

pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara

berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI

dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika

sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan

pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa,

mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat

daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai

“pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi

moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.

Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain

berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai

puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan

manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah

matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan

massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di

bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965,

selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember

1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang

membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia.

Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya

seolah waktu itu “dibunuh atau membunuh” seperti dalam perang saudara. Ini sama

sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai

dengan kepentingan rezim militer Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka.

Situasi telah dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal

Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama

tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng

horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai

moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan

pembantaian anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir

yang dilakukan pihak militer dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar

emosinya.

Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya

dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden

Sukarno yang kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka

oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang

memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966

yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini

dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu

yang menyimpang dari UUD 1945,

4

tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai Presiden

RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade

yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya Indonesia menjadi salah satu

negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun-ubun.

G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan

lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan

dalang-dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee

berdasar dokumen rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di Indonesia sebagai contoh soal, “supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta di Indonesia yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang”.

Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan

para jenderal, pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana

Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno.

Keberhasilan operasi AS di Indonesia disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling

besar di wilayah Asia Tenggara.

Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer

Orba menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya

nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang

kekuasannya rezim ini terus-menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak

kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi

sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan

penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September

sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI Jakarta pada pagi

hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada

arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan

kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau.

(Dari berbagai sumber).

SSSSerial G30S [10]erial G30S [10]erial G30S [10]erial G30S [10]

HARI KESAKTIAN PANCASILA Oleh : Harsutejo

Seperti kita ketahui pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama

AD yang dilakukan oleh gerombolan militer G30S terjadi pada pagi hari 1 Oktober

1965, selanjutnya pasukan tersebut dilumpuhkan oleh RPKAD. Kejadian itu

ditahbiskan sebagai Hari Kesaktian Pancasila dengan SK No.153/1967 27 September

1967, diteken oleh Pejabat Presiden Jenderal Suharto.

Sebagai yang ditulis oleh wartawan senior Joesoef Isak, pentahbisan 1 Oktober

sebagai Hari Kesaktian Pancasila merupakan "suatu perzinahan politik khas gaya

Suharto, menggunakan gugurnya para jenderal dan Pancasila untuk melegitimasi

kepemimpinannya. Apa yang dilakukan Suharto pada 1 Oktober 1965 ketika

sebelumnya Kolonel Latief memberitahukan kepadanya tentang gerakan perwira

muda yang akan menangkap sejumlah jenderal sebelum Hari ABRI 5 Oktober 1965?

Bukankah justru Suharto yang mengkhianati Pancasila, mengkhianati Saptamarga dan

para jenderal rekan-rekannya sendiri dengan membiarkan semua gerakan itu

berlangsung?

Kita semua baru tahu belakangan sesudah rencana konspirasi meledak – rupanya

informasi Kol. Latief itu berkaitan dengan gerakan Letkol. Untung terhadap Jenderal

Yani cs - tetapi apa yang dikerjakan Suharto yang sudah tahu beberapa hari sebelum

kejadian berlangsung?" Jenderal Suharto justru menangguk di air keruh, dia bagian

penting dari konspirasi itu dengan menempuh jalannya sendiri!

Jenazah para jenderal tersebut dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di Lubang

Buaya yang kemudian digali pada 4 Oktober 1965. Dalam keadaan emosional

kesedihan orang banyak sejak penggalian jenazah, pemakaman di Kalibata,

dimulailah kampanye hitam terhadap PKI dan ormas pendukungnya, utamanya

Gerwani berupa dongeng horor fitnah tentang tindakan biadab terhadap para

jenderal seiring dengan fitnah terhadap AURI dan petingginya. Setelah situasi matang,

maka dilakukanlah gerakan militer untuk melakukan pembunuhan massal dengan

menggunakan emosi tinggi sebagian rakyat terhadap anggota PKI dan siapa saja yang

dianggap PKI serta pendukung Bung Karno yang lain di Jateng, Jatim, Bali, dan

akhirnya di seluruh Indonesia. Hal ini dilanjutkan dengan pembersihan terhadap

siapa saja, utamanya aparat yang mendukung BK, pertama-tama AURI selanjutnya di

kalangan ABRI yang lain. Muaranya ialah menjatuhkan Presiden Sukarno.

Hari Kesaktian Pancasila diabadikan dalam bentuk Monumen Pancasila Sakti yang

terletak di Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta. Gagasan mendirikan monumen ini

dituangkan dalam surat perintah Men Pangad Brigjen Hartono pada 2 Desember 1965,

ketika pembantaian rakyar tak berdosa sedang berjalan. Disebutkan monumen

tersebut merekam fakta-fakta pemberontakan G30S/PKI, teror, penculikan,

pembunuhan, perebutan kekuasaan hendak meruntuhkan negara Pancasila RI.

Mayjen dokter Soedjono yang menulis buku Monumen Pancasila Sakti (1973)

melukiskan apa yang disebutnya kebiadaban di Lubang Buaya antara lain seperti

berikut.

Segerombolan perempuan Gerwani berteriak melompat-lompat, menari. Dengan

tiada rasa kemanusiaan mereka memainkan pisau silet ke tubuh Jenderal Prapto.

"Jenderal Prapto telah meninggal dianiaya oleh gerombolan haus darah yang tak

mengenal Tuhan kecuali dewa-dewa mereka Marx, Lenin dan Aidit"

2

Betapa entengnya Pak Jenderal Dokter tersebut ikut memfitnah, yang tentunya sudah

digodok dalam dinas intelijen. Kita tidak tahu apakah Pak Dokter yang tentunya orang

saleh beragama ini di kemudian hari menyesal akan fitnah yang ikut disebarkannya

dan menancap pada sebagian rakyat dan meracuni generasi muda Indonesia. Fitnah

model itulah yang antara lain diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.

Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan,

tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: "Di sini berdiri monumen

kebohongan", agar kita semua belajar bahwa pernah ada masanya suatu rezim

menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya, dengan fitnah paling kotor

dan keji pun.

Serial G30S [9]Serial G30S [9]Serial G30S [9]Serial G30S [9]

GEMBONG G30S, SYAM KAMARUZAMAN Oleh : Harsutejo

Telah lama beredar desas-desus, Syam Kamaruzaman, gembong G30S yang misterius

itu masih hidup. Setelah jatuhnya Suharto pada 21 Mei 1998, desas-desus itu menjadi

lebih gencar dalam alam keterbukaan. Bahkan ada yang mengaku pernah bertemu

dengan Syam di Meksiko. Eksekusi 1986 bersama Supono Marsudijoyo alias Pono

boleh jadi benar, tetapi Syam "yang lain," begitu argumennya. Amat menarik, pihak

AD telah mengidentifikasi paling tidak 3 (tiga) "Syam" seperti tersebut di bawah.

Selama itu penampilan Syam berubah-ubah, ia misterius antara lain karena riwayat

hidupnya yang tidak jelas. Konon ia membujang sampai umur 40 tahunan, juga tidak

diketahui bagaimana keluarganya. Nama aslinya ialah Syamsul Qomar bin Mubaidah,

dalam dokumen 1960-an disebut Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah. Nama

samarannya Sjamsuddin, Djiman, Karman, Ali Muchtar, Ali Sastra. Nama terakhir ini

tertera di dalam KTP pada saat ditangkap di Cimahi 8 Maret 1967.

Menurut Letkol Ali Said SH, Syam bukan tokoh PKI sepele, ia dapat disejajarkan

dengan DN Aidit. Ia sebagai jendral intel PKI yang menjadi anggota PKI sejak 1949.

Teman-teman dekat Syam ketika muda tidak percaya ia memiliki kaliber semacam itu.

Sejak pindah ke Yogya riwayat yang sebenarnya menjadi buram. Ada yang

mengatakan ia adik kelas Munir (kelak ketua SOBSI) di Sekolah Dagang. Ada yang

mengatakan ia di Taman Siswa karena menjadi anggota diskusi 'Kelompok Pathuk' 43

yang mayoritasnya dari Taman Siswa. Menurut Prof Dr Ir Haryosudirjo, mantan

menteri masa Bung Karno, Syam bersekolah di SMT(teknik). Syam bertindak sebagai

intel di Resimen 22 Brigade 10, Divisi Diponegoro dengan pangkat Letnan Satu, eks

Laskar Gabungan Yogya. Begitu komentar spontan anggota tim Mahmillub, Subono

Mantovani SH ketika melihat foto Syam; di masa Yogya itu Subono Mantovani juga

berpangkat letnan satu, sebelumnya berada dalam satu kelompok Pathuk bersama

Letkol Suharto. Komandan resimennya ketika itu Mayor Haryosudirjo tersebut di atas.

Berdasar pengakuan Syam yang diceritakan kepada Latief, ia berada dalam pasukan

Suharto ketika SU 1 Maret 1949.

Syam seorang pemuda yang mendapatkan arahan Johan Syahruzah, tokoh PSI di

kelompok Pathuk. Para pemuda Pathuk ini yang memprakarsai permintaan agar Sri

Sultan mengajak anggota BKR Suharto untuk berdiplomasi dengan Jepang guna

menyerahkan senjatanya. Di antara para pemuda itu terdapat Sumantoro dan Syamsul

Qamar Mubaidah. Bersama Suharto mereka mendatangi markas Jepang pada masa

kemerdekaan itu. Jadi Suharto telah mengenal Syam sejak permulaan kemerdekaan,

demikian tulis AM Hanafi.

Sekitar 1947 Syam mulai berkenalan dengan DN Aidit yang mengajaknya untuk aktif

di Pemuda Tani, afiliasi BTI. Sebagai intel pada Batalyon 10 Yogya, Lettu Syam di

bawah Letkol Suharto. Sejak itu Syam berhubungan dekat dengan Aidit maupun

Suharto. Hubungan persahabatannya dengan Suharto berjalan selama 20 tahun.

Suharto tentu saja tak pernah menyinggung sedikit pun kalau ia telah mengenal orang

misterius yang bernama Syam ini sudah sejak lama, seolah ia orang yang tak pernah

tahu menahu dengan tokoh ini. Pada tahun 1949 Syam pindah ke Jakarta membantu

Munir di BTI. Sekitar 1950 Syam mendirikan SBP(elayaran) dan SBB(ecak) yang

bermarkas di Jl Guntur, Jakarta. Sebagai ketua SBP pada 1950 ia membantu

pembebasan Aidit yang baru datang dari Vietnam [menurut mitos] yang ditahan di

Tanjungpriok karena tidak punya tiket.

2

Pada tahun 1950-57 ia di SOBSI Jakarta, lalu sebagai sekretaris. Pada 1957 ia diangkat

sebagai pembantu pribadi Aidit, Ketua PKI. Dalam setahun ia masuk kepengurusan

sebagai anggota Departemen Organisasi. Ia disebut sebagai pernah menjadi

informan Komisaris Polisi Mudigdo di Pati yang kelak menjadi mertua Aidit.

Barangkali dari sini pulalah Aidit kemudian menjalin hubungan dekat dengan Syam,

serta memberikan kepercayaan besar kepadanya. Peter Dale Scott menyebut Syam

sebagai seorang kader PSI, pada tahun 1950-an ini juga ia sering datang dan

menginap di rumah Suharto di Yogya. Menurut Subandrio, yang juga Ketua Badan

Pusat Intelijen (BPI), pada 1958 Syam perwira intelijen AD serta mitra lokal CIA.

Dengan demikian Syam mempunyai hubungan tertentu dengan CIA, baik secara

langsung atau pun tidak. Ketika Kolonel Suharto memasuki Seskoad di Bandung, Syam

ikut serta dalam kursus militer itu, demikian menurut penyelidikan.

Poulgrain. Hubungan mereka begitu rumit. Kolonel Suwarto dididik di Amerika, ia

sahabat Guy Pauker, orang penting CIA dalam hubungan dengan Indonesia, pernah

mengajar di Barkeley, konsultan RAND Corporation yang menitikberatkan kontak-

kontaknya dengan kalangan militer AD Indonesia. Suwarto pernah diundang Pauker

meninjau perusahaan tersebut pada 1962. Pauker mendapat tugas melakukan sapu

bersih terhadap PKI. Antara lain lewat Suwarto lah CIA melakukan operasinya

misalnya dengan apa yang disebut civic mission AD, yang sebenarnya merupakan

civic action CIA dalam melakukan kontak-kontak dengan kelompok anti komunis di

kalangan AD. Rupanya lewat jalur inilah Suharto pertama kali berhubungan dengan

CIA.

Berdasar pemeriksaan dokumen-dokumen yang ada di AS, Belanda dan Indonesia,

dalam majalah resmi PSI nama Syam tercantum sebagai Ketua PSI Ranting

Rangkasbitung, Banten. Dalam arsip Belanda Syam tercatat sebagai intel Recomba

Jawa Barat. Recomba merupakan pemerintah federal boneka Belanda, bisa saja Syam

menyelundup menjadi spion untuk mengorek rahasia Belanda, akan tetapi hal ini

aneh. Dalam berbagai koran 1950-an ia disebut sebagai informan dari Komando

Militer Kota (KMK) Jakarta. Sejumlah narasumber perwira yang menjadi tapol di

Salemba menyebutkan Syam pada tahun 1951 tercatat sebagai kader PSI yang

mendapatkan pelatihan partai itu di antara 29 kader yang lain.

Syam - Sang Agen Ganda?

Pada 1960-an dengan bentuk lebih jelas pada 1964 Syam diangkat menjadi ketua Biro

Chusus (BC), suatu jaringan intelijen PKI yang hanya mempunyai hubungan langsung

dengan Aidit selaku ketua Politbiro CC PKI. Tugas Syam, pertama mengumpulkan info

untuk diolah dan diserahkan kepada Aidit. Kedua, membangun sel-sel PKI di tubuh

ABRI dan membinanya. Tugas Syam yang lain mengadakan evaluasi dan

melaksanakan tugas-tugas yang tak mungkin dilakukan alat-alat formal PKI. BC

mempunyai aparatnya sendiri yang tidak diketahui oleh pimpinan formal PKI. Ia

memberikan laporan, mengolah informasi dan menyampaikannya kepada Aidit

secara langsung. Oleh Aidit bahan-bahan dan keputusan disodorkan pada Politbiro

untuk disetujui dan dilaksanakan.

Menurut orang-orang PKI yang pernah dekat dengan dirinya, ia dengan enteng

mengeluarkan pestol dan meletakkannya di meja jika kehendaknya ditentang.

Menurut seseorang yang mengaku sebagai mantan agen CIA, Suharto mendapat

perhatian cukup dari BC PKI dan dibina melalui Syam, Untung dan Latief. Dalam hal ini

Suharto mendapat kategori sebagai 'orang yang dapat dimanfaatkan'.

3

Hal ini cocok dengan keterangan Untung dan Latief bahwa Suharto akan membantu

gerakan mereka, dan dibuktikan dengan didatangkannya Yon 530 dan Yon 454 dalam

keadaan siap tempur. Sedang yang lain menamainya sebagai trio sel PKI.

Pada tahun 1967 majalah Ragi Buana menamai Syam sebagai 'double agent' ia menjadi

informan Kodam Jaya sejak 1955 sampai kudeta 1965. Untuk memperdalam ilmunya

pada 1962 ia dikirim ke RRT, Korea Utara dan Vietnam, termasuk memperdalam

bidang intelijen terutama menyangkut strategi mempersiapkan dan menggerakkan

pemberontakan bersenjata. Di Vietnam ia melakukan pekerjaan praktek di lapangan.

Majalah ini menyebut Syam dan Aidit telah terjebak ke dalam jaring-jaring spionase

Washington, Peking dan Moskow. Sebutan double agent digunakan koran-koran dan

radio termasuk radio Nederland ketika itu, selanjutnya pers tidak lagi menggunakan

istilah tersebut. Rupanya Kopkamtib kemudian sangat berkeberatan akan

penggunaan istilah itu yang dapat merugikan Jenderal Suharto, lalu melarangnya.

Sebagai Ketua BC PKI, Syam lapor langsung kepada Aidit. Karena Aidit satu-satunya

pimpinan PKI yang membentuk BC serta mengetahui personelnya, maka BC ini

merupakan partai dalam partai dengan Syam sebagai orang tertingginya.

Seperti disebutkan oleh Sudisman, BC dibentuk tanpa persetujuan CC PKI, dalam hal

ini Aidit telah melanggar konstitusi partai. Dengan demikian BC bukan aparat partai,

tetapi aparat Aidit. Di pihak lain yang mengontrol seluruh struktur aparat dan sepak

terjang BC bukan Aidit, tetapi Syam. Jika Syam seorang agen ganda, maka praktis

seluruh struktur BC merupakan alat dalam kendali musuh PKI.

Peran Syam

Banyak saksi sejarah teman-teman Syam meragukan peran besarnya dalam G30S. Ia

sama sekali tidak memberikan kesan sebagai pemikir, artinya ia sekedar wayang

yang dimainkan oleh dalang mahir di balik layar sejarah. Di Yogya ia memang pernah

berada di lingkungan olah pikir. Kadang-kadang ia datang ke kelompok diskusi

Mahameru I, sebuah rumah di belakang SMA 3 Yogya, kemudian menjadi kantor PSI.

Tempat itu untuk diskusi antara lain Sutan Syahrir dan HA Salim.

Menurut Sumadi Mukajin, Syam dikenal pendiam, tertutup dan... agak goblok. Sedang

Kelompok Pathuk kemudian berkembang menjadi salah satu simpul terkuat jaringan

politik bawah tanah Syahrir. Di situ buku-buku Marx, Adam Smith, Machiaveli,

Gandhi, Lenin dsb menjadi bahan kajian.

Terdapat persamaan modus operandi antara percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang telah

menculik PM Syahrir dengan G30S. Mula-mula Letkol Suharto berada dalam satu kubu

dengan atasannya Komandan Divisi Mayjen Sudarsono. Mereka, termasuk pasukan

Suharto menduduki RRI dan Kantor Telepon Yogya pada 2 Juli 1946. Anehnya

kemudian Letkol Suharto berbalik menangkap kelompok yang mencoba melakukan

kudeta. Ketika itu Syam sebagai intel Batalion 10 pimpinan Letkol Suharto. Rupanya

G30S merupakan ulangan permainan politik semacam itu.

Bagaimana sebenarnya hubungan Syam dengan Letkol Untung cs?

Menurut Kolonel Latief, Syam telah memotong jalur atau melakukan intersepsi

terhadap pasukan Lettu Dularip. Ia mengenal Syam sebagai intel pembantu atasannya

Letkol Untung. Ketika Dularip bertanya bagaimana caranya mengajak para jenderal

itu untuk menghadap Presiden Sukarno, maka Syam tegas menjawab dengan mantap,

"Tangkap, hidup atau mati". Syam sendiri di Mahmilub menyebutnya sebagai perintah

Aidit, sesuatu yang bertentangan dengan perintah Letkol Untung.

4

Tidak ada bukti dan alasan apa pun juga yang dapat diketengahkan apa sebabnya

G30S membunuh para jenderal yang diculiknya dalam keadaan terpaksa meskipun

beberapa orang memang melawan. Dengan demikian ini merupakan skenario

aslinya.

Siapakah sebenarnya yang memerintahkan Syam melakukan tindakan semacam itu?

Yang pasti tindakan itu sama sekali tidak menguntungkan gerakan G30S. Berbagai

pengumuman Dewan Revolusi termasuk pembentukan Dewan Revolusi itu sendiri

yang sama sekali tidak menyebut nama Sukarno sangat tidak menguntungkan baik

G30S secara keseluruhan maupun Untung cs dan Aidit. Dengan telah

ditembakmatinya Aidit tanpa diajukan ke pengadilan maka Syam mempunyai

kesempatan untuk memonopoli seluruh keterangan tentang G30S dalam hubungannya

dengan PKI. Hanya Syam sebagai Ketua BC PKI dan Aidit sebagai Ketua Politbiro PKI

yang mengetahui seluk beluk biro tersebut dalam hubungan dengan peristiwa G30S

serta hubungannya dengan sejumlah perwira militer.

Demikianlah keterangan-keterangan Syam dalam persidangan Mahmillub, baik

sebagai terdakwa maupun saksi telah memonopoli fakta-fakta yang seluruhnya

menjurus kepada digiringnya Aidit dan PKI sebagai terdakwa yang sebenarnya,

dengan pion-pionnya Letkol Untung dan kawan-kawannya. Maka Syam bertindak baik

sebagai dirinya maupun sebagai Aidit tanpa secuwil pun keterangan Aidit.. Nama

Syam berada dalam daftar gaji Kodam Jaya. Di Kodam Jaya Syam berhubungan

dengan Latief, di samping hubungannya dengan Kostrad. Agar lebih meyakinkan

maka dalam semua proses kemunculan Syam, ia dilukiskan sebagai seorang komunis

sejati yang amat dekat dengan Ketua Aidit. Syam selalu mengakui dia yang

memberikan perintah, dan perintah itu semuanya berasal dari Aidit. Pendeknya Aidit

merupakan dalang seluruh peristiwa. Ia toh tidak akan membantahnya dari kubur.

Begitu Syam mempunyai kesempatan bicara, ia begitu bernafsu menceritakan apa

saja yang ia ketahui tentang G30S. Di pengadilan ia menyombongkan dirinya sebagai

otak di belakang gerakan. Buku Putih menyebutkan salah satu pekerjaan Syam

melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan Bersenjata dan melakukan apa yang

disebut pembinaan. Dalam kenyataannya ia telah melakukan pembinasaan, bukan

pembinaan terhadap sejumlah besar personel ABRI yang berhaluan kiri dan

pendukung BK. Rupanya ia memang mempunyai misi melakukan infiltrasi ke tubuh

ABRI untuk mencari tahu dan mengidentifikasi siapa-siapa yang termasuk 30%

personel simpatisan PKI yang telah mencoblos palu-arit dalam pemilu 1955, untuk

didepak, dihukum dan dilenyapkan sebagai kelanjutan rasionalisasi yang tak tuntas

masa pemerintahan Hatta. Dengan demikian ia membentuk BC sebagai partai dalam

partai dengan pola yang sama seperti yang dilakukan AD yakni negara dalam negara.

Demikian analisis MR Siregar tentang peran besar Syam bagi PKI.

Seluruh pengakuan dan "pengakuan" serta tindakan Syam tidak secuwil pun

merupakan pembelaan terhadap PKI atau Aidit. Sebaliknya ia terus menerus

mendiskreditkannya. Dengan demikian ia tidak bekerja untuk PKI atau Aidit. Maka

tidak aneh jika banyak orang termasuk para pengamat dan pakar mempertanyakan

orang misterius ini, dan untuk siapa ia bekerja. Seluruh proses Mahmillub diarahkan

untuk menggiring pembenaran tuduhan terhadap PKI serta menjeratnya dari segi

hukum, sedang di lapangan dilakukan pembantaian tanpa ampun. Dengan demikian

seolah segalanya dilandasi hukum.

5

Kegiatan Setelah Gagal

Berbeda dengan tokoh PKI lain yang terus terbaca gerak geriknya selama buron

seperti ditulis Buku Putih, tampaknya buku ini "kesulitan" menjelaskan sepak terjang

Syam di Jawa Barat sebelum ditangkap pada tahun 1967. Bersama itu intelijen militer

mampu mengikuti terus kegiatan bawahtanah pimpinan PKI kecuali Syam. Begitu

hebatkah jenderal intel PKI ini berkelit bagaikan siluman hingga kegiatannya tidak

terdeteksi?

Baru saja didemonstrasikan betapa konyol dan cerobohnya rancangan dan jalannya

peristiwa G30S, sejak dari penculikan, eksekusi para jenderal dan pengumuman-

pengumuman RRI Jakarta atas nama Letkol Untung dengan Dewan Revolusinya,

buruknya logistik dsb. Seperti disebut Jenderal Nasution, mereka tidak membuat

rencana alternatif, dan ini berarti secara strategis sudah suatu kegagalan. Selanjutnya

ketika komandan kontrol G30S menghubungi tiga sektor yang telah mereka bentuk,

sebagai disebut Brigjen Suparjo, semuanya kosong. Bukankah ini salah satu indikasi

kuat Syam sebenarnya berada di kubu lain yakni kubu Jenderal Suharto, yang

kegiatan sebenarnya juga untuk sang jenderal? Dia sendiri yang melakukan sabotase

terhadap gerakan yang dikendalikannya. Gerakan ini dirancang untuk gagal. Maka

Latief berkeyakinan Syam tidaklah bertindak atas nama pribadi, dan yang dituding

olehnya tak lain daripada Jenderal Suharto.

Betapa rumitnya hubungan Syam yang konon pernah mengenyam pendidikan

intelijen di Vietnam, Korea Utara dan Cina ini, sekaligus juga pendidikan Seskoad.

Dunia intelijen memang selalu ruwet tidak sederhana, berliku-liku, terbuka untuk

segala hal dan kemungkinan yang paling kontradiktif pun serta hampir-hampir mokal,

tetapi tertutup rapat bagi dunia luar. Seorang ksatria pahlawan penumpas kudeta

militer berlumuran darah mungkin sekali adalah salah satu pelaku utama di baliknya,

suatu ironi yang menjungkirbalikkan segala hal. Dan itu bernama dunia intelijen.

Menurut keyakinan sementara orang seperti tersirat dalam buku Hanafi dan

Subandrio, bertahun-tahun Syam sebenarnya telah memasang jebakan untuk Aidit

dengan menjalin hubungan pribadi maupun hubungan organisasi partai. Hubungan

itu terus meningkat dengan meningkatnya keterampilan Syam dalam bidang intelijen

yang telah digaulinya sejak jaman revolusi fisik. Begitu hebatkah tokoh ini, atau dan

begitu bodohnyakah DN Aidit sebagai Ketua Politbiro beserta pendukungnya?

Ada 'Tiga Orang Syam'?

Syam ditangkap pada 8 Maret 1967 di Cimahi. Berdasarkan dokumen-dokumen CIA

yang telah dibuka untuk umum seperti dicatat oleh Peter Dale Scott, pesakitan itu

merupakan orang ketiga yang diidentifikasi oleh pihak AD sebagai orang yang

bernama 'Syam'. Jadi paling tidak ada tiga orang 'Syam'. Ia ditahan di RTM Budi Utomo

Jakarta pada 27 Mei 1967. Beberapa bekas tahanan politik yang pernah berkumpul

atau dekat dengan sel tempat Syam, menyatakan selama ditahan ia bertindak seperti

seorang bos. Ia dapat mondar mandir dengan leluasa di tahanan, mengenal banyak

petugas militer seperti berada di lingkungannya sendiri. Banyak tahanan politik yang

dianggap cukup penting dibawa ke RTM untuk dapat diidentifikasi oleh Syam agar

bisa "mendapatkan tempat yang tepat". Sering ia tiba-tiba tidak berada di tempat

tanpa diketahui oleh orang lain akan keberadaannya.

6

Sangat umum diketahui para tapol, ada sejumlah orang yang dekat dengan para

pejabat, memberikan berbagai informasi yang benar maupun karangannya sendiri,

ketika diminta atau tidak untuk meringankan dirinya sendiri dan memberatkan orang

lain. Bahkan beberapa orang dijadikan interogator dan ikut menyiksa teman-

temannya sendiri, ikut serta dalam operasi penangkapan dsb. Orang semacam itu

biasanya disebut pengkhianat, biasanya dengan cepat dapat diketahui oleh tapol

yang lain. Syam jauh lebih rumit dan lebih "besar" daripada sekedar kelompok ini.

John Lumengkewas, seorang mantan Wakil Sekjen PNI dan ditahan selama 7 tahun

menuturkan kesaksiannya ketika ditahan di RTM tentang tokoh Syam. Ia punya

pengetahuan ensiklopedis bagi orang-orang yang dituduh PKI. Ia mendapat

perlakuan istimewa di RTM, berbeda dengan tapol lainnya. Fasilitas di selnya mewah

untuk ukuran waktu itu, menu makanannya berbeda, ia bebas berada di luar sel,

akrab berbincang-bincang dengan petugas. Dia sebentar-sebentar dipanggil oleh

petugas dari pintu blok, lalu pergi ke kantor RTM. Nampak sekali Syam sudah lama

berhubungan dengan kalangan ABRI tertentu. Oei Tjoe Tat SH, mantan Menteri

Negara yang juga pernah ditahan di RTM, menggambarkan Syam sebagai orang yang

tidak tahu diri. Kalau ia keluar untuk diperiksa, orang lain menjadi tidak tenteram

karena ulahnya. Ia orang misterius yang dijauhi oleh para tahanan yang lain.

Syam dijatuhi hukuman mati oleh Mahmillub pada 9 Maret 1968. Di tahun-tahun

berikutnya ia menyombongkan diri kepada rekan-rekannya di penjara bahwa ia

masih bertahan hidup meski sudah dijatuhi hukuman mati. Ia selalu memiliki informasi

untuk diberikan dalam kesaksian terhadap orang lain yang diadili selama bertahun-

tahun. Ia mulai masuk penjara Cipinang pada 27 Oktober 1972. Menurut kesaksian

para tapol, Syam dan komplotannya Subono masih bisa keluar penjara serta menulis

laporan untuk kepentingan AD. Bahkan pada awal tahun 1980, ia keluar masuk di

berbagai instansi militer. Menurut keterangan seorang mantan perwira Kopkamtib,

Syam memang dipakai sebagai informan militer.

Berdasarkan catatan, Syam diambil dari Cipinang pada 27 September 1986 jam 21.00

oleh petugas Litkrim Pomdam Jaya atas nama Edy B Sutomo (Nrp.27410), lalu dibawa

ke RTM Cimanggis. Tiga hari kemudian tengah malam bersama dua kawannya ia

dibawa dari Cimanggis dan pada jam 01.00 sampai ke Tanjungpriok. Mereka

diangkut dengan kapal laut militer ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu dan

dieksekusi pada jam 03.00. Tak ada keterangan mengapa pelaksanaan eksekusi

terhadap Syam – dan sejumlah tokoh yang lain - terus diulur-ulur hingga 14 tahun

dihitung dari sejak masuk Cipinang, bahkan 18 tahun bila dihitung sejak vonis

Mahmillub.

Adakah itu Syam yang asli atau 'Syam' yang lain? Agaknya akan tetap menjadi misteri

sebagaimana misteri berbagai hal seputar G30S. Menurut pengakuan Latief ketika

ditahan di Cipinang pada 1990 ia berada satu blok dengan Syam. Sementara itu

seorang pejabat di lingkungan Depkeh RI menyatakan Syam dikeluarkan dari

Cipinang pada September 1986 atas izin Presiden Suharto. Antara dua keterangan ini

sekedar perbedaan waktu, mungkin saja Latief tidak akurat. Jalannya peristiwa

menunjukkan peran agen Syam menjadi salah satu kunci penting keberhasilan

operasi yang sedang dilancarkan oleh sahabat lamanya, Jenderal Suharto.

Mungkinkah orang yang agaknya tahu betul akan "isi perut" Suharto dalam hubungan

dengan G30S dibiarkan hidup bebas? (Petikan dari Harsutejo, "Sejarah Gelap G30S" -

revisi).

Serial G30S [8]Serial G30S [8]Serial G30S [8]Serial G30S [8]

TOKOH G30S, BRIGJEN SUPARJO DIRANCANG UNTUK GAGAL Oleh : Harsutejo

Ia berasal dari Divisi Siliwangi, pasukan Suparjo lah yang telah berhasil menangkap

gembong DI Kartosuwiryo dan mengakhiri pemberontakan DI di Jawa Barat.

Kemudian ia ditugaskan ke Kostrad, lalu menjabat sebagai Panglima Kopur II Kostrad

di bawah Jenderal Suharto. Tokoh ini juga cukup dekat dengan Suharto.

Hampir dapat dipastikan bahwa tokoh ini pun, seperti kedua tokoh sebelumnya yakni

Letkol Untung dan Kolonel Latief, seseorang yang memiliki kesetiaan tinggi kepada

Presiden Sukarno. Suparjo merupakan anggota kelompok yang biasa disebut

kelompok Kolonel Suwarto (Seskoad Bandung), yang di dalamnya terdapat Alamsyah,

Amir Makhmud, Basuki Rakhmad, Andi Yusuf, Yan Walandow. Yang terakhir ini

seorang kolonel yang ikut pemberontakan Permesta, kemudian menjadi pengusaha.

Ia mempunyai hubungan lama dengan CIA dan menjadi petugas Suharto dalam

mencari dana dari luar negeri. Ia pun anggota trio Suharto-Syam-Latief cs [Untung,

Suparjo]. Begitu tulis AM Hanafi. Ketika Mayjen Suharto melakukan perjalanan ke

Kalimantan sebagai Wakil Panglima Kolaga, ia menyempatkan diri menemui anak

buahnya, Brigjen Suparjo.

Sebagai komandan pasukan tempur dalam hubungannya dengan konfrontasi

terhadap Malaysia, Suparjo sangat risau terhadap korupsi para pembesar militer AD

dalam pengiriman suplai ke garis depan. Kenyataan itu sangat mengurangi kekuatan

dan semangat pasukannya bahkan membuat frustasi. Malahan dia tidak memiliki

pasukannya sendiri yang dapat digerakkan dengan efektif.

Peran apa pula yang dimainkan olehnya selain yang telah diumumkan oleh

Mahmillub? Adakah ketiga tokoh militer ini secara sendiri-sendiri atau pun bersama

(serta sejumlah yang lain) telah masuk ke dalam perangkap yang dipasang Syam atas

skenario Suwarto-Suharto-CIA? Ia disebutkan sebagai memiliki hubungan erat

dengan tokoh yang selalu 'berada di mana-mana', Syam Kamaruzaman. Sejauh mana

apa yang disebut sebagai 'hubungan erat' itu tidak ada penjelasan lebih jauh. Perlu

ditambahkan Brigjen Suparjo pernah mendapatkan pendidikan militer di Amerika

yakni di Fort Bragg dan Okinawa. Tentulah pemilihannya selain berdasar kriteria di

dalam negeri yakni pihak AD, juga telah melalui seleksi ketat baku yang dikendalikan

oleh CIA. Sampai di mana tangan dinas rahasia CIA bermain dalam hubungan ini?

Di depan Mahmilub jenderal ini telah menantang agar bukan cuma G30S yang diadili,

tetapi juga Dewan Jenderal (DJ). Untuk itu ia siap membuktikan keberadaan DJ,

kegiatan mereka masa prolog yang menjurus pada peristiwa G30S dan masa yang

sama serta bahan-bahan setelah kejadian. Tentu saja permintaan semacam itu hanya

menjadi suara di padang pasir tanpa gaung dalam situasi pengadilan penuh rekayasa

serta tekanan politik dan penindasan fisik masif rezim Orba.

Sedang permintaan sederhana yang amat wajar dari Sudisman di Mahmilub untuk

menghadirkan Suparjo sebagai saksi tidak dipenuhi.

Ia pribadi yang disukai bawahannya, seorang militer yang setia kepada BK. Ketika

ditahan di RTM Budi Utomo, Jakarta, dalam keadaan diisolasi ia mendapat simpati

banyak orang, dari petugas maupun tahanan lain. Ia tidak mau diistimewakan

meskipun ia seorang jenderal. Ia membagikan kiriman yang diterimanya kepada

tahanan lain.

2

Sikap dan tingkah lakunya pada hari-hari terakhirnya di RTM sangat mengesankan,

jantan, bermutu jenderal, sopan dan ramah terhadap siapa pun. Demikian yang

dicatat oleh Oei Tjoe Tat. Salah seorang putra Jenderal Suparjo mengisahkan detik-

detik terakhir sebelum dia dieksekusi pada 16 Mei 1970. Ketika bertemu keluarganya,

dia meminta mereka menggenggam dan menghancurkan sebuah apel, lalu dia

memberikan ke masing-masing anaknya apel yang telah digigitnya untuk

dihancurkan. "Kalau kalian terdiri dari kepingan-kepingan kecil, akan gampang

dihancurkan. Tapi jika kamu bersatu, mungkin akan hancur, tapi diperlukan kekuatan

besar.......". Pada saat terakhir, "Saya lihat ayah berjalan menuju tempat eksekusi. Dia

mengenakan baju olahraga putih yang menurut dia bisa sekaligus untuk kafan. Ayah

tenang berjalan menuju lapangan sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya"

Demikian yang ditulis Tempo 9 Oktober 2005.

Menurut ulasan David Johnson dari perjalanan karier ketiga tokoh G30S, maka

hubungan mereka bukan karena mereka tergolong "perwira progresif", tetapi karena

keterpautan ketiganya dengan Jenderal Suharto. Selanjutnya penetrasi intelijen AD

dan CIA terhadap AU dan Yon Cakrabirawa sangat masuk akal seperti halnya

penetrasi terhadap PKI. Menurut penulis yang sama, ketiga tokoh ini merupakan aktor

komplotan yang cerdik dari rancangan CIA-Suharto. Jika demikian halnya, CIA juga

akan melancarkan operasi perlindungan dan pemberian identitas baru bagi mereka

untuk kemudian dimukimkan di luar Indonesia, suatu prosedur standar CIA.

Akan tetapi risiko besar akan kebocoran menjadi lebih cocok jika mereka

dilenyapkan setelah dimanfaatkan David Johnson yang menulis makalahnya pada

1976 untuk keperluan penyelidikan yang dilakukan oleh Komite Church pada Kongres

AS seputar peran AS dalam pembunuhan massal di Indonesia 1965/1966, luput

mengamati peran cukup penting sang agen yang sangat berpengalaman yang

bernama Syam Kamaruzaman.

Sebagai diulas oleh Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer

yang serius, [bukan sekedar dirancang untuk gagal, hs], seharusnya dipimpin

seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang secara intelektual maupun pengalaman

lapangan memadai. Salah satu kupasan mutakhir sejarah G30S ialah buku John Roosa

(2007) yang menganalisis apa yang disebut sebagai "dokumen Suparjo" yang juga

dijuluki sebagai "jenderal merah." [sayang penulis belum berhasil mendapatkan buku

ini]. Dalam buku Jenderal Nasution (1988), dokumen ini telah diulasnya secara

singkat, antara lain sbb :

(1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dkk menghadapi kegagalan gerakan,

semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal, mereka bingung, tidak ada perintah jelas, pimpinan operasi tidak

menarik kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak mendapat makanan, bahkan ada yang minta ke Kostrad. Pasukan

meninggalkan RRI tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan menghentikan perlawanan, masing-masing bubar, pulang,

sambil menunggu situasi.

Dari butir pertama, Jenderal Suparjo memposisikan dirinya berada di luar Syam dkk.

Hal ini sesuai dengan kenyataan ia tidak ikut serta dalam serangkaian pertemuan

persiapan yang dilakukan Syam dkk. Dari butir ini dan selanjutnya menjurus dan

memperkuat kesimpulan, G30S dirancang untuk gagal. (Petikan dari Harsutejo, "Sejarah Gelap G30S," - revisi).

Serial G30S [7]Serial G30S [7]Serial G30S [7]Serial G30S [7]

TOKOH G30S, KOLONEL ABDUL LATIEF Oleh : Harsutejo

Pemeran G30S ini juga pernah menjadi anak buah Suharto di Divisi Diponegoro. Ia

ikut ambil bagian sebagai salah satu komandan kompi yang berani dalam SU 1 Maret

1949 di Yogya yang dipimpin Letkol Suharto. Akhirnya Latief menjadi Komandan

Brigade Infanteri I Kodam Jaya, suatu kedudukan strategis. Sebagai Komandan

Kostrad pun Suharto mendekati Kolonel Latief antara lain dengan mendatangi

rumahnya ketika Latief mengkhitankan anaknya. Menurut Subandrio hal ini

merupakan suatu langkah “sedia payung sebelum hujan”, suatu saat ia akan dapat

memanfaatkannya. Di samping itu “Latief mengantongi rahasia skandal Suharto dalam

Serangan Umum 1 Maret 1949” seperti yang tercantum dalam pembelaannya di depan

Mahmilub pada 27 Juni 1978.

Letkol Suharto tidak banyak mengambil bagian dalam SU itu, ia hanya enak-enak

berada di garis belakang yang aman sembari makan soto di warung sebagai yang

diceritakan Latief ketika pertempuran seru terjadi dan cukup banyak korban jatuh.

Adegan ‘Suharto makan soto babat’ itulah yang disebut Subandrio sebagai “skandal

Suharto”. Dalam pasukan Kapten Latief yang masuk ke Yogya dari Godean itu

bergabung juga laskar Pesindo yang sudah bersiap di dalam kota di bawah pimpinan

Supeno dan Pramuji, menurut AM Hanafi merupakan kekuatan militan serangan umum

tersebut.

Hubungan Latief Dengan Suharto

Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Suharto.

Pada gilirannya membuat hubungan Latief dan Suharto bukan lagi sekedar bawahan

dan atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat. Suharto tahu Latief tak akan

melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak setelah agresi kedua,

Latief merasa selalu mendapatkan kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya

yakni memimpin pasukan pada saat yang sulit. Ketika Trikora pun ia masih dicari

bekas komandannya itu, tetapi Latief sedang mengikuti Seskoad. Pada bulan Juni 1965

Mayjen Suharto meminta agar Latief dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan

Timur, akan tetapi Umar Wirahadikusuma menolak melepasnya karena tenaganya

diperlukan untuk tugas keamanan di Kodam V Jaya.

Di luar dinas Latief mempunyai hubungan kekeluargsaan yang cukup akrab dengan

Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. Ketika Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri

Latief datang. Sebaliknya ketika Latief mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu

Tien juga datang ke rumahnya. Bahkan pada 28 September 1965 ketika Latief

berkunjung ke rumah Suharto di Jl HA Salim, ia membicarakan soal tukar-menukar

rumah dinas. Latief menawarkan rumah dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan

Inggris yang lebih besar untuk ditukar dengan kediaman Suharto yang lebih kecil

yang sedang ditempatinya.

Menurut Subandrio, Suharto berhasil membentuk trio bersama kedua orang tersebut

di atas, keduanya memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding trio yang

pernah dibentuk sebelumnya bersama Ali Murtopo dan Yoga Sugomo yang telah

menghasilkan dirinya ditunjuk sebagai Panglima Diponegoro, lalu naik pangkat

menjadi Kolonel dengan menggeser calon kuat Kolonel Bambang Supeno yang

pengangkatannya tinggal menanti tandatangan saja.

2

Kolonel Latief : “Jenderal Suharto Terlibat G30S!”

Dalam pembelaannya Letkol Latief tetap menuduh Jenderal Suharto sebagai ikut

terlibat dalam G30S. Ia tidak memiliki ilusi apa pun terhadap Jenderal Suharto yang

sedang berkuasa, orang yang setiap saat dapat mengirimkan dirinya ke dunia lain

atau membebaskannya, menilik dalam kenyataannya selama rezim militer Orba,

Jenderal Suharto berada di atas hukum. Dapat disimpulkan ia memiliki suatu

kesadaran politik cukup tinggi. Selama penahanannya Latief mengalami siksaan luar

biasa seperti dipaparkan dalam pembelaannya. Menakjubkan ia masih bertahan

hidup meskipun badannya cukup rusak, semangat hidupnya luar biasa. Setelah

tekanan berbagai pihak di dalam dan luar negeri, ia baru dibebaskan dari penjara

pada permulaan 1999. Dengan keadaan badan yang rapuh, ia terkena stroke, akan

tetapi semangat hidupnya tidak pernah pudar. Sejak itu ia harus dibantu seorang

“penterjemah” untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sekalipun demikian ia tetap

aktif mengikuti berbagai pertemuan, seminar, menulis makalah. Dalam suatu

kesempatan bertemu dengan penulis pada permulaan 2001, ia sedang menyelesaikan

bukunya tentang SU 1 Maret 1949.

Berbagai pertanyaan timbul terhadap kenyataan bahwa seorang Latief tidak dihukum

mati oleh pengadilan yang sekedar mementingkan proses formal dan mengabaikan

pembuktian material. Bahkan untuk tokoh yang masih menjabat sebagai menteri pada

tahun 1965 seperti Aidit dan Nyoto, dengan entengnya ‘dibereskan’ oleh penguasa

militer Orba. Rupanya pengadilan terhadap mereka tidak menguntungkan sang

penguasa. Sebagian orang mencurigai Latief sebagai melakukan deal tertentu dengan

Suharto, sampai saat ini tanpa bukti, atau barangkali menurut logika intelijen.

“Seseorang di suatu tempat dalam rezim tampaknya menghendaki ia tetap hidup,”

begitu tulis Carmel Budiardjo. Seseorang itu tidak bisa lain kecuali Jenderal Suharto.

Untuk kepentingan apa ia menghendaki Latief hidup, bagian dari suatu deal? Macam

apa kesepakatan itu, terlalu mahal untuk Latief dan terlalu riskan untuk Suharto, ini

bila ditinjau dari kacamata setelah G30S. Tentu saja Suharto pun selama berkuasa

dengan amat mudahnya setiap saat dapat melenyapkan Latief bagai menepuk

nyamuk.

Kenyataan bahwa Latief tidak dihukum mati, menimbulkan suatu spekulasi bahwa ia

memiliki keterangan yang lebih sempurna yang disimpan di luar Indonesia dengan

pesan supaya segera diumumkan jika ia dibunuh. Dalam majalah Far Eastern

Economic Review 2 Agustus 1990 diberitakan memoar Latief disimpan di sebuah

bank. Keterangan Latief memang memenuhi syarat untuk menyeret Jenderal Suharto

sebagai terlibat G30S golongan A, sesuai Pasal 4 Keputusan Kopkamtib 18 Oktober

1965, semua orang yang terlibat secara langsung, mereka yang mengetahui rencana

kup dan lalai melaporkan kepada yang berwajib.

Ada satu hal lagi yang amat mencolok, Kolonel Latief ditangkap sepuluh hari setelah

kegagalan gerakan, tetapi ia diadili 13 tahun kemudian pada 1978. Sedang vonisnya

baru mendapatkan kepastian hukum pada tahun 1982! Latief merupakan saksi kunci

yang dapat menggoyahkan kedudukan Jenderal Suharto. Pada masa permulaan

bahkan pada tahun-tahun permulaan pengikut BK masih cukup kuat, maka diperlukan

waktu bagi Suharto untuk mengkonsolidasikan diri dan kekuasaannya. Dengan kata

lain Suharto memerlukan waktu, pendeknya faktor waktu amat penting dalam hal ini.

Itulah sebabnya setelah usaha menyiksa dan mengisolasi Latief habis-habisan selama

10 tahun tidak juga membunuhnya,

3

dengan berjalannya waktu ia tidak terlalu berbahaya lagi. Suharto sudah cukup kuat

dan mampu mengangkangi hukum dengan mudah. Demikian ulasan Joesoef Isak yang

sangat menarik, faktor waktulah yang diperlukan oleh rezim Suharto untuk

menaklukkan kesaksian dan bahan apa pun yang dimiliki Latief. Sudah jauh-jauh hari

kenyataan ini telah dimanipulasikan dengan keterangan juru bicara militer yang

menyatakan Latief dengan sengaja tidak mematuhi perintah dokter [berhubung luka-

luka yang dideritanya], sehingga ia tidak cukup sehat untuk muncul di pengadilan,

sebagai disiarkan Kompas 26 Maret 1966.

Peran apa sebenarnya yang telah dimainkan oleh Kolonel Latief, semata-mata sebagai

seorang militer yang setia kepada Presiden Sukarno, seseorang yang terseret masuk

ke dalam perangkap Syam, atau orang Suharto yang sepahnya dibuang setelah habis

manis, atau yang lain? Kalau dia sepah yang dibuang seharusnya ia dilenyapkan

setelah dikorek keterangan yang diperlukan kepentingan rezim, agar selanjutnya

bungkam. Seseorang yang menamakan dirinya sebagai mantan intel tiga negara

sekaligus RI-CIA-KGB mesinyalir Latief sebagai agen ganda, karena itu ia selamat

terus (Detak 5 Oktober 1998:9). Masih dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lain

di samping pledoinya di pengadilan, demi kepentingan sejarah bangsa? Sayang

sampai meninggalnya tokoh ini pada 2005, tidak ada informasi baru yang

disampaikannya.

Trio Sel Komunis?

Dalam berbagai diskusi informal tentang G30S sebagian orang mengutuk Latief

sebagai pengkhianat karena telah melaporkan gerakan yang diikutinya sendiri

kepada Jenderal Suharto. Hal ini perlu dipertanyakan apakah menemui Suharto

sebagai bekas komandannya dan orang yang cukup dekat dengan dirinya itu

inisiatifnya sendiri? Kalau bukan siapa yang memerintahkannya? Sebagian pihak

menyatakan dia itu sebenarnya anggota trio sel bawahtanah PKI bersama Letkol

Untung dan.... Jenderal Suharto di bawah binaan Syam [atau Aidit?] sebagai bagian

dari BC PKI. Dalam hubungan ini tak aneh jika ada pihak yang menyebut Jenderal

Suharto sebagai gembong PKI yang berkhianat. Ada cerita seorang tokoh yang tidak

mau disebut namanya, pada permulaan Oktober 1965 menemui Aidit di Jawa Tengah

ketika baru tiba dari Jakarta, DN Aidit menyatakan, “Wah celaka, kita ditipu oleh

Suharto!”

Di sepanjang kesaksiannya, Kolonel Latief tidak sekalipun menjatuhkan nama PKI,

sangat kontras dengan Syam, Ketua BC PKI. Sayang hal-hal di atas tidak dapat dirujuk

silang dengan narasumber lain maupun sumber sejarah yang dapat

dipertanggungjawabkan [atau belum?]. Apakah kita akan mimpi mendapatkan

tambahan keterangan dari Jenderal Besar (Purn) Suharto yang sedang didapuk

sebagai koruptor hiu paling akbar di dunia dan baru memenangkan Rp 1 triliun di

Mahkamah Agung RI menghadapi majalah Time? (Dipetik dari Harsutejo, Sejarah

Gelap G30S, revisi).

Serial G30S (7a)Serial G30S (7a)Serial G30S (7a)Serial G30S (7a)

KOLONEL LATIEF, GEMBONG ATAU KORBAN? Oleh : Harsutejo

Jika Latief semasa hidupnya sudi menjelaskan secara rinci, terbuka dan jujur dalam

menjawab pertanyaan yang pernah diajukan kepadanya, mungkin akan lebih mudah

mendudukkan dirinya, meskipun tetap saja akan terbuka kemungkinan kontroversi.

Apalagi keterangan sejujur dan serinci apa pun yang diberikan setelah sekian puluh

tahun terjadinya suatu peristiwa sejarah, tetap terbuka kemungkinan kerancuan.

Sayang pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yang diajukan ketika dia masih dapat

berkomunikasi dengan cukup, tidak pernah dijawabnya dengan jelas. Dapat saya

tambahkan bahwa pada tahun-tahun akhir hidupnya dia sulit berkomunikasi karena

serangan stroke yang telah menutup harapan adanya keterangan berharga yang lain

dari pihaknya, kecuali jika ada peninggalan tertulis yang belum pernah

dipublikasikan. Pertanyaan tersebut di antaranya meliputi :

(1) Dalam sejumlah pertemuan mereka yang menamakan diri Perwira Progresif

(termasuk Latief) sebelum 1 Oktober 1965, dihadiri (bahkan dipimpin) sejumlah

orang sipil yakni Syam, Pono dan Bono dari Biro Chusus (BC, ejaan lama) PKI.

Apakah ini berarti konsep G30S dari PKI (baca: Syam/Aidit)? Bagaimana

sebenarnya hubungan orang-orang militer ini dengan BC? Apa sekedar karena

sama-sama alat revolusi sesuai dengan ajaran Bung Karno (BK) dan pendukung

BK? Atau suatu komplotan? Hubungan ini diungkapkan dalam buku putih Orba

sebagai komplotan PKI (atau sebenarnya komplotan Aidit?).

(2) Dalam salah satu pertemuan (ke 5 pada 17 September 1965) anak buah Latief,

Mayor Inf Agus Sigit, Dan Yon 203, mendebat arahan Syam tentang rencana G30S

yang dipandangnya semrawut, tidak profesional. Usulan dia tentang penutupan

jalan masuk ke Jakarta dari arah Bogor, Tangerang dan Bekasi pada saat

gerakan, ditolak sebagai kekiri-kirian. Ia menyampaikan pertanyaan tajam, apa

sebab Presiden tidak memerintahkan segera menangkap Dewan Djenderal (DD,

ejaan lama)? Apa tidak mampu? Apa sebab orang-orang dalam pertemuan itu

yang harus menangkapnya? Selanjutnya (karena tidak setuju) ia tidak lagi

mengikuti pertemuan berikutnya, bahkan kemudian pasukannya tidak muncul.

(3) Sebelum 1 Oktober Latief setidaknya menemui Jenderal Suharto dua kali. Siapa

yang menugaskan dirinya? Apa benar dia datang di RS Gatot Subroto bersama

Syam yang berada di tempat agak jauh seperti kesaksian Syam?

(4). Latief sebagai Dan Brigif I Kodam Jaya membawahi tiga batalion tetapi yang ikut

bergerak bersamanya cuma dua peleton Detasemen Kompi Markas. Lalu peran

apa sebenarnya yang dilakukannya pada 1 Oktober 1965, namanya tidak

tercantum dalam daftar Komando Gerakan, tetapi “hanya” sebagai anggota

Dewan Revolusi, sedang dari segi pangkat dia nomor dua setelah Brigjen

Suparjo. Apa sebab gerakan dipimpin Letkol Untung, kenapa bukan Brigjen

Suparjo yang paling tinggi pangkatnya?

(5) Berbagai macam persiapan (misalnya gerakan dipimpin Letkol Untung yang baru

lima bulan berada di pasukan Cakrabirawa/Jakarta, pasukan yang mengambil

bagian dalam gerakan tidak jelas atau terlalu sedikit tidak seperti yang

dilaporkan, logistik tidak memadai), dokumen-dokumen G30S tidak menyebut

kedudukan BK. Dekrit No.1 menyebutkan,

2

“Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi

Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner”;

dalam Keputusan No.2 disebut, “Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara RI

pada 30 September 1965 diambilalih oleh Gerakan 30 September...” lalu ada

penurunan pangkat. Selanjutnya pasukan G30S membunuh tiga orang jenderal di

tempat, membunuh sisanya di Pondokgede/Lubang Buaya. Semuanya ini

mengarah pada suatu desain agar gerakan itu gagal.

(6) G30S tidak mempunyai rencana alternatif, tetapi hanya ada satu rencana, itu

merupakan permulaan kegagalan dari kacamata militer maupun politik seperti

ditulis Jenderal Nasution. Atau ini sebenarnya bagian dari skenario karena G30S

memang dirancang untuk gagal?

Mantan Kolonel Inf Latief tidak pernah menjawabnya sampai maut menjemputnya

pada 6 April 2005 di rumahnya di Tangerang. Kontroversi sejarah G30S masih akan

panjang. (Dari berbagai sumber dan narasumber).

Serial G30S [6]Serial G30S [6]Serial G30S [6]Serial G30S [6]

TOKOH G30S, LETKOL UNTUNG

Oleh : Harsutejo

Tokoh ini tipikal seorang militer lapangan, sama sekali bukan tipe intelektual dengan

otak cemerlang yang mampu melakukan langkah manipulasi canggih penuh

perhitungan. Ia anak bodoh tetapi berani dan setia pada Sukarno. Hal ini amat

berbeda dan berbalikan dengan Jenderal Suharto beserta beberapa pembantunya

seperti Ali Murtopo [dan Yoga Sugomo] Begitu analisis Ben Anderson.. Sekalipun

demikian ia salah satu lulusan terbaik Akademi Militer.

Letkol Untung salah satu pelaku G30S yang sebelumnya pernah menjadi anak buah

Suharto di Jawa Tengah dalam Divisi Diponegoro. Ia pun pernah menjadi anggota

“Kelompok Pathuk” di Yogya meskipun bukan dalam kelas yang sama dengan

Suharto atau Syam. Mereka berpisah pada tahun 1950, kemudian bertemu kembali

pada tahun 1962 ketika bersama bertugas merebut Irian Barat, ia berada di garis

depan.

Mendengar kisah keberaniannya selama bertugas di medan Irian, ia dianugerahi

Bintang Penghargaan oleh Presiden, lalu ditarik menjadi Komandan Batalion I

Resimen Cakrabirawa, suatu kedudukan cukup strategis. Sebelumnya ia pernah

menjabat Komandan Yon 454 Diponegoro, pasukan yang memiliki kualitas yang

kemudian terlibat G30S.

Letkol Untung menikah pada umur yang agak terlambat pada akhir 1964. Acara

perkawinannya dilaksanakan di tempat cukup jauh di daerah udik di desa terpencil

Kebumen. Sekalipun demikian Mayjen Suharto memerlukan hadir bersama isterinya

ke tempat yang ketika itu tidak begitu mudah dicapai. Ia merupakan satu-satunya

perwira tinggi yang datang, ini merupakan kehormatan besar bagi Untung dan

menunjukkan hubungan keduanya cukup akrab. Bahkan yang mempertemukan

Untung dengan calon isterinya ialah Ibu Tien Suharto. Soal kehadiran Suharto ini tidak

pernah diungkapkan olehnya sendiri yang memiliki ingatan tajam itu, tetapi toh

terekam dalam sebuah berita koran Pikiran Rakyat.

Letkol Untung pernah dikirim belajar ke AS, tentunya CIA memiliki cukup catatan

tentang dirinya sehingga ia dapat direkomendasikan. Seperti tercantum dalam catatan

laporan CIA tertanggal 1 Oktober 1965 dalam CIA 2001:300, memorandum untuk

Presiden Johnson bahwa Untung memiliki “military police background and was

trained in the United States”. Sementara orang menyebut catatan CIA ini tidak akurat

karena Untung tidak pernah belajar ke AS. Banyak pihak menyatakan ia seorang

muslim yang taat, sangat muak dengan korupsi dan tingkah laku kehidupan sejumlah

perwira tinggi.

Menurut David Johnson, Letkol Untung bukanlah tergolong pada apa yang disebut

“perwira progresif”, ia pun bukan tergolong perwira yang tidak puas. Ia lebih

tergolong sebagai seorang militer profesional yang berhasil. Ia pun menunjukkan

tanda-tanda memiliki pandangan anti komunis.

Selama beberapa bulan berkumpul di Penjara Cimahi, Bandung, Subandrio mencatat

bahwa Untung bukan orang yang menyukai masalah politik, ia tipe tentara yang loyal

kepada atasan. Ia risau dengan adanya isu Dewan Jenderal yang hendak

menggulingkan Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos dan jujur, hal ini antara lain

dibuktikan dengan kenyataan, sampai detik terakhir sebelum eksekusinya, ia masih

percaya vonis mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan.

2

“Percayalah Pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara”, ujarnya kepada

Subandrio. Ia percaya Suharto mendukung tindakannya terhadap para jenderal dan

akan memberikan bantuan seperti dijanjikannya.

Dalam persidangan Letkol Untung terungkap ia baru mengenal Syam dan Bono ketika

dipertemukan oleh Mayor Udara Suyono kepada sejumlah perwira dalam pertemuan

pertengahan Agustus 1965 sebelum gerakan. Untung yang tidak pernah sepenuhnya

percaya kepada Syam, mencoba melakukan penyelidikan tentang hubungan

rahasianya dengan ketua PKI. Hal ini tidak berlanjut, dan menganggap lebih bijak

untuk tidak menantang Syam berhubung ia terdesak waktu bagi penyelesaian

agendanya sendiri. Bagi Letkol Untung agenda mereka adalah mengambil langkah-

langkah untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal serta melindungi Presiden

Sukarno. Kudeta itu diyakininya akan terjadi pada 5 Oktober 1965.

Berdasarkan kesaksian Mayor AU Suyono maka dapat disimpulkan adanya berbagai

pertentangan di antara tokoh gerakan dengan ketegangan yang kian meningkat serta

bermacam perbedaan pendapat selama berjalannya waktu yang mendekat. Letkol

Untung menjadi cemas dan mungkin mempertimbangan untuk menghentikan

semuanya. Rencana gerakan semula adalah tanggal 25 September, tetapi karena

pasukan dari Jawa Timur belum tiba maka gerakan ditunda sampai 30 September.

Dapat disimpulkan Untung bukanlah seorang komunis bawah tanah. Jika ia seorang

komunis semacam itu, ia mungkin sekali akan mendapatkan akses lebih mudah untuk

menghubungi langsung ketua PKI DN Aidit untuk memastikan kedudukan Syam yang

sebenarnya. Andaikata ia seorang komunis demikian maka dalam kedudukan dan

pangkat yang disandangnya ia bakal memiliki serangkaian pendidikan dan

pengalaman politik yang cukup memadai yang akan dengan mudah membuang ilusi

pribadi terhadap Jenderal Suharto, bahwa Suharto telah berkhianat terhadapnya bagi

keuntungan diri dan kelompoknya. Dengan begitu ia akan menyadari kesalahan

analisisnya terhadap Suharto. Ia seorang prajurit yang setia kepada Bung Karno.

Dokumen yang terkenal dengan Cornell Paper menyebutkan sebelum peristiwa telah

bertahun-tahun, Sukarno, para jenderal [AD], pimpinan komunis dan golongan lain

telah terjerat dalam manuver politik yang rumit. Semua itu secara keseluruhan

menyebabkan Letkol Untung melakukan aksinya.

Letkol Untung dieksekusi mati pada tahun 1969 di Cimahi. Demikianlah nasib seorang

prajurit yang naif politik itu tetap memendam ilusi pribadi besar sampai saat terakhir,

yang pundaknya telah menjadi panjatan sang manipulator. Adatah itu memang

realitas kehidupan di sepanjang sejarah. Pemeo menyatakan itulah politik dalam

kenyataan telanjangnya, menghalalkan segala cara. (Petikan dari Harsutejo, “Sejarah

Gelap G30S” / revisi).

GERWANIGERWANIGERWANIGERWANI Oleh: Harsutejo

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) didirikan pada 1954, sedang cikal bakalnya

sudah berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi 1965, terutama di

kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para pemimpin Gerwani

terdiri dari kaum intelektual cerdik pandai maupun kaum aktivis buruh dan tani.

Mereka telah menghimpun kaum perempuan untuk berjuang bersama kaum laki-laki

merebut hak-hak sosial politiknya.

Di bidang pendidikan mereka telah mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak,

utamanya untuk kalangan tak berpunya dengan bayaran kecil maupun gratis di

seluruh pelosok negeri. Gerakan ini juga giat mendirikan tempat penitipan anak-anak

bagi ibu pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis.

Gerwani merupakan organisasi kaum perempuan paling luas menjangkau seluruh

pelosok Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikin kesadaran akan hak-hak

perempuan termasuk hak-hak politik dan kesadaran politik. Mereka aktif juga dalam

kesenian, kursus masak-memasak, pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan

perempuan dan anak-anak. Pendeknya organisasi ini telah melakukan pemberdayaan

perempuan di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani serta kaum

pinggiran, sesuai dengan cita-cita Ibu Kartini. Gerwani ini pula yang menjadi

primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala macam dongeng

horornya. (Lihat Lubang Buaya).

Pertama-tama propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai dengan menyerang

Gerwani habis-habisan sebagai bagian dari serangan terhadap PKI. Rusaknya nama

dan porak porandanya organisasi perempuan ini berarti rusak dan lumpuhnya separo

organisasi kiri Indonesia. Setelah itu dilakukan serangan fisik terhadap PKI dan

seluruh organnya sebagai bagian penumpasan lebih lanjut pada 1965/1966. Tidak

aneh jika kekejaman terhadap tapol perempuan anggota Gerwani maupun yang

didakwa Gerwani dilakukan dengan amat kejamnya, sering lebih mengerikan karena

harkat perempuannya. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa,

mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat

daripada pencitraan Gerwani sebagai gerakan perempuan kiri yang dimanipulasi

sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki

dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.

Kaum perempuan tidak hanya mengalami penderitaan karena diciduk, ditahan,

dipenjarakan, dibuang, disiksa, tetapi juga ditelanjangi dan diperkosa bergiliran dan

dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumahtangganya, pendeknya

mereka mengalami penderitaan luar biasa lahir dan batin. Perkosaan telah menjadi

kecenderungan umum para petugas keamanan ketika berhadapan dengan tapol

perempuan. Sering pelecehan seksual dan perkosaan terhadap tapol perempuan

menyebabkan kehamilan dan yang bersangkutan melahirkan di tempat tahanan.

Penderitaan itu menjadi lebih lengkap lagi karena mereka melihat kehancuran

keluarga dan nasib anak-anaknya, terpisah-pisah di tempat yang berbeda-beda

dengan kondisi terpuruk yang berbeda-beda pula dengan perlakuan buruk negara

dan masyarakat yang diprovokasi. Tak jarang para ibu ini telah kehilangan jejak

anak-anaknya selama bertahun-tahun setelah dibebaskan dari penjara, bahkan

sebagian sampai saat ini. Tak jarang pula setelah orangtua mereka dibebaskan, anak-

anak yang berkumpul kembali dengan orangtuanya, terutama dengan ibunya, anak-

anak memusuhi dirinya karena merasa menjadi korban perbuatan ibunya, suatu

penilaian amat tidak adil. Itulah salah satu buah indoktrinasi menyesatkan rezim Orba

selama bertahun-tahun yang sangat merusak.

2

Suami seorang perempuan kembang desa di Purwodadi yang anggota BTI ditangkap

pada November 1965, kemudian dibuang ke Pulau Buru. Setiap malam sang isteri

kembang desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa setempat, tentara, pentolan

ormas agama dan nasionalis. Bahkan suatu kali datang seorang tokoh penjagal kaum

komunis yang ketika malam datang menidurinya dengan pakaian berlumuran darah

dan kelewang yang besimbah darah pula. Ini bukan dongeng horor model Lubang

Buaya, tetapi sejarah horor, sejarah hitam legam kaum militer Orba sebagai

panutannya yang telah menciptakan kondisi dan konsep kebuasan tersebut. (Baca

buku John Roosa cs [ed], Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Elsam, Jakarta, 2004).

Sungguh nama baik Gerwani yang telah mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan

rakyat kecil umumnya itu, sebagai kelanjutan cita-cita Ibu Kartini telah dinodai dan

dirusak habis-habisan dengan fitnah jahat tiada tara. Dengan upaya bersama semua

pihak yang peduli, terlebih lagi kaum sejarawan dan aktivis perempuan, hari depan

negeri ini akan memberikan tempat yang layak bagi Gerwani dalam sejarah bangsa.

Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965 [Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita][Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita][Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita][Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita]

Oleh Eep Saefulloh Fatah

Universitas Indonesia

Salah satu episode sejarah kita yang masih remang-remang, bahkan gelap, dan

karenanya mengundang kontroversi yang tak habis-habis hingga kini adalah

“Gerakan 30 September 1965” (G30S1965) – atau “Gerakan 1 Oktober” (Gestok), atau

apapun Anda mau menamainya *[1]. Salah satu pertanyaan utama yang jawabannya

hingga sekarang masih kabur dan menggantung adalah: Siapa sesungguhnya dalang

dari gerakan itu? Partai Komunis Indonesia (PKI), Sukarno, Soeharto, Angkatan Darat

(AD), kekuatan(-kekuatan) asing, atau siapa?

Di masa Orde Baru, ketika negara memposisikan dirinya sebagai pemonopoli tafsir

atas sejarah, kita hanya diperkenankan mengakses satu versi tunggal produk negara.

Menurut versi ini, pihak yang paling bertanggung jawab atas G30S1965 adalah PKI.

Singkatan G30S/PKI pun dimassalkan sebagai penamaan resmi peristiwa itu.

Sepeninggal Soeharto, dalam rentang waktu lebih dari tujuh tahun ini, negara tak lagi

berkuasa menjadi pemonopoli tafsir atas sejarah. Maka beragam versi tentang

episode gelap sejarah ini pun mulai termasalkan, bisa diakses secara leluasa oleh

masyarakat. Berbagai literatur yang berusaha memotret peristiwa tersebut dengan

perspektif yang beragam dan dalam beberapa hal saling bertentangan,

diterjemahkan dan diterbitkan ulang. Belakangan, kekayaan pemahaman kita atas

peristiwa itu bahkan diperkaya dengan terbitnya sejumlah memoir, biografi dan

otobiografi yang ditulis oleh atau tentang tokoh-tokoh yang sedikit banyak berkaitan –

langsung maupun tidak – dengan peristiwa itu. Maka, sebetulnya secara otodidak

siapapun bisa melakukan rekonstruksi atas episode sejarah yang belum juga terang

itu.

Sekalipun demikian, sejatinya belum ada upaya resmi, terlembagakan yang sungguh-

sungguh, sistematis, terorganisasi, seksama untuk melakukan rekonstruksi sejarah di

seputar peristiwa tragis itu. Tulisan ini berusaha menggarisbawahi urgensi

rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 untuk mendudukkan sejarah secara patut

sebagai pijakan penting bagi perebutan masa depan yang lebih demokratis, adil, dan

terbuka.

Memfokuskan diri pada diskusi soal dalang G30S1965, tulisan ini akan dibuka dengan

pengungkapan kembali berbagai versi yang sempat beredar tentang G30S1965.

Bagian berikutnya merekonstruksikan perdebatan yang terjadi di penghujung Orde

Baru (akhir 1980-an hingga akhir 1990-an) yang dikristalisasi oleh terbitnya versi

resmi Orde Baru yang lebih dikenal sebagai Buku Putih. Akhirnya, akan

digarisbawahi unsur-unsur gelap dalam sejarah G30S1965 yang masih tersisa

sepeninggal Soeharto hingga hari ini. Masih terus tersisanya sisi-sisi gelap ini

menggarisbawahi betapa penting dan mendesaknya rekonstruksi sejarah atas

peristiwa G30S1965 itu.

[1] Tulisan ini akan menggunakan istilah Gerakan 30 September (G30S) sebagai

istilah yang netral, bertolak dari fakta sejarah bahwa geger berdarah di tahun

1965 ini memang bermula secara konret dari gerakan yang terjadi pada 30

September 1965. Istilah lain, misalnya G-30-S/PKI, akan digunakan sejauh

memang tercantum dalam kutipan langsung dari literatur yang digunakan.

2

Beragam Versi

Sebagai sebuah peristiwa besar, G30S1965 telah mengundang perdebatan politik dan

akademik yang cukup ramai. Berikut adalah beberapa contoh analisis terkemuka

mengenai peristiwa berdarah itu yang ditulis oleh beragam kalangan dengan

beragam perspektif.

[1] Artikel Hall dan Cornell Paper

Tak lama setelah peristiwa G30S1965, setidaknya ada dua analisis yang muncul

dari pengamat asing yang, menariknya, keduanya bertentangan. Dalam Reader's

Digest edisi November 1966, Clerence W. Hall menggambarkan G30S1965

sebagai manuver PKI dan Sukarno untuk melanjutkan skenario politik yang telah

mereka susun selama Demokrasi Terpimpin. Dalam versi Hall, PKI dan Sukarno

adalah dalang di belakang peristiwa berdarah itu.

Nyaris bersamaan dengan publikasi tulisan Hall, muncul Cornell Paper; makalah

Benedict R.O.G. Anderson dan Ruth McVey berjudul A Preliminary Analysis of

The October 1, 1965, Coup in Indonesia (1966). Anderson dan McVey

menyimpulkan bahwa G30S1965 adalah persoalan intern Angkatan Darat. PKI

bukanlah dalang. Menurut versi ini keterlibatan PKI terjadi dalam saat-saat akhir,

itupun karena PKI "dipancing untuk masuk" dan akhirnya benar-benar terseret

masuk. Keterlibatan PKI, menurut Cornell Paper, hanya bersifat insidental

belaka.

Banyak yang meragukan kesahihan artikel Hall maupun Cornell Paper. Kedua

analisis ini dibuat pada saat Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) masih

menyidangkan para pelaku G30S1965 dan banyak dokumen belum terungkap.

Wajar jika Cornell Paper -- yang memang lebih terkenal ketimbang artikel Hall --

pun mendapatkan reaksi dari pelbagai penjuru.

[2] Bantahan terhadap Cornell Paper

Dari dalam negeri, dua tahun setelah publikasi Cornell Paper, muncul bantahan

dari Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh melalui buku The Coup Attempt of

The September Movement in Indonesia (1968). Ismail Saleh dan Notosusanto

membantah versi Anderson dan McVey dengan menunjukkan bahwa PKI lah

yang mendalangi kup yang gagal di penghujung September itu.

Menurut versi ini, Angkatan Darat sama sekali tidak menduga akan terjadi

peristiwa berdarah itu. Dengan begitu, versi ini membantah analisis Anderson

dan McVey bahwa peristiwa itu adalah ekspresi persoalan intern di dalam tubuh

Angkatan Darat.

Pada tahun yang sama (1968) terbit pula buku John Hughes berjudul The End of

Soekarno. A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild. Buku ini menunjukkan

G30S1965 lebih sebagai kup PKI daripada persoalan intern Angkatan Darat.

Hughes -- sebagaimana Ismail Saleh dan Notosusanto -- melihat militer sebagai

penyelamat keadaan, bukan dalang di belakang tragedi besar itu.

Bantahan terhadap Cornell Paper juga datang dari Anthonie C.A. Dake melalui

dua karyanya: In The Spirit of Red Banteng dan The Deviuos Dalang: Sukarno and

the So-Called Untung Putch. Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Dake

menilai bahwa Sukarno lah dalang G30S1965. Sukarno -- menurut Dake -- tidak

sabar menghadapi tokoh-tokoh Angkatan Darat yang tidak suka program

revolusinya.

3

Melalui konspirasinya dengan kekuatan komunis -- "musuh" Angkatan Darat

sepanjang Demokrasi Terpimpin -- Sukarno merasa perlu untuk melakukan

"pembersihan".

Versi Dake tersebut memperoleh dukungan antara lain dari David Lowenthal

seorang profesor ahli Soviet-Jerman. Dengan mendasarkan diri pada dokumen-

dokumen otentik pemeriksaan Widjanarko, Lowenthal menunjukkan secara

eksplisit keterlibatan Sukarno dalam G30S1965. Menurut Lowenthal --

sebagaimana dikutip Soerojo (1989; xxvii) -- Sukarno mengkreasi peristiwa itu

untuk menghilangkan kerikil-kerikil yang mengganjal jalannya "revolusi yang

belum selesai".

[3] Keterlibatan Amerika

Versi lain mengungkapkan CIA sebagai dalang di belakang peristiwa G30S1965.

Versi ini antara lain diungkapkan melalui sebuah tulisan Peter Dale Scott -- Guru

Besar Universitas California, Berkeley -- yang termuat dalam Pacific Affairs

(1984).

Setelah publikasi versi Dale, pada Juli 1990, kontroversi soal keterlibatan CIA

kembali diungkap oleh Kathy Kadane, wartawati kantor berita States News

Service Amerika Serikat. Kadane menyatakan bahwa CIA lah yang memberikan

daftar 5000 nama tokoh PKI kepada TNI Angkatan Darat pada 1965. Tokoh-tokoh

yang ada dalam daftar itulah yang kemudian dihabisi seusai kegagalan

G30S1965.

Sebelum muncul artikel Kadane, ada bahan lain yang mengungkapkan

keterlibatan CIA, yakni buku CIA-KGB yang ditulis oleh Celina Beldowska dan

Jonathan Bloch (1987). Dalam buku ini tertulis tegas: "pada 1965, CIA dengan

sukses mengorganisir kampanye propaganda untuk menggulingkan Sukarno".

Dua belas tahun sebelum terbitnya buku Beldowska dan Bloch -- tepatnya April

1975 -- dalam Konferensi "CIA dan Perdamaian Dunia," Winslow Peck (analis

intelijen Dinas Keamanan AU Amerika) secara gamblang juga mengungkap

keterlibatan CIA. Peck menyebut penggulingan Sukarno di akhir 1960-an adalah

sukses CIA yang disokong oleh pelbagai pihak pro-Barat di Asia, terutama Asian

Regional Organization.

Versi keterlibatan Amerika -- terutama melalui CIA -- tersebut ditentang oleh

sejumlah kalangan. Dari kalangan resmi pemerintah AS, Marshall Green -- Duta

Besar Amerika di Jakarta yang menyaksikan sendiri perpindahan kekuasaan dari

Sukarno ke Soeharto -- mengajukan bantahan melalui bukunya Dari Sukarno ke

Soeharto: G 30 S - PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar (1992).

Dalam ulasannya -- dengan bahasa diplomasi yang kental -- Green menilai

G30S1965 memiliki kaitan dengan gerakan komunis internasional yang saat itu

memang sedang menggencarkan perluasan ideologi komunis di Asia tenggara,

terutama melalui Vietnam dan Indonesia. Green bahkan menunjuk adanya

sejumlah indikasi keterlibatan RRC di belakang manuver PKI yang gagal itu.

Howard Palfrey Jones, mantan Dubes Amerika untuk Indonesia sebelum Green,

juga memaparkan versi yang serupa. Dalam bukunya Indonesia: The Possible

Dream (1971) Jones menggambarkan G30S1965 sebagai kudeta abortif kekuatan

komunis di Indonesia untuk melenyapkan pimpinan teras Angkatan Darat

4

serta lebih lanjut membangun pemerintahan kiri. Amerika, di mata Jones, tidak

ikut serta mengkreasi kudeta itu atas nama kepentingan politik apa pun.

Dari kalangan akademisi, bantahan semacam itu pernah datang dari H.W.

Brands, asisten profesor pada sebuah Universitas di Texas. Melalui artikelnya,

"The Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno"

(termuat di Journal of American History edisi Desember 1989), Brands

membantah keterlibatan Washington dalam penumbangan Sukarno.

Dengan menggunakan bahan yang sebagian besar diperoleh dari perpustakaan

Lyndon B. Johnson, Brands misalnya mengungkapkan betapa Amerika "tidak

mengenal Soeharto". Atas dasar itu, menurut Brands, adalah tak mungkin

Amerika ada di belakang penggulingan Sukarno di penghujung 1960-an itu.

Debat di Penghujung Orde Baru : Soegiarso, Manai, dan Buku Putih

Dalam rentang waktu sekitar satu dekade terakhir Orde Baru, ada setidaknya dua

perdebatan besar yang terjadi mengenai dalang G30S1965. Pertama, perdebatan

yang terus berlanjut hingga akhir tahun 1980-an di sekitar penerbitan buku Soegiarso

Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai. Kedua, kontroversi yang

meramaikan terbitnya dua buku: karya Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang

Berhak, dan Buku Putih yang diterbitkan Sekretariat Negara (1996).

Pandangan Soegiarso tentang G30S1965 tertulis di halaman 391 bukunya: "Kudeta itu

dilakukan PKI dengan dukungan dari luar dan dari dalam negeri, di samping

dukungan diam-diam dari Kepala Negara yang kebetulan juga seorang Marxis

konsekuen sejak muda."

Untuk mendukung pandangannya, Soegiarso menunjukkan argumen untuk

mendukung teori berperannya PKI, adanya pelbagai dukungan terhadap PKI dan

keterlibatan Sukarno. Dasar argumentasi Soegiarso kebanyakan didasarkan pada

bukti-bukti yang tersertakan dalam keputusan-keputusan MPRS soal pidato

Nawaksara Sukarno dan pelengkapnya maupun pada sejumlah indikasi yang ditemui

Soegiarso dalam praktek Demokrasi Terpimpin.

Lebih jauh Soegiarso bahkan sampai pada kesimpulan: "Maka menurut penulis,

segalanya memang sudah diatur rapi, bertahun-tahun sebelumnya, berdasarkan suatu

skenario tertentu. Siapa sutradaranya, menurut nalarku ya Pemimpin Besar Revolusi

itu sendiri" (hal. 392).

Soegiarso menguatkan tesisnya ini dengan menunjukkan betapa Sukarno tidak

bersikap tegas menghadapi pemberontakan PKI 1948, memberi angin bagi

pembesaran PKI sehingga berhasil menjadi salah satu partai di antara empat besar

dalam Pemilu 1955, membangun Demokrasi Terpimpin yang memberi peluang

kepada PKI untuk berkembang melalui konsep "kabinet berkaki empat", selalu

memihak dan melindungi PKI dalam Demokrasi Terpimpin. Peranan Sukarno dalam

G30S1965, menurut Soegiarso, adalah puncaknya.

Buku Manai Sophiaan mengajukan versi yang bertentangan dengan versi Soegiarso.

Manai secara gamblang menuturkan-ulang versi Sukarno sendiri tentang G30S1965.

Bahwa peristiwa berdarah itu terjadi karena tiga faktor: (1) keblinger-nya pemimpin

PKI; (2) lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo Kolonialisme dan

Imperialisme); dan (3) adanya "oknum yang tidak benar".

5

Menurut Manai, para pemimpin PKI menjalankan gerakan itu tanpa persetujuan dari

bawah. Mereka terjebak oleh isu kudeta Dewan Jenderal. Berbeda dengan versi resmi

selama ini -- yang menganggap PKI sendirilah yang merekayasa isu Dewan Jenderal

itu -- Manai mencurigai intelijen Barat sebagai perekayasa isu.

Para pemimpin PKI kemudian keblinger karena khawatir dengan kemungkinan

kudeta yang akan dijalankan oleh para jenderal Angkatan Darat. Maka Biro Khusus

PKI pun mendahuluinya dengan Gerakan 30 September. Karena kekhawatiran itu pula

-- menurut Manai -- PKI kemudian menjadikan para jenderal AD sebagai sasaran

utama dan pertama yang harus mereka bersihkan.

Lebih lanjut Manai juga menyebut soal kedekatan Amerika dengan pihak AD (A.H.

Nasution adalah nama yang disebut Manai sebagai jenderal AD yang dekat dengan

Amerika itu). Pihak-pihak yang dekat dengan Amerika inilah yang disebut Sukarno

(dan juga Manai) sebagai "oknum yang tidak benar".

Dengan memaparkan kedekatan Amerika-AD ini, Manai sepertinya ingin

menunjukkan bahwa Amerika memang memiliki peran dalam pemanasan suhu politik

saat itu. Para pemimpin PKI kemudian terpancing untuk mempercepat sebuah

gerakan untuk menyelematkan kepentingan PKI di tengah suhu politik yang makin

panas. Sementara Sukarno -- dalam pandangan Manai -- tidak terlibat dalam

pergolakan yang terjadi sebagai akibat memanasnya hubungan PKI dengan Angkatan

Darat itu. Sukarno tidak mengetahui, apalagi menjadi dalang, gerakan yang dilakukan

para pemimpin PKI yang keblinger itu. Sukarno -- simpul Manai -- tak terlibat

G30S1965.

Jika Soegiarso dan Manai sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang tegas dan

eksplisit, Buku Putih menghindari penyimpulan semacam itu. Buku Putih memang

secara gambling menunjuk PKI sebagai dalang G30S1965. Berbagai anasir yang

terlibat dalam gerakan ini, menurut Buku Putih, merupakan bagian dari kudeta

(gagal) yang dikendalikan oleh PKI. Namun, berbeda dengan buku Manai dan

Soergiarso yang memposisikan diri secara tegas menunjukkan dengan terang

ketidakterlibatan dan keterlibatan Sukarno dalam G30S1965, Buku Putih mengambil

posisi yang lebih "tersamar".

Dari Buku Putih tidak akan kita temui tuduhan tegas soal keterlibatan Sukarno dalam

peristiwa G30S1965. Bab VII buku ini -- dengan judul "Sikap Presiden Sukarno

terhadap Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia" -- hanya menunjukkan

fakta-fakta sejarah tentang ucapan dan tindakan Sukarno di seputar peristiwa itu.

Dalam konteks itu Ada tiga alinea penting dalam Bab ini. Yakni :

"Kenyataan yang terlihat dengan jelas adalah bahwa, baik pimpinan PKI maupun

jajaran Biro Khusus PKI memanipulasikan secara cerdik untuk kepentingan PKI dan

gerakan komunisme internasional seluruh peluang yang terbuka oleh

kebijaksanaan politik Presiden Sukarno yang terpusat pada konsepsi Nasakom"

(hal. 141).

"Pada periode epilog G-30-S/PKI, banyak sikap/tindakan Presiden Sukarno yang

bernada membela atau menguntungkan G-30-S/PKI. Sikap dan tindakan Presiden

Sukarno tersebut, bahkan identik dengan saran-saran D.N. Aidit yang disampaikan

melalui suratnya kepada Presiden Sukarno, setelah D.N. Aidit melarikan diri dan

bersembunyi di Jawa Tengah" (hal. 147).

6

"Apa yang dilakukan oleh Presiden Sukarno setelah gagalnya G-30-S/PKI adalah

mengarah kepada menyelamatkan organisasi PKI dan paham komunisme

sebagaimana diinginkan oleh D.N. Aidit" (hal. 150).

Dalam mengembangkan ketiga alinea penting itu, Buku Putih menyikapi keterkaitan

Sukarno dengan G30S1965 dalam beberapa sikap berikut.

Pertama,

G30S1965 dinilai oleh Buku Putih sebagai klimaks dari manuver PKI untuk

mengarahkan jalannya perpolitikan Demokrasi Terpimpin menuju "kemenangan

PKI dan gerakan komunisme internasional". Dalam konteks ini, Sukarno tidak

dinilai (secara eksplisit) sebagai aktor yang aktif dalam manuver itu.

Sukarno hanya dieksplisitkan sebagai seorang aktor politik yang pasif. Sukarno

hanya memberi peluang kepada PKI untuk memenuhi ambisi politiknya itu

melalui konsepsi Nasakom. PKI lah yang dengan cerdik memanfaatkan konsepsi

Sukarno itu untuk tujuan dan ambisi politiknya.

Inilah yang membedakan Buku Putih dengan buku Manai dan Soegiarso. Jika

Manai sama sekali membersihkan nama Sukarno, Soegiarso sebaliknya

menempatkan Sukarno sebagai dalang, Buku Putih berhenti pada "kesimpulan

yang mencari aman".

Kedua,

Buku Putih hanya memberi informasi mentah tentang sikap Sukarno di seputar

peristiwa G30S1965. Buku Putih tidak menuding Sukarno, melainkan hanya

mengajukan sejumlah indikasi tegas yang menunjukkan betapa Sukarno

bersikap sangat lunak terhadap pelaku G30S1965. Sukarno -- yang hanya

menganggap peristiwa besar itu sebagai "kejadian biasa dalam revolusi" --

dinilai kompromistis terhadap para pelaku kudeta yang gagal itu.

Ketiga, Buku Putih menampilkan -- sambil menyayangkan -- tindakan Sukarno yang

membela PKI dan faham komunis dalam epilog peristiwa G30S1965. Buku Putih

merepresentasikan sikap "pendukung Orde Baru" yang menyayangkan ketidakmauan

Sukarno membumihanguskan PKI beserta kekuatan-kekuatan di seputarnya.

Sebaliknya, Sukarno justru menunjukkan pembelaan yang tegas terhadap kekuatan

komunis setelah kup PKI yang gagal itu.

Dalam kerangka itu, Buku Putih menyajikan sejumlah fakta yang menunjukkan sikap

dan tindakan Sukarno yang lunak terhadap PKI bahkan cenderung menyelamatkan

partai komunis dan faham komunismenya itu. (Lihat Tabel)

Tabel

Pernyataan Sikap dan Tindakan Sukarno yang Lunak terhadap PKI

Pernyataan Sikap

1 Pidato kepada KAMI, 12 Desember 1965

2 Pidato 13 Desember 1965

3 Pidato 18 Desember 1965

4 Pidato HUT Dwikora, 21 Desember 1965

5 Pidato di depan Delegasi GMKI, 24 Desember

7

Tindakan

1 Tidak menindak Men/Pangau Omar Dhani sebaliknya mengizinkan Omar Dhani

menginap di Istana Bogor dan memberi penugasan ke luar negeri antara 19-10

s.d. 20-12-1965

2 Tidak mengambil tindakan hukum terhadap pimpinan pelaksanaan G-30-S/PKI,

Brigjen Soepardjo

3 Tidak menindak Aidit bahkan memberi tanggapan positif terhadap surat Aidit

dari persembunyiannya di Jawa Tengah

4 Mengizinkan Njoto (anggota Politbiro CC PKI) menyampaikan sikap PKI terhadap

masalah G-30-S-PKI dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora (6-10-65). Bahwa

G-30-S/PKI adalah gerakan intern AD dan PKI mendukung pembersihan di dalam

Angkatan Darat

5 Sukarno yang berjanji akan memberikan political solution terhadap masalah G-

30-S/PKI malah membentuk Kabinet 100 Menteri yang di dalamnya terekrut

orang-orang yang jelas pro PKI.

6 Membubarkan KAMI pada 25 Februari 1966

7 Tatkala Sidang Umum IV MPRS memberi peluang kepada Sukarno untuk

memberikan pengertian kepada rakyat tentang G-30- S/PKI, Sukarno justru

menunjukkan keengganan dan kealpaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban

konstitusionalnya; dan pertanggungjawaban Sukarno melalui pidato Nawaksara

tidak cukup memberikan pertanggungjawaban atas terjadinya G-30-S/PKI

bahkan tidak menyinggung peranan PKI dalam gerakan tersebut.

Urgensi Rekonstruksi Sejarah 1965

Setelah kejatuhan Soeharto, 21 Mei 1998, jalan bagi rekonstruksi peristiwa G30S1965

mulai terbuka. Sejauh ini, telah terbentuk setidaknya tiga modus operandi bagi upaya

rekonstruksi ini. Pertama, diskusi terbuka melalui media massa yang menghirup

kebebasan baru setelah berbagai kebijakan liberalisasi pers dijalankan. Kedua,

penerjemahan dan penerbitan ulang dalam bahasa Indonesia berbagai versi – yang

antara lain diringkaskan di bagian terdahulu – yang sebelumnya tak diperbolehkan

diakses oleh masyarakat. Ketiga, penulisan memoir, biografi dan otobiografi yang

ditulis oleh atau tentang para pelaku sejarah yang berkait langsung maupun tidak

dengan peristiwa G30S1965.

Karena Soeharto sudah tak lagi berkuasa, maka salah satu spekulasi yang banyak

didiskusikan melalui tiga modus operandi itu adalah kemungkinan keterlibatan

Soeharto di dalam peristiwa berdarah itu. Di masa awal reformasi, misalnya, sejumlah

diskusi mengarahkan fokusnya pada terbukanya kemungkinan bahwa Soeharto, tokoh

yang selama ini dikenal sentral sebagai pembasmi PKI, bisa jadi terlibat atau paling

tidak mengetahui tapi membiarkan kup berdarah tersebut.

Salah satu titik yang menjadi benang merah ke arah kesimpulan ini adalah kedekatan

mantan presiden tersebut dengan tokoh-tokoh G30S1965, seperti Letkol Untung, Kol.

Latief, dan Brigjen Soepardjo. Selain itu, Soeharto juga dikenal aktif di sebuah

kelompok diskusi politik yang dikenal sebagai ''Kelompok Pathuk'', Yogyakarta di

masa awal kemerdekaan. Di kelompok inilah ia mengenal Sjam Kamaruzaman dan

Untung, dua tokoh lain yang menjadi tokoh kunci peristiwa G30S1965.

8

Pengakuan Latief melalui pledoi pengadilan Mahmilub pada 1978, yang antara lain

mengaku telah memberitahu Soeharto mengenai ''Dewan Jenderal'' serta rencana

sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup untuk menyingkirkan Bung

Karno, juga disinggung dalam laporan berbagai media. Tabloid Adil misalnya,

mengutip Latief: ''Saya sudah lapor kepadanya bahwa malam itu (30 September)

sejumlah jenderal akan diculik.”

Diamnya Soeharto (tidak melaporkan soal ini ke MenPangab Letjen Ahmad Yani),

kedekatannya dengan tokoh-tokoh kunci G30S1965, membuat sejumlah orang

membuat hipotesis mengenai kemungkinan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa

tersebut. Sebetulnya, ini bukan hipotesis baru. W.F. Wertheim, dalam Whose Plot?

New Light on The 1965 Events yang diterbitkan pada 1979, telah menulis bahwa plot

G30S1965 dirancang oleh sebuah komplotan dalam klik Angkatan Darat: Sjam, Kepala

Biro Chusus Central PKI, yang (menurut Wertheim) bertugas membangun jaringan di

tubuh Angkatan Darat.

Menurut Wertheim, Biro Chusus bekerja bebas dari PKI sebagai partai dan organisasi.

Aidit, Ketua Comite Central tak melaporkan kegiatan Sjam ke organisasi. Menurut

tesis ini pula, klik antara Sjam dan Soeharto yang menyusup ke PKI itulah yang

menjadi dalang dibalik peristiwa G30S1965.

Tentu saja diperlukan penelusuran dan pembuktian lebih lanjut terhadap tesis itu.

Tetapi, bagaimanapun, reformasi telah memberi peluang bagi upaya pembongkaran

kembali data-data sejarah di seputar peristiwa penting ini. Dalam sebuah analisisnya,

sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mencatat bahwa ada enam sampai tujuh versi

yang berkembang dalam diskusi di awal masa reformasi itu. Ada versi yang

mengatakan PKI dalang peristiwa tersebut. Ada versi yang menyebut dalangnya

Sukarno. Ada versi yang mengatakan peran Soeharto tidak bisa diabaikan begitu saja

dalam peristiwa tersebut. Ada versi yang mengatakan dalangnya adalah satu klik di

AD. Ada pula versi yang mengemukakan faktor eksternal, yakni keterlibatan CIA

dalam konteks perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Siapa yang merancang dan mengendalikan G30S1965 adalah satu sisi gelap sejarah

yang hingga kini belum juga berhasil dibuat terang. Dalam kerangka ini, dibutuhkan

upaya rekonstruksi sejarah yang seksama sehingga bisa terbangun versi yang paling

bisa dipertanggungjawabkan secara akademik sekaligus secara politik.

Selain soal perancang dan pengendali G30S1965, sisi gelap lain yang perlu dibuat

terang adalah mengenai jaringan pelaku, tentang mereka yang secara massif

memang terlibat. Versi resmi pemerintah Orde Baru memposisikan siapa saja yang

terkait dengan PKI atau bahkan sekadar gerakan kiri di masa itu, sebagai mereka

yang terlibat dan mesti bertanggung jawab atas gerakan itu. Pendekatan gebyah uyah

(generalisasi serta merta) ini terbukti mendatangkan masalah.*[2] Banyak sekali

orang yang akhirnya diberi sanksi – yang bahkan berlapis-lapis hingga ke keturunan

mereka secara bertingkat-tingkat – atas kesalahan yang tak mereka lakukan.

Sebagai akibat dari pendekatan yang tak bertanggung jawab itu, terparaktikkanlah

perlakuan politik yang tak manusiawi terhadap mereka yang diberi stigma

“komunis”. Maka, upaya rekonstruksi sejarah bukan saja dibutuhkan untuk

mengklarifikasi siapa saja yang selayaknya dimintai pertanggungjawaban atas

gerakan berdarah itu, melainkan juga untuk merehabilitasi status politik dan hukum

dari banyak sekali orang yang telah dimintai pertanggungjawaban untuk peristiwa

yang sejatinya mereka tak ikut terlibat di dalamnya.

9

Sisi gelap lainnya yang juga membutuhkan upaya rekonstruksi dan penjawaban-ulang

tak main-main adalah soal jumlah korban. Sejauh ini tersedia data jumlah korban yang

beragam.

Sumber-sumber resmi tentu saja menyebutkan jumlah korban yang minimal. Fact

Finding Commission yang dibentuk segera setelah peristiwa G30S1965 terjadi,

misalnya, menyebut jumlah korban 78.000 orang. Data itu jauh lebih kecil dari yang

disebutkan oleh Kopkamtib – sebagaimana dikutip oleh Frank Palmos (“One Million

Dead?”, The Economist, 20 Agustus 1966) dan Robert Cribb (ed., The Indonesian

Killings of 1965-1966, 1990) – yang menyebutkan jumlah korban sebesar 1 juta jiwa.

Cribb (1999) sendiri menyebut 500.000 jiwa sebagai jumlah korban yang wajar.

Sementara Iwan Gardono (dengan menjumlahkan dan merata-ratakan jumlah korban

yang disebut oleh 39 literatur) menyebut angka 430.590 orang. Terlepas dari

ketidaksepakatan mengenai jumlah korban itu, dibutuhkan upaya sungguh-sungguh

untuk menelusuri kembali berbagai sumber sejarah yang tersedia guna memperoleh

data jumlah korban yang kredibel.

Dalam konteks kontroversi peristiwa G30S1965 yang tak kunjung habis, Asvi Warwan

Adam (2005) pun menyebut 1965 sebagai “tahun yang tak pernah selesai.” Pengaruh

tahun 1965 hingga sekarang tak kunjung menyurut. Bukan hanya itu, implikasi

peristiwa di tahun itu terhadap kehidupan sejumlah besar orang hingga saat ini masih

terus berjalan. Sejumlah mantan tahanan politik akibat peristiwa 1965 itu, misalnya,

masih terus mencari keadilan hingga sekarang.

Sejarah memang penting bukan ketika peristiwanya terjadi melainkan karena apa

yang kemudian mengikutinya. Sejarah 1965 menjadi penting karena pengaruhnya

terasa hingga waktu-waktu setelah itu, hingga saat ini. Celakanya, sejarah lazimnya

dibuat oleh mereka yang menang. Setiap zaman pun akhirnya punya tuturan sejarah

sesuai dengan pemegang kendali kekuasaan di masa itu. Lalu, bagaimana halnya

dengan kita di hari ini, ketika demokratisasi terjadi dan semestinya kehidupan

menjadi lebih transparan, terbuka dan bertanggung jawab?

Demokratisasi sejatinya adalah usaha untuk mereposisi para pemegang kekuasaan

sehingga akhirnya penguasa sesungguhnya adalah orang banyak. Benar bahwa tak

pernah ada system demokratis yang secara ideal menjadikan orang banyak sebagai

pemegang kedaulatan politik tertinggi senyatanya dan sejatinya. Namun demikian,

sistem yang lebih demokratis seyogianya memfasilitasi perumusan ulang sejarah atas

nama tingkat kejujuran, objektivitas dan akuntabilitas yang lebih terjamin.

Maka, selayaknya, atas nama peningkatan kualitas demokrasi, upaya rekonstruksi

sejarah peristiwa G30S1965 dilakukan segera secara terlembagakan, seksama, dan

terorganisir.

Pemerintah selayaknya menugaskan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)

untuk segera membentuk tim yang independen secara politik dan kredibel secara

akademik/intelektual yang beranggotakan para ilmuwan – khususnya sejarawan –

yang kompeten. Tim ini selayaknya bekerja secara profesional dengan memanfaatkan

secara optimal sumber-sumber sejarah yang ada, mulai dari literatur yang

sesungguhnya kaya hingga para pelaku sejarah yang terkait dengan peristiwa

G30S1965 yang masih hidup.

Kita terlanjur mengenal peribahasa “bangsa yang besar adalah yang menghormati

para pahlawannya”. Sesungguhnya, ada rumusan yang lebih tepat dan komprehensif :

10

“Bangsa yang besar adalah yang pandai menghargai waktu sebagai tiga lipat masa

kini : masa lalu sebagai alat peringatan dan memori bagi masa kini, masa kini sebagai

tempat kerja keras dan memperbaiki diri, dan masa depan sebagai harapan masa

kini.” Rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 adalah salah satu (dari sekian banyak)

pembuktian sebagai bangsa yang besar itu.

[2] Sejumlah karya sastra telah (dengan caranya sendiri yang khas) telah mengeritik

pendekatan ini dengan memperlihatkan betapa banyak orang yang tak berdosa

akhirnya terkena getah G30S1965 dan mesti menjalani hukuman atas kesalahan

yang tidak mereka buat. Untuk sekadar menyebut karya sastra itu: trilogi

Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan Para Priyayi-nya Umar Kayam.

Biodata Singkat Penulis Eep Saefulloh Fatah lahir di Cibarusah, Bekasi, 13 November

1967. Lulus sarjana S1 dari Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) Universitas Indonesia, dengan skripsi berjudul Negara dan Pengelolaan

Konflik Orde Baru 1967-1988: Studi Atas Kasus Malari, Petisi 50, dan Tanjung Priok.

Sejak 2000 menjadi mahasiswa program PhD di Department of Political Science, The

Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat.Pernah menjadi anggota MPR

Utusan Golongan (1 Juli 1998 – 8 September 1998). Menjadi anggota Tim 11 (Panitia

Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, P3KPU) antara lain bersama

almarhum Prof. Nurcholish Madjid, Prof. Miriam Budiardjo, Dr. Adnan Buyung

Nasution, yang bertugas memverifikasi partai-partai politik calon peserta Pemilu

1999. Di tengah persiapan dan pelaksanaan Pemilu 1999, mendirikan dan memimpin

Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP), kemudian mendirikan dan memimpin

konsorsium berbagai LSM dan aktivis dalam bentuk Keluarga Indonesia untuk Pemilu

Damai (KIPD).Antara 1998-2000 pernah menjadi pemandu talk show radio, Hubungan

Sipil Militer (dipancarkan melalui jaringan radio secara nasional), talk show TV,

Wacana Pemilu (ANTV), dan Menuju Indonesia Baru serta Indonesia Baru (keduanya

disiarkan langsung oleh RCTI, RCTI, TPI, ANTV dan Indosiar). Selain itu, aktif

melakukan kegiatan riset, pendidikan publik dan penulisan. Menjadi anggota Dewan

Riset Nasional (1999-2004). Antara tahun 1994-2004, menulis dan menerbitkan sepuluh

judul buku tentang politik dan demokratisasi di Indonesia serta aktif menulis di jurnal

ilmiah dan media massa Indonesia. Saat ini, selain berstatus sebagai staf pengajar di

Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Depok, juga memimpin Lingkaran

Persaudaraan Pemberdayaan Warga Negara (sejak 1999) dan Konsorsium Merebut

Masa Depan Maritim Indonesia (sejak Januari 2005).

Sumber: Buku Antologi: "Tragedi Kemanusiaan 1965 - 2005"; di terbitkan oleh

Lembaga Sastra Pembebasan dan Toko Buku Malka - Bandung

Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi ’65Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi ’65Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi ’65Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi ’65 Oleh : Baskara T. Wardaya, SJ

Tahun 2005 merupakan tahun peringatan 40 tahun salah satu lembaran paling hitam

dalam sejarah Indonesia, yakni Tragedi 1965. Dalam tragedi itu ada tujuh orang

perwira tinggi Angkatan Darat ditangkap dan dibunuh sebagai akibat operasi militer

yang diadakan oleh Letkol Untung Syamsuri dan kawan-kawan. Selang beberapa

waktu kemudian ada ratusan ribu rakyat Indonesia yang dalam tempo beberapa bulan

tewas dibantai oleh rekan-rekan sesama warga negara. Lebih lanjut, selama beberapa

dekade berikut, ingatan akan tragedi yang terjadi pada tahun 1965-66 itu terus

diproduksi dan dikemas sedemikian rupa hingga menjadi alat efektif untuk melayani

berbagai macam kepentingan kelompok.

Oleh karena itu dalam berbicara mengenai Tragedi ’65 kita perlu merinci dan

menyoroti tiga unsur penting yang tampak tak terpisahkan namun sebenarnya

berbeda. Ketiganya adalah: (a) operasi militer Letkol Untung dkk, (b) pembunuhan

massal; dan (c) produksi ingatan atas tragedi tersebut. Tanpa bermaksud membela

atau menyalahkan PKI maupun berbagai pihak lain yang terlibat, tulisan ini

dimaksudkan untuk mengajak para pembaca agar mau secara kritis berpikir ulang

mengenai ketiga hal tersebut dan belajar dari refleksi atas ketiganya.

1. Operasi militer Letkol Untung dan kawan-kawan.

Ketika orang berbicara mengenai peristiwa G30S tahun 1965 biasanya versi yang

secara resmi dan umum berlaku adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30

September 1965 melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta

dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta.

Begitu kejamnya orang-orang PKI itu sehingga enam orang Jendral plus seorang

Kapten telah menjadi korban. [Dalam salah satu operasi penangkapan, seorang

Jenderal berhasil lolos dari upaya itu, namun putrinya tewas secara

mengenaskan di tangan PKI.] Kekejaman PKI berlanjut di Lubang Buaya, dengan

jalan menyayat-nyayat tubuh para Jendral. Sekelompok perempuan yang

tergabung dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) bahkan

memotong alat-alat vital para Jendral itu sambil menari-nari di tengah orgi yang

disebut “pesta harum bunga”. Mata sebagian para korban juga dicungkil dengan

alat khusus.

Menurut versi resmi ini, karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang”

dari peristiwa keji tersebut, maka “sudah selayaknya” bahwa ratusan ribu

anggota PKI di manapun mereka berada dikejar dan dibunuh secara beramai-

ramai. Pantas pula peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu

disebut “G30S/PKI” dengan tekanan pada “PKI”-nya karena PKI merupakan

pelaku utama. Juga, tepat kalau istilah yang dipakai adalah istilah “Gestapu”

(Gerakan September Tigapuluh). PKI juga layak ditumpas karena sebelumnya

mereka telah dua kali “memberontak” (tahun 1926/27 dan 1948), dan ingin

mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis yang ateis.

Masih menurut versi di atas, siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan”

negara dan bangsa ini dari kaum komunis dengan jalan memimpin operasi

pembantaian dan pemenjaraan massal atas mereka, “berhak” menjadi pemimpin

tertinggi Republik Indonesia. Tanpa kepemimpinannya (dan orang-orang

dekatnya) negeri ini akan terus menerus berada di bawah rongrongan kaum

komunis yang kejam.....

2

Lepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan versi resmi di atas, tampak ada

sejumlah kejanggalan atau misteri yang belum terjawab berkaitan dengan narasi

mengenai apa yang terjadi di seputar tanggal 30 September dan awal Oktober

1965 itu. Misalnya saja soal tuduhan PKI sebagai pelaku utama G30S. Kita ketahui,

PKI adalah organisasi sipil. Sementara itu tokoh-tokoh kunci dalam gerakan yang

menamakan diri sebagai “Gerakan Tigapuluh September” (G30S) itu – yakni

Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief dan Brigjen Soepardjo – adalah justru

personil-personil militer, khususnya dari kesatuan TNI-Angkatan Darat. Perlu

diingat, Angkatan Darat sendiri sejak Pemilu 1955 telah makin sengit berlawanan

dengan PKI. Penyebabnya antara lain adalah tingginya perolehan suara PKI

sementara, dalam pemilu tersebut perolehan partai IPKI (Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia), yakni partai politik yang dipelopori oleh Angkatan

Darat, amat kecil. Pertanyaannya, sedemikian hebatkah PKI sehingga meskipun

merupakan organisasi sipil ia telah berhasil mempengaruhi atau “membina”

para perwira Angkatan Darat ini sehingga mereka tunduk dan mau

melaksanakan rencana PKI untuk melawan kesatuannya sendiri?

Dalam pledoinya, Kolonel Abdul Latief – Komandan Brigade Infanteri 1 Jayasakti

Kodam V Jaya dan salah seorang tokoh kunci G30S – mengatakan bahwa sebelum

dilaksanakannya operasi militer itu, pada tanggal 30 September 1965 sore ia

telah melapor ke Pangkostrad Mayor Jendral Soeharto. Dikatakan bahwa

Soeharto juga telah mengetahui rencana move militer itu melalui salah seorang

bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang

menemuinya pada tanggal 28 September 1965. Pertanyaannya, mengapa

Pangkostrad Soeharto tidak melaporkan rencana operasi militer itu ke atasannya,

yakni Jendral Ahmad Yani sebagai Panglima Angkatan Darat? Atau mengapa ia

tidak menyampaikan informasi tersebut ke Presiden Soekarno sebagai Panglima

Tertinggi? Padahal ia tahu bahwa operasi militer itu adalah operasi besar dan

serius, dan direncanakan akan berlangsung di Ibukota Negara.

Pada waktu itu salah satu posisi paling penting dalam angkatan bersenjata di

Indonesia adalah posisi Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis

Angkatan Darat) yang waktu itu dijabat oleh Mayjen Soeharto. Pertanyaannya,

kalau G30S itu adalah gerakan PKI untuk melawan Angkatan Darat, mengapa

Soeharto sebagai Pangkostrad tidak diapa-apakan? Terhadap pertanyaan ini ada

dua kemungkinan jawaban :

(a) Para pelaku G30S begitu bodoh sehingga mereka mengabaikan Soeharto dan

pasukannya;

(b) telah ada sikap “saling pengertian” antara para pelaku G30S dengan

Soeharto, atau bahkan Soeharto merupakan bagian dari G30S itu sendiri.

Mana dari kemungkinan ini yang lebih dapat diterima?

Dalam konteks Perang Dingin tentu ada banyak negara yang senang atau

sebaliknya khawatir dengan perkembangan politik di Indonesia waktu itu. Hal ini

terutama berkaitan dengan kecenderungan politik Presiden Soekarno, soal

konfrontasi Indonesia melawan Malaysia, perkembangan politis yang berujung

pada “segitiga ketegangan” antara PKI, Bung Karno dan militer (khususnya

Angkatan Darat). Sangat mungkin bahwa sejumlah negara, entah itu dari blok

kapitalis pimpinan Amerika Serikat maupun kubu komunis yang dipelopori Uni

Soviet dan Cina, ikut berkepentingan atas terjadinya perubahan mendasar dalam

perpolitikan di Indonesia waktu itu.

3

Dengan demikian pertanyaannya, bukankah tidak mungkin bahwa ada sejumlah

pihak asing yang – entah langsung atau tak langsung – ikut terlibat dalam aksi

militer yang diperkirakan akan membawa perubahan mendasar itu? Kalau

keterlibatan itu ada, benarkan PKI mampu mengorganisir berbagai kekuatan

asing itu?

Satu-satunya kaitan (link) yang menghubungkan Gerakan 30 September dengan

PKI adalah Ketua Biro Khusus PKI, yakni Sjam Kamaruzzaman alias Sjamsul Qamar

Mubaidah. Oleh PKI ia ditugasi untuk “membina” sejumlah anggota TNI-AD agar

mendukung PKI. Pertanyaannya, bagaimana dengan dugaan bahwa sebenarnya

Sjam adalah sekaligus bertindak sebagai agen ganda yang juga bertugas

memata-matai gerak PKI demi kepentingan kalangan militer? Kalau dugaan itu

benar, bagaimana mungin posisi Sjam yang masih meragukan itu bisa dijadikan

bukti bahwa PKI merupakan “dalang” dari operasi militer G30S? “Misteri”

tentang Sjam ini menjadi lebih menarik jika diingat bahwa meskipun dituduh

sebagai tokoh kunci PKI dalam G30S ia tidak dihukum mati seperti yang lain.

bahkan di mana kini ia berada masih merupakan tanda tanya besar yang

sepertinya tak seorang pun mau mengatakannya.

Sering dikatakan bahwa PKI adalah satu-satunya dalang dari operasi militer

kelompok G30S. Pertanyaannya, benarkah bahwa dalang dari operasi militer itu

tunggal? Tidak mungkinkah bahwa dalang dari peristiwa tersebut bukan satu

melainkan beberapa? Mustahilkah bahwa operasi militer yang dilakukan oleh

kelompok G30S itu merupakan muara dari berbagai kelompok kepentingan (

dari dalam maupun luar negeri) yang sama-sama berharap menguasai

perpolitikan di Indonesia saat itu? Selanjutnya, tidak mungkinkah bahwa

seandainyapun PKI terlibat, ia merupakan salah satu dari berbagai kelompok

kepentingan itu, tetapi bukan satu-satunya?

Menurut versi resmi di atas, apa yang terjadi pada malam 30 September-1

Oktober 1965 itu merupakan suatu “pemberontakan”. Maksudnya tentu saja

pemberontakan yang dilakukan oleh PKI melawan pemerintah RI.

Pertanyaannya, tepatkah penggunaan istilah “pemberontakan” itu di sini? Jawab

atas pertanyaan ini penting, mengingat secara etimologis istilah tersebut

memiliki makna yang berbeda. Istilah pemberontakan dalam bahasa Inggris

adalah rebellion, yang berarti “an open defiance of or resistance to an

established government” – suatu tindakan menentang atau resistensi secara

terbuka terhadap pemerintah yang ada. Istilah itu perlu dibedakan dengan istilah

coup d’etat (kudeta), yang berarti perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh

tentara bersama sipil; dengan istilah pronounciamento yang berarti perebutan

kekuasaan yang semua pelakunya adalah tentara; dan dengan istilah putsch yang

pengertiannya adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh sekelompok

tentara. Dari definisi-definisi itu kelihatan bahwa operasi militer yang dilakukan

oleh Letkol Untung dan kawan-kawannya itu lebih dekat dengan pengertian

putsch daripada pemberontakan, karena tidak dimaksudkan untuk

menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan hanya dilakukan oleh

sekelompok tentara. Tetapi mengapa istilah yang dipakai oleh versi resmi selalu

saja istilah “pemberontakan” dan bukan putsch? Itupun selalu dikaitkan dengan

“pemberontakan-pemberontakan PKI” yang terjadi pada tahun 1926/27 dan

1948, biasanya tanpa pemahaman yang memadai tentang konteks dan kaitan

antara dua peristiwa tersebut.

4

Selain pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu masih ada sejumlah pertanyaan lain

yang bisa diajukan terhadap versi resmi itu. Misalnya saja berkaitan dengan

benar atau tidaknya kisah tentang pencungkilan mata para korban, atau tentang

tarian orgi para anggota Gerwani yang berjoget sambil menyayat-nyayat bagian

tubuh para Jendral militer. Bisa diajukan pula pertanyaan mengenai benar atau

tidaknya pandangan bahwa TNI-Angkatan Udara merupakan bagian utama dari

G30S. Sementara itu kaitan geografis antara Markas TNI-AU di Halim

Perdanakusuma dengan lokasi pembuangan mayat para Jendral di Lubang Buaya

juga sering kabur – atau sengaja dikaburkan.

2. Pembunuhan Massal.

Apapun jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kejanggalan

atau misteri versi resmi di atas, telah diketahui bahwa dalam waktu singkat

operasi militer yang dipimpin oleh Letkol Untung dan kawan-kawan itu diketahui

umum, dan pada tanggal 2 Oktober dinyatakan abortive atau gagal. Koran PKI

Harian Rakjat sempat menyatakan dukungan kepada operasi militer Letkol

Untung, tetapi siapa sebenarnya yang membuat pernyataan itu dan kapan

konsep pernyataan itu dibuat, kini banyak diperdebatkan. Letkol Untung pun

melarikan diri ke luar Jakarta. Bersamaan dengan itu tercerai-berai pula para

bekas pelaku utama Gerakan Tigapuluh September. Sejak itu berlangsung masa

yang relatif tenang, dalam arti tak terjadi pergolakan sosial besar-besaran di

masyarakat, meskipun di sana-sini muncul suasana tegang akibat pembunuhan

para Jendral di Jakarta beserta berita-berita tentang itu.

Pergolakan sosial baru terjadi sekitar tanggal 20-21 Oktober, ditandai dengan

pembunuhan massal yang berlangsung di Jawa Tengah, khususnya di daerah

Klaten dan Boyolali. Dengan kata lain, pembunuhan massal itu baru terjadi

sekitar dua atau tiga minggu setelah berlangsungnya operasi militer yang

dilakukan oleh kelompok G30S. Dan pembunuhan massal itupun terjadi secara

bergelombang. Pada bulan Oktober pembunuhan terjadi di Jawa Tengah,

selanjutnya pada bulan November merembet ke Jawa Timur, dan baru pada

bulan Desember terjadi di Pulau Bali.

Pembunuhan itu sendiri berlangsung secara sungguh keji dan sungguh massal.

Pada dinihari tanggal 23 Oktober 1965, misalnya, di Boyolali ada sekitar 250

orang yang dibunuh secara beramai-ramai, termasuk seorang guru SD dan

istrinya yang dilempar ke sumur dalam keadaan hidup-hidup. Dalam keadaan

tak menentu, banyak warga keturunan Cina di Semarang, Yogyakarta dan

Surakarta juga menjadi korban amuk massa. Tindakan kejam serupa terjadi di

berbagai tempat lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan sejumlah lokasi di luar

Jawa. Jumlah pasti tentang berapa korban yang tewas sulit ditentukan, tetapi

umumnya berkisar antara setengah juta sampai satu juta jiwa. Dengan demikian

secara umum dapat dikatakan bahwa dari segi skala kekejaman dan jumlah,

pembantaian massal 1965 di Indonesia merupakan salah satu kekejian

kemanusiaan di luar perang yang paling mengerikan.

Di sinilah terletak aspek tragedi dari apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 itu.

Yakni

Pertama,

bahwa tujuh perwira tinggi militer telah dibunuh – bukan oleh musuh dari luar

Indonesia, melainkan oleh sesama warga negaranya, bukan di medan tempur

melainkan di rumah atau lingkungan masing-masing.

5

Kedua,

Pembunuhan atas para perwira itu disusul oleh pembantaian ratusan ribu

(kalau tak mau dikatakan jutaan) atas warga bangsa ini – juga bukan oleh

kekuatan asing, melainkan oleh rekan-rekan sesama warga bangsanya.

Ketiga,

Tak cukup berhenti disitu, pembantaian warga sipil dan militer tersebut

dilanjutkan dengan pemenjaraan massal atas mereka yang dituduh sebagai

punya kaitan dengan PKI, tanpa proses pengadilan. Hak-hak mereka sebagai

warga negara dicabut oleh rekan-rekan sebangsa mereka. Selanjutnya

mereka mengalami stigmatisasi yang akan merugikan secara sosial, politik

dan ekonomi secara berkepanjangan. Hak-hak asasi mereka sebagai manusia

dan sebagai warga negara telah dilanggar dan terus-menerus dilanggar.

Berkaitan dengan pembunuhan massal itu tentu ada banyak hal yang juga bisa

dipertanyakan. Antara lain adalah, mengapa pembunuhan massal itu tidak

berlangsung secara serempak, melainkan bergelombang atau bergiliran?

Adakah faktor-faktor tertentu yang menjadi pemicu bagi mulainya pembunuhan

massal itu di masing-masing daerah? Bahwa sejak diberlakukannya Undang-

undang Pokok Agraria (UUPA) dan UUBH (Undang-undang Bagi Hasil) pada tahun

1964 terjadi ketegangan antara PKI dan para tuan tanah memang betul; tetapi

mengapa pembantaian di masing-masing daerah itu baru mulai terjadi pada

tahun 1965 dan itupun pada bulan-bulan terakhir tahun tersebut dan awal tahun

1966? Di beberapa tempat, pembantaian berlangsung justru pada tahun 1967-

1968, saat ketika konon PKI telah berhasil ditumpas. Dan korbannya ternyata

memang bukan hanya para anggota PKI. Mengapa?

3. Produksi dan Reproduksi Ingatan.

Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri

bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau

bahkan memproduksi opini publik dan ingatan (memory) akan apa yang terjadi

pada tahun 1965 itu menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula.

Misalnya saja penggunaan istilah “G30S/PKI”. Meskipun sebenarnya dalang

yang sesungguhnya dari pembunuhan para Jendral itu belum jelas – atau bahkan

setelah diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari G30S itu adalah justru anggota

militer – tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk memojokkan

PKI. Bahkan penggunaan istilah “Gestapu” tampak sekali sengaja dilakukan

untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI itu dengan

polisi rahasia Jerman Gestapo (Geheime Stat Polizei) yang terkenal kejamnya.

Produksi ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu sudah dimulai ketika

pada dua pekan pertama bulan Oktober hampir semua koran disensor, dan

hanya koran-koran tertentu yang boleh terbit, khususnya harian Angkatan

Bersenjata dan Berita Yudha yang dikelola oleh Angkatan Darat. Melalui koran-

koran ini, dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat, dikisahkan

mengenai berbagai kekejaman PKI di Lobang Buaya, seperti kisah “pesta harum

bunga”, kisah pemotongan alat-alat vital, serta kisah pencungkilan mata yang

sampai sekarang belum terbukti itu. Dalam koran Angkatan Bersejata edisi 7

Oktober 1965, misalnya, dikatakan bahwa para Jendral itu “matanya dicongkel”.

Padahal, Brigjen TNI dr Rubiono Kertapati yang mengetuai tim dokter yang

melakukan autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan visum et

repertum-nya bahwa tak ada penyiksaan atas tubuh para korban.

6

Lepas dari apakah orang setuju atau tak setuju dengan PKI, atau apakah

sebenarnya PKI bersalah atau tidak, faktanya adalah bahwa hanya kisah-kisah

resmi versi militer yang memojokkan PKI yang waktu itu boleh beredar. Bahkan

ketika ada anggota TNI AD yang ditugaskan sebagai wartawan Kantor Berita

Antara meliput kekejaman terhadap PKI ia malah “di-PKI-kan” dan dijebloskan

ke penjara selama bertahun-tahun. Akibatnya, rakyat menjadi mudah disulut

untuk melakukan tindakan massal dalam rangka menghabisi para anggota PKI

atau yang diduga anggota PKI. Slogan yang beredar di masyarakat adalah

“membunuh atau dibunuh” – persis slogan militer dalam perang. Pembunuhan

massal pun terjadi, dan bagaikan Perang Baratayudha, bangsa Indonesia “mandi

darah” saudara sendiri. Kemudian pembunuhan itu diikuti dengan pemenjaraan

massal di Jawa mau pun di luar Jawa, dan hampir semuanya tanpa didahului oleh

proses pengadilan yang memadai.

Selanjutnya, ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 menurut versi resmi

itu tidak hanya di-produksi melainkan juga terus di-reproduksi, karena produksi

dan reproduksi macam itu menguntungkan sejumlah pihak, baik dari kalangan

militer maupun sipil. Pembuatan, pemutaran dan pemaksaan untuk menonton

film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer pada tahun

1980-an hingga 1990-an hanyalah salah satu contoh. Dalam film yang berat

sebelah dan bernada propaganda atas versi resmi itu ditunjukkan kekejaman

yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang menurut film tersebut jelas-jelas

dilakukan oleh PKI.

Oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan

menurut versi resmi atas Tragedi ’65 itu dipandang penting, karena hal itu dapat

digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol. Ia

menjadi semacam menara panotik-nya Foucault yang berfungsi sebagai sistem

pengawasan yang dominan tapi tak mudah diduga. Pembubuhan kode “ET” (Eks

Tapol) pada KTP milik orang-orang yang melawan kebijakan penguasa,

misalnya, membuat orang-orang itu ketakutan dan berpikir dua kali kalau tak

mau tunduk pada pemerintah.

4. Konsekuensi lebih jauh.

Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya diberi

kode “ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang bersifat

sepihak juga memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan bersama sebagai

bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat akan apa yang terjadi

pada tahun 1965 itu menjadi kabur dan campur-aduk. Masyarakat bahkan sulit

membedakan antara (a) operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan

kawan-kawan dengan (b) pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh

rakyat Indonesia, serta (c) berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan

Tragedi 1965 yang telah dimanipulasi.

Kebiasaan memusatkan peringatan Tragedi ’65 pada bulan September adalah

contoh bagaimana masyarakat mengira bahwa “puncak” tragedi itu ada pada

bulan September. Seakan-akan pada bulan itu-lah tragedi tersebut terjadi.

Padahal pembunuhan para Jendral itu terjadi pada dinihari hari pertama bulan

Oktober, dan pada bulan Oktober pula mulai terjadi pembantaian massal di Jawa

Tengah, yang kemudian terus berlangsung pada bulan Nopember, Desember,

dst. [Kiranya sudah saatnya peringatan Tragedi ’65 digeser ke bulan Oktober

atau setelahnya, supaya bangsa Indonesia bisa belajar untuk tidak saling

membunuh].

7

Tidak lengkapnya ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu

juga membuat tidak adanya upaya hukum untuk secara serius mengadili para

pemberi komando maupun para pelaku-lapangan atas pembantaian massal itu.

Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang diadakan pada waktu itu terkesan

lebih dimaksudkan untuk memposisikan tokoh-tokoh PKI dan para pelaku G30S

sedemikian rupa agar mudah dijatuhi hukuman (mati). Selain itu juga

dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan terhadap mereka yang punya afiliasi

dengan komunisme atau terhadap setiap gerakan kiri di negeri ini.

Konsekuensi praktisnya ialah, kalau membunuh ratusan ribu orang saja

dibiarkan, orang akan merasa tidak apa-apa ketika melakukan tindakan-tindakan

lain yang sebenarnya jahat, tetapi yang ia pandang “lebih ringan” daripada apa

yang terjadi pada tahun 1965 itu. Misalnya tindakan melakukan penculikan dan

pembunuhan atas beberapa mahasiswa, mencuri beberapa milyar rupiah uang

negara, menjual sumber-sumber daya alam ke negara lain, menaikkan harga

kebutuhan pokok rakyat bawah secara berlebihan, atau memprovokasi konflik-

konflik horisontal yang korbannya “hanya” beberapa ribu orang, dsb. Akibat

selanjutnya adalah begitu banyak kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia

(HAM) berat yang tak pernah diselesaikan secara tuntas di pengadilan, entah itu

berkaitan dengan masalah Maluku, Aceh, Poso, Tanjung Priok, Timor Leste, atau

yang lain.

5. Belajar dari Sejarah.

Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlangsung. Perlu segera

dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan terus memburuk dan masa

depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang adil dan demokratis akan

semakin dipertanyakan. Peringatan 40 tahun Tragedi ’65 adalah momentum yang

amat berharga. Misalnya dengan menggeser puncak peringatan Tragedi 1965-

1966 itu dari bulan September ke bulan Oktober atau sesudahnya. Peringatan

macam itu bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak, baik para sejarawan

maupun masyarakat pada umumnya, untuk setiap tahun secara kritis meninjau

dan merekonstruksi kembali apa yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an

dengan segala kompleksitasnya. Lebih dari itu, peringatan macam itu akan

mengundang kita untuk berefleksi dan belajar dari tragedi yang terjadi pada

tahun 1965 itu, yang kekejamannya nyaris tak tertandingi dalam sejarah

Indonesia dan yang dampaknya masih tetap mengganggu kehidupan bersama

kita sebagai bangsa sampai sekarang.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut untuk belajar dari sejarahnya sendiri.

Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik); dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalang Tragedi 1965Dalang Tragedi 1965Dalang Tragedi 1965Dalang Tragedi 1965 Baskara T Wardaya

Menarik sekali, akhir-akhir ini wacana Tragedi 1965 mencuat lagi ke permukaan. Hal

itu terjadi antara lain berkat terbitnya buku terjemahan karya Antonie Dake, Sukarno

File: Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan.

Telah timbul pro-kontra di masyarakat atas isi buku itu. Belum lama berselang harian

ini juga menurunkan dua artikel dan satu surat pembaca yang secara lugas

menanggapi buku itu (Kompas, 3 dan 13/12/2005).

Sedikit disayangkan, buku maupun kedua artikel itu lebih banyak berkisar pada

pertanyaan-pertanyaan di seputar siapa sebenarnya dalang di balik operasi militer

yang dilancarkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang menamakan diri Gerakan

Tiga Puluh September pada 1 Oktober 1965.

Sebagaimana diketahui, di bawah pimpinan Letkol Untung kelompok itu menjemput

paksa sejumlah perwira militer di Jakarta. Penjemputan paksa itu berujung pada

tewasnya sejumlah perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat, yakni Aipda KS

Tubun, dan Ade Irma Surjani Nasution.

Siapa sebenarnya tokoh kunci operasi militer itu? Hingga kini masih merupakan

misteri, dan hal itu telah menjadi fokus berbagai wacana, termasuk tulisan-tulisan di

atas.

Ratusan ribu

Wacana demikian tentu amat perlu. Tetapi jika tidak hati-hati bisa menimbulkan

kesan, tragedi tahun 1965 hanya terbunuhnya para tokoh itu. Padahal, tragedi tahun

1965 bukan hanya itu. Ada tragedi lain yang tidak kalah dahsyat, yakni dibunuhnya

ratusan ribu warga masyarakat Indonesia beberapa saat setelah terjadinya peristiwa

pembunuhan para petinggi militer itu apa pun justifikasinya. Mereka dibunuh di Jawa

Tengah, Jawa Timur, Bali, dan sejumlah tempat lain di Tanah Air. Kebanyakan dari

mereka yang dibunuh itu adalah rakyat biasa yang kemungkinan besar tak ada

sangkut paut dengan operasi militer yang dilakukan Letkol Untung dan kawan-kawan

di Jakarta.

Dalam jumlah besar mereka dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan, sementara

yang lolos dari eksekusi ditangkap dan dipenjara selama bertahun-tahun, juga tanpa

proses pengadilan.

Sejumlah tokoh militer dan politik yang diduga terkait operasi militer 1 Oktober 1965

itu memang diadili oleh suatu mahkamah khusus, tetapi sejauh mana pengadilan itu

fair masih merupakan tanda tanya. Jumlah yang dibunuh itu begitu besar sehingga

bisa jadi merupakan pembunuhan warga sipil terbesar yang pernah terjadi dalam

sejarah bangsa ini.

Lepas dari siapa yang benar atau salah, pembunuhan itu mengingatkan, dalam

sejarahnya bangsa kita pernah melakukan pembantaian terhadap sesama warga

dengan cara dan dalam jumlah yang amat mengerikan.

Karena itu, perlulah tragedi berdarah itu terus diteliti dan dipelajari sehingga

tindakan di luar perikemanusiaan yang adil dan beradab seperti itu tak akan terulang

di masa datang. Dalam konteks itu pula penting mencari tahu tidak hanya siapa

dalang di balik pembunuhan 1 Oktober 1965, tetapi juga dalang di balik pembunuhan

massal pada pekan-pekan terakhir tahun 1965.

2

Penting pula mempelajari siapa yang terutama diuntungkan, serta apa saja dampak

tragedi itu bagi Indonesia saat itu, kini dan di masa depan.

Dalang pembantaian

Secara teoretis, tampaknya tidak akan terlalu sulit menemukan dalang dari peristiwa

itu, khususnya pada tingkat nasional. Fakta bahwa pembunuhan terjadi pada minggu

ketiga Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan bulan Desember

di Bali, menunjukkan, pembunuhan itu tidak terjadi secara spontan dan serempak.

Terkesan ada koordinasi dan provokasi.

Dengan kata lain, ada unsur koordinatordan provokator, dan itu penting untuk segera

diketahui publik. Seorang perwira militer memang pernah memimpin dan

mengoordinasikan operasi pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagainya,

tetapi tampaknya dia lebih merupakan semacam komandan lapangan saja (Siregar:

1995).

Besar kemungkinan, ada komando yang datang dari pihak yang lebih tinggi daripada

dia di Jakarta. Kemungkinan macam itu tentu amat penting untuk secepatnya dikaji

masyarakat.

Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan Gerakan Tiga Puluh September

dugaan tentang siapa dalangnya berkisar pada sejumlah pihak (seperti Bung Karno,

PKI, Letkol Untung, Mayjen Soeharto, dan CIA), dalam kasus pembunuhan massal 1965

dugaan serupa bisa lebih dipersempit.

Bung Karno tentu bukan dalangnya karena tak ada tanda-tanda dia pernah berpikiran

membunuh secara massal anggota Partai Komunis atau partai politik apa pun di negeri

ini. Letkol Untung juga bukan, karena pada 2 Oktober 1965 gerakan yang

dipimpinnya telah gagal dan ia melarikan diri.

PKI juga tidak karena justru merekalah korban pembunuhan massal itu. Akhirnya

yang tinggal hanya sedikit kemungkinan, dan itu mendesak untuk segera diteliti lebih

lanjut. Dengan begitu, diharapkan penelitian dan wacana tentang tragedi 1965 tidak

lagi hanya berkisar pada pencarian dalang Gerakan Tiga Puluh September saja, tetapi

juga dalang pembantaian massal 1965-1966. Dengan kata lain, bahkan jika dalang

dari operasi militer 1 Oktober 1965 telah ditemukan, masyarakat masih harus mencari

siapa sebenarnya dalang dari pembunuhan massal 1965.

Akhir kata, terpulang kepada masyarakat Indonesia (bukan hanya peneliti asing)

untuk mencari dan menemukan siapa sebenarnya tokoh kunci di balik pembunuhan

berskala besar itu. Terpulang kepada masyarakat, langkah apa yang mau diambil jika

tokoh itu akhirnya ditemukan.

Baskara T Wardaya Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Tambahan Fakta

Hubungan Soeharto dan tujuh Jendral korban G30S

Pertama-tama perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Soeharto dengan ketujuh

jenderal rekannya yang kemudian menjadi korban pembunuhan G30S, menurut

Letkol Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta

terhadap Presiden Soekarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan

pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani,

Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen

Panjaitan.

Ketika Kolonel Soeharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai

sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih

untuk kesejahteraan anak buahnya. Soeharto membentuk geng dengan sejumlah

pengusaha seperti Lim Soei Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara

tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Soeharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor

Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak

jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu

menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Soeharto. Maka MBAD

membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S

Parman, MT Haryono dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal

Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk

menjemput Kolonel Soeharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot

sebagai Panglima Diponegoro dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Soeharto tersebut

akhirnya dibekukan krn kebesaran hati Presiden Soekarno (D&R 3 Oktober 1998: 18).

Nasution mengusulkan agar Soeharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak

disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto (Subandrio 2000:10). Kemudian ia dikirim ke

Seskoad di Bandung. Soeharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu

sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa

untuk melakukan barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia

tidak menyinggung sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika

Soeharto hendak ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh

Brigjen Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak 5 Oktober 1998:5), artinya moral

Soeharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

Silang pendapat dengan Jenderal A Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan

bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch

1999:104). Demikianlah sedikit banyak Soeharto memiliki pengalaman pribadi yang

tidak menyenangkan dengan ketujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya.

Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Soeharto mendapatkan tempat

terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal

Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang

kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan

bahwa Soeharto benar-benar tidak “sebodoh” yang diperkirakan Jenderal Nasution,

juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno (Hanafi 1998:197)

Tanggal 2 Oktober 65, 3 orang perwira intel Kodam V Jaya yaitu Ngatman, Teguh, dan Batara

dibunuh di Jalan Arteri Jakarta Timur yang belum jadi. Siapa pembunuhnya tidak diketahui dan

tidak tertangkap hingga kini. Ketiga perwira itu esok harinya dimakamkan di Taman Makam

Pahlawan dengan masing-masing dinaikkan pangkatnya satu tingkat. Diduga mereka adalah

anggota Biro Khusus yang tahu seluk beluk G30S proyek AD. S. Utomo (Dimuat pada Kompas

17 Desember 2005)

Letkol (Purn) Soehardi :Letkol (Purn) Soehardi :Letkol (Purn) Soehardi :Letkol (Purn) Soehardi : Untung Sebenarnya Bernama KusmanUntung Sebenarnya Bernama KusmanUntung Sebenarnya Bernama KusmanUntung Sebenarnya Bernama Kusman

OlehJulius Pour

Salah seorang sosok misterius dalam Peristiwa G-30-S (Gerakan 30 September)

namanya Untung. Dengan mendadak, dia muncul ke atas pentas. Dia tampil sebagai

tokoh utama sekaligus pusat peristiwa. Tetapi, hanya dua minggu nama Komandan

Dewan Revolusi tersebut bertahan, sebelum akhirnya bisa diringkus di Tegal, ditahan,

dan diajukan ke Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) kemudian dijatuhi hukuman

mati.

“Untung bernama asli Kusman, waktu kecil senangnya main bola, anggota KVC,

Keparen Voetball Club di Kelurahan Jayengan, Solo.” Orang tua tersebut melukiskan

semuanya dengan lancar. Dia bukan sekadar kenal melainkan, “…ayah angkatnya

bernama Samsuri, bekerja sebagai buruh batik di rumah orang tua saya. Maka kalau

Si Kus menyapa, dia selalu memanggil saya Gus Hardi.”

Pensiunan letnan kolonel yang mengungkapkan kisah di atas namanya Soehardi.

Tanggal 20 Mei lalu usianya genap 80 tahun. Oleh karena sudah di ambang senja, dia

kini bersedia membuka tabir sekitar Letnan Kolonel (Inf) Untung Samsuri.

Untung Samsuri menjadi sosok kontroversial dalam sejarah Indonesia baru dengan

jabatan resmi terakhir Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa,

kesatuan khusus pengawal Presiden Soekarno.

Untung kemudian terkenal dalam kaitan Peristiwa 30 September. Pada dini hari

tanggal 1 Oktober 1965 tersebut, dia memimpin gerombolan G-30-S menculik

sejumlah jenderal Angkatan Darat. Tujuh perwira tinggi akan ditangkap, dituduh

sebagai anggota Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan Bung Karno.

Dari tujuh jenderal yang jadi sasaran, enam berhasil mereka tangkap. Sasaran utama,

KSAB Jenderal AH Nasution, justru berhasil meloloskan diri.

Sesudah enam jenderal ditangkap, paginya akan dihadapkan kepada Bung Karno

“…semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan

kepada mereka,” demikian jawaban Untung pada sidang Mahmilub yang nantinya

menjatuhkan vonis hukuman mati dan eksekusinya dilaksanakan pertengahan tahun

1966.

Skenario di atas ternyata menjadi berantakan. Para jenderal yang baru saja diculik

oleh anak buah Untung kemudian dibunuh di Lubang Buaya. Siapa yang

memerintahkan? “Bukan saya, “ jawab Untung dalam sidang Mahmilub.

Nantinya diketahui, perintah justru diberikan oleh anggota Biro Khusus PKI. Dengan

membawa akibat, skenario awal tadi akhirnya lepas kendali, menyambar ke segala

arah dengan ekses berikut derita, yang meski telah empat dasawarsa berlalu,

dukanya belum bisa terpulihkan. Khususnya derita para keluarga korban aksi

pembunuhan massal yang menghabiskan sekurangnya 500.000 nyawa pengikut

komunis dan mereka yang sekadar dianggap sebagai komunis.

2

Sesama Tjakrabirawa

Soehardi anggota Tjakrabirawa, berasal dari CPM (Corps Polisi Militer) dengan

jabatan saat Peristiwa G-30-S meletus, Kepala Provost Tjakrabirawa. Ketika tahun

1966, kesatuan tersebut dibubarkan dan tugas mengawal Presiden digantikan Yon

POMAD/Para, Soehardi tidak ikut di-bersih-kan karena tidak terlibat.

“Sesungguhnya, meski Untung menjabat Komandan Batalyon, hanya satu Kompi

bersedia mengikuti petualangannya ke Lubang Buaya. Anggota Tjakrabirawa lainnya,

tidak tahu apa-apa.” Memasuki masa pensiun tahun 1982. Sebelumnya, Soehardi di-

tugas-karya-kan di Inspektorat Jenderal Depdikbud, ketika Daoed Joesoef menjadi

menteri. Panjang jalan harus ditempuh oleh anak juragan batik asal Solo tersebut

dalam meniti karier militer, diawali dengan menjadi anggota PT (Polisi Tentara) di

masa perang kemerdekaan.

Awal tahun 1965, di Istana Merdeka, Soehardi bertemu kembali dengan teman masa

kecilnya. “Lho, Gus Hardi inggih wonten mriki? (Lho, Gus Hardi juga di sini),” begitu

tanya Untung spontan. Menurut Soehardi, “Saya langsung menjawab sambil

menghormat, siap Mayor.” Dia segera menambahkan, “Saya harus menghormat,

karena saya hanya Kapten, dia sudah Mayor. Meski saya sudah tugas di Istana

Presiden sejak tahun 1954 dan Untung baru saja pindah dari Semarang, dalam

kepangkatan kenyataannya dia lebih senior.”

Pengalaman semasa kecil, jarak sosial dan hal-hal lain menyebabkan Soehardi-

Kusman tidak akrab sesudah sama-sama di Jakarta. “Sebagai pejabat baru di

Tjakrabirawa dia tidak menonjol, tinggalnya di daerah Cikini, dekat dengan rumah

DN Aidit, Ketua CC PKI. Kami tidak pernah melakukan kontak, sebab sejak kecil dia

orangnya pendiam…”

Ayah kandung Untung namanya Abdullah, bekerja di toko peralatan batik milik warga

keturunan Arab di Pasar Kliwon, Solo. Tetapi sudah sejak kecil Untung diambil anak

oleh Samsuri, pamannya, yang bekerja sebagai buruh batik di rumah orang tua

Soehardi.

Untung masuk sekolah dasar di Ketelan, kemudian melanjutkan ke sekolah dagang.

“Pelajaran belum selesai, Jepang masuk dan dia menjadi Heiho...”

Meloloskan diri ke Madiun

Semasa perang kemerdekaan Untung berada di daerah Wonogiri, Solo, menjadi

anggota Batalyon Sudigdo. Ketika tahun 1948 Peristiwa Madiun meletus, Gubernur

Militer Kolonel Gatot Soebroto memperoleh informasi bahwa sebagian anak buah

Mayor Sudigdo disusupi orang-orang komunis, “Pak Gatot memerintahkan Letnan

Kolonel Slamet Riyadi, Komandan Brigade V Wehrkreise I, untuk memindahkan

mereka...”

Soehardi melukiskan, “Pak Slamet berhasil menarik Batalyon Sudigdo ke Cepogo,

lereng Gunung Merbabu, jauh dari Madiun. Kusman, waktu itu sersan mayor, bisa

lolos ke Madiun bergabung dengan rekan-rekannya…”

Mengapa keterlibatan dalam Peristiwa Madiun tidak diselesaikan? Soehardi, penyidik

semasa Peristiwa G-30-S, antara lain ikut menentukan lokasi Lubang Buaya hingga

meringkus Sofyan, pemimpin gerilya komunis di Kalimantan Barat, terus terang

mengatakan, “Tiba-tiba saja Belanda melancarkan agresi militer kedua.

3

Akibatnya, Peristiwa Madiun tidak pernah tuntas ditangani, sebab semua orang lantas

sibuk melawan Belanda sehingga segala kesalahan kemudian di-putih-kan…”

Sesudah Peristiwa Madiun, Kusman berganti nama jadi Untung, kembali bergabung di

TNI, bertugas di Divisi Diponegoro.

Tahun 1958, dalam operasi penumpasan PRRI, Letnan I Untung menjabat Dan Kie,

bertugas di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat.

Tanggal 14 Agustus 1962, Mayor Untung selaku Dan Yon 454 Para/Banteng Raiders,

diterjunkan di Sorong, Irian Barat. Tanggal 25 Agustus 1962, Panglima Mandala Mayor

Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah gencatan senjata. Dengan demikian,

Untung sebenarnya belum pernah sekali pun bertempur melawan pasukan Belanda

selama sebelas hari bertugas di daratan Irian.

Kapan Untung kenal Soeharto? “Karier militer mereka sama-sama dari Diponegoro.

Sesudah kembali dari tugas menumpas pemberontakan Andi Azis di Makassar, Pak

Harto menjabat Dan Rem Salatiga, lantas Dan Rem Solo, Panglima Diponegoro, masuk

Seskoad di Bandung, sebelum akhirnya ditunjuk untuk menjadi Panglima Mandala.

Mereka sudah kenal lama. Keakrabannya tampak, ketika bulan Februari tahun 1965

Untung menikah di Kebumen, Pak Harto rela naik jip dari Jakarta hanya untuk bisa

njagong…”.

Dari luar rumah suara adzan maghrib terdengar dengan jernih. Soehardi segera minta

diri untuk menuaikan sholat. Kisah mengenai Untung, untuk sementara terpaksa

berhenti sekian dulu.

Penulis adalah wartawan senior, sedang menyusun buku sejarah Indonesia baru.

Mengenang Tragedi 1965Mengenang Tragedi 1965Mengenang Tragedi 1965Mengenang Tragedi 1965 Oleh FS Swantoro

TRAGEDI berdarah 1965 sampai sekarang masih menyisakan misteri. Konflik politik

PKI vs TNI-AD ini menjadi noda hitam politik Indonesia. Diperkirakan sejuta warga

sipil terbunuh dalam konflik itu.

Pertanyaannya siapa dalang di balik peristiwa itu? Apa motif tragedi tersebut dan

berapa korban yang mati sia-sia? Pertanyaan itu meski telah muncul 42 tahun silam,

sampai sekarang menjadi misteri yang belum terungkap.

Ada beberapa versi tragedi itu. Pertama, versi resmi pemerintah seperti "Buku Putih"

terbitan Sekretaris Negara (1994) atau tulisan Nugroho dan Ismail Saleh (1968),

menyebutkan tragedi 1965 dilakukan PKI. Melakukan kudeta dengan merekrut

perwira TNI-AD untuk menghancurkan Jenderal TNI-AD yang ingin merebut

kekuasaan. Kedua,versi seperti ditulis Anderson dan McVey dikenal Cornell Paper.

Disebutkan, upaya pemberontakan adalah urusan intern TNI-AD versus PKI yang

terlibat secara insidental.

Versi ketiga, terwakili Harold Crouch (1999) menyebutkan upaya kudeta merupakan

usaha bersama PKI dengan perwira TNI-AD pembangkang. Tiap kelompok punya

motif berbeda menghancurkan Dewan Jenderal.

Awal September 1965 muncul rumor yang menyebutkan PKI melancarkan isu Dewan

Jenderal akan merebut kekuasaan pada 5 Oktober 1965. Susunan Kabinet Dewan

Jenderal yang dicatat dalam Buku Putih itu hampir sama dengan yang diungkap Letkol

Untung dan Nyono, Ketua CC PKI. Munculnya isu Dewan Jenderal itu sampai sekarang

masih misterius, pelakunya tak pernah terkuak.

Isu itu dipicu merosotnya kondisi kesehatan Presiden Soekarno. Diperkirakan Bung

Karno bisa meninggal mendadak jika tidak mendapat perawatan intensif.

Dua pekan kemudian muncul pamflet mengungkap detail rapat PKI, membahas

kemungkinan mengambil alih kekuasaan andai kata Bung Karno meninggal. Isi

pamflet itu menimbulkan kecemasan di kalangan perwira AD, karena memuat daftar

nama jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, PKI mendapat pamflet gelap berisi

rencana Dewan Jenderal untuk merebut kekuasaan dan mengeksekusi elite PKI. Ini

konflik PKI VS TNI AD yang menegangkan.

Dua minggu sebelum meletusnya G-30-S/PKI, Dubes AS di Jakarta, Marshall Green

minta CIA meningkatkan propaganda menyerang Bung Karno. Laporan intelijen

Inggris menyiarkan berita menyesatkan. Muncul berita tentang kapal bermuatan

senjata China untuk PKI sedang berlayar menuju Jakarta. (Ralph McGehee; The

Indonesian Massacres and the CIA). Mantan veteran CIA itu menyebut ada rekayasa

disinformasi. Kemudian dibuat dokumen palsu hingga sulit dibedakan dengan yang

asli, seperti dokumen tentang daftar nama jenderal yang akan dibunuh. CIA berhasil

menimbulkan ketegangan antara PKI dengan TNI-AD yang menjadi pemantik

penyulut tragedi.

PKI Versus TNI-AD

Puncak konflik politik ketika kelompok perwira dipimpin Letkol Untung,

menyodorkan anggota Dewan Jenderal kepada Bung Karno. Namun atas perintah

Syam Kamaruzaman Dewan Jenderal itu harus dieksekusi. Syam yang disebut tokoh

"misterius" menurut berbagai versi, pernah menjadi kader PSI, dan menjadi intel

Kodam Jaya yang disusupkan PKI.

2

Dia mengaku kepada aparat yang memeriksa dalam suatu penyidikan, Syam adalah

kader kepercayaan DN Aidit untuk membentuk Biro Khusus yang tugasnya

menginfiltrasi TNI-AD.

Anehnya, tak satu pun jajaran anggota Politbiro PKI mengetahui Biro Khusus itu dan di

mana Syam berada. Suatu hal yang sama misteriusnya dengan Aidit yang dieksekusi

TNI-AD di Boyolali. Eksekusi itu menutup kemungkinan pembuktian Biro Khusus PKI.

Peter Dale Scott, melihat banyak kejanggalan. Dalam siaran di RRI, Letkol Untung

mengatakan Presiden Soekarno aman di bawah lindungan Dewan Revolusi. Padahal

Bung Karno berada di Halim Perdana Kusuma.

Dalam susunan Dewan Revolusi Letkol Untung sama sekali tidak pernah menyebut

Bung Karno terlibat tragedi 1965. Anehnya di seberang RRI adalah markas Kostrad

yang tidak pernah tersentuh. Sama seperti Biro Khusus PKI peran Letkol Untung sulit

diketahui. Ia sama seperti Aidit dieksekusi dalam pelariannya di Jawa Tengah.

Sedangkan Kol Latief dalam pledoinya menyebut dekat dengan Mayjen Soeharto dan

sudah dua kali menyampaikan informasi mengenai rencana kudeta Dewan Jenderal

itu. Namun, Soeharto tidak memberi reaksi karena sedang menunggui Tommy

anaknya yang sakit di RS Gatot Subroto. Latief disebut sebagai orang kedua setelah

Letkol Untung, dalam pledoinya, "Dewan Jenderal itu ada dan ingin menggulingkan

Bung Karno".

Pengungkapan kembali tragedi ini penting, bisa memulihkan penderitaan sejuta

rakyat yang pernah disiksa atas tuduhan terlibat G-30-S/PKI, tanpa tahu kesalahannya

(11).

FS Swantoro, peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta.

G30S/PKIG30S/PKIG30S/PKIG30S/PKI

Pada dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian

menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang

jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah

pengawalnya. Lolosnya jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang

kemudian tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan

kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen

Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad),

Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV

Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).

Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya

terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta

menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada

jam 07.00 menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung.

Maka Yoga pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar

gudang. Ini PKI berontak”. Jangan-jangan Kolonel Yoga, Kostrad, dan - siapa lagi

kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya drama tragedi

yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat

mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai

skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak

penutup.

Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen

Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan

30 September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan

Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang

sah pada 5 Oktober 1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai

dengan ajaran resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan

menangkap mereka guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka

dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya, Jakarta.

Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut

pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini

telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan

intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman

sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena

perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan

Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu

atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan

pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut

emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu

yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto,

maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji

kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan

segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke

keranjang sampah bernama DN Aidit.

Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua

(double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari

pengakuannya yang terus-menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang

posisinya sebagai Ketua BC CC PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang

mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam ada bayang-bayang buram misterius

yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya Jenderal Suharto.

2

Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek keterangannya di

depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan

menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto

sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit.

Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak

dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub

menyebutnya perintah itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya?

Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang

diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak,

Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika

Jenderal Yani tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang menggantikannya.

Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal

Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto

menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan

memanjat lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum

diketahui jelas.

Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah

diketahui beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian

berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi

salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak

mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa

dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa

mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih

dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh tersebut memiliki

riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan korupsi

sebagai Pangdam Diponegoro.

Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke

Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung

pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang

diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui

dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya,

di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali

Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat

membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu.

Mungkin saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion

tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke

markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan

Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat

keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan

dengan mengorbankan 6 jenderal.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti

tidak, lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian

menyesalkan, kenapa tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan), di

puncaknya ialah Jenderal Suharto yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi

kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan mempunyai kesempatan

membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya, bukan sekedar menelan

keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika ini

berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau.

3

Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang

Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer

untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah

Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai

wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji

tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para

jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter

yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya

pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara

berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI

dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika

sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan

pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa,

mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat

daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai

“pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi

moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.

Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain

berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai

puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan

manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah

matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan

massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di

bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965,

selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember

1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang

membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia.

Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya

seolah waktu itu “dibunuh atau membunuh” seperti dalam perang saudara. Ini sama

sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai

dengan kepentingan rezim militer Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka.

Situasi telah dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal

Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama

tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng

horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai

moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan

pembantaian anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir

yang dilakukan pihak militer dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar

emosinya.

Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya

dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden

Sukarno yang kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka

oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang

memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966

yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini

dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu

yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika

itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer

selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya

Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun-

ubun.

4

G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan

lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan

dalang-dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu

dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar

dokumen rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di Indonesia sebagai contoh

soal, “supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta di Indonesia yang dianggap

sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu tipe rancangan atau

denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang”. Itulah kudeta

merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal,

pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada

11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di

Indonesia disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia

Tenggara

Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer

Orba menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya

nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang

kekuasannya rezim ini terus-menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak

kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi

sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan

penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September

sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI Jakarta pada pagi

hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada

arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan

kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau.

(Dari berbagai sumber).

Mengenal Tokoh G30S/PKIMengenal Tokoh G30S/PKIMengenal Tokoh G30S/PKIMengenal Tokoh G30S/PKI

Letkol Untung bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan September 1965 adalah salah satu

lulusan terbaik Akmil. Pada masa pendidikan ia bersaing dengan Benny Moerdani,

perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD (kelak Benny Moerdani

menjadi tokoh legendaris dalam Misteri Tragedi Tanjung Priok). Mereka berdua

sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat dan Untung merupakan

salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala.

Sebelum ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan

Batalyon 545/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini

memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan

Yonif Linud 328/Kujang II. Kelak dalam peristiwa G 30 S ini, Banteng Raiders akan

berhadapan dengan pasukan elite RPKAD dibawah komando Sarwo Edhie Wibowo.

Setelah G 30 S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan

menghilang beberapa bulan lamanya sebelum kemudian ia tertangkap secara tidak

sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah. Ketika tertangkap, ia

tidak mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak

menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G 30 S.

Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang

bersangkutan bernama Untung.

Setelah melalui sidang Mahmilub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa

Barat pada tahun 1969, 4 thn setelah G 30 S mengobarkan pemberontakannya.

Bagi Soeharto, Untung bukanlah orang lain. Hubungan keduanya cukup erat apalagi

dulunya Soeharto pernah menjadi atasan Untung di Kodam Diponegoro. Indikasi

kedekatan tersebut terlihat pada resepsi pernikahan Untung yang dihadiri oleh

Soeharto beserta Ny. Tien Soeharto. Pernikahan tersebut berlangsung di Kebumen

beberapa bulan sebelum G 30 S meletus. Kedatangan Komandan pada resepsi

pernikahan anak buahnya adalah hal yang jamak, yang tidak jamak adalah tampak

ada hal khusus yang mendorong Soeharto dan istrinya hadir pada pernikahan

tersebut mengingat jarak Jakarta - Kebumen bukanlah jarak yang dekat belum lagi

ditambah pada masa tahun 1965 sarana transportasi sangatlah sulit.

Kembali, suatu misteri yang tak terpecahkan sampai sekarang, apakah hubungan

Soeharto dengan Untung dan kaitannya dengan peristiwa September 1965 ?

Menyusul terjadinya tragedi September 1965, Latief sempat menjadi buronan

beberapa saat. Bersama Untung dan Kapt. Inf. Suradi, mereka melarikan diri ke arah

selatan sampai di desa Cipayung, Pasar Rebo, Jakarta. Setelah kelar menamam semua

senjatanya di desa Kebon Nanas, Bogor. Latief pada keesokan harinya berusaha

menemui Presiden Soekarno melalui Brigjen Soepardjo namun usaha tersebut

menemui kegagalan. Karena usaha untuk bertemu gagal, maka Latief bersembunyi di

daerah Pejompongan dan setelah dua malam bersembunyi, akhirnya ia tertangkap

oleh sepasukan tentara yang menggeledah daerah tersebut. Dengan luka pada kaki

kirinya dia masuk penjara sebagai tapol dan mengalami persidangan berkali - kali.

Semula Latief mendapat hukuman mati kemudian Mahkamah Militer Agung pada

tahun 1982 mengganti vonisnya menjadi vonis seumur hidup. Setahun kemudian pada

tahun 1983, Latief resmi menjadi narapidana politik di LP Cipinang. Latief lalu

mengajukan permohonan hukuman seumur hidup diubah menjadi hukuman terbatas.

2

Soeharto melalui salah satu keppresnya akhirnya menambah hukuman Latief selama

lima tahun sampai dengan 18 Januari 1988 tapi setelah masa itu lewat, Latief tak

kunjung dibebaskan.

Pada 17 Agustus 1994, Omar Dhani mantan Menpangau, Dr. Soebandrio mantan Menlu

dan Ketua BPI serta Brigjen Pol. Sutarto serta Kol. Latief mengajukan grasi pada

Presiden Soeharto. Semua mendapat grasi kecuali Kol. Latief. Akhirnya pada era

pemerintahan Habibie lah baru Latief mendapatkan grasinya.

Eks Sersan Mayor Boengkoes adalah salah satu pelaku langsung dari Tragedi

September 1965. Dia dibebaskan dari LP Cipinang pada tanggal 25 Maret 1999.

Sebagai Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang

berada di bawah Kol. Untung, dia mengaku bahwa dia hanya menjalankan perintah

atasannya yaitu Lettu Dul Arief.

Ia diperintahkan untuk 'mengambil' Mayjen MT. Haryono, hidup atau mati. Sebelum

dilakukan pengambilan tersebut, dia diberi penjelasan oleh atasannya tersebut

bahwa ada sekelompok jenderal yang menamakan dirinya "Dewan Jenderal" yang

bertujuan meng-coup Presiden Soekarno.

Ketika ditanya apakah Boengkoes mengerti dengan yang dimaksud "Dewan

Jenderal", dia menjawab dalam masa G 30 S tersebut ada dua kubu yang tampaknya

lagi berkonflik dalam kemiliteran terutama di Angkatan Darat. Yaitu apa yang disebut

sebagai "Dewan Jenderal" dan "Dewan Revolusi".

"Dewan Jenderal" adalah yang berniat melakukan coup pada Presiden Soekarno

sedangkan "Dewan Revolusi" adalah yang berniat menyelamatkan Presiden Soekarno.

Menurut Boengkoes ada ketidaserasian dalam Angkatan Darat tidak hanya

menyangkut Soekarno.

Sekitar pukul setengah tiga dini hari semua unsur pasukan yang bertugas untuk

melakukan penangkapan dikumpulkan dan diberi briefing akhir. Pasukan dibagi

dalam tujuh sasaran dengan dalam tiap titik sasaran terdiri atas satu peleton pasukan.

Waktu 'pengambilan' sangat singkat, antara 15 - 20 menit dan tidak dihitung dengan

waktu berangkat. Dan sebelum pukul 06.00 harus sudah dibawa ke semua tujuh orang

Jenderal tersebut.

Waktu itu Serma Boengkoes mendapat sasaran Mayjen MT. Haryono. Sebelum

penangkapan, Serma Boengkoes melakukan observasi dulu. Yang dia ingat adalah

waktu itu pintu menghadap ke selatan. Setelah Boengkoes mengetuk pintu dan

meminta ijin untuk kedua kalinya, pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Waktu itu

keadaan gelap sekali karena oleh pemilik rumah semua lampu dimatikan.

Dalam hati Boengkoes timbul pertentangan antara melanjutkan atau tidak tetapi

sebagai seorang tentara dia teringat akan perintah komandannya yang harus dituruti.

Akhirnya didobraknyalah pintu tersebut dan ketika itu Boengkoes terkejut karena

melihat kelebatan bayangan putih dan secara reflek dia menarik pelatuk dan

terjadilah penembakan itu. Gugurlah satu bunga bangsa .. Mayjen MT. Haryono.

Menurut pengakuan Boengkoes pada saat dia melakukan penembakan, dia tidak

mengetahui bahwa yang ditembaknya adalah Mayjen MT. Haryono.

3

Pukul 05.30 pagi tanggal 01 Oktober, Boengkoes dan pasukannya sudah tiba di

tempat semula. Baru ketima matahari sudah panas dilakukanlah eksekusi terhadap

para jenderal yang masih hidup. dan itupun dilakukan dengan sopan dengan

dipapahnya para jenderal sampai bibir sumur dan baru kemudian ditembak.

Menurut pengakuan Boengkoes tidaklah benar kalau ada pesta dan nyanyi-nyanyi

seperti yang ditampakkan pada film G 30 S tersebut. Suasana saat itu benar-benar

sepi. Boengkoes mengatakan bahwa pada saat itu hanya terdengar tiga suara (yang

sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telinganya jika mengingat kejadian

tersebut), yaitu suara desiran angin di pepohonan, suara tangis bayi dan suara ayam

berkokok **iiih .. gue kok merinding yaa .. ** . Semua orang yang ada disitu terdiam

dan tentara pun seperti robot bahkan air putih pun terasa pahit.

Boengkoes mengatakan bahwa dia benar-benar merasakan penyesalan yang

terdalam dan hatinya hancur begitu mengetahui semuanya .. . Bahkan ketika keluar

dari penjara pun terbersit banyak pertanyaan apakah nanti ia mampu hidup layak dan

wajar di tengah-tengah masyarakat.

Sebagaimana disebut tadi, menurut pengakuan Boengkoes, waktu penembakan atau

eksekusi para jenderal adalah jam setengah sembilan pagi.

Malam hari pada tanggal 01 Oktober pasukan Boengkoes dipindah ke suatu tempat,

entah ke mana. Yang jelas mereka melintasi lapangan udara. Tanggal 02 Oktober,

Boengkoes pulang ke Asrama. Setelah diterima oleh Kepala Asrama, kemudian

Boengkoes dibawa ke suatu tempat yang ternyata adalah LP. Cipinang

Sekarang kita bicarakan tentang Sjam Kamaruzzaman, tokoh Peristiwa September

1965 yang paling misterius.

Nama aslinya adalah Sjamsul Qamar Mubaidah. Dia adalah tokoh kunci G 30 S dan

orang nomor satu di Biro Khusus PKI yang bertugas membina simpatisan PKI dari

kalangan ABRI dan pegawai negeri sipil. Sjam kelahiran Tuban, Jawa Timur, 30 April

1924. Pendidikannya hanya sampai kelas tiga Land & Tunbow School dan

Suikerschool, Surabaya. Karena Jepang keburu masuk ke Indonesia, maka Sjam tidak

menamatkan sekolahnya. Pada tahun 1943 dia masuk sekolah dagang di Yogyakarta

tapi itu pun hanya sampai kelas 2.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Sjam ikut berjuang memanggul senjata dalam

pertempuran di Magelang tahun 1945 - 1946, Ambarawa dan Front Mranggen,

Semarang. Dia sempat memimpin kompi laskar di Front Semarang Barat.

Sekembalinya dari Front tersebut, ia menjadi anggota Pemuda Tani dan menjadi

pemimpin Laskar Tani di Yogyakarta.

Tahun 1947, menjelang Agresi Militer Belanda I (Clash I), ia membentuk Serikat Buruh

Mobil, sebuah organisasi buruh yang beraliran kiri. Pada akhir 1947, ketika SBKP

(Serikat Buruh Kapa dan Pelabuhan) didirikan, Sjam juga menjadi pimpinan, bahkan

kemudia menjadi ketua. Ia banyak mempelajari teori Marxis pada periode tersebut.

Tahun 1950, dia menajdi Wakil Ketua SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh

Indonesia) Jakarta Raya. Tahun 1951 sampai 1957. dia menjadi staf anggota Dewan

Nasional SOBSI. Dan barulah semenjak tahun 1957, dia menjadi pembantu pribadi DN.

Aidit. Mulai tahun 1960, Sjam ditetapkan menjadi anggota Departemen Organisasi

PKI. Empat tahun setelah itu, dia memperkenalkan bentuk pengorganisasian anggota-

anggota PKI yang berasal dari ABRI. Lahirlah apa yang disebut Biro Khusus Sentral

pada tahun 1964.

4

Sjam mengaku bahwa dia ditugaskan oleh Aidit untuk memimpin biro khusus

tersebut. Suatu biro yang menangani pekerjaan khusus yaitu pekerjaan yang tidak

dapa dilakukan melalui aparat-aparat terbuka yang lain, terutama di bidang militer

dan bidang lainnya yang harus dikerjakan secara klandestin atau bawah tanah.

Ketika mulai dekat dengan Aidit, Sjam menjalin hubungan dengan anggota ABRI.

Channel nya dia sangatlah mengagumkan. Ia pernah menjadi informan Moedigdo,

seorang komisari polisi. Kelak salah satu anak Mudigdo diperistri oleh Aidit. Sjam

juga disebut-sebut pernah menjadi intelnya Kolonel Soewarto, direktur seskoad pad

tahun 1958. Melalui cabang-cabang di daerah, Sjam berhasil mengadakan kontak-

kontak tetap dengan kira-kira 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, 80

sampai 100 di Jawa Barat, 40 hingga 50 di Jakarta, 30 - 40 di Sumatera Utara, 30 di

Sumatra Barat dan 30 di Bali.

Sjam ibarat hantu yang bisa menyusup kemana saja ia mau. Sehingga banyak orang

yang yakin bahwa sesungguhnya Ia adalah agen ganda. Dia bukan cuma bekerja

untuk PKI, tetapi juga bertugas sebagai spionase untuk kepentingan-kepentingan lain.

Ada lagi yang meyakini bahwa Sjam adalah agen rahasia ganda untuk KGB dan CIA.

Lalu ada juga yang bilang bahwa Sjam itu adalah orang sipil yang menjadi informan

tentara.

Sjam dianggap sebagai tokoh terpenting dalam peristiwa september 1965 ini yang

membuat bukan saja PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan politik nasionalis, runtuh

dalam beberapa hari seperti layaknya rumah kertas.

Setelah G 30 S meletus dan kemudian gagal (atau didesain untuk gagal), Sjam pun

menghilang.

Menurut Mayjen Tahir, perwira pelaksana Team Pemeriksa Pusat, Sjam ditangkap di

daerah Jawa Barat sekitar akhir tahun 1965 atau awal 1966.

Banyak orang sepakat bahwa sesungguhnya Sjam adalah tokoh kunci dalam peristiwa

September 1965 tersebut. Tetapi sejauh manakah peranan yang dia mainkan ?

Saat Bung Karno jatuh sakit, Sjam dipanggil Aidit ke rumahnya tanggal 12 Agustus

1965 dan dalam pertemuan itu, Aidit mengemukakan suatu hal yaitu " seriusnya sakit

Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera

apabila beliau meninggal"

Kemudian Aidit meminta Sjam untuk "meninjau kekuatan kita" dan "mempersiapkan

suatu gerakan". Atas dasar instruksi tersebut maka Sjam dan rekan-rekannya dari Biro

Khusus yakni Pono dan Walujo membicarakan kemungkinan ikut serta dalam "suatu

gerakan", dan memutuskan untuk mendekati Kolonel Latief, Komandan Brigade

Infantri I Kodam Jaya, Letkol Untung, komandan salah satu dari tiga batalyon pasukan

pengawal istana Cakrabirawa di Jakarta dan Soejono dari AU, komandan pertahanan

pangkalan Halim. Petunjuk inilah yang menunjukkan bahwa Sjam adalah inisiator dari

gerakan yang kemudian gagal.

Di sisi lain ada yang meragukan bahwa inisiatif itu datangnya dari Sjam. Keterangan

Untung dalalm sidang pengadilannya mengatakan bahwa semua gerakan itu adalah

idenya dan Kolonel Latief dan bukan ide Sjam.

Sementara itu, eksekusi terhadap para jenderal, juga bukan atas inisiatif Sjam. Gathut

Soekresno yang dihadapkan sebagai saksi atas perkara Untung pada tahun 1966,

5

memberi petunjuk bahwa Doel Latief lebih berperan, kendati sebetulnya Mayor

Udara Soejono adalah yang bertanggung jawab terhadap nasib para jenderal

tersebut.

Di pengadilan, Sjam memang divonis mati. Akan tetapi, banyak mantan tahanan

politik penghuni RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Mulia, Jakarta Pusat, meragukan

apakah Sjam betul-betul dieksekusi.

Dari para mantan tapol penghuni RTM Budi Mulia, lebih banyak yang percaya, Sjam

dilepas. Ia ganti identitas dan hidup sebagaimana orang biasa, atau bahkan sudah

kabur ke luar negeri. Semua itu tidak lepas dari jasanya terhadap pemerintahan Orde

Baru dibawah Jenderal Soeharto.

Beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Sjam adalah agen ganda, memang

didasarkan pada logika yang dapat diterima. Dugaan itu sesuai dengan karakteristik

Sjam yang cukup cerdas dan penuh perhitungan, akan tetapi misterius. Dia tidak

banyak omong. Karakteristik tokoh ini ditampakkan oleh ciri-ciri fisiknya; berkulit

gelap, berambut keriting, tinggi 170 cm, sering memakai baju drill, dan ada codetan

di pipi dekat mata kanannya.

John Lumeng Kewas, Ketua Presidium GMNI tahun 1957 - 1965 dan juga wakil sekjen

PNI menceritakan percakapannya yang pernah terjadi dengan Sjam bahwa dia

menanyakan kepada Sjam kenapa PKI melakukan pemberontakan pada 30 September

1965. Dia dengan hati-hati mengatakan, "Bung John perlu tahu, bahwa memang PKI

berniat mengkup Bung Karno". Ketika John menanyakan alasannya, kembali Sjam

menjawab "Bung Karno memimpin revolusi itu secara plin-plan"

Perlakuan istimewa petugas LP terhadap Sjam juga diakui oleh banyak orang. Sjam

bisa lebih leluasa berada di luar sel dan tampak akrab berbincang-bincang dengan

petugas.

Eks Kolonel Latief mengatakan bahwa sekitar tahun 1990 Sjam Kamaruzzaman pun

masih ditahan di Cipinang. Sementara hal itu bertentangan dengan cerita seorang

mantan pejabat di lingkungan Depkeh RI bahwa Sjam dilepaskan pada malam hari di

bulan September 1986 atas seizin Soeharto.

Demikianlah sekelumit tentang misteri orang paling misterius dalam pemberontakan

September 1965 .. Sjam Kamaruzzaman ..

Brigjen Soepardjo berasal dari Divisi Siliwangi,yang kemudian dipertautkan dengan

Mayjen Soeharto pada satu garis komando. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil

Panglima Komando Mandala Siaga (KOLAGA), bulan Agustus 1965 Mayjen Soeharto

disebut-sebut mengunjungi Kalimantan dan bertemu dengan Soepardjo.

Menjelang 30 September, Brigjen Soepardjo terbang dari Kalimatan khusus ke Jakarta

untuk ikut serta dalam gerakan bulan September 1965 tersebut. Dia yang melaporkan

penangkapan jenderal-jenderal kepada Soekarno. Dia juga yang mendapat perintah

Soekarno untuk menghentikan gerakan dan menghindari pertumpahan darah.

Tengah hari 1 Oktober 1965, Brigjen Soepardjo membawa amanat itu pulang ke

Cenko II yang bertempat di rumah Sersan Udara Anis Suyatno, kompleks Lubang

Buaya. Perintah itu didiskusikan oleh para pimpinan pelaksana gerakan September

1965.

Brigjen Soepardjo dan pasukan Diponegoro, terlibat pertempuran bersenjata

melawan pasukan RPKAD yang menyerang mereka.

6

Bersama Sjam dan Pono, Brigjen Soepardjo menyelamatkan diri ke rumah Pono di

Kramat Pulo, Jakarta. Kemudian mereka menemui Sudisman di markas darurat CC PKI.

Setelah tertangkap, Brigjen Soepardjo langsung diamankan ke RTM untuk kemudian

diadili dan dijatuhi hukuman mati. Berbeda dengan Sjam yang ditempatkan di ruang

VIP dalam tahanan militer, eks Brigjen Soepardjo berbaur dengan tapol lainnya.

Seorang mantan tapol yang biliknya berdekatan dengan Soepardjo memberikan

kesaksian, ketika esoknya akan dihukum mati, malamnya Soepardjo sempat

mengumandangkan adzan. Kumandang adzan itu sempat membuat hati para sebagian

penghuni penjara yang mendengarkan tersentuh dan merinding ...

Dalam memoarnya, sebagaimana pernah gue ceritain, Oei Tjoe Tat menuliskan

perihal kematian Soepardjo. Sebelum eksekusi, Soepardjo dengan sangat gentle

ambil bagian dalam "perjamuan terakhir" yang dihadiri oleh keluarganya dan

petugas militer. Pada waktu makan bersama pada perjamuan tersebut, Soepardjo

memohon pada petugas penjara agar diperbolehkan berpidato. Salah satu isinya:

"Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal saudara-saudara tak diketahui kapan.

Itu perbedaan saya dari kalian." Kemudian ia minta diperkenankan menyanyi lagu

kebangsaan Indonesia Raya.

Tiga hari sebelum eksekusi, familinya datang membesuk. Supardjo memberikan

kenang-kenangan berupa sepasang sepatu buat istrinya. Makanannya yang terakhir

sebelum dieksekusi, dibagikan kepada orang lain.

Oei Tjoe Tat mendikotomikan karakter Supardjo dengan sosok Sjam. Dua tokoh utama

gerakan September 1965 - yang satu Sjam, sipil, orang pertama Biro Khusus yang

kabarnya perancang dan pelaksana; yang lain Jenderal Supardjo, ujung tombak

militernya - menampakkan sikap yang berbeda ketika harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Jenderal Pardjo selama dalam tahanan di RTM mendapat simpati, baik dari para

petugas maupun dari para tahanan karena sikapnya. Ia tidak mau diutamakan lebih

dari yang lain, hanya karena ia seorang Jenderal. Bila menerima kiriman makanan, ia

selalu membagi-bagikan kepada para tapol lain yang melintas di depan selnya. Oei

Tjoe Tat melukiskannya dengan kata-kata: "Sangat mengesankan, jantan, benar-benar

bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah terhadap siapa pun".

Menurut penggambaran Oei Tjoe Tat, Supardjo merupakan orang yang loyal terhadap

Presiden. Tapi mengapa Supardjo ikut serta dalam gerakan September 1965 yang

mendemisionerkan kabinet dan tidak mencantumkan nama Soekarno dalam daftar 45

orang anggota Dewan Revolusi? Memang, ada kemungkinan, Supardjo dijerumuskan

(entah oleh siapa), sehingga ambil bagian dalam gerakan tersebut.

Satu kemungkinan, yang menjerumuskan Supardjo dalam hal itu adalah Sjam.

Kemungkinan lain sebagaimana dituturkan oleh Siregar, "Supardjo sekalipun

kemudian dibunuh juga oleh Soeharto menyusul hancurnya Gerakan 30 September

1965, tadinya bukan tidak mungkin adalah juga anggota dari kubu Soeharto.

Perekrutan atas Supardjo mungkin sekali ketika ia menjadi Wakil Panglima KOSTRAD

dan ketika kampanye Ganyang Malaysia dimana Soepardjo menjadi Panglima

Komando Tempur Kalimantan dibawah KOLAGA yang dikepala-staffi oleh Soeharto"

Akhir petualangan Lettu Doel Arif pun tak jelas. Sebagai komandan Pasukan Pasopati

yang menjadi operator G 30 S, ia adalah tokoh kunci. Ia bertanggung jawab terhadap

operasi penculikan jenderal-jenderal pimpinan AD. Tapi Doel Arief, yang ditangani

langsung oleh Ali Moertopo, hilang bak ditelan bumi.

7

Bentuk hukuman apa yang diberikan Ali Moertopo bagi Doel Arief? Mungkin saja ia

langsung di-dor, seperti halnya DN. Aidit oleh Kolonel Yasir Hadibroto. Atau, bukan

tidak mungkin, ketidakjelasan Doel Arief lebih mirip dengan misteri tentang Sjam

Kamaruzzaman.

Kalau dilihat secara holistik **dengan asumsi bahwa G 30 S betul-betul merupakan

skenario kudeta** peran Doel Arief tidak begitu penting. Setidaknya, ia hanyalah pion

yang dimainkan para elit diatasnya. Perannya hanya sebagai pelaksana untuk

menculik para jenderal. Namun kalau diasumsikan bhw G 30 S merupakan skenario

jenial untuk menabrakkan PKI dan AD guna memunculkan konstelasi politik baru di

Indonesia, maka Lettu Doel Arief adalah key person, seperti halnya Sjam.

Kesaksian para pelaku gerakan september 65 ini merupakan hal yang penting bagi

jalannya proses rekonstruksi sejarah Orde Baru. Sayangnya, sangatlah disayangkan

ada yang tercecer dari kesaksian para tokoh kunci gerakan tersebut hingga terjadilah

missing link yang masih misterius sampai dengan sekarang.

Akibat yang paling fatal adalah pertanyaan yang paling mendasar dan legendaris

sampai dengan saat ini yaitu : siapakah dalang dan otak sesungguhnya dari gerakan

30 September tersebut ?

Ketidakjelasan nasib para tokoh PKI dan juga para pelaku langsung G 30 S, ikut

menambah rumit konspirasi yang terjadi. Beberapa dari tokoh inti sudahlah jelas dan

terang nasibnya dengan mengalami eksekusi secara resmi di depan regu tembak

seperti eks Kol. Untung, eks Brigjen Sopeardjo, Sudisman yang anggota Politbiro PKI

dan Dipa Nusantara Aidit yang menjadi Ketua PKI.

Sementara itu Nyoto tidak diketahui sampai sekarang rimbanya. Alkisah tanggal 11

Maret 1966 sepulangnya dari sidang kabinet (Nyoto adalah salah satu mentri di

kabinet soekarno), ia diculik oleh sekelompok orang yang tidak diketahui

identitasnya dalam perjalanan pulang menuju rumahnya di Jl. Tirtayasa. Ada

beberapa tapol yang pernah melihatnya di Rutan Salemba tapi setelah itu mereka

tidak melihat lagi karena kemudian terhembus kabar burung bahwa Nyoto sudah

dieksekusi di salah satu kepulauan Seribu di Teluk Jakarta.

Yang menjadi suatu fenomena menarik adalah perlakuan ekstra judistrial bagi para

elite politik PKI. Jika ditelaah dan diperhatikan, mereka tidak pernah diadili secara

hukum dan menjalani tahap persidangan.