fungsi fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian , amran
DESCRIPTION
dfddfTRANSCRIPT
FUNGSI-FUNGSI DALAM SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN DI ERA OTONOMI DAERAH
(KASUS DI KABUPATEN BOGOR PROPINSI JAWA BARAT)
Oleh : Dayat
ABSTRACT
Keberhasilan penyuluhan pertanian yang ditunjukan dengan diterimanya ide baru berlanjut sampai digunakannya ide baru oleh petani (fungsi pelaku utama), berlangsung dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang di dalamnya ada beberapa fungsi yang dapat saling mempengaruhinya yaitu (1) Fungsi penelitian, (2) Fungsi pengaturan, (3) Fungsi pelayanan, dan (4) Fungsi Penyuluhan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui kondisi keberlanjutan masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian, (2) Menganalisis atribut determinan (faktor pengungkit utama) yang dapat digunakan untuk menunjukan pengembangan masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian, (3) Menganalisis kebersamaan masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian terhadap fungsi pelaku utama (petani), (4) Menganalisis ketergantungan fungsi pelaku utama (petani) pada masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian, dan (5) Mengetahui gambaran tingkat partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 bertempat di Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif dengan menggunakan teknik survei. Pendekatan penelitian yang digunakan merupakan pendekatan kuantitatif.
Hasil penelitian fungsi-fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor menunjukan: (1) Masing-masing Fungsi berada pada kondisi berkelanjutan baik untuk fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi pelaku utama (petani); dan kondisi cukup berkelanjutan untuk fungsi penyuluhan.; (2) Adanya atribut determinan (faktor pengungkit utama) masing-masing fungsi untuk dilakukan pengembangan; (3) Adanya kebersamaan pengaruh masing-masing fungsi terhadap fungsi pelaku utama untuk perbaikan usahatani; (4) Adanya ketergantungan fungsi pelaku utama (petani) dalam perbaikan usahatani pada masing-masing fungsi; (5) Ada tiga tingkatan partisipasi petani dalam kegiatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian yaitu cukup baik dalam ikut pelaksanaan, kurang baik dalam memecahkan masalah usahatani, dan sangat tidak baik dalam ikut perencanaan dan evaluasi.
Kata kunci: fungsi-fungsi dalam sitem penyuluhan pertanian, keberlanjutan,
atribut determinan, kebersamaan, ketergantungan, partisipasi petani, otonomi daerah.
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang sebelumnya dilaksanakan
secara sentralistik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, mulai tahun 2001
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, kewenangan di bidang penyuluhan
pertanian dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan tujuan otonomi
daerah, pelimpahan kewenangan ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja
penyuluhan pertanian.
Ide dasar desentralisasi penyuluhan pertanian adalah memberi kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan SDM (Sumberdaya Manusia)
pertanian sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Pengembangan SDM yang
didukung oleh Litbang, unit usaha yang bersekala ekonomis, dan perusahan
swasta (Mawardi, 2004).
Menurut Lionberger dan Gwin yang dikutif oleh Mardikanto (1993)
bahwa kegiatan penyuluhan pertanian perlu didukung atau dibarengi dengan
kegiatan-kegiatan dan kemudahan-kemudahan tertentu yang menjamin penerapan
inovasi yang ditawarkan, seperti: pengadaan input, kemudahan kredit, pemasaran
produk, penelitian/pengujian lokal, dan kelembagaan penunjangnya. Menurut
Putra (2005) kegiatan penyuluhan akan berjalan dengan baik jika: pasar,
teknologi, input, intensitas produksi (harga yang layak) dan transportasi desa
mencapai keadaan maksimum.
Jarmie (1994) menegaskan bahwa petani dalam meningkatkan perbaikan
usahataninya tergantung pada banyak fungsi yang berperan dalam penggunaan
sumberdaya lahan dan pengelolaan usahatani. Di Indonesia pada pelaksanaan
Bimas berperan fungsi pengaturan, penyuluhan, pelayanan, penelitian dalam
membina petani. Fungsi-fungsi didalam sistem Bimas sama dengan sistem
penyuluhan yang ada di Jepang, Korea maupun Taiwan.
Dari pendapat Lionberger dan Gwin, Putra, dan Jarmie menunjukan
bahwa keberhasilan penyuluhan pertanian yang ditunjukan dengan diterimanya
ide baru berlanjut sampai digunakannya ide baru oleh petani (fungsi pelaku
3
utama), diindikasikan berlangsung dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang
di dalamnya ada beberapa fungsi yang dapat saling mempengaruhinya yaitu (1)
Fungsi penelitian, (2) Fungsi pengaturan, (3) Fungsi pelayanan, dan (4) Fungsi
Penyuluhan. Masing-masing fungsi tersebut mempunyai peran yaitu (1) Peran
penelitian, (2) Peran Pengaturan, (3) Peran pelayanan, dan (4) Peran penyuluhan.
Fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan dan fungsi
penyuluhan, keberaadaannya memang dibutuhkan oleh pelaku utama (petani)
sebagai pengusahaan usahatani. Namun demikian, apakah antar fungsi-fungsi itu
menunjukan adanya kebersamaan dan ketergantungan dalam sistem penyuluhan
pertanian di era otonomi daerah? Pertanyaan tersebut perlu dijawab melalui
penelitian dan dikaji lebih lanjut secara komprehensif.
Kemudian bagian penting yang perlu juga diteliti dan dikaji adalah
bagaimana gambaran kondisi partisipasi petani di era otonomi daerah pada masa
ini dalam penyelenggaran penyuluhan pertanian?. Santoso et al (2003)
melaporkan salahsatu hasil penelitiannya bahwa agar adopsi teknologi dapat
berlanjut, maka diperlukan kesadaran dan partisifasi petani. Widjaya (2002)
menegaskan bahwa dalam otonomi daerah tanpa meningkatkan partisipasi
masyarakat dan swasta, otonomi akan kehilangan makna dasarnya.
Penelitian Sistem Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah
dilaksanakan atas dasar pertimbangan yaitu adanya penomena pelaksanaan
otonomi daerah yang memunculkan keragaman dalam penyelenggaraan
pemerintahan pada setiap daerah, sehingga dimungkinkan munculnya masalah
yang berbeda pada setiap daerah otonom maka pemecahan masalah harus melalui
pendekatan wilayah masing-masing daerah otonom. Dalam penelitian ini, dipilih
secara sengaja Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah otonom yang dijadikan
lokasi obyek penelitian (kasus) dalam pelaksanaan sistem penyuluhan pertanian
di era otonomi daerah.
Menurut Slamet (2003) sejak diberlakukannya Undang-Undang
Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah), memunculkan keragaman dalam
kelembagaan, peraturan-peraturan dan kebijakan pada masing-masing daerah.
4
Keragaman tersebut memunculkan berbagai permasalahan dalam pembangunan
pertanian termasuk dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Permasalahan yang diindikasikan berhubungan dengan pelaksanaan sistem
penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Kabupaten Bogor, dapat
teridentipikasi salah satunya dari hasil analisa keadaan struktur perekonomian
Kabupaten Bogor pada sektor pertanian di masa otonomi daerah yang
menunjukan: (1) Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pertumbuhannya
minus dibandingkan dengan sektor lain; (2) sektor pertanian tidak memilki daya
saing dan pertumbuhannya lambat jika dibandingkan dengan wilayah lain; (3)
sektor pertanian tetap menjadi sektor yang berdaya saing rendah dan lambat
pertumbuhannya (Maryanti RB Sianturi, 2008). Adanya permasalahan tersebut,
sebagai penyebabnya diduga karena (1) fungsi pengaturan, fungsi pelayanan,
fungsi penelitian, fungsi penyuluhan, dan fungsi pelaku utama (petani) belum
menjalankan perannya dengan baik; (2) masing-masing fungsi belum berlangsung
dalam kebersamaan dan saling ketergantungan; dan (3) tingkat partsipasi petani
dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih rendah.
Masalah Penelitian (1) Bagaimana gambaran tentang kondisi keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan, dan fungsi pelaku utama
(petani) dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada
masa ini di Kabupaten Bogor?
(2) Atribut determinan (faktor pengungkit utama) apa saja yang dapat digunakan
untuk menunjukan pengembangan fungsi penelitian, fungsi pengaturan,
fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan, dan fungsi pelaku utama (petani)
dalam sistem penyuluhan di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten
Bogor?
(3) Apakah adanya kebersamaan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi
pelayanan, dan fungsi penyuluhan terhadap fungsi pelaku utama (petani)
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor?
5
(4) Apakah adanya ketergantungan fungsi pelaku utama (petani) pada fungsi
penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor?
(5) Bagaimana gambaran tingkat partisipasi petani dalam penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten
Bogor?
Tujuan Penelitian
(1) Mengetahui kondisi keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi pengaturan,
fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan, dan fungsi pelaku utama (petani)
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor.
(2) Menganalisis atribut determinan (faktor pengungkit utama) yang dapat
digunakan untuk menunjukan pengembangan fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan, dan fungsi pelaku utama
(petani) dalam sistem penyuluhan di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor.
(3) Menganalisis kebersamaan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi
pelayanan, dan fungsi penyuluhan terhadap fungsi pelaku utama (petani)
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor.
(4) Menganalisis ketergantungan fungsi pelaku utama (petani) pada fungsi
penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor.
(5) Mengetahui gambaran tingkat partisipasi petani dalam penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten
Bogor.
6
LANDASAN TEORI
Keberhasilan penyuluhan pertanian yaitu diterimanya ide baru berlanjut
sampai digunakannya ide baru oleh petani (fungsi pelaku utama) perlu didukung
dan dibarengi dengan kegiatan-kegiatan dan kemudahan-kemudahan tertentu yang
menjamin penerapan inovasi yang ditawarkan, seperti: pengadaan input,
kemudahan kredit, pemasaran produk, penelitian/pengujian lokal, dan
kelembagaan penunjangnya (Lionberger dan Gwin dalam Mardikanto 1993;
Putra, 2005 Jarmie, 1994; Taryoto et al, 1995; Mawardi, 2004), yang berlangsung
dalam sistem penyuluhan pertanian. Sistem penyuluhan pertanian terdiri dari
fungsi-fungsi yaitu fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi
penyuluhan, dan fungsi pelaku utama (petani) (Jarmie, 1994). Menurut Jarmie
(1994) fungsi-fungsi tersebut harus berlangsung dalam sistem yang ditunjukan
adanya kebersamaan dan ketergantungan antar fungsi-fungsi. Informasi dari hasil
penelitian Jarmie (1994), menunjukan ciri adanya sistem. Ciri-ciri tersebut
mencakup kebersamaan antar fungsi-fungsi dan ciri ketergantungan antar fungsi-
fungsi dalam penyuluhan pembangunan pertanian di Indonesia.
Penelitian yang Jarmie laksanakan pada tahun 1994 berlangsung di era
pemerintahan yang bersifat sentralistis (terpusatnya kekuasaan) yang hampir
semua kebijakan pembangunan pertanian termasuk didalamnya penyelenggaraan
penyuluhan pertanian serba diatur oleh pusat. Pelaksanaan pembangunan
direncanakan dan diekskusi oleh pusat, daerah hanya menjadi tempat kebijakan
yang akan dilaksanakan. Di era otonomi daerah, daerah otonom dapat melakukan
pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam
masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan
kinerja pembangunan. Dengan demikian fungsi-fungsi yang telah dikemukakan
yaitu penelitian, pengaturan pelayanan, penyuluhan, keberaadaannya memang
dibutuhkan oleh petani sebagai pengusahaan usahatani (petani), namun demikian
di era otonomi daerah, apakah antar fungsi-fungsi itu adanya kebersamaan dan
ketergantungan yang berlangsung dalam sistem penyuluhan pertanian, masih perlu
dikaji lebih lanjut.
7
Perubahan petani bertolak dari adanya ide baru hasil fungsi penelitian
yang diterima dan diolah (rekayasa) oleh fungsi penyuluhan, selanjutnya
disuluhkan (sesuai dengan tingkat kemajuan) ke fungsi pelaku utama (petani)
dalam meningkatkan usahatani. Kebersamaan dan ketergantungan antara fungsi
penelitian, fungsi penyuluhan dan fungsi pelaku utama (petani) itu,
memungkinkan relevannya temuan fungsi penelitian dan tepatnya teknik
penyuluhan terhadap kebutuhan fungsi pelaku utama (petani), bila dibandingkan
dengan fungsi-fungsi itu bekerja sendiri (Jarmie, 1994).
Secara keseluruhan fungsi-fungsi dalam penyuluhan pertanian dirakit
melalui peran fasilitator, stabilisator dan koordinator oleh fungsi pengaturan yang
didukung oleh fungsi penelitian didalam pembangunan pertanian yang bersifat
nasional maupun regional. Fungsi-fungsi tersebut dalam sistem (kebersamaan dan
ketergantungan) untuk meningkatkan kualitas hidup fungsi pelaku utama yang
sejajar dengan kemajuan profesi lain, yaitu suatu kualilifikasi kemandirian petani
dalam pertanian yang berkelanjutan (Jarmie, 1994).
Petani merupakan unsur bagian dari sistem penyuluhan pertanian,
keberadaannya menjadi sama penting dengan unsur lain karena bisa ikut
menentukan keberhasilan penyuluhan pertanian. Salah satu peran petani dalam
sistem penyuluhan pertanian adalah keikutsertaan (partisipasi) petani dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Santoso et al (2003) melaporkan
salahsatu hasil penelitiannya bahwa agar adopsi teknologi dapat berlanjut, maka
diperlukan kesadaran dan partisifasi petani. Menurut Wijianto (2008) partisipasi
adalah keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota dalam suatu kegiatan.
Menurut Wardojo (1992) sebagai bentuk kegiatan, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan mencakup partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan
kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta
pemanfaatan hasil pembangunan. Ditegaskan oleh Widjaya (2002) bahwa dalam
otonomi daerah tanpa meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta, otonomi
akan kehilangan makna dasarnya.
8
Berdasarkan latar belakang, masalah, tujuan, serta landasan teori yang
diketengahkan dalam penelitian ini, maka dibuat model penelitian induk
sebagaimana ditunjukan pada Gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. Model Penelitian Induk Keterangan:
X1 = Fungsi penelitian X11 = Peran Menemukan Ide Baru X12 = Peran Adaptasi Ide Baru X13 = Peran Menyebarkan Hasil Penelitian
X2 = Fungsi Pengaturan
X21 = Peran Fasilitator X22 = Peran Stabilisator X23 = Peran Koordinator
X3 = Fungsi Pelayanan X31 = Peran Melayani Sarana Produksi
X1
X11
X12
X13
X2
X21
X22
X23
X41
X42
X43 X4
X44
X45
X46
X3
X31
X32
X33
Y
Y1
Y3
Y2
9
X32 = Peran Melayani Peralatan Pertanian X33 = Peran Melayani Kredit Usahatani X4 = Fungsi Penyuluhan X41 = Peran Komunikator X42 = Peran Motivator X43 = Peran Edukator X44 = Peran Dinamisator X45 = Peran Organisator X46 = Peran Penasihat Y = Fungsi Pelaku Utama (Petani) Y1 = Perilaku Petani Y2 = Kebersamaan Antar Fungsi
Y3 = Ketergantungan antar Fungsi.
METODE PENELITIAN
Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif
dengan menggunakan teknik survei. Menurut Singarimbun (1995) metode
diskriptif yaitu suatu penelitian yang memusatkan perhatian pada pemecahan
masalah yang ada pada masa sekarang dan bertitik tolak dari data yang
dikumpulkan. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik survei dimana
penelitian dilakukan dengan cara mengambil sampel dari suatu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Kemudian dianalisis dan
disimpulkan dalam konteks teori-teori hasil penelitian terdahulu.
Pendekatan penelitian yang digunakan merupakan pendekatan kuantitatif
dimana gejala-gejala sosial yang ada dimanipulasi dalam bentuk angka agar
supaya dapat dianalisis secara statistik untuk membuktikan hipotesis (Wibowo et
al, 2008).
Metode Pengambilan Sampel
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposif (sengaja). Untuk
lokasi penelitian dipilih Kabupaten Bogor dengan pertimbangan sebagai daerah
10
otonom; terdapat lembaga penyuluhan pertanian; terdapat lembaga penelitian
pertanian; terdapat lembaga penyalur sarana produksi dan kredit pertanian;
terdapat lembaga petani (kelompok tani); dan sektor pertanian memegang peranan
penting dalam perekonomian yang masih perlu pengembangan. Pemelihan sampel
lokasi dengan mengunakan metode porposive sampling (sengaja), dipilih 6 (enam)
wilayah kerja BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan),
yaitu Ciawi, Dramaga, Cibungbulang, Leuwiliang, Cibinong dan Jonggol. yang
berada dibawah tanggungjawab BP4K (Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan) Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat.
Populasi dalam penelitian ini adalah pelaku fungsi pengaturan (unsur
pemerintahan), pelaku fungsi penelitian (peneliti), pelaku fungsi pelayanan
(penyalur sarana produksi dan kredit pertanian), pelaku fungsi penyuluhan
(Penyuluh PNS), dan pelaku fungsi pelaku utama (petani). Sampel yang dijadikan
responden untuk pelaku fungsi pengaturan, penelitian, pelayanan dan penyuluhan
ditetapkan populasi diambil semua (penelitian populasi). Petani sampel yang
dijadikan responden adalah petani yang menjadi pengurus dan anggota kelompok
tani. Teknik pengambilan sampel untuk petani ditetapkan secara proportionate
stratified random sampling yaitu cara pengambilan sampel dari anggota populasi
secara acak dan berstrata secara proporsional. Jumlah sampel yang dijadikan
responden penelitian untuk petani ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin
(Djari,2009; Wibowo, 2008), sehingga diperoleh ukuran sampel petani sebanyak
150 orang.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini terdapat dua klasifikasi variabel, yaitu variabel bebas
terdiri dari Fungsi Penelitian (X1), Fungsi pengaturan (X2), Fungsi Pelayanan
(X3), dan Fungsi Penyuluhan (X4); dan variabel terikat yaitu Fungsi Pelaku
Utama (Y).
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
dari responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner sebagai
11
alatnya. Data primer mencakup berbagai variabel yaitu fungsi pengaturan,
penelitian, pelayanan, penyuluhan, dan petani. Data sekunder adalah data yang
dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang berkaitan dengan penelitian.
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah campuran antara statistik
deskriptif dan kualitatif. Statistik deskriptif untuk menganalisis data kualitatif
yang dikuantitatifkan. Sedangkan kualitatif digunakan sebagai alat untuk
membahas dan memberikan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di lokasi
penelitian (Hanifah Ihsaniyati, 2005).
Untuk mengetahui kondisi keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan, dan fungsi pelaku utama
(petani) dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini
di Kabupaten Bogor menggunakan analisis multidimensional scaling (MDS).
Dilanjutkan dengan analisis sensitivitas untuk mengetahui atribut determinan
(faktor pengungkit utama) yang dapat digunakan untuk menunjukan
pengembangan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi
penyuluhan, dan fungsi pelaku utama (petani) dalam sistem penyuluhan di era
otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Untuk mengetahui kebersamaan fungsi penelitian, fungsi pengaturan,
fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan terhadap fungsi pelaku utama (petani)
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor menggunakan analisis regresi simultan dengan F-test.
Selanjutnya untuk mengetahui ketergantungan fungsi pelaku utama (petani) pada
fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan
dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di
Kabupaten Bogor menggunakan analisis regresi parsial dengan T-test. Analiis
data menggunakan bantuan program komputer SPSS (Statistical Package for the
Social Sciences) 16 for Widows. Kemudian untuk mengetahui gambaran tingkat
partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di era otonomi
12
daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor menggunakan analisis dengan metode
Wight Mean Score.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Keberlanjutan Masing-masing Fungsi
Analisis keberlanjutan bertujuan untuk mengetahui kondisi keberlanjutan
fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan, dan
fungsi pelaku utama (petani) dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi
daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Tabel 1. Keberlanjutan Masing-masing Fungsi Dalam Sistem Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah di Kabupaten Bogor.
No. Fungsi Ideks Keberlanjutan (%) Nilai Stress Nilai R2 1. Penelitian 100.0 0.0000106 0.998 2. Pengaturan 83.55 0.0000971 0.998 3. Pelayanan 81.78 0.0000964 0.998 4. Penyuluhan 58.89 0.5839947 0.4018 5. Pelaku Utama (Petani) 100.0 0.0000019 0.995
Sumber: Analisis Data Primer Bulan Mei 2011
Hasil analisis keberlanjutan masing-masing fungsi adalah sebagai
berikut:
1. Fungsi Penelitian. Hasil analisis menunjukan bahwa indeks keberlanjutan
adalah sebesar 83.55 persen (berkelanjutan baik).
2. Fungsi Pengaturan. Hasil analisis menunjukan bahwa indeks keberlanjutan
adalah sebesar 83.55 persen (berkelanjutan baik).
3. Fungsi Pelayanan. Hasil analisis menunjukan bahwa indeks keberlanjutan
adalah sebesar 81.78 persen (berkelanjutan baik).
4. Fungsi Penyuluhan. Hasil analisis menunjukan bahwa indeks keberlanjutan
adalah sebesar 58.89 persen (cukup berkelanjutan).
5. Fungsi Pelaku Utama (Petani). Hasil analisis menunjukan bahwa indeks
keberlanjutan adalah sebesar 100.0 persen (berkelanjutan baik).
Dari hasil analisis menunjukan hanya ada dua performa indeks
keberlanjutan yaitu: Pertama berkelanjutan baik untuk fungsi penelitian, fungsi
13
pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi pelaku utama. Performa berkelanjutan
baik artinya masing-masing fungsi tersebut secara oprasional telah menjalankan
perannya dengan baik. Kedua cukup berkelanjutan untuk fungsi penyuluhan.
Performa cukup berkelanjutan artinya secara oprasional fungsi tersebut belum
sepenuhnya (cukup) menjalankan perannya.
Lebih rendahnya nilai indeks keberlanjut fungsi penyuluhan
(berkelanjutan cukup) dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan fungsi
lainnya (berkelanjutan baik) menunjukan bahwa fungsi penyuluhan belum secara
optimal melaksanakan perannya sebagai komunikator, motivator, edukator,
dinamisator, organisator, dan penasihat.
Dari informasi pendukung, bahwa belum optimalnya fungsi penyuluhan
dalam melaksanakan perannya, diduga yang menjadi penyebabnya adalah: (a)
faktor ketenagaan dari sisi kuantitas jauh dari kebutuhan ideal, dari sisi kualitas
yang belum memadai karena jarang mendapat pelatihan-pelatihan dalam upaya
peningkatan kompetensi, dan dari sisi usia penyuluh sebagian besar menuju pada
usia pensiun dan tidak ada peremajaan/kaderisasi yang berkesinambungan; (b)
wilayah kerja dan binaan penyuluh termasuk luas dan banyak; dan (c) dukungan
sarana/prasarana dan pembiayaan yang belum sesuai dengan kebutuhan penyuluh.
Kemudian yang perlu dicermati dan diperhitungkan dalam sistem
penyuluhan pertanian adalah keberadaan dan peran penyuluh swasta/kontrak dan
penyuluh swasta/mandiri. Ada indikasi atau patut diduga yang ikut memberi
kontribusi pada kondisi indeks “keberlanjutan baik fungsi pelaku utama (petani)”
adalah karena ada peran penyuluh swasta/kontrak dan penyuluh swasta/mandiri.
Dari informasi pendukung di Kabupaten Bogor terdapat penyuluh swasta/kontrak
dan penyuluh swasta/mandiri yang bekerja sendiri maupun yang bekerjasama
dengan penyuluh pertanian PNS. Keberadaan dan keikutsertaan penyuluh
swasta/kontrak dan penyuluh swasta/mandiri dalam kegiatan penyuluhan
pertanian memberikan gambaran positif ke arah privatisasi penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di era otonomi daerah, khususnya di Kabupaten Bogor.
Selain ada peran penyuluh pertanian PNS, penyuluh swasta/kontrak dan
penyuluh swasta/mandiri diindikasikan yang memberi kontribusi informasi dan
14
pengetahuan berusahatani kepada pelaku utama (petani) adalah media, baik media
cetak atau media elektronik. Dalam data karakteristik petani, petani juga
memperoleh informasi dan pengetahuan tentang berusahatani bersumber dari:
radio, televisi, internet, majalah, surat kabar, tabloid, buku dan lain-lain sumber
bacaan.
Kemudian perlu jadi bahan pertimbangan selain faktor ketenagaan,
dukungan sarana/prasarana dan pembiayaan yang perlu diperbaiki untuk
meningkatkan performa tingkat keberlanjutan fungsi penyuluhan, yaitu diperlukan
perubahan paradigma penyuluhan pertanian. Paradigma baru ini bukan untuk
merubah prinsip-prinsip penyuluhan, tetapi diperlukan untuk mampu merespon
tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru pembangunan pertanian
baik di tingkat petani, tingkat daerah (pelaksanaan otonomi daerah), nasional,
regional maupun internasional. Menurut Slamet (2003) paradigma baru
penyuluhan pertanian dimaksud meliputi: (1) Jasa informasi, (2) Lokalitas, (3)
Berorientasi agribisnis, (4) Pendekatan kelompok, (5) Fokus kepada kepentingan
petani, (6) Pendekatan humanistik egaliter, (7) Profesionalisme, (8) Akuntabilitas,
dan (9) Memuaskan petani.
Implikasi: (1) Adanya kondisi keberlanjutan masing-masing fungsi maka
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dapat mempertahankan dan meningkatkan
keberlanjutan masing-masing fungsi; (2) Adanya indikasi penyebab cukup
berkelanjutan fungsi penyuluhan karena faktor ketenagaan yang belum ideal
secara kuantitas dan kualitas, serta dukungan sarana/prasarana dan pembiayaan
yang belum mencukupi, apabila indikasi tersebut tidak direspon oleh pemerintah
daerah akan berdampak pada fungsi-fungsi lainnya sehingga efektivitas
berjalannya sistem penyuluhan pertanian menjadi terganggu; (3) Adanya indikasi
keikutsertaan penyuluh swasta/kontrak dan penyuluh swasta/mandiri dalam
penyuluhan pertanian perlu direspon oleh pemerintah daerah agar keberadaannya
dan aktifitasnya terorganisir sehingga bisa menjadi bagian dari sistem penyuluhan
pertanian; dan (4) Adanya indikasi kearah privatisasi penyelenggaraan
penyuluhan pertanian harus direspon dan dikaji, serta disikapi secara positif oleh
15
pemerintah daerah karena sejalan dengan makna otonomi daerah yaitu
kemandirian.
Atribut Determinan Masing-masing Fungsi Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui atribut determinan
(faktor pengungkit utama) yang dapat digunakan untuk menunjukan
pengembangan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi
penyuluhan, dan fungsi pelaku utama (petani) dalam sistem penyuluhan di era
otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor. Sensitivitas dari atribut
mengindikasikan bahwa perbaikan terhadap atribut-atribut tersebut akan sangat
mempengaruhi performa dari nilai indeks keberlanjutan masing-masing fungsi.
Tabel 2. Atribut determinan (faktor pengungkit utama) masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Kabupaten Bogor.
No. Fungsi Atribut Determinan (Faktor Pengungkit Utama) 1. Penelitian 1. Peran Proses Adaptasi Ide Baru (43,0%)
2. Peran Menyebarkan Hasil Penelitian (33,3%) 3. Peran Menemukan Ide Baru (23,7%)
2. Pengaturan 1. Peran Koordinator (44,8%) 2. Peran Fasilitator (42,2%) 3. Peran Stabilisator (13,0%)
3. Pelayanan 1. Peran Melayani Sarana Produksi (42,5%) 2. Peran Melayani Peralatan Pertanian (37,0%) 3. Peran Melayani Kredit Usahatani (20,5%)
4. Penyuluhan 1. Peran Motivator (25,0%) 2. Peran Komunikator (22,1%) 3. Peran Penasehat (17,9%)
5. Pelaku Utama (Petani)
1. Kebersamaan antar Fungsi (67,9%) 2. Perilaku Petani (22,1%) 3. Ketergantungan Antar Fungsi (9,5%)
Sumber: Analisis Data Primer Bulan Mei 2011
Berdasarkan analisis sensitivitas masing-masing fungsi menunjukan hasil
sebagai berikut:
1. Fungsi Penelitian. Hasil analisis yang menjadi faktor pengungkit utama
(atribut determinan) secara berurutan adalah Peran Proses Adaptasi Ide Baru
16
(43,0%) dilanjutkan dengan Peran Menyebarkan Hasil Penelitian (33,3%) dan
Peran Menemukan Ide Baru (23,7%). Dari hasil analisis tersebut maka
pengembangan fungi penelitian ditujukan pada perbaikan peran
mengadaptasikan ide baru yaitu dengan cara melibatkan peneliti, petani,
kontak tani, penyuluh pertanian, pemerintah daerah dan instansi terkait
sehingga ide baru yang akan dijadikan bahan materi penelitian bisa secara
cepat diketahui oleh para petani; kemudian perbaikan peran menyebarkan
hasil penelitian melalui partisipasi aktif dari peneliti, petani, kontak tani,
penyuluh pertanian, pemerintah daerah dan instansi terkait sehingga hasil
penelitian bisa secara cepat tersebar kepada petani; selanjutnya perbaikan
peran menemukan ide baru melalui proses penetapan materi yang perlu
diteliti dengan melibatkan peneliti, petani, kontak tani, penyuluh pertanian
dan pemerintah daerah sehingga materi penelitian benar-benar sesuai
kebutuhan petani atau berdasarkan masalah yang dihadapi petani.
Mengadaptasikan ide baru, menyebarkan hasil penelitian dan menemukan ide
baru perlu melibatkan peneliti, petani, kontak tani, penyuluh pertanian,
pemerintah daerah dan instansi terkait. Hasil kajian Syam et al (1993)
menyimpulkan harus didapatkan mekanisme yang efektif untuk
meningkatkan komunikasi penelitian. Program keterkaitan antara peneliti dan
penyuluh yang selama ini ditonjolkan ternyata tidak efektif tanpa melibatkan
peneliti, penyuluh, petani dan pejabat setempat dalam rantai proses
penyampaian hasil penelitian. Adopsi hasil penelitian oleh petani banyak
ditentukan oleh para pejabat dari instansi terkait.
2. Fungsi Pengaturan. Hasil analisis yang menjadi faktor pengungkit utama
(atribut determinan) secara berurutan adalah Peran Koordinator (44,8%),
dilanjutkan dengan Peran Fasilitator (42,2%) dan Peran Stabilisator (13,0%).
Dari hasil analisis tersebut maka pengembangan fungi pengaturan ditujukan
pada perbaikan peran koordinator antar fungsi agar mendukung perbaikan
diversivikasi usahatani; kemudian perbaikan peran fasilitator seperti
membangun prasarana untuk perbaikan usahatani; selanjutnya agar fungsi
17
yang terkait lebih terdorong untuk berperan maka dibutuhkan perbaikan peran
stabilisator agar terbentuk iklim usaha yang menguntungkan bagi petani
untuk memperoleh kepastian hasil usahanya. Menurut Putra (2005) kegiatan
penyuluhan akan berjalan dengan baik jika: pasar, teknologi, input, intensitas
produksi (harga yang layak) dan transportasi desa mencapai keadaan
maksimum. Kajian yang dilakukan Mudikdjo et al (1997) terhadap persepsi
tentang kesesuaian aturan, penerapan aturan, dan peran pengatur dibidang
pertanian tergolong sedang, yang berarti belum sepenuhnya pengaturan di
bidang pertanian dapat menumbuhkan persepsi positif masyarakat sasaran
tentang pembangunan pertanian.
3. Fungsi Pelayanan. Hasil analisis yang menjadi faktor pengungkit utama
(atribut determinan) secara berurutan adalah Peran Melayani Sarana Produksi
(42,5%), dilanjutkan dengan Peran Melayani Peralatan Pertanian (37,0%) dan
Peran Melayani Kredit Usahatani (20,5%). Dari hasil analisis tersebut maka
pengembangan fungi pelayanan ditujukan pada perbaikan peran melayani
sarana produksi dan peran melayani peralatan pertanian dalam menyediakan
sarana produksi dan peralatan pertanian yang tepat waktu sesuai dengan
kebutuhan usahatani baik secara kuantitas maupun kualitas yang diperlukan
petani, serta ada kemudahan untuk mendapatkannya; dan perbaikan peran
melayani kredit usahatani dalam menyediakan kredit usahatani yang tepat
waktu sesuai kebutuhan usahatani yang dilaksanakan petani, serta ada
kemudahan untuk mendapatkannya.
Fungsi pelayanan adalah mengadakan dan menyalurkan sarana maupun
modal perbaikan usahatani. Keberadaanya mendorong perubahan petani
subsistem menjadi petani komersial (Jarmie, 1994). Kajian yang dilakukan
Mudikdjo et al (1997) terhadap persepsi tentang pelayanan pertanian masih
tergolong sedang. Ketersediaan fasilitas pelayanan di daerah pantai tergolong
kurang, di daerah persawahan dan perkebunan cukup tersedia. Fasilitas
pelayanan di bidang pertanian belum sepenuhnya dimanfaatkan masyarakat
18
sasaran pada semua tipe daerah, demikian juga peran petugas pelayanan
pertanian yang masih tergolong sedang.
4. Fungsi Penyuluhan. Hasil analisis yang menjadi faktor pengungkit utama
(atribut determinan) secara berurutan adalah Peran Motivator (25,0%),
dilanjutkan dengan Peran Komunikator (22,1%) dan Peran Penasihat (17,9%).
Dari hasil analisis tersebut maka pengembangan fungi penyuluhan ditujukan
pada perbaikan peran motivator dengan cara memotivisir petani agar lebih
cepat menerima ide baru untuk melakukan perbaikan usahatani; kemudian
perbaikan peran komunikator dengan cara mengkomunikasikan
(menyampaikan) setiap ide baru perbaikan usahatani kepada petani;
selanjutnya perbaikan peran penasehat yaitu membantu petani memecahkan
setiap masalah yang timbul dalam menjalanjakan usahataninya.
Dikethuinya atribut determinan fungsi penyuluhan yaitu peran motivator,
peran komunikator dan peran penasihat untuk dilakukan perbaikan
(pengembangan) memberikan argumen yang positif untuk merubah citra
penyuluhan pertanian dari penyuluhan konvensional (melalui konsep trnsfer
of technology) menjadi penyuluhan pertanian dengan konsep pemberdayaan.
Menurut Slamet (2003) hakikat dan makna penyuluhan pertanian, adalah
sebagai sistem pendidikan non formal yang memberdayakan rakyat petani
agar mampu membangun diri dan lingkungannya dalam arti luas.
Sumardjo (1999) melaporkan hasil penelitiannya diantaranya bahwa
implementasi penyuluhan yang sudah ada cenderung linier (satu arah: guru-
murid, melalui konsep trnsfer of technology), terpusat dan berorientasi pada
kepentingan “atas”. Soedijanto (2003) menegasakan bahwa sebagai pilar
untuk menopang kokohnya pembangunan pertanian di masa kini dan
mendatang, penyuluhan pertanian harus mampu mengubah citranya yaitu
sebagai suatu proses pemberdayaan untuk “mengubah petani”, bukan transfer
teknologi untuk “mengubah cara petani” yang menghasilkan “petani sebagai
manusia bukannya “petani sebagai alat produksi”. Menurut Mardikanto
(2003) keberhasilan penyuluhan bukan diukur dari seberapa banyak terjadi
19
“alih teknologi”, melainkan seberapa jauh terjadi proses belajar bersama
melalui dialog atau tukar pengalaman antara penyuluh dan yang disuluh.
5. Fungsi Pelaku Utama (Petani). Hasil analisis yang menjadi faktor
pengungkit utama (atribut determinan) secara berurutan adalah Kebersamaan
antar Fungsi (67,9%), dilanjutkan dengan Perilaku Petani (22,6%) dan
Ketergantungan antar Fungsi (9,5%). Dari hasil analisis tersebut maka
pengembangan fungi pelaku utama (petani) ditujukan pada perbaikan
keikutsertaan pelaku utama (petani) bersama fungsi lainnya dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian aktivitas yang membutuhkan
kebersamaan. Kemudian melakukan perbaikan usahatani, melakukan
pengolahan hasil pertanian agar mendapatkan harga yang lebih
menguntungkan, melakukan penyimpanan hasil dengan baik agar
mendapatkan harga yang lebih menguntungkan, dan melakukan pemasaran
hasil secara sendiri atau dengan cara berkelompok agar mendapat harga yang
layak atau menguntungkan. Selanjutnya menumbuhkan kesadaran kepada
semua fungsi bahwa dibutuhkannya aktivitas pelaku fungsi lain terhadap
kelangsungan aktivitas suatu fungsi untuk mencapai sasaran dan tujuan
bersama.
Perilaku petani yang perlu diadakan berbaikan mengindasikan bahwa
petani dalam menjalankan usahataninya cenderung berusaha pada tingkat
usahatani penghasil bahan baku (on farm level), belum secara maksimal
menjalankan usahatani ke tingkat yang lebih tinggi lagi (off farm
level/pengolahan, pengemasan dan pemasaran). Maryanti RB Sianturi (2008)
melaporkan hasil penelitiannya di era otonomi daerah di Kabupaten Bogor sektor
pertanian tetap menjadi sektor yang berdaya saing rendah dan lambat
pertumbuhannya. Sektor industri pengolahan berdaya saing rendah tetapi
pertumbuhannya cepat. Hasil penelitian Sumardjo (1999) menunjukan hasil
bahwa profil kemandirian petani di Propinsi Jawa Barat masih tergolong relatif
rendah, terutama mengelola usahatani secara efesien dan kemampuan daya
saingnya. Anantanyu (2009) dalam penelitiannya menunjukan hasil bahwa
20
kemampuan petani dalam mengelola usahatani relatif rendah yang menunjukan
masih rendahnya budaya agribisnis yang dimiliki.
Dengan demikian di masa mendatang, dengan melakukan perbaikan
terhadap atribut-atribut determinan (faktor pengungkit utama) diharapkan dapat
meningkatkan status keberlanjutan masing-masing fungsi dalam sistem
penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Taryoto et al (1995) menegaskan bahwa upaya meningkatkan salah satu fungsi
tidak akan berhasil dengan baik tanpa meningkatkan fungsi yang lainnya.
Implikasi dari hasil penelitian adalah: Setelah diketahuinya atribut-atribut
determinan (faktor pengungkit utama) untuk pengembangan (melakukan
perbaikan) masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian apabila
tidak direspon secara cepat, terarah dan terorganisir serta perbaikan secara
bersama-sama dan menyeluruh oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor maka
akan berdampak pada sektor pertanian yang tetap menjadi sektor yang berdaya
saing rendah dan lambat pertumbuhannya.
Kebersamaan Antar Fungsi Analisis kebersamaan antar fungsi bertujuan untuk mengetahui
kebersamaan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi
penyuluhan terhadap fungsi pelaku utama (petani) dalam sistem penyuluhan
pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Tabel 3. Kebersamaan Pengaruh Fungsi Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan dan Fungsi Penyuluhan terhadap Fungsi Pelaku Utama
ANOVAb
4296.848 4 1074.212 218.507 .000 a
48117.152 145 331.842
52414.000 149
Regression Residual
Total
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Fungsi Penyuluhan, Fungsi Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan
a.
Dependent Variable: Fungsi Pelaku Utamab.
21
Dari hasil pengujian pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa
angka F hitung sebesar 218.507 > F tabel sebesar 2.61. Hal ini berarti ada
kebersamaan pengaruh Fungsi Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan
dan Fungsi Penyuluhan terhadap Fungsi Pelaku Utama dalam melakukan
perbaikan usahatani. Dengan demikian secara oprasional menunjukan adanya
kebersamaan anatar fungsi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian yang
memerlukan kebersamaan.
Kegiatan penyuluhan perlu didukung atau dibarengi dengan kegiatan-
kegiatan dan kemudahan-kemudahan tertentu yang menjamin penerapan inovasi
yang ditawarkan, seperti: pengadaan input, kemudahan kredit, pemasaran produk,
penelitian/pengujian lokal, dan kelembagaan penunjangnya (Lionberger dan
Gwin, 1982, 1991 dalam Mardikanto, 1998). Santoso et al (2003) dalam
penelitiannya menyimpulkan agar adopsi teknologi dapat berlanjut, maka
diperlukan: (1) penyediaan sarana produksi tepat waktu (peran fungsi
pelayanan); (2) bimbingan oleh petugas secara terus menerus (peran fungsi
penyuluhan dan peran fungsi penelitian), sejak tanam hingga pasca panen; (3)
jaminan harga yang layak dan stabil (peran pengaturan); (4) kesadaran dan
partisifasi petani (peran pelaku utama/petani); dan (5) dorongan pemerintah
daerah (peran pengaturan). Menurut Jarmie (1994) secara keseluruhan fungsi-
fungsi dalam penyuluhan pertanian dirakit melalui peran fasilitator, stabilisator
dan koordinator oleh fungsi pengaturan yang didukung oleh fungsi penelitian
didalam pembangunan pertanian yang bersifat nasional maupun regional. Fungsi-
fungsi tersebut dalam sistem (kebersamaan dan ketergantungan) untuk
meningkatkan kualitas hidup fungsi pelaku utama yang sejajar dengan kemajuan
profesi lain, yaitu suatu kualilifikasi kemandirian petani dalam pertanian yang
berkelanjutan.
Agar kebersamaan antar fungsi tetap terjaga dan kondusif dalam sistem
penyuluhan pertanian diperlukan kelembagaan yang menanganinya. Menurut
Taryoto et al (1995) diperlukan pembangunan dan pemantapan jaringan
kelembagaan yang profesional dan kondusif untuk mendukung interaksi antara
petani nelayan dengan penyelenggara penyuluhan (pelaksana/penyuluh dan
22
pembina, institusi pendukung penelitian, unit-unit kerja terkait lingkup pertanian
maupun di luar sektor pertanian, koperasi BUMN, swasta (perusahaan agribisnis
dan agro industri), asosiasi dan LSM.
Implikasi dari hasil penelitian adalah: Adanya kebersamaan pengaruh
Fungsi Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan dan Fungsi Penyuluhan
terhadap Fungsi Pelaku Utama (petani), maka Pemerintah Daerah Kabupaten
Bogor dapat mempertahankan kebersamaan antar fungsi dalam sistem penyuluhan
pertanian. Kemudian kebersamaan antar fungsi dalam sistem penyuluhan
pertanian agar melembaga di era otonomi daerah maka pemerintah daerah perlu
membangun dan memantapkan jaringan kelembagaan yang profesional dan
kondusif. Apabila kebersamaan antar fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian
tidak dilembagakan dan dipertahankan melalui kelembagaan khusus
dikhawatirkan akan muncul ego masing-masing fungsi (ego sektor) dalam
menjalankan perannya.
Ketergantungan Antar Fungsi Analisis ketergantungan antar fungsi bertujuan untuk mengetahui
ketergantungan fungsi pelaku utama (petani) pada fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan dalam sistem penyuluhan
pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Tabel 4. Hubungan Fungsi-fungsi dalam Sistem Penyuluhan Pertanian dengan Fungsi Pelaku Utama (Petani)
No. Variabel Beta t-hitung t-tabel
1. Fungsi Penelitian 0.939 25.025 1.660
2. Fungsi Pengaturan 0.803 12.337 1.660
3. Fungsi Pelayanan 0.859 15.346 1.660
4. Fungsi Penyuluhan 0.586 8.213 1.660
Sumber: Analisis Data Primer Bulan Mei 2011
23
Hasil analisis hubungan masing-masing fungsi dengan pelaku utama
(petani) adalah sebagai berikut:
1. Hubungan Fungsi Penelitian dengan Fungsi Pelaku Utama (Petani)
Hasil pengujian pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa t hitung
(25.025) > t tabel (1.660), berarti Fungsi Pelaku Utama bergantung secara
siginifikan pada Fungsi Penelitian.
Ketergantungan yang signifikan fungsi Pelaku Utama (petani) pada Fungsi
Penelitian menunjukan bahwa Fungsi Penelitian mempengaruhi Pelaku
Utama (petani) dalam melaksanakan perbaikan usahatani. Menurut Jarmie
(1994) fungsi penelitian adalah menemukan ide baru dan membantu
penyebarannya. Untuk itu fungsi penelitian berperan dalam menemukan ide
baru, berperan pula untuk mendorong fungsi lain di dalam mengadaptasikan
temuan dan membantu penyebaran. Perubahan petani bertolak dari adanya ide
baru hasil fungsi penelitian yang diterima dan diolah (rekayasa) oleh fungsi
penyuluhan, selanjutnya disuluhkan (sesuai dengan tingkat kemajuan) ke
fungsi pelaku utama (petani) dalam meningkatkan usahatani. Musyafak
(2005) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa untuk mempercepat proses
adopsi dan difusi inovasi pertanian harus dilakukan beberapa strategi,
salahsatunya yaitu memilih inovasi pertanian yang tepat guna (good
innovation).
2. Hubungan Fungsi Pengaturan dengan Fungsi Pelaku Utama (Petani)
Hasil pengujian pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa t hitung
(12.337) > t tabel (1.660), berarti Fungsi Pelaku Utama bergantung secara
signifikan pada Fungsi Pengaturan.
Ketergantungan yang signifikan fungsi Pelaku Utama (petani) pada Fungsi
Pengaturan menunjukan bahwa Fungsi Pengaturan mempengaruhi Pelaku
Utama (petani) dalam melaksanakan perbaikan usahatani. Fungsi pengaturan
yang mempunyai peran sebagai koordinator, fasilitator dan stabilisator secara
signifikan berpengaruh terhadap berlangsungnya proses adopsi suatu inovasi
24
perbaikan usahatani. Musyafak (2005) dalam penelitiannya melaporkan
keberhasilan adopsi dan difusi inovasi dipengaruhi secara signifikan yang
sulit untuk dilakukan intervensi, diantaranya yaitu faktor lingkungan ekonomi
(jaminan pemasaran, harga produk, harga input, biaya transportasi, dan lain-
lain). Menurut Putra (2005) kegiatan penyuluhan akan berjalan dengan baik
jika: pasar, teknologi, input, intensitas produksi (harga yang layak) dan
transportasi desa mencapai keadaan maksimum.
3. Hubungan Fungsi Pelayanan dengan Fungsi Pelaku Utama (Petani)
Hasil pengujian pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa t hitung
(15.346) > t tabel (1.660), berarti Fungsi Pelaku Utama bergantung secara
signifikan pada Fungsi Pelayanan.
Ketergantungan yang signifikan fungsi Pelaku Utama (petani) pada Fungsi
Pelayanan menunjukan bahwa Fungsi Pelayanan mempengaruhi Pelaku
Utama (petani) dalam melaksanakan perbaikan usahatani. Santoso et al
(2003) melaporkan hasil penelitiannya agar adopsi teknologi dapat berlanjut,
maka salahsatu unsur yang harus dipenuhi adalah diperlukan penyediaan
sarana produksi yang tepat waktu.
4. Hubungan Fungsi Penyuluhan dengan Fungsi Pelaku Utama (Petani)
Hasil pengujian pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh bahwa t hitung
(8.213) > t tabel (1.660), berarti Fungsi Pelaku Utama bergantung secara
signifikan pada Fungsi Penyuluhan.
Ketergantungan yang signifikan fungsi Pelaku Utama (petani) pada Fungsi
Penyuluhan menunjukan bahwa Fungsi Penyuluhan mempengaruhi Pelaku
Utama (petani) dalam melaksanakan perbaikan usahatani. Menurut Hafsah
(2009) peranan penyuluh pertanian antara lain: memfasilitasi petani dalam
mengembangkan perilaku dan tindakan, serta mengupayakan berjalannya
proses perencanaan, pengelolaan dan pengembangan usaha petani. Santoso et
al (2003) melaporkan hasil penelitiannya agar adopsi teknologi dapat
berlanjut, maka salahsatu unsur yang harus dipenuhi adalah diperlukan
25
bimbingan oleh petugas secara terus menerus (peran fungsi penyuluhan
pertanian) sejak tanam hingga pasca panen. Penelitian Musyafak (2005)
menyimpulkan hasil penelitiannya, bahwa untuk mempercepat proses adopsi
dan difusi inovasi pertanian diantaranya yaitu memberdayakan agen
penyuluhan secara optimal (good extension method) dan memilih metode
penyuluhan yang efektif (good extension method).
Dari hasil analisis ketergantungan menunjukan bahwa Fungsi Pelaku
Utama (Petani) bergantung secara signifikan pada Fungsi Penelitian, Fungsi
Pengaturan, Fungsi Pelayanan dan Fungsi Penyuluhan. Artinya bahwa Fungsi
Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan dan Fungsi Penyuluhan
mempengaruhi Fungsi Pelaku Utama dalam melaksanakan perbaikan usahatani.
Kemudian nilai beta masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan
pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor adalah: (1)
Beta fungsi penelitian: 0,939; (2) Beta fungsi pengaturan: 0,803; (3) Beta fungsi
pelayanan: 0,859; dan (4) Beta fungsi penyuluhan: 0,586. Berdasarkan data
tersebut, maka yang memiliki pengaruh terbesar terhadap fungsi pelaku utama
(petani) untuk melakukan perbaikan usahatani adalah fungsi penelitian (0,939).
Fakta tersebut menunjukan bahwa perubahan petani bertolak dari adanya ide baru
hasil fungsi penelitian yang diterima dan diolah (rekayasa) oleh fungsi
penyuluhan, selanjutnya disuluhkan (sesuai dengan tingkat kemajuan) ke fungsi
pelaku utama (petani) dalam meningkatkan usahatani. Menurut Jarmie (1994)
aktivitas penyuluhan pertanian berlangsung dalam perubahan berencana karena
adanya ide baru hasil fungsi penelitian yang disuluhkan. Fungsi penelitian adalah
menemukan ide baru dan membantu penyebarannya. Untuk itu fungsi penelitian
berperan dalam menemukan ide baru, berperan pula untuk mendorong fungsi lain
di dalam mengadaptasikan temuan dan membantu penyebaran.
Selanjutnya yang memiliki pengaruh terkecil terhadap fungsi pelaku
utama (petani) untuk melakukan perbaikan sahatani adalah fungsi penyuluhan
(0,586). Sedangkan fungsi pelayanan (0,859) dan fungsi pengaturan (0,803)
26
memberikan pengaruh relatif sama terhadap fungsi pelaku utama (petani) untuk
melakukan perbaikan sahatani.
Fungsi pelayanan adalah mengadakan dan menyalurkan sarana dan modal
untuk dapat digunakannnya ide baru perbaikan diversivikasi usahatani.
Kedudukannya sangat penting, karena menyediakan bahan yang mendukung
digunakan ide baru dan penting pula sebagai alat peraga penyuluhan
pembangunan pertanian. Fungsi pelayanan terdiri atas peran pelayanan sarana
produksi, alat dan mesin pertanian, berikut peran pelayanan kredit modal
usahatani. Keberadaanya mendorong perubahan petani subsistem menjadi petani
komersial. Aktivitas fungsi pelayanan berlangsung dalam kebersamaan dan
ketergantungan dengan fungsi-fungsi dalam penyuluhan pembangunan pertanian
(Jarmie, 1994).
Menurut Putra (2005) kegiatan penyuluhan akan berjalan dengan baik jika:
pasar, teknologi, input, intensitas produksi (harga yang layak) dan transportasi
desa mencapai keadaan maksimum. Membangun pertanian yang baik tidak akan
bisa tercapai jika 80% masalah berada di luar petani. Kegiatan penyuluhan tidak
akan efektif apabila kelima masalah di atas tidak diatasi. Kelima masalah yang
dikemukakan Putra (2005) menjadi tanggung jawab fungsi pengaturan
(pemerintah) untuk mengatasinya. Musyafak (2005) dalam penelitiannya
melaporkan keberhasilan adopsi dan difusi inovasi dipengaruhi secara signifikan
yang sulit untuk dilakukan intervensi, diantaranya yaitu faktor lingkungan
ekonomi (jaminan pemasaran, harga produk, harga input, biaya transportasi, dan
lain-lain).
Menurut Taryoto et al (1995) keberhasilan suatu kegiatan penyuluhan
bukan semata-mata keunggulan seseorang penyuluh pertanian secara individu,
melainkan karena didukung oleh program yang tepat, persiapan/latihan yang
sesuai sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menjalankan program.
Dengan kata lain peluang dari keberhasilan akan terealisasi tergantung pada
keadaan setempat, atau kondisi lingkungan serta adanya dukungan dari kebijakan
pemerintah. Dengan demikian nampak jelas bahwa suatu programa penyuluhan
27
sebenarnya hanya menjadi salah satu mata rantai dari kegiatan lain yang saling
berkaitan.
Implikasi dari hasil penelitian adalah: Adanya ketergantungan fungsi
pelaku utama terhadap masing-masing fungsi memberikan argumen yang positif
agar Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dapat mengurangi dan memperbaiki
ketergantungan pengaruh fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian di era
otonomi daerah pada masa ini. Apabila tingkat ketergantungan pelaku utama
(petani) terhadap fungsi-fungsi lainnya tidak dikurangi melalui perbaikan
pengaruh fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian maka akan menghambat
proses terjadinya dipusi inovasi perbaikan usahatani. Untuk itu perlu komitmen
dan kesungguhan pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan ketergantungan
fungsi tersebut. Secara umum perbaikan peran masing-masing fungsi harus
berpedoman pada hasil analisis sensitivitas dalam penelitian ini.
Partisipasi Petani Analisis partisipasi petani bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat
partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di era otonomi
daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Tabel 5. Distribusi jawaban responden untuk kuesioner Partisipasi Petani dalam Penyelenggaraan Penyuluhun Pertanian
No
.
Atribut Partisipasi Petani
Tidak Pernah Berpar-tisipasi
Jarang Berpar-tisipasi
Kadang- kadang Berpar- tisipasi
Sering Berpar-tisipasi
Selalu Berpar- tisipasi
Kesim-pulan
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
1. Ikut merencanakan program penyuluhan pertanian
12 8 11 7,3 59 39,3 40 26,7 28 18,7 Sangat Tidak Baik
2. Ikut melaksanakan program penyuluhan pertanian
2 1,3 8 5,3 46 30,7 59 39,3 35 23,3 Cukup Baik
3. Berperan mengevaluasi kegiatan penyuluhan pertanian
9 6 23 15,3 67 44,7 32 21,3 19 12,7 Sangat Tidak Baik
4. Hadir pada setiap kegiatan penyuluhan pertanian
2 1,3 3 2 43 28,7 63 42 39 26 Cukup Baik
5. Membantu dana, alat/bahan kegiatan penyuluhan pertanian
14 9,3 23 15,3 40 26,7 43 28,7 30 20 Sangat Tidak Baik
6. Berperan mengajak anggota dalam penyuluhan pertanian
2 1,3 5 3,3 44 29,3 57 38 42 28 Cukup Baik
28
7. Berperan dalam memecahkan masalah usahatani
2 1,3 32 21,3 41 27,3 50 33,3 25 16,7 Kurang Baik
8. Ikut pelatihan/pendidikan, kursus tani
5 3,3 10 6,7 52 34,7 65 43,3 18 12 Kurang Baik
9. Ikut menyampaikan materi penyuluhan kepada sesama anggota kelompok
5 3,3 21 14 43 28,7 51 34 30 20 Kurang Baik
10. Menghubungi Penyuluh Pertanian apabila ada masalah usahatani
13 8,7 10 6,7 41 27,3 58 38,7 28 18,7 Kurang Baik
Jumlah Kemunculan 66 146 476 518 294
Persentase Kemunculan 4,4 9,7 31,7 34,5 19,6 Kurang Baik
Sumber: Analisis Data Primer Bulan Mei 2011
Berdasarkan distribusi jawaban responden ada tiga tingkatan partisipasi
petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada
masa ini di Kabupaten Bogor yaitu Cukup Baik, Kurang Baik, dan Sangat Tidak
Baik.
1. Cukup Baik dalam hal ikut melaksanakan program penyuluhan pertanian
(62,6%), hadir pada setiap kegiatan penyuluhan pertanian (68%), dan
berperan mengajak anggota dalam penyuluhan pertanian (66%).
2. Kurang Baik dalam hal berperan dalam memecahkan masalah usahatani
(50%), ikut pelatihan/pendidikan, dan kursus tani (55,3%), ikut
menyampaikan materi penyuluhan kepada sesama anggota kelompok (54%),
dan menghubungi penyuluh pertanian apabila ada masalah usahatani (57,4%).
3. Sangat Tidak Baik dalam hal ikut merencanakan program penyuluhan
pertanian (45,4%), berperan mengevaluasi kegiatan penyuluhan pertanian
(34%), dan membantu dana, alat/bahan kegiatan penyuluhan pertanian
(48,7%).
Dari hasil analisis Partisipasi Petani dalam Penyelenggaraan Penyuluhan
Pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor menunjukan
bahwa petani belum secara optimal ikut serta dalam kegiatan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian, terutama dalam tahapan perencanaan dan evaluasi serta
pembiayaan. Emi Widiyanti et al (2006) menyimpulkan hasil penelitiannya
bahwa tingkat partsipasi anggota kelompok tani yang tergolong tinggi berada pada
29
tahap pelaksanaan, sedangkan tahap perencanaan dan evaluasi tergolong tidak
tinggi. Santoso et al (2003) melaporkan salahsatu hasil penelitiannya bahwa agar
adopsi teknologi dapat berlanjut, maka diperlukan kesadaran dan partisifasi
petani.
Masih belum optimalnya partisipasi petani dalam penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor diduga salah satunya disebabkan karena
belum optimalnya fungsi penyuluhan dalam melaksanakan perannya. Emi
Widiyanti et al (2006) dan Wijianto (2008) melaporkan hasil penelitiannya bahwa
ada hubungan yang signifikan antara peranan penyuluh dengan prtisipasi anggota
dalam kegiatan kelompok tani. Anantanyu (2009) melaporkan hasil penelitiannya
bahwa tingkat dukungan penyuluhan pertanian baik langsung maupun tidak
langsung memberikan pengaruh terhadap kapasitas petani, peningkatan partisipasi
petani dalam kelembagaan kelompok petani, serta mendorong kapasitas
kelembagaan kelompok tani.
Implikasi dari hasil penelitian adalah: Adanya tiga tingkatan partisipasi
petani dalam penyelenggaraan penyuluahan pertanian yaitu Cukup Baik, Kurang
Baik, dan Sangat Tidak Baik, maka memberikan argumen yang positif agar
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor meningkatkan partisipasi petani dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian terutama dalam tahapan perencanaan dan
evaluasi pelaksanaan. Apabila tingkat partisipasi petani tidak ditingkatkan dengan
sungguh-sungguh maka akan menghambat proses adopsi inovasi perbaikan
usahatani dan bisa menghambat pelaksanaan pembangunan pertanian secara
umum. Kemudian adanya indikasi tingkat partisipasi petani dipengaruhi oleh
peran penyuluh pertanian maka agar pemerintah daerah tidak henti-hentinya untuk
berusaha meningkatkan kualitas serta profesionalisme penyuluh. Selain itu
pemerintah daerah hendaknya juga tetap memperhatikan keberadaan kelompok
tani, karena upaya untuk memandirikan petani salah satunya bisa ditempuh
dengan memberdayakan kelompok tani.
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan tujuan penelitian, serta hasil analisis interpretasi penelitian
yang dilakukan dapat diambil kesimpulan dan alternatif yang direkomendasikan
sebagai saran untuk pihak-pihak berkepentingan dalam rangka meningkatkan
keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi
penyuluhan dan fungsi pelaku utama (petani); memahami kebersamaan dan
ketergantungan hubungan dengan masing-masing fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan dengan fungsi pelaku
utama; dan memahami partisipasi petani dalam kegiatan penyelenggaraan
penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Kesimpulan
(1) Secara umum fungsi-fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian di era
otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor berada pada kondisi
berkelanjutan. Kondisi keberlanjutan masing-masing fungsi yaitu berada
pada kondisi yang berkelanjutan baik untuk fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi pelaku utama (petani); dan kondisi
cukup berkelanjutan untuk fungsi penyuluhan.
Katagori status berkelanjutan baik, artinya bahwa kondisi fungsi penelitian,
fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi pelaku utama (petani)
mencerminkan kondisi yang menguntungkan dalam sistem penyuluhan
pertanian pada masa ini di Kabupaten Bogor. Katagori status cukup
berkelanjutan untuk fungsi penyuluhan, artinya bahwa kondisi fungsi
penyuluhan mencerminkan kondisi yang cukup menguntungkan dalam
sistem penyuluhan pertanian pada masa ini di Kabupaten Bogor.
Sebagai penyebab status cukup berkelanjutan untuk fungsi penyuluhan
diindikasikan karena faktor ketenagaan yang belum ideal secara kuantitas dan
kualitas; dukungan sarana/prasarana dan pembiayaan yang belum mencukupi;
adanya keikutsertaan penyuluh swasta/kontrak dan penyuluh swasta/mandiri
dalam penyuluhan pertanian; adanya peran media masa, baik cetak maupun
elektronik yang memberi kontribusi terhadap perubahan perilaku fungsi
31
pelaku utama (petani) dalam perbaikan usahatani; materi penyuluhan
pertanian yang belum sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan petani; dan
masih kurangnya kemampuan penyuluh pertanian dalam menjembatani
(menghubungkan) antara petani dengan penyedia sarana poduksi, lembaga
keuangan dan lembaga pemasaran hasil.
(2) Ada atribut determinan (faktor pengungkit utama) yang menunjukan untuk
pengembangan masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan di era
otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor. Atribut determinan
(faktor pengungkit utama) masing-masing fungsi adalah sebagai berikut:
Fungsi Penelitian dengan urutan sensitivitas yaitu peran proses adaptasi ide
baru, peran menyebarkan hasil penelitian, dan peran menemukan ide baru;
Fungsi Pengaturan dengan urutan sensitivitas yaitu peran koordinator, peran
fasilitator, peran stabilisator; Fungsi Pelayanan dengan urutan sensitivitas
yaitu peran melayani sarana produksi, peran melayani peralatan pertanian,
peran melayani kredit usahatani; Fungsi Penyuluhan dengan urutan
sensitivitas yaitu peran motivator, peran komunikator, peran penasihat;
Fungsi Pelaku Utama (Petani) dengan urutan sensitivitas yaitu kebersamaan
antar fungsi, perilaku petani, ketergantungan antar fungsi.
Dengan melakukan pengembangan terhadap atribut-atribut determinan (faktor
pengungkit utama) diharapkan dapat meningkatkan status keberlanjutan
masing-masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi
daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor, sehingga masalah pembangunan
pertanian yang ada pada masa ini di Kabupaten Bogor bisa teratasi.
(3) Ada kebersamaan pengaruh Fungsi Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi
Pelayanan dan Fungsi Penyuluhan terhadap Fungsi Pelaku Utama (petani)
dalam perbaikan usahatani dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi
daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor. Artinya secara oprasional adanya
kebersamaan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian antar fungsi
dalam sistem penyuluhan pertanian untuk perbaikan usahatani yang dilakukan
fungsi pelaku utama (petani).
32
(4) Fungsi Pelaku Utama (Petani) dalam perbaikan usahatani bergantung pada
Fungsi Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan, dan Fungsi
Penyuluhan dalam sistem penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada
masa ini di Kabupaten Bogor. Artinya Fungsi Pelaku Utama (petani) dalam
melakukan perbaikan usahatani mempunyai ketergantungan terhadap Fungsi
Penelitian, Fungsi Pengaturan, Fungsi Pelayanan, dan Fungsi Penyuluhan.
Fakta hasil uji statistik menunjukan bahwa yang memiliki pengaruh terbesar
terhadap fungsi pelaku utama (petani) untuk melakukan perbaikan usahatani
adalah fungsi penelitian. Artinya peran fungsi penelitian memberikan
pengaruh yang lebih besar terhadap fungsi pelaku utama (petani) dalam
perbaikan usahatani dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Fakta
tersebut menunjukan bahwa perubahan petani bertolak dari adanya ide baru
dari hasil fungsi penelitian.
Kemudian fungsi pelayanan berada pada peringkat kedua dan fungsi
pengaturan berada pada peringkat ketiga dalam memberikan pengaruh
terhadap fungsi pelaku utama (petani) untuk melakukan perbaikan sahatani.
Dan yang memiliki pengaruh terkecil terhadap fungsi pelaku utama (petani)
untuk melakukan perbaikan usahatani adalah fungsi penyuluhan. Fakta
tersebut menunjukan bahwa pelaku utama (petani) dalam melakukan
perbaikan usahatani perlu mendapat dukungan yang maksimum dari pelaku
fungsi pelayanan (penyalur sarana produksi dan penyalur kredit usahatani)
dan pelaku fungsi pengaturan (pemerintah daerah) dalam memecahkan
masalah yang yang berada diluar kemampuan pelaku fungsi utama (petani).
Artinya bahwa penyuluhan pertanian akan berjalan efektif apabila ada
dukungan secara maksimum dari pelaku fungsi pelayanan (penyalur sarana
produksi dan penyalur kredit usahatani) dan pelaku fungsi pengaturan
(pemerintah daerah).
(5) Tingkat partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di era
otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor secara umum termasuk
dalam katagori kurang baik. Secara spesifik tingkat partisipasi petani dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah pada masa ini
33
di Kabupaten Bogor terdiri dari katagori cukup baik dalam hal ikut
melaksanakan program penyuluhan pertanian, hadir pada setiap kegiatan
penyuluhan pertanian, dan berperan mengajak anggota dalam penyuluhan
pertanian; katagori kurang baik dalam hal berperan memecahkan masalah
usahatani, ikut pelatihan/pendidikan dan kursus tani, ikut menyampaikan
materi penyuluhan kepada sesama anggota kelompok, dan menghubungi
penyuluh pertanian apabila ada masalah usahatani; katagori sangat tidak baik
dalam hal ikut merencanakan program penyuluhan pertanian, berperan
mengevaluasi kegiatan penyuluhan pertanian, dan membantu dana, alat/bahan
kegiatan penyuluhan pertanian.
Tingkat partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di era
otonomi daerah pada masa ini di Kabupaten Bogor yang secara umum dalam
kondisi kurang baik menunjukan bahwa petani belum mengambil
bagian/ikutserta secara optimal dalam setiap tahapan proses kegiatan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian terutama dalam tahapan perencanaan
dan evaluasi. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa kegiatan
penyuluhan pertanian belum berorientasi pada pemberdayaan petani melalui
pendekatan penyuluhan yang partisipatif atau belum ada perubahan
paradigma dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dan penyuluh pertanian
belum memiliki kompetensi yang memadai untuk memfasilitasi petani dalam
proses pemberdayaan agar petani lebih aktif berpartisifasi dalam kegiatan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian fungsi-fungsi dalam sistem penyuluhan
pertanian di era otonomi daerah di Kabupaten Bogor maka dalam rangka
meningkatkan keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi
pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi pelaku utama yakni para petani;
memahami hubungan masing-masing fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi
pelayanan, dan fungsi penyuluhan dengan fungsi pelaku utama; dan memahami
34
partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian maka diajukan
saran kepada pihak yang berkepentingan sebagai berikut:
(1) Untuk Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bogor.
a. Agar memperhatikan peningkatan keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi pelaku utama
melalui pengembangan atribut determinan (faktor pengungkit utama)
masing-masing fungsi; memahami hubungan masing-masing fungsi
penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan
dengan fungsi pelaku utama; dan memahami partisipasi petani dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
b. Agar membenahi fungsi penyuluhan melalui penyediaan ketenagaan yang
ideal secara kuantitas maupun kualitas; serta mencukupi sarana/prasarana
dan pembiayaan.
c. Agar kebersamaan antar fungsi tetap terjaga diperlukan pembangunan dan
pemantapan jaringan kelembagaan yang profesional dan kondusif untuk
mendukung interaksi antara masing-masing fungsi dalam sistem
penyuluhan pertanian.
d. Agar mengurangi dan memperbaiki ketergantungan pengaruh masing-
masing fungsi dalam sistem penyuluhan pertanian.
e. Agar meningkatkan partisipasi petani dalam penyelenggaraan penyuluhan
pertanian terutama dalam tahapan perencanaan dan evaluasi pelaksanaan
melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme penyuluh pertanian,
serta memperhatikan keberadaan kelompok tani.
f. Hasil penelitian ini perlu dijabarkan dalam program pengembangan
penyuluhan pertanian.
g. Agar memberikan penghargaan kepada pihak-pihak berkepentingan,
sehingga cita-cita peningkatan keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi pelaku utama;
pemahaman hubungan masing-masing fungsi penelitian, fungsi
pengaturan, fungsi pelayanan, dan fungsi penyuluhan dengan fungsi
35
pelaku utama; dan pemahaman partisipasi petani dalam penyelenggaraan
penyuluhan pertanian dapat tercapai.
(2) Untuk Pelaku Fungsi Sistem Penyuluhan Pertanian.
a. Agar memahami tentang pentingnya peningkatan keberlanjutan fungsi
penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan
fungsi pelaku utama; pentingnya pemahaman hubungan masing-masing
fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan dan fungsi
penyuluhan dengan fungsi pelaku utama; dan pemahaman pentingnya
partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
b. Agar lebih meningkatkan pelaksanaan fungsi penelitian, fungsi pengaturan,
fungsi pelayanan, fungsi penyuluhan dan fungsi pelaku utama; lebih
meningkatkan pemahaman pentingnya hubungan hubungan masing-masing
fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan dan fungsi
penyuluhan dengan fungsi pelaku utama; dan pemahaman pentingnya
partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
(3) Ilmu Pengetahuan.
Agar penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti yang lain
bahwa keberlanjutan fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan,
fungsi penyuluhan dan fungsi pelaku utama; hubungan hubungan masing-masing
fungsi penelitian, fungsi pengaturan, fungsi pelayanan dan fungsi penyuluhan
dengan fungsi pelaku utama; dan partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan
pertanian dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Djari. 2009. Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi Di
Indonesia. IPB. Bogor.
Emi Widiyanti. 2006. Partisipasi Petani Dalam Proyek Pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) Jambu Mete Di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Dalam Jurnal Penyuluhan dan
36
Komunikasi Pertanian [AGRITEXTS] XX, Desember 2006. UNS. Surakarta.
Hafsah. 2009. Penyuluhan Pertanian Di Era Otonomi Daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Hanifah Ihsaniyati. 2005. Analisis Persepsi Petani Terhadap Usahatani Padi Di Kabupaten Sukoharjo. Dalam Jurnal Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian [AGRITEXTS] XVIII, 18 Desember 2005. UNS. Surakarta.
Jarmie. 1994. Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian di Indonesia. IPB. Bogor.
Mardikanto. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
_________. 2003. Redifinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pembangunan. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB PRESS. Bogor.
Maryanti RB Sianturi. 2008. Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Sebelum dan Masa Otonomi Daerah. IPB. Bogor.
Mawardi. 2004. Persoalan Penyuluhan Pertanian Di Era Otonomi Daerah. Dalam Jurnal Semeru. No. 12: Oktober-Desember 2004.
Mudikdjo. 1997. Persepsi Masyarakat Tentang Penyuluhan Pembangunan Dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Dalam Ringkasan Tesis dan Desertasi Forum Pascasarjana 20 (1). IPB. Bogor.
Musyafak. 2005. Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMATANI). BPTP
Putra. 2005. Masalah-masalah Penyuluhan pertanian. Dalam Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol 1No. 1. September 2005. IPB. Bogor.
Santoso et al. 2003. Kajian Adopsi Dan Dampak Teknologi Sistem Usaha Pertanian Padi-Udang Windu Di Lahan Sawah Tambak Kabupaten Lamongan. Balai Pengkajian Teknologi Jawa Timur.
Slamet. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Bogor.
Soedijanto. 2003. Penyuluhan Sebagai Pilar Akselerasi Pembangunan Pertanian di Indonesia pada Masa Mendatang. IPB PRESS. Bogor.
Sumardjo. 1999. Kemandirian Sebagai Indikator Kesiapan Petani Menghadapi Era Globalisasi Ekonomi. Dalam Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian, Vol. 12, No. 1, April 1999. Jurusan Sosek, Faperta IPB. Bogor.
Syam et al. 1993. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Wardojo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat. Dalam Penyuluhan Pembangunan Di Indonesia
37
Menyongsong Abad XXI. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.
Wibowo. 2005. Peran Lumbung Desa Modern Dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Dalam Jurnal Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian [AGRITEXTS] XVIII, 18 Desember 2005. UNS. Surakarta.
________. 2008. Model Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi Berkelanjutan Di Kawasan Agropolitan. IPB. Bogor.
Wibowo et al. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) Dalam Pengembangan Beras Organik Menuju Terwujudnya Kabupaten Sragen Sebagai Sentra Beras Organik. Dalam Jurnal Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian [AGRITEXTS] XXIV, No. 24 Desember 2008. UNS. Surakarta.
Wijaya. 1992. Titik Berat Otonomi pada Tingkat II. CV. Rajawali. Jakarta.
Wijianto. 2008. Hubungan Antara Peranan Penyuluh Dengan Partisipasi Anggota Dalam Kegiatan Kelompok Tani Di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Dalam Jurnal Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian [AGRITEXTS] XXIV, 24 Desember 2008. UNS. Surakarta.
38