fraud
DESCRIPTION
mengenal tentang fraudTRANSCRIPT
FRAUD
A. FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA
Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu Negara dapat dilakukan
sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran (tindak pidana) menurut ketentuan
perundang-undangan Negara tersebut. Dalam Statistik Kejahatan Indonesia yang dilaporkan
oleh BPS tidak selalu tersedia dalam format yang sama, istilah kejahatan yang dipergunakan
sering kali juga tidak konsisten, dan tidak terlalu bermanfaat untuk pembahasan akuntansi
forensik. Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia, perlu diingat
bahwa masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan kejahatan. Banyak faktor yang
menyebabkan masyarakat enggan melaporkan kejahatan. Di antaranya, tercermin dari
ungkapan sehari-hari yang sederhana. Oleh karena itu, beberapa kajian luar negeri tentang
data kejahatan di Indonesia memberi peringatan “crimes may be unreported”
B. FRAUD DALAM KUHP
Beberapa pasal dalam KUHP yang mencakup pengertian Fraud :
1. Pasal 362 tentang pencurian
2. Pasal 368 tentang Pemerasan dan pengancaman
3. Pasal 372 tentang penggelapan
4. Pasal 378 tentang perbuatan curang
5. Pasal 396 tentang merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit
6. Pasal 406 tentng menghancurkan dan Merusak Barang
7. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 yang secara
khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199).
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur
perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam ketegori fraud, seperti undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan berbagai undang-undang perpajakan yang
mengatur tindak pidana perpajakan.
C. FRAUD TREE (POHON FRAUD)
Secara skematis, Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan
occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari
fraud dalam hubungan kerja, beserta rantinf dan anak rantingnya. Occupational fraud tree ini
mempunyai tiga cabang utama, yakni:
c o r r u p t i o n , asset misappropriation, dan fraudulent statements.
D.
C
orruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan
perundangan kita. Korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi
dan 4 bentuk dalam ranting-ranting:
con f l i c t s o f i n t e re s t , b r ibe ry , i l l ega l g r a tu i t i e s , e c onomi cs ex to r t i on .
Conf l i c t s o f i n t e r e s t atau benturan kepentingan diantaranya dapat berupa bisnis
plat merah atau bisnis pejabat dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau
rekanan di lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis. Ciri-ciri mereka menjadi
pemasok :
1. Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa. Melalui kontrak
jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
2. Nilai kontrak relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat dalam arm’s length.
3. Dalam bahasa sehari-hari disebut juga dengan mark up atau penggelembungan.
4. Para rekanan ini, meskipun hanya sefelintir, mengusai pangsa pembelian yang relatif
sangat besar dalam lembaga tersebut.
5. Kemenangan dalam proses tender dicapai dengan cara-cara tidak wajar. Hubungan
antara penual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa bisa
menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebgai órang depan” atau ada
persekongkolan (kolusi) yang melibatkan penyuapan.
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamarkan dengan kegiatan sosial-
keagamaan dan muncul dalam bentuk yayasan-yayasan.
B r i b e r y atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan bisnis dan
politik Indonesia. Kickbacks merupakan salah satu bentuk penyuapan di mana si penjual
“mengikhlaskan” sebagian dari hasil penjualannya. Persentase yang dihasilkan itu bisa diatur
dimuka, atau diserahkan sepenuhnya kepada “keikhlasan” penjual. Kickback berbeda dengan
bribery. Dalam bribery pemberinya tidak “Mengorbankan” suatu penerimaan. Misalnya,
apabila seseorang menyuap atau menyogok sesorang penegak hukum, ia mengharapkan
keringanan hukuman. Dalam contoh kickback tersebut pemberinya menerima keuntungan
materi. Dalam kickback, si pembuat keputusan atau yang dapat mempengaruhi pembuatan
keputusan dapat “mengancam” sang rekanan. Ancaman ini bisa terselubung tetapi tidak
jarang pula dilakukan secara terbuka. Ancaman ini bisa merupakan pemerasan (economic
excortion).
B i d R i g g i n g merupakan permainan tender, Illegal Gratuities adalah pemberian
atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di
Indonesia kita dapat melihat hal ini dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulang tahun,
hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangakat dan jabatan, dan lain-lain yang diberikan
kepada pejabat.
E. Aset Misappropriation
Aset misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam bahasa sehari-hari
disebut mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil” aset secara ilegal (tidak sah, atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola
atau mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree
disebut larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggris nya adalah Embezzlement. Aset
misappropriation dalam bentuk penjarahan kas atau cash appropriation dilakukan dalam tiga
bentuk : skimming, larceny, f raudulent disbursements . Klasifikasi penjarahan kas
dalam tiga bentuk disesuaikan dengan arus uang masuk.
Dalam s k i m m i n g , uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke
perusahaan. Cara ini terlihat dalam dalam fraud yang sangat dikenal para auditor, yakni
lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka
fraud ini disebut larceny atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam (atau sudah
masuk ke) sistem, maka penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih dekat
dengan istilah penggelapan.
Penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke perusahaan secara fisik atau secara
administratif, dengan cara menghimpun dana-dana tersebut dari berbagai sumber, misalnya
komisi resmi dari perusahaan asuransi atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini disebut
dana taktis; dalam bahasa Belanda, tactishe fonds; dalam bahasa Inggris, slush funds. Dalam
fraud tree, baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taktis ini didefinisikan sebagai
corruption bukan asset misappropriation. Corruption seperti ini mengandung ciri skimming.
L a r c e n y atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak
awal peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan
lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan
keselamatan aset (safeguarding of assets).
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbursements )
sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap
perantara. Terdapat lima kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu : billing
schemes, payroll schemes, expense reinbursement schemes, check tampering, dan register
disbursements .
a) B i l l i ng s chem es adalah skema permainan (schemes) dengan menggunakan
proses billing atau pembebanan tagihan sebagai sarananya. Pelaku fraud dapat
mendirikan perusahaan “bayangan” (shell company) yang seolah-olah merupakan
penyuplai atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini
merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan.
b) Payroll schemes adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk
permainannya antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau
dalam pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar dari gaji yang
dibayarkan.
c) Expense reinbursement schemes adalah skema permainan melalui pembayaran
kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan. Seorang pemasar mengambil uang
muka perjalanan, dan sekembalinya dari perjalanan, ia membuat perhitungan biaya
perjalanan. Kalau biaya perjalanan melampaui uang muka nya, ia meminta
reinbursement atau penggantian. Ada beberapa skema permainan melalui mekanisme
reinbursement ini. Rincian biaya menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya
(mischaracterized expense).
d) Check t amper i ng adalah sekema permainan melalui pemalsuan cek. Hal yang
dipalsukan bisa tanda tangan orang yang mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau
endorsemennya, atau nama kepada siapa cek dibayarkan, atau cek nya disembunyikan
(concealed checks).
e) Register disbursments adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam cash register.
Skema permainan melalui register disbursements pada dasarnya ada dua, yakni false
refunds (pengembalian uang yang dibuat-buat) dan false voids (pembatalan palsu).
Dalam false refund ada berbagai cara penggelapan, di antaranya, penggelapan dengan
seolah-olah ada pelanggan yang mengembalikan barang, dan perusahaan memberikan refund.
False voids hampir sama dengan false refund. Hal yang dipalsukan disini adalah pembatalan
penjualan. Penjualan yang sudah terekam di pita cash register dibatalkan, seolah-olah
pembeli urung melakukan pembelian. Jumlah yang sudah diterima perusahaan seolah-olah
juga dibatalkan.
S k i m m i n g merupakan penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan.
Contoh yang sangat populer adalah praktik gali lubang tutup lubang dalam penagihan piutang
(lapping). Contoh lain, piutang dihapusbukukan, namun tetap ditagih dari pelanggan. Hasil
tagihan tidak masuk ke perusahaan, dan dijarah oleh si penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan barang (inventory). Dalam situasi tertentu,
persediaan barang menjadi barang menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh,
penjualan BBM bersubsidi secara ilegal pada waktu ada disparsitas harga yang tinggi antara
BBM bersubsidi dan yang tidak. Aset lainnya (yang bukan kas dan inventory) juga bisa
menjadi sasaran adalah aset tetap, misalnya kendaraan bermotor yang dimiliki perusahaan.
Modus operan di dalam penjarahan aset yang bukan uang tunai atau uang di bank adalah
“misuse da larceny”. Misuse adalah penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraan
bermotor perusahaan atau aset tetap lainnya untuk keperluan pribadi. Contoh, alat
transportasi perusahaan atau lembaga pemerintah yang dipakai untuk mengangkut barang-
barang pribadi atau inventaris kantor atau instansi pemerintah yang “dipinjam” selama
seseorang memegang jabatan (misuse) dan tidak mengembalikan nya sesudah ia tidak lagi
menjabat (larceny)
F. Fraudulent Statement
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “Fraudulent
Statements” dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis fraud ini sangat dikenal oleh
auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Fraud yang berkenaan dengan
penyajian laporan keuanga, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat atau para
LSM/NGO, namun tidak menjadi perhatian akuntan forensik.
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini
berupa salah saji (misstatements baik overstatements maupun understatements). Cabang dari
ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang
sebenarnya (aset/revenue understatements). Kedua, menyajikan aset atau pendapatan lebih
rendah dari yang sebenarnya (aset/revenue understatements).
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud ini
berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan
yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa
tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun eksteren. Contoh,
perusahaan minyak besar didunia yang mencantumkan cadangan minyak nya lebih besar
secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya.
AKUNTAN FORENSIK DAN JENIS FRAUD
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of asset, dan
fraudulent statements. Akuntan forensik memusatkan perhatian pada dua cabang pertama.
Cabang fraudulent statements menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan
(general audit atau opinion audit).
Akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak pernah menyentuh fraud yang
menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan, dengan dua pengecualian. Pertama,
ketika “regulator” seperti Bapepam, Securities and Exchange Commission, atau Financial
Services Authority (OJK, Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan
audit suatu kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor akuntan
publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut). Regulator dapat meminta kantor akuntan
lain melakukan pendalaman, atau mereka sendiri melakukan penyidikan. Dalam hal ini
akuntan forensik melakukan audit investigatif. Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke
pengadilan atau diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan mendalam
karena harus jelas siapa yang bertanggungjawab untuk hal apa.
Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan data secara
elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang dominan dalam
penyiapan laporan. Selain pertimbangan penyelesaian kasus di dalam atau diluar pengadilan,
juga ada pertimbangan diperlukannya keahlian khusus, yakni computer forensics.
MANFAAT FRAUD TREE
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree memetakan fraud dalam
lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan forensik mengenali dan mendiagnosis fraud
yang terjadi. Ada gejala-gejala “penyakit” fraud yang dalam auditing dikenal sebagai red
flags. Dengan memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigatif,
akuntan forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.
Kondisi kita yang berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dapat menjadi alasan
untuk tidak sepenuhnya mengikuti fraud tree diatas. Koruptor atau pelaku fraud di Indonesia
sering kali lebih kreatif. Juga iklim bisnis dan pemerintahan yang koruptis mengharuskan
akuntan forensik berpikir mengenai dunia nyatanya. Akuntan forensik sebaiknyamembuat
sendiri fraud tree atau peta dari tindak pidana yang diperiksanya.
Fraud Triangle
Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada embezzlers yang
disebutnya “trust violators” atau pelanggra kepercayaan, yakni mereka yang melanggar
kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya diterbitkan dengan
judul Other People’s Money : Study in the Social Psychology of Embezzlement.
Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis dari penelitian tersebut dikenal sebagai
fraud triangle atau segitiga fraud. Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul
pressure yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya,
perceived opportunity Sudut ketiga, r a t i o n a l i z a t i o n .
.
PRESSURE
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure)
yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak
dapat diceritakan nya kepada orang lain. Konsep yang penting di sini adalah, tekanan yang
menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing)
dengan orang lain. Konsep ini di dalam bahasa inggris disebut perceived non-shareable
financial need. Cressey menemukan bahwa non-shareable problem timbul dari situasi yang
dapat dibagi dalam enam kelompok :
1. violation of ascribed obligation
2. problems resulting from personal failure
3. business reversals
4. physical isolation
5. status gaining
6. employer-employee relation
Keenam kelompok situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan upaya
memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai.
Violation of Ascribed Obligation
Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa
konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau
majikannya. Di samping harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu. Orang
dalam jabatan seperti itu merasa wajib menghindari perbuatan yang dapat merendahkan
martabatnya. Inilah kewajiban yang terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, ini
adalah ascribed obligation baginya. Kalaui ia menghadapi situasi yang melanggar kewajiban
terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak dapat diungkapkannya
kepada orang lain.
Problems Resulting from Personal Failure
Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang
mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahan nya
menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggungjawab pribadinya.
Seorang pengacara yang kehilangan tabungan hasil kerjanya bertahun-tahun. Ia
menderita rugi karena menanamkan uang nya dalam bisnis yang bersaing dengan bisnis para
pelanggannya. Ia percaya, kalau ia mengungkapkan masalahnya kepada para pelanggannya,
mereka akan bersedia membantu. Namun, ia merasa tidak mampu mengungkapkan masalah
tersebut karena telah menghianati para pelanggannya dengan berusahan dalam bisnis
“rahasia” yang bersaingan dengan mereka. Ia bahkan tidak berani mengungkapkan kerugian
tersebut kepada istrinya, dan memilih mencuri uang perusahaan. Ia takut kehilangan status
nya sebagai orang yang dipercaya dalam bidang keuangan, karena itu ia takut mengakui
kegagalannya. Kehormatan pada diri sendiri menjadi awal kejatuhannya.
Business Reversals
Cressey menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi yang
juga mengarah kepada non-shareable problem. Masalah ini berbeda dari kegagalan pribadi
yang dijelaskan diatas, karena pelakunya merasa bahwa kegagalan itu berasal dari luar
dirinya atau luar kendalinya. Dalam persepsinya, kegagalan itu karena inflasi yang tinggi,
atau krisis moneter, tingkat bunga yang tinggi, dan lain-lain.
Physical Isolation
Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian. Dalam
situasi ini, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia tidak mempunyai
orang lain tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.
Status Gaining
Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk tidak mau kalah dengan “tetangga”.
Orang lain punya harta tertentu, ia juga harus seperti itu atau lebih dari itu. Orang lain punya
jabatan tertentu, ia juga harus punya jabatan seperti itu atau bahkan lebih baik. Dalam situasi
yang dibahas di atas, pelaku berusaha mempertahankan status. Di sini, pelaku bersedia
meningkatkan statusnya. Cressy mencatat, “masalahnya menjadi non-shareable ketika orang
itu menyadari bahwa ia tidak mampu secara financial untuk naik ke status itu, untuk
menikmati simbol-simbol keistimewaan yang dijanjikan status itu secara wajar dan sah, dan
pada saat yang sama ia tidak bisa menerima kenyataan untuk tetap berada dalam status itu,
apalagi kalau harus turun status.”
Employer-Employee Relation
Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang pegawai yang menduduki
jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan
baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang. Menurut
Cressey, masalah yang diahadapi orang menjadi non-shareable karena kalau ia mengusulkan
solusi untuk masalah yang dihadapinya, ia khawatir statusnya di organisasi itu menjadi
terancam. Juga ada motivasi yang kuat baginya untuk “membuat perhitungan”
dengan majikannya ketika ia merasa diperlakukan tidak adil.
PERCEIVED OPPORTUNITY
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang peluang. Pertama,
general information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust
atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa
yang dia dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan
ketidak tahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi. Kedua, technical sklill atau
keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya
keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat
kedudukan tersebut. General information dan technical skills yang dibahas Cressey bukan
semata-mata dipunyai oleh orang yang punya kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya.
Namun, mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di bidang keuangan, ketika
menghadapi non-shareable financial problem, akan melihat general information dan technical
skills sebagai jalan keluar dari masalah itu. Posisi mereka yang mendapat kepercayaan atau
trust, khususnya di bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan general
information dan technical skills yang mereka miliki.
RATIONALIZATION
Rationalization (rasionalisasi), dapat dikatakan sebagai usaha untuk mencari
pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Biasanya secara naluri
alamiah ketika kejahatan telah dilakukan, rationalization ini ditinggalkan. karena tidak
diperlukan lagi. Pertama kali manusia akan berbuat kejahatan atau pelanggaran, ada perasaan
tidak enak. contohnya : ketika kita mengulanginya perbuatan itu menjadi mudah, dan
selanjutnya menjadi biasa. Ketika akan mencuri uang perusahaan untuk pertama kalinya,
pembenarannya adalah: "nanti kubayar, nanti kuganti". Sekah si pelaku sukses, mencuri
secara berulang kali, ia tidak memerlukan rationalization semacam itu.
Kejahatan Kerah Putih
Kejahatan kerah putih adalah terjemahan untuk istilah yang sangat dikenal dalam
bahasa Inggris, yakni w h i t e - c o l l a r c r i m e . Istilah ini dikenalkan oleh Edwin H.
Sutherland. kejahatan kerah putih merupakan kejahatan kelas atas, kelas manusia berkerah
putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan profesional terhormat, atau paling tidak,
dihormati. Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang dilakukan dalam lingkup
jabatan mereka. Kamus terbitan the Federal Bureau of Justice Statistics ( Dictionary of
Criminal Justice Data Terminology) mendefinisikan wh i t e - c o l l a r c r i m e sebagai:
"nonviolent crime for financial gain committed by means of deception by persons whose
occupational status is entrepreneurial, professional or semi-professional and utilizing their
special occupational skills and opportunities; also nonviolent crime for financial gain
utilizing deception and committed by anyone having special technical and professional
knowledge of business and government, irrespective of the person's occupation.”
"Kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan
penipuan oleh orang yang pekerjaannya adalah wiraswasta, profesional atau semi profesional
dan yang memanfaatkan keahlian dan peluang yang diberikan oleh jabatannya; juga
kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh
orang yang mempunyai keahlian khusus dan pengetahuan profesional mengenai bisnis dan
pemerintahan, meskipun ia tidak terkait dengan pekerjaannya.". Ada suatu definisi lain juga
yang diusulkan oleh Albert J. Reiss, Jr. dan Albert Biderman, yaitu :
"White-collar crime violations are those violations of law to which penalties are attached
that involve the use of a violator's position of economic power, influence, or trust in the
legitimate economic or political institutional order for the purpose of illegal gain, or to
commit an illegal act for personal or organizational gain."
"Pelanggaran kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang terkena sanksi tertentu
dan yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai kekuasaan ekonomi,
pengaruh, atau kepercayaan dalam lembaga-lembaga yang sebenarnya mempunyai legitimasi
ekonomi dan politik namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal atau untuk melakukan
kegiatan ilegal demi keuntungan pribadi atau organisasi."
REPORT TO THE NATION
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) secara berkala menerbitkan
kajiannya mengenai fraud di Amerika Serikat. Laporan ACFE terakhir mengenai hal ini
dikenal dengan nama Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse. Meskipun
Report to the Nation adalah untuk, dari, dan berkenaan dengan Amerika Serikat, Namun di
dalamnya ada informasi tertentu yang bermanfaat bagi akuntan forensik (fraud examiners).
ACFE mensurvei dengan cara survey online secara terbuka kepada Certifed Fraud Examiners
(CFEs) dengan jangka waktu satu tahun. sebagai bagian dari survey, responden di minta
untuk menyajikan sebuah naratif yang detail tentang kasus fraud yang terbesar yang pernah
mereka tangani/ investigasi dalam kurun waktu tertentu, Kasus tersebut harus memenuhi 4
kriteria yaitu :
1. Kasus harus berhubungan atau melibatkan Occupational Fraud (didefinisikan sebagai
Fraud secara internal, atau fraud yang dilakukan oleh seseorang yang di dalam
organisasi)
2. Kasus dan investigasi yang dilakukan oleh CFEs haruslah terjadi dalam kurun waktu
survey.
3. Investigasi dari kasus tersebut haruslah sudah selesai pada kurun waktu survey.
4. CFEs haruslah telah yakin dengan pelaku kejahatan yang telah di identifikasi.
Responden juga di berikan lebih kurang 85 pertanyaan untuk dijawab terkait dengan
kasus yang mereka sajikan tersebut. termasuk dengan informasi si pelaku kejahatan, korban
di dalam organisasi, dan metode yang digunakan untuk melakukan fraud serta tentang
kecenderungan fraud secara menyeluruh. untuk menguji profesionalitas ACFE hanya
mengirimkan kepada CFEs tertentu yang dianggap baik pada kurun waktu survey dilakukan
dan ACFE meminta responden (yakni CFEs) untuk menyajikan beberapa informasi mengenai
pengalaman mereka, profesionalitas mereka sehingga ACFE tahu siapa yang sedang terlibat
untuk mengatasi kasus yang dikirimkan kepada mereka. Berikut merupakan responden di
dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012 :
dari table di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden adalah Fraud Examiner/
Investigator dan Responden rata-rata memiliki pengalaman kerja sebagai professional di
bidangnya selama 11 tahun.
Di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012, dapat
disimpulkan bahwa Fraud dapat terdeteksi dengan adanya informasi (yang dibeikan oleh
karyawan, konsumen, anonym, vendor, owner, competitor ), review yang dilakukan oleh
manajemen dan adanya internal audit.
seperti yang di tunjukan dibawah, pelaku kejahatan fraud jika didasarkan oleh umur mereka, kebanyakan mereka berumur antara 31 - 41 tahun, da kecenderungannya adalah laki-laki lebih banyak melakukan fraud di banding dengan perempuan, serta kebanyakan dari mereka adaah orang yang memiliki degree college sampai kepada post graduate ke atas.
Jika dilihat melalui perbagian di dalam perusahaan maka bagian yang harus diwaspadai akan adanya fraud adalah bagian Akuntansi, Operasional, Penjualan, Manajer eksekutif atau manajer tingkat Atas, Costumer service, dan bagian pembelian. hal dapat terlihat dari survey yang dilakukan di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012. dan kebanyakan dari mereka melakukan fraud karena ada dorongan dari gaya hidup, kebutuhan finansial yang mendesak, dan karena adanya control yang kurang baik dari organisasi.