formulasi penentuan awal waktu shalat...
TRANSCRIPT
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
YANG IDEAL
(Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan
Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat
Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
YUYUN HUDHOIFAH
NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3
KONSENTRASI ILMU FALAK
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R A N G
2011
ii
Drs. Sahidin, M.Si
Jl. Merdeka Utara I/B.9
Ngaliyan Semarang
Drs. Slamet Hambali, M.Ag.
Jl. Candi Permata II / 180 Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Yuyun Hudhoifah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya,
bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara :
Nama : Yuyun Hudhoifah
N I M : 072111083
Judul : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat dalam
Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 10 Mei 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
iii
PENGESAHAN
iv
MOTTO
t
Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’: 103)1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art (J-
Art), 2005, hlm. 176
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini
Saya persembahkan untuk :
Bapak dan Ibu Tercinta
Ahmad Qamaruddin Madchan (alm) dan Siti Masri’ah
Keluarga tersayang,
Mbak Luk - Mas Ghufron, Mas Iib - Mb Khuzma , Mas Yoyok - Mbak Yani,
Mas Aank, Mbak Nunus
Keluarga Semarang,
Nyak, Mpok, Abang (we’re still together still going strong)
Mb Q3, Ayuk, Ciput
Kenyong
Keluarga Besar Darut Taqwa,
Dan dipersembahkan juga untuk,
Kaum Muslimin dimana pun berada di berbagai belahan dunia
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan dalam penelitian ini.
Semarang, 10 Mei 2011
Deklarator
Yuyun Hudhoifah
NIM: 072111083
vii
ABSTRAK
Dari beberapa point yang mempengaruhi waktu shalat daerah satu dengan
daerah lain, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat suatu daerah.
Jadwal awal waktu shalat dalam software Athan, di dalamnya tidak menggunakan
ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times dan Shollu memberikan
ruang untuk menginput data ketinggian tempat. Sedangkan jadwal awal waktu
shalat dalam kalender Ponpes Lirboyo, menggunakan data rata-rata ketinggian
tempat 100m dengan formulasi 0.0293 √ h. Slamet Hambali menggunakan
formulasi0° 1’.76√ h, Muhyiddin Khazin cukup dengan ketentuan posisi tinggi
matahari sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho
terbit: -1°, dan Abdur Rachim menyatakan formulasi √3,2 h. Textbook on Sperical
Astronomy menggunakan rumus 0.98√h, sementara dalam buku Almanak Hisab
Rukyah Departemen Agama dan Rinto Anugraha menggunakan formulasi 1.93√h.
Dari perbedaan-perbedaan tersebut, membuat penulis tertarik untuk mengkaji
urgensi ketinggian tempat dalam waktu shalat karena shalat merupakan ibadah
wajib yang waktunya telah ditentukan sehingga tidak dapat dilakukan sembarang
waktu.. Dari beberapa perbedaan formulasi tersebut juga, penulis ingin menelusuri
formulasi dan penyajian jadwal waktu shalat yang ideal beserta toleransi waktu
seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan apakah telah dapat mengatasi
perbedaan waktu akibat pengaruh ketinggian tempat suatu wilayah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode
pengumpulan datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan) dan
wawancara pihak terkait. Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang
diperoleh langsung dari buku-buku dan software-software karya para hali falak
dan wawancara langsung dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid
(Lirboyo), Slamet Hambali, serta Rinto Anugraha. Sedangkan data sekundernya
adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, makalah-makalah yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dinalisis dengan menggunakan
analisis kritis, dengan menggunakan metode induktif komparatif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketinggian tempat dinilai sangat
urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat demi tingkat keakurasian
waktu shalat. Sedangkan formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah
formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan
data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan
dip/ku: 1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ (feet). Penggunaan waktu ihtiyat untuk
mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang
ideal adalah cukup dengan menggunakan toleransi waktu yaitu pengambilan data
rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi
sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan
menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang
berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ikhtiyat 2 menit
dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat
bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit dengan ufuk yang
lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim.
Key word: waktu shalat, ketinggian tempat, kerendahan ufuk
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan dan segala hal
untuk memahami sedikit ilmu-Nya agar lebih dapat mengenal-Nya. Hanya dengan
ijin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
Pengaruh Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
dengan lancar lewat segala proses yang memberi banyak arti. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah
yang telah memberi penerang atas gelap dan dahaga bagi para pencari-Nya.
Demikian juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada keluarga Nabi,
para sahabat Nabi saw, para alim ulama’, yang warna-warni pemikiran mereka
menjadi bahan dan bekal referensi bagi para musafir ilmu.
Sehubungan dengan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tahap
pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini penulis tidak sendiri. Banyak pihak
yang memberi uluran tangan, pemikiran, dukungan, dan doa selama proses
kegiatan ini sehingga skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Kementerian Agama Republik Indonesia khususnya Pedepontren yang telah
memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.
ix
2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).
3. Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak,
Drs. H. Eman Sulaeman, MH (kepala Prodi sebelumnya) beserta staf-staf-nya,
Maksun, M.Ag, H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, serta Ahmad Syifaul Anam, SHI.
MH, Bapak Suwanto, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan
bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya selama
belajar di Semarang.
4. Drs. Slamet Hambali, M.Si dan Drs. Sahidin, M.Si selaku pembimbing dalam
penulisan skripsi ini, yang telah mau bersabar meskipun penulis kurang
disiplin waktu, memberikan arahan, masukan, bimbingan serta memberikan
acc sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
5. Bapak Sabri (Undip), Bapak Reza Zakariya dan Bapak Yazid (Lirboyo) yang
telah mau memberikan arahan, bimbingan dan data falak; Bapak Rinto
Anugraha, Bapak Thomas Djamaluddin, Bapak Dr. Ing. Khafid yang mau
menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis via email
6. Kedua orang tua penulis, ibu’ dan bapak (alm), yang telah mengajarkan arti
sebuah nafas kehidupan dan atas perjuangan serta doanya yang tiada terkira.
7. Keluarga penulis tercinta (Mbak Luk, Mas Ghufron; Mas Ib, Mb Khuzma;
Mas Yok, Mbak Yani; Mas Ank; Mb Nus) yang selalu memberi cinta kasih
dan semangat lahiriyah maupun bathiniyah. Juga Lek Mad, Lek Tun, Lek
Zayik, Om Arip, Bu Tin sekeluarga, Bulek Sum, Tsania Muna, dan unyil-
unyil.
x
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan yang
telah mengajarkan cara mengenal-Nya dan cara berjalan di jalan-Nya.
9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang,
khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori beserta keluarga selaku pengasuh yang
juga menjadi motivator dan inspirator penulis dan yang telah memberikan
ilmu-ilmunya serta atas bimbingan dan arahannya.
10. Keluarga besar Genk STAR (Kenyong (Rabiatul Aslamiyah) tukang jamu, mb
Q3(Kitri Sulastri) tukang ngibul, Yoyo’ (Ayuk Khairunnisa’)tukang senam,
Nyak (Anifatul Kiftiyah) tukang ngupil, Mpok (Arrikah Imeldawati) tukang
ngomel, bang Mannan (M. Mannan Ma’nawi) tukang tidur, bang Ari
(Mukhsin Ari Wibowo) tukang nari, mz Rifa’ (M. Rifa Jamaluddin N) tukang
dzikir, Usro’ (Sri Hidayati) tukang gazebo tapi telah mau ngalor-ngidul, muter
seser bareng, Ciput (Wahyu Fitria) tukang nangis, mb Mahyo (Mahya Laila)
tukang pusing, mb Adah (Musyayadah) tukang mringis, mz Syamsul (M.
Syamsul Ma’arif) tukang ruwet, mz Djay (Ahmad Jailani) tukang comment,
mb Faroh (Siti Mufarrohah) tukang ngaji, Hassan (Hasanuddin) tukang
nggosip, Ncep (Encep Abdul Rozak) tukang theodolit, om Faqih (Faqih
Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki
siyakul (Oki Yosi) tukang ngilang, Maryani (Maryani AM) tukang dinas, teh
Entong (Eni Nuraini Maryam) tukang nyanyi, bulek Hasdul (Hasna Tuddar
Putri) tukang makan, mb Opil (Siti Muslifah) tukang nabrak, mb Ipeh
(Latifah) tukang qiro’, mbah Ansor (Ansorullah) tukang malak, pakde Tahrir
(Tahrir Fauzi) tukang foto, teh Anis (Annisa Budiwati) tukang ngguyu, mbah
xi
uti (Siti Tatmainul Qulub) tukang lebai) yang telah melalui lebih dari 1000
hari bersama. Lewat mereka penulis memahami arti warna, perjuangan dan
asa, serta arti kebersamaan karna adanya perbedaan.
11. Huda cah purwodadi (angkatan 08), Yadi (angkatan 08), Inayah (angkatan 09),
Qoink (angkatan 08), Nisa’; dan semua pihak yang membantu dalam
pengumpulan dan pengolahan data yang penulis butuhkan,
12. Pondok Putri Utara (Banyu Biru), khususnya kamar “empat” Al Badriyah,
Kepompong, Aina, Kakang yang selalu ada di saat pertama membuka mata
dan menutup mata. Juga Nila, Gepeng, Lilik, bang jack sebagai teman melek.
13. Temen-temen CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
14. Temen-temen KKN ke-56, khususnya posko 18 Desa Bulu Kecamatan
Banyuputih Kabupaten Batang.
15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis
selama penulis studi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas arti keberadaan mereka, kecuali
sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas
selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt.
Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna
namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan
yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.
Semarang, 10 Mei 2011
Penulis
Yuyun Hudhoifah
NIM. 072111083
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................... viii
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 12
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 12
E. Telaah Pustaka ...................................................................... 13
F. Metode Penulisan ................................................................. 18
G. Sistematika Penulisan ........................................................... 20
BAB II FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
KONVERGENSI SYAR’I DAN SAINS SERTA FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA
A. Dasar Hukum Waktu Shalat .................................................. 23
1. Dalil Waktu Shalat .......................................................... 23
2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama ................................. 26
xiii
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’I dan Sains ........... 32
1. Shalat Dzuhur ................................................................. 33
2. Shalat Ashar .................................................................... 36
3. Shalat Maghrib ................................................................ 39
4. Shalat Isya’ ...................................................................... 41
5. Shalat Subuh ................................................................... 43
C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ............................ 45
1. Meridian Pass .................................................................. 45
2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat .................... 46
3. Koreksi Waktu Daerah ................................................... 47
4. Ihtiyat ............................................................................. 48
D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat 50
1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu
Shalat ............................................................................... 50
2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu
Shalat Daerah satu dengan Daerah lain........................... 51
BAB III PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
A. Ketinggian Tempat ................................................................ 55
B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan
Awal Waktu Shalat .............................................................. 59
1. Kitab Klasik .................................................................... 59
2. KH. Slamet Hambali ....................................................... 60
xiv
3. Lirboyo ........................................................................... 61
4. Saaduddin Djambek ........................................................ 63
5. Muhyiddin Khazin .......................................................... 65
6. Shollu .............................................................................. 65
7. Athan ............................................................................... 66
8. Accurate Times ............................................................... 66
9. Mawaaqit ......................................................................... 67
C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan
Ufuk/Dip .............................................................................. 68
1. Dip/ ku: 1.76√ h (meter) ................................................. 69
2. Dip/ ku: 0.0293 √ h (meter) ........................................... 69
3. Dip/ku: 0,97 √h feet atau 1,757√h meter ........................ 69
4. Dip/ ku: √3,2 h ................................................................ 69
5. Dip/ku: 0,032° √ℎ ........................................................... 71
6. Dip/ ku: 1,93√ h .............................................................. 72
7. Dip/ ku: 0,98√ h .............................................................. 73
D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan
Awal Waktu Shalat ............................................................... 75
BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT
DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU
SHALAT
A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi
Penentuan Awal Waktu Shalat .............................................. 80
xv
B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Ideal
Terkait Formulasi Kerendahan Ufuk yang Berbeda-Beda .... 89
C. Analisis Toleransi yang Diberikan untuk Memback Up
Urgensi Ketinggian Tempat dalam Penyajian Jadwal
Waktu Shalat yang Ideal ....................................................... 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 104
B. Saran ...................................................................................... 106
C. Penutup ................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT PENDIDIKAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan shalat merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam
Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan
landasan bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam
menetapkan awal waktu shalat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal
waktu shalat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal
waktu shalat ada lima.1
Pendapat pertama banyak diterima oleh golongan Syiah. Sedangkan
mayoritas muslim di Indonesia, lebih memegangi pendapat yang kedua,
berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya:
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan
bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di
siang hari, supaya kamu merasa senang, (QS. Thaha: 130)2
1 Menurut Muhammad Jawad Muqniyyah, dalam kitab At-Tafsir al-Kasif, 15:74
sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains,
bisa diakses di www.ilmufalak.or.id 2 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492
2
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan
(oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)3
Artinya:
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114)4
Artinya:
Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan
waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan
bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada
diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)5
Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
3 Ibid, hlm. 436
4 Ibid, hlm. 344-345
5 Ibid, hlm. 643
3
(والتزمذى والنسائ احمد رواه)
Artinya :
Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s
lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah kemudian Nabi
salat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya
di waktu Ashar lalu berkata, bangunlah lalu sembahyanglah, kemudian Nabi
salat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia
datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian
Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian datang lagi
kepadanya di waktu Isya‟ lalu berkata : bangunlah dan salatlah kemudian
Nabi salat Isya‟ dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi
kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun dan salatlah, kemudian Nabi
shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.
Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia
berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi salat Dzuhur dikala
bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di
waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat
Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia
datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama, tidak
bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi di waktu Isya‟ di
kala telah lalu separo malam, atau ia berkata telah hilang sepertiga malam,
kemudian Nabi shalat Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah
bercahaya benar dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi
shalat fajar, kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat.
(HR. Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 7
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-qur‟an maupun Hadis
tersebut, ketentuan waktu-waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut: (1)
Dzuhur, Waktu Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah
matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu
6 Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon :
Dal al-Kitab, jilid I,, hlm 435 7 Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للتزمذي, kitab abwab as-shalat, no 001
4
Ashar, (2) Ashar, waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda
sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari
berkulminasi sampai tibanya waktu Maghrib, (3) Maghrib, waktu Maghrib
dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya
dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang
menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh
dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Secara syar‟i, dalam menunaikan kelima waktu shalat tersebut, kaum
muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan sebagaimana Firman
Allah dalam surat An Nisa‟ (4): 103, yaitu:
t
Artinya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟: 103)8
Dari ayat ini, Az Zamakhsyariy berkomentar bahwa seseorang tidak boleh
mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam
keadaan aman atau takut.9 Penggunaan lafaz “Kaanat” menujukkan ke-
Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat
8 Ibid, hlm. 176
9 Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
5
tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al „Izz Al
Hamadaniy.10
Dalam Tafsir Ibnu Katsir11
dijelaskan bahwa, Firman Allah Ta‟ala
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi
kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji.
Maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi
sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh
karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya
diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain
mengatakan “silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul”
artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain.
Sedangkan dalam Tafsir Manaar 12
mengungkap, sesungguhnya shalat itu
telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang telah كتاًبا
ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. موقوًتا berarti sudah ditentukan batasan-
batasan waktunya.
Dari beberapa tafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi
logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu,
melainkan harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur‟an
maupun Al-Hadis.
Dari sana dipahami bahwa betapa pentingnya penentuan awal waktu
shalat. Penentuan awal waktu shalat ini dapat diperoleh dengan menggunakan cara
10
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 11
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i. Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani:Jakarta, jilid 3, hlm. 292. 12
Rasyid Ridha, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, hlm. 383
6
melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-
hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu rubu‟13
, tongkat istiwa’ atau miqyas
yang dalam astronomis lebih dikenal dengan sundial14
. Selain itu, waktu shalat
dapat diketahui melalui jadwal shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa,
serta jadwal-jadwal shalat dari hasil hisab penentuan awal waktu shalat yang ada
dan berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Hisab ini menghitung dan
memperkirakan kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut
dalam nash-nash waktu shalat.
13
Rubu’ berarti seperempat. Dalam istilah astronomi disebut kuadran (quadrant), yaitu
suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan
peredaran benda langit pada lingkaran vertical. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005, hlm. 129. Rubu’ al-Mujayyab atau Kuadran sinus
merupakan alat perangkat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan astronomi bola.
Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan rubu’ ini adalah al-Khwarizmi (770-840) dan
Ibn-Sathir (abad 11). Rubu’ al-Mujayyab yang berkembang di Indonesia ialah rubu’ hasil
pengembangan dari rubu‟ IbnSathir. (Lihat Hendro Setyanto, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu
Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung: Pundak Scintific, 2001, hlm. 3) dalam kitab-kitab falak klasik
biasanya menggunakan metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu’. 14
Lihat Sundial; History, Theory, & Practice by Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel
Godin, Toronto: University of Toronto Press, 1970. Dalam buku ini, ada beberapa istilah yang
dapat diartikan sebagai jam matahari atau sundial, yaitu hemisphere dan gnomons. Sundial (jam
matahari) adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai petunjuk waktu semu lokal (local
apparent time) dengan memanfaatkan matahari yang menghasilkan bayang-bayang sebuah
gnomon yaitu, batang atau lempengan yang bayang-bayangnya digunakan sebagai petunjuk waktu
(gnomon merupakan salah satu bentuk dari sundial sederhana, oleh karena itu dianggap sebagai
nama lain dari sundial), chapter three, Classical Sundials, hlm. 46. Pada dasarnya, sebuah sundial
terdiri dari satu objek yang membentuk satu bayangan dari sebuah permukaan yang bergaris, yang
disebut dengan garis jam. Permukaan tersebut dinamakan table jam. (Basically, a sundial consists
of a surface on wich lines (the so-called hour-lines) have been traced; the surface is called the
table of the dial). Jika kita meruntut sejarah, menurut data literatur papyrus pada tahun 1450 SM,
sundial pernah dipakai di Mesir dalam bentuk obelisk yang saat itu digunakan untuk menentukan
waktu dan menseting kalender. Groping through history with this Ariadne’s thread, we learn from
the papyri that by about 1450 BC gnomons in the form of obelisks were used in Egypt for the
measurement of time and the setting up of calendar. Sekitar tahun 1000, bangsa Arab telah
menjadi ahli waris dari gnamon Yunani sebagaimana ilmu klasik lainnya. 15 buku mereka tentang
gnomonic ditulis dari abad 11-14. By around the year 1000, the Arabs had become the inheritors
of Greek Gnomonics, as well as of all the ather ancient sciences. Fifteen of their books on
gnomoniccs written during the period from the elevent to the fourteenth century ave survived,
Chapter one, History of The Sundial hlm. 5. Kemungkinan pada masa ni, kemudian umat Islam
memanfaatkan sundial untuk menentukan awal waktu shalat. Dalam bahasa Arab disebut juga as-
Sa’ah asy-Syamsiah atau mizwala. Lihat juga pada Susikanan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
hlm. 144.
7
Atas dasar kebutuhan pada masa modern ini, hisab penentuan awal waktu
shalat melangkah ke arah kemajuan dengan lahirnya software-software penentuan
waktu shalat yang memudahkan masyarakat dalam mengetahui awal dan akhir
waktu shalat. Jadwal shalat sekarang ini juga mudah didapatkan dalam kalender-
kalender yang beredar dalam masyarakat oleh perhitungan hisab para ahli falak.
Hampir di setiap kalender telah dicantumkan jadwal awal waktu shalat. Jadwal
awal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender tersebut dapat disesuaikan
dengan daerah masing-masing. Ada beberapa point yang menyebabkan perbedaan
awal waktu shalat antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu antara lain:
1. Koordinat lintang tempat tersebut (Ф)15
. Daerah yang terletak di sebelah utara
garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang
terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa memiliki lintang negatif.
2. Koordinat bujur tempat tersebut (λ)16
. Daerah yang terletak di sebelah timur
Greenwich memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah
barat Greenwich memiliki bujur negatif.
3. Zona waktu tempat tersebut (z)17
. Daerah yang terletak di sebelah timur
Greenwich memiliki z positif. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7
15
Lintang astronomi suatu tempat ialah sudut antara arah gaya berat (vertical) tempat
tersebut dengan bidang yang tegak lurus sumbu putar bumi. Baca K.J. Vilianueva, Pengantar ke
dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Bandung, 1978, hlm. 4. 16
Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan
bidang meridian dari Greenwich. Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa
bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich. 17
Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh
meridian-meridian dengan selisih bujur 15 derajat (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu
macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0 meridian
referensinya adalah meridian Greenwich. Ke timur dari Greenwich tiap wilayah diberi tanda +1,
+2, dst dan untuk wilayah arah barat diberi tanda -1,-2, dst. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh
“date line” dan untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil
8
(Universal Time) atau seringkali disebut GMT +7 (Greenwich Mean Solar
Time), maka z = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki z negatif.
Misalnya, Los Angeles memiliki z = -8.
4. Ketinggian tempat dari permukaan laut (h)18
. Ketinggian lokasi dari
permukaan laut (h) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya
matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal
menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam,
dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau
feet (kaki).
Dari keempat point di atas, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian
tempat dari suatu daerah. Dari penelusuran penulis, kebanyakan jadwal waktu
shalat yang ada dalam kalender-kalender hanya memakai data rata-rata ketinggian
tempat. Bahkan tidak jarang, jadwal shalat tidak memakai data ketinggian tempat.
Begitu juga dengan software-software waktu shalat yang berkembang, banyak
yang menyisihkan data ketinggian tempat.
Jadwal awal waktu shalat yang tercantum dalam kalender keluaran Ponpes
Lirboyo, yang dipakai oleh hampir seluruh alumni tersebut, dalam hisab awal
waktu shalatnya menggunakan data ketinggian tempat 100m.19
Sedangkan jadwal
Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya
dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24j). selisih waktu untuk wilayah yang
berdampingan adalah satu jam. Untuk keseragaman di suatu negara maka wilayah waktu itu
disesuaikan dengan batas-batas negara. Lihat Ibid, hlm. 70-71. Untuk Indonesia sendiri dibagi
dalam 3 zona waktu, yaitu WIB, WITA, WIT. 18
h dalam astronomi digunakan sebagai simbol untuk tinggi, posisi tinggi matahari
biasaya menggunakan ho dan posisi tinggi bulan biasanya menggunakan h(. 19
Dalam penentuan awal waktu shalat, Ponpes Lirboyo menggunakan gabungan
ephimeris - kitab Tashil Auqat, dengan data ketinggian tempat yang dipakai 100m. (Hasil
wawancara dengan Bapak Yazid via telepon dan Bapak Reza melalui jaringan sosial Facebook,
mereka adalah penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar).
9
awal waktu shalat dalam software Athan20
, di dalamnya tidak menggunakan data
ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times21
dan Shollu22
memberikan
ruang untuk menginput data ketinggian tempat untuk daerah yang dicari awal
waktu shalatnya.
Selain itu, yang lebih menarik dalam hal ini adalah dari beberapa ahli falak
mempunyai formulasi penentuan awal waktu shalat yang berbeda-beda dalam
penggunaan data ketinggian tempat terkait dengan kerendahan ufuk suatu tempat,
yaitu pada waktu Maghrib, Subuh dan Isya‟.
Pada umumnya, para ahli falak maupun astronomi menggunakan rumus
ho= - (ku + ref + sd) dalam mencari tinggi matahari, dengan ketentuan sebagai
berikut:
ku (kerendahan ufuk) = 0° 1‟.76√ h (ketinggian tempat)
ref (refraksi tertinggi saat ghurub) = 0° 34‟
sd (semidiameter matahari rata-rata) = 0° 16‟
Formulasi ini digunakan oleh para ahli falak pada umumnya dalam menentukan
awal waktu shalat Maghrib, salah satunya adalah Slamet Hambali.23
Sedangkan
20
Softwere program waktu shalat dalam computer yang secara otomatis akan
membunyikan suara adzan ketika mulai waktu shalat, yaitu 5 kali dalam sehari. Dapat didownload
di http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php 21
Bisa di download di www.rukyatulhilal.com 22
Shollu, copyrights ©2004-2008 program waktu shalat versi 3.00, oleh Ebta Setiawan.
Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah
tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk
menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, mulai shollu menggunakan koordinat
wilayah ( garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya
perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-
wilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file
tambahan, bisa dilihat dalam help file. 23
Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam
pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007
10
dalam penentuan waktu Isya‟ dan Subuh, rumus tersebut dijumlahkan dengan
masing-masing ho -17° dan ho -19°. Namun, ada beberapa ahli falak yang sedikit
berbeda. Muhyiddin Khazin, dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktek24
agaknya mempunyai toleransi terhadap pengaruh ketinggian tempat dengan
menjelaskan bahwa rumus tersebut terkait kerendahan ufuk hanya dianjurkan
dalam perhitungan awal bulan. Sedangkan untuk perhitungan awal waktu shalat
sehari-hari hanya cukup dengan ketentuan sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho
Isya‟ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho terbit: -1°.
Sedangkan Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal
Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari
0° 1‟.76√ h, yakni ku: 0.0293 √ h. Berbeda dengan Abdur Rachim, beliau
mempunyai sedikit perbedaan ketentuan dalam mencari ku. Abdur Rachim
mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak,25
dijelaskan bahwa
ku mar‟i dapat diketahui dengan rumus √3,2 h. Pada salah satu literatur astronomi,
Textbook on Sperical Astronomy26
disebutkan bahwa dalam mencari ku
menggunakan rumus 0.98√h .
Dari beberapa perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa beraneka macam
respon ahli falak tehadap ketinggian tempat dalam penentuan waktu shalat. Maka
dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji urgensi data ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat. Sebenarnya seberapa pengaruh data
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Selain itu,
24
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana pustaka,
hlm. 56 25
Abd. Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, hlm. 33 26
W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,
1950, hlm. 318
11
penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana formulasi penentuan awal waktu
shalat yang ideal untuk digunakan diantara yang dipakai oleh beberapa ahli falak
tersebut.
Dan meskipun dalam beberapa jadwal waktu shalat telah menggunakan
data ketinggian tempat, namun dalam pemetaan wilayah dalam waktu shalat juga
masih kurang memperhatikan data ketinggian tempat. Jadwal waktu shalat yang
ada hanya menghitung salah satu titik yang mewakili satu wilayah kabupaten.
Padahal, dalam satu kabupaten mempunyai dataran yang tingginya berbeda-beda.
Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana toleransi waktu
seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan oleh beberapa ahli falak tersebut
di atas, untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat terkait keurgensiannya
dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan, dan untuk membatasi
agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar, maka dapat dikemukakan
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu
shalat?
2. Bagaimana formulasi penentuan waktu shalat yang ideal terkait formulasi
kerendahan ufuk yang berbeda-beda?
3. Bagaimana penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian
tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal?
12
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan
awal waktu shalat, meliputi shalat apa saja yang dalam penentuan awal
waktunya dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan seberapa besar
pengaruhnya terhadap formulasi penentuan awal waktu shalat.
2. Untuk mendapatkan formulasi penentuan awal waktu shalat yang paling ideal
dan akurat yang dapat digunakan oleh masyarakat.
3. Untuk mengetahui bagaimana toleransi atas urgensi tersebut dalam formulasi
penentuan awal waktu shalat meliputi tinggi atau rendahnya suatu daerah
mana yang dijadikan markaz perhitungan awal waktu shalat yang ideal dan
bagaimana penyajian jadwal awal waktu shalat yang ideal.
D. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui seberapa besar urgensi data ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat dan seberapa besar toleransi urgensi
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat, maka diharapkan
dapat merumuskan formulasi penentuan awal waktu shalat yang lebih akurat dan
ideal untuk digunakan meliputi daerah mana yang dijadikan patokan perhitungan
awal waktu shalat dan batas-batas penggunaan nama daerah dalam jadwal waktu
shalat. Oleh karena itu, dapat meminimalisir kesalahan perhitungan penentuan
awal waktu shalat sehingga lebih memantapkan hati kita dalam beribadah.
13
Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi
pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang
akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan
datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk
masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.
E. Telaah Pustaka
Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan dan
penelitian yang secara khusus dan mendetail membahas pengaruh data ketinggian
shalat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan toleransinya. Selama ini,
banyak penelitian mengenai shalat, waktu shalat, namun ditinjau dari berbagai
segi.
Penelitian-penelitian yang ada sebagian besar mengenai shalat dan
impactnya terhadap kehidupan sehari-hari. Sebagaimana skripsi yang ditulis oleh
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama
Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang27
dan skripsi oleh
M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa
Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa
Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal28
. Kedua penelitian tersebut lebih menekankan
27
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di
Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang, 2005 28
M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-
Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts
Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008
14
pada aspek sosial yang ditimbulkan dari pelaksanaan shalat 5 waktu dan praktek
riil pelaksanaan shalat pada waktunya.
Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis
Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat
Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum29
merupakan penelitian tentang shalat namun,
diambil dari segi fiqh dan lebih menekankan pada persoalan tayamum. Hampir
serupa, penelitian Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas
Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi) oleh Nur „Aeni
meskipun membahas tentang waktu shalat, namun lebih menekankan pada segi
fiqhnya, yaitu membahas Hadis yang berkaitan dengan waktu shalat yang menjadi
dasar hukum kaum Syi‟ah dalam menentukan waktu shalatnya.30
Penelitian tentang waktu shalat dengan penekanan pada bidang falak
tergolong sedikit, penulis hanya menemukan beberapa saja, yaitu penelitian
Korelasi Beda Bujur dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi
Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur) oleh Abd. Salam yang
mengungkapkan seberapa besar akurasi penentuan waktu-waktu shalat untuk
kota-kota markaz pada jadwal waktu shalat yang beredar di Jawa Timur, serta
akurasi konversi waktu shalat dari satu kota ke kota lainnya yang ditinjau dari
beda bujurnya.31
Selain itu, penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang
29
Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya
Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, 2004 30
Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis
Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,
2009 31
Abd. Salam, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah
(Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005
15
meneliti awal waktu shalat, yaitu skripsi Muhammad Hartaji, yang berjudul
Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, yang hanya
menganalisa terhadap perbedaan lintang dalam waktu shalat.32
Skripsi lain ditulis
oleh Muntoha yang berjudul Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan
Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, yang
menjelaskan pengaruh lintang dan bujur tempat dalam penentuan awal waktu
shalat beserta toleransinya yang menurut skripsi ini yaitu dengan waktu ikhtiyat.33
Namun, hampir dari setiap buku falak secara umum yang ada, di dalamnya
terdapat salah satu bab yang menjelaskan penentuan waktu shalat. Begitu pula
dengan kitab-kitab klasik falak yang ada. Mesipun antara buku falak dan kitab
falak klasik mempunyai konsep yang berbeda dalam formulasi penentuan awal
waktu shalat, namun keduanya mempunyai benang merah yang sama.
Diantara buku-buku falak tersebut ada buku Ilmu Falak Praktis; Metode
Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya oleh Ahmad Izzuddin,
M.Ag34
dan Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik oleh Muhyiddin Khazin35
.
Keduanya membahas ilmu falak secara umum, mulai dari arah kiblat, penentuan
awal waktu shalat, penentuan awal bulan qamariyah, hingga gerhana matahari
maupun gerhana bulan. Ilmu Falak oleh Abdur Rachim juga menjelaskan sekilas
32
Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap
Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003. 33
Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam
Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,
2004 34
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi
Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006 35
Muhyiddin Khazin, loc. cit.
16
tentang awal waktu shalat, namun pembahasan di dalamnya lebih ditekankan pada
sisi astronominya.
Selain itu, ada beberapa tulisan mengenai waktu shalat, seperti Rinto
Anugraha dalam tulisannya Waktu-Waktu Shalat, telah menjelaskan beberapa hal
terkait dengan waktu shalat lima waktu. Sedangkan tulisannya yang berjudul Cara
Menghitung Waktu Shalat, menyajikan cara perhitungan waktu shalat dengan
menggunakan sejumlah rumus matematika.36
Awal Waktu Salat Perspektif Syar’i dan Sains oleh Susiknan Azhari
memadukan dalil-dalil waktu shalat dengan penggambaran dari segi astronomi
mengenai posisi-posisi matahari dalam waktu shalat.37
Dalam karya Mukhtar Salimi, Ilmu Falak; Penentapan Awal Waktu Shalat
dan Arah Kiblat berisikan landasan syar‟i dan landasan astronomi waktu shalat,
serta praktek pembuatan jadwal waktu shalat. Sedangkan buku Pedoman
Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh
Departemen Agama RI, berisikan cara menghitung awal waktu shalat dengan
dilampiri tabel-tabel jadwal awal waktu shalat sepanjang masa di beerapa wilayah
di Indonesia.38
Almanak Hisab Rukyat39
memaparkan tentang perjalanan semu matahari
yang relatif tetap maka dengan mudah memperhitungkan terbit, tergelincir dan
terbenamnya matahari, demikian pula kapan matahari itu akan membuat bayang-
36
http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010 37
http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010 38
Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang
Masa, Jakarta, 1994 39
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981
17
bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan
untuk tiap hari-hari sepanjang tahun dan tentunya orang akan mudah melakukan
shalat hanya dengan melihat jadwal atau mendengar azan berdAsharkan
perhitungan ahli hisab. Jadi jelas bahwa Almanak Hisab Rukyat ini hanya sekedar
menggambarkan perjalanan matahari yang mana perjalanan matahari tersebut
mempengaruhi masuknya awal waktu shalat.
Almanak Djamilijah40
oleh Sa‟aduddin Djambek, pada bagian kedua buku
ini memuat jadwal-jadwal lima waktu shalat dalam masa satu tahun, tetapi hanya
pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29 pada tiap-tiap masehi. Dan dalam buku
ini dilengkapi daftar koreksi, agar jadwal tersebut dapat digunakan di berbagai
daerah.
Kitab Ilmu Falak dan Hisab41
oleh KRM. Wardan, memuat teori
berdasarkan ilmu yang berhubungan dengan tata surya, dan bola langit serta
istilah-istilah lingkaran untuk menentukan posisi benda langit. Dan juga memuat
praktik hisab untuk menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan penggunaan
rubu‟.
Untuk kitabnya, ada kitab Khulashotul Wafiyah oleh KH. Zubair Umar Al
Jailani, Sulamun Nayyirain, dan kitab-kitab lainnya. Thibyanul Miqat yang di
dalamnya terdapat metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan
rubu‟.
Untuk mengetahui istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing yang
terkait dengan persoalan hisab rukyah, maka penulis menelusurinya dalam Kamus
40
Sa‟aduddin Djambek, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953 41
KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957
18
Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin42
, serta karya Susiknan Azhari yang berjudul
Ensiklipedi Hisab Rukyah43
.
Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi
pelatihan waktu shalat baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber
yang terkait. Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang
membahas secara spesifik tentang pengaruh data ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat.
F. Metode Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kualitatif,44
1. Sumber data
Karena penelitian ini merupakan studi analisis terhadap urgensi
ketinggian tempat yang penulis telusuri lewat pemikiran para ahli falak dan
pendapat-pendapatnya, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan
data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan
data sekunder.
a. Data primer yang dimaksud merupakan data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian. Data ini berupa dokumentasi yaitu berbentuk
42
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. 43
Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 44 Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam
bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data
dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai
ketentuan statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.
19
artikel, makalah seminar, atau buku karya para ahli falak, maupun
wawancara dari beberapa ahli falak yang penulis angkat pemikirannya
mengenai pengaruh ketinggian tempat dalam formulsai penentuan awal
waktu shalat.
b. Data Sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh oleh peneliti
dari subjek penelitiannya atau bukan data yang datang langsung dari para
ahli falak yang diangkat pemikirannya atau data-data yang terkait dengan
penelitian ini, baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku
maupun wawancara.
2. Metode pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Library Research (studi kepustakaan) yakni melakukan penelusuran
untuk memperoleh data-data yang ada relevansinya dengan
permasalahan. Seperti dokumen ataupun hasil penelitian mengenai awal
waktu shalat, yaitu buku-buku awal waktu shalat maupun buku-buku
falak secara umum, buku-buku astronomi dan juga buku-buku geodesi,
serta karya-karya tulis terkait mengenai masalah penelitian dalam bentuk
lainnya.
b. Wawancara dengan para pihak yang berkaitan atau yang menguasai
materi objek penelitian waktu shalat maupun ketinggian tempat, yaitu
dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo) terkait
dengan kalender Lirboyo, Slamet Hambali terkait dengan kalender untuk
daerah Semarang, Rinto Anugraha terkait dengan formulasi kerendahan
20
ufuk, Dr. Ing. Khafid terkait dengan ketinggian tempat serta beberapa
pihak yang berkaitan dengan data ketinggian tempat.
3. Metode Analisis Data
Dengan sifat penelitian deskriptif analisis kritis. Deskripsi (analisis
dokumen/analisis isi/content analisis) diperlukan untuk menjelaskan
kebenaran dan kesalahan dari suatu analisis yang dikembangkan secara
berimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan obyek yang diteliti.
Dalam konteks penelitian ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan
beberapa pemikiran tokoh falak, diantaranya Slamet Hambali, Abdur Rachim,
M. Uzal Syahruna, dan Muhyiddin Khazin. Sehingga dengan menggunakan
metode induktif komparatif akan mendapatkan akurasi dalam analisisnya.
Metode induktif ini digunakan dalam rangka membuat konklusi yang dimuat
dari hal-hal yang bersifat khusus menuju pembahasan yang bersifat umum.
Metode komparatif penulis gunakan untuk mengkomparasikan
pendapat antara ahli falak satu dengan yang lain yang berhubungan dengan
skripsi ini.
21
G. Sistematika Penelitian
Bab I : Pendahuluan
Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan
Bab II : Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Konvergensi Syar’i dan
Sains serta Faktor yang Mempengaruhinya
Bab ini meliputi landasan teori yang memuat dasar hukum
waktu shalat yaitu dalil-dalil waktu shalat, penafsiran dan pendapat para
ulama‟ tentang waktu shalat serta pembacaan awal waktu shalat secara
astronomi yang kemudian dituangkan dalam formulasi rumus-rumus
waktu shalat yang selama ini dipakai dalam perhitungan awal waktu
shalat. Serta memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan
awal waktu shalat, salah satunya ketinggian tempat.
Bab III : Penggunaan Data Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan
Awal Waktu Shalat
Bab ini meliputi sekilas tentang ketinggian tempat, pendapat
beberapa ahli falak mengenai penggunaan ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat. Disini penulis mencoba
menelusurinya dengan melihat beberapa formulasi penentuan awal
waktu shalat yang dipakai oleh beberapa ahli falak baik yang metode
klasik maupun metode yang dipakai masyarakat sekarang ini. Pada bab
ini juga akan dipaparkan jadwal awal waktu shalat sebagai hasil
22
perhitungan beberapa ahli falak berdasarkan penggunaan data
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat
tersebut.
Bab IV : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi
Penentuan Awal Waktu Shalat
Analisis urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu
shalat.
Analisis formulasi penentuan awal waktu shalat yang ideal terkait
formulasi kerendahan ufuk yang berbeda-beda
Analisis penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh
ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.
Bab VI : Penutup
Bab ini berisi jawaban dan kesimpulan atas rumusan masalah, saran,
kritik dan kata penutup.
23
BAB II
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT KONVERGENSI
SYAR’I DAN SAINS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
A. Dasar Hukum Waktu Shalat
1. Dalil Waktu Shalat
a. QS. An Nisa‟ ayat 103
Artinya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟:
103)37
b. QS. Thaha ayat 130
Artinya:
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari
dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS.
Thaha: 130)38
37
Departemen Agama Republik Indonesia, loc cit, hlm. 138 38
Ibid, hlm. 492
24
c. QS. Al Isra‟ ayat 78
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu
disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)39
d. QS. Al Hud ayat 114
Artinya:
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
(QS. Al Hud: 114)40
e. QS. Ar Rum ayat 17-18
Artinya:
Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari
dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di
langit dan bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu
kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)41
39
Ibid, hlm. 436 40
Ibid, hlm. 344-345 41
Ibid, hlm. 643
25
f. Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
(رواه احمد والنظائ والتزمذى)
Artinya :
Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW.
Jibril a.s lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah
kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia
datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata. Bangunlah lalu
sembahyanglah kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang
sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu
Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi shalat Maghrib dikala
matahari terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya‟
lalu berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Isya‟
dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya
di waktu fajar lalu berkata : bangun dan shalatlah, kemudian Nabi shalat
fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.
Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia
berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi shalat Dzuhur
dikala bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi
kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah
kemudian Nabi shalat Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali
26
sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib
dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah.
Kemudian ia datang lagi di waktu Isya‟ di kala telah lalu separo malam,
atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat
Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar
dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar,
kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (H.R
Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 42
g. Hadits Nabi Yang Diriwayatkan Abdullah Bin Amar R.A
عن عبد اهللا بن عمز زضى اهللا عنه قال ان النبى صلى اهللا عليه وظلم قال وقت
الظهز اذا سالت الشمص وكان ظل كل الزجل كطوله مالم يحضز العصر ووقت
العصر مالم تصفز الشمص ووقت صالة المغزب مالم يغب الشفق ووقت صالة
العشاء الى نصف اليل االوظط ووقت صالة الصبح من طلوع الفجز مالم
(رواه مظلم)تطلعالشمص
Artinya :
Dari Abdullah bin Amar RA berkata: rsulullah bersabda: waktu Dzuhur
apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama
dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar dan waktu
Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu Magrib selama
syafaq belum terbenam dan waktu Isya sampai pertengahan malam dan
waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum
terbit.(HR Muslim).
2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama‟
a. Surat An-Nisa‟ Ayat 103
Dalam Tafsir al Misbah,44
kitaban mauqutan dalam ( ِكَتابًا َمْوُقوتًا )
surat An Nisa 103 diartikan sebagai shalat merupakan kewajiban yang tidak
42
Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للتزمذي, kitab abwab as-shalat, no 001 43
Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994, hlm.
547 44
M.Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005, hlm. 570
27
berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab
apapun. Hal ini dipertegas oleh Tafsir Manaar45
bahwa sesungguhnya shalat
itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang كتاًبا
telah ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. موقوًتا disini menunjukkan arti
sudah ditentukan batasan-batasan waktunya.
Dilanjutkan dengan keterangan Tafsir Ibnu Katsir,46
bahwa firman
Allah Ta‟ala “Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang
ditentukan waktunya bagi kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan
waktunya seperti ibadah haji (maksudnya, jika waktu shalat pertama habis
maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia
milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu
suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya
dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan “silih berganti
jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul” artinya jika suatu waktu
berlalu, maka muncul waktu yang lain.
Sedangkan, Az Zamakhsyariy mengatakan bahwa seseorang tidak
boleh mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik
dalam keadaan aman atau takut.47
Penggunaan lafaz “Kaanat” menujukkan
ke-Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu
45
Rasyid Ridho, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, hlm. 383 46
Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3. Gema Insani:Jakarta, hlm.292. 47
Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
28
shalat tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al
„Izz Al Hamadaniy.48
Maka konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa
dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan
dalil-dalil baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Hadis.
b. Surat Thoha Ayat 130
Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa ”Qabla Thulu‟i
asy-Syamsyi” sebelum matahari terbit mengisyaratkan shalat Subuh. ”Wa
Qabla Ghurub” dan sebelum terbenamnya adalah shalat Ashar.49
Firman
Allah ”wa min anaail al-lail” pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat
Maghrib dan Isya‟, namun sebagian ulama‟ menfsirkannya sebagai shalat
tahajud pada saat malam.50
Sedang ”wa min athrafa an-nahar” pada
penghujung-penghujung siang adalah shalat Dzuhur.
c. Surat Al-Isra‟ Ayat 78
Dalam Tafsir Al Ahkam51
dijelaskan bahwa semua mufasir telah
sepakat bahwa ayat ini menerangkan shalat yang lima dalam menafsirkan
kata لدلوك الشمض dengan dua pendapat, yaitu:
48
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I‟rab Al Qur‟ani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 49
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 8, hlm. 399-400 50
Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, jilid 3, hlm. 1987. Surat Thaha ayat 130 ini
dilatarbelakangi ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat, beliau mengadahkan
wajah ke langit melihat cahaya bulan, lalu berkata: ”Kalian melihat Tuhan seperti aku melihat
bulan ini, jika kalian sanggup mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam
maka lakukanlah.” Lalu beliau membaca, ”Wa sabbih bi hamdi Rabbika qabla thulu‟i asy syamsi
wa qabla ghurubiha.” Selengkapnya baca Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al
Arabiyah, tt, hlm. 221 51
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cet I,
hlm. 512
29
1. Tergelincir atau condongnya matahari dari tengah langit. Demikian
diterangkan Umar bin Khatab dan putranya.
2. Terbenam matahari. Demikian diterangkan Ali bin Mas‟ud, Ubay bin
Ka‟ab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat di atas yang meninggalkan
perintah melaksanakan shalat sampai إلي غظق الليل yakni kegelapan malam.
Demikian tentang al-Biqa‟i ulama syiah kenamaan, Thobatha‟i berpendapat,
bahwa kalimat لدلوك الشمض إلي غظق الليل mengandung empat kewajiban
shalat, yakni ketiga yang disebut Al-Biqa‟i dan shalat isya yang ditunjuk
oleh ghasaki lail. Kata إلي غظق الليل pada mulanya berarti penuh. Malam
dinamai إلي غظق الليل karena angkasa dipenuhi oleh kegelapannya.52
Sedangkan kata وقزأن الفجز diartikan sebagai shalat Subuh.
Demikian disepakati juga oleh Auzair dan Abu Hanifah, Malik dan Syafi‟i,
Ibnu Umar, Ibnu Mas‟ud, Al Hasan, Adh Dhahak dll.
Atas dasar ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas
termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah “ mulai tergelincir
matahari hingga gelap malam, mencakup shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib
dan isya.53
d. Surat Hud Ayat 114
Ayat ini mengajarkan dan laksanakanlah shalat dengan teratur dan
benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi
52
M. Quraish Shihab, op cit, vol: 7, hlm. 523 53
Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, .hlm. 85
30
siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, zhuhur, dan Ashar dan pada
bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya‟ dan juga bisa witir
atau tahajud.54
Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang
masuk ke dalam pembatasan waktu ini melengkapi semua waktu shalat,
yaitu:
Petang : waktu antara Dzuhur dan Maghrib, yaitu shalat Ashar,
shalat Maghrib adalah Isya‟ yang pertama, dan „atamah‟ adalah Isya‟
yang kedua yaitu ketika mega merah telah menghilang.
Yang dimaksud dengan matahari tergelincir adalah mulai
tergelincirnya matahari sampai ke permukaan malam masuk ke
dalamnya, selain Shalat dzuhur adalah shalat Ashar, Maghrib, dan
Isya‟.55
e. Surat Ar Rum ayat 17-18
Adh-Dhahak dan Said bin Jubair berkata, yang dimaksud dengan
tasbih dalam ayat ini adalah shalat 5 waktu.56
“hiina tumsuuna” berarti
waktu shalat Ashar; “hiina tushbihuun” adalah shalat Subuh; “wa „asyiyaa”
54
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 6, hlm. 355-356. Dalam suatu riwayat dari Ibnu
Mas‟ud r.a. dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita secara tidak
sah lalu datang menghadap Rasul dan menberitahukan peristiwa tersebut kapada Rasul. Maka
wahyu Allah pun turun, (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat). Laki-laki itu bertanya, “Apakah perintah itu khusus untukku?“ Nabi Saw
menjawab,“Perintah itu untuk semua umatku (yang menghadapi masalah serupa)“. Lihat
selengkapnya pada Hadis riwayat Bukhari no 327, dalam Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al
Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1, hlm. 477 55
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al Qur‟anul Majid An-Nur.
Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000, hlm. 184-186 56
Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, op cit, hlm. 759
31
diartikan sebagai bahagian malam, yaitu shalat waktu Maghrib dan Isya‟;
“hiina tudzhiruun” diartikan sebagai shalat Dzuhur. 57
Dari beberapa penafsiran ayat-ayat tentang awal waktu shalat tersebut,
maka para ulama sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, yaitu
Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya‟ dan Subuh. Meskipun sepakat bahwa waktu
shalat terdiri dari 5 waktu shalat, namun sistem waktu shalat Syiah agak
berbeda, yaitu Syiah dikenal dengan sistem tiga waktunya walaupun jumlah
shalat yang dikerjakan sama pada umumnya yaitu lima shalat.58
Argumentasi yang dikemukakan oleh Syiah Itsna Asyariyah berkaitan
dengan waktu-waktu tersebut adalah ayat-ayat Al-Qur‟an yang
mengemukakan tentang waktu shalat yang hanya menyebut tiga waktu. Yang
dimaksud dengan طرفي النهار atau kedua tepi siang pada ayat tersebut adalah
shalat Shubuh untuk tepi siang yang pertama. Sedangkan untuk tepi yang
kedua adalah shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan yang dimaksud dengan
adalah shalat Maghrib dan Isya serta ayat-ayat lain yang dalam زلفا من الليل
penafsirannya hampir serupa, yakni penggabungan 2 shalat dalam satu waktu.
Jadi, berdasarkan penafsiran tersebut mereka memperbolehkan shalat dalam
tiga waktu.59
57
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, jilid 7, hlm. 5496 58
Lihat pada Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh al-Imam Ja‟far ash-Shadiq, Juz 1,
Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. VII, 2007, hal. 142-145. 59
Dalam pandangan Syiah, setiap waktu shalat mempunyai dua waktu sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-kitab rujukan mereka (Ushul al-Kafi, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad
bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi; Man La Yahduruhu al-Faqih, karya ash-Shadiq Ibnu Babawaih al-
Qummi; Al-Istibshar dan Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad Ibnu al-Hasan
ath-Thusy). Dua waktu bagi setiap shalat adalah sebuah sistem waktu shalat yang memberikan dua
waktu pilihan bagi setiap shalat, yaitu waktu tersendiri dan waktu bersama. Lihat pada M. Quraish
32
Meskipun demikian, sebagian besar ulama dan umat muslim (di
Indonesia khususnya) lebih memilih sistem 5 waktu shalat. Dalam hal ini,
waktu-waktu shalat tersebut yang akan dijelaskan lebih rinci dalam
keterangan hadis-hadis dengan penjelasan para ulama‟ pada sub bab
selanjutnya.
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’i dan Sains
Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah
disebutkan dalam Al-qur‟an, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis
yang menurut penulis jelas penggambarannya mengenai waktu shalat.
Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima
waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi
patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan biosfer bumi
dengan cahayanya, namun dengan bayang-bayang benda atau tongkat istiwa
matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada
Tuhannya. Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan
dalam perhitungannya. Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam
koordinat horizon sangat diperlukan, terutama ketinggian atau jarak zenith.
Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm.
245. Jadi, setiap shalat boleh dikerjakan pada waktu tersendiri boleh juga dikerjakan pada waktu
bersama. Waktu pilihan tersebut hanya berlaku untuk empat waktu shalat saja (tidak berlaku
untuk waktu shalat Shubuh atau Fajar) yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Oleh karena itu,
dalam sistem waktu shalat mereka dikenal tiga waktu, yaitu waktu Dzuhrain untuk shalat Dzuhur
dan Ashar, waktu Isya‟ain untuk waktu Maghrib dan Isya‟ serta waktu fajar untuk shalat Shubuh.
Pendapat tersebut mereka nyatakan dalam sebuah khabar yang berasal dari Imam Ja‟far ash-
Shadiq. Lihat pada Abu Ja‟far Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Al-Kutub al-Arba‟ah al-Ibtishar
(1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005, hal. 102.
33
1. Shalat Dzuhur
.… ر حين سالت الشمضهقم فصله فصلى الظ.…
(kemudian Nabi shalat Dzuhur ketika matahari tergelincir)
.... فصلى الظهز حين صار ظل كل شئ مثله.…
(kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu benda
sama dengan aslinya).
…وقت الظهز اذا سالت الشمص وكان ظل كل الزجل كطوله مالم يحضز العصر…
(waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang
seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu
Ashar)
Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan
shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu
difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya‟, kemudian shalat
Subuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada
malam isra‟ setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian
berdasarkan firman Allah surat Al-Isra‟ ayat 78.60
60
Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur
dkk dari Al-Fiqh „ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa
isra„ mi‟raj disebutkan dalam surat Al-Isra„ ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya
Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan
dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari
Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan
bahwa Rssul saat mi‟raj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50
waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang
selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul,
karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa
mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul
meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam
sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi,
namun Rasul menolak dan berkata,“Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu
membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.“
Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata “Aku telah memberikan perintahKu dan
telah mengurangi beban para hambaKu“. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349
dalam Al Jami„ Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih
dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Su‟dan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin
34
Pada hadis pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa
Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir
matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan
benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada
waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu
melakukan shalat Ashar pada hari pertama.61
Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila
matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat;
hingga bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya atau saat bayang-
bayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata “ka-na”
diathafkan terhadap kata “za-lat”, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap
berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi badannya,
selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir
waktu Dzuhur.62
Dalam hal ini, para ulama‟ sependapat bahwa penentuan awal waktu
Dzuhur, adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam
menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang
bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam
Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat
pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib,
Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi
Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Ta‟dil, Beirut: Dar Al Kutub,
1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi,
Mizan Al I‟tidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515. 61
Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306 62
Ibid, hlm. 305
35
Malik, Syafi‟I, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah
ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.63
Secara astronomis, tergelincirnya matahari diwaktu Dzuhur dapat
dikatakan bahwa matahari sedang berkulminasi atas, yaitu ketika matahari
meninggalkan meridian. Secara ilmu pasti ialah pada saat titik pusat matahari
bergerak dari meridian, atau saat bayang-bayang benda condong ke arah Timur
dan sudut yang dihasilkan dengan garis i‟tidal (garis timur-barat) bukan lagi
90°. 64
Tinggi kulminasi matahari setiap hari berubah, karena adanya deklinasi.
Untuk mengetahui besarnya tinggi kulminasi, harus diketahui lebih dahulu zm
matahari, yaitu jarak titik pusat matahari saat kulminasi dari zenith yang dapat
diperoleh dengan rumus, 𝑧𝑚 = [𝜑 – 𝛿 ]. Dengan kata lain, jarak zenith titik
pusat matahari saat kulminasi besarnya sama dengan harga mutlak lintang
tempat dikurangi deklinasi. Oleh karena itu, dalam penentuan awal waktu
shalat, maka dapat dirumuskan bahwa jarak zenit (bu‟du as-sumti), ℎ =
90° – 𝑧𝑚.65
Atau biasanya diambil dua menit setelah tengah hari.66
Dan
beberapa hisab praktis, hanya menghitung waktu tengah antara terbit dan
tenggelam matahari. waktu pertengahan saat matahari berada di meridian
63
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66 64
Abd. Rachim, Op cit, hlm. 23 65
Ibid, hlm. 14-15 66
Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to
Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55
36
(Meridian Pass) yang dirumuskan dengan 𝑀𝑃 = 12 – 𝑒.67
Waktu inilah yang
menjadi patokan hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.
2. Shalat Ashar
…. فصلى العصز حين صار ظل كل شيئ مثله.…
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama
dengan aslinya)
.… فصلى العصز حين صار ظل كل شئ مثله.…
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari
aslinya)
.… ووقت العصر مالم تصفز الشمص.…
(dan waktu Ashar selama matahari belum menguning)
Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar
adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih
menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a
Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan
sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak
pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.68
Menurut Imam Malik akhir waktu Dzuhur adalah waktu musyatarok
(waktu untuk dua shalat), Imam Syafi‟i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat
akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayang-
bayang suatu benda melebihi panjang benda sebenarnya. Sedangkan Abu
67
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 88 68
Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74
37
Hanifah berpendapat bahwa awal waktu Ashar ketika bayang-bayang sesuatu
sama dengan dua kali bendanya.69
Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan
antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam
hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda
itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafi‟i)70
, dalam
hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin
Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum
terbenamnya matahari kira-kira satu raka‟at (pendapat Ahli Dhahir).71
Kedua waktu masuknya waktu Ashar ini dimungkinkan karena
fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim
atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada
waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu
lebih panjang dari pada tongkatnya.
Sementara pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada
waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di
beberapa negara Eropa) dianalisir sebagai solusi yang dimaksudkan untuk
69
Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2, Beirut Libanon : Darul
Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa,
70
Menurut Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu
ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika
habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama
dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat
pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-
Kitab, Juz I, tt, hlm 153. 71
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm.
205.
38
mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin.72
Untuk masyarakat
Indonesia sendiri, digunakan pendapat yang pertama, yaitu masuknya waktu
Ashar adalah saat bayang-bayang seseorang atau suatu benda sama dengan
seseorang atau benda tersebut. Secara astronomis dapat digambarkan sebagai
berikut:
AB = tongkat tegak lurus sepanjang a
Saat kulminasi, bayang-bayang ujung tongkat A jatuh pada titik C.
Bayang seluruhnya ialah B-C yang panjangnya b.
CAm menuju pada titik pusat matahari sewaktu di meridian. Jadi sudut
zAm ialah jarak dari titik zenith ke titik pusat matahari yang dinamakan zm.
Bila matahari bergerak ke Barat melewati titik kulminasi dan kedudukannya
semakin rendah, mis. di titik as, maka bayangan tongkat AB semakin panjang.
Pada awal Ashar, panjang bayangan itu adalah BCD, yaitu BC + CD. Jadi
panjang bayang-bayang AB waktu Ashar = b + a.
72
Departemen Agama RI, op cit, (Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa), hlm
29. Sedangkan Saadoe‟ddin Djambek dalam pendapatnya menyatakan bahwa di antara dua
pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi‟i yang dijadikan landasan dalam penentuan awal waktu
salat Ashar adalah pendapat Imam Hanafi dengan alasan pendapat Imam Hanafi juga
mempertimbangkan daerah-daerah kutub, dimana matahari pada awal Dzuhur tidak begitu tinggi
kedudukannya di langit dan dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dari
pada ketika matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit seperti di negeri kita. Jika kita
menggunakan pendapat Syafi‟i sebagai syarat masuknya awal waktu Ashar maka masuknya waktu
Asar akan lebih cepat dan akibatnya waktu Dzuhur menjadi terlalu pendek dan waktu Asar akan
terlau panjang. Selengkapnya baca Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II
Beirut : Dar al-Fikr, 1989, I : 509. Baca juga Hasbi ash-Shiddiqie. Pedoman Salat, cet. X , Jakarta
: Bulan Bintang, 1978, hlm. 128. Perhatikan pula Saadoe'ddin Jambek, Salat dan Puasa di daerah
Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm 9.
39
A
D C B
Gambar 1. Bayangan waktu Ashar
Sudut ABD ialah tinggi matahari pada awal waktu Ashar,
cotg Δ ADB = BD/AB
cotg Δ ADB =b + a
a=
b
a+
b
a=
b
a + 1
b
a ialah tan Δ BAC atau tg Δ zAm, jadi tan zm.
sehingga diperoleh rumus:
Cotangent tinggi Ashar sama besarnya dengan tangens jarak zenith titik
pusat matahari sewaktu berkulminasi, ditambah dengan bilangan satu. Adapun
akhir waktu Ashar adalah ketika terbenamnya matahari.73
3. Shalat Maghrib
.… فصلى المغزب حين وجبت الشمض.…
(Nabi shalat Magrib ketika matahari terbenam)
.… مثله ثم جاءه المغزب وقتا واحدا لم يشل عنه.…
(kemudian datang lagi kepada-Nya diwaktu Magrib dalam waktu yang
sama tidak bergeser dari waktu yang sudah)
73
Abdr. Rachim, op cit, hlm. 24-25
𝑐𝑜𝑡𝑔 ℎ𝑎 = 𝑡𝑎𝑛 𝑧𝑚 + 1
a
b
Z
m
a
S
40
.…ووقت صالة المغزب مالم يغب الشفق.…
(dan waktu magrib selama syafaq belum terbenam)
Dari kedua hadis, ada kesepakatan bahwa awal waktu Maghrib adalah
ketika matahari terbenam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang akhir
waktu shalat Maghrib. Imam Hanafi, Hambali, dan Syafi‟i, berpendapat bahwa
waktu Maghrib adalah antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya
mega atau sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.74
Sedangkan Imam Maliki berpendapat, sesungguhnya waktu Maghrib
sempit, ia hanya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan
dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang termasuk di dalamnya, cukup
untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh mengakhirkanya (mengundurnya) dari
waktu ini, ini hanya pendapat Maliki saja.75
Secara astronomi, terbenamnya matahari yang menjadi tanda masuknya
awal waktu Maghrib ialah ketika seluruh piringan matahari berada di bawah
ufuk yang biasa dikatakan posisi matahari -1°. Pada saat tersebut, garis ufuk
bersingungan dengan piringan matahari bagian atas. Sedangkan besar jarak
titik pusat matahari ke ufuk ialah seperdua garis tengah matahari. Garis tengah
matahari rata-rata ialah 32‟, jadi jarak titik pusat matahari ke ufuk ialah 12 ×
74
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 206 75
Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm.75. Untuk akhir waktu Maghrib, ada
riwayat mengatakan pada hilangnya mega merah (Asy Syafaq Al Ahmar) menurut Qoul Jadid yang
sependapat dengan Abu Ishaq, Ats Tsaury, Abu Tsaur, Ashab Ar Ra‟yi dan sebagian Ashab Asy
Syafi‟i. Dan ada juga riwayat yang mengatakan bahwa waktu Maghrib hanya seukuran Wudhu,
adzan, iqamat, shalat Maghrib, dzikir dan shalat sunnah dua raka‟at. Pendapat kedua ini menurut
Qaul Qadim Imam Syafi‟i.
41
32 = 16‟.76
Oleh karena itu, dalam penentuan waktu Maghrib diformulasikan
dengan menambah jarak titik pusat matahari tersebut; atau yang biasa disebut
dengan semidiameter matahari; dengan koreksi reraksi yang menggunakan data
refraksi rata-rata pada saat Maghrib senilai 0° 34‟; serta kerendahan ufuk.
Sehingga diperoleh rumus untuk mencari tinggi matahari (ho) pada saat
Maghrib adalah sebagai berikut:
ho = - (ku + ref + sd)
4. Shalat Isya‟
.… فصلى العشاء حين غاب الشفق.…
(kemudian Nabi shalat Isya‟ ketika mega merah telah terbenam)
... جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل اوقال ثلث الليل فقال قم فصله فصلى العشاء ...
(kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah lewat
separuh malam atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian
Nabi shalat Isya‟)
.… ووقت صالة العشاء الى نصف اليل االوظط.…
(dan waktu Isya‟ sampai pertengahan malam)
Permulaan waktu Isya‟ dari keterangan hadis tersebut dapat diketahui
bahwa pada saat hilangnya mega merah dan berlangsung hingga tengah malam.
Namun, dari kedua hadis tersebut, hadis kedua menyebutkan bahwa batas
waktu Isya‟ hingga tengah malam. Sedangkan pada hadis pertama, disebutkan
bahwa Jibril baru datang ;dihari kedua; ketika telah lewat separuh malam atau
sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Dari situ, ada tiga pendapat
untuk batas waktu Isya‟, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut
76
Abd. Rachim, op cit, hlm. 26
42
Syafi‟i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam
Malik), dan terakhir sampai terbit fajar (menurut imam Daud).77
Di Indonesia, para ulama sepakat bahwa waktu Isya‟ ditandai dengan
mulai memudarnya mega merah (asy-Syafaq al-Ahmar) di bagian langit
sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam. Peristiwa ini dalam falak
ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight).78
Secara astronomis, apabila matahari telah di bawah ufuk, cahaya yang
langsung mengenai bumi telah tidak ada, yang ada hanya cahaya yang
dipantulkan dan dibiaskan oleh partikel-partikel halus yang berada di udara
hingga mencapai mata pengamat. Kadar penyebaran cahaya oleh partikel-
partikel tersebut berbanding sebagai kebalikan pangkat empat panjang
gelombang. Gelombang yang terpendek ialah sinar biru, sedangkan yang
77
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 210. Pendapat pertama bahwa akhir waktu Isya„ adalah pada pertengahan malam dilansir oleh
Ats Tsaury, Ashab ar Ra‟yi (ulama yang condong pada akal dalam proses ijtihadnya), Ibnu Al
Mubarak, Ishaq bin Rawaih dan Abu Hanifah. Sedangkan akhir waktu Isya„ ialah sepertiga malam
seperti yang dilansir oleh Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Asy Syafi‟i
(pada salah satu riwayat dari Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Manshur). Untuk akhir waktu Isya„
saat terbitnya fajar sebagaimana dilansir oleh Asy Syafi‟i (pada riwayat lain), Abdullah bin Abbas,
Atha„, Thawus, Ikrimah dan Ahlu Ar Rifahiyyah. Selengkapnya lihat pada Sa‟id bin Muhammad
Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al
Arabiyah, tt, hlm. 56 78
There is one phenomenon that lengthens the fraction of the day given over to daylight.
Even after the sun has set, some sunlight is received by the observer, scattered and reflected by the
earth‟s asmosphere. As the sun sinks further below the horizon, the intensity of this light
diminishes. The phenomenon is called twilight and is classified as civil, nautical or astronomical
twilight. Civil twilight is said to end when the sun‟s centre is 6° below horizon, nautical twilight
ends when centre 12° below the horizon, while astronomical twilight ands when the centre of the
sun‟s is 18° below the horizon. Twilight is a nuisance, astronomically speaking, often preventing
the observation of very faint celestial objects. We shall see below that in some latitudes during part
of the year, twilight is indeed continuous throughtout the night, evening and morning twilight
merging because the sun‟s centre at all times of the night is less than 18° below the horizon. Lihat
A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy Principles and Practise, published by Adam Hilger, Bristol:
Techno House, 1936,, hlm. 83.
43
paling panjang adalah sinar merah. Sinar merah ini yang biasa disebut mega
merah.79
Waktu Isya‟ dapat diketahui pada saat peristiwa dusk astronomical
twilight, yaitu ketika langit tampak gelap karena cahaya matahari di bawah
ufuk tidak dapat lagi dibiaskan oleh atmosfer. Dalam referensi standar
astronomi, sudut altitude untuk astronomical twilight adalah 18° di bawah
ufuk, atau sama dengan -18°.80
Hal ini berarti, bayangan merah setelah terbenamnya matahari tidak
terlihat lagi jika matahari berada pada 18° di bawah ufuk (-18°), dengan jarak
pusat matahari sama dengan 108° (posisi matahari tenggelam 90° + 18°).
Ketentuan h Isya‟ -18° ini dipegang oleh Saadoeddin Djambek dan dalam
beberapa keterangan-keterangan pada berbagai kesempatan oleh Abdur
Rachim serta Husen kamluddin.81
5. Shalat Subuh
.… فصلى الفجز حين بزق الفجز الفجز او قال ططع البحز.…
(lalu Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing atau ia berkata diwaktu
fajar bersinar)
.…جاءه حين اطفز جدا فقال قم فصله فصلى الفجز.…
(kemudian ia datang lagi kepada-Nya dikala telah bercahaya benar dan ia
berkata: bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Fajar)
.… ووقت صالة الصبح من طلوع الفجز مالم تطلعالشمص.…
79
Abd Rachim, op cit, hlm. 38-39 80
Rinto Anugraha, dalam artikel yang ditulis, Cara Menghitung Waktu Shalat, yang
diakses di www.eramuslim.com pada tanggal 13 November 2010 81
Saadoe‟ddin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan
Bintang, 1394, hlm. 32
44
(dan waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum
terbit)
Kedua hadis telah jelas menyebutkan bahwa waktu Subuh adalah waktu
mulai terbitnya fajar shadiq dan berlangsung hingga terbitnya matahari. Para
ahli fiqh sepakat dengan pendapat tersebut, meskipun ada beberapa ahli fiqh
Syafi‟iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu Subuh adalah sampai
tampaknya sinar matahari.82
Fajar shadiq83
dapat dipahami sebagai dawn astronomical twilight
(fajar astronomi), yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi
mampu membiaskan cahaya matahari dari bawah ufuk. Cahaya ini mulai
muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada
sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108° derajat). Pendapat
lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari
20° derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari adalah 110° (90° + 20°).84
Di Indonesia pada umumnya, Subuh dimulai pada saat kedudukan
matahari 20° derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat
misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe‟ddin Djambek
disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu
pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai
dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan
terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar
82
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 213 83
Fajar shidiq disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Berbeda
dengan fajar kidzib (cahaya zodiak), yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-
debu antarplanet. 84
Abd Rachim, op cit, hlm.39
45
didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20° dibawah ufuk sebelah timur.85
Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu -1°.
C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
Data yang diperlukan untuk menghitung awal waktu shalat, adalah sebagai
berikut :
1. Meridian Pass (MP)
Saat matahari berkulminasi dinyatakan dengan istilah Meridian Pass
(MP). Data saat kulminasi matahari dapat diperoleh dengan cara mengurangi
Waktu Hakiki (waktu matahari) dengan Perata Waktu (Equation of Time yang
disimbolkan dengan e). Dengan demikian MP dapat dirumuskan, MP =
Kulminasi – equation of time atau lebih sederhananya, MP = 12 – e.86
Waktu hakiki atau waktu matahari selalui menunjukkan pukul 12.00
pada saat matahari berkulminasi. Padahal perjalanan harian matahari itu
sebenarnya tidak benar-benar rata. Adakalanya lambat dan adakalanya cepat.
Satu putaran kadang ditempuh dalam 24 jam tepat, kadang kurang, dan kadang
lebih. Akibatnya Waktu Hakiki itu boleh jadi berselisih beberapa menit dengan
Waktu Pertengahan, atau jam arloji, yang jalannya benar-benar rata. Selisih
85
Saadoe‟ddin Djambek, op cit, hlm. 45. Untuk h matahari saat terbitnya fajar shadiq dan
fajar kidzib sendiri terdapat perbedaan dari beberapa kalangan ahli falak dan ahli astronomi. Abu
Raihan Al Biruni berpendapat h matahari untuk waktu Subuh adalah sekitar -15° hingga -18°.
Dalam Al-khulashatul Wafiyah fil falaki Jadawidil Lughritimiyah (Zubair umar al-jaelani) hlm.
176, dan Ilmu Falak (Kosmografi) (P. Sima-Mora) hlm.82 disebutkan bahwa h matahari saat
Subuh adalah -18°. Sedangkan dalam Taqribul Maqshad fil „amali bir rubu‟il Mujayyab
(Muhammad Muhtar bin Atharid al-Jawi al-Bogori) hlm. 20, ad-Durusul Falakiyah (Muhammad
Ma‟shumm bin Ali al-Maskumambangi) hlm.12, dan Ilmu Hisab dan Falak (KRT Muhammad
Wardan Diponingrat) hlm. 72, menyebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -19°
sebagaimana Ibnu Yunus, Al Khalily, Ibnu Syathhir dan Ath Thusiy.. 86
Muhyiddin Khazin, Loc cit
46
antara Waktu Hakiki dengan Waktu Pertengahan itu disebut Perata Waktu. Jika
perjalanan matahari itu lambat maka nilai perata waktu negatif (-), dan jika
perjalanan matahari cepat maka harga perata waktunya positif (+).
2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ( t )
Dinamakan sudut waktu, karena bagi semua benda langit yang terletak
pada lingkaran waktu yang sama akan berkulminasi pada waktu yang sama
pula (atau jarak waktu yang memisahkan benda langit tersebut dari
kedudukannya sewaktu berkulminasi sama). Besarnya sudut waktu itu
menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit tersebut
dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Jika benda langit sedang
berkulminasi, maka harga t-nya = 0°. Besar t diukur dengan derajat sudut dari
0° -180° dan selalu berubah ± 15°/ jam, karena gerak harian benda-benda
langit.87
Sudut waktu adalah sudut yang dibentuk oleh setiap lingkaran waktu
dengan lingkaran meridian. Sudut waktu matahari adalah jarak matahari dari
titik kulminasi diukur sepanjang lintasan harian. Sudut waktu disebut juga
Hour Angle atau dalam bahasa Arab disebut fadl al-daair. Sudut waktu ada dua
macam :
a. Sudut waktu Positif (+) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang sudah
melewati titik kulminasinya, dari 0 sampai 180.
b. Sudut waktu Negatif (-) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang belum
melewati titik kulminasinya, dari 0 sampai -180.
87
Abd Rachim, op cit, hlm. 7
47
Rumus Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ( t ) : 88
𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿
Keterangan:
t = Sudut waktu
Ф = Lintang Tempat
δ = Deklinasi Matahari
h = Ketinggian Matahari
3. Koreksi Waktu Daerah (KWD)
Untuk memindahkan waktu istiwa‟ yang dihasilkan oleh perhitungan
awal waktu shalat yang menggunakan data-data GMT, maka harus dilakukan
koreksi untuk mengetahui waktu setempat. Rumus koreksi waktu daerah :
(dh - tp)÷15
Keterangan:
λdh: Bujur Daerah
λtp : Bujur Tempat
Sebagai upaya dalam mengatasi kesulitan karena adanya perbedaan
waktu pada setiap wilayah di dunia, maka dibentuk waktu daerah yang
disesuaikan menurut bujur daerah tersebut yang berpedoman dengan meridian
yang melintasi kira-kira pada pertengahan daerah bersangkutan. Bujur daerah
Indonesia sendiri sejak tanggal 1 Januari 1964 terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Waktu Indonesia Barat: 105º dengan zona waktu GMT + 7j
b. Waktu Indonesia Tengah: 120º dengan zona waktu GMT + 8j
c. Waktu Indonesia Timur: 135º dengan zona waktu GMT + 9j
88
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 81
48
Sebagai batas diantara bujur daerah-daerah waktu tersebut diambil dari
garis bujur yang terdapat pada pertengahan meridian-merdian waktu daerah
yang berbatasan yang juga ditentukan oleh perbatasan pemerintahan dari
daerah tersebut.89
4. Ihthiyat
Ialah suatu langkah pengamanan dengan cara menambahkan atau
mengurangkan waktu agar jadwal waktu shalat tidak mendahului awal waktu
atau akhir waktu.90
Ihtiyat dari segi kegunaannya dibagi menjadi tiga, yaitu:91
a. Ihtiyat guna luasnya daerah, berarti memindahkan meridian yang kita
pedomani ke batas sebelah barat ataupun sebelah timur dari daerah hisab.
Hal ini digunakan untuk mempertimbangkan perbedaan waktu shalat
antara daerah bagian timur dan barat yang biasanya terdapat selisih dalam
berbuka puasa. Ihtiyat ini juga digunakan untuk menentukan lintang dan
bujur suatu tempat yang biasanya diukur dari suatu titik (markaz) di pusat
kota yang mewakili daerah tersebut.
b. Ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, digunakan untuk mengoreksi
atas data-data yang kita ambil sebagai ketelitian.
c. Ihtiyat guna keyakinan, digunakan untuk menandai waktu imsak (puasa)
yang dimajukan beberapa menit dari awal Subuh atau juga beberapa menit
yang diundurkan dari waktu Dzuhur untuk menghilangkan keragu-raguan
atas larangan mengerjakan shalat pada saat matahari berkulminasi.
89
Abd. Rachim, op cit, hlm. 55-57 90
Depag RI, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Massa,op cit, hlm. 38 91
Abdur Rachim, op cit, hlm. 53
49
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam sebagaimana
Saadoeddin Djambek, mempergunakan ihtiyat + 2 menit, yang dianggap cukup
memberikan pengaman terhadap koreksi data rata-rata dan mempunyai
jangkauan 27,5 – 55 km ke arah barat atau timur.92
Dari keterangan di atas, maka dapat diformulasikan data dan rumus yang
digunakan dalam penentuan waktu shalat adalah sebagai berikut:
1. Meridian Pass
MP = 12 – e
2. Rumus sudut waktu matahari
𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿
3. Rumus tinggi matahari (ho)
- Ashar : Cotan ho = tan zm + 1 atau zm = [φ – δ]
- Maghrib : - (ku + ref + sd)
- 1º
- Isya‟ : - 17 + - (ku + ref + sd)
- 18º
- Subuh : - 19 + - (ku + ref + sd)
- 20º
- Terbit : (ku + ref + sd)
1º
4. Rumus koreksi waktu daerah : Kwd =(dh - tp)÷15
Sehingga rumus awal waktu shalat:
1. Dzuhur = MP + Kwd + i
2. Ashar = MP + t ÷15 + Kwd + i
3. Maghrib = MP + t ÷15 + Kwd + i
4. Isya‟ = MP + t ÷15 + Kwd + i
5. Subuh = MP - t ÷15 + Kwd + i
92
Depag RI, op cit, hlm. 39
50
D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat
1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat
a) Deklinasi /Apparent Declination
Jarak titik pusat benda langit sepanjang lingkaran deklinasi sampai
ke equator dinamakan deklinasi atau apparent declination.93
Pada kitab
falak klasik biasanya menggunakan dengn bahasa Arab ميل الشمض, untuk
deklinasi matahari, dan ميل القمز. untuk deklinasi bulan.
Deklinasi matahari berubah sewaktu-waktu selama satu tahun, dan
pada tanggal-tanggal tertentu, yaitu 21 Maret – 23 September deklinasi
matahari positif karena dibagian utara. Sedangkan pada tanggal 23
September – 21 Maret deklinasi matahari berada di selatan dan disebut
negative. Pada tanggal tersebut matahari bernilai 0°. Setelah tanggal 21
Maret matahari mulai bergerak ke Utara menjauhi equator hingga tanggal
21 Juni mencapai nilai 23° 26‟ Utara atau dalam bahasa Arab disebut ميل
.ألعظم94
Setelah itu, matahari mulai berbalik arah mendekati equator hingga
tanggal 23 September. Kemudian bergerak terus ke selatan menjauhi
matahari hingga mencapai bilangan 23° 26‟ yaitu tanggal 22 Desember.
Lalu berbalik lagi ke arah utara mendekati equator hingga tanggal 21 Maret.95
93
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 65 94
Dalam kitab Khulashatul Al Wafiyah disebutkan bahwa deklinasi terjauh (mailul
„adzom) khulashoh 23° 27‟, Lihat Zubair Umar Al Jailani, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt. hlm. 81.
Begitupun yang terdapat dalam Ephimeris deklinasi terjauh 23° 27‟, sedangkan dalam Tibyanul
Miqat 23° 52‟. Lihat juga pada Maksum bin Ali, Tibyan Al Miqat fi Ma‟rifat Al Auqat wa Al
Qiblah, Kediri: Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt, hlm. 12 95
Abd Rachim, op cit, hlm. 8
51
b) Equation of Time.
Perlu Anda ketahui bahwa lintasan bumi ketika mengelilingi
matahari berbentuk elips (agak lonjong seperti telur). Oleh karenanya jarak
bumi dan matahari tidak tetap setiap saat, kadang-kadang dekat dan
kadang-kadang jauh. Jarak terdekat bumi dengan matahari dinamakan
Perigee yang dalam bahasa Arabnya dinamakan حضيض dan jarak
terjauhnya dinamakan Apogee yang dalam bahasa Arabnya dinamakan أوج.
Dekat tidaknya bumi dengan matahari ini berdampak pada kecepatan
gerak bumi, dimana ketika jaraknya dekat dengan matahari, pergerakan
bumi pada lingkaran ekliptika berlangsung lebih cepat daripada ketika
jaraknya jauh. Akibatnya, saat kulminasi matahari setiap hari senantiasa
berubah, kadang persis jam 12:00, kadang kurang dan kadang lebih dari
jam 12:00. Selisih antara kulminasi matahari hakiki dengan waktu
kulminasi matahari rata-rata (jam 12:00) dinamakan Equation Of Time
yang dalam bahasa Indonesia dinamakan Perata Waktu, dalam bahasa
Arab mempunyai beberapa nama antara lain : تعديل الوقت, dan تعديل الشمان ,
. دقائق التفاوت
2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat Daerah satu dengan
Daerah lain
a) Koordinat Lintang Tempat (Ф).
Lintang adalah jarak dari suatu tempat ke khatulistiwa diukur
dengan melalui meridian bumi. Dalam bahasa Arab dinamakan عزض البلد
dan biasanya ditandai dengan huruf Yunani Ф (phi, cara baca : fi). Daerah
52
yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang
positif, dan untuk daerah yang terletak disebelah selatan garis khatulistiwa
memiliki lintang negatif. 96
Perbedaan lintang tidak sama besar pengaruhnya terhadap waktu
shalat sepanjang tahun.97
Hal ini berkaitan dengan nilai deklinasi matahari
yang berbeda-beda dalam setiap waktu.
b) Koordinat Bujur Tempat (λ).
Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di
meridian tempat dan bidang meridian dari Greenwich.98 Dalam bahasa
Arab bujur tempat itu dinamakan طول البلد yang biasanya ditandai dengan
lambang astronomi dengan huruf Yunani (cara baca : lamda).
Kesepakatan internasional menetapkan permulaan perhitungan garis
bujur bumi (bujur 0), di mulai pada garis bujur yang melintasi kota
Greenwich di Inggris. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich
sampai 180 memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di
sebelah barat Greenwich sampai 180memiliki bujur negatif. Tanda nilai
bujur ini berhubungan dengan waktu, artinya untuk mendapatkan standar
waktu internasional GMT, wilayah barat (bujur barat) harus dikurangi
angka tertentu. Sebaliknya, bujur timur harus ditambah angka tertentu.
Garis bujur timur 180 dan garis bujur barat 180 bertemu dan berhimpit
96
Baca K.J. Vilianueva, op cit, hlm. 4 97
Muntoha, op cit, hlm. 52. Hal ini yang membuat beberapa ahli falak meniadakan
konversi waktu daerah untuk jadwal waktu shalat, salah satunya Tim Lajnah Falakiyah Lirboyo. 98
Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa bujur sama dengan
selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich.
53
dilautan Pasifik dan dijadikan garis batas tanggal dalam penanggalan
Masehi.
Sebagaimana yang dikutip dari skripsi Muntoha yang berjudul
Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur
dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, dijelaskan bahwa
perbedaan bujur cukup besar pengaruhnya terhadap masuknya waktu
shalat.99
Perbedaan 1o bujur berarti perbedaan 4 menit waktu, perbedaan
bujur sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11
km berarti perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Jarak 27 ½
km tepat ke barat atau ke timur berarti perbedaan waktu sebanyak satu
menit.
c) Zona Waktu Tempat (z).
Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu)
yang dibatasi oleh meridian-meridian dengan selisih bujur 15º (1 jam).
Dalam tiap wilayah ini berlaku satu macam waktu wilayah dengan
meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0º meridian referensinya
adalah meridian Greenwich. Daerah yang terletak di sebelah timur
Greenwich memiliki z positif, sedangkan di sebelah barat Greenwich
memiliki z negatif. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh “date line” dan
untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur
diambil Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus
menyesuaikan hari kalendernya dengan menambah atau mengurangi
dengan satuan hari (24j). Untuk keseragaman di suatu negara maka
99
Muntoha, op cit, hlm. 51
54
wilayah waktu itu disesuaikan dengan batas-batas negara. Misalnya zona
waktu Jakarta adalah UT +7 (Universal Time) atau seringkali disebut
GMT +7 (Greenwich Mean Solar Time), maka z = 7. Misalnya, Los
Angeles memiliki z = -8.100
Untuk Indonesia sendiri dibagi dalam 3 zona waktu, yaitu Waktu
Indonesia Barat (+7), Waktu Indonesia Tengah (+8), dan Waktu Indonesia
Timur (+9). Tanda waktu dari masing-masing daerah di wilayah Indonesia
biasanya dapat dikoreksi dengan adanya tanda waktu yang dipersiapkan
oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang biasanya
disiarkan oleh Radio Republik Indonesia pada jam-jam tertentu.
d) Ketinggian Tempat dari Permukaan Laut (h).
Ketinggian lokasi dari permukaan laut (h) menentukan waktu kapan
terbit dan terbenamnya matahari. Tempat yang berada tinggi di atas
permukaan laut akan lebih awal menyaksikan matahari terbit serta lebih
akhir melihat matahari terbenam, dibandingkan dengan tempat yang lebih
rendah. Satuan h adalah meter atau feet (kaki).101
100
Lihat Ibid, hlm. 70-71. 101
Satu meter sama dengan 3,048 feet
55
BAB III
PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI
PENENTUAN WAKTU SHALAT
A. Ketinggian Tempat
Faktor yang mempengaruhi waktu shalat antara daerah satu dengan daerah
lainnya salah satunya ialah tinggi tempat. Tinggi secara geodetik (h) adalah jarak
titik yang bersangkutan dari ellipsoid referensi di dalam arah garis normal
terhadap ellipsoid referensi.102
Ketinggian tempat dapat diperoleh sebagai hasil
pengukuran dari ilmu ukur tanah, yaitu ilmu yang mempelajari tentang teknik-
teknik pengukuran di permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang terbatas
untuk keperluan pemetaan dan lain-lain. Ketinggian tempat dalam geodesi lebih
dikenal dengan sebutan beda tinggi. Menurut ilmu ukur tanah, beda tinggi di atas
permukaan bumi dapat ditentukan dengan berbagai cara, yaitu sesuai dengan
tingkat ketelitiannya adalah sebagai berikut:103
1. Sipat datar
Sipat datar merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk
menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi secara teliti.
Tinggi suatu objek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang
referensi, yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol yang dalam istilah
102
Eddy Prahasta, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung: Penerbit
Informatika, 2002, hlm. 140. Ellipsoid referensi ialah pendekatan model geometric bentuk bumi
yang diperlukan untuk hitungan-hitungan geodesi yang akurat dengan jangkauan yang sangat jauh.
Lihat pada hlm. 120 103
Slamet Basuki, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006,
hlm. 139-140
56
geodesi, disebut sebagai bidang geoid. Bidang geoid merupakan bidang
equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea
level). Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana
saja di permukaan bumi. Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan
beda tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik horizontal yang
diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Alat ukurnya
disebut penyipat datar atau waterpas.104
2. Takhimetrik
Takhimetrik merupakan metode yang menggunakan data lapangan
untuk menghitung jarak mendatar dan vertikal dengan bacaan rambu ukur
yang terdapat pada alat reduksi system takhimetri. Beberapa alat reduksi
system takhimetri yang ada di Indonesia antara lain busur stadia Beaman,
reduksi takhimeter otomatis dari Hamer-Fennel, dan reduksi takhimetri “Wild
RDS”. Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengukuran
takhimetri ialah kesalahan alat, kesalahan pengukur, dan kesalahan yang
bersumber dari alam.105
3. Trigonometrik
Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometrik adalah suatu
proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara
mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui,
yang dapat diukur dengan alat teodolit.106
104
Ibid 105
Ibid, hlm. 88-93 106
Ibid, hlm. 242
57
4. Barometrik
Pada dasarnya, barometer ialah alat untuk mengukur variasi tekanan
udara disetiap tempat, namun karena variasi tekanan udara berkaitan dengan
tinggi tempat, maka oleh karena itu, dapat juga diukur beda tinggi. Alat
barometer sendiri disebut barometric leveling. Tekanan udara pada
permukaan air laut adalah 1 kg/cm2 dan berkurang jika ketinggiannya
bertambah. Perbedaan 1 cmm air raksa akan sebanding dengan kenaikan
tinggi 108 meter.
Altimeter adalah barometer yang dibuat khusus untuk survey atau
pengukuran beda tinggi dengan ketelitian yang lebih tinggi dibanding dengan
barometer biasa, bacaannya langsung dalam meter atau feet.
Metode sipat datar, takhimetrik, dan trigonometrik semata-mata
digunakan untuk menentukan beda tinggi antara dua buah titik atau lebih,
sedangkan metode barometrik, selain dapat menentukan beda tinggi, juga
dapat menunjukkan ketinggian titik-titik tersebut di atas bidang reverensi atau
mean sea level (permukaan air laut rata-rata).107
Untuk keperluan jaringan kontrol vertikal di Indonesia dilakukan
pengukuran sipat datar dimulai dari Pulau Jawa pada tahun 1925. Nilai tingginya
mengacu pada hasil pengamatan pasang surut di Tanjung Priok. Namun, akibat
perang dunia ke-2, banyak titik control geodesi hilang dan rusak, maka didirikan
BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) tahun
1969, yang bertugas dalam pengadaan peta rupa bumi Indonesia. Pada tahun 1980
107
Ibid, hlm. 255
58
– 1987 BAKOSURTANAL mulai menyelenggarakan pengadaan jaring kontrol
vertikal di Jawa dengan membangun sipat datar orde pertama sepanjang 4657 km
dengan Titik Tinggi Geodesi yang disingkat dan dikenal dengan TTG sebanyak
1532 titik.108
Setelah pemanfaatan teknologi militer Amerika Serikat Navstar
(Navigation Satellite Time and Ranging) yang lebih dikenal dengan teknologi
Globlal Positioning System yang disingkat dengan GPS untuk keperluan sipil,
maka dalam rangka kerja sama penelitian antara BAKOSURTANAL dan National
Science Foundation America Serikat (US-NFS) dilakukanlah penelitian
geodinamika. Pemanfaatan teknologi GPS di Indonesia berlanjut dan berkembang
hingga BAKOSURTANAL membangun jaringan kontrol geodetik nasional yang
berlanjut dengan menetapkan Datum Geodetik Nasional 1995 (DGN 95).109
Saat ini dengan perkembangan teknologi yang ada, data keinggian tempat
dapat dilihat dan diperoleh selain dari BAKOSURTANAL, dapat diperoleh juga
dari GPS, atau softwere-sofwere yang ada di internet yang menyajikan data
ketinggian tempat untuk umum seperti Google Earth, Google Map, dll.
Dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, beberapa ahli falak
menggunakan data ketinggian tempat dalam proses perhitungan waktu Maghrib,
Isya’, dan Subuh. Dan beberapa formulasi dalam penentuan waktu shalat antara
satu dengan yang lain terdapat sedikit perbedaan mengenai data ketinggian
tempat. Beberapa ahli falak menggunakan data ketinggian tempat untuk
menghitung kerendahan ufuk (ku/dip), namun ada juga ahli falak yang
108
Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006, hlm. 55 109
Ibid, hlm. 87
59
mengabaikan data keinggian tempat karena dianggap tidak terlalu mempengaruhi
waktu shalat.
B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Jadwal Waktu
Shalat
1. Kitab Klasik
Kitab-kitab klasik pada umumnya dalam menguraikan formulasi
penentuan waktu shalatnya lebih panjang karena proses perhitungannya
sering kali menggunakan rumus manual sederhana tanpa penggunaan
kalkulator. Dalam formulasi penentuan waktu shalatnya beberapa kitab
terdapat konsep koreksi kerendahan ufuk yaitu saat proses perhitungan waktu
shalat Maghrib. Konsep koreksi ini biasanya disebut ikhtilaf ufuk atau dikenal
juga dengan istilah daqaiqul tamkin. Dari kitab falak klasik yang pernah
penulis baca (seperti kitab Khulashatul Al Wafiyah, Badiatul Misal, Ittifa’
Dzatil Bain, Tibyanul Miqat, Sulamunayyirain, dll.) hanya kitab Irsyadul
Murid karangan Ahmad Ghazali (Madura) yang di dalamnya terdapat koreksi
kerendahan ufuk yang telah menggunakan formulasi kerendahan ufuk dengan
istilah إلنحفاض االفق inhifadhul ufuk (dip) dengan formulasi 1.76/60 × √𝑇𝑇
(Tinggi Tempat).110
Namun, koreksi ini digunakan untuk mencari waktu
ghurub dalam perhitungan penentuan awal bulan Kamariyah, bukan pada
perhitungan penentuan waktu shalatnya.
110
Ahmad Ghazali, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005, hlm. 134
60
2. KH. Slamet Hambali111
Dalam penyusunan jadwal waktu shalat, Slamet Hambali
menggunakan data ephemeris untuk mengambil data deklinasi dan equation
of time. Pengambilan data tersebut diambil data pada jam 12 WIB. Dalam
perhitungan jadwal waktu shalat dalam satu bulan, ia menggunakan satu
perhitungan untuk 5 hari. Sebab, selisih perhari dianggap sedikit sehingga
hanya mengambil beberapa tanggal saja. Dengan demikian, Slamet Hambali
hanya menghitung tanggal-tanggal sebagai berikut: 1-6-11-16-21-26.
Menurutnya, ketinggian tempat berpengaruh pada penentuan waktu shalat.
Oleh karena itu, ia menggunakan data ketinggian tempat 200 m dalam
perhitungan penentuan waktu shalatnya untuk mengcover waktu shalat
didaerah Semarang yang topografi yang sangat bervariasi, yaitu disekilingi
pegunungan ungaran dan merbabu juga daerah pantai.
Pada perhitungan kerendahan ufuk, rumus yang digunakan Slamet
Hambali adalah ku: 0º 1.76√h. Sedangkan koreksi waktu antar kota
menurutnya hanya berdasarkan bujur dan lintang saja. Sedangkan ikhtiyat
yang dipakai untuk kehati-hatian adalah 2 menit utuh dengan pembulatan
detik. Dalam menkonversi waktu, Slamet Hambali memperhitungkan antara
pantai selatan – pantai utara mana yang lebih dulu dan yang lama masuk awal
111
Slamet Hambali saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), anggota Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian
Agama, sebagai anggota Badan Hisab Rukyah Indonesia Jakarta dan merupakan Wakil Ketua Tim
Hisab Rukyah Jateng. Selain itu juga menjadi dosen pengajar Ilmu Falak di IAIN Walisongo
Semarang dan UNISULA (Universitas Sultan Agung) Semarang.
61
shalat. sehingga dapat digunakan untuk daerah lain yang lintangnya berbeda
namun satu jalur.112
Tabel 1. Jadwal Waktu Shalat Bulan Januari 2011113
Tgl Imsak Subuh Terbit Dhuha Dzuhur Ashar Maghrib Isya’
1 03.52 04.02 05.22 05.51 11.44 15.11 18.02 19.18
6 03.55 04.05 05.25 05.54 11.47 15.13 18.04 19.20
11 03.58 04.08 05.27 05.56 11.49 15.14 18.06 19.21
16 04.01 04.11 05.30 05.59 11.51 15.15 18.07 19.22
21 04.04 04.14 05.32 06.01 11.52 15.15 18.08 19.22
26 04.07 04.17 05.34 06.03 11.53 15.15 18.09 19.22
3. LIRBOYO114
Tiap tahunnya Pondok Pesantren Lirboyo atau yang lebih dikenal
dengan Pondok Lirboyo mengeluarkan kalender yang dilengkapi jadwal
waktu shalat. Hampir seluruh santri maupun alumni dari pondok tersebut
selama ini memakai dan menggunakan jadwal tersebut sebagai acuan dalam
waktu shalatnya. Dalam wawancara via telepon, penulis memperoleh data
bahwa dalam perhitungannya, Lirboyo menggunakan data ketinggian tempat
dalam perhitungannya, yaitu yang digunakan adalah ketinggian 100 m
sebagai tinggi rata-rata kota Kediri dengan rumus ku: 0,0293 √h.
Sedangkan koreksi antar kota yang biasanya dicantumkan dibeberapa
kalender untuk konversi waktu daaerah tidak dicantumkan dalam kalender
112
Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011 113
Jadwal ini menggunakan lokasi Semarang dengan pengambilan salah satu titik dengan
lintang -7° LS untuk batas utara dan mepertimbangkan batas selatan dengan pengambilan titik -7°
48’ LS. Sedangkan untuk garis bujurnya diambil titik 110° 24’ BT. 114
PP. Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Lirboyo lebih dikenal dengan PP.
Lirboyo karena berada di Lirboyo Kediri yang dibangun pada tahun 1910 oleh KH. Abdul Karim
atau sering dipanggil Kiai Manab. Lihat pada Album PP. Lirboyo 2002, hlm. 98-106. Pondok ini
merupakan salah satu pondok salaf tertua yang ada di Indonesia dan telah mencetak lebih dari
100.000 santri yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Untuk th. 2006 saja, santri Lirboyo
tercatat mencapai + 9.060 yang ditampung dalam kamar sebanyak + 400 kamar.
62
tersebut. Hal ini dikarenakan penambahan atau pengurangan waktu sebagai
konversi waktu dianggap tidaklah konsisten dalam setiap bulannya. Itu semua
tergantung pada lintang dan deklinasi yang ada pada saat tersebut. Konversi
waktu dapat diadakan jika lintang kedua daerah dari markas jadwal waktu
shalat sama dengan daerah yang dikonversi. Untuk menghindari kesalahan
dalam waktu beribadah, maka kebijakan Tim Lajnah Falakiyah yang
dipimpin oleh Reza Zakariya ini meniadakan konversi waktu antar kota. Hal
ini berdasarkan pengamatannya melalui beberapa jadwal waktu shalat yang
ada dan konversi waktu antar kota yang dipakai oleh beberapa ahli falak yang
di situ menunjukkan bahwa ada ketidak kontinuitasan. Oleh karena itu, dalam
penggunaan waktu shalat sebaiknya setiap daerah melakukan perhitungan
masing-masing khusus untuk daerahnya. Karena waktu shalat merupakan
waktu yang dapat dikatakan bersifat lokalitas. Artinya, satu jadwal waktu
shalat hanya dapat dipakai oleh daerah tersebut saja, sedangkan untuk daerah
lain harus menghitung dengan data daerah masing-masing. Jadwal waku
shalat yang dibuat adalah jadwal waktu shalat dengan menggunakan wilayah
markas Kediri.
Jadwal waktu shalat PP. Lirboyo dibuat oleh Tim Lajnah Falakiyah
Lirboyo sama dengan jadwal waktu shalat pada umumnya, yakni melalui
perhitungan dengan memperoleh data deklinasi dan equation of time melalui
ephimeris. Dalam perhitungannya, Lirboyo menggunakan per 3 hari untuk
satu perhitungan karena selisih per 3 hari masih dapat diatasi dengan ihtiyat
yang digunakan, yakni 1-2 menit. Untuk penyajian konversi daerah menurut
63
ketinggian tempat menurut beliau tidak perlu diadakan karena selisih tidak
mencapai 2 menit, hanya ketinggian 1000 m yang menimbulkan selisih
mencapai 3 menit. Oleh karena itu, nilai ihtiyat dianggap dapat menutupi
selisih tersebut.115
Table 2. Jadwal waktu shalat Kalender Lirboyo daerah Kediri Januari 2011
Tanggal Dzuhur Ashar Maghrib Isya’ Subuh Terbit
01 – 05 11:38 15:05 17:56 19:11 03:45 05:14
06 – 10 11:40 15:06 17:58 19:13 03:48 05:16
11 – 15 11:42 15:07 18:00 19:14 03:52 05:19
16 – 20 11:44 15:08 18:01 19:15 03:55 05:21
21 – 25 11:46 15:08 18:02 19:15 03:57 05.23
26 – 31 11:47 15:08 18:02 19:15 04:00 05.24 *Jadwal waktu shalat di atas hanya berlaku di daerah Kediri yang ketinggian tempatnya
tidak melebihi 100 m dari permukaan air laut.
*karena penambahan dan pengurangan waktu shalat untuk daerah selain Kediri
disetiap bulannya berbeda, maka penambahan dan pengurangan waktu shalat
ditiadakan.
4. Saaduddin Djambek
Dalam bukunya almanak waktu shalat sepanjang massa, Saaduddin
Djambek menyajikan tabel jadwal waktu shalat abadi dalam kurun satu tahun
dengan dilengkapi data lintang yang dapat disesuaikan dan dikoreksi selisih
waktunya sesuai daerah masing-masing. Dalam jadwal tersebut Djambek
menyajikan secara utuh jadwal, sehingga user (pengguna) hanya perlu
menyesuaikan dengan selisih waktu setempat saja. Koreksi untuk masing-
masing daerah di sini disesuaikan menurut deklinasi dan lintang tempat dari
tempat yang bersangkutan.
115
Wawancara dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP. Lirboyo Kediri
Jawa Timur via telepon pada tanggal 15 Januari 2011
64
Selain koreksi tersebut, Sa’aduddin Djambek menambahkan suatu
koreksi khusus untuk ketinggian tempat. Di daerah-daerah pegunungan harus
diperhitungkan bagi waktu syuruq dan waktu Maghrib bagi ketinggian mata d
atas daerah sekeliling. Dalam almanak sepanjang masa disebutkan bahwa hal
ini disebabkan oleh karena persoalan syuruq dan ghurub dipengaruhi oleh
kedudukan ufuk mar’i (visible horizon). Oleh bentuk bumi yang bulat, ufuk
mar’i semakin rendah jika kedudukan pengamat semakin tinggi. Kerendahan
ufuk ini mengakibatkan matahari kelihatan lebih cepat terbit dan lebih lambat
tenggelam.
Table 3. Daftar Koreksi Ketinggian Pengamat Menurut Sa’aduddin Djambek
Ketinggian mata Koreksi (menit) Ketinggian Mata Koreksi (menit)
50 0,2 400 1,7
75 0,4 500 2,0
100 0,5 600 2,3
150 0,8 700 2,5
200 1,0 800 2,7
250 1,2 900 2,9
300 1,4 1000 3,1
Yang dimaksud dengan ketinggian tempat pada tabel di atas bukan
berdasakan permukaan air laut, melainkan berdasarkan ketinggian daerah
sekeliling sampai kaki langit.
Misalnya untuk kota bandung, tinggi kira-kira 700 meter di atas
permukaan air laut, tidaklah dilakukan koreksi sebanyak 2,5 menit
sebagaimana yang tercantum pada table, tetapi cukup sebanyak 0,5 menit atau
paling tinggi 1 menit. Berbeda jika kita berada pada suatu tempat yang
ketinggian dengan pandangan bebas sampai ke laut, dimana bagian barat
65
pengamat dapat melihat tenggelam maupun di sebelah timur pengamat bisa
melihat pada saat matahari terbit.116
5. Muhyiddin Khazin117
Dalam bukunya, Ilmu Falak, yang digunakan sebagai salah satu
referensi bagi sebagian besar mahasiswa falak, Muhyiddin Khazin tidak
menggunakan koreksi ketinggian tempat. Dalam buku tersebut disebutkan
bahwa untuk mencari h matahari dalam perhitungan waktu shalat cukup
menggunakan data h matahari Maghrib: -1°, h Isya’: -18°, h Subuh: -20° dan
h terbit: -1°. Sedangkan koreksi tinggi tempat digunakan untuk menghitung
waktu Maghrib ketika proses perhitungan awal bulan Komariyah.
6. Shollu
Shollu merupakan program waktu shalat versi 3.08.2, oleh Ebta
Setiawan. Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna
komputer bahwa waktu sholat telah tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga
pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat.
Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, Shollu versi ini menggunakan koordinat
wilayah (garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria
lainnya. Pengguna hanya perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu
update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-wilayah di Indonesia dan kota-kota
besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file tambahan, bisa
116
Saadoeddin Djambek, op cit, hlm. 21 117
Muhyiddin Khazin pernah menjabat sebagai tenaga pengajar Ilmu Falak di UIN
(Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Syariah
dan Hisab Rukyat pada Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, anggota
Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian Agama, dll.
66
dilihat dalam help file. Di samping itu, Shollu memberikan pilihan dalam
setting untuk waktu shalat Ashar, yaitu menggunakan konsep mahdzab
Syafi’i atau menggunakan konsep mahdzab Hanafi. Di dalamnya juga
disediakan kolom penambahan ihtiyat sesuai yang diinginkan user.
Sedangkan untuk waktu Subuh dan Isya’, disediakan beberapa pilihan konsep
penggunaan nilai h matahari. Pengguna juga dapat menginput sendiri nilai h
matahari yang diinginkan. Selain itu, pengguna juga dapat menambah pesan
pengingat sesuai yang diinginkan.
7. Athan
Sebagaimana Shollu, Athan merupakan program waktu shalat yang
digunakan dalam computer sebagai peringatan telah masuk waktu shalat.
Program Athan hanya menyajikan data-data negara saja, sedangkan kita harus
menginput nama kota beserta data lintang, bujur dan penambahan waktu
GMT secara manual. Untuk data ketingian tempat tidak disediakan. Namun,
untuk data h matahari dalam waktu Subuh dan Isya’ diberikan kolom untuk
menginput data berapa nilai h yang ingin digunakan. Selain itu Athan juga
memberikan pilihan untuk menggunakan konsep waktu shalat standar
(mahdzab Syafi’i, Maliki dan Hambali) atau konsep waktu shalat mahdzab
Hanafi. Juga disediakan kolom ihtiyat untuk penambahan waktu shalat
Dzuhur dan Maghrib.
8. Accurate Times
Accurate Times adalah program waktu shalat yang diadopsi oleh
pemerintah Jordania yang ditulis oleh Muhammad Odeh yang merupakan
67
salah satu anggota Jordanian Astronomical Society (JAS) dan sebagai Wakil
Presiden dari Pengamat Observatorium and Mawaqeet Committee, dari
lembaga Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS). Program
Accurate Times tidak hanya menghitung waktu-waktu shalat, namun juga
menyajikan waktu-waktu astronomi, seperti waktu matahari; waktu bulan;
tahap fase bulan; dan juga menghitung arah kiblat dan lain sebagainya.
Accurate Times dapat dikatakan sebagai program waktu shalat yang
paling teliti, karena telah memperhitungkan beberapa koreksi. Untuk h
matahari waktu Subuh dan Isya’ pada umumnya menggunakan 18° di bawah
ufuk. Namun, beberapa negara dapat mengadopsi nilai h matahari yang
diingini seperti -16°, -19° atau -20°. Dalam Accurate Times terdapat kolom
pada location untuk menginput data ketinggian waktu shalat yang diberi
nama elevation dengan satuan meter untuk koreksi tinggi pengamat. Bahkan
didalamnya juga disediakan kolom untuk menginput data suhu tempat yang
berpengaruh pada refraksi. Selain itu, juga terdapat kolom untuk menginput
ihiyat yang akan digunakan oleh user dan dapat memilih menggunakan
konsep standar pada umumnya atau menggunakan konsep waktu shalat
mahdzab Hanafi.
9. Mawaaqit
Software Mawaaqit 2001.06 yang ditulis dalam bahasa program
PASCAL dalam DOS oleh Dr. Ing. Khafid. Program ini ditulis dalam empat
pilihan bahasa, yaitu Inggris, Belanda, Jerman dan Indonesia. Dalam program
ini terdapat beberapa menu utama, yaitu program Al-qur’an, Al-hadis, waktu
68
shalat dan arah kiblat, kalender, gerhana serta grafik. Pada masing-masing
menu utama terdapat beberapa menu lagi yang berkaitan dengan menu utama
tersebut. Dalam menu waktu shalat dan arah kiblat, salah satunya disajikan
pilihan jadwal waktu shalat untuk satu hari, satu bulan, dan satu tahun.
Meskipun dibuat oleh Dr. Ing. Khafid yang notabenenya seorang ahli geodesi,
namun dalam penentuan lokasi perhitungan tidak memperhitungkan data
ketinggian tempat. Dalam Mawaaqit hanya disediakan nama lokasi yang telah
tersave beserta data lintang, bujur dan zona waktunya. Sedangkan untuk
koreksi tinggi tempat dan pengamat tidak diperhitungkan.
Meskipun demikian, Mawaaqit memberikan pilihan untuk menginput
h matahari yang akan digunakan dalam perhitungan shalat Subuh dan Isya’.
Sedangkan untuk shalat Ashar user dapat memilih 3 opsi, yaitu konsep waktu
Ashar mahdzab Syafi’i, konsep waktu Ashar mahdzab Hanafi, atau konsep
pengambilan nilai tengah antara Dzuhur dan Maghrib.
C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan Ufuk/Dip
Selain perbedaan penggunaan data ketinggian tempat, dari beberapa
literatur penulis juga menemukan perbedaan penggunaan formulasi untuk koreksi
pengaruh ketinggian tempat itu sendiri. Mereka yang tidak menggunakan koreksi
ketingggian tempat, menggunakan tinggi matahari untuk waktu Maghrib -1°,
waktu Isya’ -18°, dan untuk waktu Subuh -20°. Sedangkan literatur lain
69
memperhitungkan ketinggian tempat dengan menggunakan beberapa formulasi,
yaitu118
:
1. Dip/ ku: 1.76√ h (meter)
Formulasi ini yang digunakan oleh sebagian besar ahli falak yang
menggunakan koreksi ketinggian tempat, salah satuya ialah Slamet Hambali yang
mengambil formulasi rumus ini dari Almanak Nautika. 119
2. Dip/ ku: 0.0293 √ h (meter)
Formulasi ini merupakan bentuk decimal dari 1.76√ h, yakni ku:
0.0293 √ h. Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu
Shalat120
, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan rumus ini.
3. Dip/ku: 0,97 √h feet atau 1,757√h meter
Dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat
oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa Dip dapat dihitung dengan rumus Dip
= 0,97 √h feet atau 1,757√h meter.121
4. Dip/ ku: √3,2 h
Abdur Rachim dalam bukunya Ilmu Falak122:menetapkan rumus
kerendahan ufuk ini berdasarkan turunan rumus yang bermula dari rumus
pitagoras, yaitu:
118
Masing-masing formulasi menghasilkan nilai dip/ku yang bersatuan menit derajat 119
Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995, hlm. 259 120
Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna 121
Muchtar Salimi, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997, hlm. 41 122
Abdur Rachim, op cit, hlm.33
70
h d
Gambar 2. Sudut dari dip/kerendahan ufuk
Bumi dengan ketinggian tempat ditulis dengan R + h. Garis pusat
bumi yang ditarik lurus hingga ellipsoid (R), dengan garis siku horizontal dari
garis perpanjangan dari garis pusat bumi (R + h), serta garis kerendahan ufuk
(d) membentuk segitiga siku-siku dengan garis (R + h) sebagai garis miring.
Maka dari itu, untuk mencari d :
d = √(R + h)2 − R
2
= √ R2 + 2Rh + h
2 − R
2
= √ 2Rh + h2
Karena panjang R dikira-kirakan sekitar 6.000 km, dan h biasanya
hanya berjumlah beberapa meter saja, maka dalam bentuk √ 2Rh + h2, jumlah
h2
dapat diabaikan, sehingga:
d = √ 2Rh
2R merupakan bilangan tetap yang bernilai kira-kira 12.000 km. Jika bilangan
h yang dinyatakan dengan meter kita pindahkan menjadi bilangan km juga,
maka kita memperoleh:
d = √12h
Z
R
O
R
D
N
71
a h
A
a
Ho a
B
Artinya, d adalah besar jarak dari mata kita hingga ke kaki langit atau
ufuk dalam satuan kilometer. Sedangkan untuk mengetahui jumlah
kerendahan ufuk, kita dapat memasukkan angka keliling bumi, yaitu sekitar
1,85 km, maka:
√12h/1,85 = √12h/3,42 = √3,5h
Angka √3,5h ialah angka kerendahan ufuk yang juga refraksi. Maka
untuk mendapatkan angka kerendahan ufuk saja angka tersebut dikurangi
pengaruh refraksi. Oleh karena itu, rumus yang lebih mendekati ialah:123
d = √3,2 h
5. Dip/ku: 0,032° √ℎ
Dalam buku Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!
menggunakan formulasi 0,032° √ℎ untuk mencari nilai kerendahan ufuk.
Berikut ini turunan rumusnya:
Gambar 3. Sudut dari dip/kerendahan ufuk
Cos α = R
R+h atau 1 – 2 sin
2 α
2 =
R
R+h
sin2 α
2 =
h
2(R+h) atau sin
α
2 = √
h2(R+h)
123
Ibid, hlm. 34
H
72
karena α dan α/2 adalah sudut yang kecil, maka sin α/2 = α/2 rad. Dan
karena h << R, maka R + h ≈ R, sehingga:
α
2 = √
h2R
atau α = √2hR
Jari-jari bumi R = 6,4 x 106 m, dan bila h dinyatakan dalam meter,
maka:124
α = 0,032° √ℎ
Tabel 4. Perubahan arah bidang horizon oleh ketinggian tempat.
h (m) α (°) h (m) α (°) h (m) α (°)
50 0,227 400 0,643 750 0,881
100 0,322 450 0,682 800 0,909
150 0,394 500 0,719 850 0,938
200 0,455 550 0,754 900 0,965
250 0,508 600 0,788 950 0,991
300 0,577 650 0,820 100 1,047
350 0,602 700 0,851
6. Dip/ ku: 1,93√ h
Formula ini disebutkan dalam buku Almanak Hisab Rukyah oleh
Departemen Agama untuk mencari kerendahann ufuk.125
Namun, turunan
rumus ini penulis dapat dari Rinto Anugraha126 dengan penjelasan sebagai
berikut:
Kalau ada ketinggian h, maka jaraknya ke pusat bumi adalah R + h.
R = jari-jari bumi.
Jika sudut kerendahan ufuk sama dengan x, maka ada persamaan
124
Dimsiki Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania,
2010, hlm. 100 125
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, op cit, hlm. 118 126
Hasil wawancara via email dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu pemerhati
ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di www.eramuslim.org
73
cos x = R/(R + h) = 1 - h/(R + h).
R + h bisa didekati dengan R, sehingga cosx = 1 - h/R.
Karena x kecil, maka cos x bisa didekati menggunakan deret McLaurin
menjadi
cos x = 1 - 0.5x2 = 1 - h/R
sehingga
x = (2h/R)0.5
Dimasukkan R = 6378000 meter, nanti hasilnya x bersatuan radian. Supaya
bersatuan derajat, dikalikan 180/pi. Jika bersatuan menit busur, dikalikan 60.
Maka hasilnya,
x = 1,93 kali h0.5
atau dip/ku = 1,93√ h
7. Dip/ ku: 0,98√ h
Diambil dari buku Textbook on Sperical Astronomy.127
Buku ini
merupakan buku referensi astronomi yang berisi tentang sesuatu yang
berhubungan dengan fenomena astronomi seperti spherical trigonometry
(mengenai triginometri yang digunakan dalam menghitung tata koordinat),
the celestial sphere (memuat ketinggian benda langit, azimuth, sudut waktu,
dll), refraction (mengenai refraksi), planetry motions (mengenai pergerakan
plenet), time (memuat waktu rata-rata, ephimeris dan universal time,),
planetary phenomena and holiographic co-ordinates (memuat pergerakan
planet dari system geosentri dan heliosentri, inklinasi, posisi sudut matahari),
127
W.M. Smart, op cit, hlm. 318W
74
O P
C
a
S
h T
φ
T
A
φ
dll. Dalam buku ini dip/ku dijelaskan pada bab Determination of Position at
Sea.
Gambar 4. Sudut dari dip/kerendahan ufuk
OAT = β φ
Kita tahu OAC = 90° − β φ ; AOC = 90° − (θ + β φ); maka:
90° − β φ + 90° − (θ + β φ) + φ = 180°
Dari φ (1 − 2β) = θ
sin (90° − β φ)
𝑎+ℎ =
sin (90° − θ−β φ)
𝑎
Atau 2 sin
θ
2 sin
1
2 (θ+2β φ)
cos (θ+β φ) =
h
𝑎
Karena θ dan φ ialah sudut yang kecil, maka kita dapat menulisnya sebagai
berikut:
θ (θ + 2β φ) = h/𝑎
atau θ2
= 2 (1 − 2β) h/𝑎
masukkan nilai β dan θ dalam bentuk nilai sudut, maka kita mendapat:
θ = √22h13𝑎
cosec 1’
Z T star
H
V
75
θ = 0,98 (ℎ)1/2 atau θ = 0,98 √ℎ
sekarang 𝑎 = 3960 x 5280 kaki dan cosec 1’ = 3438. Maka kita mendapat
nilai:
D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan Awal Waktu
Shalat
Tabel 5. Jadwal Waktu Shalat untuk Semarang Januari 2011
oleh Slamet Hambali untuk kebutuhan Jadwal Imsakiyah Kementerian Agama
Semarang (Lintang: 7o LS, Bujur: 110
o 24' BT, h: 200m dengan
mempertimbangkan batas selatan berupa daerah Jogja yaitu 7°48’ LS )
TGL IMSAK SHUBH TERBT DHUHA DHHUR ASHAR MGHRB ISYAK
1 03.52 04.02 05.22 05.51 11.44 15.11 18.02 19.18
6 03.55 04.05 05.25 05.54 11.47 15.13 18.04 19.20
11 03.58 04.08 05.27 05.56 11.49 15.14 18.06 19.21
16 04.01 04.11 05.30 05.59 11.51 15.15 18.07 19.22
21 04.04 04.14 05.32 06.01 11.52 15.15 18.08 19.22
26 04.07 04.17 05.34 06.03 11.53 15.15 18.09 19.22
76
1. Posisi Matahari128
ho: -1
Tabel 6. Jadwal Waktu Shalat Markaz Semarang Januari 2011
(Lintang: 7o LS, Bujur: 110
o 24' BT, h: -1)
Tgl Deklinasi Equation
of time
Shubuh
h: -20
Terbit
h: -1
Dzuhur Ashar Maghrib
h: -1
Isya’
h: -18
1. -23o 01' 45" -0
o 3' 18" 4:00:31 5:25:11 11:41:32 15:08:37 17:57:53 19:13:28
2. -22o 56' 45" -0
o 3' 46" 4:01:16 5:25:52 11:42:10 15:08:59 17:58:28 19:14:00
3. -22o 51' 16" -0
o 4' 14" 4:01:51 5:26:23 11:42:38 15:09:21 17:58:53 19:14:21
4. -22o 45' 21" -0
o 4' 41" 4:02:26 5:26:54 11:43:05 15:09:42 17:59:16 19:14:41
5. -22o 38' 59" -0
o 5' 08" 4:03:01 5:27:25 11:43:32 15:10:02 17:59:39 19:15:00
6. -22o 32' 09" -0
o 5' 35" 4:03:38 5:27:56 11:43:59 15:10:21 18:00:02 19:15:19
7. -22o 24' 53" -0
o 6' 01" 4:04:13 5:28:26 11:44:25 15:10:39 18:00:24 19:15:26
8. -22o 17' 10" -0
o 6' 27" 4:04:49 5:28:55 11:44:51 15:10:57 18:00:45 19:15:52
9. -22o 09' 01" -0
o 6' 52" 4:05:25 5:29:27 11:45:16 15:11:12 18:01:05 19:16:07
10. -22o 00' 27" -0
o 7' 17" 4:06:01 5:29:57 11:45:41 15:11:28 18:01:25 19:16:22
11. -21o 51' 26" -0
o 7' 42" 4:06:38 5:30:27 11:46:06 15:11:42 18:01:45 19:16:39
12. -21o 41' 60" -0
o 8' 05" 4:07:13 5:30:56 11:46:29 15:11:55 18:02:02 19:16:47
13. -21o 32' 09" -0
o 8' 28" 4:07:48 5:31:25 11:46:52 15:12:08 18:02:19 19:16:59
14. -21o 21' 52" -0
o 8' 51" 4:08:24 5:31:54 11:47:15 15:12:17 18:02:36 19:17:10
15. -21o 11' 12" -0
o 9' 13" 4:08:59 5:32:23 11:47:37 15:12:27 18:02:51 19:17:19
16. -21o 00' 06" -0
o 9' 34" 4:09:35 5:32:50 11:47:58 15:12:35 18:03:06 19:17:27
17. -20o 48' 37" -0
o 9' 54" 4:10:09 5:33:17 11:48:18 15:12:41 18:03:19 19:17:34
18. -20o 36' 44" -0
o 10' 14" 4:10:43 5:33:44 11:48:38 15:12:47 18:03:32 19:17:40
19. -20o 24' 28" -0
o 10' 33" 4:11:18 5:34:11 11:48:58 15:12:52 18:03:45 19:17:46
20. -20 o 11'49" -0
o 10' 51" 4:11:51 5:34:36 11:49:15 15:12:53 18:03:54 19:17:49
21. -19O 58'47" -0
o 11' 09" 4:12:24 5:35:01 11:49:33 15:12:55 18:04:05 19:17:52
22. -19o 45'22" -0
o 11' 26" 4:12:57 5:35:26 11:49:50 15:12:55 18:04:14 19:17:54
23. -19o 31' 36" -0
o 11'42" 4:13:29 5:35:50 11:50:06 15:12:54 18:04:22 19:17:55
24. -19o 17' 27" -0
o 11' 57" 4:14:01 5:36:13 11:50:21 15:12:51 18:04:29 19:17:55
25. -19o 02' 58" -0
o 12' 12" 4:14:32 5:36:37 11:50:36 15:12:46 18:04:35 19:17:54
26. -18o 48' 07" -0
o 12' 26" 4:15:04 5:37:08 11:50:50 15:12:41 18:04:41 19:17:52
27. -18o 32' 55" -0
o 12' 39" 4:15:34 5:37:21 11:51:03 15:12:34 18:04:45 19:17:49
28. -18o 17' 23" -0
o 12' 51" 4:16:03 5:37:42 11:51:15 15:12:26 18:04:48 19:17:44
29. -18o 01' 32" -0
o 13' 02" 4:16:31 5:38:01 11:51:25 15:12:14 18:04:49 19:17:38
30. -17o 45' 20" -0
o 13' 13" 4:17:01 5:38:22 11:51:37 15:12:04 18:04:52 19:17:33
31. -17o 28' 50" -0
o 13' 22" 4:17:28 5:38:40 11:51:46 15:11:50 18:04:52 19:17:25
128
Jadwal waktu shalat yang tidak menggunakan koreksi ketinggian tempat, tapi
menggunakan posisi matahari rata-rata terbenam
77
2. Komparasi Waktu Maghrib Wilayah Semarang
Tabel 7. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Maghrib Markaz Semarang Januari
2011 untuk Berberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110
o 24' BT)
Tgl Maghrib
h: -1
Maghrib
h: 100m
Maghrib
h: 200m
Maghrib
h: 300m
Maghrib
h: 400m
Maghrib
h: 500m
Maghrib
h: 600m
Maghrib
h: 700m
1. 17:57:53 17:58:34 17:58:59 17:59:23 17:59:43 18:00:02 18:00:19 18:00:34
2. 17:58:28 17:59:09 17:59:34 17:59:58 18:00:19 18:00:37 18:00:53 18:01:09
3. 17:58:53 17:59:34 17:59:58 18:00:23 18:00:43 18:01:02 18:01:18 18:01:33
4. 17:59:16 17:59:57 18:00:21 18:00:46 18:01:07 18:01:25 18:01:41 18:01:56
5. 17:59:39 18:00:20 18:00:45 18:01:09 18:01:30 18:01:48 18:02:04 18:02:19
6. 18:00:02 18:00:43 18:01:07 18:01:32 18:01:52 18:02:11 18:02:27 18:02:42
7. 18:00:24 18:01:09 18:01:29 18:01:53 18:02:14 18:02:32 18:02:48 18:03:04
8. 18:00:45 18:01:26 18:01:50 18:02:14 18:02:35 18:02:53 18:03:10 18:03:25
9. 18:01:05 18:01:46 18:02:10 18:02:34 18:02:55 18:03:13 18:03:30 18:03:45
10. 18:01:25 18:02:06 18:02:30 18:02:54 18:03:15 18:03:32 18:03:49 18:04:04
11. 18:01:45 18:02:25 18:02:49 18:03:16 18:03:34 18:03:52 18:04:09 18:04:23
12. 18:02:02 18:02:42 18:03:07 18:03:33 18:03:51 18:04:09 18:04:26 18:04:41
13. 18:02:19 18:02:59 18:03:24 18:03:50 18:04:08 18:04:26 18:04:43 18:04:57
14. 18:02:36 18:03:16 18:03:40 18:04:07 18:04:25 18:04:43 18:04:59 18:05:14
15. 18:02:51 18:03:32 18:03:56 18:04:20 18:04:40 18:04:59 18:05:15 18:05:30
16. 18:03:06 18:03:46 18:04:10 18:04:34 18:04:55 18:05:13 18:05:29 18:05:44
17. 18:03:19 18:03:59 18:04:23 18:04:48 18:05:08 18:05:26 18:05:42 18:05:57
18. 18:03:32 18:04:12 18:04:26 18:05:00 18:05:21 18:05:39 18:05:55 18:06:10
19. 18:03:45 18:04:25 18:04:49 18:05:14 18:05:33 18:05:51 18:06:07 18:06:22
20. 18:03:54 18:04:34 18:04:58 18:05:22 18:05:43 18:06:01 18:06:17 18:06:31
21. 18:04:05 18:05:02 18:05:09 18:05:33 18:05:53 18:06:11 18:06:27 18:06:42
22. 18:04:14 18:04:54 18:05:17 18:05:42 18:06:02 18:06:20 18:06:36 18:06:51
23. 18:04:22 18:05:10 18:05:26 18:05:50 18:06:10 18:06:28 18:06:44 18:06:59
24. 18:04:29 18:05:08 18:05:32 18:05:56 18:06:16 18:06:34 18:06:50 18:07:05
25. 18:04:35 18:05:15 18:05:39 18:06:03 18:06:23 18:06:41 18:06:57 18:07:12
26. 18:04:41 18:05:20 18:05:44 18:06:08 18:06:28 18:06:46 18:07:02 18:07:17
27. 18:04:45 18:05:25 18:05:48 18:06:12 18:06:32 18:06:50 18:07:06 18:07:21
28. 18:04:48 18:05:28 18:05:51 18:06:15 18:06:35 18:06:53 18:07:09 18:07:24
29. 18:04:49 18:05:29 18:05:52 18:06:16 18:06:36 18:06:54 18:07:10 18:07:24
30. 18:04:52 18:06:06 18:05:55 18:06:18 18:06:39 18:06:56 18:07:12 18:07:26
31. 18:04:52 18:06:05 18:05:54 18:06:18 18:06:38 18:06:56 18:07:12 18:07:26
78
3. Komparasi Waktu Isya’ Wilayah Semarang
Tabel 8. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Isya’ Markaz Semarang Januari 2011
Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110
o 24' BT)
Tgl
Isya’
h: -1
Isya’
h: 100m
Isya’
h: 200m
Isya’
h: 300m
Isya’
h: 400m
Isya’
h: 500m
1. 19:13:28 19:14:02 19:14:36 19:15:01 19:15:22 19:15:41
6. 19:15:19 19:15:53 19:16:26 19:16:51 19:17:12 19:17:31
11. 19:16:39 19:17:10 19:17:43 19:18:08 19:18:28 19:18:48
16. 19:17:27 19:18:01 19:18:34 19:18:58 19:19:19 19:19:38
21. 19:17:52 19:18:26 19:18:58 19:19:23 19:19:43 19:20:02
26. 19:17:52 19:18:25 19:18:57 19:19:21 19:19:42 19:20:00
31. 19:17:25 19:18:58 19:18:29 19:18:53 19:19:14 19:19:32
Tgl
Isya’
h: -1
Isya’
h: 600m
Isya’
h: 700m
Isya’
h: 800m
Isya’
h: 900m
Isya’
h: 1000m
1. 19:13:28 19:15:58 19:16:14 19:16:29 19:16:42 19:16:55
6. 19:15:19 19:17:47 19:18:03 19:18:18 19:18:31 19:18:44
11. 19:16:39 19:19:04 19:19:20 19:19:34 19:19:48 19:20:01
16. 19:17:27 19:19:55 19:20:10 19:20:24 19:20:37 19:20:50
21. 19:17:52 19:20:18 19:20:33 19:20:48 19:21:01 19:21:14
26. 19:17:52 19:20:16 19:20:31 19:20:46 19:20:58 19:21:11
31. 19:17:25 19:19:48 19:20:03 19:20:16 19:20:30 19:20:42
79
4. Komparasi Waktu Subuh Wilayah Semarang
Tabel 9. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Subuh Markaz Semarang Januari 2011
Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110
o 24' BT)
Tgl Subuh
h: -1
Subuh
h: 100m
Subuh
h: 200m
Subuh
h: 300m
Subuh
h: 400m
Subuh
h: 500m
1. 4:00:31 3:59:57 3:59:23 3:58:58 3:58:36 3:58:18
6. 4:03:38 4:03:03 4:02:30 4:02:05 4:01:43 4:01:25
11. 4:06:38 4:06:03 4:05:31 4:05:06 4:04:44 4:04:26
16. 4:09:35 4:09:01 4:08:28 4:08:03 4:07:42 4:07:23
21. 4:12:24 4:11:51 4:11:18 4:10:54 4:10:33 4:10:14
26. 4:15:04 4:14:31 4:13:59 4:13:34 4:13:13 4:12:55
31. 4:17:28 4:16:55 4:16:24 4:15:59 4:15:39 4:15:21
Tgl
Subuh
h: -1
Subuh
h: 600m
Subuh
h: 700m
Subuh
h: 800m
Subuh
h: 900m
Subuh
h: 1000m
1. 4:00:31 3:58:00 3:57:45 3:57:30 3:57:16 3:57:03
6. 4:03:38 4:01:08 4:00:52 4:00:37 4:00:24 4:00:11
11. 4:06:38 4:04:09 4:03:53 4:03:39 4:02:47 4:03:12
16. 4:09:35 4:07:07 4:06:51 4:06:37 4:05:46 4:06:11
21. 4:12:24 4:09:58 4:09:43 4:09:28 4:09:15 4:09:02
26. 4:15:04 4:12:39 4:12:24 4:12:10 4:11:56 4:11:44
31. 4:17:28 4:15:05 4:14:50 4:14:36 4:14:22 4:14:10
80
BAB IV
ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal
Waktu Shalat
Dari beberapa data pada Bab III menunjukkan beraneka macam
penggunaan data ketinggian tempat oleh para ahli falak. Perbedaan respon dan
penggunaan data ketinggian tempat tersebut dikarenakan ada pendapat yang
menganggap ketinggian tempat tidak berpengaruh pada waktu shalat, sehingga
ketinggian tempat dianggap menjadi tidak urgensi dalam formulasi penentuan
awal waktu shalat. Oleh karena itu, untuk mengetahui urgensi tidaknya ketinggian
tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, penulis mencoba
menelusurinya dari pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat.
Secara astronomi, ketinggian tempat mempengaruhi atmospheric
extinction, yaitu pengurangan kecerahan suatu benda langit sebagai foton benda
langit tersebut untuk menembus atmosfer kita. Efek dari atmospheric extinction
ini tergantung pada transparasi, ketinggian pengamat, dan sudut puncak (sudut
dari puncak untuk satu baris dari penglihatan). Ketika sudut puncak meningkat,
cahaya dari objek bintang harus melalui suasana yang lebih, sehingga mengurangi
81
kecerahan. Oleh karena itu, bintang dekat zenit terlihat lebih terang daripada saat
mendekati horizon.129
Ada tiga faktor yang dapat dipertimbangkan untuk menilai secara
kuantitatif dampak atmospheric extinction. Salah satunya adalah penyerapan
Molekuler, terutama disebabkan ozon atmosfer dan air, yaitu sekitar 0,02 besarnya
per massa udara.130
Pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi ozon meningkat
dengan ketinggian dan mencapai maksimum di sekitar ketinggian 25 km,
kemudian turun dengan jumlah yang kecil pada ketinggian 50 km. Sedangkan
konsentrasi uap air berkurang (turun) terhadap ketinggian.131
Sebagai sinar perjalanan cahaya dari lapisan ke lapisan, cahaya tersebut
bergerak dengan udara pada ketinggian yang berbeda bergerak dalam arah yang
berbeda pada berbagai kecepatan. Sinar yang melewati lapisan dibiaskan dengan
jumlah yang terus berubah. Pada rentang waktu puluhan milidetik, posisi bintang
akan berubah oleh pecahan detik derajat.132
Sehingga, pada saat mencapai tanah,
sinar mungkin telah bergeser ke posisi yang sedikit berbeda dan kecerahannya pun
berkurang. Oleh karena itu, observatorium gunung mempunyai atmospheric
extinction yang lebih kecil. Begitu pula atmospheric extinction di musim dingin
lebih kecil daripada di musim panas karena atmosfer sedikit air.
129
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret
2011, situs ini disarankan oleh Hendro Setyanto dari hasil wawancara penulis via facebook pada
tanggal 1 Maret 2011 130
Ibid 131
Bayong Tjasyono, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322
Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm 1.3 132
http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html yang diakses pada
tanggal 26 Maret 2011
82
Extinction ini menjadi signifikan ketika ketinggian suatu benda langit,
(dalam hal ini yang dimaksud adalah matahari) lebih rendah dari sekitar 45o.
Apabila posisi tersebut diamati di permukaan laut, kepunahan puncaknya sekitar
0,28 magnitudo. Sedangkan jika suatu benda langit pada ketinggian 12,5o,
kepunahan adalah 1,28 magnitudo, meningkat sebesar 1,00 magnitudo lebih besar
dari puncak pada saat 45o. Efeknya menjadi jauh lebih dramatis di ketinggian
rendah bahkan di cakrawala, efek besarnya adalah 11,2 magnitudo.133
Di samping itu, ketinggian suatu tempat juga ada kaitannya dengan
refraksi. Bila sinar cahaya lewat dari ruang hampa angkasa antar bintang ke dalam
atmosfer, maka kecepatannya berkurang. Perbandingan kecepatan sinar dalam
ruang hampa dengan kecepatan sinar dalam ruang medium disebut indeks refraksi
(indeks bias). Indeks refraksi atmosfer dapat dihitung berdasarkan ketinggian,
karena tekanan barometric dan tekanan parsial uap air lebih cepat dibandingkan
dengan temperatur udara. Penurunan indeks refraksi menyebabkan kenaikan
kecepatan penjalaran gelombang dengan ketinggian, sehingga sinar dibelokkan ke
bawah.134
Namun, dari kedua point tersebut; atmospheric extinction dan refraksi;
menurut penulis ketinggian tempat besar pengaruhnya pada kerendahan ufuk
133
Op cit, http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm. Selain mengurangi kecerahan,
atmospheric extinction juga menyebabkan memerahnya suatu bintang. Fenomena ini terkait
dengan extinction (kepunahan) antar bintang di mana spektrum radiasi elektromagnetik dari
sumber radiasi mengubah karakteristik dari objek yang awalnya dipancarkan. Matahari biasanya
menjadi redup pada panjang gelombang pendek dengan terangnya tersebar di langit latar depan,
dan cahaya ditransmisikan sehingga yang tersisa dan tampak adalah cahaya merah. Memerah ini
terjadi karena hamburan Rayleigh mempengaruhi cahaya biru sehingga sudut zenith meningkatkan
ada kemerahan yang sesuai dari objek bintang. Inilah yang menjadikan matahari ataupun bulan
tampak merah ketika senja dan pagi hari. Lihat pada http://mintaka.sdsu.edu/GF/
explain/extinction/extintro.html yang diakses pada tanggal 27 Maret 2011 134
Bayong Tjasyono, op cit, hlm. V.8 – V.11
83
pengamat. Kerendahan ufuk atau ikhtilaful ufuq ialah perbedaan kedudukan antara
ufuk hakiki (ufuk yang sebenarnya) dengan ufuk mar’i (ufuk yang terlihat) oleh
seorang pengamat.
Dalam suatu pengamatan, kedudukan atau arah bidang horizon bagi
pengamat di muka laut berbeda dengan kedudukan atau arah horizon bagi
pengamat di tempat yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bumi dianggap
berbentuk bulat.135
Bila tinggi suatu benda langit diamati pada ketinggian tertentu
di atas permukaan air laut, maka tinggi benda langit yang terlihat tersebut adalah
tinggi dari horizon pengamat (ufuk mar’i), bukan horizon hakiki. Horizon hakiki
adalah suatu bidang yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis
vertikal.136
Saat kita berdiri di atas bumi, maka letak mata kita tidak pernah tepat pada
permukaan bumi, akan tetapi senantiasa pada jarak tertentu di atasnya. Oleh
karena itu, setiap pengamat yang mengamati benda-benda langit termasuk
matahari dan bulan, matanya tidak akan tepat di permukaan bumi maupun di
permukaan laut, melainkan pada ketinggian tertentu di atas benda langit tersebut.
Jika dari pengamat ditarik garis lurus sejajar dengan bidang horizon, maka
garis atau bidang ini yang disebut dengan ufuk hakiki yang berjarak 90° dari
zenith. Sedangkan ufuk yang terlihat dan tampak di lapangan merupakan batas
persinggungan antara pandangan mata dengan permukaan bumi atau permukaan
laut. Garis lurus yang ditarik dari batas persinggungan ini yang disebut dengan
ufuk mar’i. Maka dari itu, ufuk mar’i lebih rendah daripada ufuk hakiki. Perbedaan
135
Dimsiki Hadi, op cit, hlm. 99 136
Abdr Rachim, Op cit, hlm. 29
84
ini lah yang dinamakan kerendahan ufuk, atau dalam istilah astronomi dikenal
dengan dip.
Dip atau kerendahan ufuk ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat.
Semakin tinggi kedudukan mata kita, semakin besar nilai kerendahan ufuk.
Sehingga, tempat yang berada lebih tinggi akan menyaksikan benda langit terbit
lebih awal serta melihat benda langit terbenam lebih akhir, dibandingkan dengan
tempat yang lebih rendah. Koreksi kerendahan ufuk yang dipengaruhi oleh
ketinggian tempat adalah untuk koreksi jika tinggi matahari kurang dari 10°, lebih
dari nilai tersebut, koreksi dapat diabaikan saja, sebagaimana dalam Almanak
Nautika:137
An additional correction, given on page A4, is required for the change in
the refraction, due to variations of pressure and temperature from the
adopted standar conditions; it may generally be ignore for altitudes greater
than 10°.
Dari beberapa keterangan tersebut, maka menurut penulis ketinggian
tempat berpengaruh pada kerendahan ufuk yang teramati, selanjutnya berdampak
pada posisi matahari yang teramati kemudian juga mempengaruhi sudut waktu
matahari. Sebagai konsekuensinya, maka ketinggian tempat dikatakan
mempengaruhi jadwal waktu shalat, yaitu waktu-waktu yang berhubungan dengan
kerendahan ufuk dengan ketinggian matahari kurang dari 10° yakni waktu
Maghrib, waktu Isya’ dan waktu Subuh serta waktu terbit sebagai akhir waktu
Subuh.
Dari beberapa perhitungan penulis menunjukkan bahwa pengaruh
ketinggian tempat dalam waktu shalat tidak linear. Sehingga pengaruh tersebut
137
Almanak Nautika, op cit, hlm. 259
85
tidak dapat digeneralisir dan dianggap sama besar dengan ketinggian tertentu,
melainkan masing-masing ketinggian tempat mempunyai pengaruh selisih waktu
yang berbeda antar ketinggian. Berdasarkan data perhitungan penentuan waktu
shalat dengan ketinggian tempat, maka penulis menyimpulkan bahwa pengaruh
ketinggian tempat terhadap waktu shalat (dalam suatu wilayah yang sama nilai
lintang dan bujurnya) adalah sebagai berikut:
1. Waktu Maghrib
Waktu Maghrib adalah waktu dimana matahari tenggelam. Dalam
astronomi waktu ini posisi tinggi matahari (ho) diperkirakan sekitar -1° dari
horizon. Ini adalah waktu shalat dimana posisi matahari paling dekat dengan
horizon, sehingga menurut penulis, waktu Maghrib merupakan waktu shalat
yang paling dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Dari hasil perhitungan
penulis, selisih waktu shalat yang menggunakan ho -1° dan waktu shalat yang
menggunakan data ketinggian tempat dengan formulasi 1.76√ℎ adalah
sebagai berikut:138
Tabel 10. Selisih jadwal waktu shalat Maghrib ho: -1°
dengan ho: -( ku + ref + sd)
Ketinggian
pengamat (meter)
Selisih (menit)
50 0,18
75 0,38
100 0,68
150 0,85
200 1,08
138 Serupa dengan tabel Daftar Koreksi Pengamat menurut Sa’aduddin Djambek, tabel
tersebut juga berdasarkan ketinggian daerah sekeliling hingga kaki langit atau ufuk. Namun jika
dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Sa’aduddin Djambek, tabel selisih waktu untuk
koreksi ketinggian tempat ini agak berbeda. Sedikit perbedaan ini dikarenakan pembulatan dua
angka di belakang koma. Selain pembulatan koma, tabel daftar koreksi oleh Djambek hanya untuk
waktu syuruq dan ghurub saja.
86
250 1,3
300 1,5
400 1,85
500 2,15
600 2,42
700 2,67
800 2,92
900 3,13
1000 3,35
2. Waktu Isya’
Waktu Isya’ diperkirakan waktu dimana posisi ho matahari: -18°
dibawah ufuk. Meskipun telah berada dibawah horizon 18°, menurut penulis
pada posisi ini ketinggian tempat cukup mempengaruhi pengamatan
kerendahan ufuk matahari sehingga mempengaruhi keberadaan sisa-sisa
cahaya yang ada di langit. Dari hasil perhitungan yang membandingkan
waktu shalat yang hanya menggunakan ho -18° dan waktu shalat yang
menggunakan formulasi kerendahan ufuk 1.76√ℎ dengan melibatkan data
ketinggian tempat adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Selisih jadwal waktu shalat Isya’ ho: -18°
dengan ho: -( ku + ref + sd) + -17°
Ketinggian
pengamat(meter)
Selisih (menit)
50 0,18
75 0,4
100 0,58
150 0,87
200 1,12
250 1,35
300 1,55
400 1,9
500 2,22
600 2,5
700 2,75
87
800 3
900 3,23
1000 3,45
3. Waktu Subuh
Waktu Subuh untuk Indonesia sekarang ini masih terdapat perbedaan
dari kalangan ahli falak mengenai ho matahari. Ada yang menyebutkan ho
matahari: -18°, -19°, dan -20°.
Tabel 12. Selisih jadwal waktu shalat Subuh’ ho: -20°
dengan ho: -( ku + ref + sd)+ -20°
Ketinggian
pengamat(meter)
Selisih (menit)
50 - 0,18
75 - 0,4
100 - 0,58
150 - 0,86
200 - 1,12
250 - 1,35
300 - 1,55
400 - 1,9
500 - 2,22
600 - 2,5
700 - 2,76
800 - 3
900 - 3,23
1000 - 3,45
4. Terbit
Sebagaimana waktu Maghrib, waktu terbit matahari juga kurang lebih
berada pada posisi ho: -1° di bawah ufuk. Oleh karena itu, terbit sebagai tanda
berakhirnya waktu Subuh juga terpengaruh dengan ketinggian tempat.
Berkebalikan dengan Maghrib, untuk waktu terbit untuk daerah tinggi akan
menyaksikan terbit lebih dahulu daripada daerah yang lebih rendah. Oleh
karena itu, tempat yang lebih tinggi akan menyaksikan matahari lebih dahulu
terbit dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah.
88
Tabel 13. Selisih jadwal waktu shalat Terbit ho: -1
dengan ho: -( ku + ref + sd)
Ketinggian
pengamat(meter)
Selisih (menit)
50 - 0,18
75 - 0,38
100 - 0,68
150 - 0,85
200 - 1,08
250 - 1,3
300 - 1,5
400 - 1,85
500 - 2,15
600 - 2,42
700 - 2,67
800 - 2,92
900 - 3,13
1000 - 3,35
5. Waktu Dzuhur
Waktu Dzuhur tidak terpengaruh oleh data ketinggian tempat karena
waktu Dzuhur tidak berhubungan dengan ufuk. Waktu Dzuhur adalah waktu
dimana kedudukan matahari sesaat setelah berkulminasi. Waktu ini posisi
matahari hampir 90° dari ufuk. Oleh karena itu waktu Dzuhur tidak
terpengaruh dengan data ketinggian tempat.
6. Waktu Ashar
Waktu Ashar adalah waktu dimana panjang bayang-bayang suatu
benda lebih panjang dari benda yang sebenarnya. Pada saat itu diperkirakan
posisi matahari 45° dari ufuk. Karena posisi tersebut dianggap masih
tergolong tinggi dari ufuk maka pengaruh kerendahan ufuk terlalu kecil atau
dianggap tidak ada. Oleh karena itu, waktu Ashar tidak terpengaruh oleh data
ketinggian tempat.
89
Dari data tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa ketinggian tempat
berpengaruh pada waktu shalat, yaitu waktu shalat Maghrib, Isya’ dan Subuh.
Karena jelas berpengaruh dalam waktu shalat maka untuk keakurasian waktu
shalat agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya atau berbuka
puasa sebelum waktunya (terkait waktu Maghrib) maka ketinggian tempat suatu
daerah dinilai sangat urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat.
Sebab, sebagaimana dalam surat An Nisa 104, bahwa shalat merupakan ibadah
yang telah ditentukan waktunya sehingga tidak dapat dilakukan sembarang waktu.
B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat yang Ideal Terkait
Formulasi Kerendahan Ufuk Yang Berbeda-Beda
Dari beberapa pendapat ahli falak tentang formulasi waktu shalat dengan
data ketinggian tempat, yaitu dip (0 1.76’ √h) + ref + sd, dip (0,0293 √h) + ref +
sd, dan dip (0,98 √h) + ref + sd ataupun (√3,2 h) + ref + sd, menurut penulis,
semua rumusan tersebut merupakan pendekatan dalam menentukan dip karena
bentuk permukaan bumi yang tidak rata.
Bumi ini sebenarnya bukan berbentuk bulat rapi, melainkan berbentuk
tidak rata. Hal ini dikarenakan pada bentuk permukaan bumi yang berupa dataran
rendah, dataran tinggi, pegunungan, sungai, laut, dan sebagainya. Bentuk bumi
yang tidak rata ini dalam geodesi digambarkan dengan geoid. Geoid adalah
bidang ekipotensial gaya berat buni yang berimpit dengan permukaan laut ideal.
Geoid ini dianggap bentuk yang paling mendekati mean sea level (permukaan laut
rata-rata). Sedangkan rumus-rumus yang ada merupakan rumus dibuat
90
berdasarkan bentuk ellipsoid bumi, yaitu bentuk pendekatan untuk geoid yang
mana bentuk bumi digambarkan bulat agar memudahkan dalam perumusan suatu
formulasi perhitungan-perhitungan bumi.139
Gambar 5. bumi – geoid – ellipsoid
Gambar 6. garis pendekatan antara topografi bumi, ellipsoid, dan geoid.
Oleh karena itu, menurut penulis, banyaknya formulasi rumus ialah untuk
mendapatkan nilai yang paling mendekati kebenaran mengenai kerendahan ufuk.
Karena pusat dari bumi sendiri yang digunakan untuk pengukuran tinggi tempat
masih berupa pendekatan, belum mencapai nilai mutlak. Dari turunan-turunan
139
Eddy Prahasta, op cit, hlm. 121, juga ada dalam materi power pint Sistem Koordinat
yang disampaikan oleh Arief Laila Nugraha dalam perkuliahan Astronomi Bola di kelas
Konsentrasi Ilmu Falak semester 3.
91
tersebut dapat kita lihat, bahwa masing-masing formulasi mempunyai pendekatan
yang berbeda-beda.
Dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktik karya Muhyiddin Khazin ho
Maghrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho Terbit: -1°. ho yang digunakan
oleh Muhyiddin Khazin ini merupakan ho rata-rata matahari yang belum
dicalculation oleh beberapa koreksi, termasuk koreksi tinggi tempat. Slamet
Hambali dan beberapa ahli falak sebagaimana mengutip dari Almanak Nautika,
menggunakan 0° 1’.76√h untuk mencari koreksi ku. Sedangkan Uzal Syahruna
seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih
memilih menggunakan bentuk decimal dari 0° 1’.76√h, yakni ku: 0.0293√h.
Sedangkan dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat
oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa dip dapat dihitung dengan rumus dip 0,97
√h feet atau 1,757√h meter.
Dari penelusuran penulis, antara formulasi satu dengan yang lain ada
beberapa kemiripan, bahkan menurut penulis satu kesatuan. Sebagaimana formula
yang disuguhkan oleh Textbook on Sperical Astronomy, Rinto Anugroho dan
Astronomy Principles and Practise menurut penulis adalah sama dan satu
kesatuan. Berikut turunan rumus ku yang penulis peroleh dari buku Astronomy
Principles and Practise140
:
140
A.E. Roy, D. Clarke, op cit, hlm. 93-95
92
D
T’
O
h θ'
T
a’
H H’
‘
Gambar 7. Sudut Dip/kerendahan ufuk
a = a’ – θ
Jari-jari bumi adalah R, maka
CT = CA = R
dan
CO = R + h
Segitiga OTC sama dengan T; ∠HOC = 90°, ∠ TOC = 90° - θ.
Maka,
Sin TOC = cos θ = R
R+h
Tapi θ adalah sudut kecil, maka kita dapat menulis
Cos θ = 1 - 𝜃2
2
R
R+h = 1 -
𝜃2
2
1 - 𝜃2
2 =
R
R+h
C
Ro
Ro
A
a
θ
Z X
93
𝜃2
2 =
R+h
R+h -
R
R+h =
h
R+h ′
θ = √2h
R+h
karena h sanagat kecil dibanding R, maka kita dapat menulis:
θ =√2hR
radian
untuk mengganti satuan radian menjadi derajat, maka untuk 1 radian: 3438,
yaitu 57.32 x 60, menjadi:
θ = 3438 √2hR
kemudian dimasukkan nilai R: 6372 x 106 menjadi:
θ = 1,93’ √ℎ
itu jika h berupa meter, sedangkan jika h berupa satuan feet (kaki), maka:
θ = 1,06’ √ℎ
apabila dimasukkan nilai refraksi maka nilainya berkurang menjadi:
θ = 1,78’ √ℎ menit
untuk h berupa meter, sedangkan h berupa feet, maka:
θ = 0,98’ √ℎ menit
Sebagaimana yang penulis kutip dari buku Astronomy Principles and
Practise, yaitu:141
When refraction is taken into account, the path of ray from the horizon at
T’ is cured as shown and therefore appears to come from a direction OD,
so that the distance to the horizon is greater and the angel of dip is less.
141
Ibid
94
Dari turunan tersebut dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan formulasi
ada persamaan dengan beberapa rumus di atas. Dip/ku yang digunakan Rinto
Anugraha, yaitu 1,93√ℎ adalah dip/ku yang belum menggunakan koreksi refraksi
di dalamnya, dan h dalam formulasi ini bersatuan meter. Untuk formulasi dip/ku
yang telah menggunakan refraksi seperti Textbook on Sperical Astronomy 0.98√ℎ
adalah h bersatuan feet. Sedangkan formulasi yang digunakan Slamet Hambali,
1,76√ℎ merupakan bentuk formulasi yang telah memakai koreksi refraksi di
dalamnya dan h bersatuan meter. Perbedaan dua angka di belakang koma dari
yang digunakan dan ini hampir sama dengan yang digunakan oleh Muchtar
Salimi, yaitu 0,97√ℎ feet dan 1,767√ℎ meter menurut penulis karena pembulatan.
Berbeda-bedanya formulasi dip/ku tersebut selain karena penggunaan
refraksi, juga dipengaruhi oleh penggunaan data R. Formulasi yang memakai
tinggi tempat berupa feet sebagaimana dalam buku Textbook on Sperical
Astronomy menggunakan R: 3960 x 5280 feet, sedangkan Rinto Anugraha
menggunakan R: 6378000 meter dan buku Astronomy Principles and Practise
menggunakan R: 6.372 x 106. Meskipun Rinto Anugraha dan Astronomy
Principles and Practise berbeda mengunakan R, tapi formulasinya sama karena
pembulatan di belakang koma.
Sementara itu, Damsiki Hadi yang merupakan mantan Ketua Jurusan
FMIPA Fisika UGM Yogyakarta, dalam bukunya Perbaiki Waktu Shalat dan
Arah Kiblatmu! menggunakan formulasi 0,032° √ℎ. Formulasi tersebut ia juga
menggunakan rumus trigonometri dengan penggunaan data R = 6,4 x 106 m.
95
Berbeda dengan Abdur Rachim, ia mempunyai sedikit perbedaan
ketentuan dalam mencari dip/ku. Abdur Rachim mempunyai rumus sendiri yaitu
dalam bukunya Ilmu Falak, dijelaskan bahwa ku mar’i dapat diketahui dengan
rumus √3,2 h. Abdur Rachim mendapatkan nilai tersebut menggunakan
pendekatan rumus pitagoras dari segitiga siku-siku untuk menggambarkan titik-
titik antara pusat bumi, tinggi tempat dan ufuk. Sedangkan Rinto Anugraha, buku
Textbook on Sperical Astronomy, dan Astronomy Principles and Practise
ketiganya menggunakan pendekatan rumus trigonometri. Dalam penggunaan data
R Abdr Rachim juga berbeda, yaitu dengan R: 6000 km.
Dari penulusuran penulis tersebut, penulis beranggapan bahwa rumus yang
digunakan oleh Abdr Rachim merupakan rumus paling sederhana karena masih
menggunakan rumus bidang segitiga siku-siku dan memakai data R: 6000 km.
Sedangkan ketiga formulasi (Rinto Anugraha, buku Textbook on Sperical
Astronomy, dan Astronomy Principles and Practise) telah menggunakan
pendekatan deret Mc.Laurin; yaitu deret yang biasa digunakan untuk
memperhitungkan garis lengkung dengan perhitungan dari beberapa perpotongan
garis; yang digunakan untuk menghitung garis lengkung antara pengamat dengan
ufuk.
Dari turunan tersebut, maka penulis menarik kesimpulan bahwa pada
dasarnya formulasi mencari dip/ku yang digunakan Textbook on Sperical
Astronomy, Muchtar Salimi, Slamet Hambali, Uzal Syahruna, Rinto Anugroho
dan Astronomy Principles and Practise adalah sama, hanya berbeda penggunaan
dan pembulatan saja.
96
Dalam hal ini menurut penulis tidak ada larangan untuk memilih salah satu
formulasi dalam perhitungan penentuan waktu shalat. Sebab, selisih waktu shalat
yang dihasilkan dari beberapa formulasi tersebut tidak banyak, hanya sekian detik
saja. Hal ini dapat dipahami dari tabel berikut ini:
Tabel 14. Komparasi Formulasi ku142
Waktu Shalat Asal ho 1.76 √𝒉
(m)
1.93√𝒉
(m)
0.98 √𝒉
(ft) √𝟑.𝟐𝒉
(m)
0.032√𝒉
(m)
1.67 √𝒉
(ft)
Maghrib 17:58:03 17:58:41 17:58:48 17:57:47 17:58:42 17:58:48 17:58:48
Isya 19:13:38 19:14:17 19:14:25 19:13:22 19:14:18 19:14:24 19:14:24
Subuh 04:00:41 04:00:02 03:59:54 04:00:58 04:00:01 03:59:55 03:59:55
Dhuhur 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42
Ashar 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selisih antara formulasi jika
dibandingkan dengan tinggi matahari yang tidak menggunakan koreksi ketinggian
tempat (Maghrib ho-1, Isya’ ho-18, Subuh ho-20) hanya sekian detik, yaitu:
Tabel 15. Daftar Selisih Antar Formulasi – Tinggi Matahari Tanpa Koreksi
Waktu Shalat 1.76 √𝒉 (m) Asal ho 1.93√𝒉 (m) √𝟑.𝟐𝒉 (m) 0.032√𝒉 (m)
Maghrib 17:58:41 -38 d 7
d 1
d 7
d
Isya 19:14:17 -39 d 8
d 1
d 7
d
Subuh 04:00:02 39 d -8
d -1
d -7
d
Waktu Shalat 0.98 √𝒉 (ft) Asal ho 1.67 √𝒉 (ft)
Maghrib 17:57:47 16 d 1
m 1
d
Isya 19:13:22 16 d 1
m 2
d
Subuh 04:00:58 -17 d
-1m 3
d
Meskipun tidak ada larangan dalam penggunaan formulasi, namun
menurut penulis formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang
142
Data ini menggunakan h 100 meter (30,48 feet), dan menggunakan data ephemeris
pada tanggal 1 Januari 2011
97
di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data
ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku:
1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ. Karena pada formulasi tersebut telah ada koreksi
refraksi, maka ku disini menggunakan ku yang di dalamnya belum ada koreksi
refraksinya. Jika kita menggunakan ku: 1,93√ℎ (meter) atau dip/ku: 1,06√ℎ (feet)
maka kita tidak perlu menambah data refraksi di dalamnya.
C. Analisis Penggunaan Waktu Ihtiyat untuk Mengatasi Pengaruh Ketinggian
Tempat dalam Penyajian Jadwal Waktu Shalat yang Ideal.
Pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat membuat jadwal waktu
shalat antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda. Namun, menurut
penulis, dalam penentuan jadwal waktu shalat tidak perlu menghitung satu-persatu
waktu shalat untuk masing-masing daerah. Menurut penulis, penggunaan ihtiyat
yang digunakan para ahli falak telah dapat mengatasi perbedaan waktu akibat
perbedaan tinggi tempat. Toleransi di sini berarti toleransi waktu yang diberikan
sebagai jalan tengah waktu shalat suatu wilayah yang mempunyai toporafi tinggi
tempat yang berbeda-beda. Ihtiyat yang diberikan oleh para ahli falak, biasanya
dengan diambilnya rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan
daerah yang tinggi atau rendah sebagai acuan, dan penggunaan penambahan
waktu ihtiyat.
Penggunaan data ketinggian tempat rata-rata yang dipakai beberapa ahli
falak menurut penulis telah dapat memback up pengaruh ketinggian tempat
original, meskipun yang digunakan ialah data rata-rata ketinggian tempat 100-200
98
meter di atas permukaan air laut. Selama ini, ketinggian tempat yang ada biasanya
berupa ketinggian tempat berdasarkan permukaan air laut rata-rata. Karena
parameter ketinggian tempat yang dianggap standar adalah ketinggian tempat
yang diukur dari permukaan air laut. Hal ini didasarkan permukaan air laut
sebagai patokan karena diasumsikan bahwa permukaan air laut di semua tempat
adalah sama. Berbeda jika ketinggian tempat diukur dari ufuk. Karena setiap ufuk
dari masing-masing ketinggian suatu tempat atau wilayah berbeda-beda, sebab
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, yaitu pohon, bukit, bahkan gedung
bertingkat.
Meskipun demikian, ketinggian tempat dapat diukur berdasarkan daerah
lain yang menjadi ufuk. Beda tinggi ini dapat diukur dari Titik Tinggi Geodesi
(TTG) yang ada. Dalam suatu wilayah ada beberapa TTG yang dapat menjadi
acuan tinggi tempat dengan tanda patok sebagai pegukur untuk daerah lainnya.
Pengukuran beda tinggi antara TTG yang terdekat dengan daerah yang dihitung
tinggi tempatnya dengan menggunakan waterpas.
Selain itu, beda tinggi antar daerah juga dapat diperoleh dengan
menghitung selisih tinggi tempat kedua daerah tersebut. Misalnya untuk mencari
ketinggian antara daerah Ngaliyan dengan Tugu, dapat diperoleh dengan
menghitung selisih tinggi tempat keduanya.. Dengan demikian, dapat diketahui
tinggi tempat berdasarkan daerah lain yang menjadi ufuk karena daerah Tugu
merupakan daerah yang menjadi ufuk yang teramati dari Ngaliyan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ketinggian tempat dapat diukur dari ufuk yang berupa daerah
lain yang teramati.
99
Oleh karena itu, pengunaan data ketinggian rata-rata 100-200 meter dinilai
cukup sebagai pengcoveran berbedanya tinggi tempat, karena rata-rata ketinggian
tempat sebagian besar wilayah jika dihitung dari garis ufuk tidak melebihi 200 m.
Sedangkan koreksi waktu terhadap ketinggian tempat suatu daerah hanya
diperlukan untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai ketinggian tempat yang
ekstrim terhadap ufuk. Sebagaimana pendapat Thomas Djamaluddin bahwa143
koreksi dip yang dipengaruhi ketinggian tempat ini bisa diberlakukan secara lokal
sekali di wilayah puncak bukit yang langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih
rendah dari kondisi normal.
Sebagaimana yang telah penulis paparkan tentang ihtiyat pada Bab II poin
C.4, bahwa ihtiyat berdasarkan kegunaannya ada tiga, yaitu ihtiyat guna luasnya
daerah, ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, dan ihtiyat guna keyakinan.
Pada pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat ini, ihtiyat pertama, yaitu
ihtiyat guna luas daerah, menurut penulis telah digunakan oleh para ahli falak
dalam menentukan jadwal waktu shalat suatu daerah.
Sebagai ihtiyat guna luas daerah, sependapat dengan Slamet Hambali,
sebagai toleransi, untuk waktu yang berhubungan dengan terbenamnya matahari,
sebaiknya menggunakan perhitungan dari dataran yang lebih tinggi sebagai acuan
dan patokan guna menanggulangi agar dataran tinggi tersebut tidak mengalami
masuk waktu padahal belum masuk waktu yang semestinya.
Sebagaimana waktu Maghrib dan Isya’ (berhubungan dengan terbenamnya
matahari) digunakan perhitungan dengan ketinggian tempat paling tinggi, karena
143
Hasil wawancara dengan Thomas Djamaluddin via jejaring sosial facebook pada
tanggal 3 Desember 2010
100
daerah yang lebih tinggi akan melihat matahari terbenam lebih akhir daripada
yang lebih rendah. Untuk itu, agar daerah yang labih tinggi tidak masuk awal
waktu shalat sebelum semestinya, maka pada saat waktu Maghrib dan Isya’
menggunakan data perhitungan dengan ketinggian tempat paling tinggi.
Sedangkan untuk waktu Subuh sebaliknya. Daerah yang lebih tinggi akan
menyaksikan fajar atau terbit matahari lebih cepat daripada yang lebih rendah.
Sedangkan daerah yang lebih rendah akan menyaksikan fajar dan terbit matahari
lebih akhir. Oleh karena itu, yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah daerah
yang lebih rendah. Sebab ini untuk menanggulangi agar daerah yang lebih rendah
tidak masuk awal waktu shalat sebelum waktu yang semestinya.
Dalam penentuan jadwal waktu shalat suatu daerah, biasanya para ahli
falak telah memperhitungkan lintang antara pantai selatan dan utara, mana yang
lebih dahulu masuk pada waktunya. Seperti untuk daerah Semarang, diharapkan
memperhitungkan lintang paling utara; yaitu sekitar daerah pantai Semarang; dan
lintang paling selatan; yaitu daerah sekitar Mijen. Dari titik paling utara dan
selatan tersebut dapat digunakan sebagai patokan dengan memperhatikan nilai
deklinasi matahari pada waktu tertentu. Seperti pada bulan Januari dengan
deklinasi matahari berada pada sekitar -23° 01’ 45” s/d -17° 28’ 50” di sebelah
selatan, maka yang harus menjadi acuan adalah daerah paling selatan, karena
daerah paling selatan lebih akhir masuk waktu shalatnya. Sehingga dimungkinkan
agar waktu daerah selatan tidak masuk waktu shalat sebelum waktu yang
semestinya. Begitu juga sebaliknya, jika deklinasi matahari berada di sebelah
101
utara, maka yang dijadikan acuan adalah daerah utara, juga karena daerah utara
lebih akhirr masuk waktu shalatnya.
Dari data perhitungan penentuan jadwal waktu shalat untuk wilayah
Semarang yang dilakukan penulis dengan pengambilan data yang dari beberapa
titik dari Google Earth menunjukkan bahwa untuk wilayah Semarang sendiri
mempunyai topografi yang sangat beragam. Daerah yang paling utara adalah
sepanjang pantai di Semarang, yang penulis ambil titik tempat PRPP Jateng Fair
dengan lintang -6° 57’ 04.74”. Sedangkan daerah paling selatan yang penulis
ambil titiknya adalah daerah Ungaran dengan lintang -7° 07’39.19”. Selisih waktu
shalat diantara kedua titik tersebut tidak begitu signifikan, hanya beberapa detik
saja.
Untuk perbedaan bujurnya, dalam satu wilayah markas yang digunakan
perhitungan penentuan waktu shalat biasanya hanya terdapat perbedaan selisih
yang terbesar mencapai 0,1° bujur saja. Sebagaimana dalam skripsi Muntoha
tentang Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur
dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, bahwa dalam perbedaan bujur
sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11 km berarti
perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Sehingga menurut penulis,
perbedaan bujur dalam satu wilayah dapat ditolerir dengan waktu ihtiyat yang
digunakan para ahli falak. Oleh karena itu, ihtiyat luas daerah yang dipakai para
ahli falak, menurut penulis telah cukup memback up perbedaan waktu antar
daerah dalam satu wilayah.
102
Dari data perhitungan masing-masing tempat tersebut menunjukkan bahwa
perbedaan waktu antar tempat tersebut tidak mencapai 3 menit. Sedangkan dari
keterangan Bab III point D menunjukkan bahwa untuk suatu wilayah dengan nilai
lintang dan bujur yang sama, pengaruh ketinggian tempat mencapai selisih 1
menit untuk perbedaan ketinggian sekitar 200 meter dan mencapai selisih 3 menit
untuk ketinggian 1000 meter. Sedangkan ikhtiyat yang dipakai rata-rata ahli falak
adalah 2 menit. Oleh karena itu, menurut penulis, ikhtiyat 2 menit ini telah
mampu memback up selisih waktu antar daerah akibat pengaruh ketinggian
tempat.
Dari beberapa keterangan tersebut, maka menurut penulis tidak perlu
pengadaan konversi tempat berdasarkan ketinggin tempat. Konversi tempat
berdasarkan pembagian wilayah kota yang terdapat pada jadwal waktu shalat pada
umumnya dapat dipergunakan jika bujur kedua tempat antara tempat markas
perhitungan dan tempat yang akan disesuaikan mempunyai lintang yang sama.
Jika mempunyai lintang yang berbeda dapat dikonversi asalkan perhitungan
jadwal waktu shalat memperhitungkan batas wilayah jadwal yang paling dulu dan
paling lambat masuk waktu shalat. Sehingga tidak menjadikan suatu daerah yang
seharusnya belum masuk waktu shalat, tetapi dianggap telah masuk waktunya.
Melihat topografi wilayah yang ada di Indonesia sangat beraneka macam,
maka untuk mempermudah penentuan awal waktu shalat salah satunya dengan
pengambilan satu titik ketinggian tempat rata-rata suatu wilayah sebagai
pengganti konversi daerah untuk ketinggian tempat. Oleh karena itu, penulis
membuat tabel berdasarkan ketinggian tempat sebagai berikut:
103
Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah Berdasarkan
Berbagai Ketinggian Tempat
Ketinggian
pengamat(meter)
Ketinggian
rata-rata yang
digunakan
(meter)
Ihtiyat (menit)
0 - 50 25 2 menit pembulatan detik
0 - 75 35 2 menit pembulatan detik
0 - 100 50 2 menit pembulatan detik
0 - 150 75 2 menit pembulatan detik
0 - 200 100 2 menit pembulatan detik
0 - 250 125 2 menit pembulatan detik
0 - 300 150 2 menit pembulatan detik
0 - 400 200 2 menit pembulatan detik
0 - 500 250 2 menit pembulatan detik
0 - 600 300 2 menit pembulatan detik
0 - 700 350 2 menit pembulatan detik
0 - 800 400 2 menit pembulatan detik
0 - 900 450 2 menit pembulatan detik
0 - 1000 500 2 menit pembulatan detik
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ketinggian tempat suatu daerah sangat urgensi dalam formulasi penentuan
awal waktu shalat karena terkait dengan tingkat keakurasian waktu shalat
agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya.
2. Formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang di dalamnya
terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data ketinggian tempat
dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku: 1,76 √ℎ
(meter) atau 0.98√ℎ (feet).
3. Penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat
dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal terkait urgensinya ketinggian
tempat adalah tidak perlu pengadaan konversi tempat berdasarkan ketinggian
tempat, tetapi cukup dengan menggunakan waktu ihtiyat sebagaimana yang
diberikan oleh para ahli falak. Ihtiyat tersebut yaitu pengambilan data rata-
rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi
sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari,
dan menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang
berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ihtiyat 2 menit
dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian
tempat bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit yang
105
langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih rendah dari kondisi normal
dengan nilai ekstrim. Berikut tabel untuk pengambilan satu titik rata-rata
ketinggian tempat yang digunakan dalam formulasi penentuan awal waktu
shalat:
Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah
Berdasarkan Berbagai Ketinggian Tempat
Ketinggian
pengamat(meter)
Ketinggian
rata-rata yang
digunakan
(meter)
Ihtiyat (menit)
0 - 50 25 2 menit pembulatan detik
0 - 75 35 2 menit pembulatan detik
0 - 100 50 2 menit pembulatan detik
0 - 150 75 2 menit pembulatan detik
0 - 200 100 2 menit pembulatan detik
0 - 250 125 2 menit pembulatan detik
0 - 300 150 2 menit pembulatan detik
0 - 400 200 2 menit pembulatan detik
0 - 500 250 2 menit pembulatan detik
0 - 600 300 2 menit pembulatan detik
0 - 700 350 2 menit pembulatan detik
0 - 800 400 2 menit pembulatan detik
0 - 900 450 2 menit pembulatan detik
0 - 1000 500 2 menit pembulatan detik
106
B. Saran
1. Pembuatan jadwal waktu shalat diharapkan memperhitungkan data
ketinggian tempat dan tempat-tempat yang menjadi acauan perhitungan
dalam suatu wilayah.
2. Pemerintah melalui BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional) diharapkan menetapkan ketinggian tempat wilayah-
wilayah di Indonesia secara teliti, baik diukur dari permukaan air laut rata-
rata maupun diukur dari daerah lain yang menjadi ufuk. Serta membuat daftar
ketinggian tersebut agar mudah diakses oleh umum sehingga dapat
dipergunakan untuk kepentingan luas.
3. Skripsi ini masih sangat sederhana dan banyak kekurangan sehingga masih
membutuhkan saran dan kritik yang konstruktif sehingga skripsi ini akan
lebih sempurna, yang menjadikannya karya ilmiah yang bisa bermanfaat bagi
masyarakat dan penulis umumnya.
4. Mempelajari ilmu falak adalah fardhu kifayah. Hendaknya ilmu ini tetap
dijaga eksistensinya oleh setiap komponen dan lapisan, dengan melakukan
pengembangan dan pembelajaran sejalan dengan perkembangan Iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi).
107
C. Penutup
Syukur Alhamdulillah atas pemberian kenikmatan serta karunia yang tidak
terhingga kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Meskipun
dalam pengerjaannya penulis telah berupaya dengan optimal, ada kiranya
terdapat banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaknaan, penulis harapkan
adanya kritik, saran konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat serta dapat meningkatkan wawasan dan ranah keilmuan
kita, khususnya di bidang ilmu falak. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Syekh Syihabuddin, Tahdzib al
Tahdzib, Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H
Abi Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Syekh Islam, Al Jarah wa
Ta’dil, Beirut: Dar Al Kutub, 1373 H
A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy: Principles and Practice, Bristol: Techno House,
1978
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, tt
Album PP. Lirboyo 2002
Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995
Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al Arabiyah, tt
Anugraha Rinto, Cara Menghitung Waktu Shalat, artikel ini dapat diakses di
www.eramuslim.com
Asy-Syaukani, Muhammad Bin Ali Bin Muhammad, Nailul Authar, Beirut-Libanon :
Dal al-Kitab, jilid I, tt
Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, juz I, 1997
Azhari, Susiknan, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains, bisa diakses di
www.ilmufalak.or.id
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1,
2005
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981
Basuki, Slamet, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
Bukhari, Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang,
1997
__________________, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang
Masa, Jakarta, 1994
Djambek, Sa‟aduddin, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953
__________________, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan
Bintang, 1394
__________________, Salat dan Puasa di daerah Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan
Bintang, 1974
Ghazali, Ahmad, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005
Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University
Press, 1996
Hadi, Dimsiki, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania,
2010
Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam
pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam
Departemen Agama RI, 2007
Hartaji, Muhammad, Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu
Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003
Hasanudin, Mukhamad, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang
Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum,
Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004
Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Tafsir al Qur’anul Majid An-Nur.
Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000
_________________, Pedoman Salat, cet. X , Jakarta : Bulan Bintang, 1978
Ibnu Rusyd, Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad,
Bidayatul Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh
Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid,
Jakarta : Pustaka Amani, 2007
Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994
Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar
Al-Kitab, Juz I, tt
Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi
Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo
Semarang, 2006
Jawa Mughniyyah, Muhammad, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur
dkk dari Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI,
2007
Jawad Muqniyyah, Muhammad, At-Tafsir al-Kasif, 15:74,
Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006
K.J. Vilianueva, Pengantar ke dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen
Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung,
1978
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, tt
________________, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.
KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957
M. Khoirul Abshor, Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-Kanak dalam
Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di
Mts Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
2008
Maksum bin Ali, Muhammad, Badiah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal,
Surabaya: Maktabah Sa‟ad bin Nashir Nabhan, tt
___________________, Tibyan Al Miqat fi Ma’rifat Al Auqat wa Al Qiblah, Kediri:
Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt
Malik Abdul Karim Amrullah, Abdul, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, jilid 7, tt
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak
di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 2005
Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna yang dapat
diakses dalam www.ilmmufalak.or.id
Muhammad, Abu Bakar, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, tt
Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi, Imam Hafiz Syamsuddin, Mizan Al I’tidal,
Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt
Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Abu Ja‟far, Al-Kutub al-Arba’ah al-Ibtishar (1-4),
Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005
Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur
dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah
IAIN Walisongo Semarang, 2004
Nasib Ar-Rifa‟i, Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani:Jakarta, jilid 3, tt
Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis
Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga, 2009
Prahasta, Eddy, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung:
Penerbit Informatika, 2002
Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للترمذي, kitab abwab as-shalat, no 001
Rachim, Abd, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983
Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel Godin, Sundial; History, Theory, & Practice,
Toronto: University of Toronto Press, 1970
Ridha, Rasyid, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, tt
Salam, Abd, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar
Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan
Ampel, 2005
Sa‟id bin Muhammad Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al
Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt
Salimi, Muchtar, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997
Setyanto, Hendro, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung:
Pundak Scintific, 2001
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, cet I, 2006
Syihab, M.Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005
_______________, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta:
Lentera Hati, 2007
Tarmi, Moedji Raharto, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide
to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984
Tjasyono, Bayong, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322
Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001
Umar Al Jailani, Zubair, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt.
Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II Beirut : Dar al-Fikr,
1989
W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,
1950
http://mintaka.sdsu.edu/GF/ explain/extinction/extintro.html yang diakses pada
tanggal 27 Maret 2011
http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html yang diakses pada
tanggal 26 Maret 2011
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret
2011
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm.
http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010
http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010
http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php
www.rukyatulhilal.com
Wawancara via telepon dengan Bapak Yazid (salah satu penyusun kalender Ponpes
Lirboyo yang selama ini beredar) pada tanggal 9 Maret 2010
Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011
Wawancara via telepon dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP.
Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tanggal 15 Januari 2011
Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu
pemerhati ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di
www.eramuslim.org pada tanggal 14 – 27 Desember 2010
Wawancara via email dengan Thomas Djamaluddin pada tanggal 15 – 16 Desember
2010
Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Hendro Setyanto pada tanggal 22
Februari 2011
Wawancara via email dengan Dr. Ing, Khafid pada tanggal 23 Februari 2011
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
N a m a : Yuyun Hudzaifah
Tempat Tanggal Lahir : Grobogan, 3 Januari 1989
Alamat Asal : Jl. Kol. Sugiono III/6 Purwodadi-Grobogan 58111
Alamat Sekarang : Ponpes Daarun Najaah Jl. Stasiun No 275 Jrakah
Tugu Semarang 50151
Jenjang Pendidikan :
a. Pendidikan formal
1. TK Masithoh, Purwodadi Grobogan lulus 1995
2. Sekolah Dasar Negeri 04 Purwodadi Grobogan lulus tahun 2001
3. MTs. Darut Taqwa Purwodadi Grobogan lulus tahun 2004
4. MA. Darut Taqwa Purwodadi Grobogan lulus tahun 2007
b. Pendidikan Informal
1. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan 2002-2007
2. Pondok Pesantren ”Daarun Najaah” Jerakah Tugu Semarang 2007-
sekarang
Semarang, 6 Mei 2011
Yuyun Hudzaifah
NIM. 072111083