flare up.docx
TRANSCRIPT
Flare Up Endodontik
1. Definisi Flare Up
Flare up adalah keadaan terjadinya rasa nyeri, pembengkakan, atau kombinasi keduanya
selama rangkaian perawatan saluran akar, yang menyebabkan kunjungan tak terjadwal dari
pasien yang bersangkutan. Rasa sakit mungkin terjadi segera setelah perawatan endodontik awal
pada gigi yang asimtomatik atau tidak berapa lama setelah perawatan kegawatdaruratan
endodontik awal atau selama rangkaian perawatan (Shetty, 2005).
2. Insidensi Flare Up
Flare up sendiri memiliki insidensi yang termasuk rendah, yakni sekitar 4,2%. Namun
demikian, adanya flare up dapat dirasakan pasien sebagai akibat dari kegagalan perawatan
endodontik (Mor dkk., 1992; Milly, 2007). Flare up sendiri dapat disertai dengan pembengkakan
serta rasa nyeri yang teramat sangat namun okurensinya sangat kecil (1,4% hingga 1,6%)
(Siqueira dkk., 2002).
3. Etiologi Flare Up
Flare up terjadi karena adanya inflamasi periapikal yang akut yang disebabkan oleh
karena bahan iritatif (sealer, pengisi saluran akar, dll.) yang tertinggal pada saluran akar. Hal ini
biasanya disebabkan oleh karena proses irigasi yang kurang baik atau proses preparasi yang tidak
sempurna sehingga bahan-bahan tersebut masuk ke dalam sistem saluran akar dan akhirnya
masuk ke dalam jaringan periapikal. Beberapa hal yang menjadi penyebab lainnya adalah:
Sindroma perubahan adaptasi lokal
Adaptasi lokal yang dimaksud adalah adaptasi jaringan periapikal terhadap iritan yang timbul
pada saat atau setelah perawatan endodontik berlangsung. Iritan tersebut membuat suatu jaringan
mengalami perubahan yang berlebih pada jaringan periapikal sehingga jaringan meresponnya
dengan inflamasi yang berlebihan bahkan hingga kepada nekrosis jaringan hal ini mengakibatkan
rasa nyeri.
Overinstrumentasi atau Overmedikasi
Keadaan overinstrumentasi ketika perawatan endodontik berlangsung menyebabkan banyak
debris terdorong samapai ke jaringan periapikal, sehingga menyebabkan inflamasi.
Faktor mikroba
Debris yang terdorong tadi seringkali juga ditumpangi oleh mikroba sehingga menyebabkan
inflamasi karena endotoksin yang dihasilkan oleh mikroba tersebut. Ketika ada suatu inflamasi
maka mediator kimia seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostaglandin dan leukotrien akan
teraktifasi. Sebagai akibat dari kejadian ini, maka rasa nyeri akan timbul.
4. Pencegahan Flare Up
Flare up merupakan keadaan yang sama sekali tidak diinginkan, baik oleh pasien
maupun dokter gigi. Hal yang paling penting dalam menangani kondisi flare up adalah
melakukan pencegahan. Pencegahan yang dapat dilakukan menurut Torabinejad dan Walton
(2009) serta Shetty (2005) antara lain:
1. Diagnosis yang tepat
Mengenali dengan benar gigi mana yang menyebabkan rasa sakit
Memastikan gigi tersebut vital atau non vital
Mengetahui adanya keterkaitan gigi dengan lesi periapikal
2. Prosedur perawatan yang baik dan tepat
Menentukan panjang kerja dengan tepat: dengan radiograf atau apex locaters
Menggunakan larutan anestesi yang bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama
Ekstirpasi pulpa vital secara sempurna
Irigasi lebih baik dilakukan menggunakan kombinasi bahan irigan sodium hipoklorit
dengan klorheksidin
Memberi medikamen intrakanal
3. Pemberian instruksi verbal
Pasien sebaiknya diberitahu bahwa timbulnya rasa tidak nyaman sangat mungkin/wajar
terjadi dan ketidaknyamanan tersebut biasanya akan reda dalam satu atau dua hari. Pasien
terkadang perlu menghubungi atau melakukan kunjungan ke klinik terkait dengan
peningkatan rasa sakit, pembengkakan, atau tanda-tanda yang lain.
4. Pemberian obat-obatan profilaksis
Pemberian obat analgesik ringan, NSAID, dan antibiotik dapat mengurangi gejala pasca
perawatan endodontik.
5. Kondisi klinis yang berhubungan dengan Flare Up, diantaranya yaitu:
1. Periodontitis apikal sekunder karena perawatan
Periodontitis apikal sekunder karena perawatan ini bisa terjadi pada gigi asimptomatik
pada saat fase awal perawatan endodontik tapi gigi tersebut kemudian menjadi sensitif terhadap
perkusi selama perawatan dilakukan. Penyebab utama yang paling sering terjadi dari kondisi ini
yaitu karena over instrumentation atau over medication, bisa juga dikarenakan ada debris yang
tertekan masuk ke dalam jaringan periapikal.
2. Pengambilan jaringan pulpa yang tidak sempurna pada kunjungan awal
Pada beberapa perawatan endodontik yang instan ataupun yang terburu-buru
kemungkinan terjadi pulpektomi yang tidak sempurna sangat besar. Kondisi ini pada umumnya
terjadi ketika jaringan pulpa sudah terinflamasi sebelumnya.
3. Timbulnya periodontitis apikal kronis baru (phoenix abscess)
Phoenix abscess adalah suatu kondisi yang terjadi pada gigi dengan pulpa yang sudah
nekrosis serta terdapat lesi apikal yang asimptomatik. Penyebab dari kejadian ini diperkirakan
karena adanya alterasi saluran akar selama intrumentasi dimana banyak bakteri yang aktif. Tanda
dan gejala yang sering terjadi dari abses ini yaitu adanya mobilitas, tenderness, dan
pembengkakan.
4. Abses periapikal rekuren (kambuhan)
Ini merupakan kondisi dimana sebuah gigi kembali mengalami abses periapikal akut
setelah dilakukan perawatan gawat darurat. Pada beberapa kasus abses ini dapat kambuh lebih
dari 1 kali, tergantung dari tingkat virulensi mikroorganisme dan juga tingkat resistensi tubuh
pasien.
6. Sistem Penegakan Diagnosis
Pasien yang dalam keadaan sakit akan memberikan informasi dan respons serba berlebihan
dan tidak tepat. Mereka cenderung bingung dan cemas. Oleh karena itu, seorang dokter gigi
harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar dan pendekatan yang sistematik agar diagnosis
akurat. Agar sampai pada diagnosis yang tepat dan dapat menentukan sumber nyerinya, maka
klinisi harus mendapatkan informasi yang tepat mengenai riwayat medis dan riwayat giginya;
mengajukan pertanyaan mengenai riwayat, lokasi, keparahan, durasi, karakter dan stimuli yang
menyebabkan timbulnya nyeri; melakukan pemeriksaan visual pada wajah, jaringan keras dan
lunak rongga mulut; melakukan pemeriksaan intraoral; melakukan pengetesan pulpa; melakukan
tes palpasi, tes perkusi dan melakukan pemeriksaan radiograf (Weine, 1996; Walton ang
Torabinejad, 2002).
1. Riwayat Medis dan Gigi
Sebelum memulai prosedur yang berkaitan dengan masalah yang harus ditanggulangi
segera, riwayat medis dan giginya harus ditinjau terlebih dahulu. Jika pasien sudah pernah
datang sebelumnya, riwayat medisnya sudah ada dan hanya perlu diperbaharui saja. Jika pasien
baru, buatlah riwayat standarnya dengan lengkap. Riwayat gigi dapat dibuat lengkap atau
seperlunya dulu yang meliputi pengumpulan data prosedur gigi yang telah dilakukan, kronologis
gejala, dan menanyakan kepada pasien bagaimana komentar dokter gigi terakhir yang
dikunjunginya (Ingle, 1985; Walton and Torabinejad, 2002).
2. Pemeriksaan Subyektif
Pemeriksaan subyektif dilaksanakan dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan
dengan riwayat penyakit, lokasi, keparahan, durasi, karakter dan stimulus yang menimbulkan
nyeri. Nyeri yang timbul karena stimulus suhu dan menyebar, besar kemungkinan berasal dari
pulpa. Nyeri yang terjadi pada waktu mastikasi atau ketika gigi berkontak dan jelas batasnya
mungkin berasal dari periaspeks. Tiga faktor penting yang membentuk kualitas dan kuantitas
nyeri adalah spontanitas, intensitas dan durasinya. Jika pasien mengeluhkan salah satu gejala ini,
besar kemungkinan terdapat kelainan yang cukup signifikan. Pertanyaan yang hati-hati dan tajam
akan mengorek informasi seputar sumber nyeri yang bisa berasal dari pulpa atau periradikuler.
Seorang klinisi yang pandai akan mampu menetapkan diagnosis sementara melalui pemeriksaan
subyektif yang teliti sedangkan pemeriksaan obyektif dan radiograf digunakan untuk konfirmasi
(Cohen and Burn, 1994; Weine, 1996; Walton and Torabinejad, 2002).
3. Pemeriksaan Obyektif
Tes obyektif meliputi pemeriksaan wajah, jaringan keras dan lunak rongga mulut.
Pemeriksaan visual meliputi observasi pembengkakan, pemeriksaan dengan kaca mulut dan
sonde untuk melihat karies, ada tidaknya kerusakan restorasi, mahkota yang berubah warna,
karies sekunder atau adanya fraktur. Tes periradikuler membantu mengidentifikasi inflamasi
periradikuler sebagai asal nyeri, meliputi palpasi diatas apeks; tekanan dengan jari atau
menggoyangkan gigi dan perkusi ringan dengan ujung gagang kaca mulut. Tes vitalitas pulpa
tidak begitu bermanfaat pada pasien yang sedang menderita sakit akut karena dapat
menimbulkan kembali rasa sakit yang dikeluhkan. Tes dingin, panas, elektrik dilakukan untuk
memeriksa apakah gigi masih vital atau nekrosis (Cohen ang Burn, 1994; Walton and
Torabinejad, 2002).
4. Pemeriksaan Periodontium
Pemeriksaan jaringan periodontium perlu dilakukan dengan sonde periodontium
(periodontal probe) untuk membedakan kasus endodontik atau periodontik. Abses periodontium
dapat menstimuli gejala suatu abses apikalis akut. Pada abses periodontium lokal, pulpa biasanya
masih vital dan terdapat poket yang terdeteksi. Sebaliknya, abses apikalis akut disebabkan oleh
pulpa nekrosis. Abses-abses ini kadang-kadang berhubungan dengan sulkus sehingga sulkus
menjadi dalam. Jika diagnosis bandingnya sukar ditentukan, tes kavitas mungkin dapat
membantu mengidentifikasi status pulpa (Cohen and Burn, 1994; Walton and Torabinejad,
2002).
5. Pemeriksaan Radiograf
Pemeriksaan radiograf berguna dalam menentukan perawatan darurat yang tepat,
memberikan banyak informasi mengenai ukuran, bentuk dan konfigurasi sistem saluran akar.
Pemeriksaan radiograf mempunyai keterbatasan, penting diperhatikan bahwa lesi periradikuler
mungkin ada, tetapi tidak terlihat pada gambar radiograf karena kepadatan tulang kortikal,
struktur jaringan sekitarnya atau angulasi film. Demikian pula lesi yang terlihat pada film,
ukuran radiolusensinya hanya sebagian dari ukuran kerusakan tulang sebenarnya (Bence, 1990,
Cohen and Burn, 1994).
7. Perawatan Flare up
Ketika terjadi flare-up, cara mengatasinya adalah ,melalui 3 fase, yaitu: 1) secara
psikologis, 2) perawatan terlokalisir, dan 3) farmakoterapi.
1. Manajemen secara psikologis
Pasien sangat dimungkinkan dan dapat dimengerti akan kecewa dan terkejut dengan serangan
nyeri atau pembengkakan yang dating tiba-tiba. Reassurance adalah sebuah aspek yang sangat
kritis bahkan mungkin yang terpenting dari perawatan ini. Pasien akan khawatir dan bahkan
berasumsi bahwa perawatan telah gagal dan diperlukan ekstraksi. Dokter gigi harus menjelaskan
bahwa flare-up memang dapat terjadi dan dapat dirawat dengan baik. Kemudian, pasien harus
dibuat nyaman dengan memutus rantai nyeri. Anestesi lokal yang baik juga merupakan salah satu
hal yang penting dalam manajemen psikologis pasien.
2. Perawatan terlokalisir
Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya Vital dan Debridemen Sempurna
Kasus ini biasanya disebabkan oleh instrumentasi melebihi apeks akar (overinstrumentasi)
yang mengakibatkan adanya trauma pada jaringan periapikal atau adanya debris yang terdorong
ke dalam jaringan periapikal dan iritasi kimiawi dari larutan irigasi atau medikamen intrakanal.
Pada kasus ini biasanya pasien merasa peka waktu mengunyah (Grossman; 1988; Walton and
Torabinejad, 2002).
Kasus ini mungkin bukan suatu flare-up murni, yang dibutuhkan biasanya hanyalah
menenangkan pasien dan memberikan resep analgetik ringan sampai sedang. Selain itu, saluran
akar harus dibersihkan kembali secara hati-hati dengan irigasi berulang kali. Sebuah cotton pellet
kering diletakkan yang kemudian diikuti dengan restorasi sementara. Rasa nyeri biasanya akan
segera berkurang dengan cepat.
Pada umumnya pembukaan gigi tidak akan menghasilkan apa-apa, nyeri akan menurun
secara spontan. Flare-up tidak akan tercegah dengan kortikosteroid, baik diberikan secara
intrakanal atau secara sistemis (Walton and Torabinejad, 2002).
Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya Vital dan Debridemen Tidak
Sempurna.
Debridenmen yang tidak sempurna akan meninggalkan jaringan yang kemudian
terinflamasi dan menjadi iritan utama. Panjang kerja harus diperiksa ulang dan ditentukan
kembali, kemudian saluran akar dibersihkan hati-hati dan lakukan irigasi dengan larutan natrium
hipokhlorit yang banyak. Keringkan saluran akar dengan paper point kemudian diisi pasta
kalsium hidroksida lalu tambal sementara. Bila perlu boleh diberi resep analgetik ringan atau
sedang (Ingle, 1985; Walton and Torabinejad, 2002).
Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya Nekrosis tanpa Pembengkakan
Gigi-geligi ini dapat mengalami abses apikal akut (flare-up) setelah kunjungan. Abses
terbatas pada tulang dan biasanya sangat nyeri. Pasien dapat asimptomatik (jarang) atau
simptomatik (sering) pada kunjungan sekarang. Pada kunjugan kegawatdaruratan flare-up,
prosedur perawatan yang sama dilakukan.
Gigi dibuka dan saluran akar dibersihkan kembali dan diirigasi dengan larutan natrium
hipokhlorit. Saluran akar dikeringkan dengan paper point, kemudian diisi bahan medikasi
dengan pasta kalsium hidroksida dan ditutup tambalan sementara. Setelah kunjungan yang
banyak, cenderung menjadi abses apikalis akut, pada kasus ini harus dilakukan drainase melalui
gigi. Drainase tersebut harus terus dilakukan sampai selesai. Kemudian saluran akar diirigasi
dengan larutan natrium hipokhlorit. Biarkan rubber dam di tempatnya dan gigi tetap dalam
keadaan terbuka, pasien dibiarkan istirahat tanpa nyeri selama 30 menit atau sampai drainasenya
berhenti. Setelah itu keringkan saluran akar, letakkan pasta kalsium hidroksida dan tutup dengan
tambalan sementara (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002). Jika tidak dilakukan
drainase, saluran akar harus dibersihkan kembali, diirigasi, dimedikasi, dan ditutup.
Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya Nekrosis dengan Pembengkakan
Gigi harus dibuka dan saluran akar harus dibersihkan kembali dan kemudian ditutup. Pada
kasus dengan pembengkakan, paling baik ditangani dengan drainase, saluran akar harus
dibersihkan dengan baik. Jika drainase melalui saluran akar tidak mencukupi, maka dilakukan
insisi pada jaringan yang lunak dan berfluktuasi. Saluran akar harus dibiarkan terbuka dan
lakukan debridemen, kemudian beri pasta kalsium hidroksida dan tutup tambalan sementara.
Sebaiknya diberi resep antibiotik dan analgetik (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad,
2002).
Pembengkakan yang tidak terlokalisir yang cepat menyebar ke dalam ruangan-ruangan dan
pasien dengan infeksi sistemik memerlukan parameter tambahan. Perawatan mereka mungkin
paling baik dilakukan oleh dokter gigi bedah mulut dan maksilofasial yang akan melakukan
drainase ekstraoral dan bahkan mungkin menetapkan pasien untuk mondok.
3. Farmakoterapi
Medikamen intrakanal
Tidak ada keuntungan yang diketahui dari meletakkan medikamen atau substansi lain dalam
saluran akar untuk membantu menyembuhkan flare-up. Obat-obatan yang biasa digunakan
umumnya berupa obat sistemik atau lokal. Medikasi intrakanal golongan fenol yang biasa
digunakan adalah formokresol, CMCP, kresatin dan eugenol. Obat yang lain adalah kombinasi
steroid dan kalsium hidroksida, tetapi tidak satupun obat-obat diatas dapat mencegah terjadinya
flare-up atau meredakan gejala flare-up (Armilia, 2007).
Anestesi lokal
Memblok saraf sensoris untuk menghentikan rantai nyeri sangatlah penting. Anestesi lokal
yang biasa digunakan adalah anestesi lokal yang kerjanya lama seperti etidokain atau bupivakain
yang merupakan agen yang menghasilkan efek analgesik yang lebih lama.
Pengobatan sistemik
Obat-obatan sistemik yang digunakan adalah analgesik, steroid, dan antibiotik. Golongan
nonsteroid diindikasikan jika diinginkan adanya efek anti inflamasi atau analgetik. Golongan
narkotik bermafaat dalam menimbulkan analgesia dan sedasi. Kombinasi suatu opioid dan bahan
non steroid paling efektif bagi nyeri yang parah. Pembengkakan yang terlokalisasi tidak
mengindikasikan kebutuhan antibiotik, yang diperlukan adalah drainase dengan insisi atau
melalui saluran akar dan debridement yang sempurna dari saluran akar (Torabinejad dan Walton,
2002).
NSAID menyediakan analgesik tapi mungkin lebih sedikit daripada efek antiinflamasinya
pada kondisi akut ini. Untuk nyeri yang berat, pendekatan kombinasi adalah yang paling efektif.
Sebuah opioid seperti tramadol, codeine atau oxycodone, dan sebuah agen non-steroidal bekerja
beriringan. Sebuah kombinasi, flurbiprofen (100mg mengandung π50mg tiap 6jam) dan tramadol
(100mg tiap 6jam) terbukti efektif dalam mengatasi nyeri pada pasien kegawatdaruratan.
Steroid, yang diminum dengan dosis tunggal (4–6mg dexamethasone) juga dapat berguna.
Obat ini dapat mengontrol reaksi hipersensitivitas terkait imun. Pemberian antibiotik dapat
membantu jika terdapat selulitis yang difus dan cepat menyebar ke dalam ruangan-ruangan
wajah.
8. Tindak Lanjut Perawatan Pasien Flare Up
Pasien flare-up harus dikontak setiap hari sampai gejalanya hilang. Kontak dapat
dilakukan melalui telepon. Pada pasien dengan masalah yang lebih serius atau pasien yang tidak
sembuh, harus kembali ke dokter gigi lagi. Jika gejala timbul kembali dan tidak dapat
dikendalikan, maka perlu dipertimbangan untuk merujuknya. Perawatan akhir dilakukan oleh
spesialis mungkin meliputi obturasi yang diikuti dengan bedah apikal (Torabinejad dan Walton,
2009).