fisio giga nss
DESCRIPTION
fisiologiTRANSCRIPT
Proses melihat
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan
menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal,
pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika
sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen
kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler dan
papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epitelial kontraktil yang telah termodifikasi.
Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoepithelial cells. Jika sistem saraf simpatis
teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan pupil sehingga lebih banyak
cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi
dimana intensitas cahaya berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita
ke benda atau objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya
memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada kemampuan
refraksi mata. Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humour
(n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan
lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata
terfokus pada benda yang dekat dan jauh (Saladin, 2011).
Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap
terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial
yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina.
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory retina.
Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin yang
bersama-sama dengan pigmen pada koroid membentuk suatu matriks hitam yang
mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan mengisolasi
fotoreseptor-fotoreseptor yang ada (Saladin, 2011).
Pada sensory retina, terdapat tiga lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor,
bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform
layer dimana neuron dari berbagai lapisan bersatu. Lapisan pleksiform luar berada
diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam
terletak diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic. Setelah aksi potensial dibentuk
pada lapisan sensori retina, sinyal yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus,
optic chiasm, optic tract, lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan
korteks serebri (Seeley, 2013):
Gambar 2.1 Jaras Penglihatan (Khurana, 2012)
Nervus Opticus
Saraf optikus atau urat saraf cranial kedua adalah saraf sensorik untuk
penglihatan. Saraf ini timbul dari sel-sel ganglion dalam retina yang bergabung untuk
membentuk saraf optikus. Saraf ini bergerak ke belakang secara medial dan melintasi
kanalis optikus, memasuki rongga cranium lantas kemudian menuju khiasma
optikum. Saraf penglihatan memiliki 3 pembungkus yang serupa dengan yang ada
pada meningen otak. Lapisan luarnya kuat dan fibrus serta bergabung dengan sclera,
lapisan tengah halus seperti arakhnoid, sementara lapisan dalam adalah vakuler
(mengandung banyak pembuluh darah). Pada saat serabut-serabut itu mencapai
khiasma optikum, maka separuh dari serabut-serabut itu akan menuju ke traktus
optikus sisi seberangnya, sementara separuhnya lagi menuju traktus optikus sisi yang
sama. Dengan perantara serabut-serabut ini, maka setiap serabut nervus optikus
dihubungkan dengan kedua sisi otak sehingga indera penglihatan menerima
rangsangan berkas-berkas cahay pada retina. Pusat visual terletak pada kortex lobus
oksipitalis otak (Seeley, 2013).
Respon Bola Mata terhadap benda
Relaksasi muskulus siliaris membuat ligamentum tegang, lensa tertarik
sehingga bentuknya lebih pipih. Keadaan ini akan memperpanjang jarak fokus. Bila
benda dekat dengan mata maka otot akan berkontraksi agar lengkung lensa
meningkat. Jika benda jauh, maka m. siliaris berkontraksi agar pipih supaya bayangan
benda pada retina menjadi tajam. Akomodasi mengubah ukuran pupil, kontraksi iris
membuat pupil mengecil dan melebar. Jika sinar terlalu banyak maka pupil
menyempit agar sinar tidak seluruhnya masuk ke dalam mata. Dalam keadaan gelap
pupil melebar agar sinar banyak yang ditangkap. Dalam hal melihat benda, jika mata
melihat jauh kemudian melihat dekat maka pupil berkontraksi agar terjadi
peningkatan ke dalam lapang penglihatan. Akomodasi lensa diatur oleh mekanisme
umpan balik negatif secara otomatis (Seeley, 2013).
Buta warna
Buta warna adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel
kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu. Berdasarkan
responsivitasnya, sel kerucut dibagi menjadi 3 macam, S cone, M cone, L cone,
sedangkan sel batang hanya terdiri dari satu tipe sel. Penamaan ini berdasarkan pada
sensitivitas sel terhadap panjang gelombang cahaya short wavelength, middle
wavelength, dan long wavelength. Ada juga yang menamakan panjang gelombang ini
sebagai RGB (red, green, dan blue) namun, penamaan SML dirasa lebih tepat. Pada
sel kerucut, terdapat 3 tipe yang menampilkan warna, sedangkan sel batang hanya
satu macam, menunjukkan bahwa sel batang tidak mampu mengidentifi kasi warna.
Sel S tersebar merata pada seluruh retina, namun tidak terdapat di daerah tengah
fovea. Perbandingan jumlah L:M:S adalah 12:6:1. Mekanisme penglihatan warna
dapat dijelaskan menurut teori-teori di bawah ini (Vaughan, 2008):
1. Teori trikromatik
Pada teori ini, dikenal 3 reseptor yang sensitif terhadap 3 spektrum
warna yaitu merah, hijau, dan biru. Gambaran warna muncul karena rasio
signal dari 3 reseptor warna yang dikirim ke otak dibandingkan sampai
menampilkan warna. Teori trikromatik ini tidak diragukan, tetapi tidak dapat
menjelaskan fenomena transmisi ke otak.
2. Teori Hering’s opponent colors
Hering mengajukan teori lawan warna dengan observasinya meliputi
penampilan warna, kontras warna, foto setelah jadi, dan defi siensi
penglihatan warna. Hering mencatat penemuannya bahwa warna tertentu tidak
terjadi secara bersamaan, contohnya kemerahan-kehijauan dan
kekuningankebiruan. Hering menemukan bahwa kontras warna ikut
berpengaruh untuk membedakan warna yang berpasangan.
3. Teori modern opponent colors
Teori ini bertentangan dengan teori trikromatik. Teori ini menyatakan
bahwa warna yang diterima di reseptor warna dikirim ke retina untuk diubah
sinyalnya dan baru dikirim ke otak
Prevalensi buta warna di Indonesia adalah sebesar 0,7% pada tahun 2007,
sedangkan di Amerika Serikat pada tahun 2006 menurut Howard Hughes Medical
Institute, terdapat 7% pria, atau sekitar 10.5 juta pria, dan 0.4% wanita tidak dapat
membedakan merah dari hijau, atau mereka melihat merah dan hijau secara berbeda
dibandingkan populasi umum. Sejumlah 95 % gangguan buta warna terjadi pada
reseptor warna merah dan hijau pada mata pria. Faktor utama yang sampai saat ini
dipercaya sebagai penyebab utama buta warna adalah faktor genetik yang sex-linked,
artinya kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Hal ini yang menyebabkan lebih
banyak penderita buta warna laki-laki dibandingkan wanita (Kuntjoro, 2014).
Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk
(Kuntjoro, 2014):
1. Trikromatik
Keadaan pasien mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi
penglihatan. Pasien buta warna jenis ini dapat melihat berbagai warna, tetapi
dengan interpretasi berbeda dari normal.
2. Dikromatik
Keadaan pasien mempunyai 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit membedakan
warna tertentu (Vaughan, 2008)
3. Monokromatik (akromatopsia atau buta warna total)
Keadaan dimana hanya terdapat satu jenis pigmen sel kerucut, sedangkan dua
pigmen lainnya rusak. Pasien sering mengeluh fotofobia, tajam penglihatan
kurang, tidak mampu membedakan warna dasar atau warna antara (hanya
dapat membedakan hitam dan putih), silau, dan nistagmus. Kelainan ini
bersifat autosomal resesif
Buta warna dapat dites dengan tes Ishihara, dimana lingkaran- lingkaran
berwarna yang beberapa diantaranya dirancang agar ada tulisan tertentu yang hanya
dapat dilihat atau tidak dapat dilihat oleh penderita buta warna. Macam- macam
plat ini dirancang untuk menyediakan sebuah test yang memberikan sebuah
penilaian yang cepat dan akurat mengenai buta warna bawaan. Cara melakukan test
buta warna untuk kelainan ini adalah dengan membedakan macam- macam plat ini.
Plat- plat yang ada di alat test kebutaan warna Ishihara membentuk sebuah metode
yang mudah dalam mendiagnosa untuk kasuskasus gangguan peglihatan merah
hijau. Salah satu kelainan dari gangguan penglihatan warna merah hijau adalah
warna biru dan kuning yang muncul lebih jelas dibandingkan dengan warna merah
hijau. Tapi ada juga beberapa kelompok orang yang sangat jarang yang menderita
buta warna total dan tidak bisa membedakan variasi warna sama sekali. Biasanya, itu
disertai dengan kerusakan pusat penglihatan (Vaughan, 2008).
Gambar 2.2 Tes Ishihara (Vaughan, 2008)
Daftar Pustaka
Khurana, A.K. 2012. Comprehensive Ophtalmology 5th Edition. New Age International Publisher.
Kuntjoro, Keishatyanarsha, Kartika, Yohanie Halim. 2014. “Patofisiologi Dan Diagnosis Buta Warna”. CDK-215, Vol. 4 ( 41). Jakarta.
Saladin, Kenneth S. 2011. Anatomy And Physiology: The Unity of Form And Function 6th Edition. New York: McGraw Hill.
Seeley, Rod, Cinnamon VanPutte, Jennifer Regan, Andrew Russo. 2013. Seeley’s Anatomy And Physiology 10th Edition. New York: McGraw Hill Publisher.
Vaughan, DG, Asbury T. 2008. General Ophtalmology, 17th Edition. New York: McGraw Hill.