financial technology fintech) di indonesia

19
IMPLEMENTASI PERPAJAKAN DALAM TRANSAKSI FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH) DI INDONESIA Disusun oleh: Debri Luky Kristiani NIM. 155020300111051 Dosen Pembimbing: Yuki Firmanto, SE., MSA., Ak. ABSTRAK Financial Technology (Fintech) sebagai perpaduan inovasi antara teknologi dan jasa keuangan merupakan hal yang saat ini berkembang sangat pesat di dalam masyarakat Indonesia. Inovasi ini telah meningkatkan jumlah transaksi Fintech dengan pesat dan tentu mendorong potensi perpajakan di dalamnya. Isu perpajakan Fintech merupakan salah satu hal yang penting dan banyak dibicarakan di Indonesia. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi perpajakan Fintech dan tantangan pemungutan pajak pada transaksi Fintech. Metode yang digunakan adalah studi eksploratori yang dianalisis dengan teknik reduksi data Miles dan Huberman (1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh transaksi Fintech telah dikenakan pajak dan masih terdapat tantangan dalam pemungutan pajak Fintech. Kata kunci: Financial Technology (Fintech), Potensi Pajak, Tantangan Pemungutan Pajak

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

IMPLEMENTASI PERPAJAKAN DALAM TRANSAKSI

FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH) DI INDONESIA

Disusun oleh:

Debri Luky Kristiani

NIM. 155020300111051

Dosen Pembimbing:

Yuki Firmanto, SE., MSA., Ak.

ABSTRAK

Financial Technology (Fintech) sebagai perpaduan inovasi antara teknologi dan jasa

keuangan merupakan hal yang saat ini berkembang sangat pesat di dalam masyarakat

Indonesia. Inovasi ini telah meningkatkan jumlah transaksi Fintech dengan pesat dan

tentu mendorong potensi perpajakan di dalamnya. Isu perpajakan Fintech merupakan

salah satu hal yang penting dan banyak dibicarakan di Indonesia. Penelitian kualitatif

ini bertujuan untuk mengidentifikasi perpajakan Fintech dan tantangan pemungutan

pajak pada transaksi Fintech. Metode yang digunakan adalah studi eksploratori yang

dianalisis dengan teknik reduksi data Miles dan Huberman (1994). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hampir seluruh transaksi Fintech telah dikenakan pajak dan

masih terdapat tantangan dalam pemungutan pajak Fintech.

Kata kunci: Financial Technology (Fintech), Potensi Pajak, Tantangan

Pemungutan Pajak

Page 2: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

TAX IMPLEMENTATION OF FINANCIAL TECHNOLOGY

(FINTECH) TRANSACTION IN INDONESIA

Written by:

Debri Luky Kristiani

NIM. 155020300111051

Supervised by:

Yuki Firmanto, SE., MSA., Ak.

ABSTRACT

Financial Technology (Fintech), as the combination of technology and financial

services, is a rapidly growing innovation in Indonesian society. This innovation has

rapidly increased the number of financial transactions and enlarged tax potencial. The

issue of Fintech taxation is an important and widely discussed issue in Indonesia

recent times. The aim of this qualitative study is to identify Fintech taxation and

challenges of tax collection on Fintech transactions. This study is an exploratory

study, with analysis performed through data reduction techniques of Miles and

Huberman (1994). The findings in this study showed that almost all Fintech

transactions have been taxed and there are some challenges in collecting Fintech

taxes.

Keywords: Financial Technology (Fintech), Tax Potency, Tax Collection

Challenge

Page 3: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

I. Pendahuluan

Perkembangan teknologi internet

merupakan perkembangan yang tidak

dapat dihindari khususnya oleh

masyarakat Indonesia. Berdasarkan

hasil laporan survei yang berjudul

Penetrasi dan Profil Pelaku Pengguna

Internet Indonesia tahun 2018,

penetrasi pengguna internet di

Indonesia telah mencapai 171,17 juta

jiwa. Jumlah ini mengalami

peningkatan sebanyak 27,91 juta jiwa

dan memiliki persentase 64,8% dari

total populasi penduduk Indonesia.

Internet digunakan untuk banyak hal

salah satunya untuk mempermudah

manusia dalam melakukan aktivitas

dan gaya hidup salah satunya

menggunakan Financial Technology

(Fintech).

Carney (2016) mendefinisikan

Fintech sebagai inovasi dalam sektor

keuangan yang akan membawa

revolusi bagi setiap pengguna jasa

keuangan dan mengubah fondasi dari

bank sentral. Salah satu bukti

perubahan atau revolusi model bisnis

yang paling terlihat adalah perubahan

model proses pembayaran yang saat

ini dapat dilakukan dengan jarak jauh

dan dalam hitungan detik.

IMF (2017) yang dikutip oleh

Harahap (2017) menyatakan bahwa

total investasi global pada perusahaan

Fintech mengalami peningkatan

sebesar 16 miliar dolar AS dari tahun

2010 hingga tahun 2016. Publikasi dari

Ernst & Young (2017) yang berjudul

EY Fintech Adoption Index juga

menunjukkan bahwa rata-rata

persentase adoption index atas jasa

Fintech mengalami peningkatan dari

16% pada tahun 2015 menjadi 33%

pada tahun 2017.

Cepatnya perkembangan Fintech

terjadi karena Fintech dapat memotong

biaya, meningkatkan kualitas dari jasa

keuangan, dan menciptakan

keragaman serta kestabilan industri

keuangan (PwC, 2015). Lebih spefisik,

Bank of Japan (2016) menyatakan

bahwa Fintech dapat berkembang

dengan pesat karena dapat melakukan

Globalizing, Personalizing, dan

Virtualizing dari jasa keuangan.

Di Indonesia, pesatnya

perkembangan Fintech sendiri dimulai

sejak tahun 2015. Salah satu indikator

perkembangan Fintech adalah jumlah

perusahaan Fintech di Indonesia.

Dilansir dari Hadad (2017),

perusahaan Fintech di Indonesia pada

tahun 2015-2016 mengalami

peningkatan sebesar 412,5% dari tahun

sebelumnya. Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) mempublikasikan secara

berkala dalam laman resminya jumlah

perusahaan Fintech Lending, model

bisnis Fintech yang paling

mendominasi, yang telah terdaftar dan

memiliki ijin di Indonesia.

Hingga 30 Oktober 2019, jumlah

perusahaan penyelenggara Fintech

Lending terdaftar dan berizin di

Indonesia adalah sebanyak 144

perusahaan dengan tren yang selalu

mengalami peningkatan setiap

publikasi dilaksanakan. Berdirinya

Asosiasi Fintech Indonesia pada tahun

2015 juga menjadi salah satu hal yang

menunjukkan bahwa Fintech

merupakan hal yang berkembang

dengan pesat dan menjadi salah satu

pendorong berkembang pesatnya

Fintech di Indonesia selain tren

peningkatan jumlah pelaku Fintech di

Indonesia.

Menurut Bank Indonesia (2017)

yang dikutip oleh Hulu (2017),

Page 4: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

transaksi Fintech di Indonesia

mencapai Rp247,65 triliun atau sekitar

US$18,6 miliar dengan nilai tukar

Rp13.000,- per dolar Amerika Serikat.

Jumlah ini menunjukkan peningkatan

sebesar US$ 15 miliar atau sekitar 24

persen dari tahun sebelumnya. Di masa

depan, data statistika Bank Indonesia

memprediksikan bahwa transaksi

Fintech akan mencapai US$ 37,15

miliar atau sekitar Rp494 triliun.

Perkembangan Fintech di

Indonesia yang sangat pesat tentu

memberikan dampak kepada

pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Pada tahun 2018, Fintech telah

berhasil menyalurkan kredit Fintech

sebesar 7,64 triliun dan mendorong

tingkat konsumsi rumah tangga hingga

mencapai 8,94 triliun. Ekonom INDEF

Nailul Huda juga menyatakan bahwa

kehadiran Fintech telah mampu

menyumbang penyerapan tenaga kerja

sebesar 215.433 orang. Masifnya

perkembangan Fintech dan tingginya

transaksi yang dibawa tentu saja

membawa potensi perpajakan di

dalamnya.

Akan tetapi, meskipun telah

memiliki skema pajak, Kepala Group

Inovasi Keuangan Digital dan

Pengembangan Keuangan Mikro OJK,

Triyono memaparkan bahwa industri

Fintech di Indonesia masih memiliki

masalah perpajakan (Klinikpajak,

Agustus 2018). Adrian Gunadi selaku

Wakil Ketua Asosiasi Fintech

Indonesia menambahkan bahwa isu

pajak ini merupakan salah satu isu

yang semakin diperhatikan oleh calon

pemberi pinjaman termasuk yang

berasal dari luar negeri. Hal ini

didukung dengan pernyataan Staf Ahli

Menteri Keuangan bidang Kepatuhan

Perpajakan, Suryo Utomo, dalam

pagelaran CNBC Indonesia VIP

Forum yang menyatakan bahwa

pemungutan pajak bagi Fintech dan E-

Commerce masih tergolong sulit bagi

otoritas pajak karena bentuknya yang

cukup berbeda dengan sektor jasa

keuangan lainya.

Hal lain yang menimbulkan

permasalahan dalam Fintech adalah

masalah yang berkaitan dengan server

perusahaan sebagai Bentuk Usaha

Tetap (BUT) di Indonesia. Server

merupakan hal mendasar yang harus

dimiliki oleh perusahaan dalam

menjalankan aplikasinya. Namun pada

kenyataannya, server ini menimbulkan

kendala karena pemerintah mengalami

kesulitan dalam menentukan apakah

server tersebut dapat digolongkan

sebagai BUT.

Kompleksnya penggunaan server

ini masih belum didukung dengan

jelasnya peraturan pemerintah yang

membahas mengenai server sebagai

BUT tersebut. Peraturan pemerintah

yang membahas mengenai Bentuk

Usaha Tetap dapat dilihat pada

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000

dan Peraturan Menteri Keuangan

(PMK) No. 35/PMK.03/2019. Namun,

karena belum luasnya peraturan

tersebut, pemerintah mengalami

kesulitan dalam menentukan siapa

Subjek Pajak Fintech tersebut (Utomo,

2018).

Berkembangnya isu perpajakan

ini mendorong pihak terkait baik

pemerintah, asosiasi, maupun

perusahaan untuk memperhatikan isu

tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

perkembangan penyusunan maupun

penyesuaian regulasi khususnya sistem

pajak Fintech yang sudah mulai

digiatkan oleh beberapa instansi yang

terkait. Selain pemerintah, Asosiasi

Page 5: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Finteh Pendanaan bersama Indonesia

(AFPI) juga berusaha untuk mengkaji

mengenai isu yang muncul dalam

Fintech. Dilansir dari kontan.co.id,

saat ini AFPI tengah membentuk tim

satuan tugas atau task force. Tim ini

membahas tentang isu perpajakan,

prinsip mengenal nasabah atau Know

Your Customer (KYC), dan limit

pinjaman lending.

Besarnya dampak Fintech

terhadap masyarakat Indonesia baik

secara langsung maupun tidak

langsung serta banyaknya pihak yang

turut serta dalam membahas

mekanisme perpajakan Fintech

menunjukkan bahwa permasalahan

pajak Fintech merupakan sebuah hal

yang cukup penting bagi masyarakat

Indonesia. Pentingnya permasalahan

ini tentu harus didukung oleh

pemahaman melalui literasi maupun

referensi bagi masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, penulis menemukan

bahwa masih sedikit literatur ilmiah

yang membahas mengenai

implementasi perpajakan pada bisnis

proses Fintech. Padahal, Fintech

merupakan sesuatu yang saat ini

sangat dekat dengan kebutuhan dan

keseharian masyarakat Indonesia.

Berdasarkan permasalahan telah

dipaparkan di atas, penulis tertarik

untuk mencari tahu dan menggali

informasi mengenai implementasi

perpajakan pada bisnis proses Fintech.

Penulis berharap penelitian ini dapat

menjadi literasi dan referensi bagi

masyarakat dalam memahami

perpajakan Fintech yang saat ini

sangat dekat dengan kehidupan

masyarakat.

II. Tinjauan Pustaka

2.1 Financial Technology (Fintech)

Fintech merupakan sebuah

sektor baru dalam bidang jasa

keuangan yang menggabungkan

teknologi yang digunakan dalam

keuangan untuk memfasilitasi

perusahaan, perdagangan, maupun

melakukan interaksi atau memberikan

jasa kepada penggunanya (Micu dan

Micu, 2016) yang dikutip dalam

Schueffel (2016). Leong dan Sung

(2018) mendefinisikan Fintech sebagai

subyek cross-disciplinary sebagai

kombinasi dari Finance, manajemen

teknologi, dan manajemen inovasi

untuk membuat proses atas jasa

keuangan menjadi semakin efektif.

Bank Indonesia mendefinisikan

Fintech sebagai teknologi yang dapat

memberikan dampak baik kepada

stabilitas moneter, sistem keuangan,

keandalan sistem pembayaran,

efisiensi, kelancaran dan juga

keamanan namun dapat mengganggu

sistem keuangan di Indonesia jika

tidak diantisipasi.

Berdasarkan definisi di atas,

penulis menyimpulkan bahwa Fintech

adalah sebuah sektor dalam bidang

keuangan yang menggabungkan jasa

keuangan dengan teknologi yang

menghasilkan sebuah inovasi dalam

industri keuangan dimana inovasi ini

dapat mengganggu industri perbankan

jika tidak diatur dengan baik.

2.2 Perkembangan Financial

Technology (Fintech)

Perkembangan Fintech sangat

berhubungan erat dengan

perkembangan teknologi. Menurut

Leong dan Sung (2018), Fintech dapat

dibagi ke dalam tiga fase yakni

Fintech 1.0 yang ditandai dengan

penemuan telegraf dan kabel translatik

Page 6: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

yang menjadi infrastruktur dasar

perkembangan Fintech; Fintech 2.0

yang ditandai dengan perkembangan

teknologi digital seperti SWIFT dan

ATM; dan Fintech 3.0 yang ditandai

dengan pesatnya perkembangan

teknologi keuangan.

2.3 Model Bisnis Fintech

Menurut Lee dan Shin

(2018:38), Fintech dapat

diklasifikasikan ke dalam beberapa

model bisnis yakni Payment yang

bertujuan untuk mempermudah dan

mempercepat user dalam melakukan

pembayaran; Wealth Management

yang menawaekan jasa konsultasi

keuangan secara otomatis atau biasa

disebut dengan robo-advisor yang

menyediakan saran keuangan dengan

sebagian harga dari penasihat

keuangan yang nyata; Crowdfunding

sebagai Fintech yang menawarkan jasa

pengumpulan dana untuk proyek atau

unit usaha yang melibatkan

masyarakat secara luas; Capital

Market yang menawarkan jasa pada

bidang pasar modal seperti investasi,

trading, pertukaran mata uang asing,

manajemen risiko, serta riset; dan

Insurtech yang menawarkan jasa

asuransi yang lebih efisien kepada

penggunanya;

2.4 Ekosistem Fintech

Menurut Lee dan Shin

(2018:37), ekosistem Fintech terdiri

dari lima elemen yang terdiri dari

Fintech Startups yakni pembawa

inovasi umum dalam setiap

perkembangan jasa keuangan dan

menjadi sumber jiwa kewirausahaan;

Government selaku regulator bagi

pelaksanaan perusahaan Fintech;

Traditional Financial Institutions

yakni berupa perbankan yang dapat

menjadi mitra maupun pesaing dari

Fintech, Financial Customers yakni

pegguna dari jasa Fintech serta

menjadi sumber penghasilan utama

Fintech Start up; dan Technology

Developers yakni perusahaan yang

menyediakan platform digital bagi

perusahaan Fintech.

2.5 Pajak

2.5.1 Asas Pajak

Asas pajak di Indonesia dapat

dibagi menjadi dua jenis yakni asas

pemungutan dan asas pengenaan

pajak. Menurut Adam Smith dalam

pajak.go.id, asas pemungutan pajak

terdiri dari 4 asas yakni Equality

dimana pemungutan pajak yang

dilakukan oleh negara harus sesuai

dengan kemampuan dan penghasilan

wajib pajak; Certainty dimana semua

pungutan pajak harus berdasarkan UU,

sehingga bagi yang melanggar akan

dapat dikenai sanksi hukum;

Convinience of Payment dimana pajak

harus dipungut pada saat yang tepat

bagi wajib pajak; dan Efficiency

dimana biaya pemungutan pajak

diusahakan sehemat mungkin.

Tidak hanya asas pemungutan

pajak, negara Indonesia juga memiliki

asas pengenaan pajak, yakni faktor-

faktor yang harus diperhatikan oleh

institusi pemungut pajak terkait

sumber penghasilan dan penerima

penghasilan. Asas pengenaan pajak

menurut www.pajak.go.id terdiri dari

Asas Domisili dimana pajak akan

dikenakan jika orang pribadi atau

badan tersebut merupakan penduduk

yang berdomisili atau berkedudukan di

negara tersebut; Asas Sumber dimana

pajak tidak mempermasalahkan siapa

atau status dari orang atau badan yang

menerima penghasilan tersebut; dan

Page 7: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Asas Kebangsaaan, Nasionalitas,

Kewarganegaraan dimana yang

menjadi landasan dalam pengenaan

pajak ini adalah status

kewarganegaraan dari orang atau

badan yang memperoleh penghasilan.

2.5.2 Fungsi Pajak

Menurut pajak.go.id, pajak

memiliki empat fungsi yang terdiri

dari fungsi Anggaran (Budgetair)

yakni sebagai salah satu sumber

penerimaan negara; Mengatur

(Regularend) dimana pajak menjadi

alat untuk mengatur dan melaksanakan

kebijakan pemerintah dalam bidang

sosial ekonomi serta mencapai tujuan

tertentu di luar bidang keuangan;

Stabilitas dimana pajak menjadi sarana

bagi pemerintah dalam melaksanakan

kebijakan yang berhubungan dengan

stabilitas harga; dan Redistribusi

Pendapatan dimana pajak yang telah

dipungut akan dibagikan kembali

kepada masyarakat melalui

pembangunan negara.

2.5.3 Jenis Pajak

Jenis-jenis pajak dapat dibagi

menjadi pajak pusat dan pajak daerah.

Menurut pajak.go.id, pajak pusat

merupakan pajak yang diatur oleh

pemerintah pusat sedangkan pajak

daerah adalah pajak yang

pengaturannya dipercayakan kepada

pemerintah daerah masing-masing.

2.5.4 Sistem Perpajakan

Sistem perpajakan merupakan

mekanisme yang mengatur bagaimana

hak dan kewajiban perpajakan suatu

wajib pajak dilaksanakan. Menurut

pajak.go.id, sistem pemungutan pajak

terdiri dari dua model yakni Official

Assesment dan Self Assesment. Official

Assesment merupakan sistem

perpajakan dimana institusi pemungut

pajak menentukan besaran pajak yang

terutang. Berbeda dengan Official

Assesment, Self Assesment merupakan

sebuah sistem perpajakan dimana

wajib pajak menghitung,

memperhitungkan, menyetorkan, dan

melaporkan sendiri besaran jumlah

pajak yang terutang. Dalam hal ini,

institusi pemungut pajak hanya

mengawasi dengan serangkaian

tindakan pengawasan maupun

penegakan hukum.

III. Metode Penelitian

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif dengan

pendekatan studi literatur atau

literature review. Menurut Sekaran

(2013), penelitian studi literatur

merupakan penelitian yang bertujuan

untuk mengupas segala teori yang

telah beredar baik secara umum

maupun secara khusus yang berasal

dari data sekunder yang berhubungan

dengan topik yang akan diteliti.

Berdasarkan hasil kajian literatur

tersebut, peneliti akan menghasilkan

sebuah kesimpulan atas data sekunder

yang telah ditemukan.

3.2 Alur Penelitian

Menurut Rahardjo (2017:15),

alur atau langkah penelitian kualitatif

dapat digambarkan dalam bagan

berikut ini:

Bagan 3.1 Alur Penelitian

Mulai Pengumpulan

Data

Pemilihan

Tema

Perumusan

Masalah

Penyempurna

an Data

Pengolahan

Data

Analisis

Data

Triangulasi Temuan

Simpulan

Hasil

Penelitian

Laporan

Penelitian Selesai

Page 8: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Sumber: Rahardjo (2018)

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian

dibagi menjadi dua jenis yakni sumber

data sekunder. Sumber data sekunder

didapatkan dari jurnal, skripsi, buku

atau e-book, website instansi yang

terkait, surat kabar, artikel dari

lembaga yang kredibel, dan sumber

pustaka lainnya mengenai

perkembangan Fintech, bisnis proses

Fintech, implementasi perpajakan

Fintech, dan tantangan pemajakan

Fintech.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

studi pustaka. Studi pustaka

merupakan istilah lain dari kajian

pustaka, kajian teoritis, telaah pustaka

(literature review), atau tinjauan

teoritis (Melfianora, 2018). Studi

pustaka akan peneliti lakukan terhadap

literatur yang berkaitan dengan

mekanisme Financial Technology

(Fintech) serta analisis implementasi

perpajakan terkait.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan

proses mengorganisasikan, memilah

menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan

menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari,

dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain (Bogdan

& Biklen, 1982) dalam Moleong

(2016). Menurut Miles dan Huberman

(1994), tahap analisis data merupakan

tahap yang terdiri dari tiga arus

aktivitas yakni dan dapat digambarkan

dalam bagan berikut:

Bagan 3.2 Teknik Analisis Data

p

Sumber: Miles & Huberman (1994)

3.6 Teknik Pemeriksaan

Keabsahan Data

Pokok permasalahan yang selalu

muncul dalam penelitian kualitatif

adalah apakah data yang telah

diperoleh dapat dipercaya. Karena itu,

pemeriksaan keabsahan data

merupakan unsur yang tidak dapat

dipisahkan dari penelitian kualitatif

(Moleong, 2016). Pemeriksaan

keabsahan data berkaitan erat dengan

validitas dan reliabilitas. Pengecekan

validitas data dalam penelitian ini

dilakukan dengan triangulasi sumber

sedangkan pengecekan reliabilitas data

dilakukan dengan pengecekan data

berulang-ulang antar sumber data

IV. Pembahasan

4.1 Gambaran Umum Sumber

Penelitian

Literatur yang telah peneliti

dapatkan terdiri dari: data mengenai

model bisnis Fintech; bisnis proses

dari setiap model bisnis Fintech;

peraturan perpajakan di Indonesia;

kebijakan Fintech di Indonesia;

implementasi perpajakan Fintech yang

1. Reduksi Data a. Mengidentifikasi jenis Financial Technology (Fintech) yang

ada

b. Mengidentifikasi bisnis proses dari masing-masing Fintech

c. Mengidentifikasi jenis pajak yang terelevan terhadap Fintech

d. Mengidentifikasi tantangan dalam implementasi perpajakan

dalam masing-masing transaksi Fintech yang terjadi

2. Data Display a. Membuat bagan alir mekanisme Fintech

b. Memaparkan perpajakan yang terkait dalam mekanisme

Fintech

c. Memaparkan analisis implementasi perpajakan yang dalam

mekanisme Fintech

3. Penarikan Kesimpulan a. Menyimpulkan hasil analisis berdasarkan hasil reduksi data

dan data display

Page 9: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

didapatkan dari jurnal ilmiah; dan

tantangan implementasi perpajakan

Fintech di Indonesia yang didapatkan

baik dari artikel, berita, maupun

publikasi pemerintah.

4.2 Bisnis Proses dari Perusahaan

Fintech

4.2.1 Bisnis Proses Fintech Payment,

Clearing, and Settlement

Bagan 4.1 Bisnis Proses Fintech

Payment

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Berdasarkan bagan alur di atas,

peneliti mengidentifikasi bahwa

transaksi Fintech Payment, Clearing,

and Settlement tidak dikenakan pajak

apapun. Fintech ini tidak dikenakan

Pajak Pertambahan Nilai sesuai

dengan Undang-Undang Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa

(PPN) dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah (PPNBM) BAB III

Pasal 4A ayat (3)d.

4.2.2 Bisnis Proses Fintech Wealth

Management

Bagan 4.2 Bisnis Proses Fintech

Wealth Management

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Berdasarkan skema di atas,

Fintech Wealth Management

dikenakan pajak:

Tabel 4.2 Identifikasi Pajak Fintech

Wealth Management Proses Bisnis Pajak Tarif Objek

Pajak

Pembayaran

jasa

konsultan

Fintech

PPh Pasal 23 2% Jasa

Konsultan

Penyerahan

jasa di dalam

Daerah

Pabean

Pajak

Pertambahan

Nilai

10% Jasa Kena

Pajak PPN

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

4.2.3 Bisnis Proses Fintech

Crowdfunding

Mulai

Client memberikan

informasi mengenai kekayaan yang

dimilikinya kepada

Platform Fintech

Platform Fintech Wealth

Management

menganalisis informasi kekayaan baik secara

otomatis dengan

menggunakan Robo-

advisor maupun semi otomatis dengan dibantu

oleh Wealth Managers

Platform Fintech Wealth Management

menyerahkan proposal

hasil analisis portofolio

keuangan Client

Client membayar jasa

Platform Fintech Wealth

Management

Selesai

P

P

h

Informasi

pembayaran akan

masuk ke

Smartphone

pengguna

Melakukan

transaksi dengan

menggunakan saldo

dalam Fintech

Payment yang ada

Kasir atau penjual

scan QR Code

pengguna atau

pengguna

memasukkan PIN

Kantor MNO

memberikan sim

card

Melakukan

pengisian PIN yang

akan digunakan

dalam setiap

transaksi

Mengisi saldo

sesuai dengan cara

yang

direkomendasikan oleh Fintech

Payment

Customer

melakukan

registrasi pada

Platform Fintech

Payment

Customer

mengotorisasi data

baik secara online

maupun offline

dengan mendatangi

kantor Fintech

terkait

Mulai

Transaksi disetujui

oleh pengguna Selesai

Page 10: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Bagan 4.3 Bisnis Proses

Fintech Crowdfunding

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Berdasarkan pemaparan diatas,

peneliti menyimpulkan bahwa Fintech

Crowdfunding dikenakan pajak

Tabel 4.3 Identifikasi Pajak

Crowdfunding Proses Bisnis Pajak Tarif Objek

Pajak

Equity Based

Crowdfunding

Pemberian

Deviden

PPh

Pasal 23

15% Deviden

Lending Based PPh

Pasal 23

15% Bunga

Crowdfunding

Pembayaran

Bunga

Rewards Based

Crowdfunding

Pemberian

Rewards

PPh

Pasal 23

15% Rewards

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

4.2.4 Bisnis Proses Fintech Lending

Bagan 4.4 Bisnis Proses Fintech

Lending

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Berdasarkan bagan alir

tersebut, Fintech Lending dikenakan

pajak:

Selesai

Jika ya, Donatur dan Backer

akan menerima kepuasan sesuai dengan tujuan

Crowdfunding

Jika tidak, Donatur dan Backer akan menerima

pengembalian dana yang telah

dikirimkan

Jika dana yang dihimpun

telah mencapai target, maka Fundraiser akan menjalankan

proyek terkait

Setelah proyek dilaksanakan,

Donatur dan Backer akan menganalisis apakah tujuan

dari proyek telah tercapai

Fundraiser memulai

kampanye penggalangan dana

dalam platform yang tersedia

Donatur atau Backer mendapatkan informasi

mengenai proyek yang akan

dilaksanakan

Donatur atau Backer

mengirimkan sejumlah dana

yang dibutuhkan melalui

Money Processor

Fundraiser menerima dana

yang telah dikirimkan

Fundraiser mempersiapkan

serta mendeskripsikan proyek

dan tujuan yang akan dicapai

Funrdraising Platform

menerima deskripsi proyek

dari Fundraiser

Mulai

Mulai

Application

Lenders dan Borrowers

mendaftarkan dirinya

dalam platform P2P Lending yang telah

dipilih

Acknowledge

Platform P2P Lending mengautentikasi lenders

dan borrowers

berdasarkan informasi

yang telah diberikan

Credit

Platform P2P Lending mengevaluasi rating dari

lenders dan borrowers

Approval

P2P Lending menetapkan

jumlah pinjaman dan

pembayaran kembali

Assign

P2P Lending

mencocokkan lenders dan

borrowers baik secara tunjuk langsung

maupun otomatis

Loan Management

Menentukan tingkat suku

bunga yang disepakati antara lenders dan

borrowers

Pada masa jatuh tempo, borrowers wajib

mengembalikan pinjaman

beserta dengan bunganya

Lenders akan

mendapatkan bunga dan

pengembalian dana

Selesai

PPh

Pasal

23

Page 11: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Tabel 4.4 Identifikasi Pajak Fintech

Lending Proses Bisnis Pajak Tarif Objek

Pembayaran

pokok pinjaman

beserta bunga

PPh Pasal

23

2% Bunga

Pinjaman

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

4.2.5 Bisnis Proses Fintech Insurtech

Bagan 4.5 Bisnis Proses Fintech

Insurtech

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Berdasarkan analisa bisnis

proses di atas, peneliti

mengidentifikasi bahwa Fintech

Insurtech tidak dikenakan Pajak

Penghasilan (PPh) maupun Pajak

Pertambahan Nilai (PPN).

4.2.6 Bisnis Proses Fintech Capital

Market

Bagan 4.6 Bisnis Proses Fintech

Capital Market

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Berdasarkan bagan di atas,

peneliti mengidentifikasi pajak yang

dikenakan dalam proses bisnis Fintech

Capital Market:

Bagan 4.6 Identifikasi Pajak Fintech

Capital Market Proses

Bisnis

Pajak Tarif Objek Pajak

Nasabah

membeli

produk

pasar

modal

Pajak

Pertambahan

Nilai (:PPN)

10% Jumlah

pembelian

produk pasar

modal

Nasabah

menjual

produk

pasar

modal

Pajak

Pertambahan

Nilai (PPN)

10%

Jumlah

penjualan

produk pasar

modal

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Nasabah

menjual saham yang

dimilikinya ke

pasar modal

Platform

Fintech

Capital Market membuat

Rekening Dana

Nasabah

(RDN)

Nasabah

mengisi RDN

yang akan digunakan

untuk jual beli

produk pasar

modal

Nasabah

membeli saham yang

tersedia dalam

pasar modal

Calon nasabah melakukan

registrasi pada

Platform Fintech

Capital Market

Platform

Fintech

Capital Market melakukan

authentikasi

terhadap calon

Nasabah

Mulai

Selesai

PP

N

PP

N

Mulai

Customer mengisi data diri

pada platform yang telah

disediakan

Customer memilih jenis

asuransi yang akan dibeli

Customer mengisi

informasi mengenai jenis

asuransi yang dibutuhkan

Customer memilih jenis

asuransi dengan premi yang

sesuai dengan budgetnya

Customer melakukan

pembelian asuransi dan

melaksanakan pembayaran

Asuransi siap untuk

digunakan

Selesai

Page 12: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

4.2.7 Kesimpulan Pajak yang

Dikenakan pada Fintech

Berdasarkan pemaparan pada subbab

sebelumnya, penulis menyimpulkan

bahwa Fintech seharusnya dikenakan

pajak:

Tabel 4.7 Pajak dalam Fintech

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)

Peneliti juga menyimpulkan bahwa

mekanisme perpajakan dalam masing-

masing bisnis proses Fintech masih

relevan dengan ketentuan perpajakan

yang ada di Indonesia. Namun, peneliti

melihat bahwa terdapat dua jenis

Fintech yang bukan merupakan Objek

Pajak yakni Fintech Payment dan

Fintech Insurtech.

Identifikasi pajak ini juga

didukung oleh artikel opini yang

dipublikasikan oleh MUC Consulting

Group (2019) yang menyatakan bahwa

aspek perpajakan dalam Fintech yakni:

1. Fintech P2P Lending atau

Crowdfunding seharusnya

dikenakan Pajak Penghasilan

(PPh) Pasal 23 sebesar 2% dari

total pendapatan;

2. Perdagangan software keuangan

Fintech dikenakan PPN sebesar

10% atas penyerahan barang

tidak berwujud;

3. Fintech jasa riset penilaian kredit

dikenakan PPN sebesar 10% atas

penyerahan jasa;

4. Fintech manajemen investasi

atau wealth management

dikenakan PPh Pasal 23 sebesar

2% dari total pendapatan dan

PPN sebesar 10% atas

penyerahan jasa;

5. Fintech yang bergerak di bidang

jasa keuangan dan asuransi

seperti tabungan, pinjaman, serta

permodalan dikenakan PPh pasal

23 sebesar 15% atas bunga

pinjaman, dividen, dan

keuntungan lainnya.

Proses Bisnis Objek Pajak Pajak Tarif

Fintech Payment

Pembayaran

Elektronik Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Fintech Wealth Management

Pembayaran jasa

konsultan Fintech Jasa Konsultan PPh Pasal 23 2%

Penyerahan jasa di

dalam Daerah Pabean

Pajak Pertambahan

Nilai

Jasa Kena Pajak

PPN 10%

Fintech Crowdfunding

Equity Based

Crowdfunding

Pemberian Deviden

Deviden PPh Pasal 23 15%

Lending Based

Crowdfunding

Pembayaran Bunga

Bunga PPh Pasal 23 15%

Rewards Based

Crowdfunding

Pemberian Rewards

Rewards PPh Pasal 23 15%

Fintech Lending

Pembayaran pokok

pinjaman beserta

bunga

Bunga Pinjaman PPh Pasal 23 2%

Fintech Insurtech

Tertanggung membeli

produk asuransi Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Fintech Capital Market

Nasabah membeli

produk pasar modal

Jumlah pembelian

produk pasar modal

Pajak

Pertambahan

Nilai (PPN)

10%

Nasabah menjual

produk pasar modal

Jumlah pembelian

produk pasar modal

Pajak

Pertambahan

Nilai (PPN)

10%

Page 13: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

4.3 Tantangan Perpajakan

Fintech

Meskipun masih dianggap

relevan dengan skema pajak yang telah

ada, Kepala Group Inovasi Keuangan

Digital dan Pengembangan Keuangan

Mikro OJK, Triyono, memaparkan

dalam klinikpajak.co.id bahwa industri

Fintech di Indonesia masih memiliki

masalah perpajakan. Penulis

mengidentifikasi bahwa tantangan

dalam pemajakan Fintech terdiri dari:

4.3.1 Fintech yang Tidak Terbatas

oleh Negara

Hal utama yang menjadi

penyebab munculnya isu ini adalah

model bisnis Fintech yang menembus

batas geografis. Hal ini dikarenakan

aplikasi ini dapat diakses melalui

internet ini disebut dengan Layanan

Over-The-Top (OTT).

Layanan OTT merupakan

aplikasi dan jasa yang dapat diakses

melalui internet dan menggunakan jasa

operator atau Telecom Service

Providers (TSPs) yang menawarkan

akses kepada internet (Bhawan, 2015).

Salah satu contoh layanan OTT yang

sering digunakan di masyarakat adalah

layanan yang berbasis komunikasi

seperti Skype, Whatsapp, Snapchat,

Instagram, dan lainnya. Selain itu,

layanan ini juga ditujukan untuk e-

commerce, m-commerce, e-health, e-

education, dan ekonomi digital pada

umumnya (Bhawan, 2015). Fintech

dapat diklasfikasikan ke dalam jasa

internet bidang ekonomi digital atau

Commerce. Dengan demikian, Fintech

menjadi sangat mudah masuk negara-

negara lain seperti Indonesia.

Meskipun Fintech memiliki

kemudahan untuk masuk ke dalam

Indonesia, tidak semua Fintech asing

memiliki kesadaran untuk

mendaftarkan usahanya di OJK. Hal

ini dibuktikan dengan banyaknya

Fintech illegal baik yang berasal dari

dalam maupun luar negeri yang

diberhentikan oleh OJK.

Kurangnya kesadaran Fintech

untuk mendaftarkan diri ke OJK tentu

memiliki dampak terhadap potensi

pajak yang ada dalam perusahaan

Fintech yakni hilangnya potensi

perpajakan karena besar kemungkinan

start up Fintech tersebut tidak

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP). Padahal, NPWP merupakan

nomor yang diberikan kepada Wajib

Pajak sebagai sarana dalam

administrasi perpajakan yang

dipergunakan sebagai tanda pengenal

diri atau identitas Wajib Pajak dalam

melaksanakan hak dan kewajiban

perpajakannya (Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2007).

Dengan demikian, pemerintah

menjadi kesulitan dalam mendeteksi

aktivitas Fintech asing yang

melaksanakan kegiatan di Indonesia

jika Fintech tersebut tidak memiliki

cabang di Indonesia dan tidak

memiliki NPWP.

4.3.2 Sulitnya Menentukan Subjek

Pajak dari Fintech

Penentuan Subjek Pajak

merupakan hal yang krusial untuk

dilakukan dalam melakukan

mekanisme pemajakan. Pemungutan

pajak Fintech memiliki tantangan

tersendiri ketika Fintech berasal dari

luar negeri. Jika Fintech berasal dari

luar negeri, pemerintah harus mencari

tahu apakah Fintech tersebut memiliki

Badan Usaha Tetap di Indonesia.

Vidyana (2014) menyatakan

bahwa ketentuan perpajakan baik

Page 14: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

domestik maupun internasional saat ini

masih menekankan pentingnya

kehadiran fisik sebagai ambang batas

pemajakan bagi negara tempat BUT

berada. Dalam konteks Fintech, tempat

usaha yang berupa komputer, agen

elektronik, atau peralatan otomatis

yang dimiliki, disewa, atau digunakan

Orang Pribadi Asing atau Badan Asing

untuk menjalankan usaha melalui

internet biasa disebut dengan server

(Bunga, 2017).

Server merupakan sebuah sistem

komputer yang menyediakan jenis

layanan tertentu dalam sebuah jaringan

komputer. Secara umum, dalam

mendirikan sebuah start-up,

perusahaan dapat menggunakan dua

jenis server yakni cloud dan dedicated

server (Rifzan, 2017). Cloud server

merupakan server yang dikelola oleh

penyedia hosting sedangkan dedicated

server adalah server fisik yang telah

disewa atau dibeli secara keseluruhan.

Dengan demikian, cloud server

merupakan salah satu jenis server yang

dapat berpindah tempat dan hal ini

menimbulkan kesulitan bagi

pemerintah dalam menentukan negara

mana yang akan memiliki kewajiban

memotong pajak.

4.3.3 Banyaknya Fintech yang

Sengaja Tidak Menempatkan

Server di Indonesia

Tantangan selanjutnya dalam

pemungutan pajak Fintech adalah

banyaknya Fintech illegal yang tidak

menempatkan server di Indonesia.

Berdasarkan Siaran Pers OJK No. SP

08/X/SWI/2019 mengenai ‘Satgas

Buka “Warung Waspada Investasi”’,

Satgas Waspada Investasi menemukan

297 entitas Fintech baru yang yang

melakukan kegiatan Fintech peer to

peer lending (P2P) yang tidak terdaftar

di OJK. Karena tidak menempatkan

server di Indonesia, Ketua Satgas

Waspada Investasi Otoritas Jasa

Keuangan, Tongam L. Tobing (2019)

dalam okezone.com menyatakan

bahwa Fintech akan sulit dilacak oleh

OJK jika menggunakan server yang

berada di luar negeri.

Menurut Bunga (2017), kendala

dimana Fintech yang secara sengaja

tidak meletakkan server Indonesia

maupun kendala dalam menentukan

server sebagai Bentuk Usaha Tetap

(BUT) dapat diatasi dengan melakukan

kerjasama antara Kementerian

Keuangan dengan Kementerian

Komunikasi dan Informasi dalam

melakukan analisa secara terus

menerus atas kegiatan usaha dari

Fintech. Pak Tiong (2017) yang

dikutip oleh Bunga (2017) juga

menyatakan bahwa cara mengatasi

kendala ini adalah dengan

menggunakan asas keadilan dan asas

sumber sebagai dasar dalam penetapan

server sebagai Bentuk Usaha Tetap

(BUT).

4.4 Solusi atas Tantangan

Perpajakan Fintech

Berdasarkan pemaparan di atas,

peneliti memberikan solusi atas

tantangan perpajakan Fintech di

Indonesia yang terdiri dari:

4.4.1 Menggiatkan Warung

Waspada Investasi OJK

Warung Waspada Investasi OJK

merupakan layanan yang baru dibuka

dengan menghadirkan perwakilan dari

13 kementerian/lembaga anggota

Satgas untuk menerima pengaduan,

konsultasi, dan sosialisasi langsung

mengenai berbagai persoalan terkait

Page 15: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

investasi, fintech lending, dan gadai

swasta illegal kepada masyarakat.

Hingga saat ini, pembukaan Warung

Waspada Investasi ini masih hanya

dibuka setiap hari Jumat pada pukul

09.00-11.00 WIB yang bertempat di

The Gade Coffee & Gold, Jalan H.

Agus Salim, Jakarta Pusat. Tujuan dari

pendirian Warung Waspada Investasi

ini adalah untuk mempermudah

masyarakat dalam melapor maupun

bertanya langsung mengenai Fintech

dan meningkatkan pemahaman

masyarakat mengenai manfaat dan

risiko jasa dan layanan sektor jasa

keuangan serta semakin mewaspadai

maraknya tawaran investasi dan

Fintech illegal.

Melalui hal ini, penulis melihat

bahwa hadirnya Warung Waspada

Investasi OJK ditengah-tengah

masyarakat Indonesia dapat menjadi

salah satu cara untuk mengurangi

tantangan perpajakan Fintech

khususnya dalam mengatasi Fintech

yang tidak terbatas oleh negara

khususnya Fintech illegal.

Berdasarkan hasil pengaduan dari

masyarakat, OJK dapat lebih mudah

dalam menemukan Fintech yang

mungkin belum terdeteksi. Lebih

mudahnya pendeteksian Fintech

tersebut tentu akan mempermudah

OJK dalam melakukan verifikasi

Fintech meskipun akan berujung pada

pemblokiran aktivitas Fintech. Namun,

melalui aktivitas pemblokiran ini,

pemerintah melalui OJK dapat

memiliki jalan untuk menghimbau

agar Fintech yang terkait segera

mendaftarkan dirinya ke OJK.

Salah satu persyaratan bagi

Fintech agar menjadi pelaku yang

terdaftar dan berizin adalah memiliki

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan

nomor yang diberikan kepada Wajib

Pajak sebagai sarana dalam

administrasi perpajakan yang

dipergunakan sebagai tanda pengenal

diri atau identitas wajib pajak dalam

melaksanakan hak dan kewajiban

perpajakannya.

4.4.2 Pemerintah Memperjelas

Kebijakan Kebijakan

Penentuan Server sebagai

Subjek Pajak Bentuk Usaha

Tetap (BUT)

Penentuan Bentuk Usaha Tetap

(BUT) merupakan isu yang mulai

hangat dibicarakan di masyarakat

semenjak berkembangnya e-commerce

di Indonesia. Menurut Vindyana

(2014), jika perusahaan perusahaan

luar negeri melakukan kegiatan usaha

melalui website, maka kegitan tersebut

tidak akan menimbulkan suatu BUT.

Hal ini juga masih didukung dengan

penelitian terbaru yakni penelitian

Pangesti (2017), yang menyatakan

bahwa hadirnya perusahaan luar negeri

melalui situs web masih menimbulkan

pertanyaan apakah perusahaan tersebut

dapat diklasifikasikan sebagai BUT.

Hingga saat ini, Undang-Undang

Pasal 2 ayat (5) masih mengatur bahwa

penentu adanya BUT bagi perusahaan

yang melakukan aktivitas dari luar

negeri dengan menggunakan website

adalah dengan adanya kehadiran server

di negara terkait. Dengan demikian,

pemerintah masih harus mengkaji

kebijakan mengenai penetapan BUT di

Indonesia.

Page 16: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

4.4.3 OJK Bekerja sama dengan

Kementerian Kominfo dalam

Mendeteksi Aktivitas Fintech di

Indonesia

Hal ini sejalan dengan fungsi

Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kominfo) yang diatur

dalam Peraturan Presiden (Perpres)

Republik Indonesia yang memaparkan

fungsi Kementerian Kominfo dimana

beberapa diantaranya adalah

perumusan dan penetapan kebijakan

pada pos informatika, penatakelolaan

aplikasi informatika dan pengelolaan

informasi publik, dan pengawasan atas

pelaksanaan tugas di lingkungan

Kementerian Kominfo. Penulis

mengidentifikasi bahwa fungsi dari

Kementerian Kominfo juga sejalan

dengan fungsi dari OJK yakni

mengatur, mengawasi, dan melindungi

agar lingkungan dari industri keuangan

menjadi lingkungan yang sehat.

Dengan demikian, kerja sama antara

OJK dan Kementerian Kominfo tentu

akan menghasilkan kerjasama yang

baik dalam mengatur mengenai

perkembangan fenomena Fintech di

Indonesia. Selain kerjasama antara

kedua lembaga tersebut, Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) juga menjadi

lembaga yang turut serta diajak

bekerja sama sehubungan dengan

eksekutor dari pemungutan pajak

Fintech adalah DJP.

V. Penutup

1.1 Kesimpulan

Financial Technology adalah

sebuah inovasi disruptif yang

memperkenalkan kepraktisan,

kemudahan akses, kenyamanan, dan

biaya yang ekonomis sebagai hasil dari

perpaduan antara teknologi informasi

dengan jasa keuangan. Fintech

memiliki aspek perpajakan yakni:

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

yang dikenakan pada model bisnis

Fintech Capital Market;

2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

yang dikenakan pada model bisnis

Fintech Wealth Management,

Crowdfunding, dan Lending

Penulis juga menyimpulkan bahwa

mekanisme perpajakan dalam masing-

masing bisnis proses Fintech masih

relevan dengan ketentuan perpajakan

yang ada di Indonesia. Namun, peneliti

melihat bahwa terdapat dua jenis

Fintech yang bukan merupakan Objek

Pajak yakni Fintech Payment dan

Fintech Insurtech.

Meskipun masih relevan dengan

kebijakan perpajakan yang ada,

implementasi perpajakan atas transaksi

dalam masing-masing model bisnis

Fintech masing memiliki beberapa

tantangan. Berikut adalah tantangan

baik yang dihadapi oleh perusahaan,

pemerintah, dan pengguna Fintech

terdiri dari:

1. Fintech yang tidak terbatas oleh

negara sehingga pemerintah

mengalami kesulitan untuk

mendeteksi pemain-pemain

Fintech di Indonesia;

2. Sulitnya menentukan Subjek

Pajak dari Fintech karena sifat

server yang digunakan oleh

perusahaan Fintech khususnya

cloud server dapat berpindah-

pindah tempat dan sulit untuk

diklasifikasikan sebagai Badan

Usaha Tetap (BUT);

3. Banyaknya Fintech yang tidak

menempatkan server di Indonesia

sehingga pemerintah harus terus

menerus melakukan analisa secara

Page 17: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

terus-menerus terhadap aktivitas

Fintech di Indonesia.

1.2 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian adalah

terbatasnya sumber data sekunder

khususnya mengenai bisnis proses

masing-masing Fintech karena

masing-masing website Fintech yang

terkait tidak memberikan penjelasan

secara rinci tanpa harus mendaftarkan

diri dan masih sedikitnya penelitian

terdahulu mengenai bisnis proses

Fintech khususnya Fintech selain

Crowdfunding dan Peer to Peer

Lending;

1.3 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya

adalah diharapkan dapat

menambahkan sumber data primer dari

perusahaan Fintech terkait khususnya

mengenai bisnis prosesnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ananti, Ridha. (2018, Agustus 18).

Dua Hal Yang Bikin Pemerintah

Sulit Tarik Pajak Fintech. Klinik

Pajak Online. Diakses pada 27

Juni 2019 dari http://www.klinik

pajak.co.id/berita+detail/?id=

berita+pajak+-+dua+hal+yang+

bikin+pemerintah+sulit+tarik+

pajak+fintech.

Anonim. (2019, Agustus 3). Server di

Luar Negeri, Polisi Tak Maksimal

Awasi Fintech. CNN Indonesia

Online. Diakses pada 6 September

2019 dari https://www.cnnindone

sia.com/nasional/2019080214305

8-12-417767/server-di-luar-

negeri-polisi-tak-maksimal-awasi-

fintech.

Asmara, Chandra Gian. (2018,

Agustus 8). Kemenkeu Akui

Sulitnya Memajaki Fintech dan E-

Commerce. CNBC Indonesia

Online. Diakses pada 27 Juni 2019

pada https://www.cnbcindonesia.

com/fintech/20180807153723-37-

27400/kemenkeu-akui-sulitnya-

memajaki-fintech-dan-e-

commerce.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia. (2019). Laporan

Survei: Penetrasi & Profil Pelaku

Pengguna Internet Indonesia,

Survei 2018. Jakarta:Penulis.

Diakses pada 25 Juli 2019 dari

http://www.rtiktuban.or.id/wp-

content/uploads/2019/05/survei-

apjii-2018-short-version-dist.pdf.

Bhawan, Mahanagar Doorsanchar.

(2015). Consultation Paper on

Regulatory Framework for Over-

The-Top Services. Consultation

Paper No. 2/2015 on Telecom

Regulatory Authority of India.

Diakses pada 7 Desember 2019

dari https://main.trai.gov.in/sites/

default/files/OTT-CP-27032015.

pdf.

Branzov, Todor and Nelly Maneva.

(2014) Crowdfunding Business

Models and Their Use in Software

Product Development. Interna-

tional Scientific Conference

Informatics In Scientific

Knowledge 2014. Diakses pada 7

Agustus 2019 dari https://www.

researchgate.net/publication/2696

98095.

Budi, Budi. (2014). Menyasar Pajak

Transaksi e-Commerce.

Kementerian Keuangan. Diakses

pada 5 September 2019 dari

https://www.kemenkeu.go.id/

media/4473/menyasar-pajak-

transaksi-e-commerce.pdf.

Page 18: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Creswell, John W.. (2016). Research

Design: Pendekatan Metode

Kualitatif, Kuantitatif, dan

Campuran. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ernst & Young. (2017). EY Fintech

Adoption Index 2017. Diakses

pada 4 November 2019 dari

https://www.ey.com/Publication/

vwLUAssets/ey-fintech-adoption-

index-2017/$FILE/ey-fintech-

adoption-index-2017.pdf.

Fauzi, Yuliyanna. (2016, Agustus 30).

Sri Mulyani: Fintech Sasaran Baru

Pungutan Pajak. CNN Indonesia

Online. Diakses pada 25 Juli 2019

Dari https://www.cnnindonesia.

com/ekonomi/20160830125321-

78-154784/sri-mulyani-fintech-

sasaran-baru-pungutan-pajak.

Hadad, Muliaman D. (2017).

Financial Technology (Fintech) di

Indonesia. Materi Kuliah Umum

tentang Fintech – IBS. Diakses

pada 21 Oktober 2019 dari

http://www.ibs.ac.id/img/doc/

Herdiansyah, Haris. (2011). Metode

Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-

ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit

Salemba Humanika.

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Cabang Malang. (2019).

Pendidikan Profesi Konsultan

Pajak: Brevet A & B. Malang:

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Cabang Malang.

Kang, Jungho. 2018. Mobile Payment

in Fintech Environment: Trends,

Security Challenges, and Services.

Human-centric Computing and

Information Sciences. 8:32.

Diakses pada 1 Agustus 2019 dari

https://link.springer.com/article/

10.1186/s13673-018-0155-

4#citeas.

Kementerian Keuangan Republik

Indonesia. (2013). Undang-

Undang KUP dan Peraturan

Pelaksanaanya. Diakses pada 5

Agustus 2019 dari https://www.

kemenkeu.go.id/sites/default/files/

uu-kup%20mobile.pdf.

Lee, In dan Yong Jae Shin. (2018).

Fintech: Ecosystem, business

models, investment decisions, and

challenges. Business Horizons. 61.

35-46. Diakses pada 14 Juni 2019

Dari https://www.sciencedirect.

com/science/article/pii/S00076813

17301246.

Lingga, Murti Ali. (2019, Oktober

2019). Sebanyak 1.773 Fintech

Ilegal Dihentikan Hingga Oktober

2019. Kompas Online. Diakses

pada 10 Desember 2019 dari

https://money.kompas.com/read/

2019/10/29/123800526/sebanyak-

1.773-fintech-ilegal-dihentikan-

hingga-oktober-2019.

Melfianora, Melfianora. (2019).

Penulisan Karya Tulis Ilmiah

dengan Studi Literatur. Diakses

pada 29 Oktober 2019 dari

https://osf.io/efmc2/.

Miles, Matthew B and A. Michael

Huberman. (1994). London:

SAGE Publications. Diakses pada

29 Oktober 2019 dari https://

vivauniversity.files.wordpress.

com/2013/11/milesandhuberman1

994.pdf.

Moleong, Lexy J. (2016). Metodologi

Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Otoritas Jasa Keuangan. (2019).

Penyelenggara Fintech Terdaftar

di OJK per 30 Oktober 2019.

Diakses pada 26 Juli 2019 dari

https://www.ojk.go.id/id/berita-

dan-kegiatan/publikasi/Pages/

Page 19: FINANCIAL TECHNOLOGY FINTECH) DI INDONESIA

Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-

di-OJK-per-30-Oktober-2019.

aspx.

Otoritas Jasa Keuangan. (2019). Siaran

Pers: Satgas Buka “Warung

Waspada Investasi”. Diakses pada

11 November 2019 dari https://

www.ojk.go.id/id/berita-dan-

kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-

Pers-Satgas-Buka-Warung-

Waspada-Investasi.aspx.

Pricewaterhouse Coopers. (2016).

Blurred Lines: How Fintech is

Shaping Financial Services.

Global Fintech Report. March

2016. Diakses pada 20 Mei 2018

dari https://www.pwc.de/de/

newsletter/finanzdienstleistung/

assets/insurance-inside-ausgabe-4-

maerz-2016.pdf.

Rifzan, Rifzan. (2019). Perbedaan

Cloud Server dan Dedicated

Server, Mana yang Lebih Baik?

Diakses padan 12 November 2019

dari https://www.robicomp.com/

perbedaan-cloud-server-dan-

dedicated-server-mana-yang-

lebih-baik.html.

Sekaran, Uma. (2009). Research

Methods for Business: Metode

Penelitian untuk Bisnis. Jakarta:

Penerbit Salemba Empat.

Sugiyono, Sugiyono. (2013). Metode

Penelitian Pendidikan: Pendekatan

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sukirno, Sukirno. (2018, Agustus 28).

Dampak Fintech Terhadap

Ekonomi Indonesia Capai

Rp25,97 Triliun. Alinea Online.

Diakses pada 26 Juli 2019

https://www.alinea.id/bisnis/

dampak-fintech-terhadap-

ekonomi-indonesia-capai-rp25-97-

triliun-b1U4p9dyH.

Vidyana, Adhysty. (2014). Studi

Terhadap Kelemahan

Pendeteksian Transaksi

Dunia Maya (E-Commerce)

Indonesia. Skrispi. Diakses pada

19 September 2019 dari http://

www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/20

16-05/S57290-Adhysty%20

Vidyana.

Walfajri, Maizal. (2019, Juni 17).

AFPI dan OJK Tengah Bahas

Perpajakan, KYC, dan Limit

Pinjaman Fintech Lending.

Kontan Online. Diakses pada 26

Juli 2019 dari https://keuangan.

kontan.co.id/news/afpi-dan-ojk-

tengah-bahas-perpajakan-kyc-dan-

limit-pinjaman-fintech-lending.

Wang, H., Chen, K., Zhu, W. et al. A

Process Model on P2P Lending.

Financial Innovation (2015) 1: 3.

Diakses pada 7 Agustus 2019 dari

https://doi.org/10.1186/s40854-

015-0002-9.

Yusuf, Muri. (2017). Metode

Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif,

& Penelitian Gabungan). Jakarta:

Kencana.