festival pe’cun dalam komunitas cina benteng tangerang makalah...

16
1 UNIVERSITAS INDONESIA FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH NON SEMINAR RAHMAT KAHFI ARDANI 0906559776 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI CINA DEPOK JANUARI 2014 Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Upload: others

Post on 08-Dec-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

1

UNIVERSITAS INDONESIA

FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG

TANGERANG

MAKALAH NON SEMINAR

RAHMAT KAHFI ARDANI

0906559776

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI CINA

DEPOK

JANUARI 2014

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 2: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

2

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 3: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

3

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 4: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

4

FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS

CINA BENTENG TANGERANG

Rahmat Kahfi Ardani

Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424,

Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Topik penelitian ini adalah Festival Pe’cun dalam komunitas Cina Benteng yang berdomisili di wilayah

Tangerang, Banten. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan sejarah Festival Pe’cun dan manfaat festival ini bagi

komunitas Cina Benteng serta bagi hubungan Cina Benteng dengan penduduk lokal. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Beberapa hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini adalah

Festival Pe’cun merupakan salah satu perayaan hari besar tradisional kaum Tionghoa yang masih dijaga dengan

baik hingga saat ini di dalam komunitas Cina Benteng. Perayaan festival ini telah mengalami akulturasi dengan

budaya masyarakat setempat seperti Betawi dan Sunda. Akulturasi yang tercipta menunjukkan adanya hubungan

yang terjalin harmonis antara komunitas Cina Benteng dengan penduduk lokal. Festival ini juga memiliki

manfaat untuk meningkatkan hubungan antara komunitas Cina Benteng dengan penduduk lokal baik dalam

aspek budaya, sosial, maupun ekonomi.

DRAGON BOAT FESTIVAL IN CHINESE BENTENG COMMUNITY

TANGERANG

Abstract

The main topic of this research is Dragon Boat Festival as Chinese Benteng Community tradition

observation that located in Tangerang, Banten. The purpose of this research is to describe a Dragon Boat Festival

history and benefit of Chinese Benteng Community with positive relationship between local and Indo-Chinese.

The research’s method is qualitative. According to the conclusion of this research, the author describes that

Dragon Boat Festival is one of Chinese celebration day that still exist and annually celebrated in Tangerang. The

festival is acculturated naturally with Betawi and Sunda culture. That acculturation describes a positive

relationship between local and Indo-Chinese. This acculturation has impact to raise an economic, social, and

culture aspect of local and Indo-Chinese.

Keywords : Acculturation, Chinese Benteng Community, Dragon Boat Festival

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 5: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

5

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Tiongkok1, negara yang memiliki

penduduk terbesar di dunia merupakan

negara yang memiliki keragaman budaya

yang amat kaya. Bangsa Tionghoa2

terkenal sebagai bangsa yang teguh

merayakan hari raya tradisional mereka.

Secara tradisional ada berbagai macam

hari raya yang dirayakan, misalnya Ceng

Beng (Qīng Míng/清明) yang jatuh pada

tanggal 5 April dan Festival Lentera yang

di Indonesia dikenal dengan Cap Go Meh

atau yuán xiāo (元宵) yang jatuh pada

tanggal 15 bulan 1 penanggalan imlek (Nio

Joe Lan, 1961: 148). Selain kedua hari

raya tersebut, ada juga hari raya tradisional

lain yang rutin dirayakan oleh bangsa

Tiongkok seperti hari raya Imlek atau

chūn jié (春节) serta duān wǔ jié (端午节)

atau disebut juga dengan Festival Pe’cun

atau di kalangan masyarakat Indonesia

dikenal sebagai pesta perahu naga.

Festival Pe’cun jatuh pada tanggal 5 bulan

5 dalam penanggalan Imlek atau sekitar

bulan Juni dalam kalender Masehi.

Kemeriahan festival ini tidak hanya

berlangsung di Tiongkok tetapi juga di

Indonesia, khususnya dalam komunitas

Cina Benteng, Tangerang. Komunitas Cina

Benteng merupakan kaum peranakan

Tiongkok. Kaum peranakan adalah orang

Tionghoa yang sudah terasimilasi ke dalam

masyarakat Indonesia. Mereka dilahirkan

di Indonesia dan umumnya mempunyai

darah pribumi dari garis perempuan.

Kebanyakan dari mereka tidak berbahasa

Tionghoa melainkan berkomunikasi

dengan bahasa-bahasa pribumi (Leo

1 Tiongkok merujuk kepada negara Cina 2 Tionghoa merujuk kepada bangsa, budaya,

dan bahasa Cina

Suryadinata, 1988: 1-2). Komunitas Cina

Benteng merayakan Festival Pe’cun

diawali dengan melakukan sembahyang di

Kelenteng Boen Tek Bio. Setelah

melakukan sembahyang, ada beberapa

kegiatan yang berpusat di Kali Cisadane

seperti lomba mendayung perahu naga,

lomba menangkap bebek, mendirikan telur,

serta beberapa pertunjukan seni dan

hiburan dari para seniman Cina Benteng

dan seniman setempat. Selain itu, untuk

merayakan festival ini, masyarakat Cina

Benteng juga membuat makanan khas

berupa bacang dan kue cang.

Pelaksanaan Festival Pe’cun mengalami

pasang surut, festival ini pernah dilarang

oleh pemerintah pada tahun 1964.

Kemudian pada era Orde Baru muncul

Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang

larangan semua ekspresi kebudayaan dan

keagamaan Tionghoa yang membuat

perayaan festival ini terhenti. Pada saat itu,

ketika Festival Pe’cun masyarakat Cina

Benteng hanya melakukan sembahyang di

Kelenteng Boen Tek Bio tanpa adanya

acara-acara yang melengkapi perayaan

seperti tahun-tahun sebelumnya. Hingga

pada tahun 2000, melalui Keppres RI No.

6/2000, Presiden Abdurrachman Wahid

mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967

tentang larangan semua ekspresi dan

kebudayaan Tionghoa. Sejak

dikeluarkannya KepPres tersebut,

rangkaian perayaan Festival Pe’cun

kembali dilangsungkan oleh masyarakat

Cina Benteng. Perayaan Festival Pe’cun

pernah digabungkan dengan Festival

Cisadane yang merupakan program

Pemerintah Kota Tangerang pada tahun

2000-2004. Tetapi kemudian di tahun

2005, perayaan Festival Pe’cun

dilaksanakan terpisah dengan Festival

Cisadane karena adanya perbedaan konsep

di antara kedua festival tersebut.

Pada dasarnya Festival Pe’cun merupakan

budaya asli bangsa Tionghoa tetapi kita

dapat melihat bahwa pada saat ini perayaan

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 6: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

6

festival tersebut telah mendapat pengaruh

dari budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari

pertunjukkan seni yang ditampilkan pada

saat perayaan festival ini yaitu adanya

musik gambang kromong dan tarian cokek

yang merupakan kesenian asli Betawi.

Selain itu, makanan khas yang disajikan

yaitu kue cang telah mendapat pengaruh

dari budaya lokal. Kue cang merupakan

bacang yang dibuat tanpa isi, disajikan

dengan srikaya maupun gula merah yang

dicairkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah

disebutkan di atas, penulis merasa tertarik

untuk menyusun makalah ini dengan judul

“Festival Pe’cun dalam komunitas Cina

Benteng, Tangerang”. Pembahasan akan

mencakup permasalahan asal mula Festival

Pe’cun, rangkaian perayaan yang terdapat

dalam festival ini, serta manfaat festival ini

dalam menjaga dan meningkatkan

hubungan komunitas Cina Benteng dengan

penduduk lokal.

2. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam

makalah ini adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif adalah metode penelitian

yang digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek alamiah, (sebagai lawannya

adalah eksperimen) dimana peneliti adalah

sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara

trianggulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna

daripada generalisasi (Sugiyono, 2008: 1).

Alasan penulis menggunakan penelitian

kualitatif karena obyek dalam penelitian

ini adalah obyek yang alamiah serta

dinamis. Obyek yang alamiah adalah

obyek yang apa adanya dan tidak

dimanipulasi oleh penulis. Selain itu

penelitian ini dilakukan guna mendapatkan

data yang mendalam, suatu data yang

mengandung makna. Oleh karena itu,

metode penelitian kualitatif lebih tepat

untuk digunakan dalam penelitian ini.

2.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui

metode trianggulasi (gabungan), yaitu

dilakukan dengan pengamatan dan

wawancara, selain itu juga dilakukan

melalui studi kepustakaan. Teknik

pengamatan menggunakan teknik

pengamatan terlibat langsung yaitu penulis

mengambil peran sebagai bagian atau

anggota dari lingkungan sasaran

pengamatan. Penulis mengamati perayaan

Festival Pe’cun secara langsung di

kalangan masyarakat Cina Benteng.

Wawancara dilakukan dengan metode

wawancara tak berstruktur yaitu

wawancara yang dilakukan hanya berupa

garis-garis besar permasalahan yang akan

ditanyakan. Informan dari penelitian ini

adalah Bapak Oey Tjim Eng selaku Humas

Kelenteng Boen Tek Bio. Penulis juga

melakukan pengumpulan data melalui

studi pustaka dengan menggunakan buku-

buku sumber berbahasa Indonesia dan

Cina untuk melengkapi data yang tidak

ditemukan saat penelitian di lapangan.

2.2 Proses Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan

melalui 3 tahap, yang pertama disebut

dengan tahap orientasi/deskripsi. Pada

tahap ini penulis mendeskripsikan apa

yang ditanyakan dari informan serta apa

yang dilihat dari pengamatan. Pada tahap

ini penulis baru mengenal secara sepintas

terhadap informasi yang diperoleh.

Tahap kedua disebut dengan tahap

reduksi/fokus. Pada tahap ini penulis

mereduksi segala informasi yang diperoleh

pada tahap pertama. Pada tahap ini penulis

memilih, memusatkan perhatian, serta

menyortir data dengan cara memilih mana

data yang penting dan berguna. Data yang

tidak dipakai dapat disingkirkan.

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 7: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

7

Tahap ketiga disebut dengan tahap seleksi.

Pada tahap ini penulis menguraikan fokus

yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci.

Pada tahap ini, setelah penulis melakukan

analisis yang mendalam terhadap data

yang diperoleh, maka penulis dapat

menghasilkan data atau informasi yang

dicari serta mampu menghasilkan

informasi-informasi yang bermakna.

3. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan maka pembabakan dalam

makalah ini akan terbagi menjadi tiga sub

bagian yaitu: sejarah Festival Pe’cun,

rangkaian perayaan dan hidangan dalam

Festival Pe’cun, serta manfaat Festival

Pe’cun dalam menjaga dan meningkatkan

hubungan komunitas Cina Benteng dengan

penduduk lokal.

3.1. Sejarah Festival Pe’cun

Bangsa Tionghoa terkenal memiliki

berbagai perayaan hari raya tradisional

yang terus dilestarikan hingga saat ini.

Pada umumnya latar belakang perayaan-

perayaan tersebut terkait dengan sejarah

dan budaya bangsa Tionghoa. Berbagai

jenis perayaan itu tidak hanya

diselenggarakan dengan meriah di

Tiongkok tetapi juga dirayakan oleh

bangsa Tionghoa yang tersebar di seluruh

penjuru dunia. Salah satu hari raya

tradisional Tiongkok yang tetap dijaga

hingga sekarang adalah Festival Pe’cun

atau Pesta Perahu Naga atau dalam Bahasa

Mandarin disebut dengan duān wǔ jié

(端午节).

Pesta Perahu Naga jatuh pada tanggal 5

bulan 5 penanggalan Imlek atau pada bulan

Juni dalam Kalender Masehi. Pesta Perahu

Naga di Pulau Jawa dikenal dengan nama

Pe’cun atau lomba perahu (Cl Salmon&D

Lombard, 1985: 82). Pe’cun berasal dari

kata pá long chuán (爬龙船 ) yang berarti

mendayung perahu naga. Hal ini

disebabkan Festival Pe’cun identik dengan

lomba mendayung perahu naga. Pesta

Perahu Naga disebut juga dengan duān wǔ

jié atau duān yáng jié (端阳节). Asal usul

penyebutan ini karena bangsa Tionghoa

membagi angka berdasarkan yīnyang

(阴阳), angka ganjil termasuk yang,

sedangkan angka genap termasuk yin.

Angka satu sampai sepuluh juga dibagi

berdasarkan yīnyang. Angka 1,3,5,7,9

termasuk yang, sedangkan angka

2,4,6,8,10 termasuk yin. Angka 5 terdapat

di tengah-tengah antara angka satu sampai

dengan angka sembilan dan termasuk

angka ganjil sehingga disebut yang,

sedangkan duān berarti tepat, maka disebut

duān yáng. Wǔ (午) berarti tengah,

terdapat antara zǎo (早) dan wǎn (晚),

sehingga dapat disebut juga dengan duān

wǔ. Sementara jié (节) berarti festival atau

perayaan. Oleh karena itu, festival yang

jatuh pada tanggal 5 bulan 5 dalam

penanggalan imlek disebut dengan duān

wǔ jié (端午节).

Festival Pe’cun yang identik dengan lomba

mendayung perahu naga memunculkan dua

versi sejarah yang berbeda. Sejarah versi

pertama mengatakan bahwa cerita ini

mengenai seorang menteri Raja Huai dari

Negara Chu di masa negara berperang

yang bernama Qu Yuan (339-277 SM). Ia

adalah seorang pejabat yang jujur dan setia

pada negaranya. Ia banyak memberikan ide

untuk memajukan Negara Chu dan bersatu

dengan Negara Qi, untuk memerangi

Negara Qin. Raja sangat menghormati dan

menyayangi Qu Yuan. Menteri-menteri

dan pegawai lain yang tinggal di istana

tidak suka akan hal ini dan melakukan

berbagai cara untuk menyingkirkan Qu

Yuan dari istana. Tidak berapa lama, raja

mendengar apa yang dibincangkan oleh

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 8: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

8

orang-orang di istana. Mereka berkata

bahwa Qu Yuan adalah seorang

pengkhianat dan hendak menggulingkan

raja untuk kemudian ia yang akan menjadi

raja. Mereka berkata bahwa Qu Yuan telah

bersekutu dengan raja-raja asing.

Raja Huai lambat laun dipengaruhi oleh

menteri-menterinya, karena itu Qu Yuan

pun dibenci oleh Raja. Qu Yuan dibuang

ke sebuah kampung kecil yang jauh dari

istana. Meskipun telah dibuang tetapi ia

tidak menaruh dendam atas kemalangan

yang terjadi padanya. Selama diasingkan,

Qu Yuan mengarang sajak-sajak untuk

mencurahkan pikirannya, salah satu

sajaknya yang terkenal adalah yang

berjudul Li Sao. Isinya bukan hanya

penderitaaanya selama di pengasingan

tetapi juga malapetaka yang akan menimpa

negeri dan rakyatnya. Qu Yuan sudah

berkali-kali mengingatkan raja agar jangan

menyerang Negara Qin tetapi raja tidak

mengindahkan hal tersebut. Pada suatu

hari, Qu Yuan mendengar kabar bahwa

raja sakit keras akibat kekalahannya

melawan Negara Qin.

Para tabib dari seluruh negeri telah

dipanggil untuk mengobati raja tetapi raja

tak kunjung sembuh. Qu Yuan merasa

sedih mendengar kabar tersebut, ia ingin

menolong raja tetapi ia tidak dapat berbuat

apa-apa selama berada di pengasingan.

Pada suatu malam, ia bermimpi didatangi

oleh Dewa Kekal. Ia diperintahkan untuk

segera kembali ke istana. Ia harus

membawa obat untuk raja yaitu kue yang

dibuat dari beras dan dibungkus di dalam

daun bambu berbentuk limas (piramida).

Daun bambu tersebut harus disimpulkan

dengan benang sutra berwarna merah.

Dewa Kekal berpesan agar raja harus

memakan kue itu setiap hari.

Dewa itu pun menghilang dan dalam

sekejap Qu Yuan merasa tubuhnya seolah-

olah diangkat dari tanah dan diterbangkan

ke istana yang jauhnya beratus-ratus mil.

Tiba-tiba Qu Yuan telah ada di dalam

kamar tidur raja. Qu Yuan pun diam-diam

memberi hormat kepada raja lalu langsung

mengikatkan kue-kue tersebut di atas kasur

raja. Seketika, ia kembali merasa tubuhnya

telah terangkat dan kembali ke tempat

pengasingannya, lalu ia pun tersadar. Lama

ia berpikir tentang kejadian yang

mengherankan tersebut. Ia yakin bahwa

mimpinya tersebut benar-benar terjadi.

Sementara itu di tempat lain, raja pun

terbangun dari tidurnya. Awalnya ia

mengira telah bermimpi karena melihat di

atas tempat tidurnya terdapat sejumlah kue.

Raja bertanya kepada seluruh penghuni

istana tetapi tidak ada yang menaruh kue-

kue tersebut. Berdasarkan penuturan para

penghuni istana, raja meyakini bahwa kue-

kue tersebut dikirim oleh Qu Yuan dari

tempat pengasingannya. Raja memandangi

kue tersebut satu demi satu, dibelah

kemudian dimakan isinya. Semakin

banyak raja memakan kue tersebut maka

semakin berkurang penyakitnya. Raja

merasa heran, kemudian ia memanggil

seluruh menterinya dan menceritakan

kejadian aneh tersebut. Para menteri hanya

dapat menggelengkan kepala sebagai

bentuk ketidakpercayaan mereka.

Kedatangan Qu Yuan mengunjungi raja

adalah tanda yang tidak baik bagi mereka.

Mereka harus berhati-hati sebab Qu Yuan

sekarang telah mempunyai ilmu gaib, ia

dapat menghilang kemana saja. Dengan

cara licik, para menteri berkata kepada raja

bahwa di dalam kue-kue tersebut terdapat

racun. Raja pun terpengaruh, ia segera

memerintahkan para menteri untuk

menangkap dan membunuh Qu Yuan. Raja

mengira bahwa Qu Yuan telah kabur dari

tempat pengasingan. Oleh karena itu, para

menteri diminta untuk mencari Qu Yuan.

Namun alangkah terkejutnya mereka

ketika mendapati bahwa Qu Yuan masih

ada di dalam bilik tempat pengasingannya.

Para menteri langsung mengikat tangan Qu

Yuan dan ia langsung dibawa ke istana. Qu

Yuan tidak melawan sedikit pun, tetapi

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 9: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

9

ketika telah sampai di sungai Millou, Qu

Yuan pun berontak, ikatan tangannya

terlepas, lalu ia langsung melompat ke

dalam sungai dan tenggelam.

Pada saat yang sama, Raja Huai melihat

bayangan Dewa Kekal dari langit. Dewa

Kekal menceritakan kejadian yang

sebenarnya terjadi. Setelah mengetahui hal

tersebut, Raja Huai langsung merasa

bersalah dan memerintahkan seluruh

rakyat untuk mencari jasad Qu Yuan di

sepanjang sungai Millou. Semua rakyat

mencari dengan menggunakan perahu

tetapi tetap tidak menemukan jasad Qu

Yuan. Raja pun memerintahkan rakyat

untuk membuat kue-kue yang serupa

dengan kue yang dibawa oleh Qu Yuan,

supaya rohnya melihat bahwa orang-orang

sedang mencarinya, tetapi semua usaha itu

tidak berhasil. Akhirnya setiap tanggal 5

bulan 5, orang-orang mendayung perahu

untuk mencari jasad Qu Yuan, seorang

menteri yang sangat setia kepada raja dan

untuk menghormatinya disajikan bacang

untuk dilemparkan ke dalam sungai.

Berangkat dari cerita sejarah itu, kemudian

lahirlah perayaan Festival Pe’cun yang

identik dengan perahu naga dan bacang.

Sejarah versi kedua adalah tentang seorang

menteri dari Negara Chu di masa Musim

Semi dan Gugur yang bernama Wu Zi Xu.

Wu Zi Xu adalah seseorang yang berbakti

pada raja dan negara tetapi karena

keluarganya dibunuh oleh Raja Chu

menyebabkan ia pergi membantu Negara

Wu untuk menyerang Negara Chu.

Kerajaan Wu pun mampu mengalahkan

Kerajaan Chu berkat jasa Wu Zi Xu.

Sayangnya, setelah Raja Wu meninggal

dan digantikan oleh anaknya, anaknya

tersebut tidak begitu menyukai Wu Zi Xu.

Suatu kali, Wu Zi Xu menasehati raja baru

tersebut untuk menyerang Negara Yue

tetapi hal itu tidak digubris oleh raja. Ia

malah difitnah oleh menteri-menteri

Negara Wu bahwa ia telah bersekongkol

dengan Negara Yue untuk menyerang

Negara Wu. Raja terhasut oleh ucapan para

menteri, ia pun menghukum mati Wu Zi

Xu. Setelah meninggal, jenazahnya

kemudian dibuang ke dalam sungai.

Menurut cerita, dahulu saat Negara Wu

mengalami masa kejayaan, Wu Zi Xu

pernah memerintahkan rakyat untuk

mengukus beras lalu menumbuknya untuk

kemudian dicetak menjadi batu bata. Batu

bata beras itu ditumpuk lalu dilapisi

dengan batu bata asli sehingga menjadi

tembok kota. Sepuluh tahun setelah Wu Zi

Xu mati, Negara Wu diserang oleh Negara

Yue, Negara Wu kalah dalam peperangan

ini. Hal ini menyebabkan Negara Wu

menderita gagal panen dan terjadi bencana

kelaparan. Seorang pejabat istana teringat

akan pesan Wu Zi Xu, bila terjadi bencana

kelaparan, rubuhkanlah tembok kota

bagian dalam karena batu batanya adalah

beras yang bisa di makan. Bermula dari

hal tersebut maka setiap memperingati

kematian Wu Zi Xu dibuatlah makanan

dari beras yang dibungkus.

Beberapa perbedaan data sejarah tersebut

kerap menimbulkan berbagai pertanyaan

mengenai asal mula perayaan Festival

Pe’cun, tetapi yang dapat disimpulkan

bahwa perayaan ini merupakan sebuah

perayaan untuk memperingati dan

menghormati salah seorang pejabat negara

yang memiliki moral luhur.

3.2. Rangkaian Perayaan dan Hidangan

Dalam Festival Pe’cun

Rangkaian perayaan dan hidangan seolah

menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan

dari sebuah festival. Begitu pula dengan

Festival Pe’cun yang memiliki sejumlah

rangkaian perayaan serta makanan yang

identik dengan festival tersebut.

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 10: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

10

3.2.1 Membuat Bacang

Hidangan khas dalam Festival Pe’cun

adalah bacang atau bái zòng (白粽)/ròu

zòng (肉粽). Adanya bacang dalam

festival ini diyakini karena makanan

tersebut merupakan makanan yang dibawa

oleh Qu Yuan untuk mengobati Raja Huai

yang saat itu sedang sakit keras.

Sepeninggal Qu Yuan yang menceburkan

diri di sungai, maka setiap perayaan

Festival Pe’cun, banyak masyarakat

Tionghoa yang membuat bacang untuk

dilemparkan ke sungai sebagai

persembahan untuk Qu Yuan kemudian

banyak masyarakat yang memakan bacang

tersebut karena dipercaya mampu

mengobati penyakit. Selain itu ada yang

dibuat dalam bentuk kecil tanpa isi untuk

kemudian dimakan bersama srikaya

ataupun gula merah, dikenal dengan nama

kue cang.

Sehari sebelum festival digelar,

masyarakat Cina Benteng sibuk membuat

bacang sebagai salah satu simbol perayaan

ini. Bacang tersebut akan disajikan jika ada

tamu yang datang ke rumah mereka

ataupun akan dilemparkan ke kali sebagai

simbol penghormatan kepada Qu Yuan.

Sementara untuk kue cang dapat dibuat

dari satu minggu sebelum perayaan ini

karena lebih awet. Di masing-masing

rumah terdapat meja abu yang diatasnya

terdapat bacang, kue cang dengan gula

cair, mie goreng, air minum, serta sebagai

pelengkap ada lilin/lampu yang berfungsi

sebagai penerangan.

3.2.2 Menggantungkan Chāng Pú

(菖蒲) atau Tumbuhan Jeringau

Festival Pe’cun yang jatuh pada musim

panas biasanya dianggap sebagai bulan

yang rentan akan penyakit, sehingga

masyarakat Tionghoa akan melakukan

kegiatan bersih-bersih di rumah masing-

masing, lalu menggantungkan chāng pú di

depan rumah untuk mengusir dan

mencegah datangnya penyakit. Chāng pú

memiliki nama latin Acorus Calamus atau

biasa dikenal dengan nama tumbuhan

jeringau dalam Bahasa Indonesia. Chāng

pú atau Jeringau adalah tumbuhan yang

rimpangnya dijadikan sebagai bahan obat-

obatan. Tumbuhan ini memiliki beberapa

karakteristik diantaranya: berbentuk seperti

rumput tetapi dengan ukuran yang lebih

tinggi, menyukai tanah basah, serta daun

dan rimpangnya beraroma kuat. Tumbuhan

ini berasal dari India dan menyebar ke

berbagai penjuru dunia melalui

perdagangan rempah-rempah. Di benua

Amerika, Jeringau kerap dipertukarkan

dengan tumbuhan asli Amerika yang masih

berkerabat dengannya yaitu, Acorus

Americanus. Dalam bahasa Jawa,

tumbuhan ini dikenal dengan nama Dlingo.

Jeringau dikenal sebagai tumbuhan obat

yang memiliki beberapa manfaat, seperti :

- Pengendali Hama: bagian rimpang pada

tumbuhan Jeringau memiliki kandungan

utama yang bernama Asaron. Asaron dapat

digunakan sebagai pestisida untuk

pengendali hama serta racun serangga,

seperti untuk membasmi nyamuk, kecoa,

dan rayap.

- Bahan obat-obatan

- Bahan rempah-rempah

3.2.3 Sembahyang di Kelenteng Boen

Tek Bio

Sebelum acara perlombaan di Kali

Cisadane dimulai, masyarakat Cina

Benteng akan melakukan sembahyang di

Kelenteng Boen Tek Bio. Sembahyang

akan dimulai di altar utama yaitu tempat

diletakkannya patung Dewi Kuan Im atau

yang mereka sebut dengan emak atau Dewi

Welas Asih. Setelah itu mereka akan

sembahyang kepada 8 dewa lainnya yang

ada di Kelenteng Boen Tek Bio secara

berurut. Mereka harus melakukan

sembahyang dengan melewati dua buah

lorong yang ada di kelenteng tersebut yang

diberi nama Pintu Kesusilaan dan Jalan

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 11: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

11

Kebenaran. Mereka bisa masuk melalui

lorong Pintu Kesusilaan dan keluar melalui

lorong Jalan Kebenaran. Meskipun

terkesan sederhana, tetapi makna dari dua

lorong ini cukup dalam, yaitu bagi manusia

yang ingin memperoleh kebajikan dan

menemukan jalan yang benar, maka ia

harus terlebih dahulu menguasai aturan-

aturan kesusilaan sebagaimana ajaran

Konfusius yang mengutamakan kesusilaan.

3.2.4 Lomba Perahu Naga

Setelah selesai sembahyang, masyarakat

Cina Benteng akan bergerak ke pinggir

Kali Cisadane. Di pinggir kali terdapat

sebuah panggung yang berukuran sedang.

Acara akan dimulai dengan sambutan dari

tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Sebelum perlombaan dimulai, akan

disajikan acara-acara hiburan seperti

pertunjukan Wushu, penampilan Barongsai

ataupun Liong, serta penampilan seni dari

para pemusik Cina Benteng dan

masyarakat setempat seperti gambang

kromong, tari cokek, dan lain-lain. Acara

perlombaan dimulai dengan lomba perahu

naga.

Perahu naga biasanya didayung secara

berkelompok dan diikuti oleh sejumlah

pria dewasa. Pada umumnya jumlah orang

dalam tiap kelompok terdiri atas 15-30

orang, dimana akan terdapat seorang

pemimpin yang berpakaian putih dengan

bendera putih di tangan kanannya. Selain

itu ada juga dua orang yang bertugas

sebagai pemukul gong dan pemukul

canang yang bertugas untuk memberi

semangat kepada peserta lomba. Mereka

akan mendayung perahu kian kemari di

tengah keramaian sambil melemparkan

bacang (Nio Joe Lan, 1961: 155).

Panjang dari perahu naga sekitar 40-50

kaki dengan kedalaman 1,5 kaki dan lebar

3 kaki. Di bagian haluan berbentuk kepala

naga dan di bagian buritannya berbentuk

ekor naga. Warna dominan dari perahu ini

adalah merah. Dari beberapa kelompok

yang berlomba akan ditentukan 1

kelompok yang dapat mendayung perahu

paling cepat dari garis start hingga finish.

Kelompok yang dapat mendayung perahu

paling cepat akan keluar sebagai

pemenang.

Makna dari perlombaaan mendayung

perahu ini adalah sebagai simbol dari

semangat masyarakat untuk mencoba

menyelamatkan dan menemukan jasad Qu

Yuan yang hilang di sungai. Perlombaan

ini menjunjung tinggi sportivitas antar

kelompok serta menggambarkan kerjasama

di dalam sebuah kelompok untuk mencapai

sebuah tujuan bersama.

3.2.5 Lomba Menangkap Bebek

Setelah selesai lomba mendayung perahu

naga akan diadakan perlombaan

menangkap bebek. Para panitia akan

melempar sejumlah bebek ke dalam Kali

Cisadane dan para peserta yang telah

mendaftar perlombaan akan menangkap

bebek-bebek tersebut. Bebek yang berhasil

ditangkap akan menjadi milik mereka.

Dengan dilepaskannya bebek-bebek

tersebut, diharapkan dapat membuat hidup

orang yang melepasnya terbebas dari

kesialan serta dapat melanjutkan

kehidupan mereka dengan damai dan

tentram.

3.2.6 Mendirikan Telur

Ada sebuah rangkaian acara yang cukup

unik pada perayaan Festival Pe’cun yaitu

mendirikan telur. Panitia akan

menyediakan sejumlah telur kepada para

pengunjung dan telur-telur tersebut akan

didirikan secara bersamaan di dekat area

panggung. Tidak mudah untuk mendirikan

telur yang berbentuk oval di sebuah bidang

datar. Pada tanggal 5 bulan 5 dalam

penanggalan imlek, bumi berada pada

posisi equinox yaitu posisi ketika sumbu

rotasi bumi tegak lurus ke arah matahari.

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 12: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

12

Pada posisi equinox, di antara bumi dan

matahari terdapat garis-garis medan

gravitasi yang dapat mempengaruhi

elektron-elektron yang berada di dalam

telur. Gerakan elektron-elektron inilah

yang menyebabkan terjadinya kestabilan

hingga telur dapat berdiri. Lama equinox

terjadi hanya 45-60 menit, biasanya terjadi

pada tengah hari dan hal itu hanya terjadi

satu kali dalam setahun, bertepatan dengan

Festival Pe’cun.

3.2.7 Stand atau bazzar

Selain menghadirkan sejumlah

pertunjukkan, di sepanjang pinggir Kali

Cisadane juga terdapat sejumlah stand

yang menjual makanan, minuman,

pakaian, cenderamata, dan lain-lain. Stand-

stand tersebut diisi oleh komunitas Cina

Benteng maupun oleh masyarakat

setempat.

3.3 Masyarakat Cina Benteng dan

Manfaat Festival Pecun

3.3.1 Masyarakat Cina Benteng

Tangerang

Berkulit gelap, mata lebar, dan memegang

pacul sepintas seperti petani Sunda dan

Betawi kebanyakan, tetapi mereka

memelihara meja abu dan memuja leluhur.

Itulah ringkasan sosok masyarakat petani

Cina Benteng di Tangerang, Banten

(Santosa, 2012: 17). Komunitas Cina

Benteng adalah keturunan Cina Hokkian

yang datang ke Tangerang secara

bergelombang pada abad ke-15 sampai

abad ke-18. Pada gelombang awal, yang

datang merupakan para lelaki yang di

Tiongkok berprofesi sebagai petani, buruh,

atau pedagang kecil. Kemudian di

Tangerang, mereka membuka lahan

pertanian dan perkebunan. Sebagian lagi

bekerja sebagai buruh serabutan ataupun

berdagang di dekat Teluk Naga dan

Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka

menetap, berakulturasi dan melakukan

perkawinan dengan perempuan setempat.

Anak-anak mereka mengikuti bahasa ibu

mereka, yakni dialek Melayu Pasar.

Sebutan Cina Benteng sebetulnya mengacu

pada keberadaan benteng yang dibangun

oleh Verrenigde Oost Indische Compagnie

atau kongsi dagang belanda (VOC) yang

berada di sisi timur Sungai Cisadane.

Benteng tersebut dibangun untuk

melindungi Batavia yang di abad ke-17

menjadi pusat perdagangan VOC dari

Afrika Barat, Afrika Selatan, India, Sri

Lanka, Malaka, Formosa, hingga Deshima

di Nagasaki. Namun sebetulnya

keberadaan peranakan Tionghoa di

kawasan Tangerang, sudah ada jauh

sebelum kedatangan bangsa Barat di Pulau

Jawa. Dalam perkembangannya,

masyarakat peranakan Tionghoa di

kawasan tersebut disamaratakan dengan

sebutan Cina Benteng. Masyarakat petani

Tionghoa Peranakan di sepanjang alur

Sungai Cisadane hingga di kawasan

Cikupa di pedalaman (udik) dan Tanjung

Kait di pesisir Tangerang dikenal sebagai

bagian dari masyarakat Cina Benteng.

(Santosa, 2012: 18).

Sebagian warga Cina Benteng, terutama di

udik, berbicara dalam bahasa Betawi

"iyak" bercampur dialek Sunda pesisir.

Partikel mah, ge (dari kata oge) berada di

hampir setiap kalimat. Pada umumnya

mereka tidak bisa berbicara dalam Bahasa

Mandarin atau dialek Hokkian. Tradisi

dalam masyarakat Cina Benteng

diturunkan melalui tindakan oleh para

leluhur mereka. Hal tersebut telah menjadi

bagian dari praktik sosial sehari-hari,

terutama dalam hal kepercayaan (religi).

Bahasa nenek moyang mereka yaitu

Bahasa Mandarin atau dialek Hokkian

sudah tidak lagi digunakan sebab sudah

sejak lama mereka berakulturasi.

Kedatangan pemukim Tionghoa yang tidak

membawa perempuan dari sana membuat

mereka menjalani tradisi perkawinan

campur dengan perempuan-perempuan

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 13: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

13

setempat. Perkawinan inilah yang

kemudian membentuk komunitas Cina

Benteng, Tangerang. Mereka hidup dalam

keadaan yang sangat sederhana, bahkan di

sekitar Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar

Lama, Tangerang, dapat terlihat

masyarakat Cina Benteng yang berprofesi

sebagai tukang becak.

Keberadaan Cina Benteng sudah sejak

lama mengakar di Banten. Sebagai bukti

adalah adanya seorang warga Cina

Benteng bernama Encek Ban Cut yang

dikenal sebagai pendiri Menara Masjid

Banten. Bahkan sebagai penghargaan dari

Sultan Banten, ada beberapa keluarga

Tionghoa peranakan yang diberi gelar

tubagus. Gelar tersebut masih dipakai

hingga hari ini oleh beberapa keturunan

Encek Ban Cut dan kawan-kawannya yang

membuka perniagaan di Banten.

Keberadaan Cina Benteng turut memberi

memberi warna dalam toponimi (asal usul

penamaan tempat), (Santosa, 2012: 27).

Nama daerah Karawaci yang kita kenal

sekarang berasal dari istilah Kurawa Cina

(bala tentara Tionghoa). Mengenai nama

kawasan Teluk Naga yang terletak di

pesisir Tangerang pun berasal dari

kedatangan perahu-perahu Cina dengan

hiasan naga di bagian kepala kapal

(Santosa, 2012: 25-26). Bahkan, bisa

dikatakan bahwa seluruh wilayah

Tangerang merupakan bekas tanah swasta

(particulere landrijen) di zaman Hindia

Belanda yang dimiliki tuan tanah

Tionghoa. Masyarakat Cina Benteng

merintis pembukaan kebun tebu, industri

gula, dan persawahan yang menjadi tulang

punggung ekonomi VOC sebagai

komoditas eskpor utama ke Eropa dan

membuat nama Jawa dikenal dunia sebagai

daerah penghasil gula.

3.3.2 Manfaat Festival Pecun

Meskipun pada umumnya masyarakat Cina

Benteng tidak dapat berbahasa Mandarin

ataupun Hokkian tetapi mereka tetap

menjaga dan melestarikan budaya

Tionghoa kepada anak cucu mereka. Chūn

jié (春节) atau Imlek, yuán xiāo jié

(元宵节) atau Cap Go Meh, qīng míng jié

(清明节) atau Festival Ceng Beng, serta

Duānwǔ jié (端午节) atau Festival Perahu

Naga merupakan festival yang rutin

mereka laksanakan setiap tahunnya.

Masyarakat Cina Benteng melangsungkan

Festival Pe’cun di sekitar Kelenteng Boen

Tek Bio, Pasar Lama, dan Kali Cisadane.

Pada tahun 2011, acara ini berlangsung

pada tanggal 6 Juni. Pada tahun 2012,

acara ini berlangsung pada tanggal 23 Juni.

Pada tahun 2013, acara ini berlangsung

pada tanggal 15 Juni.

Perayaan Festival Pe’cun telah ada selama

berabad-abad silam, tetapi sebelumnya

berpusat di Kali Besar daerah Kota.

Namun karena pendangkalan Kali Besar,

akhirnya perayaan Pe’cun dipindahkan ke

Kali Cisadane pada tahun 1911. Setelah

itu, Festival Pe’cun rutin diselenggarakan

setiap tahunnya hingga tahun 1964. Pada

tahun 1964, Festival Pe’cun dilarang untuk

diadakan, ditambah saat Orde Baru

munculnya Inpres No. 14 Tahun 1967

tentang larangan semua ekspresi

kebudayaan dan keagamaan Tionghoa.

Dengan adanya Inpres tersebut, secara

otomatis perayaan festival ini pun terhenti.

Setiap tanggal 5 bulan 5, masyarakat Cina

Benteng hanya melakukan sembahyang di

Kelenteng Boen Tek Bio tanpa ada

perayaan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Hingga akhirnya pada tahun 2000, melalui

Keppres RI No. 6/2000, Presiden

Abdurrachman Wahid mencabut Inpres

No. 14 Tahun 1967 tentang larangan

semua ekspresi dan kebudayaan Tionghoa.

Setelah dikeluarkan Keppres tersebut,

Festival Pe’cun kembali dilangsungkan

oleh masyarakat Cina Benteng. Sejak

diselenggarakan kembali pada tahun 2000,

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 14: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

14

festival ini masuk ke dalam rangkaian

acara yang digelar oleh Pemerintah Kota

Tangerang yaitu Festival Cisadane. Tetapi

kemudian di tahun 2005, Festival Pe’cun

berpisah dari Festival Cisadane. Hal ini

dikarenakan ada perbedaan konsep antara

Festival Pe’cun dengan Festival Cisadane.

Jika Festival Pe’cun menghadirkan

rangkaian acara yang merupakan kesenian

dari hasil akulturasi antara budaya

Tionghoa dengan budaya masyarakat

setempat seperti Betawi ataupun Sunda.

Sementara Festival Cisadane menampilkan

sejumlah atraksi kesenian yang merupakan

gabungan kesenian tradisional dan modern

asli Indonesia. Oleh karena itu, mulai

tahun 2005, terlebih dahulu

diselenggarakan Festival Pe’cun, setelah

itu diadakan Festival Cisadane agar tidak

adanya saling tumpang tindih antara kedua

festival tersebut.

Dewasa ini, manfaat Festival Pe’cun tidak

hanya membawa dampak positif terhadap

komunitas Cina Benteng sendiri tetapi juga

bagi penduduk sekitar dan masyarakat

luas. Berikut ini adalah beberapa manfaat

yang dihasilkan dari pelaksanaan festival

tersebut :

1) Manfaat bagi komunitas Cina

Benteng

Festival ini bermanfaat untuk

mempertahankan jati diri

komunitas Cina Benteng sebagai

etnis Tionghoa, serta bermanfaat

untuk melestarikan tradisi dan

ajaran-ajaran luhur nenek moyang

kepada anak cucu mereka.

2) Manfaat terhadap pembauran

budaya lokal dan budaya tionghoa

Festival Pe’cun juga memiliki

manfaat bagi masyarakat di luar

komunitas Cina Benteng seperti

adanya pembauran budaya antara

budaya lokal dengan budaya

Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dari

adanya penampilan seni asli Betawi

seperti Gambang Kromong dan

Tari Cokek dalam perayaan

Festival Pe’cun. Bahkan para

musisi setempat juga dapat

memainkan lagu berbahasa

Mandarin dalam festival ini. Selain

pembauran budaya lokal dengan

budaya Tionghoa dalam hal musik,

pengaruh budaya lokal juga dapat

dilihat dari makanan yang disajikan

dalam festival ini yaitu kue cang.

Awalnya makanan khas dalam

festival ini hanya bacang yang

berisi daging babi tetapi sekarang

bacang memiliki berbagai macam

isi, tidak hanya daging babi tetapi

ada juga yang berisi daging sapi,

daging ayam, sayur-sayuran,

bahkan ada yang tanpa isi. Bacang

yang dibuat dalam bentuk kecil dan

tanpa isi disebut dengan kue cang.

Kue cang dapat disajikan dengan

srikaya maupun gula merah yang

dicairkan. Munculnya kue cang

serta bacang yang tidak berisi

daging babi karena mayoritas

penduduk lokal tidak mengonsumsi

daging babi.

3) Manfaat terhadap peningkatan

hubungan sosial dan ekonomi

Tidak dapat dipungkiri bahwa

festival ini memiliki manfaat bagi

peningkatan hubungan sosial antara

komunitas Cina Benteng dengan

penduduk lokal. Baik komunitas

Cina Benteng yang merayakan

Festival Pe’cun maupun penduduk

lokal yang tidak merayakan, ikut

turut andil untuk menyukseskan

acara ini setiap tahunnya. Tidak

jarang penduduk lokal ikut

berpartisipasi dalam lomba-lomba

yang diselenggarakan oleh panitia,

seperti lomba mendayung perahu

dan lomba menangkap bebek.

Selain dari aspek sosial, festival ini

juga memiliki peran terhadap

peningkatan hubungan ekonomi.

Setiap perayaan Festival Pe’cun,

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 15: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

15

penduduk lokal yang berprofesi

sebagai pedagang akan menjajakan

barang dagangannya di sekitar

Kelenteng Boen Tek Bio, Pasar

Lama, dan Kali Cisadane. Tidak

jarang, mereka akan mendapatkan

penghasilan berkali-kali lipat

dibandingkan pada hari biasa.

Tidak hanya para pedagang,

mereka yang berprofesi sebagai

tukang becak serta tukang parkir

pun mampu mendapatkan rejeki

lebih dari pelaksanaan festival ini.

4) Manfaat bagi masyarakat luas

Selanjutnya festival ini juga

memiliki manfaat bagi masyarakat

luas yaitu mampu menambah

pengetahuan masyarakat akan

kekayaan budaya yang ada di

Indonesia. Kekayaan budaya yang

merupakan perpaduan antara

budaya Indonesia dengan budaya

Tionghoa.

4. Kesimpulan

Cina Benteng sebagai sebuah komunitas

lokal di Indonesia mempunyai sejarah

yang sangat panjang. Meskipun mereka

tidak lagi dapat berbahasa Mandarin

ataupun Hokkian tetapi mereka tetap

menjalankan tradisi-tradisi leluhur mereka,

salah satunya adalah Festival Pe’cun.

Festival ini rutin diselenggarakan oleh

masyarakat Cina Benteng setiap tahunnya.

Festival yang berlangsung sekitar bulan

Juni ini akan diawali dengan sembahyang

di Kelenteng Boen Tek Bio, kemudian

dilanjutkan dengan berbagai macam

kegiatan yang berpusat di Kali Cisadane

seperti lomba perahu naga, lomba

menangkap bebek, mendirikan telur, serta

pertunjukan-pertunjukan seni hasil

akulturasi antara budaya Tionghoa dengan

budaya masyarakat setempat. Selain itu,

dalam festival ini juga terdapat makanan

khas yang dibuat oleh masyarakat Cina

Benteng berupa bacang dan kue cang.

Festival Pe’cun sudah berlangsung sejak

berabad-abad silam tetapi keberadaannya

tidak selalu berjalan mulus. Festival Pecun

pernah dilarang untuk diadakan pada tahun

1964. Bahkan di era Orde Baru, seluruh

aktivitas budaya Tionghoa tidak boleh

dilangsungkan. Perayaan festival ini baru

berjalan kembali pada tahun 2000 hingga

sekarang. Perayaan Festival Pe’cun

memiliki beberapa manfaat yaitu: bagi

komunitas Cina Benteng, bagi pembauran

budaya lokal dan budaya Tionghoa, bagi

peningkatan hubungan sosial dan ekonomi,

dan bagi masyarakat luas.

Peran masyarakat Cina Benteng dalam

menjaga eksistensi festival ini sangat

besar. Mereka terus menjaga eksistensi

festival ini agar tidak punah oleh arus

globalisasi. Acara ini awalnya hanya

dinikmati oleh komunitas Cina Benteng

tetapi sekarang sudah banyak masyarakat

luar Cina Benteng yang berpartisipasi

langsung untuk ikut merayakan ataupun

menyaksikan rangkaian acara festival ini.

Keberadaan Cina Benteng menyimpan

jejak generasi yang siap untuk menerima

perbedaan, bahkan berakulturasi secara

sempurna. Jika jejak Cina Benteng hilang

ditelah zaman, maka tradisi-tradisi seperti

upacara Chio Thau, Festival Pe’cun,

Festival Cap Go Meh, Festival Ceng Beng

pun mungkin tinggal menjadi sebuah

kenangan. Oleh karena itu, diperlukan

peran semua pihak baik dari masyarakat

Cina Benteng, masyarakat luar Cina

Benteng, pemerintah setempat, maupun

pemerintah Indonesia untuk menjaga

tradisi-tradisi tersebut agar tidak tergerus

oleh jaman. Bagi masyarakat luar Cina

Benteng dapat berperan aktif dengan turut

berpartisipasi dalam perayaan Festival

Pe’cun. Sementara itu, pemerintah dapat

berperan aktif dengan memberikan bantuan

dana bagi komunitas Cina Benteng untuk

melaksanakan Festival Pe’cun serta

mampu mempublikasikannya secara luas

agar festival tersebut dapat dikenal baik

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014

Page 16: FESTIVAL PE’CUN DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG TANGERANG MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20368988-MK-Rahmat Kahfi... · 1 . universitas indonesia . festival pe’cun dalam

16

tingkat nasional maupun tingkat

internasional.

Daftar Referensi

Joe, Lan Nio. 1961. Peradaban Tionghoa

Selajang Pandang. Jakarta: Keng Po.

Salmon, Cl & Lombard D. 1985. Klenteng-

klenteng Masyarakat Tionghoa di

Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta

Loka Caraka.

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa

di Nusantara. Jakarta: Kompas Media

Nusantara.

Sugiyono, Prof. DR. 2008. Memahami

Penelitian Kualitatif. Bandung: CV

Alfabeta.

Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan

Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

纪微.2008.图解中国国俗:回归中国人自

己的礼仪. 陕西: 陕西师范大学出版社.

Festival Pe'Cun ..., Rahmat Kahfi Ardani, FIB UI, 2014