fenomena diglosia pada interaksi para siswi dan … · mendeskripsikan faktor-faktor yang...
TRANSCRIPT
i
FENOMENA DIGLOSIA PADA INTERAKSI PARA SISWI
DAN SUSTER PAMONG DI ASRAMA SANTA ANGELA,
BANTUL, YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Yashinta Kurnia Brilyanti
NIM: 131224009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTO
“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar
dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”
(Raden Ajeng Kartini)
“Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah
beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan
kesusahan. Kata Aku tiada dapat! melenyapkan rasa berani. Kalimat ‘Aku mau!’
membuat kita mudah mendaki puncak gunung.”
(Raden Ajeng Kartini)
“Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan
penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang”
(Raden Ajeng Kartini)
“Yang penting Anda sehat, mau berkorban untuk masa depan yang lebih cerah.
Konsisten, kerja keras, disiplin”
(B.J. Habibie)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Allah Bapa di Surga, Ibu Maria, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus yang selalu
membimbing, mencintai, menyertai, serta menjamah doa dan hidup saya.
2. Kedua orang tua saya, Agustinus Sukardi dan Yohanna Elisabeth Sri
Mulyani yang tetap setia dan sabar mendidik dan mengantarkan saya
hingga mampu menyelesaikan studi strata satu ini.
3. Ketiga kakak saya, Maria Kurniawati, Irine Kurniastuti, Yulius Ardi
Nugraha. Sahabat-sahabat saya, Wahyu Apriliani, Yunita Dwi Rahmayani,
Paula Ella Kusuma Dewi, dan Dhita Ruari. Teman-teman PBSI terlebih
angkatan 2013 yang selalu mendukung dan memberi motivasi dalam
mengerjakan skripsi ini.
4. Almamater saya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Brilyanti, Yashinta Kurnia. 2018. Fenomena Diglosia pada Interaksi Para Siswi
dan Suster Pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta: Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji fenomena diglosia pada interaksi antara siswi dan
suster pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta. Tujuan penelitian ini
yaitu mendeskripsikan fenomena diglosia yang terjadi di dalam interaksi
keseharian para siswi dengan penghuni asrama lainnya melalui tuturan-tuturan
yang muncul dalam komunikasi sehari-hari. Tujuan berikutnya yaitu
mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya penggunaan variasi
bahasa pada interaksi sehari-hari di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Penelitian ini sebagai penelitian kualitatif sesuai dengan data penelitian
dan tujuannya. Data penelitian ini adalah tuturan lisan para siswi dan suster
pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta, yang diambil pada bulan
Desember 2017. Data yang dimaksud berupa tuturan-tuturan yang
memperlihatkan pemakaian diglosia dalam tuturan subjek penelitian, yaitu para
siswi dan suster pamong. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak
(observasi) dan metode cakap (wawancara). Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik sadap dan teknik lanjutan (teknik simak bebas libat cakap,
teknik catat, teknik rekam). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian
ini berdasakan kajian analisis deskriptif yang dipaparkan dalam empat tahap, yaitu
tahap identifikasi, tahap klasifikasi, tahap interpretasi, dan tahap deskripsi.
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah ditentukan, peneliti menganalisis data
tuturan yang mengandung fenomena diglosia dengan menggunakan kajian
diglosia mengacu pada konsep Fishman. Analisis data juga dilengkapi dengan
perpaduan teori ragam bahasa menurut ahli Utorodewo dkk., (2004) dengan teori
variasi dari segi keformalan menurut ahli Chaer dan Agustina (2004), dan faktor
yang memengaruhi penggunaan variasi bahasa menurut ahli Padmadewi dkk.,
(2014).
Hasil penelitian ditemukan bahwa memang terdapat fenomena diglosia
dalam tuturan komunikasi sehari-hari para siswi dan suster pamong. Hasil
penelitian lainnya menyatakan bahwa pengaruh penggunaan bahasa yaitu karena
faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial tersebut seperti status sosial,
tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, sedangkan faktor
situasional seperti siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai masalah apa.
Kata Kunci: sosiolinguistik, diglosia, variasi atau ragam bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Brilyanti, Yashinta Kurnia. 2018. The Phenomenon of Diglossia in the
Interaction of the Students and Pamong Sisters at Santa Angela Dormitory,
Bantul, Yogyakarta. A Thesis. Yogyakarta: Education of Indonesian Literature,
Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University.
This study examines the phenomenon of diglossia in the interaction
between female students and pamong sisters at Santa Angela Dormitory, Bantul,
Yogyakarta. The purpose of this study is to describe the phenomenon of diglossia
that occurred in the daily interaction of the students with other dorm residents
through the speeches that appear in everyday communication. The next goal is to
describe the factors influenced the occurrences of language variations in everyday
interactions at Santa Angela Hostel, Bantul, Yogyakarta.
This research as a qualitative research is in accordance with its research
data and objectives. This research data was spoken language used by the students
and the pamong sisters at Santa Angela Dormitory, Bantul, Yogyakarta, taken in
December 2017. The data were in the form of speeches that show the use of
diglossia by the research subjects, namely the students and pamong sisters.
Methods used for data collection were observation and interview. Data collection
techniques of this study were tapping technique and advanced technique (involved
conversation observation technique, writing technique, record technique). The
data analysis methods conducted in this study were based on descriptive analysis
study presented in four stages, namely identification stage, classification stage,
interpretation stage, and description stage. Based on the formulation of
predetermined problems, the researcher analyzed the data containing the
phenomenon of diglossia by using the diglossia study referring to the Fishman's
concept. Data analysis was also accompanied by a combination of linguistic
theory by Utorodewo et al. (2004) with the theory of variation in terms of
formality according to Chaer and Agustina (2004), and factors influencing the use
of language variation according to expert Padmadewi et al. (2014).
The results of the study found that there were indeed diglossia phenomena
in the daily communication of the students and pamong sisters. Other research
results stated that the influence of language usage is due to social factors and
situational factors. Social factors were social status, education level, age,
economic level, gender, while situational factors were the speakers and what
language the speakers use, to whom, when, where, and on what issues.
Keywords: sociolinguistics, diglossia, variation or variety of languages.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Fenomena
Diglosia pada Interaksi Para Siswi dan Suster Pamong di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta” dapat penulis selesaikan dengan baik. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan bukan hanya karena kerja keras penulis, melainkan
juga berkat bimbingan, dukungan, doa, dan saran dari berbagai pihak baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., selaku Rektor Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang begitu sabar dalam memantau
perkembangan skripsi penulis, memberikan motivasi dan saran yang
membangun terhadap penyelesaian skripsi penulis.
4. Dr. B. Widharyanto, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
membimbing penulis yang sempat kesulitan dalam mengerjakan skripsi,
memberi tantangan, semangat, motivasi, dan arahan yang tepat kepada
penulis, memberikan saran serta kritik yang membangun terhadap skripsi
penulis. Selain itu penulis merasa beruntung dengan sikap beliau yang
terbuka terhadap segala argumen-argumen yang penulis sampaikan,
sehingga diskusi pembimbingan skripsi dapat terjadi secara dua arah.
Penulis pun terkesan dengan perhatian, sifat kebapakan, dan sikap
bersahabat dari beliau yang secara langsung penulis rasakan selama
pembimbingan skripsi maupun proses keseharian selama kuliah. Banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
hal yang penulis serap dari beliau, tidak hanya hal-hal yang berkaitan
dengan Linguistik maupun Sosiolinguistik, tetapi juga hal-hal mengenai
kedisiplinan, etos kerja, dan tentu saja mengenai nasihat hidup dan
kehidupan itu sendiri.
5. Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., selaku dosen triangulator dari
Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, yang telah bersedia meluangkan waktu, pemikiran,
dan tenaga guna memeriksa data triangulasi penelitian penulis.
6. Danang Satria Nugraha, S.S., M.A., selaku dosen yang telah
memverifikasi daftar point kegiatan mahasiswa penulis.
7. Para dosen PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik, membimbing,
berbagi ilmu, dan membantu penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.
8. Theresia Rusmiyati, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan
sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam
menyelesaikan berbagai urusan administrasi.
9. Segenap staf dan karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah memberikan pelayanan dengan baik kepada penulis
selama penulis sering mengerjakan skripsi di perpustakaan.
10. Petugas Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta atas pelayanan yang baik.
11. Petugas Perpustakaan Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta atas
pelayanan yang ramah dan baik.
12. Sr. Cornelia, HK, selaku suster kepala di Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta, yang telah dengan murah hati membantu penulis dalam
mengambil data di asrama.
13. Siswi-siswi di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta, yang telah
merelakan waktu, pikiran, dan tenaga guna membantu penelitian penulis.
14. Kedua orang tua, Agustinus Sukardi, S.Pd. dan Yohanna Elisabeth Sri
Mulyani, S.Pd. yang tetap setia mencintai, memberi teladan, dan
mengantarkan penulis sampai detik ini tanpa pamrih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
15. Kepada ketiga kakak, Maria Kurniawati, S.Pd., Irine Kurniastuti, M.Psi.,
dan Yulius Ardi Nugraha, S.Psi. yang telah memberi semangat dan
dukungan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
16. Sahabat sejak SMA dan sahabat selama kuliah yang telah memberi warna
di kehidupan penulis, Wahyu Apriliani, S.Pd., Yunita Dwi Rahmayani,
S.Pd., Paula Ella Kusuma Dewi, S.Pd., dan Dhita Ruari, S.Pd. terima kasih
atas dukungan dan persahabatan yang hangat.
17. Teman-teman yang telah menjadi sumber konsultasi penulis saat
mengerjakan skripsi, Johanes Baptis Judha Jiwangga, Timotius Tri
Yogatama, S.Pd., Elisabet Riski Titasari, S.Pd., FX. Dwi Pamungkas,
S.Pd., Indah Rahayu, S.Pd., Lukas Budi Husada, S.Pd., Yona Fransiska,
S.Pd., dan Maria Kiki Adhy Setyani, S.Pd.
18. Teman-teman yang telah memberi semangat kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi, Lukman Lukita Aji, S.T., Libert Jehadit, S.Pd.,
Ardi Prabowo, S.T., Albertus Rico, S.T., Blasius Panut Nusanjaya, S.E.,
Adhi Brahmantya, S.T.
19. Christella Ayu Lolita Putri, S.Pd., Maria Magdalena Damar Isti, S.Pd.,
Agataha Ratna Puspita Sari, S.Farm., dan Thomas Wahyu Prabowo Mukti,
S.Pd. yang cukup membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
20. Chresensia Aprilia, Stefin Indra Hapsari, Pitrus Puspito, Kristina Ata,
Friska Hesti Ranindika, dan Martinus D.A. sebagai rekan mengerjakan
skripsi di bawah bimbingan Bapak Widharyanto, juga Adrian Nugroho,
Yohanes Prima, Dwi Agustine, yang telah berdinamika dengan baik dalam
penyelesaian skripsi ini.
21. Teman-teman di PBSI terlebih angkatan 2013 atas pertemanan dan
dinamika selama kuliah dan di luar perkuliahan.
22. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk kritik, saran, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN MOTO ......................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................. vii
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
ABSTRACT ........................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ..... ....................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
1.5 Batasan Istilah ........................................................................................ 8
1.6 Sistematika Penyajian ............................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................... 12
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................................ 12
2.2 Kajian Teori ............................................................................................ 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
2.2.1 Pengertian Sosiolinguistik ................................................................. 19
2.2.2 Variasi Bahasa ................................................................................... 21
2.2.2.1 Variasi dari Segi Penutur ................................................................ 23
2.2.2.2 Variasi dari Segi Pemakai ............................................................... 28
2.2.2.3 Variasi dari Segi Keformalan .......................................................... 29
2.2.2.4 Variasi dari Segi Sarana................................................................... 31
2.2.3 Kedwibahasaan atau Bilingualisme dan Multilingualisme ................ 33
2.2.3.1 Jenis Kedwibahasaan Berdasarkan Umur Seorang Bilingual
saat Dwibahasa Terjadi............................................................................... 35
2.2.3.2 Jenis Kedwibahasaan Berdasarkan Konteks Terjadinya
Dwibahasa .................................................................................................. 36
2.2.3.3 Jenis Kedwibahasaan Berdasarkan Pertimbangan Hubungan
Antara Penanda dan Makna........................................................................ 37
2.2.3.4 Jenis Kedwibahasaan Berdasarkan Urutan dan Akibat
Pemerolehan Bahasa Seorang Bilingual..................................................... 37
2.2.3.5 Jenis Kedwibahasaan Berdasarkan Kompetensi Penutur
atau Dwibahasawan.................................................................................... 38
2.2.3.6 Jenis Kedwibahasaan Berdasarkan Kegunaan dan Fungsinya........ 39
2.2.4 Masyarakat Tutur ............................................................................... 40
2.2.5 Fungsi-Fungsi Bahasa ........................................................................ 42
2.2.6 Diglosia .............................................................................................. 47
2.2.7 Kaitan Kedwibahasaan atau Bilingualisme dan Diglosia .................. 54
2.2.8 Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Bahasa ................................ 58
2.2.9 Klasifikasi Ragam Bahasa .................................................................. 63
2.3 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................. 74
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................... 74
3.2 Sumber Data dan Data ................................................................................ 76
3.3 Subjek Penelitian ........................................................................................ 77
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 87
3.5 Instrumen Penelitian ................................................................... ................ 89
3.6 Metode dan Analisis Data .......................................................................... 90
3.7 Triangulasi .................................................................................................. 91
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 93
4.1 Deskripsi Data Penelitian ........................................................................... 93
4.2 Analisis Data .............................................................................................. 98
4.2.1 Fenomena Diglosia pada Interaksi di Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta................................................................. ...................... 99
4.2.2 Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Penggunaan Variasi Bahasa
pada Interaksi Sehari-hari di Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta...................................................................................... 113
4.3 Pembahasan .............................................................................................. 118
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 122
5.1 Simpulan ................................................................................................... 122
5.2 Saran ......................................................................................................... 124
5.2.1 Pengembangan Bidang Kajian Sosiolinguistik .............................. .... 124
5.2.2 Penelitian Lanjutan ............................................................................ 124
5.2.3 Bahan Pembelajaran Kajian Sosiolinguistik ...................................... 124
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 126
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
Lampiran I Triangulasi Data............................................................................... 130
BIOGRAFI PENULIS ............................................................................... ........ 319
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kaitan antara Kedwibahasaan (Bilingualisme) dengan Diglosia ......... 55
Tabel 2 Klasifikasi Siswi Kelas XII di Asrama Santa Angela, Bantul .............. 77
Tabel 3 Latar Belakang dan Riwayat Pemerolehan Bahasa ............................... 81
Tabel 4 Data Penggunaan Ragam Bahasa .......................................................... 97
Tabel 5 Analisis Data 2 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor Sosial) ........ 114
Tabel 6 Analisis Data 3 Faktor Penyebab variasi bahasa (Faktor Sosial) .......... 115
Tabel 7 Analisis Data 2 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor Situasional). 117
Tabel 8 Analisis Data 3 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor Situasional). 117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR GAMBAR
Bagan 1 Kerangka Berpikir ................................................................................ 73
Grafik 1 Penggunaan Ragam Bahasa ................................................................. 97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang
membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain (Nababan, 1991:1). Bahasa
digunakan manusia untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa sangat erat kaitannya dan susah
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Melengkapi pemahaman di atas
menurut Sturtevent (dalam Suandi, 2014:4) bahasa adalah sistem lambang
sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu
kelompok sosial untuk bekerja sama dan saling berhubungan.
Chaer dan Agustina (2004:1) berpendapat sebagai alat komunikasi dan alat
interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun
eksternal. Kajian secara internal, artinya, pengkajian itu hanya dilakukan terhadap
struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur
morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan
menghasilkan perian-perian bahasa itu saja tanpa ada kaitannya dengan masalah
lain di luar bahasa. Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori
dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja. Sebaliknya, kajian
secara eksternal, berarti, kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor
yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para
penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Dari pandangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
ahli di atas dapat disimpulkan secara ringkas bahwa bahasa yaitu ciri khas
manusia yang membedakannya dengan makhluk lain, sehingga manusia dapat
berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya dalam kelompok-kelompok
sosial kemasyarakatan.
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara faktual digunakan oleh
masyarakat Indonesia dalam berbagai fungsi. Pemakaian bahasa Indonesia dan
bahasa daerah memperlihatkan situasi yang saling mengisi. Menurut Ferguson
(dalam Suandi, 2014:21) menyatakan dalam masyarakat diglosis terdapat dua
variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T
atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau
ragam R). Fungsi T digunakan hanya pada situasi resmi, sedangkan fungsi R
hanya pada situasi informal dan santai.
Sejalan dengan pendapat yang telah disampaikan di atas, di Indonesia
sendiri terdapat adanya pembedaan antara ragam T dan ragam R bahasa
Indonesia. Ragam T digunakan pada situasi formal seperti di dalam pendidikan
atau aktivitas akademis, sedangkan ragam R digunakan pada situasi nonformal
misalkan pembicaraan dengan teman atau rekan yang sudah akrab. De Saussure
(dalam Nababan, 1984:1-2) menyatakan dari dulu sudah disadari bahwa bahasa
adalah lembaga kemasyarakatan sebagaimana juga perkawinan, pewarisan harta,
dan sebagainya. Akan tetapi, baru dalam dua dasa warsa belakangan ini semakin
disadari ahli-ahli bahasa bahwa perlu diberikan lebih banyak perhatian kepada
dimensi kemasyarakatan dari bahasa. Dimensi kemasyarakatan ini memberikan
makna kepada bahasa, dan sekarang ini semakin disadari oleh ahli-ahli bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
bahwa dimensi kemasyarakatan ini menimbulkan ragam-ragam bahasa yang
bukan hanya berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan
penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan
tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa
dengan dimensi kemasyarakatan seperti disebut di atas ini disebut sosiolinguistik.
Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner
dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan
faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur (Chaer dan Agustina, 2004:4).
Secara ringkas, sosiolinguistik dapat diartikan sebagai ilmu yang menelaah dan
mempelajari hubungan antara bahasa dengan masyarakat penuturnya. Kajian
sosiolinguistik cenderung berfokus pada variasi bahasa yang muncul di dalam
masyarakat. Manusia hidup di bumi dalam lingkar lingkungan masyarakat pasti
tidak lepas dari bahasa. Dalam hidup keseharian tidak dapat dipungkiri bahwa
bahasa sangat penting, karenanya bahasa selalu digunakan dalam kegiatan sehari-
hari, di rumah, di sekolah, di pasar, di kantor, di jalan, dan sebagainya. Pada
kegiatan-kegiatan tertentu seperti belajar menjadi pembawa acara, wawancara,
kegiatan kesenian seperti seni sastra, seni suara, seni pidato pun tak lepas dari
bahasa sebagai sarana utamanya. Bahkan pada ilmu pasti, misalnya matematika
dalam menyatakan perumusannya juga menggunakan bahasa. Sukar dibayangkan
manusia hidup tanpa bahasa.
Melihat dan mengamati interaksi dan penggunaan bahasa para siswi dalam
lingkungan asrama, lebih khususnya pada siswi-siswi kelas XII di unit 3 dengan
suster pamong, tentu saja akan ditemukan banyak ragam atau varian bahasa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
dituturkan oleh masyarakat tutur di lingkungan asrama (disini yang dimaksudkan
masyarakat tutur adalah siswi-siswi dan suster pamong). Menilik pula bahwa
masyarakat penuturnya di Asrama Santa Angela Bantul, Yogyakarta, yang
beragam daerah geografis asalnya, etnis yang melekat pada diri penuturnya, latar
belakang penutur, dan pola asuh dari orang tuanya. Dalam suatu lingkungan
asrama dengan siswi yang beragam daerah geografis asal muasalnya sebelum
bertemu di suatu tempat yang sama, yaitu Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta, hal ini merupakan hal yang biasa, akan tetapi menjadi sebuah
fenomena yang menarik untuk diteliti, yaitu penggunaan bahasa manakah yang
lebih sering digunakan penutur (varian tinggi atau varian rendah) atau bahkan
kedua-duanya dalam interaksi sehari-hari dan pada situasi yang seperti apa
sehingga terindikasi adanya diglosia.
Istilah diglosia pertama kali diperkenalkan dan digunakan oleh Ferguson.
Ferguson (dalam Suandi, 2014:20) memberikan batasan bahwa diglosia adalah
suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama
suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku
regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (sering
kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana dalam
keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun
waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari
lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis
dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam
pembicaraan-pembicaraan biasa. Dalam hal ini istilah diglosia dipakai oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Ferguson guna menyatakan keadaan suatu masyarakat yang mempunyai dua
variasi dari satu bahasa dengan peranannya masing-masing.
Diglosia diidentikkan dengan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya
pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu masyarakat tutur. Ragam tinggi
dan rendah ini mengacu pada pemakaian bahasa yang dikaitkan dengan situasi
komunikasinya. Fenomena diglosia di Indonesia, bahasa Indonesia lebih banyak
digunakan oleh orang-orang usia muda, sedangkan generasi tua memiliki
kecenderungan yang lebih besar menggunakan bahasa daerah. Keluarga
perkawinan campuran memiliki kecenderungan menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan di kota-kota, sedangkan
bahasa daerah cenderung lebih banyak digunakan di daerah-daerah pinggir kota
atau desa. Komunikasi formal cenderung menggunakan bahasa Indonesia,
sedangkan bahasa daerah digunakan dalam situasi-situasi sebaliknya.
Mengenai deskripsi ragam tinggi dan ragam rendah, pada interaksi sehari-
hari ternyata pada situasi belajar di sekolah digunakan ragam bahasa tinggi
(bahasa Indonesia), dan pada situasi percakapan dengan teman menggunakan
ragam bahasa rendah (bahasa daerah). Maka dugaan sementara peneliti,
penggunaan ragam bahasa yang ditunjukkan atau digunakan oleh masyarakat
penutur di lingkungan asrama menggunakan ragam bahasa campuran yaitu ragam
bahasa tinggi (bahasa Indonesia), ragam bahasa rendah (bahasa daerah), dan
bahasa asing sesuai fungsi dan situasi yang sedang terjadi dan sesuai kadar lebih
sering menggunakan ragam bahasa tinggi (bahasa Indonesia) atau ragam bahasa
rendah (bahasa daerah). Pada pengamatan awal yang sempat peneliti lakukan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
asrama, menunjukkan hasil bahwa memang warga di Asrama Santa Angela
Bantul, Yogyakarta, terbukti menggunakan ragam bahasa yang bervariasi. Para
siswi dan suster pamong ternyata merupakan bilingualisme bahkan ada pula yang
multilingualisme terlepas dari mahir atau tidak dalam menerapkannya di dalam
interaksi sehari-hari. Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan peneliti
sebelum lebih jauh mengambil data penelitian, peneliti mempunyai dugaan
sementara bahwa situasi kebahasaan yang terjadi pada interaksi di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta terjadilah diglosia dengan pendekatan diglosia
konsep Fishman, di mana tidak hanya terpaku pada satu bahasa dengan dua
ragam, tetapi lebih dari satu bahasa sesuai fungsi dan situasi pada sebuah
interaksi. Teori-teori yang dipakai peneliti sangat mendukung dan berkaitan
dengan topik yang dibahas serta relevan dengan fakta di lapangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, disusunlah rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana fenomena diglosia pada interaksi Para Siswi dan Suster Pamong
di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta?
2. Faktor apa sajakah yang memengaruhi terjadinya penggunaan variasi
bahasa kaitannya dengan fenomena diglosia pada interaksi sehari-hari di
Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan fenomena diglosia pada interaksi di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan faktor yang memengaruhi terjadinya penggunaan variasi
bahasa dalam interaksi sehari-hari di Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoretis
Manfaat secara teoretis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
bermanfaat dalam pengembangan bidang kajian sosiolinguistik, yakni suatu
bidang yang mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa terkhusus pada
topik penelitian mengenai fenomena diglosia yang terjadi di Indonesia. Kedua,
dari penelitian ini diharapkan dapat mendalami esensi kajian sosiolinguistik
khususnya mengenai fenomena diglosia. Selain itu, dari penelitian ini dapat
dikembangkan teori diglosia guna melengkapi atau menyempurnakan teori-teori
yang sudah ada.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, bagi
para peneliti terkhusus peneliti bidang kajian sosiolinguistik, penelitian ini
bermanfaat sebagai referensi yang dapat dibaca dan dikritisi guna penyempurnaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
dari penelitian ini atau pembaruan penelitian yang serupa. Kedua, selain daripada
itu, manfaat yang tidak kalah pentingnya dari penelitian ini yaitu diharapkannya
muncul gebrakan baru bagi para calon peneliti muda supaya semakin getol
membuat penelitian kasus diglosia, mengingat masih sedikitnya penelitian
mengenai topik tersebut di Indonesia. Dalam dunia pendidikan terlebih perguruan
tinggi kepada mahasiswa yang mengambil program studi bahasa, penelitian ini
bermanfaat sebagai lahan sumber belajar mengenai fenomena diglosia dalam
sebuah interaksi.
1.5 Batasan Istilah
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner
dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan
faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur (Chaer dan Agustina, 2004:4).
2. Variasi atau Ragam Bahasa
Variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan
dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang
berlaku dalam bahasa yang bersangkutan (Padmadewi dkk., 2014:7-8).
3. Kedwibahasaan atau Bilingualisme dan Multilingualisme
Bloomfield (dalam Padmadewi dkk., 2014:52) mengatakan kedwibahasaan
adalah keadaan bagi seseorang yang menguasai dua bahasa dengan kadar
penguasaan yang sama untuk kedua bahasa tersebut. Wardhaugh (1986:94)
berpandangan bahwa multilingualisme mungkin saja terjadi dikarenakan oleh
adanya imigrasi atau adanya perkawinan campuran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
4. Masyarakat Tutur
Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004:36) menyebut masyarakat tutur
adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal
satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
5. Fungsi-Fungsi Bahasa
Halliday (dalam Rahardi, 2009:6) menunjukkan tujuh fungsi bahasa.
Berturut-turut, ketujuh fungsi bahasa itu dapat disebutkan sebagai berikut: (1)
fungsi instrumental, (2) fungsi regulasi, (3) fungsi representasional, (4) fungsi
interaksional, (5) fungsi personal, (6) fungsi heuristik, (7) fungsi imaginatif.
6. Diglosia
Istilah diglosia untuk menyebut suatu situasi di mana sebuah masyarakat
sesuai dengan kesempatan, menggunakan idiom yang lebih akrab dan tidak
berprestise, atau idiom yang lain yang lebih berbau pendidikan dan lebih direka
(Martinet, 1987:150-151).
7. Kaitan Kedwibahasaan atau Bilingualisme dan Diglosia
Dalam Suandi (2014:25) dijelaskan mengenai tabel kaitan antara
kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia. Tampak jenis hubungan antara
bilingualisme dan diglosia yaitu: 1) bilingualisme dan diglosia, 2) bilingualisme
tanpa diglosia, 3) diglosia tanpa bilingualisme, dan 4) tidak bilingualisme dan
tidak diglosia.
8. Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Bahasa
Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa ada faktor linguistik dan
faktor nonlinguistik. Faktor linguistik yaitu ada delapan komponen di antaranya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
setting and scene, participants, ends: purpose and goal, act sequences, key: tone
or spirit of act, instrumentalities, norms of interaction and interpretation, dan
genres. Sedangkan faktor nonlinguistiknya yaitu faktor-faktor sosial seperti
(status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan
sebagainya), dan faktor-faktor situasional seperti siapa berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
9. Klasifikasi Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang terjadi karena pemakaian bahasa.
Ragam bahasa terbagi atas dua kelompok, yaitu ragam bahasa berdasarkan media
pengantarnya dan ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya (Utorodewo
dkk., 2004). Klasifikasi ragam sesuai penelitian ini yang berkaitan dengan media
pengantarnya atau sarananya adalah ragam lisan. Ragam lisan yaitu bahasa yang
diujarkan oleh pemakai bahasa. Ragam lisan didapati dalam ragam lisan formal
dan nonformal. Sedangkan ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya
dikelompokkan menjadi ragam formal, ragam nonformal, dan ragam semiformal.
1.6 Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab satu yaitu bab
pendahuluan. Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.
Bab dua memuat landasan teori. Pada bab ini membahas seputar tinjauan terhadap
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang saat ini sedang
dilakukan oleh peneliti, lalu kajian teori yang berisi tentang teori-teori yang
mendasari peneliti dalam melakukan penelitian, dan kerangka berpikir. Bab tiga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
mengenai metodologi penelitian. Bab ini membahas seputar pendekatan
penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, serta
teknik analisis data. Bab empat yaitu tentang hasil penelitian dan pembahasan.
Bab ini membahas mengenai deskripsi data, hasil analisis data, dan pembahasan
hasil penelitian. Bab lima adalah penutup. Pada bab ini berisi tentang simpulan
dan saran untuk penelitian fenomena diglosia pada interaksi di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian ini menggunakan beberapa acuan penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan dengan maksud agar penelitian
menjadi lebih baik lagi. Penelitian terdahulu yang pertama yaitu tesis berjudul
“Fenomena Diglosia dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun di Kota
Pematangsiantar” ditulis oleh Elisten Parulian Sigiro (2009), Program Studi
Lingustik, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian
ini merupakan penelitian sosiolinguistik. Metode yang digunakan untuk
memperoleh dan menganalisis data yaitu metode kuantitatif. Data penelitian ini
untuk setiap ciri karakteristik yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap
bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai
(mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau
teknik Likert.
Populasi dalam penelitian ini yaitu suku Simalungun yang berdomisili di
wilayah ibu kota kabupaten, yakni Kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan
Siantar Barat, yakni sebanyak 60 responden. Perihal yang menjadi kajian untuk
diteliti dalam penelitian ini hanya elemen sampel bukan seluruh elemen populasi.
Hal itu dikarenakan perilaku linguistik para responden dianggap homogen.
Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Hasil temuan dari penelitian Elisten Parulian Sigiro ini menunjukkan bahwa
para responden pada dasarnya multibahasawan dan menggunakan beberapa
bahasa secara “bebas”. Dikatakan demikian karena dari 60 responden pada
umumnya menguasai lebih dari dua bahasa di luar bahasa Simalungun, yakni
bahasa Toba, bahasa Karo, dan bahasa Indonesia. Hasil temuan berikutnya yaitu
menyangkut penggunaan bahasa pada setiap ranah menunjukan bahwa
penggunaan bahasa pada ranah adat, ranah keluarga (terdiri atas beberapa
interlokutor, yakni a. interlokutor saudara, ayah, dan ibu, b. interlokutor suami
atau istri, dan c. interlokutor anak), ranah agama, ranah tetangga, ranah pergaulan,
ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, diglosia telah bocor.
Pada ranah pendidikan dan ranah pemerintahan menunjukkan bahwa
diglosia tidak bocor. Sementara itu pemertahanan bahasa terlaksana pada ranah
adat, pada ranah keluarga dengan interlokutor saudara, ayah, dan ibu sedangkan
jika interlokutor suami, istri, maupun anak pemertahanan bahasa Simalungun
tidak terlaksana. Pada ranah selanjutnya, yakni ranah agama, bahasa Simalungun
bertahan, pada ranah tetangga, ranah pergaulan jika interlokutor orang yang
sesuku bahasa Simalungun masih bertahan, tetapi jika interlokutor orang yang
tidak sesuku, pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Demikian juga
pada ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan
ranah pemerintahan penggunaan bahasa Simalungun tidak bertahan.
Hasil temuan terakhir pada penelitian ini yaitu sehubungan dengan sikap
bahasa responden, jika sikap bahasa responden ditinjau berdasarkan pilihan
bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian, bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang dianggap terasa lebih akrab
dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun
cenderung negatif. Sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun,
berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidaksetujuannya atas pertanyaan yang
diajukan adalah cenderung positif. Hubungan penelitian yang dilakukan oleh
Elisten Parulian Sigiro dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu kesamaan
mengenai fenomena diglosia dalam kajian sosiolinguistik. Hanya saja fokus dari
penelitian milik Elisten Parulian Sigiro lebih pada fenomena diglosia dan sikap
kebahasaan penutur bahasa Simalungun di Kota Pematangsiantar, sedangkan
penelitian peneliti berfokus pada fenomena diglosia pada interaksi di Asrama
Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Penelitian terdahulu yang kedua yaitu skripsi berjudul Situasi Diglosia
Penutur Bahasa Khek Peranakan di Kuto Panji Belinyu (Tinjauan Sosiolingustik),
ditulis oleh Anastasia Filika (1995), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Penelitiannya ini mencakup beberapa rumusan masalah, di antaranya
(1) apa faktor penyebab kedwibahasaan masyarakat Tionghoa Khek Peranakan di
Kuto Panji Belinyu, (2) situasi apa yang mempengaruhi masyarakat Tionghoa
Khek Peranakan memilih bahasa Khek, bahasa Melayu, atau bahasa Indonesia
dalam suatu komunikasi, (3) apa kedudukan dan fungsi bahasa Khek, bahasa
Melayu, dan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat Tionghoa Khek Peranakan
di Kuto Panji Belinyu, (4) kendala apa yang dialami masyarakat Tionghoa Khek
Peranakan dalam penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, (5) kesulitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
apa yang dialami para siswa ketika mempelajari bahasa Indonesia di SMU.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengungkapkan situasi diglosia masyarakat
Tionghoa Khek Peranakan di Kuto Panji Belinyu. Penelitian ini merupakan
penelitian lapangan, dan menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif.
Pengumpulan data dari penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan
observasi.
Hasil dari penelitian ini yaitu: (1) Masyarakat Tionghoa Khek Peranakan di
Kuto Panji Belinyu adalah dwibahasawan karena mereka mempunyai bahasa ibu
yang berbeda dengan bahasa daerah di tempat tinggal mereka. Selain itu, mereka
juga mempelajari bahasa lain melalui interakasi sosial dan jalur pendidikan
formal. (2) Faktor yang menyebabkan masyarakat Tionghoa Khek Peranakan
menggunakan bahasa Khek, bahasa Melayu, atau bahasa Indonesia ketika
berkomunikasi adalah faktor etnis partisipan, faktor topik percakapan dan faktor
domain. (3) Bagi masyarakat Tionghoa Khek Peranakan, bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Bahasa Melayu
berkedudukan sebagai bahasa dagang dan bahasa penghubung antaretnis. Bahasa
Khek berkedudukan sebagai bahasa kelompok, bahasa budaya, bahasa
penghubung antaretnis, bahasa dagang, dan bahasa agama. (4) Faktor-faktor yang
mempersulit masyarakat Tionghoa Khek Peranakan di Kuto Panji Belinyu
mempelajari bahasa Indonesia adalah jarak sosial yang tercipta karena status
sosial ekonomi dan faktor historis. Budaya dan adat istiadat yang masih bertahan,
menimbulkan sikap yang terlalu positif terhadap bahasa kelompok. Akibatnya
mereka enggan berbahasa Melayu dan berbahasa Indonesia. (5) Situasi diglosia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
masyarakat Tioghoa Khek Peranakan mempengaruhi kesulitan pengajaran bahasa
Indonesia untuk siswa Tionghoa Khek peranakan di SMU. Para siswa cenderung
bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Selain itu, juga sering terjadi
interferensi. (6) Relevansinya terhadap pengajaran bahasa Indonesia adalah hasil
penelitian ini dapat memberi pengetahuan kepada guru tentang pola berbahasa
siswa dan kesulitan siswa berbahasa Indonesia. Hal ini dapat membantu guru
memilih bahan dan metode yang tepat agar tujuan pengajaran bahasa Indonesia
dapat tercapai.
Hubungan penelitian milik saudari Anastasia Filika dengan penelitian yang
dilakukan peneliti yaitu kesamaan mengenai diglosia dalam kajian sosiolinguistik.
Akan tetapi ada perbedaan fokus, penelitian saudari Anastasia Filika berfokus
pada situasi diglosia penutur bahasa Khek Peranakan di Kuto Panji Belinyu,
sedang penelitian yang dilakukan peneliti berfokus pada fenomena diglosia pada
interaksi di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta. Penelitian ketiga
berikutnya yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Lili Agustina dan Zulkifli,
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP
Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend H. Hasan Basry, Kampus
Kayutangi, Banjarmasin, dengan judul Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa
Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bahasa yang digunakan dan
untuk mengetahui situasi diglosia pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan
Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif, dan menggunakan metode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
deskriptif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu observasi,
wawancara, kepustakaan, teknik rekam atau simak, dan teknik catat. Hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa data tentang diglosia dilihat dari tujuh
ranah, yakni ranah keluarga, ranah pergaulan, ranah transaksi jual beli, ranah
agama, ranah pemerintah, ranah pendidikan, dan ranah profesi atau pekerjaan.
Selain itu, data diperoleh dari pemilihan bahasa, seperti editorial surat kabar,
siaran berita, dan sastra rakyat.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penutur bahasa Ngaju
merupakan bilingual dan multilingual. Hal ini terlihat dengan beragamnya bahasa
yang digunakan dan penguasaan dari masing-masing penutur bahasa Ngaju. Hasil
penelitian berdasarkan ranah keluarga dan ranah pergaulan dengan teman sesuku,
menunjukkan bahwa masih dominannya penutur menggunakan bahasa Ngaju,
dalam ranah transaksi jual beli, terlihat bahwa bahasa Banjar lebih dominan.
Fungsi bahasa Banjar sebagai bahasa transaksi jual beli di Kecamatan Katingan
Tengah Kabupaten Katingan. Dalam ranah agama, khususnya kebaktian di gereja
terbentuk situasi triglosik (penggunaan bahasa Ngaju dan bahasa Indonesia
seimbang), sedangkan khotbah di masjid lebih dominan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa tinggi (T). Ranah pemerintah, ranah pendidikan dan
ranah profesi, situasi diglosia yang terjadi adalah lebih dominan menggunakan
bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), walaupun terjadi diglosia yang
kurang mantap pada ranah pendidikan yang dituturkan pelajar penutur Ngaju
akibat penguasaan bahasa Indonesia yang masih kurang mantap. Pemilihan bahasa
yang digunakan dalam editorial surat kabar dan siaran berita menggunakan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), sedangkan sastra rakyat lebih dominan
menggunakan bahasa Ngaju (R) walaupun terdapat juga menggunakan bahasa
Indonesia.
Hubungan penelitian yang dilakukan oleh Lili Agustina dan Zulkifli dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki kesamaan mengenai diglosia.
Penelitian keduanya terdapat perbedaan fokus, yaitu pada penelitian Lili Agustina
dan Zulkifli fokus pada situasi diglosia pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan
Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng, sedangkan penelitian peneliti
berfokus pada fenomena diglosia pada interaksi di Asrama Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan saat ini dianggap oleh peneliti
relevan dengan penelitian terdahulu. Maka harapannya hasil penelitian yang
dilakukan peneliti ini dapat menambah penelitian mengenai fenomena diglosia
dan bisa bermanfaat.
2.2 Kajian Teori
Peneliti memaparkan beberapa teori yang dianggap relevan dan terkait
dengan permasalahan, sehingga dapat memperkuat penelitian dan mendukung
keakuratan data. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni : 1) pengertian
sosiolingustik; 2) variasi bahasa; 3) kedwibahasaan atau bilingualisme dan
multilingualisme; 4) masyarakat tutur; 5) fungsi-fungsi bahasa; 6) diglosia; 7)
kaitan kedwibahasaan atau bilingualisme dan diglosia; 8) faktor yang
mempengaruhi penggunaan bahasa; 9) klasifikasi ragam bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2.2.1 Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan
penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1991:2). Boleh
dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek
kemasyarakatan bahasa, lebih khususnya mengenai perbedaan-perbedaan atau
variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor sosial
atau kemasyarakatan. Pride dan Holmes (dalam Sumarsono, 2002:2) merumuskan
sosiolinguistik secara sederhana: the study of language as part of culture and
sociaty, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat.
Rumusan yang dipaparkan di atas menekankan bahwa bahasa bukan merupakan
suatu yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan. Budaya dan bahasa saling
berkesinambungan, karena bahasa adalah bagian dari kebudayaan (language in
culture). J.A. Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004:3) menjelaskan
sociolinguistics is the study of the characteristics of language varieties, the
characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these
three constantly interact, change and change one another within a speech
community (= sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa,
fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu
berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat
tutur). J.A. Fishman mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif.
Jadi, sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan
bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang
dilakukan penutur, topik, dan latar pembicaraan (Chaer dan Agustina, 2004:5).
Oleh Fishman, istilah sosiolinguistik pernah direvisi menjadi sosiologi
bahasa, dan menyebutkan bahwa sosiolinguistik mengkaji seluruh masalah yang
berkaitan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, sehingga dalam implikasinya
tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan membahas pula
mengenai sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakai bahasa
(Padmadewi dkk., 2014:2). Halliday (dalam Padmadewi dkk., 2014:2)
menyebutkan bahwa sosiolinguistik berkaitan dengan pertautan bahasa dengan
orang-orang yang memakai bahasa itu. Maksud dari pernyataan Halliday tersebut
menyiratkan makna bahwa aspek-aspek seperti jumlah kosakata, sikap, adat
istiadat serta budaya dari pemakai bahasa memengaruhi bahasa yang
digunakannya.
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiolinguistik
adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi,
dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di
dalam suatu masyarakat tutur (Chaer dan Agustina, 2004:4). Harimurti
Kridalaksana (dalam Pateda, 1990:2) mengatakan bahwa sosiolinguistik yaitu
cabang linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan
menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial. Di lain
buku menurut Kridalaksana (dalam Chaer dan Agustina, 2004:3) menyebut
sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri
fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.
Menurut pandangan Padmadewi dkk., (2014:1) sosiolinguistik adalah studi
dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Nababan (dalam Padmadewi dkk., 2014:1) menyatakan bahwa sosiolinguistik
mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya
variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor kemasyarakatan.
Berdasarkan beberapa paparan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji bahasa sebagai
bagian dari kebudayaan dan masyarakat, dapat juga dikatakan sebagai studi dari
bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Di
dalam sosiolinguistik dipelajari dan dibahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa,
lebih khususnya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor
kemasyarakatan. Jadi bahasa bukan merupakan hal yang berdiri sendiri di luar
kebudayaan melainkan bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Secara
singkatnya sosiolinguistik disebut ilmu yang mempelajari tentang bahasa dan
orang-orang yang memakai bahasa itu.
2.2.2 Variasi Bahasa
Variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor
tertentu (Soeparno, 2013:49). Variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa yang
pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan
kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan (Padmadewi
dkk., 2014:7-8). Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi
pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu
dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana dalam Chaer dan Agustina,
2004:61). Aslinda (dalam Suandi, 2014:53) menyatakan variasi bahasa adalah
bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki
pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Chaer dkk (dalam Suandi,
2014:53) berpandangan bahwa variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang
disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat
atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang
tidak homogen.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang diakibatkan oleh faktor
tertentu, yaitu keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Variasi bahasa
tersebut disebabkan adanya kegiatan interaksi sosial yang diperbuat oleh
kelompok masyarakat yang beragam juga disebabkan oleh para penuturnya yang
tidak homogen. Seandainya penutur pada kelompok tersebut homogen, tentu saja
variasi atau keragaman itu tidak ada, artinya bahasa itu jadi seragam.
Sebagai bentuk langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem
yang digunakan sama oleh semua penutur bahasa. Akan tetapi, karena penutur
bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, bukan kumpulan manusia
yang homogen, maka wujud bahasa nyata, yang disebut parole, menjadi tidak
seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Munculnya keragaman atau
kevariasian bahasa ini tidak hanya lantaran oleh penuturnya yang tidak homogen,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
tetapi juga akibat kegiatan interaksi sosial penuturnya yang sangat beragam, serta
dalam wilayah yang sangat luas.
Mengenai hal variasi atau ragam bahasa terdapat dua pandangan, yaitu
adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial. Artinya,
variasi atau ragam bahasa itu dipandang sebagai efek adanya keragaman sosial
penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Dan variasi atau ragam
bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam
kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Hartman dan Stork membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar
belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok
pembicaraan. Preston dan Shuy, membagi variasi bahasa, khususnya untuk bahasa
Inggris Amerika berdasarkan (a) penutur, (b) interaksi, (c) kode, dan (d) realisasi.
Halliday, membedakan variasi bahasa berdasarkan (a) pemakai yang disebut
dialek, dan (b) pemakaian, yang disebut register. Sedangkan Mc David, membagi
variasi bahasa ini berdasarkan (a) dimensi regional, (b) dimensi sosial, dan (c)
dimensi temporal (Chaer dan Agustina, 2004:62). Chaer dan Agustina (2004:62)
membagi menjadi empat variasi bahasa dalam masyarakat, yaitu variasi dari segi
penutur, variasi dari segi pemakaian, variasi dari segi keformalan, dan variasi dari
segi sarana.
2.2.2.1 Variasi dari Segi Penutur
Variasi bahasa dari segi penutur mempunyai beberapa macam keragaman
atau kevariasian di dalamnya, di mana keragaman atau kevariasian ini berkaitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
langsung dengan penuturnya. Ada empat variasi dari segi penutur, yaitu idiolek,
dialek, kronolek, dan sosiolek.
1. Idiolek
Variasi bahasa pertama dilihat berdasarkan penuturnya adalah variasi
bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Di
dalam konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya
masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata,
gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Akan tetapi yang paling dominan
adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya
dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat
mengenalinya.
2. Dialek
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek,
yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada
pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada
wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek lazim disebut dialek areal,
dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun
mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang
menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok
penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai
dialeknya juga. Misalnya, bahasa Jawa dialek Banyumas memiliki ciri tersendiri
yang berbeda dengan ciri yang dimiliki bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek
Semarang atau juga dialek Surabaya. Para penutur bahasa Jawa dialek Banyumas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dapat berkomunikasi dengan baik dengan para penutur bahasa Jawa dialek
Pekalongan, dialek Semarang, dialek Surabaya, atau juga bahasa Jawa dialek
lainnya karena kesaling-mengertian antara anggota dari satu dialek dengan
anggota dialek lain, di sini dialek-dialek tersebut masih termasuk bahasa yang
sama, yaitu bahasa Jawa. Akan tetapi kesaling-mengertian antara anggota dari satu
dialek dengan anggota dialek lain bersifat relatif, dalam artian dapat besar, dapat
kecil, atau juga dapat sangat kecil. Apabila kesaling-mengertian itu tidak ada sama
sekali, berarti kedua penutur dari kedua dialek yang berbeda itu bukanlah dari
sebuah bahasa yang sama, melainkan dari dua bahasa yang berbeda.
3. Kronolek
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek
temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa
tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi
yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa pada ketiga zaman itu jelas pasti berbeda, baik dari segi lafal,
ejaan, morfologi, maupun sintaksis. Paling tampak biasanya dari segi leksikon,
karena bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahan sosial budaya, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Apabila membaca buku-buku yang diterbitkan dari
tiga zaman yang berbeda, maka dapat melihat perbedaannya.
4. Sosiolek
Variasi bahasa keempat berdasarkan penuturnya adalah sosiolek atau dialek
sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas
sosial para penuturnya. Penyebab dari adanya variasi ini karena variasi ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
menyangkut masalah pribadi penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks,
pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain-lain.
Beberapa contohnya bila diperhatikan berdasarkan usia, kita dapat melihat
perbedaan variasi bahasa yang dipakai oleh anak-anak, remaja, orang dewasa, dan
orang yang sudah lanjut usia. Tentu saja perbedaan variasi bahasa yang dimaksud
bukanlah tentang isinya, isi pembicaraannya, melainkan perbedaan dalam bidang
morfologi, sintaksis, dan kosakata. Pada ranah pendidikan dapat dilihat variasi
bahasa berdasarkan tingkat pendidikan yang dienyam penuturnya, maka
perbedaan variasi tersebut paling jelas ada dalam bidang kosakata, pelafalan,
morfologi, dan sintaksis.
Selain itu berdasarkan perbedaan seks (jenis kelamin) penutur akan dapat
ditandai adanya perbedaan variasi bahasa dengan memperbandingkan percakapan
sekelompok penutur perempuan dengan percakapan sekelompok penutur laki-laki
begitu juga penutur para waria dan kaum gay. Perbedaan pekerjaan, profesi
jabatan, atau tugas para penutur juga dapat menyebabkan adanya variasi sosial.
Dapat diperhatikan dari “bahasa” tukang bangunan, pedagang, guru, pasti dapat
ditangkap adanya perbedaan variasi bahasa pada bagian kosakata yang digunakan
karena lingkungan tugas mereka dan apa yang dikerjakan mereka.
Pada masyarakat tutur yang masih mengenal tingkat-tingkat kebangsawanan
dapat pula dilihat adanya variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat
kebangsawanan itu. Bahasa Jawa, bahasa Bali, dan bahasa Sunda mengenal
variasi kebangsawanan ini, tetapi bahasa Indonesia tidak. Keadaan sosial ekonomi
para penutur juga menjadi sebab adanya variasi bahasa. Sehubungan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial
penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut arkolek,
basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.
Arkolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi
daripada variasi sosial lainnya. Contohnya bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa
Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan keraton Jawa. Basilek adalah
variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap dipandang
rendah. Contohnya pada bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan
kuli tambang, begitu juga bahasa Jawa “krama ndesa”. Vulgar adalah variasi
sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang
terpelajar, atau dari kalangan yang tidak berpendidikan. Sebagai contoh yaitu pada
zaman Romawi sampai zaman pertengahan bahasa-bahasa di Eropa dianggap
sebagai bahasa vulgar, sebab pada waktu itu dalam segala kegiatan para golongan
intelek menggunakan bahasa Latin. Slang adalah variasi sosial yang bersifat
khusus dan rahasia. Maksudnya, variasi ini dipakai oleh kalangan tertentu yang
sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu.
Maka dari itu, kosakata yang dipakai pun selalu berubah-ubah.
Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan pada percakapan sehari-hari.
Kolokial merupakan bahasa percakapan bukan bahasa tulis. Akan tetapi dalam
perkembangannya kemudian ungakapan-ungkapan kolokial ini sering juga
digunakan dalam bahasa tulis. Contohnya dalam bahasa Indonesia seperti dok
(doktor), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah),
dan sebagainya. Jargon adalah varisi sosial yang digunakan secara terbatas oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan tidak bersifat
rahasia, akan tetapi seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau di
luar kelompoknya. Sebagai contohnya, misalkan dalam kelompok perbengkelan
ada ungkapan-ungkapan seperti roda gila, didongkrak, dices, dibalans, dan
dipoles. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-
profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada
kosakata. Sebagai contoh, misal dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet)
pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam
arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk dalam arti ‘mangsa besar’, dan tape
dalam arti ‘mangsa yang empuk’. Ken adalah variasi sosial tertentu yang bernada
“memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya
dipakai oleh para pengemis.
2.2.2.2 Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau
fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini biasanya
dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan
sarana penggunaan. Berdasarkan bidang pemakaiannya variasi bahasa
menyangkut penggunaan bahasa pada keperluan atau bidang tertentu. Misalkan
saja bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian,
perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.
Ragam bahasa jurnalistik mempunyai ciri tertentu, yaitu bersifat sederhana,
komunikatif, dan ringkas. Ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang
ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam bahasa ilmiah dikenal dengan cirinya
yang lugas, jelas, bebas dari keambiguan, serta segala macam metafora dan idiom.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam pembicaraan
tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek
berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka
register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.
2.2.2.3 Variasi dari Segi Keformalan
Chaer dan Agustina (2004:70) menyatakan bahwa berdasarkan tingkat
keformalannya, Martin Joos (1967) membagi variasi bahasa menjadi lima macam
gaya, yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya
atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau
ragam akrab (intimate).
1. Gaya atau ragam Beku (Frozen)
Gaya atau ragam beku (frozen) adalah variasi bahasa yang paling formal,
yang digunakan dalam situasi khidmat, upacara resmi seperti upacara kenegaraan,
khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab undang-undang, akte
notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya
sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam
beku ini bisa didapati pada dokumen-dokumen bersejarah, seperti undang-undang
dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian jual beli, atau sewa-menyewa.
Contoh penerapan dari ragam beku ada pada kutipan naskah Pembukaann
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas dunia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat-kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, sesungguhnya,
menandai ragam beku dari variasi bahasa tersebut. Susunan kalimat dalam ragam
beku biasanya panjang-panjang, bersifat kaku; kata-katanya lengkap. Dengan
demikian para penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan
perhatian yang penuh.
2. Gaya atau ragam Resmi (Formal)
Gaya atau ragam resmi (formal) adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan,
buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah
ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi pada dasarnya sama
dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan pada situasi resmi,
dan tidak digunakan pada situasi yang tidak resmi. Penggunaan ragam resmi ini
contohnya pada rapat dosen tingkat universitas, acara peminangan, diskusi dalam
ruang kuliah, pembicaraan dengan seorang dekan di kantornya, dan lain
sebagainya.
3. Gaya atau ragam Usaha (Konsultatif)
Gaya atau ragam usaha (konsultatif) adalah variasi bahasa yang lazim
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan
yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Ragam usaha ini dapat dikatakan
sebagai ragam bahasa yang paling operasional dikarenakan wujud ragam usaha ini
berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai. Contoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kalimat pada ragam usaha atau ragam konsultatif : “Saudari boleh mengambil tas-
tas ini yang Saudari sukai.”
4. Gaya atau ragam Santai (Casual)
Gaya atau ragam santai (casual) adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman
karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam
santai atau ragam casual ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk
kata atau ujaran yang dipendekkan. Pada ragam ini kosakatanya banyak dipenuhi
unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, begitu juga dengan struktur
morfologi dan sintaksisnya. Seringkali struktur morfologi dan sintaksis yang
normatif tidak digunakan. Contoh kalimat pada ragam santai atau ragam casual :
“Ambilah yang kamu sukai!”.
5. Gaya atau ragam Akrab (Intim/ Intimate)
Gaya atau ragam akrab (intim) adalah variasi bahasa yang biasa digunakan
oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga,
atau antarteman yang sudah karib. Pada ragam akrab atau ragam intim ini ditandai
dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan
artikulasi yang seringkali tidak jelas. Hal demikian terjadi disebabkan di antara
partisipan memiliki pengetahuan yang sama dan sudah ada saling pengertian.
Contoh kalimat pada ragam akrab atau ragam intim : “Kalau mau ambil aja!”.
2.2.2.4 Variasi dari Segi Sarana
Variasi berikutnya adalah variasi yang terakhir dimana variasi bahasa dilihat
dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Hal ini disebutkan adanya ragam lisan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan alat atau
sarana tertentu, misalnya saja bertelepon dan bertelegraf. Kemunculan ragam
bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa
lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
Adanya ketidaksamaan wujud struktur dikarenakan dalam berbahasa lisan
atau dalam menyampaikan informasi secara lisan dibantu oleh unsur-unsur
nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik
tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal di
dalam ragam bahasa tulis hal-hal yang telah disebutkan itu tidak ada. Maka
sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal. Sebagai contoh, umpamanya
kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada di hadapan kita,
maka secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan pandangan pada kursi itu
kita cukup mengatakan, “Tolong pindahkan ini!”.
Akan tetapi dalam bahasa tulis karena tiadanya unsur penunjuk atau
pengarahan pandangan pada kursi itu, maka kita harus mengatakan, “Tolong
pindahkan kursi itu!”. Jadi, dengan secara eksplisit menyebutkan kata kursi itu.
Kesimpulan dari contoh tersebut yaitu bahwa dalam berbahasa tulis harus lebih
menaruh perhatian supaya kalimat-kalimat yang disusun dapat dipahami pembaca
dengan baik. Ragam bahasa bertelepon sebenarnya masuk ke dalam ragam bahasa
lisan, dan ragam bahasa dalam bertelegraf masuk ke dalam ragam bahasa tulis,
akan tetapi kedua macam sarana komunikasi itu mempunyai ciri-ciri dan
keterbatasannya masing-masing, maka menyebabkan kita tidak dapat
menggunakan ragam lisan dan ragam tulis semau kita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
2.2.3 Kedwibahasaan atau Bilingualisme dan Multilingualisme
Berdasarkan konsep Sosiolinguistis, masyarakat Indonesia termasuk
masyarakat yang dwibahasawan (Suandi, 2014:11). Bloomfield (dalam Chaer dan
Agustina, 2004:85) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang
penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Maksud dari
Bloomfield ini yaitu seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan
bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dengan derajat yang sama baiknya.
Robert Lado mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan
bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara
teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya
(Chaer dan Agustina, 2004:86). Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 2004:87)
dengan tegas mengatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa
secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang
penutur. Maksudnya yaitu untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan
kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama.
Darmojuwono (dalam Suandi, 2014:11) memaparkan data terakhir dari
Pusat Bahasa menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah yang hidup dan
berkembang di Indonesia lebih dari 700 bahasa daerah. Chaer dan Agustina
(2004:84) berpendapat istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat
dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Untuk dapat menggunakan dua bahasa, seseorang tentunya harus dapat
menguasai kedua bahasa itu. Bahasa pertama adalah bahasa ibunya sendiri atau
bahasa pertamanya (disingkat B1), dan bahasa kedua adalah bahasa lain yang
menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua
bahasa tersebut disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut
dwibahasawan). Sedangkan kemampuan menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasawanan).
Menurut Nababan (dalam Suandi, 2014:12) bilingualisme merupakan
kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat dan dalam Kamus Linguistik
bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur
bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa (Suandi, 2014:12). Einar Haugen
(dalam Achmad dan Abdullah, 2012:167) mengartikan bilingualisme sebagai
kemampuan seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam
bahasa lain.
Weinrich (dalam Suandi, 2014:13) menyebut kedwibahasaan sebagai ‘The
practice of alternately using two language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua
bahasa atau lebih secara bergantian. Bila melihat pengertian dari Weinrich, pada
penggunaan dua bahasa atau lebih, penutur tidak diharuskan menguasai kedua
bahasa tersebut sama lancarnya. Artinya B2 atau bahasa kedua tidak dikuasai
secara lancar seperti halnya penguasaan terhadap B1 atau bahasa pertama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Namun, penggunaan B2 atau bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas
penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut. Contoh peristiwa
bilingualisme misalnya saja seorang penduduk asli Jawa yang tentu saja fasih
berbahasa Jawa (B1) dan ia juga bisa berbahasa Inggris walaupun tidak sebaik
atau tidak sefasih ia berbahasa Jawa, maka dapat dikatakan sebagai peristiwa
bilingualisme. Hal tersebut dikarenakan orang Jawa itu telah menguasai B1 dan
B2 (walaupun penggunaan B2 belum baik atau belum lacar atau belum fasih
seperti B1nya).
Berbicara mengenai kedwibahasaan tidak lepas dari jenis-jenis
kedwibahasaan. Untuk menjelaskan jenis-jenis kedwibahasaan, maka ada
beberapa faktor yang perlu dipakai sebagai pertimbangan dalam menjelaskan
konsep kedwibahasaan dan jenis-jenisnya. Faktor tersebut dapat berupa faktor
umur mulainya pemerolehan bahasa dialami oleh dwibahasawan, bisa juga berupa
faktor konteks, hubungan antara penanda dan makna, urutan dan akibat
pemerolehan bahasa dari dwibahasawan, kemahiran atau kompetensi
dwibahasawan dalam menggunakan kedua bahasa, kegunaan dan fungsi
kedwibahasaan, dan sikap terhadap kedwibahasaan (Hoffmann, dalam Padmadewi
dkk., 2014).
2.2.3.1 Jenis Kedwibahasaan berdasarkan Umur Seorang Bilingual saat
Dwibahasa Terjadi
Umur saat sesorang memulai menggunakan dua bahasa dapat menimbulkan
kategori kedwibahasaan. Apabila kedwibahasaan terjadi saat kanak-kanak disebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
kedwibahasaan dini (early bilingualism). Sedang kedwibahasaan yang terjadi saat
seseorang sudah dewasa disebut late bilingualism.
2.2.3.2 Jenis Kedwibahasaan berdasarkan Konteks Terjadinya Dwibahasa
Kedwibahasaan dibedakan sesuai bagaimana lingkungan sekitar terjadinya
kedwibahasaan. Apabila anak memeroleh dua bahasa secara tidak berstruktur dari
penutur di sekitarnya, maka anak tesebut akan mengalami yang disebut
kedwibahasaan alami. Di lain situasi adakalanya anak mengalami kedwibahasaan
dari sejak lahir karena memang hidup di lingkungan multilingual, atau dapat juga
dalam konteks terpisah misalkan saja yang sering terjadi pada keluarga kawin
campur timbul konsep anak menggunakan bahasa yang berbeda ketika berbicara
dengan ayah dan ibunya. Sedangkan apabila orang menjadi dwibahasawan atau
bilingual melalui pembelajaran yang sistematis dan terstruktur, maka disebut
dwibahasawan sekunder. Skutnann-Kangas (dalam Padmadewi dkk., 2014:53)
membedakan antara kedwibahasaan natural dengan kedwibahasaan sekolah atau
kedwibahasaan budaya. Dalam kedwibahasaan sekolah, siswa belajar bahasa lain
melalui proses formal di sekolah di mana siswa tidak mempunyai kesempatan
yang memadai untuk mempraktikkan bahasanya di luar kelas, sedangkan
kedwibahasaan budaya terjadi bersamaan dengan kedwibahasaan sekolah tetapi
proses kedwibahasaan budaya terjadi karena akibat proses pembelajaran bahasa
kedua oleh orang dewasa yang berkeinginan menggunakan bahasa kedua untuk
tujuan-tujuan tertentu seperti tujuan pekerjaan, bepergian, atau untuk pemahaman
lintas budaya lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
2.2.3.3 Jenis Kedwibahasaan berdasarkan Pertimbangan Hubungan Antara
Penanda dan Makna
Beberapa jenis kedwibahasaan tergantung pada bagaimana pemakai
menghubungkan antara penanda dan makna yang diwakilinya. Weinrich (dalam
Padmadewi dkk., 2014:54) menyebutkan kedwibahasaan subordinative untuk
kedwibahasaan di mana bahasa kedua lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa
pertama. Kedwibahasaan koordinatif terjadi jika kedua bahasa, bahasa pertama
dan bahasa kedua, secara seimbang berperan dengan baik, kedwibahasaan
majemuk terjadi apabila transfer dari bahasa pertama ke bahasa kedua terjadi
dengan metode secara tidak langsung, dengan kata lain representasi makna dari
bahasa pertama tidak terjadi secara langsung ke makna, tetapi melalui
menggunakan bahasa lain yang telah dikenal untuk memahami makna yang ingin
disampaikan (Padmadewi dkk., 2014:54).
2.2.3.4 Jenis Kedwibahasaan berdasarkan Urutan dan Akibat Pemerolehan
Bahasa Seorang Bilingual
Diebold (dalam Padmadewi dkk., 2014:54) memperkenalkan ‘incipient
bilingualism’ sebagai kedwibahasaan awal untuk anak yang baru pada tahap
permulaan menguasai bahasa ibu dan bahasa lain, dan disebut ‘ascendant
bilingualism’ untuk menunjukkan peningkatan kemampuan untuk menggunakan
dua bahasa, dan ‘recessive bilingualism’ apabila terjadi penurunan. Selain itu juga
ada ‘addiditive bilingualism’ yaitu penambahan bahasa lain di samping
penggunaan bahasa pertama yang bisa memperkaya wawasan, dan memperluas
kemampuan kognitif dan linguistik anak. Sedangkan ‘substractive bilingualism’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
apabila dengan adanya bahasa kedua mengorbankan penguasaan bahasa pertama
anak, terjadi pergeseran bahasa dan kemungkinan bahasa pertama yang
sebelumnya dapat digunakan dengan baik menjadi hilang karena penggunaan dan
penguasaan bahasa kedua.
2.2.3.5 Jenis Kedwibahasaan berdasarkan Kompetensi Penutur atau
Dwibahasawan
Apabila dilihat dari kompetensi penuturnya, ada kalanya kemampuan
penutur untuk memakai kedua bahasa sangat baik dan mampu memakai kedua
bahasa dengan sangat lancar, kemampuannya memakai bahasa kedua mendekati
kemampuan penutur asli, sehingga istilah yang digunakan untuk mengungkapkan
kedwibahasaan seperti itu adalah kedwibahasaan sempurna. Lambert et.al (dalam
Padmadewi dkk., 2014:54) memperkenalkan balanced bilingual (kedwibahasaan
seimbang), dominant bilingual (kedwibahasaan dominan), recessive bilinguals,
semilinguals digunakan untuk mengategorikan kedwibahasaan tergantung pada
tingkat kemahiran dwibahasawan dalam menggunakan kedua bahasa. Istilah
kedwibahasaan seimbang digunakan untuk menyatakan individu yang sangat
mahir di dua bahasa. Dengan kata lain, istilah kedwibahasaan seimbang ini
dipakai terhadap individu yang mampu menguasai kedua bahasa di semua situasi.
Tetapi banyak yang meragukan bahwa kedwibahasaan seimbang itu bisa dicapai
oleh seorang individu.
Istilah dwibahasawan dominan digunakan terhadap dwibahasawan yang
dominan terhadap satu bahasa dan bahasa yang kurang dominan disebut dengan
bahasa subordinat. Istilah dwibahasawan pasif atau resesif digunakan terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
dwibahasawan yang secara perlahan kehilangan kompetensinya dalam satu bahasa
karena kurang dipakai (Chin dan Wiggleworth, dalam Padmadewi dkk.,
20014:55). Dwibahasawan pasif terjadi dikarenakan secara perlahan
kemampuannya pada bahasa kedua berkurang karena penggunaan bahasa yang
dominan, sehingga pada akhirnya hanya mampu memahami tuturan dalam bahasa
kedua tetapi tidak mampu menggunakannya untuk mengekspresikan idenya baik
secara lisan maupun tertulis, dan jika seseorang secara aktif mampu menggunakan
bahasa kedua maka istilahnya disebut kedwibahasaan aktif.
2.2.3.6 Jenis Kedwibahasaan berdasarkan Kegunaan dan Fungsinya
Dari aspek kegunaan, kedwibahasaan dapat diklasifikasikan menjadi
kedwibahasaan produktif dan kedwibahasaan reseptif. Kegunaannya dapat
meliputi empat aspek keterampilan berbahasa, seperti mendengarkan, berbicara,
menulis, dan membaca. Dari aspek kegunaannya, kedwibahasaan dapat
diklasifikasikan menjadi kedwibahasaan produktif (aktif) dan kedwibahasaan
reseptif. Kedwibahasaan produktif mengacu pada kemampuan untuk berbicara
atau memahami bahasa kedua dalam membaca atau digunakan dalam
keterampilan menulis. Kedwibahasaan produktif akan sangat bermanfaat jika
seseorang harus mengikuti pendidikan di negara lain dan harus mampu
menggunakan bahasa kedua secara aktif. Akan tetapi sering muncul pula
fenomena bahwa seorang individu tidak aktif menggunakan dua bahasa untuk
semua keterampilan berbahasa dalam percakapan informal dalam keseharian
tetapi kurang terampil dalam menulis dengan menggunakan bahasa kedua untuk
membuat tulisan ilmiah atau akademik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Masyarakat multilingual disebut juga sebagai masyarakat aneka bahasa
(multilingual society). Sumarsono dan Partana (2002:76) berpendapat masyarakat
aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai
beberapa bahasa. Masyarakat multilingal adalah suatu masyarakat atau bangsa
yang menggunakan lebih dari satu bahasa sebagai alat komunikasinya
(Sumarsono dan Partana, 2002:371). Masalah utama yang dijumpai oleh
masyarakat multilingualisme yaitu bagaimana dapat memperoleh satu alat yang
dapat mengomunikasikan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Multilingualisme atau dalam bahasa Indonesia disebut keanekabahasaan yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.
2.2.4 Masyarakat Tutur
Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004:36) menyebut masyarakat tutur
adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal
satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Pada pandangan Fishman ini kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur
bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula
hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Pandangan oleh ahli lain mengenai
masyarakat tutur menurut Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2004:37)
membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang
sama”. Batasan yang dibuat oleh Bloomfield ini dianggap terlalu sempit oleh para
ahli sosiolinguistik, dikarenakan pada masyarakat modern banyak orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
menguasai lebih dari satu ragam bahasa, dan di dalam masyarakat itu sendiri
terdapat lebih dari satu bahasa.
Sebaliknya, batasan yang dibuat oleh Labov (dalam Chaer dan Agustina,
2004:37) mengatakan “satu kelompok orang yang mempunyai norma yang sama
mengenai bahasa”, dianggap terlalu luas dan terbuka. Chaer dan Agustina
(2004:36) berpendapat kalau suatu kelompok orang atau suatu masyarakat
mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam
masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat
itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi pada pengertian ini ditekankan bahwa
masyarakat tutur bukan hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang
sama, tetapi sekelompok orang yang juga mempunyai norma yang sama dalam
menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya
dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan
tertentu. Mungkin juga bisa diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan
adanya integrasi simbolik, seperti intregrasi dalam sebuah wadah yang disebut
negara, bangsa, atau daerah. Jadi, sangat mungkin suatu wadah negara, bangsa,
atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu.
Dalam hal ini yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah mewakili
masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan.
Pada situasi ini contoh konkretnya terdapat di Indonesia. Setiap hari ribuan
tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa daerah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
berlainan satu sama lain, bekerja di pabrik-pabrik di Jakarta dan di sekitar Jakarta,
dan mereka sesama teman atau rekan sekerjanya menggunakan bahasa Indonesia
dalam berinteraksi. Jadi, meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka
adalah pendukung masyarakat tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini memang
tidak terlepas dari fungsi ganda bahasa Indonesia yaitu sebagai bahasa nasional,
bahasa negara, dan bahasa persatuan.
Kalau melihat kasus masyarakat tutur bahasa Indonesia di atas, maka dapat
dikatakan bahwa bisa jadi suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat
yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang
timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap
mengakui kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat atau pun
mempermasalahkan jumlah bahasa atau variasi bahasa yang digunakan (Gumperz
dalam Chaer dan Agustina, 2004:38). Dengan demikian dapat pula dikatakan
bahwa kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan
luasnya variasi bahasa di dalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan sikap
para penutur di mana variasi itu berada. Selanjutnya verbal repertoir suatu
masyarakat tutur adalah hasil refleksi dari repertoir seluruh penuturnya sebagai
anggota masyarakat itu (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004:38).
2.2.5 Fungsi-Fungsi Bahasa
Para pakar bahasa membagi fungsi bahasa secara berbeda-beda. Ada yang
membagi fungsi bahasa menjadi empat, lima, enam, dan ada pula yang membagi
menjadi tujuh fungsi. Finochiaro (dalam Achmad dan Abdullah, 2012:153)
membagi fungsi bahasa menjadi lima bagian: personal, interpersonal, directive,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
referential, dan imaginative. Kelima fungsi itu dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian utama saja, yaitu fungsi personal dan fungsi interpersonal; fungsi direktif,
referensial, dan imajinatif yang digunakan untuk berhubungan dengan orang lain.
Holmes (dalam Achmad dan Abdullah, 2012:153) membagi menjadi enam fungsi
bahasa, yaitu fungsi ekspresif yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan
pembicara, fungsi direktif yang digunakan untuk meminta seseorang untuk
melakukan sesuatu, fungsi referensial digunakan untuk menyediakan informasi,
fungsi metalinguistik untuk mengomentari tentang bahasa itu sendiri, fungsi puitis
untuk menfokuskan karakteristik bahasa yang estetik (seperti puisi, moto, dan
ritme), dan fungsi fatis untuk mengekspresikan suatu solidaritas dan empati
kepada orang lain, fungsi fatis ini digunakan untuk memulai dan mempertahankan
komunikasi. Menurut Holmes, ketiga fungsi itu tampaknya merupakan fungsi
bahasa yang sangat fundamental, sebab fungsi-fungsi itu berasal dari komponen-
komponen interaksi yang mendasar, yaitu pembicara (ekspresif), lawan bicara
(direktif), dan pesan (referensial). Akan tetapi, fungsi fatis juga sama pentingnya
dari sebuah perspektif sosiolinguistik. Komunikasi fatis banyak menyampaikan
pesan sosial atau pesan afektif daripada pesan referensial. Sesungguhnya fungsi
bahasa tidak sekadar hanya untuk menyampaikan informasi referensial, tetapi juga
untuk menyampaikan informasi tentang hubungan sosial.
Menurut Soeparno (2013:15) fungsi bahasa dibedakan menjadi dua, yaitu
fungsi umum dan fungsi khusus. Soeparno mengemukakan fungsi umum dari
bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada
komunikasi atau saling hubungan antaranggota. Untuk keperluan itu digunakanlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat
dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada
masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat.
Fungsi khusus dari bahasa, Roman Jakobson (dalam Soeparno, 2013:18)
telah membagi fungsi bahasa atas enam macam, yakni fungsi emotif, konatif,
referensial, puitik, fatik, dan metalingual. Ahli bahasa yang gagasannya terilhami
oleh Karl Buhler, mendasarkan pembagiannya pada tumpuan perhatian atau
aspek. Bahasa memiliki enam aspek, yakni aspek addresser, context, message,
contact, code, dan addressee. Apabila tumpuannya pada si penutur (addresser),
fungsi bahasanya dinamakan emotif. Apabila tumpuan pembicaraan pada konteks
(context), fungsi bahasanya disebut referensial. Apabila tumpuan pembicaraan
pada amanat (message), fungsi bahasanya puitik (poetic). Apabila tumpuan
pembicaraan pada kontak (contact), fungsi bahasanya disebut fatik (phatic).
Apabila tumpuan pembicaraan pada kode (code), fungsi bahasanya disebut
metalingual. Apabila tumpuan pembicaraan pada lawan bicara (addressee), fungsi
bahasanya dinamakan konatif.
Menurut Halliday (dalam Rahardi, 2009:6) lewat karyanya yang berjudul
‘Explorations in the Functions of Language’ menunjukkan tujuh fungsi bahasa.
Berturut-turut, ketujuh fungsi bahasa itu dapat disebutkan sebagai berikut: (1)
fungsi instrumental, digunakan untuk melayani lingkungannya, fungsi bahasa ini
juga dapat digunakan untuk meyebabkan terjadi peristiwa tutur, (2) fungsi
regulasi, digunakan untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa
tertentu dalam masyarakat, (3) fungsi representasional, digunakan untuk membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan
peristiwa, melaporkan sesuatu, dan sebagainya, (4) fungsi interaksional,
digunakan untuk menjamin terjadinya sebuah interaksi, memantapkan
komunikasi, mengukuhkan komunikasi dan interaksi antarwarga masyarakat itu
sendiri, (5) fungsi personal, digunakan untuk menyatakan emosi dan
mengungkapkan maksud atau perasaan personal, (6) fungsi heuristik, digunakan
untuk mempelajari pengetahuan, mencari ilmu, mengembangkan teknologi, serta
menyampaikan rumusan-rumusan bersifat pertanyaan, (7) fungsi imaginatif,
fungsi ini berkenaan dengan penciptaan imajinasi yang difungsikan untuk
memdongeng, membuat cerita, menciptakan khayalan, dan lain sebagainya.
Wood (dalam Rahardi, 2009:7) menyebut sepuluh fungsi bahasa dalam
kaitannya dengan perkembangan sistem komunikasi pada anak-anak. Wood
menyebut bahwa pada anak usia 9-16 bulan fungsi-fungsi bahasa yang dapat
ditemukan adalah (1) fungsi regulasi, (2) fungsi instrumental, (3) fungsi
interaksional, (4) fungsi heuristik, (5) fungsi personal, (6) fungsi imajinatif.
Kemudian pada seseorang yang berusia 16-24 bulan, fungsi-fungsi bahasa yang
muncul adalah (1) fungsi pragmatik, (2) fungsi matetik. Adapun pada anak
berusia 24 bulan dan seterusnya, fungsi bahasa yang dikembangkan adalah fungsi
interpersonal dan fungsi ideasional. Maka, untuk memudahkan pemahaman,
sepuluh fungsi bahasa yang disebut oleh Barbara S. Wood itu kemudian
dirangkum di dalam Tarigan (1993) sebagai ‘Dasa Guna Bahasa’.
Stephen C. Levinson (dalam Rahardi, 2009:7) menyebutkan adanya enam
fungsi bahasa, yang secara berturut-turut dapat disebutkan berikut ini: (1) fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
referensial, (2) fungsi emotif, (3) fungsi konatif, (4) fungsi metalinguistik, (5)
fungsi fatik, dan (6) fungsi puitik. Wardhaugh (dalam Chaer dan Agustina,
2004:15) juga mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia,
baik tertulis maupun lisan. Namun, fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar,
yaitu expression, information, exploration, persuasion, dan entertainment
(Kinneavy dalam Chaer dan Agustina, 2004:15). Revesz (dalam Baryadi,
2015:46) memaparkan tiga jenis fungsi bahasa, yaitu fungsi indikatif ‘menunjuk’,
fungsi imperatif ‘menyuruh’, dan fungsi interogatif ‘menanyakan’. Ketiga fungsi
tersebut dipandang sebagai fungsi yang primer karena berprasyarat utama situasi
berbicara yang paling purba dan paling alami, yaitu dialog. Fungsi indikatif dan
imperatif secara ontogenetik dipandang lebih dulu ada. Fungsi indikatif dan fungsi
imperatif berhubungan dengan tindakan dasar manusia, yaitu menyuruh dan
memberitahukan.
Jakobson (dalam Baryadi, 2015:47) mengemukakan enam fungsi bahasa,
yaitu fungsi referensial, fungsi emotif, fungsi konatif, fungsi puitik, fungsi fatik,
dan fungsi metalingual. Fungsi referensial juga disebut fungsi denotatif atau
fungsi kognitif yang merupakan fungsi bahasa yang ditentukan oleh faktor
konteks. Fungsi referensial bertalian dengan bahasa yang melambangkan referen.
Fungsi emotif atau fungsi ekspresif yaitu fungsi bahasa yang berorientasi pada
pengirim pesan. Fungsi emotif bahasa terlihat pada ekspresi langsung dari sikap
pembicara terhadap apa yang dibicarakan. Ekspresi langsung dapat terwujud pada
kata seru seperti aduh, ah, deh, astaga. Ekspresi langsung cenderung
menimbulkan kesan emosi tertentu, baik yang betul-betul maupun yang dibuat-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
buat. Fungsi konatif yaitu fungsi bahasa yang mengarah pada penerima pesan.
Fungsi konatif bahasa terwujud pada kalimat imperatif, seperti “Makan!”,
“Minum!”. Fungsi fatis yaitu fungsi bahasa yang ditentukan oleh faktor kontak.
Fungsi fatis kedapatan pada penggunaan unsur-unsur bahasa untuk memulai dan
meneruskan komunikasi.
2.2.6 Diglosia
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup
berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu (Chaer dan
Agustina, 2004:92). Wardaugh (dalam Suandi, 2014:24) mengatakan bahwa
diglosia adalah situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa diberi
keleluasaan untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara proporsional.
Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus di mana dua ragam
bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa, dan di
mana masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu (Ferguson
dalam Sumarsono dan Partana, 2002:36-37). Terdapat ragam bahasa tinggi yang
dibakukan (ditandai dengan H = High) dan ragam bahasa rendah yang serta
dibakukan (ditandai dengan L = Low).
Fergusson (dalam Achmad dan Abdullah, 2012:164-165) mendefinisikan
diglosia sebagai berikut.
A relatively stable language situation in which, in addition to the
primary dialects of the language (which may include a standard or a regional
standards), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more
complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written
literature, either of an earlier period or in another speech community, which is
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
learned largely by formal education and is used for most written and formal
spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary
conversation.
Maksudnya situasi bahasa yang relatif stabil, walaupun terdapat penambahan pada
dialek-dialek dasar bahasa (kadang memasukkan suatu bahasa standar atau
standar-standar regional), yang sangat berbeda dan bervariasi (kadang dengan
gramatika yang kompleks), yang membawa pengaruh besar bagi literatur tertulis,
baik pada periode awal maupun dalam pembicaraan komunitas yang lain, yang
dipelajari secara luas dalam pendidikan formal dan digunakan dalam menulis dan
tujuan-tujuan pembicaraan formal, tetapi tidak digunakan pada beberapa sektor
oleh komunitas dalam pembicaraan biasa.
Fergusson selain menggunakan istilah diglosia guna menggambarkan situasi
kebahasaan di mana terdapat dua pemakaian ragam bahasa pada suatu kelompok
penutur, sebab terjadinya pemakaian dua ragam bahasa ini menurutnya juga
terkait dengan gengsi penutur bahasa yang bersangkutan. Ahmad dan Abdullah
(2012:164) lebih lanjut dikatakan persepsi yang muncul adalah bahwa jika ada
seorang penutur menguasai bahasa ragam tinggi, maka ia dapat digolongkan
sebagai kaum terpelajar. Sebaliknya, gengsi seorang penutur tidak akan terangkat
atau dapat dianggap sebagai orang yang tidak terpelajar jika ia hanya menguasai
ragam bahasa rendah.
Oleh Fishman pandangan mengenai diglosia milik Ferguson dikembangkan
lagi dengan memberi penekanan bahwa diglosia merupakan distribusi penggunaan
bahasa dengan fungsi komunikasional yang berbeda-beda, yang semata-mata
terjadi bukan hanya pada satu masyarakat bahasa yang sama, tapi juga pada
situasi di mana dua atau lebih bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda
juga. Fasold (dalam Achmad dan Abdullah, 2012:166) menggambarkan situasi
diglosik sebagai situasi di mana terdapat masyarakat bahasa yang memiliki ragam
tinggi dan rendah bersama-sama. Lebih lanjut ditekankan oleh Fasold, bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
kendati masyarakat bahasa tersebut memiliki ragam tinggi yang sama, tetapi di
sisi lain berpeluang memiliki ragam rendah yang berbeda. Kondisi seperti ini
digolongkannya sebagai masyarakat diglosik yang berbeda.
Menurut Holmes (dalam Achmad dan Abdullah, 2012:166) diglosia
merupakan ciri sebuah masyarakat tutur yang menggambarkan adanya pemakaian
dua ragam bahasa dari satu bahasa yang sama dalam setiap ranah yang ada dalam
komunitas tersebut. Untuk menandai ada tidaknya diglosia pada suatu masyarakat
tutur ada tiga syarat yang dipaparkan oleh Holmes. Syarat pertama yaitu ada dua
variasi bahasa dari satu bahasa yang sama yang digunakan dalam satu masyarakat
tutur. Variasi pertama yaitu ragam tinggi dan variasi kedua yaitu ragam rendah.
Syarat kedua yaitu kedua ragam tersebut digunakan dengan fungsi yang berbeda,
tetapi saling melengkapi. Syarat ketiga yaitu tidak seorang pun dalam masyarakat
tersebut yang menggunakan ragam tinggi dalam setiap percakapan. Untuk lebih
jelas dalam memahami konsep diglosia Holmes, ia memberikan contoh
masyarakat Arab yang mengenal dan menggunakan dua ragam bahasa, yaitu
bahasa Arab Klasik dan bahasa Arab sehari-hari. Bahasa Arab Klasik diidentikkan
dengan bahasa Al-Quran yang diajarkan di sekolah dan hanya digunakan dalam
interaksi formal, maka dianggap sebagai ragam tinggi. Sedang bahasa Arab
sehari-hari yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dianggap sebagai ragam
bahasa Arab yang rendah.
Sumarsono dan Partana (2002:36) mengutarakan bahwa diglosia adalah
situasi dalam sebuah bahasa dimana ditemukan ada dua ragam baku yang sama-
sama diakui dan dihormati, hanya saja fungsi dan pemakaiannya berbeda. Istilah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
diglosia untuk menyebut suatu situasi di mana sebuah masyarakat sesuai dengan
kesempatan, menggunakan idiom yang lebih akrab dan tidak berprestise, atau
idiom yang lain yang lebih berbau pendidikan dan lebih direka (Martinet,
1987:150-151). Achmad dan Abdullah (2012:164) memaparkan bahwa diglosia
diidentikkan dengan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya pemakaian
bahasa tinggi dan rendah dalam suatu masyarakat tutur. Ragam tinggi dan rendah
ini mengacu pada pemakaian bahasa yang dikaitkan dengan situasi
komunikasinya.
Ferguson dalam sebuah penelitiannya terhadap empat buah masyarakat tutur
yaitu masyarakat tutur bahasa Arab, Yunani modern, Jerman Swiss, dan Kreol
Haiti, mengetengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra,
pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi. Fungsi
adalah kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson, dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa, variasi pertama dinamai
dialek tinggi (dialek T atau ragam T), variasi kedua dinamai dialek rendah (dialek
R atau ragam R). Sebagai contohnya pada bahasa Arab dialek T-nya adalah
bahasa Arab klasik, bahasa Al-Quran yang lazim disebut al-fusha, dialek R-nya
adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang dipergunakan oleh bangsa Arab, yang
lazim disebut addarij. Pada bahasa Yunani, katharevusa adalah dialek T-nya,
yaitu bahasa Yunani murni dengan ciri-ciri linguistik Yunani klasik. Lalu dialek
R-nya adalah dhimotiki, yaitu bahasa Yunani lisan. Pada bahasa Jerman-Swiss,
Jerman standar adalah dialek T-nya dan berbagai dialek bahasa Jerman adalah
dialek R-nya. Selanjutnya yang terakhir di Haiti yang menjadi dialek T-nya adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
bahasa Perancis, dan yang menjadi dialek R-nya adalah bahasa Kreol-Haiti yang
dibuat berdasarkan bahasa Perancis.
Masih pada pembahasan diglosia menurut Ferguson, turut dijelaskan
mengenai distribusi fungsional dialek T dan dialek R yang mempunyai arti bahwa
terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan pada
situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T digunakan hanya pada
situasi resmi dan fungsi R hanya pada situasi informal atau situasi santai. Topik
kedua selanjutnya adalah prestise. Pada masyarakat diglosis ada sebuah anggapan
dari para penuturnya bahwa dialek T menjadi lebih bergengsi, lebih terpandang,
lebih superior, dan bahasanya dianggap lebih logis. Lain hal nya dengan dialek R
yang dianggap inferior dan bahkan ditolak keberadaannya. Dalam masyarakat
Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi apabila
dibandingkan dengan ragam bahasa Indonesia nonbaku.
Topik selanjutnya yang ketiga yaitu mengenai warisan kesusastraan. Pada
karya kesusastraan yang digunakan Ferguson sebagai contoh, di mana ragam T
lah yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa. Apabila ada juga
karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai
kelanjutan dari tradisi itu yaitu bahwa karya sastra harus dalam ragam T. Meski
begitu ada pula sastra dan puisi rakyat dalam dialek R, tetapi banyak anggota
masyarakat yang beranggapan hanya sastra atau puisi dalam dialek T lah yang
sebenarnya karya sastra suatu bangsa. Topik berikutnya berkenaan dengan
pemerolehan. Ragam T diperoleh dengan cara mempelajarinya dalam pendidikan
formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
sepergaulan. Topik berikutnya mengenai standardisasi, di mana ragam T yang
dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak heran bila standardisasi
dilakukan pada ragam T melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk
lafal, dan buku-buku kaidah penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T,
sebaliknya ragam R jarang disinggung dan diperhatikan.
Topik berikutnya membahas stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat
diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang
dipertahankan eksistensinya pada masyarakat itu. Selanjutnya mengenai
gramatika. Menurut pandangan Ferguson, ragam T dan ragam R dalam diglosia
merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama, namun ternyata terdapat
perbedaan dalam gramatikanya. Secara leksikon sebagaian besar kosakata ragam
T dan ragam R adalah sama. Akan tetapi ada kosakata pada ragam T yang tidak
ada pasangannya pada ragam R atau sebaliknya. Ciri yang paling menonjol pada
diglosia adalah adanya kosakata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu
untuk ragam R, yang biasanya untuk konsep-konsep yang sangat umum. Pada
bahasa Indonesia dapat pula didaftarkan sejumlah kosakata yang berpasangan
sebagai baku dan tidak baku, antara lain misalnya uang dan duit, buruk dan jelek,
istri dan bini, dan lurus dan lempeng. Topik yang terakhir adalah tentang
fonologi. Pada bidang fonologi terdapat perbedaan struktur antara ragam T dan
ragam R. Oleh Ferguson dikatakan bahwa sistem bunyi ragam T dan ragam R
sebenarnya adalah sistem tunggal, tetapi fonologi T adalah sistem dasar dan
fonologi R yang beragam adalah subsistem atau parasistem.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004:98) turut berpendapat bahwa
diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada
bahasa yang sama, melainkan berlaku juga pada bahasa yang sama sekali tidak
serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Maksud dari pendapat Fishman
mengenai diglosia ini ditekankan adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau
variasi bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh kasus diglosia menurut
Fishman yaitu masyarakat di Paraguay, di mana masyarakat tersebut mengenal
dua bahasa, yaitu bahasa Guarani (rumpun bahasa Indian) sebagai ragam bahasa R
dan bahasa Spanyol (rumpun bahasa Roman) sebagai ragam bahasa T. Fishman
memandang diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi mulai dari stilistik dari
sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua buah bahasa yang
berbeda.
Konsep diglosia berikutnya adalah menurut pandangan Fasold. Oleh Fasold
konsep diglosia disebut menjadi diglosia yang luas atau broad diglosia, di mana
maksudnya adalah perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam
atau dua dialek secara biner saja, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua
dialek itu. Seluk beluk mengenai diglosia menurut konsep Fasold dipaparkan juga
keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi
kebahasaan, sehingga muncullah yang dinamakan Fasold sebagai diglosia ganda
dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia,
dan linear polyglosia.
Dari beberapa pandangan ahli mengenai diglosia di atas, secara ringkasnya
diglosia dapat diartikan sebagai situasi kebahasaan yang menampakkan adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
pemakaian atau penggunaan bahasa tinggi (ragam tinggi) dan bahasa rendah
(ragam rendah) sesuai situasi komunikasinya pada masyarakat tutur. Ragam
bahasa tinggi digunakan pada situasi resmi, sedang ragam bahasa rendah
digunakan pada situasi tidak resmi. Situasi resmi misalnya pada saat perkuliahan
di kelas, pidato kenegaraan oleh presiden, rapat anggota DPR, dan lain
sebagainya. Situasi tidak resmi misalnya percakapan dengan teman, bercanda
dengan sahabat, dan lain sebagainya. Hal terakhir yang menjadi pembahasan
penutup sebagai penegasan adalah kaitan bilingualisme dengan diglosia. Jika
diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa pada
fungsi T dan fungsi R, dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa
secara bergantian dalam suatu masyarakat, maka Fishman menggambarkan
hubungan diglosia dan bilingualisme menjadi empat jenis hubungan, antara lain
yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia
tanpa bilingualisme, dan (4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
2.2.7 Kaitan Kedwibahasaan atau Bilingualisme dan Diglosia
Hubungan antara diglosia dan kedwibahasaan (bilingualisme), yakni
kedwibahasaan atau bilingualisme dimaknai sebagai situasi penggunaan dua
bahasa secara bergantian dalam masyarakat, sedangkan diglosia dimaknai sebagai
adanya pembedaan fungsi atas penerapan bahasa, terutama fungsi ragam tinggi
(T) dan fungsi ragam rendah (R). Dalam Suandi (2014:25) dijelaskan mengenai
tabel kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia itu. Tabel dan
penjelasannya adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tabel 1: Kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia
Diglosia
+ _
Bilingualisme
+ Bilingualisme dan Diglosia Bilingualisme tanpa
diglosia
- Diglosia tanpa bilingualisme Tidak diglosia tidak
bilingualisme
Dari tabel di atas tampak jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu:
(1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa
bilingualisme, (4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia. Pada masyarakat yang
dikarakteristikkan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, nyaris
setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua
ragam atau bahasa tersebut akan digunakan berdasarkan fungsinya masing-
masing, yang tidak bisa dipertukarkan.
Contoh masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di
sana bahasa Spanyol merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T,
dan bahasa Guarani, salah satu bahasa asli Amerika, berstatus sebagai bahasa R.
Kedua bahasa tersebut dipergunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa
Spanyol sebagai komunikasi resmi atau formal, sedangkan bahasa Guarani
sebagai komunikasi santai, percakapan sehari-hari dan informal.
Pada masyarakat yang bilingualis, tetapi tidak diglosis tampak sebuah
individu yang bilingual, tetapi mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa
untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Maka dari itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
mereka dapat menggunakan bahasa yang mana pun untuk tujuan dan situasi apa
pun. Suatu masyarakat yang semulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian
berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi
apabila sifat diglosisnya “bocor”. Pada kasus ini sebuah variasi atau bahasa lain
“merembes” ke dalam fungsi yang telah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain.
Dari hasil perembesan ini mungkin saja akan mengakibatkan terbentuknya sebuah
variasi baru (jika T dan R memiliki struktur yang sama); atau penggantian salah
satunya dengan yang lain (kalau T dan R tidak sama strukturnya).
Sebuah contoh bilingualisme tanpa diglosia, yakni R sebelum ada T adalah
di Belgia yang berbahasa Jerman. Di Belgia, peralihan dari bahasa Jerman ke
bahasa Perancis berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme yang
masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Di dalam suatu
masyarakat yang berciri diglosia, tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua penutur.
Kedua penutur itu dimisalkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
umumnya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya berbicara
bahasa T. Kelompok kedua, umumnya lebih besar, tidak mempunyai kekuasaan
dalam masyarakat, dan hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa
bilingualisme banyak ditemui di Eropa sebelum perang dunia pertama.
Contohnya, dalam satu periode sejarah Czar Rusia, di mana para bangsawan
hanya berbicara dengan bahasa Perancis, dan masyarakat Rusia dengan berbagai
dialeknya. Sebenarnya masyarakat diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak
dapat dinamakan sebagai satu masyarakat tutur, sebab kedua kelompok itu tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
berinteraksi; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter menggunakan
bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan bilingualisme dan diglosia
yaitu masyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak diglosia. Di dalam situasi
yang sedemikian (masyarakat tidak bilingualisme dan tidak diglosia), tentu saja
hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk semua
tujuan. Keadaan semacam ini hanya mungkin terjadi pada masyarakat yang
terpencil atau primitif, yang dewasa ini tentunya sudah sulit ditemukan. Oleh
Fishman (dalam Suandi, 2014:26) masyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak
diglosia ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain. Dari
keempat pola masyarakat kebahasaan di atas, hanya terdapat dua yang paling
stabil, yaitu (1) diglosia dengan bilingualisme, dan (2) diglosia tanpa
bilingualisme. Keduanya sama-sama berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya
terletak pada bilingualismenya.
Gambaran sekilas mengenai diglosia dalam masyarakat di Indonesia di
mana situsi kebahasaannya cukup kompleks karena terdapat sejumlah bahasa
daerah yang ada di Indonesia. Penggunaan bahasa di kehidupan sosial dan
aktivitas sehari-hari selain menerapkan bahasa Indonesia, juga diterapkan
penggunaan bahasa daerah beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing sesuai
fungsi, situasi, dan konteks berbahasa. Bahasa Indonesia berkedudukan atau
berfungsi sebagai bahasa nasional atau bahasa negara atau bahasa resmi. Bahasa
daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intradaerah. Bahasa asing berfungsi
sebagai bahasa komunikasi internasional umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Dalam sebuah situasi diglosia di Indonesia kerap kita jumpai adanya
tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah, sebagai contoh bahasa
Jawa. Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), dan
krama inggil (tingkat tinggi) yang mempunyai ukuran baku tersendiri dan diakui
oleh masyarakat pemakainya. Ragam bahasa tersebut menduduki fungsi sosial dan
digunakan sesuai dengan tingkat sosial masyarakat dan situasinya, meski sekarang
sudah jarang ditemui. Pemakaian ragam dalam bahasa daerah tidak didasarkan
atas topik pembicaraan melainkan oleh siapa dan untuk siapa.
2.2.8 Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Bahasa
Menurut kacamata sosiolinguistik, bahasa tidak hanya dilihat sebagai gejala
individu, melainkan juga sebagai gejala sosial. Sebagai gejala sosial, maka bahasa
dan pemakaian bahasa tidak bisa hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik
saja, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Padmadewi dkk., (2014:7)
menerangkan faktor-faktor nonlinguistik yang memengaruhi terjadinya
penggunaan variasi bahasa atau pemakaian bahasa tersebut yaitu: 1) faktor-faktor
sosial seperti status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin, dan sebagainya, 2) faktor-faktor situasional seperti siapa berbicara
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Seorang individu mungkin saja dapat mempunyai status sosial lebih dari
satu, misalnya saja si A adalah seorang ibu di keluarganya, yang juga berstatus
sosial sebagai guru. Apabila dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam
kelas pegawai negeri. Apabila dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial
golongan “terdidik”. Begitulah kita juga mengenal kelas pegawai, kelas buruh,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
kelas manajer, kelas pedagang, kelas petani, dan lainnya. Menurut Raho (2004:
44) status sosial dapat dikatakan sebagai tempat atau posisi yang ditempati atau
dikonstruksi secara sosial atau yang diduduki oleh seorang individu di dalam
masyarakat. Contohnya yaitu anak, orang tua, suami, isteri, dan lain sebagainya.
Dalam arti tertentu, status mempunyai arti suatu cara untuk mendefinisikan relasi
di antara bermacam-macam individu yakni orang tua-anak, kakak-adik, saudara-
saudari, guru-murid, dosen-mahasiswa, majikan-buruh, bos-karyawan, dan lain
sebagainya.
Seorang pakar sosiolinguistik bernama Dell Hymes (dalam Chaer dan
Agustina, 2004:48) mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi
delapan komponen untuk bisa disebut sebagai peristiwa tutur. Kedelapan
komponen menurut Dell Hymes tersebut bila huruf-huruf pertamanya
dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut yaitu
setting and scene, participants, ends: purpose and goal, act sequences, key: tone
or spirit of act, instrumentalities, norms of interaction and interpretation, dan
genres.
Setting and scene, di sini setting atau latar berkenaan dengan waktu dan
tempat tindak tutur atau tempat tutur berlangsung, biasanya berupa keadaan fisik.
Scene atau suasana merujuk pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis
pembicaraan. Contoh suasana adalah formal, tidak formal, serius, santai, atau
gembira. Perbedaan waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berlangsung dapat
menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, berbicara
di lapangan voli sewaktu ada pertandingan voli dalam situasi yang ramai tentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
saja berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan kampus pada waktu
banyak mahasiswa dan mahasiswi membaca dan mengerjakan tugas dalam
keadaan sunyi. Di lapangan voli orang bisa bicara keras-keras, tetapi di ruang
perpustakaan kampus mahasiswa dan mahasiswi harus bicara seperlahan mungkin
dan bisa menyesuaikan dengan situasi.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan (pelibat),
bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima
pesan. Dua orang yang berbincang-bincang bisa berganti peran sebagai pembicara
atau pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan
jemaah sebagai pendengar tidak bisa bertukar peran. Status sosial partisipan
menentukan ragam bahasa yang dipergunakan. Sebagai contoh seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda saat berbicara dengan orang
tuanya, gurunya, dan teman sebayanya.
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
terjadi di ruang pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu kasus perkara,
tetapi partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.
Jaksa hendak membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan
bahwa terdakwa tidak bersalah, dan hakim berupaya memberikan keputusan yang
adil. Dalam peristiwa tutur di kelas saat kuliah linguistik, pak dosen yang tampan
itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswinya,
namun, barangkali di antara para mahasiswi itu ada yang datang kuliah hanya
untuk memandang wajah pak dosen yang tampan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Act sequence, mengarah pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkaitan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran
dan isi yang dibicarakan pada saat percakapan biasa, saat kuliah umum, dan saat
sedang berpesta tentu saja berbeda.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan. Apakah disampaikan dengan serius, dengan bercanda, dengan
senang hati, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.
Misalnya, kuliah fonologi dapat diberikan dengan cara yang sangat santai atau
dengan semangat yang menyala-nyala. Hal ini dapat ditunjukkan dengan gerak
tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada sarana, jalur bahasa yang digunakan,
seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Secara lebih sederhana,
instrumentalities yaitu faktor yang berkaitan dengan alat atau media dan bentuk
bahasa yang digunakan untuk menyampaikan tuturan. Instrumentalities ini juga
mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau
register. Hymes (dalam Baryadi, 2015:20) Instrumentalities berkaitan dengan
bentuk tuturan (form of speech) dan gaya tutur (speech styles). Bentuk tutur
berkaitan dengan bahasa, dialek, dan register, sedangkan gaya tutur berkaitan
dengan penggunaan ungkapan yang sesuai dengan ciri penutur, situasi, dan bentuk
wacananya.
Norms of interaction and interpretation, merujuk pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Contohnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
bertanya, dan sebagainya. Misalnya, kuliah cenderung bersifat satu arah dari
pengajar kepada mahasiswa; mahasiswa bertanya sesudah diberi kesempatan
bertanya. Selain itu juga merujuk pada norma penafsiran terhadap ujaran dari
lawan bicara. Menurut Hymes (dalam Baryadi, 2015:20) mengungkapkan norms
of interaction and interpretation atau norma interaksi dan interpretasi merujuk
pada aturan-aturan dalam berinteraksi dan memahami tuturan. Misalnya saja
aturan giliran berbicara, kapan harus diam, kapan harus berbicara, kapan menyela
pembicaraan orang lain, dan sebagainya.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya. Hymes (dalam Baryadi, 2015:20) mengatakan “By
genres are meant categories such as poem, myth, tale, proverb, riddle, curse,
prayer, commercial, form letter, editorial, etc.” Genres yaitu jenis wacana seperti
puisi, mite, cerita, peribahasa, teka-teki, ceramah, doa, pidato, kuliah, wacana
komersial, surat resmi, editorial, dan sebagainya.
Faktor penyebab terjadinya variasi bahasa dikaitkan dengan situasi diglosik
di mana masyarakat tutur di Asrama Santa Angela Bantul, Yogyakarta,
merupakan masyarakat bilingual bahkan multilingual tampak adanya penggunaan
bahasa yang menampilkan variasi tinggi maupun variasi rendah. Partisipan di
Asrama Santa Angela ini yaitu para siswi dan suster pamong, di mana dalam
interaksi sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah (dominan
bahasa Jawa), dan juga tersisipi bahasa asing (bahasa Inggris) sesuai situasi dan
fungsi komunikasinya. Partisipan menggunakan atau menerapkan variasi bahasa
tinggi ketika dalam situasi formal atau resmi, topik yang dibahas formal,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
hubungan antarpembicara dilakukan kepada orang yang lebih tua atau dihormati,
dan dalam fungsi komunikasi yang memang cenderung formalistik. Partisipan
menggunakan atau menerapkan variasi bahasa rendah ketika dalam situasi
informal atau santai, topik yang dibahas bersifat santai, digunakan sebagai lelucon
atau berkelakar, hubungan antarpembicara dilakukan kepada orang yang sudah
akrab, dan dalam fungsi komunikasi yang cenderung akrab atau santai.
2.2.9 Klasifikasi Ragam Bahasa
Orang dapat menyampaikan maksud atau kehendaknya dengan
menggunakan berbagai bentuk bahasa. Pada situasi tertentu, suatu maksud atau
kehendak dapat disampaikan kepada pendengar sebagai perintah, pada situasi lain
maksud atau kehendak yang sama dapat disampaikan sebagai permintaan tolong,
dan pada situasi yang lainnya lagi maksud atau kehendak itu disampaikan sebagai
permohonan. Hubungan antara pembicara dan pendengar, status sosial pembicara
dan pendengar, suasana batin pembicara pada waktu ujaran diucapkan, dan lain
sebagainya dapat diketahui pula dari ujud ujaran tersebut.
Menurut Kartomihardjo (1988:23) ragam atau style adalah suatu piranti
untuk menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan
lewat kata-kata dengan makna harfiah. Ragam menjadi sebuah petunjuk apakah
suatu interaksi sosial akan dilanjutkan atau tidak. Andaikata dilanjutkan, ragam
juga mengisyaratkan ragam bahasa apa yang harus dipergunakan, apakah ragam
formal atau ragam informal. Ragam turut memberitahukan kepada pendengar
supaya suatu ujaran yang baru saja diucapkan diterima sebagai lelucon, rayuan,
ancaman, ironi, umpatan, pujian, atau lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang terjadi karena pemakaian bahasa.
Ragam bahasa terbagi atas dua kelompok, yaitu ragam bahasa berdasarkan media
pengantarnya dan ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya (Utorodewo
dkk., 2004). Penggunaan atau pemakaian bahasa berdasarkan media pengantarnya
atau sarananya terbagi atas ragam lisan dan ragam tulis. Ragam lisan yaitu bahasa
yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Ragam lisan dapat didapati dalam ragam
lisan yang formal maupun ragam lisan yang nonformal. Ragam tulis yaitu bahasa
yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang
formal maupun yang nonformal. Selain itu, terdapat pula ragam tulis dan juga
ragam lisan yang semiformal, artinya tidak terlalu formal, dan juga tidak terlalu
nonformal.
Ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya dikelompokkan menjadi
ragam formal, ragam nonformal, dan ragam semiformal. Bahasa ragam formal
mempunyai sifat kemantapan berwujud kaidah dan aturan tetap, di mana
kemantapan tadi tidak bersifat kaku, tetapi tetap luwes sehingga memungkinkan
perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan
berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modern (Alwi dkk., dalam
Utorodewo dkk., 2004). Pembedaan antara ragam formal, nonformal, dan
semiformal dilakukan berdasarkan; topik yang sedang dibahas, hubungan
antarpembicara, medium yang digunakan, lingkungan, dan situasi saat
pembicaraan terjadi.
Dalam Ngalimun dkk., (2013) ada tiga kriteria penting yang harus
diperhatikan apabila berbicara tentang ragam bahasa. Kriteria itu yaitu media yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
digunakan, latar belakang penutur, dan pokok persoalan yang dibicarakan.
Berdasarkan media yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa
dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Dilihat dari latar
belakang penutur atau segi penuturnya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam
dialek, ragam bahasa terpelajar, ragam bahasa resmi, dan ragam bahasa tidak
resmi. Berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahasa dibedakan
atas bidang-bidang ilmu dan teknologi serta seni, seperti ragam bahasa ilmu,
ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, ragam bahasa jurnalistik, dan ragam
bahasa sastra.
Bahasan mengenai ragam daerah atau dialek, bahasa Indonesia yang
digunakan di suatu daerah berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di
daerah lain, misalnya bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang Jayapura
berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang Madura, dan
penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Medan berbeda dengan penggunaan
bahasa Indonesia oleh orang Jawa. Penggunaan bahasa yang berbeda-beda
tersebut dikarenakan perbedaan daerah, seperti itu disebut ragam daerah, disebut
logat.
Menurut ragam bahasa terpelajar, bahasa Indonesia yang digunakan oleh
kelompok penutur yang berpendidikan tampak jelas perbedaannya dengan yang
digunakan oleh kelompok penutur yang tidak berpendidikan, terutama dalam
pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, seperti pidio (video), pilem (film),
komplek (kompleks), pajar (fajar), dan pitamin (vitamin). Pada bidang tata bahasa,
tampak pula perbedaan ragam bahasa penutur yang berpendidikan dan yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
berpendidikan, seperti mbawa (membawa), nyari (mencari). Hal semacam itu
menunjukkan penuturnya kurang dapat memelihara bahasanya. Ragam bahasa
yang dituturkan kelompok penutur berpendidikan memiliki ciri keterpeliharaan.
Ragam bahasa inilah yang digunakan untuk dunia pendidikan, lembaga
pemerintahan, media massa, ilmu, dan teknologi.
Mengulas ragam bahasa resmi dan ragam bahasa tidak resmi, ragam bahasa
dipengaruhi pula oleh sikap penutur terhadap lawan tutur (secara lisan) atau sikap
penulis terhadap pembaca (secara tertulis). Sikap tersebut antara lain resmi, akrab,
dingin, dan santai. Contoh konkret bisa diamati misalnya saja pada bahasa
seorang bawahan ketika melapor kepada atasan, bahasa perintah atasan kepada
bawahan, bahasa seorang bapak yang membujuk anaknya, bahasa orang tua yang
sedang memarahi anaknya, dan bahasa anak muda yang sedang bercakap-cakap
santai. Perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam pilihan kata dan penerapan
kaidah tata bahasa. Ragam sering disebut juga sebagai gaya. Jika terdapat jarak
antara penutur dan lawan tutur maka akan digunakan ragam bahasa resmi atau
dikenal dengan bahasa baku. Semakin formal jarak penutur dan lawan tutur, akan
semakin resmi dan semakin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan,
tetapi sebaliknya semakin rendah tingkat keformalannya, maka makin rendah pula
tingkat kebakuan bahasa yang dipergunakannya.
Dalam Utorodewo dkk., (2004) terdapat setidaknya lima ciri untuk
membedakan ragam formal dari ragam nonformal. Ciri tersebut di antaranya
yaitu; penggunaan kata sapaan dan kata ganti, penggunaan kata tertentu,
penggunaan imbuhan, penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
(preposisi), dan penggunaan fungsi yang lengkap. Pada penggunaan kata sapaan
dan kata ganti, merupakan ciri pembeda ragam formal dari ragam nonformal yang
amat menonjol. Biasanya kepada orang yang kita hormati, kita cenderung akan
menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda, atau kita akan
menyertakan penyebutan jabatan, gelar, atau pangkat. Tatkala untuk menyapa
rekan sejawat atau teman, cukup dengan menyebut namanya atau kita dapat
menggunakan bahasa daerah. Apabila kita menyebut diri kita, dalam ragam
formal kita akan menggunakan kata saya, sedangkan dalam ragam semiformal
digunakan kata aku. Dalam ragam nonformal dapat digunakan kata gue.
Dalam penggunaan kata tertentu, merupakan ciri lain yang amat menandai
perbedaan ragam formal dari ragam nonformal. Pada ragam nonformal akan
sering muncul kata nggak, bakal, gede, udahan, kegedean, cewek, bokap, ortu,
dan lain-lainnya. Di samping itu, dalam ragam nonformal sering muncul bentuk
penekan, seperti sih, kok, deh, lho. Dalam ragam formal, bentuk-bentuk semacam
itu tidak akan digunakan.
Pada penggunaan imbuhan yang merupakan salah satu dari ciri lainnya,
dalam ragam formal kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Hanya pada kalimat perintah kita dapat menghilangkan imbuhan dalam kata
kerjanya (verba). Pada ragam nonformal, sering kali imbuhan ditanggalkan.
Misalnya saja, pake untuk memakai, nurunin untuk menurunkan.
Ciri pembeda selanjutnya membahas mengenai penggunaan kata sambung
(konjungsi) dan kata depan (preposisi). Dalam ragam nonformal, sering kali kata
sambung dan kata depan dihilangkan. Adakalanya, kenyataan itu mengganggu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
kejelasan kalimat. Dalam laras jurnalistik kedua kelompok kata tersebut sering
dihilangkan. Hal itu menerangkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam
semiformal.
Sementara ciri pembeda ragam formal dari ragam nonformal yang terakhir
yaitu mengenai kelengkapan fungsi berkaitan dengan adanya bagian dalam
kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap memadai atau cukup
mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonformal, predikat kalimat
kerap dihilangkan. Acap kali pelepasan fungsi terjadi ketika kita menjawab
pertanyaan orang.
Mendukung penjelasan di atas, Kartomihardjo (1988:61) mengulas tentang
bahasa baku, di mana bahasa baku sebenarnya tiada lain daripada salah satu
variasi atau dialek yang diakui oleh semua anggota berbagai kelompok
masyarakat yang menggunakan variasi itu di dalam situasi resmi yang pada
umumnya melibatkan hubungan formal, suatu hubungan yang tidak mengenal
keakraban. Oleh sebab itu bahasa baku atau variasi baku difungsikan di dalam
interaksi formal antarinstansi pemerintah dan swasta, dalam surat-surat resmi,
dalam upacara kenegaraan dan upacara yang diselenggarakan oleh suatu instansi,
serta dipergunakan dan diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Lantaran
bahasa baku difungsikan atau dipergunakan dalam suasana kedinasan, resmi,
formal dan menyangkut pejabat-pejabat di daerah maupun di pusat, bahasa baku
biasanya memiliki martabat yang paling tinggi jika dibandingkan dengan variasi
bahasa lain-lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Kartomihardjo (1988:63) penerapan bahasa baku dalam kehidupan sehari-
hari biasanya dipergunakan secara ketat dalam bahasa tulis. Dalam bahasa lisan
hal serupa itu agak sulit dilaksanakan karena bahasa lisan sangat tergantung
kepada situasi lingkungan, keadaan jiwa para peserta interkasi dan sebagainya.
Dalam keseharian, apa yang biasanya terjadi ialah pembicara berusaha
semaksimal mungkin untuk menerapkan kaidah-kaidah kebakuan. Akan tetapi
apabila situasi menghendaki penyelipan ragam informal dengan piranti ragam
yang terdapat dalam sistem fonologi, leksikal maupun sintaksis pasti akan
dilakukan pembicara. Hal ini antara lain diakibatkan oleh kecenderungan
masyarakat kita untuk membubuhkan unsur keakraban, barang sedikit, di dalam
interaksi formal. Sifat keramah-tamahan bangsa Indonesia ternyata amat besar
pengaruhnya terhadap penerapan bahasa baku dalam pergaulan sehari-hari. Oleh
sebab itu bahasa Indonesia baku hanya difungsikan atau dipergunakan di dalam
rapat-rapat resmi, interaksi resmi serta pidato resmi yang kesemuanya tidak
menghendaki terjadinya hubungan pribadi di antara para peserta interaksi.
Karenanya dalam pertemuan-pertemuan dan dalam berbagai interaksi yang tidak
terlalu resmi, di kantor, di tempat kerja, dan di sekolah lebih banyak dipergunakan
bahasa baku yang dibumbui dengan penanda keakraban, di mana variasi semacam
itu oleh Martin Joos disebut consultative style.
Rahardi (2009) membagi ragam bahasa menjadi tiga yaitu ragam bahasa
berdasarkan waktunya, ragam bahasa berdasarkan medianya, dan ragam bahasa
berdasarkan pesan komunikasinya. Ragam bahasa berdasarkan waktunya diperinci
menjadi bahasa ragam lama atau bahasa ragam kuno, bahasa ragam baru atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
bahasa ragam modern, dan bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang
banyak mencuat akhir-akhir ini. Dalam bahasa ragam lama atau bahasa ragam
kuno dapat ditemui pada sejumlah dokumen kuno, prasasti, dan tulisan-tulisan
yang tercantum dalam piranti yang sangat sederhana.
Ragam bahasa baru atau ragam bahasa modern pertanda kehadirannya bisa
dijumpai pada kamus-kamus bahasa terbitan baru di mana bahasa Indonesia dalam
ragam baru ini diatur dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang umumnya juga
sudah diperbarui. Sebagai contoh konkret, orang zaman dahulu mengenal dan
menggunakan bentuk seperti ‘Koendjono’, ‘Moentjol’, tetapi zaman sekarang
dalam ketentuan dan kaidah kebahasaan baru ditulis menjadi ‘Kunjono’ dan
‘Muncul’. Pemahaman perihal bahasa ragam baru harus menanggalkan bahasa
ragam lama, sebab aturan kebahasaan dan kaidah kebahasaannya memang sudah
berbeda dan berganti dengan yang baru.
Ragam bahasa yang terakhir berdasarkan waktunya yakni bahasa ragam
kontemporer. Adapun yang dimaksud dengan bahasa ragam kontemporer adalah
entitas bahasa dalam wujud perkembangannya yang sekarang ini dan telah
melahirkan bentuk-bentuk kebahasaan baru yang cenderung mengabaikan kaidah-
kaidah kebahasaan yang telah ada. Bahasa ragam kontemporer juga cenderung
tidak memperhatikan pembedaan fungsi dan kedudukan bahasa.
Ragam bahasa berdasarkan medianya dibedakan menjadi bahasa ragam
lisan dan bahasa ragam tulis. Bahasa ragam lisan lazim ditandai dan ditentukan
oleh penggunaan aksen-aksen bicara atau penekanan-penekanan tertentu pada
aktivitas bertutur, pemakaian intonasi tertentu, sebagaimana tanda-tandanya akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
kelihatan dari wujud-wujud kosakata, tata bahasa, kalimat, dan paragrafnya.
Bahasa ragam lisan diperinci lagi menjadi dua, yaitu bahasa ragam lisan baku dan
bahasa ragam lisan tidak baku. Contoh dari bahasa ragam lisan baku misalnya saja
ketika seseorang berceramah di depan para dosen, ketika dosen menguji skripsi,
ketika orang sedang berpidato, ketika mahasiswa sedang presentasi di depan
kelas, dan lain sebagainya. Contoh dari bahasa ragam lisan tidak baku misalnya
saja ketika orang sedang mengobrol dengan santai di pasar, ketika bapak-bapak
mengobrol di pos ronda, dan lain sebagainya.
Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya dibedakan menjadi empat,
yaitu bahasa ragam ilmiah, bahasa ragam sastra, bahasa ragam pidato, dan bahasa
ragam berita. Ragam ilmiah biasa digunakan dalam karya ilmiah akademis dan
karya ilmiah populer. Karya ilmiah akademis di perguruan tinggi biasanya
meliputi jurnal ilmiah, artikel ilmiah, makalah ilmiah, laporan penelitian, skripsi,
tesis, disertasi, surat-menyurat, dan sebagainya, sedangkan karya ilmiah populer
biasanya meliputi esei ilmiah populer, catatan ilmiah populer, opini dan kolom di
media massa, dan lain sebagainya.
Pengelompokan ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasi selanjutnya
yaitu bahasa ragam sastra. Bahasa ragam sastra dominan digunakan untuk nilai-
nilai keindahan, estetika, imajinasi seperti pada cerita rakyat. Pada bahasa ragam
pidato yang menjadi sasarannya yaitu maksud atau tujuan dari pidato itu sendiri.
Dimensi maksud atau tujuan tersebut akan menentukan bentuk kebahasaan. Pada
bahasa ragam berita harus memperhatikan hal pokok sebagai ciri bahasa berita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dalam jurnalistik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada terbatasnya ruang (space,
kolom) dan waktu (time, duration).
Simpulan dari uraian teori dari para ahli di atas yang terangkum pada bab ini
sebagai landasan teori, akhirnya peneliti mencocokkan lalu menyimpulkan sebuah
formula yang dirasa paling tepat untuk menganalis data sesuai kondisi data
penelitian yang telah diperoleh. Formula tersebut yaitu perpaduan dari pendapat
ahli yang telah dijabarkan di atas mengenai penggunaan ragam bahasa, di
antaranya perpaduan teori ahli Utorodewo dkk., (2004) dengan ahli Chaer dan
Agustina (2004). Perpaduan teori tersebut menghasilkan formula bahwasanya
ragam formal menurut Utorodewo sejajar dengan ragam beku (frozen) dan ragam
resmi (formal) menurut Chaer dan Agustina, ragam semiformal menurut
Utorodewo sejajar dengan ragam usaha (konsultatif) menurut Chaer dan Agustina,
ragam nonformal menurut Utorodewo sejajar dengan ragam santai (casual) dan
ragam akrab (intim) menurut Chaer dan Agustina. Formula di atas menjawab
bahwa dalam penelitian ini fenomena diglosia terlihat dari pemakaian ragam
formal (beku dan resmi), ragam semiformal (usaha), dan ragam nonformal (santai
dan akrab).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
2.3 Kerangka Berpikir
FENOMENA DIGLOSIA PADA INTERAKSI PARA SISWI DAN
SUSTER PAMONG DI ASRAMA SANTA ANGELA, BANTUL,
YOGYAKARTA
KAJIAN DIGLOSIA MENGACU PADA
KONSEP FISHMAN (CHAER DAN AGUSTINA, 2004)
PERPADUAN RAGAM
BAHASA MENURUT AHLI
UTORODEWO DKK (2004)
DAN AHLI CHAER DAN
AGUSTINA (2004)
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
PENGGUNAAN VARIASI
BAHASA MENURUT AHLI
PADMADEWI DKK (2014)
HASIL ANALISIS DATA PENELITIAN
PENGGUNAAN BAHASA
SESUAI FUNGSI DAN SITUASINYA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian
Penelitian tentang “Fenomena Diglosia pada Interaksi di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta” ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didorong oleh
beberapa sifat yang tampak dalam objek penelitian yang dikaji dan tujuan
penelitian yang hendak dicapai. Pertama, objek penelitian yang dikaji adalah
fenomena diglosia yang terkandung dalam tuturan interaksi komunikasi sehari-
hari para siswi dan suster pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Fenomena yang dikaji ini memiliki latar alami. Kealamiahan itu tampak dari data
penelitian yang berupa pemakaian variasi atau ragam bahasa dalam percakapan
para siswi dan suster pamong. Kedua, selain daripada itu, penggunaan pendekatan
kualitatif pada penelitian ini dikarenakan tujuan yang ingin dicapai peneliti, yaitu
dekripsi atau perian tentang penggunaan bahasa yang digunakan dalam keseharian
partisipan yang tidak terlepas dari variasi ragam bahasa yang terindikasi
mengandung fenomena diglosia. Terakhir, tujuan penelitian ini juga bermaksud
mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya penggunaan variasi
bahasa pada interaksi sehari-hari di Asrama Santa Angela, Bantul. Yogykarta.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan
paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Istilah penelitian
kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain (Basrowi dan
Suwandi, 2008:20-21). Williams (dalam Moleong 2006:5), mengatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan
menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang
tertarik secara alamiah. Penjelasan dari definisi ini memberi gambaran pada
peneliti bahwa penelitian kualitatif mengutamakan latar alamiah, metode alamiah,
dan dilakukan oleh orang yang mempunyai perhatian alamiah. Oleh sebab itu,
fenomena yang dikaji memiliki latar alami. Kealamiahan itu tampak dari data
penelitian yang berupa pemakaian variasi atau ragam bahasa para siswi dan suster
pamong di asrama dalam interaksi komunikasi sehari-hari.
Denzin dan Lincon (dalam Moleong 2006:5) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, penulis masih tetap
mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan
untuk menafsirkan fenomena diglosia. Dalam penelitian kualitatif metode yang
biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan
dokumen.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2006:6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Dalam penelitian ini bertujuan untuk menemukan ragam-ragam bahasa rendah
ataupun tinggi yang mengindikasikan adanya fenomena diglosia pada interaksi
para siswi khususnya siswi kelas XII dan suster pamong di Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta. Data yang ditemukan nantinya akan dianalisis dan
dideskripsikan, dengan demikian diharapkan peneliti mampu menyajikan data
mengenai ragam bahasa yang digunakan oleh subjek penelitian secara nyata
terjadi pada para siswi khususnya siswi kelas XII dan suster pamong yang tinggal
di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
3.2 Sumber Data dan Data
Sumber data adalah letak atau tempat ditemukannya data yang hendak
diteliti. Dalam penelitian, sumber data harus jelas supaya dapat memperoleh data
yang valid dan akurat. Pada penelitian ini sumber data diperoleh dari para siswi
khususnya siswi kelas XII dan suster pamong di Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta. Data merupakan hasil capaian yang nantinya akan diolah untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang diangkat oleh peneliti. Moleong (2007:157)
mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif memiliki data utama berupa kata-
kata atau bahasa sedangkan data pendukungnya berupa dokumen. Data yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa tuturan-tuturan yang
mengindikasikan adanya fenomena diglosia di mana tuturan-tuturan penutur
tersebut mengandung variasi bahasa atau ragam bahasa yang digunakan oleh para
siswi khususnya siswi kelas XII dan suster pamong di Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta, dalam berkegiatan, berinteraksi, dan komunikasi sehari-hari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dengan sesama penghuni asrama maupun orang lain di lingkungan asrama sesuai
dengan fungsi kebahasaannya.
3.3 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para siswi khususnya siswi kelas XII dan
suster pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini
membahas mengenai fenomena diglosia pada interaksi di Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini berfokus pada fenomena diglosia dalam artian
penggunaan variasi bahasa, yaitu ragam tinggi dan atau ragam rendah dalam
tuturan-tuturan atau ujaran-ujaran pada interaksi dan komunikasi sehari-hari
siswi-siswi maupun suster pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta,
dengan sesama penghuni asrama lainnya. Interaksi dan komunikasi terjadi antara
siswi dan siswi, siswi dan suster pamong, suster pamong dan siswi. Penelitian
dilakukan dengan merekam, mencermati, lalu mentranskrip tuturan-tuturan atau
ujaran-ujaran yang mengandung variasi bahasa atau ragam bahasa yang dipakai
siswi-siswi yang sedang berinteraksi baik pada saat situasi makan, belajar,
bersantai, dan berbagai kegiatan lainnya di Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta. Peneliti mengambil 19 orang terdiri dari 18 siswi dan 1 suster
pamong sebagai subjek penelitian pada penelitian ini. Biodata dari 19 subjek
penelitian tersebut yaitu:
Tabel 2 Klasifikasi Siswi Kelas XII di Asrama Santa Angela, Bantul
No Nama Usia Sekolah Kelas dan
Jurusan
Alamat Asal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
1. Rodemta Eca
Saruhun
18 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Tanjung,
Kalimantan
Barat
2. Regina Vania Larna
Citra
18 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Bintaro,
Jakarta
Selatan
3. Katarina Siswanti 16 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPS 2 Borobudur,
Magelang,
Jawa Tengah
4. Megi Mergina Sanadi 15 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPS 2 Biak, Papua
5. Leony Graciela 17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPS 1 Tangerang
Selatan,
Pamulang 2
6. Virginia Pasha 17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Jl. Segara
Penimbangan,
Bakti Segara,
Singaraja,
Bali
7. Bening Hendarsari 17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Randegan,
Wangon,
Banyumas,
Jawa Tengah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
8. Maria Ignasia Yuli
Hartantri
17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Celan,
Trimurti,
Srandakan,
Bantul,
Yogyakarta
9. Setyowati Palupi
Cakra Wardani
18 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPS 2 Karanglo,
Donoharjo,
Ngaglik,
Sleman,
Yogyakarta
10. Victoria Tiara Devi 16 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Boro,
Banjarasri,
Kalibawang,
Kulon Progo,
Yogyakarta
11. Theresia Angela
Widiana
18 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 2 Villa Bogor
Indah Blok
CCI no 26
Jawa Barat
12. Imakulata
Widyaningtyas
Prawitrisari
18 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Jl. P.
Diponegoro
km 5 Desa
Sumogawe,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Kecamatan
Getasan,
Kabupaten
Semarang RT
05 RW 02,
Jawa Tengah
13. Bernadeta Banowati
Bertyamega
17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 2 Jagalan,
Pabelan,
Mungkid,
Magelang,
Jawa Tengah
14. Vincentia Romantina
Aurel Dyah Arum
17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 2 Jln. Bali no
23 Metro
Barat,
Lampung
15. Indira Kartika Sari 17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 2 Jln. Kolonel
Sugiono 55A,
Kebumen,
Jawa Tengah
16. Yulia Endra Jati
Retno Satiti
17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 2 Ganasari,
Banjarasri,
Kalibawang,
Kulon Progo,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Yogyakarta
17. Brigitta Chrisantie
Pricilla
17 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 1 Jln. Kayu
Putih I no16,
Tangerang
18. Brenda Jouna
Kaparang
16 tahun SMA PL
Sedayu
XII IPA 2 Timika,
Papua
19. Sr. Cornelia, HK 51 tahun - - Jln.
Hasanudin 29
Telukbetung,
Bandar
Lampung
Dari beberapa klasifikasi siswi kelas XII dan suster pamong di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta di atas, masing-masing mempunyai latar belakang
dan riwayat pemerolehan bahasa dari kecil hingga sekarang. Latar belakang dan
riwayat pemerolehan bahasanya dapat diperjelas dalam tabel berikut.
Tabel 3 Latar Belakang dan Riwayat Pemerolehan Bahasa
No
Nama
Bahasa
Ibu
Bahasa Kedua
dan atau
bahasa ketiga
Proporsi Penggunaan Bahasa
1. Rodemta Eca
Saruhun
Congkong Melayu
Indonesia
Ketapang
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Dayak Jalai
Dayak Laur
Inggris
Korea
Jawa
dengan teman asrama.
b).Congkong, Melayu,
Ketapang, Dayak Jalai, dan
Dayak Laur
Difungsikan sebagai percakapan
dengan sesama teman melalui
telepon. Digunakan pula untuk
mengungkapkan rasa marah.
Reseptif:
a). Inggris, Korea, dan Jawa.
2. Regina Vania
Larna Citra
Indonesia Inggris
Betawi
Jawa
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
sehari-hari di lingkungan
asrama.
Reseptif:
a). Inggris, Betawi, Jawa.
3. Katarina
Siswanti
Jawa Indonesia
Inggris
Produktif:
a). Jawa, Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
4. Megi Mergina
Sanadi
Indonesia Maluku
Inggris
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Maluku, Inggris.
5. Leony Graciela Indonesia Jawa
Inggris
Mandarin
Produktif:
a). Indonesia, Jawa
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
b). Inggris
Difungsikan sebagai komunikasi
dengan orangtua melalui
telepon.
Reseptif:
a). Mandarin
6. Virginia Pasha Indonesia Inggris
Bali
Produktif:
a). Indonesia, Bali
Difungsikan sebagai percakapan
dengan teman di lingkungan
asrama.
b). Inggris
Difungsikan sebagai komunikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dengan orangtua melalui
telepon.
Reseptif: -
7. Bening
Hendarsari
Jawa Indonesia
Inggris
Korea
Produktif:
a). Jawa, Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris, Korea.
8. Maria Ignasia
Yuli Hartantri
Indonesia Jawa
Inggris
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Jawa, Inggris.
9. Setyowati
Palupi Sari
Cakra Wardani
Jawa Indonesia
Inggris
Produktif:
a). Jawa, Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris
10. Victoria Tiara
Devi
Indonesia
Jawa
Inggris
Produktif:
a). Jawa, Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Sunda Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Sunda, Inggris.
11. Theresia Angela
Widiana
Indonesia Jawa
Sunda
Inggris
Mandarin
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
dengan teman di lingkungan
asrama.
b). Inggris
Difungsikan sebagai komunikasi
dengan kakak, adik, dan
keluarga melalui telepon.
Reseptif:
a). Jawa, Sunda, Mandarin.
12. Imakulata
Widyaningtyas
Prawitrisari
Indonesia Jawa
Inggris
Mandarin
Produktif:
a). Indonesia, Jawa
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris, Mandarin.
13. Bernadeta
Banowati
Indonesia Jawa
Inggris
Produktif:
a). Indonesia, Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Bertyamega Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris
14. Vincentia
Romantina
Aurel Dyah
Arum
Indonesia Jawa
Lampung
Inggris
Mandarin
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Jawa, Lampung, Inggris,
Mandarin.
15. Indira Kartika
Sari
Indonesia Jawa
Inggris
Jepang
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Jawa, Inggris, Jepang.
16. Yulia Endra Jati
Retno Satiti
Indonesia Jawa
Inggris
Sunda
Produktif:
a). Indonesia, Jawa
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris, Sunda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
17. Brigitta
Chrisantie
Pricilla
Indonesia Sunda
Inggris
Jawa
Mandarin
Produktif:
a). Indonesia
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Sunda, Inggris, Jawa,
Mandarin.
18. Brenda Jouna
Kaparang
Sulawesi
Utara
Papua
Indonesia
Inggris
Jawa
Produktif:
a). Papua, Indonesia.
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif:
a). Inggris, Jawa.
19. Sr. Cornelia, HK Jawa Indonesia Produktif:
a). Indonesia, Jawa.
Difungsikan sebagai percakapan
di lingkungan asrama.
Reseptif: -
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan atau diterapkan; teknik adalah
cara melaksanakan atau menerapkan metode (Sudaryanto, 2015:9). Tahapan
pengumpulan data ini dilaksanakan dengan menggunakan metode simak
(pengamatan atau observasi) dan metode cakap (wawancara).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
1. Metode Simak (pengamatan atau observasi)
(Mahsun, 2005:242) menjelaskan bahwa metode simak merupakan metode
yang digunakan dalam penyediaan data dengan cara peneliti melakukan
penyimakan penggunaan bahasa. Metode ini memiliki teknik dasar, yaitu teknik
sadap dan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap, teknik catat, dan
teknik rekam.
1. Teknik Sadap
Teknik sadap digolongkan pada teknik dasar. Dikatakan demikian karena
dalam praktik penelitian sesungguhnya penyimakan itu dilakukan dengan
menyadap pemakaian bahasa dari informan.
2. Teknik Simak Bebas Libat Cakap
Pada teknik ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan
bahasa oleh para informan. Peneliti tidak berlibat langsung dalam peristiwa
pertuturan yang bahasanya sedang diteliti. Jadi, peneliti hanya menyimak dialog
yang terjadi antara informan, Mahsun (dalam Muhammad 2016: 194). Adapun
dalam teknik simak bebas libat cakap ini terdapat langkah detail lagi untuk lebih
mempermudah, yaitu peneliti membuat lembar penyimakan yang berisi kolom-
kolom tempat mencatat dan atau berisi keterangan-keterangan yang dapat
dicentang dengan cepat. Lembar penyimakan tersebut berisi:
a. Tanggal penyimakan
b. Topik pembicaraan (masalah sehari-hari atau bukan)
c. Lokasi tempat penyimakan
d. Orang yang terlibat dalam peristiwa tutur yang disimak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
e. Nama penyimak, yang disertai tempat dan tanggal
3. Teknik Catat
Teknik catat yaitu mencatat data yang dapat diperoleh dari informan pada
kartu data.
4. Teknik Rekam
(Mahsun, 2007: 132) menjelaskan bahwa teknik ini hanya dapat digunakan
pada saat penerapan teknik cakap semuka. Status teknik ini bersifat melengkapi
kegiatan penyediaan data dengan teknik catat. Maksudnya, apa yang dicatat itu
dapat dicek kembali dengan rekaman yang dihasilkan.
2. Metode Cakap (Wawancara)
Metode cakap atau dalam penelitian ilmu sosial dikenal dengan nama
metode wawancara atau interview merupakan salah satu metode yang digunakan
dalam tahap penyediaan data yang dilakukan dengan cara peneliti melakukan
percakapan atau kontak dengan penutur selaku narasumber (Mahsun, 2007: 250).
Metode ini memiliki teknik dasar berupa teknik pancing dan teknik lanjutan yaitu
teknik cakap semuka, di mana peneliti melakukan percakapan dengan cara
berhadapan langsung di suatu tempat dengan informannya. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode cakap (wawancara) untuk konfirmasi atas hasil
rekaman dan beberapa informasi untuk memperjelas data penelitian.
3.5 Instrumen Penelitian
Sugiyono (2015:305) memaparkan bahwa dalam penelitian kualitatif, yang
menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu
peneliti sebagai instrumen juga harus ‘divalidasi’ seberapa jauh peneliti kualitatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap
peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode
penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan
peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun
logistiknya. Nasution (dalam Sugiyono, 2015:306) menyatakan bahwa dalam
penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai
instrumen penelitian utama. Peneliti berusaha mencari data, mengumpulkan,
menganalisis dan mendeskripsikan sendiri data penelitiannya. Dalam
mengumpulkan data penelitian, peneliti nantinya akan dibantu dengan catatan
lapangan yang dibuat dan rekaman suara yang akan membantu peneliti
mendapatkan data lapangan.
3.6 Metode dan Analisis Data
Mahsun (2007: 253) menyatakan analisis data merupakan upaya yang
dilakukan untuk mengklasifikasi, mengelompokkan data. Pada tahap ini dilakukan
upaya mengelompokkan, menyamakan data yang sama dan membedakan data
yang memang berbeda, serta menyisihkan pada kelompok lain data serupa, tetapi
tidak sama. Dalam rangka pengklasifikasian dan pengelompokan data tentu harus
didasarkan pada apa yang menjadi tujuan penelitian.
Data memiliki dua wujud, yaitu data yang berwujud angka dan data yang
bukan angka (Anshen dalam Mahsun, 2007:254). Pada penelitian ini adalah data
yang bukan angka, dan dapat dianalisis dengan analisis kualitatif. Analisis
kualitatif berfokus pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan
penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
dalam bentuk kata-kata daripada dalam angka-angka. Adapun langkah-langkah
atau tahapan analisis datanya adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tuturan-tuturan yang mengandung variasi bahasa atau
ragam bahasa yang mengindikasikan adanya fenomena diglosia pada
percakapan para siswi dan suster pamong.
2. Mengklasifikasikan data yang telah didapat dari lapangan menurut kriteria
yang telah ditentukan. Kriteria tersebut yaitu klasifikasi ragam bahasa
menurut ahli Utorodewo dkk., (2004) Ragam bahasa diklasifikasikan
berdasarkan media pengantarnya dan situasi pemakaiannya. Selain daripada
itu, klasifikasi juga dilengkapi berdasarkan pada variasi dari segi
keformalan menurut ahli Chaer dan Agustina (2004), dan faktor yang
mempengaruhi penggunaan variasi bahasa menurut ahli Padmadewi dkk
(2014).
3. Menginterpretasikan atau pemberian makna atas temuan-temuan penelitian.
Pemaknaan tentu saja tidak terlepas dari konteks data penelitian.
4. Mendeskripsikan hasil kajian atau hasil temuan penelitian ke dalam bentuk
deskriptif.
3.7 Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu (Moleong, 1989: 195). Maka dari itu, data dan hasil
analisis data dalam penelitian fenomena diglosia pada interaksi di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta, harus ditriangulasi oleh pakar yang sesuai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
bidangnya. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini guna mencari
keterpercayaan dan keabsahan maka digunakan triangulasi sumber dan penyidik.
Triangulasi sumber dipakai untuk membandingkan data dengan hasil wawancara
lalu peneliti membandingkan data yang sudah terkumpul dengan pakar atau ahli
agar memiliki kesamaan pandangan, pendapat, dan pemikiran. Ahli yang
dimaksud adalah Bapak Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. Ahli akan melihat
bagaimana peneliti melakukan penelitian dalam hal pengumpulan data dan
analisis data, sehingga apabila terdapat kesalahan dalam penelitian, ahli dapat
memberikan masukan agar penelitian yang dilakukan berjalan baik dan lancar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV ini dipaparkan hasil-hasil penelitian tentang fenomena diglosia
pada interaksi di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta. Penyajian hasil-hasil
penelitian ini dibagi atas tiga bagian, yaitu 4.1 deskripsi data penelitian, 4.2
analisis data, dan 4.3 pembahasan.
4.1 Deskripsi Data Penelitian
Penelitian mengenai fenomena diglosia ini dilaksanakan di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta. Sumber data penelitian diperoleh dari para siswi dan
suster pamong yang tinggal di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Observasi awal dilaksanakan pada bulan Maret 2017, dan penelitian dilaksanakan
pada bulan Desember 2017. Dalam observasi awal, ditemukan fakta-fakta bahwa
para siswi dan suster pamong dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan
lebih dari satu bahasa, yaitu masing-masing terdiri dari bahasa ibu, bahasa kedua,
dan atau bahasa ketiga terlepas dari mahir dan tidaknya dalam penggunaan sehari-
hari. Penggunaan bahasa yang digunakan dalam keseharian juga tidak terlepas
dari variasi ragam bahasa. Oleh karenanya, paparan data observasi awal yang
diperoleh diindikasikan adanya fenomena diglosia dalam tuturan interaksi
komunikasi sehari-hari para siswi dan suster pamong di Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta.
Data diperoleh melalui metode simak (observasi) dan metode cakap
(wawancara). Metode simak (observasi) menggunakan teknik dasar yaitu teknik
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
sadap dan teknik lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap, teknik catat, dan
teknik rekam. Metode cakap (wawancara) menggunakan teknik dasar berupa
teknik pancing dan teknik lanjutan yaitu teknik cakap semuka (Mahsun,
2005:242). Data berupa tuturan-tuturan yang mengandung fenomena diglosia
tersebut lalu ditranskrip dan dianalisis, hingga ditemukan 40 analisis data terpilih.
Penelitian dengan judul fenomena diglosia pada interaksi di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta ini mempunyai data penelitian berupa tuturan-tuturan
yang dituturkan para siswi dan suster pamong dalam interaksi atau komunikasi
sehari-hari yang terindikasi mengandung fenomena diglosia. Data penelitian yang
terindikasi mengandung fenomena diglosia tersebut dikaji dengan teori diglosia
mengacu konsep Fishman (Chaer dan Agustina, 2004), kemudian diperinci
berdasarkan a) teori klasifikasi ragam bahasa menurut ahli Utorodewo dkk.,
(2004), dipadukan dengan teori berdasarkan variasi dari segi keformalan menurut
ahli Chaer dan Agustina (2004), dan b) faktor-faktor yang memengaruhi
penggunaan variasi bahasa menurut ahli Padmadewi dkk (2014).
Rincian simpulan dari keseluruhan 40 analisis data tersebut yaitu terdapat 5
analisis data penggunaan ragam formal (beku dan resmi), 12 analisis data
penggunaan ragam semiformal (usaha atau konsultatif), dan 23 analisis data
penggunaan ragam nonformal (santai dan akrab). Sedangkan faktor yang
memengaruhi terjadinya penggunaan variasi bahasa pada fenomena diglosia
dalam interaksi komunikasi di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta,
disebabkan oleh faktor nonlinguistik. Faktor nonlinguistik tersebut yaitu faktor
sosial dan faktor situasional. Faktor sosial mencakup perihal seperti status sosial,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, dan jenis kelamin, sementara faktor
situasional mencakup siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai masalah apa. Faktor sosial yang pertama berkaitan dengan
partisipan sebagai subjek penelitian yaitu status sosial. Status sosial masing-
masing partisipan yaitu berbeda-beda, ada yang berstatus sosial sebagai anak dari
seorang guru, ada yang berstatus sosial sebagai anak seorang pengusaha tambang,
ada yang berstatus sosial sebagai anak seorang petani dan lain sebagainya. Faktor
sosial kedua yaitu perihal tingkat pendidikan partisipan yaitu siswi SMA kelas XII
dan lulusan strata 1 bagi partisipan suster pamong. Faktor sosial yang ketiga yaitu
umur, di mana umur tiap siswi saling berdekatan berkisar di antara 15 sampai 18
tahun, sedang suster pamong berumur 51 tahun. Faktor sosial keempat yaitu jenis
kelamin seluruh partisipan yaitu perempuan. Untuk faktor situasionalnya yaitu
partisipan berbicara dengan bahasa Indonesia bahkan campuran banyak bahasa
bergantung pada konteks tuturan atau percakapan, kepada siapa, kapan, di mana,
dan topik atau masalah pembicaraan.
Faktor penyebab terjadinya variasi bahasa dikaitkan dengan situasi diglosik
di mana masyarakat tutur di Asrama Santa Angela Bantul, Yogyakarta,
merupakan masyarakat bilingual bahkan multilingual tampak adanya penggunaan
bahasa yang menampilkan variasi tinggi maupun variasi rendah. Partisipan di
Asrama Santa Angela ini yaitu para siswi dan suster pamong, di mana dalam
interaksi sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah (dominan
bahasa Jawa), dan juga tersisipi bahasa asing (bahasa Inggris) sesuai situasi dan
fungsi komunikasinya. Partisipan menggunakan atau menerapkan variasi bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
tinggi ketika dalam situasi formal atau resmi, topik yang dibahas formal,
hubungan antarpembicara dilakukan kepada orang yang lebih tua atau dihormati,
dan dalam fungsi komunikasi yang memang cenderung formalistik. Partisipan
menggunakan atau menerapkan variasi bahasa rendah ketika dalam situasi
informal atau santai, topik yang dibahas bersifat santai, digunakan sebagai lelucon
atau berkelakar, hubungan antarpembicara dilakukan kepada orang yang sudah
akrab, dan dalam fungsi komunikasi yang cenderung akrab atau santai.
Data dari penelitian ini telah melalui tahap triangulasi. Triangulasi ahli
dilakukan oleh triangulator dari dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yaitu Bapak Sony Christian
Sudarsono, S.S., M.A. Triangulasi data dilaksanakan pada Senin, 9 April 2018
dan selesai diperiksa pada Senin, 23 April 2018. Tabulasi data sebelum
ditriangulasi oleh triangulator ada 40 data dengan setiap 1 data terdapat 5 poin
analisis, jadi total analisis ada 200 poin analisis. Setelah ditriangulasi, analisis data
yang disetujui oleh triangulator yaitu 169 poin analisis dan yang tidak disetujui
ada 31 poin analisis. Hasil analisis data yang tidak disetujui oleh triangulator telah
diperbaiki peneliti berdasarkan saran triangulator, dan dilampirkan dalam
lampiran triangulasi data. Dari uraian data penelitian di atas, apabila hasil data
penelitian digambarkan dalam sebuah tampilan grafik dan diuraikan dalam bentuk
tabel, maka penampakannya adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Grafik 1 Penggunaan Ragam Bahasa
Tabel 4 Data Penggunaan Ragam Bahasa
Keterangan: F (Formal), SF (Semiformal), NF (Nonformal)
D
A
T
A
RAGAM
BAHASA
D
A
T
A
RAGAM
BAHASA
D
A
T
A
RAGAM
BAHASA
D
A
T
A
RAGAM
BAHASA
F SF NF F SF NF F SF NF F SF NF
1 11 21 31
2 12 22 32
3 13 23 33
4 14 24 34
5 15 25 35
6 16 26 36
7 17 27 37
8 18 28 38
9 19 29 39
10 20 30 40
0
5
10
15
20
25
Ragam Formal (5) Ragam Semiformal(12)
Ragam Nonformal(23)
Penggunaan Ragam Bahasa
Penggunaan Ragam Bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
4.2 Analisis Data
Pada bagian analisis data, dipaparkan data-data yang ditemukan dan
dianalisis sesuai dengan langkah atau tahapan analisis data. Dalam penelitian ini
ada empat tahap analisis data, yaitu mengidentifikasi, mengklasifikasi,
menginterpretasi, dan mendeskripsikan. Pada tahap pertama, peneliti
mengidentifikasi tuturan-tuturan yang mengandung variasi bahasa atau ragam
bahasa yang mengindikasikan adanya fenomena diglosia pada percakapan para
siswi dan suster pamong. Pada tahap kedua, peneliti mengklasifikasikan data yang
telah didapat dari lapangan menurut kriteria yang telah ditentukan. Kriteria
tersebut yaitu klasifikasi ragam bahasa menurut ahli Utorodewo dkk., (2004).
Ragam bahasa diklasifikasikan berdasarkan media pengantarnya dan situasi
pemakaiannya. Selain daripada itu, klasifikasi juga diperlengkap berdasarkan pada
variasi dari segi keformalan menurut ahli Chaer dan Agustina (2004), dan faktor
yang mempengaruhi penggunaan variasi bahasa menurut ahli Padmadewi dkk
(2014). Pada tahap ketiga, peneliti menginterpretasikan atau memberi makna atas
temuan-temuan penelitian. Pemaknaan tentu saja tidak terlepas dari konteks data
penelitian. Pada tahap terakhir tahap keempat, peneliti mendeskripsikan hasil
kajian atau hasil temuan penelitian ke dalam bentuk deskriptif.
Fenomena diglosia digambarkan oleh Wardaugh (dalam Suandi, 2014:24)
sebagai suatu situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa diberi
keleluasaan untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara proporsional.
Penelitian mengenai fenomena diglosia ini dikaji dalam studi sosiolinguistik.
Analisis data dalam penelitian ini meliputi dua bagian, yaitu a) perihal fenomena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
diglosia pada sebuah interaksi dan b) faktor yang memengaruhi terjadinya
penggunaan variasi bahasa pada sebuah interaksi. Dalam analisis data penelitian
ini, terdapat paparan awal sebelum masuk pada inti analisis data, yaitu paparan
perihal konteks yang menyertai atau komponen yang melatari sebuah peristiwa
tutur. Komponen peristiwa tutur tersebut dirumuskan oleh Dell Hymes (dalam
Chaer dan Agustina, 2004:48) meliputi setting and scene, participants, ends:
purpose and goal, act sequences, key: tone or spirit of act, instrumentalities,
norms of interaction and interpretation, dan genres. Komponen peristiwa tutur
tersebut apabila dirangkaikan menjadi sebuah akronim SPEAKING. Dalam setiap
awalan analisis data dipaparkan komponen SPEAKING tersebut. Agar
pemahaman lebih jelas mengenai hasil analisis tersebut, berikut ini dipaparkan
secara rinci perihal masing-masing aspek di atas.
4.2.1 Fenomena Diglosia pada Interaksi di Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta
Kajian perihal fenomena diglosia dalam studi sosiolinguistik cukup variatif
berdasarkan konsep ahli yang merumuskannya. Penelitian ini mendasarkan
keseluruhan analisis data fenomena diglosia berdasarkan konsep ahli Fishman.
Fishman mengembangkan konsep diglosia milik Ferguson dengan memberi
penekanan bahwa diglosia merupakan distribusi penggunaan bahasa dengan
fungsi komunikasional yang berbeda-beda, yang semata-mata terjadi bukan hanya
pada satu masyarakat bahasa yang sama, tapi juga pada situasi di mana dua atau
lebih bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda juga (Achmad Abdullah,
2012). Untuk menandai ada tidaknya diglosia pada suatu masyarakat tutur ada tiga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
syarat yang dipaparkan oleh Holmes. Syarat pertama yaitu ada dua variasi bahasa
dari satu bahasa yang sama yang digunakan dalam satu masyarakat tutur. Variasi
pertama yaitu ragam tinggi dan variasi kedua yaitu ragam rendah. Syarat kedua
yaitu kedua ragam tersebut digunakan dengan fungsi yang berbeda, tetapi saling
melengkapi. Syarat ketiga yaitu tidak seorang pun dalam masyarakat tersebut
yang menggunakan ragam tinggi dalam setiap percakapan (Achmad dan
Abdullah, 2012:166). Fenomena diglosia ditemukan dalam interaksi antara siswi
dengan siswi, siswi dengan suster pamong, suster pamong dengan siswi, dan itu
terbukti dari data percakapan berikut ini.
Data percakapan 1 Ragam Formal (Beku dan Resmi)
KFH/5/31217 (Data 5)
Siswi 14 : Ujud-ujud kita pada sore hari ini yang pertama untuk kedua orang
tua kita semoga kedua orang tua kita selalu diberi kesehatan, rezeki
yang cukup untuk membiayai kita yang ada di asrama.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14 : Untuk keempat suster kita semoga selalu diberi kesabaran untuk
mendidik kita yang ada di asrama.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14 : Untuk keran yang di asrama, semoga kita mendapatkan air yang
melimpah dan bersih serta kita bisa dengan bijaksana dalam
menggunakan.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14 : Untuk unit satu, dua, dan tiga, semoga kami selalu rukun dan damai
serta diberi kelancaran dalam belajar sehingga kami dapat
mengerjakan TAS dengan baik dan jujur dan dapat hasil yang
memuaskan.
Siswi2 : Amin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Siswi 14 : Untuk orang yang sedang sakit semoga cepat sembuh dan bisa
melakukan aktivitas seperti biasa.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14 : Untuk istri Pak Paena, Valentina Sri Handayani, semoga arwah
beliau dapat diterima di sisi Tuhan dan segala dosanya diampuni
dan keluarga yang ditinggalkan dapat diberi ketabahan.
Siswi2 : Amin.
Peristiwa tutur data 5 di atas, konteks sosial pada percakapan terjadi pada
Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.24 WIB di Aula Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta. Percakapan data 5 di atas dituturkan oleh 18 siswi kelas XII
IPA dan IPS (identitas diri dan status sosial para siswi yang menjadi partisipan
percakapan di atas dapat dilihat pada lampiran triangulasi data penelitian). Topik
pembicaraan yaitu perihal ujud doa. Situasi yang tergambar dalam peristiwa
percakapan tersebut menunjukkan situasi khidmat untuk tujuan dan maksud doa
bersama.
Analisis data 5 di atas membuktikan dalam interaksi percakapan partisipan
memperlihatkan adanya fenomena diglosia sesuai dengan ciri-ciri atau
penandanya. Data 5 telah teranalisis menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya yang menandakan ragam formal. Dari data ini terlihat seluruh
percakapan menggunakan bahasa Indonesia ragam formal, sebagai contoh pada
kutipan tuturan “Ujud-ujud kita pada sore hari ini yang pertama untuk kedua
orang tua kita semoga kedua orang tua kita selalu diberi kesehatan, rezeki yang
cukup untuk membiayai kita yang ada di asrama.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Pemakaian bahasa Indonesia ragam formal menunjukkan ragam bahasa
tinggi (T) kaitannya dengan fungsi bahasa digunakan untuk berdoa (ritual
keagamaan). Ciri yang menandai ragam formal data 5 tersebut juga berdasarkan;
topik yang sedang dibahas yaitu mengenai ujud doa, hubungan antarpembicara
yaitu sesama teman sebaya, gaya atau ragam percakapan saat pembicaraan terjadi
yaitu ragam resmi atau formal dalam situasi doa, dan penggunaan kata ganti untuk
menyebut diri sendiri dalam ragam formal menggunakan kata “saya”, serta
penggunaan imbuhan yang jelas seperti pada kata (diberi, mendidik, diterima).
Analisis data ini menyatakan bahwa tuturan para siswi saat menyampaikan ujud-
ujud doa sebagai pengantar sebelum dimulainya doa, terbukti menggunakan
bahasa Indonesia ragam formal di mana ciri atau penandanya tersebut
menunjukkan adanya suatu fenomena diglosia.
Data percakapan 2 Ragam Formal (Beku dan Resmi)
KFH/6/31217 (Data 6)
Siswi 9 : Doa akan saya pimpin. Marilah berdoa. Dalam nama Bapa dan Putera
dan Roh kudus, amin. Bapa yang Maha rahim dan kekal, lewat
puteraMu sang raja kerahiman, kami bersyukur dan berterima kasih
atas berkat dan perlindunganMu, kami Kau kepadaMu. Kami datang
dalam ketakberdayaan, lemah, namun dengan keyakinan dan tulus,
kami datang berdoa membawa intensi doa dengan harapan Engkau
bersihkan hati kami. Ampunilah keberadaan kami yang tidak layak ini.
Kami percaya bahwa Engkau tak memperhitungkan dosa-dosa kami
melainkan Engkau senantiasa menerima dengan penuh cinta. Doa ini
kami persembahkan dengan perantaraan Yesus juru selamat kami,
amin.
Siswi 3 : Marilah kita mendoakan doa jam kerahiman halaman empat belas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Siswi2 : Ya Yesus Engkau telah wafat, namun sumber kehidupan telah memancar
bagi jiwa-jiwa dan terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia.
Oh sumber kehidupan, Kerahiman Ilahi yang tidak terselami, naungilah
segenap dunia dan curahkan diriMu pada kami, Tuhan yang Maha
rahim . . . . .. . Demi sengsaraMu yang pedih kami mohon ya Tuhan . . .
Peristiwa tutur data 6 di atas, konteks sosial pada percakapan terjadi pada
Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.34 WIB di Aula Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta dengan topik doa. Percakapan data 6 di atas dituturkan oleh
18 siswi kelas XII IPA dan IPS (identitas diri dan status sosial para siswi yang
menjadi partisipan percakapan di atas dapat dilihat pada lampiran triangulasi data
penelitian). Situasi yang tergambar dalam peristiwa percakapan tersebut
menunjukkan situasi khidmat untuk tujuan dan maksud doa bersama.
Analisis data 6 di atas membuktikan dalam interaksi percakapan partisipan
memperlihatkan adanya fenomena diglosia sesuai dengan ciri-ciri atau
penandanya. Data 6 telah teranalisis menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya yang menandakan ragam formal. Dari data ini terlihat percakapan
menggunakan bahasa Indonesia ragam formal yang digunakan dalam pengantar
atau ajakan doa (bukti pada tuturan: “Marilah kita mendoakan doa jam kerahiman
halaman empat belas.”), dan bahasa Indonesia ragam formal beku yang
digunakan dalam doa rumusan doa jam kerahiman (bukti pada tuturan “Ya Yesus
Engkau telah wafat, namun sumber kehidupan telah memancar bagi jiwa-jiwa
dan terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia. Oh sumber kehidupan,
Kerahiman Ilahi yang tidak terselami, naungilah segenap dunia dan curahkan
diriMu pada kami, ...”).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pemakaian bahasa Indonesia ragam formal menunjukkan ragam bahasa
tinggi (T) kaitannya dengan fungsi bahasa digunakan untuk berdoa (ritual
keagamaan). Ciri yang menandai ragam formal data 6 tersebut juga berdasarkan;
topik yang sedang dibahas yaitu mengenai doa, hubungan antarpembicara yaitu
sesama teman sebaya, gaya atau ragam percakapan saat pembicaraan terjadi yaitu
ragam resmi atau formal dalam situasi berdoa, penggunaan kata ganti untuk
menyebut diri sendiri dalam ragam formal menggunakan kata “saya”, dan
penggunaan imbuhan yang jelas seperti pada kata (berdoa, menerima). Analisis
data ini menyatakan bahwa tuturan para siswi saat mendaraskan doa jenis doa
rumusan menggunakan variasi dari segi keformalan ragam beku (frozen),
sedangkan doa biasa atau doa spontan dan juga pengantar doa menggunakan
ragam resmi (formal). Beberapa analisis serupa mengenai penggunaan ragam
formal (beku dan resmi) yang lainnya yaitu data 7, data 18, dan data 39 sama.
Data percakapan 3 Ragam Semiformal (Usaha atau Konsultatif)
KFH/8/31217 (Data 8)
Suster : Jam sepuluh sampai jam dua belas kalian jam bebas. Jam empat. Siapa
yang belajar mulai tet jam empat?
Siswi 13 : Saya.
Suster : Siapa yang lewat?
Siswi 16 : Lewat bagaimana maksudnya, Suster?
Suster : Lewat jam empat maksute. Siapa yang sebelum jam empat belajar
sudah belajar?
Siswi 11 : Hayo hayo hayo hayo...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Peristiwa tutur data 8 di atas, konteks sosial pada percakapan terjadi pada
Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.42 WIB di Aula Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta. Percakapan data 8 di atas dituturkan oleh 3 siswi kelas XII
IPA dan 1 suster pamong (identitas diri dan status sosial para siswi dan suster
pamong yang menjadi partisipan percakapan di atas dapat dilihat pada lampiran
triangulasi data penelitian). Situasi yang tergambar dalam peristiwa percakapan
tersebut menunjukkan situasi semiformal untuk tujuan dan maksud evaluasi rutin
mingguan seusai doa dengan topik jam belajar.
Analisis data 8 di atas membuktikan dalam interaksi percakapan partisipan
memperlihatkan adanya fenomena diglosia sesuai dengan ciri-ciri atau
penandanya. Data 8 telah teranalisis menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya yang menandakan ragam semiformal. Dari data percakapan ini
terlihat adanya pemakaian ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Jawa ragam
nonformal (bukti pada kata “maksudte”) dan bahasa Indonesia ragam nonformal
(bukti pada tuturan “Siapa yang belajar mulai tet jam empat?) Menurut ragam
bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya keduanya menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal). Ciri
yang menandai ragam semiformal data 8 tersebut juga berdasarkan; topik yang
sedang dibahas yaitu mengenai jam belajar, hubungan antarpembicara yaitu
sesama teman sebaya, gaya atau ragam percakapan saat pembicaraan terjadi yaitu
ragam usaha atau konsultatif dalam situasi semiformal saat evaluasi atau renungan
berlangsung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Gaya atau ragam percakapannya adalah ragam usaha (konsultatif) karena
pada peristiwa interaksi tersebut berorientasi pada perbaikan bersama untuk
seluruh penghuni asrama dalam wadah evaluasi. Penanda ragam semiformal yang
lain yaitu tampak pada penggunaan kata sapaan, kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan menggunakan kata sapaan “suster” (bukti pada
tuturan: “Lewat bagaimana maksudnya, suster?”), penggunaan kata ganti dalam
ragam semiformal untuk menyebut diri menggunakan kata “aku”, penggunaan
kata tertentu seperti kata (maksute, hayo), dan penggunaan bentuk penekan seperti
(tet). Analisis data ini menyatakan bahwa tuturan para siswi saat melaksanakan
evaluasi atau renungan bersama seusai doa, terbukti menggunakan ragam
semiformal, yaitu situasi pemakaian ragam yang tidak terlalu formal maupun
tidak pula terlalu nonformal di mana ciri atau penandanya tersebut menunjukkan
adanya suatu fenomena diglosia.
Data percakapan 4 Ragam Semiformal (Usaha atau Konsultatif)
KFH/9/31217 (Data 9)
Suster : Tadi, dikatakan bahwa, opo tadi? Yesus datang menjemput kita itu kita
tidak tahu waktuNya. Hari ini ada berita duka, yaa.. Istrinya Pak Andre,
Paena Andreas tadi, dengarkan! Saya sama suster Yusta tadi bertemu
maksudnya mau menengok . . . . sebelum meninggal . . . karena paling
masih sakit gitu ya . . . . lalu sampai sana kami tanya ruangannya
dimana, trus ditunjukkan . . . di sana suster, di sana mana . . . , di ruang
jenazah, lha kami kan kaget, kok di ruang jenazah, padahal kemarin. . .
baru dengar ... ya maksudnya ya .... gak taunya tadi tadi siang itu pas
Pak Andre, dua anaknya itu duduk-duduk di bawah . . . . kok sudah gak
bernapas lagi, jadi kita tidak tahu kapan Tuhan datang menjemput kita.
Entah itu mboh jik cilik, SMA, SMP, atau dah kuliah kita gak tahu . . . . .
. . . . Lalu sampai sana sudah dimandikan trus dimasukkan peti . . . . . .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lha pentingnya kita berdoa untuk orang meninggal, karena orang
meninggal itu sudah tidak bisa apa-apa. Tidak bisa menolong dirinya,
tidak bisa untuk meminta maaf lagi, sudah tidak bisa. Karena yang bisa
membantu adalah kita-kita yang masih . . . . . . . . Siapa yang punya
saudara sudah meninggal? . . . . didoakan setiap hari . . . . . karena yang
bisa menolong orang yang sudah meninggal misalnya masih di api
pencucian itu adalah orang-orang yang masih hidup. Maka pentingnya .
. . . . . orang Katolik itu ada kehidupan kekal. Siapa yang pengen masuk
hidup kekal? . . . . .
Siswi 4: Sayaa..
Siswi 5: Masuk ngendi kui?
Suster: Tahu jalannya?
Siswi 4: Aku tau. Tapi masih mencong.
Siswi 5: Masih mencong Suster.
Peristiwa tutur data 9 di atas, konteks sosial pada percakapan terjadi pada
Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.55 WIB di Aula Asrama Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta. Percakapan data 9 di atas dituturkan oleh 2 siswi kelas XII
IPS dan 1 suster pamong (identitas diri dan status sosial siswi dan suster pamong
yang menjadi partisipan percakapan di atas dapat dilihat pada lampiran triangulasi
data penelitian). Situasi yang tergambar dalam peristiwa percakapan tersebut
menunjukkan situasi semiformal untuk tujuan dan maksud evaluasi dan renungan
seusai doa dengan topik pentingnya berjaga-jaga.
Analisis data 9 di atas membuktikan dalam interaksi percakapan partisipan
memperlihatkan adanya fenomena diglosia sesuai dengan ciri-ciri atau
penandanya. Data 9 telah teranalisis menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya yang menandakan ragam semiformal. Dari data percakapan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
terlihat adanya pemakaian dua ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Jawa ragam
nonformal (bukti pada kata “ngendi”, “mboh”, “cilik”) dan lainnya bahasa
Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan “Aku tau. Tapi masih mencong.”.)
Apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya keduanya
menunjukkan ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak
pula terlalu nonformal). Ciri yang menandai ragam semiformal data 9 tersebut
juga berdasarkan; topik yang sedang dibahas yaitu mengenai pentingnya berjaga-
jaga, hubungan antarpembicara yaitu teman sesama teman, siswi terhadap suster
pamong, dan suster pamong terhadap siswi, gaya atau ragam percakapan saat
pembicaraan terjadi yaitu ragam usaha atau konsultatif dalam situasi semiformal
saat evaluasi dan renungan berlangsung. Gaya atau ragam percakapannya adalah
ragam usaha (konsultatif) karena pada peristiwa interaksi tersebut berorientasi
pada perbaikan bersama untuk seluruh penghuni asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
Penanda ragam semiformal yang lain yaitu tampak pada penggunaan kata
sapaan, kepada orang yang dihormati, menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata sapaan “suster” (bukti kata sapaan pada tuturan: “Masih
mencong Suster”), penggunaan kata ganti dalam ragam semiformal untuk
menyebut diri menggunakan kata “aku”, penggunaan kata tertentu seperti (gak,
pengen, opo, gitu, trus, pas, mboh, cilik, dah, ngendi, mencong), dan penggunaan
bentuk penekan seperti (kok, lha, kan, itu, jik, kui). Analisis data ini menyatakan
bahwa tuturan para siswi saat melaksanakan evaluasi dan renungan bersama
seusai doa, terbukti menggunakan ragam semiformal, yaitu situasi pemakaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
ragam yang tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal di mana ciri
atau penandanya tersebut menunjukkan adanya suatu fenomena diglosia.
Beberapa analisis serupa mengenai penggunaan ragam semiformal (usaha atau
konsultatif) yang lainnya yaitu data 10, data 11, data 12, data 13, data 14, data 15,
data 16, data 17, data 24, dan data 26 sama.
Data percakapan 5 Ragam Nonformal (Santai dan Akrab)
KFH/2/31217 (Data 2)
Siswi 18 : Ini jam apa ini, bukan jam belajar tipu-tipu saja.
Siswi 1 : Kowe toh mesti ditegur hahahahahaha.
Siswi 18 : Masak, masak, suster Cornel kira aku gak belajar tuh. Gak belajar trus
aku pergi mandi. Ini aku belajar lagi.
Siswi 1 : Kau sebenarnya punya WA gak sih. Ini suster. Gene. Cepat kamu WA
suster cepat! Biar suster itu gak WA suster. Hahaha.
Siswi 12 : WA suster cornel tu gak dibales-bales.
Siswi 5 : Wa nya suster Cornel tu yang mana sih? Tiga sendiri lho di hpku.
Siswi 6 : Ho’o po? Lha nomer e ki sakjane sing endi sih?
Siswi 7 : Biasanya tu udah gak dipakai trus kayak gitu deh.
Siswi 6 : Berarti aku tahu dong. Gue tahu yang bunga-bunga itu.
Siswi 7 : Enggak itu udah gak dipake.
Siswi 6 : Yah itu udah gak dipake. Yah padahal lho bunga-bunga hahaha.
Siswi 1 : Trus suster bilang begini, yah sih sini kasih nomor orang tuamu.
Peristiwa tutur data 2 di atas, konteks sosial pada percakapan terjadi pada
Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 16.29 WIB di ruang belajar Asrama Santa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Angela, Bantul, Yogyakarta. Percakapan data 2 di atas dituturkan oleh 6 siswi
kelas XII IPA dan IPS (identitas diri dan status sosial para siswi yang menjadi
partisipan percakapan di atas dapat dilihat pada lampiran triangulasi data
penelitian). Situasi yang tergambar dalam peristiwa percakapan tersebut
menunjukkan situasi nonformal untuk tujuan dan maksud belajar sore dengan
topik perbincangan santai mengenai nomor whatsapp Suster Cornel.
Analisis data 2 di atas membuktikan bahwa dalam interaksi percakapan
partisipan memperlihatkan adanya fenomena diglosia sesuai dengan ciri-ciri atau
penandanya. Data 2 telah teranalisis menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya yang menandakan ragam nonformal. Dari data percakapan ini
terlihat adanya pemakaian dua ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam
nonformal (bukti pada tuturan: “Biasanya tu udah gak dipakai trus kayak gitu
deh”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan “Ho’o po? Lha
nomer e ki sakjane sing endi sih?”). Ciri yang menandai ragam nonformal data 2
tersebut juga berdasarkan; topik yang sedang dibahas yaitu mengenai nomor
whatsapp, hubungan antarpembicara yaitu sesama teman sebaya, gaya atau ragam
percakapan saat pembicaraan terjadi yaitu ragam santai atau kasual dalam situasi
santai atau nonformal saat belajar sore.
Penanda ragam nonformal yang lain yaitu tampak pada penggunaan kata
sapaan untuk menyapa teman cukup menyebut namanya atau menggunakan
bahasa daerah (bukti pada kata sapaan: “kowe”), penggunaan kata ganti dalam
ragam nonformal untuk menyebut diri menggunakan kata “gue”, penggunaan kata
tertentu seperti (enggak, gak, masak, gene, bales, nomer, sakjane, endi, kayak,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
udah, mesthi, bilang, endi, kayak), dan penggunaan bentuk penekan seperti (sih,
tuh, tu, lho, ho’o, lha, deh, dong, yah, toh). Analisis data ini menyatakan bahwa
tuturan para siswi saat belajar sore santai, terbukti menggunakan bahasa Indonesia
ragam nonformal dan bahasa Jawa ragam nonformal di mana ciri atau penandanya
tersebut menunjukkan adanya suatu fenomena diglosia.
Data percakapan 6 Ragam Nonformal (Santai dan Akrab)
KFH/3/31217 (Data 3)
Siswi 7 : Sari itu lagunya siapa tu?
Siswi 8 : Hmmm.
Siswi 7 : Sar, sumpah kuping. Krungu ra sih?
Siswi 8 : Apa sih. Lagi asik nonton ini tuh. Hih.
Siswi 7 : Boleh minta ada film tho?
Siswi 8 : Ini streaming.
Siswi 7 : Streaming kan ada film.
Siswi 8 : Film kau putar sendiri! Download lah sendiri di hp kau tu!
Siswi 7 : Pelit.
Siswi 8 : Kuota gue limited odong.
Siswi 7 : Ya, ya. Ya wis.
Peristiwa tutur data 3 di atas, konteks sosial pada percakapan terjadi pada
Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 16.39 WIB di ruang belajar Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta. Percakapan data 3 di atas dituturkan oleh 2 siswi
kelas XII IPA (identitas diri dan status sosial siswi yang menjadi partisipan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
percakapan di atas dapat dilihat pada lampiran triangulasi data penelitian). Situasi
yang tergambar dalam peristiwa percakapan tersebut menunjukkan situasi
nonformal untuk tujuan dan maksud belajar sore dengan topik perbincangan santai
mengenai film.
Analisis data 3 di atas membuktikan bahwa dalam interaksi percakapan
partisipan memperlihatkan adanya fenomena diglosia sesuai dengan ciri-ciri atau
penandanya. Data 3 telah teranalisis menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya yang menandakan ragam nonformal. Dari data percakapan ini
terlihat adanya pemakaian tiga ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam
nonformal (bukti pada tuturan: “Apa sih. Lagi asik nonton ini tuh. Hih.”), bahasa
Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Sar, sumpah kuping. Krungu ra
sih?”, “Ya, ya. Ya wis”), dan bahasa Inggris (bukti pada kata: “streaming”,
“download”, “limited”). Ciri yang menandai ragam nonformal data 3 tersebut juga
berdasarkan; topik yang sedang dibahas yaitu mengenai film, hubungan
antarpembicara yaitu sesama teman sebaya, gaya atau ragam percakapan saat
pembicaraan terjadi yaitu ragam santai atau kasual dalam situasi santai atau
nonformal saat belajar sore.
Penanda ragam nonformal yang lain yaitu tampak pada penggunaan kata
sapaan untuk menyapa teman cukup menyebut namanya atau menggunakan
bahasa daerah (bukti pada kata sapaan: “Sari”, “Kau”, “odong”), penggunaan kata
ganti dalam ragam nonformal untuk menyebut diri menggunakan kata “gue”,
penggunaan kata tertentu seperti (krungu, kuping, nonton), dan penggunaan
bentuk penekan seperti (sih, tu, tho, tuh). Analisis data ini menyatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
tuturan para siswi saat belajar sore santai, terbukti menggunakan bahasa Indonesia
ragam nonformal, bahasa Jawa ragam nonformal, dan bahasa Inggris di mana ciri
atau penandanya tersebut menunjukkan adanya suatu fenomena diglosia.
Beberapa analisis serupa mengenai penggunaan ragam nonformal (santai dan
akrab) yang lainnya yaitu data 1, data 4, data 19, data 20, data 21, data 22, data
23, data 25, data 27, data 28, data 29, data 30, data 31, data 32, data 33, data 34,
data 35, data 36, data 37, data 38 dan data 40 sama.
4.2.2 Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Penggunaan Variasi Bahasa
pada Interaksi Sehari-hari di Asrama Siswi Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta
Menurut kacamata sosiolinguistik, bahasa tidak hanya dilihat sebagai gejala
individu, melainkan juga sebagai gejala sosial. Sebagai gejala sosial, maka bahasa
dan pemakaian bahasa tidak bisa hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik
saja, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Padmadewi dkk., (2014:7)
menerangkan faktor-faktor nonlinguistik yang memengaruhi terjadinya
penggunaan variasi bahasa atau pemakaian bahasa tersebut yaitu 1) faktor-faktor
sosial seperti status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin, dan sebagainya, 2) faktor-faktor situasional seperti siapa berbicara
dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Faktor penyebab terjadinya variasi bahasa dikaitkan dengan situasi diglosik
di mana masyarakat tutur di Asrama Santa Angela Bantul, Yogyakarta,
merupakan masyarakat bilingual bahkan multilingual tampak adanya penggunaan
bahasa yang menampilkan variasi tinggi maupun variasi rendah. Partisipan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Asrama Santa Angela ini yaitu para siswi dan suster pamong, di mana dalam
interaksi sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah (dominan
bahasa Jawa), dan juga tersisipi bahasa asing (bahasa Inggris) sesuai situasi dan
fungsi komunikasinya. Partisipan menggunakan atau menerapkan variasi bahasa
tinggi ketika dalam situasi formal atau resmi, topik yang dibahas formal,
hubungan antarpembicara dilakukan kepada orang yang lebih tua atau dihormati,
dan dalam fungsi komunikasi yang memang cenderung formalistik. Partisipan
menggunakan atau menerapkan variasi bahasa rendah ketika dalam situasi
informal atau santai, topik yang dibahas bersifat santai, digunakan sebagai lelucon
atau berkelakar, hubungan antarpembicara dilakukan kepada orang yang sudah
akrab, dan dalam fungsi komunikasi yang cenderung akrab atau santai. Berikut ini
dipaparkan contoh data penelitian yang telah dianalisis berdasarkan faktor-faktor
sosial dan faktor-faktor situasional.
Tabel 5. Analisis Data 2 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor Sosial)
Data Analisis Faktor Sosial
KFH/2/31217 (Data 2)
Faktor terjadinya penggunaan variasi bahasa yaitu
faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di antaranya;
a1). status sosial; siswi 18 anak pegawai pemerintah
daerah, siswi 1 anak petani kelapa sawit, siswi 12
anak pegawai rumah sakit, siswi 5 anak guru, siswi 6
anak pengrajin kayu, siswi 7 anak petani.
a2). tingkat pendidikan; siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 18 (16 tahun), siswi 1 (18 tahun),
siswi 12 (18 tahun), siswi 5 (17 tahun), siswi 6 (17
tahun), siswi 7 (17 tahun).
a4). jenis kelamin; perempuan.
Analisis pada KFH/2/31217 (data 2) ini memaparkan bahwa faktor
penyebab variasi bahasa berdasarkan analisis faktor-faktor sosial yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
menunjukkan adanya status sosial para partisipan yang terlibat pada percakapan
data KFH/2/31217 (data 2). Pada data tersebut status sosial tiap partisipan
bermacam-macam, terlihat siswi 18 berstatuskan sosial anak seorang pegawai
pemerintah daerah, siswi 1 berstatus sosial anak seorang petani kelapa sawit, siswi
12 berstatus sosial anak seorang pegawai rumah sakit, siswi 5 berstaus sosial anak
seorang guru, siswi 6 berstatus sosial anak seorang pengrajin kayu, dan siswi 7
berstatus sosial anak seorang petani. Selain status sosial, faktor sosial berikutnya
yaitu tingkat pendidikan, di mana partisipan tingkat pendidikannya sama yaitu
sebagai siswi sekolah menengah atas kelas XII. Berikutnya adalah faktor umur,
siswi 18 berumur 16 tahun, siswi 1 umur 18 tahun, siswi 12 umur 18 tahun, siswi
5 umur 17 tahun, siswi 6 umur 17 tahun, dan siswi 7 umur 17 tahun. Faktor
terakhir yaitu jenis kelamin, di mana semua partisipan berjenis kelamin
perempuan.
Faktor yang memengaruhi terjadinya fenomena diglosia pada percakapan ini
tampak karena penggunaan variasi bahasa atau ragam bahasa rendah. Penggunaan
variasi ragam rendah pada percakapan ini dipakai partisipan karena berada dalam
situasi informal atau santai. Topik yang dibahas dalam percakapan juga bersifat
perbincangan santai yang disertai dengan berbagai ekspresi candaan atau lelucon
para partisipannya. Percakapan hangat ini terjadi karena hubungan antarpembicara
yang sudah dekat atau akrab yaitu hubungan sesama teman sebaya.
Tabel 6. Analisis Data 3 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor Sosial)
Data Analisis Faktor Penyebab Variasi Bahasa
KFH/3/31217 (Data 3) Faktor terjadinya penggunaan variasi bahasa yaitu
faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
a). faktor-faktor sosial, di antaranya;
a1). status sosial; siswi 7 anak petani, siswi 8 anak
petani.
a2). tingkat pendidikan; siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 7 (17 tahun), siswi 8 (17 tahun).
a4). jenis kelamin; perempuan.
Analisis pada KFH/3/31217 (data 3) ini memaparkan bahwa faktor
penyebab variasi bahasa berdasarkan analisis faktor-faktor sosial yaitu
menunjukkan adanya status sosial para partisipan yang terlibat pada percakapan
data KFH/3/31217 (data 3). Pada data tersebut status sosial partisipan terlihat
siswi 7 berstatuskan sosial anak seorang petani dan siswi 8 berstatus sosial anak
seorang petani juga. Selain status sosial, faktor sosial berikutnya yaitu tingkat
pendidikan, di mana partisipan tingkat pendidikannya sama yaitu sebagai siswi
sekolah menengah atas kelas XII. Berikutnya adalah faktor umur, siswi 7 berumur
17 tahun dan siswi 8 umur 17 tahun. Faktor terakhir yaitu jenis kelamin, di mana
semua partisipan berjenis kelamin perempuan.
Faktor yang memengaruhi terjadinya fenomena diglosia pada percakapan ini
tampak karena penggunaan variasi bahasa atau ragam bahasa rendah. Penggunaan
variasi ragam rendah pada percakapan ini dipakai partisipan karena berada dalam
situasi informal atau santai. Topik yang dibahas dalam percakapan juga bersifat
perbincangan santai. Percakapan hangat ini terjadi karena hubungan
antarpembicara yang sudah dekat atau akrab yaitu hubungan sesama teman
sebaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Tabel 7. Analisis Data 2 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor
Situasional)
Data Analisis Faktor Situasional
KFH/2/31217 (Data 2)
Faktor terjadinya penggunaan variasi bahasa yaitu
faktor nonlinguistik:
b). faktor situasional; siapa berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia nonformal dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa nonformal sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta pada Minggu, 3
Desember 2017 pukul 16.29 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para siswi yang sedang belajar sore
dan terlibat percakapan dalam situasi santai.
Analisis pada KFH/2/31217 (data 2) ini memaparkan bahwa faktor
penyebab variasi bahasa berdasarkan analisis faktor situasional yaitu siapa
berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan menganai
masalah apa. Pada percakapan data KFH/2/31217 (data 2) ini memperlihatkan
bahwa partisipan berbicara dengan bahasa Indonesia nonformal dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa nonformal sesuai fungsinya. Siswi berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya interaksi di ruang belajar Asrama Siswi Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu, 3 Desember 2017 pukul 16.29 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para siswi sedang belajar sore dan terlibat percakapan dalam
situasi santai.
Tabel 8. Analisis Data 3 Faktor Penyebab Variasi Bahasa (Faktor
Situasional)
Data Analisis Faktor Situasional
KFH/3/31217 (Data 3) Faktor terjadinya penggunaan variasi bahasa yaitu
faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
b). faktor situasional; siapa berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia nonformal, bahasa daerah dominan
bahasa Jawa nonformal, dan bahasa Inggris sesuai
fungsinya, siswi berbicara kepada siswi. Tempat
terjadinya interaksi di ruang belajar Asrama Siswi
Santa Angela, Bantul, Yogyakarta pada Minggu, 3
Desember 2017 pukul 16.39 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para siswi yang sedang belajar sore
dan terlibat percakapan dalam situasi santai.
Analisis pada KFH/3/31217 (data 3) ini memaparkan bahwa faktor
penyebab variasi bahasa berdasarkan analisis faktor situasional yaitu siapa
berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan menganai
masalah apa. Pada percakapan data KFH/3/31217 (data 3) ini memperlihatkan
bahwa partisipan berbicara dengan bahasa Indonesia nonformal, bahasa daerah
dominan bahasa Jawa nonformal, dan bahasa Inggris sesuai fungsinya. Siswi
berbicara kepada siswi. Tempat terjadinya interaksi di ruang belajar Asrama Siswi
Santa Angela, Bantul, Yogyakarta pada Minggu, 3 Desember 2017 pukul 16.39
WIB. Kegiatan yang dilakukan adalah para siswi sedang belajar sore dan terlibat
percakapan dalam situasi santai. Analisis data penelitian yang lainnya berdasarkan
faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bahasanya, seperti analisis faktor-
faktor sosial dan analisis faktor situasional dapat dilihat pada lampiran data
triangulasi.
4.3 Pembahasan
Pada bagian pembahasan ini disampaikan temuan data-data hasil penelitian
yang dibandingkan dengan hasil temuan penelitian terdahulu, selain itu
disampaikan pula temuan data hasil penelitian yang disesuaikan dengan teori yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
dianut di bab 2. Penelitian yang berjudul “Fenomena Diglosia pada Interaksi di
Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta” bertujuan untuk mendeskripsikan
fenomena diglosia yang terjadi dan didapati pada interaksi sehari-hari para
anggota masyarakat tutur (para siswi dan suster pamong) yang tinggal di Asrama
Santa Angela, Bantul, Yogyakarta, serta bertujuan mendeskripsikan faktor-faktor
yang menyebabkan penggunaan variasi bahasa dalam lingkup asrama. Peneliti
menemukan bahwa terdapat fenomena diglosia yang terbukti dengan adanya
berbagai ragam bahasa, yaitu ragam formal (beku dan resmi), ragam semiformal
(usaha), dan ragam nonformal (santai dan akrab). Dalam melakukan penelitian,
peneliti menggunakan acuan teori sosiolinguistik secara umum, lalu menggunakan
teori digosia berdasarkan konsep ahli Fishman (Chaer dan Agustina, 2004),
kemudian dipadukan dengan teori klasifikasi ragam bahasa berdasarkan media
pengantar dan situasi pemakaiannya menurut ahli Utorodewo dkk., (2004) yang di
dalamnya dilengkapi dengan teori variasi dari segi keformalan menurut ahli Chaer
dan Agustina (2004), dan teori faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan
variasi bahasa menurut ahli Padmadewi dkk (2014). Sasaran dalam penelitian ini
adalah tuturan sehari-hari para siswi dan suster pamong yang mengandung variasi
atau ragam bahasa yang diindikasi mengandung fenomena diglosia pada interaski
di asrama.
Peneliti mengangkat fenomena diglosia sebagai topik penelitian karena
penelitian ini masih jarang diteliti di Indonesia dan di kalangan akademikus
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Pemilihan tempat penelitian beserta subjek penelitiannya pun dirasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
peneliti sebagai sumber temuan fenomena diglosia berhubungan dengan subjek
penelitian yang masing-masing berasal dari berbagai daerah dengan kekayaan
bahasa ibu dan kemampuan bahasa kedua dan atau bahasa ketiganya yang
berbeda-beda. Hasil temuan dari penelitian ini yaitu fenomena diglosia ditemukan
dalam interaksi di asrama antara siswi dengan siswi, siswi dengan suster pamong,
dan suster pamong dengan siswi. Fenomena diglosia tersebut terbukti dengan
adanya tiga ragam percakapan yang digunakan. Tiga ragam tersebut di antaranya
yaitu ragam formal (beku dan resmi), ragam semiformal (usaha atau konsultatif),
dan ragam nonformal (santai dan akrab).
Temuan pada penelitian ini yang menyatakan adanya fenomena diglosia
dalam interaksi para siswi dan suster pamong di asrama tersebut ternyata relevan
dengan temuan penelitian-penelitian terdahulu yang diacu peneliti dalam
penelitian skripsi ini. Penelitian terdahulu yang diacu peneliti ada tiga penelitian
terdahulu yang relevan. Penelitian tersebut yaitu tesis berjudul “Fenomena
Diglosia dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun di Kota
Pematangsiantar” yang ditulis oleh Sigiro (2009), Program Studi Linguistik,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Hasil temuan dari
penelitian Sigiro ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya
multibahasawan dan menggunakan beberapa bahasa secara “bebas”. Responden
menguasai lebih dari satu bahasa dan menerapkan bahasa tersebut dalam ranah-
ranah tertentu sehingga fenomena diglosia terlihat cukup kuat.
Penelitian terdahulu kedua yang diacu peneliti yaitu skripsi berjudul Situasi
Diglosia Penutur Bahasa Khek Peranakan di Kuto Panji Belinyu (Tinjauan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Sosiolingustik), ditulis oleh Filika (1995), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Hasil dari penelitian saudari Filika ini juga mencakup bahasan
mengenai diglosia dan fungsi bahasanya yang cukup relevan dengan penelitian
peneliti saat ini. Penelitian terdahulu yang ketiga sekaligus menjadi acuan terakhir
peneliti yaitu artikel jurnal yang ditulis oleh Agustina dan Zulkifli, Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Brigjend H. Hasan Basry, Kampus Kayutangi, Banjarmasin,
dengan judul Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan
Tengah Kabupaten Katingan Kalteng. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
bahasa yang digunakan dan untuk mengetahui situasi diglosia pada penutur
bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng.
Di samping penjelasan di atas, dalam penelitian ini peneliti juga ingin
mengetahui bagaimana keanekaragaman bahasa para penutur di asrama ini benar-
benar hidup digunakan dalam interaksi sehari-hari. Untuk mencapai tujuan
tersebut, peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan metode simak
(observasi) dan metode cakap (wawancara) (Mahsun, 2005). Metode simak
menggunakan teknik dasar yaitu teknik sadap dan teknik lanjutan yaitu teknik
simak bebas libat cakap, teknik catat, dan teknik rekam. Metode cakap
(wawancara) menggunakan teknik dasar berupa teknik pancing dan teknik
lanjutan yaitu teknik cakap semuka. Berdasarkan metode dan teknik pengumpulan
data tersebut diharapkan mampu menghasilkan data yang berkualitas dan akurat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini dipaparkan dua hal, yaitu simpulan dan saran. Simpulan terkait
dengan hasil-hasil penelitian dalam menjawab masalah dan tujuan penelitian.
Saran terkait dengan implikasi lebih lanjut hasil-hasil penelitian ini baik pada
secara teoretis maupun secara praktis. Berikut pemaparan dari kedua hal tersebut.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap penelitian
Fenomena Diglosia pada Interaksi di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta,
peneliti dapat mengambil simpulan sebagai berikut.
1) Masyarakat tutur di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta, yang
terdiri dari berbagai suku dan asal daerah yang terdapat di Indonesia telah
berbaur menjadi satu dan saling berinteraksi satu sama lain dalam
kesehariannya. Dalam interaksi sehari-hari tersebut ternyata tuturan-
tuturan yang dituturkan para siswi dan suster pamongnya mencerminkan
fenomena diglosia. Fenomena diglosia tersebut terlihat dalam penggunaan
ragam bahasa dalam tuturan atau percakapan siswi dan suster pamong.
Ragam bahasa yang terjadi dalam setiap percakapan terdiri dari ragam
bahasa formal (beku dan resmi), ragam bahasa semiformal (usaha), dan
ragam bahasa nonformal (santai dan akrab). Pada bagian deskripsi data
dan analisis data telah dipaparkan bahwa berdasarkan media pengantarnya
percakapan yang dilakukan para siswi dan suster pamong termasuk dalam
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
ragam lisan, sedangkan berdasarkan situasi pemakaiannya terpapar 5
penggunaan ragam formal (beku dan resmi), 12 penggunaan ragam
semiformal (usaha), dan 23 penggunaan ragam nonformal (santai dan
akrab).
Penggunaan ragam bahasa dalam interaksi lantas dipadukan antara
teori ragam bahasa menurut Utorodewo dkk., (2004) dengan teori milik
Chaer dan Agustina (2004) untuk menentukan formula yang tepat untuk
menganalisis data penelutian. Ragam tersebut yaitu menjadi ragam formal
(beku dan resmi), ragam semiformal (usaha atau konsultatif), dan ragam
nonformal (santai dan akrab). 5 penggunaan ragam formal terdapat pada
data 5, data 6, data 7, data 18, dan data 39. Penggunaan ragam semiformal
terdapat pada data 8, data 9, data 10, data 11, data 12, data 13, data 14,
data 15, data 16, data 17, data 24, dan data 26. Penggunaan ragam
nonformal terdapat pada data 1, data 2, data 3, data 4, data 19, data 20,
data 21, data 22, data 23, data 25, data 27, data 28, data 29, data 30, data
31, data 32, data 33, data 34, data 35, data 36, data 37, data 38, dan data
40.
2) Penggunaan variasi bahasa yang terjadi di Asrama Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta tidak terlepas dari faktor-faktor yang memengaruhi
penggunaan variasi bahasa tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain
yaitu faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial meliputi status
sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
sebagainya. Faktor situasional meliputi siapa berbicara dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
5.2 Saran
Pada bagian ini disampaikan saran-saran berkaitan dengan implikasi lebih
lanjut dari temuan-temuan penelitian. Implikasi tersebut berkaitan dengan hal
yang bersifat teoretis maupun praktis. Hal tersebut meliputi (1) pengembangan
bidang kajian sosiolinguistik, (2) penelitian lanjutan, (3) bahan pembelajaran
kajian sosiolinguistik.
5.2.1 Pengembangan Bidang Kajian Sosiolinguistik
Saran ini berguna untuk pengembangan bidang kajian sosiolinguistik,
yakni suatu bidang yang mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa
terkhusus pada topik penelitian mengenai fenomena diglosia yang terjadi di
Indonesia. Dengan adanya penelitian Fenomena Diglosia pada Interaksi di
Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta ini, peneliti lain dapat mengembangkan
menjadi lebih baik lagi perihal topik fenomena diglosia bidang kajian
sosiolinguistik ini.
5.2.2 Penelitian Lanjutan
Penelitian bidang bahasa dalam hubungannya dengan fenomena diglosia
ini dapat dilanjutkan oleh peneliti lain dengan mengembangkan teori diglosia
guna penyempurnaan teori-teori yang sudah, atau mungkin saja justru tercipta
teori yang baru yang lebih relevan.
5.2.3 Bahan Pembelajaran Kajian Sosiolinguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Dalam dunia pendidikan terlebih di perguruan tinggi bagi mahasiswa yang
mengambil program studi bahasa, wacana ini dijadikan sebagai sumber belajar
mengenai fenomena diglosia dalam sebuah interaksi, begitu pula bagi masyarakat
pemakai bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
DAFTAR PUSTAKA:
Abdullah, Alek dan Achmad. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.
Artini, Luh Putu dan Nitiasih, Putu Kerti. 2014. Bilingualisme dan Pendidikan
Bilingual. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Baryadi, Praptomo. 2015. Teori-teori Linguistik Pascastruktural. Yogyakarta:
Kanisius.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. & Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Filika, Anastasia. (1995). Situasi Diglosia Penutur Bahasa Khek Peranakan di
Kuto Panji Belinyu (Tinjauan Sosiolinguistik). Skripsi Sarjana Pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma:
tidak diterbitkan.
Hastuti, Endang Dwi. “Diglosia dalam Penerjemahan: Suatu Tinjauan Ringkas”.
Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa Pengantar. Yogyakarta: Kanisius
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT remaja
Rosdakarya Offset.
Muhammad. 2016. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nababan. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Rahardi, R Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Erlangga.
Raho, Bernard. 2004. Sosiologi Sebuah Pengantar. Surabaya: Ledalero.
Sigiro, Elisten Parulian (2009). Fenomena Diglosia dan Sikap Kebahasaan
Penutur Bahasa Simalungun. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara: tidak diterbitkan.
Soeparno. 2013. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sugiyono.2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Syahroni, N., Dewi, Dwi Wahyu Candra., & Mahmudi. 2013. Bahasa Indonesia
di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Utorodewo dkk., 2004. Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Padmadewi, Ni Nyoman, dan Merlyna, Putu Dewi, Saputra, Nyoman Pasek Hadi.
2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
LAMPIRAN I
TRIANGULASI DATA
DATA TUTURAN FENOMENA DIGLOSIA PADA INTERAKSI PARA SISWI DAN SUSTER PAMONG
DI ASRAMA SANTA ANGELA, BANTUL, YOGYAKARTA
Penelitian yang diambil ini mengenai fenomena diglosia yang muncul dalam interaksi Para Siswi dan Suster Pamong di Asrama Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017 dengan partisipan yaitu para siswi di asrama khususnya
siswi unit 3 di Asrama Santa Angela Bantul, Yogyakarta. Dalam menentukan keabsahan data maka penelitian ini menggunakan triangulasi.
Triangulasi data pada penelitian ini menggunakan triangulasi sumber atau ahli. Triangulasi ahli sebagai penyidik yang mengevaluasi serta
melakukan kreadibilitas kajian objek penelitian. Maka triangulasi digunakan untuk memastikan kebenaran data yang diperoleh. Oleh karena itu,
triangulator dimohon untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Triangulator
tersebut yaitu Bapak Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A.
Petunjuk Pengisian:
1. Triangulator dimohon untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Kemudian
triangulator memberikan justifikasi berupa tanda centang ( ) jika pernyataan setuju atau tanda silang (x) jika tidak setuju.
2. Triangulator dimohon untuk memberikan catatan pada kolom komentar untuk memberikan kritikan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Rumusan Masalah:
Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, rumusan masalah di dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan, bagaimana
fenomena diglosia pada interaksi Para Siswi dan Suster Pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta? Dan faktor apa sajakah yang
mempengaruhi terjadinya penggunaan variasi bahasa pada interaksi sehari-hari di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
TRIANGULASI DATA
DATA TUTURAN FENOMENA DIGLOSIA PADA INTERAKSI DI ASRAMA SANTA ANGELA, BANTUL, YOGYAKARTA
Keterangan :
KFH/1/31217 : Data 1.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 16.24 WIB.
Tempat : Ruang belajar di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar sore yang santai.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 10, siswi 3, dan siswi 4.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan awal partisipan dalam peristiwa tersebut adalah belajar sore yang akhirnya tidak bisa terelakkan dari
pertuturan percakapan atau perbincangan sesama partisipan yang menyimpang dari tujuan awal yaitu belajar.
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai merek hp.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
1. KFH/
1/312
17
Siswi 10 : Apa sihhh?
Siswi 3 : Itu hpnya siapa
sih?
Siswi 4 : Mbaknya.
Siswi 3 : Oh.
Siswi 4 : Buat rekam.
Siswi 10 : Eh, hp’ne
mbak’e merek
opo e?
Siswi 4 : Xiaomi.
Siswi 3 : Ohh iki mah
xiaomi redmi
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran tiga
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Eh, hp’ne
mbak’e merek opo e?”, “Ra kuat
tuku”), bahasa Inggris (bukti
pada kalimat: “Xiaomi redmi
note 3 is not bad”, dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
ketiganya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 10
anak pengrajin tenun,
siswi 3 anak guru, siswi 4
anak karyawan tambang.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
note 3 ki.
Siswi 4 : Xiaomi redmi
note 3 is not
bad.
Siswi 10 : Ra kuat tuku.
Siswi 3 : Loh padahal
cuma murah lho,
gak nyampai
empat juta
dapat.
Siswi 4 : Gue mah tetap
setia ama
Samsung.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Eh”,
“mbak’e”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata gue, ‘kata tertentu’ (gak,
cuma, tuku, ama), dan ‘bentuk
penekan’ (sih, oh, ki, eh, mah,
loh, lho).
3). Topik percakapan: merek hp.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat belajar.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
a3). Umur; siswi 10 (16
tahun), siswi 3 (16 tahun),
siswi 4 (15 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia,
bahasa daerah dominan
bahasa Jawa, dan bahasa
Inggris sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
3 Desember 2017 pukul
16.24 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi yang sedang belajar
sore dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 1 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 3 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Gue
mah tetap setia ama Samsung”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Eh, hp’ne mbak’e merek opo e?”, “Ra kuat tuku”), dan
bahasa Inggris formal (bukti pada tuturan: “Xiaomi redmi note 3 is not bad”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4,
dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/2/31217 : Data 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 16.29 WIB.
Tempat : Ruang belajar di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar sore yang santai.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 6 partisipan dengan inisial siswi 18, siswi 1, siswi 12, siswi 5, siswi 6,
dan siswi 7.
Partisipan siswi 18: berasal dari Timika, Papua, umur 16 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang pegawai
pemerintah daerah.
Partisipan siswi 1: berasal dari Tanjung, Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani kelapa sawit.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, Pamulang 2, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak
seorang guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak pengrajin kayu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan awal partisipan dalam peristiwa tersebut adalah belajar sore yang akhirnya tidak bisa terelakkan dari
pertuturan percakapan atau perbincangan sesama partisipan yang menyimpang dari tujuan awal yaitu belajar.
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai nomor whatsapp suster Cornel.
No
Data
Percakapan/ Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
2. KFH/
2/312
17
Siswi 18 : Ini jam apa ini,
bukan jam
belajar tipu-tipu
saja.
Siswi 1 : Kowe toh
mesti ditegur
hahahahahaha.
Siswi 18 : Masak, masak,
suster Cornel
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa
(bukti pada kalimat: “Ho’o
po? Lha nomer e ki sakjane
sing endi sih?”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan
ragam bahasa lisan
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 18
anak pegawai pemerintah
daerah, siswi 1 anak petani
kelapa sawit, siswi 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
kira aku gak
belajar tuh. Gak
belajar trus aku
pergi mandi. Ini
aku belajar lagi.
Siswi 1 : Kau sebenarnya
punya WA gak
sih. Ini suster.
Gene. Cepat
kamu WA suster
cepat! Biar
suster itu gak
WA suster.
Hahaha.
Siswi 12 : WA suster
cornel tu gak
dibales-bales.
Siswi 5 : Wa nya suster
Cornel tu yang
mana sih? Tiga
sendiri lho di
nonformal.
2). Penanda ragam
nonformal: penggunaan ‘kata
sapaan’ untuk menyapa
teman cukup menyebut
namanya atau menggunakan
bahasa daerah (bukti pada
kata sapaan: “kowe”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata gue, ‘kata
tertentu’ (enggak, gak,
masak, gene, bales, pake,
nomer, sakjane, endi, kayak,
udah, mesthi, bilang, endi,
kayak), dan ‘bentuk penekan’
(sih, tuh, tu, lho, ho’o, lha,
deh, dong, yah, toh).
3). Topik percakapan: nomor
whatsapp. Fungsi
anak pegawai rumah sakit,
siswi 5 anak guru, siswi 6
anak pengrajin kayu, siswi
7 anak petani.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 18 (16
tahun), siswi 1 (18 tahun),
siswi 12 (18 tahun), siswi
5 (17 tahun), siswi 6 (17
tahun), siswi 7 (17 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
hpku.
Siswi 6 : Ho’o po? Lha
nomer e ki
sakjane sing
endi sih?
Siswi 7 : Biasanya tu
udah gak
dipakai trus
kayak gitu deh.
Siswi 6 : Berarti aku tahu
dong. Gue tahu
yang bunga-
bunga itu.
Siswi 7 : Enggak itu udah
gak dipake.
Siswi 6 : Yah itu udah gak
dipake. Yah
padahal lho
bunga-bunga
hahaha.
Siswi 1 : Trus suster
komunikasinya digunakan
pada saat belajar.
4). Situasi dan gaya atau
ragam percakapan yaitu
ragam santai (kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
16.29 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi yang sedang belajar
sore dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
bilang begini,
yah sih sini kasih
nomor orang
tuamu.
Catatan:
Analisis data 2 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Biasanya tu udah gak dipakai trus kayak gitu deh”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Ho’o po? Lha nomer e ki sakjane
sing endi sih?”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/3/31217 : Data 3.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 16.39 WIB.
Tempat : Ruang belajar di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar sore yang ceria dan santai.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 2 partisipan dengan inisial siswi 7 dan siswi 8.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan awal partisipan dalam peristiwa tersebut adalah belajar sore yang akhirnya tidak bisa terelakkan dari
pertuturan percakapan atau perbincangan sesama partisipan yang menyimpang dari tujuan awal yaitu belajar.
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai film.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
3. KFH/ Siswi 7 : Sari itu lagunya 1). Dari data ini terlihat Faktor terjadinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
3/312
17
siapa tu?
Siswi 8 : Hmmm.
Siswi 7 : Sar, sumpah
kuping. Krungu
ra sih?
Siswi 8 : Apa sih. Lagi asik
nonton ini tuh.
Hih.
Siswi 7 : Boleh minta ada
film tho?
Siswi 8 : Ini streaming.
Siswi 7 : Streaming kan
ada film.
Siswi 8 : Film kau putar
sendiri!
Download lah
sendiri di hp kau
tu!
Siswi 7 : Pelit.
Siswi 8 : Kuota gue limited
odong.
pemakaian campuran tiga
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Sar, sumpah
kuping. Krungu ra sih?”, “Ya,
ya. Ya wis”), bahasa Inggris
(bukti pada kata: “streaming”,
“download”, “limited” dan
lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian ketiganya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Sari”,
“Kau”, “odong”), ‘kata ganti’
untuk menyebut diri
menggunakan kata gue, ‘kata
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 7
anak petani, siswi 8 anak
petani.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 7 (17
tahun), siswi 8 (17 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Siswi 7 : Ya, ya. Ya wis. tertentu’ (krungu, kuping,
nonton), dan ‘bentuk penekan’
(sih, tu, tho, tuh).
3). Topik percakapan: film.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat belajar.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
bahasa daerah dominan
bahasa Jawa, dan bahasa
Inggris sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
16.39 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi yang sedang belajar
sore dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 3 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 3 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Apa
sih. Lagi asik nonton ini tuh. Hih.”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Sar, sumpah kuping. Krungu ra sih?”, “Ya, ya. Ya
wis”), dan bahasa Inggris (bukti pada kata: “streaming”, “download”, “limited”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3,
4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/4/31217 : Data 4.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 16.45 WIB.
Tempat : Ruang belajar di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar sore yang ceria dan santai.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 9, siswi 10, dan siswi 11.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang
guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan awal partisipan dalam peristiwa tersebut adalah belajar sore yang akhirnya tidak bisa terelakkan dari
pertuturan percakapan atau perbincangan sesama partisipan yang menyimpang dari tujuan awal yaitu belajar.
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai line today.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
4. KFH/
4/312
17
Siswi 9 : Wenak Kau. Itu
tu punya Angel
tu. Drakor tiba-
tiba nah. Kaget
lah.
Siswi 10 : Ih, di line today
itu biasanya ada
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran tiga
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Iyo. Ra percoyo?
Delok ki lineku!”), bahasa
Inggris (bukti pada kata: “line
today”, “stupid”, dan lainnya
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 9
anak guru, siswi 10 anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
drakor yaa.
Siswi 9 : He’em.
Siswi 11 : Tapi kok aku
gak pernah
masuk itu loh
yang masuk
berita-berita,
gosip-gosip kan.
Hih.
Siswi 10 : Masak?
Siswi 11 : Iyo. Ra
percoyo? Delok
ki lineku!
Siswi 10 : Stupid. Ini loh
kamu buka ini,
line today! Noh,
banyak banget
berita-beritanya.
bahasa Indonesia. Pemakaian
ketiganya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Kau”),
‘kata ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku, untuk
menyebut kamu menggunakan
kata kau, ‘kata tertentu’ (wenak,
line today, stupid, drakor, gak,
masak, percoyo, delok, banget),
dan ‘bentuk penekan’ (tu, nah,
loh, he’em, kok, loh, kan, hih, ki,
noh).
3). Topik percakapan: line
pengrajin tenun, siswi 11
anak polisi.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). Umur; siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16 tahun),
siswi 11 (18 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia, bahasa
daerah dominan bahasa
Jawa, dan bahasa Inggris
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
today. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat belajar.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
Tempat terjadinya interaksi
di ruang belajar Asrama
Siswi Santa Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu, 3
Desember 2017 pukul 16.45
WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para siswi
yang sedang belajar sore
dan terlibat percakapan
dalam situasi santai.
Catatan:
Analisis data 4 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 3 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Tapi
kok aku gak pernah masuk itu loh yang masuk berita-berita, gosip-gosip kan. Hih.”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
“Iyo. Ra percoyo? Delok ki lineku!”), dan bahasa Inggris nonformal (bukti pada kata: “line today”, “stupid”). Sementara analisis pernyataan
lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/5/31217 : Data 5.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.24 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi khidmat saat doa bersama pada sore hari.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 18 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, siswi 4, siswi 5,
siswi 6, siswi 7, siswi 8, siswi 9, siswi 10, siswi 11, siswi 12, siswi 13, siswi 14, siswi 15, siswi 16, siswi 17, dan siswi
18.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Bintaro, Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
karyawan perusahaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, Pamulang, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Metro Barat, Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
apoteker.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Partisipan siswi 17: berasal dari Tangerang, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang dokter.
Partisipan siswi 18: berasal dari Timika, Papua, umur 16 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang pegawai
pemerintah daerah.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah berdoa bersama.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai ujud doa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
5. KFH/
5/312
17
Siswi 14: Ujud-ujud kita
pada sore hari ini
yang pertama
untuk kedua
orang tua kita
semoga kedua
orang tua kita
selalu diberi
kesehatan, rezeki
yang cukup
untuk membiayai
kita yang ada di
asrama.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14: Untuk keempat
suster kita
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan formal pada
percakapan.
2). Pemakaian bahasa Indonesia
formal menunjukkan ragam
tinggi kaitannya dengan fungsi
bahasa digunakan untuk berdoa
(ritual keagamaan).
3). Penanda ragam formal:
penggunaan ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri sendiri
menggunakan kata saya,
penggunaan ‘imbuhan’ yang
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak karyawan
tambang, siswi 5 anak guru,
siswi 6 anak pengrajin kayu,
siswi 7 anak petani, siswi 8
anak petani, siswi 9 anak
guru, siswi 10 anak
pengrajin tenun, siswi 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
semoga selalu
diberi kesabaran
untuk mendidik
kita yang ada di
asrama.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14: Untuk keran
yang di asrama,
semoga kita
mendapatkan air
yang melimpah
dan bersih serta
kita bisa dengan
bijaksana dalam
menggunakan.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14: Untuk unit satu,
dua, dan tiga,
semoga kami
selalu rukun dan
damai serta
jelas seperti pada kata diberi,
mendidik, diterima).
4). Topik percakapan: ujud doa.
5). Situasi dan gaya (ragam)
percakapan yaitu ragam resmi
atau formal. Hubungan
antarpembicara adalah sesama
teman sebaya di waktu situasi
berdoa.
anak polisi, siswi 12 anak
pegawai rumah sakit, siswi
13 anak pedagang, siswi 14
anak apoteker, siswi 15
anak guru, siswi 16 anak
perawat rumah sakit, siswi
17 anak dokter, siswi 18
anak pegawai pemerintah
daerah.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). Umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun), siswi 5 (17
tahun), siswi 6 (17 tahun),
siswi 7 (17 tahun), siswi 8
(17 tahun), siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16 tahun),
siswi 11 (18 tahun), siswi 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
diberi kelancaran
dalam belajar
sehingga kami
dapat
mengerjakan
TAS dengan baik
dan jujur dan
dapat hasil yang
memuaskan.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14: Untuk orang
yang sedang
sakit semoga
cepat sembuh
dan bisa
melakukan
aktivitas seperti
biasa.
Siswi2 : Amin.
Siswi 14: Untuk istri Pak
Paena, Valentina
(18 tahun), siswi 13 (17
tahun), siswi 14 (17 tahun),
siswi 15 (17 tahun), siswi 16
(17 tahun), siswi 17 (17
tahun), siswi 18 (16 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia formal
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya interaksi
di Aula Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta
pada Minggu, 3 Desember
2017 pukul 17.24 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Sri Handayani,
semoga arwah
beliau dapat
diterima di sisi
Tuhan dan segala
dosanya
diampuni dan
keluarga yang
ditinggalkan
dapat diberi
ketabahan.
Siswi2: Amin.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi berdoa
bersama.
Catatan:
Analisis data 5 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa tuturan para siswi saat menyampaikan ujud-ujud doa sebagai pengantar sebelum dimulainya doa, terbukti
menggunakan bahasa Indonesia ragam formal di mana ciri atau penandanya tersebut menunjukkan adanya fenomena diglosia.
KFH/6/31217 : Data 6.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.34 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi khidmat saat doa bersama pada sore hari.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 18 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi, 2, siswi 3, siswi 4, siswi 5,
Siswi 6, siswi 7, siswi 8, siswi 9, siswi 10, siswi 11, siswi 12, siswi 13, siswi 14, siswi 15, siswi 16, siswi 17, siswi 18.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Bintaro, Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
karyawan perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, Pamulang, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Metro Barat, Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
apoteker.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
guru.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Partisipan siswi 17: berasal dari Tangerang, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang dokter.
Partisipan siswi 18: berasal dari Timika, Papua, umur 16 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang pegawai
pemerintah daerah.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah berdoa bersama.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai doa.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
6. KFH/
6/312
17
Siswi 9: Doa akan saya
pimpin. Marilah
berdoa. Dalam
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan formal pada
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
nama Bapa dan
Putera dan Roh
kudus, amin. Bapa
yang Maha rahim
dan kekal, lewat
puteraMu sang
raja kerahiman,
kami bersyukur
dan berterima
kasih atas berkat
dan
perlindunganMu,
kami Kau undang
saat ini untuk
memuji,
memuliakan, dan
berdoa kepadaMu.
Kami datang
dalam
ketakberdayaan,
lemah, namun
percakapan.
2). Pemakaian bahasa Indonesia
formal menunjukkan ragam
tinggi kaitannya dengan fungsi
bahasa digunakan untuk berdoa
(ritual keagamaan).
3). Penanda ragam formal:
penggunaan ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri sendiri
menggunakan kata saya,
penggunaan ‘imbuhan’ yang
jelas seperti pada kata berdoa,
menerima).
4). Topik percakapan: doa.
5). Situasi dan gaya (ragam)
percakapan yaitu ragam resmi
atau formal. Hubungan
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak karyawan
tambang, siswi 5 anak guru,
siswi 6 anak pengrajin kayu,
siswi 7 anak petani, siswi 8
anak petani, siswi 9 anak
guru, siswi 10 anak
pengrajin tenun, siswi 11
anak polisi, siswi 12 anak
pegawai rumah sakit, siswi
13 anak pedagang, siswi 14
anak apoteker, siswi 15
anak guru, siswi 16 anak
perawat rumah sakit, siswi
17 anak dokter, siswi 18
anak pegawai pemerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
dengan keyakinan
dan tulus, kami
datang berdoa
membawa intensi
doa dengan
harapan Engkau
bersihkan hati
kami. Ampunilah
keberadaan kami
yang tak layak ini.
Kami percaya
bahwa Engkau tak
memperhitungkan
dosa-dosa kami
melainkan Engkau
senantiasa
menerima dengan
penuh cinta. Doa
ini kami
persembahkan
dengan
antarpembicara adalah sesama
teman sebaya di waktu situasi
berdoa.
daerah.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). Umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun), siswi 5 (17
tahun), siswi 6 (17 tahun),
siswi 7 (17 tahun), siswi 8
(17 tahun), siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16 tahun),
siswi 11 (18 tahun), siswi 12
(18 tahun), siswi 13 (17
tahun), siswi 14 (17 tahun),
siswi 15 (17 tahun), siswi 16
(17 tahun), siswi 17 (17
tahun), siswi 18 (16 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
perantaraan Yesus
juru selamat kami,
amin.
Siswi 3: Marilah kita
mendoakan doa
jam kerahiman
halaman empat
belas.
Siswi2: Ya Yesus Engkau
telah wafat,
namun sumber
kehidupan telah
memancar bagi
jiwa-jiwa dan
terbukalah lautan
kerahiman bagi
segenap dunia. Oh
sumber
kehidupan,
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia formal
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya interaksi
di Aula Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta
pada Minggu, 3 Desember
2017 pukul 17.34 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi berdoa
bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Kerahiman Ilahi
yang tak
terselami,
naungilah segenap
dunia dan
curahkan diriMu
pada kami, Tuhan
yang Maha rahim .
. . . . . . . . . . .
Demi sengsaraMu
yang pedih kami
mohon ya Tuhan .
. . . . . . . . . . . . . . .
Catatan:
Analisis data 6 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 dan ke 2 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: dalam doa dibedakan menjadi dua,
yaitu doa rumusan dan doa spontan. Doa rumusan menggunakan variasi dari segi keformalan ragam beku (frozen), sedangkan doa spontan, dan
pengantar atau ajakan doa menggunakan ragam resmi (formal).
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 dan ke 2 menjadi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam formal digunakan dalam pengantar
atau ajakan doa (bukti pada tuturan: “Marilah kita mendoakan doa jam kerahiman halaman empat belas”), dan bahasa Indonesia ragam formal
beku yang digunakan dalam doa rumusan ‘doa jam kerahiman’ (bukti pada tuturan: “Ya Yesus Engkau telah wafat, namun sumber kehidupan
telah memancar bagi jiwa-jiwa dan terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia. Oh sumber kehidupan Kerahiman Ilahi yang tak
terselami, naungilah segenap dunia dan curahkan diriMu pada kami, ...”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 3, 4, dan 5
disetujui oleh triangulator.
KFH/7/31217 : Data 7.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.39 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi khidmat saat doa bersama pada sore hari.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 18 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi, 2, siswi 3, siswi 4, siswi 5,
Siswi 6, siswi 7, siswi 8, siswi 9, siswi 10, siswi 11, siswi 12, siswi 13, siswi 14, siswi 15, siswi 16, siswi 17, siswi 18.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Bintaro, Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
karyawan perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, Pamulang, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Metro Barat, Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
apoteker.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Partisipan siswi 17: berasal dari Tangerang, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang dokter.
Partisipan siswi 18: berasal dari Timika, Papua, umur 16 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang pegawai
pemerintah daerah.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah berdoa bersama.
pertuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai doa sebelum makan.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
7. KFH/
7/312
17
Siswi 1: Marilah sebelum
makan kita
berdoa.
Siswi 4: Doa akan saya
pimpin. Marilah
berdoa. Selamat
sore ya Bapa, puji
dan syukur kami
haturkan
kepadaMu.
Terima kasih atas
perlindungan dan
berkatMu kepada
kami sepanjang
hari ini. Ya Bapa
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan formal pada
percakapan.
2). Pemakaian bahasa Indonesia
formal menunjukkan ragam
tinggi kaitannya dengan fungsi
bahasa digunakan untuk berdoa
(ritual keagamaan).
3). Penanda ragam formal:
penggunaan ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri sendiri
menggunakan kata saya,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak karyawan
tambang, siswi 5 anak guru,
siswi 6 anak pengrajin kayu,
siswi 7 anak petani, siswi 8
anak petani, siswi 9 anak
guru, siswi 10 anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
sekarang kami
akan makan,
berkatilah
makanan yang
kami akan makan,
semoga berguna
bagi jiwa dan raga
kami. Berkahilah
pula Bu Rini, Bu
Tarjo, dan suster
yang telah
menyediakannya
bagi kami.
Terpujilah Hati
Yesus yang Maha
Kudus.
Siswi2: Sekarang dan
selama-lamanya.
Amin.
Siswi 4: Dalam nama Bapa
dan Putera dan
penggunaan ‘imbuhan’ yang
jelas seperti pada kata berdoa,
berguna).
4). Topik percakapan: doa
sebelum makan.
5). Situasi dan gaya (ragam)
percakapan yaitu ragam resmi
atau formal. Hubungan
antarpembicara adalah sesama
teman sebaya di waktu situasi
berdoa.
pengrajin tenun, siswi 11
anak polisi, siswi 12 anak
pegawai rumah sakit, siswi
13 anak pedagang, siswi 14
anak apoteker, siswi 15
anak guru, siswi 16 anak
perawat rumah sakit, siswi
17 anak dokter, siswi 18
anak pegawai pemerintah
daerah.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). Umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun), siswi 5 (17
tahun), siswi 6 (17 tahun),
siswi 7 (17 tahun), siswi 8
(17 tahun), siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16 tahun),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Roh kudus, amin.
Siswi2: Selamat malam,
selamat makan,
semoga kenyang.
siswi 11 (18 tahun), siswi 12
(18 tahun), siswi 13 (17
tahun), siswi 14 (17 tahun),
siswi 15 (17 tahun), siswi 16
(17 tahun), siswi 17 (17
tahun), siswi 18 (16 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia formal
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya interaksi
di Aula Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul, Yogyakarta
pada Minggu, 3 Desember
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
2017 pukul 17.39 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi berdoa
bersama.
Catatan:
Analisis data 7 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa doa spontan dan pengantar atau ajakan doa dalam percakapan atau tuturan partisipan menggunakan ragam
resmi (formal).
KFH/8/31217 : Data 8.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.42 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 11, siswi 13, siswi 16, dan suster.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
Polisi.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi rutin mingguan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai jam belajar.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
8. KFH/
8/312
17
Suster : Jam sepuluh
sampai jam dua
belas kalian jam
1). Dari data ini terlihat
pemakaian dua ragam bahasa
yaitu bahasa Jawa ragam
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
bebas. Jam
empat. Siapa
yang belajar
mulai tet jam
empat?
Siswi 13 : Saya.
Suster : Siapa yang
lewat?
Siswi 16 : Lewat
bagaimana
maksudnya,
Suster?
Suster : Lewat jam
empat maksute.
Siapa yang
sebelum jam
empat belajar
sudah belajar?
Siswi 11 : Hayo hayo hayo
hayo...
nonformal (bukti pada kata:
“maksute”) dan lainnya bahasa
Indonesia ragam nonformal.
Menurut ragam bahasa
berdasarkan situasi
pemakaiannya keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan “suster”
dalam kalimat: “Lewat
bagaimana maksudnya,
Suster?”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 11
anak polisi, siswi 13 anak
pedagang, siswi 16 anak
perawat rumah sakit, suster
pamong sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 11 (18
tahun), siswi 13 (17 tahun),
siswi 16 (17 tahun), suster
pamong (51 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
kata aku dalam ragam
semiformal, ‘kata tertentu’
(maksute, hayo), dan ‘bentuk
penekan’ (tet).
3). Topik percakapan: jam
belajar. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat evaluasi
atau renungan bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara dengan
bahasa Indonesia dan
bahasa daerah dominan
bahasa Jawa sesuai
fungsinya, siswi berbicara
kepada siswi, siswi
berbicara kepada suster
pamong, dan suster pamong
kepada siswi. Tempat
terjadinya interaksi di Aula
Asrama Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 17.42 WIB. Kegiatan
yang dilakukan adalah
evaluasi bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
dan suster pamong terhadap
siswi.
Catatan:
Analisis data 8 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa percakapan atau tuturan partisipan menggunakan bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa
ragam nonformal, di mana keduanya apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya menunjukkan ragam bahasa lisan
semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal).
KFH/9/31217 : Data 9.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 17.55 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 4, siswi 5, dan suster pamong.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, Pamulang 2, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak
seorang guru.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai pentingnya berjaga-jaga.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
9. KFH/
9/312
17
Suster : Tadi, dikatakan
bahwa, opo
tadi? Yesus
datang
menjemput kita
itu kita tidak
1). Dari data ini terlihat
pemakaian dua ragam bahasa
yaitu bahasa Jawa nonformal
(bukti pada kata: “ngendi”,
“mboh”, “cilik”) dan lainnya
bahasa Indonesia ragam
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
tahu waktuNya.
Hari ini ada
berita duka,
yaa.. Istrinya
Pak Andre,
Paena Andreas
tadi, dengarkan!
Saya sama suster
Yusta tadi
bertemu
maksudnya mau
menengok . . . .
sebelum
meninggal . . .
karena paling
masih sakit gitu
ya . . . . lalu
sampai sana
kami tanya
ruangannya
di mana, trus
nonformal. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan semiformal (tidak
terlalu formal maupun tidak
pula terlalu nonformal) apabila
dikaji menurut ragam bahasa
berdasarkan situasi
pemakaiannya.
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti pada kata sapaan: “Masih
mencong Suster?”), ‘kata ganti’
untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
tertentu’ (gak, pengen, opo, gitu,
trus, pas, mboh, cilik, dah,
anak karyawan tambang,
siswi 5 anak guru, suster
pamong sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 4 (15
tahun), siswi 5 (17 tahun),
suster pamong (51 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
ditunjukkan . . .
di sana suster, di
sana mana . . . ,
di ruang jenazah,
lha kami kan
kaget, kok di
ruang jenazah,
padahal kemarin
. . . baru dengar
... ya maksudnya
ya .... gak
taunya tadi tadi
siang itu pas Pak
Andre, dua
anaknya itu
duduk-duduk di
bawah . . . . kok
sudah gak
bernapas lagi,
jadi kita tidak
tahu kapan
ngendi, mencong), dan ‘bentuk
penekan’ (kok, lha, kan, itu, jik,
kui).
3). Topik percakapan:
pentingnya berjaga-jaga. Fungsi
komunikasinya digunakan pada
saat evaluasi dan renungan
bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 17.55 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Tuhan datang
menjemput kita.
Entah itu mboh
jik cilik, SMA,
SMP, atau dah
kuliah kita gak
tahu . . . . . . . . .
Lalu sampai
sana sudah
dimandikan trus
dimasukkan peti
. . . . . . Lha
pentingnya kita
berdoa untuk
orang
meninggal,
karena orang
meninggal itu
sudah tidak bisa
apa-apa. Tidak
bisa menolong
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
dirinya, tidak
bisa untuk
meminta maaf
lagi, sudah tidak
bisa. Karena
yang bisa
membantu
adalah kita-kita
yang masih . . . .
. . . . Siapa yang
punya saudara
sudah
meninggal? . . . .
didoakan setiap
hari . . . . .
karena yang bisa
menolong orang
yang sudah
meninggal
misalnya masih
di api pencucian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
itu adalah orang-
orang yang
masih hidup.
Maka
pentingnya . . . .
. . orang Katolik
itu ada
kehidupan
kekal. Siapa
yang pengen
masuk hidup
kekal? . . . . .
Siswi 4: Sayaa..
Siswi 5: Masuk ngendi
kui?
Suster: Tahu jalannya?
Siswi 4: Aku tau. Tapi
masih mencong.
Siswi 5: Masih mencong
Suster.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
Catatan:
Analisis data 9 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa percakapan atau tuturan partisipan menggunakan bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa
ragam nonformal, di mana keduanya apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya menunjukkan ragam bahasa lisan
semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal).
KFH/10/31217 : Data 10.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.00 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 6, siswi 9, siswi 10, dan suster
pamong.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai tanggung jawab belajar.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
10. KFH/
10/31
217
Suster : Bukan karena ada
Romo, Suster,
kalian harus
bertanggung
jawab, dewasa
tanda petiknya yaa
. . . . . Kalian
1). Dari data ini terlihat
pemakaian dua ragam bahasa
yaitu bahasa Jawa nonformal
(bukti pada kata: “ngopo”) dan
lainnya bahasa Indonesia ragam
nonformal. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 6
anak pengrajin kayu, siswi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
mempertanggung-
jawabkan apa
yang menjadi
tugas kalian.
Sekarang sebagai
siswa tugasnya
apa?
Siswi 6: Belajarrrrrrrr.
Suster : Belajar ngopo?
Siswi 9: Aku belajar rajin.
Suster : Ha? belajar tertib,
taat, disiplin, tidak
karena ada suster..
yaa!!
Siswi 10:Pelajaran, Suster.
Suster : Pelajaran juga.
Belajar pacaran itu
ya boleh tetapi yo
pacarannya . . . .
bahasa lisan semiformal (tidak
terlalu formal maupun tidak
pula terlalu nonformal) apabila
dikaji menurut ragam bahasa
berdasarkan situasi
pemakaiannya.
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti pada kata sapaan:
“Pelajaran, Suster?”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
tertentu’ (ngopo), dan ‘bentuk
penekan’ (yo, ha, yaa).
3). Topik percakapan: tanggung
9 anak guru, siswi 10 anak
pengrajin tenun, suster
pamong sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 6 (17
tahun), siswi 9 (18 tahun),
siswi 10 (16 tahun), suster
pamong (51 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
jawab belajar. Fungsi
komunikasinya digunakan pada
saat evaluasi dan renungan
bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.00 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
Catatan:
Analisis data 10 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa percakapan atau tuturan partisipan menggunakan bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa
ragam nonformal, di mana keduanya apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya menunjukkan ragam bahasa lisan
semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal).
KFH/11/31217 : Data 11.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.05 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 5 partisipan dengan inisial siswi 5, siswi 8, siswi 9, siswi 10, dan suster
pamong.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, Pamulang 2, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak
seorang guru.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai belajar jujur.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
11. KFH/
11/31
217
Suster : Kemudian kalau
semua belajar,
kalian tentunya
ingin yang lebih
baik. Iya tho?
Kalian tau mana
1). Dari data ini terlihat
pemakaian dua ragam bahasa
yaitu bahasa Jawa ragam
nonformal (bukti pada kalimat:
“Sopo iki mau sing letakkan
gelas?”) dan lainnya bahasa
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
yang tidak baik
dan yang baik.
Tetapi jangan suka
berbohong . . . . . .
Sopo iki mau
sing letakkan
gelas? Tidak tahu .
. . . . .
Siswi 5 : Hahahahahaha . . .
Suster : Lalu ada yang
meletakkan
sendal. Ini sendal
nya siapa? Tidak
tahu.. Jawabannya
itu selalu tidak
tahu . . . . . . Mulai
sekarang saya
tidak ingin kalian
semua jawaban
yang tidak tahu.
Siswi 8 : Lha kalau tidak
Indonesia ragam nonformal.
Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal) apabila dikaji
menurut ragam bahasa
berdasarkan situasi
pemakaiannya.
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“suster belajar, suster mandi
aku juga mandi”), ‘kata ganti’
untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
anak guru, siswi 8 anak
petani, siswi 9 anak guru,
siswi 10 anak pengrajin
tenun, suster pamong
sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 5 (17
tahun), siswi 8 (17 tahun),
siswi 9 (18 tahun), siswi
10 (16 tahun), suster
pamong (51 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
tahu e Sus..
Suster : Dengarkan dulu.
Dengarkan dulu!
Kalau memang
bener-bener tidak
tahu ya ok, yang
tahu kamu sama
Tuhan. Apalagi
kalau tahu ya
kamu itu jujur,
jangan melindungi
temannya, salah
dilindungi terus.
Seperti tadi saya
mengatakan, nanti
yang tidak belajar
jam empat gak
usah pegang hp. . .
Saya tadi sudah
belajar, padahal,
dengarkan!
tertentu’ (gak, sopo, sendal,
bener, usah), dan ‘bentuk
penekan’ (tho, lha, e, ok).
3). Topik percakapan: belajar
jujur. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat evaluasi
dan renungan bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.05 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
padahal tadi saya
pulang itu
setengah empat.
Yang di ruang
makan itu hanya
Ima yang belajar.
Siswi 8 : Yeee hahahaha.
Siswi 9 : Yee Ima belajar..
Suster : Pokoknya yang
eee di ruang
makan itu Ima.
Ima nanti jam
empat kurang
sepuluh tolong di
bel. Saya masih
dengar, tetapi
yang bangun
langsung belajar
tidak . . . .
Siswi 10: . . . . . suster
belajar, suster
dan suster pamong terhadap
siswi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
mandi aku juga
mandi.
Siswi 5 : Hahahahaha..
Catatan:
Analisis data 11 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa percakapan atau tuturan partisipan menggunakan bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa
ragam nonformal, di mana keduanya apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya menunjukkan ragam bahasa lisan
semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal).
KFH/12/31217 : Data 12.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.10 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 5 partisipan dengan inisial siswi 5, siswi 8, siswi 9, siswi 10, dan suster
pamong.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai kedisiplinan.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
12. KFH/
12/31
217
Suster : . . . . Yaa, saya
tahu, wong e saya
aja mandi
setengah lima.
Kok setengah lima
ada yang bilang
saya tadi sudah
belajar. Opo cuma
satu jam?
Siswi 1 : Hahahahaha.
Suster : Paling tidak satu
jam belajar. Mulai
malam ini, nanti
jam tujuh tet tidak
ada yang wira-wiri
sana-sini yaa. . . . .
. . . Dah siap
karena ini masih
jam enem, nanti
setengah tujuh itu
harus segera
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “wong”, “opo”,
"enem”) dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“suster gak boleh”), ‘kata ganti’
untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 10 anak pengrajin
tenun, siswi 11 anak polisi,
siswi 12 anak pegawai
rumah sakit, suster
pamong sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 10 (16
tahun), siswi 11 (18
tahun), siswi 12 (18
tahun), suster pamong (51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
selesai makan . . .
Siswi 1 : Okee.
Suster : Yang sering
terlambat unit dua
ini.
Siswi 1: Wuuuuuuu.
Suster : Ini yang sering
terlihat yaa,,
saling
mengingatkan.
Nanti jam tujuh
tet harus di
tempat.
Tidak ada yang
membuat minum,
tidak ada yang
membuat pop mie
atau apa itu...
Siswi 10:Suster gak boleh.
Siswi 11:Laperrr, laper toh
aku, Suss.
tertentu’ (gak, opo, wong, cuma,
laper), dan ‘bentuk penekan’
(kok, wuu ,tet, toh, e, ok).
3). Topik percakapan:
kedisiplinan. Fungsi
komunikasinya digunakan pada
saat evaluasi dan renungan
bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
Suster : Jam belajar.
Menahan diri.
Siswi 1 :Haaaaa.
Siswi 12:Menahan nafsu.
Suster : Kalau kamu tidak
bisa menahankan
opo-opo ingin
diikuti-diikuti . . . .
karena ada jam
bebas . . . . .
terbalik . . . . .
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.10 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
Catatan:
Analisis data 12 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Ini
yang sering terlihat yaa,, saling mengingatkan. Nanti jam tujuh tet harus di tempat. Tidak ada yang membuat minum, tidak ada yang membuat
pop mie atau apa itu ...”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada kata: “wong”, “opo”, “enem”). Pemakaian keduanya menunjukkan
ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal) apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan
situasi pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/13/31217 : Data 13.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.15 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 12, siswi 18, dan suster pamong.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 18: berasal dari Timika, Papua, umur 16 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang pegawai
pemerintah daerah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai pegang hp.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
13. KFH/
13/31
217
Siswi 12 : Sttttt stttt.
Suster : Nek jam
sembilan sampai
jam sepuluh
uantenge koyo .
. . .
Siswi 18 : Sunyi senyap ya
Suster ya.. .
Siswi 12 : Hahahahhahaha.
Suster : Siapa yang
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “uangtenge”, “koyo”,
"nek”) dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 12
anak pegawai rumah sakit,
siswi 18 anak pegawai
pemerintah daerah, suster
pamong sebagai guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
pengen belajar
pegang hp?
Siswi 18 : Sayaaa!
Suster : Besok gak usah
kembali ke
asrama.
Siswi 12 : Hahahahaha.
Suster : Megi masih
pengen?
Siswi 18 : Ha? Aku?
Suster : Masih pengen?
Siswi 18 : Pengen apa?
Siswi 12 : Hahahahaha.
Suster : Belajar
pegangan hp,
kamu besok gak
usah pulang
langsung gereja
langsung gak
usah pulang ke
asrama.
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“Sunyi senyap ya Suster ya”),
‘kata ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
tertentu’ (gak, pengen,uantenge,
koyo, usah), dan ‘bentuk
penekan’ (nek, stt).
3). Topik percakapan: pegang
hp. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat evaluasi
dan renungan bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 12 (18
tahun), siswi 18 (16
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
Siswi 12 : Haahahahaha.
Siswi 18 : Cuma gue...
Siswi 12 : Hahahhahaha.
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.15 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
Catatan:
Analisis data 13 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Belajar pegangan hp, kamu besok gak usah pulang langsung gereja langsung gak usah pulang ke asrama”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko
(bukti pada kata: “koyo”, “nek”). Pemakaian keduanya menunjukkan ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula
terlalu nonformal) apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada
poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/14/31217 : Data 14.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.20 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 3, siswi 12, siswi 13, dan suster
pamong.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai tertib peraturan.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
14. KFH/
14/31
217
Suster : Peraturan ya.
Peraturan dibuat
supaya kalian
menjadi sukses.
Siswi 3 : Ooooh aku gitu.
Suster : Ya tidak..
Siswi 3 : Yaaa benar
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “nek”, “dosane”) dan
lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 3
anak guru, siswi 12 anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
suster.
Suster : Coba tanya
Mbak Shinta itu,
Mbak Shinta
juga asrama . . . .
Siswi 12 : Mbaknya bilang
dulu.
Siswi 13 : Duluuuuu.
Suster : Ya. Makanya . .
Siswi 3 : Hahahaha...
Suster : Jangan merasa
tertekan atau . . .
. . tidak kerasan.
Peraturan itu
dibuat untuk
kalian, bukan
kalian untuk
peraturan. Kalau
kalian mematuhi
tata tertib.
Siswi 3 : Stttt!!! e, e, e!!!
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“Yaaa benar suster”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
tertentu’ (inget, dosane, ngomel,
bilang, dulu), dan ‘bentuk
penekan’ (nek, stt, oh, e, yo, tho,
hu).
3). Topik percakapan: tertib
peraturan. Fungsi
pegawai rumah sakit, siswi
13 anak pedagang, suster
pamong sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 3 (16
tahun), siswi 12 (18
tahun), siswi 13 (17
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
Suster : Kalau kalian
mematuhi tata
tertib
mengurangi
cerewetnya
suster,
mengurangi
dosane suster,
tapi nek kalian
tu salah terus
nambah dosane
suster, yo tho,
ngomel terus.
Kalian tertib! Ini
mulai diingat-
ingat, mulai di . .
. . nanti kalau
hujan kalian
tidur sedangkan
. . . . ada
beberapa . . .
komunikasinya digunakan pada
saat evaluasi dan renungan
bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.20 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Siswi 3 : Huuuuuu.
Siswi 12 : Diinget-inget...
Siswi 3 : Stttt...
Catatan:
Analisis data 14 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Mbaknya bilang dulu.”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada kata: “nek”, “dosane”). Pemakaian keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal) apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/15/31217 : Data 15.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.25 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 10, siswi 13, siswi 17, dan suster
pamong.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 17: berasal dari Tangerang, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang dokter.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai susuh manuk.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
15. KFH/
15/31
217
Suster : Lalu rapi...
Kalau hari
Minggu kan
kalian mau
berdoa
tujuannya
kesini, mosok
ada yang tidak
sisir rambut.
Yang merasa
saja. Tapi ada . .
. . . .
Siswi 17 : Huuuuuuu.
Siswi 13 : Selfi.. selfi..
Siswi 17 : Hahahahaha.
Suster : Koyo susuh
manuk gitu
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Koyo susuh
manuk”, pada kata “mosok”)
dan lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 10
anak pengrajin tenun,
siswi 13 anak pedagang,
siswi 17 anak dokter,
suster pamong sebagai
guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 10 (16
tahun), siswi 13 (17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
lho..
Siswi 10 : Susuh manuk
itu opo lagi. Aku
tak paham.
Siswi 17 : Hahahahha.
Suster : Ini dengarkan..
Susuh manuk
itu sarang yang
untuk tidur
burung itu lohh..
Siswi 17 : Hahahhaha
huuuuu..
Suster : Rambutnya
Megi itu kalau
tidak disisiri
nanti bisa ada
burung yang
kesasar masuk . .
. . . . .
Siswi 17 : Suster ini lucu
sekali, hahaha.
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“Suster ini lucu sekali,
hahaha”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata (aku), ‘kata tertentu’
(mosok, selfi, koyo,
susuh,manuk, opo, kesasar), dan
‘bentuk penekan’ (loh, tak).
3). Topik percakapan: susuh
manuk. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat evaluasi
dan renungan bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
tahun), siswi 17 (17
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.25 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
Catatan:
Analisis data 15 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Ini
dengarkan.. Susuh manuk itu sarang yang untuk tidur burung itu lohh..”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Koyo susuh
manuk”, pada kata “mosok”). Pemakaian keduanya menunjukkan ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu
nonformal) apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2,
3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
KFH/16/31217 : Data 16.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.30 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 9 partisipan dengan inisial siswi 2, siswi 6, siswi 8, siswi 9, siswi 10,
siswi 13, siswi 14, siswi 15,dan suster pamong.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang apoteker.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai tertib peraturan.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
16. KFH/
16/31
217
Suster : Maka . . . . kita
semua belajar
lagi dan tertib!
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
Kemudian
sekarang ini kan
musim hujan.
Siswi 13 : Sudah enggak e
Suster.
Suster : Ya memang hari
ini panas. Lalu
tolong kalau
sudah kering
pakaiannya
diambil!
Siswi 14 : Diangkat.
Suster : Lalu kalau
jemur, temannya
itu sudah kering
maksudnya
celana bajumu
kering ya tolong
disingkarkan
jangan
ditempeli. Saya
pada kata: “guwak”, “opo”,
“separo”) dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“Sudah enggak e Suster”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata (aku), ‘kata
tertentu’ (enggak, gak, ndak,
separo, tempeli, usah, leti,
centel, samper, opo, guwak),
dan ‘bentuk penekan’ (lho, kan,
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 2
anak karyawan
perusahaan, siswi 6 anak
pengrajin kayu, siswi 8
anak petani, siswi 9 anak
guru, siswi 10 anak
pengrajin tenun, siswi 13
anak pedagang, siswi 14
anak apoteker, siswi 15
anak guru, suster pamong
sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 2 (18
tahun), siswi 6 (17 tahun),
siswi 8 (17 tahun), Siswi 9
(18 tahun), siswi 10 (16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
tadi pagi itu mau
seterika, padahal
sudah tak
pinggirkan sini,
eh yang separo
sini basah
semua.
Siswi 15 : Hahahahahaha.
Siapa e Sus?
Suster : Saya malam-
malam itu
menyempatkan
diri untuk
seterika. Tolong
yaa.. Bukan
hanya saya.
Maka hal itu,
kan maksudnya
satu deret itu
kan gak usah
dilet-leti ya . . . .
tak, eh, e).
3). Topik percakapan: tertib
peraturan. Fungsi
komunikasinya digunakan pada
saat evaluasi dan renungan
bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
tahun), siswi 13 (17
tahun), siswi 14 (17
tahun), siswi 15 (17
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
tapi kalau
pakaian yang
panjang-panjang
itu kan nempel
dengan yang
basah itu kan . . .
. . . . . . . lalu
pakaian yang
sudah tidak
dipakai
misalnya, sudah
tidak dipakai
lagi . . . . lalu
diletakkan di
ember! jangan
dicentel-
centelke, . . . .
disamperke di
tempat opo
tangga untuk
naik yang
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.30 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
renungan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
tempat tidur itu
lho, yaa.. Tidak
ada yang di situ.
Besok, eh maaf,
nanti malem
kalau masih ada
disitu tak ambil
tak guwak, unit,
unit satu unit
dua biar Suster
Yosefia . . . .
unit dua, ha?
Siswi 10: Di mana Sus?
Suster : Di tempat tidur
itu lho...
Siswi 9 : Oh yayayaya.
Siswi 6 : Tauuu aku..
Suster 2 : . . . . ndak
sampai sepuluh
baju . . . . . .
Siswi 9 : Huuuuuu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
Siswi 8 : Gak usah
nunjuk.
Catatan:
Analisis data 16 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Sudah enggak e Suster”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada kata “guwak”, “opo”, “separo”). Pemakaian keduanya menunjukkan
ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal) apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan
situasi pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/17/31217 : Data 17.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.40 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
213
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 4, siswi 15, dan suster pamong.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
Perusahaan tambang.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai kesadaran diri.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
214
17. KFH/
17/31
217
Suster : Lalu tempat
sabun yang
sampai, yang
sampai licin-
licin itu tolong
dicuci gak usah
nunggu hari
Sabtu atau satu
bulan atau dua
bulan kalau
kalian itu opo di
tempat sabun
dan lain-lain itu
basah coba
kamu bau
kamu cium gini
rak bau tho, ya
gak?
Siswi 4 : Ya suster, bau
sekali.
Suster : Maka selalu
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “opo ono setan
nggowo barang e”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan semiformal (tidak
terlalu formal maupun tidak
pula terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti kata sapaan pada kalimat:
“Ya suster, bau sekali”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata (aku), ‘kata
tertentu’ (gak, opo, usah,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 4
anak karyawan perusahaan
tambang, siswi 15 anak
guru, suster pamong
sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 4 (15
tahun), siswi 15 (17
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
215
kering, yaa!
Kalau bisa ya . .
. . . yang gak
usah beli lagi,
maksudnya
kalau basah yo
dibuang. Maka
kita coba . . . itu
bahwa kita itu
nanti . . . . .
nanti punya
uang dimana-
mana kurang
dari dua ratus
ribu yo gak jadi
satu juta. . . .
dari sekarang.
Ngopo-ngopo
nyuci barangnya
sendiri mosok
gak tau, yaa..
nunggu, gini, rak, ngopo, nyuci,
sama, gimana, tau, mosok, ono,
gowo, cepet, neng, kono), dan
‘bentuk penekan’ (tho, yo, e).
3). Topik percakapan: kesadaran
diri. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat evaluasi
dan renungan bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif), sebab
pada peristiwa interaksi tersebut
berorientasi pada perbaikan
bersama untuk seluruh penghuni
asrama dalam wadah evaluasi
dan renungan.
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.40 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah evaluasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
216
Ditanyain ini
bajunya siapa,
padahal satu
unit, . . . opo
ono setan
nggowo barang
e.
Siswi 15: Wahahahhaa..
Tuyul. Tuyul..
Suster : Yang sering itu
di tempat
seterikaan.
Kadang
mungkin mau
ganti atau mau
gimana . . . .
mau cepet-cepet
ditinggal di situ,
karena kurang
lima menit mau
berangkat ke
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
renungan bersama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
gereja pakaian
dalamnya
ketinggal neng
kono..
Siswi 15: Hahahaha siapa
itu.
Suster : Lha itu
memalukan yaa..
Kolor sama bh .
. . .
Siswi 15: Hahahhaha aku.
Suster : . . . . . gerbang
itu ada orang
yang lewat itu
biar diambil.
Siswi 15: Hahahhhaa..
Huuuu...
Hahahha.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
Catatan:
Analisis data 17 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Lalu
tempat sabun yang sampai, yang sampai licin-licin itu tolong dicuci gak usah nunggu hari Sabtu atau satu bulan atau dua bulan kalau kalian itu
. . .”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan “Opo ono setan nggowo barang e”). Pemakaian keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal) apabila dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi
pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/18/31217 : Data 18.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.45 WIB.
Tempat : Aula Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi evaluasi bersama usai doa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 7, siswi 17, dan suster pamong.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 17: berasal dari Tangerang, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang dokter.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah evaluasi dan renungan seusai doa.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai mandiri.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
18. KFH/
18/31
217
Suster : Ya. Itu, mulai
malam ini ada
suster maupun
tidak ada suster
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan formal pada
percakapan.
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
belajarnya harus
ditambah!
Siswi 7 : Baik suster, saya
siap.
Suster : Bagus. Siap-siap
yaa.. Selamat
makan
semuanya.
Siswi 17: Selamat makan
Suster, semoga
kenyang.
2). Pemakaian bahasa Indonesia
formal menunjukkan ragam
tinggi kaitannya dengan fungsi
bahasa digunakan untuk
berbicara dengan orang yang
lebih tua dan dihormati (siswi
berkomunikasi dengan suster
pamong saat suster sedang
memberi nasihat kepada siswi).
3). Penanda ragam formal:
penggunaan ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri sendiri
menggunakan kata saya,
penggunaan ‘imbuhan’ yang
jelas seperti pada kata ditambah.
4). Topik percakapan: mandiri.
5). Situasi dan gaya (ragam)
antaranya;
a1). status sosial; siswi 7
anak petani, siswi 17 anak
dokter, suster pamong
sebagai guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). Umur; siswi 7 (17
tahun), siswi 17 (17
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
percakapan yaitu ragam resmi
atau formal. Hubungan
antarpembicara adalah siswi
dengan suster pamong.
dengan bahasa Indonesia
formal sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada
suster pamong dan suster
pamong berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di Aula Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.45 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
evaluasi dan renungan
bersama.
Catatan:
Analisis data 18 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa tuturan suster pamong saat menyampaikan nasihat kepada siswi, kaitannya pula siswi menaruh rasa hormat
kepada suster pamong yang dituakan, maka terbukti siswi menggunakan bahasa Indonesia ragam formal untuk berbicara kepada suster pamong
saat siswi sedang diberi nasihat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
KFH/19/31217 : Data 19.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.50 WIB.
Tempat : Ruang makan Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi persiapan makan malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 6 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, siswi 4, siswi 5,
dan siswi 6.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi membereskan barang-barang dan bersiap untuk
pertuturan makan malam.
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai beresin buku.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
19. KFH/
19/31
217
Siswi 1: Ini punya siapa?
Siswi 2: Punya aku.
Siswi 1: Gak tau diri loh.
Siswi 2: Hahahahaha.
Siswi 3: Apa Tina?
Siswi 4: Tak kiro kowe
arep ngopeni
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Tak kiro kowe
arep ngopeni bukuku jebul . . .”)
dan lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian keduanya
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
bukuku jebul . . .
Siswi 5: Ini siapa punya
lagi ni ah? Jorok
tenan ik.
Siswi 6: Tak kirain kamu
mau ini
namanya.
Siswi 5: Beresin!!.
Siswi 6: Beresin buku . . ?
Siswi 5: Bahasa Indonesia
dong!
Siswi 6: Hahahahaha.
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Apa
Tina?” dan kata sapaan
“Kowe”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata aku, ‘kata tertentu’ (gak,
kiro, kowe, arep, jebul, tenan,
beresin), dan ‘bentuk penekan’
(loh, tak, dong, ik, ni, ah).
3). Topik percakapan: beresin
buku. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat persiapan
makan malam.
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang, siswi 5 anak
guru, siswi 6 anak
pengrajin kayu.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(umur 15 tahun), siswi 5
(17 tahun), siswi 6 (17
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang makan
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
18.50 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi persiapan untuk
makan malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
Catatan:
Analisis data 19 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Tak
kirain kamu mau ini namanya”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Tak kiro kowe arep ngopeni bukuku jebul ...”).
Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/20/31217 : Data 20.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 18.55 WIB.
Tempat : Ruang makan Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi makan malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 7 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 3, siswi 4, siswi 5, siswi 6,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
siswi 7, siswi 8.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun,kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang makan malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai ayam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
20. KFH/
20/31
217
Siswi 5: Pasha, ni ayam
diapain eh?
Siswi 6: Dikecap itu.
Siswi 7: Dah dibagiin
sama rata.
Siswi 4: Aku mau cabe
dong..
Siswi 5: Cabe..
Siswi 8: Ini mbaknya.
Siswi 7: Cabe.
Siswi 1: Pedes gak ni?
Siswi 5: Gak tau.
Siswi 1: Setengah tujuh
suruh selesai.
Siswi 3: Heee sepuluh
menit makan.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan nonformal pada
percakapan.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya (bukti pada
kata sapaan: “Pasha, ni ayam
diapain eh?”), ‘kata ganti’
untuk menyebut diri
menggunakan kata aku, ‘kata
tertentu’ (gak, cabe, dah, pedes,
tau), ‘bentuk penekan’ (dong,
ni, eh).
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 3 anak guru, siswi 4
anak karyawan perusahaan
tambang, siswi 5 anak
guru, siswi 6 anak
pengrajin kayu, siswi 7
anak petani, siswi 8 anak
petani.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
Siswi 1: Hahahahaha.
3). Topik percakapan: ayam.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
makan malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 3 (16 tahun),
siswi 4 (15 tahun), siswi 5
(17 tahun), siswi 6 (17
tahun), siswi 7 (17 tahun),
siswi 8 (17 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
ragam nonformal sesuai
fungsinya, siswi berbicara
kepada siswi. Tempat
terjadinya interaksi di
ruang makan Asrama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 18.55 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
makan malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 20 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa tuturan para siswi terbukti menggunakan bahasa Indonesia ragam lisan nonformal, di mana ciri atau
penandanya tersebut menunjukkan adanya fenomena diglosia.
KFH/21/31217 : Data 21.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.00 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai usai makan malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, dan siswi 3.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang santai usai makan malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai air panas.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
21. KFH/ Siswi 1: Nining. 1). Dari data ini terlihat Faktor terjadinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
232
21/31
217
Siswi 2: Ning, ning, ning,
ning, nanti kalau
airnya sudah
panas panggil yaa!
Siswi 3: Jangan, jangan,
jangan, jangan..!
Siswi 2: Harus mau lah..
Siswi 3: Hahahaha, yo
mengko tak jeluk.
Siswi 2: Iya, pokoknya
kalau airnya udah
panas panggil aku
ya!
Siswi 3: Iyo.
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Hahahaha, yo
mengko tak jeluk”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya (bukti pada
kata sapaan: “Ning, ning, ning,
ning, nanti kalau airnya sudah
panas panggil yaa!”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku, ‘kata
tertentu’ (udah, iyo, jeluk,
mengko), ‘bentuk penekan’ (lah,
yo, tak).
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
3). Topik percakapan: air panas.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang santai seusai makan
malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.00 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang santai usai
makan malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
234
Catatan:
Analisis data 21 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Iya,
pokoknya kalau airnya udah panas panggil aku ya!”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Hahahaha, yo mengko tak
jeluk”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/22/31217 : Data 22.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.05 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai usai makan malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 6 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 3, dan siswi 4, siswi 5, siswi
7, siswi 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
235
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang santai usai makan malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai pisang ambon.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Triangulator
Komentar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
236
Variasi Bahasa Setuju
Tidak
setuju
22. KFH/
22/31
217
Siswi 4: Gedhe banget..
Siswi 5: Gak enak.
Siswi 8: Kayak ambon..
Siswi 7: Hahaha buset
hahaha.
Siswi 1: Apa e?
Siswi 3: Emang pisang
ambon.
Siswi 8: Gak papa, cuma
ngasih tau doang.
Siswi 3: Hahahahahaha
ealah.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Hahahaha, yo
mengko tak jeluk”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya (bukti pada
kata sapaan: “Ning, ning, ning,
ning, nanti kalau airnya sudah
panas panggil yaa!”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku, ‘kata
tertentu’ (udah, iyo, jeluk,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 3 anak guru, siswi 4
anak karyawan perusahaan
tambang, siswi 5 anak
guru, siswi 7 anak petani,
siswi 8 anak petani.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 3 (16 tahun),
siswi 4 (15 tahun), siswi 5
(17 tahun), siswi 7 (17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
237
mengko, ealah), ‘bentuk
penekan’ (lah, yo, tak).
3). Topik percakapan: air panas.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang santai seusai makan
malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
tahun), siswi 8 (17 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.05 WIB. Kegiatan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
238
dilakukan adalah para
siswi sedang santai usai
makan malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 22 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Gak
papa, cuma ngasih tau doang”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Hahahaha, yo mengko tak jeluk”). Sementara
analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/23/31217 : Data 23.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
239
Waktu : Minggu malam, 3 Desember 2017, pukul 19.10 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi persiapan belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, dan siswi 4.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang persiapan untuk belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai susu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
240
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
23. KFH/
23/31
217
Siswi 1: Oni, Oni gak mau
kan?
Siswi 2: Oni?
Siswi 3: Aku, aku nyicip!
Siswi 4: Keluar yo?
Siswi 2: Ho’o yoo..
Siswi 3: Minta susumu!
Siswi 1: Endi susu?
Siswi 3: Minta susumu!
Siswi 1: Gak bisa
dicelupin.
Siswi 2: Eh aku pinjem.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “endi”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya (bukti pada
kata sapaan: “Oni, Oni gak mau
kan?”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata aku, ‘kata tertentu’ (gak,
nyicip, endi, pinjem), ‘bentuk
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
241
penekan’ (kan, yo, ho’o, eh ).
3). Topik percakapan: susu.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang persiapan untuk belajar
malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
242
19.10 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang persiapan
untuk belajar malam dan
terlibat percakapan dalam
situasi santai.
Catatan:
Analisis data 23 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Oni,
Oni gak mau kan?”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada kata: “endi”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke
2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/24/31217 : Data 24.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
243
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.15 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 5 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, siswi 7, dan suster
pamong.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
244
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai belajar.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
24. KFH/
24/31
217
Suster: Belajar! Belajar,
jam berapa?
Siswi 1: Tujuh.
Suster: Nek ngono
sing pegang hp
mung sepuluh
menit.
Siswi 2: Sasaa!! Sasa,
dipanggil Suster!!
Siswi 3: Aku dipanggil.
Aduh kenapa ya?
Suster: Iki nek do mangan
ngene ki. Mlebu
neng kuping po ra
bahaya.
Siswi 7: Iya bener Suster,
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Iki nek dho
mangan ngene ki. Mlebu neng
kuping po ra bahaya.”) dan
lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan semiformal (tidak terlalu
formal maupun tidak pula
terlalu nonformal).
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 7 anak petani,
dan suster pamong sebagai
guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
245
maaf ya Suster.
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti pada kata sapaan: “Iya
bener Suster, maaf ya Suster”),
‘kata ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata aku dalam
ragam semiformal, ‘kata
tertentu’ (ngono, sing, mung,
mangan, ngene, mlebu, bener),
dan ‘bentuk penekan’ (nek, ki,
ra, dho).
3). Topik percakapan: belajar.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat belajar
malam bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 7
(17 tahun), suster pamong
(51 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi,
siswi berbicara kepada
suster pamong, dan suster
pamong berbicara kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
246
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.15 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang belajar
malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 24 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
247
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Iya
bener Suster, maaf ya Suster”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan “Iki nek dho mangan ngene ki. Mlebu neng kuping po ra
bahaya”). Pemakaian keduanya menunjukkan ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal) apabila
dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui
oleh triangulator.
KFH/25/31217 : Data 25.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.20 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 9, siswi 10, siswi 11, dan siswi 12.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
248
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai belajar.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
25. KFH/
25/31
217
Siswi 9 : Eh Tiara,
gimana caranya?
Aku diajarin
dong!
Siswi 10 : Ya dihitung
satu-satu.
Siswi 9 : Glukosa sih?
Siswi 10 : Berarti ni salah
semua lah.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Rasah
sepaneng!”) dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 9
anak seorang guru, siswi
10 anak pengrajin tenun,
siswi 11 anak polisi, siswi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
249
Siswi 9 : Hahahahahaha.
Siswi 11 : Gak boleh
berisik.
Siswi 12 : Rasah
sepaneng!
Siswi 10 : Ya udah, udah
pasti salah itu.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya (bukti pada
kata sapaan: “Eh Tiara, gimana
caranya?”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata aku, ‘kata tertentu’ (gak,
udah, gimana, rasah,
sepaneng), ‘bentuk penekan’
(sih, ni, lah ).
3). Topik percakapan: belajar.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam akrab
(intim).
12 anak pegawai rumah
sakit.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16
tahun), siswi 11 (18
tahun), siswi 12 (18
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
250
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.20 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang belajar
malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
keakraban.
Catatan:
Analisis data 25 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
251
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Eh
Tiara, gimana caranya? Aku diajarin dong!”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Rasah sepaneng!”). Sementara
analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/26/31217 : Data 26.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.25 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 5 partisipan dengan inisial siswi 9, siswi 10, siswi 11, siswi 12, dan
suster pamong.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
252
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan (suster): berasal dari Bandar Lampung, umur 51 tahun, status sosial: guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai berduka cita.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
26. KFH/
26/31
217
Siswi 11: Hati-hati ya Sus.
Kalau ada begal
telpon saya Sus!
Haa..
Siswi 12: Suster, salam
buat Pak Paena.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan semiformal (tidak
terlalu formal maupun tidak
pula terlalu nonformal) pada
percakapan.
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
253
Siswi 10: Iya, turut
berduka cita,
Sus.
Siswi 9 : Turut berduka
cita soalnya.
Suster : Iya, iya, iya.
Siswi 11: Rumahnya kan
jauh Sus, pakai
jaket ya Sus!
Siswi 10: Sus, jangan
pulang malam-
malam Sus,
Minggir gak ada
lampu, Sus. Aku
bisa khawatir
nanti.
2). Penanda ragam semiformal:
penggunaan ‘kata sapaan’
kepada orang yang dihormati,
menyapa suster pamong dengan
menggunakan kata “suster”
(bukti pada kata sapaan:
“Suster, salam buat Pak
Paena”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata aku dalam ragam
semiformal, ‘kata tertentu’ (gak,
telpon), dan ‘bentuk penekan’
(kan).
3). Topik percakapan: berduka
cita. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat belajar
malam bersama.
4). Situasinya semiformal, gaya
anak guru, siswi 10 anak
pengrajin tenun, siswi 11
anak polisi, siswi 12 anak
pegawai rumah sakit, dan
suster pamong sebagai
guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII), suster
pamong lulusan strata 1.
a3). umur; siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16
tahun), siswi 11 (18
tahun), siswi 12 (18
tahun), suster pamong (51
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
254
atau ragam percakapannya
ragam usaha (konsultatif).
5). Hubungan antarpembicara
adalah teman sesama teman,
siswi terhadap suster pamong,
dan suster pamong terhadap
siswi.
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
ragam lisan semiformal
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada suster
pamong, dan suster
pamong berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.25 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang belajar
malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
255
Catatan:
Analisis data 26 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Sus,
jangan pulang malam-malam Sus, Minggir gak ada lampu, Sus.”), dan bahasa Indonesia formal (bukti pada tuturan “Iya, turut berdukacita,
Sus”). Pemakaian keduanya menunjukkan ragam bahasa lisan semiformal (tidak terlalu formal maupun tidak pula terlalu nonformal) apabila
dikaji menurut ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya. Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui
oleh triangulator.
KFH/27/31217 : Data 27.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.30 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
256
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 3, siswi 4, dan siswi 5.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai Bu Eni.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
27. KFH/
27/31
217
Siswi 4: Siapa yang
bilang? Bu Eni?
Siswi 3: Beneran biologi tu
antik. Kalau
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan nonformal pada
percakapan.
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
257
materi yang ini
gak usah dihafalin
saya aja gak hafal
sampai sekarang
ini.
Siswi 4: Siapa itu Rin?
Siswi 3: Bu Eni.
Siswi 5: Udah gak usah
dipelajari, cuma
buang-buang
pikiran.
Siswi 4: Materi apa?
Siswi 5: Yang banyak
banget. Aku
sampai bingung.
Siswi 4: Satu reaksi aja.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Siapa
itu Rin?”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata aku, ‘kata tertentu’ (gak,
bilang, beneran, usah, aja,
udah, cuma, banget), ‘bentuk
penekan’ (tu).
3). Topik percakapan: Bu Eni.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
antaranya;
a1). status sosial; siswi 3
anak guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang, siswi 5 anak
guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 3 (16
tahun), siswi 4 (15 tahun),
siswi 5 (17 tahun.
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
258
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
ragam nonformal sesuai
fungsinya, siswi berbicara
kepada siswi. Tempat
terjadinya interaksi di
ruang belajar Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Minggu, 3 Desember 2017
pukul 19.30 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
belajar malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 27 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa tuturan para siswi terbukti menggunakan bahasa Indonesia ragam lisan nonformal, di mana ciri atau
penandanya tersebut menunjukkan adanya fenomena diglosia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
259
KFH/28/31217 : Data 28.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.35 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai usai makan malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 2 partisipan dengan inisial siswi 6, dan siswi 7.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai babi.
Triangulator
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
260
No Data Percakapan/Tuturan Analisis Fenomena Diglosia Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
28. KFH/
28/31
217
Siswi 6: Wah delok
bentukane.
Siswi 7: Wis raine bunder
banget koyo
ngono.
Siswi 6: Koyo babi.
Siswi 7: Sesuk aku
kondangan.
Siswi 6: Is gendut kek
babi.
Siswi 7: Sesuk sing
kondangan bareng
yo, Ndul!
Siswi 6: Kan jadi satu
kayak gini.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Wah delok
bentukane.”) dan bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Sesuk
sing kondangan bareng yo,
Ndul!”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 6
anak pengrajin kayu, siswi
7 anak petani.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 6 (17
tahun), siswi 7 (17 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
261
kata aku, ‘kata tertentu’ (kayak,
banget, delok, bentukane, raine,
bunder, koyo, ngono), dan
‘bentuk penekan’ (wah, wis, is,
kek, kan).
3). Topik percakapan: babi.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.35 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang belajar
malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
262
Catatan:
Analisis data 28 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Kan
jadi satu kayak gini”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Wah delok bentukane”). Sementara analisis pernyataan
lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/29/31217 : Data 29.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.40 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 4 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, dan siswi 4.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
263
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai bagian tiga.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
29. KFH/
29/31
217
Siswi 2: Sa, Saa, Sa, Sasa
dua ya!
Siswi 3: Dua?
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
264
Siswi 2: Ya.
Siswi 1: Bagian tiga.
Siswi 4: Hah?
Siswi 1: Bagian tiga.
Siswi 4: Apa?
Siswi 1: Bagian tiga.
Siswi 4: Apa?
Siswi 1: Bagian tiga budek
amat.
Siswi 4: Biasa aja.
pada kata: “budek”) dan bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Sa,
Saa, Sa, Sasa dua ya!”), ‘kata
tertentu’ (budek), dan ‘bentuk
penekan’ (hah).
3). Topik percakapan: bagian
tiga. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
265
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.40 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang belajar
malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
266
Catatan:
Analisis data 29 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Bagian tiga budek amat”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/30/31217 : Data 30.
Konteks :
Waktu : Minggu sore, 3 Desember 2017, pukul 19.45 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 6 partisipan dengan inisial siswi 2, siswi 6, siswi 7, siswi 8, siswi 9,
dan siswi 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
267
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai jijik.
Triangulator
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
268
No Data Percakapan/Tuturan Analisis Fenomena Diglosia Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
30. KFH/
30/31
217
Sisw 6: Mbaknya diem
ya. Suaranya
nyiprat tho.
Siswi 7: Njijiki banget
sumpah.
Siswi 8: Njijiki banget ik.
Siswi 9: Bakal jijik.
Siswi 10: Lihat aja besok
lu ya.
Siswi 7: Mega itu baik
lho, dia tu gak
bolehin Arum
makan cokelat
karena lagi
batuk. Ya gak
Meg?
Siswi 2: Hihihihihi.
Siswi 7: Itu greget banget.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “nyiprat”, “njijiki”)
dan lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Mega
itu baik lho, dia tu gak bolehin
Arum makan cokelat karena lagi
batuk. Ya gak Meg?”), ‘kata
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 2
anak karyawan
perusahaan, siswi 6 anak
pengrajin kayu, siswi 7
anak petani, siswi 8 anak
petani, siswi 9 anak guru,
siswi 10 anak pengrajin
tenun.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 2 (18
tahun), siswi 6 (17 tahun),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
269
ganti’ untuk menyebut orang
lain menggunakan kata lu, ‘kata
tertentu’ (gak, nyiprat, njijiki,
banget, greget), ‘bentuk
penekan’ (tho, ik, lho, tu).
3). Topik percakapan: jijik.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
siswi 7 (17 tahun), siswi 8
(17 tahun), siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
270
Yogyakarta pada Minggu,
3 Desember 2017 pukul
19.45 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi belajar malam dan
terlibat percakapan dalam
situasi santai.
Catatan:
Analisis data 30 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Mega itu baik lho, dia tu gak bolehin Arum makan cokelat karena lagi batuk. Ya gak Meg?”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti
pada kata: “nyiprat”, “njijiki”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
271
KFH/31/31217 : Data 31.
Konteks :
Waktu : Senin pagi, 4 Desember 2017, pukul 06.07 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi makan pagi.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 9 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, siswi 4, siswi 5,
siswi 6, siswi 7, siswi 8, dan siswi 9.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
272
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang makan pagi sebelum berangkat sekolah.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai Boy William.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
31. KFH/
31/31
217
Siswi 2: Udah nikah belum
sih?
Siswi 1: Gak tau.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan nonformal pada
aktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
273
Siswi 3: Ha? Haaaa?
Haaaaaaaa?
Siswi 4: Dengan siapa?
Siswi 3: Boy Boy William?
Siswi 4: Boy William itu
siapa?
Siswi 5: Gak tau.
Siswi 3: Yang di itu lho
yang di breakout
Boy William.
Siswi 4: Gak kenal.
Siswi 6: Iya aku tahu..
Siswi 3: Huhuhu sumpah.
Siswi 2: Ihhhh..
Siswi 7: Ha??? Gue gak
terima..
Siswi 8: Ning, Bening,
bukannya Boy
William dah
punya pacar ya?
Siswi 9: Boy William tu
percakapan.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Ning,
Bening, bukannya Boy William
dah punya pacar ya?”), ‘kata
ganti’ untuk menyebut diri
menggunakan kata gue, ‘kata
tertentu’ (gak, udah, dah),
‘bentuk penekan’ (sih, lho, ih).
3). Topik percakapan: Boy
William. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang, siswi 5 anak
guru, siswi 6 anak
pengrajin kayu, siswi 7
anak petani, siswi 8 anak
petani, siswi 9 anak guru.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun), siswi 5 (17
tahun, siswi 6 (17 tahun),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
274
dah punya pacar
bukan artis.
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
siswi 7 (17 tahun), siswi 8
(17 tahun), siswi 9 (18
tahun), siswi 10 (16
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
ragam nonformal sesuai
fungsinya, siswi berbicara
kepada siswi. Tempat
terjadinya interaksi di
ruang belajar Asrama
Siswi Santa Angela,
Bantul, Yogyakarta pada
Senin pagi, 4 Desember
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
275
2017 pukul 06.07 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
belajar malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 31 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Dalam triangulasi data, analisis ini telah disetujui oleh
triangulator yang menyatakan bahwa tuturan para siswi terbukti menggunakan bahasa Indonesia ragam lisan nonformal, di mana ciri atau
penandanya tersebut menunjukkan adanya fenomena diglosia.
KFH/32/31217 : Data 32.
Konteks :
Waktu : Senin pagi, 4 Desember 2017, pukul 06.20 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi persiapan berangkat sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
276
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 6 partisipan dengan inisial siswi 11, siswi 12, siswi 13, siswi 14, siswi
15, dan siswi 16.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang apoteker.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang bersiap-siap berangkat sekolah.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai layat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
277
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
32. KFH/
32/31
217
Siswi 11: Aeh, Pak Paena
kan lagi berduka
kita kok masih
UAS.
Siswi 12: Ya kali Sa, kamu
tu gak boleh
kayak gitu.
Siswi 11: Lha kan turut
berduka cita lho.
Siswi 12: Lha njuk?
Siswi 13: Nanti esuknya
pulang . . . .
Siswi 14: Nanti pulang
sekolah ki layat,
jare sih.
Siswi 13: Semua anak
sekolah?
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “njuk”, “jare”) dan
lainnya bahasa Indonesia.
Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Ya
kali Sa, kamu tu gak boleh
kayak gitu.”), ‘kata ganti’ untuk
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 11
anak polisi, siswi 12 anak
pegawai rumah sakit, siswi
13 anak pedagang, siswi
14 anak apoteker, siswi 15
anak guru, siswi 16 anak
perawat rumah sakit.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 11 (18
tahun), siswi 12 (18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
278
Siswi 15: Ya kali
keroyokan.
Siswi 16: Gua mah udah,
gua mah udah
ada boncengan
pribadi.
menyebut diri menggunakan
kata gua, ‘kata tertentu’ (gak,
kayak, njuk, jare, keroyokan,
udah), ‘bentuk penekan’ (kok,
sih, lho, kan, tu, aeh, lha, ki).
3). Topik percakapan: layat.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang bersiap-siap berangkat
sekolah.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
tahun), siswi 13 (17
tahun), siswi 14 (17
tahun), siswi 15 (17
tahun), siswi 16 (17
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
279
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin
pagi, 4 Desember 2017
pukul 06.20 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
bersiap untuk berangkat
sekolah dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 32 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
280
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Ya
kali Sa, kamu tu gak boleh kayak gitu”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada kata: “njuk”, “jare”). Sementara analisis pernyataan
lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/33/31217 : Data 33.
Konteks :
Waktu : Senin pagi, 4 Desember 2017, pukul 10.05 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai usai pulang sekolah.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 9, siswi 13, dan siswi 14.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang apoteker.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang santai usai pulang sekolah.
pertuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
281
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai tas.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
33. KFH/
33/31
217
Siswi 14: Benci banget gue
ma Bening
sumpah.
Siswi 9: Kenapa?
Siswi 14: Tasnya itu lho.
Siswi 13: Aku juga benci
lihat kamu pakai
tas cheers itu.
Siswi 14: Hahahahaha.
Siswi 13: Geli tau.
Siswi 14: Ini tuh
sebenarnya
didesign.
Siswi 9: Buat anak TK.
Siswi 14: Iya emang ini
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran tiga
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “gede”), bahasa
Inggris (bukti pada kata:
“design”, “cheers”), dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
ketiganya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 9
anak guru, siswi 13 anak
pedagang, siswi 14 anak
apoteker.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 9 (18
tahun), siswi 13 (17
tahun), siswi 14 (17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
282
buat anak TK
sebenarnya.
Waktu di apa,
waktu di mana
itu namanya, di
sana toh anak TK
nya tu makainya
udah segini-gini,
kita ya dah gede-
gede makainya
segini-gini, jadi
apa namanya,
jadi kita nyesuain
yang anak TK.
Siswi 13: Harusnya anak
TK
menyesuaikan
kita.
Siswi 14: Makanya itu gue
juga bingung.
(bukti pada kalimat sapaan:
“Benci banget gue ma Bening
sumpah.”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata gue, ‘kata tertentu’ (gede,
tau), dan ‘bentuk penekan’ (lho,
toh).
3). Topik percakapan: tas.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang santai usai pulang
sekolah.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin
pagi, 4 Desember 2017
pukul 10.05 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
283
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
santai usai pulang sekolah
dan terlibat percakapan
dalam situasi santai.
Catatan:
Analisis data 33 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 3 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Benci banget gue ma Bening sumpah”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada kata: “gede”), dan bahasa Inggris nonformal (bukti pada
kata: “design”, “cheers”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/34/31217 : Data 34.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
284
Waktu : Senin, 4 Desember 2017, pukul 10.15 WIB.
Tempat : Ruang makan Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai saat persiapan makan siang.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 5 partisipan dengan inisial siswi 3, siswi 9, siswi 13, siswi 14, dan
siswi 16.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Partisipan siswi 14: berasal dari Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang apoteker.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang mempersiapkan makan siang.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai Stece.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
285
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
34. KFH/
34/31
217
Siswi 14: Ngeselin tau gak
sih sama
panitianya yang
di Surabaya.
Emang, katanya
panitianya itu
hancur lebur.
Siswi 13: Ho’o juga.
Siswi 9 : Ho’o ya ampun,
kasihan banget,
apa, Stece kalah
gara-gara
blereng.
Siswi 13: Padahal Stece
bagus.
Siswi 14: Bagus, jos.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran tiga
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kata: “blereng”), bahasa
Inggris (bukti pada kata: “sun
rise”), dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian ketiganya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata tertentu’
(blereng, emang, gak , tau,
banget), dan ‘bentuk penekan’
(jos, sih).
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 3
anak guru, siswi 9 anak
guru, siswi 13 anak
pedagang, siswi 14 anak
apoteker, siswi 16 anak
perawat rumah sakit.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 3 (16
tahun), siswi 9 (18 tahun),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
286
Siswi 9 : Mereka level
berapa?
Siswi 14: Lima.
Siswi 9: Yang level enam
siapa?
Siswi 3: Ini Sunrise.
Siswi 16: Jelasss..
3). Topik percakapan: stece.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang persiapan makan siang.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
siswi 13 (17 tahun), siswi
14 (17 tahun), siswi 16 (17
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa
daerah dominan bahasa
Jawa sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang makan
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin, 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
287
Desember 2017 pukul
10.15 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang
mempersiapkan makan
siang dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 34 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 3 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Ngeselin tau gak sih sama panitianya yang di Surabaya. Emang, katanya panitianya itu hancur lebur.”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko
(bukti pada kata: “blereng”), dan bahasa Inggris formal (bukti pada kata: “sunrise”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2,
3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
288
KFH/35/31217 : Data 35.
Konteks :
Waktu : Senin, 4 Desember 2017, pukul 10.20 WIB.
Tempat : Ruang makan Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai makan siang.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 9 partisipan dengan inisial siswi 2, siswi 3, siswi 4, siswi 6, siswi 7,
siswi 8, siswi 9, siswi 10, dan siswi 11.
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
289
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 9: berasal dari Sleman, Yogyakarta, umur 18 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 10: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang makan siang.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai terong.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
35. KFH/ Siswi 10: Kok ada terong 1). Dari data ini terlihat Faktor terjadinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
290
35/31
217
nya?
Siswi 11: Kok ada terong?
Siswi 9 : Gak tau.
Siswi 7 : Terong?
Siswi 8 : Sambel terong.
Siswi 7 : Yahh.
Siswi 6 : Kayaknya itu
mau bikin terong
tapi karena gak
cukup.
Siswi 2 : Njijiki Lan.
Siswi 3 : Hei jangan
salahin gua,
mereka yang
mulai yaa.
Siswi 2 : Gak suka.
Siswi 3 : Enak nak.
Siswi 4 : Enak enak.
Siswi 2 : Ra doyan kok.
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Ra doyan kok”,
pada kata “njijiki”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Njijiki
Lan.”), ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri menggunakan
kata gua, ‘kata tertentu’ (gak,
kayak, tau, njijiki, doyan),
‘bentuk penekan’ (kok, yah).
3). Topik percakapan: terong.
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 2
anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang, siswi 6 anak
pengrajin kayu, siswi 7
anak petani, siswi 8 anak
petani, siswi 9 anak guru,
siswi 10 anak pengrajin
tenun, siswi 11 anak polisi.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 2 (18
tahun), siswi 3 (16 tahun),
siswi 4 (15 tahun), siswi 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
291
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang makan siang.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
(17 tahun), siswi 6 (17
tahun), siswi 7 (17 tahun),
siswi 8 (17 tahun), siswi 9
(18 tahun), siswi 10 (16
tahun), siswi 11 (18
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang makan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
292
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin
siang, 4 Desember 2017
pukul 10.20 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
makan siang dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 35 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
293
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Kayaknya itu mau bikin terong tapi karena gak cukup”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Ra doyan kok”, pada kata
“njijiki”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/36/31217 : Data 36.
Konteks :
Waktu : Senin, 4 Desember 2017, pukul 10.25 WIB.
Tempat : Ruang makan Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai makan siang.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 6 partisipan dengan inisial siswi 5, siswi 6 siswi 7, siswi 8, siswi 10,
dan siswi 11.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 7: berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
petani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
294
Partisipan siswi 8: berasal dari Bantul, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani.
Partisipan siswi 10: berasal Kulon Progo, Yogyakarta, umur 16 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pengrajin tenun.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang makan siang.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai tambalan kroak.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
36. KFH/
36/31
217
Siswi 5 : Sumpah Ning.
Iki, enak banget,
sumpah.
Siswi 6 : Ning, suapin
Ning!!
Siswi 11: He ehhh.
Siswi 7 : Aduh ni
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Kok isoh
kroak?”) dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 5
anak guru, siswi 6 anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
295
tambalanku
kroak.
Siswi 8: Udah sih makan
lagi ahh.
Siswi 10: Kok isoh kroak?
Siswi 7 : Gak tau ....
Siswi 10: Ojo mangan sing
atos-atos berarti.
Siswi 7: Pengeenn..
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan:
“Sumpah Ning. Iki, enak banget,
sumpah.”), ‘kata tertentu’ (gak,
pengen, kroak, isoh, ojo,
mangan, sing, atos), ‘bentuk
penekan’ (sih, kok, ah, eh, ni,
iki).
3). Topik percakapan: tambalan
kroak. Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang makan siang.
4). Situasi dan gaya atau ragam
pengrajin kayu, siswi 7
anak petani, siswi 8 anak
petani, siswi 10 anak
pengrajin tenun, siswi 11
anak polisi.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 5 (17
tahun), siswi 6 (17 tahun),
siswi 7 (17 tahun), siswi 8
(17 tahun), siswi 10 (16
tahun), siswi 11 (18
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
296
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang makan
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin, 4
Desember 2017 pukul
10.25 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang makan siang
dan terlibat percakapan
dalam situasi santai.
Catatan:
Analisis data 36 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
297
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Udah sih makan lagi ahh”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Kok isoh kroak?”). Sementara analisis pernyataan
lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/37/31217 : Data 37.
Konteks :
Waktu : Senin, 4 Desember 2017, pukul 10.35 WIB.
Tempat : Ruang makan Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi santai saat makan siang.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 7 partisipan dengan inisial siswi 1, siswi 2, siswi 3, siswi 4, siswi 5,
siswi 6, dan siswi 11.
Partisipan siswi 1: berasal dari Kalimantan Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang petani
kelapa sawit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
298
Partisipan siswi 2: berasal dari Jakarta Selatan, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan.
Partisipan siswi 3: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 16 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 5: berasal dari Tangerang Selatan, umur 17 tahun, kelas XII IPS 1, status sosial: anak seorang guru.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang makan siang.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai sambel.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Triangulator
Komentar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
299
Variasi Bahasa Setuju
Tidak
setuju
37. KFH/
37/31
217
Siswi11: Ini tu dicampur
tau sambelnya.
Siswi 5: Keselip Ning itu
keselip.
Siswi 1: Buset tu mau
masak terong,
pasti gak cukup
itu.
Siswi 2: Itu sambelnya
sambel terong?
Siswi3: Itu sambel apa?
terasi atau sambel
bawang?
Siswi 4: Sambel terong.
Siswi 5: Pedes banget
nggon aku.
Siswi 6: Huh huh fuck
you.
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran tiga
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Pedes banget
nggon aku”), bahasa Inggris
(bukti pada kalimat: “Huh huh
fuck you”), dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian ketiganya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan:
“Keselip Ning itu keselip”),
‘kata tertentu’ (gak, pedes,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 1
anak petani kelapa sawit,
siswi 2 anak karyawan
perusahaan, siswi 3 anak
guru, siswi 4 anak
karyawan perusahaan
tambang, siswi 5 anak
guru, siswi 6 anak
pengrajin kayu, siswi 11
anak polisi.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 1 (18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
300
sambel, tau, banget, nggon), dan
‘bentuk penekan’ (tu, huh).
3). Topik percakapan: sambel.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat makan
siang.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
tahun), siswi 2 (18 tahun),
siswi 3 (16 tahun), siswi 4
(15 tahun), siswi 5 (17
tahun), siswi 6 (17 tahun),
siswi 11 (18 tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia,
bahasa daerah dominan
bahasa Jawa, dan bahasa
Inggris sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang makan
Asrama Siswi Santa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
301
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin, 4
Desember 2017 pukul
10.35 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang makan siang
dan terlibat percakapan
dalam situasi santai.
Catatan:
Analisis data 37 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 3 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Ini
tu dicampur tau sambelnya”), bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Pedes banget nggon aku”), dan bahasa Inggris nonformal
(bukti pada tuturan: “Huh huh fuck you”). Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
302
KFH/38/31217 : Data 38.
Konteks :
Waktu : Senin malam, 4 Desember 2017, pukul 19.00 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi belajar malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 6, siswi 15, dan siswi 18.
Partisipan siswi 6: berasal dari Singaraja, Bali, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang pengrajin
kayu.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 18: berasal dari Timika, Papua, umur 16 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang pegawai
pemerintah daerah.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang belajar malam.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai jaga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
303
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
38. KFH/
38/31
217
Siswi 15: Sa, Sasa..
Siswi 6 : Hemm?
Siswi 15: Sesuk Jumat aku
jogo ra yo?
Siswi 6 : Kemis.
Siswi 18: Eh besok tu
masih ada yang
jaga kan?
Siswi 15: Jaga lagi?
Anjirr..
Siswi 6: Senin, Selasa,
Rabu.
Siswi 18: Kamu tu Sabtu,
kan Jumat Sabtu
libur.
Siswi 15: Jumat gak ada
1). Dari data ini terlihat
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Sesuk Jumat aku
jogo ra yo?”) dan lainnya
bahasa Indonesia. Pemakaian
keduanya menunjukkan ragam
bahasa lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata sapaan’ untuk
menyapa teman cukup
menyebut namanya atau
menggunakan bahasa daerah
(bukti pada kata sapaan: “Sa,
Sasa.”), ‘kata tertentu’ (gak,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 6
anak pengrajin kayu, siswi
15 anak guru, siswi 18
anak pegawai pemerintah
daerah.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 6 (17
tahun), siswi 15 (17
tahun), siswi 18 (16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
304
yang jaga?
kemis, anjir, sesuk, jogo),
‘bentuk penekan’ (eh, tu, yo, ra,
kan).
3). Topik percakapan: jaga.
Fungsi komunikasinya
digunakan pada saat para siswi
sedang belajar malam.
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin
malam, 4 Desember 2017
pukul 19.00 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
305
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi sedang
belajar malam dan terlibat
percakapan dalam situasi
santai.
Catatan:
Analisis data 38 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan: “Eh
besok tu masih ada yang jaga kan?”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Sesuk Jumat aku jogo ra yo?”). Sementara
analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
KFH/39/31217 : Data 39.
Konteks :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
306
Waktu : Senin malam, 4 Desember 2017, pukul 20.45 WIB.
Tempat : Ruang doa Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi persiapan doa malam.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 5 partisipan dengan inisial siswi 12, siswi 14, siswi 15, siswi 16, dan
siswi 17.
Partisipan siswi 12: berasal dari Semarang, Jawa Tengah, umur 18 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang
pegawai rumah sakit.
Partisipan siswi 14: berasal dari Lampung, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang apoteker.
Partisipan siswi 15: berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
guru.
Partisipan siswi 16: berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
perawat rumah sakit.
Partisipan siswi 17: berasal dari Tangerang, umur 17 tahun, kelas XII IPA 1, status sosial: anak seorang dokter.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang bersiap-siap untuk doa malam.
pertuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
307
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai berdoa.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
39. KFH/
39/31
217
Siswi 12: Ayo berdoa.
Siswi 16: Marilah kita
persiapkan hati
kita untuk
berdoa.
Siswi 14: Doa saya pimpin.
Dalam nama
Bapa, dan Putera,
dan Roh Kudus,
amin. Marilah
kita doakan
Malaikat Tuhan.
Siswi 17: Maria diberi
kabar oleh
malaikat Tuhan,
1). Dari data ini terlihat
pemakaian bahasa Indonesia
ragam lisan formal pada
percakapan.
2). Pemakaian bahasa Indonesia
formal menunjukkan ragam
tinggi kaitannya dengan fungsi
bahasa digunakan untuk berdoa
(ritual keagamaan).
3). Penanda ragam formal:
penggunaan ‘kata ganti’ untuk
menyebut diri sendiri
menggunakan kata saya,
Faktor terjadinya
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 12
anak pegawai rumah sakit,
siswi 14 anak apoteker,
siswi 15 anak guru, siswi
16 anak perawat rumah
sakit, siswi 17 anak dokter.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). Umur; siswi 12 (18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
308
bahwa ia akan
mengandung dari
Roh Kudus.
Salam Maria
penuh rahmat
Tuhan sertaMu,
terpujilah
Engkau di antara
wanita dan
terpujilah buah
tubuhMu Yesus.
Santa Maria
Bunda Allah,
doakanlah kami
yang berdosa ini,
sekarang dan
waktu kami mati,
amin. Aku ini
hamba Tuhan,
terjadilah padaku
menurut
penggunaan ‘imbuhan’ yang
jelas seperti; diberi, berdoa.
4). Topik percakapan: berdoa.
5). Situasi dan gaya (ragam)
percakapan yaitu ragam resmi
atau formal. Hubungan
antarpembicara adalah sesama
teman sebaya.
tahun), siswi 14 (17
tahun), siswi 15 (17
tahun), siswi 16 (17
tahun), siswi 17 (17
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
formal sesuai fungsinya,
siswi berbicara kepada
siswi. Tempat terjadinya
interaksi di ruang doa
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Senin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
309
perkataanMu.
Salam Maria
penuh rahmat
Tuhan sertaMu,
terpujilah
Engkau di antara
wanita dan
terpujilah
buah tubuhMu
Yesus. Santa
Maria Bunda
Allah, doakanlah
kami yang
berdosa ini,
sekarang dan
waktu kami mati,
amin. Sabda
sudah menjadi
daging dan
tinggal di antara
kita. Salam
malam, 4 Desember 2017
pukul 20.45 WIB.
Kegiatan yang dilakukan
adalah para siswi
persiapan dan doa malam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
310
Maria penuh
rahmat Tuhan
sertaMu,
terpujilah
Engkau di antara
wanita dan
terpujilah buah
tubuhMu Yesus.
Santa Maria
Bunda Allah,
doakanlah kami
yang berdosa ini,
sekarang dan
waktu kami mati,
amin. Doakan
kami, ya Santa
Bunda Allah,
supaya kami
dapat menikmati
janji Kristus.
Marilah berdoa:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
311
Ya Allah, karena
kabar malaikat,
kami
mengetahui
bahwa Yesus
Kristus Putera-
Mu menjadi
manusia,
curahkanlah
rahmat-Mu ke
dalam hati kami,
supaya karena
sengsara dan
salib-Nya, kami
dibawa kepada
kebangkitan
yang mulia.
Sebab Dialah
Tuhan,
pengantara
kami. Amin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
312
Siswi 15: Selamat sore,
terima kasih
sudah kenyang.
Catatan:
Analisis data 39 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 5 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: dalam doa dibedakan menjadi dua, yaitu doa
rumusan dan doa spontan. Doa rumusan menggunakan variasi dari segi keformalan ragam beku (frozen), sedangkan doa spontan, dan pengantar
atau ajakan doa menggunakan ragam resmi (formal).
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 5 menjadi:
5). Situasi dan gaya (ragam) percakapan yaitu ragam resmi atau formal saat digunakan dalam pengantar atau ajakan doa dan ragam formal beku
digunakan saat sedang berdoa doa rumusan ‘doa Malaikat Tuhan’. Hubungan antarpembicara adalah sesama teman sebaya. Sementara analisis
pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 1, 2, 3, dan 4 disetujui oleh triangulator.
KFH/40/31217 : Data 40.
Konteks :
Waktu : Selasa pagi, 5 Desember 2017, pukul 04.45 WIB.
Tempat : Ruang belajar Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
313
Situasi : Situasi yang tergambarkan dalam percakapan partisipan adalah situasi persiapan ke gereja untuk misa pagi.
Partisipan : Partisipan yang terlibat dalam percakapan ini ada 3 partisipan dengan inisial siswi 4, siswi 11, dan siswi 13.
Partisipan siswi 4: berasal dari Biak, Papua, umur 15 tahun, kelas XII IPS 2, status sosial: anak seorang karyawan
perusahaan tambang.
Partisipan siswi 11: berasal dari Jawa Barat, umur 18 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang polisi.
Partisipan siswi 13: berasal dari Magelang, Jawa Tengah, umur 17 tahun, kelas XII IPA 2, status sosial: anak seorang
pedagang.
Maksud dan tujuan : Maksud dan tujuan partisipan dalam peristiwa tersebut adalah para siswi sedang bersiap-siap ke gereja untuk misa pagi.
pertuturan
Topik : Topik yang sedang dibahas mengenai Nusakambangan.
No
Data
Percakapan/Tuturan
Analisis Fenomena Diglosia
Faktor Penyebab
Variasi Bahasa
Triangulator
Komentar
Setuju
Tidak
setuju
40. KFH/ Siswi 4 : Nusakambangan 1). Dari data ini terlihat Faktor terjadinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
314
40/31
217
anjay.
Siswi 11 : Tahanan.
Siswi 13 : Masih ada gak
sih?
Siswi 11 : Masih kan.
Siswi 13 : Ya po? Gue aja
gak ngerti.
Siswi 4 : Sing ning
Nusakambangan
kae wis kelas
kakap e.
Penjahat kelas
kakap.
Siswi 11 : Sudah
profesional.
Siswi 4 : Sampai desa-
desaku tau..
Siswi 11 : Teroris-teroris
itu.
pemakaian campuran dua
bahasa yaitu bahasa Jawa (bukti
pada kalimat: “Sing ning
Nusakambangan kae wis kelas
kakap e.”) dan lainnya bahasa
Indonesia. Pemakaian keduanya
menunjukkan ragam bahasa
lisan nonformal.
2). Penanda ragam nonformal:
penggunaan ‘kata tertentu’ (gak,
anjay, ngerti,sing, ning, kae),
‘bentuk penekan’ (sih, kan, e,
wis).
3). Topik percakapan:
nusakambangan. Fungsi
komunikasinya digunakan pada
saat para siswi sedang bersiap-
siap ke gereja untuk misa pagi.
penggunaan variasi bahasa
yaitu faktor nonlinguistik:
a). faktor-faktor sosial, di
antaranya;
a1). status sosial; siswi 4
anak karyawan perusahaan
tambang, siswi 11 anak
polisi, siswi 13 anak
pedagang.
a2). tingkat pendidikan;
siswi (sekolah menengah
atas kelas XII).
a3). umur; siswi 4 (15
tahun), siswi 11 (18
tahun), siswi 13 (17
tahun).
a4). jenis kelamin;
perempuan.
b). faktor situasional; siapa
berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
315
4). Situasi dan gaya atau ragam
percakapan yaitu ragam santai
(kasual).
5). Hubungan antarpembicara
adalah sesama teman sebaya.
di mana, dan mengenai
masalah apa. Diketahui
partisipan berbicara
dengan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah
dominan bahasa Jawa
sesuai fungsinya, siswi
berbicara kepada siswi.
Tempat terjadinya
interaksi di ruang belajar
Asrama Siswi Santa
Angela, Bantul,
Yogyakarta pada Selasa, 5
Desember 2017 pukul
04.45 WIB. Kegiatan yang
dilakukan adalah para
siswi sedang bersiap-siap
ke gereja untuk misa pagi
dan terlibat percakapan
dalam situasi santai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
316
Catatan:
Analisis data 40 di atas membuktikan bahwa dalam sebuah interaksi percakapan partisipan, memperlihatkan adanya fenomena diglosia
sesuai dengan ciri-ciri atau penanda yang telah dipaparkan dalam tabel analisis. Akan tetapi, dalam triangulasi data oleh triangulator, rincian
analisis pernyataan pada poin ke 1 kurang disetujui. Alasan dari kurang kesetujuan tersebut karena: percampuran bahasa tidak semata-mata
menandai ketidakformalan suatu wacana. Akan tetapi percampuran bahasa yang sejak awal mula memang tidak formal, jelas akan membuat
suatu wacana itu tidak formal. Oleh karena itu, status atau letak ketidakformalan bukan berdasarkan percampuran bahasa satu dengan bahasa
yang lainnya, melainkan dari bahasa yang digunakan.
Berdasarkan saran perbaikan dari triangulator, maka peneliti perlu mempertajam kembali pernyataan analisis poin ke 1 menjadi:
1). Dari data percakapan ini terlihat adanya pemakaian 2 ragam bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia ragam nonformal (bukti pada tuturan:
“Masih ada gak sih?”), dan bahasa Jawa nonformal atau ngoko (bukti pada tuturan: “Sing ning Nusakambangan kae wis kelas kakap e”).
Sementara analisis pernyataan lainnya yaitu pada poin ke 2, 3, 4, dan 5 disetujui oleh triangulator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
317
Simpulan Analisis Data:
Penggunaan Ragam
Formal
Penggunaan Ragam
Semiformal
Penggunaan Ragam
Nonformal
Triangulator
Komentar
Setuju Tidak
Setuju
Dari data keseluruhan
yaitu 40 data, terdapat 5
data penggunaan ragam
formal.
Dari data keseluruhan
yaitu 40 data, terdapat 12
data penggunaan ragam
semiformal.
Dari data keseluruhan
yaitu 40 data, terdapat 23
data penggunaan ragam
nonformal.
Triangulator Peneliti
Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. Yashinta Kurnia Brilyanti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI