falsifikasi karlp popper
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Karl Popper adalah nama yang cukup familiar tidak hanya di kalangan
filsuf tetapi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas. Dua bukunya, The
Open Society and its Enemies dan The Poverty of Historicsm, telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Dalam
dua karyanya itu Popper mengingatkan bahayanya sikap tertutup terhadap ilmu
(science) karena itu akan menjadi dasar bagi ideologi totaliter yang
membahayakan kebebasan umat manusia. Popper, sebaliknya, mengajukan
pentingnya sikap terbuka terhadapnya, yaitu sikap yang siap dengan
kemungkinan bahwa ia bisa benar dan/atau bisa salah. Gagasan yang kemudian
disebut prinsip „falsifikasi‟ tersebut sentral dalam pemikiran Popper. Dengan
tegas Popper menyatakan bahwa „problem demarkasi‟ antara apa yang
disebutnya „ilmu‟ dan „ilmu-semu‟ berpangkal pada pertanyaan apakah ia bisa
„dibuktikan salah‟ atau tidak.1
Karl Popper hadir untuk mengkritisi dan menentang beberapa gagasan
dasar dari lingkaran Wina. Metode Induksi yang diterapkan dalam ilmu
pengetahuan mengandung permasalahan yang mengkonfirmir bahwa induksi
tidak luput dari kritik-kritik. Karl Popper adalah salah satu tokoh yang
mengkritik konsepsi induksi. Kritik Popper terhadap induktivisme telah
membuka perspektif baru bagi ilmu pengetahuan, yang jauh berbeda dari
1 Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge
(London dan New York: Routledge, 1989 edisi kelima), hlm. 39.
perspektif yang didasarkan pada induktivisme. Popper memperkenalkan apa
yang disebutnya falsifikasi. Falsifikasi menjadi alternatif dari induktivisme.
Menurut Popper, titik permasalahan sentral dari filsafat ilmu adalah demarkasi
antara ungkapan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Karena itu, untuk memahami
falsifikasi dalam konteks pemikiran Popper perlulah pemahaman tentang ilmu
dalam perspektif lingkaran Wina sebab pemikiran Popper pada umumnya
merupakan kritik terhadap konsepsi pemikiran lingkaran Wina.
Kritik Popper terhadap epistemologi logis, merupakan pintu masuk ke
dalam epistemologinya. Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan
penolakannya terhadap gagasan lingkaran Wina adalah Popper menentang
prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak bermakna berdasarkan
metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi lain, yaitu
demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur
pengujian deduktif.
Metode verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi deduktif.
Namun tidak seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang
mendudukkan induksi pada tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan
penalaran induktif pada tataran awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian
deduktif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Pemikiran Popper
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup
dan cara memperoleh pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang
epistemologi telah dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan
skeptisisme. Akan tetapi, terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan
rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di
antara apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa yang benar-benar
pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan pengetahuan? Bisakah akal
memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan
yang benar.2
Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut
rasionalisme. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan Cartesian mendasarkan
diri pada prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya bahwa
pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi
terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah
John Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari
pengamatan inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya
beraliran empiris, meragukan kemampuan inderawi untuk benar-benar
menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih lanjut menyangsikan apakah
2 http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/jender-and-politik/590-karl-popper-
dan-masa-depan-masyarakat-terbuka, di unggah Pada Tanggal 10 Oktober 2012
pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi
pengetahuan yang universal.
Immanuel Kant adalah filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan
empirisme. Dalam banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk
pandangannya tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada
sebelum pengalaman.3 Akan tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai
keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah
penemuan kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau
dikemudian hari ditemukan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti
Darwin, Popper melihat teori pengetahuan atau epistemologi secara evolutif
dan saling berkompetisi. Tidak ada epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu,
teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang
sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan
disalahkan.
Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi
dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis.
Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme
logis yang berbasis di Wina, Austria dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah
satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang
bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan
dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme
logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa
3 Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 18.
ditangkap oleh inderawi atau tidak. Ungkapan yang tidak bisa ditangkap
inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap
oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang
hanya bisa diverifikasi secara empiris.
Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam
pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan
hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus
angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan
tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu
tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian
runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai
Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu
keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam
semua hal yang ada di „dunia objektif‟. Oleh karena itu, bagi Popper, teori
pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan konjektural.
Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan
empirisme tetapi dengan catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper
dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme
Popper tidak berasal dari sebab-musabab yang berujung pada akibat, dari yang
partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan
apriori yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper
meneruskan itu dengan menambahkan prinsip falsifikasi. 10
Ketika ada bukti
empiris yang lebih kuat, teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah.
Namun jika bukti empiris baru ternyata lebih lemah, teori pengetahuan lama
justru dikuatkan (corroborated) oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan
prinsip inilah ilmu penegetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan
yang bisa memerosotkan ilmu menjadi mitos dan ideologi.
Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari
objektivisme dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu
dia mengajukan gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia
fisik, Dunia 2 adalah dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan
Dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan
tetapi, Dunia 1 tidak bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui
Dunia 2. Dengan kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-
benda psikologis, benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda
logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan
benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis.4
Apa yang dimaksud dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada
Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai
suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian
intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain
untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving).5 Analisis yang
lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya
sebuah solusi tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan
problem-problem baru. Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan
4 Taryadi, op. cit., hlm. 94-95.
5 Ibid. hlm. 30-33.
ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental
manusia yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa “ Diri kita,
fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan Dunia 3 telah
berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus untuk lebih
spesifik, saya menyangkal bahwa binatang mempunyai kesadaran penuh atau
bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita berkembang bersama
dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan
argumentatif”.6
B. Desain Pengembangan Ilmu Popper
Popper adalah phenomenolog, mengikuti pandangan phenomenologi
Edmund Husserl. Dalam hal desain pengembangan ilmu ada empat hal esensial
dari popper. Pertama, dia mengangkat logika matematik induktif probabilistik
sebagai model berikutnya. Kedua, model berfikir probabilistik dia pakai secara
deduktif untuk membangun teori atau tema. Ketiga, dibangun teori yang diuji
dengan uji falfikasi, menggantikan uji ferifikasi yang lazim di gunakan.
Keempat, data, analisis, dan kesimpulanya menggunakan pendekatan kualitatif
phenomenologik.7
1. Deduktif Probabilistik
Mengelolah data secara probabilistik adalah ciri logika matematik
induktif. Data diposisikan dalam rentang kurve normal, dalam distribusi
normal: banyak yang memiliki karakteristik sedang. Pada phenomenologik
6 Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008, Cet. 3),
hlm 74. 7 H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Kualitatif dan Kuantitatif Pengembangan Ilmu dan
Penelitian, (Yokgyakarta: Rake Sarasin, cet, 3, 2006),hlm.185
bukan memposisikan frekwensi atau variasi data dalam sebaran kurve
normal, melainkan memposisikan beragam kasus dibobot pada kesesuaianya
dengan teori atau temanya.
2. Membangun Teori Secara Dedutif
Popper membangun teori saecara deduktif. Para ilmuwan dapat
mengembangkan teori atau tema dengan membuat abstraksi atas banyak
tesis menjadi teori besar, atau abstraksi atas kumpulan problim yang dapat
disatukan dalam satu tema besar. Teori besar atau tema besar tersebut di
sajikan untuk diuji secara deduktif akan kebenaranya. Kebenaranya
merentang dalam probabilitas benar sampai salah, secara kualitatif.
3. Uji Falsifikasi
Uji kebenaran yang lazim adalah uji verifikasi atau uji validitas atau
uji kecocokanya atau signifikansi teoritiknya dengan empirinya. Uji
verifikasi cenderung berupaya mengumpulkan data yang relevan atau
mendukung teorinya. Teori gelomban newton akan menciptakan aparat,
eksprimen yang akan menangkap dan tidak menangkap gelombang
sehinggah verifikasinya hanyalah untuk menguji kebenaran teorinya, bukan
mencari kebenaran hakiki atau kebenaran substantif esensial. Atas alasan
tersebut Popper menampilkan uji falfikasi atau uji penolakan atas teorinya.
Penulis dapat menjelaskan tentang uji falsifikasi dalam dua prosedur.
Pertama, diuji teori besarnya; dilanjutkan dengan diuji kasus dalam teori
besar tersebut, untuk menguji apakah teori besar tersebut menjangkau kasus
tersebut atau tidak, atau dapat dideskripsikan uji falsifikasi dilakukan pada
sub-sub populasi yang paling marginal; sehinggah dapat teridentifikasi sub
populasi mana yang mendukung dan mana yang menolak teori tersebut.
Prosedur kedua adalah diuji teori yang cukup besar. Dalam rangka
memperluas teori yang cukup besar tersebut, diadakan semacam ekstensi
teori tersebut dan diharapkan diperoleh jawaban, apakah eksistensi tersebut
dan diharapkan diperoleh jawaban, apakah eksistensi tersebut menjadi
mengimplisitkan eksistensi tersebut atau tidak.
4. Data, Analisis, dan Kesimpulan
Meskipun Popper menggunakan konsep probabilistik dari logika
matematik induktif, namun realisme metafisik Popper menggunakan
pembuktian deduktif dan pendekatan phenomenologik. Data, analisis, dan
kesimpulan menggunakan fisafat phenomenologik Husserl yang
mengangkat data bukan berdasar generalisasi dari frekwensi atau variasi
kejadian seperti pada positifisme, melainkan berdasar upaya mencari
esensinya. Obyek ilmu tidak diurai secara analitik, melainkan dicermati
secara holistik. Mencari esensi secara holistik diperoleh dengan menemukan
responden yang representatif yang memahami esensi obyek peneliian
terkait, bukan banyaknya responden yang dicari, melainkan representasinya
dalam obyek penelitian terkait.8
C. Menemukan Teori
Tugas ilmu adalah mengembangkan ilmu. Menurut Popper tujuan
ilmuwan berilmu pengetahuan adalah menemukan teori dan mengembangkan.
8 Ibid., hlm. 187
Teori yang baik mampu menyajikan esensi dan realitas. Benarkah teori itu
mendeskkripsikan realitas? Meman belum. Menurut Popper teori merupakan
terkaan-terkaan informatif tentan semesta.
Dari manakah titik berangkat kita untuk menemukan teori? Dalam upaya
mencari kebenaran model grounded dan model Popper keduanya sama,
yaitiu: mencari esensi secara holistik. Model grounded mengembangkan teori
substantif menjadi teori formal.
Dari pengamatan penulis pada pengembangan teknologi, penulis melihat
adanya subtansi yang seakan-akan sudah given,sudah memiliki sifat dasar
seperti itu. Tubuh manusia menolak menempelnya organ baru pada tubuhnya.
Timbul masalah: organ kita rusak, apakah tidak diganti dengan organ baru,
seperti mobil ganti ban, ganti mesin, dan seterusnya. Ternyata tubuh manusia
menolak organ baru tersebut. Diketemukan karakteristik esensial menolak
organ baru pada substansi tubuh manusia. Dari esensi-esensi yang melekat
pada beragam substansi direkayasa sehinggah dapat diciptakan substansi baru
yang memiliki karakteristik esensial baru yang ideal.
Berangkat dari asumsi bahwa semesta ini teratur, baik tampil dalam
keteraturan subtansial maupun tampil keteraturan esensial. Ilmuwan memiliki
bahan acu pengembangan ilmu yang tidak pernah akan membingungkan.
Teori, tesis yang bertolak lebih karna disebabkan belum mampunya manusia
menangkap keteraturan semesta ini. Keteraturan kehidupan manusia
sebenarnya lebih diversifikatif dibanding dengan keteraturan alam phisik.
Alam phisik substantif dapat berubah karna adanya upaya manusia secara
terancang –kadang malah eksperimental, lewat pengembangan rekayasa
teknologi.
Popper menolak intrumentalis, dan hanya mengakui teori dan tesis
esensial, sehinggah Popper termasuk yang di sebut esensialis. Berfikir dan
mencari esensi dalam penelitian ataupun bergerak mengembangkan teori
subtantif menjadi teori formal, dapat menjebak kita (bila diartikan negatif)
atau menuntun kita (bila diartikan positif) kepada esensi yang instrumentalis.9
9 Ibid., hlm. 190.
BAB III
KESIMPULAN
Bagi Popper, teori pengetahuan adalah penemuan kita yang bersifat
konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan pengetahuan
yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori pengetahuan
atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak ada epistemologi
yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah
dogma yang berlaku sepanjang sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang bisa
dikritisi dan bahkan disalahkan. Rasionalisme Popper dikenal dengan
rasionalisme kritis.
Dalam hal desain pengembangan ilmu ada empat hal esensial dari popper.
Pertama, dia mengangkat logika matematik induktif probabilistik sebagai model
berikutnya. Kedua, model berfikir probabilistik dia pakai secara deduktif untuk
membangun teori atau tema. Ketiga, dibangun teori yang diuji dengan uji
falfikasi, menggantikan uji ferifikasi yang lazim di gunakan. Keempat, data,
analisis, dan kesimpulanya menggunakan pendekatan kualitatif phenomenologik.
Popper menolak intrumentalis, dan hanya mengakui teori dan tesis esensial,
sehinggah Popper termasuk yang di sebut esensialis. Berfikir dan mencari esensi
dalam penelitian ataupun bergerak mengembangkan teori subtantif menjadi teori
formal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu 1982. Filsafat Islam. Semarang: Toha Putra
Achmad, Mudlor. 1994. Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi Dalam Filsafat).
Bandung: PT. Trigenda Karya.
Arif, Syamsuddin. 2005.”Prisip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam” Dalam
Majallah Islamia, Tahun II No. 5/ April-Juni
Surajiyo , 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cetakan Ketiga.Jakarta: Bumi
Aksara.
Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
In‟am Esha, Muhammad, 2010. Menuju Pemukiran Filsafat. Cetakan Pertama.
Malang: UIN Maliki Press