fakultas syariah universitas islam negeri (uin) …etheses.uin-malang.ac.id/4223/1/03210065.pdf ·...
TRANSCRIPT
ANALISIS HADITS ABGHADH AL-HALAL ILA ALLAH
AL-THALAQ
DITINJAU DARI PERSPEKTIF
ILMU HADITS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Ambyah Krisbiantoro
NIM 03210065
FAKULTAS SYARI AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Ambyah Krisbiantoro, NIM 03210065,
mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negari (UIN) Malang, setelah
membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan
mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul :
ANALISIS HADITS ABGHADH AL-HALAL ILA ALLAH AL-THALAQ
DITINJAU DARI PERSPEKTIF ILMU HADITS
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada
mejelis dewan penguji.
Malang, 8 Desember 2007
Pembimbing,
Dr. Umi Sumbulah, M.Ag
NIP. 150 289 266
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
ANALISIS HADITS ABGHADH AL-HALAL ILA ALLAH
AL-THALAQ
DITINJAU DARI PERSPEKTIF
ILMU HADITS
Oleh:
Ambyah Krisbiantoro
NIM 03210065
Telah Disetujui,
Tanggal 8 Desember 2007
Oleh
Dosen Pembimbing
Dr. Umi Sumbulah, M.Ag
NIP. 150 289 266
Mengetahui
Dekan Fakultas Syari'ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
ANALISIS HADITS ABGHADH AL-HALAL ILA ALLAH AL-THALAQ
DITINJAU DARI PERSPEKTIF ILMU HADITS
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian,
maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal
demi hukum.
Malang, 8 Desember 2007
Penulis,
Ambyah Krisbiantoro
HALAMAN PENGESAHAN
Dewan penguji skripsi saudara Ambyah Krisbiantoro, NIM 03210065, mahasiswa
Fakultas Syari ah angkatan tahun 2003, dengan judul
ANALISIS HADITS ABGHADH AL-HALAL ILA ALLAH AL-THALAQ
DITINJAU DARI PERSPEKTIF ILMU HADITS
Telah dinyatakan lulus dengan nilai A (Sangat Memuaskan).
Dewan penguji:
1. Dra. Hj Tutik Hamidah, M.Ag
(__________________) NIP. 150 289 266 (Ketua)
2. Dr. Umi Sumbulah, M.Ag
(__________________) NIP. 150 289 266 (Sekretaris)
3. Drs. Noer Yasin, M.Hi
(__________________) NIP. 150 289 266 (Anggota)
Malang, 2 April 2008
Mengetahui,
Dekan Fakultas Syari'ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
MOTTO
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir (QS. ar-Rum 21)
HALAMAM PERSEMBAHAN
Bismillah.....
Terucap syukur dan teriring do a dari lubuk hati penuh ta zhim aku
persembahkan karya ini untuk orang-orang yang penuh arti
dalam hidupku
Ayahanda dan ibunda tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan do a
serta motifasi dalam setiap perjalanan hidupku
Bapak Ibu guru yang selalu setia membimbing dan membina dalam menuntut
ilmu dan meraih cita-cita
Kakak, adik serta saudara-saudaraku yang telah mewarnai kehidupanku dengan
penuh kasih sayang dan kebersamaan
Ibu Latifah, mbak Sofi, serta mbak Ila yang telah memberikan semangat dan do a
sebagai bentuk dorongan dan harapan
Buat de Ita yang selalu setia menemaniku dalam suka maupun duka sebagai
tanda kasih sayang dan perhatian, yang telah membuat hidupku menjadi
semangat dan bermakna
Sahabat-sahabatku semuanya yang telah merasakan perjuangan dalam berbagi
pengalaman dan pengetahuan.
Thank s all...
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad saw yang telah menunjukan jalan kebenaran, yakni Islam.
Selanjutnya penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku rektor Universitas Islam Negeri
Malang beserta pembantunya.
2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku dekan Fakultas Syari'ah UIN
Malang.
3. Ibu Dr. Umi Sumbulah, M.Ag selaku dosen pembimbing, yang selalu
senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari ah yang telah membimbing dalam
menimba ilmu di UIN Malang.
5. Ayahanda dan Ibu tercinta yang selalu mendo'akan sebagai bentuk kasih
sayang dan dorongan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tahapan demi
tahapan dalam penyusunan skripsi.
6. Saudara-saudaraku mas Alif, Ajar, Nafi', ibu Ifah, mbak Sofi, mbk Ila, mbak
khusnul, dan de Ita yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam
menyelesaikan skripsi.
7. Sahabat-sahabatku Fahrowi, mbah Doel, bos Fatah, om Rozi, Udin, Aris,
serta semua teman-teman Fakultas Syari'ah angkatan 2003, sebagai teman
seperjuangan dalam menimba ilmu dan pengalaman di kampus Universitas
Islam Negeri Malang.
Semoga kebaikan serta motifasi mereka semua mendapat imbalan dari
Allah SWT. Dan akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak untuk kemajuan dan penyempurnaan dari karya ini. Semoga karya ini dapat
bermanfaat.
Malang, 8 Desember 2007
Penulis,
Ambyah Krisbiantoro
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................v
HALAMAN MOTTO .................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
ABSTRAK ...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
C. Tujuan ......................................................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................... 6
D. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 7
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 9
F. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 12
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Kritik Hadits ............................................................................. 13
B. Sejarah Kritik Hadits .................................................................................. 14
1. Kritik Hadits Pada Masa Rasulullah saw .............................................. 16
2. Kritik Hadits Pada Masa Sahabat .......................................................... 17
3. Kritik Hadits Pada Masa Tabi in dan Atba al-Tabi in ......................... 18
C. Takhrij al-Hadits ........................................................................................ 20
D. I tibar .......................................................................................................... 21
E. Kritik Sanad Hadits ..................................................................................... 22
1. Pengertian Kritik Sanad ........................................................................ 22
2. Jarh wa Ta dil ....................................................................................... 23
3. Kriteria Kesahihan Sanad Hadits .......................................................... 25
F. Kritik Matan Hadits .................................................................................... 31
1. Pengertian .............................................................................................. 31
2. Kriteria Kesahihan Matan Hadits .......................................................... 32
BAB III VALIDITAS HADITS
A. Validitas Hadits .......................................................................................... 38
B. Melakukan Takhrij al-Hadits dengan Topik .............................................. 40
C. Melakukan I tibar ....................................................................................... 41
D. Melakukan Kajian Sanad ........................................................................... 46
E. Melakukan Kajian Matan ........................................................................... 53
BAB IV KANDUNGAN MAKNA DAN IMPLIKASI HUKUM
A. Kandungan Makna ...................................................................................... 61
B. Implikasi Hukum ........................................................................................ 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 69
B. Saran ........................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Ambyah Krisbiantoro/ 03210065/ Analisis Hadits "Abghadh al-Halal ila Allah al-Thalaq" Ditinjau dari Perspektif Ilmu Hadits/ Dosen pembimbing Dr. Umi Sumbulah, M.Ag/ Fakultas Syari'ah/ Jurusan Ahwal as-Syakhsyiyah/ UIN Malang/ 2007.
Kata kunci: abghadh, halal, dan talak Kesuksesan dalam membina rumah tangga merupakan tujuan yang
diinginkan bagi pasangan suami istri. Namun dalam menjalani kehidupan tentu tidak akan lepas dari setiap masalah. Apabila kerukunan dan kasih sayang sudah tidak dapat terwujud lagi, maka Islam menawarkan talak sebagai jalan keluar yang terakhir. Pada dasarnya talak merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT.
Permasalahan semakin banyaknya kasus keretakan dalam rumah tangga yang berujung pada terjadinya talak, ini kemudian menjadi suatu alasan untuk mengkaji dan mendalami makna dari hadits Abghadh al-Halal ila Allah al-Thalaq. Dalam hadits tersebut terdapat dua kata yang menjadi pokok permasalahan, yakni abghadh dengan halal. Yang mana dari keduanya akan terlihat jelas mengenai keberadaan dan maksud dari talak. Hal ini akan semakin jelas dan mudah untuk dipahami, jika makna dari hadits tersebut diuraikan yang kemudian dapat memberikan penjelasan terhadap maksud dari kata abghadh dan kata halal.
Melihat pada rumusan masalah dalam hal ini meliputi, kajian terhadap validitas hadits, kandungan makna, serta implikasi hukumnya, maka metode atau lambang yang digunakan dalam kegiatan ini adalah penelitian kepustakaan. Sedangkan langkah yang diambil yaitu melakukan al-itibar, meneliti pribadi periwayat dan metode yang digunakan di dalam periwayatannya, mengkaji tentang kebersambungan sanad, syadz dan illat dari perawi, meneliti susunan lafadz matan yang semakna, meneliti kandungan matan dengan pendekatan bahasa, serta implikasi hukumnya.
Hasil penelitian merupakan sumbangan pemikiran terhadap hukum talak dalam pernikahan yang sering terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Adapun hadits ini termasuk dalam kategori hadits ahad yang masyhur. Dan untuk kebencian yang dimaksud pada kata abghadh yakni bukan pada talak itu sendiri, melainkan pada faktor-faktor penyebab terjadinya talak seperti pergaulan rumah tangga yang buruk dan ketergesa-gesaan dalam menjatuhkan talak tanpa mencari jalan keluar yang lain. Sedangkan yang dimaksud halal yakni talak itu dibenarkan dan dibolehkan manakala usaha untuk menghidari talak telah buntu yaitu sebagai jalan keluar terakhir. Dan ketika suasana rumah tangga yang buruk dan tidak harmonis maka akan timbul permasalahan, pertengkaran, dan perpecahan antara suami istri bahkan kedua belah keluarga. Dengan demikian, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan tercela yang dimurkai Allah SWT, untuk itu kemudian talak dihukumi makruh.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya langgengnya sebuah kehidupan dalam perkawinan
merupakan suatu tujuan yang sangat diharapkan oleh tuntutan syari at Islam.
Keberadaan akad nikah ditujukan untuk selama-lamanya dan seterusnya hingga
sampai meninggal dunia, agar suami istri bisa bersama-sama dan dapat
mewujudkan rumah tangga nyaman sebagai tempat berlindung, saling
menyayangi, dan penuh keharmonisan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa ikatan
antara suami istri itu merupakan ikatan yang suci dan paling kuat. Adanya ikatan
ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur an surat an-Nisa ayat 21
dengan mitsaqun ghalizhun yang berarti perjanjian yang kokoh.1
Namun demikian tidak selamanya pernikahan itu bisa berjalan dengan
harmonis. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, suami istri sudah tentu tidak
selamanya berada dalam situasi yang damai dan tenteram, tetapi kadang kala
muncul permasalahan-permasalahan yang berawal dari salah paham antara suami
istri atau salah satu pihak telah melalaikan kewajibannya, hingga tidak
mempercayai satu sama lain dan lain sebagainya.
Dalam keadaan seperti ini, terkadang dapat diatasi dan diselesaikan
dengan sikap kedewasaan sehingga antara suami istri bisa menjadi rukun kembali
dan hidup bersama untuk meneruskan rumah tangganya, akan tetapi adakalanya
juga kesalah fahaman dan permasalahan itu bisa menjadi berlarut-larut, hingga
1QS al-Nisa (4): 21.
akhirnya tidak dapat didamaikan dan terus menerus terjadi pertengkaran antara
suami istri. Apabila perkawinan yang demikian ini dilanjutkan atau dipertahankan
maka pembentukan rumah tangga yang damai dan tenteram seperti apa yang
disyari atkan oleh agama Islam tidak akan terwujud. Melainkan dikhawatirkan
akan adanya perpecahan antara suami istri dan juga akan berpengaruh pada
perpecahan antara keluarga kedua belah pihak. Maka dari itu untuk menghindari
adanya perpecahan keluarga maka agama Islam mensyaratkan adanya peceraian
sebagai jalan keluar yang terakhir bagi suami istri yang sudah gagal dalam
membina rumah tangganya.
Permasalahan perceraian dewasa ini merupakan hal yang sudah tidak asing
lagi dalam kehidupan berumah tangga, banyak media masa yang menyuguhkan
berita tentang perceraian baik yang disebabkan oleh faktor eksternal maupun
internal. Tentunya dalam hal ini banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya
yakni apakah perceraian itu terjadi karena mereka belum mengetahui makna dari
perceraian itu sendiri dan juga hadits beserta hukumnya, atau mereka telah
mengerti makna dan hukum dari perceraian itu akan tetapi mengabaikannya.
Untuk itu kemudian diperlukan suatu pemahaman terkait masalah perceraian ini
yakni dengan cara menggali makna yang terkandung di dalam perceraian dan juga
hadits yang menjelaskannya, yang kemudian bisa memberikan suatu penjelasan.
Meskipun Islam mensyaratkan adanya perceraian tetapi bukan berarti
Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Perceraian walaupun
diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa peceraian adalah
sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam.2 Hal ini dapat dilihat
dalam hadits Nabi saw yang berbunyi:3
Artinya: Diceritakan Katsir bin Ubaid diceritakan Muhammad bin Khalid dari Mu arif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi saw bersabda: sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak . (Hadits riwayat Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh al-hakim)
Jika hadits di atas dimaknai secara tekstual yaitu sesuatu yang halal yang
paling dibenci Allah ialah talak, maka di sini akan muncul beberapa pemahaman
terkait dengan hadits tersebut. Yakni dengan melihat pada istilah halal ini
menandakan bahwa hukum dari talak adalah boleh dilaksanakan bagi mereka
yang sudah tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Makna
boleh di sini merupakan suatu bentuk jalan keluar terakhir yang ditawarkan oleh
Islam.
Namun di sisi lain keberadaan dari talak ini juga merupakan perbuatan
yang sangat dibenci oleh Allah SWT yang mana dalam hadits Nabi saw kebencian
itu dijelaskan menggunakan kata abghadh. Sehubungan dengan adanya kebencian
itu Nabi saw pun pernah mentalak isterinya namun kemudian merujuknya
kembali.4
2Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1999), 105. 3Mansyur Ali Nashif, Pokok-Pokok Hadits Rasulullah saw Jilid 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993), 1023. 4Ibid., 1039.
Artinya: Diceritakan Sahal bin Muhammad bin Zuhair Al- askari diceritakan Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah dari Shalih bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Umar bahwasannya Rasulullah saw telah mentalak hafsah kemudian merujuknya. (Hadits riwayat Abu Daud)
Dari sini kemudian timbul pemahaman bahwa jikalau memang talak itu
merupakan perbuatan yang sangat dibenci mengapa dihukumi halal? dan begitu
pula sebaliknya jika talak itu hukumnya halal dan boleh mengapa harus dibenci?
Padahal kebencian dalam hukum Islam itu sangat dekat dengan hukum makruh
atau bahkan bisa menjadi haram. Makruh sendiri dalam hukum Islam merupakan
sesuatu hal yang diperintahkan oleh syara untuk ditinggalkan dan dihindari bagi
seorang mukalaf. Seperti dalam kaidah ushul fikih dijelaskan al ashlu fin nahyi al
tahrim, yakni bermula larangan itu menunjukan haram.5 Namun jika kembali pada
status hukum halal di sini maka keberadaan talak itu mempunyai makna boleh
dilakukan bagi setiap orang yang telah menikah selama tidak keluar dari syari at
Islam.
Selain itu bentuk kebencian dari perbuatan talak dalam hadits tersebut
dijelaskan menggunakan kata abghadh. Sehingga dalam hal ini yang menjadi
pertanyaan yakni bagaimanakah makna yang terkandung dalam kata tersebut. Dan
mengapa kebencian tersebut dijelaskan menggunakan kata abghadh. Padahal
dalam bahasa arab masih banyak kata yang juga menunjukan makna sama atau
bisa jadi berdekatan dengan kata abghadh, seperti halnya kata akrah. Kemudian
5Ahmad Abdul Madjid, Mata Kuliah Ushul Fiqih (Pasuruan: Garoeda Buanan Indah, 1994), 194.
apakah dalam hal ini telah terjadi pemaknaan yang berbeda dari kata abghadh
dengan kata akrah atau juga dengan kata yang lain. Yang pada nantinya akan
memunculkan implikasi hukum yang berbeda pula dari hadits tersebut.
Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan sementara bahwasanya Islam
telah memberikan jalan keluar bagi suami istri yang sudah tidak dapat
mempertahankan rumah tangganya dengan talak atau perceraian, yang mana talak
itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
Dari sini kemudian terlihat sepintas bahwa telah terdapat hukum yang
seolah-olah kontradiksi, yakni jika dilihat dari kata abghadh dengan kata halal
yang terdapat dalam hadits tersebut, yakni talak itu merupakan perbuatan yang
halal hukumnya akan tetapi keberadaannya sangat dibenci oleh Allah SWT. Dari
pemahaman ini kemudian muncul beberapa pertanyaan tentang bagaimana makna
yang terkandung dibalik kata abghadh dan juga kata akrah. Yang kemudian
penulis mencoba untuk menggali makna dari hadits tersebut yang nantinya
diharapkan dapat memberikan penjelasan dan juga bisa memberikan pemahaman
atas maksud hadits tersebut.
Berawal dari sini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih
lanjut dengan mengambil judul ANALISIS HADITS ABGHADH AL-HALAL
ILA ALLAH AL-THALAQ
DITINJAU DARI PERSPEKTIF ILMU
HADITS.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas yang membahas tentang
keberadaan talak beserta salah satu hadits yang menjelaskan status hukumnya,
maka dapat dirumuskan bahwa permasalahan yang dibahas yaitu:
1. Bagaimana validitas hadits abghadh al-halal ila Allah al-thalaq ?
2. Bagaimana kandungan maksud hadits abghadh al-halal ila Allah al-
thalaq ?
3. Bagaimana implikasi hukum dari hadits abghaduh al-halal ila Allah al-
thalaq ?
C. Tujuan
Melihat dari perumusan masalah yang dikemukakan di atas maka tujuan
yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui validitas dari hadits abghadh al-halal ila Allah al-
thalaq .
2. Untuk menjelaskan maksud dari kandungan hadits abghadh al-halal ila
Allah al-thalaq .
3. Untuk memahami implikasi hukum dari hadits abghadh al-halal ila
Allah al-thalaq .
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis.
Adapun penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman
tentang keberadan makna hadits abghadh al-halal ila Allah al-thalaq yang
merupakan penjelasan dari hukum talak. Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan
rujukan dalam rangka pengembangan khazanah keilmuan Islam.
2. Kegunaan Praktis.
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga-lembaga
Islam seperti MUI dan KUA, yang mana pada hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan tambahan di dalam memberikan wawasan bagi masyarakat umum
guna memahami makna perceraian. Dan khususnya bagi pasangan suami istri
yang sedang membina rumah tangganya.
E. Penelitian Terdahulu
Judul yang dibahas dalam skripsi ini yaitu analisis hadits abghadh al-
halal ila Allah al-thalaq ditinjau dari perspektif ilmu hadits, sesungguhnya
merupakah permasalahan yang menarik untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam.
Maka dari itu untuk mengetahui apakah topik ini sudah pernah diteliti oleh para
peneliti sebelumnya, maka akan dijelaskan dalam penelitian terdahulu ini.
Berdasarkan hasil pengamatan selama ini, memang tidak ditemukan
pembahasan topik yang spesifik dengan topik yang diangkat oleh peneliti. Dalam
penelitian ini penulis mencoba menggali makna yang terkandung dalam hadits
tersebut baik dari segi sanad, matan, maupun perawi hadits yang pada nantinya
dapat diambil suatu kesimpulan.
Pembahasan terkait hadits abghadh al-halal ila Allah al-thalaq ini
telah banyak dikaji oleh para peneliti terdahulu, baik yang hasilnya sudah
berbentuk buku-buku dalam bahasa arab maupun yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia. Namun pembahasan dalam kitab tersebut tidak spesifik
mengenai hadits yang akan penulis teliti.
Kitab tersebut yakni Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq yang mana di
dalamnya menjelaskan tentang hukum Islam baik menyangkut hubungan antara
manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesama manusia, maupun
hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Sehingga tidak lepas di
dalamnya juga membahas masalah talak beserta dalil-dalilnya. Dalam buku
tersebut disebutkan bahwa akad nikah bertujuan untuk selamanya dan seterusnya
untuk mewujudkan rumah tangga yang penuh kasih sayang. Untuk itu ikatan yang
sedemikian mulianya tidak sepatutnya untuk dirusak atau disepelekan. Dan setiap
usaha yang meyepelekan hubungan perkawinan dan mengabaikannya akan
dibenci oleh Islam karena ia telah merusak dan menghilangkan kemaslahatan
antara suami istri.6
Kemudia juga dalam buku pokok-pokok hadits Rasulullah saw jilid 2
karangan Syekh Mansyur Ali Nashif yang menjelaskan bahwa sesungguhnya talak
itu dibenci oleh Allah SWT mengingat Dia membenci penyebab-penyebab yang
mendorong kearah talak, seperti pergaulan rumah tangga yang buruk, banyak
terjadi perpecahan dan persengkataan antara suami istri.7
Dari sini telah muncul beberapa penafsiran di antara para ulama terkait
dengan hadits tersebut yakni mengenai kemakruhan yang dijelaskan
menggunakan kata abgadh, sehingga perlu adanya pengkajian lebih mendalam
terhadap makna yang terkandung dalam hadits tersebut, yang sudah tentu tidak
terlepas dari literatur yang sudah ada sebagai bahan rujukan. Walaupun hanya
6Sayyid Sabiq, Terjemahan Fikih Sunnah 8 (Bandung: al-Ma arif, 1993), 9. 7Mansyur Ali Nashif, Op. Cit., 1024.
dijelaskan dalam bentuk bab baik sumber primer maupun sekunder maka dalam
hal ini akan dijadikan sebagai bahan acuan dalam pembahasan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu library
research atau penelitian kepustakaan. Jenis penelitian ini bertujuan untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material
yang terdapat diruangan perpustakaan, seperti: buku-buku, majalah, dokumen,
catatan, kisah-kisah sejarah dan lain-lainnya.8 Dengan demikian penelitian ini
mencoba mengkaji bahan-bahan pustaka yang tentunya berhubungan dengan topik
bahasan dalam penelitian.
2. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
hermeneutika. Adapun kata hermeneutika secara bahasa mempunyai makna
mengartikan, menafsirkan, menterjemahkan. Sedangkan menurut istilah
hermeneutika merupakan suatu proses mengubah sesuatu dari situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti.9 Sehingga dalam hal ini tujuan utama dari
pendekatan ini yaitu ingin menggali suatu pengetahuan dengan berbagai bahan
literatur sebagai bahan rujukan yang nantinya akan mendapatkan suatu kejelasan
dan pemahaman dari permasalahan yang didapat.
8Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 28. 9Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), 54.
3. Sumber Data.
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari
mana data itu diperoleh. Sehingga dalam hal ini yang menjadi sumber data yaitu
buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan. Adapun sumber
data itu sendiri terbagi menjadi dua yakni:
a. Data Primer.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian
dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada
subjek sebagai sumber informasi yang dicari.10 Untuk itu data primer ini
merupakan bagian pokok dari suatu penelitian. Adapun yang termasuk dalam data
primer ini antara lain, Kitab hadits: Sunan Abu Daud karangan al-Muttaqin Abu
Daud Sulaiman. Kitab syarah: Awn al-Ma budi Syarh Sunan Abi Daud karangan
Syamsul Haq Azimabadi. Kitab rijalul hadits: al-Jarh Wa al-Ta dil karangan
Abu Hatim al-Razi, Tahdzib al-Tahdzib karangan Ibnu Hajar al-Asqalany. Dan
kitab fikih: Fiqh as-Sunnah karangan Sayyid Sabiq.
b. Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari tangan kedua, yakni suatu
data yang didapat dari pihak lain atau tidak langsung dari subjek penelitiannya.
Data sekunder dalam penelitian ini diambil dari berbagai literatur lain yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang diangkat oleh penulis. Dengan demikian
keberadaan data ini adalah sebagai pendukung dan pelengkap dari data primer.
10Syaifudin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 5.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Melihat jenis penelitian dalam hal ini yang bersumber pada kajian hadits
Rasulullah saw maka penulis dalam mengumpulkan data akan mencari lafadz
hadits beserta sanad dan perawinya dan juga lafadz-lafadz yang mempunyai
kesamaan makna. Yang kemudian dikaji dan dianalisis sehingga dapat diketahui
status hadits tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya, yang kemudian
diinterpretasikan sehingga memunculkan suatu pemahaman tentang makna dari
hadits tersebut.
5. Pengolahan dan Analisis Data.
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.11 Setelah data itu terkumpul baik yang
primer maupun sekunder maka segera dilakukan pengolahan atau menganalisis.
Dalam tahap ini data yang sudah diperoleh dianalisis dan disusun secara sistematis
dengan menggunakan metode yang sudah ditentukan.
Adapun tahapan-tahapan dalam mengolah dan menganalisis data ini
menggunakan metode yang digunakan oleh Syuhudi Ismail, yakni:
1. Melakukan al-I tibar, yakni menyertakan sanad-sanad yang lain dalam hadits
tertentu, yang di dalam hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang saja,
hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada periwayat lain atau tidak.
2. Meneliti dari pribadi periwayat dan metode yang digunakan di dalam
periwayatannya.
3. Mengkaji tentang kebersambungan sanad.
11Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 263.
4. Meneliti syadz dan illat dari perawi.
5. Meneliti susunan lafadz matan yang semakna.
6. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
7. Meneliti kandungan matan dengan pendekatan bahasa.
F. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah pemahaman dari penulisan di dalam menyajikan karya ilmiah ini.
Untuk itu dalam sistematika penulisan dibagi dalam 4 bab, yakni sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan, yang dalam bab awal ini memuat
dari keseluruhan bahasan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.
BAB II : Merupakan kajian teori yang terdiri atas akar pengertian dan
beberapa kajian teori. Yaitu pembahasan mengenai kritik hadits dan metode
pemahaman hadits.
BAB III: Dalam bab ini menjelaskan tentang paparan analisis yakni peneliti
akan menjelaskan mengenai validitas hadits abghadh al-halal ila Allah al-
thalaq .
BAB IV: Dalam bab ini menjelaskan tentang kandungan yang terdapat pada
hadits abghadh al-halal ila Allah al-thalaq
serta implikasi hukumnya.
BAB V: Bab ini merupakan penutup, yakni berisi tentang kesimpulan dari
peneliti yang sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, juga saran-
saran yang diperlukan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Kritik Hadits
Istilah kritik dalam terminologi ilmu hadits diambil dari kata naqd, yang
dalam literatur Arab sering kali ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa naqada
al-syi r yang berarti dia telah mengkritik bahasanya dan juga puisinya.12 Dalam al-
Qur an istilah kritik ini dijelaskan menggunakan kata yamiz yang berarti ia
memisahkan uang halal dari uang haram.13 Selanjutnya dalam kamus istilah sastra
dalam bahasa Indonesia kritik mempunyai arti kecaman atau tanggapan, yang
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil
karya, pendapat, dan sebagainya.14 Sedangkan menurut Abu Hatim al-Razi seperti
yang dikutip M.M Azami kata naqd ialah upaya menyeleksi (membedakan) antara
hadits sahih dan dha if dan menetapkan status perawinya dari segi kepercayaan
atau cacat.15
Melihat perumusan kritik hadits dengan beberapa definisi di atas, maka
yang dimaksud dari kegiatan penelitian ini bukanlah untuk menilai salah atau
membuktikan ketidakbenaran atas sabda Rasulullah saw yang telah ada, karena
mengingat pribadi beliau sendiri telah dijamin oleh Allah SWT dan terpelihara
dari kesalahan dan dosa (ma shum), melainkan kegiatan ini dimaksudkan sebagai
upaya dalam menyeleksi hadits untuk mengetahui antara hadits yang sahih dan
12Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 81. 13QS alu-Imran (3): 197. 14Laelasari, Nurlailah, Kamus Istilah Sastra (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), 145. 15Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits (Yogyakarta: TERAS, 2004), 10.
hadits yang tidak sahih, yang kemudian berlanjut pada kandungan dari matan
hadits.
Kritik hadits pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis
secara kritis tentang sanad dan perawi hadits, termasuk juga kalimat-kalimat yang
termuat dalam matan. Lebih jauh lagi, bahwa kritik hadits ini bergerak pada taraf
pengujian apakah kandungan dari ungkapan matan itu bisa diterima sebagai
kebenaran aturan-aturan yang dibawa oleh Rasulullah saw yang harus ditaati oleh
setiap muslim. Pengujian terhadap teks matan ini erat kaitannya juga dengan
pengujian terhadap kepribadian dari para perawi hadits sebagai seorang yang
mendengar dan menyampaikan hadits Rasulullah saw. Sehingga dalam aktifitas
kritik hadits ini selalu berorientasi pada dua aspek, yakni kritik sanad dan kritik
matan.
B. Sejarah Kritik Hadits
Munculnya kritik hadits sebagai salah satu bagian terpenting dalam tatanan
ilmu hadits sudah ada sejalan dengan perkembangan hadits itu sendiri, khususnya
pada saat keinginan para ulama dalam mengumpulkan hadits Rasulullah saw
demi menjaga keaslian dan keorsinalan dari hadits itu sendiri. Kegiatan tersebut
dilakukan dengan cara mengoreksi kembali serta membagi ke dalam beberapa
kategori.
Kegiatan hadits ini sebenarnya sudah ada pada masa Rasulullah saw,
meskipun disadari kegiatan tersebut masih bersifat sederhana. Kritik hadits pada
masa Rasulullah saw dilakukan dalam bentuk konfirmasi,16 yakni para sahabat
16Ibid., 23.
yang tidak mendengar secara langsung sebuah hadits dari beliau, tetapi ia
mendengar dari sahabat lain yang mendengarkannya, maka mereka
mengkonfirmasikan langsung kepada Rasulullah saw. Sebagai contoh ketika
Umar bin Khattab mendengar berita dari keluarga Umayyah bin Zaid yang
mengatakan bahwasanya Rasulullah saw telah mentalak istrinya, maka untuk
meyakinkan berita tersebut Umar langsung menghadap Rasulullah saw sendiri
untuk mengetahui kebenaran dari berita tersebut.17
Meskipun keberadaan kritik hadits itu terus berlanjut hingga Rasulullah
saw wafat, namun hal seperti itu tidak selamanya bisa berjalan dengan baik.
Ketika melihat kembali tentang sejarah peradaban Islam, telah terjadi peristiwa-
peristiwa yang dapat memperpecah umat Islam, yakni terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan dan terjadinya peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Mu awiyah yang mengakibatkan perselisihan dikalangan kaum muslim,18 demi
suatu kekuasaan kepemimpinan.
Selain berdampak pada sisi negatif yakni terpecahnya kaum muslim dalam
kelompok-kelompok yang kemudian demi kepentingan politik, masing-masing
mencari legitimasi syar i untuk mendukung kepentingan politik, ternyata juga
mempunyai dampak positif yakni bagi pengembangan kritik hadits sendiri. Para
ulama dalam menerima hadits mereka terlebih dahulu menanyakan dari mana
hadits tersebut diriwayatkan, bukan kepada matan hadits. Apabila hadits tersebut
berasal dari sahabat yang dipercaya dan mempunyai kepribadian baik maka isi
17Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 2. 18Muhammad Mustafa Azami, Memahami Ilmu Hadits, Telaah metodologi dan literatur hadits (Lentera, 1993), 54.
dari hadits tersebut akan diterima, begitu sebaliknya apabila hadits tersebut dari
orang ahli bid ah dan tidak dapat dipercaya maka hadits tersebut akan ditolak.
Dari sini kemudian dapat dipahami bahwasanya sikap para ulama yang
berhati-hati dalam menerima hadits didasari oleh rasa tanggung jawab dalam
menjaga keotentikan hadits Rasulullah saw. Karena mengingat adanya
permasalahan di antara kaum muslim sendiri yang telah menyebabkan muncul dan
berkembangnya berbagai kasus pemalsuan hadits.
1. Kritik Hadits Pada Masa Rasulullah saw.
Keberadaan kritik hadits pada masa Rasulullah saw seperti apa yang telah
disinggung sebelumnya masih bersifat sederhana, yakni hanya sebatas konfirmasi.
Hal ini dikarenakan Rasulullah saw sebagai sumber asli dari hadits masih hidup,
sehingga para sahabat ketika mendapati berita yang kurang jelas bisa secara
langsung mengetahui akan validitas berita tersebut dengan meminta penjelasan
dari Rasulullah saw sendiri. Dengan demikian kegiatan kritik hadits ini didasari
oleh sikap untuk menyakikan bahwa berita tersebut benar-benar dari Rasulullah
saw.
Di antara kegiatan konfiramsi pada masa Rasulullah saw itu dapat dilihat
pada kasus yang terjadi ketika Dimam bin Tsa labah menjumpai Rasulullah saw
dan berkata, Muhammad, utusanmu datang kepada kami dan mengatakan..
(begini dan begitu). Rasulullah saw berkata, Ia bicara benar. 19 Berdasarkan
kejadian ini dapat dikatakan bahwa kegiata kritik hadits ini telah ada pada masa
Rasulullah saw, walaupun sifatnya masih sangat sederhana. Kegiatan kritik hadits
dengan cara konfirmasi ini terus berlangsung selama Rasulullah saw masih hidup
19Ibid., 53.
dan kemudian berhenti setelah Rasulullah saw wafat. Meskipun demikian bukan
berarti kegiatan kritik hadits ini berhenti begitu saja, akan tetapi terus berlanjut
dan dilakukan oleh para sahabat dengan modelnya pun berbeda, yakni para
sahabat lebih memperketat dalam menerima hadits dengan memberikan aturan-
aturan.
2. Kritik Hadits Pada Masa Sahabat.
Kritik hadits pada masa sahabat ini berbeda dengan kegiatan yang
dilakukan pada masa Rasulullah saw, yakni bersifat komparatif atau
perbandingan. Dalam prakteknya kegiatan ini mencoba membandingkan antara
hadits yang satu dengan yang lain. Untuk mempermudah memahaminya dapat
dilihat dalam kasus yang terjadi pada khalifah Abu Bakar, ketika didatangi oleh
seorang nenek-nenek untuk menanyakan kepada beliau tentang bagiannya dalam
harta warisan cucunya, beliau menjawab: Saya tidak menemukan adanya bagian
untuk nenek dalam Kitab Allah SWT dan juga tidak mendengar hadits Rasulullah
saw mengenai hal tersebut. Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada para
sahabat lainnya. Dan Mughirah mengatakan bahwa Rasulullah saw telah
menetapkan bagian nenek adalah seperenam. Selain itu untuk lebih menyakinkan
Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian yang sama atas informasi
tersebut, kemudian Abu Bakar menjadi yakin bahwa apa yang dikatakan oleh
Mughirah adalah benar, dan kemudian memberikan bagian seperenam kepada
nenek tersebut.20 Selain itu juga dalam kasus yang terjadi pada masa khalifah
Umar bin Khattab, yakni suatu hari Abu Musa al-Anshari pergi menemui Umar
dan setelah sampai di depan pintu rumah, ia mengucapkan salam sampai tiga kali.
20Muhammad Mustafa Azami, Op. Cit., 89.
Ketika salamnya tidak dijawab Abu Musa langsung pulang. Melihat hal ini Umar
memanggil Abu Musa dan menanyakan perihal mengapa bersikap demikian. Abu
Musa kemudian menjelaskan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: Jika salah seorang di antaramu meminta izin tiga kali, dan tidak diberi
maka dia harus pergi. Sepintas Umar tidak tidak langsung mempercayainya dan
meminta Abu Musa untuk mendatangkan saksi yang membenarkan ucapannya.21
Jika melihat dari dua peristiwa di atas, bahwa Abu Bakar maupun Umar
sangat berhati-hati dalam menerima hadits, yakni mereka tidak langsung
mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh sahabat sebelum dikuatkan dengan
hadits-hadits lain. Hal ini bukan berarti Abu bakar dan Umar mencurigai akan
keotentikan pernyataan dua sahabat tersebut, melainkan ini membuktikan sikap
kehati-hatian kedua pemimpin tersebut di dalam menerima dan menolak riwayat
hadits.
Untuk itu sikap keteladanan yang dicontohkan oleh kedua khalifah
tersebut harus diimplementasikan oleh kaum muslimin sebagai rasa tanggung
jawab dalam menjaga keaslian dan keotentikan hadits Rasulullah saw sebagi
sumber hukum Islam yang kedua.
3. Kritik Hadits Pada Masa Tabi in dan Atba al-Tabi in (abad ke II dan ke III).
Dengan tersebarnya ulama
hadits yang belajar ke berbagai wilayah dari
beratus-ratus syaikh, menuntut para ulama untuk mengadakan penyeleksian
hadits lebih ketat lagi. Jika pada masa sebelumnya hanya belajar pada syaikh
dalam satu wilayah, sehingga kritik haditsnya hanya sebatas dalam wilayah
mereka sendiri, akan tetapi kritik hadits pada masa tabi in ini tidak terbatas dalam
21Ibid., 90.
ulama satu wilayah saja, melainkan sampai ke berbagai wilayah, yang kemudian
memunculkan kegiatan kritik hadits dan beberapa tokoh yang terkenal pada abad
kedua, yaitu:22
a. Kufah: Sufyan al-Tsauri (97-161 H), Walid bin al-Jarah (wafat 196 H).
b. Madinah: Malik bin Anas (93-179 H).
c. Wasith: Syu bah (83-100 H).
d Beirut: Al-Awza i (88-158 H).
e. Basrah: Hammad bin Salamah (wafat 167 H), Hammad bin Zaid (wafat 179 H),
Yahya bin Zaid al-Qathan (wafat 198H), Abdur Rahman bin Mahdi (wafat 198
H).
f. Mesir: Laits bin Sa d (wafat 175 H), Al-Syafi i (wafat 204 H).
g. Makkah: Ibn Uyainah (107-198 H).
h. Merv: Abdullah bin al-Mubarak (118-181 H).
Dari tokoh-tokoh kritik hadits di atas kemudian melahirkan tokoh-tokoh
kritik penerus pada abad ketiga, antara lain:
a. Baghdad: Yahya bin ma in (wafat 233 H), Ibn Hanbal (wafat 241 H), Zuhair
bin Harb (wafat 234 H).
b. Basrah: Ali bin al-Madini (wafat 234 H), Ubaidillah bin Umar (wafat 235 H).
c. Wasith: Abu Bakar bin Abi Syaibah (wafat 235 H).
d. Merv: Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H).
Dengan munculnya tokoh-tokoh ulama hadits di abad ketiga ini
menandakan bahwa kegiatan kritik hadits sudah menjadi ilmu yang dibukukan,
dan kegiatan kritik hadits ini lebih diperketat lagi, yakni dengan ditulisnya kitab-
22Muhammad Mustafa Azami, Op. cit., 56.
kitab hadits sebagai rambu-rambu dalam mengadakan kegiatan kritik hadits. Di
antara kitab-kitab tersebut antara lain: Tarikh al-Rijal (sejarah rawi-rawi) oleh
Yahya bin Ma in (234 H), al- Ilal wa Ma rifah al-Rijal (cacat-cacat hadits dan
mengetahui rawi-rawi) oleh Ahmad bin Hambal (241 H),23 dan lain sebagainya.
C. Takhrij al-Hadits
Kata takhrij menurut bahasa berarti mengeluarkan, jadi takhrij al-hadits
yaitu suatu usaha untuk mengeluarkan hadits dari sumber aslinya.24 Yang
dimaksud mengeluarkan di sini yakni kegiatan mencari hadits dari berbagai
periwayatan para imam hadits dan dalam kitab apa saja hadits tersebut dimuat dan
dijelaskan dari sumber aslinya tersebut.
Dalam penelitian hadits kegiatan takhrij sangat dibutuhkan, karena tanpa
dilakukan kegiatan ini terlebih dahulu, maka akan sulit untuk mengetahui asal
usul dari riwayat hadits. Untuk itu setidaknya ada dua metode yang dipakai dalam
kegiatan takhrij ini yaitu takhrij al-hadits bil lafz dan takhrij al-hadits bil
maudu .25
Adapun metode yang pertama yakni menelusuri hadits berdasarkan lafadz
yang terdapat pada matan hadits, karena adakalanya seorang peneliti hanya
mengetahui sebagian dari lafadz matan hadits yang akan diteliti. Dan metode yang
kedua yaitu menelusuri hadits berdasarkan topik masalah, yakni kegiatan mencari
hadits dengan melihat topik dari satu masalah.
23Ali Mustafa Yaqub, Op. cit., 4. 24Ahmad Husnan, Kajian Hadits Metode Takhrij (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), 97. 25Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadit Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 46.
Dengan demikian seorang peneliti dituntut untuk mengetahui akan topik
yang ada dalam hadits, sehingga dalam usahanya dapat mempermudah dalam
mencari dan menemukan periwayatan dari imam yang lain.
D. I tibar
Makna i tibar menurut bahasa ialah peninjauan terhadap berbagai hal
dengan maksud untuk diketahui sesuatu yang sejenis. Dan adapun menurut istilah
yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang mana
tampak hanya seorang periwayat saja, dengan maksud untuk mengetahui apakah
terdapat periwayat yang lain terkait hadits yang akan diteliti.26 Sehingga dengan
dilakukannya kegiatan i tibar ini akan terlihat jelas tentang jalur sanad hadits,
baik dari segi nama tiap-tiap perawi maupun metode-metode yang digunakan
dalam meriwayatkan hadits.
Dalam kegiatan ini, dilakukan dengan membuat skema yang mencakup
seluruh sanad yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam proses
memahami urutan-urutan dalam sanad dan juga pribadi tiap-tiap perawi. Untuk itu
ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni membuat jalur seluruh sanad,
mengurutkan nama-nama perawi, dan mencantumkan metode atau lambang yang
digunakan dalam periwayatan.27
Dalam membuat jalur sanad haruslah jelas dan rapi, sehingga tidak
menimbulkan kerancuan yang mengakibatkan kesalahan dalam memahami
urutan-urutan sanad. Dan dalam skema harus meliputi seluruh nama, yakni
mencantukan nama mulai dari perawi yang pertama hingga perawi yang terakhir.
26Ibid., 51. 27Ibid., 52.
Sedangkan dalam mencantumkan metode atau lambang yang dipakai perawi
dalam periwayatan harus sesuai dengan apa yang ada dalam sanad hadits yang
diteliti.
E. Kritik Sanad Hadits
1. Pengertian.
Dari segi bahasa sanad mempunyai arti sesuatu yang dipegangi. Disebut
demikian karena matan hadits selalu bersandar dan berpegang pada sanad.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits sanad berarti rangkaian perawi yang
menghubungkan kepada matan mulai dari periwayatan pertama (generasi sahabat)
sampai pada periwayatan terakhir (generasi tabi in) seperti Bukhari dan Muslim.28
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kritik sanad hadits diartikan
sebagai penilaian, dan penelusuran sanad hadits terhadap individu perawi dan
proses dalam penerimaan hadits dari syaikh mereka masing-masing, dengan
tujuan untuk mengetahui kualitas hadits yang terdapat dalam sanad yang diteliti.
Dalam perjalanan sejarah bahwa perhatian ulama terhadap sanad hadits
ini berawal ketika ditemukannya hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang
mempunyai kepentingan, yakni ketika terjadi terjadinya fitnah yang
mengakibatkan perselisian dikalangan umat muslim demi suatu kepemimpinan.
Mesikipun demikian bukan berarti pada masa Rasulullah saw kritik sanad ini
tidak digunakan, hanya saja masih bersifat teoritik dan belum ditegaskan seperti
setelah terjadinya fitnah. Perhatian ulama terhadap kritik hadits ini dilakukan
28Yusuf Saefullah, Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 91.
dengan tidak secara langsung menerima suatu riwayat sebelum mengetahui dan
mengecek terhadap sanad hadits.
Untuk lebih jelasnya akan dikemukanakan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari yang mengatakan bahwa, Sulaiman bin Abu al-Rabi mengkabarkan
kepadanya bahwa Ismail bin Ja far mengatakan dari Malik bin Nafi yang
mengkabarkan kepadanya dari bapaknya, bahwa Abu Hurairah telah menceritakan
Nabi Muhammad saw bersabda: tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam,
apabila berkata dia berbohong, apabila berjanji dia ingkar, apabila dipercaya dia
berkhianat. 29
Dalam hadits tersebut memuat rangkaian nama-nama perawi dan lambang
dalam menerimanya yang dijelaskan menggunakan kata mengatakan,
mengkabarkan, dan menceritakan. Susunan dalam perawi beserta lambang
periwayatan ini disebut dengan sanad.
2. Jarh wa Ta dil.
Dalam kegiatan kritik sanad hadits tentunya tidak terlepas dari adanya
ilmu jarh wa ta dil. Istilah jarh sendiri secara bahasa mempunyai arti melukai.
Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya terkena senjata
tajam atau yang lain. Sedangkan menurut istilah jarh berarti tampak jelasnya sifat
pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan
kecermatannya, yang dapat menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang
disampaikan.30 Adapun kata ta dil secara bahasa berarti mengemukakan sifat-sifat
adil yang dimiliki seseorang. Sedangkan menurut istilah adalah mengungkap sifat-
29Ibid., 92. 30Syuhudi Ismail, Op. Cit., 72.
sifat bersih yang ada pada diri periwayat dengan maksud melihat keadilan perawi
sehingga apa yang diriwayatkan akan diterima.31
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa jarh wa ta dil merupakan
ilmu yang sangat diperhatikan oleh para ulama , karena di dalamnya membahas
terkait dengan penetapan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima
atau harus ditolak dilihat dari pribadi seorang perawi. Apabila seorang perawi
dalam meriwayatkan terdapat suatu kecacatan maka periwayatannya harus ditolak,
sebaliknya jika dalam periwayatannya dipuji maka haditsnya akan diterima
selama memenuhi syarat-syarat tentang kesahihan hadits. Kecacatan seorang
perawi itu dapat dilihat melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, seperti
perbuatan bid ah, yakni melakukan tindakan tercela atau perbuatan di luar
ketentuan syari ah.
Dalam pembahasan ilmu jarh wa ta dil ini secara singkat terdapat dua
syarat yang sudah ditetapkan untuk seorang perawi hadits, yakni adalat dan
dhabit. Ke- adalat-an seorang perawi ini dapat dilihat dengan popularitasnya
dikalangan para ulama . Apabila dikalangan para ulama sudah terkenal tentang
keadilannya maka tidak perlu untuk diperbincangkan lagi.
Selain itu juga dapat dilihat berdasarkan pujian dari perawi lain yang adil.
Apabila seorang perawi yang adil men-ta dil-kan perawi yang lain yang belum
dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan perawi tersebut sudah bisa
menyandang gelar adil dan periwayatannya dapat diterima.32 Sedangkan perawi
31Ibid.,73. 32Munzier Suparto, Ilmu Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 33.
dapat dikatakan dhabit apabila dalam periwayatannya tidak bertentangan dengan
perawi yang lain yang kedudukannya lebih tinggi atau sudah tsiqat.
3. Kriteria Kesahihan Sanad Hadits.
Kriteria kesahihan sanad hadits pada mulanya belum dijelaskan secara
konkrit. Namun demikian adanya kriteria-kriteria tersebut mulai terlihat jelas
ketika Imam Syafi i mengemukakan tentang riwayat hadits yang dapat dijadikan
sebagai hujjah, yakni hadits ahad dapat dijadikan sebagai hujjah selama
memenuhi dua syarat, yaitu hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
('adil dan dhabith), dan rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada
Rasulullah saw.33
Atas dasar kriteria-kriteria tersebut kemudian Ia dikenal sebagai bapak
ilmu hadits, dan pendapatnya pun menjadi pegangan bagi para ulama
sesudahnya. Di antaranya yaitu Bukhari dan Muslim yang lebih lanjut mereka
memberikan penjelasan terkait dengan kriteria-kriteria kesahihan sanad hadits.
Penjelasan dari Bukhari dan Muslim ini kemudian dianalisis dan diteliti lagi oleh
ulama sesudahnya yang pada akhirnya mendapatkan bahwa telah terjadi
perbedaan kriteria kesahihan antara Bukhari dan Muslim, di samping juga
terdapat persamaan-persamaan. Adapun perbedaan tersebut terdapat pada
bertemunya antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain, yakni
Bukhari mengharuskan terjadinya pertemuan di antara periwayat terdekat dalam
sanad, walaupun hanya sekali. Sedangkan Muslim mengatakan bahwa pertemuan
33Bustamin, M Isa H.A Salam, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 22.
tersebut tidak harus dibuktikan, yang jelas mereka terbukti hidup dalam satu
zaman.34
Lebih lanjut lagi muncul pendapat dari kalangan ulama
mutaakhirin
mengenai kriteria-kriteria kesahihan sanad hadits, yakni Ibnu Salah mengatakan
bahwa hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabit, sampai akhir sanadnya tidak terdapat kejanggalan
(syadz) dan cacat ( illat).35
Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa kriteria hadits sahih itu ada
lima, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil,
diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, terhindar dari syadz, dan terhindar dari
illat.
a. Kebersambungan Sanad.
Yang dimaksud dengan bersambungnya sanad ialah tiap-tiap perawi
dalam meriwayatkan hadits saling bertemu antara yang satu dengan yang lain.
Meskipun demikian pengertian kebersambungan yang masih umum ini
menyebabkan munculnya perbedaan pandangan dikalangan ulama hadits.
Contohnya antara Bukhari dan Muslim, Bukhari mengatakan bahwa sanad itu
bisa dikatakan bersambung apabila telah memenuhi kriteria-kriteria yaitu, al-
liqa 36 dan al-mu asharah.37 Sedangkan Muslim memandang hal ini agak longgar
yakni sanad dapat dikatan bersambung apabila antara perawi yang satu dengan
34Ibid., 23. 35Ibid., 24. 36Al-liqa
ialah adanya hubungan langsung antara perawi yang satu dengan yang lain, yang ditandai dengan adanya pertemuan antara murid yang mendengar langsung dari gurunya. 37Al-mu asharah ialah sanad dianggap bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya.
perawi berikutnya dan seterusnya ada kemungkinan bertemu karena hidup dalam
masa yang sama dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh.
Dari persyaratan yang dikemukakan oleh Bukhari dan Muslim ini dapat
dikatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari berkedudukan lebih
tinggi dibanding dengan Muslim dan imam-imam yang lain. Karena sanad bisa
dikatakan bersambung apabila memenuhi dua kriteria yaitu al-liqa
dan al-
mu asharah, sedangkan Muslim hanya memberikan persyaratan al-mu asharah
saja. Meskipun demikian bukan berarti Muslim tidak memperhatikan adanya
pertemuan antara perawi, melainkan melihat kepada pribadi tiap-tiap perawi yakni
terkait dengan ke- adalat-an dan ke-dhabit-annya. Dari sini kemudian Muslim
melihat adanya kebersambungan antara perawi, walaupun terdapat kemungkinan
tidak bertemu secara langsung.
Melihat dari bersambung dan tidaknya sanad ini kemudian melahirkan
berbagai istilah yaitu muttashil, musnad, marfu ,dan munqati . Istilah muttashil
ialah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada
Rasulullah saw atau hanya pada sahabat. Jika konsep seperti ini yang digunakan
maka akan muncul istilah marfu
(disandarkan pada Rasulullah saw) dan mauquf
(disandarkan pada sahabat).38 Adapun istilah munqati
sendiri ialah hadits yang
gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama
seorang yang tidak dikenal namanya.39
Selanjutnya terkait dengan kebersambungan sanad ini juga membahas
mengenai metode atau lambang yang digunakan oleh para perawi, yakni lafadz-
38Yusuf Saefullah, Cecep Sumarna, Op. cit., 96. 39Munzier Suparta, Op. cit., 152.
lafadz yang digunakan dalam periwayatan hadits. Adapun lafadz-lafadz yang telah
disepakati antara lain: hadasana, hadasani, sami tu, dzakarana, qalalana,
akhbarani, akhbarana. Lafadz-lafadz di atas merupakan istilah yang digunakan
dalam lambang as-sama
(pendengaran).40
b. Ke- adalat-an Perawi.
Istilah adalat menurut bahasa ialah pertengahan, lurus, atau condong
kepada kebenaran.41 Sedangkan menurut istilah yaitu suatu watak yang
mengarahkan seseorang kepada perbuatan taqwa, menjauhi perbuatan mungkar
dan segala sesuatu yang akan merusak muru ah, yakni selalu berakhlak baik
dalam segala tingkah lakunya.42
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa seseorang baru bisa
mendapatkan predikat adalat apabila di dalam dirinya mempunyai sifat-sifat
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan senantiasa melaksanakan
segala perintah dan menjauhi setiap apa yang dilarang-Nya.
Untuk itu setiap perawi yang mempunyai sifat adalat harus beragama
Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru ah.43
Selain itu juga tidak berbuat bid ah dan maksiat yang dapat merusak ke- adalat-
an seorang perawi.
Beragama Islam merupakan merupakan nilai yang terpenting dalam
kriteria adalat. Karena seorang yang akan menyampaikan riwayat hadits harus
beragama Islam. Namun ketika dalam menerima hadits kriteria beragama Islam
40Bustamin, M Isa H.A Salam, Op. cit., 53. 41Syuhudi Ismail, Op.cit., 67. 42Yusuf Saefullah, Cecep Sumarna, Op. cit., 97. 43 Syuhudi Ismail, Op.cit., 67.
tidak diberlakukan, yakni orang yang tidak beragama Islam pun boleh menerima
hadits.
Maksud dari mukalaf di sini yakni sudah baligh, ini merupakan salah satu
kriteria yang harus dipenuhi, karena hal itu sebagai persyaratan dalam memikul
tanggung jawab, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala sesuatu yang
dilarang oleh agama. Sedangkan muru ah di sini merupakan sifat menjaga
kesopanan pribadi dari perilaku-perilaku tercela demi memelihara diri dan
membina kebajikan moral.
c. Ke-dhabit-an Perawi.
Makna dhabit menurut bahasa yaitu yang kokoh, yang kuat, yang tepat,
dan yang hafal sempurna.44 Jika dilihat dari segi istilah menurut Ibnu Hajar al-
Asqalany perawi yang dhabit ialah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa
yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja manakala diperlukan.45
Melihat pada definisi di atas maka perawi yang dikatakan dhabit harus
mendengarkan secara utuh setiap apa yang didengarnya, memahami makna yang
terkandung di dalamnya dan melekat pada ingatannya, kemudian mempunyai
kemampuan untuk menyampaikan hadits tersebut kepada orang lain sebagaimana
mestinya.
Selain itu dari pengertian dhabit di atas terdapat dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu dhabit fi al-shadr yakni terpeliharanya suatu periwayatan
dalam ingatan ketika menerima hadits sampai pada meriwayatkannya kembali
44Ibid., 70. 45Munzier Suparta, Op. cit., 132.
kepada orang lain. Dan dhabit fi al-kitab yakni terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.46
d. Terhindar dari syadz dan illat.
Yang dimaksud dengan syadz menurut Imam Syafi i ialah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan
riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga.47 Dari
perumusan ini dapat dipahami bahwa suatu hadits dapat dikatakan syadz apabila
dalam matan hadits bertentangan dengan matan yang diriwayatkan oleh perawi
yang lain.
Adanya pendapat Syafi i ini kemudian memberikan indikasi bahwa tidak
menutup kemungkinan terdapat syadz pada matan hadits, kendati hadits tersebut
telah diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah. Berdasarkan hal ini sangat diperlukan
adanya penyeleksian hadits yang merupakan bentuk perwujudan akan kehati-
hatian seorang perawi demi menjaga keotentikan hadits Rasulullah saw.
Adapun illat di sini secara bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan.
Sedangkan menurut istilah yaitu suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-
samar, yang karenanya dapat merusak kesahihan hadits.48 Dengan demikian yang
dimaksud dengan illat dalam hadits yakni terdapatnya suatu cacat atau penyakit
pada matan hadits yang nantinya dapat merusak pada tingkat kesahihan menjadi
tidak sahih.
46Ibid., 132. 47Ibid., 133. 48Ibid., 133.
F. Kritik Matan Hadits
1. Pengertian.
Kritik matan hadits merupakan proses kelanjutan dari kritik terhadap
sanad hadits. Kegiatan ini terus dilakukan oleh para ulama mengingat hadits
merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur an. Sebagaimana dalam
sejarah keberadaan hadits sendiri telah mengalami kerusakan yakni dengan
munculnya hadits-hadits palsu pada saat perpecahan umat Islam.
Namun di sisi lain dengan munculnya hadits-hadits palsu, secara tidak
langsung telah memberikan semangat kepada para ulama untuk lebih berhati-hati
dalam menerima hadits, dengan mengadakan penyeleksian terlebih dahulu baik
dari segi sanad maupun matan. Kegiatan kritik sanad dan matan hadits
merupakan dua metodologi yang sudah tidak dapat dipisahkan di dalam
menentukan kualitas hadits.
Matan menurut bahasa berarti punggung jalan, tanah yang tinggi dan
keras.49 Sedangkan menurut al-Thibiy seperti yang dinukil oleh Musfir al-Damimi,
ialah kata-kata hadits yang dengannya terbentuk makna-makna.50 Dengan
demikian matan hadits pada dasarnya merupakan pencerminan konsep yang
dirumuskan berbentuk teks yang dikenal dengan istilah isi hadits, yakni sabda
Rasulullah saw. Keberadaan matan yang terletak setelah sanad ini menunjukan
bahwa sanad mempunyai fungsi yang sangat penting, yakni sebagai pengantar
data mengenai informasi hadits dari sumbernya langsung. Dengan demikian sanad
49Bustamin, M Isa H.A Salam, Op. cit., 59. 50Hasjim Abbas, Op. cit., 13.
di sini merupakan media sebagai bentuk rasa tanggung jawab atas asal usul teks
hadits.
Studi kritik terhadap matan ini dimaksudkan untuk menyelidiki isi atau
materi dari hadits, yakni apakah hadits tersebut memiliki kejanggalan dan
keanehan, baik dari segi bahasa maupun kandungan dari matan hadits.
2. Kriteria Kesahihan Matan Hadits.
Kriteria kesahihan matan hadits dikalangan para ulama hadits memiliki
banyak pendapat. Kemungkinan munculnya perbedaan ini disebabkan oleh latar
belakang dan kondisi tiap masyarakat yang berbeda. Di antara kriteria kesahihan
matan hadits yakni seperti apa yang diungkapkan oleh al-Khatib al-Bagdadi
bahwa suatu matan dapat diterima sebagai matan yang sahih apabila memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:51
a. Tidak bertentang dengan akal sehat.
b. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur an yang sudah muhkam.
c. Tidak bertentangan dengan hadits yang mutawatir.
d. Tidak bertentangan dengan amalan yang sudah menjadi kesepakatan ulama
masa lalu.
e. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
f. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.
Selain itu Salah al-Din al-Adabi juga mengemukakan pendapatnya terkait
dengan kriteria kesahihan matan hadits yaitu:52
a. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur an.
51Bustamin, M Isa H.A Salam, Op. cit., 62. 52Ibid., 63.
b. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah.
d. Susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda Rasulullah saw.
Melihat pada pemaparan dari beberapa kriteria di atas, matan yang dapat
diterima dan termasuk sanadnya sahih, yakni kesahihan dari matan dapat
diketahui setelah diadakan penelitian terhadap sanad hadits. Yaitu kegiatan untuk
mengetahui muatan yang terdapat dalam matan hadits tidak bertentangan dengan
apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur an atau hadits mutawatir, atau hadits ahad
yang lebih tinggi kedudukannya. Dan isi dari hadits tidak bertentangan dengan
sejarah yang sudah ada, juga tidak bertentangan dengan akal sehat. Karena
Rasulullah saw tidak akan menetapkan sesuatu apabila hal tersebut bertentangan
dengan akal sehat.
Dari definisi kesahihan ini, kemudian yang menjadi langkah-langkah
dalam penelitian matan hadits ini antara lain: meneliti matan dengan melihat
kualitas sanad, meneliti susunan matan yang semakna, meneliti susunan matan
dari segi kebahasaan, dan meneliti kandungan makna pada matan.
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad.
Dalam langkah pertama ini menandakan bahwa sebuah hadits tidak dapat
dikatakan sebagai sabda Rasulullah saw, jika tidak memiliki dukungan dari
kualitas sanad yang dapat diterima. Namun demikian bukan berarti meneliti
kualitas sanad itu lebih penting dibanding dengan meneliti kualitas matan. Oleh
karena itu seorang ulama tidak boleh menyatakan suatu hadits itu sahih dengan
berlandaskan kepada kesahihan sanad saja, akan tetapi juga harus didukung
dengan kesahihan pada matan. Ini menandakan bahwa antara meneliti sanad
dengan meneliti matan merupakan dua hal kegiatan yang sudah tidak dipisahkan
lagi, artinya keduanya saling mendukung dalam menentukan kedudukan hadits.
Dalam kegiatan penelitian hadits, suatu matan dapat dikatakan berkualitas
sahih apabila terhindar dari adanya syadz dan illat. Untuk itu dalam suatu
penelitian kedua istilah tersebut harus dijadikan sebagai acuan utama dalam
melihat kualitas matan.53
Selanjutnya penelitian dilanjutkan dengan memberikan aturan-aturan
tentang kriteria kesahihan matan seperti yang telah diutarakan oleh para ulama
pada pembahasan sebelumnya.
2. Meneliti susunan matan yang semakna.
Dalam menentukan kualitas dan sekaligus makna dari hadits, setelah
melalui jalan yang telah disebutkan, maka langkah berikutnya adalah
menghimpun dan menyandingkan hadits-hadits yang lain yang memiliki
kesamaan dalam tema. Maksudnya yaitu, mengumpulkan hadits-hadits yang
mempunyai sumber sanad yang sama, dan mengumpulkan hadits-hadits yang
mengandung makna yang sama.
Langkah kedua ini bertujuan untuk meneliti teks-teks hadits yang memiliki
kesamaan dalam makna maupun sumber sanadnya. Upaya pertama yang harus
dilakukan yaitu membandingkan teks hadits sekaligus dengan sanadnya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan hadits, yang dikategorikan dalam
sahih atau dha if. Selain itu juga untuk mengetahui apakah hadits tersebut berasal
dari Rasulullah saw yang bisa dipertanggung jawabkan dalam sanadnya.
53Syuhudi Ismail, Op.cit., 124.
Selanjutnya meneliti susunan matan hadits dengan melihat apakah terdapat
tambahan (ziyadah) dalam periwayatannya atau tidak. Terkait dengan hal ini
Shalah kemudian mengatakan bahwa ada tiga cara untuk mendeteksi dalam
masalah ini yaitu:54
a. Ziyadah yang bersumber dari periwayat yang tsiqah yang isinya bertentangan
dengan periwayat hadits yang lain yang tsiqah juga. Jika terdapat ziyadah
dalam konteks seperti ini disebut dengan hadits syadz.
b. Ziyadah yang berasal dari orang yang tsiqah dan isinya tidak bertentangan
dengan periwayat lain. Hadits seperti ini dapat diterima.
c. Ziyadah yang berasal dari orang yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang
mengandung arti tertentu, sedangkan periwayat lain tidak menemukannya.
3. Meneliti susunan matan dari segi kebahasaan.
Dalam tahapan kali ini penelitian kebahasaan ditujukan untuk beberapa
aspek, yaitu struktur bahasa, yakni melihat pada matan hadits yang diteliti, apakah
menggunakan kaidah bahasa arab atau tidak, dan juga apakah di dalamnya
terdapat kata-kata yang berbeda atau tidak biasa digunakan oleh Rasulullah saw
atau orang-orang Arab. Melihat apakah bahasa yang digunakan dalam matan
menggambarkan bahasa keNabian. Dan menelusuri makna kata-kata yang terdapat
pada matan yang mana ketika diucapkan oleh Rasulullah saw mempunyai
kesamaan makna dengan apa yang dipahami oleh para pembaca.55
54Yusuf Saefullah, Cecep Sumarna, Op. cit., 105. 55Bustamin, M Isa H.A Salam, Op. cit., 76.
Dari penelitian terhadap kualitas bahasa ini para ulama dapat menjauhkan
hadits Rasulullah saw akan adanya pemalsuan yang banyak terjadi pada saat
konflik di tubuh umat Islam.
3. Meneliti kandungan makna pada matan.
Setelah susunan matan ditinjau dari segi kebahasaan, selanjutnya adalah
meneliti kandungan matan. Dalam kegiatan ini yang perlu diperhatikan adalah
matan-matan lain yang mempunyai topik masalah yang sama. Untuk itu sangat
diperlukan adanya kegiatan takhrij al-hadits bil maudu . Dari sini kemudian dapat
dilihat jika terdapat suatu matan yang memiliki kesamaan topik, maka matan
tersebut perlu diteliti sanadnya. Dan jika matan tersebut memenuhi syarat untuk
diterima sebagai hadits yang sahih maka kemudian dilakukan muqaranah
kandungan matan. Apabila dari keduanya memiliki kesamaan maka penelitian
dilanjutkan pada kajian terhadap kitab-kitab syarah.56 Langkah ini dimaksudkan
untuk mengetahui dari tiap-tiap kosa kata dalam matan hadits yang masih
dianggap asing. Namun jika dari keduanya memiliki perbedaan maka penelitian
dilanjutkan dengan membandingkan antara matan-matan yang dirasa memiliki
perbedaan.
Sesungguhnya dalam hadits Rasulullah saw tidak terdapat pertentangan
baik dengan al-Qur an maupun hadits yang lain. Karena setiap apa yang di
sabdakan oleh Rasulullah saw merupakan suatu kebenaran. Namun pada
kenyataannya nampak sejumlah hadits yang tidak sejalan atau bertentangan
dengan al-Qur an maupun hadits yang lain. Tentunya hal ini disebabkan oleh latar
belakang masing-masing periwayatan.
56Syuhudi Ismail, Op. Cit., 141.
Menanggapi hal ini banyak ulama yang mengatakan bahwa adanya
pertentangan tersebut merupakan bentuk mukhtalif al-hadits, yang kemudian
hadits-hadits yang dirasa bertentangan dengan yang lain dikumpulkan menjadi
satu dalam kitab khusus. Adapun ulama yang memelopori kegiatan ini yaitu
Imam Syafi i yang dalam karyanya berjudul ikhtilaf al-hadits.57
Sebagian ulama
memandang bahwa pertentangan di antara hadits tersebut
harus diselesaikan. Dalam menyelesaikan ini pun para ulama berbeda pandangan,
yakni Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadits-hadits yang bertentangan harus
diamalkan, dan menekankan adanya penggunaan metode istisna . Selanjutnya
Syafi i mengatakan bahwa adanya pertentangan itu menunjukan akan adanya
matan yang sifatnya masih global (mujmal) dan rinci (mufassar), umum ( amm)
dan khusus (khass), menghapus (nasikh) dan dihapus (mansukh).58 Sedangkan
Syihabudin Abu Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi mengunakan metode at-tarjih,
yakni mencari petunjuk yang memiliki argumen yang kuat.
Dari beberapa pendapat para ulama
di atas terlihat bahwa telah terjadi
perbedaan dalam menyelesaikan hadits-hadits yang nampak bertentangan. Namun
demikian tidak berarti bahwa hasil penyelesainnya pun berbeda-beda, melainkan
banyak yang menghasilkan kesamaan. Hal ini dapat dipahami mengingat pribadi
para ulama dan latar belakang masing-masing yang berbeda pula. Sebagian
ulama memandang bahwa cara al-jam u merupakan cara yang baik, sebagian
juga menggunakan cara at-tarjih. Sebagian yang lain menggunakan cara naskh wa
mansukh.
57Ibid., 142. 58Ibid., 143.
BAB III
VALIDITAS HADITS ABGHADH AL-HALAL
ILA ALLAH AL-THALAQ
A. Validitas Hadits.
Hadits yang diteliti oleh penulis dalam skripsi ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi:
Artinya: Diceritakan Katsir bin Ubaid diceritakan Muhammad bin Khalid dari Mu arif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi saw bersabda: sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak . (Hadits riwayat Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh al-hakim).
Dilihat dari rumusan yang terdapat dalam matan, maka hadits di atas
memuat penjelasan tentang talak beserta hukumnya. Untuk itu hadits ini banyak
dijumpai dalam kitab-kitab fikih, khusunya yang membahas tentang perkawinan.
Adapun talak sendiri dalam Islam secara bahasa berarti melepaskan tali.
Sedangkan menurut istilah talak merupakan salah satu pemutusan hubungan
ikatan suami istri karena sebab-sebab tertentu, yang sudah tidak mungkin untuk
dapat dipertahankan lagi.59 Istilah talak dalam fikih mempunyai dua arti, yakni
umum dan khusus. Dalam arti yang umum talak merupakan segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami atau yang dijatuhkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya kerena meninggalnya salah
59Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 262.
seorang dari suami istri. Sedangkan dalam arti yang khusus talak merupakan
perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami.60
Dengan demikian melepaskan di sini merupakan pemutusan hubungan
perkawinan suami istri yang dikarenakan adanya masalah yang sudah tidak
mungkin untuk didamaikan lagi, dan dijadikan sebagai jalan keluar yang terakhir.
Lafadz yang terdapat dalam matan hadits di atas merupakan bagian dari
lafadz-lafadz yang telah banyak disinggung dalam beberapa buku, di antaranya
yakni dalam buku pokok-pokok hukum Islam karangan Sudarsono yang
menjelaskan bahwa talak itu merupakan perbuatan yang sangat dibenci Allah
SWT tetapi diperbolehkan karena sebab-sebab tertentu, yang mana hakamain dari
kedua belah pihak sudah tidak bisa mendamaikan lagi.61
Namun jika hadits di atas dicermati secara seksama, maka akan nampak
sesuatu hal yang menarik, yakni pada kandungan matan yang menjelaskan tentang
istilah abghadh dan halal. Istilah abghadh dan halal ini merupakan lafadz yang
sama-sama disandarkan kepada Allah SWT, yakni Allah SWT telah menghalalkan
adanya talak, namun di sisi lain Allah SWT juga sangat membecinya.
Berdasarkan pemaknaan istilah di atas, yang seolah-olah antara istilah
abghadh dan halal saling bertolak belakang, maka akan muncul permasalahan
terkait dengan kebencian dan kebolehan yang dimaksud dalam hadits, yakni
apakah kebencian di sini bermakna harus ditinggalkan bagi seorang mukalaf dan
juga kebolehan di sini bermakna boleh dilakukan oleh siapa saja. Untuk
memahami lebih mendalam maka di sini penulis akan memaparkan kajian hadits
60Soemiyati, Op. Cit., 104. 61Sudarsono. Op. Cit., 264.
yang diriwayatkan oleh Abu Daud tersebut, yang diawali pada sanad hadits dan
dilanjutkan pada kajian matan.
B. Melakukan Takhrij al-Hadits dengan Topik (Maudhu )
Sebelum melakukam kajian terhadap sanad maka perlu dilakukan terlebih
dahulu kegiatan takhrij al-hadits. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui
asal usul dari periwayatan hadits, dan dalam kitab apa saja hadits tersebut dibahas.
Dalam hadits syarif kutub as-sittah, hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Daud ini termasuk dalam sub topik karahiyah at-talaq.62 Dalam sub bab ini selain
Abu Daud juga terdapat periwayatan lain yaitu Ibnu Majjah, yang memiliki
kesamaan pada kandungan matan. Hanya saja terdapat perbedaan dalam sanad
hadits. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yaitu:
Artinya: Diceritakan Katsir bin Ubaid diceritakan Muhammad bin Khalid dari Mu arif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi saw bersabda: sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak . (Hadits riwayat Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh al-hakim).
Artinya: Diceritakan Ahmad bin Yunus diceritakan Mu arif dari Muharib berkata, Rasulullah saw bersabda: sesuatu yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci ialah talak. (Hadits riwayat Abu Daud)
62CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah yaitu:
Artinya: Diceritakan Katsir bin Ubaid al-Himsyi diceritakan Muhammad bin Khalid dari Ubaidilah bin Walid al-Washafi dari Muharib bin Ditsar dari Abdillah bin Umar berkata, Rasulullah saw bersabda: sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak . (Hadits Riwayat Ibnu Majjah)
Dari ketiga hadits di atas dapat diketahui bahwa hadits yang pertama dan
kedua diriwayatkan oleh seorang perawi yakni Abu Daud dalam kitab sunan Abu
Daud juz II pada hadits yang ke 2178 dan 2177.63 Sedangkan hadits yang ketiga
diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dalam kitab sunan Ibnu Majjah juz I pada hadits
yang ke 2018.64 Dengan demikian, hadits yang diteliti ini adalah periwayatan Abu
Daud pada hadits yang ke 2178, dan sebagai perbandingan juga disinggung hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah yang memiliki kesamaan dalam topik.
C. Melakukan I tibar
Istilah i tibar dalam ilmu hadits seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
yaitu suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui urutan-urutan perawi
dari yang pertama hingga akhir dan lambang yang digunakan dalam
periwayatannya. Untuk mempermudah hal tersebut, maka langkah yang harus
ditempuh adalah membuat skema sanad dan mengurutkan nama-nama perawi,
serta lambang yang digunakan oleh tiap-tiap perawi.
63Abu Daud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu Daud (Beirut: Darul Fikr), 225-226. 64Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwani, Sunan Ibnu Majjah (Beirut: Darul Fikr, 1990), 633.
Sebagimana hasil dari kegiatan takhrij al-hadits di atas bahwa hadits yang
diteliti ini mempunyai tiga jalur, yakni dua diriwayatkan oleh Abu Daud dan satu
diriwayatkan oleh Ibnu Majjah. Adapun susunan skema sanadnya dapat dilihat
pada lampiran. Sedangkan susunan sanad periwayatan Abu Daud yaitu:
Skema Sanad Hadits Riwayat Abu Daud 1 Tentang Kemakruhan Talak
Selain itu Abu Daud juga meriwayatkan hadits yang sama yakni pada
hadits yang ke 2177. Adapun susunan skema sanadnya yaitu:
Skema Sanad Hadits Riwayat Abu Daud 2 Tentang Kemakruhan Talak
Dari kedua susunan sanad yang diriwayatkan oleh Abu Daud di atas
terdapat persamaan dan perbedaan yaitu sebagai berikut:
1. Sisi persamaannya adalah pada kedua hadits tersebut sama-sama
menggunakan metode hadatsana pada perawi pertama yakni Abu Daud.
2. Sisi perbedaannya adalah pada skema pertama dilanjutkan oleh perawi Katsir
bin Ubaid sedangkan dalam skema kedua oleh perawi Ahmad bin Yunus.
3. Dalam perawi ketiga pada skema pertama adalah Muhammad bin Khalid,
sedangkan pada skema kedua langsung pada Mu arif. Padahal dalam skema
pertama Mu arif masuk pada perawi yang keempat.
4. Dan perawi kelima pada skema pertama yakni Muharib, namun pada skema
kedua Muharib masuk pada perawi yang keempat.
5. Pada skema pertama perawi yang keenam adalah Ibnu Umar, namun dalam
skema kedua tidak ada perawi keenam, sehingga langsung pada sabda
Rasulullah saw.
Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa telah terdapat perbedaan dari
kedua periwayatan, yakni pada hadits yang pertama memiliki enam sanad antara
lain Abu Daud, Katsir bin Ubaid, Muhammad bin Khalid, Mu arif bin Washil,
Muharib bin Ditsar, dan Ibnu Umar. Untuk itu dapat dikatakan bahwa periwayatan
hadits yang 2178 memiliki sanad yang bersambung dan sampai pada Rasulullah
saw. Sedangkan pada hadits yang ke 2177 memiliki empat sanad antara lain Abu
Daud, Ahmad bin Yunus, Mu arif, dan Muharib. Pada periwayatan ini terdapat
kejanggalan, yakni Muharib sendiri merupakan golongan tabi in yang wafat pada
tahun 116 H65, sehingga tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw. Untuk itu
pada periwayatan ini memiliki sanad yang terputus dan tidak sampai pada
Rasulullah saw (mursal).
Adapun lambang yang digunakan dalam periwayatan hadits di atas yakni
hadatsana, an, dan qala. Kata hadatsana mempunyai arti ia telah ceritakan
kepada kami, dan kata an berarti dari, sedangkan kata qala berarti ia telah
65CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit
berkata.66 Dari ketiga lambang tersebut memiliki tingkatan berbeda-beda. lambang
hadatsana menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua
lambang yang lain. Hal ini melihat bahwa lambang hadatsana termasuk dalam
kategori lambang as-sama .67 Yang dalam pengertiannya yaitu seorang syaikh
membacakan hadits secara langsung kepada muridnya, baik disampaikan melalui
pengajian atau berdasarkan hafalan maupun catatannya.68 Sehingga dapat
dikatakan bahwa Abu Daud telah mendengarkan secara langsung lafadz hadits
dari Katsir bin Ubaid dengan menggunakan lambang hadatsana. Selain itu Katsir
bin Ubaid juga mendapatkan hadits dari Muhammad bin Khalid dengan
menggunakan lambang yang sama. Dan lambang periwayatan seperti ini oleh
mayoritas ulama di nilai sebagai cara yang tertinggi kualitasnya.
Sedangkan lambang an dan qala merupakan jalur yang masih
dipertanyakan tentang kebenarannya, sehingga kedudukannya masih di bawah
lambang hadatsana. Hal ini bisa berarti seorang perawi tidak mendengar atau
bertemu secara langsung dengan gurunya,69 akan tetapi mereka hidup dalam waktu
dan zaman yang sama. Keadaan seperti ini bisa mempengaruhi akan kedudukan
tingkatan hadits itu sendiri. Sehingga lambang ini harus diperkuat dengan
keberadan perawi, seperti halnya melihat pada ke- adalat-an dan ke-dhabit-an,
bertemu atau tidaknya antara perawi yang satu dengan yang lainnya.
Adapun periwayatan yang menggunakan lambang an yaitu Muhammad
bin Khalid yang mendapatkan hadits dari Mu arif bin Washil, dan Mu arif bin
66A Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits (Bandung: Diponegoro, 1994), 351-352. 67Ibid., 363. 68Muhammad Mustafa Azami, Op. Cit., 39. 69A Qadir Hasan, Op. Cit., 355.
Washil sendiri yang mendapatkan hadits dari Muharib bin Ditsar. Dan juga
Muharib bin Ditsar sendiri yang mendapatkan hadits dari Ibnu Umar yang telah
mendengar hadits dari Rasulullah saw.
D. Melakukan Kajian Sanad
Sebelum melakukan kajian terhadap matan terlebih dahulu diadakan
penyeleksian terhadap sanad hadits, yang dimaksudkan untuk mengetahui pribadi
para perawi.
Sebagai acuan dalam kajian ini, yakni melihat pada kepribadian dari
perawi itu sendiri yang meliputi tentang nama, tempat lahir, kepribadian yang
menyangkut kepercayaan, pikiran dan kekuatan hafalan, keadilan, dan
tingkatannya, serta metode atau lambang yang digunakan dalam periwayatan.
Adapun perawi-perawi yang akan dibahas yaitu:
1. Abu Daud.
Nama lengkap dari Abu Daud yaitu Abu Daud Sulaiman bin al-Asy ats al-
Azdi al-Sijistani dan dilahirkan di Basrah pada tahun 202 H.70 Sejak kecil Ia
telah belajar bahasa Arab sebelum mengenal dan mempelajari hadits Rasulullah
saw. Dalam pencarian hadits Ia sering mengadakan perjalanan ke berbagai
wilayah, di antaranya yakni ke kota Tarsus dan pernah menetap sampai 20
tahun. Sehingga dengan ini tidak diragukan lagi akan tingkat hafalan dan
pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw cukup tinggi, selain itu Abu Daud
juga memiliki kepribadian yang wara', taat beribadah, dan pemahaman agama
70Muhammad Mustafa Azami, Op. Cit., 153.
yang sangat mendalam.71 Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa Abu
Daud merupakan seorang ulama' yang adalat dan dhabith.
Abu Daud merupakan tokoh yang penting dikalangan ahli hadits. Ini
ditandai dengan ditulisnya kitab sunan Abu Daud yang diakui oleh para ulama'
klasik dan dijadikan sebagai salah satu pegangan. Selain itu Abu Daud juga
telah melakukan penyaringan dari 500.000 hadits menjadi 4.800 hadits. Hasil
penyaringan ini menandakan akan perhatian Abu Daud terhadap keaslian hadits
Rasulullah saw dengan sangat berhati-hati.
Dalam kaitannya dengan pembahasan hadits tentang kemakruhan talak
ini, Abu Daud telah menerima hadits dari Katsir bin Ubaid dengan lambang
hadatsana, ini menandakan bahwa adanya proses penerimaan hadits dengan
lambang al-sama', yakni perawi pertama benar-benar menerima hadits dari
perawi kedua (muttasil) secara langsung dan dinyatakan memiliki sanad yang
bersambung.
2. Katsir bin Ubaid.
Katsir bin Ubaid adalah seorang ulama' hadits yang berasal dari Syam.
Adapun nama lengkapnya yaitu Katsir bin 'Ubaid bin Numair al-Madhiji Abu
Hasan al-Himsyi, yang dikenal dengan sebutan Abu al-Hasan. Ia wafat pada
tahun 250 H.72
Dari segi kepribadian Ia merupakan perawi hadits yang tsiqah. Gelar ini
dapat dilihat pada pendapat beberapa ulama' mengenai kepribadiannya. Antara
71Sa'dullah Assa'idi, Hadits-Hadits Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), 51. 72CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit.
lain Abu Hatim al-Razzi, Ibnu Hibban, dan Abu Daud yang mengatakan bahwa
Katsir bin Ubaid adalah seorang perawi yang tsiqah.73
Dalam kajian ini Ia mendapatkan hadits dari Muhammad bin Khalid
dengan lambang hadatsana. Dengan lambang ini menunjukankan bahwa Ia telah
menerima hadits dengan lambang al-sama', sehingga dapat dipastikan Ia telah
bertemu secara langsung dengan perawi sebelumnya dan dapat dikatakan
bersambung (muttasil). Hal ini diperkuat dari keduanya yang berasal dalam satu
wilayah. Selain itu dengan adanya sifat adalat dan dhabith yang dimilikinya,
maka sudah tidak diragukan lagi akan kejujurannya dalam mendengar dan
meriwayatkan kembali hadits Rasulullah saw.
3. Muhammad bin Khalid.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Khalid bin Muhammad, Ia
merupakan seorang ulama' hadits yang berasal dari Syam. Ia wafat sebelum
tahun 190 H.74
Semasa hidupnya Ia dikenal dengan sebutan Abu Yahya dikalangan para
ulama' hadits dan memiliki tingkat kejujuran yang tinggi, sehingga Ia juga
termasuk dalam kategori perawi yang tsiqah. Ini seperti apa yang diutarakan
dalam pendapat beberapa ulama', antara lain Ibnu Hibban dan Daruqutni.75
Adapun dalam periwayatan, Ia telah menerima hadits dari Mu'arif bin
Washil dengan lambang 'an. Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa
lambang ini memiliki kedudukan di bawah lambang hadatsana dan masih
dipertanyakan akan kebenarannya. Namun demikian ketika melihat pada pribadi
73CD, Maktabah al-Hadits al-Syarif, Kitab Tahdzib al-Kamal. 74Ibid. 75CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit.
Muhammad bin Khalid sendiri yang termasuk dalam kategori tsiqah, maka
dapat dipastikan bahwa dalam meriwayatkan hadits, selalu sesuai dengan apa
yang diterima dari perawi sebelumnya.
Dan ketika melihat pada masa hidupnya, yakni bahwa keduanya
mempunyai hubungan khusus yaitu ikatan seorang guru dengan seorang murid,76
sehingga tidak diragukan lagi bahwa keduanya telah bertemu secara langsung
dan hidup dalam waktu yang sama. Dengan demikian dalam periwayatannya
memiliki sanad yang bersambung (muttasil).
4. Mu arif bin Washil.
Adapun nama lengkapnya adalah Mu arif bin Washil as-Sya'di. Ia
merupakan ulama' hadits yang berasal dari Kufah, dan dikenal dengan sebutan
Abu Badal dikalangan ulama hadits.77
Ia merupakan ulama' yang telah banyak meriwayatkan hadits Rasulullah
saw. Hal ini dilihat dengan banyaknya penilaian oleh beberapa ulama terkait
dengan kepribadiannya. Di antaranya yaitu Ibnu Hibban, Yahya bin Mu in,
Nasa i, Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa Mu arif adalah perawi yang
tsiqah.78
Dalam kaitannya dengan hadits ini, Ia mendapatkan hadits dari Muharib
bin Ditsar dengan lambang 'an. Adapun lambang ini dikalangan ulama' hadits
masih dipertanyakan dan masih perlu untuk diteliti akan kebenarannya.
Sehingga dalam hal ini perlu dipahami terlebih dahulu tentang pribadi Mu'arif
76Ibid. 77Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib jilid 10 (Darul Fikr, 1984), 206. 78Ibid., 207.
sendiri khususnya terkait dengan kepada siapa Ia mempelajari dan mendalami
hadits Rasulullah saw.
Dalam mempelajari hadits Rasulullah saw Mu arif pernah belajar kepada
Muharib bin Ditsar, dengan kata lain bahwa Muharib adalah gurunya.79 Selain
itu keduanya juga berasal dari satu wilayah, sehingga dapat dipastikan bahwa
keduanya telah bertemu secara langsung karena hidup dalam waktu yang sama.
Walaupun dalam periwayatannya menggunakan lambang an ini dapat dikatan
memiliki sanad yang bersambung (muttasil), yakni karena antara perawi satu
dengan yang lain saling bertemu.
5. Muharib bin Ditsar.
Ia adalah seorang ulama hadits yang berasal dari Kufah, dan mempunyai
nama lengkap Muharib bin Ditsar bin Kudrus bin Qirwas bin Ja'unah bin
Salamah bin Shakhri bin Tsa'labah bin Sadus al-Sadusi. Ia dikenal oleh para
ulama' hadits dengan sebutan Abu Matraf.80 Dan Ia wafat pada tahun 116 H.
Melihat pada pribadinya yang taat kepada Allah SWT dan mempunyai
pemahaman agama mendalam. Ia merupakan perawi yang tsiqah. Diantara
Ulama
yang mengatakan bahwa Muharib adalah perawi tsiqah antara lain
Ahmad bin Hambal, Yahya bin Mu in, Nasa i, Abu Hatim al-Razi.81
Adapun dalam kajian ini Ia mendapatkan hadits dari Ibnu Umar dengan
lambang 'an. Jika dilihat pada masa hidupnya, yakni Ia pernah belajar hadits
Rasulullah saw kepada Ibnu Umar,82 maka dapat dikatakan bahwa keduanya
79CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit. 80Ibnu Hajar al-Asqalani. Op. Cit., 45. 81Ibid., 46. 82CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit.
mempunyai ikatan khusu yaitu antara guru dan murid. Dengan keadaan seperti
ini sudah pasti bahwa Muharib telah bertemu langsung dengan Ibnu Umar,
khususnya dalam menerima hadits. Dengan demikian dalam periwayatannya
memiliki sanad yang bersambung (muttasil).
6. Ibnu Umar.
Nama lengkap dari Ibnu Umar adalah Abu Abdur Rahman Abdullah bin
Umar bin al-Khatab al-Quraisy al-'Adawy. Ia dilahirkan di Makkah pada tahun
10 H dan wafat pada tahun 618 H.83 Ia merupakan saudara kandung dari Hafsah
putra Umar bin Khattab. Pada usia 10 tahun Ia mengikuti hijrah ke Madinah
bersama ayahnya yakni Umar. Ia juga pernah melihat berlangsungnya perang
khandak dan perang-perang sesudahnya. Dikalangan ulama hadits nama Ibnu
Umar sudah termashur, ini ditandai dengan banyaknya hadits yang diriwayatkan
olehnya.
Adapun hadits yang diwayatkan oleh Ibnu Umar berasal dari Rasulullah
saw sendiri dan dari periwayatan para sahabat, antara lain ayahnya sendiri
Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafsah, Abu Bakar, Utsman, Ali,
Bilal, Ibnu Mas'ud, Abu Dzar, dan Mu'adz.84 Ia merupakan sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits Rasulullah saw. Oleh karena itu Ibn al-Bakr mengatakan
bahwa Ibnu Umar menghafal semua yang didengar dari Rasulullah saw dan
bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis Rasulullah saw
tentang tutur kata Rasulullah saw.85 Dari sini dapat dipahami bahwa Ibnu Umar
83Muhammad Hasby as-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), 256. 84Ibid., 256. 85Ibid., 257.
merupakan sahabat yang memiliki tingkat hafalan yang tinggi dan sangat
meneladani segala gerak-gerik Rasulullah saw. Untuk itu sudah dipastikan
bahwa segala yang diriwayatkan adalah benar-benar dari Rasulullah saw.
Kemudian dalam kaitannya dengan hadits tentang kemakruhan talak ini,
Ibnu Umar telah menerima hadits secara langsung dari Rasulullah saw sendiri,
walaupun dalam periwayatannya menggunakan lambang 'an. Ini diperkuat
dengan melihat pada pribadi Ibnu Umar yang sangat meneladani tingkah laku
Rasulullah saw dan Ia termasuk sahabat yang hidup dan bertemu langsung
dengan Rasulullah saw. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa
periwayatan Ibnu Umar benar-benar berasal dari Rasulullah saw.
Selain itu dalam periwayatan Abu Daud yang lain pada hadits yang ke
2177 juga terdapat perawi lain yaitu: Ahmad bin Yunus.
Ahmad bin Yunus adalah seorang ulama yang berasal dari Kufah dan
memunyai nama lengkap Ahmad bin Abdullah bin Yunus bin Abdullah bin Qais
at-Tamimi. Dikalangan para ulama' hadits Ia dikenal dengan sebutan Abu
Abdullah.86 Ia wafat pada tahun 227 H.
Para ulama hadits menilai bahwa periwayatan Ahmad bin Yunus tidak
diragukan lagi kebenarannya. Sebab Ia merupakan seorang perawi yang
mempunyai derajat terpuji, dan mempunyai pemahaman agama yang mendalam
serta tingkat hafalan yang tinggi, sehingga dalam hal ini Ia termasuk dalam
kategori ulama' yang tsiqah. Adapun ulama yang menilai kepribadiannya antara
lain Abu Hatim al-Razi, Ibnu Hibban, dan Nasa'i dengan tingkatan tsiqah.87
86Abu Hatim al-Razi, al-Jarh wa al-Ta'dil jilid 2 (Beirut: Darul Fikr), 57. 87CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit.
Dalam hubungannya dengan pembahasan ini Ia menerima hadits dari
Mu'arif dengan lambang akhbarana. Lambang ini menurut para ulama hadits
memiliki tingkat kebenaran yang lebih tinggi dibanding dengan lambang an.
Untuk itu dengan lambang ini dapat menunjukan bahwa Ia telah menerima dan
bertemu langsung dengan perawi sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan Ahmad
bin Yunus sendiri yang pernah belajar hadits Rasulullah saw kepada Mu arif,88
yang sangat memungkinkan keduanya untuk bertemu. Dari sini kemudian dapat
dipahami bahwa dalam periwayatnnya memiliki sanad yang bersambung
(muttasil).
Berdasarkan kajian terhadap sanad hadits di atas dapat dipahami bahwa
sanad dalam periwayatan Abu Daud yang ke 2178 adalah muttasil atau
bersambung. Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ini
dapat diterima sebagai hujjah karena memiliki sanad yang sahih, yakni memenuhi
kriteria kesahihan antara lain: sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil, diriwayatkan oleh perawi yang dhabith, terhindar dari syadz dan illat.
Walaupun pada periwayatan lain yang ke 2177 memiliki sanad yang terputus
(mursal). Namun hadits mursal ini dapat dijadikan sebagai hujjah selama terdapat
periwayatan lain yang lebih tinggi kedudukannya.
E. Melakukan Kajian Matan
1. Meneliti susunan matan serta membandingkan dengan al-Qur an dan hadits
yang semakna.
88Ibid.
Pada langkah ini yang dilakukan adalah muqaranah, yakni
membandingkan teks hadits dengan ayat al-Qur an dan dengan hadits yang
memiliki kesamaan topik. Ini dilakukan untuk mengetahui makna yang
terkandung dalam hadits serta mencermati susunan matan hadits, dengan maksud
mengetahui apakah terdapat perbedaan pada matan hadits yang masih dapat
ditoleransi atau tidak. Dan selanjutnya mencermati terhadap adanya ziyadah
(tambahan pada kalimat).
Dalam al-Qur an surat an-nisa ayat 35 menyatakan bahwa:
Artinya: dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga lelaki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua hakim tersebut bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Berilmu dan Maha Mengetahui.
Dari ayat di atas telah dijelaskan bahwa Islam lebih menganjurkan
perdamaian di antara suami istri dari pada memutuskan mereka. Yakni apabila
terjadi permasalahan yang mengakibatkan pada pertengkaran dan perpecahan,
maka hendaklah ditunjuk seorang penengah yaitu hakim sebagai mediator untuk
mempertemukan dan mendamaikannya. Dari sini kemudian dapat dipahami
bahwa Allah SWT sangat memperhatikan hukum-hukum masalah tatanan
keluarga dan rumah tangga.
Namun apabila hubungan baik antara suami istri itu sudah tidak dapat
dipertahankan lagi karena sering terjadinya pertengkaran dan perpecahan yang
mana hakim sudah tidak mampu mendamaikan antara keduanya, maka Islam tidak
membelenggu pada ikatan yang nantinya akan menyengsarakan dan terjebak pada
perilaku yang menyimpang, dengan menawarkan jalan keluar terakhir yaitu talak
(perceraian).89 Hal ini telah dijelaskan pada surat an-nisa ayat 130 yaitu:
Artinya: dan kalau keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan sungguh Allah Maha Luas lagi Maha Bijaksana .
Mengingat akan sakralnya ikatan suami istri maka Islam tidak serta merta
membolehkan seorang suami menjatuhkan talak tanpa alasan yang dapat
dibenarkan oleh Islam. Untuk itu kemudian dalam hadits Rasulullah saw
dijelaskan bahwa talak (perceraian) itu merupakan perkara yang halal namun
sangat dibenci oleh Allah SWT.
Adapun matan hadits tersebut yakni telah diriwayatkan oleh Abu Daud
pada hadits yang ke 2178, yaitu:
Sedangkan matan hadits yang memiliki kandungan makna sama dengan
periwayatan Abu Daud adalah matan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah
pada hadits yang ke 2018, yaitu:
89A Rahman I Doi, Penjelasan lengkap Hukum-Hukum Allah, Syari'ah (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 222.
Selain itu dalam riwayat lain Abu Daud juga meriwayatkan pada hadits
yang ke 2177, yaitu:
Pada ketiga matan hadits di atas nampak jelas bahwa telah terdapat
perbedaan lafadz atau redaksi. Hal ini bisa terjadi mengingat adanya periwayatan
hadits secara maknawi. Selain itu kemungkinan juga disebabkan pada perawi
hadits yang melakukan kesalahan. Terjadinya kesalahan ini tidak hanya pada
perawi yang tidak tsiqah, melainkan juga pada perawi yang tsiqah. Hal ini
dikarenakan bahwa perawi yang tsiqah juga merupakan manusia biasa yang tidak
lepas dari kesalahan. Untuk itu para ulama hadits menyatakan bahwa sepanjang
kekeliruan itu sangat sedikit jumlahnya, maka tidak mempengaruhi akan
ketsiqatan perawi dan kekeliruan tersebut masih ditoleransi. Tentunya pernyataan
toleransi ini diikuti dengan penelitian yang cermat.90
Perbedaan yang terdapat pada ketiga hadits di atas adalah pada hadits
pertama dan hadits kedua terletak pada lafadz ta'ala. Adanya perbedaan pada
lafadz ini sebenarnya tidak mempengaruhi terhadap makna hadits, karena kata
ta'ala sendiri merupakan bentuk dari sifat Allah SWT dan dalam hadits ini hanya
sebagai penguat akan kekuasaan dan kebesaran-Nya. Meskipun lafadz ta'ala tidak
dicantumkan maka sudah dapat dipahami bahwa Allah SWT Maha Kuasa dan
Maha Besar.
90Syuhudi Ismail, Op. Cit., 133.
Sedangkan pada hadits yang pertama dan ketiga terletak pada susunan
kalimat, yakni hadits pertama merupakan jumlah ismiyah yang terdiri dari
mubtada' dan khabar, sedangkan pada hadits ketiga merupakan jumlah fi'liyah
yang terdiri dari fi'il, fa'il, dan maf'ul, dan dengan adanya tambahan ma pada awal
kalimat yang merupakan bentuk ma nafi.91 Kata ma di sini berarti meniadakan
sesuatu, sehingga kata tersebut merupakan bentuk pengkhususan yang mempunyai
makna bahwa Allah SWT tidak menghalalkan sesuatu yang paling dibenci dari
talak. Untuk istilah halal dalam hadits pertama terletak pada susunan idhafah,
sedangkan dalam hadits ketiga terletak pada susunan fi'liyah yang berbentuk fi'il
madhi.
Adapun istilah abghadh di sini merupakan isim tafdhil dari bentuk awal
bughdhun dari fi'il madzi baghudha. Bentuk isim tafdhil sendiri mempunyai
makna melebihkan.92 Dengan mengikuti wazan af'ala maka kata tersebut
mempunyai makna lebih atau paling, sehingga dalam hadits tersebut berarti
sesuatu yang paling dibenci. Dengan demikian antara kata abghadh pada riwayat
Abu Daud maupun Ibnu Majjah tidak terdapat perbedaan, yakni sama-sama
berarti paling dibenci. Sedangkan kata ma dalam periwayatan Abu Daud ini
berfungsi sebagai penekanan bahwa hanya talak lah sesuatu yang halal tetapi
sangat dibenci Allah SWT. Jadi dapat dikatakan bahwa keterangan benci dalam
hadits ini benar-benar hanya dalam masalah talak.
Adanya perbedaan terhadap susunan lafadz ini bisa diterima dan tidak
mempengaruhi terhadap keberadaan makna hadits, karena mengingat adanya
91Syamsul Haq al-'Azimabadi, 'Awn al-Ma'bud Syarh Abi Daud (Darul Fikr), 226. 92AH. Akrom Fahmi, Ilmu Nahwu dan Sharaf 3, Tata Bahasa Arab (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 17.
periwayatan dengan metode maknawi. Dan dilihat dari segi kandungan makna
juga tidak terdapat pertentangan dan perbedaan antara hadits yang satu dengan
yang lain.
2. Meneliti syadz dan illat.
Istilah syadz dan 'illat di sini merupakan bentuk kajian pada lafadz hadits
yang ditujukan untuk mengetahui kualitas dari sanad maupun matan. Hal ini
dilakukan dengan cara menghimpun hadits-hadits yang memiliki kesamaan dalam
topik dan kemudian membandingkannya.
Jika dilihat dari segi kandungan makna, maka ketiga hadits di atas tidak
bertentangan antara yang satu dengan yang lain, yang ketiganya memiliki
pengertian bahwa Allah SWT telah menghalalkan talak namun sangat
membencinya.
Kemudian dilihat dari segi sanad, maka perawi yang terdapat pada sanad
Abu Daud dalam hadits yang ke 2178 memiliki tingkatan pemahaman dan
keilmuan yang tinggi, diantaranya adalah; Katsir bin 'Ubaid, Ia merupakan
seorang yang tsiqah dalam pandangan Abu Hatim al-Razi, Ibnu Hibban, dan Abu
Daud. Ia juga merupakan ulama' yang memiliki pemahaman agama yang
mendalam. Muhammad bin Khalid, Ia merupakan ulama' yang tsiqah dalam
pandangan Ibnu Hibban dan Daruqutni. Mu'arif bin Washil, Ia juga merupakan
perawi yang tsiqah dalam pandangan Ibnu Hibban, Yahya bin Mu in, Nasa i,
Ahmad bin Hanbal. Muharib bin Ditsar, Ia juga merupakan perawi yang tsiqah
dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Yahya bin Mu in, Nasa i, Abu Hatim al-
Razi. Dan Ibnu Umar, Ia merupakan putra dari Umar bin Khatab, dan juga sahabat
yang mempunyai pemahaman agama yang tinggi dan daya ingatan kuat.
Dari urutan sanad tersebut dapat dipahami bahwa pada periwayatan Abu
Daud terdiri dari perawi-perawi yang tsiqah, adil, dhabith dan tidak diragukan
lagi bahwa mereka telah bertemu dan mendengar langsung. Untuk itu periwayatan
ini dapat dikatakan telah memiliki sanad yang bersambung (muttasil).
Sedangkan ketika melihat pada sanad dalam periwayatan Ibnu Majjah,
maka terdapat perbedaan pada satu perawi, yaitu 'Ubaidillah bin Walid al-
Washafi. Yang dalam pandangan beberapa ulama' Ia merupakan perawi yang
mempunyai daya ingatan lemah. Di antaranya adalah Abu Hatim al-Razi, Nasa'i,
Yahya bin Mu'in.93 Dari sini kemudian terlihat bahwa dalam periwayatan Ibnu
Majjah terdapat 'illat pada sanad. Namun jika melihat pribadi 'Ubaidillah sendiri
yang pernah belajar hadits Rasulullah saw kepada Muharib,94 hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa Ia telah mendengar hadits yang diriwayatkan dari
gurunya dan bertemu secara langsung.
Dari sini dapat dikatakan bahwa perawi dalam sanad Abu Daud memiliki
tingkatan perawi yang tsiqah dan bersambung, sehingga kedudukannya lebih
tinggi dibanding dengan periwayatan Ibnu Majjah yang di dalam sanadnya
terdapat seorang perawi yang masih dipertanyakan dan lemah dalam periwayatan
yang menyebabkan terdapat 'illat.
Sehingga pada kajian matan ini dapat dipahami bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud tidak terdapat bertentangan dengan ayat-ayat al-
Qur an, melainkan hadits tersebut sebagai penjelas atas hukum dari talak itu
93Abu Hatim al-Razi. Op. Cit., 50-51. 94CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif. Op, Cit.
sendiri. Dan ketika dibandingkan dengan matan-matan hadits lain juga tidak
terdapat perbedaan dalam makna, serta terhindar dari syadz dan illat.
BAB IV
KANDUNGAN MAKNA DAN IMPLIKASI HUKUM HADITS
ABGHADH AL-HALAL ILA ALLAH AL-THALAQ
A. Kandungan Makna Hadits
Pada pembahasan ini lebih menekankan pada analisis kosa kata di dalam
menggali makna yang terkandung dalam hadits. Di awal kalimat pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud mempunyai arti penting dalam memahami hadits
tersebut yaitu kata abghadh, halal, dan talak sendiri sebagai pokok permasalahan.
Istilah abghadh merupakan isim tafdhil dari bentuk awal kata bughdhun
yang mengikuti wazan af'ala, yang dalam hal ini berarti paling dibenci. Sebagai
contoh lain dalam istilah memuliakan diungkapkan dengan kata fadhlun,
sedangkan ketika mengikuti wazan af'ala maka menjadi afdhalu yang berarti lebih
memuliakan.
Istilah benci di sini mempunyai makna lebih global, yakni tidak
berdampak pada ketentuan hukum tetapi ia lebih mengarah ke aspek keimanan
dan akidah. Sebagai contoh dalam hadits Rasulullah saw yang berbunyi:95
Artinya: Diceritakan Abu Walid diceritakan Syu'bah mengkabarkan kepada saya Abdullah bin Abdillah bin Jabrin saya mendengar Anas dari Nabi saw bersabda: Mencintai kaum anshar adalah pertanda keimanan, dan membenci kaum anshar pertanda kemunafikan.
95Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu lu wal Marjan 1 (Jakarta: Bina Ilmu, 1996), 24.
Melihat pada pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kebencian yang
dijelaskan menggunakan kata bughdhun adalah yang berkaitan dengan masalah-
masalah akhlak dan erat dengan hubungan sosial, yaitu digunakan dalam hal
menjelaskan masalah akidah yang tidak berdampak pada ketentuan hukum fikih,
tetapi hanya berakibat pada tingkatan keimanan seseorang. Sehingga beberapa
ulama mengatakan bahwa talak itu merupakan perbuatan yang terlarang,96 karena
ia merupakan perbuatan yang tercela dan dimurkai oleh Allah SWT.
Selain itu kata benci juga terdapat dalam kata karaha. Istilah ini berbeda
dengan kata baghadha, yakni suatu kata yang penggunaannya lebih ke arah aspek
hukum terhadap hal-hal yang khusus atas suatu masalah. Sebagai contoh dalam
hadits Rasulullah saw yang berbunyi:
Artinya: Diceritakan Zuhair bin Harbi diceritakan Jarir dari Suhail dari Ayahnya dari Abi Hurairah berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah SWT tidak suka kamu banyak omong, banyak tanya, atau banyak minta, dan menyia-nyiakan harta benda".
Penjelasan kata "tidak suka" ini diungkapkan dengan menggunakan kata
yakrahu, yang kemudian berakibat pada keputusan hukum. Yakni menyatakan
bahwa orang yang banyak omong itu dihukumi makruh.97 Dengan demikian dapat
dilihat bahwa telah terdapat perbedaan antara kata baghadha dengan kata karaha,
yakni ia lebih banyak digunakan pada masalah-masalah yang berkaitan hukum
secara langsung. Seperti dalam hadits di atas yang menyatakan bahwa hukum
banyak bicara adalah makruh. Namun dalam kata baghadha banyak digunakan
96Sayyid Sabiq, Op. Cit., 11. 97Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari'ah (Jakarta: Haji Masagung, 1987), 13.
dalam masalah umum, seperti keimanan dan akidah seseorang. Untuk itu orang
yang melakukan talak tanpa adanya sebab-sebab yang dibenarkan, maka ia telah
melakukan perbuatan yang tercela.
Sedangkan kata halal berasal dari fi'il madhi ahala yang dalam kamus
populer al-'Isri berarti memperbolehkan.98 Istilah halal ini jika ditinjau dalam ilmu
fikih berarti sesuatu yang oleh syara' boleh dikerjakan dan akan mendapatkan
pahala karena telah meninggalkan perkara yang diharamkan. Adapun istilah halal
ini sering digunakan dalam hal benda, seperti makanan.99 Namun ketika dikaitkan
dengan ushul fikih, maka terdapat tiga macam hukum yang mempunyai makna
boleh dilakukan yakni sunnah, mubah, dan makruh.
Sunah sendiri merupakan suatu anjuran dalam agama untuk melaksanakan
sesuatu tetapi tidak sampai pada tingkatan wajib, dengan konsekuensi akan
mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat hukuman. Adapun
makruh merupakan anjuran dalam agama untuk meninggalkan sesuatu dengan
tuntutan tidak pasti atau wajib. Sedangkan mubah merupakan sesuatu yang
diperbolehkan oleh agama untuk ditinggalkan atau dikerjakan. Jadi terdapat suatu
pilihan untuk melaksanakan maupun untuk meninggalkan.100
Istilah makruh dalam pandangan Hanafiyah terbagi menjadi dua macam,
yaitu makruh tahrim, yakni adanya tuntutan agama untuk meninggalkan sesuatu
dengan tuntutan dalil yang pasti, seperti memakai sutra atau cicin emas bagi laki-
98Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Konteporer al-'Isri (Yogyakarta: Multi Karya Grafika), 46. 99Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 132. 100Masjfuk Zuhdi, Op. Cit., 10-14.
laki. Dan makruh tanzih, yakni adanya tuntutan agama untuk meninggalkan
sesuatu dengan tuntutan yang tidak pasti.101
Sudah diketahui bahwa Islam sangat mendorong dan menganjurkan setiap
jalan yang ditempuh untuk dapat menghindari terjadinya talak. Hal ini
menandakan bahwa Islam memandang talak dengan begitu berat, begitu iba, dan
begitu sedih. Dan ketika setiap usaha dan jalan yang ditempuh untuk menghindari
terjadinya talak telah buntu, maka Islam memandang begitu sesal akan terjadinya
talak. Dalam hal ini mau tidak mau talak memang harus terjadi. Maka makna akan
kemurkaan Allah SWT dalam konteks yang demikian, yaitu rasa sesal, rasa sedih,
kecewa, rasa iba, dan sayang akan terjadinya talak. Dengan kata lain kemurkaan
Allah SWT haruslah diterjemahkan sebagai bentuk rasa sesal, sedih, kecewa, iba,
sayangnya Islam. Sebab setiap usaha dan jalan yang ditempuh untuk memperbaiki
struktur rumah tangga ternyata telah buntu. Maka dalam makna yang demikian
itulah terdapat makna kehalalannya.
Perlu dipahami bahwa setiap usaha dan jalan untuk menghindari terjadinya
talak telah buntu, maka di saat itulah talak dibenarkan. Karena dibenarkan maka ia
merupakan perkara yang halal. Dengan demikian jika masih terdapat satu jalan
atau usaha untuk memperbaiki dan menghindari terjadinya talak, maka pilihan
terhadap talak merupakan perbuatan yang terlarang sekaligus dimurkai Allah
SWT. Maksud dilarang yakni sebab usaha atau cara untuk mencegah terjadinya
talak masih dapat ditemukan dan masih dimungkinkan. Adapun murka di sini
karena terjadinya talak dilakukan dengan tergesa-gesa.
101Ibid., 13.
Jika diumpamakan bahwa rumah tangga itu bagaikan sebuah ruangan yang
memiliki satu pintu, yang mana ruangan tersebut harus dibangun dan dirawat
dengan indah ditata dan dibentengi dengan kokoh, sehingga membuat orang yang
ada di dalamnya merasa nyaman dan betah. Namun jika bangunan ruangan
tersebut sudah tidak nyaman lagi untuk ditempati, karena melihat ruangan yang
sudah kotor dan tidak terawat sehingga tidak mungkin untuk ditempati, maka
bagaimana mungkin ia bisa keluar tanpa adanya pintu. Maka keberadaan pintu ini
sangat diperlukan.
Begitu juga dengan talak ini merupakan pintu dalam rumah tangga yang
sudah tidak mampu untuk diselamatkan lagi, agar ia tidak terjebak untuk lompat
jendela (seperti selingkuh) atau mendobrak dinding (seperti berzina), maka Allah
SWT memberikan jalan keluar yang terbaik agar ia tidak melompati jendela atau
menghancurkan pagar dinding tersebut dengan talak (perceraian). Namun
demikian tidak mudah seorang dalam melakukan talak. Ia tidak boleh tergesa-gesa
dalam memutuskan hubungan pernikahan sebelum mencari jalan keluar yang lain.
Dengan demikian istilah halal tetapi sangat dibenci dalam talak ini
merupakan bentuk rambu-rambu bagi suami istri agar menjaga dan membina
keutuhan rumah tangga dengan menciptakan suasana yang harmonis dan penuh
kasih sayang, dan menghindari tindakan kekerasan, kekejaman, dan kebrutalan
yang dapat meluluhkan hubungan rumah tangga. Sekaligus melarang pasangan
suami istri untuk terjebak pada perilaku-perilaku menyimpang (seperti selingkuh
atau berzina). Akan tetapi jika hubungan tersebut tidak lagi bisa dipertahankan
dan agar suami istri tidak terjebak pada perilaku yang menyimpang maka Islam
menghalalkan terjadinya talak sebagai jalan keluar yang terakhir.
Sedangkan yang dibenci adalah pergaulan rumah tangga yang jelek,
pertengkaran, kekerasan, yang akan mengakibatkan pada permusuhan yang
kemudian ketergesa-gesaan dalam melakukan talak. Karena melihat dalam Islam
sendiri selalu menjunjung tinggi rasa perdamaian dan kasih sayang dan
mengenyampingkan sikap egoisme.
B. Implikasi Hukum
Terkait dengan pembahasan hadits ini al-Khatabi berpendapat bahwa
istilah makruh dalam talak ini merupakan bentuk kebencian akan perbuatan-
perbuatan yang menyebabkan terjadinya talak, seperti pergaulan rumah tangga
yang buruk, dan banyak terjadi perpecahan yang akan membawa ke arah
terjadinya talak. Jadi bukan pada talak itu sendiri karena Allah SWT telah
membolehkan terjadinya talak,102 setelah ia menjadi jalan keluar yang terakhir dan
didasari dengan alasan-alsan yang dibenarkan. Hal ini melihat pada perilaku
Rasulullah saw yang pernah mentalak istrinya Hafsah namun kemudian
merujuknya kembali.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh syaikh Mansyur Ali
Nashif, Ia mengatakan bahwa sesungguhnya talak itu dibenci mengingat Allah
SWT membenci penyebab-penyebab yang mendorong kearah terjadinya talak.103
Kemudian dalam pandangan Sayyid Sabiq maksud dari kebencian ini
yakni pada perbuatan yang menyepelekan dan mempermainkan hukum Allah
SWT. Karena perkawinan merupakan ikatan suci yang penuh dengan
kemaslahatan dan kebaikan. Sehingga tidak sepatutnya untuk dirusak atau
102Syamsul Haq al-'Azimabadi, Op. Cit., 226. 103Mansyur Ali Nashif, Op. Cit., 1024.
disepelekan.104 Pendapat ini juga sejalan dengan pandangan Mahmoud Syaltout
dan M Ali as-Syais yang mengatakan bahwa talak itu dilarang karena di dalamnya
terdapat makna kufur terhadap nikmat nikah, merobohkan tujuannya, dan
menyakiti pihak istri dan keluarga serta anak-anaknya.105
Selain itu menurut Hasan Ayyub kemakruhan terhadap talak ini karena ia
telah memutuskan hubungan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang
memang disunatkan.106
Merujuk pada pendapat di atas bahwa al-Khatabi lebih menyoroti pada
masalah abghadh, yakni Ia mengartikan kebencian atas talak itu pada jeleknya
pergaulan dalam rumah tangga yang akan menyebabkan perpecahan.
Sedangkan pada pendapat Sayyid Sabiq Ia mengartikan abghadh dengan
mudahnya seorang suami istri dalam memutuskan hubungan pernikahan, yakni
tanpa mencari solusi dan jalan keluar lain sebelum bercerai. Ini yang kemudian
oleh Allah SWT sangat dibenci karena ia dianggap telah mempermainkan hukum
dan nikmat Allah SWT yang terdapat dalam pernikahan.
Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa tidak semua perbuatan halal itu
selalu disukai, akan tetapi dibagi menjadi dua, yakni ada yang dibenci dan ada
yang disukai.
Selain itu kebencian terhadap talak ini juga diarahkan pada akibat-akibat
yang ditimbulkan nantinya, seperti kehidupan terhadap anak, perpecahan, maupun
harta-hartanya. Karena mengingat pernikahan bertujuan untuk membentuk suatu
104Sayyid Sabiq, Op. Cit., 9. 105Mahmoud Syaltout, M. Ali as-Syais, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fikih (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 146. 106Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 209.
keluarga yang sejahtera dan untuk selama-lamanya. Selain itu dalam Islam juga
mengajarkan untuk selalu melaksanakan perdamaian dalam rumah tangga maupun
dalam hal yang lain.107 Dari sini kemudian terlihat bahwa talak sendiri telah
bertentangan dengan asas-asas dalam Islam.
Melihat pada kandungan makna hadits yang menjelaskan bahwa maksud
dari kebencian ini yaitu pada pergaulan rumah tangga yang buruk, tidak harmonis,
sering terjadi pertengkaran dan perpecahan, yang kemudian ketergesa-gesaan
dalam melakukan talak. Dengan demikian kebencian di sini tidak berdampak pada
ketentuan hukum melainkan kebencian terhadap orang yang melakukan talak itu
sendiri dengan tegesa-gesa tanpa mencari jalan untuk mencegah dan menghindari
terjadinya talak terlebih dahulu, yang pada hakekatnya ia telah melakukan
perbuatan yang tercela dalam agama.
Sedangkan talak sendiri sesunguhnya tidak dibenci dalam Islam, karena ia
merupakan bentuk jalan keluar terakhir yang ditawarkan oleh Islam, dan
Rasulullah saw sendiri pernah mentalak salah satu istrinya, dan beliau juga pernah
menyuruh Ibnu Umar untuk mentalak istrinya.
Dalam hal sebagai jalan keluar yang terakhir inilah maka maksud dari
kehalalan yang terdapat dalam talak. Dan juga sebagai catatan bagi suami istri
agar selalu menghayati makna dan hakikat dari pernikahan yang ditujukan untuk
selama-lamanya dan menciptakan hubungan rumah tangga yang harmonis dan
penuh kasih sayang.
107A. Rahman I. Doi, Op Cit,. 221.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ini memiliki sanad yang
bersambung dan para perawinya memiliki daya ingatan yang kuat dan
pemahaman terhadap agama yang mendalam (tsiqah). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hadits ini bisa diterima dan diamalkan karena ia termasuk
hadits ahad yang masyhur.
2. Kandungan makna dari hadits, sesuatu halal yang paling dibenci Allah SWT
adalah talak ini yaitu kebencian yang tidak sampai pada kedudukan haram. Ia
hanya sebagai rambu-rambu bagi suami istri untuk tidak main-main dengan
ikatan pernikahan, yang mana di dalamnya penuh dengan kemaslahatan dan
kebaikan. Sehingga tidak selayaknya untuk dipermainkan atau disepelekan.
Dan adapun kebencian ini tidak pada talak sendiri, melainkan pada penyebab-
penyebab yang mendorong kearah terjadinya talak dan ketergesa-gesaan
seorang dalam melakukan talak. Selain itu kebencian ini tidak berdampak
pada ketentuan hukum, akan tetapi ia masuk dalam perbuatan yang tercela.
3. Implikasi hukum dari hadits ini adalah talak itu merupakan perkara yang
mubah dan boleh dilakukan. Akan tetapi Allah SWT sangat membenci akan
pergaulan dalam rumah tangga yang jelek dan penuh kekerasan yang
mengakibatkan pada permusuhan. Sehingga talak ini boleh dilakukan sebagai
jalan keluar yang terakhir dan didasari dengan alasan-alasan yang kuat.
Karena mengingat tujuan perkawinan adalah membina rumah tangga yang
sakinah, mawadah, wa rahmah.
B. Saran
Talak merupakan bagian dari permasalahan kehidupan rumah tangga bagi
suami istri yang sudah tidak mampu mempertahankan keutuhannya. Ia merupakan
perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Adanya kebencian di
sini telah mengundang pertanyaan yang membutuhkan suatu kajian lebih dalam.
Untuk itu disarankan kepada para pemikir Islam untuk lebih aktif dalam
melakukan kajian-kajian, yang terutama dalam bidang hukum, guna menghadapi
berbagai macam problem baru yang belum ada pada masa lalu. Dengan demikian
sangat diperlukan seorang pemikir yang senantiasa menggunakan daya ijtihadnya
dalam menjawab permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim (2004) Kritik Matan Hadits.Yogyakarta: TERAS.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad (1996) al-Lu lu wal Marjan 1. Jakarta: Bina Ilmu.
Ali, Mohammad Daud (2000) Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar (1984) Tahdzib al-Tahdzib jilid 10. Beirut: Darul Fikr.
Al-'Azimabadi, Syamsul Haq. 'Awn al-Ma'bud Syarh Abi Daud. Beirut: Darul Fikr.
Al-Razi, Abu Hatim. al-Jarh wa al-Ta'dil jilid 2. Beirut: Darul Fikr.
Assa'idi, Sa'dullah (1996) Hadits-Hadits Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
As-Siddieqy, Muhammad Hasby (2005) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abu Daud. Beirut: Darul Fikr.
Al-Qazwani, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid (1990) Sunan Ibnu Majjah. Beirut: Darul Fikr.
Al-Qur an al-Karim.
Ayyub, Hasan (2001) Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Azami, Muhammad Mustafa (1996) Metodologi Kritik Hadits. Bandung: Pustaka Hidayah.
_______________________ (1993) Memahami Ilmu Hadits, Telaah metodologi dan literatur hadits. Lentera.
Azwar, Syaifudin (1999) Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bustamin, Salam M Isa H.A (2004) Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
CD, Mawsu'ah al-Hadits al-Syarif.
CD, Maktabah al-Hadits al-Syarif, Kitab Tahdzib al-Kamal
Doi, A. Rahman I (2002) Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Syari'ah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fahmi, AH. Akrom (1990) Ilmu Nahwu dan Sharaf 3, Tata Bahasa Arab. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasan, A Qadir (1994) Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.
Husnan, Ahmad (1993) Kajian Hadits Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Ismail, Syuhudi (1992) Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Laelasari, Nurlailah (2006) Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Madjid Ahmad Abdul (1994) Mata Kuliah Ushul Fiqih. Pasuruan: Garoeda Buanan Indah.
Mardalis (1999) Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Kamus Konteporer al-'Isri. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Nashif, Mansyur Ali (1993) Pokok-Pokok Hadits Rasulullah saw Jilid 2. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid (1993) Fikih Sunnah 8. Bandung: al-Ma arif.
Soemiyati (1999) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.
Saefullah,Yusuf. Sumarna, Cecep (2004) Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian (1984) Metode Penelitian Survei. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sudarsono (2001) Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Suparto, Munzier (2003) Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syamsuddin, Sahiron dkk (2003) Hermeneutika al-Qur an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika.
Syaltout Mahmoud, as-Syais M. Ali (1985) Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fikih Jakarta: Bulan Bintang.
Yaqub, Ali Mustafa (1995) Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zuhdi, Masjfuk (1987) Pengantar Hukum Syari'ah. Jakarta: Haji Masagung.
LAMPIRAN
Skema Sanad Hadits Tentang Kemakruhan Talak
BUKTI KONSULTASI
Nama Mahasiswa : Ambyah Krisbiantoro
Nim/ Fakultas : 03210065/ Syari'ah
Pembimbing : Dr. Umi Sumbulah, M.Ag
Judul Skripsi : Analisis Hadits Abghadh al-Halal ila Allah al-Thalaq
Ditinjau dari Perspektif Ilmu Hadits
No Tanggal Materi konsultasi TTD pembimbing
1 20-06-2007 Mengajukan proposal
2 27-06-2007 ACC proposal
3 08-11-2007 Konsultasi bab I, II, III, IV, V
4 04-12-2007 Revisi bab I, II, III, IV, V
5 08-12-2007 ACC
Malang, 8 Desember 2007
Mengetahui,
Dekan Fakultas Syari'ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425