faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi batu lahir di desa s
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PRELAKTEAL PADA BAYI BARULAHIR
DI DESA SUPAT TIMUR KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA
SELATAN TAHUN 2011
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Melli Wulandari
NIM: 107101002600
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M/1432 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Oktober 2011
Melli Wulandari
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Oktober 2011
Melli Wulandari, NIM : 107101002600
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Makanan Prelakteal pada
Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan Tahun 2011
xx + 110 Halaman,21 tabel, 2 gambar, 3 lampiran
ABSTRAK
Salah satu upaya mengurangi risiko kematian bayi adalah melalui pemberian Air
Susu Ibu (ASI).Pemberian ASI harus diberikan sedini mungkin, yaitu sejak awal
kelahiran dan kemudian dilanjutkan pemberian ASI ekslusif.Tetapi, upaya ini terhambat
dengan adanya praktik pemberian makanan prelakteal (prelacteal feeding) pada bayi
baru lahir.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di desa supat timur
kabupaten musi banyuasin sumatera selatan tahun 2011.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2011 di Desa Supat Timur
Kababupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan.Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif, dengan menggunakan disain cross-sectional study, dengan sampel sebanyak
96 bayi yang berumur 0-6 bulan dengan menggunakansimple random sampling.Data di
analisis dengan menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa proposi ibu yang memberikan makanan
prelakteal sebanyak 76,0%. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian
makanan prelakteal adalah tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, tradisi ibu dalam
memberikan makanan prelakteal dan dukungan keluarga terhadap pemberian makanan
prelakteal.Oleh karena itu disarankan kepada ibu agar tidak memberikan makanan
prelakteal pada bayi baru lahir dengan cara melakukan IMD. Khususnya kepada petugas
kesehatan harus memberikan dukungan penuh kepada ibu dengan cara membantu ibu
melakukan IMD, bagi Dinkes di sarankan agar menggerakkan puskesmas utuk
melaksanakan program kelas ibu hamil. Bagi peneliti lain perlu melakukan penelitian
lanjutan terhadap variabel kepercayaan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Daftar Bacaan: 43 (1986-2010)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF PUBLIC NUTRITION
Undergraduated Thesis, Oktober 2011
Wulandari, Melli, NIM: 107101002600
Factors that Relation with Behavior Prelacteal Feeding In Newborn Baby at East
Supat Village Subdistrict Musi Banyuasin District South Sumatera in 2011.
xxiii + 110 pages, 21 tables, 2 pictures, 3 attachment.
ABSTRACT
One of effort to reduce infant mortality rate is trough breast-feeding. Breast-
feeding must be done as early as possible since the birth of baby and continued with
exclusive breast feeding. Nevertheless, the effort is limited by prelacteal feeding on
newborn baby. The research is conducted to know relating factor of prelacteal feeding
practice on infant at Supat East Village Musi Banyuasin Subdistrict South Sumatera
District.
This research was conducted on May-August 2011 at East Supat Village Musi
Banyuasin Subdistrict Sumatera South District. The research used quantitative approach,
design research in this research was used cross-sectional study. With sample as many as
96 baby 0-6th with technical sampling in this research used simple random sampling
technique. Analyses data used the test Chi-Square.
The result of this research can be seen that the proportion mother who give
prelacteal feeding were 76,0%. And factor prelacteal feeding in this research were the
education level, knowledge, tradition prelacteal feeding and family support in prelacteal
feeding. Therefore, suggested to the mother for not giving prelacteal feeding to the
newborn by doing IMD (Early Breastfeeding Initiation). In particular, health workers
should provide support to mothers by helping the mother to do IMD. For health
departemen, suggested to primary care (community health center) to carry out classroom
program for pregnant women. For other researchers, suggested to conduct further
research on the variables of trust by doing a qualitative approach.
Reading list: 43 (1986-2010)
iv
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi Dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN
MAKANAN PRELAKTEAL PADA BAYI BARU LAHIR
DI DESA SUPAT TIMUR KABUPATEN MUSI BANYUASIN
SUMATERA SELATAN TAHUN 2011
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2011
Raihana Nadra Alkaff, M.MA Minsarnawati, SKM, M.Kes
Pembimbing I Pembimbing II
v
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, September 2011
Ketua
(Raihana Nadra Alkaff, M.MA)
Anggota I
(Minsarnawati, SKM, M.Kes)
Anggota II
(Farihah Sulasiah, MKM)
vi
DATA RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Melli Wulandari
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Supat, 13 Mei 1989
Alamat : Jl.SMA 48 No.29 Kel Pinang Ranti Kec.Makasar JakTim
Agama : Islam
No.Kontak : 021-99273613
E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
TK Nurul Falah II :1994 - 1995
TPA Nurul Falah II : 1995 - 2001
SDN 4 Supat : 1995 - 2001
SMP PGRI Supat : 2001 - 2004
SMA Trisoko Jakarta : 2004 - 2007
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2007 – sekarang
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Jika Anda tidak mengubah arah kehidupan Anda, Anda akan
sampai di tempat yang menjadi arah dari tindakan atau tidak
adanya tindakan Anda.
Yakinlah, bahwa apa pun yang Anda kerjakan, atau yang tidak
Anda kerjakan, mengarah ke sesuatu, dan akan menyampaikan
Anda kepada kualitas hidup tertentu di masa depan.
Karena Anda akan pasti sampai, maka pastikanlah bahwa Anda
memulai sesuatu yang baik, mengerjakan yang baik, dalam niat
yang baik.
Jika yang kita lakukan adalah yang selain kebaikan, maka kita
akan pasti menua dalam kelemahan dan perendahan.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillah
Assalamu’alaikum Wr Wb
Segala Puji syukur senantiasa tercurahkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, yang senantiasa menganugerahkan nikmat dan rahmat
serta karunianya kepada penulis sehingga penulismasih diberi kesempatan dan
kemampuan dalam menjalankan aktifitas dan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
sebaik-baiknya. Shalawat dan salam senantiasa kami curahkan kepada Rosul tercinta,
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kebenaran yaitu Islam dan telah menjadi
suri tauladan bagi umatnya.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan dukungan dan bantuan pihak-pihak terkait
sehingga penulis sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan skripsi ini, diantaranya :
1. Kedua orang tua saya, ayahanda Darwin dan Ibunda Juahir, yang senantiasa
memberikan perhatian dan kasih sayang, menyumbangkan fikiran secara moral,
emosional dan finansial yang tak terhingga, mau mendengarkan semua keluhan dan
senantiasa memberikan doa dan motivasi untuk pantang menyerah dan selalu sabar
dalam menyelesaikan semua tugas yang diemban oleh penulis. Terimakasih Aba,
Uma jasa mu akan ananda balas dengan segala kekuatan anandamu tercinta
ix
2. Prof.Dr (hc). dr. M. K. Tajudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Ketua program studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Ir. Febrianti, M.si selaku penanggung jawab peminatan gizi, terimakasih ibu
telah banyak memberikan banyak informasi mengenai gizi.
5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, M.MA selaku Pembimbing I, terimakasih atas segala
bimbingan, waktu dan fikiran yang ibu berikan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku Pembimbing II, terimakasih atas segala
bimbingan, waktu dan fikiran yang ibu berikan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan
Ilmu Pengetahuan kepada kami.
8. Spesially to DonaLd, yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang,
menyumbangkan fikiran dan motivsi, serta senantiasa mendengarkan keluh kesa
penulis selama menjalankan perkuliah ini dari semester awal hingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Thank u so mach for all.
9. Geer Together Forever (Farida Hidayati, Hafifatul Auliya Rahmy, Karbella
Kuantanades Hasty, Lisa Ellizabet Aula) sahabat yang selalu bersama dalam senang
maupun susah, selalu mengangkatku ketika aku terjatuh, selalu menemaniku dan
memberi semangat, memberi masukan, arahan, memberi warna dalam hidupku,
terimakasih untuk sahabat-sahabatku, bersamamu semua indah.Love u geer.
x
10. Generasi Oktober thank u so much, atas segala motivasi dan inspirasi yang teman-
teman berikan selama mengerjakan skripsi ini.
11. Teman-teman gizi seperjuanganku angkatan 2007 tetap semangat dan sukses selalu
untuk kita semua.
Akhir kata, kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahannya datangnya
dari Kami selaku manusia yang dhaif, sehingga saran dan kritik dari pembaca sangat
Kami harapkan demi terciptanya perbaikan di masa yang akan datang.
Tangerang Selatan, September 2011
Melli Wulandari,SKM
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................
ABSTRAK..................................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................. .
LEMBAR PERSEMBAHAN....................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................. .................................
DAFTAR TABEL......................................................................................
DAFTAR BAGAN......................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1.2 Rumusan masalah...................................................................
1.3 Pertanyaan penelitian..............................................................
1.4 Tujuan penelitian ....................................................................
1.4.1 Tujuan Umum................................................................
1.4.2 Tujuan Khusus...............................................................
1.5 Manfaat penelitian...................................................................
1.5.1 Bagi Masyarakat.........................................................
1.5.2 Bagi Instansi dan Pihak-pihak terkait.........................
1.5.3 Bagi Peneliti...............................................................
1.6 Ruang Lingkup Penelitian.......................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Susu Ibu (ASI)..................................................................
2.2 Makanan Prelakteal.........................................……….....
2.3 Definisi dan Determinan Prilaku……………...……………
i
ii
iv
v
vi
vii
viii
x
xv
xviii
xix
1
6
6
7
7
7
8
8
8
9
9
10
11
13
xii
2.3.1 Definisi Perilaku……………………………………
2.3.2 Determinan Perilaku………………………………..
2.4 Masalah-masalah yang dihadapi selama menyusui dan cara
mengatasinya………………………………………………...
2.5 Bahaya apemberian susu formula……………..…................
2.6 Keuntungan psikologis menyusui…………………………
2.7 Hal-hal yang berhubungan dengan pemberian makanan
prelakteal…………………………………………………….
2.7.1 Umur ibu…………………………………………….
2.7.2 Pendidikan…………………………………………..
2.7.3 Pekerjaan …………………………………………..
2.7.4 Tradisi……………………………………………….
2.7.5 Pengetahuan…………………………………………
2.7.6 Sikap…………………………………………………
2.7.7 Kepercayaan………………………………………..
2.7.8 Penolong persalinan…………………………………
2.7.9 Tempat persalinan…………………………………...
2.7.10 Dukungan keluarga………………………………….
2.7.11 Dukungan petugas kesehatan………………………..
2.8 Kerangka Teori………………………...……………………
BAB III. KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep....................................................................
3.2 Definisi Operasional…...........................................................
3.3 Hipotesis……………………………………………………..
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain penelitian…………………………...…………..........
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitia………………….......………….
13
15
17
22
22
23
23
24
27
27
29
31
32
34
35
36
37
38
40
42
45
47
47
xiii
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……………………………..
4.3.1 Populasi …………………………………………….
4.3.2 Sampel ………………………………………………..
4.4 Pengambilan sampel………………………………………..
4.5 Pengumpulan Data…………………………………………..
4.6 Instrumen Penelitian………………………………………...
4.7 Uji validitas dan Reabilitas…………………………………
4.8 Pengolahan Data ……………………………………………
4.9 Analisis Data………………………………………………...
BAB V.HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Univariat ………………………...………..........
5.1.1 Gambaran pemberian makanan prelakteal…………
5.1.2 Gambaran Umur ibu……………………………….
5.1.3 Gambaran Tingkat Pendidikan Ibu………………...
5.1.4 Gambaran Tradisi pemberian makanan prelakteal...
5.1.5 Gambaran Pengetahuan Ibu………………………..
5.1.6 Gambaran Sikap Ibu ……………………… ……...
5.1.7 Gambaran Penolong persalinan……………………
5.1.8 Gambaran Tempat persalinan…………………...…
5.1.9 Gambaran Dukungan keluarga………………….…
5.1.10 Gambaran Dukungan petugas kesehatan…………..
5.2 Analisis Bivariat……………………….......………………
5.2.1 Hubungan Umur dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir…………………...
5.2.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir………...
5.2.3 Hubungan Tradisi dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir…………………...
48
48
48
49
50
50
50
52
54
55
55
57
57
58
59
60
60
61
62
63
64
64
65
66
xiv
5.2.4 Hubungan Pengetahuan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir………...
5.2.5 Hubungan Sikap dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir…………………...
5.2.6 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir………...
5.2.7 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir………...
5.2.8 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir………...
5.2.9 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan
Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Baru
Lahir……………………………………………......
BAB VI. PEMBAHASAN
6.1 Gambaran Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Usia
0-6 Bulan di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan……………………………….
6.2 Analsisi antara umur ibu dengan pemberian maknan
prelakteal…………………………..…………………….
6.3 Analisis antara tingkat pendidikan dengan pemberian
maknan prelakteal ………...……………………………..
6.4 Analisis antara tradisi dengan pemberian maknan
prelakteal ……………………………..………………...
6.5 Analisis antara pengetahuan dengan pemberian maknan
prelakteal…………….………………………………….…
6.6 Analisis antara Sikap dengan pemberian maknan
prelakteal………………………………………………….
6.7 Analisis antara penolong persalinan dengan pemberian
67
68
69
70
71
72
74
80
83
85
87
89
xv
maknan prelakteal dengan pemberian maknan
prelakteal…………………………………………………..
6.8 Analisis antara tempat persalinan dengan pemberian
maknan prelakteal …………………………………………
6.9 Analisis antara dukungan keluarga dengan pemberian
maknan prelakteal …………………………………………
6.10 Analisis antara dukungan petugas kesehatan dengan
pemberian maknan prelakteal ……………………………..
6.11 keterbatasan penelitian………………………..……… …..
BAB VI.SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ………………………...………..........................
5.2 Saran…………….................………….......………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
LAMPIRAN................................................................................................
LAMPIRAN 1……………………………………………………………
LAMPIRAN 2…………………………………………………………….
LAMPIRAN 3……………………………………………………………
92
95
97
99
101
102
104
106
xvi
DAFTAR TABEL
No Tabel Halaman
Tabel 1.1 AKB di Indonesia Per 1000 Kelahiran Hidup SDKI………….… 2
Tabel 1.2 AKB per 1000 kelahiran hidup tahun 1994-2007 SDKI Provinsi
Sumsel…………...……………………………………………….
2
Tabel 3.1 Definisi Operasional……………………………........…………... 42
Tabel 4.1 Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner……………….………..... 51
Tabel 5.1 Distribusi Pemberian Makanan Prelakteal Pada Bayi Baru lahir
di Desa Supat Timur Musi Banyausin Sumatera Selatan 2011…..
55
Tabel 5.2 Jenis makanan yang diberikan pada bayi baru lahir di Desa
Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011…………...
56
Tabel 5.3 Alasan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di
Desa Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011……..
56
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu yang Memiliki
Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin Sumatera
Selatan 2011…………...........................................................
57
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu yang
Memiliki Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin
Sumatera Selatan 2011………………………………………...
58
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tradisi Ibu yang Memiliki
Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin Sumatera
Selatan 2011……………………………………………………...
58
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Ibuyang
Memiliki Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin
Sumatera Selatan 2011………………………….………………..
59
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Ibu yang Memiliki
Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin Sumatera
xvii
Selatan 2011……………………………………………………... 60
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Penolong Persalinanyang
Memiliki Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin
Sumatera Selatan 2011……………………….............................
61
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Persalinanyang
Memiliki Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin
Sumatera Selatan 2011…………………………………………...
62
Ttabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluargayang
Memiliki Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyausin
Sumatera Selatan 2011……………………………………….…..
63
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas Kesehatan
ibu yang Memiliki Bayi Baru lahirdi Desa Supat Timur Musi
Banyausin Sumatera Selatan 2011……………………………….
64
Tabel 5.13 Hubungan Umur Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011………………………
65
Tabel 5.14 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten
Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011…………………
66
Tabel 5.15 Hubungan Tradisi Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011………………………..
67
Tabel 5.16 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten
Musi BanyuasinSumatera Selatan Tahun 2011……………...…..
68
Tabel 5.17 Hubungan Sikap Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
BanyuasinSumatera Selatan Tahun 2011………………………..
69
xviii
Tabel 5.18 Hubungan Penolong persalinan dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten
Musi BanyuasinSumatera Selatan Tahun 2011………………….
70
Tabel 5.19 Hubungan Tempat Persalinan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten
Musi BanyuasinSumatera Selatan Tahun 2011………………….
71
Tabel 5.20 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Kabupaten
Musi BanyuasinSumatera Selatan Tahun 2011……………….…
72
Tabel 5.21 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011……..
73
xix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Gambar 2.1 Kerangka Teori..............................................................
Gambar 3.1 Kerangka Konsep...........................................................
Halaman
39
41
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Output Analisis Data
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
seutuhnya.Upaya membangun manusia seutuhnya harus sedini dan seawal mungkin,
yakni sejak manusia itu berada dalam kandungan dan semasa balita.Pembangunan
kesehatan merupakan bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya yang salah
satu kegiatannya adalah melakukan pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui
kegiatan kesehatan ibu dan anak.Pembinaan kesehatan ini ditujukan untuk
menghasilkan generasi yang sehat dan berpotensi tangguh.
Sumber daya manusia yang berkualitas ditentukan pula oleh derajat
kesehatan masyarakat.Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator
untuk menggambarkan derajat kesehatan masyarakat.Rencana strategi Depkes tahun
2005-2009 menyatakan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan secara sistematis dan
berkesinambungan, selain itu ditetapkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan
untuk mencapai sasaran sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan
2
Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yaitu salah satunya adalah menurunkan angka
kematian bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2009).
Tabel 1.1
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia per 1000 kelahiran hidup
berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI).
Tahun AKB
1993-1997 53
1998-2002 44
2003-2007 34
Sumber: BPS, SDKI 2008
Tabel 1.2
Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup tahun 1994-2007
menurut Survei Provinsi Sumatera Selatan.
Tahun AKB
SDKI 1994 60
SDKI1997 53
SDKI 2002-2003 30
SDKI 2007 42
Sumber: BPS, Sumatera Selatan dalam Angka 2009/2010
Berdasarkan penelitian WHO (2000) di enam negara berkembang, resiko
kematian bayi antara 9-12 bulan meningkat 40% jika bayi tersebut tidak disusui.
Untuk bayi berusia di bawah 2 bulan, angka kematian ini meningkat menjadi 48%.
Salah satu upaya untuk mengurangi AKB yaitu dengan pemberian ASI khususnya
ASI Ekslusif 6 bulan dan tetap diberi ASI sampai 11 bulan saja dengan MP-ASI
pada usia 6 bulan dapat menurunkan kematian balita sebanyak 13% (Roesli, 2008).
World Health Organization/United Nations Children’s Fund
(WHO/UNICEF), pada tahun 2003 melaporkan bahwa 60% kematian balita
langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh kurang gizi, dan dua per tiga dari
kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makanan yang kurang tepat pada
3
bayi dan anak (Depkes, 2009). Selain itu makanan prelakteal seperti madu, air teh,
air tajin, dan pisang sangat berbahaya bagi kesehatan bayi. Makanan padat seperti
pisang dapat menyebabkan sumbatan saluran pencernaan dan menyebabkan
kematian berkisar 5,1% (Wiryo,1998 dalam Theresiana, 2002) selain itu pemberian
makanan prelakteal seperti madu juga berbahaya karena di dalam madu terdapat
kandungan colustrum botulinum Spora yang dapat membahayakan dan mematikan.
Pemberian makanan prelakteal adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebelum
ASI keluar (Depkes, 2009).
Penelitian Fikawati dan Syafiq (2003) dalam Nelvi (2004), menemukan
kegagalan pelaksanaan ASI Ekslusif telah dimulai sejak 3 hari pertama kelahiran
yaitu lebih dari 80% responden yang tidak ASI ekslusif 4 bulan, telah memberikan
makanan/minuman prelakteal dalam tiga hari pertama kepada bayinya. Pemberian
maknan prelakteal berbahaya bagi bayi karena saluran pencernaan bayi belum cukup
kuat untuk mencerna makanan dan minuman selain ASI (Depkes, 1997).Selain itu
Makanan/minuman prelakteal dapat menggangu produksi ASI dan mengurangi
kemampuan bayi untuk menghisap, di samping itu daya cerna bayi hanya cocok
untuk ASI saja.
Pemberian ASI di Indonesia belum berhasil sepenuhnya, pemberian ASI satu
jam paska bersalin 8% dan pemberian ASI pada hari pertama 52,7%. Berdasarkan
SDKI (2002), yakni 45,3% bayi mendapatkan makanan prelakteal cair dan 17,6%
mendapatkan prelakteal setengah padat atau lembik. Berdasarkan Riskesdas 2010
Pemberian makanan prelakteal di sumatera selatan sebanyak 44, 8%, jenis makanan
4
yang paling banyak diberikan yaitu susu formula dan madu yaitu (75,6%) dan
(23,3%). Penelitian di Bogor tahun 2001 menunjukkan bahwa 18,7 % dari ibu-ibu
memberikan susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran. Temuan penting
lainnya dari studi tersebut adalah bahwa 14,8% menyatakan setuju untuk
memberikan susu formula kepada bayi baru lahir (Depkes 2001).
Hasil penelitian Widodo (2001) yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa
Barat menunjukkan bahwa 77% responden memberikan makanan prelakteal kepada
bayi baru lahir. Penelitian yang dilakukan Theresenia (2002) di Tangerang
menunjukkan bahwa sebanyak 74,9% responden memberikan makanan prelakteal
pada bayi baru lahir. Hasil penelitian Megawati (2002), memperlihatkan bahwa
pemberian makanan prelakteal di wilayah Kerja Puskesmas Bogor Selatan cukup
tinggi yaitu sebesar 72,5%.
Menurut Sinambella (2000), pemberian makanan prelakteal yang dilakukan
di Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor sebanyak 83,3% responden terjadi karena
kebiasaan yang ada di lingkungan responden. Penelitian Wijaya (2002) menyebutkan
bahwa keberhasilan seorang ibu dalam menyusui sangat dipengaruhi oleh
pengalaman dan dukungan dari orang di sekitarnya terutama keluarga.Kebanyakan
ibu memerlukan dukungan agar dapat menyusui dengan baik.Lubis (2000),
menyatakan bahwa petugas kesehatan memiliki peran yang sangat besar dalam
memberikan contoh pemberian makanan terhadap anak. Kurnia Ningsih (2004),
menyatakan bahwa 58% petugas kesehatan membolehkan pemberian
5
makanan/minuman prelakteal sebelum ASI keluar dan 76% petugas kesehatan setuju
untuk memberikan makanan/minuman prelakteal ketika ASI ibunya belum keluar.
Berdasarkan profil kesehatan Sumatera Selatan 2010 didapatkan cakupan
pemberian ASI ekslusif di Sumatera Selatan pada tahun 2009 mencapai 36,33%.
Cakupan ibu yang memberikan ASI ekslusif di Sumatera Selatan dan di setiap
Kabupaten yang ada di Sumatera Selatan salah satunya yaitu di Kabupaten Musi
Banyuasin dengan cakupan pemberiann ASI Ekslusif sebesar 48,97% masih di
bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM) yaitu 80% (Profil Kesehatan Sumsel,
2010).
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Desa Supat Timur dengan
cara pengamatan dan wawancara berdasarkan kuesioner pada 10 ibu yang
mempunyai bayi baru lahir didapatkan hasil 100% dari ibu tersebut memberikan
makanan prelakteal pada bayi, dimana 80% makanan yang diberikan adalah madu
dan sebanyak 20% ibu yang memberikan makanan prelakteal berupa susu formula.
Mengingat masih banyaknya praktik pemberian makanan prelakteal pada bayi yang
juga merupakan penyebab kematian pada bayi, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
6
1.2 Rumusan Masalah
Makanan prelakteal dapat membahayakan kesehatan bayi dan akan
menggangu produksi ASI dan mengurangi kemampuan bayi untuk menghisap, di
samping itu daya cerna bayi hanya cocok untuk ASI saja. Namun praktik tersebut
masih banyak dilakukan.Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka pemberian
makanan prelakteal pada bayi. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Desa
Supat Timur dengan cara pengamatan dan wawancara berdasarkan kuesioner pada
10 ibu yang mempunyai bayi didapatkan hasil 100% dari ibu tersebut memberikan
makanan prelakteal pada bayinya. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang
akan dilakukan ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di
Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
2 Bagaimana gambaran umur ibu, tingkat pendidikan ibu,tradisi, pengetahuan ibu,
sikap ibu, penolong persalinan, tempat persalinan ibuyang memiliki bayi baru
lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun
2011.
3 Bagaimana gambaran dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan
terhadap ibu yang memiliki bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
7
4 Bagaimana hubungan umur ibu,tingkat pendidikan ibu, tradisi ibu, pengetahuan
ibu,sikap ibu, penolong persalinan ibu, tempat persalinan ibu dengan pemberian
makanan prelakteal atau tidak pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
5 Bagaimana hubungan dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan
dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak pada bayi baru lahir di Desa
Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir
di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun
2011.
2. Mengetahui gambaran umur ibu, tingkat pendidikan ibu, tradisi,
pengetahuan ibu, sikap ibu, penolong persalinan, tempat persalinan ibu
yang memiliki bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
8
3. Mengetahui gambaran dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan
terhadap ibu yang memiliki bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten
Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
4. Mengetahui hubungan umur ibu, tingkat pendidikan ibu, tradisi,
pengetahuan ibu, sikap ibu, penolong persalinan ibu, tempat persalinan ibu
dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak pada bayi baru lahir di
Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun
2011.
5. Mengetahui hubungan dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan
dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak pada bayi baru lahir di
Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun
2011.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi mengenai pentingnya pemberian ASI pada bayi
baru lahir pada waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam
pemberian ASI Ekslusif yang dapat berdampak pada kesehatan bayi.
1.5.2 Bagi instansi dan pihak-pihak terkait
Dapat menjadi bahan petimbangan dan diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi pembuat program dan pelaksana program,
terutama untuk pengembangan program gizi balita di dalam memberikan
9
informasi kepada masyarakat, khususnya ibu-ibu yang telah dan akan memiliki
anak.
1.5.3 Bagi peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian dan sebagai aplikasi ilmu yang didapat selama kuliah serta dapat
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur. Selain itu dapat dijadikan
sebagai bahan penelitian lanjutan oleh peneliti lain dalam tema yang sama.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi di Desa Supat Timur tahun
2011.Penelitian ini dilakukan di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan dan dilakukan pada bulan Mei- Agustus 2011. Sasaran penelitian
ini adalah ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan dengan metode pengambilan data
primer berupa wawancara berdasarkan kuesioner dan menggunakan jenis penelitian
kuantitatif dengan disain cross sectional. Penelitian dilakukan karena masih
banyaknya praktik pemberian makanan prelakteal pada bayi.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Susu Ibu (ASI)
ASI adalah makanan terbaik yang dapat diberikan ibu kepada bayi yang baru
dilahirkan. Komposisi ASI berubah setiap saat sesuai dengan kebutuhan bayi dan
bila diberikan dengan baik dan benar dapat memenuhi kebutuhan untuk tumbuh
secara optimal sampai usia 6 bulan. Selain itu ASI mengandung makrofag limfosit
dan antibody yang dapat mencegah bayi terinfeksi dengan penyakit
tertentu.Pemberian ASI mempunyai pengaruh biologis dan emosional yang luar
biasa terhadap kesehatan ibu dan anak serta terdapat hubungan yang erat antara
menyusui ekslusif dan penjarangan kelahiran (Suradi, 2001 dalam Nelvi, 2004).
Dalam keadaan normal, bayi tidak memerlukan air atau makanan lain selama
2-4 hari pertama setelah lahir, yaitu pada saat ibu baru mulai menyusui. Karena
cadangan tenaga dan air yang di bawah sejak lahir cukup untuk pertahanan bayi
pada hari-hari pertama kehidupan, sementara proses menyusui belum mantap.
Sehingga dianjurkan untuk meletakkan bayi di lingkungan yang cukup hangat, tetapi
tidak terlalu kering, untuk mencegah kehilangan cairan melalui keringat (Perinasia,
1990).
11
2.2 Makanan Prelakteal
Asupan sebelum menyusui (asupan pralaktasi) adalah makanan/minuman
buatan yang diberikan kepada bayi sebelum kegiatan menyusui dimulai (Depkes,
2009). Sedangkan menurut Depkes (2010), makanan prealakteal adalah makanan
yang diberikan kepada bayi sebelum ASI keluar, jenis-jenis makanan tersebut antara
lain: air kelapa, air tajin, madu, pisang, nasi yang dikunyah ibunya, papaya, dan susu
formula. Pemberian maknan prelakteal berbahaya bagi bayi karena saluran
pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna makanan dan minuman selain
ASI.
Menurut Suhardjo (1998) makanan prelakteal adalah makanan yang
diberikan kepada bayi sebelum diberikan ASI. Makanan prelakteal diberikan pada 1-
3 hari pertama setelah kelahiran, makanan yang umum diberikan pada masa
prelakteal tersebut adalah madu, kelapa muda, pisang dihaluskan, papaya dihaluskan,
air gula bahkan di Jawa Timur sebagian ada ibu-ibu yang memberikan susu sapi
sebagai makanan prelakteal, di Nusa Tenggara barat ibu-ibu Suku Sasak juga
memberikan nasi papak, nasi masam, bubur tepung dan teh kepada bayi baru lahir,
selain itu sebagian ibu-ibu Suku Bali memberikan susu bubuk sebelum mulai
memberikan ASI. Alasan memberikan makanan prelakteal adalah supaya bayi
berhenti menangis, karena bayi belum bisa menghisap ASI, bayi membutuhkan
makanan dan ASI belum keluar.
12
Pemberian makanan prelakteal merupakan perilaku ibu dalam memberikan
makanan/minuman selain ASI sebelum ASI keluar seperti: air teh, air putih, madu,
air tajin, pisang, susu formula, dan pepaya kepada bayi. Menurut Depkes (2007),
makanan prelakteal ini berbahaya karena: makanan ini dapat menggantikan
kolostrum sebagai makanan bayi yang paling awal. Bayi mungkin terkena diare,
septicemia dan meningitis, bayi lebih mungkin menderita intoleransi terhadap
protein di dalam susu formula tersebut, serta alergi misalnya eksim.
Makanan prelakteal mengganggu hisapan bayi. Rasa lapar bayi terpuaskan,
sehingga bayi menyusu lebih sedikit, bila bayi diberi minuman dari botol dan dot,
maka bayi lebih sulit melekat pada payudara (bingung puting), bayi akan kurang
menyusu dan merangsang payudara dan ASI memerlukan waktu lebih lama untuk
keluar, hal ini mempersulit pemantapan menyusui. Meskipun bayi mendapatkan
asupan prelakteal sedikit, ibu kemungkinan besar akan mengalami masalah seperti
pembengkakan payudara. Akibatnya, kegiatan menyusui kemungkinan besar akan
berhenti lebih awal dibandingkan bila bayi disusui ekslusif sejak lahir.
Pemberian makanan prelakteal sangat merugikan karena akan
menghilangkann rasa haus bayi sehingga malas menyusui. Menurut Ebrahim (1986)
dalam Megawati (2002) beberapa top feeds atau makanan dari larutan glukosa hanya
akan menimbulkan hambatan dan melemahkan let down reflex dengan menjauhkan
rangsangan menghisap. Menurut Siregar (2004), bahaya pemberian makanan
prelakteal meliputi:
13
1. Untuk bayi
a. Bayi bisa tidak mau menghisap dari payudara karena pemberian makanan ini
menghentikan rasa laparnya.
b. Diare sering terjadi karena makanan ini mungkin tercemar, juga bila bayi
tidak menghisap payudara maka tidak akan mendapat susu jolong
(kolostrum).
c. Bila yang diberikan susu sapi, alergi sering terjadi.
d. Bayi kebingungan menghisap puting susu bila pemberian makanannya lewat
botol.
2. Untuk ibu
a. ASI keluar lebih lama karena bayi tidak cukup menghisap
b. Bendungan dan mastitis lebih mungkin terjadi karena payudara tidak
mengeluarkan ASI, dan
c. Ibu sulit menyusui dan cenderung berhenti menyusui.
2.3 Definisi dan Determinan Perilaku
2.3.1 Definisi Perilaku
Perilaku berasal dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan
dorongan merupakan usaha memenuhi kebutuhannya.Perilaku merupakan
refleksi berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak,
motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoadmojo, 2003).
14
Perilaku adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan
tanggapan (respons).Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu
aktivitas pada manusia itu sendiri baik yang dapat diamati secara langsung
maupun tidak langsung. Berdasarkan definisi perilaku dari Skinner 1983
perilaku merupakan hubungan antara stimulus dengan respon, skinner
mengemukakan ada dua respon (tanggapan) yaitu:
1. Respondent respons atau reflexive respons, ialah respons yang
ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-
perangsangan yang semacam itu disebut elektring stimuli, karena respon-
respon yang relatif tetap. Responden respon (respondent behavior) ini
mencakup juga emosi respon atau emotional behavior, yang timbul
karena hal yang kurang mengenakan organisme yang bersangkutan,
misalnya reaksi menangis ketika sedih atau sakit.
2. Operant respond atau instrumental respons adalah respon yang timbul
dan berkembang diikuti rangsangan tertentu. Perangsangan tersebut atau
semacamnya disebut reinforcing stimuli, karena perangsangan-
perangsangan tersebut memperkuat respon yang dilakukan oleh
seseorang. Respondent respons sangat terbatas keberadaannya pada
manusia. Ini disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan
respon kemungkinan untuk memodifikasinya adalah sangat kecil,
sebaliknya operant respons merupakan bagian terbesar dari perilaku
15
manusia, dan kemungkinan memodifikasinya sangat besar bahkan tidak
terbatas.
2.3.2 Determinan Perilaku
Notoatmodjo (2007), mengemukakan banyak teori tentang
determinan perilaku, masing-masing berdasarkan asumsi-asumsi yang
dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 teori yang sering menjadi
acuan dalam penelitian-penelitian kesehatan masyarakat, ketiga teori tersebut
yaitu teori Lawrence Green (1980), Snehandu B. Kar (1983), dan WHO
(1984).
a. Teori Lawrence Green
Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan
yakni behavioral factors (perilaku kesehatan), dan non behavioral factor
(faktor non perilaku). Selanjutnya perilaku sendiri ditentukan oleh 3
faktor.
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor
yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain
pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan
sebagainya.
2. Fakto-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang
memungkinkann atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan,
16
antara lain sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, posyandu, rumah sakit, dll.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas lain, yang merupakan kelompok
refrensi dari perilaku masyarakat.
b. Teori snehandu B. Kar
Kar dalam Notoadmojo (2007), mengidentifikasi adanya 5
determinan perilaku yaitu,
1. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan
dengan objek atau stimulus di luar dirinya.
2. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support).
3. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah
tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan
diambil oleh seseoranng. Misalnya informasi tentang kesehatan atau
fasilitas kesehatan.
4. Otonomi pribadi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) dalam
hal ini mengambil tindakan atau keputusan.
5. Kondisi dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak
bertindak (action situation).
17
c. Teori WHO
World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa
seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok.
1. Pemikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan-kepercayaan dan pertimbangan seseorang
berdasarkan objek.
2. Adanya acuan atau refrensi dari seseorang atau pribadi yang
dipercayai (personal refrences).
3. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk
terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat (sarana dan prasarana
atau fasilitas)
4. Soiso budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh
terhadap perilaku seseorang, faktor budaya merupakan faktor ekternal
untuk terbentuknya perilaku seseorang.
2.4 Masalah-Masalah yang Dihadapi Selama Menyusui dan Cara Mengatasinya
Beberapa masalah yang sering dihadapi ibu selama menyusui adalah:
1. Masalah Biologis Ibu
1. Puting datar, terbenam dan besar/panjang
a. Bangun rasa percaya diri ibu,
18
b. Bayi perlu memasukkan sebagian besar areola dan jaringan di
belakangnya kedalam mulut bayi, sewaktu bayi menyusu, bayi akan
menarik payudara dan puting ibu ke arah luar.
c. Biarkan bayi melekat sendiri pada payudara, kapanpun ia mau.
d. Bantu ibu mengatur posisi bayi sehingga bayi bisa melekat lebih baik
e. Bantu ibu supaya puting lebih menonjol sebelum menyusui dengan
menggunakan pompa payudara manual, atau sebuah alat suntik untuk
menarik puting keluar.
2. Payudara bengkak
Penyebab payudara membengkak yaitu,
1. ASI banyak
2. Terlambat mulai menyusui
3. Pelekatan kurang baik
4. Pengosongan ASI tidak sering
5. Pembatasan lama menyusui
Mengeluarkan ASI sangat penting untuk mengatasi pembengkakan.
Bila ASI tidak dikeluarkan akan terjadi mastitis, bengkak (abses) dan
produksi ASI berkurang.
1. Bila bayi mampu menyusu, bayi sebaiknya menyusu lebih sering. Bantu
ibu mengatur posisi bayi agar melekat dengan baik. Dengan demikian
bayi akan menyusu secara efektif dan tidak mencederai puting.
19
2. Bila bayi tidak mampu menyusu, bantu ibu memerah ASInya. Ibu mampu
memerah dengan tangan atau memerlukan pompa payudara, dapat
memerah sedikit ASI untuk membuat payudara cukup lunak untuk bayi
menyusu.
3. Sebelum menyusu atau memerah, rangsanglah reflex oksitosin ibu dengan
kompres hangat atau mandi air hangat, pijat tengkuk dan punggung,
pijitan ringan pada payudara, merangsang kulit puting dan bantu ibu
untuk rileks.
4. Setelah menyusui untuk menghilangkan edema, letakkan kompres dingin
pada payudara
5. Bangun rasa percaya diri ibu.
3. Saluran tersumbat dan mastitis
Mastitis timbul pada payudara yang bengkak atau dapat terjadi karena
saluran ASI tersumbat.Saluran tersumbat terjadi saat ASI tidak dikosongkan
dari salah satu bagian payudara.Hal ini terjadi karena saluran menuju bagian
payudara tersumbat oleh ASI yang menebal.Gejalanya adalah gumpalan dan
lembek, seringkali terdapat kemerahan pada kulit di daerah yang bengkak.Ibu
tidak demam dan merasa sehat.
Apabila ASI menetap di bagian tertentu payudara, karena saluran
tersumbat atau karena payudara bengkak maka ini disebut statis ASI.Jika ASI
tidak juga dikeluarkan statis ASI dapat menyebabkan peradangan jaringan
20
payudara yang disebut mastitis tanpa infeksi.Kadang payudara terinfeksi
bakteri (mastitis terinfeksi).Penyebab saluran tersumbat dan mastitis adalah
kurang baiknya aliran ASI pada sebagian atau seluruh payudara.
Aliran yang kurang baik pada seluruh payudara dapat terjadi karena
menyusui kurang sering, menyusui tidak efektif jika bayi tidak melekat
dengan benar pada payudara. Sedangkan kurang lancarnya aliran pada
sebagian payudara bisa terjadi karena menyusui tidak efektif, tekanan
pakaian yang ketat, tekanan jari ibu dan bagian bawah payudara yang besar
kurang baik mengalirkan ASI karena cara bergantung payudara itu sendiri.
Faktor penting lainnya adalah stress dan banyak pekerjaan ibu, hal ini
menyebabkan ibu kurang sering menyusui bayinya atau kurang lama. Trauma
pada payudara yang merusak jaringan payudara kadang menyebabkan
mastitis, bila ada puting retak maka itu memungkinkan bakteri masuk ke
jaringan payudara.
4. Puting lecet dan retak
Puting lecet disebabkan oleh kesalahan dalam teknik menyusui, yaitu
bayi tidak menyusu sampai kekalang payudara. Bila bayi hanya menyusu
pada puting susu maka bayi akan mendapat ASI sedikit karena gusi bayi
tidak menekan pada daerah sinus laktifirus, sedangkan pada ibunya kan
terjadi nyeri/lecet pada puting susunya (Soetjiningsih, 1997). Penanganan
puting lecet: Bagun rasa percaya diri ibu, perbaiki pelekatan dan teruskan
21
menyusui, kurangi pembekakan, sarankan sering menyusui dan perah ASI,
obati candida apabila kulit merah, berkilat dan bersisik. Anjurkan ibu
mencuci payudara sekali sehari saja dan hindari pemakaian sabun, hindari
obat lotion dan salep, mengoleskan ASI akhir pada areola dan puting tiap
selesai menyusui (Depkes, 2009).
2. Masalah Psikologis Ibu
Menurut siregar 2002 bahwa faktor kejiwaan sangat mempengaruhi
pembuahan air susu ibu. Kegagalan menyusui dapat terjadi apabila ibu selalu
dalam keadaan gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan dan berbagai bentuk
ketegangan lainnya.
Siregar juga mengatakan pada ibu menyusui ada dua reflex yang menentukan
keberhasilan menyusui bayinya, yaitu:
1. Refleks Prolaktin
Disaat payudara ibu dihisap oleh bayi, maka terjadi rangsangan
neoroharmonal pada putting susu dan aerola ibu. Rangsangan ini diteruskan
ke hypophyse melalui nervus vagus, terus ke lobus anterior. Hormon
prolaktin akan keluar dari lobus ini, masuk ke peredaran darah dan sampai
pada kelenjar-kelenjar pembuat ASI. Kelnjar-kelenjar ini akan terangsang
untuk menghasilkan ASI.
2. Refleks Oksitosin
22
Refleks ini akan memancarkan ASI keluar. Apabila didekatkan pada
payudara ibu, bayi akan memutarkan posisi kepalanya ke arah payudara ibu.
Refleks memutarnya kepala bayi ke payudara ibu inilah yang dinamakan
rooting reflex (refleks menoleh).Let down reflex sangat sensitive. Refleks ini
akan terganggu, apabila ibu mengalami guncangan emosi, tekanan jiwa dan
gangguan fikiran. Apabila terjadi gangguan let down reflex ini, maka ASI
tidak keluar. Hal ini akan berakibat bayi, ini justru akan menambah ibu lebih
gelisah lagi sehingga semakin mengganggu let down reflex.
2.5 Bahaya Pemberian Susu Formula
Menurut Depkes (2009) bahaya pemberian susu formula yaitu:
1. Lebih mudah diare dan infeksi saluran pernafasan
2. Kurang gizi, kekurangan vitamin A
3. Lebih mudah meninggal
4. Lebih mudah alergi dan keadaan tidak tahan (intolerensi)
5. Meningkatnya resiko beberapa penyakit kronis
6. Kelebihan berat badan
7. Nilai tes kecerdasan lebih rendah.
2.6 Keuntungan Psikologis Menyusui
Menyusui membantu ibu dan bayi membentuk hubungan yang erat dan
penuh kasih sayang yang membuat ibu merasa sangat puas secara emosional.Kontak
kulit antara ibu dan bayi segera setelah persalinan membantu mengembangkan
23
hubungan tersebut (bonding). Selain itu keuntungan dari menyusui adalah bayi
jarang menangis dan akan tumbuh dan berkembang lebih cepat jika bayi selalu dekat
dengan ibunya dan disusui segera setelah dilahirkan (Depkes, 2009).
Ibu yang menyusui merespon bayinya dengan cara yang lebih kasih sayang,
jarang mengeluh dalam memenuhi kebutuhan bayi untuk diperhatikan dan menyusui
dimalam hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menyusui akan membantu
proses perkembangan intelektual anak, hasil penelitian terhadap kecerdasan terhadap
bayi Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) yang dilakukan pada masa kanak-kanak
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan IQ secara signifikan pada bayi yang diberi
ASI lebih cerdas dibandingkan dengan yang diberi susu formula (Nur, 2008).
2.7 Hal-Hal yang Berhubungan dengan Pemberian Makanan Prelakteal
1. Umur Ibu
Tidak semua wanita sama dalam menyusui. Sebagian mempunyai
kemampuan yang lebih besar dari pada yang lain. Pada umumnya wanita yang
lebih muda kemampuannya lebih baik dari yang tua.Salah satu faktor
penyebabnya adalah adanya perkembangan kelenjar yang matang pada pubertas
dan fungsinya yang berubah sesudah kelahiran bayi (Ebrahim, 1978). Menurut
(Madjid, 1999 dalam Nuryanto, 2002) kurun waktu yang paling aman secara
biologis untuk reproduksi adalah 20-30 tahun karena pada kurun waktu tersebut
terjadi kematangan pertumbuhan organ genitalia interna dan perkembangan
hormonal yang stabil.
24
Soetjningsih (1997) mengungkapkan bahwa semakin muda usia ibu
semakin tinggi kecendrungan untuk memberikan ASI. Hal ini berbanding
terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Megawati (2002) didapatkan
hasil bahwa ibu yang berumur lebih muda lebih banyak yang memberikan
makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir dibandingkan dengan ibu yang
berumur lebih tua.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Linda Amalia (2007) memperlihatkan
bahwa tidak ada hubungan signifikan antara ibu yang berumur < 20 dan> 30
dengan ibu yang umur 20-30 tahun dalam memberikan ASI segera setelah
melahirkan. Hal ini terlihat bahwa ibu yang berumur < 20 tahun dan > 30 tahun
maupun umur ibu diantara 20-30 tahun mayoritas tidak segera memberikan ASI
setelah melahirkan 66,7%.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat dibutuhkan
untuk pengembangan diri.Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah
menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi juga semakin
meningkanya produktivitas dan semakin tinggi kesejahteraan
keluarga.Pendidikan adalah sejumlah pengalaman belajar baik formal maupun
informal yang diorientasikan pada perkembangan dan pertumbuhan pribadi.Yang
dimaksud dengan pendidikan formal adalah pendidikan umum melalui jalur
sekolah.
25
Menurut Depkes RI 2005 dalam Hermansyah 2010, seorang ibu yang
mempunyai tingkat pendidikan rendah maka balitanya berisiko 2 kali lebih
banyak terhadap masalah kesehatan dibandingkan dengan ibu yang memiliki
pendidikan tinggi. Berarti jika seorang ibu berpendidikan lebih tinggi maka
kemungkinan ibu dapat menerima banyak informasi, termasuk informasi tentang
gizi balita sehingga ibu dapat memberikan asupan gizi yang baik untuk balitanya.
Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah
menerima informasi kesehatan khususnya di bidang gizi, sehingga dapat
menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan. Tingkat
pendidikan merupakan salah satu indikator sosial dalam masyarakat karena
melalui pendidikan sikap tingkah laku manusia dapat meningkat dan berubah
citra sosialnya. Disamping itu, tingkat pendidikan juga dapat dijadikan sebagai
cermin keadaan sosial ekonomi di dalam masyarakat (Depkes RI, 1990 dalam
Hermansyah 2010).
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan
anak yang baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam kehidupan sehari-hari,
bagaimana cara menjaga kesehatan anak, pendidikan dan sebagainya
(Soetjiningsih, 2004).
26
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan mutu hidup
manusia.Secara umum pendidikan meningkatkan keperibadian manusia, aspek
jasmani, aspek rohani, pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka
menciptakan kepribadian yang mantap dan mandiri.Pendidikan dalam penelitian
ini dibagi menjadi 2 kategorik yaitu pendidikan rendah dan pendidikan
tinggi.Responden yang berpendidikan rendah adalah responden berpendidikan
SMP ke bawah dan responden berpendidikan tinggi bila responden minimal
SMA/ sederajat (Hartuti, 2006).
Penelitian Megawati (2002) memperlihatkan bahwa ibu yang
berpendidikan rendah lebih banyak memberikan makanan prelakteal pada
bayinya pada saat baru lahir dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan
tinggi.Selain itu ibu dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk memberikan makanan prelakteal dibandingkan dengan ibu
yang berpendidikan tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Linda Amalia (2007) menunjukan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pemberian
ASI segera lahir hal ini terlihat bahwa untuk semua kategori pendidikan,
presentase ibu yang memberikan ASI segera pada bayi baru lahir lebih kecil dari
pada ibu yang tidak memberikan ASI segera pada bayi baru lahir.
3. Pekerjaan
27
Bekerja selalu dijadikan alasan tidak memberikan ASI ekslusif pada bayi
karena ibu meninggalkan rumah sehingga waktu pemberian ASI pun
berkurang.Akan tetapi seharusnya seorang ibu yang bekerja tetap dapat
memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya dengan pengetahuan yang benar
tentang menyusui, perlengkapan memerah ASI, dan dukungan lingkungan kerja
(Soetjiningsih, 1997).Pada Penelitian Megawati (2002) memperlihatkan bahwa
Ibu yang tidak bekerja lebih banyak memberikan makanan prelakteal dibanding
dengan ibu yang bekerja.
4. Tradisi
Tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu
negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama dan adanya informasi yang
diteruskan dari generasi baik tertulis maupun (seringkali) lisan. Dalam hal ini
tradisi pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir seperti: madu, air
kelapa, air tajin, air teh, pisang, air putih dan lain-lain (Kholifah, 2008).
Pengetahuan secara budaya tentang pangan adalah salah satu faktor yang
menentukan apa yang dapat dimakan dan apa yang tida. Sering kali inipun masih
dibatasi adanya kemungkinan kepercayaan agam ataupun tradisi mengenai apa
yang boleh dan yang tidak boleh dimakan, apa yang baik dan apa yang tidak baik
secara sosial. Semua itu diperoleh melalui proses pewarisan dari generasi tua
kepada generasi muda secara terus menerus. Lewat proses enkulturasi dan
28
sosialisaai tiap individu membiasakan diri dalam apa yang patut dimakan
(Puslitbang Gizi Depkes RI,1985 dalam Kholifah 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2008)
mengungkapkan bahwa beberapa informan utama memberikan madu pada bayi
baru lahir pemberian makanan tersebut dilakukan karena kebiasaan yang
dianjurkan oleh orang tua ketika ASI ibu belum keluar atau keluar namun masih
sedikit. Pemilihan madu sebagai makanan untuk bayi baru lahir disebabkan
karena makanan berupa madu memiliki kepercayaan tertentu, yaitu dapat
mengeluarkan kotoran dari dalam tubuh bayi setelah melahirkan dan dipercaya
dapat membuat bibir bayi tersebut menjadi merah jika pemberiannya dilakukan
dengan cara dioleskan pada cabe merah ke bibir bayi.
Penelitian Sinambella (2002) di Bogor yang mengungkapkan bahwa
pemberian makanan yang dilakukan di tempat tersebut terjadi karena kebiasaan
yang ada di lingkungan responden yang menganggap makanan prelakteal
merupakan makanan yang baik untuk bayi menunggu ASI keluar.Sama halnya
dengan penelitian Widodo (2001) yang mendapatkan bahwa kebiasaan
pemberian makanan pada bayi baru lahir atas dasar tujuan tertentu, salah satunya
adalah untuk membersihkan kotoran dari perut bayi.
5. Pengetahuan
29
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” terjadi dan setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu.selain itu pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku
akan lebih langgeng bila didasari oleh pengetahuan dibandingkan perilaku yang
tidak berdasarkan pengetahuan, walaupun ternyata pengetahuan yang mendasari
sikap seseorang tersebut masih dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat
kompleks untuk sampai terbentuk perilaku yang nyata (Notoadmodjo, 2003).
Pengetahuan sangat berperan penting dalam melakukan pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi. Tahu atau tidaknya seorang ibu
mengenai cara pemberian makanan pada bayi merupakan proses transisi dari
asupan ASI menuju ke makanan selain ASI. Kurangnya pengetahuan dan salah
konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai
setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang
bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain halnya
dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan
informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2003).
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan (Suhardjo, 2003):
1. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang
optimal, pemeliharaan dan energi.
30
2. Ilmu gizi merupakan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
3. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
Grant (1989) dalam Sinambela (2000), mengemukakan bahwa kebiasaan
yang salah pada pemberian makanan pada bayi disebabkan kurangnya
pengetahuan sebagian besar orang tua tentang pentingnya pemberian ASI dan
pemberian makanan pada usia tambahan pada usia 4-6 bulan. Pengetahuan ibu
sangat erat kaitannya dengan kesehatan anak baik itu diukur dari status gizinya
ataupun dari kematian bayi dan anak.
Pengetahuan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua ketegorik
yaitu kurang baik dan baik, dikatakan kurang baik apabila mendapat skor
jawaban yang benar < 70%. Sedangkan responden dikatakan baik apabila skor
jawaban yang benar ≥70% (Hartuti, 2006).
Berdasarkan penelitian Megawati (2002) memperlihatkan bahwa semakin
baik pengetahuan ibu semakin menurun persentasi pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kholifah (2008) bahwa seluruh informan utama dalam penelitian mengatakan
bahwa pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir tidak menimbulkan
pengaruh buruk apapun baik bagi ibu maupun bayinya.Menurut mereka kondisi
bayi dalam keadaan sehat-sehat saja setelah makanan tersebut diberikan.
6. Sikap
31
Sikap merupakan reaksi repons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu objek atau stimulasi.Manifestasi sikap itu tidak bisa langsung
dilihat, tetapi hanya bisa ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata akan menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulasi tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari (Notoadmodjo,
2003). Sikap merupakan salah satu faktor yang ada pada dalam diri seseorang
yang bisa menyebabkan orang tersebut melakukan sesuatu sehingga mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perilaku seseorang.
Menurut Purwanto (1998) dalam Kholifah (2008) menjelaskan bahwa
sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.Sikap positif seseorang
terhadap sesuatu diharapkan dapat membuat perubahan perilaku yang
positif.Dengan pengetahuan, pendidikan dan sikap yang positif dimungkinkan
terjadi suatu perubahan perilaku positif (Notoatmodjo, 2003).Sikap dalam
penelitian ini dikelompokkan menjadi dua ketegorik yaitu sikap negatif dan sikap
positif, dikatakan sikap positif apabila mendapat skor jawaban yang benar
≥70%.Sedangkan responden dikatakan sikap negatif apabila skor jawaban yang
benar < 70% (Hartuti, 2006).
Berdsarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2008) bahwa
sebagian informan utama dalam penelitian menyatakan sikap yang negatif
terhadap makanan prelakteal, hal ini ditunjukkan melalui pernyataan bahwa
makanan prelakteal baik untuk bayi sebab pemberian makanan tersebut tidak
32
berpengaruh apap-apa bagi perkembangan bayi. Selain itu sebagian dari
informan utama lain ada yang menyatakan sikap yang sebaliknya yaitu
menganggap bahwa makanan prelakteal bukanlah makanan yang baik untuk
bayi. Menurut mereka ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi.Pemberian
makanan prelakteal terpaksa mereka berikan karena ASI tersebut belum keluar
atau belum banyak keluar.
Penelitian lain yang dilakukan Linda Amelia (2007) terlihat bahwa ibu
yang bersikap positif lebih banyak yang memebrikan ASI segera setelah bayi
lahir dibandingkan dengan ibu yang mempunyai sikap negatif meskipun tidak
ada hubungan signifikan antara sikap dengan pemberian ASI segera pada bayi
baru lahir. Hal ini dapat terlihat bahwa sikap negatif mayoritas memberikan ASI
segera pada bayi baru lahir 30,8% sedangkan ibu yang bersikap positif 43,4%.
7. Kepercayaan
Kepercayaan (belief) menurut Mar’at (1984) dalam Yulia (2009)
merupakan bagian komponen kognisi dari sikap.Kepercayaan ini berkembang
dari adanya persepsi yang dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar,
cakrawala, dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar
akanmemberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat sedangkan faktor
dan cakrawalanya memberikan arti terhadap objek tersebut.
Dalam sistem-sistem nilai dan kepercayaan dalam struktur dan dalam
proses kognitif, masyarakat menampakkan bentuk-bentuk yang kadang-kadang
33
menghambat penerimaan mereka, misalnya terhadap suatu pengobatan ilmiah.
Kepercayaan mengenai jasmani dan konsep-konsep tentang penyakit adalah
bagian dari pendangan hidup yang lebih luas. Sebagaimana dengan pandangan
hidup yang jarang dipertanyakan, demikian pula unsur-unsur individu yang
membentuk totalitas tersebut diterima sepenuhnya ilmiah (Foster dan Anderson,
1986)
Keyakinan atau kepercayaan merupakan representative apa yang
dipercaya oleh individu pemilik sikap atau dengan kata lain berisi kepercayaan
seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar terhadap objek sikap.
Keyakinan datang dari apa yang dilihat dari individu, berdasarkan apa yang
dilihat itu maka akan terbentuk ide, gagasan mengenai sifat karakteristik umum
suatu objek, dari situ akan terbentuk keyakinan mengenai apa yang berlaku bagi
objek sikap. Sekali keyakinan terbentuk maka akan menjadi dasar pengetahuan
seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tersebut (Luthfi, 2008
dalam Indah Puspita, 2010).
8. Penolong Persalinan
Keberhasilan menyusui bayi tidak hanya dipengaruhi oleh tempat ibu
bersalin tetapi juga sangat bergantung terhadap petugas kesehatan seperti
perawat, dokter, atau bidan karena merekalah yang pertama-tama akan
34
membantu ibu bersalin melakukan inisiasi menyusui dini. Fakta di Indonesia
BPS (2003), menunjukkan bahwa proporsi anak yang mendapat ASI dini dalam
1 jam pertama setelah dilahirkan antara anak yang ditolong oleh petugas
kesehatan dan anak yang ditolong oleh dukun hampir sama yaitu 38% dan 40%.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kholifah (2008) bahwa informan utama
melakukan persalinan dibantu oleh dukun bayi, bidan ataupun keduanya
memberikan makanan prelakteal, jika dukun menganjurkan memberikan
makanan prelakteal berupa madu berbeda dengan petugas menyarankan untuk
memberikan makanan prelakteal bentuk susu formula.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Linda Amelia (2006) bahwa ada
hubungan yang sigifikan antara penolong persalinan dengan tindakan pemberian
ASI segera pada bayi baru lahir dari hasil penelitian ini terlihat bahwa
kemungkinan pemebrian ASI segera pada bayi baru lahir pada perilaku penolong
persalinan yang memberikan bayi pada ibu untuk disusui lebih besar untuk
memberikan ASI dibandingkan dengan perilaku penolong persalinan yang hanya
menganjurkan ibu untuk memberikan ASI segera pada bayi baru lahir.
9. Tempat Persalinan
Tempat ibu bersalin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan menyusui, karena masih sering dijumpai di rumah sakit pada hari
pertama kelahiran walaupun sebagian besar dari ibu-ibu yang melahirkan di
35
kamar mereka sendiri, hampir setengah dari bayi mereka diberi makanan
prelakteal (Siregar, 2004).Sebuah survei di Semarang menyatakan bahwa ibu
yang melahirkan di rumah lebih banyak yang menyusui bayinya dari pada ibu
yang melahirkan di rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh karena masih banyak
tata laksana rumah sakit yang tidak menunjang menyusui, sebagai contoh:
memberikan prelacteal feeding yang sebenarnya tidak perlu dan berakibat
kurang baik karena akan menghilangkan rasa haus bayi sehingga malas untuk
menetek (suradi, 1985 dalam suhendar, 2002). Proses menyusui sebaiknya
dilakukan secepat mungkin setelah ibu melahirkan sehingga bayi tidak perlu
mendapatkan makanan prelakteal.
Penelitian Megawati (2002) menyebutkan bahwa sebanyak 63,4%
persalinan di rumah, 18,3% di puskesmas, 11,3% di tempatt bidan, dan hanya 7%
dirumah sakit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kholifah (2008) bahwa
seluruh informan melakukan persalinan dilakukan di rumah informan utama
sendiri. Penelitian ini menunjukkan bahwa persalinan yang dilakukan dirumah
lebih banyak persentase dalam memberikan makanan prelakteal, karena adanya
kebiasaan memberikan makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir berupa
madu.Sedangkan ibu yang melakukan persalinan di puskesmas ternyata lebih
sedikit memberikan makanan prelakteal.
36
10. Dukungan Keluarga
Dalam memberikan ASI Ekslusif dukungan keluarga merupakan faktor
pendukung yang pada prinsipnya adalah suatu kegiatan yang bersifat emosional
maupun psikologi yang diberikan kepada ibu menyusui (Roesli, 2000).Pada
minggu pertama setelah persalinan seorang ibu lebih peka dalam emosi.Untuk itu
seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi
termasuk dalam memberikan makanan pada bayi.Orang yang dapat
membantunya terutama adalah orang yang berpengaruh besar dalam
kehidupannya atau yang disegani, seperti suami, keluarga/kerabat terdekat, atau
kelompok ibu-ibu pendukung ASI dan dokter/tenaga kesehatan (Soetjiningsih,
1997).
Menurut Iskandar (1998) dalam Kholifah (2008) setelah masa kelahiran,
suami perlu membantu merawat istri/ibu baru melahirkan dengan cara
memotivasi ibu menyusui untuk memberikan ASI secara ekslusif dan tidak
memberikan makanan prelakteal pada bayinya serta tidak memberikan makanan
tambahan selama empat bulan. Selain suami anggota keluarga lainnya juga dapat
membantu merawat ibu yang baru melahirkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2008) bahwa
sebagian dari informan utama memberikan makanan prelakteal kepada bayinya
yang baru lahir merupakan atas saran dan anjuran dari orang-orang disekitarnya
terutama orang tuanya.Selain itu ada beberapa informan utama yang berinisiatif
37
sendiri memberikan makanan tersebut kepada bayinya.Hal ini dilakukan karena
praktik pemberian makanan tersebut sudah menjadi kebiasaan seperti yang sudah
dilakukan pada persalinan anak sebelumnya.
11. Dukungan Petugas Kesehatan
Ada kecendrungan makin banyak ibu tidak menyusui bayinya karena
faktor keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan mengenai
cara pemberian ASI yang baik dan benar. Keadaan ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan yang diberikan sewaktu dalam pendidikan sehingga
dalam hal ini menyebabkan petugas kurang mendukung upaya peningkatan
pemanfaatan ASI ekslusif.Sehingga menyebabkan masih banyaknya pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Petugas dan kader kesehatan merupakan sumber informasi tentang
kesehatan.Posyandu adalah tempat yang sering digunakan untuk penyampaian
informasi.Kepala desa merupakan motivator yang baik dalam menjalankan
program kesehatan.Lubis (2002) menyatakan bahwa petugas kesehatan memiliki
peran yang sangat besar dalam memberikan contoh pemberian makanan pada
anak.Sedangkan penelitian yang dilakukan Theresiana (2002) didapatkan hasil
bahwa peran bidan untuk mempromosikan ASI Ekslusif masih sangat kurang
sehingga lebih cenderung untuk peningkatan pemberian MP ASI dini.
Penelitian Ningsih (2004) menyebutkan bahwa sebanyak 58% petugas
kesehatan membolehkan pemberian makanan/minuman prelakteal sebelum ASI
38
keluar dan 82% petugas kesehatan pernah memberikan makanan/minuman
prelakteal kepada bayi baru lahir. Selain itu, 26 % petugas kesehatan setuju
untuk memberikan makanan/minuman prelakteal jika bayi menanggis dan 76%
petugas kesehatan setuju memberikan makanan/minuman prelakteal ketika ASI
ibunya belum keluar serta 28% petugas kesehatan setuju dengan pernyataan
mengenai ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi 3 hari pertama
setelah dilahirkan.
2.8 Kerangka Teori
Menurut teori Green faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang
ada tiga yakni predisposing factor, enabling factor, andreinforcing factor.Selain itu
menurut HL Blum faktor demografi juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang
dalam bertindak. Apabila dikembangkan dengan perilaku pemberian makanan
prelakteal berdasarkan teori-teori yang disebutkan di atas maka dapat dibuat
kerangka teori sebagai berikut:
39
Gambar 2.1
Kerangka Teori
Variabel Independen Variabel Dependen
Sumber: Lauwrence Green (1980) dan HL.Blum dalam Notoadmojo (2007)
PredisposingFactors:
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Tradisi
Variabel Demografi
- Umur
- Pekerjaan
- Pendidikan
EnablingFactors:
- Ketersediaan sumber daya
kesehatan (penolong
persalinan)
- Akses terhadap sumber daya
kesehatan (tempat
persalinan)
ReinforcingFactors:
- Dukungan keluarga
- Dukungan petugas
kesehatan
Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
40
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Banyak faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan prelakteal
pada bayi. Berdasarkan kerangka teori yang disebutkan pada bab sebelumnya,
variabel dependen adalah pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir,
sedangkan variabel independennya antara lain umur ibu, tingkat pendidikan ibu,
pengetahuan ibu, tradisi, sikap ibu, penolong persalinan, tempat persalinan,
dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan.
Pada penelitian ini ada faktor yang menurut teori berhubungan dengan
pemberian makanan prelakteal, namun tidak dijadikan variabel dalam penelitian ini
yaitu kepercayaan dan status pekerjaan. Dengan alasan bahwa kepercayaan
merupakan komponen dari sikap, kepercayaan ini berkembang dari adanya persepsi
yang dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan
(Allport, 1954 dalam Notoatmodjo, 2007) sedangkan sikap dan pengetahuan
dimasukkan dalam penelitian ini sehingga variabel kepercayaan diwakili oleh
variabel sikap dan pengetahuan. Variabel status pekerjaan tidak diteliti karena status
pekerjaan ibu-ibu di Desa Supat Timur pada umumnya dalam bercocok tanam
(petani). Sehingga status pekerjaan dianggap homogen. Berdasarkan uraian tersebut,
maka kerangka konsep dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
41
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN
umur
Tingkat pendidikan
Tradisi
Pengetahuan
Sikap
Penolong persalinan
Tempat persalinan
Dukungan keluarga
Dukungan petugas
kesehatan
Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
42
3.2 Definisi Operasional
Table 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel
dependen
1 pemberian
makanan
prelakteal pada
bayi baru lahir
Perilaku ibu dalam memberikan
makanan selain ASI kepada bayi
sebelum ASI keluar pada saat 1-3 hari
bayi baru lahir, seperti: air teh, air putih,
madu, air tajin, pisang, susu formula,
dan papaya.
Wawancara Kuesioner 0. Ya, jika bayi diberi
makanan prelakteal
1. Tidak, jika bayi tidak
diberikan makanan
prelakteal
Ordinal
Variabel
independen
2 Umur ibu Lama hidup responden yang dihitung
berdasarkan ulang tahun terakhir.
Wawancara Kuesioner 0. < 20 tahun atau >30 tahun
1. 20-30 tahun. (Madjid 1999,
dalam Nuryanto, 2002)
Ordinal
3 Tingkat
pendidikan
Pengalaman mengikuti pendidikan
formal dinilai berdasarkan ijazah
terakhir
Wawancara Kuesioner 0. Rendah, jika pendidikan ibu
tamat SMP
1. Tinggi, jika tamat SMA
(Hartuti, 2006)
Ordinal
43
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
4 Pengetahuan
ibu
Kemapuan reponden dalam menjawab
pertanyaan yang menggambarkan apa
yang mereka ketahui mengenai
pemberian makanan prelakteal.
Wawancara Kuesioner 0. Kurang baik, jika jawaban
yang benar <70%
1. Baik, jika jawaban yang
benar ≥70%
(Hartuti, 2006)
Ordinal
5 Tradisi sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat dalam
memberikan makanan prelakteal,
biasanya dari suatu daerah.
Wawancara Kuesioner 0. Ada tradisi
1. Tidak ada tradisi
Nominal
6 Sikap ibu Tanggapan responden yang
menunjukkan pernyatan setuju atau
tidak setuju terhadaap pemberian
makanan prelakteal
Wawancara Kuesioner 0. Sikap negatif, jika jawaban
yang benar <70%
1. Sikap positif, jika jawaban
yang benar ≥ 70% (Hartuti,
2006)
Ordinal
8 Penolong
persalinan
Tenaga yang membantu ibu dalam
melahirkan bayinya
Wawancara Kuseioner 0. Non Nakes( dukun beranak,
keluarga)
1. Nakes(bidan, perawat dan
dokter) (Amran, 2007)
Ordinal
44
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
9 Tempat
persalinan
Tempat dimana ibu melahirkan bayinya Wawancara Kuseioner 0. Melahirkan bukan di sarana
kesehatan meliputi (rumah
sendiri atau rumah orang
lain)
1. Melahirkan di sarana
kesehatan (puskesmas,
rumah sakit, rumah bersalin,
praktik dokter, praktik
bidan) (Nuryanto, 2002).
Ordinal
10 Dukungan
keluarga
Dorongan yang diberikan oleh orang-
orang terkait dalam perkawinan, ada
hubungan darah atau adopsi dan tinggal
dalam satu rumah kepada ibu, untuk
memberikan makanan prelakteal.
Wawancara Kuesioner 0. Ya, jika keluarga
mendukung untuk
memberikan makanan
prelakteal
1. Tidak jika keluarga tidak
mendukung untuk
memberikan makanan
prelakteal
Nominal
11 Dukungan
petugas
kesehatan
Dorongan yang didapat ibu dari petugas
kesehatan dalam memberikan makanan
prelakteal
Wawancara Kuesioner 0. Ya, jika petugas kesehatan
mendukung untuk
memberikan makanan
prelakteal
1. Tidak, jika petugas
kesehatan tidak mendukung
untuk memberikan makanan
prelakteal
Nominal
45
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan umur ibu dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak pada
bayi baru lahir di Desa Supat Timur, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan tahun 2011.
2. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pemberian makanan prelakteal
atau tidak pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur, Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan tahun 2011.
3. Ada hubungan tradisi ibu dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak pada
bayi baru lahir di Desa Supat Timur, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan tahun 2011.
4. Ada hubungan pengetahuan dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak
pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan tahun 2011.
5. Ada hubungan sikap dengan pemberian makanan prelakteal atau tidak pada bayi
baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan
tahun 2011.
6. Ada hubungan penolong persalinan ibu dengan pemberian makanan prelakteal
atau tidak pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera
selatan tahun 2011
7. Ada hubungan tempat persalinan ibu dengan pemberian makanan prelakteal atau
tidak pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera
Selatan tahun 2011.
46
8. Ada hubungan dukungan keluarga dengan pemberian makanan prelakteal atau
tidak pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan tahun 2011.
9. Ada hubungan dukungan petugas kesehatan dengan pemberian makanan
prelakteal atau tidak pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur, Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
47
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif
dengan menggunakan rancagan penelitian deskriptif analitik, penelitian ini
menggunakan desain cross sectional study yaitu mencari faktor-faktor yang
berhubungan dengan variabel independen (umur, tingkat pendidikan, tradisi,
pengetahuan, sikap, penolong persalinan, tempat persalinan, dukungan keluarga, dan
dukungan petugas kesehatan) dengan variabel dependen (pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir) diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan pada bulan Mei-Agustus tahun 2011.
48
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi usia 0-6 bulan yang
tinggal di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan
pada saat penelitian dilakukan.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah bayi usia 0-6 bulan. Jumlah
sampel dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda 2 proporsi
(Ariawan, 1998). Dengan asumsi dari penelitian sebelumnya yaitu proporsi
ibu yang penolong persalinan di bantu oleh dukun yang memberikan
makanan prelakteal sebesar 85,7% dan proporsi ibu yang penolong
persalinan di bantu oleh bidan yang memberikan makanan prelakteal sebesar
62,0% Megawati (2002). Pada penelitian ini peneliti menginginkan tingkat
kepercayaan sebesar 95% dengan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji
80%.
Perhitungan Besar Sampel
n = 𝑍 1−𝛼/2 2𝑃 1−𝑃 + 𝑍 1−𝛽 𝑃1 1−𝑃1 + 𝑃2(1−𝑃2)
(𝑃1−𝑃2)2
Keterangan:
n = besar sampel
2
49
Z 1-α/2 = derajat kepercayaan 95% atau 0,05
Z 1-B = kekuatan uji 80% yaitu 0,84
P = Proporsi rata-rata (P1-P2)/2)
P 1 = Proporsi ibu yang penolong persalinan di bantu oleh dukun
yang memberikan makanan prelakteal sebanyak 86,7%
P2 = Proporsi ibu yang penolong persalinan di bantu oleh bidan yang
memberikan makanan prelakteal sebanyak 62,0%.
Berdasarkan hasil perhitungan dari rumus uji hipotesis beda 2
proporsi didapatkan jumlah sampel 48 orang karena rumus yang digunakan
beda 2 proporsi maka dikalikan 2 sehingga sampel menjadi 96. Karena
jumlah populasi ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan yang ada kurang
dari jumlah sampel, maka digunakan sampel jenuh. Sehingga sampel yang
digunakan merupakan keseluruhan dari populasi ibu-ibu yang mempunyai
bayi usia 0-6 bulan di Desa Supat Timur yaitu sebanyak 74 responden.
4.4 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode simple
random sampling (sampel acak sederhana) yang memenuhi kriteria inklusi sampel
penelitian. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud yaitu:
1. Bayi usia 0-6 bulan
2. Tinggal di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan.
50
4.5 Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer
diperoleh melalui wawancara kepada responden dengan daftar pertanyaan yang
sudah disusun secara terstruktur, data primer yang akan dikumpulkan yaitu
mencakup (umur, tingkat pendidikan, tradisi, pengetahuan, sikap, penolong
persalinan, tempat persalinan, dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan).
Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti sendiri.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk pengumpulan
data. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner atau daftar
pertanyaan tertutup dan terbuka yang diisi oleh responden. Kuesioner yang dibuat
mencakup beberapa variabel yang diteliti, yaitu variabel dependen dan variabel
independen. Variabel dependen yaitu pemberian makanan prelakteal, sedangkan
variabel independennya adalah umur, tingkat pendidikan, tradisi, pengetahuan,
sikap, penolong persalinan, tempat persalinan, dukungan keluarga, dan dukungan
petugas kesehatan yang berkaitan dengan pemberian makanan prelakteal. Isi dari
kuesioner memuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan variabel dependen
dan variabel independen yang berupa faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
4.7 Uji Validitas dan Reabilitas
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan uji
coba. Pertanyaan-pertanyaan setiap variabel dalam kuesioner yang telah diisi
51
dilakukan uji validitas dan uji reabilitas. Uji coba kuesioner dilakukan kepada ibu-
ibu yang memiliki karakteristik serupa dengan ibu-ibu yang menjadi responden
dalam penelitian ini.
Dari hasil uji coba kuesioner didapatkan hasil bahwa masih ada pertanyaan
yang tidak valid. Untuk pertanyaan yang tidak valid tetap dimasukkan kedalam
pertanyaan penelitian namun sebelumnya dilakukan validasi isi dengan cara
memperbaiki pertanyaan yang tidak jelas dengan membuat kalimat yang singkat dan
jelas sesuai dengan isi atau makna pertanyaan, validitas ini dilakukan dengan
membaca literatur atau kepustakaan.
Tabel 4.1
Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner
Variabel No
Nilai r Hitung Alpha
Cronbach
0,374
Nilai r
Tabel
0,378
Keterangan
Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
Pengetahuan Ibu
Tentang ASI
Ekslusif
1 0.434 0.846 Valid Valid
2 0.253 0.407 Tidak Valid Valid
3 0.864 0.881 Valid Valid
4 0.434 0.846 Valid Valid
5 0.451 0.463 Valid Valid
6 0.451 0.463 Valid Valid
7 0.824 0.846 Valid Valid
8 0.451 0.463 Valid Valid
9 0.368 0.393 Valid Valid
10
0.287
0.383
Tidak Valid
Valid
52
Variabel No
Nilai r Hitung Alpha
Cronbach
0,374
Nilai r
Tabel
0,374
Keterangan
Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
Sikap Ibu Tentang
Pemberian Makanan
Prelakteal
1 0.434 0.846 Valid Valid
2 0.241 0.383 Tidak Valid Valid
3 0.824 0.846 Valid Valid
4 0.864 0.881 Valid Valid
5 0.824 0.846 Valid Valid
6 0.864 0.881 Valid Valid
7 0.824 0.846 Valid Valid
8 0.241 0.463 Tidak Valid Valid
9 0.453 0.482 Valid Valid
10 0.241 0.383 Tidak Valid Valid
4.8 Pengolahan Data
Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, beberapa
tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui.
1. Editing
Merupakan kegiatan pengecekan isi kuesioner, memastikan isi kuesioner
yang ada sudah lengkap jawabannya (diisi semua), jelas terbaca, relevan dan
konsisten.
2. Coding
Sebelum dimasukkan ke komputer, dilakukan proses pemberian kode pada
setiap variabel yang telah terkumpul. Pengkodean data ini didasarkan pada
kategori yang telah dibuat untuk memudahkan dalam pengolahan
selanjutnya.Untuk variabel dependen yaitu pemberian makanan prelakteal (0 =
Ya, jika bayi diberi makanan prelakteal dan 1 = Tidak, jika bayi tidak diberikan
makanan prelakteal). Untuk variabel independen yaitu:
53
a. Umur (0 = jawaban <20 dan >30 dan 1 = jawaban 20-30)
b. Tingkat pendidikan (0 = Rendah, jika pendidikan ibu ≤ tamat SMP dan 1 =
Tinggi, jika ≥ tamat SMA)
c. Tradisi (0 = Ada, jika ada tradisi dan 1 = Tidak ada, jika tidak ada tradisi)
d. Pengetahuan ibu (0 = Kurang baik, jika jawaban yang benar < 70% dan 1 =
Baik, jika jawaban yang benar ≥70%)
e. Sikap ibu (0 = Sikap negatif, jika jawaban yang benar < 70% dan 1 = Sikap
positif, jika jawaban yang benar ≥ 70%)
f. Penolong persalinan (0 = non nakes (dukun beranak, keluarga) dan 1 = nakes
(bidan, perawat dan dokter))
g. Tempat persalinan (0 = Melahirkan bukan di sarana kesehatan (rumah sendiri
atau rumah orang lain) dan 1 = melahirkan di sarana kesehatan (puskesmas,
rumah sakit, rumah bersalin, praktik dokter, praktik bidan)
h. Dukungan keluarga (0 = Ya, jika keluarga mendukung untuk memberikan
makanan prelakteal dan 1 = Tidak jika keluarga tidak mendukung untuk
memberikan makanan prelakteal)
i. Dukungan petugas kesehatan (0 = Ya, jika petugas kesehatan mendukung
untuk memberikan makanan prelakteal dan 1 = Tidak, jika petugas kesehatan
tidak mendukung untuk memberikan makanan prelakteal)
3. Entry
Meng-entry data dari kuesioner ke dalam program computerisasi.
4. Cleaning
54
Pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk memastikan bahwa
tidak ada kesalahan pada data tersebut. baik dalam pengkodean maupun dalam
membaca kode. Dengan demikian data telah siap dianalisis.
4.9 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini berupa analisis univariat dan bivariat
1. Analisi univariat
Analisis univariat merupakan suatu analisis untuk mendiskripsikan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran distribusi frekuensi responden dan proporsi dari tiap-tiap
variabel yang diteliti, yaitu variabel dependen dan independen yang dibuat dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi dan diinterpretasikan secara deskriptif.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat apakah ada atau tidak adanya
hubungan antara variabel independen yaitu (umur ibu, tingkat pendidikan ibu,
tradisi, pengetahuan ibu, sikap, penolong persalinan, tempat persalinan,
dukungan keluarga, dan dukungan petugas kesehatan) dengan variabel dependen
(pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir). Analisis bivariat ini
menggunakan uji statistik chi-square dengan derajat kemaknaan 95%, bila P-
value <0,05 maka secara statistic signifikan hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Sebaliknya, jika P-value >0,05 maka
secara statistik tidak signifikan hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen.
55
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis univariat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir, umur dan tingkat pendidikan ibu, tradisi,
pengetahuan, sikap, penolong persalinan, tempat persalinan, dukungan keluarga dan
dukungan petugas kesehatan dan hubungannya dengan pemberian makanan
prelaktealdi Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan oleh
karena itu pada tabel ini adalah hasil analisis univariat tentang hal tersebut.
5.1.1 Gambaran Pemberian Makanan Prelakteal
Tabel 5.1
Distribusi Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Baru lahir
di Desa Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Pemberian Makanan Prelakteal Frekuensi
n %
Ya 73 76,0
Tidak 23 24,0
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui sebagian
besar (76,0%) ibu memberikan makanan prelakteal. Sisanya (24,0%) ibu tidak
memberikan makanan prelakteal.
56
Tabel 5.2
Distribusi Jenis Makanan yang diberikan pada Bayi Baru lahir
di Desa Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Jenis Makanan Frekuensi
n %
Madu 60 62,5
Susu Formula 14 14,6
ASI saja 22 22,9
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui sebagian
besar (62,5%) jenis makanan prelakteal yang diberikan kepada bayi yang baru
lahir berupa madu, sedangkan ibu yang memberikan susu formula sebesar
(14,6%) dan hanya (22,9%) ibu yang memberikan ASI saja pada bayinya yang
baru lahir.
Tabel 5.3
Distribusi Alasan Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Baru lahir
di Desa Supat Timur Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Alasan Pemberian Makanan Prelakteal Frekuensi
n %
Orang tua/Mertua yang menganjurkan 36 37,5
ASI belum keluar 23 24,0
Bidan atau perawat yang menganjurkan 10 10,4
Payudara bengkak 4 4,2
Total 73 76,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 73 ibu yang memberikan
makanan prelakteal diketahui alasan ibu memberikan makanan prelakteal
karena orang tua/mertua yang menganjurkan yaitu sebesar 37,5%, 24,0%
karena ASI belum keluar, sebanyak 10,4% ibu memberikan makanan
57
prelakteal karena anjuran dari bidan/perawat dan 4,2% ibu memberikan
makanan prelakteal karena payudara bengkak.
5.1.2 Gambaran Umur Ibu
Umur ibu dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu < 20 atau
>30 tahun dan 20-30 tahun. Adapun gambaran umur ibu di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu yang
Memiliki Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Umur Ibu Frekuensi
n %
<20 atau >30 41 42,7
20-30 55 57,3
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui sebagian
besar (57,3%) ibu berumur 20-30 tahun, sisanya sebanyak (42,7%) ibu
berumur <20 atau >30 tahun.
5.1.3 Gambaran Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua
yaitu rendah dan tinggi. Adapun gambaran tingkat pendidikan ibu di Desa
Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dapat dilihat pada
tabel 5.5
58
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu yang
Memiliki Baru lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Tingkat Pendidikan Ibu Frekuensi
n %
Rendah 58 60,4
Tinggi 38 39,6
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui 60,4%
ibu berpendidikan rendah (tamat SMP ke bawah), sisanya 39,6% ibu
berpendidikan tinggi (tamat SMA ke atas).
5.1.4 Gambaran Tradisi Pemberian Makanan Prelakteal
Tradisi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kebiasaan dari ibu
dalam memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir yang dilakukan
sejak lama secara turun temurun.Tradisi ibu dalam penelitian ini
dikategorikkan menjadi dua yaitu ada tradisi dan tidak ada tradisi. Adapun
gambaran tradisi pemberian makanan prelakteal di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dapat dilihat pada tabel 5.6
Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Tradisi Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Tradisi Ibu Frekuensi
n %
Ada 58 60,4
Tidak Ada 38 39,6
Total 96 100
Sumber: Data Primer
59
Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui sebagian
besar (60,4%) ibu mempunyai tradisi memberikan makanan prelakteal pada
bayi baru lahir, sisanya (39,6%) ibu yang tidak mempunyai tradisi memberikan
makanan prelakteal.
5.1.5 Gambaran Pengetahuan Ibu
Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu
tentang pemberian makanan prelakteal.Pengetahuan dalam penelitian ini
dikategorikkan menjadi dua yaitu kurang baik dan baik. Adapun gambaran
pengetahuan ibu di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera
Selatan, dapat dilihat pada tabel 5.7
Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Ibu tentang Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Pengetahuan ibu Frekuensi
n %
Kurang baik 55 57,3
Baik 41 42,7
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui 57,3%
ibu berpengetahuan kurang baik tentang pemberian makanan prelakteal pada
bayi baru lahir, sedangkan sisanya 42,7% ibu yang berpengetahuan baik.
60
5.1.6 Gambaran Sikap Ibu
Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap ibu tentang
pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir.Sikap dalam penelitian ini
dikategorikkan menjadi dua yaitu sikap negatif dan sikap positif. Adapun
gambaran sikap ibu tentang pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir
di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dapat
dilihat pada tabel 5.8
Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Ibu tentang Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru lahir di Desa Supat
Timur Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Sikap Ibu Frekuensi
n %
Sikap Negatif 70 72,9
Sikap Positif 26 27,1
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui sebagian
besar (72,9%) ibu mempunyai sikap negatif terhadap pemberian makanan
prelakteal, sisanya (27,1%) ibu mempunyai sikap positif tehadap pemberian
makanan prelakteal.
5.1.7 Gambaran Penolong Persalinan
Penolong persalinan adalah orang yang membantu ibu pada saat
melahirkan bayinya.Penolong persalinan dalam penelitian ini dikategorikkan
menjadi dua yaitu nakes (bidan, dokter, dan perawat) dan non nakes (dukun
61
beranak/paraji dan keluarga). Adapun gambaran penolong persalinan di Desa
Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dapat dilihat pada
tabel 5.9
Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Penolong Persalinan
pada Saat Melahirkan Bayi di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Penolong Persalinan Frekuensi
n %
Non Nakes 7 7,3
Nakes 89 92,7
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui 92,7%
ibu yang penolong persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, perawat
dan dokter) dan hanya 7,3% ibu yang melahirkan bayinya dibantu oleh non
tenaga kesehatan (dukun /paraji, keluarga).
5.1.8 Gambaran Tempat Persalinan
Tempat persalinan adalah sarana yang digunakan ibu pada saat
melahirkan bayinya. Tempat persalinan dalam penelitian ini dikategorikkan
menjadi dua yaitu di sarana kesehatan (puskesmas, rumah sakit, rumah
bersalin, praktik dokter, praktik bidan) dan di non sarana kesehatan (rumah
sendiri atau rumah orang lain). Adapun gambaran tempat persalinan ibu di
Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dapat dilihat
pada tabel 5.11
62
Tabel 5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Persalinan
pada Saat Melahirkan Bayi di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011
Tempat Persalinan Frekuensi
n %
Non Sarana Kesehatan 92 95,8
Sarana Kesehatan 4 4,2
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.10 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui
sebagian besar (95,8%) ibu melakukan persalinan bukan di sarana kesehatan
(rumah sendiri atau rumah orang lain), sisanya (4,2%) ibu malakukan
persalinan di sarana kesehatan (puskesmas, rumah sakit, rumah bersalin,
praktik dokter, praktik bidan).
5.1.9 Gambaran Dukungan keluarga
Dukungan keluarga adalah dorongan yang diberikan oleh keluarga untuk
memberikan makanan prelakteal.Dukungan keluarga dalam penelitian ini
dikategorikkan menjadi dua yaitu mendukung dan tidak mendukung. Adapun
gambaran dukungan keluarga di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan, dapat dilihat pada tabel 5.11
63
Tabel 5.11
Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga tentang
Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Baru lahir di Desa
Supat Timur Musi Banyausin Sumatera Selatan 2011
Dukungan Keluarga Frekuensi
n %
Mendukung 51 53,1
Tidak Mendukung 45 46,9
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.11 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui 53,1%
ibu mendapatkan dukungan keluarga untuk memberikan makanan prelakteal,
sisanya 46,9% ibu tidak mendapatkan dukungan keluarga untuk memberikan
makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
5.1.10 Gambaran Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
dorongan yang diberikan oleh petugas kesehatan untuk memberikan makanan
prelakteal.Dukungan petugas kesehatan dalam penelitian ini dikategorikkan
menjadi dua yaitu mendukung dan tidak mendukung. Adapun gambaran
dukungan petugas kesehatan di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan, dapat dilihat pada tabel 5.12
64
Tabel 5.12
Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas Kesehatan
tentang Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Baru lahir di
Desa Supat Timur Musi Banyausin Sumatera Selatan 2011
Dukungan Petugas Kesehatan Frekuensi
n %
Mendukung 49 51,0
Tidak Mendukung 47 49,0
Total 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.12 menunjukkan bahwa dari 96 ibu diketahui 51,0%
ibu mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk memberikan
makanan prelakteal pada bayi baru lahir, sisanya 49,0% ibu tidak mendapat
dukungan dari petugas kesehatan.
5.2 Analisis Bivariat
5.2.1 Hubungan Umur Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi
Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara umur ibu dengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
65
Tabel 5.13
Analisis Hubungan Umur Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal pada
Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Musi Banyuasin
Sumatera Selatan Tahun 2011
Kelompok
Umur Ibu
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
<20atau >30 31 75,6 10 24,4 41 100
1,000
20-30 42 76,4 13 23,6 55 100
73 76,0 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.13 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa antara
kelompok umur ibu <20 atau >30 tahun yang memberikan makanan prelakteal
pada bayinya baru lahir itu jumlahnya tidak jauh berbeda dengan kelompok
umur ibu 20-30 tahun,yaitu dari 41 ibu berumur <20 atau >30 tahun, 75,6%
memberikan makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir. Sedangkan dari 55
ibu kelompok umur 20-30 tahun sebanyak 76,4% yang memberikan makanan
prelakteal pada bayinya yang baru lahir, dan berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh P-value =1,000, artinya tidak ada hubungan antara umur dengan
pemberian makanan prelakteal.
5.2.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
66
Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 5.14
Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011
Tingkat
Pendidikan
Pemberian Makanan Prelakteal Total
P-value Ya Tidak
n % n % n %
Rendah 51 87,9 7 12,1 58 100
0,002
Tinggi 22 57,9 16 42,1 38 100
Total 73 76,0 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.14 hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari 58
ibu yang berpendidikan rendah (tamat SMP ke bawah) sebanyak 87,9%
memberikan makanan prelakteal. Sedangkan dari 38 ibu berpendidikan tinggi
(tamat SMA ke atas) sebanyak 57,9% memberikan makanan prelakteal pada
bayi yang baru lahir. Dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh P-value =
0,002, artinya ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian makanan
prelakteal
5.2.3 Hubungan Tradisi dengan Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi
Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara tradisi dengan pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
67
Tabel 5.15
Analisis Hubungan Tradisi dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Musi Banyuasin
Sumatera Selatan Tahun 2011
Tradisi
Pemberian Makanan Prelakteal total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Tadisi 51 87,9 7 12,1 58 100
0,002
Tidak tradisi 22 57,9 16 42,1 38 100
Total 73 76,0 23 24,0 96 100,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.15 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
58 ibu yang mempunyai tradisi memberikan makanan prelakteal sebanyak
87,9% yang memberikan makanan prelakteal. Sedangkan dari 38 ibu tidak
mempunyai tradisi dalam memberikan makanan prelakteal sebanyak 57,9%
memberikan makanan prelakteal, dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh
P-value = 0,002, artinya ada hubungan antara tradisi dengan pemberian
makanan prelakteal.
5.2.4 Hubungan Pengetahuan ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal pada
Bayi Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
68
Tabel 5.16
Analisis Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Musi BanyuasinSumatera Selatan Tahun 2011
Pengetahuan
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Kurang Baik 50 90,9 5 9,1 55 100
0,000
Baik 23 56,1 18 43,9 41 100
Total 73 74,3 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.16 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
55 ibu yang mempunyai pengetahuan kurang baik tentang pemberian makanan
prelakteal sebanyak 90,9% memberikan makanan prelakteal. Sedangkan dari
23 ibu yeng berpengetahuan baik 56,1% yang memberikan makanan prelakteal
pada bayi baru lahir, dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh P-value =
0,000, artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian makanan
prelakteal.
5.2.5 Hubungan Sikap Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi
Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
69
Tabel 5.17
Analisis Hubungan Sikap Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur Musi Banyuasin
Sumatera Selatan Tahun 2011
Sikap Ibu
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Sikap Negatif 54 77,1 16 22,9 70 100
0,884
Sikap Positif 19 73,1 7 26,9 26 100
Total 73 76,0 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.17 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
70 ibu yang mempunyai sikap negatif terhadap pemberian makanan prelakteal
sebanyak 77,1% memberikan makanan prelakteal. Sedangkan dari 26 ibu yang
mempunyai sikap positif 73,1% yang memberikan makanan prelakteal, dan
berdasarkan hasil uji statistik diperoleh P-value = 0,884, artinya tidak ada
hubungan antara sikap dengan pemberian makanan prelakteal.
5.2.6 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara penolong persalinan dengan
pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat
dengan menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
70
Tabel 5.18
Analisis Hubungan Penolong persalinan dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011
Penolong
Persalinan
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Non Nakes 5 71,4 2 28,6 7 100
0,672
Nakes 68 76,4 21 23,6 89 100
Total 73 76,0 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.18 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
89 ibu yang persalinannya yang dibantu oleh tenaga kesehatan (bidan, perawat,
dokter) sebanyak 76,4% memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Sedangkan dari 7 ibu yang persalinannya dibantu non tenga kesehatan (dukun
beranak/paraji, keluarga) sebanyak 71,4% yang memberikan makanan
prelakteal, dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh P-value = 0,672, artinya
tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan pemberian makanan
prelakteal.
5.2.7 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara tempat persalinandengan pemberian
makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
71
Tabel 5.19
Analisis Hubungan Tempat Persalinan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011
Tempat
Persalinan
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Non Sarana
Kesehatan 71 77,2 21 22,8 92 100
0,242
Sarana
Kesehatan 2 50,0 2 50,0 4 100
Total 73 76,0 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.19 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
92 ibu yang melakukan persalinan di tempat non sarana kesehatan (rumah
sendiri atau rumah orang lain) 77,2% memberikan makanan prelakteal.
Sedangkan dari 4 ibu yang melakukan persalinan di sarana kesehatan
(puskesmas, rumah sakit, rumah bersalin, praktik dokter, praktik bidan)
sebanyak 50,0% yang memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh P-value = 0,242, artinya tidak ada
hubungan antara tempat persalinan dengan pemberian makanan prelakteal.
5.2.8 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan
pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat
dengan menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
72
Tabel 5.20
Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011
Dukungan
Keluarga
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Mendukung 34 66,7 17 33,3 51 100
0,040
Tidak
Mendukung
39
86,7
6
13,3
45
100
Total 73 76,0 23 24,0 96 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.20 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
51 ibu yang mendapat dukungan dari keluarga untuk memberikan makanan
prelakteal sebanyak 66,7% memberikan makanan prelakteal. Sedangkan dari
45 ibu yang tidak mendapatkan dukungan keluarga sebanyak 86,7% yang
memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir. Dan berdasarkan hasil
uji statistik diperoleh P-value = 0,040, artinya ada hubungan antara dukungan
keluarga dengan pemberian makanan prelakteal.
5.2.9 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Untuk mengetahui hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan
pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2011 dilakukan analisis bivariat
dengan menggunakan uji Chi-square yang disajikan pada tabel berikut ini:
73
Tabel 5.21
Analisis Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa Supat Timur
Musi Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2011
Dukungan
Petugas
Kesehatan
Pemberian Makanan Prelakteal Total P-
value Ya Tidak
n % n % n %
Mendukung 40 81,6 9 18,4 49 100
0,284
Tidak
Mendukung 33 70,2 14 29,8 47 100
Total 73 76,0 19 25,7 74 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 5.21 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari
49 ibu yang mendapatkan dukungan petugas kesehatan untuk memberikan
makanan prelakteal sebanyak 81,6% yang memberikan makanan prelakteal.
Sedangkan dari 47 ibu yang tidak mendapatkan dukungan petugas kesehatan
sebanyak 70,2% yang memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh P-value = 0,284, artinya ada
hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan pemberian makanan
prelakteal.
74
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Gambaran Pemberian Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir di Desa
Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan
Menurut Depkes (2010), makanan prealakteal adalah makanan yang
diberikan kepada bayi sebelum ASI keluar, jenis-jenis makanan tersebut antara lain:
air kelapa, air tajin, madu, pisang, nasi yang dikunyah ibunya, papaya, dan susu
formula. Pemberian maknan prelakteal berbahaya bagi bayi karena saluran
pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna makanan dan minuman selain
ASI.
Menurut Suhardjo (1992) makanan prelakteal adalah makanan yang
diberikan kepada bayi sebelum diberikan ASI. Makanan prelakteal diberikan pada 1-
3 hari pertama setelah kelahiran, makanan yang umum diberikan pada masa
prelakteal tersebut adalah madu, kelapa muda, pisang dihaluskan, papaya dihaluskan,
air gula bahkan di Jawa Timur sebagian ada ibu-ibu yang memberikan susu sapi
sebagai makanan prelakteal, di Nusa Tenggara barat ibu-ibu Suku Sasak juga
memberikan nasi papak, nasi masam, bubur tepung dan teh kepada bayi baru lahir,
selain itu sebagian ibu-ibu Suku Bali memberikan susu bubuk sebelum mulai
memberikan ASI.
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Supat Timur Kabupaten Musi
Banyuasin Sumatera Selatan tahun 2011, jawaban bahwa ibu yang memberikan
75
makanan prelakteal kepada bayinya yang baru lahir sebesar 76,0%. Sisanya 24,0%
ibu tidak memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir. Hasil penelitian ini
sama dengan penelitian Megawati (2002) di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor
Selatan Jawa Barat yang menyatakan 72,5% ibu memberikan makanan prelakteal
pada bayinya yang baru lahir. Selain itu penelitian yang dilakukan Theresenia (2002)
di Tangerang menunjukkan bahwa sebanyak 74,9% ibu memberikan makanan
prelakteal pada bayi baru lahir. Selain itu, penelitian Widodo (2001) yang dilakukan
di Jawa Tengah dan Jawa Barat menunjukkan bahwa 77% responden memberikan
makanan prelakteal kepada bayi baru lahir. Sedangkan penelitian Sinambella (2000),
bahwa pemberian makanan prelakteal yang dilakukan di Kecamatan Cijeruk
Kabupaten Bogor sebanyak 83,3% responden.
Jika dilihat dari hasil penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan
Megawati di Jawa Barat, penelitian Theresiana di Kabupaten Tangerang, Sinambella
di Kabupaten Bogor, Widodo di Jawa Barat dan Jawa Tengah tentang pemberian
makanan prelakteal memperlihatkan bahwa pemberian makanan prelakteal masih
banyak dilakukan, Seharusnya pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir
seperti pada penelitian tersebut tidak perlu dilakukan karena makanan ini kurang
tepat untuk bayi yang baru lahir karena sistem pencernaan bayi belum siap untuk
mencerna makanan tersebut, selain itu pemberian makanan prelakteal tersebut dapat
menyebabkan kegagalan ibu dalam memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya.
76
Sebagaimana menurut Siregar (2004), bahwa pemberian makanan prelakteal
itu dapat menimbulkan bahaya seperti:
1. Untuk bayi
a. Bayi bisa tidak mau menghisap dari payudara karena pemberian makanan ini
menghentikan rasa laparnya.
b. Diare sering terjadi karena makanan ini mungkin tercemar, juga bila bayi
tidak menghisap payudara maka tidak akan mendapat susu jolong
(kolostrum).
c. Bila yang diberikan susu sapi, alergi sering terjadi.
d. Bayi kebingungan menghisap puting susu bila pemberian makanannya lewat
botol.
2. Untuk ibu
a. ASI keluar lebih lama karena bayi tidak cukup menghisap
b. Bendungan dan mastitis lebih mungkin terjadi karena payudara tidak
mengeluarkan ASI, dan
c. Ibu sulit menyusui dan cenderung berhenti menyusui
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa dari 73 ibu yang
memberikan makanan prelakteal 37,5% menyatakan bahwa orang tua/mertua yang
menganjurkan untuk memberikan makanan prelakteal, 24,0% ibu menyatakan ASI
belum keluar, 10,4% ibu menyatakan bidan atau perawat yang menganjurkan dan
4,2% ibu menyatakan payudara bengkak. Demikian banyak alasan ibu memberikan
77
makanan prelakteal, padahal perilaku memberikan makanan prelakteal merupakan
perilaku yang salah dalam memberikan makanan pada bayi. Karena menurut
Moehyi (2008), hanya dengan diberi ASI saja tanpa makanan lain, bayi mampu
tumbuh dan berkembang dengan baik sampai usia 6 bulan.
Hasil penelitian Theresiana (2002), menunjukkan bahwa alasan ibu
memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir karena bayi menangis terus
sebesar 60,2%, sebanyak 17,2% karena air susu ibu belum keluar lancar, 12,9%
karena takut bayi lapar, dan sebanyak 9,7% ibu memberikan makanan prelakteal
karena tradisi keluarga.
Orang tua/mertua yang mendorong ibu untuk memberikan makanan
prelakteal karena orang tua/mertua dianggap telah berpengalaman dalam merawat
anak dan mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anak.Selain itu
terhambatnya pengeluaran ASI akibat payudara yang bengkak juga mendorong ibu
untuk memberikan makanan prelakteal.Pemberian makanan prelakteal ini tidak
perlu dilakukan karena makanan ini dapat berbahaya bagi kesehatan bayi karena
dapat menyebabkan penyakit infeksi ataupun dapat mengganggu sistem pencernaan
pada bayi.
Menurut Depkes RI (2007), makanan prelakteal ini berbahaya karena
makanan ini dapat menggantikan kolostrum sebagai makanan bayi yang paling awal.
Bayi mungkin terkena diare, septicemia dan meningitis, bayi lebih mungkin
78
menderita intoleransi terhadap protein di dalam susu formula tersebut, serta alergi
misalnya eksim. Makanan prelakteal mengganggu hisapan bayi rasa lapar bayi
terpuaskan, sehingga bayi menyusu lebih sedikit, bila bayi diberi minuman dari botol
dan dot, maka bayi lebih sulit melekat pada payudara (bingung puting), bayi akan
kurang menyusu dan merangsang payudara dan ASI memerlukan waktu lebih lama
untuk keluar, hal ini mempersulit pemantapan menyusui. Meskipun bayi
mendapatkan asupan prelakteal sedikit, ibu kemungkinan besar akan mengalami
masalah seperti pembengkakan payudara. Akibatnya, kegiatan menyusui
kemungkinan besar akan berhenti lebih awal dibandingkan bila bayi disusui ekslusif
sejak lahir.
Pada dasarnya, dalam keadaan normal bayi baru lahir itu tidak perlu
diberikan makanan prelakteal karena 3-4 hari setelah kelahirannya bayi masih
mempunyai cadangan makanan dalam tubuhnya dan dapat bertahan untuk memenuhi
kebutuhan gizi yang dibutuhkannya, sehingga jika ibu pada awal kelahiran bayinya,
seorang ibu tidak perlu memberikan makanan prelakteal dengan alasan takut bayinya
lapar. Hal ini didukung oleh pendapat Perinasia (1990) yang menyatakan bahwa
dalam keadaan normal, bayi tidak memerlukan air atau makanan lain selama 2-4 hari
pertama setelah lahir, karena cadangan tenaga dan air yang di bawah sejak lahir
cukup untuk pertahanan bayi pada hari-hari pertama kehidupan, sementara proses
menyusui belum mantap, sehingga dianjurkan untuk meletakkan bayi di lingkungan
79
yang cukup hangat, tetapi tidak terlalu kering, untuk mencegah kehilangan cairan
melalui keringat
Dari hasil penelitian ini diperoleh pula gambaran jenis makanan prelakteal
yang diberikan ibu kepada bayi yang baru lahir yaitu madu 62,5% dan susu formula
14,6% sedangkan ibu yang memberikan ASI saja 22,9%. Pemberian makanan
prelakteal pada bayi tidak perlu dilakukan karena makanan terbaik untuk bayi baru
lahir sampai dengan usia 6 bulan yaitu hanya ASI saja. Karena ASI dapat memenuhi
kebutuhan untuk tumbuh secara optimal samapai 6 bulan, selain itu ASI
mengandung limfosit dan antibodi yang dapat mencegah bayi terinfeksi penyakit
tertentu.
Menurut Depkes RI (2010), bahwa makanan yang tepat untuk bayi usia 0-6
bulan hanya ASI saja. Lebih lanjut Roesli (2000) mengungkapkan bahwa ASI
merupakan makanan tunggal akan mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan usia 6
bulan. Setelah 6 bulan, bayi harus mulai mendapatkan makanan padat, sedangkan
pemberian ASI tetap dapat dilanjutkan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih.
Beradasarkan hasil penelitian Theresiana di Kabupaten Tangerang (2002),
bahwa jenis makanan yang diberikan pada bayi baru lahir sebanyak 43,3% ibu
memberikan susu formula, 36,6% ibu memberikan madu, air gula dan air tebu,
sebanyak 7,15% ibu memberikan pisang, ibu yang memberikan air putih, the, kopi,
80
dan air tajin sebanyak 6,7%, sedangkan ibu yang memberikan makanan prelakteal
berupa roti, tape dan biskuit sebanyak 6,25%
6.2 Analisis Hubungan antara Umur ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Tidak semua wanita sama dalam menyusui. Sebagian mempunyai
kemampuan yang lebih besar dari pada yang lain. Pada umumnya wanita yang lebih
muda kemampuannya lebih baik dari yang tua.Salah satu faktor penyebabnya adalah
adanya perkembangan kelenjar yang matang pada pubertas dan fungsinya yang
berubah sesudah kelahiran bayi (Ebrahim, 1978).
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan p-value = 1,000 artinya tidak
terdapat hubungan antara umur ibu dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi
baru lahir. Hal ini dapat terjadi karena proporsi antara ibu pada kelompok umur 20-
30 tahun dengan ibu pada kelompok umur <20 atau >30 tahun tidak jauh berbeda
dalam memberikan makanan prelakteal. Dengan kata lain ibu yang berumur 20-30
tahun yang mempunyai peluang yang baik dalam memberikan ASI pada
kenyataanya juga memberikan makanan prelakteal pada bayinya yang baru lahir. Hal
ini dibuktikan dari hasil analisis bivariat didapatkan proporsi dari 41 (42,7%) ibu
berumur <20 atau >30 tahun 75,6% memberikan makanan prelakteal pada bayi yang
baru lahir, Sedangkan proporsi dari 55 (57,3%) ibu kelompok umur 20-30 tahun
sebanyak 76,4% yang memberikan makanan prelakteal pada bayinya yang baru
lahir,
81
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya ibu yang berumur <20
atau > 30 saja yang memberikan makanan prelakteal, akan tetapi ibu yang berusia
20-30 tahun juga berpeluang memberikan makanan prelakteal pada bayinya yang
baru lahir, meskipun pada rentang usia 20-30 tahun tersebut ibu mempunyai peluang
dan keadaan biologis yang baik untuk menyusui. Seperti yang diungkapkan oleh
(Madjid, 1999 dalam Nuryanto, 2002) yang menyatakan bahwa kurun waktu 20-30
tahun secara biologis merupakan usia paling aman untuk reproduksi karena terjadi
kematangan pertumbuhan organ genitalia interna dan perkembangan hormonal yang
stabil sehingga air susu ibu masih dapat diperoduksi.
Ternyata ada hal lain yang dapat menyebabkan ibu pada kelompok umur 20-
30 tahun memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir walaupun seorang ibu
pada kelompok umur ini mempunyai peluang yang baik untuk memberikan ASI,
yaitu kurangnya pengetahuan tentang ASI ekslusif, adanya tradisi keluarga
memberikan makanan prelakteal, dukungan keluarga maupun tingkat pendidikan
ibu.
Menurut Suhardjo (2003), Pengetahuan sangat berperan penting dalam
melakukan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi. Terbukti
dalam penelitian ini bahwa dari hasil crosstabs antara pengetahuan dengan umur ibu,
ternyata sebagian besar (52,7%) ibu pada kelompok umur 20-30 tahun mempunyai
pengetahuan kurang baik tentang ASI ekslusif. Faktor lain yang dapat menyebabkan
tidak adanya hubungan antara umur ibu dengan pemberian makanan prelakteal juga
82
dapat disebabkan adanya tradisi keluarga dalam memberikan makanan prelakteal.
Menurut Harper, Deaton, dan Driskel (1986) dalam Sinambela (2000), bahwa
kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat mempunyai pengaruh
yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan. Dan
terbukti dalam penelitian ini dari crosstabs antara tradisi dengan umur ibu ternyata
ibu pada kelompok umur 20-30 tahun sebagian besar (55,2%) mempunyai tradisi
dalam memberikan makanan prelakteal.
Selain itu terbukti dalam penelitian ini bahwa sebanyak 56,9% ibu pada
kelompok umur 20-30 tahun mendapatkan dukungan dari keluarga untuk
memberikan makanan prelakteal pada bayinya yang baru lahir. Menurut Roesli
(2000), dalam memberikan ASI dukungan keluarga merupakan faktor pendukung
yang pada prinsipnya adalah suatu kegiatan yang bersifat emosional maupun
psikologi yang diberikan kepada ibu menyusui. Faktor-faktor ini (pengetahuan ibu,
tradisi, dan dukungan keluarga) yang dapat menyebabkan tidak adanya hubungan
antara umur dengan pemberian makanan prelakteal, meskipun ibu pada kelompok
umur 20-30 tahun dalam penelitian ini mempunyai peluang yang baik secara biologis
untuk memberikan ASI kepada bayinya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Megawati
(2002) di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor Selatan Jawa Barat, yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan pemberian makanan prelakteal pada
bayi baru lahir.
83
6.3 Analisis Hubungan antara Tingkat pendidikan ibu dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan mutu hidup
manusia.Secara umum pendidikan meningkatkan keperibadian manusia, aspek
jasmani, aspek rohani, pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka
menciptakan kepribadian yang mantap dan mandiri.Bagi keluarga dengan tingkat
pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya
di bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p-value = 0,002 artinya terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan pemberian makanan prelakteal.
Bahwa semakin tinggi tingkat pndidikan ibu maka semakin sedikit ibu yang
memberikan makanan prelakteal , sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan ibu
maka semakin banyak ibu yang memberikan makanan prelakteal.
Hal ini dimungkinkan karena dengan pendidikan yang tinggi seseorang akan
lebih cepat tanggap terhadap masalah-masalah kesehatan dan mudah mengikuti
petunjuk-petunjuk dari petugas kesehatan, sehingga dengan pendidikan yang tinggi
akan meningkatkan pengetahuan ibu di bidang kesehatan melalui berbagai variabel
seperti keterbukaan akan informasi baru, penerimaan konsep-konsep baru dalam
pencegahan penyakit atau masalah-masalah kesehatan bayinya. Menurut
Notoadmojo (2007), semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah menerima
84
serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi juga semakin meningkanya
produktivitas dan semakin tinggi kesejahteraan keluarga.
Menurut Depkes RI (2005), bahwa seorang ibu yang mempunyai tingkat
pendidikan yang rendah maka balitanya berisiko dua kali lebih banyak menghadapi
masalah kesehatan dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan tinggi.
Berarti jika seorang ibu berpendidikan lebih tinggi maka kemungkinan ibu dapat
menerima banyak informasi, termasuk informasi tentang gizi balita sehingga ibu
dapat memberikan asupan gizi yang baik untuk balitanya. Demikian pula pendapat
Soetjiningsih (2004), yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua merupakan
salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan
pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar
terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik atau cara mempraktekkan pola
asuh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak,
pendidikan dan sebagainya
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh Megawati
(2002) memperlihatkan bahwa ibu yang berpendidikan rendah lebih banyak
memberikan makanan prelakteal pada bayinya pada saat baru lahir dibandingkan
dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
85
6.4 Analisis Hubungan antara Tradisi dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Pengetahuan secara budaya tentang pangan adalah salah satu faktor yang
menentukan apa yang dapat dimakan dan apa yang tidak boleh dimakan. Sering kali
inipun masih dibatasi adanya kemungkinan kepercayaan agama ataupun tradisi
mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan, apa yang baik dan apa yang
tidak baik secara sosial. Semua itu diperoleh melalui proses pewarisan dari generasi
tua kepada generasi muda secara terus menerus. Lewat proses enkulturasi dan
sosialisasi tiap individu membiasakan diri dalam apa yang patut dimakan (Puslitbang
Gizi Depkes RI 1985 dalam Kholifah 2008).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p-value = 0,002 artinya terdapat
hubungan antara tradisi dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Praktek pemberian makanan prelakteal di Desa Supat Timur umumnya berupa
pemberian madu.Pemberian makanan prelakteal ini merupakan kebiasaan yang
dilakukan kepada bayi yang baru lahir sejak dulu dan dilakukan secara turun
temurun oleh keluarga. Alasan pemilihan madu sebagai makanan prelakteal
berdasarkan kepercayaan tertentu, diantaranya dapat mengobati demam, panas dan
dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga bayi tidak mudah terkena
influenza jika memakan makanan yang manis karena sejak kecil bayi sudah terbiasa
memakan yang manis seperti madu, selain itu pemberian madu dapat memerahkan
bibir bayi jika pemberiannya dioleskan pada bibir bayi. Anggapan masyarakat
86
tentang pemberian madu tersebut jelas keliru dan harus diperbaiki karena akan
semakin banyak bayi yang tidak mendaptkan ASI ekslusif, padahal ASI adalah
makanan yang paling baik untuk kesehatan bayi.
Kepala Desa merupakan motivator yang baik dalam menjalankan program
kesehatan, oleh karena itu Kepala Desa sangat berperan dalam mengatasi masalah
pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir selain ituKepala Desa Supat juga
merupakan tokoh masyarakat, jadiuntuk merubah tradisi pemberian makanan
prelaktealyang ada di Desa Supat maka dengan bantuan Kepala Desa untuk
memberikan pengetahuan kepada ibu yang mempunyai tradisi pemberian makanan
prelakteal berupa madu tersebut.
Kebiasaan dalam memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir sudah
menjadi budaya di Desa Supat Timur dan telah menjadi bagian dari kehidupan suatu
masyarakat, biasanya dilakukan secara turun temurun dari keluarga (nenek, ibu).
Sebagaimana menurut Harper, Deaton, dan Driskel (1986) dalam Sinambela (2000),
bahwa kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat mempunyai
pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan.
Kebudayaan tidak hanya menentukan pangan anak, tetapi untuk siapa dan dalam
keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kholifah (2008)
bahwa beberapa informan utama memberikan madu pada bayi baru lahir pemberian
87
makanan tersebut dilakukan karena kebiasaan yang dianjurkan oleh orang tua ketika
ASI ibu belum keluar atau keluar namun masih sedikit. Selain itu, hasil yang sama
juga didapatkan pada penelitian Sinambella (2002) di Bogor yang mengungkapkan
bahwa pemberian makanan yang dilakukan di tempat tersebut terjadi karena
kebiasaan yang ada di lingkungan ibu yang menganggap makanan prelakteal
merupakan makanan yang baik untuk bayi menunggu ASI keluar.
6.5 Analisis Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Pengetahuan sangat berperan penting dalam melakukan pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi. Tahu atau tidaknya seorang ibu mengenai
cara pemberian makanan pada bayi merupakan proses transisi dari asupan ASI
menuju ke makanan selain ASI. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau
kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari
(Suhardjo, 2003).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p-value = 0,000 artinya terdapat
hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi
baru lahir. Semakin baik pengetahuan ibu maka semakin sedikt bayi yang
mendapatkan makanan prelakteal, begitupun sebaliknya semakin kurang baik
pengetahuan ibu maka semakin banyak bayi yang mendapatkan makanan prelakteal.
Menurut Notoadmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Selain itu
88
pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Perilaku akan lebih bertahan lama bila didasari oleh pengetahuan
dibandingkan perilaku yang tidak berdasarkan pengetahuan, walaupun ternyata
pengetahuan yang mendasari perilaku seseorang tersebut masih dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang sangat kompleks untuk sampai terbentuk perilaku yang nyata.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa pengetahuan ibu tentang ASI ekslusif
masih kurang sebagian besar ibu tidak mengetahui bahwa ASI ekslusif adalah ASI
saja yang diberikan kepada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan, bahaya makanan
prelakteal (makanan yang diberikan selain ASI sebelum ASI keluar) dan kapan
sebaiknya seorang bayi diperbolehkan makan/minum susu formula, air teh, air putih,
pisang, bubur, dan yang lainnya, serta pengetahuan ibu tentang bayi 2-4 hari setelah
lahir tidak diberikan makanan zat gizi yang terdapat di dalam tubuh bayi cukup
untuk memenuhi asupan gizinya. Sebagian besar ibu tidak mengetahuinya, hal ini
menunjukkan bahwa masih kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI ekslusif
sehingga mendorong seseorang ibu untuk memberikan makanan prelakteal.
Grant (1989) dalam Hermasyah (2010), mengemukakan bahwa kebiasaan
yang salah pada pemberian makanan pada bayi disebabkan kurangnya pengetahuan
sebagian besar orang tua tentang pentingnya pemberian ASI dan pemberian makanan
pada usia tambahan pada usia 4-6 bulan. Pengetahuan ibu sangat erat kaitannya
dengan kesehatan anak baik itu diukur dari status gizinya ataupun dari kematian bayi
dan anak. Menurut Suhendar (2002), pengetahuan tentang ASI memiliki hubungan
89
yang erat dalam menunjang seorang ibu untuk memberikan ASI secara ekslusif
kepada bayinya.
Pengetahuan ibu menjadi hal penting dan menentukan bagi tumbuh kembang
anak, maka diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan pengetahuan ibu mengenai
pemberian ASI secara dini dan menghindari pemberian makanan prelakteal pada
bayi baru lahir.Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui penyuluhan
tentang pentingnya pemberian ASI dini dan bahaya pemberian makanan
prelakteal.kegiatan lain yang bisa dilakukan yaitu konsling laktasi sejak masa
kehamilan yaitu ketika pemeriksaan ANC di Puskesmas.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Megawati
(2002), yang menunjukkan bahwa semakin baik pengetahuan ibu semakin menurun
persentasi pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir.Berbeda dengan hasil
penelitian Kholifah (2008), bahwa seluruh informan utama dalam penelitian
mengatakan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir tidak menimbulkan
pengaruh buruk apapun baik bagi ibu maupun bayinya.Menurut informan utama
kondisi bayi dalam keadaan sehat-sehat saja setelah makanan tersebut diberikan.
6.6 Analisis Hubungan antara Sikap Ibu dengan Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Baru Lahir
Sikap merupakan reaksi repons yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu objek atau stimulasi.Manifestasi sikap itu tidak bisa langsung dilihat, tetapi
hanya bisa ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
90
akan menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulasi tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari (Notoadmodjo, 2003). Dalam penelitian ini sikap
yang baik (positif) ditunjukkan dengan tindakan untuk menghindari pemberian
makanan prelakteal, sedangkan sikap negatif yaitu sikap yang ditunjukan cenderung
untuk menyenagi tindakan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Hasil dari penelitian ini diperoleh p-value = 0,884 artinya tidak terdapat
hubungan antara sikap ibu dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru
lahir. Hal ini dimungkinkan karena proporsi ibu yang mempunyai sikap positif
terhadap pemberian makanan prelakteal tidak jauh berbeda dengan ibu yang
mempunyai sikap negatif terhadap pemberian makanan prelakteal dalam
memberikan makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir. Dengan kata lain ibu
yang mempunyai sikap positif yang cenderung untuk menghindari pemberian
makanan prelakteal pada kenyataannya juga memberikan makanan prelakteal pada
bayinya yang baru lahir. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis bivariat didapatkan
dari 70 ibu yang mempunyai sikap negatif terhadap pemberian makanan prelakteal
77,1% memberikan makanan prelakteal. Sedangkan proporsi dari 26 ibu yang
mempunyai sikap positif 73,1% yang memberikan makanan prelakteal.
Tingginya jumlah pemberian makanan prelakteal yang dilakukan oleh ibu
yang mempunyai sikap positif terhadap pemberian makanan prelakteal ini
disebabkan karena sikap seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalamam pribadi
maupun pengalaman orang lain dalam memberikan makanan prelakteal serta
91
keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap pemberian makanan prelakteal serta
dukungan dari keluarga. Hal yang sama dikatakan Notoadmojo (2003), bahwa sikap
yang baik tidak selalu diikuti dengan tindakan yang nyata, hal ini terjadi karena
beberapa alasan, diantaranya:
a. Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
b. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada
pengalaman orang lain
c. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan berdasarkan pada banyak atau
sedikitnya pengalaman seseorang
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya ibu yang mempunyai
sikap negatif saja yang memberikan makanan pada bayinya namun ibu yang
mempunyai sikap positif terhadap pemberian makanan prelakteal pun mempunyai
perilaku dalam memberikan makanan prelakteal.Hal ini dimungkinkan karena masih
minimnya pengetahuan ibu mengenai ASI ekslusif, pengalaman yang dilakukan pada
anak sebelumnya maupun dari orang-orang disekitar dan diperkuat oleh dukungan
yang salah dari orang-orang terdekat. Menurut Notoadmodjo (2003), perilaku akan
lebih langgeng bila didasari oleh pengetahuan dibandingkan perilaku yang tidak
berdasarkan pengetahuan. Menurut Lubis (2000), seorang ibu yang tidak pernah
mendapat nasehat atau penyuluhan tentang ASI dari keluarganya dapat
mempengaruhi sikapnya ketika ia harus menyusui sendiri bayinya. Hubungan
harmonis dalam keluarga akansangat mempengaruhi lancarnya proses laktasi. Hal ini
92
terbukti dari crosstabs antara dukungan keluarga dengan sikap ibu, ternyata ibu yang
mempunyai sikap positif mendapatkan dukung keluarga untuk memberikan makanan
prelakteal.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2008) bahwa
sebagian informan utama dalam penelitian mempunyai sikap negatif terhadap
makanan prelakteal hal ini ditunjukkan melalui pernyataan bahwa makanan
prelakteal baik untuk bayi sebab pemberian makanan tersebut tidak berpengaruh
apa-apa bagi perkembangan bayi.Dengan pengetahuan, pendidikan dan sikap yang
positif dimungkinkan terjadi suatu perubahan perilaku positif (Notoatmodjo, 2003).
6.7 Analisis Hubungan antara Penolong Persalinan dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Keberhasilan menyusui bayi tidak hanya dipengaruhi oleh tempat ibu
bersalin tetapi juga sangat bergantung terhadap petugas kesehatan seperti perawat,
dokter, atau bidan karena merekalah yang pertama-tama akan membantu ibu bersalin
melakukan inisiasi menyusui dini.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh p-value = 0,343 tidak ada
hubungan antara penolong persalinan dengan pemberian makanan prelakteal. Pada
dasarnya semakin banyak ibu yang melakukan persalinan dibantu oleh tenaga
kesehatan maka akan semakin rendah peluang bayi baru lahir untuk mendapatkan
makanan prelakteal, begitupun sebaliknya semakin rendah ibu yang melakukan
persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan maka semakin besar peluang bayi
93
untuk mndapatkan makanan prelakteal. Namun, pada kenyataannya yang terjadi di
Desa Supat Timur terlihat bahwa proporsi ibu yang memberikan makanan prelakteal
pada bayi baru lahir tidak hanya dilakukan oleh ibu yang melakukan persalinan yang
dibantu oleh non tenaga kesehatan saja tetapi proporsi ibu yang memberikan
makanan prelakteal tidak jauh berbeda dengan ibu yang melakukan persalinan
dibantu oleh tenaga kesehatan. Hal ini dapat menyebabkan tidak ada hubungan
penolong persalinan dengan pemberian makanan prelakteal. Dapat dibuktikan
dengan hasil analisis bivariat didapatkan proporsi dari 89 ibu yang persalinannya
dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, perawat, dokter) sebanyak 76,4%
memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir. Sedangkan proporsi dari 7 ibu
yang persalinannya dibantu non tenaga kesehatan (dukun beranak/paraji, keluarga)
71,4% yang memberikan makanan prelakteal.
Hal ini dapat terjadi karena masyarakat telah menyadari bahwa persalinan
yang dibantu oleh tenaga kesehatan lebih aman karena tenaga kesehatan dianggap
telah berkompetensi dalam membantu persalinannya.Selain itu penolong persalinan
oleh bidan atau tenaga kesehatan yang berkompetensi kebidanan merupakan salah
satu indikator untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak sehingga dapat
mengurangi angka kematian ibu dan anak di Indonesia.Tetapi ibu yang melakukan
persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai peluang lebih baik
untuk tidak memberikan makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir pada
kanyataannya banyak yang memberikan makanan prelaktal pada bayi baru
94
lahir.Dengan kata lain tenaga kesehatan tidak dapat mencegah ibu untuk tidak
memberikan makanan prelakteal kepada bayi baru lahir. Terbukti dalam penelitian
ini dari crosstabs antara penolong persalinan dengan dukungan petugas kesehatan
terlihat bahwa ternyata sebagian besar (91,8%) ibu yang melahirkan ditolong oleh
tenaga kesehatan mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk memberikan
makanan prelakteal kepada bayinya yang baru lahir.
Tingginya jumlah pemberian makanan prelakteal yang persalinannya dibantu
oleh tenaga kesehatan seharusnya tidak perlu terjadi karena tenaga kesehatan
seharusnya memberikan himbauan kepada ibu supaya memberikan ASI sedini
mungkin dan membantu ibu untuk inisiasi menyusui dini, sehingga pemberian
makanan prelakteal dapat dihindari.Adanya pemberian makanan prelakteal sesuai
dengan hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa promosi pemberian ASI ekslusif
oleh tenaga kesehatan (bidan) masih kurang.Sedangkan menurut Lubis (2000),
petugas kesehatan berperan besar dalam memberikan contoh pemberian makanan
yang tepat pada bayi.
Hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Megawati (2002) bahwa ada
hubungan antara penolong persalinan dengan pemberian makanan prelakteal. Sama
halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2008) bahwa informan
utama yang melakukan persalinan dibantu oleh dukun bayi, bidan ataupun keduanya
memberikan makanan prelakteal, jika dukun menyarankan memberikan makanan
95
prelakteal berupa madu berbeda dengan petugas menyarankan untuk memberikan
makanan prelakteal bentuk susu formula.
6.8 Analisis Hubungan antara Tempat Persalinan dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Tempat persalinan berperan aktif dalam keberhasilan pelaksanaan menyusui
secara optimal.Untuk itu kebijakan tempat persalinan di pelayanan kesehatan milik
pemerintah maupun swasta dalam melaksanakan rawat gabung yang memudahkan
bagi ibu secara langsung dapat menyusui bayinya menjadi sangatlah penting (Irianto,
1998).
Hasil dari penelitian ini diperoleh nilai p-value = 0,242 artinya tidak terdapat
hubungan antara tempat persalinan dengan pemberian makanan prelakteal. Hal ini
dapat terjadi karena adanya dukungan dari petugas kesehatan untuk memberikan
makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir, selain itu juga disebabkan oleh
penolong persalianan.Persalinan yang dilakukan dirumah memungkinkan ibu dan
bayinya untuk bersama-sama atau rawat gabung (rooming in), oleh karena itu, ibu
dan orang-orang di sekitarnya mempunyai peran yang lebih untuk memberikan
ASInya, sehingga pemberian makanan prelaktealpun tidak terlepas dari peran
tersebut. Menurut Siregar (2004), tempat ibu bersalin merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan menyusui, karena masih sering dijumpai di rumah
sakit pada hari pertama kelahiran walaupun sebagian besar dari ibu-ibu yang
melahirkan di kamar mereka sendiri, hampir setengah dari bayi mereka diberi
96
makanan prelakteal. Dalam penelitian ini terbukti dari crosstabs antara tempat
persalinan dengan penolong persalinan, ternyata sebagian besar (95,5%) ibu yang
melahirkan di non sarana kesehatan (rumah sendiri, rumah keluarga) persalinannya
ditolong oleh tenaga kesehatan. Sedangkan crosstabs antara tempat persalinan
dengan dukungan petugas kesehatan tentang pemberian makanan prelakteal, bahwa
91,5% ibu yang melakukan persalinan yang di non sarana kesehatan (rumah sendiri,
rumah keluarga) mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk memberikan
makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa peran petugas kesehatan disini tidak
mencerminkan perilaku yang baik, seharusnya petugas kesehatan membantu ibu
untuk menghidari pemberian makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir.Misalnya
dengan melakuan inisiasi menyusui dini.meskipun persalinan ini dilakukan bukan di
sarana kesehatan (di rumah) tetapi penolong prsalinannya adalah petugas kesehatan
(bidan) maka petugas kesehatan mempunyai peran yang cukup baik untuk
memberikan contoh kepada ibu dalam hal pemberian makanan yang tepat seperti
menganjurkan ibu untuk menyusui segera bayinya yang baru lahir. Karena menurut
Lubis (2000), petugas kesehatan berperan besar dalam memberikan contoh
pemberian makanan yang tepat pada bayi.
Persalinan yang dilakukan dirumah memang tidak terkait dengan kebijakan-
kebijakan khusus seperti halnya persalinan yang dilakukan di rumah sakit, tetapi
tergantung pada komitmen tenaga penolong persalinan dan keinginan dari ibu yang
97
melahirkan.Adanya kebebasan semacam ini ditambah dengan dukungan lingkungan
sekitarnya mendorong dan memungkinkan terjadinya praktik pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir.
Berdasarkan sebuah survei di Semarang menyatakan bahwa ibu yang
melahirkan di rumah lebih banyak yang menyusui bayinya dari pada ibu yang
melahirkan di rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh karena masih banyak tata laksana
rumah sakit yang tidak menunjang menyusui, sebagai contoh: memberikan
prelacteal feeding yang sebenarnya tidak perlu dan berakibat kurang baik karena
akan menghilangkan rasa haus bayi sehingga malas untuk menetek (Suradi, 1985
dalam Suhendar, 2002).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Megawati
(2002) yang menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
tempat persalinan dengan pemberian makanan prelakteal.Namun, penelitian ini
menunjukkan bahwa persalinan yang dilakukan di rumah lebih banyak persentase
dalam memberikan makanan prelakteal, hal ini disebabkan karena adanya kebiasaan
daerah setempat dalam memberikan makanan prelakteal pada bayi yang baru lahir
berupa madu.
6.9 Analisis Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemberian Makanan
Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Setelah masa kelahiran, suami perlu membantu merawat istri/ibu baru
melahirkan dengan cara memotivasi ibu menyusui untuk memberikan ASI secara
98
ekslusif dan tidak memberikan makanan prelakteal pada bayinya serta tidak
memberikan makanan tambahan selama empat bulan. Selain suami anggota keluarga
lainnya juga dapat membantu merawat ibu yang baru melahirkan Iskandar (1998)
dalam Kholifah (2008).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 0,040 artinya terdapat
hubungan antara dukungan keluarga dengan pemberian makanan prelakteal pada
bayi baru lahir. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat
Timur tidak terlepas dari dukungan orang-orang sekitarnya terutama ibu/ibu mertua.
Ibu dianggap sudah lebih berpengalaman dalam mengurus dan merawat bayi,
sehingga apapun yang dianjurkan orang tua akan diikuti oleh ibu karena saran
tersebut pasti akan membuat bayi lebih baik, sekalipun dianjurkan untuk
memberikan makanan prelakteal padahal seorang ibu menganjurkan untuk
memberikan makanan prelakteal ini hanya karena pemberian makanan tersebut
sudah dilakukan sejak lama dan telah menjadi tradisi dalam keluarganya dan daerah
setempat. Besarnya dukungan keluarga dalam memberikan makanan prelakteal serta
tradisi pemberian makanan prelakteal yang ada di daerah tersebut, ada kecendrungan
makin banyak ibu tidak menyusui bayinya.
Menurut Roesli (2000), dalam memberikan ASI dukungan keluarga
merupakan faktor pendukung yang pada prinsipnya adalah suatu kegiatan yang
bersifat emosional maupun psikologi yang diberikan kepada ibu menyusui. Menurut
Soetjiningsih (1997), pada minggu pertama setelah persalinan seorang ibu lebih peka
99
dalam emosi. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya
dalam merawat bayi termasuk dalam memberikan makanan pada bayi.Orang yang
dapat membantunya terutama adalah orang yang berpengaruh besar dalam
kehidupannya atau yang disegani, seperti suami, keluarga/kerabat terdekat, atau
kelompok ibu-ibu pendukung ASI dan dokter/tenaga kesehatan.
Hasil penelitian tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Kholifah (2008)
bahwa sebagian dari informan utama memberikan makanan prelakteal kepada
bayinya yang baru lahir merupakan atas saran dan anjuran dari orang-orang
disekitarnya terutama orang tuanya.Selain itu ada beberapa informan utama yang
berinisiatif sendiri memberikan makanan tersebut kepada bayinya.Hal ini dilakukan
karena praktik pemberian makanan tersebut sudah menjadi kebiasaan seperti yang
sudah dilakukan pada persalinan anak sebelumnya.
6.10 Analisis Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pemberian
Makanan Prelakteal pada Bayi Baru Lahir
Petugas dan kader kesehatan merupakan sumber informasi tentang
kesehatan.Posyandu adalah tempat yang sering digunakan untuk penyampaian
informasi. Kepala Desa merupakan motivator yang baik dalam menjalankan
program kesehatan. Lubis (2002) menyatakan bahwa petugas kesehatan memiliki
peran yang sangat besar dalam memberikan contoh pemberian makanan pada anak.
Hasil dari penelitian ini diperoleh nilai p-value = 0,284 artinya tidak terdapat
hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan pemberian makanan prelakteal
100
pada bayi baru lahir. Keadaan ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan
yang diberikan sewaktu dalam pendidikan sehingga dalam hal ini menyebabkan
petugas kurang mendukung upaya peningkatan pemanfaatan ASI ekslusif.Sehingga
menyebabkan masih banyak ibu yang memberikan makanan prelakteal pada bayi
baru lahir. Dengan demikian akan ada kecendrungan makin banyak ibu tidak
menyusui bayinya baru lahir dan semakin banyak bayi yang tidak mendapatkan ASI
Eslusif.
Hasil penelitian ini dibuktikan dengan hasil analisis bivariat didapatkan
proporsi dari 49 ibu yang mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk
memberikan makanan prelakteal sebanyak 81,6% memberikan makanan prelakteal.
Sedangkan proporsi dari 47 ibu yang tidak mendapatkan dukungan petugas
kesehatan 70,2% yang memberikan makanan prelakteal pada bayi baru lahir.
Besarnya dukungan petugas kesehatan dalam memberikan makanan
prelakteal ini dapat terjadi karena peran bidan dalam mempromosikan ASI ekslusif
masih sangat kurang sehingga lebih cendrung untuk peningkatan pemberian
makanan prelakteal.Selain itu juga dapat disebabkan oleh faktor keterbatasan
pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan dalam memberikan informasi
mengenai pemberian ASI yang baik dan benar kepada ibu-ibu yang hamil maupun
calon ibu.Selain itu berdasarkan crosstabs antara dukungan petugas kesehatan
dengan penolong persalinan dan tempat persalinan dalam pemberian makanan
prelakteal, terbukti bahwa dukungan petugas kesehatan untuk memberikan makanan
101
memang kuat untuk mendorong ibu memberikan makanan prelakteal pada bayi baru
lahir.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih
(2004), bahwa sebanyak 58% petugas kesehatan membolehkan pemberian makanan
prelakteal sebelum ASI keluar dan 82% petugas kesehatan pernah memberikan
makanan prelakteal kepada bayi baru lahir. Selain itu, 26 % petugas kesehatan setuju
untuk memberikan makanan prelakteal jika bayi menanggis dan 76% petugas
kesehatan setuju memberikan makanan prelakteal ketika ASI ibunya belum keluar
serta 28% petugas kesehatan setuju dengan pernyataan mengenai ASI saja tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi 3 hari pertama setelah dilahirkan.
6.11 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan
penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan,
sehingga untuk mendapatkan data tentang pemberian makanan prelakteal pada
bayi baru lahir maka ibu mengingat kejadian 6 bulan yang lalu dengan demikian
dimungkinkan terjadi bias informasi.
2. Rancangan penelitian ini menggunakan desain cross sectionalstudy sehingga
peneliti hanya melihat keadaan responden pada satu saat pengamatan, sehingga
tidak dapat melihat hubungan sebab akibat.
102
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
2.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 96 bayi usia 0-6 bulan
di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir
di dapat simpulan sebagai berikut:
1. Perilaku pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasi Sumatera Selatan cukup tinggi yaitu 76%.
2. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
pada kelompok umur 20-30 tahun (76,4%).
3. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
dengan tingkat pendidikan rendah (87,9%).
4. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang mempunyai tradisi dalam memberikan makanan prelakteal (87,9%).
103
5. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang memiliki pengtahuan kurang baik tentang pemberian makanan prelakteal
(90,9%).
6. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang mempunyai sikap negatif terhadap pemberian makanan prelakteal (77,1%).
7. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang penolong persalinan dibantu tenaga kesehatan (76,4%).
8. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang tempat persalinan bukan di sarana kesehatan (77,2%).
9. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang tidak mendapatkan dukungan keluarga untuk memberikan makanan
prelakteal (86,7%)
10. Pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, paling banyak dilakukan oleh ibu
yang mendapatkan dukungan petugas kesehatan untuk memberikan makanan
prelakteal (81,6%).
104
11. Tidak terdapat hubungan antara umur ibu, sikap ibu, penolong persalinan, tempat
persalinan dan dukungan petugas kesehatan dengan pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir di Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin
Sumatera Selatan.
12. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, tradisi ibu,
dukungan keluarga dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di
Desa Supat Timur Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan.
2.2 SARAN
Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut:
1. Bagi Ibu/Keluarga
1. Diharapkan kepada ibu untuk tidak memberikan makanan prelakteal pada
bayi baru lahir dengan cara segera memberikan ASI kepada bayi baru lahir
30 menit setelah bayi dilahirkan, melakukan inisiasi menyusui dini (IMD).
2. Diharapkan kepada keluarga untuk dapat memberikan dukungan penuh
kepada ibu dalam hal memberikan ASI pada saat bayi baru lahir dengan cara
keluraga membantu ibu untuk melakukan IMD atau membantu ibu
memompa ASInya ketika ASI belum keluar/keluar tapi sedikit.
2. Bagi Dinkes
1. Bagi Dinas Kesehatan diharapkan menggerakkan puskesmas untuk
melaksanakan program kelas ibu hamil untuk meningkatkan pengetahuan ibu
105
3. Bagi Tenaga Kesehatan
1. Petugas kesehatan yang membantu persalinan harus memberikan dukungan
penuh terhadap pemberian ASI segera pada bayi baru lahir, dengan cara
membantu ibu untuk melakukan IMD.
2. Petugas kesehatan di Puskesmas harus memberikan dukungan penuh kepada
ibu agar memberikan ASI segera pada bayi baru lahir. Hal tersebut dapat
dilakukan sejak masa antenatal dengan memberi informasi tentang menyusui,
masa kelahiran dengan tidak memberikan makanan prelakteal, dan masa
pascanatal dengan memberikan layanan konsultasi tentang menyusui.
4. Bagi Peneliti Lain
1. Perlu melakukan penelitian lanjutan dengan meneliti faktor kepercayaan dan
pengaruhnya terhadap pemberian makanan prelakteal dengan menggunakan
rancangan penelitian kualitatif.
106
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Linda. 2007.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Segera
pada bayi Baru Lahir di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2007.
Tesis.FKM UI.Depok
Amran, Yuli.2006. Pemodelan Faktor-Faktor yang Berperan Terhadap Prilaku Ibu dalam
Memberikan ASI Ekslusif di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur Tahun 2003,
Dengan Pendekatan Multilevel Modeling. Tesisi. FKM UI Depok
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. FKM UI.
Depok
BPS. 2003. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI): Jakarta. BPS
BPS. 2008. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI): Jakarta. BPS
BPS, 2009. Sumsel dalam Angka. Jakarta: BPS
Depkes RI, 1997. Petunjuk Pelaksanaan Peningkatan ASI bagi Petugas Puskesmas.
Jakarta Direktorat Jendral Binkesmas. Jakarta: Depkes
Depkes RI, 2001. Manajeman Laktasi, Buku Panduan bagi Bidan dan Petugas
Kesehatan di Puskesmas. Jakarta. Depkes.
Depkes RI. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk
2005-2009:. Jakarta
Depkes RI, 2007. Sejak Lahir Hingga Enam Bulan ASI saja. Jakarta: Depkes
Depkes RI, 2009. Buku Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Konseling Menyusui.
Jakarta. Depkes
Depkes RI. 2010. Riset Kesesahatan Dasar 2010. Jakarta: Depkes.
Ebrahim, GJ. 1986. Air Susu Ibu, Terjemahan Suharyono. Yogyakarta: Yayasan
Essential Medica.
Foster, George M dan Anderson, Barbara Gallasin. 1986. Antropologi Kesehatan.
Jakarta: UI Press
Hartuti, 2006.Pemberian ASI Ekslusif dan Fakator-Faktor yang Berhubungan di
Puskesmas Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Pripinsi Sumatera Barat Tahun
2006. Tesis.FKM UI.Depok
107
Kholifah, Neneng. 2008. Analisis Kualitatif Perilaku Pemberian Makanan Prelakteal
pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Desa Cipicung Kabupaten Padeglang Tahun
2008.Skripsi PSKM UIN: Jakarta
Irianto, Joko. 1998. Hubungan tempat dan penolong persalinan dengan menyusui secara
optimal. Majalah kesehatan masyarakat Indonesia tahun XXVI, Nomor 5.
Lubis, Nu. 2000. Manfaat Pemakaian ASI Ekslusif. Cermin Dunia Kedokteran nomor
126 tahun 2000
Megawati. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Makanan
Pralaktal pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor Selatan
Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Skripsi FKM UI.Depok
Nelvi, .2004.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Inisiasi Pemberian ASI di RB
Puskesmas Jakarta Pusat Tahun 2004. Tesis FKM UI. Depok
Ningsih, Kurnia. 2004. Praktik Pemberian ASI Segera Setelah Lahir (Immediate
Breastfeeding) dan Faktor-Faktor yang Berhubungan pada Petugas Kesehatan
Kelurahan Cimanggis, Depok Tahun 2004. Skripsi FKM UI.Depok
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar).
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003.Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Nur, Mujahidin. 2008. The Miracle of ASI: Ibu Sejati Memberi ASI. Yogyakarta: Medina
Publishing.
Nuryanto. 2002. Hubungan Antara Pekerjaan Ibu dengan Kelangsungan Pemberian ASI
Saja Pada Anak Usia 0-11 Bulan. Tesis FKM UI. Depok
Perinasia, 1990. Melindungi, Meningkatkan, dan Mendukung Menyusui: Peran Khusus
pada Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui. Pernyataan bersama
WHO/UNICEF.
Profil Kesehatan Sumatera Selatan, 2010
Roesli, Utami, 2000.Mengenal ASI Ekslusif. Trubus Agriwidya
Roesli, Utami. 2005. Menegenal ASI Ekslusif – Seri 1. Jakarta: Trubus Agriwidya
Roesli, Utami. 2008. Insisasi Menyusui Dini Plus ASI Ekslusif. Jakarta: Pustaka bunda
108
Sinambella, Kristina Herawaty. 2000. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Praktik
Pemberian Makanan pada Bayi Umur 0-4 Bulan di Daerah Angka Kematian Bayi
Tinggi (Studi Di Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor).Skripsi. GMSK IPB.Bogor
Siregar arifin.2004. Pemberian ASI Ekslusif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi.
Bagian Gizi Kesmas FKM UNSU.
Sotjiningsih. 1997. ASI: Petunjuk Untuk Petugas Kesehatan. Jakarta: EGC
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Anak: EGC. Jakarta.
Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi: Bumi Aksara. Yogyakarta
Suhendar, Kikih. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Ekslusif dan
Status Gizi Bayi Usia 4-6 Bulan. Skripsi GMSK IPB. Bogor
Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kasinus
Theresiana,KL .2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan Praktik Pemberian Makanan
Pendamping ASI pada Bayi Umur 4-11 Bulan di Kabupaten Tangerang Tahun
2002. Tesis. FKM UI.Depok
Widodo, Purwanto Teguh. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik
Pemberian ASI Saja di Indonesia (Analisis Sdki 2002-2003). Tesisi.Pasca Sarjana
Ui Kekhususan Sosiologi Kependudukan Program Studi Kependudukan dan
Ketenagakerjaan. Depok
Widodo, Yekti.2001. Kebiasaan Memberikan Makanan kepada Bayi Baru Lahir di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Media Litbang Kesehatan Volume XI No.
3 tahun 2001.
Wijaya, Retno. 2002. Praktek Pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI serta
Status Gizi Bayi Usia 6-8 Bulan pada Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja. Skripsi
GMSK IPB. Bogor
Yulianti, Nurheti. 2010. Keajaiban ASI: Makanan Terbaik untuk Kesehatan Kecerdasan
dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: C.V andi offset.
Puspita, Indah, 2010. Analisis Sikap Petugas Kesehatan Sebagai Penolong Persalinan
Terhadap Praktek Inisiasi Menyusui Dini (Imd) di Wilayah Kerja Puskesmas
Kampung Sawah Tahun 2010. Skripsi PSKM UIN. Jakarta.
1
KUESIONER PANDUAN WAWANCARA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN
MAKANAN PRELAKTEAL PADA BAYI BARU LAHIR BULAN DI DESA
SUPAT TIMUR KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN
TAHUN 2011
Pewawancara :
Tanggal/ bulan/ tahun wawancara :
No.Responden :
Identitas responden
Nama :
Alamat :
Tempat/ tanggal lahir :
No.Tlp :
Nama bayi :
Tempat tanggal lahir bayi
VARIABEL DEPENDEN (PEMBERIKAN MAKANAN
PRELAKTEAL)
1. Sebelum disusui pertama kali 1-3 hari etelah lahir, apakah bayi
ibu diberi sesuatu berupa makanan/minuman?
0. Ya
1. Tidak(lanjut ke pertanyaan A1)
1
2. bila ya, maknan/minuman apa yang ibu berikan
0. air putih
1. air tajin
2. madu
3. pisang
4. bubur buatan pabrik
5. bubur buatan sendiri
6. air gula
2
2
7. papaya
8. susu kental manis
9. hanya ASI saja
10. susu formula bayi
11. Lainnya….
3. Bila ya, apa alasan ibu memberikannya?
0. ASI belum keluar
1. Takut bayi lapar
2. Asi tidak cukup
3. Bayi menangis terus
4. Payudara bengkak
5. Bidan/perawat yang menganjurkan
6. Orang tua/mertua yang menganjurkan
7. Lainnya….
3
VARIABEL INDEPENDEN
A. UMUR IBU DIISI OLEH
PENELITI
A.1. Berapa umur ibu saat ini?(…….. tahun) [ ] A1
B. PENDIDIKAN IBU
B.1. Apa pendidikan terakhir ibu?
a. Tidak Sekolah
b. Tidak tamat SD
c. Tamat SD
d. Tamat SMP
e. Tamat SMA
f. Tamat Perguruan Tinggi
[ ] BI
C. PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI EKSLUSIF DIISI OLEH
PENELITI
C.1. Menurut ibu ASI ekslusif adalah?
a. Tidak Tahu
b. Makanan yang diberikan pada bayi yang baru lahir seperti susu
formula/madu/air teh/air tajin/pisang/pepaya
c. Bayi diberi ASI + Makanan lain sejak baru lahir
d. Pemberian ASI pada bayi sampai umur 12 bulan
e. Bayi yang diberi ASI Saja tanpa makanan/ minuman lain sampai
usia 6 bulan
[ ] C1
3
C.2. Apakah ASI yang pertama kali keluar berwarna putih kekuning-
kuningan (susu jolong) boleh diberikan kepada bayi bayi yang baru
lahir?
a. Tidak Tahu
b. Tidak Boleh
c. Boleh
[ ] C2
C.3. Kapan sebaiknya bayi yang baru lahir disusui?
a. 1 hari setelah lahir
b. 24 jam setelah lahir
c. kalau ASI sudah keluar
d. >1 jam setelah lahir
e. ≤ 1 jam setelah lahir
[ ] C3
C.4. Bahaya makanan prelakteal (makanan yang diberikan selain ASI
sebelum ASI keluar/proses menyusui belum dimulai) adalah
a. bingung puting
b. menggantikan kolostrum
c. bayi tidak menyukai ASI
d. A dan B benar
e. benar semua
[ ] C4
C.5. Bahaya pemberian susu formula?
a. bayi yang diberi susu formula lebih besar kemungkinannya
untuk menderita diare, ISPA, dan alergi
b. bayi lebih besar kemungkinan kegemukan
c. resiko penyakit degeneratif meningkat
d. A dan B benar
e. semua benar
[ ] C5
C.6. Sebaiknya usia berapa seorang bayi diperbolehkan diberi
makan/minum seperti susu formula, air teh, air putih, pisang, bubur,
buah dan yang lainnya?
a. kurang dari 6 bulan
b. 4 bulan
c. 6 bulan
d. lebih dari 6 bulan
e. 12 bulan
[ ] C6
C.7. Bayi usia 2-4 hari setelah lahir tidak diberikan makanan/minuman
apakah zat gizi yang terdapat di dalam tubuh bayi cukup untuk
memenuhi asupan gizinya?
[ ]C7
4
a. Tidak
b. Ya
C.8. Menurut penegtahuan ibu apa manfaat susu kolostrum (susu
jolong)?
a. tidak bermanfaat apapun bagi bayi
b. berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh bayi
c. Merupakan susu yang kotor
d. Merupakan susu basi
e. Tidak tahu
[ ]C8
C.9 Bagaimana perbandingan ASI dengan susu formula
a. ASI lebih baik dari pada susu formula
b. ASI sama saja dengan susu formula
c. ASI kalah lengkap dengan susu formula
[ ]C9
C.10. Makanan yang tepat untuk bayi sampai dengan usia 6 bulan
adalah?
a. Tidak tahu
b. ASI saja
c. Susu formula saja
d. ASI dan makanan padat
e. Susu formula dan makanan lumat
f. ASI dan makanan lumat dan susu formula
[ ]C10
D. TRADISI DIISI OLEH
PENELITI
D.1.Apakah orang tua/mertua (keluarga) ibu biasa memberikan
makanan seperti madu pada saat bayi baru lahir?
0. Ya
1. Tidaklanjut kepertanyaan E1
[ ]D1
D.2.Apakah pemberian makanan seperti madu telah dilakukan secara
turun temurun (nenek, orang tua)?
0. Ya
1. Tidak
[ ]D2
E. SIKAP IBU TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN
PRELAKTEAL
DIISI OLEH
PENELITI
E.1. bayi baru lahir tidak boleh diberi makanan/minuman selain ASI,
bagaimana sikap ibu?
0. Tidak Setuju
1. setuju
[ ] E1
5
E.2. Orang tua/mertua ibu menganjurkan untuk memberikan makanan
berupa susu formula/ madu/pisang/papaya/air putih dll kepada bayi ibu
yang baru lahir bagaimana sikap ibu?
0. setuju
1. tidak setuju
[ ] E2
E.3. Jika pada hari pertama setelah ibu melahirkan tetapi air susu ibu
belum keluar, penolong persalinan memberikan makanan/ minuman
seperti susu formula/air teh/air tajin/madu/pisang/pepaya dll kepada bayi
ibu, bagaimana sikap ibu?
0. setuju
1. tidak setuju
[ ] E3
E.4.Bu santi tidak ingin memberikan makanan seperti susu
formula/madu/air teh/air tajin/pisang/papaya kepada bayinya yang baru
lahir, bagaimana sikap ibu?
0. tidak setuju
1. setuju
[ ] E4
E.5. Jika ada pendapat mengatakan bahwa ASI saja merupakan makanan
terbaik untuk bayi berusia 0-6 bulan, bagaimana sikap ibu?
0. Setuju
1. tidak setuju
[ ]E5
E.6.Setelah 1 jam melahirkan ASI ibu belum keluar, petugas kesehatan
menganjurkan untuk memberikan makanan/minuman seperti susu
formula/madu/air teh/air tajin/pisang ke bayi ibu, bagaimana sikap ibu?
0. Setuju
1. tidak setuju
[ ]E6
E.7. Jika suami ibu melarang untuk memberikan susu formula/makanan
lain pada bayi ibu yang baru lahir padahal ASI ibu belum keluar,
bagaimana sikap ibu?
0. tidak setuju
1. setuju
[ ]E7
E.8. Jika bayi baru lahir diberikan makanan/minuman selain ASI (susu
formula/madu/air teh/air tajin/pisang), bagaimana sikap ibu?
0. tidak setuju
1. setuju
[ ]E8
E.9. ASI Bu Tini keluar hanya sedikit, tetapi bu Tini tidak memberikan
makanan lain kepada bayinya, bagaimana sikap ibu?
0. tidak setuju
[ ]E9
6
1. setuju
E.10. pemberian ASI lebih praktis jika dibandingkan dengan pemberian
susu formula, bagaimana sikap ibu?
0. tidak setuju
1. setuju
[ ]E10
F. PENOLONG PERSALINAN
F.1. Siapa yang membantu ibu pada persalinan (nama bayi)?
a. Keluarga
b. Dukun bayi/ paraji
c. bidan
d. dokter
e. Lainnya….
[ ]F1
F.2.Pada saat setelah melahirkan, apakah penolong persalinan
menganjurkan/menhimbau/memberikan susu formula atau makanan lain
kepada bayi ibu?
0. Ya
1. Tidak
[ ]F2
G. TEMPAT PERSALINAN
G.1. Dimana ibu melakukan persalinan?
a. Rumah sendiri
b. Rumah dukun
c. Praktik Bidan
d. Praktik Dokter
e. Puskesmas
f. Rumah Bersalin
g. Rumah Sakit
h. Lainnya….
[ ]G1
H. DUKUNGAN KELUARGA DIISI OLEH
PENELITI
H.1. Apakah anggota keluarga ibu (suami, ibu kandung, ibu mertua,
saudara kandung, dll) pernah berkata/menganjurkan, meminta/menyuruh
ibu untuk memberikan makanan/minuman selain ASI/ makanan
prelakteal (contoh: madu, air putih, susu buatan, bubur, dll) ketika bayi
anda baru lahir?
0. Ya
1. Tidak
[ ]H1
7
H.2.Apakah ibu pernah mendapat dorongan atau anjuran dari keluarga
(suami, ibu kandung, ibu mertua, saudara kandung, dll) untuk menyusui
anak ibu secara ekslusif (tanpa makanan/ minuman lain sampai usia bayi
ibu 6 bulan?
0. Tidak
1.Ya
[ ]H2
I. DUKUNGAN PETUGAS KESEHATAN DIISI OLEH
PENELITI
I.1. Apakah pada saat ibu hamil petugas kesehatan pernah menghimbau
untuk tidak memberikan makanan selain ASI (seperti:madu, susu
formula dll) pada bayi baru lahir?
0. Tidak
1. Ya
[ ]I1
I.2.Apakah setelah melahirkan bidan/ petugas kesehatan lainnya
menghimbau ibu untuk memberikan makanan selain ASI (seperti: madu,
air tajin, air teh, dll)?
0. Ya
1. Tidak
[ ]I2
I.3. Apakah pada saat bayi ibu baru lahir bidan/petugas kesehatan
memberikan susu formula atau makanan lain pada bayi ibu?
0. Ya
1. Tidak
[ ]I3
HARAP DICEK KEMBALI PERTANYAANNYA
AGAR TIDAK ADA PERTANYAAN YANG TERLEWAT
TERIMA KASIH ATAS KERJA SAMA DAN PARTISIPASINYA
1
Output hasil
Frequency Table
Prelakteal
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 73 76.0 76.0 76.0
1 23 24.0 24.0 100.0
Total 96 100.0 100.0
Jenis
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 60 62.5 62.5 62.5
1 14 14.6 14.6 77.1
3 22 22.9 22.9 100.0
Total 96 100.0 100.0
Alasan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 25 26.0 26.0 26.0
4 2 2.1 2.1 28.1
5 10 10.4 10.4 38.5
6 37 38.5 38.5 77.1
99 22 22.9 22.9 100.0
Total 96 100.0 100.0
umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 41 42.7 42.7 42.7
1 55 57.3 57.3 100.0
Total 96 100.0 100.0
2
pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 58 60.4 60.4 60.4
1 38 39.6 39.6 100.0
Total 96 100.0 100.0
Tradisi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 58 60.4 60.4 60.4
1 38 39.6 39.6 100.0
Total 96 100.0 100.0
pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 55 57.3 57.3 57.3
1 41 42.7 42.7 100.0
Total 96 100.0 100.0
sikapter
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 70 72.9 72.9 72.9
1 26 27.1 27.1 100.0
Total 96 100.0 100.0
penlahir
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 7 7.3 7.3 7.3
1 89 92.7 92.7 100.0
Total 96 100.0 100.0
tempat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 92 95.8 95.8 95.8
1 4 4.2 4.2 100.0
Total 96 100.0 100.0
3
keluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 51 53.1 53.1 53.1
1 45 46.9 46.9 100.0
Total 96 100.0 100.0
dukpetugasfix
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 0 49 51.0 51.0 51.0
1 47 49.0 49.0 100.0
Total 96 100.0 100.0
Crosstabs dukpetugasfix * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
dukpetugasfix 0 Count 40 9 49
% within dukpetugasfix 81.6% 18.4% 100.0%
1 Count 33 14 47
% within dukpetugasfix 70.2% 29.8% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within dukpetugasfix 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.717a 1 .190
Continuity Correctionb 1.148 1 .284
Likelihood Ratio 1.726 1 .189
Fisher's Exact Test .235 .142
Linear-by-Linear Association 1.699 1 .192
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.26.
b. Computed only for a 2x2 table
4
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for dukpetugasfix (.00 / 1.00)
1.886 .725 4.904
For cohort Prelakteal = .00 1.163 .925 1.461
For cohort Prelakteal = 1.00 .617 .295 1.287
N of Valid Cases 96
keluarga * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
keluarga 0 Count 34 17 51
% within keluarga 66.7% 33.3% 100.0%
1 Count 39 6 45
% within keluarga 86.7% 13.3% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within keluarga 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.249a 1 .022
Continuity Correctionb 4.208 1 .040
Likelihood Ratio 5.450 1 .020
Fisher's Exact Test .031 .019
Linear-by-Linear Association 5.194 1 .023
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.78.
b. Computed only for a 2x2 table
5
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for keluarga (.00 / 1.00)
.308 .109 .869
For cohort Prelakteal = .00 .769 .614 .964
For cohort Prelakteal = 1.00 2.500 1.079 5.791
N of Valid Cases 96
tempat * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
tempat 0 Count 71 21 92
% within tempat 77.2% 22.8% 100.0%
1 Count 2 2 4
% within tempat 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within tempat 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.554a 1 .213
Continuity Correctionb .420 1 .517
Likelihood Ratio 1.331 1 .249
Fisher's Exact Test .242 .242
Linear-by-Linear Association 1.538 1 .215
N of Valid Casesb 96
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .96.
b. Computed only for a 2x2 table
6
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for tempat (.00 / 1.00)
3.381 .449 25.475
For cohort Prelakteal = .00 1.543 .576 4.138
For cohort Prelakteal = 1.00 .457 .160 1.304
N of Valid Cases 96
penlahir * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
penlahir 0 Count 5 2 7
% within penlahir 71.4% 28.6% 100.0%
1 Count 68 21 89
% within penlahir 76.4% 23.6% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within penlahir 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .088a 1 .766
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .085 1 .771
Fisher's Exact Test .672 .535
Linear-by-Linear Association .087 1 .768
N of Valid Casesb 96
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.68.
b. Computed only for a 2x2 table
7
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for penlahir (.00 / 1.00)
.772 .139 4.274
For cohort Prelakteal = .00 .935 .577 1.515
For cohort Prelakteal = 1.00 1.211 .354 4.141
N of Valid Cases 96
sikapter * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
sikapter 0 Count 54 16 70
% within sikapter 77.1% 22.9% 100.0%
1 Count 19 7 26
% within sikapter 73.1% 26.9% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within sikapter 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .172a 1 .678
Continuity Correctionb .021 1 .884
Likelihood Ratio .169 1 .681
Fisher's Exact Test .789 .434
Linear-by-Linear Association .170 1 .680
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.23.
b. Computed only for a 2x2 table
8
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for sikapter (.00 / 1.00)
1.243 .444 3.485
For cohort Prelakteal = .00 1.056 .809 1.377
For cohort Prelakteal = 1.00 .849 .395 1.826
N of Valid Cases 96
pengetahuan * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
pengetahuan 0 Count 50 5 55
% within pengetahuan 90.9% 9.1% 100.0%
1 Count 23 18 41
% within pengetahuan 56.1% 43.9% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within pengetahuan 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 15.625a 1 .000
Continuity Correctionb 13.772 1 .000
Likelihood Ratio 15.978 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 15.462 1 .000
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.82.
b. Computed only for a 2x2 table
9
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pengetahuan (.00 / 1.00)
7.826 2.587 23.677
For cohort Prelakteal = .00 1.621 1.221 2.151
For cohort Prelakteal = 1.00 .207 .084 .512
N of Valid Cases 96
Tradisi * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
Tradisi 0 Count 51 7 58
% within Tradisi 87.9% 12.1% 100.0%
1 Count 22 16 38
% within Tradisi 57.9% 42.1% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within Tradisi 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 11.369a 1 .001
Continuity Correctionb 9.780 1 .002
Likelihood Ratio 11.265 1 .001
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 11.251 1 .001
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.10.
b. Computed only for a 2x2 table
10
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Tradisi (.00 / 1.00)
5.299 1.912 14.683
For cohort Prelakteal = .00 1.519 1.139 2.025
For cohort Prelakteal = 1.00 .287 .130 .631
N of Valid Cases 96
pendidikan * Prelakteal
Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
pendidikan 0 Count 51 7 58
% within pendidikan 87.9% 12.1% 100.0%
1 Count 22 16 38
% within pendidikan 57.9% 42.1% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within pendidikan 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 11.369a 1 .001
Continuity Correctionb 9.780 1 .002
Likelihood Ratio 11.265 1 .001
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 11.251 1 .001
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.10.
b. Computed only for a 2x2 table
11
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pendidikan (.00 / 1.00)
5.299 1.912 14.683
For cohort Prelakteal = .00 1.519 1.139 2.025
For cohort Prelakteal = 1.00 .287 .130 .631
N of Valid Cases 96
umur * Prelakteal Crosstab
Prelakteal
Total 0 1
umur 0 Count 31 10 41
% within umur 75.6% 24.4% 100.0%
1 Count 42 13 55
% within umur 76.4% 23.6% 100.0%
Total Count 73 23 96
% within umur 76.0% 24.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .007a 1 .932
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .007 1 .932
Fisher's Exact Test 1.000 .559
Linear-by-Linear Association .007 1 .932
N of Valid Casesb 96
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.82.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for umur (.00 / 1.00)
.960 .373 2.471
For cohort Prelakteal = .00 .990 .789 1.243
For cohort Prelakteal = 1.00 1.032 .503 2.117
N of Valid Cases 96