faktor-faktor yang berhubungan dengan...
TRANSCRIPT
i
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN
PADA PEKERJA PEMBUATAN PIPA DAN MENARA TAMBAT LEPAS
PANTAI (EPC3) DI PROYEK BANYU URIP PT REKAYASA INDUSTRI,
SERANG-BANTEN TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
AMELIA MARIF
NIM : 109101000036
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1434 H / 2013 M
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Agustus 2013
Amelia Marif, NIM: 109101000036
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada Pekerja Pembuatan
Pipa Dan Menara Tambat Lepas Pantai (EPC3) Di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
xx + (136) halaman, (31) tabel, (2) bagan, (4) lampiran
ABSTRAK
Kelelahan merupakan perlambatan pada proses faal syaraf dan otot yang
ditandai dengan pemanjangan waktu reaksi. Kelelahan yang terjadi disebabkan oleh
adanya faktor-faktor penyebab kelelahan seperti kebisingan dan tekanan panas yang
melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan
pada pekerja yang berlangsung di bulan April-Juli 2013.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain cross
sectional study. Pengumpulan data dependen dengan reaction timer test, sedangkan
data independen dengan kuesioner. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip,
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013. Sampel penelitian berjumlah 100
pekerja. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa seluruh pekerja mengalami
kelelahan, yaitu 29% pekerja mengalami kelelahan ringan, 45% pekerja mengalami
kelelahan sedang dan 26% pekerja mengalami kelelahan berat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang memiliki hubungan yang bermakna
dengan kelelahan, yaitu umur, tekanan panas dan kebisingan. Sedangkan variabel
yang paling dominan berhubungan dengan kelelahan adalah tekanan panas.
Untuk mencegah kelelahan kerja, PT Rekayasa Industri perlu membatasi beban
kerja, mengadakan kegiatan olahraga, membuat tempat istirahat yang sejuk,
pemberian informasi mengenai pakaian yang tepat dan mengenai cara minum yang
baik, menempatkan air minum pada jarak yang relatif dekat, pengawasan intensif
terhadap pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) dan membuat sanksi untuk
pekerja yang tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT).
Kata Kunci : kelelahan pada pekerja, waktu reaksi.
Daftar Bacaan : 66 (1970 – 2013)
iv
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLMIC UNIVERSITY JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
DEPARTMENT STUDY OF PUBLIC HEALTH
Specialisation HEALTH AND SAFETY
Undergraduate Thesis, August 2013
Amelia Marif, NIM: 109101000036
Factors Associated With Fatigue On Construction Workers
Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) In Banyu Urip Project,
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten in 2013
xx + (136) pages, (31) tables, (2) chart, (4) attachment
ABSTRACT Fatigue is decelaration of nerve and muscle function that marked with
elongation of the reaction timer. Fatigue occurs from the causes of fatigue like noise
and heat stress that above Threshold Limit Value (TLV). In order that, researcher
interested to study about factors that associated about fatigue in worker at April to
July 2013.
This study used a quantitative approach with a cross-sectional study design.
Dependent data have collected with reaction timer test, and independent data by
questionnaire. Population of study is all employee who make offshore pipeline and
mooring tower (EPC3) in Banyu Urip project, PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
in 2013. Sample of population is 100 workers. Analyze data by univariate, bivariate,
and multivariate analyzes.
Based in this study, have known that all worker have fatigue, which is 29%
have a mild fatigue, 45% worker as many as fatigue, and 26% worker have a heavy
fatigue. The result showed that there are three variables have a significant association
with fatigue, that is age, heat stress and noise. While the most dominant variable is
heat stress.
To prevent fatigue in the workplace, PT Rekayasa Industri need to restrict the
workload, establish sports activities, make comfortable resting place, provide
information about the right clothes and the way of a good drink, puts drinking water
at close distance, intensive control about using Hearing Protection Equipment (HPE)
and create punishment for workers who do not use Hearing Protection Equipment
(HPE).
Keywords : Fatigue in work, reaction timer
Reading List : 66 (1970 – 2013)
vii
RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
Nama : Amelia Marif
Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 31 Agustus 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Parung bingung, Jl. Siat I RT: 04 RW: 10 No.54
Rangkapan Jaya Baru Pancoranmas, Depok 16434
No. Telp : 08978607600
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1. 1997 - 2003 : SD Negeri Parung Bingung I
2. 2003 - 2006 : Mts. Al-Zaytun
3. 2006 - 2009 : MA Al-Zaytun
4. 2009 – Juli 2013 : S1-Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kelelahan pada Pekerja Pembuatan Pipa dan Menara Tambat Lepas Pantai
(EPC3) di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013” dapat diselesaikan tepat waktu.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir mahasiswa Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada:
1. Orangtua dan keluarga, yang senantiasa mendo’akan dan mendukung penulis
dalam menyelesaikan salah satu tugas kuliah ini. Terima kasih atas perhatian dan
kasih sayang yang diberikan setiap saat.
2. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ir. Febrianti, M.Si selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Raihana Nadra Alkaff, M.MA dan ibu Catur Rosidati, MKM selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dan meluangkan waktu
untuk bimbingan mengenai penelitian skripsi ini.
5. Ibu Iting Shofwati, SKM, MKKK selaku penanggung jawab peminatan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang banyak memberikan masukan baik
mengenai tugas kuliah, atau mengenai pelajaran hidup.
6. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta termasuk para dosen tamu,
terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.
ix
7. Bapak M. Yuzar Virza yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan
bantuan dalam pelaksanaan penelitian skripsi.
8. Seluruh karyawan di site office EPC3-Banyu Urip, Banten khususnya bapak
Alfian, bapak Anton, bapak Ridwan, bapak Tikno dan bapak Ganjar dan
karyawan di PT Rekayasa Industri, khususnya Bapak Tommy yang telah
membantu pelaksanaan penelitian skripsi ini.
9. Bapak Ahmad Gozali yang telah membantu administrasi mahasiswa dari awal
hingga akhir perkuliahan.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan K3 angkatan 2009 (Denis, Nia, Fadil, Diana,
Vijeh, Rifky, Mufil, Dio, Ubay, Ipeh, Heni, Pikih, Sca, Lina, Desi, Reza, Novan,
Sandy, Defri) Keep in touch!!
11. Partner in crime in Cilegon city, mblo Daniawati, serta sahabat-sahabat istimewa:
Mentary, Indry, Amay, Nani. Terimakasih untuk perhatian, nasehat dan candaan
yang tidak pernah ada habisnya. Trust and belief that the sky will be reached
shortly~~*
12. Kak Ami 2007 dan kak Septi yang sedikit banyak direpotkan untuk penelitian ini,
serta seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat keterbatasan
dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan dari
semua pihak untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Agustus 2013
Amelia Marif
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERNYATAAN ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
LEMBAR PENGESAHAN v
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN vi
RIWAYAT HIDUP vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR BAGAN xv
DAFTAR TABEL xvi
DAFTAR LAMPIRAN xx
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Pertanyaan Penelitian 8
D. Tujuan Penelitian 11
1. Tujuan Umum 11
2. Tujuan Khusus 11
E. Manfaat Penelitian 14
1. Bagi PT Rekayasa Industri 14
2. Bagi Pekerja di PT Rekayasa Industri 14
3. Bagi Peneliti Lain 14
F. Ruang Lingkup Penelitian 14
xi
BAB II TINJAUAN PUSAKA 16
A. Definisi Kelelahan 16
B. Gejala Kelelahan 18
C. Mekanisme Kelelahan 19
D. Klasifikasi Kelelahan 20
1. Kelelahan Berdasarkan Proses 20
2. Kelelahan Berdasarkan Waktu 21
3. Kelelahan Berdasarkan Penyebab 22
E. Pengukuran Kelelahan 22
1. Pengukuran Kualitas dan Kuantitas Kerja 22
2. Perasaan Kelelahan Subyektif 23
3. Uji Psikomotorik 23
4. Uji Perfoma Mental 25
5. Uji Fusi Kelipan (flicker fusion test) 26
6. Electroenchepalography (EEG) 27
F. Dampak Kelelahan 27
G. Faktor-Faktor Penyebab Kelelahan 28
1. Jenis Kelamin 28
2. Umur 29
3. Status Gizi 30
4. Status Kesehatan 32
5. Lama Tidur 34
6. Status Perkawinan 35
7. Konsumsi Alkohol dan Obat-obatan 35
8. Konsumsi Rokok 36
9. Masa Kerja 37
10. Pekerjaan Monoton 38
11. Beban Kerja 39
xii
12. Waktu Kerja 41
13. Shift Kerja 42
14. Ergonomis 44
15. Tekanan Panas 44
16. Kebisingan 50
17. Getaran 54
18. Pencahayaan 55
19. Ventilasi 56
H. Pencegahan Kelelahan 57
I. Kontraktor 57
J. Kerangka Teori Penelitian 58
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS PENELITIAN 61
A. Kerangka Konsep 61
B. Definisi Operasional 64
C. Hipotesis Penelitian 66
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 68
A. Desain Penelitian 68
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 68
C. Populasi dan Sampel 68
D. Jenis dan Sumber Data 72
1. Data Primer 72
2. Data Sekunder 72
E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 73
1. Teknik Pengumpulan Data 73
2. Instrumen Penelitian 73
F. Pengolahan Data 81
xiii
1. Coding Data 81
2. Editing Data 82
3. Structure Data 83
4. Entry Data 83
5. Cleaning Data 83
G. Analisis Data 84
1. Analisis Univariat 84
2. Analisis Bivariat 84
3. Analisis Multivariat 85
BAB V HASIL PENELITIAN 86
A. Gambaran Umum PT Rekayasa Industri 86
1. Visi dan Misi PT Rekayasa Industri 86
B. Gambaran Umum Proyek Offshore Pipeline and Mooring
Tpwer (EPC3), Banyu Urip 87
C. Hasil Analisis Univariat 91
1. Gambaran Kelelahan 91
2. Gambaran Umur 92
3. Gambaran Status Gizi 93
4. Gambaran Lama Tidur 93
5. Gambaran Status Perkawinan 94
6. Gambaran Konsumsi Rokok 95
7. Gambaran Masa Kerja 95
8. Gambaran Tekanan Panas 96
9. Gambaran Kebisingan 97
D. Hasil Analisis Bivariat 99
1. Hubungan Antara Umur Dengan Kelelahan 99
2. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kelelahan 100
xiv
3. Hubungan Antara Lama Tidur Dengan Kelelahan 101
4. Hubungan Antara Status Perkawinan Dengan Kelelahan 102
5. Hubungan Antara Konsumsi Rokok Dengan Kelelahan 103
6. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Kelelahan 104
7. Hubungan Antara Tekanan Panas Dengan Kelelahan 105
8. Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan 106
E. Hasil Analisis Multivariat 107
BAB VI PEMBAHASAN 111
A. Keterbatasan Penelitian 111
B. Gambaran Kelelahan Pada Pekerja 111
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kelelahan Pada Pekerja 114
1. Umur 114
2. Status Gizi 116
3. Lama Tidur 119
4. Status Perkawinan 121
5. Konsumsi Rokok 123
6. Masa Kerja 125
7. Tekanan Panas 127
8. Kebisingan 130
BAB VII PENUTUP 133
A. Simpulan 133
B. Saran 134
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Nomor Halaman
2.1 Kerangka Teori Penelitian 60
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 63
xvi
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
2.1. Indeks Masa Tubuh (IMT) 30
2.2. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi,
Suhu Tubuh dan Denyut Jantung 40
2.3. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) 48
2.4. Instensitas Kebisingan Berdasarkan Waktu Pemaparan 52
2.5. Standar Tingkat Pencahayaan di Lingkungan Kerja 56
3.1. Definisi Operasional Penelitian 64
4.1. Perhitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua Proporsi 70
4.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT) 75
4.3. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Jantung 78
4.4. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) 79
5.1. Distribusi frekuensi kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan
Menara tambatlepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 91
5.2. Distribusi frekuensi umur pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 92
5.3. Distribusi frekuensi status gizi pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 93
5.4. Distribusi frekuensi lama tidur pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 94
xvii
5.5. Distribusi frekuensi status perkawin pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 94
5.6. Distribusi frekuensi konsumsi rokok pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 95
5.7. Distribusi frekuensi masa kerja pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 96
5.8. Distribusi frekuensi tekanan panas pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 97
5.9. Distribusi frekuensi kebisingan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 98
5.10. Tabulasi silang antara umur dengan kelelahan pada pekerja pembuatan
pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 99
5.11. Tabulasi silang antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 100
5.12. Tabulasi silang antara lama tidur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 101
5.13. Tabulasi silang antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
xviii
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 102
5.14. Tabulasi silang antara konsumsi rokok dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 103
5.15. Tabulasi silang antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 104
5.16. Tabulasi silang antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 105
5.17. Tabulasi silang antara kebisingan dengan kelelahan pada pekerja
Pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 106
5.18. Distribusi frekuensi kelelahan pada pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 107
5.19 Hasil analisis bivariat antara variabel umur, status gizi,
konsumsi rokok, masa kerja, tekanan panas dan kebisingan dengan
kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013. 108
5.20 Hasil analisis multivariat regresi logistik ganda antara umur,
status gizi, konsumsi rokok, masa kerja, tekanan panas dan kebisingan
dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013 109
xix
5.21. Hasil analisis multivariat antara masa kerja dan tekanan panas dengan
kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013. 109
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 2. Denah Lokasi Kegiatan di Proyek EPC3, Bakrie Construction Yard
Lampiran 3. Lembar Kuesioner
Lampiran 4. Output Analisis Data
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecelakaan kerja menurut Frank E. Bird dan George L. Germain (1990)
adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan kerugian
pada manusia, kerusakan properti, ataupun kerugian proses kerja sebagai akibat
dari kontak dengan substansi atau sumber energi yang melebihi batas
kemampuan tubuh, alat atau struktur.Penyebab kecelakaan kerja pada umumnya
digolongkan menjadi faktor manusia dan kondisi lingkungan pekerjaan.
Berdasarkan studi yang dilakukan Herbert W. Heinrich pada 75.000 kecelakaan
di industri, didapatkan bahwa 88 % kecelakaan berasal dari tindakan tidak aman,
10 % berasal dari lingkungan yang tidak aman dan 2 % nya adalah kejadian yang
tidak dapat dihindarkan (Goetsch, 2008).
Kecelakaan yang berasal dari tindakan tidak aman, erat kaitannya dengan
faktor manusia. Manusia yang juga pekerja merupakan sebuah “alat produksi”
yang dinilai tidak efisien dalam memanfaatkan aspek tenaga, keluaran fisik dan
mental (Silalahi, 1985). Terlebih lagi karena semakin meningkatnya persyaratan
kerja dan daya saing,pekerja dituntut harus tetap meningkatkan kinerja dan
produktivitasnya. Kondisi tersebut mengakibatkan timbulnya kejadian kelelahan
pada pekerja.
2
Kelelahan menurut Occupational Safety and Health (2003) merupakan
penurunan sementara atau ketidakmampuan, kurangnya keinginan dalam
menanggapi suatu kondisi atau situasi dikarenakan aktivitas mental dan fisik
yang berlebih. Kelelahan merupakan suatu perasaan dan aneka keadaan yang
disertai dengan penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja yang dapat
dilihat dari adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot yang ditandai
dengan pemanjangan waktu reaksi (Suma’mur, 1999). Kelelahan bersifat akut
dan/atau kronis yang sangat mengacu pada kelelahan fisik dan mental sehingga
membuat pekerjaterbatas untuk melakukan kegiatan sebagaimana mestinya dan
dapat memperlambat waktu reaksi, penurunan aktivitas dan kesulitan dalam
mengambil keputusan, penurunan kinerja dan menambahnya tingkat kesalahan
kerja sehingga memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri
(Workcover NSW, 2008).
Maurits dan Widodo (2008) menyimpulkan bahwa kelelahan yang terjadi
di tempat kerja memberikan kontribusi sebesar 50 % terhadap terjadinya
kecelakaan di tempat kerja. Selain itu, Dirjen Pembinaan dan Pengawasan
Ketenagakerjaan (PPK) Kemenakertrans I Gusti Made Arka mengatakan bahwa
kecelakaan yang relatif tinggi khususnya di sektor kontruksi dapat disebabkan
oleh waktu kerja pada proyek yang dikerjakan relatif lama dan nonstop atau
biasanya pekerjaan dilakukan selama 24 jam. Hal ini menyebabkan tingkat
kelelahan pekerja yang tinggi sehingga berdampak pada kecelakaan kerja
(antaranews.com).
3
Selain berdampak terhadap terjadinya kecelakaan, pekerja yang mengalami
kelelahan beresiko mengidap penyakit diabetes, asma, tekanan darah tinggi,
depresi, penyakit ginjal, penyakit jantung dan menderita anxiety (Workcover
NSW, 2008). Kelelahan juga mengakibatkan perhatian menurun, perlambatan
persepsi, sukar berpikir, penurunan kemauan dalam bekerja, dan melemahnya
aktivitas fisik dan mental sehingga dapat mengganggu produktivitas kerja
(Suma’mur, 1999).
Terdapat beberapa penelitian di Indonesia yang membahas mengenai
kelelahan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Mauludi (2009) pada
pekerja di proses produksi kantong semen pbd (paper bag division)
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup-Bogor, yang menyebutkan
bahwa seluruh pekerja yang dijadikan sampel mengalami kelelahan dengan
tingkat kelelahan berbeda-beda. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
Nurhidayati (2009) pada pekerja di bagian produksi PT Tifico, Tbk Tahun 2009
yang menyimpulkan bahwa dari 154 pekerja didapatkan 81 pekerja (52,6%)
mengalami kelelahan.
Kelelahan dengan berbagai faktor penyebabnya banyak dijumpai di tempat
kerja. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan
bahwasannya terdapat beberapafaktor yang berhubungan dengan kelelahan pada
pekerja. Ramdan (2007) menyatakan bahwa shift kerja merupakan salah satu
faktor terjadinya kelelahan pada tenaga kerja di bagian produksi PT LJP Provinsi
Kalimantan Timur. Begitu juga dengan penelitian Ihsan dan Salami (2010) yang
4
menyatakan bahwa shift kerja merupakan prediktor terbesar yang mempengaruhi
perubahan kelelahan kerja.
Faktor yang mempengaruhi kelelahan lainnya dapat berasal dari faktor
individu. Berdasarkan hasil peneltian yang dilakukan Puspita (2009) didapatkan
bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan pada pekerja yang berumur
>25 tahun dan umur ≤ 25 tahun. Sedangkan Mauludi (2010) menyebutkan bahwa
dari hasil uji statistik untuk melihat hubungan antara status perkawinan dengan
kelelahan, didapatkan Pvalue sebesar 0,045 yang berarti terdapat hubungan yang
signifikan antara status perkawinan dengan kelelahan.
Faktor lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kelelahan beberapa
diantaranya adalah kebisingan dan tekanan panas. Hasil penelitian yang
dilakukan Hanifa (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kebisingan dengan kelelahan. Dimana dari 18 sample yang diteliti, dapat
disimpulkan bahwa kebisingan dapat menyebabkan kelelahan sebesar 42,8%.
Ramdan (2007) menambahkan bahwa selain kebisingan, suhu di lingkungan
kerja juga dapat mempengaruhi kejadian kelelahan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab kelelahan pada
pekerja dapat ditemukan ditempat kerja.Demikian juga di PT Rekayasa Industri
yang merupakan salah satu sektor industri yang bergerak di bidang Engineering,
Procurement, Construction and Commissioning (EPCC) yaitu di bidang teknik,
konstruksi pengadaan, dan uji-coba operasi untuk pabrik-pabrik industri besar di
5
Indonesia. PT Rekayasa Industri telah menyelesaikan banyak proyek
pembangunan pabrik, seperti pembuatan pabrik migas, pabrik pupuk, pabrik
pembangkit listrik, pabrik bahan peledak dan lain sebagainya. Saat ini
PT Rekayasa Industri menjadi salah satu perusahaan kontraktor yang dipercaya
untuk mengerjakan salah satu fokus kegiatan di proyek Banyu Urip yang
fabrikasinya berlokasi di Bakrie Construction yard, Serang-Banten.
Unit fokus kegiatan di proyek Banyu Urip terbagi menjadi 5 Engineering,
Procurement, Construction and Commissioning (EPC)yang terdiri dari: EPC1
Central Processing Facilities (CPF), EPC2 Onshore Export Pipeline, EPC3
Offshore Pipelineand Mooring Tower, EPC4 FSO (a floating storage and
offloading) tanker conversion dan EPC5 Infrastructure. Dalam hal ini,
PT Rekayasa Industri bertanggung jawab penuh dalam unit fokus kegiatan EPC3
Offshore Pipeline and Mooring Tower yaitu fokus kegiatan pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai yang digunakan untuk mengekspor minyak yang
diproduksi ke bagian floating storage and offloading (FSO).
Proyek EPC3 Offshore Pipeline and Mooring Tower, Banyu Urip
diperkirakan akan menghabiskan waktu selama satu tahun. Aktivitas yang
dilakukandiantaranya adalah bongkar muat material dan bahan baku, persiapan
pengerjaan mesin, pemotongan bahan atau material (besi, plat, pipa, stainless),
pengelasan, penyetelan (preassembly) dan perakitan (erection). Aktivitas tersebut
dilakukan pada lokasi utama yaitu workshop area dan open area fabrication
yard.
6
Berdasarkan hasil dari monthly accident summary report proyek EPC3,
didapatkan bahwa dari periode bulan Februari sampai Maret 2013 terdapat
460 total kejadian unsafe act dan unsafe condition,10 kejadian First aid case,
1 kejadian nearmiss dan 2 damage property. Hal ini dapat terjadi karena diduga
pekerja mengalami kelelahan yang kemudian berdampak pada penambahan
tingkat kesalahan kerja dan memberikan peluang terhadap kejadian kecelakaan
kerja.
Untuk memenuhi persyaratan kerja dan memenuhi target penyelesaian,
PT Rekayasa Industri menjalankan proses kerja selama 8 jam dalam sehari. Di
lingkungan kerja juga dapat ditemukan adanya faktor penyebab kelelahan seperti
kebisingan yang terdapat di workshop yang mencapai 95 dB dan suhu yang
terdapat di workshop areaberkisar antara 380 C – 39
0 C. Selain itu, berdasarkan
hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan April 2013
didapatkan bahwa dari 10 pekerja, 90 % pekerja mengalami kelelahan, yang
terbagi menjadi 4 pekerja mengalami kelelahan ringan, 4 pekerja mengalami
kelelahan sedang, dan 1 pekerja mengalami kelelahan berat. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya upaya preventif untuk mencegah timbulnya kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai dengan mengeleminasi
atau mengurangi penyebab kelelahan baik yang berasal dari dalam pekerja
ataupun dari pekerjaan.
7
B. Rumusan Masalah
Kelelahan ditempat kerja akan berdampak buruk terhadap keselamatan,
kesehatan dan produktivitas pekerja dalam bekerja. Kelelahan dapat terjadi jika
ditemukan adanya faktor-faktor penyebab kelelahan ditempat kerja, seperti
intensitas kerja fisik dan mental, circadian rhythm, status kesehatan, keadaan
gizi, problem fisik serta faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, pencahayaan,
ergonomi, kebisingan dan tekanan panas. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa
faktor penyebab kelelahan yaitu kebisingan dan tekanan panas ditemukan pada
kegiatan Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) proyek Banyu Urip,
PT Rekayasa Industri.
Berdasarkan hasil pengukuran, tingkat kebisingan yang terdapat di
workshop area mencapai 95 dB dan jika dibandingan dengan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011, tingkat kebisingan sudah melebihi
Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditentukan. Selain itu, hasil pengukuran suhu
lingkungan workshop area, didapatkan bahwa suhu lingkungan kerja adalah
sebesar 380 C – 39
0 C dan suhu tersebut melebihi comfort zone temperature
berdasarkanKeputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002 yaitu
sebesar 180 C – 30
0 C.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada
10 pekerja, didapatkan sebanyak 9 pekerja (90%) mengalami kelelahan, yang
terbagi menjadi 4 pekerja (40%) mengalami kelelahan kerja ringan (KKR),
4 pekerja (40%) mengalami kelelahan kerja sedang (KKS), dan 1 pekerja (10%)
8
mengalami kelelahan kerja berat (KKB). Berdasarkan hal tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kelelahan Pada Pekerja Pembuatan Pipa Dan
Menara Tambat Lepas Pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa
Industri, Serang-Banten Tahun 2013”.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa
Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
2. Bagaimana gambaran umurpada pekerja pembuatan pipa dan menara
tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013?
3. Bagaimana gambaran status gizi pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa
Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
4. Bagaimana gambaran lama tidur pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
5. Bagaimana gambarankonsumsi rokokpada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
9
6. Bagaimana gambaran status perkawinan pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
7. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
8. Bagaimana gambaran tekanan panas pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
9. Bagaimana gambaran kebisingan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
10. Apakah terdapat hubungan antara umur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
11. Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
12. Apakah terdapat hubungan antara lama tidur dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
10
13. Apakah terdapat hubungan antara konsumsi rokokdengan kelelahan
pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
14. Apakah terdapat hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan
pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
15. Apakah terdapat hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
16. Apakah terdapat hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
17. Apakah terdapat hubungan antara kebisingan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai(EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
18. Apa faktor paling dominan yang mempengaruhi kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013?
11
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
b. Diketahuinya gambaran umur pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
c. Diketahuinya gambaran status gizi pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
d. Diketahuinya gambaran lama tidur pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
e. Diketahuinya gambaran konsumsi rokok pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
12
f. Diketahuinya gambaran status perkawinan pada pekerja pembuatan
pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
g. Diketahuinya gambaran masa kerja pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
h. Diketahuinya gambaran tekanan panas pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
i. Diketahuinya gambaran kebisingan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
j. Diketahuinya hubungan antara umur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
k. Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
l. Diketahuinya hubungan antara lama tidur dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
13
m. Diketahuinya hubungan antara konsumsi rokok dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
n. Diketahuinya hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan
pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3)
di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-BantenTahun
2013.
o. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
p. Diketahuinya hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
q. Diketahuinya hubungan antara kebisingan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
r. Diketahuinya faktor paling dominan yang mempengaruhi kelelahan
pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3)
di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013.
14
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi PT Rekayasa Industri
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam
merancang program manajemen yang tepat untuk mengatasi permasalahan
kelelahan di setiap proyek PT Rekayasa Industri.
2. Bagi Pekerja di PT Rekayasa Industri
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan pada
pekerjaterkait faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan, sehingga
pekerja dapat melakukan pencegahan terhadap timbulnya kelelahan.
3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk peneliti
lain ketika melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kelelahan secara mendetail dan mendalam.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kelelahan pada pekerja. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
dengan desain cross sectional dan pengambilan sample dengan menggunakan
simple random sampling yang dilaksanakan pada bulan April sampai Juli Tahun
2013 oleh mahasiswi peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tahun 2009.
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data Primer
didapatkan dari pengukuran kelelahan menggunakan Reaction Timer, variabel
15
tekanan panas dengan Wet Bulb Globe Temperature (WBGT), variabel
kebisingan dengan Sound Level Meter(SLM), variabel status gizi dengan
pengukuran berat badan dengan timbangan dan pengukuran tinggi badan dengan
microtoise. Untuk variabel umur, lama tidur, konsumsi rokok, status perkawinan
dan masa kerja pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
Sedangkan data sekunder yang digunakan pada penelitian ini yaitu data yang
diperoleh dari perusahaan seperti data kecelakaan,data ketenagakerjaan dan profil
perusahaan.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II Tinjauan Pustaka membahas mengenai definisi kelelahan, gejala
kelelahan, mekanisme kelelahan, klasifikasi kelelahan, pengukuran kelelahan
dengan bebagai macam metode pengukuran dan dampak kelelahan. Selain itu
terdapat penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab kelelahan berdasarkan teori
yang dikemukakan Kroemer dan Grandjean (1997), Suma’mur (1999) dan
Bridger (2003). Tinjuan pustaka juga membahas mengenai cara pencegahan
kelelahan ditempat kerja serta definisi kontraktor yang merupakan objek dari
penelitian ini.
A. Definisi Kelelahan
Para ahli telah banyak mengemukakan mengenai definisi kelelahan. Secara
umum semua definisi menunjukkan bahwa akibat dari kelelahan adalah berupa
gangguan negatif yang akan diterima tenaga kerja. Menurut Occupational Safety
and Health (2003) kelelahan merupakan penurunan sementara atau
ketidakmampuan, kurangnya keinginan dalam menanggapi suatu kondisi atau
situasi dikarenakan aktivitas mental atau fisik yang berlebih. Dengan kelelahan
fisik, otot seseorang tidak dapat melakukan kegiatan apapun semudah seperti
sebelumnya dan dengan kelelahan mental seseorang tidak dapat memusatkan
pikiran seperti sebagaimana mestinya (Spiritia, 2004).
17
Suma’mur (1999) mendefinisikan kelelahan kerja sebagai aneka keadaan
yang disertai dengan penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja serta
lambatnya merespon suatu keadaan yang dapat disebabkan oleh kelelahan yang
sumber utamanya adalah kelelahan visual (indera penglihatan), kelelahan fisik
umum, kelelahan syaraf, kelelahan oleh lingkungan yang monoton dan kelelahan
oleh lingkungan yang bersifat kronis atau terus menerus sebagai faktor secara
menetap. Kejadian kelelahan pada pekerja ini dapat dilihat dari adanya
perlambatan pada proses faal syaraf dan otot yang ditandai dengan pemanjangan
waktu reaksi.
L.R Hartley dalam artikel Fatigue and Driving juga menyimpulkan bahwa
kelelahan merupakan suatu keadaan dimana individu menyatakan bahwa dirinya
tidak ingin melanjutkan tugas lagi, dikarenakan tuntutan tugas yang harus
dikerjakan meningkat dan membuat kinerja mereka menurun (Karwowski, 2001).
Sedangkan Bridger (2003) mendeskripsikan kelelahan menjadi tiga definisi
umum, yang pertama yaitu kelelahan merupakan kantuk (kelelahan yang
disebabkan karena kurangnya waktu tidur dan adanya gangguan irama sirkadian),
kelelahan juga disebut dengan “capek” karena melakukan aktivitas fisik yang
berat atau berlebih dan juga mengacu pada kelelahan mental akibat melakukan
pekerjaan yang sama berulang-ulang.
18
B. Gejala Kelelahan
Kelelahan memang mudah untuk dihilangkan, dengan istirahat yang cukup
perasaan lelah akan segera hilang. Namun, kelelahan yang terjadi secara terus
menerus akan berakibat pada kelelahan yang bersifat kronis (Suma’mur, 2009).
Oleh sebab itu, baik tenaga kerja ataupun pengusaha perlu mengetahui kejadian
kelelahan yang dapat dikenali dengan melihat gejala kelelahan. Adapun gejala
kelelahan menurut Suma’mur (2009) adalah sebagai berikut:
1. Perasaan berat dikepala
2. Menjadi lelah seluruh badan
3. Kaki merasa berat
4. Menguap
5. Pikiran terasa kacau
6. Menjadi Mengantuk
7. Merasakan beban pada mata
8. Kaku dan canggung dalam
gerakan
9. Tidak seimbang ketika
berdiri
10. Ingin berbaring
11. Susah dalam berpikir
12. Lelah berbicara
13. Menjadi gugup
14. Tidak dapat berkonsentrasi
15. Tidak mempunyai perhatian
terhadap sesuatu
16. Cenderung untuk lupa
17. Kurang kepercayaan
18. Cemas terhadap sesuatu
19. Tidak dapat mengontrol
sikap
20. Tidak dapat tekun dalam
pekerjaan
21. Sakit kepala
22. Bahu terasa kaku
23. Punggung terasa nyeri
24. Pernafasan terasa tertekan
25. Haus
19
26. Suara Serak
27. Merasa pening
28. Spasme dari kelopak mata
29. Tremor pada anggota badan
30. Merasa kurang sehat
C. Mekanisme Kelelahan
Perasaan kelelahan merupakan reaksi fungsionil dari cortex cerebri yang
merupakan pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik, yaitu
sistem penghambat atau inhibisi yang terdapat di dalam thalamus yang berfungsi
menurunkan kemampuan manusia dalam bereaksi dan membuat seseorang ingin
beristirahat atau tidur. Serta sistem penggerak atau aktivasi yang terdapat di
dalam formatio retikularis yang bekerja merangsang pusat vegetatif untuk
konversi ergotropis dari peralatan dalam tubuh untuk bekerja, melarikan diri dan
lain-lain (Suma’mur, 2009).
Keadaan seseorang sangat dipengaruhi oleh kedua sistem tersebut yang
bekerja secara berlawanan (protagonis). Jika sistem penghambat lebih kuat, maka
seseorang akan merasakan kelelahan dan penyesuaian trofotropik akan beraksi
sehingga tindakan organ motorik akan menurun. Begitu juga sebaliknya, jika
sistem penggerak bekerja secara dominan, maka seseorang akan merasa segar,
penyesuaian ergotropik berjalan dan terdapat ketersediaan organ motorik untuk
bekerja (Sastrowinoto, 1985).
20
D. Klasifikasi Kelelahan
1. Kelelahan Berdasarkan Proses
a. Kelelahan Otot
Kelelahan otot atau dapat juga dikenal dengan kelelahan lokal dapat
disebabkan oleh jenis pekerjaan. Kelelahan otot menandakan bahwa tubuh
tidak dapat melanjutkan kegiatan, sehingga menjadikan seseorang berhenti
melakukan kegiatan. Kelelahan otot juga merupakan sinyal agar seseorang
beristirahat sebelum terjadinya kelelahan lebih berat dan mengalami
kerusakan otot (Kroemer et al, 2010).
Gejala kelelahan otot dapat terlihat pada gejala yang tampak dari luar
adalah berkurangnya kecepatan gerakan pekerja (Budiono dkk, 2003).
Gejala lain yang menunjukan adanya kelelahan otot adalah penerimaan
stimulus dengan kontraksi awal jaraknya semakin lama atau lamban,serta
perlambatan pada kontraksi dan relaksasi otot (Kroemer et al, 2010).
b. Kelelahan Umum
Kelelahan umum yaitu kelelahan yang ditandai dengan berkurangnya
kemampuan dalam bekerja yang dapat disebabkan oleh monotoni,
intensitas, lama kerja, keadaan lingkungan, kondisi mental, status
kesehatan dan gizi seseorang (Suma’mur, 2009). Gejala kelelahan umum
ditandai dengan adanya perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh,
sehingga aktivitas kerja menjadi terganggu dan terhambat (Budiono dkk,
2003).
21
2. Kelelahan Berdasarkan Waktu
a. Kelelahan Akut
Kelelahan akut biasanya mempunyai gejala yang terjadi secara cepat
dan berakhir dengan cepat pula. Kelelahan akut dapat terjadi ketika kerja
suatu organ atau seluruh organ tubuh berlebihan dan datang secara tiba-
tiba. Salah satu cara untuk menghilangkan kelelahan akut adalah dengan
istirahat yang cukup.
b. Kelelahan Kronis
Kelelahan kronis terjadi akibat adanya akumulasi efek kelelahan pada
jangka waktu yang panjang dan kerap muncul saat bangun di pagi hari dan
terjadi sebelum tenaga kerja melakukan pekerjaan (Budiono dkk, 2003).
Pekerja yang menderita kelelahan kronis akan menjadi sumber
permasalahan (trouble maker) diperusahaan (Suma’mur, 2009).
Penyebab kelelahan kronis diantaranya adalah faktor fisik ditempat
kerja, faktor fisiologis yaitu akumulasi dari substansi toksin dalam darah
dan faktor psikologis yaitu komplik yang mengakibatkan stres emosional
yang berkepanjangan. Sedangkan gejala kelelahan kronis seperti sakit
kepala, rasa pusing, sulit tidur, jantung berdebar, berkeringat secara tiba-
tiba, nafsu makan menurun dan adanya gangguan pencernaan (Kroemer
dan Grandjean, 1997).
22
3. Kelelahan Berdasarkan Penyebab
a. Kelelahan Fisiologis
Kelelahan fisiologis adalah kelelahan yang timbul karena adanya
perubahan-perubahan fisiologis dalam tubuh. Kelelahan fisiologis berasal
dari faktor lingkungan fisik di tempat kerja seperti penerangan, kebisingan,
dan suhu panas (Soetomo, 1981).
b. Kelelahan Psikologis
Kelelahan psikologis dapat terjadi apabila pengaruh atau hal-hal
diluar diri pekerja seperti suasana kerja, hubungan dengan sesama pekerja
maupun dengan atasan, berinteraksi dengan faktor yang terdapat didalam
diri pekerja sehingga berdampak pada tingkah laku atau perbuatan
seseorang. Indikator menurunnya keadaan fisik dan psikis seseorang
adalah adanya alat pelindung alami seperti perasaan letih, merasa haus,
lapar dan lainnya (Depnakertrans, 2004).
E. Pengukuran Kelelahan
1. Pengukuran Kualitas dan Kuantitas Kerja
Kualitas dan kuantitas dari hasil kerja kadang kala digunakan sebagai
cara pengukuran kelelahan tidak langsung pada industri atau pada tempat
kerja. Kuantitas atau jumlah output dapat digambarkan sebagai angka dari
masing-masing unit proses. Waktu yang dihabiskan pada masing-masing unit
23
dan output yang dihasilkan menunjukan angka atau jumlah kinerja operasional
per unit waktu (Tarwaka dkk, 2004).
Kelelahan dan rata-rata jumlah produksi tentunya saling berhubungan
secara umum, akan tetapi hal ini tidak dapat digunakan sebagai bentuk
pengukuran langsung dikarenakan masih banyak faktor lainnya yang harus
dipertimbangkan, seperti target produksi, faktor sosial, dan sikap psikologi
dalam bekerja. Kadang kala kelelahan membutuhkan pertimbangan dalam
hubungannya dengan kualitas hasil (kinerja buruk, produk gagal, dan properti
yang rusak) atau kejadian kecelakaan, dan yang terakhir yakni keberadaan
kelelahan tidak menjadi satu-satunya faktor penyebab kualitas dan kuantitas
kerja yang buruk (Kroemer dan Grandjean, 1997).
2. Perasaan Kelelahan Subyektif
Metode pengukuran kelelahan secara subyektif atau The Subjective
Symptom Test (SST) pertama kali dikeluarkan oleh Industrial Fatigue
Research Committee of Japanese Association of Industrial Health (IFRC
Jepang) pada tahun 1967. The Subjective Symptom Test (SST) merupakan
pengukuran kelelahan berbentuk kuesioner yang berisi 30 pertanyaan
mengenai gejala kelelahan kerja (Susetyo, 2008).
3. Uji Psikomotorik
Uji Psikomotorik merupakan salah satu cara pengujian kelelahan dengan
mengukur fungsi persepsi, interpretasi, dan reaksi motorik (Kroemer dan
Grandjean, 1997). Uji yang digunakan pada umumnya adalah dengan
24
melakukan pengukuran waktu reaksi (Reaction Timer Test) untuk melihat
waktu reaksi yang sederhana atau rangsangan tunggal secara selektif pada
tenaga kerja (Suma’mur, 1999).
Waktu reaksi adalah interval selama implus saraf dihantarkan ke otak
dan kemudian diteruskan ke otot. Waktu reaksi merupakan jangka waktu dari
pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau
dilaksanakan kegiatan. Waktu reaksi yang panjang menunjukan adanya
perlambatan pada proses faal syaraf dan otot (Suma’mur, 2009).
Reaction Timer merupakan sebuah alat yang digunakan untuk
pengukuran tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi. Prinsip
kerja dari alat ini adalah memberikan rangsangan tunggal berupa rangsangan
cahaya atau lampu yang kemudian tenaga kerja akan meresponnya, sehinga
dapat dihitung waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk merespon signal
tersebut. Pada keadaan yang sehat, tenaga kerja akan lebih cepat merespon
rangsang yang diberi sedangkan pekerja yang mengalami kelelahan akan lebih
lama merespon rangsang yang diberi (Koesyanto dan Tunggul, 2005).
Pengukuran waktu reaksi dilakukan sebanyak 5 kali, setiap hasil
pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-ratanya. Eksperimen
menggunakan Reaction Timer sangat penting dan menarik. Hal tersebut
dikarenakan hasil yang didapatkan dari pengukuran ini tidak hanya sekedar
mengetahui perbedaan kecepatan persepsi individu, akan tetapi akan
25
didapatkan informasi mengenai kegunaan fungsi sistem syaraf yaitu atensi,
kemampuan proses persepsi dan proses kecepatan reaksi.
Kelebihan dari pengukuran kelelahan dengan Reaction Timer
diantaranya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan keahlian khusus,
murah dan memungkinkan jika ingin melakukan pengukuran rutin. Hasil
pengukuran dengan Reaction Timer akan dibandingkan dengan standar
pengukuran kelelahan yaitu : (Koesyanto dan Tunggul, 2005)
a. Normal : waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik
b. Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi > 240,0 - < 410,0 mili
detik
c. Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410,0– < 580,0 mili detik
d. Kelelahan Kerja Berat (KKB) : waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik.
4. Uji Performa Mental
Uji performa mental merupakan pengukuran kelelahan yang meliputi:
(Kroemer dan Grandjean, 1997)
a. Masalah aritmatika
b. Uji konsentrasi (crossing-out test)
c. Uji estimasi (dengan uji estimasi interval waktu)
d. Uji memori atau ingatan
Konsep awal dari uji perfoma mental hampir sama dengan uji
psikomotorik. Uji ini dapat memacu seseorang untuk menentukan dan
mengeluarkan tanda-tanda kelelahan. Faktor lain yang berperan adalah akibat
26
pelatihan dan pengalaman. Apabila uji terus dilakukan, maka gejala kelelahan
akan muncul dengan sendirinya (Kroemer dan Grandjean, 1997).
5. Uji Fusi Kelipan (flicker fusion test)
Menurut Suma’mur (2009) flicker fusion test merupakan salah satu
metode pengukuran kelelahan kerja. Frekuensi kerlingan mulus
(Flicker Fusion Frequency) dari mata adalah kemampuan mata untuk
membedakan cahaya berkedip dengan cahaya yang dipancarkan secara terus-
menerus. Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat
kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang
diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk
mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja
(Tarwaka dkk, 2004).
Cara melakukan uji fusi kelipan adalah menempatkan responden yang
diteliti kemampuannya di depan sumber cahaya yang berkedip. Kedipan
dimulai dari lambat (frekuensi rendah), kemudian perlahan-lahan dinaikkan
semakin cepat dan lama-lama cahaya tersebut akan menjadi cahaya yang
kontinu (mulus). Frekuensi batas/ambang dari kelipan itulah disebut
”frekuensi kelipan mulus”.
Bagi orang yang tidak lelah, frekuensi ambang jika memakai cahaya
pendek adalah 2 Hertz atau 0.6 Hertz jika memakai cahaya siang (day light).
Jika seseorang dalam keadaan lelah, maka angka frekuensi berkurang dari
2 Hertz atau 0.6 Hertz. Pada seseorang yang lelah sekali atau setelah
27
menghadapi pekerjaan monoton, angka frekuensi kerling mulus bias antara
0.5 Hertz atau lebih dibawah frekuensi kerling mulus dari orang yang sedang
dalam keadaan tidak lelah (Sastrowinoto,1985).
6. Electroenchepalography (EEG)
Electroenchepalography (EEG) merupakan metode pengukuran
kelelahan yang paling tepat. Yaitu dengan mengukur gelombang listrik pada
otak. Metode ini banyak digunakan dalam penelitian laboratorium.
Pengukuran kelelahan dengan EEG yaitu dengan merekam gelombang listrik
yang terdapat di otak, sehingga diketahui berbagai amplitudo dan frekuensi
yang menunjukan keadaan kelelahan (Kroemer dan Grandjean, 1997).
F. Dampak Kelelahan
Kelelahan pada pekerja akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan,
antara lain menurunnya perhatian, perlambatan dalam persepsi, lambat dan sulit
dalam berpikir, menurunnya keinginan atau dorongan untuk melakukan
pekerjaan dan berkurangnya efisiensi kegiatan fisik dan mental (Depnakertrans,
2004). Salah satu dampak yang pasti dari adanya perasaan kelelahan pada tenaga
kerja adalah berkurangnya tingkat kewaspadaan, yang disebabkan tenaga kerja
tidak mampu untuk berkonsentrasi secara terus-menerus untuk aktifitas fisik
ataupun mental. Akibatnya, akan terjadi gangguan persepsi dan kecepatan reaksi
akan berkurang (Sastrowinoto, 1985).
28
Tenaga kerja yang merasa lelah akan mengalami penurunan daya tahan
tubuh, sulit berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaan, menurunnya
produktivitas kerja, bahkan biasa menyebabkan kecelakaan bagi tenaga kerja.
Workcover NSW (2008) juga mengatakan bahwa apabila seseorang mengalami
kelelahan, maka pekerja tersebut beresiko mengidap penyakit diabetes,asma,
tekanan darah tinggi, depresi, penyakit ginjal, penyakit jantung dan menderita
anxiety.
G. Faktor- Faktor Penyebab Kelelahan
1. Jenis Kelamin (Bridger,2003) (Suma’mur, 1999)
Penggolongan jenis kelamin terbagi menjadi pria dan wanita. Secara
umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari kemampuan fisik
atau kekuatan otot laki-laki (Suma’mur, 1999). Walaupun dengan umur,
berat badan dan kondisi fisik yang sama, dapat dipastikan bahwa wanita
memiliki kekuatan yang lebih rendah dari pria (Lehto dan Buck, 2008).
Tenaga kerja wanita mengalami siklus biologis (menstruasi) setiap
bulan sehingga mempengaruhi kondisi fisik maupun psikisnya dan hal ini
menyebabkan tingkat kelelahan wanita akan lebih besar dari pada tingkat
kelelahan pria (Suma’mur, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Virgy (2011) disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kelelahan pada karyawan di instalasi
gizi RSUD Pasar Rebo, Jakarta.
29
2. Umur (bridger,2003) (Suma’mur, 1999)
Semakin tua umur seseorang maka akan semakin besar tingkat
kelelahan yang dirasakan (Ihsan dan Salami, 2010). Davis (2001)
menyatakan bahwa pekerja yang berumur diatas 35 tahun memiliki
kelemahan pada saat melakukan pekerjaan dengan temperatur panas
dibandingkan dengan pekerja yang lebih muda. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa semakin tua umur seseorang, maka akan semakin besar
tingkat kelelahan yang dirasakan.
Pemikiran terkini menekankan bahwa fenomena dasar adanya penuaan
adalah hilangnya fungsi otot, terjadinya penurunan curah jantung, dan
hilangnya kapasitas aerobik sehingga hal tersebut menurunkan kapasitas
kerja seseorang (Bridger, 2003). Suma’mur (1999) juga menyatakan bahwa
kelelahan yang terjadi sejalan dengan meningkatnya umur seseoraang
disebabkan oleh adanya perubahan fungsi faal pada tubuh yang kemudian
mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang. Hal ini juga
sebanding dengan peneltian yang dilakukan Puspita (2009) yang
menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan pada pekerja
yang berumur > 25 tahun dan umur ≤ 25 tahun.
30
3. Status Gizi (OHS, 2003) (Suma’mur, 1999) (Lehto, 2008) (bridger,2003) (Kroemer dan Grandjean
Status gizi adalah ukuran keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009). Status gizi
seseorang dapat diketahui dari perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT).
Adapun cara perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
𝐼𝑀𝑇 =BB (Dalam kg )
TB ² (Dalam m)
Hasil perhitungan IMT tesebut akan dibandingkan dengan standar
yang diterapkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) Tahun 2004.
Adapun standar IMT yang ditetapkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Keadaan gizi merupakan salah satu faktor individu yang menyebabkan
kelelahan pada pekerja (Kroemer dan Grandjean, 1997). Seorang pekerja
dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan ketahanan
tubuh yang lebih baik, begitu juga sebaliknya (Budiono dkk, 2003). Pada
keadaan gizi buruk, dengan beban kerja berat akan mengganggu kerja dan
Berat IMT (kg/ m 2)
Sangat Kurus < 17
Kurus 76.0 – 18.4
Normal 18.5 – 24.9
Kelebihan Berat Badan 25.0 – 26.9
Gemuk 27.0 – 28.9
Sangat gemuk > 29
31
menurunkan efisiensi dan ketahanan tubuh sehingga mudah terjangkit
penyakit dan mempercepat timbulnya kelelahan. Wiegand (2009) juga
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan status gizi berlebih atau dengan
IMT obesitas dengan kelelahan. Seseorang dengan IMT obesitas akan
merasakan kelelahan yang lebih berat dibandingkan dengan IMT non-
obesitas. Seseorang dengan IMT obesitas akan mudah merasakan gangguan
tidur dan terjangkit penyakit degeneratif seperti diabetes yang kemudian
berdampak pada kejadian kelelahan.
Keadaan kurang atau kelebihan gizi pada orang dewasa atau usia 18
tahun ke atas juga merupakan masalah penting. Kekurangan dan kelebihan
gizi dapat menimbulkan suatu penyakit tertentu dan mempengaruhi
produktivitas kerja. Dalam kondisi kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi
pada tubuh akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Bila keadaan ini
berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan dapat terjadi
kemerosotan jaringan sehingga menyebabkan perubahan biokimia dan
rendahnya zat gizi dalam darah berupa rendahnya Hb, serum vitamin A dan
Karoten. Selain itu, akan terjadi peningkatan beberapa hasil metabolisme
seperti asam laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Bila keadaan ini
berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya perubahan
fungsi tubuh dengan gejala seperti lemah, pusing, kelelahan, nafas pendek
dan lain-lain (Supriasa dkk, 2002).
32
4. Status Kesehatan (OSS, (Suma’mur Lehto 2008 (bridger,2003) (WORKCOVER, 2008) (Kroemer dan
Kroemer dan Grandjean (1997) menyatakan bahwa kelelahan secara
fisiologis dan psikologis dapat terjadi jika tubuh dalam kondisi tidak fit/sakit
atau seseorang mempunyai keluhan terhadap penyakit tertentu. Beberapa
penyakit memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya kelelahan. Adapun
penyakit yang berkontribusi besar terhadap terjadinya kelelahan adalah:
a. Penyakit Jantung: Seseorang yang mengalami nyeri jantung jika
kekurangan darah, kebanyakan menyerang bilik kiri jantung sehingga
paru-paru akan mengalami bendungan dan penderita akan mengalami
sesak napas sehingga akan mengalami kelelahan.Penderita penyakit
jantung cenderung mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen
jika terus menerus, maka terjadi akumulasi yang selanjutnya terjadi
metabolisme anaerobik dimana akan menghasilkan asam laktat yang
mempercepat kelelahan (Santoso, 2004).
b. Penyakit Gangguan Ginjal: Pada penderita gangguan ginjal, sistem
pengeluaran sisa metabolisme akan terganggu sehingga tertimbun dalam
darah (uremi). Pada penderita gangguan ginjal, pengeluaran asupan
makanan dan cairan/elektrolit ataupun keringan sulit untuk
dikendalikan, sehingga meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung
meningkat dan kelelahan akan mudah terjadi (Suma’mur, 1999).
c. Penyakit Asma: Pada penderita penyakit asma terjadi gangguan saluran
udara bronkus kecil bronkiolus. Proses transportasi oksigen dan
33
karbondioksida terganggu sehingga terjadi akumulasi karbondioksida
dalam tubuh yang menyebabkan kelelahan. Terganggunya proses
tersebut karena jaringan otot paru-paru terkena radang.
d. Tekanan Darah Rendah: Pada penderita tekanan darah rendah, kerja
jantung dalam memompa darah ke bagian tubuh yang membutuhkan
kurang maksimal dan lambat sehingga kebutuhan oksigennya tidak
terpenuhi, sehingga proses kerja terhambat karena kurangnya
ketersediaan oksigen.
e. Tekanan Darah Tinggi: Tekanan darah tinggi menyebabkan kerja
jantung menjadi lebih kuat sehingga jantung membesar dan tidak lagi
mampu memompa darah untuk diedarkan keseluruh tubuh. Sehingga
terjadi sesak nafas akibat pertukaran oksigen (O2) terhambat. Pada
penderita hipertensi aliran darah pada otot (ketika berkontraksi) sangat
terbatas, otot menekan pembuluh darah sehingga oksigen yang dibawa
berkurang dan memungkinkan terjadinya kelelahan (Santoso, 2004).
f. Penyakit Paru: Pada penyakit paru, oksigen (O2) dan karbondioksida
(CO2) terganggu sehingga banyak yang tertimbun yang akhinya akan
menyebabkan seseorang cepat mengalami kelelahan.
g. Masalah Psikologis: Tenaga kerja yang sehat adalah tenaga kerja yang
produktif, sehingga kesehatan psikis perlu diperhatikan untuk mencapai
produktivitas yang tinggi. Tenaga kerja yang mempunyai masalah
psikologis amatlah mudah mengidap suatu bentuk kelelahan kronis
34
(Budiono dkk, 2003). Stres yang timbul saat pekerjaan, maka akan dapat
menimbulkan kelelahan saat bekerja (Bridger, 2003).
5. Lama Tidur (WORKCOVER, 2008) (OSHS, 2003) (OHS, 2003) (Kroemer dan Grandjean, 1997).
Menurut Occupational Safety and Health (2003) hal-hal yang dapat
menghilangkan perasaan kelelahan seseorang diantaranya adalah waktu
istirahat atau lama tidur. Tidur merupakan suatu proses otak yang
dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik. Rata-rata
orang dewasa sehat membutuhkan lama tidur sekitar 7-8 jam tiap malam
(Kozier et al, 2008). Tidur dimalam hari ataupun waktu bebas disiang hari
memberikan kontibusi bagi istirahat psikis dan fisik sehingga kesehatan dan
efisiensi tubuh terjaga dan kejadian kelelahan dapat dihilangkan (Budiono
dkk, 2003).
Nadia (2009) menyatakan bahwa pencegahan kelelahan pada tenaga
kerja yang paling baik dilakukan adalah dengan mengelola jam kerja, lama
tidur dan mengelola bahaya yang terkait dengan kelelahan. Penelitian Nadia
(2009) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan proporsi kelelahan antara
responden yang memiliki jam tidur optimal dengan responden yang tidak
memiliki lama tidur optimal. Responden yang tidak memiliki jam tidur yang
optimal memiliki peluang 4 kali lebih besar untuk mengalami kelelahan
dibandingkan dengan responden dengan lama tidur optimal.
35
6. Status Perkawinan (WORKCOVER, 2008)
Seseorang yang sudah menikah dan memiliki keluarga maka akan
mengalami kelelahan akibat kerja dikarenakan waktu setelah bekerja
digunakan untuk melayani anak dan istrinya, bukan untuk beristirahat
(Puspita, 2009). Selain itu, pekerja yang memiliki tanggung jawab khusus,
dalam hal ini seorang suami atau istri akan memiliki tanggung jawab lebih
dalam memenuhi kebutuhan keluarga (Workcover NSW, 2008).
Penelitian Mauludi (2009) yang dilakukan pada 100 pekerja di proses
produksi kantong semen pbd (paper bag division) PT Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk, didapatkan Pvalue sebesar 0,045 yang berarti terdapat
hubungan bermakana antara status perkawinan dengan kelelahan.
7. Konsumsi Alkohol dan Obat-obatan (WORKCOVER 2008) (bridger,2003)
Dapat diketahui bahwa obat-obatan dan alkohol dapat menyebabkan
gangguan koordinasi bagi penggunanya (Astrand dan Rodahl, 1970).
Dengan mengkonsumsi alkohol, detak jantung akan meningkat, pembuluh
darah di lengan dan kulit melebar, dan tekanan darah menurun. Sedangkan
jika mengkonsumi alkohol secara rutin, maka akan menyebabkan kesulitan
bergerak, berbicara dan berkonsentrasi, kemudian akan berlanjut pada
kejadian kelelahan yang berkombinasi dengan keadaan muak atau cepat
bosan, sakit perut, pusing, meningkatnya sensitivitas pada suara dan menjadi
marah (Hanson dan Venturelli, 1983).
36
Bridger (2003) juga mengatakan bahwa mengkonsumsi alkohol akan
berefek buruk pada fungsi hati dan dapat menyebabkan rendahnya
kandungan glukosa dalam darah yang berfungsi sebagai pembentuk energi
untuk meningkatkan kapasitas kerja fisik seseoarang. Selain itu, konsumsi
alkohol juga dapat mengganggu kualitas tidur seseorang, yang kemudian jika
kualitas tidur buruk akan menyebabkan kelelahan (Workcover NSW, 2008).
Kelelahan memiliki berbagai macam penyebab yang salah satunya
juga dikarenakan efek samping pemakaian obat-obatan (Neel, 2012). Baik
obat-obatan ataupun narkotika memiliki pengaruh selektif pada susunan
syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku. Beberapa obat-obatan dapat mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat seperti koordinasi dan kewaspadaan (Harkness, 1984).
8. Konsumsi Rokok (bridger,2003) (WORKCOVER, 2008).
Kebiasaan merokok menurut Bustan (2000) adalah kegiatan yang
dilakukan berulang-ulang dalam menghisap rokok mulai dari satu batang
ataupun lebih dalam satu hari. Kebiasaan merokok akan menurunkan
kapasitas paru, sehingga kemampuan untuk membawa oksigen menurun dan
menurunkan kesegaran jasmani seseoarang, dan jika seseorang bekerja maka
kondisi tersebut menyebabkan timbulnya kelelahan kerja (Tarwaka dkk,
2004).
37
Bahaya pada rokok umumnya terdapat pada hasil pembakaran pada
rokok yaitu asap rokok, baik asap utama (mainstream smoke) dan asap
sampingan (sidestream smoke). Asap pada rokok mengandung bahan kimia
beracun dan bersifat karsinogenik. Setiap menghisap rokok, terdapat 107
radikal dalam komponen asap yang didominasi oleh radikal oksigen, nitrit
oksid, peroksil dan lain sebagainya. Secara kimia, radikal tersebut akan
segera bereaksi membentuk komponen lain seperti superoksida dan memicu
untuk menghasilkan peroksida yang secara terus menerus akan merusak
sistem pernapasan manusia (Susanto dkk, 2011).
Rokok cenderung dapat mengurangi kapasitas fisik. Penurunan
kapasitas fisik seseorang merupakan salah satu bentuk kelelahan. Merokok
dapat menurunkan kapasitas kerja akibat kelelahan yang disebabkan adanya
penurunan oksigen yang dibawa oleh darah (Bridger, 2003). Orang yang
mengkonsumsi satu pak atau lebih rokok dalam sehari dapat menurunkan
denyut jantung dua atau tiga denyutan tiap menitnya (Hanson dan Venturelli,
1983).
9. Masa Kerja (Suma’mur 1999) (WORKCOVER, 2008) (OHS, 2003)kroemer dan grandjean
Masa kerja adalah lama waktu yang telah ditempuh seseorang untuk
dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan
dengan baik (Ranupandojo, 1984). Selain memberikan dampak positif
seperti menurunkan ketegangan, peningkatan efektivitas dan perfomance
kerja, semakin lama masa kerja seseorang dapat membawa efek negatif
38
berupa adanya batas ketahanan tubuh terhadap proses kerja yang berakibat
terhadap timbulnya kelelahan. Pekerjaan yang dilakukan secara kontinyu
dapat berpengaruh terhadap sistem peredaran darah, sistem pencernaan, otot,
syaraf dan sistem pernafasan (Suma’mur, 1999).
Dampak dari masa kerja lainnya adalah timbulnya keadaan
melemahnya kinerja otot yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya/
menurunnya gerakan. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh suatu sebab
tunggal seperti terlalu kerasnya beban kerja, namun juga oleh tekanan–
tekanan yang terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang
(Occupational Safety and Health, 2003). Semakin lama seseorang
melakukan pekerjaan akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan serta
semakin banyak terpapar bahaya yang terdapat di lingkungan kerja (Budiono
dkk, 2003). Penelitian Nurhidayati (2009) menyatakan adanya hubungan
antara pekerja yang memiliki masa kerja lama dengan kelelahan.
10. Pekerjaan Monoton (WORKCOVER, 2008) (Suma’mur 1999)
Pekerjaan yang monoton dan berulang akan menyebabkan kelelahan
fisik ataupun mental (Suma’mur, 1999). Pekerjaan monoton yaitu
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan hal yang sama dalam
periode atau waktu tertentu, dan dalam jangka waktu yang lama dan
biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang besar (Budiono dkk, 2003).
Kondisi kerja yang berulang-ulang merupakan salah satu bentuk
suasana monoton yang dapat berakumulasi menjadi rasa bosan, serta
39
menjadikan pekerja merasakan kelelahan dan kejenuhan (Kroemer dan
Grandjean, 1997). Pembebanan otot secara statis dalam waktu yang cukup
lama akan mengakibatkan RSI (Repetition Strain Injuries) yaitu nyeri otot,
tulang, tendon dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang
bersifat berulang. Macleod (2000) juga menyatakan bahwa kerja statis atau
monoton menyebabkan kelelahan kerja yang kemudian dapat berdampak
pada kecelakaan, buruknya kualitas kerja serta menurunnya produktivitas.
11. Beban Kerja (Suma’mur 1999) (WORKCOVER, 2008) (OHS, 2003) (Kroemer dan Grandjean, 1997).
Beban kerja adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja
dalam melaksanakan pekerjaannya untuk mencapai tujuan bekerja (Sudrajat
dkk, 1998). Setiap pekerjaan atau aktivitas merupakan beban bagi
pelakunya. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam
hubungannya dengan beban kerja. Apabila beban kerja lebih besar daripada
kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak nyaman, kelelahan,
kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan produktivitas menurun (Santoso,
2004). Pekerjaan yang tergolong menjadi pekerjaan berat adalah semua
pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik yang besar yang dapat dilihat
melalui jumlah konsumsi energi dan yang mengakibatkan penekanan pada
kerja jantung dan paru-paru (Kroemer dan Grandjean, 1997).
Dewasa ini, beban kerja lebih mengarah pada pembebanan pada kerja
fisik atau yang sering disebut kerja otot. Permenakertrans No. 13 Tahun
2011 mengelompokan beban kerja menjadi beban kerja ringan, sedang dan
40
berat. Penetapan beban kerja tersebut sampai saat ini selalu dikaitkan dengan
konsumsi energi atau jumlah kalori yang dikeluarkan pekerja. Padahal
derajat ketegangan fisik atau beban kerja seseorang tidak seluruhnya
bergantung pada pengeluaran kalori,tetapi dapat dilakukan dengan
melakukan pengukuran denyut jantung, metabolisme, respirasi dan suhu
tubuh (Sastrowinoto, 1985).
Konz (1998) menyatakan bahwa jika berada dalam keadaan yang stabil
atau tidak emosi, denyut jantung merupakan salah satu estimasi laju
metabolisme yang baik. Berikut disajikan kategori beban kerja berdasarkan
metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung (Christensen 1996
dalam Tarwaka dkk, 2004).
Tabel 2.2 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme,
Respirasi, Suhu Tubuh dan denyut jantung
Sumber: (Christensen, 1996) Encyclopedia of Occupational Health and
Safety. ILO Ganeva)
Kategori Beban
Kerja
Konsumsi
Oksigen
(l/min)
Ventilasi
Paru
(l/min)
Suhu
Rektal
Denyut
Jantung
(denyut/min)
Ringan 0,5 – 1,0 11 – 20 37,5 75 – 100
Sedang 1,0 – 1,5 21 – 30 37,5 – 38,0 101 – 125
Berat 1,5 – 2,0 31 – 43 38,0 – 38,5 125 – 150
Sangat Berat 2,0 – 2,5 44 – 56 38,5 – 39,0 151 – 175
Sangat Berat Sekali 2,5 – 4,0 57 – 100 > 39 > 175
41
12. Waktu Kerja (WORKCOVER 2008) (Suma’mur 1999) (OHS, 2003) (Kroemer dan Grandjean, 1997).
Waktu kerja adalah lamanya waktu yang dihabiskan pekerja
melakukan pekerjaan dalam satu hari. Lamanya seseorang bekerja secara
baik pada umumnya adalah 6-8 jam setiap harinya, sedangkan sisanya (16-
18 jam) dapat digunakan untuk bersosialisasi dengan keluarga, istirahat,
tidur dan lain-lain (Suma’mur, 2009). Di Indonesia telah ditetapkan lamanya
waktu kerja sehari maksimum adalah 8 jam. Memperpanjang waktu kerja
akan menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan kerja, kecelakaan
dan penyakit akibat kerja (Tarwaka dkk, 2004).
Waktu kerja akan menentukan status kesehatan seseorang, efisiensi,
efektivitas dan produktivitas kerjanya. Suma’mur (1999) menyatakan bahwa
produktivitas mulai menurun setelah empat jam bekerja terus menerus
(apapun jenis pekerjaannya) yang disebabkan oleh menurunnya kadar gula di
dalam darah. Itulah sebabnya istirahat sangat diperlukan minimal setengah
jam setelah empat jam bekerja terus menerus agar pekerja memperoleh
kesempatan untuk makan dan menambah energi yang diperlukan tubuh
untuk bekerja. Semakin lama durasi dan insentisas dalam bekerja, maka
perasaan kelelahan akan semakin besar dirasakan oleh pekerja (Kroemer dan
Grandjean, 1997).
42
13. Shift Kerja (WORKCOVER, 2008) (OHS, 2003)
Shift kerja adalah periode waktu dimana suatu kelompok pekerja
dijadualkan bekerja pada tempat kerja tertentu (Maurits dan Widodo, 2008).
Dalam upaya menghasilkan produksi yang berkesinambungan, suatu
perusahaan terkadang mempekerjakan karyawannya dalam sistem shift
selama 24 jam. Adapun yang termasuk dalam kriteria kerja shift adalah
apabila terdapat pekerjaan yang dilakukan di luar jam kerja yang normal,
yaitu diluar pukul 07.00 sampai 18.00 (Workcover NSW, 2008).
Shift kerja memiliki berbagai macam dampak negatif yang salah
satunya adalah kelelahan. Kelelahan karena pengaruh shift kerja dapat
menyebabkan kesulitan konsentrasi dalam bekerja, meningkatkan resiko
kesalahan (human error), berdampak kepada kualitas kerja dan kecepatan
kerja, dan akhirnya menyebabkan kecelakaan kerja (Kodrat, 2011).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kecelakaan banyak terjadi
pada shift malam sehubungan dengan gangguan pada irama sirkadian
(Lerman et al, 2012). Pekerja yang bekerja pada shift malam tentu lebih
mudah merasa lelah dan mengantuk, karena pekerja sudah terbiasa bekerja di
pagi hari dan memiliki pola kantuk dan tidur tertentu, yang tentu butuh
penyesuaian jika harus berganti ke shift malam (Kodrat, 2011). Seseorang
yang memutuskan untuk bekerja melawan pengaturan biologis (untuk tidur)
dan dengan waktu yang panjang akan mengganggu worker’s body clock dan
menimbulkan kelelahan (Workcover NSW, 2008).
43
Pekerja yang bekerja pada shift malam akan mengganggu pola dan
waktu tidur. Waktu tidur seseorang merupakan salah satu siklus tetap yang
diatur oleh mekanisme khusus yang disebut dengan circadian rhythms.
Seseorang yang kekurangan waktu tidur atau memiliki gangguan circadian
rhythms lebih berpotensi untuk mengalami kelelahan. Circadian rhythms
adalah pengaturan berbagai macam fungsi tubuh dalam sehari yang meliputi
pengaturan dalam tidur, bekerja dan semua proses otonom vegetatif yang
meliputi metabolisme, temperatur tubuh, detak jantung, tekanan darah dan
pelepasan hormon (Kroemer dan Grandjean, 1997). Ganguan pada circadian
rhythms dapat diakibatkan oleh jet lag atau shift kerja (Barness et al, 2008).
Metabolisme dan faktor faal tubuh juga tidak sepenuhnya dapat
beradaptasi dengan waktu bekerja pada malam hari dan istirahat/tidur di
siang hari (Suma’mur, 2009). Hal tersebut terbukti didalam penelitian
Ramdan (2007) yang menyatakan bahwa tingkat kelelahan giliran kerja atau
shift malam lebih tinggi dibandingkan dengan giliran kerja atau shift siang.
Begitu juga dengan penelitian Ihsan dan Salami (2010) yang menyatakan
bahwa shift kerja merupakan prediktor terbesar yang mempengaruhi
perubahan kelelahan kerja.
44
14. Ergonomis OHS, 2003 Suma’mur, 1999 Kroemer dan Grandjean,
Ergonomis adalah kesesuaian antara peralatan dan perlengkapan kerja
dengan kondisi dan kemampuan manusia untuk mencapai kesehatan tenaga
kerja dan produktivitas kerja yang optimal. Occupational Safety and Health
(2003) menyebutkan bahwa sarana dan prasana yang tidak ergonomis
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kelelahan. Penyebab kelelahan
akibat tidak ergonomisnya kondisi saran, prasarana dan lingkungan kerja
merupakan faktor dominan bagi menurunnya atau rendahnya produktivitas
kerja seorang tenaga kerja (Kroemer et al, 2010).
Perancangan tugas, peralatan, dan workstation harus sesuai dengan
keadaaan tenaga kerja, bukan menunggu tenaga kerja dapat beradaptasi
dengan peralatan, sehingga hal ini dapat mengurangi kesalahan, kecelakaan,
dan kesakitan (Lerman et al, 2012). Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa apabila antara sarana,
prasarana atau peralatan kerja dengan pekerja sudah cocok, maka kelelahan
dapat dicegah sehingga proses kerja akan lebih efisien dan berdampak pada
produktivitas yang tinggi.
15. Tekanan Panas Suma’mur 1999 WORKCOVER OHS (bridger, 2003) (Kroemer dan Grandjean,
Tekanan Panas atau yang dikenal dengan iklim kerja menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 13 Tahun 2011 adalah
hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan
panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja
45
sebagai akibat pekerjaannya. Suhu nyaman bagi orang indonesia atau
comfort zone temperature adalah 240 C -26
0 C dan pada umumnya orang
Indonesia akan beraklimatisasi pada suhu iklim tropis, yaitu 280 C -32
0 C
dengan kelembaban sekitar 85-95 % atau lebih (Suma’mur, 2009).
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002 juga telah
menetapkan bahwa suhu yang terdapat di Industri sebaiknya berkisar antara
180
C - 300C. Diluar comfort zone temperature, maka produktivitas pekerja
mengalami penurunan dan risiko kecelakaan akan bertambah.
Tekanan Panas sangat berpengaruh pada kinerja sumber daya manusia,
serta lingkungan yang ekstrim (panas) memiliki efek yang signifikan pada
kapasitas kerja (Bridger, 2003). Tekanan Panas dapat mempengaruhi daya
kerja, produktivitas, efektivitas dan efisiensi kerja. Bekerja dengan suhu
yang tinggi dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja
sehingga untuk bekerja pada lingkungan dengan suhu tinggi, perlu upaya
penyesuaian waktu kerja dan penyelenggaraan perlindungan yang tepat
kepada tenaga kerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2009).
Beberapa penelitian menghubungan antara pengaruh tekanan panas
dengan kelelahan pada pekeja. Salah satunya adalah penelitian Fahri dan
Pasha (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tekanan
panas dengan kelelahan di bagian drilling Pertamina UBEP Kenali Asam
Jambi. Ramdan (2007) juga menyatakan bahwa lingkungan fisik kerja yang
46
terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah karena kehilangan
cairan dan garam.
a. Pengukuran Tekanan Panas
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. 13 Tahun 2011 tentang NAB Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja, pengukuran panas dilingkungan kerja juga dapat
diketahui dengan menggunakan parameter ISBB (Indeks Suhu Basah
dan Bola) yang dimana ketentuan-ketentuannya memperhatikan hal-
hal berikut ini:
1) Suhu Udara Kering (dry bulb temperature): suhu yang
ditunjukkan oleh termometer suhu kering.
2) Suhu Basah Alami (natural wet bulb temperature): suhu yang
ditunjukkan oleh termometer bola basah alami. Merupakan
suhu penguapan air yang pada suhu yang sama menyebabkan
terjadinya keseimbangan uap air di udara, suhu ini biasanya
lebih rendah dari suhu kering.
3) Suhu Bola (globe temperature) : suhu yang ditunjukkan oleh
termometer bola. Suhu ini sebagai indikator tingkat radiasi.
47
Pengukuran beberapa faktor lingkungan yang telah disebutkan
diatas dapat dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan alat
ukur Thermal Environmental Monitor atau yang biasa disebut dengan
WBGT (Wet Bulb Globe Temperature). WBGT memiliki 3
termometer yang masing-masing berfungsi untuk mengkur suhu
kering, suhu bola basah, suhu radian atau suhu global.
Perhitungan hasil pengukuran panas lingkungan kerja dapat
dibedakan menjadi dua kelompok uaitu:
1) Indoor area, yaitu lingkungan yang tidak terpajan oleh cahaya
matahari secara langsung. ISBB untuk pekerjaan tanpa panas
radiasi adalah :
ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,3 Suhu Bola
2) Outdoor area, yaitu lingkungan kerja yang terpajan oleh
cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk pekerjaan
diluar ruangan dengan panas radiasi adalah :
ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,2 Suhu Bola
+ 0,1 Suhu Kering
Dalam penerapannya di lapangan, pengukuran tekanan panas
dengan WBGT dilaksanakan bersamaan dengan perhitungan jumlah
panas metabolik yang diterima pekerja (beban kerja) sesuai dengan
klasifikasi beban kerja menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011
dan pengaturan waktu kerja tenaga kerja setiap jam.
48
Tabel 2.3. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja
Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
Pengaturan waktu
kerja setiap jam
ISBB (oC)
Beban Kerja
Ringan Sedang Berat
75% - 100% 31.0 28.0 -
50% - 75% 31.0 29.0 27.5
25% - 50% 32.0 20.0 29.0
0 % - 25% 32.2 31.1 30.5
Adapun cara pengukuran takanan panas dengan WBGT
sesuai SNI 16-7061 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1) Prinsip
Alat diletakkan pada titik pengukuran sesuai dengan waktu
yang ditentukan, suhu basah alami, suhu kering dan suhu
bola dibaca pada alat ukur, dan indeks suhu basah dan bola
diperhitungkan dengan rumus.
2) Peralatan
Alat-alat yang dipakai harus telah dikalibrasi oleh
laboratorium yang terakreditasi untuk melakukan kalibrasi,
minimal 1 tahun sekali.
Alat-alat yang digunakan terdiri dari:
a) Termometer suhu basah alami yang mempunyai
kisaran –50
C sampai dengan 500 C dan bergraduasi
maksimal 0,50 C
49
b) Termometer suhu kering yang mempunyai kisaran –
5oC sampai dengan 50
0 C dan bergraduasi maksimal
0,50 C
c) Termometer suhu bola yang mempunyai kisaran –
5oC sampai dengan 100
0 C dan bergraduasi
maksimal 0,50 C
3) Prosedur kerja
Langkah-langkah prosedur kerja adalah sebagai berikut:
a) Rendam kain kasa putih pada termometer suhu basah
alami dengan air suling, jarak antara dasar lambung
termometer dan permukaan tempat air 1 inci.
Rangkaikan alat pada statif dan paparkan selama 30
menit - 60 menit.
b) Rangkaikan termometer suhu kering pada statif dan
paparkan selama 30 menit – 60 menit.
c) Pasangkan termometer suhu bola pada bola tembaga
warna hitam (diameter 15 cm, kecuali alat yang
sudah dirakit dalam satu unit), lambung termometer
tepat pada titik pusat bola tembaga. Rangkaikan alat
pada statif dan paparkan selama 20 menit – 30 menit.
50
d) Letakkan alat-alat tersebut di atas pada titik
pengukuran dengan lambung termometer setinggi 1
meter – 1,25 meter dari lantai.
e) Waktu pengukuran dilakukan 3 kali dalam 8 jam
kerja yaitu pada awal shift kerja, pertengahan shift
kerja dan akhir shift kerja.
4) Penentuan titik pengukuran
Letak titik pengukuran ditentukan pada lokasi tempat
tenaga kerja melakukan pekerjaan.
16. Kebisingan (Suma’mur 1999) (OSHS (bridger,2003) (WORKCOVER 2008) (Kroemer dan Grandjean, 1997
Salah satu bahaya fisik yang terdapat di lingkungan yang dapat
mempengaruhi kelelahan adalah kebisingan. Menurut Permenakertrans No.
13 Tahun 2011 kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada
tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Bahaya dari kebisingan berasal dari suara yang merupakan hasil
kombinasi dari frekuensi, intensitas atau durasi yang menyebabkan
penurunan pendengaran yang dapat terjadi pada popolasi tertentu (Goetsch,
2008). Kebisingan merupakan stressor yang dapat meningkatkan denyut
jantung dan mengurangi efisiensi jantung, sehingga mempengaruhi kinerja
dari kapasitas fisik seseorang (Bridger, 2003). Selain itu, disimpulkan bahwa
51
kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dan komunikasi pekerja di tempat
kerja.
Paparan kebisingan untuk jangka waktu yang panjang dapat
menghasilkan perasaan subjektif ketidaknyamanan dan peningkatan
kelelahan (Lerman et al, 2012). Suara yang terlalu bising dan berlangsung
lama dapat menimbulkan stimulasi daerah di dekat area penerimaan
pendengaran primer yang akan menyebabkan sensasi suara gemuruh dan
berdenging. Timbulnya sensasi suara ini akan menyebabkan pula stimulasi
nucleus ventralateralis thalamus yang akan menimbulkan inhibisi impuls
dari kumparan otot dengan kata lain hal ini akan menggerakkan atau
menguatkan sistem inhibisi atau penghambat yang berada pada thalamus.
Jika sistem inhibisi lebih kuat maka akan meningkatkan perasaan kelelahan
seseorang (W.F.Ganong,1999).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Fahri dan Pasha (2010)
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kebisingan dengan perasaan kelelahan kerja pada tenaga kerja. Penelitian
Hanifa (2006) juga menyatakan bahwa dari 18 sample yang diteliti, dapat
disimpulkan bahwa kebisingan dapat menyebabkan kelelahan sebesar 42,8%
dan sisanya dipengaruhi faktor lain.
Menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011, NAB yang ditentukan
untuk kebisingan selama 8 jam bekerja adalah sebesar 85 dBA. Sedangkan
52
kebisingan yang melebihi NAB, waktu pemaparannya dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 2.4.
Instensitas Kebisingan Berdasarkan Waktu Pemaparan
Waktu Pemaparan Dalam Satu Hari Intensitas Kebisingan (dBA)
8 Jam 85
4 88
2 91
1 94
30 Menit 97
15 100
7.5 103
3,75 106
1.88 109
0.94 112
28.12 Detik 115
14.06 118
7.03 121
3.52 124
1.76 127
0.88 130
0.44 133
0.22 136
0.11 139
53
a. Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan di tempat kerja dapat dilakukan dengan
Sound Level Meter. Alat ini dapat mengukur kebisingan diantara 30 –
130 dB dan dari frekuensi 20 – 20000 Hz (Suma’mur, 2009). Selain
itu, ntuk mengukur nilai ambang pendengaran dapat menggunakan
Audiometer. Sedangkan, untuk menilai tingkat pajanan pekerja lebih
tepat digunakan Noise Dose Meter karena pekerja umumnya tidak
menetap pada suatu tempat kerja selama ia melakukan pekerjaan.
Cara melakukan pengukuran kebisingan dapat dilihat
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2009 tentang
metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja. Pengukuran
kebisingan pada dasarnya meliputi pengukuran intensitas kebisingan,
frekuensi dan dosis kebisingan.
Adapun cara pengukuran kebisingan dengan Sound Level Meter
sesuai SNI 7231 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1) Hidupkan alat ukur intensitas kebisingan.
2) Periksa kondisi baterei, pastikan bahwa keadaan power dalam
kondisi baik.
3) Pastikan skala pembobotan.
4) Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan
karakteristik sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi
relatif konstan atau F untuk sumber bunyi kejut).
54
5) Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia
yang ada di tempat kerja.
6) Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang
sumber bunyi.
7) Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan
karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber
bunyi, 70o – 80
o dari sumber bunyi).
8) Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi
sinambung setara (Leq) Sesuaikan dengan tujuan pengukuran.
9) Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar
pengukuran.
17. Getaran (Mark L lehto. 2008) (WORKCOVER.
Menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011, getaran adalah gerakan
yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan
keseimbangannya. Getaran dapat diklasifikasikan menjadi Whole body
Vibration (WBV) dan Hand Arm Vibration (HAV). WBV atau yang dikenal
getaran pada seluruh tubuh dapat menyebabkan kelelahan pada pekerja yang
mana hal ini disebabkan adanya kenaikan denyut jantung, penarikan oksigen
dan kecepatan pernafasan meningkat (Lehto, 2008). Adanya getaran di
lingkungan kerja akan menjadikan pekerja cepat lelah dan dapat
mengganggu performa kerja (Workcover NSW, 2008).
55
18. Pencahayaan (Suma’mur 1999)
Pencahayaan di tempat kerja merupakan hal penting yang harus
diperhatikan untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu
pencahayaan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih
baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Suma’mur, 2009).
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa kurangnya pencahayaan di
lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab terjadinya kelelahan fisik
dan mental bagi para karyawan atau pekerjanya.
A. Wolska dalam Karwowski (2001) menyatakan bahwa pencahayaan
ditempat kerja bergantung pada luminances dari sumber cahaya, tingkat
adaptasi luminance (background luminance), jumlah sumber cahaya serta
daerah sumber dan sudut antara objek utama dan sumber cahaya. Jika
pencahayaan ditempat kerja kurang, dapat menyebabkan adanya perasaan
tidak nyaman, gangguan atau sakit yang meningkat seiring waktu, dan dapat
menyebabkan kelelahan.
Standar pencahayaan yang seharusnya diterima pekerja adalah antara
100 sampai 200 Lux, dengan mempertimbangakan tingkat kesilauan (glare),
pantulan dari permukaan yang berkilat dan peningkatan suhu ruangan
(Silalahi, 1985). Adapun standar pencahayaan di tempat kerja menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002 adalah berikut ini:
56
Tabel 2.5. Standar Tingkat Pencahayaan di Lingkungan Kerja
Jenis Kegiatan
Tingkat Pencahayaan
Minimal (lux)
Keterangan
Pekerjaan kasar dan
tidak terus-menerus
100
Ruang penyimpanan & ruang
peralatan/instalasi yang
memerlukan pekerjaan yang
kontinyu
Pekerjaan kasar dan
terus-menerus
200
Pekerjaan dengan mesin dan
perakitan kasar
Pekerjaan rutin
300
Ruang administrasi, ruang
kontrol, pekerjaan mesin &
perakitan/penyusun
Pekerjaan agak
halus
500
Pembuatan gambar atau
bekerja dengan mesin kantor,
pekerjaan pemeriksaan atau
pekerjaan dengan mesin
Pekerjaan halus
1000
Pemilihan warna, pemrosesan
tekstil, pekerjaan mesin halus
& perakitan halus
Pekerjaan amat
halus
1500
Mengukir dengan tangan,
pemeriksaan pekerjaan mesin
dan perakitan yang sangat
halus
Pekerjaan terinci 3000 Pemeriksaan pekerjaan,
perakitan sangat halus
19. Ventilasi (bridger, 2003)
Menurut Bridger (2003) ventilasi merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi penurunan kapasitas kerja akibat kelelahan. Ventilasi
di dalam suatu industri atau tempat pertukaran udara di dalam industri
merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara dan
menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses
57
produksi atau kenyamanan pekerja. Ventilasi ditempat kerja yang memadai
akan mencegah kelelahan yang tidak perlu terjadi sebagai akibat lingkungan
kerja yang terlalu sesak (LeBouef, 1979).
H. Pencegahan Kelelahan
Kelelahan dapat dikurangi atau dicegah dengan berbagai cara. Salah satu
contohnya adalah memperhatikan keadaan umum di lingkungan tempat kerja
seperti pengaturan jam kerja, pengaturan waktu istirahat, menyediakan tempat
atau ruangan untuk beristirahat, melakukan rekreasi dan lain sebagainya
(Suma’mur 2009). Selain itu, menurut Occupational Safety and Health (2003)
kelelahan dapat dikurangi dengan menyediakan waktu istirahat, tidur yang
cukup, relaksasi, gizi yang cukup, kegiatan yang menarik, kondisi kesehatan
yang baik, adanya kegiatan yang membangkitkan semangat, pemberian reward
untuk para pekerja, dukungan teman dan keluarga dan lain sebagainya.
I. Kontraktor
Kontraktor menurut Holt (2005) adalah setiap orang/ suatu badan yang
menjalankan bisnis atau usaha baik untuk keuntungan atau tidak dan telah
menyanggupi untuk mengelola atau melakukan pekerjaan konstruksi, atau
mengatur setiap orang di tempat kerja di bawah kekuasaannya (termasuk setiap
karyawan) untuk melaksanakan atau mengelola pekerjaan konstruksi. Kontraktor
bergerak dalam bidang jasa konstruksi. Jasa konstruksi menurut undang-undang
58
nomor 18 tahun 1999 dapat didefinisikan sebagai layanan jasa konsultasi
perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Sampai saat ini, Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
terutama di sektor konstruksi masih memprihatinkan. Data Kemenakertrans
menyebutkan bahwa kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada tahun
2010 sektor kontruksi tercatat sebanyak 65.000 kasus kecelakaan kerja
(antaranews.com). Kecelakaan yang sering terjadi tersebut 85% nya diakibatkan
oleh faktor manusia (Endroyo, 2010).
J. Kerangka Teori Penelitian
Kelelahan memiliki beragam penyebab yang berbeda-beda. Menurut
Kroemer dan Grandjean (1997) mengelompokkan penyebab kelelahan menjadi
intensitas kerja fisik dan mental, faktor lingkungan, circadian rhythm status
kesehatan, keadaan gizi, serta problem fisik seseorang yang berasal dari adanya
tanggung jawab, konflik dan kekhawatiran. Selain dari penyebab kelelahan yang
telah disebutkan, Suma’mur (1999) menambahkan bahwa kelelahan juga dapat
disebabkan oleh faktor monotoni. Sedangkan Bridger (2003) juga menyebutkan
secara rinci penyebab menurunnya kapasitas kerja seseorang karena perasaan
kelelahan yang berasal dari faktor personal seperti umur, status gizi, jenis
kelamin, konsumsi rokok dan alkohol, status gizi, gaya hidup dan motivasi serta
dari faktor lingkungan di tempat kerja seperti kualitas udara, ventilasi,
59
kebisingan, dan iklim kerja (panas dan dingin). Untuk lebih mudahnya, faktor
yang mempengaruhi kelelahan dapat dilihat pada gambar kerangka teori dibawah
ini:
60
Bagan 2.1. Kerangka Teori Penelitian
Sumber: (Kroemer dan Grandjean 1997, Suma’mur 1999 dan Bridger 2003)
Status Gizi
Getaran
Lama Tidur
Tekanan Panas
Shift Kerja
Waktu Kerja
Status Kesehatan
Status Perkawinan
Alkohol dan Obat-obatan
Kebiasaan Merokok
Masa kerja
Pekerjaan Monoton
Beban Kerja
Umur
Jenis Kelamin
Pencahayaan
Ventilasi
Kelelahan
Ergonomis
Kebisingan
61
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini mengacu pada faktor penyebab kelelahan yang
terdapat di lingkungan pekerjaan yang diteliti, fakta-fakta kejadian dan
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Kerangka konsep
terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).
Variabel bebas terdiri dari umur, status gizi, lama tidur, status perkawinan,
konsumsi rokok, masa kerja, tekanan panas dan kebisingan. Sedangkan
variabel terikat dalam penelitian ini adalah kelelahan pada pekerja.
Adapun variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini, yaitu:
1. Variabel jenis kelamin, tidak diteliti karena mayoritas pekerja
berjenis kelamin laki-laki.
2. Variabel status kesehatan, tidak diteliti karena status sehat
(keadaan fit) merupakan persyaratan responden penelitian.
Selain itu status sehat merupakan persyaratan dari pihak
perusahaan untuk seluruh kontraktor yang bekerja (tidak
memiliki riwayat penyakit). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
semua pekerja dalam keadaan sehat dan tidak memiliki penyakit
tertentu.
62
3. Variabel konsumsi alkohol dan obat-obatan, tidak diteliti karena
kemungkinan besar orang yang mengkonsumsi alkohol dan
obat-obatan tidak mengakui hal tersebut untuk menjaga norma/
budaya Indonesia, sehingga dapat berpotensi bias.
4. Variabel pekerjaan monoton, tidak diteliti karena berdasarkan
hasil observasi di lapangan, pekerjaan di Proyek Banyu Urip,
EPC3 bukan merupakan pekerjaan monoton disebabkan setiap
hari terdapat perubahan pada aktivitas/ kegiatan.
5. Variabel waktu kerja, tidak diteliti karena semua pekerja
melakukan pekerjaan selama 8 jam.
6. Variabel beban kerja, tidak menjadi variabel yang berdiri
sendiri, namun perhitungannya digabung bersamaan dengan
variabel takanan panas.
7. Variabel shift kerja, tidak diteliti karena saat berlangsungnya
penelitian, perusahaan tidak menerapkan shift kerja.
8. Variabel ergonomis, tidak diteliti karena merupakan
keterbatasan penelitian akibat adanya keterbatasan waktu dan
tenaga dalam penelitian
9. Variabel pencahayaan tidak diteliti karena berdasarkan hasil
studi pendahuluan, pencahayaan di siang hari sudah sesuai
dengan standar yang berlaku menurut Keputusan Menteri
Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002 yaitu lebih dari 1000 lux
63
dan pencahayaan di malam hari menggunakan yard lighting
system menggunakan lampu TL dan lampu Halogen 1000 watt.
10. Variabel getaran, tidak diteliti karena tidak ditemukan adanya
sumber getaran yang berarti di lingkungan kerja yang memapar
pekerja.
11. Variabel ventilasi tidak diteliti karena area produksi memiliki
ventilasi terbuka sehingga sirkulasi udara di tempat kerja dirasa
sudah baik.
Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Umur
Status Gizi
Lama Tidur
Konsumsi Rokok
Masa kerja
Kebisingan
Tekanan Panas
Status Perkawinan
Kelelahan
64
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian
No.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Ukur
1. Kelelahan Keadaan melemahnya kondisi fisik dan
mental pada pekerja yang dilihat dari
adanya perlambatan pada proses faal
syaraf dan otot yang ditandai dengan
pemanjangan waktu reaksi.
Reaction
Timer Test
Reaction Timer (0) Normal: 150.0 – 240.0 mili detik
(1) Kelelahan Kerja Ringan (KKR):
> 240.0 - < 410.0 mili detik
(2) Kelelahan Kerja Sedang (KKS):
410 - < 580 mili detik
(3) Kelelahan Kerja Berat (KKB):
≥ 580 mili detik
(Koesyanto dan Tunggul, 2005)
Ordinal
2. Umur Jumlah tahun dari awal lahir sampai
berlangsungnya penelitian.
Wawancara Kuesioner (0) Muda: ≤ 37 Tahun
(1) Tua: > 37 Tahun
(Mean Populasi)
Ordinal
3. Status Gizi Kondisi keadaan gizi pada pekerja yang
diperoleh melalui perhitungan Indeks
Masa Tubuh (IMT) berdasarkan berat
badan dan tinggi badan.
Pengukuran
Langsung
Kuesioner,
Timbangan,
Microtoise,
Kalkulator.
(0) Normal (18.5 – 24.9 kg/m2)
(1) Tidak Normal: (< 18.5 kg/m2 dan
≥ 25 kg/m2)
(Depkes RI 2004)
Ordinal
65
No.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Ukur
4. Lama Tidur Rata-rata jumlah waktu dalam jam yang
dihabiskan pekerja untuk tidur dalam satu
hari selama bekerja di proyek BanyuUrip
Wawancara Kuesioner (0) 7-8 jam
(1) < 7 dan > 8 jam
(Kozier et al, 2008)
Ordinal
5. Status
Perkawinan
Keterangan yang menunjukkan riwayat
perkawinan tenaga kerja.
Wawancara
Kuesioner (0) Tidak Kawin
(1) Kawin
Ordinal
6. Konsumsi
Rokok
Kegiatan menghisap rokok mulai dari
satu batang ataupun lebih dalam satu hari.
Wawancara Kuesioner (0) Tidak merokok
(1) Merokok
Ordinal
7. Masa Kerja Akumulasi waktu dalam tahun yang
ditempuh pekerja dalam melaksanakan
jenis-jenis pekerjaan kontruksi.
Wawancara Kuesioner (0) Baru: < 11 Tahun
(1) Lama: ≥ 11 Tahun
(Median Populasi)
Ordinal
8. Tekanan
Panas
Hasil perpaduan antara suhu,
kelembaban, kecepatan gerakan udara dan
panas radiasi dengan tingkat pengeluaran
panas dari tubuh yang dibandingkan
dengan Permenaker No 13 Tahun 2011
Pengukuran
Langsung
WBGT,
Stopwatch
(0) Tidak Terpapar
(1) Terpapar
(Permenaker No 13 Tahun 2011)
Ordinal
9. Kebisingan Suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat produksi dan atau
alat-alat kerja yang dapat menimbulkan
gangguan pada pekerja.
Pengukuran
Langsung
Sound Level
Meter
(0) Tidak Terpapar: < 85 dB
(1) Terpapar: ≥ 85 dB
(Permenaker No 13 Tahun 2011)
Ordinal
66
C. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara umur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
2. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
3. Terdapat hubungan antara lama tidur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
4. Terdapat hubungan antara konsumsi rokok dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
5. Terdapat hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
6. Terdapat hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
7. Terdapat hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
67
8. Terdapat hubungan antara kebisingan dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
9. Terdapat faktor yang memiliki hubungan yang lebih dominan yang
mempengaruhi kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara
tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
‘
68
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah desain
cross sectional study. Adapun tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di fokus kegiatan EPC3 Offshore Pipeline and
Mooring Tower, Proyek Banyu Urip, PT Rekayasa Industri yang beralamat di
Site Office Bakrie Yard, Desa Sumuranja, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten
Serang Propinsi Banten pada bulan April – Juli Tahun 2013
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa
Industri, Serang-Banten Tahun 2013. Jumlah populasi sekitar 200 pekerja. Dalam
pengambilan sampel, peneliti menggunakan teknik simple random sampling,
69
yaitu memilih sampel dengan cara undian dengan menulis nomor absen semua
pekerja pada secarik kertas dan menggulung kertas tersebut kemudian
memasukannya dalam sebuah kotak dan mengocok gulungan kertas tersebut.
Setelah dikocok, gulungan kertas akan diambil satu persatu sampai pada
gulungan kertas yang ke seratus.
Sedangkan untuk menghitung besar sample menggunakan uji hipotesis
beda 2 proporsi dengan rumus (Lamshow et al, 1990 dalam Notoatmodjo, 2010):
𝑛 =(Z1− α/2 2𝑃(1− 𝑃) + 𝑍1 − 𝛽 𝑃1(1− 𝑃1) + 𝑃2(1− 𝑃2))²
(𝑃1− 𝑃2)²
Keterangan:
n : Besar sampel minimal
P1 : Proporsi kejadian kelelahan pada partisipasi kelompok resiko tinggi
P2 : Proporsi kejadian kelelahan pada partisipasi kelompok resiko rendah
P : Rata-rata P1 dan P2 (P1+P2)/2
Z1-α/2 : Nilai Z pada derajat kemaknaan 10 %, 5 %, 1 % = 1.64 , 1.96 , 2.58
Z1-β : Nilai Z pada kekuatan uji power 80, 90, 95 = 0.84 , 1.28 , 1.64
70
Maka, berdasarkan rumus diatas, besar sampel yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah:
Tabel 4.1. Perhitungan Sampel Berdasarkan
Uji Hipotesis Beda Dua Proporsi
Variabel P1 P2 α (%) β (%) N
Umur
P1 : Tua
P2 : Muda
0.75
0.25
10
80
12
5 15
1 22
10
90
19
5 19
1 28
Kebisingan
P1 : Terpapar
P2 : Tidak Terpapar
1
0.762
10
80
22
5 28
1 42
10
90
30
5 37
1 53
Shift Kerja
P1 : Ya
P2 : Tidak
0.921
0.562
10
80
18
5 23
1 34
10
90
24
5 30
1 42
Tekanan Panas
P1 : Terpapar
P2 : Tidak Terpapar
0.971 0.775 10
80
35
5 45
1 66
10
90
48
5 59
1 84
71
Berdasarkan hasil perhitungan sampel pada tabel diatas, jumlah sampel
yang akan diambil adalah 45 orang (P1: Proporsi pada kategori terpapar tekanan
panas yang mengalami kelelahan dan P2: Proporsi pada kategori tidak terpapar
tekanan panas yang mengalami kelelahan pada α: 5% dan β: 80%). Dari hasil
tersebut, kemudian dilakukan perhitungan sampel minimal dengan menggunakan
perbandingan dari hasil penelitian Fahri dan Pasha (2010) yaitu prevalensi dari
responden yang tidak kelelahan sebesar 48.7 % adalah:
45 = 48.7 X N
100
N = 45 x 100
48.7
= 93 pekerja
Namun, untuk menghindari adanya drop out atau missing jawaban dari
pekerja, maka peneliti membulatkan jumlah sampel penelitian menjadi 100
pekerja.
Adapun sampel yang akan dipilih oleh peneliti mempunyai persamaan
dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Karakteristik umum yang harus dipenuhi dalam penelitian ini adalah:
a. Pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri
b. Berjenis kelamin laki-laki.
72
2. Kriteria Eksklusi
a. Tidak bersedia menjadi objek penelitian atau sampel penelitian.
b. Pekerja dalam status kesehatan kurang baik (tidak fit) dan
penderita penyakit jantung, gangguan ginjal, asma, tekanan darah
rendah, tekanan darah tinggi, paru dan mengalami masalah
psikologis serta buta warna berdasarkan dari pengakuan pekerja.
D. Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan pengukurang langsung, yaitu
pengukuran kelelahan dengan Reaction Timer, tekanan panas
menggunakan Wet Bulb Globe Thermometer (WBGT), kebisingan
menggunakan Sound Level Meter, pengukuran berat badan dengan
tinbangan dan tinggi badan meter untuk melihat Indeks Masa Tubuh (IMT)
atau variabel status gizi. Sedangkan untuk variabel umur, lama tidur, status
perkawinan, konsumsi rokok dan masa kerja didapatkan dari kuesioner.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari perusahaan yaitu
meliputi data kecelakaan, data ketenagakerjaan dan profil perusahaan.
73
E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini melibatkan pekerja dengan
tujuan untuk mengetahui karakteristik pekerja. Adapun data yang
didapatkan melalui wawancara adalah: variabel umur, lama tidur,
status perkawinan, konsumsi rokok dan masa kerja.
b. Pengukuran
Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
Proyek Banyu Urip, PT Rekayasa Industri Tahun 2013. Adapun
pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran kelelahan, tekanan
panas, kebisingan dan status gizi.
2. Instrumen Penelitian
a. Kelelahan
Pengukuran kelelahan menggunakan Reaction Timer Timer.
Reaction Timer merupakan alat untuk mengukur tingkat kelelahan
berdasarkan kecepatan waktu reaksi. Prinsip kerja dari alat ini adalah
memberikan rangsangan tunggal berupa rangsangan lampu yang
kemudian tenaga kerja akan meresponnya, sehinga dapat dihitung
74
waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk merespon rangsangan
tersebut.
Pemberian rangsangan dilakukan sebanyak 5 kali dalam satu
waktu, yang artinya akan didapatkan waktu rekasi pekerja sebanyak 5
hasil pengukuran. Setiap hasil pengukuran waktu reaksi di setiap
pemberian rangsangan akan dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-
ratanya. Pengukuran waktu reaksi dilakukan selama ± 5 menit pada
setiap pekerja secara bergantian setelah bekerja selama 4 jam (saat jam
istirahat).
Hasil pengukuran dibandingkan dengan standar pengukuran
kelelahan yaitu :
1) Normal : waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik
2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR): waktu reaksi > 240,0 - < 410,0
mili detik
3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS): waktu reaksi 410,0 - < 580,0
mili detik
4) Kelelahan Kerja Berat (KKB): waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik.
b. Status Gizi
Data status gizi pada pekerja dengan mengukur secara langsung
Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB), sehingga di dapatkan
Indeks Masa Tubuh (IMT) pekerja yang bersangkutan.
75
1) Berat Badan
Data mengenai berat badan diperolehnya dengan cara
melakukan penimbangan berat badan langsung menggunakan
timbangan badan.
2) Data Tinggi Badan
Data tinggi badan diperoleh melalui pengukuran tinggi badan
langsung menggunakan microtoise. Kemudian mencatat hasil
pengukuran yang ada.
Adapun pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah sebagai
berikut:
𝐼𝑀𝑇 =BB (Dalam kg)
TB²(Dalam m)
Hasil perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT) berdasarkan hasil
pengukuran berat badan dan tinggi badan akan dikelompokan menjadi
2 kategori IMT yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT)
Berat IMT kg/ m 2
Normal 18.5 – 24.9
Tidak Normal < 18.5 dan ≥ 25
76
c. Tekanan Panas
Data Tekanan Panas di Proyek EPC3, Banyu Urip didapatkan
dengan melakukan pengukuran Tekanan Panas menggunakan Wet
Bulb Globe Thermometer, pengukuran lama waktu kerja dan
mengukur beban kerja / data panas metabolik yang diterima pekerja.
Hasil pengukuran akan dibandingkan dengan Indeks Suhu Basah dan
Bola (ISBB) sesuai ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.
1) Data Panas Lingkungan
Data mengenai panas lingkungan diperoleh dengan cara
pengukuran langsung pada lokasi penelitian dengan
menggunakan alat ukur Thermal Environmental Monitor atau
yang biasa disebut dengan Wet Bulb Globe Temperature
(WBGT).
Adapun langkah-langkah pengukuran takanan panas
dengan WBGT adalah sebagai berikut:
a) Tekan tombol enter I/O untuk menyalakan alat
b) Perhatikan layar untuk melihat daya baterai, jika daya
baterai sudah menunjukkan 6.4 Volt atau kurang, ganti
atau lakukan isi ulang baterai
77
c) Lakukan kalibrasi alat dengan membuka sensor 1 dan
menyamakan nilai pada kalibrator dengan nilai yang
tertera pada hasil kalibrasi. Kemudian pasang kembali
sensor 1.
d) Lakukan setting pengukuran.
e) Pastikan sumbu bola basah bersih.
f) Buka penutup reservoir dan isi dengan air suling atau
air de-ionized kemudian tutup kembali.
g) Letakan instrumen di area kerja dengan ketinggian 3.5
kaki atau 1 meter dari permukaan lantai
h) Pastikan alat dalam kondisi yang sama dengan
lingkungan pekerja tetapi alat diletakkan di tempat
yang aman.
i) Biarkan instrumen selama 10 menit untuk
menstabilkan suhu lingkungan sekitar/adaptasi
lingkungan baru
j) Tekan RUN untuk memulai pengumpulan data.
k) Gunakan tombol panah untuk menampilkan
pengukuran yang diinginkan.
l) Setelah pengukuran selesai, lakukan download data
dengan mengirim data ke QSPII
78
2) Data Panas Metabolik
Data panas metabolik/ beban kerja didapatkan dengan
memperhitungkan jumlah denyut jantung melalui pengukuran
jumlah denyut nadi dalam satu menit. Kategori beban kerja
menurut Christensen (1996) dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Table 4.3. Kategori Beban Kerja Berdasarkan
Denyut Jantung
Kategori Beban Kerja
Denyut Jantung
(denyut/min)
Ringan 75 – 100
Sedang 101 – 125
Berat > 125
Perhitungan denyut nadi dilakukan satu kali setelah bekerja
selama 1 menit oleh tenaga yang memiliki keahlian dalam
pengukuran denyut nadi. Adapun cara pengukuran denyut nadi
adalah sebagai berikut:
a) Tempelkan dengan sedikit menekan jari telunjuk, dan jari
tengah tangan kanan pada salah satu pergelangan tangan
pekerja sampai dirasakan adanya denyut nadi.
b) Menghitung denyut nadi selama 30 detik. Kemudian,
hasilnya dikalikan 2.
79
Jika telah didapatkan hasil pengukuran tekanan panas
dengan WBGT, beban kerja berdasarkan jumlah denyut nadi,
dan telah diketahui pengaturan waktu kerja di perusahaan, maka
hasil pengukuran akan dibandingkan dengan Nilai Ambang
Batas (NAB) Iklim Kerja sesuai Indeks Suhu Basah dan Bola
(ISBB) yang diperkenankan oleh Permenakertrans No. 13 Tahun
2011.
Tabel 4.4. Nilai Ambang Batas (NAB) Iklim Kerja
Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
Pengaturan waktu
kerja setiap jam
ISBB (oC)
Beban Kerja
Ringan Sedang Berat
75% - 100 % 31,0 28,0 -
50% - 75 % 31,0 29,0 27,5
25% - 50% 32,0 20,0 29,0
0 % - 25% 32,2 31,1 30,5
3) Waktu dan Titik Pengukuran
Pengukuran tekanan panas dilakukan satu kali dalam
setiap titik selama 1 jam, tepatnya pada pukul 09.00 – 16.00
dengan tujuan dapat menggambarkan keadaan lingkungan yang
sebenarnya karena pada jam tersebut pekerja melakukan
aktivitas yang cukup tinggi. Pengukuran dilakukan pada 5 titik
area kerja tempat pekerja melakukan aktivitas yaitu pada
80
workshop 1, workshop 5, pre-cut area, chamber area dan open
area fabriacation.
d. Kebisingan
Pengukuran kebisingan dilakukan satu kali dalam setiap titik
selama 10 menit, tepatnya pada pukul 09.00 – 16.00 dengan tujuan
dapat menggambarkan keadaan lingkungan yang sebenarnya karena
pada jam tersebut pekerja melakukan aktivitas yang cukup tinggi.
Pengukuran dilakukan pada 5 titik area kerja tempat pekerja
melakukan aktivitas yaitu pada workshop 1, workshop 5, pre-cut,
chamber dan open area fabriacation.
Pengukuran kebisingan menggunakan Sound Level Meter.
Pengukuran kebisingan pada dasarnya meliputi pengukuran intensitas
kebisingan, frekuensi dan dosis kebisingan. Adapun cara pengukuran
kebisingan dengan Sound Level Meter adalah sebagai berikut:
1) Hidupkan Sound Level Meter
2) Periksa kondisi baterei, pastikan bahwa keadaan power dalam
kondisi baik.
3) Pastikan skala pembobotan.
4) Pengaturan pembobotan waktu respon alat ukur dengan
karakteristik S untuk sumber bunyi relatif konstan
5) Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia
yang ada di tempat kerja.
81
6) Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang
sumber bunyi.
7) Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi
8) Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi
sinambung setara (Leq) Sesuaikan dengan tujuan pengukuran.
9) Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar
pengukuran.
F. Pengolahan Data
Data-data yang telah terkumpul akan diolah melalui beberapa tahapan,
diantaranya adalah:
1. Coding Data
Coding Data merupakan kegiatan mengklasifikasikan data dan
memberi kode untuk masing-masing kelas. Adapun kode pada variabel
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kelelahan
{0} Normal : waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik
{1} KKR : waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik
{2} KKS : waktu reaksi 410,0– <580,0 mili detik
{3} KKB : waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik.
b. Umur
{0} Muda: ≤ 37 Tahun
{1} Tua: > 37 Tahun
82
c. Status Gizi
{0} Normal: 18.5 – 24.9 kg/m2
{1} Tidak Normal: < 18.5 dan ≥ 25 kg/m2
d. Lama Tidur
{0} Baik: 7-8 jam
{1} Buruk: < 7 dan > 8 jam
e. Status Perkawinan
{0} Tidak Kawin
{1} Kawin
f. Konsumsi Rokok
{0} Tidak Merokok
{1} Merokok
g. Masa Kerja
{0} Baru: < 11 Tahun
{1} Lama: ≥ 11 Tahun
h. Tekanan Panas
{0} Tidak Terpapar
{1} Terpapar
i. Kebisingan
{0} Tidak Terpapar: < 85 dB
{1} Terpapar: ≥ 85 dB
2. Editing Data
Merupakan kegiatan penyuntingan data sebelum proses pemasukan
data. Data yang telah terkumpul dilakukan pengecekan kembali untuk
melihat kelengkapan variabel yang diukur. Jika terjadi kekurangan data,
maka peneliti akan segera menghubungi responden kembali.
83
3. Structure Data
Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu
membuat tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan.
4. Entry Data
Merupakan tahap memasukkan data dari hasil kuesioner dan
pengukuran setelah memberikan kode pada masing-masing variabel. Data
yang di entry akan dianalisis dengan menggunakan program komputer
SPSS version 16.0. untuk dilakukan analisis univariat (untuk mengetahui
gambaran secara umum), bivariat (mengetahui variabel yang berhubungan)
dan multivatiat (untuk mengetahui variabel dominan yang mempengaruhi
kelelahan)
5. Cleaning Data
Merupakan tahap terakhir dalam pengolahan data. Tahap ini
bertujuan untuk memeriksa kembali data yang telah masuk dalam software
apakah terdapat kesalahan-kesalahan atau tidak. Contohnya melakukan
pengecekan terhadap data yang telah di entry, Jika terdapat angka 3 pada
kolom entry status perkawinan, sedangkan kode pada variabel hanya angka
1 yaitu tidak kawin dan angka 2 yaitu kawin, maka kesalahan tersebut
dapat diminimalisir dengan melihat distribusi frekuensi variabel dan
menilai kelogisannya.
84
G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis Univariat dilakukan terhadap tiap variabel penelitian untuk
memberikan gambaran umum terhadap data hasil penelitian.
Penggambaran dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi
masing-masing variabel. Analisis univariat bertujuan melihat besarnya
presentase masing-masing variabel independen dan dependen. Adapun
variable yang akan dianalisis menggunakan analisis univariat adalah
gambaran karakteristik kelelahan, umur, status gizi, lama tidur, status
perkawinan, konsumsi rokok, masa kerja, tekanan panas dan kebisingan.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen dengan melakukan uji Chi Square.
Uji Chi Square untuk menghubungkan variabel kategorik dan kategorik.
Adapun variabel yang dianalisis dengan uji Chi Square umur, status gizi,
lama tidur, status perkawinan, konsumsi rokok, masa kerja, tekanan panas
dan kebisingan yang akan dihubungkan dengan variabel kelelahan.
85
Dalam uji Chi square, besarnya alfa yang ditentukan adalah 0,05
(α = 5%) dan interval kepercayaan (CI = 95%). Dengan derajat
kepercayaan 95% dapat diperoleh asumsi bahwa:
a. Bila nilai Pvalue ≤ 0,05 maka disimpulkan ada hubungan antara
variabel dependen dengan independen.
b. Bila nilai Pvalue > 0,05 maka disimpulkan tidak ada hubungan
antara variabel dependen dengan independen.
3. Analisis Multivariat
Dalam analisis multivariat uji yang digunakan adalah uji regresi
logistik berganda, dimana variabel yang dapat dilakukan pengujian adalah
variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dengan uji chi square yang
memiliki nilai p < 0,25. Hasil analisis multivariat akan didapatkan variabel
bebas (independent) yang paling berpengaruh terhadap variabel terikat
(dependent) yaitu yang memiliki nilai Pvalue < 0,05
86
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum PT Rekayasa Industri
PT Rekayasa Industri (REKIND) didirikan oleh pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1981 untuk mengembangkan kemampuan
nasional ke tingkat dunia didalam bidang rancang bangun, pengadaan, konstruksi
dan uji-coba operasi (EPCC) untuk pabrik-pabrik industri besar di Indonesia.
PT Rekayasa Industri merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia.
Bidang usaha rancang bangun, pengadaan, konstruksi dan uji coba operasi ini
(EPCC) meliputi pabrik-pabrik pada industri: gas, panas bumi, kilang,
petrokimia, mineral, pengelolaan lingkungan dan infrastruktur. Selain itu,
perusahaan ini menyediakan jasa untuk studi kelayakan proyek/pabrik dan
perawatan pabrik.
1. Visi dan Misi PT Rekayasa Industri
Adapun visi dari PT Rekayasa Industri adalah:
Menjadi perusahaan kelas dunia di bidang rancang bangun dan
perekayasaan industri yang terintegrasi serta investasi yang kompetitif.
87
Sedangkan misi PT Rekayasa Industri adalah:
a. Memberikan jasa rancang bangun dan perekayasaan yang lengkap
dan kompetitif, baik di dalam maupun luar negeri, dengan
mengutamakan keunggulan mutu dan inovasi teknologi.
b. Meningkatkan kompetensi dan mengembangkan organisasi yang
responsif dan tangkas.
c. Melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik.
d. Meningkatkan nilai perusahaan jangka panjang melalui investasi.
e. Memberikan nilai tambah lebih bagi pelanggan, pemegang saham,
karyawan, dan masyarakat dengan mempertimbangkan
pertumbuhan perusahaan.
B. Gambaran Umum Proyek Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3),
Banyu Urip
Proyek Banyu Urip adalah suatu proyek pengembangan minyak dan gas
bumi (Migas) yang bertujuan untuk mengembangkan dan menghasilkan minyak
mentah dan gas bumi nasional serta pengembangan dan pemanfaatan energi
unkonvensional. Proyek yang diresmikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melakukan
pengeboran 42 sumur di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa
Timur yang dikelola Mobil Cepu Ltd. dan akan mulai beroperasi untuk
88
mendukung tercapainya produksi puncak Blok Cepu yaitu sebesar 165 ribu barel
per hari di akhir tahun 2014.
Proyek Banyu Urip terbagi menjadi 5 Engineering, Procurement,
Construction and Commissioning (EPC), yaitu EPC1 Central Processing
Facilities (CPF), EPC2 Onshore Export Pipeline, EPC3 Offshore Pipeline and
Mooring Tower, EPC4 FSO (a floating storage and offloading) tanker
conversion dan EPC5 Infrastructure. Dalam hal ini, PT Rekayasa Industri
bertanggung jawab penuh dalam unit fokus kegiatan EPC3 Offshore Pipeline and
Mooring Tower yaitu fokus kegiatan pembuatan pipa dan menara tambat lepas
pantai yang digunakan untuk mengekspor produksi minyak ke bagian floating
storage and offloading (FSO).
Proyek Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) yang berlangsung
kurang lebih selama satu tahun ini meliputi pengerjaan pemasangan pipa laut
sepanjang 23 kilometer dengan diameter 20 inci dan pemasangan menara tambat
(Mooring Tower) sekitar 2.600 metrik ton pada kedalaman air 33 meter lepas
pantai serta penyimpanan FSO / kapal tanker pemuatan ekspor. Dalam hal ini,
peneliti hanya memfokuskan pada fokus kegiatan pembuatan menara tambat
(Mooring Tower) lepas pantai yang fabrikasinya berlokasi di Bakrie Construction
yard, Serang-Banten. Adapun aktivitas atau proses produksi pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) diantaranya adalah:
89
1. Pengadaan material dan bahan baku.
Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi berupa pipa yang
disimpan di material storage yang terdapat di lokasi kegiatan.
2. Bongkar muat material dan bahan baku.
Kegiatan bongkar muat material dilakukan di bagian penyimpanan
material yard Sumuranja. Pengangkatan material didahului oleh
pemeriksaan bahwa alat yang digunakan seperti crane, slings, chain,
clamps, dan sebagainya dalam keadaan layak.
3. Pemotongan dan pembentukan
Pemotongan bahan atau material (besi, plat, pipa, stainless, dan lain-lain)
dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan menggunakan gas LPG (Liquid
Petroleum Gas) atau oksigen dan dilakukan secara manual.
4. Proses Penyetelan
Proses penyetelan pipa yang telah dipotong sesuai dengan bentuk dan
ukuran yang dikehendaki sebelum dilakukan pengelasan. Penyetelan
bagian–bagian dan potongan–potongan bahan pipa dilakukan berdasarkan
gambar (assembly drawing) yang telah disediakan.
5. Proses Pengelasan dan Penggerindraan
Proses pengelasan dapat dilakukan di workshop area dan open area
fabrication. Proses pengelasan menggunakan acetylene yang sudah jadi
atau dilakukan dengan mesin las otomatis
90
6. Proses Pemasangan
Proses pemasangan / assembly akan dilaksanakan sesuai dengan gambar
dan persyaratan teknis lainnya.
7. Proses penghalusan/penyetelan dengan mesin
Proses ini dilakukan dengan mesin. Pekerjaan ini biasanya dilakukan pada
produk–produk container crane dan peralatan angkat lainnya.
8. Proses kegiatan blasting
Kegiatan blasting bertujuan untuk membersihkan karat–karat dan kotoran
yang menempel pada permukaan struktur material. Tujuan lainnya agar
semua struktur pipa terlindung dan tahan terhadap air laut atau tidak
mudah korosif.
9. Proses Pelapisan
Proses pelapisan (coating) bertujuan untuk melapisi permukaan struktur
dari pengaruh lingkungan sehingga dapat memperlambat terjadinya
proses korosi. Coating dilakukan pada permukaan pipa terutama yang
berada pada zona splash dan bersentuhan langsung dengan air laut dan
udara bebas.
10. Proses Pengecatan
Kegiatan pengecatan atau painting selain bertujuan untuk pewarnaan
digunakan pula untuk mencegah korosi. Pengecatan dilakukan dalam
halte dan ruangan khusus namun tidak menutup kemungkinan dilakukan
dilahan terbuka pada lokasi perakitan.
91
11. Proses Perakitan/Pemancangan
Pembentukan menara tambat dilakukan dengan merakit (erection) satu
persatu setiap bagian sampai terbentuk hasil produksi yang diinginkan.
C. Hasil Analisis Univariat
1. Gambaran Kelelahan
Hasil penelitian mengenai gambaran tingkat kelelahan pada pekerja
diperoleh dari hasil pengukuran kelelahan dengan Reaction Timer Test.
Gambaran kelelahan terbagi menjadi 4 (empat) kategorik yaitu normal
jika waktu reakasi 150,0 – 240,0 mili detik, kelelahan kerja ringan (KKR)
jika waktu reaksi > 240,0 - < 410,0 mili detik, kelelahan kerja sedang
(KKS) jika waktu reaksi 410 - < 580 mili detik dan kelelahan kerja berat
(KKB) jika waktu reaksi ≥ 580 mili detik.
Adapun hasil penelitian tentang gambaran kelelahan pada pekerja
dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1.
Distribusi frekuensi kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Tingkat Kelelahan Jumlah (n) Persentase (%)
KKR 29 29,0
KKS 45 45,0
KKB 26 26,0
Total 100 100
92
Data di atas memperlihatkan gambaran tingkat kelelahan pekerja
yang cukup bervariasi. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tidak ada
pekerja dalam keadaan normal atau tidak mengalami kelelelahan. Semua
pekerja yang menjadi sampel penelitian mengalami tingkat kelelahan
yang bervariasi. Tingkat kelelahan yang paling terbanyak adalah KKS
yaitu sebanyak 45 pekerja (45%) sedangkan tingkat kelelahan yang paling
sedikit adalah KKB yaitu sebanyak 26 pekerja (26%).
2. Gambaran Umur
Data umur diperoleh dari wawancara pada pekerja dengan
menggunakan kuesioner. Pada penelitian ini umur dikategorikan
berdasarkan nilai mean pada populasi, yaitu muda jika umur ≤ 37 Tahun
dan tua jika umur > 37 Tahun. Hasil penelitian mengenai gambaran umur
pada pekerja dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2.
Distribusi frekuensi umur pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah pekerja dalam masing-
masing kelompok umur (tua dan muda) tidak memiliki perbedaan
presentase yang cukup tinggi. Dalam tabel 5.2. dapat disimpulkan bahwa
Umur Jumlah (n) Persentase (%)
Muda 51 51,0
Tua 49 49,0
Total 100 100
93
pekerja yang memiliki umur lebih banyak adalah kelompok umur muda
yaitu sebanyak 51 pekerja (51%).
3. Gambaran Status Gizi
Data status gizi diperoleh dengan cara menghitung Indeks Masa
Tubuh (IMT) setiap pekerja. Hasil perhitungan dikategorikan menjadi
2 (dua), yaitu normal jika IMT sebesar 18,5 – 24,9 kg/m2
dan tidak
normal jika < 18,5 kg/m2 dan ≥ 25 kg/m
2. Hasil penelitian mengenai
gambaran status gizi pada pekerja dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3.
Distribusi frekuensi status gizi pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja
memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 65 pekerja (65%).
4. Gambaran Lama Tidur
Data lama tidur diperoleh dari wawancara pada pekerja dengan
menggunakan kuesioner. Hasil penelitian mengenai gambaran lama tidur
pada pekerja dapat dilihat pada tabel 5.4.
Status Gizi Jumlah (n) Persentase (%)
Normal 65 65,0
Tidak Normal 35 35,0
Total 100 100
94
Tabel 5.4.
Distribusi frekuensi lama tidur pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa lebih banyak pekerja
masuk dalam kategori lama tidur buruk, yaitu yang memiliki rata-rata
lama tidur kurang dari 7 jam dan lebih dari 8 jam. Pekerja yang memiliki
lama tidur buruk sebanyak 53 pekerja (53%).
5. Gambaran Status Perkawinan
Data status perkawinan diperoleh melalui wawancara pada pekerja
dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian mengenai gambaran
status kawin pada pekerja dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5.
Distribusi frekuensi status perkawin pada pekerja pembuatan
pipa menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Lama Tidur Jumlah (n) Persentase (%)
Baik 47 47,0
Buruk 53 53,0
Total 100 100
Status Kawin Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Kawin 21 21,0
Kawin 79 79,0
Total 100 100
95
Berdasarkan hasil penelitian mengenai status perkawinan dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja masuk dalam kelompok
kawin, yaitu sebanyak 79 pekerja (79%).
6. Gambaran Konsumsi Rokok
Data konsumsi rokok diperoleh dari wawancara pada pekerja
dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian mengenai gambaran
konsumsi rokok pada pekerja dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6.
Distribusi frekuensi konsumsi rokok pada pekerja pembuatan
pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
PT Rekayasa Industri Tahun 2013 mengkonsumsi rokok, yaitu sebanyak
63 pekerja (63%)
7. Gambaran Masa Kerja
Data masa kerja diperoleh dari wawancara pada pekerja dengan
menggunakan kuesioner. Hasil wawancara mengenai masa kerja
kemudian dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori berdasarkan nilai
Konsumsi Rokok Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Merokok 37 37,0
Merokok 63 63,0
Total 100 100
96
median populasi. Yaitu masa kerja baru jika jumlah tahun bekerja di
sektor konstruksi < 11 tahun dan masa kerja lama jika ≥ 11 Tahun. Hasil
penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan lama kerja
(dalam tahun) yang dihabiskan pekerja melakukan pekerjaan di sektor
konstruksi.
Tabel 5.7.
Distribusi frekuensi masa kerja pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah pekerja
berdasarkan kategori masa kerja dalam keadaan seimbang, yaitu masing-
masing kategori berjumlah 50 pekerja (50%).
8. Gambaran Tekanan Panas
Tekanan panas di ukur pada lima titik yang merupakan area dimana
pekerja melakukan pekerjaan. Kemudian hasil pengukuran dibandingkan
dengan menghitung pengaturan waktu kerja dan beban kerja yang dialami
pekerja dan kemudian dibandingkan dengan standar Nilai Ambang Batas
(NAB) tekanan panas/ WBGT menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 13 Tahun 2011.
Masa Kerja Jumlah (n) Persentase (%)
Baru 50 50,0
Lama 50 50,0
Total 100 100
97
Untuk mempermudah, berikut disajikan hasil penelitian yang
menjelaskan mengenai gambaran pekerja yang terpapar tekanan panas
dan yang tidak terpapar tekanan panas yang telah dibandingkan dengan
standar WBGT pada tabel 5.8.
Tabel 5.8.
Distribusi frekuensi tekanan panas pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwasanya jumlah pekerja
yang terpapar tekanan tekanan panas dan pekerja yang tidak terpapar
tekanan panas tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti. Namun,
pekerja yang tidak terpapar tekanan panas memiliki jumlah yang lebih
besar yaitu sebanyak 58 pekerja (58%).
9. Gambaran Kebisingan
Pengukuran kebisingan di tempat kerja menggunakan Sound Level
Meter pada 5 titik tempat pekerja melakukan pekerjaan. Hasil pengukuran
kebisingan dibandingkan dengan standar NAB kebisingan yang diizinkan
untuk pekerja yang bekerja selama 8 jam sehari. Hasil penelitian
menggambarkan dua kelompok pekerja yang terpapar kebisingan ≥ 85 dB
Tekanan Panas Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Terpapar 58 58,0
Terpapar 42 42,0
Total 100 100
98
dan yang tidak terpapar kebisingan < 85 dB. Untuk lebih mudahnya, hasil
pengukuran dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9.
Distribusi frekuensi kebisingan pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwasanya jumlah pekerja
yang terpapar kebisingan dan pekerja yang tidak terpapar kebisingan
tidak memiliki perbedaan presentase yang cukup berarti. Namun, pekerja
yang tidak terpapar kebisingan memiliki jumlah yang lebih besar yaitu
sebanyak sebanyak 53 pekerja (53%).
Kebisingan Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Terpapar 53 53,0
Terpapar 47 47,0
Total 100 100
99
D. Hasil Analisis Bivariat
1. Hubungan Antara Umur Dengan Kelelahan
Hubungan antara umur dengan kelelahan pada pekerja dapat dilihat
pada tabel 5.10 dibawah ini:
Tabel 5.10.
Tabulasi silang antara umur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Umur
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Muda 20 39,2 22 43,1 9 17,6 51 100
0,037 Tua 9 18,4 23 46,9 17 34,7 49 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.10 hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kelelahan dengan presentase terbesar yang dirasakan pekerja baik dalam
kategori umur muda ataupun umur tua adalah kelelahan kerja sedang.
Dimana diantara 51 pekerja dalam kategori muda, sebesar 43,1 %
mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 49 pekerja dalam kategori
tua, sebanyak 46,9 % mengalami kelelahan sedang.
Dilihat dari hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,037 yang
artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara umur dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa
100
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
2. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kelelahan
Hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja dapat
dilihat pada tabel 5.11 dibawah ini:
Tabel 5.11.
Tabulasi silang antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Status Gizi
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Normal 22 33,8 25 38,5 18 27,7 65 100
0,176 Tidak Normal 7 20,0 20 57,1 8 22,9 35 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.11 hasil penelitian menunjukkan bahwa
diantara 65 pekerja dengan status gizi normal, tingkat kelelahan berat
dialami oleh 18 pekerja (27,7%) sedangkan dari 35 pekerja dengan status
gizi tidak normal,tingkat kelelahan berat dialami oleh 8 pekerja (22,9%).
Dilihat dari hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,176 yang
artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
101
3. Hubungan Antara Lama Tidur Dengan Kelelahan
Hubungan antara lama tidur dengan kelelahan pada pekerja dapat
dilihat pada tabel 5.12 dibawah ini:
Tabel 5.12.
Tabulasi silang antara lama tidur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Lama
Tidur
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Baik 13 27,7 24 51,1 10 21,3 47 100
0,463 Buruk 16 30,2 21 39,6 16 30,2 53 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.12 hasil penelitian menunjukkan bahwa baik
pada kelompok dengan lama tidur baik ataupun buruk, tingkat kelelahan
dengan prsentase terbanyak yang dirasakan adalah tingkat kelelahan
sedang. Dimana diantara 47 pekerja dengan lama tidur yang baik, 51,1%
mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 53 pekerja dengan lama
tidur buruk sebesar 39,6% mengalami kelelahan sedang. Dilihat dari hasil
uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,463 yang artinya pada α = 5%
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
lama tidur dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara
tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013.
102
4. Hubungan Antara Status Perkawinan Dengan Kelelahan
Hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja
dapat dilihat pada tabel 5.13 dibawah ini:
Tabel 5.13.
Tabulasi silang antara status perkawinan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3)
di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Status
Perkawinan
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Tidak Kawin 7 33,3 11 52,4 3 14,3 21 100
0,387 Kawin 22 27,8 34 43,0 23 29,1 79 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.13 hasil penelitian menunjukkan bahwa
diantara 21 pekerja dengan status tidak kawin, tingkat kelelahan berat
dialami oleh 3 pekerja (14,3%). Sedangkan dari 79 pekerja dengan status
kawin,tingkat kelelahan berat dialami oleh 23 pekerja (29,1%). Dilihat
dari hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,387 yang artinya pada
α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
103
5. Hubungan Antara Konsumsi Rokok Dengan Kelelahan
Hubungan antara konsumsi rokok dengan kelelahan pada pekerja
dapat dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini:
Tabel 5.14.
Tabulasi silang antara konsumsi rokok dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3)
di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Konsumsi
Rokok
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Tidak merokok 8 21,6 22 59,5 7 18,9 37 100
0,084 Merokok 21 33,3 23 36,5 19 30,2 63 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.14 hasil penelitian menunjukkan bahwa baik
pada kelompok yang tidak merokok ataupun merokok, tingkat kelelahan
yang dirasakan adalah tingkat kelelahan sedang. Dimana diantara 37
pekerja yang tidak merokok sebesar 59,5 % mengalami kelelahan sedang.
Sedangkan dari 63 pekerja yang merokok sebesar 36,5% mengalami
kelelahan sedang. Dilihat dari hasil uji statistik, didapatkan Pvalue
sebesar 0,084 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi rokok dengan
kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013.
104
6. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Kelelahan
Hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja dapat
dilihat pada tabel 5.15 dibawah ini:
Tabel 5.15.
Tabulasi silang antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Masa Kerja
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Baru 19 38,0 22 44,0 9 18,0 50 100
0,071 Lama 10 20,0 23 46,0 17 34,0 50 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.15 hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kelelahan berat lebih banyak dirasakan oleh masa kerja kategori lama.
Dilihat dari hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,071 yang
artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu
Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
105
7. Hubungan Antara Tekanan Panas Dengan Kelelahan
Hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja
dapat dilihat pada tabel 5.16 dibawah ini:
Tabel 5.16.
Tabulasi silang antara tekanan panas dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013
Tekanan
Panas
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Tidak terpapar 22 37,9 25 43,1 11 19,0 58 100 0,038
Terpapar 7 16,7 20 47,6 15 35,7 42 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.16 hasil penelitian menunjukkan bahwa
diantara 58 pekerja yang tidak terpapar panas, tingkat kelelahan berat
dialami oleh 11 pekerja (19%). Sedangkan dari 42 pekerja yang terpapar
panas, tingkat kelelahan berat dialami oleh 15 pekerja (35,7%). Jika
melihat pada hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,038 yang
artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja pembuatan
pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
106
8. Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan
Hubungan antara kebisingan dengan kelelahan pada pekerja dapat
dilihat pada tabel 5.17 dibawah ini:
Tabel 5.17.
Tabulasi silang antara kebisingan dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di
proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten
Tahun 2013
Kebisingan
Kelelahan Total
Pvalue KKR KKS KKB
N
% N % N % N %
Tidak terpapar 21 39,6 21 39,6 11 20,8 53 100
0,043 Terpapar 8 17,0 24 51,1 15 31,9 47 100
Total 29 29,0 45 45,0 26 26,0 100 100
Berdasarkan tabel 5.17 hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
53 pekerja yang tidak terpapar kebisingan sebesar 20,8% pekerja
mengalami tingkat kelelahan berat, sedangkan dari 47 pekerja yang
terpapar kebisingan, 26% pekerja mengalami tingkat kelelahan berat.
Dilihat dari hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,043 yang
artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kebisingan dengan kelelahan pada pekerja pembuatan
pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
107
E. Hasil Analisis Multivariat
Untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dengan kelelahan
pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek
Banyu Urip, PT Rekayasa Industri Tahun 2013, maka perlu dilakukan analisis
multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. Namun, sebelum
analisis multivariat dilakukan, berdasarkan ketentuan uji regresi logistik
berganda, kategori kelelahan yang terbagi menjadi 4 (empat) pada BAB
sebelumnya, di ubah menjadi 2 kategori yaitu kelelahan ringan dan kelelahan
berat. Pembagian kategori kelelahan dapat dilihat pada tabel 5.18. dibawah ini
terbagi menjadi kelelahan ringan jika hasil pengukuran waktu reaksi
< 474,00 mili detik dan kelelahan berat jika waktu reaksi ≥ 474,00 mili detik.
Tabel 5.18.
Distribusi frekuensi kelelahan pada pada pekerja pembuatan pipa
dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013
1. Pemilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat
Pada penelitian ini variabel yang masuk dalam kandidat analisis
multivariat adalah variabel umur, status gizi, konsumsi rokok, masa kerja,
tekanan panas dan kebisingan. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis
multivariat adalah variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan
Kelelahan Jumlah (n) Persentase (%)
Kelelahan Ringan 50 50,0
Kelelahan Berat 50 50,0
Total 100 100
108
memiliki nilai Pvalue < 0,25. Adapun hasil analisis bivariat antara variabel
independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.19.
Tabel 5.19.
Hasil analisis bivariat antara variabel umur, status gizi, konsumsi
rokok, masa kerja, tekanan panas dan kebisingan dengan kelelahan
pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013.
No. Variabel Pvalue
1. Umur 0,037
2. Status Gizi 0,176
3. Konsumsi Rokok 0,084
4. Masa Kerja 0,071
5. Tekanan Panas 0,038
6. Kebisingan 0,043
2. Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling Berpengaruh
Adapun hasil dari analisis multivariat adalah didapatkannya model
yang terbaik dalam menentukan determinan (faktor penentu) kelelahan
kerja pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai di
proyek Banyu Urip, PT Rekayasa Industri. Dalam pemodelan ini semua
variabel kandidat dianalisis secara bertahap atau dengan metode enter.
Model terbaik akan dipertimbangkan pada variabel yang memiliki nilai
Pvalue < 0,05. Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara
semua variabel independen yang menjadi kandidat yang memenuhi syarat
dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang memiliki Pvalue
109
> 0,05 dikeluarkan dari model satu-persatu. Secara keseluruhan hasil
pembuatan model faktor penentu dapat dilihat pada tabel 5.20.
Tabel 5.20.
Hasil analisis multivariat regresi logistik ganda antara umur, status
gizi,konsumsi rokok, masa kerja, tekanan panas dan kebisingan
dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat
lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri,
Serang-Banten Tahun 2013.
No. Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5
1. Umur 0,753 0,758 - - -
2. Status Gizi 0,910 - - - -
3. Konsumsi Rokok 0,362 0,365 0,364 - -
4. Masa Kerja 0,077 0,071 0,018 0,024 0,006
5. Tekanan Panas 0,004 0,004 0,004 0,003 0,005
6. Kebisingan 0,064 0,064 0,044 0,058 -
Jika melihat pada hasil analisis multivariat di tabel 5.20. dapat
diketahui bahwa dari 6 (enam) variabel yang masuk dalam analisis, 2 (dua)
diantaranya yaitu variabel masa kerja dan tekanan panas mempunyai
Pvalue < 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut
merupakan variabel yang mempunyai hubungan secara signifikan dengan
kelelahan kerja pada pekerja.
Tabel 5.21.
Hasil analisis multivariat antara masa kerja dan tekanan panas
dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara
tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
No. Variabel B Pwald OR 95% CI Pvalue
1. Masa Kerja 1,205 7,562 3,338 1,414 – 7,883 0,006
3. Tekanan Panas 1,240 7,731 3,457 1,442 – 8,288 0,005
Constant -1,118 8,988 0,327 –
110
Dalam Tabel 5.21. dapat diketahui bahwa pada variabel masa kerja
memiliki nilai OR = 3,338 menunjukan bahwa masa kerja akan berubah
sebesar 3,338 kali terhadap kejadian kelelahan apabila tidak terdapat
tekanan panas yang melebihi NAB di tempat kerja. Sedangkan pada
variabel tekanan panas, nilai OR = 3,457 yang artinya bahwa tekanan
panas akan berubah sebesar 3,457 kali terhadap kejadian kelelahan jika
adanya kontrol dari masa kerja yang dihabiskan pekerja.
Sedangkan jika dilihat dari koefisien B dan nilai OR pada tabel 5.20
dapat disimpulkan bahwa dari dua variabel yang memiliki hubungan
signifikan, variabel tekanan panas merupakan variabel yang paling
dominan yang mempengaruhi kelelahan karena memiliki nilai koefisien
B dan OR yang paling tinggi.
111
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menyadari terdapat keterbatasan dan
kelemahan penelitian, diantaranya adalah:
1. Pengukuran tekanan panas dan kebisingan hanya dilakukan satu kali karena
adanya keterbatasan alat, tenaga dan waktu penelitian. Oleh sebab itu,
peneliti melakukan pengukuran pada jam kerja (saat pekerja melakukan
aktivitas) untuk mendapatkan hasil ukur yang benar-benar menggambarkan
keadaan di tempat kerja.
2. Kemungkinan terjadinya recall bias karena peneliti menanyakan kembali
kejadian yang telah lalu, yaitu untuk mengetahui rata-rata lama tidur
selama tiga hari terakhir.
B. Gambaran Kelelahan Pada Pekerja
Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi dari adanya penurunan
sementara atau ketidakmampuan, kurangnya keinginan dalam menanggapi suatu
kondisi atau situasi dikarenakan aktivitas mental atau fisik yang berlebih
(Occupational Safety and Health, 2003). Kelelahan dapat berdampak pada
penurunan daya tahan tubuh, sulit berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaan,
112
menurunnya produktivitas kerja, bahkan biasa menyebabkan kecelakaan bagi
tenaga kerja. Workcover NSW (2008) juga mengatakan bahwa apabila seseorang
mengalami kelelahan, maka pekerja tersebut beresiko mengidap penyakit
diabetes,asma, tekanan darah tinggi, depresi, penyakit ginjal, penyakit jantung
dan menderita anxiety.
Pengukuran kelelahan pada penelitian ini dilakukan dengan Reaction Timer
Test yaitu pemberian rangsangan berupa nyala lampu yang dilakukan pada setiap
pekerja secara bergantian dalam 5 kali pengukuran pada satu waktu. Hasil 5 kali
pengukuran tersebut akan dijumlahkan kemudian dilihat rata-rata pengukuran
tersebut. Pengukuran kelelahan di lakukan setelah pekerja melakukan pekerjaan
minimal selama 4 jam. Hasil dari rata-rata pengukuran tersebut akan didapatkan
waktu reaksi yang menunjukan bahwa semakin besar angka waktu reaksi
menunjukkan adanya menunjukan adanya perlambatan pada proses faal syaraf
dan otot yang merupakan bentuk dari adanya kelelahan.
Berdasarkan tabel 5.1 gambaran tingkat kelelahan kerja pada 100 pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) PT Rekayasa Industri
Tahun 2013 menunjukan bahwa tingkat kelelahan yang terbanyak adalah
kelelahan kerja sedang (KKS) yaitu sebanyak 45 pekerja (45%) sedangkan
tingkat kelelahan yang paling sedikit adalah tingkat kelelahan kerja berat (KKB)
yaitu sebanyak 26 pekerja (26%).
Timbulnya kondisi lelah pada diri pekerja merupakan hasil dari adanya
berbagai penyebab kelelahan baik yang berasal dari pekerja ataupun lingkungan
113
pekerjaan. Penyebab kelelahhan tersebut juga di duga terdapat di penelitian yang
dilakukan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3)
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013, dimana kelelahan yang
dialami pekerja di duga kuat berasal dari lingkungan pekerjaan yaitu kebisingan
dan tekanan panas dan pengerahan beban kerja khususnya beban fisik karena
adanya target produksi dari perusahaan yang menjadikan pekerja dituntut untuk
melakukan kegiatan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mempercepat
terjadinya kelelahan. Selain itu, kelelahan yang dialami oleh pekerja pembuatan
pipa dan menara tambat ini juga di duga dipengaruhi oleh faktor individu seperti
umur, status gizi, lama tidur, status perkawinan, konsumsi rokok dan masa kerja.
Oleh sebab itu, untuk menghindari adanya kelelahan, diperlukan upaya
untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab-penyebab kelelahan yaitu
dengan cara memberikan pelatihan/informasi secara lebih mendalam mengenai
kelelahan, penyebab-penyebab, dampak dan cara menanggulangi kelelahan
akibat kerja untuk pekerja. Selain itu diperlukan adanya pengendalian bahaya di
lingkungan kerja seperti pengendalian kebisingan dan tekanan panas yang
menyebabkan terjadinya kelelahan mengingat bahwa sebagian besar penyebab
terjadinya kecelakaan kerja erat kaitannya dengan kelelahan.
114
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada Pekerja
1. Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang diduga dapat menyebabkan
kelelahan pada pekerja pembuatan pipa menara tambat lepas pantai
(EPC3) di Proyek Banyu Urip yang digambarkan melalui nilai waktu
reaksi. Hasil temuan dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa pekerja
dengan umur yang lebih tua berpeluang lebih tinggi mengalami kelelahan
dibandingkan dengan pekerja yang berumur lebih muda.
Berdasarkan hasil uji statistik, dalam tabel 5.10 didapatkan bahwa
pekerja yang memiliki umur kategori tua atau > 37 Tahun memiliki
presentase lebih besar pada tingkat kelelahan kerja berat dibandingkan
dengan pekerja yang berumur lebih muda atau ≤ 37 Tahun. Melalui uji
Chi Square didapatkan Pvalue sebesar 0,037 yang artinya terdapat
hubungan yang bermakna antara umur dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu
Urip, PT Rekayasa Industri Serang-Banten Tahun 2013. Hasil penelitian
ini juga ditemukan di penelitian Ihsan dan Salami (2010) yang
menunjukan adanya pengaruh umur terhadap kelelahan pada pekerja di
pabrik perakitan mobil Indonesia.
Keadaan ini juga sebanding dengan penyataan Bridger (2003) bahwa
penurunan kapasitas kerja seseorang akibat kelelahan disebabkan oleh
adanya fenomena dasar penuaan seperti hilangnya fungsi otot, terjadinya
115
penurunan curah jantung, dan hilangnya kapasitas aerobik. Suma’mur
(1999) juga menyatakan bahwa kelelahan yang terjadi sejalan dengan
meningkatnya umur seseoraang disebabkan oleh adanya perubahan fungsi
faal pada tubuh.
Adanya hubungan antara umur dengan kelelahan pekerja dapat
terjadi karena aktivitas fisik pada pekerja yang berumur lebih tua tidak
memiliki perbedaan dengan yang berumur muda. Dari aktivitas fisik yang
dilakukan pekerja, maka akan diperoleh beban kerja baik ringan, sedang
ataupun berat yang akan mempengaruhi terjadinya kelelahan pada pekerja.
Dalam hal ini, perusahaan tidak melakukan distribusi pekerjaan dan
pembatasan beban kerja berdasarkan umur seseoarang. Semua pekerja
baik yang berumur tua ataupun muda memiliki pekerjaan dengan beban
kerja yang sama. Hal ini disebabkan bahwa pekerja yang berumur tua
dianggap memiliki pengalaman dan keahlian yang lebih baik
dibandingkan dengan pekerja yang berumur muda. Sehingga pekerja yang
berumur tua melakukan pekerjaan diluar kapasitas kerja fisik.
Adapun upaya pencegahan kelelahan yang sudah dilakukan
perusahaan salah satunya adalah penggunaan alat/mesin produksi yaitu
dan penyediaan alat angkut dan angkat seperti crane dan forklift untuk
mengurangi beban kerja yang diterima pekerja. Selain itu untuk
mengurangi kejadian kelelahan pada pekerja di proyek EPC3-Banyu Urip
akibat umur, upaya pencegahan yang perlu dilakukan perusahaan yaitu
116
dengan membatasi beban kerja yang diterima pekerja yang lebih tua.
Contohnya dengan membatasi paparan kebisingan ataupun tekanan panas
yang menjadikan adanya beban tambahan bagi pekerja serta perlu
diadakannya kegiatan olahraga seperti kebugaran atau senam fisik setiap
minggu untuk menjaga kesehatan dan stamina pekerja.
2. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor individu yang dapat
menyebabkan kelelahan pada pekerja. Berdasarkan hasil penelitian pada
tabel 5.11 dapat ditarik kesimpulan bahwa jika dibandingkan antara
kelompok dengan kategori status gizi normal dengan tidak normal, yang
memiliki perbedaan presentase cukup berarti adalah pada tingkat
kelelahan sedang, dimana dari 65 pekerja dengan status gizi normal,
25 pekerja (38,5%) mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 35
pekerja dengan status gizi tidak normal, 20 pekerja (57,1%) mengalami
kelelahan sedang.
Selain itu, ketika dilakukan uji statistik, tidak dapat ditemukan
adanya hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan pada
pekerja. Hasil penelitian ini tidak sebanding dengan pernyataan Wiegand
(2009) yang menyatakan bahwa seseorang dengan IMT obesitas atau
dengan status gizi tidak normal akan mudah mengalami kelelahan
dibandingkan dengan seseorang dengan IMT normal. Supriasa (2002) juga
melengkapi bahwa selain seseorang dengan IMT obesitas, seseorang
117
dengan IMT kurus juga akan lebih mudah merasakan kelelahan akibat
adanya perubahan fungsi tubuh karena simpanan zat gizi habis dan terjadi
kemerosotan jaringan sehingga menyebabkan perubahan biokimia dan
rendahnya zat gizi dalam darah berupa rendahnya Hb, serum vitamin A
dan Karoten.
Perbedaan hasil temuan pada penelitian ini mungkin dapat
disebabkan karena terdapat beberapa hal atau faktor lain yang juga
memungkinkan dapat mempengaruhi keadaan gizi seseorang yang
kemudian mengakibatkan kelelahan. Namun, hasil penelitian mengenai
kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(EPC3) ini ditemukan pula pada penelitian yang dilakukan oleh Virgy
(2011) terhadap karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta
Tahun 2011 dan Riyanti (2011) pada pekerja di PT Cosmar Indonesia
Serpong Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara status gizi dengan kelelahan.
Tidak adanya hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) salah
satunya adalah akibat adanya keterkaitan dengan aktivitas fisik seseorang.
Aktivitas fisik akan melahirkan beban kerja yang diterima pekerja yang
kemudian erat kaitannya dengan status gizi pekerja (Tarwaka dkk, 2004).
Oleh sebab itu, dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa pekerja dengan
status gizi baik/normal kemungkinan lebih banyak melakukan aktivitas
118
fisik yang lebih intens karena memiliki kapasitas kerja dan ketahanan
tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan pekerja dengan status gizi
tidak normal.
Selain itu, penyebab tidak adanya hubungan antara status gizi dengan
kelelahan adalah mengenai asupan makanan yang diterima pekerja.
Pekerja dari kategori status gizi normal ataupun tidak normal mengalami
kelelahan yang sama. Hal ini diduga karena berdasarkan hasil observasi di
tempat kerja, pekerja tidak mendapatkan asupan makanan yang baik
selama bekerja. Selama bekerja atau jika istirahat sesaat pekerja hanya
minum kopi untuk memulihkan tenaga. Selain itu, karena perusahaan
tidak menyediakan makan siang pada jam istirahat, keadaan tersebut tidak
menjamin pekerja mendapatkan asupan makanan dengan gizi yang cukup
untuk memulihkan tenaga. Padahal asupan makanan saat bekerja harus
tetap terjaga untuk tetap menyeimbangkan kapasitas kerja seseorang.
Asumsi ini juga diperkuat oleh teori yang dikemukakan Tarwaka dkk
(2004) yang mana menyebutkan bahwa perlu adanya istirahat setiap dua
jam dengan sedikit kudapan. Selain itu Fatmah (2011) juga menambahkan
sebanding bahwa kapasitas fisik saat bekerja akan terjaga jika tersedianya
kebutuhan makronutrien dan mikronutrien, terlebih lagi jika seseorang
sedang melakukan aktifitas yang cukup intens, maka kebutuhan
mikronutrien dan makronutrien harus tetap tersedia yang didapat dari
asupan makanan untuk mencegah timbulnya kelelahan.
119
3. Lama Tidur
Waktu tidur seseorang merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kelelahan. Tidur seseorang dapat digunakan sebagai salah satu
cara pemulihan atau recovery untuk mencegah terjadinya kelelahan pada
pekerja (Occupational Safety and Health, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa baik pada
kelompok dengan lama tidur baik ataupun buruk, tingkat kelelahan yang
dirasakan adalah tingkat kelelahan sedang. Namun, jika mengarah pada
presentase jumlah pekerja yang mengalami kelelahan berat dapat
disimpulkan bahwa seseorang akan mengalami kelelahan berat jika
memiliki jam tidur yang buruk. Selain itu, berdasarkan hasil analisis
statistik dengan uji chi square, disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara lama tidur dengan kelelahan.
Hasil analisis yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan
hasil penelitian Nadia (2009) yang menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan proporsi kelelahan antara responden yang memiliki jam tidur
optimal dengan responden yang tidak memiliki lama tidur optimal. Namun
sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Riyanti (2011) yang
menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama tidur dengan
kelelahan pada pekerja bagian produksi di PT Cosmar Indonesia Serpong
Tahun 2011.
120
Tidak ditemukan adanya hubungan antara lama tidur dengan
kelelahan pada penelitian ini dapat terjadi karena pekerja yang memiliki
lama tidur buruk juga sebagian besar pada kategori pekerja yang memiliki
umur tua. Dimana hal ini dibuktikan dari hasil uji crosstab dengan tujuan
melihat presentase pekerja berumur tua yang memiliki jam tidur buruk,
didapatkan bahwa dari 49 pekerja berumur tua, 29 pekerja (59,18%)
memiliki lama tidur yang buruk. Hasil distribusi tersebut mengakibatkan
tidak begitu terlihat hubungan antara lama tidur dalam uji statistik. Selain
itu, kemungkinan lain dari penyebab tidak adanya hubungan antara lama
tidur dengan kelelahan adalah adanya kemungkinan bias mengenai
jawaban lama tidur pekerja dalam sehari karena peneliti me-recall
akumulasi lama tidur pekerja selama 3 hari.
Kemungkinan lain penyebab tidak adanya hubungan antara lama
tidur dengan kelelahan adalah adanya keterkaitan mengenai kualitas tidur
pekerja. Walaupun pekerja memiliki jam tidur yang cukup yaitu 7-8 jam
setiap hari, namun jika memiliki kualitas tidur yang buruk, maka
kelelahan pada pekerja masih dapat terjadi. Kualitas tidur meliputi aspek
kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang
diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif
seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Buysse, Daniel J et al. 1988). Jika
pekerja memiliki kualitas tidur yang buruk maka pemulihan kondisi fisik
121
dan psikis pekerja tidak akan berjalan dengan baik sehingga pekerja akan
tetap merasakan kelelahan.
Asumsi ini didukung oleh teori Lerman et al (2012) yang
menyatakan bahwa selain waktu tidur yang cukup, kualitas tidur seseorang
juga mempengaruhi terjadinya kelelahan, kewaspadaan, keselamatan,
termasuk memperlambat waktu reaksi, ketidaktepatan kemampuan
pengambilan keputusan, pertimbangan yang buruk, gangguan yang
kompleks saat bekerja, dan hilangnya kesadaran. Oleh sebab itu,
diharapkan untuk peneliti lain selain meneliti mengenai lama tidur,
diharapkankan dapat memperhatikan mengenai kualitas tidur seseorang.
4. Status Perkawinan
Status perkawinan merupakan salah satu faktor yang diduga
mempengaruhi kelelahan pada pekerja. Menurut Puspita (2009) seseorang
yang sudah menikah akan mengalami kelelahan yang penyebabnya adalah
waktu setelah bekerja digunakan untuk melayani anak dan istrinya, bukan
untuk beristirahat. Workcover NSW (2008) juga menyatakan bahwa
pekerja yang sudah menikah memiliki tanggung jawab khusus dalam
memenuhi kebutuhan keluarga.
Jika mengacu pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar
pekerja yaitu 79% memiliki status kawin sehingga hal tersebut
mendukung terjadinya kelelahan pada pekerja. Namun berdasarkan hasil
analisis bivariat dengan chi square tidak ditemukan adanya hubungan
122
yang bermakna antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja
pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu
Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013. Hasil penelitian
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mauludi (2009) pada 100
pekerja diproses produksi kantong semen pbd (paper bag division)
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dimana didapatkan Pvalue sebesar
0,045 yang berarti terdapat hubungan antara status perkawinan dengan
kelelahan.
Perbedaan hasil temuan ini sangat mungkin disebabkan oleh data
yang kurang bervariasi. Data pada tabel 5.5. dapat diketahui bahwa
sebagian besar pekerja memiliki status kawin. Data yang tidak bervariasi
inilah yang mungkin dapat menyebabkan tidak terlihat adanya hubungan
antara status kawin dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan
menara tambat lepas pantai (EPC3) di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.
Selain itu jika mengacu pada pernyataan Puspita (2009) dapat
disimpulkan bahwa kelelahan lebih cenderung terjadi pada pekerja wanita.
Hal ini disebabkan karena pada pekerja wanita yang sudah menikah
setelah pulang dari bekerja, wanita atau istri lebih memiliki tanggung
jawab yang besar terhadap keluarga, seperti melayani anak dan suami
serta melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan menyapu.
123
Sehingga hal ini tidak sesuai dengan populasi dalam penelitian ini yaitu
pekerja dengan jenis kelamin laki-laki.
5. Konsumsi Rokok
Merokok dapat menurunkan kapasitas kerja akibat kelelahan yang
disebabkan adanya penurunan oksigen yang dibawa oleh darah (Bridger,
2003). Orang yang mengkonsumsi satu pak atau lebih rokok dalam sehari
dapat menurunkan denyut jantung dua atau tiga denyutan tiap menitnya
(Hanson dan Venturelli, 1983).
Berdasarkan tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
pekerja mengkonsumsi rokok. Berdasarkan wawancara pada beberapa
pekerja penyebab pekerja mengkonsumsi rokok adalah bahwa dengan
merokok pekerja merasa lebih percaya diri/ bergairah, lebih berkonsentrasi
dan dapat menghilangkan rasa lelah sehingga mengkonsumsi rokok
menjadi kebiasaan yang dilakukan pekerja. Konsumsi rokok yang sudah
menjadi sebuah kebiasaan dapat menyebabkan zat-zat yang terdapat di
rokok seperti nikotin, tar, benzene, arsen dan sebagainya menumpuk
didalam tubuh perokok yang menyebabkan terjadinya kelelahan.
Namun berdasarkan hasil analisis bivariat dengan chi square
menunjukan nilai Pvalue sebesar 0,084 yang berarti konsumsi rokok tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan di tempat kerja.
Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mauludi (2009) pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD
124
(Paper Bag Division) PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk Citeureup-
Bogor Tahun 2010 yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara konsumsi rokok dengan kelelahan.
Tidak adanya hubungan antara konsumsi rokok dengan kelelahan
dapat disebabkan oleh adanya kemungkinan bahwa pekerja yang tidak
merokok atau perokok pasif juga terpapar oleh asap rokok baik di
lingkungan kerja ataupun dirumah. Hal ini disebabkan adanya
kecenderungan pekerja beristirahat saat bekerja secara bersama-sama dan
tidak tersedianya tempat khusus merokok di tempat kerja (tempat istirahat
pekerja yang merokok dengan yang tidak merokok sama) yang
menyebabkan pekerja yang tidak merokok juga terpapar asap rokok yang
dihasilkan dari perokok aktif. Sehingga dalam hal ini, pekerja yang tidak
merokok juga merasakan kelelahan yang sama dengan pekerja yang
merokok.
Asumsi ini diperkuat oleh teori yang dikemukakan Susanto (2011)
dimana bahwa secara kimia, kandungan zat-zat atau substansi yang
terdapat didalam asap rokok hampir sama, yang membedakan adalah
konsentrasinya. Hal ini menyebabkan pekerja yang tidak merokok atau
perokok pasif mengalami keadaan yang sama seperti yang dialami
perokok aktif. Selain itu, hasil yang menunjukan bahwa tidak adanya
hubungan antara konsumsi rokok dengan kelelahan karena ada
kecenderungan bahwa efek yang ditimbulkan dari bahaya rokok bersifat
125
kronik, sehingga penulis menduga bahwa konsumsi rokok yang menjadi
kebiasaan pekerja tersebut belum menimbulkan efek yang berarti pada
kapasitas fisik pekerja. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai kelelahan akibat rokok dengan menggali lebih
dalam kebiasaan merokok pekerja.
6. Masa Kerja
Masa kerja adalah lama waktu yang telah ditempuh seseorang untuk
dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan
dengan baik (Ranupandojo, 1984). Budiono (2003) menjelaskan bahwa
semakin lama seseorang mengerjakan pekerjaan yang sama di tempat
kerja yang sama, maka kelelahan akan mudah dirasakan akibat semakin
banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan pekerjaannya.
Dalam penelitian ini, masa kerja dikategorikan menjadi 2 (dua)
kategori, yaitu masa kerja baru jika waktu yang dihabiskan bekerja di
sektor konstruksi < 11 Tahun dan masa kerja lama jika waktu yang
dihabiskan bejerha di sektor konstruksi ≥ 11 Tahun. Dari tabel dapat
diketahui bahwa jumlah pekerja yang mengalami kelelelahan berat lebih
besar pada kategori masa kerja lama. Oleh sebab itu, maka diduga kuat
kelelahan yang terjadi pada pekerja di proyek EPC3 disebabkan pekerja
memiliki masa kerja yang lama. Namun, setelah dilakukan uji chi square,
tidak dapat dibuktikan bahwa masa kerja memiliki hubungan yang
bermakna dengan kelelahan. Walaupun demikian, variabel masa kerja
126
tetap masuk kedalam kandidat analisis multivariat karena hasil uji chi
square didapatkan Pvalue sebesar 0,073.
Berdasarkan analisis multivariat, diketahui bahwa variabel masa
kerja merupakan satu dari dua variabel yang memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kejadian kelelahan pada pekerja yang dapat dilihat
nilai Pvalue setelah dilakukan uji regresi logistik berganda sebesar 0,006 .
Dari hasil analisis multivariat tersebut menandakan bahwa adanya
perbedaan secara nyata kejadian kelelahan pada kelompok dengan masa
kerja lama dengan kelompok masa kerja baru. Masa kerja yang lama
dapat membawa efek negatif berupa adanya batas ketahanan tubuh
terhadap proses kerja yang berakibat terhadap timbulnya kelelahan.
Pekerjaan yang dilakukan secara kontinyu dapat berpengaruh terhadap
sistem peredaran darah, sistem pencernaan, otot, syaraf dan sistem
pernafasan (Suma’mur, 1999).
Keadaan ini dapat terjadi karena pekerja di proyek EPC3, Banyu Urip
menerima tekanan–tekanan atau terpapar bahaya yang terakumulasi setiap
hari seperti tekanan panas dan kebisingan yang terdapat di tempat kerja.
Selain itu, karena pekerja di proyek EPC3, Banyu Urip ini memiliki masa
kerja yang lama hal tersebut menimbulkan kejenuhan atau kebosanan yang
dapat menimbulkan kelelahan. Terlebih lagi karena pekerja hanya
melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya, seperti welder yang
127
hanya melakukan pekerjaan welding maka dapat menimbulkan kejenuhan
dan melemahnya kinerja otot para pekerja.
7. Tekanan Panas
Faktor lingkungan pekerjaan merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kelelahan pada pekerja. Salah satu faktor lingkungan ditempat
kerja adalah tekanan panas. Tekanan panas adalah hasil perpaduan antara
suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan
tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat
pekerjaannya.
Berdasarkan hasil observasi tempat kerja, pekerja melakukan
kegiatan di beberapa titik yang memiliki tekanan panas yang berbeda-
beda. Tekanan panas diukur menggunakan Heat Stress Monitor Questemp
34 atau Indeks WBGT. Selain itu pengukuran tekanan panas juga melihat
pengaturan waktu kerja perusahaan dan beban kerja masing-masing
pekerja.
PT Rekayasa Industri mengatur waktu kerja selama 8 jam dengan
waktu istirahat 1 jam. Sehingga pengaturan waktu kerja setiap jam masuk
dalam kategori 75% - 100%. Beban kerja dihitung melalui pengukuran
denyut nadi dalam satu menit pada masing-masing individu dan kemudian
hasilnya dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu beban kerja ringan jika
denyut nadi 75-100/menit, beban kerja sedang jika denyut nadi 101-
125/menit dan beban kerja berat jika denyut nadi > 125/menit.
128
Berdasarkan analisis bivariat menunjukan adanya hubungan yang
bermakna antara tekanan panas dengan kelelahan. Selain itu, setelah
dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda,
didapatkan bahwa tekanan panas merupakan variabel paling dominan
yang mempengaruhi kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara
tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri
Serang-Banten Tahun 2013. Hasil penelitian ini ditemukan pada penelitian
yang dilakukan Ramdan (2007) yang menyimpulkan bahwa lingkungan
fisik kerja yang terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah.
Penelitian lainnya yang dapat membuktikan adanya hubungan antara
tekanan panas dengan kelelahan adalah penelitian Fahri dan Fasha (2010)
terhadap tenaga kerja di bagian Drilling PERTAMINA UBEP Kenali
Asam Jambi.
Adanya hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada
pekerja di EPC3-Banyu Urip ini disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja
dan daerah tempat kerja memiliki suhu yang cukup tinggi. Dalam hal ini
dapat diketahui bahwa pekerja melakukan pekerjaan di workshop area dan
open area fabrication. Atap atau langit-langit di workshop area yang
terbuat dari zincalume yaitu lapisan galvanis campuran seng dan
aluminium membuat suhu di dalam workshop semakin panas sehingga
pekerja akan mendapatkan beban kerja tambahan yang berasal dari tempat
kerja (panas).
129
Berbeda lagi dengan kondisi di open area fabrication. Karena adanya
pengaruh dari cuaca daerah tempat kerja, hal ini menyebabkan suhu yang
terdapat ditempat kerja cukup tinggi. Pekerja yang berada di open area
fabrication terpapar panas matahari secara langsung dan kondisi tersebut
juga mengakibatkan pekerja cepat kehilangan asupan cairan dan garam
sehingga menyebabkan pekerja cepat merasa lelah. Hal ini diperkuat dari
adanya keluhan para pekerja ketika peneliti melakukan wawancara,
dimana sebagian besar pekerja mengeluh dengan adanya lingkungan kerja
yang cukup panas, terlebih lagi pekerja yang melakukan pekerjaan di open
area fabrication. Namun, dalam hal ini perusahaan telah melakukan
pencegahan untuk mengurangi dampak akibat adanya tekanan panas
seperti menyediakan air minum untuk pekerja.
Kelelahan yang dirasakan pekerja tersebut disebabkan oleh adanya
beban tambahan yang berasal dari lingkungan panas yang diterima
pekerja. Jika pekerja terpapar panas akan organ tubuh akan bekerja lebih
keras untuk mengeluarkan kelebihan panas dari tubuh, sehingga beban
fisik yang diterima pekerja akan lebih besar dan pekerja akan mengalami
kelelahan yang lebih cepat. Tenaga kerja yang terpapar tekanan panas
akan mengakibatkan daya kerja, produktivitas, efektivitas dan efisiensi
kerjanya akan menurun (Suma’mur, 1999). Selain itu tekanan panas juga
sangat berpengaruh pada kinerja sumber daya manusia, serta lingkungan
130
yang ekstrim (panas) memiliki efek yang signifikan pada kapasitas kerja
(Bridger, 2003).
Lingkungan kerja yang memiliki tekanan panas yang cukup tinggi
hendaknya dilakukan upaya pengendalian dengan menyediakan tempat
istirahat yang sejuk dengan suhu nyaman bagi orang indonesia atau
comfort zone temperature adalah 240 C - 26
0 C. Perusahaan juga
sebaiknya menyarankan kepada pekerja untuk mengenakan pakaian
khusus yang terbuat dari bahan katun dan berwarna cerah atau putih yang
dapat menyerap keringat. Selain itu, perusahaan juga disarankan untuk
memberikan informasi kepada pekerja untuk minum sebanyak 150-200 cc
setiap 15-20 menit supaya suhu tubuh tetap dalam keadaan normal. Oleh
sebab itu, dalam hal ini air minum sebaiknya ditempatkan pada jarak yang
relatif dekat dari semua area tempat kerja.
8. Kebisingan
Faktor lingkungan pekerjaan lain yang diduga dapat mempengaruhi
terjadinya kelelahan di tempat kerja adalah kebisingan. Kebisingan
merupakan stressor yang dapat meningkatkan denyut jantung dan
mengurangi efisiensi jantung, sehingga mempengaruhi kinerja dari
kapasitas fisik seseorang (Bridger, 2003). Paparan kebisingan untuk
jangka waktu yang panjang dapat menghasilkan perasaan subjektif
ketidaknyamanan dan peningkatan kelelahan (Lerman et al, 2012).
131
Pengukuran kebisingan di tempat kerja di lakukan di 5 (lima) titik
tempat pekerja melakukan pekerjaan. Pengukuran kebisingan
menggunakan Sound Level Meter selama 10 menit dalam setiap titik.
Dimana didapatkan dalam beberapa titik area tempat kerja, tingkat
kebisingan melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditentukan oleh
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 yaitu di workshop 1,
Pre-cut dan area Chamber. Berdasarkan hasil observasi tempat kerja,
kebisingan yang terdapat di tempat kerja berasal dari dari mesin gerinda,
mesin las, mesin kompresor, mesin generator ataupun mesin peralatan
bermotor lainnya seperti crane
Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa kelelahan tingkat berat
lebih banyak di rasakan oleh pekerja yang terpapar kebisingan. Hal ini
juga sejalan dengan hasil uji Chi Square dimana didapatkan Pvalue
sebesar 0,043 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara
kebisingan dengan kelelahan pada pekerja pembuatan menara tambat
lepas pantai di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri Tahun 2013.
Hasil penelitian ini ditemukan juga pada penelitian yang dilakukan
Mauludi (2009) terhadap pekerja di proses produksi kantong semen PBD
(Paper Bag Division) PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk Citeureup-
Bogor Tahun 2010 dan penelitian yang dilakukan Hanifa (2006) yang
menyatakan bahwa dari 18 sample yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa
132
kebisingan dapat menyebabkan kelelahan sebesar 42,8% dan sisanya
dipengaruhi faktor lain.
Pekerja yang bekerja pada tempat kerja yang bising akan memiliki
beban tambahan sehingga mempercepat timbulnya kelelahan. Adapun
upaya perusahaan dalam mengurangi kebisingan yaitu dengan melakukan
isolasi pada mesin yang menimbulkan bising seperti generator dengan
memberikan bantalan atau peredam berupa karet. Selain itu, perusahaan
juga sudah memberikan Alat Pelindung Telinga (APT) berupa earplug
untuk mereduksi kebisingan di tempat kerja. Namun, hal ini tidak
menjamin dapat mereduksi kebisingan karena berdasarkan hasil observasi
peneliti, masih ditemukan pekerja yang tidak menggunakan earplug,
sehingga pekerja masih terpapar kebisingan di atas NAB yang ditentukan.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi kejadian kelelahan akibat
kebisingan, dalam hal ini perusahaan sebaiknya melakukan pengawasan
intensif untuk menjaga agar pekerja menggunakan Alat Pelindung Telinga
(APT) yang disediakan oleh perusahaan dan membuat kebijakan berupa
sanksi jika ditemukan pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga
(APT) di tempat yang bising.
133
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
1. Dari seluruh pekerja yang dijadikan sampel penelitian, seluruh pekerja
mengalami kelelahan dengan tingkat kelelahan yang bervariasi yaitu 29%
pekerja mengalami kelelahan ringan, 45% pekerja mengalami kelelahan
sedang dan 26% pekerja mengalami kelelahan berat.
2. Berdasarkan hasil analisis univariat, maka dapat disimpulkan bahwa, 51%
pekerja berumur muda, 65% pekerja memiliki status gizi normal, 53%
pekerja memiliki lama tidur buruk, 79% pekerja dengan status kawin, 63%
pekerja mengkonsumsi rokok, 50% pekerja masuk dalam kategori masa
kerja lama, 58% pekerja tidak terpapar panas dan 53% pekerja tidak
terpapar kebisingan.
134
3. Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji chi square dapat
disimpulkan bahwa:
a. Variabel umur, tekanan panas dan kebisingan memiliki hubungan
yang bermakna dengan kelelahan.
b. Variabel status gizi, lama tidur, status perkawinan, konsumsi rokok
dan masa kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan
kelelahan.
4. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi
logistik ganda (multiple logistic regretions) dapat disimpulkan bahwa
variabel yang memiliki hubungan paling dominan terhadap kelelahan pada
pekerja pembuatan menara tambat lepas pantai di proyek Banyu Urip,
PT Rekayasa Industri Tahun 2013 adalah variabel tekanan panas.
B. Saran
1. Bagi PT Rekayasa Industri
a. Untuk mencegah kelelahan akibat umur, sebaiknya perusahaan
membatasi beban kerja yang diterima pekerja yang lebih tua dan
perlu diadakannya kegiatan olahraga seperti kebugaran atau senam
fisik untuk menjaga kesehatan dan stamina pekerja.
135
b. Untuk mencegah kelelahan akibat tekanan panas, maka perusahaan
sebaiknya:
1) Menyediakan tempat istirahat yang sejuk dengan suhu nyaman
2) Memberikan informasi kepada pekerja untuk mengenakan
pakaian khusus yang terbuat dari bahan katun dan berwarna
cerah atau putih yang dapat menyerap keringat.
3) Memberikan informasi kepada pekerja untuk minum sebanyak
150-200 cc setiap 15-20 menit dan menempatkan air minum
pada jarak yang relatif dekat dari semua area tempat kerja.
c. Untuk mencegah kelelahan akibat kebisingan maka sebaiknya
perusahaan melakukan:
1) Pengawasan intensif untuk menjaga agar pekerja menggunakan
Alat Pelindung Telinga (APT)
2) Membuat kebijakan berupa sanksi sanksi jika ditemukan
pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT) di
tempat yang bising
136
2. Bagi Pekerja di PT Rekayasa Industri
a. Diharapkan pekerja untuk dapat mengenali timbulnya kelelahan, dan
menghentikan pekerjaan sesaat untuk menghindari kejadian yang
tidak diinginkan seperti kecelakaan kerja
b. Diharapkan pekerja mematuhi semua peraturan yang terdapat di
perusahaan, salah satunya adalah memakai Alat Pelindung Telinga
(APT) yang disediakan oleh perusahaan.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Diharapkan agar dapat mengikutsertakan variabel lain yang diduga
berhubungan dengan kelelahan yang tidak diteliti pada penelitian ini,
misalnya status kesehatan, getaran dan lain-lain.
b. Diharapkan agar dapat melakukan penelitian lebih mendalam,
khususnya untuk variabel yang tidak berhubungan dalam penelitian
ini, seperti konsumsi rokok, lama tidur dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Astrand, Per-Olof and Rodahl, Kaare. 1970. Textbook of Physiology. Tokyo: Mc
Grawhill Koga
Barness, F.J et all. 2008. What Aspects of Shiftwork Influence off-shift well-being of
Healthcare Workers?, Applied Ergonomis Journals 39:586-596. United States:
Elsevier
Bird, Frank E, Jr dan Germain, George, L. 1990. Practical loss control leadership.
Institute Publishing Division of International loss control Institute, Loganville.
Bridger, R.S. 2003. Introduction to Ergonomics 2nd editoin. London: by Taylor &
Francis
Budiono, Sugeng, A.M dkk. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang:
Badan penerbit UNDIP .
Bustan. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Buysse, Daniel J et al. 1988. The Pittsburgh Sleep Quality Index: A new Instrument
for psychiatric Practice and Research. Psychiatry Research, United States:
Elsevier
Christensen. 1996. Encyclopedia of Occupational Health and Safety. ILO Ganeva
Davis, Bobby R. 2001. Occupational Safety and Health Program: A guide to
preventing Heat stress. New Zealand: Departement of Labour
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (DEPNAKERTRANS). 2004.
Pengawasan K3 Lingkungan Kerja. Materi 8. Evaluasi dan Penunjukan Calon
Ahli K3
Endroyo, Bambang. 2010. Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan Sikap
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) Para pelaku jasa konstruksi di
Semarang. Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan, No. 2 volume 12 – juli 2010
Fatmah. 2011 Gizi Kebugaran dan Olahraga. Bandung, CV Lubuk Agung
Fahri, Sukmal dan Pasha, Eko. 2010. Kebisingan dan tekanan panas dengan
perasaan kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian drilling Pertamina EP
Jambi. Prosiding Seminar Nasional Unimus 2010 diakses dari
jurnal.unimus.ac.id
Goetsch, L. David. 2008. Sixth editions: Occupational safety and health for
technologists, Engineers and Managers. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Hanifa, Tri Yuni Ulfa. 2006. Pengaruh kebisingan terhadap kelelahan pada tenaga
kerja industri pengolahan kayu Brumbung perum perhutani Semarang Tahun
2005. Semarang: Skripsi Universitas Negeri Semarang.
Hanson, Glen and Venturelli, J. Peter. 1983. Drugs and Society. Fourth edition.
London: Joes and Bartlett Publishers International.
Harkness, Richard. 1984. Interaksi Obat. Diterjemahkan oleh Agoes, Goeswin dan
Widianto,B. Mathilda. Bandung: Penerbit ITB
Holt, Allan St John. 2005. Principles of Construction Safety. Great Britain: Blackwell
Ihsan, Taufiq dan Salami, S. Rahmatiah. 2010. Hubungan antara shift kerja dengan
tingkatan kelelahan kerja pada pekerja di pabrik perakitan mobil indonesia.
Bandung: Program Studi Magister Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Karwowski, Waldemar. 2001. International Encyclopedia of Ergonomic and Human
Factors. London: Taylor & Francis e-Library
Kemenakertrans Prioritaskan Pengawasan Pekerja Sektor Jasa Konstruksi, diakses
dari antaranews.com tanggal 14 Mei 2013
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405 Tahun 2002 tentang
Persyaratan lingkungan kerja perkantoran dan industri
Kodrat, Kimberly Febrina. 2011. Pengaruh shift kerja terhadap kelelahan pekerja
pabrik kelapa sawit di PT. X labuhan batu. Jurnal teknik industri, volume 12,
No. 2, Agustus 2011.
Koesyanto, Herry dan Tunggul, Eram P. 2005. Panduan Praktikum Laboratorium
Kesehatan & Keselamatan Kerja, Semarang: UPT UNNES Press.
Konz, 1998. Work/Rest: Part 1-Guidelines for the practitioner, International journal
of industrial ergonomics, 22, 67-71
Kozier, B, et al. 2008. Fundamental of nursing: concepts, process and practice (7th
ed). New Jersey: Prentice-Hall,Inc
Kroemer H.E Karl et al,. 2010. Engineering Physiology, Bases of Human Factors
Engineering/Ergonomics, Fourth Edition. New York: Spinger
Kroemer, K.H.E dan Grandjean, E. 1997. Fitting the Task to the Human: A Textbook
of Occupational Ergonomics 5th edition. London: Taylor & Francis
LeBouef, Michael. 1979. Working Smart . Jakarta: Tangga Pustaka
Lehto, L. Mark. dan Buck, R. James. 2008. Human Factor and Ergonomics for
engineers. New york: Lawrence Erlbaum Associates Taylor & Francis Group
Lemshow, S., et al. 1990. Adequacy Of Sample Size in Health Studies. Chichester:
John Wiley & Sons
Lerman, E. Steven et al. 2012. Fatigue risk management in the workplace. Los
Angeles: American College of Occupational and Environmental Medicine
Macleod, Dan. 2000. The rules of work: A practical engineering guide to ergonomics.
United States: Taylor & Francis Group
Mauludi, Moch Noval. 2010. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kelelahan
pada pekerja di proses produksi kantong semen pbd (paper bag division) PT.
Indocement tunggal prakarsa tbk Citeureup-Bogor Tahun 2010. Jakarta:
Skrpisi Fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, Universitas Islam Negeri
Jakarta
Maurits, Lientje Setyawati dan Widodo, Imam Djati. 2008. Faktor dan penjadualan
shift kerja. Teknoin, Volume 13, Nomor 2, Desember 2008
Nadia, Casie. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pengumpul
tol di gerbang cililitan PT Jasa Marga Cabang CTC Tahun 2011. Depok:
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Neel, Armond B. 2012. 9 Types of medications that can lead to chronic fatigue.
Diakses dari http://www.aarp.org tanggal 20 mei 2013
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka
Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Nurhidayati, Putri. 2009. Hubungan antara penerapan shift kerja dengan kelelahan
kerja pada pekerja di bagian produksi PT Tifico,Tbk Tahun 2009. Jakarta:
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Occupational Safety and Health. 2003. Healthy Work, Managing stress and fatigue in
the workplace. New Zealand: Department of Labour
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 13 Tahun 2011 tentang Nilai
Ambang Batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja.
Puspita, Giri Irma. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelelahan berdasarkan
karakteristik Pekerja di bagian produksi jahit garmen PT. Lestari Busana
Anggun Mahkota Tahun 2009. Jakarta: Skripsi Kesehatan Masyarakat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ramdan, M. Irwan. 2007. Dampak Giliran Kerja, Suhu dan Kebisingan terhadap
Perasaan Kelelahan Kerja di PT LJP Provinsi Kalimantan Timur. The
Indonesian Journal of Public Health, Volume 4, Nomor 1, Juli 2007
Ranupandojo, Suad Husnan, dan Heidrahman. 1984. Manejemen Personalia Cetakan
ke III, Yogyakarta: BPFE UGM
Riyanti, Fajar Anita. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja
pada pekerja bagian produksi di PT Cosmar Indonesia Serpong Tahun 2011.
Skripsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Kesehatan Masyarakat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Sastrowinoto, Suyatno. 1985. Meningkatkan produktivitas dengan ergonomi. Jakarta:
PT Pustaka Binaman pressindo
Silalahi, Nb. Bannet dan Silalahi, B. Rumondang. 1985. Manajemen Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo
Soetomo, 1981. Kelelahan dalam penerbangan. Diakses dari www.kalbe.co.id
tanggal 21 Desember 2012
Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Metode Pengukuran Intensitas Kebisingan
di Tempat Kerja Tahun 2009
Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Pengukuran iklim kerja (panas) dengan
parameter indeks suhu basah dan bola Tahun 2004
Sudrajat dkk, 1998. Manajemen Lingkungan Kerja. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suma’mur. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata: CV Haji Masagung
Suma’mur. 2009. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES). Jakarta:
Sagung Seto
Supariasa dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Susetyo, Joko dkk,. 2008. Jurnal Teknologi: Prevalensi Keluhan Subjektif atau
kelelahan karena sikap kerja yang tidak ergonomis pada pengerajin perak. FK
Udayana: Teknik Industri
Susanto, Dwi Agus. 2011. Berhenti Merokok pedoman penatalaksanaan untuk dokter
di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Jakarta
Tarwaka dkk. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas
kerja. Surakarta: UNIBA Press.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Virgy, Sulistya. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada
karyawan di Instalasi gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo,
Jakarta Tahun 2011, Jakarta: Skripsi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
W.F Ganong. 1999, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.
Wiegand, Douglas M et al. 2009. Commercial Motor vehicle health and fatigue study,
The national Surface Transportation safety center for excellence. Blackburg:
Virginia Technology Transportation Institute
Workcover New South Wales (NSW). 2008. Fatigue prevention in the workplace.
Melbourne: Worksafe Victoria
Yayasan Spiritia. 2004. Kelelahan. Diakses dari www.spiritia.or.id pada tanggal 2
Mei 2013
KUESIONER PENELITIAN
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Saya Amelia Marif, mahasiswa Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Kesehatan
Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian
untuk tugas akhir mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai (EPC3) di Proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013”. Saya mengharapkan kesediaan bapak
guna menjawab kuesioner ini dengan sejujur mungkin tanpa ada rasa takut, karena tidak ada
penilaian benar atau salah untuk jawaban yang telah bapak berikan. Segala bentuk jawaban akan
dijamin kerahasiaannya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
NO. RESPONDEN :
Nama : Unit Kerja :
A. Karakteristik Pekerja
1. A1 Berapakah usia saudara saat ini? ………Tahun
2. A2 Indeks Masa Tubuh (Diisi Oleh Peneliti)
Berat Badan ................ kg
Tinggi Badan ............... cm
3. A3 Berapa lama rata-rata waktu tidur saudara dalam satu hari saat bekerja di
proyek ini?............ Jam
4. A4 Status Perkawinan
0. Tidak kawin 1. Kawin
5. A5 Apakah saudara merokok? (Jika tidak langsung ke no. 6)
Berapa banyak rokok yang dihabiskan dalam sehari?
1. Kurang dari 10 batang 2. 10-20 Batang 3. Lebih dari 20 Batang
6. A6 Sudah berapa lama saudara bekerja di sektor konstruksi? ............ Tahun
B. Hasil Pengukuran (Diisi oleh peneliti)
8. Paparan Kebisingan
0. Tidak Terpapar Bising: < 85 dB 1. Terpapar Bising: ≥ 85 dB
A8
9. Tekanan Panas
a. Denyut Nadi: ............. denyut/min
b. WBGTi/WBGTo: ............. 0 C
0. Tidak Terpapar Tekanan Panas 1. Terpapar Tekanan Panas
A9
10. Pengukuran Kelelahan dengan Reaction Timer
Hasil (mili detik)
Rata2
Keterangan B1
1. 2. 3. 4. 5.
(0) Normal : waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik
(1) KKR : waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik
(2) KKS : waktu reaksi 410,0– <580,0 mili detik
(3) KKB : waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik
NPar Tests
Umur
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Umur 100 37.18 9.001 20 55
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Umur
N 100
Normal Parametersa Mean 37.18
Std. Deviation 9.001
Most Extreme
Differences
Absolute .094
Positive .071
Negative -.094
Kolmogorov-Smirnov Z .938
Asymp. Sig. (2-tailed) .342
Masa Kerja
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
MasaKerja
N 100
Normal Parametersa Mean 11.490
Std. Deviation 7.9242
Most Extreme
Differences
Absolute .156
Positive .156
Negative -.091
Kolmogorov-Smirnov Z 1.558
Asymp. Sig. (2-tailed) .016
Statistics
N Valid 100
Missing 0
Mean 11.490
Median 11.000
Mode 5.0
Std. Deviation 7.9242
Minimum .5
Maximum 28.0
Frequencies
Statistics
Kelelahan Umur
Status
Gizi
Lama
Tidur
Status
Perkawinan
Konsumsi
Rokok
Masa
Kerja
Tekanan
Panas Kebisingan
N Valid 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Frequency Table
Kelelahan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid KKR 29 29.0 29.0 29.0
KKS 45 45.0 45.0 74.0
KKB 26 26.0 26.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Muda 51 51.0 51.0 51.0
Tua 49 49.0 49.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Status Gizi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Normal 65 65.0 65.0 65.0
Tidak Normal 35 35.0 35.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Lama Tidur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Baik 47 47.0 47.0 47.0
Buruk 53 53.0 53.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Status Perkawinan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Kawin 21 21.0 21.0 21.0
Kawin 79 79.0 79.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Konsumsi Rokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Merokok 37 37.0 37.0 37.0
Merokok 63 63.0 63.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Masa Kerja
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Baru 50 50.0 50.0 50.0
Lama 50 50.0 50.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Tekanan Panas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Terpapar 58 58.0 58.0 58.0
Terpapar 42 42.0 42.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Kebisingan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Terpapar 53 53.0 53.0 53.0
Terpapar 47 47.0 47.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Crosstabs
Umur * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Umur Muda Count 20 22 9 51
% within Umur 39.2% 43.1% 17.6% 100.0%
Tua Count 9 23 17 49
% within Umur 18.4% 46.9% 34.7% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Umur 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.619a 2 .037
Likelihood Ratio 6.763 2 .034
Linear-by-Linear Association 6.470 1 .011
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,74.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Umur (Muda / Tua) a
a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
Status Gizi * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Status Gizi Normal Count 22 25 18 65
% within Status Gizi 33.8% 38.5% 27.7% 100.0%
Tidak Normal Count 7 20 8 35
% within Status Gizi 20.0% 57.1% 22.9% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Status Gizi 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 3.473a 2 .176
Likelihood Ratio 3.512 2 .173
Linear-by-Linear Association .333 1 .564
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,10.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Status Gizi (Normal / Tidak Normal) a
a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
Lama Tidur * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Lama Tidur Baik Count 13 24 10 47
% within Lama Tidur 27.7% 51.1% 21.3% 100.0%
Buruk Count 16 21 16 53
% within Lama Tidur 30.2% 39.6% 30.2% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Lama Tidur 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 1.541a 2 .463
Likelihood Ratio 1.548 2 .461
Linear-by-Linear Association .183 1 .669
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,22.
Status Perkawinan * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Status Perkawinan Tidak Kawin Count 7 11 3 21
% within Status Perkawinan 33.3% 52.4% 14.3% 100.0%
Kawin Count 22 34 23 79
% within Status Perkawinan 27.8% 43.0% 29.1% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Status Perkawinan 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 1.897a 2 .387
Likelihood Ratio 2.087 2 .352
Linear-by-Linear Association 1.234 1 .267
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,46.
Konsumsi Rokok * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Konsumsi Rokok Tidak Merokok Count 8 22 7 37
% within Konsumsi Rokok 21.6% 59.5% 18.9% 100.0%
Merokok Count 21 23 19 63
% within Konsumsi Rokok 33.3% 36.5% 30.2% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Konsumsi Rokok 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 4.964a 2 .084
Likelihood Ratio 4.978 2 .083
Linear-by-Linear Association .001 1 .976
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,62.
Masa Kerja * Kelelahan
Masa Kerja * Kelelahan Crosstabulation
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Masa Kerja Baru Count 19 22 9 50
% within Masa Kerja 38.0% 44.0% 18.0% 100.0%
Lama Count 10 23 17 50
% within Masa Kerja 20.0% 46.0% 34.0% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Masa Kerja 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 5.277a 2 .071
Likelihood Ratio 5.364 2 .068
Linear-by-Linear Association 5.211 1 .022
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,00.
Tekanan Panas * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Tekanan Panas Tidak Terpapar Count 22 25 11 58
% within Tekanan Panas 37.9% 43.1% 19.0% 100.0%
Terpapar Count 7 20 15 42
% within Tekanan Panas 16.7% 47.6% 35.7% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Tekanan Panas 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.537a 2 .038
Likelihood Ratio 6.751 2 .034
Linear-by-Linear Association 6.346 1 .012
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,92.
Kebisingan * Kelelahan
Crosstab
Kelelahan
Total KKR KKS KKB
Kebisingan Tidak Terpapar Count 21 21 11 53
% within Kebisingan 39.6% 39.6% 20.8% 100.0%
Terpapar Count 8 24 15 47
% within Kebisingan 17.0% 51.1% 31.9% 100.0%
Total Count 29 45 26 100
% within Kebisingan 29.0% 45.0% 26.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.306a 2 .043
Likelihood Ratio 6.498 2 .039
Linear-by-Linear Association 5.119 1 .024
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,22.
Analisis Multivariat
Kelelahan 2 Kategorik
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelelahan 100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Kelelahan Mean 564.580 29.5081
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound 506.029
Upper Bound 623.130
5% Trimmed Mean 520.653
Median 474.000
Variance 8.707E4
Std. Deviation 2.9508E2
Minimum 326.4
Maximum 1930.0
Range 1603.6
Interquartile Range 186.8
Skewness 2.603 .241
Kurtosis 7.079 .478
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kelelahan .252 100 .000 .666 100 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 100 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 100 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 100 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
kelelahan Ringan 0
Kelelahan Berat 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 0 FATIGUE kelelahan Ringan 0 50 .0
Kelelahan Berat 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .200 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Umur 4.842 1 .028
Status Gizi .396 1 .529
Konsumsi Rokok .043 1 .836
Masa Kerja 7.840 1 .005
TekananPanas 8.046 1 .005
Kebisingan 4.857 1 .028
Overall Statistics 19.083 6 .004
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 20.765 6 .002
Block 20.765 6 .002
Model 20.765 6 .002
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 117.864a .188 .250
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
FATIGUE Percentage
Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 1 FATIGUE kelelahan Ringan 33 17 66.0
Kelelahan Berat 18 32 64.0
Overall Percentage 65.0
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Umur .180 .572 .099 1 .753 1.197 .390 3.673
Status Gizi .055 .486 .013 1 .910 1.056 .408 2.737
Konsumsi Rokok .449 .492 .832 1 .362 1.566 .597 4.106
Masa Kerja .992 .561 3.124 1 .077 2.697 .898 8.104
TekananPanas 1.364 .468 8.490 1 .004 3.912 1.563 9.791
Kebisingan .910 .491 3.441 1 .064 2.485 .950 6.504
Constant -1.888 .631 8.960 1 .003 .151
a. Variable(s) entered on step 1: Umur, Status Gizi, Konsumsi Rokok, Masa Kerja, TekananPanas, Kebisingan.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES FATIGUE2
/METHOD=ENTER Umur Konsumsi Rokok Masa Kerja TekananPanas Kebisingan
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 100 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 100 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 100 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
kelelahan Ringan 0
Kelelahan Berat 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 0 FATIGUE Kelelahan Ringan 0 50 .0
Kelelahan Berat 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .200 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Umur 4.842 1 .028
Konsumsi Rokok .043 1 .836
Masa Kerja 7.840 1 .005
TekananPanas 8.046 1 .005
Kebisingan 4.857 1 .028
Overall Statistics 19.082 5 .002
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 20.752 5 .001
Block 20.752 5 .001
Model 20.752 5 .001
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 117.877a .187 .250
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
FATIGUE Percentage
Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 1 FATIGUE Kelelahan Ringan 33 17 66.0
Kelelahan Berat 18 32 64.0
Overall Percentage 65.0
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Umur .176 .570 .095 1 .758 1.192 .390 3.647
Konsumsi Rokok .443 .489 .821 1 .365 1.557 .597 4.061
Masa Kerja 1.002 .555 3.261 1 .071 2.722 .918 8.074
TekananPanas 1.363 .468 8.488 1 .004 3.908 1.562 9.778
Kebisingan .913 .490 3.467 1 .063 2.492 .953 6.516
Constant -1.870 .609 9.419 1 .002 .154
a. Variable(s) entered on step 1: Umur, Konsumsi Rokok, Masa Kerja, TekananPanas, Kebisingan
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES FATIGUE2
/METHOD=ENTER Konsumsi Rokok Masa Kerja TekananPanas Kebisingan
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 100 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 100 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 100 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Kelelahan Ringan 0
Kelelahan Berat 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 0 FATIGUE Kelelahan Ringan 0 50 .0
Kelelahan Berat 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .200 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Konsumsi Rokok .043 1 .836
Masa Kerja 7.840 1 .005
TekananPanas 8.046 1 .005
Kebisingan 4.857 1 .028
Overall Statistics 19.028 4 .001
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 20.658 4 .000
Block 20.658 4 .000
Model 20.658 4 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 117.972a .187 .249
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Table
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 1 FATIGUE kelelahan Ringan 35 15 70.0
Kelelahan Berat 19 31 62.0
Overall Percentage 66.0
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for
EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Konsumsi Rokok .444 .489 .825 1 .364 1.559 .598 4.065
Masa Kerja 1.096 .465 5.553 1 .018 2.991 1.202 7.441
TekananPanas 1.354 .466 8.435 1 .004 3.873 1.553 9.657
Kebisingan .953 .473 4.051 1 .044 2.593 1.025 6.558
Constant -1.846 .603 9.368 1 .002 .158
a. Variable(s) entered on step 1: Konsumsi Rokok, Masa Kerja, TekananPanas, Kebisingan.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES FATIGUE2
/METHOD=ENTER Masa Kerja TekananPanas Kebisingan
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 100 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 100 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 100 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Kelelahan Ringan 0
Kelelahan Berat 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 0 FATIGUE kelelahan Ringan 0 50 .0
Kelelahan Berat 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 0 FATIGUE kelelahan Ringan 0 50 .0
Kelelahan Berat 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .200 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Masa Kerja 7.840 1 .005
TekananPanas 8.046 1 .005
Kebisingan 4.857 1 .028
Overall Statistics 18.376 3 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 19.819 3 .000
Block 19.819 3 .000
Model 19.819 3 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 118.810a .180 .240
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
FATIGUE
Percentage
Correct
Kelelahan Ringan
Kelelahan
Berat
Step
1
FATIGUE Kelelahan
Ringan 35 15 70.0
Kelelahan
Berat 19 31 62.0
Overall Percentage 66.0
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for
EXP(B)
Lower Upper
Step
1a
Masa Kerja 1.019 .453 5.061 1 .024 2.771 1.140 6.736
TekananPanas 1.366 .464 8.655 1 .003 3.921 1.578 9.744
Kebisingan .877 .462 3.599 1 .058 2.404 .971 5.949
Constant -1.491 .439 11.531 1 .001 .225
a. Variable(s) entered on step 1: Masa Kerja, TekananPanas, Kebisingan.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES FATIGUE2
/METHOD=ENTER Masa Kerja TekananPanas
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 100 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 100 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 100 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Kelelahan Ringan 0
Kelelahan Berat 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
FATIGUE Percentage
Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step 0 FATIGUE Kelelahan Ringan 0 50 .0
Kelelahan Berat 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .200 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Masa Kerja 7.840 1 .005
TekananPanas 8.046 1 .005
Overall Statistics 15.267 2 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 16.131 2 .000
Block 16.131 2 .000
Model 16.131 2 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 122.498a .149 .199
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
FATIGUE Percentage
Correct Kelelahan Ringan Kelelahan Berat
Step
1
FATIGUE Kelelahan Ringan 22 28 44.0
Kelelahan Berat 8 42 84.0
Overall Percentage 64.0
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Masa Kerja 1.205 .438 7.562 1 .006 3.338 1.414 7.883
TekananPanas 1.240 .446 7.731 1 .005 3.457 1.442 8.288
Constant -1.118 .373 8.988 1 .003 .327
a. Variable(s) entered on step 1: Masa Kerja, TekananPanas.