faktor
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MENCARI PENGOBATAN
Apr11 Konsep Perilaku
Berbicara tentang perilaku manusia itu selalu unik. Artinya tidak sama antar
dan inter manusianya baik dalam hal kepandaian, bakat, sikap, minat maupun
kepribadian. Manusia berperilaku atau beraktifitas karena adanya kebutuhan
untuk mencapai suatu tujuan. Dengan adanya need atau kebutuhan dalam diri
seseorang maka akan muncul motivasi atau penggerak. (Widayatun, 2009).
Definisi perilaku menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan
atau reaksi individu yang terwujud digerakan (sikap), tidak saja badan atau
ucapan. (Kaunang, 2009).
Perilaku diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap
lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila sesuatu yang diperlukan untuk
menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan
tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. (Qym, 2009).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku terbentuk melalui suatu
proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan
lingkungannya. Faktor-faktor yang memegang peranan didalam pembentukan
perilaku dapat dibedakan menjadi 2 faktor yakni faktor intern dan faktor ekstern.
(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang atau organisme terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. (Syamrilaode, 2011).
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku merupakan respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Faktor-
faktor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku.
Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan
yang bersifat given atau bawaan misalnya tigkat kecerdasan, tingkat emosional,
jenis kelamin dan sebagainya. Faktor ekternal yaitu lingkungan, baik lingkungan
fisik, fisik, ekonomi, politik dan sebagainya. (Anonim, 2011).
Perilaku adalah totalitas penghayatan dan aktifitas seseorang yang
merupakan hasil bersama atau resultanre antara berbagai faktor, baik faktor
internal maupun faktor eksternal. Dengan kata lain perilaku manusia sangatlah
kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Ghana (2008) perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adlah faktor yang ada dalam dirinya yaitu
ras/ keturunan, jenis kelamin, sifat fisik, kepribadian, bakat dan intelegensia.
Sedangkan faktor eksternalnya antara lain pendidikan, agama, kebudayaan,
lingkungan dan sosial ekonomi.
Menurut Anderson R (1968) dalam behavioral model of families use of
health services, perilaku orang sakit berobat ke pelayanan kesehatan secara
bersama-sama dipengaruhi oleh faktor predisposisi (usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan), faktor pemungkin (ekonomi keluarga, akses terhadap
sarana pelayanan kesehatan yang ada dan penanggung biaya berobat) dan
faktor kebutuhan (kondisi individu yang mencakup keluhan sakit). (Supardi dkk,
2011).
Menurut J. Winardi (2001), perilaku tidak hanya dideterminasi oleh keinginan
saja, akan tetapi perilaku juga dipengaruhi juga oleh lingkungan, pengetahuan,
persepsi, norma-norma social, sikap-sikap dan mekanisme-mekanisme
pertahanan.
Ruang Lingkup Perilaku
Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya 3
bidang perilaku yakni kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dalam
perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom dibagi
menjadi 3 tingkat yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. (Wikipedia, 2011).
1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. (Notoatmodjo,
2003).
Menurut teori WHO, pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman
sendiri atau pengalaman orang lain. (Bascom, 2009).
Notoatmodjo (2003), membagi pengetahuan dalam 6 tingkatan yaitu tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
a. Tahu
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajarinya,
seperti mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangtan yang telah diterima.
b. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real.
d. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi/ suatu
obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam satu struktur
organisasi, dan masih ada aitannya satu sama lain.
e. Sintesis
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhanyag
baru.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2 . Sikap
Menurut Wikipedia (2011), sikap merupakan respon tertutup seseorang
terhadap stimulus atau obje tertentu yang melibatkan faktor pendapat yang
bersangkutan.
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap objek, sikap
sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.
(Bascom, 2009).
Newcomb, salah seorang ahli psikologis social, menyatakan bahwa sikap
itu merupakan kesiapan atau esediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif-motif. Tertentu. (Notoadmojo, 2003).
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan,
yaitu:
a. Menerima
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan objek.
b. Merespon
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan dan mendiskusikan suatu
masalah.
d. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan secara langsung dan tidak
langsung.
3.Praktik atau Tindakan
Tindakan ini merujuk pada perilaku yang dideskripsikan dalam bentuk
tindakan yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang
telah dimiliki. (Wikipedia, 2011).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yata diperlukan
faktor-faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan
dari pihak lain. (Notoatmojo, 2003).
a. Persepsi
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
b. Respon terpimpin
Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh.
c. Mekanisme
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu sesuai denagn benar
secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
d. Adopsi
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik.
Sarana Pengobatan Masyarakat
Sebagian besar masyarakat hampir tidak pernah lepas dari pelayanan
sekaligus mengharapkan adanya pelayanan yang memuaskan. Untuk memenuhi
kebutuhannya manusia berusaha tidak langsung melalui aktifitas orang lain.
Seperti yang dikatakan oleh AS. Moenir (1998) proses pemenuhan kebutuhan
melalui aktifitas orang lain langsung disebut pelayanan. (Anonim, 2011).
Sedangkan J.S Poerwadarminta melihat pelayanan sebagai melakukan
perbuatan, melayani apa yang diperlukan dan diharapkan oleh orang lain dengan
bantuan pihak lain yang menyediakan sesuatu diperlukan oleh orang lain
tersebut. (Anonim, 2011).
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu aspek yang berperan dalam
penciptaan derajat kesehatan yanbg merata kepada seluruh masyarakat. Sesuai
dengan tujuasn penyelenggaraan pembangunan kesehatan yaitu terwujudnya
masyarakat yang mandiri untuk menggapai pelayanan kesehatan dan perilaku
hidup sehat. (Syaer, 2010).
Sumber pengobatan di Indonesia menurut Kalangie (1984), mencakup 3
sektor yang saling berkaitan yaitu pengobatan rumah , tangga atau
pengobatan dirumah, pengobatan tradisional dan juga pengobatan medis
professional (praktek tenaga kesehatan, poli klinik, puskesmas dan rumah sakit).
(Supardi dkk, 2011).
1. Rumah Sakit
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan professional
yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat dan tenaga ahli
kesehatan lainnya. (Wikipedia, 2011).
Sementara menurut Siregar (2003) menyatakan rumah sakit adalah
suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus
dan rumit, dan difungsikan untuk berbagai kesatuan personel terlatih dan
terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang
semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk
pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. (Ujang Ketul, 2009).
Berikut merupakan tugas dan fungsi Rumah Sakit menurut Wikipedia
(2011):
a. Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis.
b. Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis
tambahan.
c. Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman.
d. Melaksanakan pelayanan medis khusus.
e. Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan.
f. Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi.
g. Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial.
h. Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan.
i. Melaksanakan pelayanan rawat jalan/ rawat darurat dan rawat tinggal.
j. Melaksanakan pelayanan rawat inap.
k. Melaksanakan pelayanan administrative.
l. Melaksanakan pendidikan para medis.
m. Melaksanakan pendidikan tenaga medis spesialis.
n. Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan.
o. Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi.
Diseluruh dunia, ditemui keluhan adanya peningkatan biaya Rumah Sakit
yang tinggi, meningkat melampaui biaya-biaya lainnya. Di Philipina dilaporkan
bahwa banyak Rumah Sakit yang mengalami kesulitan biaya dan akan dijual.
Masyarakat tidak mampu lagi membayar. Hanya 20-30% rakyat yang mampu
membayar Rumah Sakit, sementara Rumah Sakit mendapat kesulitan untuk
membayar gaji karyawan-karyawannya. (Sulastomo, 2007).
Meskipun demikian, kenaikan biaya tidak sama diberbagai Negara.
Tergantung berbagai factor, antara lain tersedianya tempat tidur, system
pelayanan kesehatan, organisasi Rumah Sakit, manajemen atau system
keuangan dan bahkan teknologi yang diterapkan. (Sulastomo, 2007).
Ada 2 faktor penting yang mempengaruhi sektor Rumah sakit yaitu
kekuatan ekonomi pemerintah daerah dan kekuatan ekonomi masyarakat.
Semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah, maka kemungkinan sumber
pembiayaan untuk kesehatan dari daerah akan semakin besar. Semakin
tinggi kekuatan ekonomi masyarakat maka dapat dilihat bahwa daya beli
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan akan semakin besar.
2. Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan Kabupaten
atau Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan disuatu wilayah. (Syafrudin dkk, 2009).
Menurut Supriyanto (1998) bahwa pemanfaatan pelayanan Puskesmas
adalah penggunaan pelayanan yang telah diterima pada tempat atau
pemberi pelayanan kesehatan. (Syafruddin dkk, 2009).
Ada 2 faktor yang mempengaruhi persepsi dari masyarakat terhadap
pelayanan Puskesmas yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern
adalah pengalaman pribadi dan manfaat akan keberadaan dari Puskesmas
itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern meliputi hubungan sosial dalam
pelayanan kesehatan seperti sosialisasi kesehatan yang dilakukan oleh
Puskesmas. (Anonim, 2011).
Menurut Syafruddin Syaer (2010), banyak faktor yang berperan dalam
hal pengunaan Puskesmas. Faktor tersebut dikelompokkan dalam 2
kelompok yaitu yang bersal dari puskesmas itu sendiri dan faktor yang
berasal dari masyarakat. Faktor yang berasal dari Puskesmas meliputi faktor
tenaga, perilaku petugas, program pelayanan, fasilitas yang tersedia, letak
Puskesmas dan sumber daya yang tersedia. Sedangkan faktor dari
masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, jarak dan pekerjan.
Fungsi Puskesmas menurut Syarifuddin dkk (2009) ada 3 fungsi,
yaitu:
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat
dan dunia usaha diwilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta
mendukung pembangunan kesehatan.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki
kesadaran tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
Upaya kesehatan Puskesmas menurut Syarifuddin Syaer (2010) terdiri
dari:
a. Upaya kesehatan wajib
1) Upaya promosi kesehatan
2) Upaya kesehatan lingkungan
3) Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana
4) Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
5) Upaya pengobatan
b. Upaya kesehatan pengembangan
1) Upaya kesehatan sekolah
2) Upaya kesehatan lingkungan
3) Upaya perawatan kesehatan masyarakat
4) Upaya kesehatan kerja
5) Upaya kesehatan gigi dan mulut
6) Upaya kesehatan jiwa, mata dan usia lanjut
7) Upaya pembinaan dan pengobatan tradisional
Berdasarkan hasil penelitian Supardi dkk (2004) tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku pasien berobat ke Puskesmas dengan
menggunakan data sekunder SKRT 2004 dan Susenas 2004, didapatkan
data karakteristik pasien rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas
persentase terbesar berusia 26-35 tahun, jenis kelamin perempuan,
pendidikan SD (tidak tamat/tamat), belum bekerja/ tidak, status ekonomi
mampu menurut kategori pusat statistic (BPS), tempat tinggal pedesaan
dan tidak ada penanggung biaya berobat.
Pengobatan Sendiri/ Pengobatan Di Rumah
Pengobatan sendiri dalam pengertian umum adalah yang dilakukan
orang awam untuk menanggulangi sendiri keluhan sakitnya menggunakan
obat, obat tradisional, atau cara lain tanpa petunjuk tenaga kesehatan.
Tujuan pengobatan sendiri adalah untuk peningkatan kesehatan,
pengobatan sakit ringan dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah
perawatan dokter. Alasan pengobatan sendiri adlah praktis dari segi waktu,
kepercayaan terhadap obat tradisional, masalah privasi, biaya lebih murah,
jarak yang jauh ke pelayanan kesehatan dan kurang puas terhadap
pelayanan kesehatan. (Supardi dkk, 2011).
Perilaku penduduk yang memilih pengobatan dirumah penduduk yang
berobat jalan dalam kurun waktu setahun menurut Riskesdas 2007 sebesar
1,6% sementara menurut data Susenas 2007 penduduk yang memilih
berobat dirumah sebesar 57,7%, pengobatan medis 35,5% dan pengobatan
trasdisional 6,8%. (Supardi dkk, 2011).
Menurut Supardi dkk (2011) karakteristik penduduk sakit yang memilih
pengobatan dirumah persentase terbesar adalah jenis kelamin perempuan,
status perkawinan cerai hidup/ mati, kelompok umur pralansia/ lansia, tidak
bekerja, lokasi tinggal dipedesaan dan jenis kebutuhan sakit malaria dan
demam tipoid.
Pengobatan Tradisional
Pengobatan tradisional merupakan bentuk pelayanan pengobatan yang
menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar
pengobatan kedokteran modern dan dipergunakan sebagai alternative atau
pelengkap pengobatan kedokteran modern tersebut. (Kurniasari, 2011)
Ramuan tradisional adalah media pengobatan yang menggunakan
tamanan dengan kandungan bahan-bahan alamiah sebagai bahan bakunya.
(Agromedia, 2008).
Kecendrungan meningkatnya penggunaan obat tradisional disadari
pada beberapa alasan yaitu harga obat-obatan buatan pabrik saat ini sudah
semakin mahal, efek samping yang ditimbulkan oleh obat tradisional sangat
kecil dan kandungan unsure kimia yang terkandung didalam obat tradisional
sebenarnya menjadi dasar pengobatan kedokteran modern. (Agromedia,
2008).
Dari hasil penelitian Herlina (2001) menunjukkan bahwa variabel sikap
dan pekerjaan berhubungan dengan pemilihan pengobatan alternative.
Sementara umur, pendidikan, pendapatan, pengetahuan dan keyakinan
didak berhubungan dengan pemilihan jenis pengobatan alternatif. Dari
variabel-variabel tersebut, yang paling dominant hubungannya dengan
pemilihan jenis pengobatan alternatif adalah sikap. Proporsi pengobatan
alternatif yang memilih jenis ketrampilan adalah 62% yang terdiri dari 49%
ditolong oleh tukang pijat, 10% oleh tukang pijat refleksi dan 3% oleh sinshe
akupuntur. Sementara itu proporsi yang memilih pengobatan alternative
jenis ramuan obat adalah 38% terdiri dari ramuan 19%, penjual jamu 16%,
tabib 2% dan pengobatan dengan menggunakan pendekatan agama yang
dipadukan dengan ramuan 1%.
Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan dalam penyelidikan-
epidemiologi. Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah
dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur. .
(Syafruddin dkk, 2009).
Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan
pembagian-pembagian umur sebagai berikut (Syafruddin dkk, 2009):
a. Menurut tingkat kecerdasan
1) 0-14 tahun : Bayi dan anak-anak
2) 15-59 tahun : Orang muda dan orang dewasa
3) > 50 tahun : Orang tua
b. Interval 5 tahun
1) < 1 Tahun : 1-4 tahun
2) 5-9 Tahun
3) 10-14 tahun dan sebagainya
Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari
Whalley & Wong’s (1999), tahap perkembangan manusia menurut umur di
bagi dalam 8 tahapan. Tiga diantaranya berkaitan dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut (Maulana, 2008):
a. < 20 tahun
b. 21-35 tahun
c. > 35 tahun
Penelitian Supardi dkk (2011) mengatakan bahwa sebagian besar
berusia antara 26-35 tahun (28,8%) yang berobat ke Puskesmas dan
proporsi penduduk yang memilih berobat di rumah lebih banyak pada
kelompok umur pra lansia atau lansia.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang
pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. (Wikipedia, 2011).
Jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender, karena terjadi
diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing-masing jenis
kelamin. Pada masyarakat yang mengenal “machoisme”, umpamanya,
seorang laki-laki diharuskan berperan secara maskulin (“jantan”
dalam bahasa sehari-hari) dan perempuan berperan secara feminin.
(Wikipedia, 2011).
Setiap masyarakat menekankan peran tertentu yang setiap jenis
kelamin harus bermain, meskipun ada lintang luas dalam perilaku yang
dapat diterima untuk setiap gender. (Anonim, 2011).
Karakteristik penduduk yang memilih pengobatan di rumah proporsi
terbesar adalah berjenis kelamin perempuan. (Supardi dkk, 2011)
Begitu juga dengan penelitian Supardi dkk (2004) tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku pasien berobat ke Puskesmas
sebagian besar adalah perempuan (56,4%).
Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan dasar dalam pengembangan wawasan
serta untuk memudahkan bagi seseorang untuk menerima pengetahuan,
sikap dan perilaku yang baru. Tingkat pendidikan formal yang pernah
diperoleh seseorang akan meningkatkan daya nalar seseorang dan jalan
untuk memudahkan seseorang untuk menerima motivasi. (Syaer, 2011).
Tingkat pendidikan seseorang dapat menentukan peminatan
kesehatan, tinggi rendahnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan
dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan. Indikatornya adalah
pendidikan terakhir, berpendidikan rendah tetap memanfaatkan
pelayanan kesehatan dan tahu manfaat pelayanan kesehatan. (Syaer,
2010).
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, yaitu tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional terbagi atas
tiga tingkat pendidikan formal yaitu pendidikan dasar (SD/Madrasah
Ibtidaiyah serta SMP/Madrasah Tsanawiyah), pendidikan menengah
(SMU/Madrasah Aliyah dan sederajat) serta pendidikan tinggi (Akademi
dan Perguruan tinggi). (Maulana, 2008).
Dari hasil penelitian Supardi dkk (2011) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku pasien berobat ke Puskesmas diperoleh
karakteristik pasien rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas adalah
pendidikan SD (tamat/ tidak tamat SD). Persentase pasien dengan
pendidikan dasar lebih cenderung rawat inap di Puskesmas dibandingkan
dengan yang berpendidikan lanjutan.
Pendapatan/ penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat
penghasilan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun
pencegahan. (Syafruddin dkk, 2009).
Berdasarkan peraturan Gubernur Aceh tahun 2011 upah minimal
regional daerah Aceh sebesar Rp 1.350.000 perbulan. Ini menggambarkan
bahwa penghasilan keluarga minimal untuk dapat memenuhi kebutuhan
dasar keluarga di Aceh adalah Rp 1.350.000 perbulan. Pengasilan menurut
(Pergub Aceh) ada 3 kategori :
Tinggi : > Rp 1.350.000 perbulan
Sedang : Rp 650.000 sampai Rp.1.350.000 perbulan
Rendah : < Rp 650.000
Tingkat pendapatan yang memadai akan memberikan kemungkinan-
kemungkinan yang lebih besar untuk datang ke fasilitas kesehatan,
memeriksakan diri, serta mengambil obat. Hal ini dapat dihubungkan
dengan biaya transport yang dimiliki. Jadi dari tingkat pendapatan yang
memadai dapat diharapkan penderita akan berobat secara teratur
walaupun jarak ke tempat pelayanan kesehatan jauh. (Syaer, 2010).
Maya Kurniasari (2011), mengatakan faktor ekonomi ikut berperan
dalam pemilihan tempat pengobatan. Hal ini dapat dilihat dari klasifikasi
pasien yang datang ketempat pengobatan tradisional sebagian besar
pekerjaannya adalah buruh kasar, sopir dan tukang parkir.
Pekerjaan
Menurut Daryanto (1997) pekerjaan adalah kegiatan rutin yang
dilakukan subjek penelitian diluar rumah yang menghasilkan imbalan
materi maupun uang. (Nurhasanah, 2008).
Nurhasanah (2008) membagi pekerjaan menjadi 2 yaitu bekerja dan
tidak bekerja. Bekerja apabila subjek penelitian memiliki kegiatan rutin
yang dilakukan diluar rumah yang menghasilkan imbalan materi maupun
uang. Sedangkan tidak bekerja apabila subjek penelitian tidak memiliki
kegiatan rutin yang dilakukan diluar rumah yang menghasilkan imbalan
materi maupun uang.
Pekerjaan adalah penduduk yang berpotensial dapat bekerja, yang
dapat memproduksi barang atau jasa ada permintaan terhadap tenaga
mereka mau berpartisipasi dalam rangka aktifitas tersebut. Menurut Labor
Force Consepth, yang digolongkan bekerja adalah mereka yang
melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan
untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan, baik mereka yang
bekerja penuh maupun tidak. Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan
untuk mencari atau mendapatkan nafkah. (Syaer, 2011).
Bekerja atau tidaknya seseorang akan turut berpengaruh peminatan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, semakin baik jenis pekerjaan
dari seseorang semakin tinggi permintaan terhadap pelayanan kesehatan.
Indikatornya adalah mempunyai pekerjaan tetap memanfaatkan
pelayanan kesehatan walaupun harus meninggalkan pekerjaan.
(Syafruddin Syaer, 2010).
Persentase pasien tidak bekerja yang rawat jalan di Puskesmas lebih
besar daripada yang bekerja. Hubungan antara pekerjaan pasien dan
perilaku pasien rawat jalan di Puskesmas secara statistik bermakna.
(Supardi dkk, 2011).
Hasil penelitian Herlina (2001) menunjukkan bahwa variabel sikap dan
pekerjaan berhubungan dengan pemilihan jenis pengobatan alternatif.
https://syehaceh.wordpress.com/2013/06/01/pengukuran-sikap-skala-likert/
PENGUKURAN SIKAP : SKALA LIKERT
Jun1
Attitude as the degree of positive or negative
affect associated with some psychological object (Allen L. Edward, 1957) —
sikap adalah afeksi positif atau negatif yang berhubungan dengan beberapa objek psikologis.
Objek sikap dapat berupa simbol, ungkapan, slogan, orang, institusi, ideal, ide, dsb.
Sikap sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke
dalam pola yang lebih luas. Dari sudut motivasi, sikap merupakan suatu keadaan kesediaan
untuk bangkitnya motif (Mar’at, 1981). Sikap belum merupakan tindakan/aktivitas,
melainkan berupa kecenderungan (tendency) atau predisposisi tingkah laku.
Menurut George J. Mouly (1967) sikap memiliki tiga komponen :
1. Komponen afektif — kehidupan emosional individu, yakni perasaan tertentu (positif atau
negatif) yang mempengaruhi penerimaan atau penolakan terhadap objek sikap, sehingga
timbul rasa senang-tidak senang, takun-tidak takut.
2. Komponen kognitif — aspek intelektual yang berhubungan dengan bilief, idea atau konsep
terhadap objek sikap.
3. Komponen behavioral — kecenderungan individu untuk bertingkah laku tententu terhadap
objek sikap.
Sikap dapat diukur dengan metode/teknik :
1. Measurement by scales — pengukuran sikap dengan menggunakan skala —
munculah skala sikap.
2. Measurement by rating — pengukuran sikap dengan meminta pendapat atau penilaian para
ahli yang mengetahui sikap individu yang dituju.
3. Indirect method — pengukuran sikap secara tidak langsung yakni mengamati (eksperimen)
perubahan sikap/pendapat ybs.
Salah satu pengukuran skala sikap adalah dalam bentuk Skala Likert.
Skala Likert menurut Djaali (2008:28) ialah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau
fenomena pendidikan. Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan
dalam kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa
survei. Nama skala ini diambil dari nama Rensis Likert, pendidik dan ahli psikolog Amerika
Serikat. Rensis Likert telah mengembangkan sebuah skala untuk mengukur sikap masyarakat
di tahun 1932.
Skala itu sendiri salah satu artinya, sekedar memudahkan, adalah ukuran-ukuran berjenjang.
Skala penilaian, misalnya, merupakan skala untuk menilai sesuatu yang pilihannya
berjenjang, misalnya 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Skala Likert juga merupakan alat untuk
mengukur (mengumpulkan data dengan cara “mengukur-menimbang”) yang “itemnya”
(butir-butir pertanyaannya) berisikan (memuat) pilihan yang berjenjang.
Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan Skala Likert, variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik
tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.
Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari
sangat positif sampai sangat negatif.
Skala Likert itu “aslinya” untuk mengukur kesetujuan dan ketidaksetujuan seseorang
terhadap sesuatu objek, yang jenjangnya bisa tersusun atas:
sangat setuju
setuju
netral antara setuju dan tidak
kurang setuju
sama sekali tidak setuju.
Penskalaan ini apabila dikaitkan dengan jenis data yang dihasilkan adalah data
Ordinal. Selain pilihan dengan lima skala seperti contoh di atas, kadang digunakan
juga skala dengan tujuh atau sembilan tingkat. Suatu studi empiris menemukan
bahwa beberapa karakteristik statistik hasil kuesioner dengan berbagai jumlah
pilihan tersebut ternyata sangat mirip. Skala Likert merupakan metode skala bipolar
yang mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan.
Empat skala pilihan juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang
memaksa orang memilih salah satu kutub karena pilihan “netral” tak tersedia. Selain
pilihan dengan lima skala seperti contoh di atas, kadang digunakan juga skala
dengan tujuh atau sembilan tingkat. Suatu studi empiris menemukan bahwa
beberapa karakteristik statistik hasil kuesioner dengan berbagai jumlah pilihan
tersebut ternyata sangat mirip. Skala Likert merupakan metode skala bipolar yang
mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Empat
skala pilihan juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa
orang memilih salah satu kutub karena pilihan “netral” tak tersedia.
Pernyataan yang diajukan mengenai objek penskalaan harus mengandung isi yang akan
“dinilai” responden, apakah setuju atau tidak setuju. Contoh di bawah ini pernyataannya
berbunyi “Doktrin Presiden Republik Mimpi merupakan kebijakan luar negeri yang
efektif.” Objek khasnya adalah efektivitas (kefektivan) kebijakan. Responden diminta
memilih satu dari lima pilihan jawaban yang dituliskan dalam angka 1-5, masing-masing
menunjukkan sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), netral atau tidak berpendapat (3),
setuju (4), sangat setuju (5).
Apa artinya? Artinya setujukah responden bahwa kebijakan luar negeri Presiden RM itu
sebagai kebijakan yang efektif (memecahkan masalah luar negeri RM)? Jadi, responden
tinggal milih: setuju atau tidak setuju, atau tak memilih keduanya (netral saja, tidak
berpendapat).
Tidak sedikit mahasiswa dan peneliti lain yang hanya melihat Skala Likert itu sebagai angket
pilihansetuju–tidak setuju. Jadi, jika pilihan jawabannya setuju-tidak setuju, maka itu
namanya Skala Likert. Lalu, segala macam pernyataan dimintakan kepada responden untuk
memilih menjawab setuju atau tidak setuju. Ini contohnya:
Salat itu penting, karena salat itu merupakan tiang agama.
1. Sangat setuju (SS)
2. Setuju (S)
3. Setuju tidak, tidak setuju pun tidak, alias netral (N)
4. Tidak setuju (TS)
5. Sangat tidak setuju (STS)
Jelas isi pernyataan itu bukan sesuatu yang harus disetujui atau tidak disetujui.
Itu pengetahuan, pengetahuan agama, yang diajarkan oleh para ustad dan kiyai. Jadinya itu
soal “murid” tahu atau tidak tahu bahwa salat itu penting, dan pentingnya itu karena (dengan
alasan) merupakan tiang agama (“ash-shalatu imaaduddin“), bukan harus setuju atau tidak
setuju.
Kedua, itu tidak bisa dijenjangkan kesetujuan-ketidaksetujuannya, karena tidak logis. Kalau
misalnya “setuju” salat itu penting, apa bedanya dengan “sangat setuju.” Jika jawabannya
diubah jadi “setuju–agak setuju,” makna dari agak setuju itu apa, tak jelas. Tentu tidak bisa
ditafsirkan bahwa jika agak setuju berarti menunjukkan menurut responden salat itu agak
penting, dan jika setuju sekali berarti salat itu sangat amat penting, dan sebaliknya.
Ketiga, ada dua isi yang harus disetujui atau tidak disetujui di dalam satu pernyataan itu,
yaitu: (1) salat itu penting, dan (2) salat itu tiang agama. Ini tidak boleh terjadi dalam
penyusunan angket, sebab akan membingungkan. Salat mungkin bisa dianggap penting
(setuju bahwa penting), tapi alasannya sebagai tiang agama tidak setuju, setujunya karena ia
rukun Islam kedua. Jadi, jawabannya apa? Setuju, atau tidak setuju, atau netral saja?
Skala Likert ada kalanya “menghilangkan” tengah-tengah kutub setuju dan tidak setuju.
Responden dipaksa untuk “masuk” ke “blok” setuju atau tidak setuju. Ini contohnya.
Mahasiswa boleh tidak ikut kuliah, asal sungguh-sungguh belajar mandiri.
1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Tidak setuju
4. Sangat tidak setuju
Pertanyaan dibuat demikian agar orang berpendapat, tidak bersikap netral atau tidak
berpendapat.
Berapa jenjang skala dibuat dalam Skal Likert? Itu amat tergantung pada “kata-kata” yang
digunakan di dalam butir (item) Skala Likert. Kalau digunakan model verbal (kata-kata)
setuju–tidak setuju, maka paling tidak ada tiga, yaitu setuju–netral–tidak setuju. Perubahan
lebih banyak tentu akan mengikuti kutubnya (kutub setuju dan kutub tidak setuju). Jadi, jika
ditambah, akan menjadi, misalnya: sangat setuju–setuju–netral–tidak setuju–sangat tidak
setuju (ada 5 skala). Tentu bisa jadi tujuh jika ditambahi lagi dengan sangat setuju sekali dan
sama sekali tidak setuju. Atau tambahannya berupa “agak setuju” (sebelum setuju) dan “agak
tidak setuju” (sebelum tidak setuju). Jika digabungkan, maka jadi sembilan skala (jenjang).
1. Sangat setuju sekali
2. Sangat setuju
3. Setuju
4. Agak setuju
5. Netral
6. Agak tidak setuju
7. Tidak setuju
8. Sangat tidak setuju
9. Sama sekali tidak setuju
Ada “angket” yang semodel dengan Skala Likert, seperti di bawah ini.
Seberapa sering Anda meminjam buku dari perpustakaan?
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Sangat sering
Pertanyaan angket ini pun berjenjang, mirip dengan Skala Likert. Tentu itu bukan skala sikap.
Itu angket biasa, angket deskriptif yang isinya punya jenjang ( intensitas meminjam buku dari
perpustakaan). Perhatikan jenjangnya. Ada tengah-tengahnya seperti netral dalam skala sikap.
Oleh sebab itulah angket (butir angket) seperti itu suka disebut juga sebagai “mirip Skala
Likert.”
Pertanyaan angket berikut, kendati ada jenjang, bukan Skala Likert dan bukan mirip Skala
Likert. Kuncinya terletak pada titik tengah pilihan jawaban ( di sisi yang satu positif, di sisi
yang lain negatif; di sisi yang satu tinggi di sisi yang lain rendah). Item tentang usia berikut
tidak bersifat seperti itu, hanya perjenjangan biasa, tidak ada kutub ekstrim dan tengah-
tengahnya.
Usia Bapak/Ibu saat ini:
a. di atas 80 tahun
b. 61 – 70 tahun
c. 51 – 60 tahun
d. 41 – 50 tahun
e. 31 – 40 tahun
Menganalisis data Skala Likert
1. Analisis Frekuensi (Proporsi)
Nah, yang sering dilakukan kesalahan adalah pada saat menganalisis data dari Skala Likert.
Ingat, Skala Likert berkait dengan setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu. Jadi, ada dua
kemungkinan. Pertama, datanya data ordinal (berjenjang tanpa skor). Angka-angka hanya
urutan saja. Jadi, analisisnya hanya berupa frekuensi (banyaknya) atau proporsinya
(persentase). Contoh (pilihan “netral” dalam angket ditiadakan) dengan responden 100 orang:
Yang sangat setuju 30 orang (30%)
Yang setuju 50 orang (50%)
Yang tidak setuju 15 orang (15%)
Yang sangat tidak setuju 5 orang (5%).
Jika digabungkan menurut kutubnya, maka yang setuju (gabungan sangat setuju dan setuju)
ada 80 orang (80%), dan yang tidak setuju (gabungan sangat tidak setuju dan tidak setuju)
ada 20 orang (20%).
2. Analisis Terbanyak (Mode)
Analisis lain adalah dengan menggunakan “mode,” yaitu yang terbanyak. Dengan contoh
data di atas, maka jadinya “Yang terbanyak (50%) menyatakan setuju” (Dari data yang sangat
setuju 15%, setuju 50%, netral 20%, tidak setuju 10%, sangat tidak setuju 5%).
Skala Likert Sebagai Skala Penilaian
Skala Likert kerap digunakan sebagai skala penilaian karena memberi nilai terhadap sesuatu.
Contohnya skala Likert mengenai produk komputer di atas, komputer yang baik atau tidak.
Terhadapnya bisa diberlakukan angka skor. Jadi, yang dianalisis skornya. Dalam contoh di
atas angka 7 sebagai skor tertinggi. Datanya bukan ordinal, melainkan interval.
Ingat! Pilihan ordinal setuju–agak setuju–netral–kurang setuju–tidak setuju tak bisa diskor.
Misalnya setuju diberi skor 5, agak setuju 4, netral 3, kurang setuju 2, dan tidak setuju 1.
Kenapa?
Pertama, tidak logis, yang netral lebih tinggi skornya dari yang tidak setuju. Padahal yang
netral itu sebenarnya tidak berpendapat. Kedua, coba jika ada dua orang yang ditanya, yang
satu menjawab setuju (skor 5), yang satu lagi menjawab tidak setuju (skor 1). Berapa
reratanya? [5 + 1] : 2 = 3. Skor 3 itu sama dengan netral. Lucu, kan?! Simpulannya kedua
orang responden bersikap netral. Padahal realitanya yang satu setuju, yang satu tidak. Nah,
ini bisa terjadi juga dengan yang sangat setuju (skor 5) 20 orang, setuju (skor 4) 25 orang,
netral (skor 3) 10 orang, tidak setuju (skor 2) 25 orang, dan sangat tidak setuju (skor 1) 20
orang. Berapa rerata skornya? Pasti 3 (netral). Jadi, semua orang (diwakili 100 orang sampel)
bersikap netral. Lucu, kan?!!! Padahal yang netral hanya 10 orang (10%)!!!
Skala Penilaian
Di atas dicontohkan Skala Likert untuk penilaian (menilai produk komputer). Sebenarnya
tidak perlu menggunakan Skala Likert, cukup skala penilaian (rating scale). Responden
diminta menilai produk itu dengan membubuhkan nilai (skor) jika ada kolom kosong untuk
menilai, atau memilih skor tertentu yang sudah disediakan. Jadinya skornya bisa bergerak
dari 0 sampai dengan 10 sebagai skor tertinggi.
Contohnya mengenai kepuasan konsumen terhadap layanan perpustakaan di bawah ini.
Responden cukup diminta melingkari angka skor sesuai dengan penilaiannya.
1. Kemudahan menemukan koleksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2. Kenyamanan ruangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3. Layanan petugas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Analisisnya bisa menggunakan dua macam, proporsi (persentase) dan mode (terbanyak
menilai berapa), dan rerata atau means (rerata skornya berapa), dan termasuk pengkateorian
puas atau tidak puas.
Jelasnya:
Pertama, dihitung banyaknya responden yang memberi nilai pada skor tertentu secara
keseluruhan (seluruh butir pernyataan). Lihat yang terbanyak (mode) dari responden memilih
pada skor berapa.
Kedua, hitung skor dari keseluruhan butir (responden yang menjawab dikalikan skor), lalu
disusun reratanya. Rerata skor itu (bilangannya tentu akan 0 – 10) termasuk kategori tinggi
atau rendah. Sebelumnya tentu sudah disusun kategorisasinya. Jadi, jika rerata skornya
misalnya 7,76, angka 7,76 itu termasuk kategori rendah, sedang, ataukah tinggi? Ingat, skor
terendah berapa, dan skor tertinggi berapa! Jadi, 7,76 dari rentangan skor 1 – 10 tentu
termasuk tinggi (tapi tidak sangat tinggi, kan?!)
Kelemahan skala Likert:
1. Karena ukuran yang digunakan adalah ukuran ordinal, skala Likert hanya dapat
mengurutkan individu dalam skala, tetapi tidak dapat membandingkan berapa kali satu
individu lebih baik dari individu yang lain. 2. Kadangkala total skor dari individu tidak
memberikan arti yang jelas, karena banyak pola respons terhadap beberapa item akan
memberikan skor yang sama
Sumber :
1. Tatang M. Amirin, 2010, Skala Likert : Penggunaannya dan Analisis Datanya.
2. Niswarni, 2010, Macam-macam Skala.
PENGUKURAN SIKAP
I. Definisi Sikap
Sikap manusia, atau untuk singkatnya kita sebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai
versi oleh para ahli. Puluhan definisi dan pengertian itu pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam
salah-satu diantara tiga kerangka pemikiran.
Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone,
Rensis Likert, dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan. Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai‘derajat afek positif `atau afek negative
terhadap suatu objek psikologis’ (Edward, 1957).
Ke dua diwakili oleh Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, danGordon Allport mengenai sikap menurut
mereka lebih kompleks pemikirannya sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap
suatu objek dengan cara-cara tertentu. LaPierre mendefinisikan sikap sebagai ‘suatu pola perilaku,
tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau
secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan’.
Ke tiga adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic sceme). Kerangka
pemikirannya suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif
yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu
objek. Secord dan Backman mendefiniskan sikap sebagai ‘keteraturan tertentu dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di
lingkungan sekitarnya’.
Di samping pembagian kerangka pemikiran tradisional seperti terurai di atas, di kalangan
para ahli Psikologi Sosial mutakhir terdapat pula cara lain yang popular guna klasifikasi pemikiran
tentang sikap, dalam dua pendekatan seperti berikut ini.
Pendekatan pertama adalah memandang
sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek (Breckler, 1984;
Katz dan Stotland, 1959; Rajecki, 1982; dalam Brehm dan Kassin, 1990). Ke tiga komponen tersebut
secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini, yang pada uraian di atas dikenal
dengan nama skema triadik disebut juga pendekatantricomponent.
Pendekatan ke dua timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai
inkonsistensi yang terjadi diantara ketiga komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk
sikap. Oleh karena itu pengikut pendekatan ini perlu untuk membatasi konsep sikap hanya pada
aspek afektif saja (single component). Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap tidak
lain adalah ‘afek atau penilaian – positif atau negatif terhadap suatu objek’. Pengikut pemikiran ini
adalah Fishbein dan Ajzen (1980), Oskamp (1977), Petty dan Cacioppo (1981) (Brehm dan Kassin,
1990).
Kalau Thurstone menekankan definisinya pada intensitas afek terhadap suatu objek, maka
Petty dan Cacioppo secara lengkap mengatakan ‘sikap adalah evaluasi secara umum yang dibuat
manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isyu-isyu’, definisinya ini lebih menekankan
aspek evaluasi atau penilaian sebagai karakteristik sikap yang lebih menentukan, dikarenakan sikap
kadang-kadang tidak menimbulkan afek sama sekali.
Bagi para ahli, masing-masing aspek tersebut memang merupakan komponen yang konstrak
teoritiknya berbeda satu sama lain. Sikap merupakan suatu konstrak multidimensional yang terdiri
atas kognisi, afeksi, dan konasi.
II. Pengukuran Sikap
Salah-satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah
masalah pengungkapan (assement) atau pengukuran (measurement) sikap.
Salah-satu definisi sikap merupakan respons evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun
negatif. Dalam buku yang berjudul Principles of educational and Psychological Measurement
and Evaluation, Sax(1980) menunjukkan beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah,
intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitasnya.Penjelasannya sebagai berikut:
1) Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau
tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak
terhadap sesuatu seseorang sebagai objek.
2) Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu
sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda.
3) Sikap mempunyai keluasaan,maksudnya kesetujuan atu ketidaksetujuan terhadap suatu obyek
sikap dapat mengenai hanya yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat mencakup banyak
sekali aspek yang ada dalam obyek sikap.
4) Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan
dengan responsnya terhadap objek sikap tersebut.
5) Sikap yang memiliki spontanitas, artinya menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk
menyatakan sikapnya secara spontan.
Beberapa diantara banyak metode pengungkapan sikap yang secara historik telah dilakukan
orang.
1.
Observasi Perilaku, di sini sikap ditafsirkan dari bentuk perilaku yang tampak. Dengan kata lain,
untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab
perilaku merupakan salah-satu indikator sikap individu.
2. Penanyaan Langsung, wajar bila banyak yang beranggapan bahwa sikap seseorang dapat diketahui
dengan menanyakan langsung (direct questioning) pada yang bersangkutan.
Asumsi yang mendasari metode penanyaan langsung guna pengungkapan sikap pertama adalah
asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan ke dua
adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang
dirasakannya. Oleh karena itu, dalam metode ini, jawaban yang diberikan oleh mereka yang ditanyai
dijadikan indikator sikap mereka.
Telaah yang lebih mendalam dan hasil-hasil penelitian telah meruntuhkan asumsi-asumsi tersebut di
atas (Edward, 1957). Ternyata orang akan mengemukakan pendapat dan jawaban yang sebenarnya
secara terbuka hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan. Artinya, apabila situasi dan kondisi
memungkinkan untuk mengatakan hal yang sebenarnya tanpa rasa takut terhadap konsekuensi
langsung maupun tidak langsung yang dapat terjadi. Dalam situasi tanpa tekanan dan bebas dari rasa
takut, serta tidak terlihat adanya keuntungan berkata lain, barulah individu cenderung memberikan
jawaban yang sebenarnya sesuai dengan apa yang dirasakannya.
3. Pengungkapan Langsung, suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan langsung
(direct assement) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan aitem tunggal maupun
dengan menggunakan aitem ganda (Ajzen, 1988).
Pengungkapan langsung dengan aitem tunggal sangat sederhana, responden diminta menjawab
langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju.
Sebagai contoh, untuk mengetahui sikap siswa terhadap perubahan jam hari sekolah dari 6 hari 5 hari seminggu, pernyataannya sbb:
UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PENDIDIKAN, SEKOLAH
LIMA HARI SEMINGGU PERLU DILAKSANAKAN
Setuju :----:----:----:----:----:----:----: tidak setuju
Jawaban individu berupa tanda silang pada garis kontinum setuju-tidak setuju, dapat diketahui kesetujuan atau ketidak setujuan seseorang. Seseorang yang member tanda silang pada kotak ke tuju dari kiri ditafsirkan lebih setuju dan seterusnya.
Pengungkapan langsung dengan menggunakan aitem ganda adalah teknik diferensi semantik
(semantic differential) dirancang untuk mengungkap afek atau perasaan yang berkaitan dengan
suatu objek (Osgood, Suci, dan Tannenbaum, 1975). Menurut mereka diantara banyak dimensi atau
faktor yang berkaitan dengan sikap paling utama adalah dimensi evaluasi (baik-buruk, cantik-jelek,
yang menekankan nilai kebaikan), dimensi potensi (kuat-lemah, berat-ringan), dimensi aktivitas
(cepat-lambat, aktif-pasif). Dengan memilih dimensi dan kata sifat yang relevan terhadap objek
sikap, pasangan kata sifat pada suatu kontinum tujuh titik sebagai berikut:
HOMOSEKSUAL
menyenangkan :---:---:---:---:---:---:---: menyusahkan
merugikan :---:---:---:---:---:---:---: menguntungkan
buruk :---:---:---:---:---:---:---: baik
bersih :---:---:---:---:---:---:---: kotor
4. Skala Sikap, metode pengungkapan sikap dalam
bentuk self-reportyang hingga kini dianggap paling dapat diandalkan adalah dengan menggunakan
daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap
(attitude scales) berupa kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap.
Beberapa faktor yang dapat menghambat pencurahan sikap melalui skala sikap yang berisi
pernyataan-pernyataan, dalam ilustrasinya sebagai berikut:
a) Setiap jawaban yang memiliki alternatif tertentu dan terbatas akan membatasi pula keluasan
individu dalam mengomunikasikan sikapnya, sehingga memilih yang mirip saja diantara yang ada.
b) Bahasa standar yang dapat diterima umum yang digunakan dalam skala sikap mungkin tidak mampu
mengungkapkan reaksi-reaksi asli dan tipikal.
c) Pertanyaan-pertanyaan standard dan formal tidak mampu mengungkap kompleksitas, nuansa-
nuansa, atau pun warna sesungguhnya dari sikap individu yang sebernarnya.
d) Dalam setiap kumpulan respon yang diberikan oleh manusia tentu sedikit-banyak akan terdapat eror
atau kekeliruan (dalam membaca, memahami, atau menafsirkan pernyataan yang disajikan).
e) Jawaban responden dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan mereka sendiri akan penerimaan sosial,
persetujuan sosial (social approval), dan keinginan untuk tidak keluar dari norma yang dapat
diterima oleh masyarakat, yang dapat menghambat keluarnya pernyataan sikap yang sebenarnya).
f) Situasi interview sebelum pengukuran, situasi sewaktu penyajian skala, karakteristik pertanyaan
sebelumnya, harapan subjek mengenai tujuan pengukuran itu dan banyak sikap yang dapat
mempengaruhi respons individu.
Proses pengungkapan sikap merupakan proses yang
rentan terhadap berbagai kemungkinan eror dikarenakan sikap itu sendiri merupakan suatu konstrak
hipotetik atau konsep psikologis yang tidak mudah untuk dirumuskan secara operasional, maka
harus hati-hati dan sungguh-sungguh dan ditulis dengan mengikuti kaidah-kaidah penyusunan skala
yang berlaku. Salah-satu faktor yang merusak interpretasi adalah dikarenakan suatu alasan orang
sengaja tidak memberi respons yang dirasakan tetapi memberi respons yang dapat diterima oleh
norma masyarakat, dianggap baik oleh kaidah kehidupan sosial. Ada juga dua cara untuk
mendapatkan respons yang jujur yaitu penggunaan alat bantu yang disebut bogus pipelinedan
pengukuran terselubung.
Metode bogus pipeline (Jones dan Sigall) dilakukan dengan menghubungkan individu-individu yang
hendak diungkap sikapnya dengan kabel pada suatu instrument mekanis canggih yang dirancang
seakan-akan mampu mengetahui dan mencatat perasaan mereka yang sesungguhnya, maka
cenderung tidak berani berbohong karena takut ketahuan oleh mesin pencatat dan karenanya
responnya jujur.
Skala sikap Likert, dilakukan dengan mencatat (tally) penguatan respon dan untuk pernyataan
anggapan positif dan negative tentang objek sikap.
Pengukuran sikap kadang-kadang dibedakan antara kepercayaan atau bulir kognitif, perasaan atau
bulir afektif, dan kecenderungan perilaku atau bulir konatif, karena dalam skala Likert tidak terdapat
bulir netral maka harus jelas positif atau negatifnya dengan memperhatikan kepada objek sikapnya.
Skala Thurstone, mengembangkan tiga bagian dalam penskalaan yaitu (1) metode perbandingan-
pasangan (2) metode interval pemunculan sama, (3) metode interval berurutan
Keuntungan skala Thurstone adalah menyusun dua bentuk skala sikap yang ekuivalen relative lebih
mudah, dan adanya angka netral atau “nol”. Kerugiannya, yaitu besarnya jumlah upaya yang
dibutuhkan (perlunya administrasi pada kelompok pertimbangan , secara keseluruhan terpisah dari
administrasi pada skala responden).
Skala Guttman, terdiri dari bulir-bulir pendapat yang sama dengan skala Likert dan Thurstone, yang
membuat unik adalah tekanan ekstrim pada unidimensionalitas (menempatkan pada titik tertentu
dalam kontinum sikap harus setuju dengan semua bulir di bawah posisi skalanya dan harus tidak
setuju dengan semua bulir di atas posisi skalanya.
Aspek Evaluatif
(Nilai kepentingan)
Kekuatan Kepercayaan
(Penerimaan instrumentalitas)
Skala Likert Bulir-bulir berkunci baik sebagai positif maupun negative.
Tidak dibuat ketentuan nilai terbaik.
Lima tingkat persetujuan yang mungkin dari “sangat setuju” hingga “sangat tidak setuju”.
Kebanyakan varian dalam skor skala Likert diambil dari sumber ini.
Skala Thurstone Bulir-bulir di tempatkan dengan baik dalam kemustarian terhadap objek sikap, melalui peringkat keputusan.
Kebanyakan varian skala Thurstone diturunkan dari sumber ini.
Responden baik setuju atau tidak setuju dengan setiap bulir.
Tidak dibuat keputusan mengenai kepercayaan yang lebih baik.
Analisis bulir-bulir skala Likert dan Thurstone dengan model sikap Fishbein.
5. Pengukuran Terselubung (covert measure) sebenarnya berorientasi kembali ke metode perilaku,
akan tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang disadari atau sengaja
dilakukan oleh seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi lebih di luar kendali orang
yang bersangkutan. Dalam batas tertentu kita dapat menafsirkan perasaan orang dari pengamatan
atas reaksi wajah, dari nada suara, dari gerak tubuh, dan dari beberapa aspek perilakunya.
Daftar Pustaka
Gerungan, Dr. W.A. 2009. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama
Azwar, Saifuddin. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://sinausosiologi.blogspot.com/2010/06/makalah-pengukuran-sikap-i.html
Pengkategorian Variabel Penelitian
Sep2Variabel berasal dari bahasa Inggris , yaitu variable, artinya bervariasi. Setiap ukuran
atau atribut yang bervariasi bisa dikatakan sebagai variabel.
Dalam tulisan ini variable diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek
pengamatan penelitian. Sering pula dinyatakan variabeL penelitian itu sebagai
faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.
Kalau ada pertanyaan tentang apa yang akan di teliti, maka jawabannya berkenaan
dengan variabel penelitian. Jadi variabel penelitian pada dasarnya adalah segala
sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulan. Secara teoritis variabel dapat didefiisikan sebagai atribut seseorang,
atau objek yang mempunyai “Variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu
objek dengan objek yang lain (Hatch dan Farhady,1981). Dinamakan variabel karena
ada variasinya.
Berkaitan dengan proses kuantifikasi data, maka biasa digolongkan menjadi 4 jenis
yaitu (a). Data Nominal, (b). Data Ordinal, (c). Data Interval dan, (d). Data ratio.
Demikianlah pula variabel, kalau dilihat dari segi ini biasa dibedakan dengan cara
yang sama
1. Variabel Nominal, yaitu variabel yang ditetapkan berdasar atas proses
penggolongan; variabel ini bersifat diskret dan saling pilah (mutually exclusive)
antara kategori yang satu dan kategori yang lain; contoh: jenis kelamin, status
perkawinan, jenis pekerjaan
2. Variabel Ordinal, yaitu variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam
atribut tertentu. Jenjang tertinggi biasa diberi angka 1, jenjang di bawahnya
diberi angka 2, lalu di bawahnya di beri angka 3 dan seterusnya. (ranking)
3. Variabel Interval, yaitu variabel yang dihasilkan dari pengukuran, yang di dalam
pengukuran itu diasaumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang sama.
Contoh: variabel interval misalnya prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu
program dinyatakan dalam skor, penghasilan dan sebagainya.
4. Variabel ratio, adalah variabel yang dalam kuantifikasinya mempunyai nol
mutlak. (Drs. Sumadi Suryabrata .Metologi Penelitian. hal. 26-27)
Didalam penelitian, terutama pada metodologi kita dihadapkan kepada bagaimana
cara mengkategorikan variabel sehingga proses analisis data akan lebih mudah
sesuai dengan uji statistik yang kita gunakan. Kita ambil contoh pada analisis chi
square dengan program SPSS, biasanya jika variabel independennya lebih dari dua
kategori nilai OR-nya tidak keluar. Sebenarnya bisa gunakan tehnik dummy, namun
bagi pemula (mahasiswa D3) hal tersebut cukup menyulitkan. Jadi variabel yang
lebih dua kategori dapat disederhanakan menjadi 2 (dua) kategori.
Namun ada juga uji statistik yang variabel independennya tidak perlu dalam bentuk
katagorik, misalnya uji-T. Jadi variabel independennya tidak perlu diubah menjadi
katagorik, tapi bisa numerik atau skala rasio, contohnya variabel umur, lama kerja,
skor sikap, dll.
Dalam pengkategorian variabel secara sederhana dapat dilakukan dengan cara :
1. Berdasarkan referensi atau pendapat pakar
2. Berdasarkan nilai mean dan standar deviasi
3. Berdasarkan nilai cut of point (mean/median)
Berdasarkan referensi atau pendapat pakar
Cara ini dilakukan dengan tehnik variabel tersebut dikategorikan berdasarkan
referensi terdahulu atau pendapat pakar atau hasil penelitian terdahulu. Misalnya
variabel pengetahuan dapat dikategorikan berdasarkan pendapat atau teori yang
dikemukakan oleh Nursalam, yaitu pengetahuan baik jika jawaban benar 76%-100%,
sedang jika jawaban benar 75%-56% dan pengetahuan kurang jika jawaban benar <
56%. Variabel pendidikan berdasarkan depdiknas/sisdiknas dikategorikan menjadi
pendidikan tinggi jika tamat Perguruan Tinggi, menengah jika tamat SMA/sederajat
dan rendah jika tamat SD/SMP/sederajat.
Berdasarkan nilai mean dan standar deviasi
Cara ini dilakukan dengan menggunakan nilai mean dan standar deviasi sebagai cut
of pointnya. Misalnya umur dapat diubah menjadi 3 kategori dengan menggunakan 1
SD , yaitu kelompok I : < mean – SD, kelompok II antara mean-SD dan mean + SD,
kelompok III > mean+SD. Kalau ingin 4 kategori gunakan 2 SD dan seterusnya.
Berdasarkan nilai cut of point
Cara ini dilakukan dengan menggunakan nilai cut of point, biasanya nilai mean atau
median . Cara ini sering juga disebut dengan pengkatagorian variabel dengan
metode statistik normatif. Cara ini lebih mudah terutama untuk pemula saat mereka
menggunakan uji chi square. Seperti dikemukan diatas bahwa pada uji chi square
dengan program SPSS, variabel independen yang kategori datanya berbentuk 3
(tiga) kategori tidak bisa keluar nilai OR (odd rasio).
Untuk itu variabel independen tersebut dapat diubah atau disederhanakan menjadi
dua kategori dengan tehnik statistik normatif. Misalnya variabel pengetahuan bisa
dibuat menjadi 2 (dua) kategori dengan nilai cut of point mean/median, yaitu
pengetahuan cukup jika x > mean/median, dan pengetahuan kurang jika x <=
mean/median. Variabel pendidikan disederhanakan menjadi : pendidikan tinggi jika
tamat SMA- PT, dan pendidikan rendah jika tamat SD-SMP/sederajat. Batasan ini
mungkin mengacu kepada wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh
Kemendikbud ( PP 47/2008).
https://syehaceh.wordpress.com/2013/09/02/pengkategorian-variabel-penelitian/