evaluasi pengendalian schistosomiasis oleh lintas …...pengendalian schistosomiasis oleh lintas...

89
LAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS SEKTOR DAN IMPLEMENTASI BADA MODEL DI DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA Disusun oleh: Ahmad Erlan, dkk No. APKESI : 20190147764 BALAI LITBANG KESEHATAN DONGGALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2019

Upload: others

Post on 29-Nov-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

LAPORAN HASIL PENELITIAN

EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS

SEKTOR DAN IMPLEMENTASI BADA MODEL DI DAERAH

ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA

Disusun oleh:

Ahmad Erlan, dkk

No. APKESI : 20190147764

BALAI LITBANG KESEHATAN DONGGALA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

2019

Page 2: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

2

Page 3: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

3

Page 4: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

4

Page 5: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

5

Page 6: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

6

Page 7: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

7

3. SUSUNAN TIM PENELITI

No Nama Keahlian/

Kesarjanaan Kedudukan dalam Tim

Uraian Tugas

1 Muh. Faozan, SKM, MPH Kepala Balai Litbangkes Donggala

Pengarah Memberikan arahan kegiatan riset

2 Sitti Chadijah, SKM, MSi Kepala Seksi Yanlit Pengarah Memberikan arahan kegiatan riset

3 Prof. Dr. M. Sudomo Ahli Schistosomiasis Narasumber Memberikan masukan kegiatan riset

4 Ahmad Erlan, SKM, MPH S2 Kesmas Ketua Pelaksana

Mengkoordinir kegiatan riset

5 Junus Widjaja, SKM, MSc S2 Kedokteran Tropis Anggota tim Bertanggung jawab dalam koordinasi dgn lintas sektor

6 Anis Nur Widayati, S.Si, MSc S2 Kedokteran Tropis Anggota tim Bertanggung jawab dalam pendampingan tim peda’

7 Ningsi, S.Sos,MSi S2 Antropologi Anggota tim Bertanggungjawab pendampingan tim mobasa

8 Malonda Maksud, SKM S1 Kesmas Anggota tim Bertanggung jawab penyusunan peraturan desa

9 drh.Intan Tolistiawaty Dokter hewan Anggota tim Bertanggung jawab pendampinagn tim mepaturo

10 Murni, S.Si S1 Biologi Anggota tim Membantu dalam pertemuan advokasi dan penyusunan laporan

11 Hasrida Mustafa, S.Si S1 Biologi Anggota tim Membantu dalam pertemuan rekomendasi kebijakan dan penyusunan laporan

12 Ni Nyoman Veridiana, SKM, M.Kes

S2 Kesehatan Masyarakat

Anggota tim Membantu pendampingan tim Mobasa

13 Resmiwaty, S.Sos, M.Hum S2 Humaniora Anggota tim Bertanngung jawab dalam pengumpulan data kualitatif

14 Hapsa, S.Sos, M.A S2 Antropologi Anggota tim Membantu dalam pengumpulan data kualitatif

15 M. Junaidi, S.Sos, M.A S2 Antropologi Anggota tim Membantu dalam pengumpulan data kualitatif

16 Alamsyah M. Nur, S.IP, M.Si S2 Sospol Anggota tim Membantu dalam pengumpulan data kualitatif

17 Muh. Arif, S.IP, M.Si S2 Sospol Anggota tim Membantu dalam pengumpulan data kualitatif

18 Ikhtiar Hatta, S.Sos, M.Hum S2 Humaniora Anggota tim Membantu dalam pengumpulan data kualitatif

19 Andi Tenriangka S1 Sospol Administrasi Bertanggung jawab dalam administrasi penelitian

20 Avib Vebrianto S1 Sospol Administrasi Membantu dalam administrasi penelitian

Page 8: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

8

Page 9: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,
Page 10: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

10

6. KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan,

kekuatan dan ilmu yang bermanfaat sehingga laporan hasil penelitian dengan judul; Evaluasi

Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah

Endemis Schistosomiasis Di Indonesia, bisa selesai disusun. Laporan hasil penelitian ini

berisi tentang pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah kami

laksanakan selama kurang lebih 9 bulan. Penelitian dilakukan sebagian besar di Kecamatan

Lore Barat di lembah Bada Kabupaten Poso.

Sebagai manusia tentunya masih banyak kekurangan dari isi laporan ini, untuk itu

kiranya kami akan sangat senang jika mendapat masukan ataupun kritikan dari berbagai

pihak demi perbaikan menuju kesempurnaan laporan ini. Penulis mengucapkan terimakasih

kepada Kepala Balai Litbangkes Donggala atas kesempatan, izin dan segala dukungan yang

diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada

komisi etik dan Panitia Pembina Ilmiah Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Badan

Litbangkes yang telah memberikan masukan serta bimbingan atas pelaksanaan penelitian ini.

Akhirnya, penulis sangat berterimakasih kepada teman-teman yang telah membantu

memberikan bahan acuan maupun diskusi dalam penyusunan laporan ini. Penulis

memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada mereka yang membantu secara langsung

maupun tidak langsung selama mempersiapkan maupun penyusunan laporan ini. Semoga

laporan penelitian ini bermanfaat dan bisa menjadi acuan bagi desa-desa endemis

schistosomiasis dalam pengendalian schistosomiasis.

Donggala, Desember 2019

Ahmad Erlan, SKM, MPH

Page 11: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

11

7. RINGKASAN EKSEKUTIF

Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi

Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia

Ahmad Erlan, Muh. Faozan, Sitti Chadijah, Junus Widjaja, Anis Nurwidayati, Ningsi,

Malonda, Intan, Murni, Hasrida, Resmiwaty, Ikhtiar, Hapsa, Junaidi

Upaya eliminasi penyakit tropis terabaikan menjadi salah satu prioritas pada RPJMN

2015-2019. Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustainable

Development Goals/SDGs), khususnya salah satu target pada tujuan ketiga SDGs, yaitu

mengakhiri epidemi AIDS, tuberculosis, malaria, dan penyakit tropis terabaikan (neglected

tropical diseases) lainnya serta memerangi hepatitis, penyakit yang ditularkan melalui air dan

penyakit menular lainnya. Schistosomiasis atau penyakit demam keong, merupakan salah

satu penyakit tropis terabaikan, yang hanya ditemukan endemis di 28 desa yang tersebar di

dua kabupaten (Sigi dan Poso) di Provinsi Sulawesi Tengah. Upaya pengendalian penyakit

ini telah berjalan setidaknya dalam 35 tahun terakhir, dan memberikan pembelajaran bahwa

eradikasi penyakit ini harus melalui pendekatan lintas sektor, secara serentak pada

lokasi/desa-desa endemis tersebut.

Sejak ditetapkannya eradikasi schistosomiasis pada tahun 2019, Bappenas

mengkoordinasikan secara intensif pengendalian schistosomiasis sejak Mei 2017. Rangkaian

proses koordinasi ini meliputi antara lain dukungan penyusunan roadmap eradikasi

schistosomiasis, pemetaan dan sinkronisasi Dana Alokasi Khusus yang mendukung upaya

pengendalian schistosomiasis, pembahasan lanjutan di tingkat pimpinan Kementerian

PPN/Bappenas, dan pembahasan dukungan APBN dan DAK dengan lintas kementerian dan

Pemerintah Daerah. Roadmap yang disusun sejak Juli 2017 dengan melibatkan Pemerintah

Daerah dan Kementerian/Lembaga ini, digunakan dalam perencanaan, penganggaran, dan

evaluasi capaian tahunan Pemerintah Daerah dan lintas sektor untuk mewujudkan komitmen

bersama menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi kegiatan pengendalian

schistosomiasis oleh lintas sektor berdasarkan roadmap eradikasi schistosomiasis dan

menginisiasi upaya pengendalian schistosomiasis dengan penerapan konsep implemetasi

Bada Model. Tujuan khususnya adalah menganalisis kegiatan pengendalian keong perantara

oleh lintas sektor di daerah endemis schistosomiasis berdasarkan roadmap pengendalian

schistosomiasis. Mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan dalam pelaksanaan

pengendalian keong perantara schistosomiasis. Mengimplementasikan konsep bada model:

Page 12: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

12

Penyusunan Peraturan Desa tentang Pengendalian Deman Keong, Pembentukan Tim

Pengendali Schistosomiasis Desa, Pengendalian daerah fokus keong Onchomelania hupensis

lindoensis, Peningkatan kapasitas masyarakat, guru dan anak sekolah, dan Penguatan fungsi

Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis dalam pengendalian schistosomiasis.

Sebanyak dua puluh (20) orang informan lintas sektor yang telah dilakukan

wawancara mendalam. Program pengendalian Schistosomiasis yang digawangi oleh Dinas

Kesehatan sebagai upaya mengeliminir penyebaran penyakit Schistosomiasis telah lama

dilaksanakan, terutama oleh Dinas Kesehatan. Sejak ditemukannya penyakit ini Dinas

Kesehatan telah terlibat dalam mengobati dan mencegah penyebaran penyakit

Schistosomiasis. Hanya saja keterlibatan Dinas Kesehatan secara serius dalam Program

Pengendalian Schistosomiasis dimulai sejak penyusunan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis

di Indonesia tahun 2018 - 2020. Pelaksanaan program ini melibatkan berbagai instansi terkait,

seperti: Dinas Peternakan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), BAPPEDA,

Dinas Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, serta Dinas

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Secara keseluruhan pelaksanaan program ini

menggunakan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun besarannya dan sumber

anggaran lainnya berbeda-beda di tiap-tiap instansi. Keterlibatan mereka dalam program ini

juga diserahi wewenang sesuai dengan kapasitas dan tupoksi masing-masing. Namun

demikian dalam realisasi program semua instansi pada umumnya tidak menemukan kendala

yang berarti di lapangan. Kendala terberat hanyalah di penganggaran yang dianggap terlalu

sedikit, sehingga ada beberapa program yang realisasinya tertunda atau bahkan tidak

terlaksana sama sekali. Secara keseluruhan target program belum tercapai. Masing-masing

instansi mengharapkan agar semua fokus dapat tertangani di tahun 2020 sesuai dengan target

pencapaian eradikasi. Namun karena keterbatasan anggaran, maka target tersebut tidak dapat

tercapai di tahun 2019 bahkan di tahun 2020. Keberhasilan eliminasi schistosomiasis perlu

dukungan dari desa melalui pemberdayaan masyarakat. Gagasan Bada model sebagai

terobosan pengendalian schistosomiasis berbasis masyarakat yang coba di implementasikan

di Kecamatan Lore Barat di enam desa telah membawa keberhasilan. Hal ini akan diterapkan

di desa endemis lainnya yang ada di Napu dan Lindu dan disesuaikan dengan budaya

setempat.

Page 13: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

13

8. ABSTRAK

Pelaksanaan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor seyogyanya berdasarkan

roadmap eradikasi schistosomiasis, baik dari perencanaan, penganggaran, dan evaluasi

capaian tahunan. Oleh karena itu diperlukan evaluasi dari kegiatan pengendalian

schistosomiasis yang dilakukan oleh lintas sektor berdasarkan roadmap peradikasi

schistosomiasis.

Pada tahun 2018 dilakukan uji coba implementasi pengendalian schistosomiasis di

desa percontohan di tiga daerah endemis schistosomiasis Napu, Lindu, Bada. Hasil uji coba

tersebut adalah regulasi desa terkait pengendalian schistosomiasis di desa percontohan. Pada

tahun 2019 akan diimplementasikan konsep Bada Model dengan beberapa rincian kegiatan

yang akan di implementasikan meliputi implementasi regulasi (Kecamatan dan atau Desa),

implementasi muatan lokal schistosomiasis pada anak sekolah di daerah endemis,

implementasi peran tokoh agama (Mobasa), implementasi Tim Peda’ pengendali

Schistosomiasis, implementasi Lomba Desa Bebas Schistosomiasis, implementasi

pengendalian Schistosomiasis oleh lintas sektor. Dengan demikian dengan riset implementasi

ini diharapkan akan diidentifikasi kendala baik dari SDM, sarana prasarana, anggaran dan

kebijakan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian schistosomiasis

di daerah endemis.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi kegiatan pengendalian

schistosomiasis oleh lintas sektor berdasarkan roadmap eradikasi schistosomiasis dan

menginisiasi upaya pengendalian schistosomiasis dengan penerapan konsep implemetasi

Bada Model. Sampai dengan pertengahan tahun 2017, tingkat kejadian penyakit pada

manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi

oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong

perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan

sanitasi layak dalam upaya pencegahan risiko penyakit, dan belum maksimalnya

pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai

garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis. Metode

penelitian yang digunakan penelitian impelementasi dan data diperoleh dengan mixed method

yaitu pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dengan wawancara

mendalam kepada informan kunci dan evaluasi hasil kegiatan lintas sektor dan masyarakat.

Penelitian telah dilakukan di daerah endemis schistosomiasis Bada sejak Bulan

Januari – November 2019. Kesimpulannya lintas sektor belum maksimal dalam pengendalian

schistosomiasis karena anggaran yang masih terbatas. Pemberdayaan masyarakat melalui

Bada Model terbukti mampu menghilangkan fokus keong, meningkatkan cakupan

pengumpulan tinja dan mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik untuk menghindari

penularan dan selalu bekerja bakti membersihkan fokus keong.

Page 14: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

14

9. DAFTAR ISI

1. JUDUL PENELITIAN…...…………………………………………………………………1

2. SK PENELITIAN.…………………………………………………………………………. 2

3. SUSUNAN TIM PENELITI .................................................................................................. 7

4. PERSETUJUAN ETIK……………………………………………………………………..8

5. PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG………………………………………9

6. KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 10

7. RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................... 11

8. ABSTRAK ........................................................................................................................... 13

9. DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 14

10. DAFTAR TABEL/ GAMBAR .......................................................................................... 15

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 16

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 19

BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 21

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 21

3.3. Kriteria inklusi dan eksklusi ......................................................................................... 21

3.4. Instrumen dan cara pengumpulan data ......................................................................... 21

3.5. Prosedur pengumpulan data ......................................................................................... 23

BAB 4. HASIL PENELITIAN ............................................................................................... 24

4.1. Hasil Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis olehLintas Sektor Tahun 2019 ............ 24

4.2. Proses Pendampingan Penyusunan Peraturan Desa Tentang Demam Keong ............. 37

4.3. Pembentukan Tim Pengendali Schistosomiasis (Tim Peda’) ..................................... 42

4.4. Pengendalian fokus keong Onchomelania hupensis lindoensis dengan modifikasi

lingkungan ................................................................................................................. 49

4.5. Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesehatan, Masyarakat dan Anak Sekolah ............... 52

4.6. Kegiatan Pendukung .................................................................................................... 66

4.7. Optimalisasi tugas dan fungsi Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis dalam

pengendalian schistosomiasis .................................................................................... 70

BAB 5. PEMBAHASAN ........................................................................................................ 73

5.1. Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis oleh Lintas Sektor ......................................... 73

5.2. Implementasi Bada Model ........................................................................................... 77

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 87

6.1. Kesimpulan ................................................................................................................ 87

6.2. Saran .......................................................................................................................... 87

7. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 88

LAMPIRAN-LAMPIRAN: 1. Amandemen Protokol

2. Foto-foto penelitian

3. Laporan Kegiatan Advokasi

4. Policy Brief

5. Peraturan Desa Kageroa

Page 15: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

15

10. DAFTAR TABEL/ GAMBAR

Tabel 1. Target Hasil dan Capaian Kegiatan Lintas Sektor dalam Pengendalian

Schistosomiasis Tahun 2019

Tabel 2. Rincian Pengesahan Perdes Tentang Penanggulangan Demam Keong

(Schistosomiasis) oleh Masing-masing Desa Tahun 2019

Tabel 3. Frekuensi Sosialisasi Perdes Tentang Penaggulangan Demam Keong oleh

Masing-Masing Desa Tahun 2019

Tabel 4. Cakupan Pengumpulan Tinja Penduduk di Kecamatan Lore Barat Tahun 2018

dan 2019

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Sampel Tinja Hewan dari Enam Desa di Kecamatan

Lore Barat, Tahun 2019

Tabel 6. Jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis di Kecamatan Lore Barat, Tahun 2019

Tabel 7. Rencana Pengendalian Schistosomiasis Desa di Kecamatan Lore Barat Tahun

2020-2024

Tabel 8. Pendampingan Sosialisasi Schistosomiasis oleh Tim Mobasa di Kecamatan Lore

Barat Tahun 2019

Tabel 9. Pengetahuan Responden Sebelum Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

Tabel 10. Pengetahuan Responden Sesudah Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat

Tabel 11. Susunan Tim Mepaturo dari Berbagai Sekolah yang Ada di Kecamatan Lore Barat

Tahun 2019

Tabel 12. Kriteria Indikator Penilaian dalam Lomba Desa Bebas Schistosomiasis Tahun 2019

Gambar 1. Peta Distribusi Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada

Tahun 2019

Gambar 2. Nilai Rata-Rata Pre-Post Test Masyarakat di Kecamatan Lore Barat

Tahun 2019

Gambar 3. Tabel peningkatan pengetahuan siswa SD dan SMP di Kecamatan Lore Barat

Tahun 2019

Gambar 4. Perbandingan keong Sulawesidrobia sp. dan O.hupensis lindoensis

Gambar 5. Surat konfirmasi keong dari Puslit Biologi LIPI

Page 16: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

16

BAB 1. PENDAHULUAN

Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing trematoda jenis Schistosoma

japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis, oleh

masyarakat disebut sebagai penyakit demam keong. Schistosomiasis selain menginfeksi

manusia juga menginfeksi semua jenis mamalia baik hewan peliharaan maupun binatang liar.

Schistosomiasis kronis menurunkan kemampuan penderita dalam bekerja, dan beberapa

kasus menimbulkan kematian. Pada anak-anak, schistosomiasis menimbulkan stunting,

anemia dan penurunan kemampuan belajar.1,2

Penularan schistosomiasis dilaporkan tersebar di 78 negara dengan perkiraan sekitar

206,5 juta penduduk membutuhkan pengobatan pada tahun 2016. Penyakit ini tersebar di

negara-negara berkembang baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina,

Indonesia, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja. Schistosomiasis di Indonesia hanya

ditemukan di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Dataran Tinggi Napu dan Dataran Tinggi

Bada, Kabupaten Poso serta Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi. Penyakit ini

menimbulkan dampak kerugian ekonomi dan masalah kesehatan masyarakat di banyak

negara berkembang. Schistosomiasis merupakan penyakit parasit paling mematikan kedua

setelah malaria.3

Pengendalian schistosomiasis yang direkomendasikan oleh WHO berfokus pada

mengurangi penyakit melalui pengobatan berkala maupun massal dengan praziquantel dan

pendekatan pengendalian secara komprehensif schistosomiasis, meliputi penyediaan air

bersih yang memadai, sanitasi yang bagus, serta pengendalian keong yang dapat mengurangi

penularan schistosomiasis.2

Pemberantasan schistosomiasis dilakukan sejak tahun 1982 secara intensif. Periode

pertama berlangsung sejak 1982-1986 dengan kegiatan berupa pengobatan massal, survei

tinja, dan survei tikus setiap enam bulan. Pada periode ini prevalensi menurun secara

signifikan dan partisipasi masyarakat pada periode ini masih sangat bagus. Pengendalian

periode kedua berlangsung pada tahun 1986-1990 dengan kegiatan berupa pengobatan

selektif. Sektor pertanian juga melakukan pengelolaan lahan sehingga dapat mengeliminasi

beberapa daerah fokus, program transmigrasi, dan memobilisasi peran serta masyarakat.

Pengendalian periode ketiga berlangsung pada tahun 1991 sampai tahun 1993, dengan

kegiatan yang lebih terintegrasi. Pada periode ini sektor kesehatan bukan lagi sebagai

leading sector, akan tetapi digantikan oleh Bappeda. Pada periode ini juga dibentuk

Kelompok Kerja Schistosomiasis.4

Page 17: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

17

Pengendalian schistosomiasis periode keempat berlangsung pada tahun 1993-1998,

dengan adanya kelompok kerja schistosomiasis yang diberi nama integrated development

project. Program kerja kelompok tersebut dapat berlangsung dengan jadwal dan pembiayaan

yang lebih baik. Periode selanjutnya yaitu tahun 1998 – 2005 yaitu dengan dimulainya

CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project). Pada

periode ini pengendalian schistosomiasis sangat intensif peran lintas sektor sangat baik,

yaitu: kesehatan, pertanian, pekerjaan umum, transmigrasi, Program Kesejahteraan Keluarga

(PKK), dan peternakan.4

Berdasarkan Roadmap eradikasi schistomiasis pada tahun 2018-2025, ada tiga

indikator pencapaian eliminasi schistosomiasis, yang pertama yaitu prevalensi manusia,

hewan dan keong nol persen. Upaya eliminasi penyakit tropis terabaikan menjadi salah satu

prioritas pada RPJMN 2015-2019. Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan yang

Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya salah satu target pada

tujuan ketiga SDGs, yaitu mengakhiri epidemi AIDS, tuberculosis, malaria, dan penyakit

tropis terabaikan (neglected tropical diseases) lainnya serta memerangi hepatitis, penyakit

yang ditularkan melalui air dan penyakit menular lainnya.2 Schistosomiasis atau penyakit

demam keong, merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan, yang hanya ditemukan di

dua kabupaten (Sigi dan Poso) Provinsi Sulawesi Tengah. Upaya pengendalian penyakit ini

telah berjalan setidaknya dalam 35 tahun terakhir, dan memberikan pembelajaran bahwa

eradikasi penyakit ini harus melalui pendekatan lintas sektor, secara serentak pada

lokasi/desa-desa endemis tersebut.

Sejak ditetapkannya eradikasi schistosomiasis pada Tahun 2018, Bappenas

mengkoordinasikan secara intensif pengendalian schistosomiasis sejak Mei 2017. Rangkaian

proses koordinasi ini meliputi antara lain dukungan penyusunan roadmap eradikasi

schistosomiasis, pemetaan dan sinkronisasi Dana Alokasi Khusus yang mendukung upaya

pengendalian schistosomiasis, pembahasan lanjutan di tingkat pimpinan Kementerian

PPN/Bappenas, dan pembahasan dukungan APBN dan DAK dengan lintas kementerian dan

Pemerintah Daerah. Roadmap yang disusun sejak Juli 2017 dengan melibatkan Pemerintah

Daerah dan Kementerian/Lembaga ini, digunakan dalam perencanaan, penganggaran, dan

evaluasi capaian tahunan Pemerintah Daerah dan lintas sektor untuk mewujudkan komitmen

bersama menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia.5

Pembelajaran penting dari upaya pengendalian penyakit ini di Indonesia selama

kurang lebih 35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini

hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan

Page 18: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

18

masyarakat untuk menurunkan dan selanjutnya meniadakan infeksi parasit pada manusia,

hewan, dan keong perantara. Dalam konteks tersebut, peran lintas sektor dan masyarakat desa

mutlak diperlukan terutama dalam pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong

perantara.5 Pelaksanaan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor seyogyanya

berdasarkan roadmap eradikasi schistosomiasis, baik dari perencanaan, penganggaran, dan

evaluasi capaian tahunan. Oleh karena itu diperlukan riset evaluasi dari kegiatan

pengendalian schistosomiasis yang dilakukan oleh lintas sektor berdasarkan roadmap

eradikasi schistosomiasis.

Pengendalian schistosomiasis yang dilakukan oleh sektor kesehatan berupa kegiatan

rutin yaitu survei tinja, survei keong, pengobatan, survei fokus, dan survei tikus, serta

pembuatan jamban keluarga untuk penduduk di seluruh daerah endemis.3 Pengendalian

keong dilakukan secara mekanik dan kimia. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan

perbaikan saluran air di daerah fokus, pengeringan daerah fokus, dan penimbunan.

Pengendalian secara kimia dilakukan dengan penyemprotan baylucide pada daerah fokus.4

Sampai dengan pertengahan tahun 2017, tingkat kejadian penyakit pada manusia di 28

desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih

tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang

masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak

dalam upaya pencegahan risiko penyakit, dan belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat

dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam

pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.6 Dari permasalahan tersebut

disusunlah Roadmap Eradikasi Schistosomiasis sebagai rencana aksi bersama lintas sektor

dan masyarakat dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Pada tahun 2018 sudah

dilaksanakan kegiatan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor dan masyarakat untuk

itu perlu di evaluasi keberhasilan implementasi tersebut.

Page 19: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

19

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu penyakit tropis terabaikan ini adalah schistosomiasis atau penyakit demam

keong. Data WHO menunjukkan pada tahun 2015, jumlah populasi yang memerlukan

pengobatan preventif terhadap schistosomiasis akibat infeksi Schistosoma mansoni, S.

hematobium, S. japonicum dan tiga spesies Schistosoma lain adalah sebanyak 218,7 juta orang

yang tersebar di 52 negara. Dari jumlah tersebut 118,5 juta merupakan anak usia sekolah dan

sisanya (110.2 juta) adalah orang dewasa (WHO 2016). Di Asia, Schistosomiasis japonica masih

ditemukan di tiga negara, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Filipina, dan Indonesia. Di

antara ketiga negara tersebut, penyebaran penyakit paling luas ditemukan di RRT dengan jumlah

penderita sebanyak 11,6 juta yang tersebar di 12 provinsi dan 454 country (setara

kabupaten/kota).7

Pada Tahun 2011, melalui program pengendalian intensif, jumlah penderita berhasil

diturunkan menjadi kurang lebih 286,8 ribu dan 13 penderita akut (Xu et al. 2015). Di Filipina,

penyebaran penyakit ini terjadi di 28 provinsi, 14 kota, dan 189 municipality dengan jumlah

warga yang berisiko terinfeksi sebanyak 12 juta orang, termasuk 2,5 juta diantaranya mengalami

paparan langsung8. Belajar dari pengalaman Jepang yang berhasil memberantas penyakit ini pada

Tahun 1996, eradikasi schistosomiasis adalah sesuatu yang bisa dicapai, dan tetap harus

didukung kegiatan surveilans guna memastikan schistosomiasis japonica tidak muncul kembali

di bekas wilayah endemik.9

Di Indonesia penyakit Schistosomiasis Japonicum hanya terdapat di Lembah Bada, Napu,

dan Lindu di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyakit ini mendera 28 desa yang tersebar di

Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Total penduduk di 28 desa ini berjumlah 30,639 jiwa.

Untuk segera mengakhiri kejadian penyakit ini, schistosomiasis telah ditetapkan oleh Pemerintah

Republik Indonesia sebagai prioritas nasional untuk dapat dieradikasi pada 2019.5

Roadmap Eradikasi Shistosomiasis di Indonesia disusun sebagai rencana aksi bersama

lintas sektor dan masyarakat dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Roadmap ini

ditujukan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, dan evaluasi capaian tahunan bagi setiap

institusi yang terlibat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa, sebagai wujud komitmen

bersama mengentaskan schistosomiasis di Indonesia. Dalam Roadmap ini, pentahapan menuju

eradikasi mengenal 3 (tiga) fase yaitu fase akselerasi (2018-2019), fase memelihara prevalensi

0% (2020-2024), dan fase verifikasi dan deklarasi eradikasi (2025). Setiap tahapan/fase memiliki

Page 20: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

20

target tertentu dan intervensi kunci. Target dan intervensi kunci di setiap fase ini selanjutnya

menjadi panduan formulasi paket kegiatan tahunan berikut target hasil yang terukur.5

Strategi eradikasi Schistosomiasis meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan,

dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan

sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang

mudah diakses bagi semua yang peduli dan terlibat. Stakeholder yang terlibat berdasarkan

matriks roadmap eradikasi schistosomiasis adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian

Pertanian, Dinas Peternakan Kabupaten, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Pertanian Provinsi,

Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas PU Provinsi, Dinas PU Kabupaten, Balai Taman Nasional

Lore Lindu (BTNLL), Dinas Perkebunan, Pemerintah Desa, Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas

Kesehatan Kabupaten, Bappeda Provinsi dan Bappeda Kabupaten.

Penelitian ini menggunakan teori dari Merilee S. Grindle yang menyebutkan bahwa

keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan dan

lingkungan implementasi. Penggunaan teori tersebut dapat membantu peneliti untuk

menganalisis implementasi pengendalian schistosomiasis berdasarkan Roadmap Eradikasi

Schistosomiasis di Indonesia secara lebih mendalam.

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan relevan dengan penelitian ini adalah

penelitian yang berjudul “Implementasi Program Jamian Persalinan (Jampersal) di RSUD

Panembahan Senopati Kabupaten Bantul” oleh Fitri Istiani pada tahun 2013. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa implementasi Program Jampersal di RSUD Panembahan Senopati sudah

baik. Hal ini terbukti dengan adanya keterlibatan stakeholder dalam proses komunikasi program,

adanya SDM yang memadai, adanya komitmen dan ketersediaan pelaksana dalam menyukseskan

program Jampersal, dan struktur birokrasi yang sudah jelas dan tercipta koordinasi yang baik.

Penelitian yang dilakukan Fitri Istiani juga memakai kerangka teori Merilee S. Grindle, yang

mempunyai tujuan yang sama untuk mengevaluasi keberhasilan suatu program. Bedanya pada

program yang satu tentang kebijakan jampersal sedangkan pada penelitian ini ingin

mengevaluasi pengendalian schistosomiasis berdasarkan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di

Indonesia.

Page 21: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

21

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penelitian impelementasi dan data diperoleh dengan

mixed method yaitu pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dengan

wawancara mendalam kepada informan kunci dan evaluasi hasil kegiatan lintas sektor dan

masyarakat.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Bulan Oktober 2019. Kegiatan

evaluasi pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor sudah dilaksanakan di tiga daerah

endemis schistosomiasis Napu, Lindu, Bada. Kegiatan implementasi bada model dilakukan di

enam desa di daerah endemis Bada, Kecamatan Lore Barat.

3.3. Kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi:

1. Sampel Masyarakat di desa endemis Napu, Lindu, Bada yang mengetahui pelaksanaan

kegiatan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor dan impelementasi regulasi

pengendalian schistosomiasis di desa endemis.

2. Masyarakat yang menderita schistosomiasis

3. Stakeholder kesehatan di tingkat pusat yaitu Kementerian Kesehatan

4. Stakeholder kesehatan di tingkat daerah yaitu Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten

5. Stakeholder Non Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten yang mengetahui pelaksanaan

kegiatan pengendalian schistosomiasis

Kriteria Eksklusi :

Masyarakat ataupun stakeholder yang tidak mengetahui tentang program eliminasi

schistosomiasis.

3.4. Instrumen dan cara pengumpulan data

Instrumen yang digunakan oleh tim selama pelaksanaan evaluasi adalah:

1. Studi literatur dokumen rencana kegiatan pengendalian schistosomiasis.

Page 22: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

22

2. Pedoman Wawancara mendalam pada lintas sektor kesehatan dan non kesehatan sebanyak

dua puluh (20) orang informan yang ada di Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi dan Provinsi

Sulawesi Tengah.

3. Checklist evaluasi cakupan pemeriksaan tinja.

4. Diskusi kelompok terarah kepada masyarakat, tokoh agama dan guru.

5. Pretes dan postest pada tim peda’, tim mepaturo dan tim mobasa.

6. Penerapan Implementasi Bada Model

- Implementasi Peraturan Desa tujuan implementasi ini adalah menyusun regulasi pengendalian

schistosomiasis tingkat desa di Lore Barat. Regulasi yang dimaksud adalah adanya peraturan

di tingkat desa, tentang pengumpulan tinja, pengobatan, pembersihan daerah fokus,

pengandangan ternak (sapi, kuda, babi, kerbau). Implementasi dilaksanakan dengan metode

diskusi kelompok dengan pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa di Lore Barat. Lintas

sektor yang terlibat adalah Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Poso, pihak

Kecamatan Lore Barat, Pemerintah Desa di Lore Barat.

- Implemetasi Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa (Tim Peda’)

Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis melalui

implementasi Bada Model adalah dengan pembentukan Tim Peda’. Tim tersebut merupakan

tranformasi dari kader schistosomiasis yang sebelumnya sudah terbentuk. Tim pengendalian

schistosomiasis desa dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan kegiatan pengendalian

schistosomiasis dan menggerakkan masyarakat dalam kegiatan pengendalian schistosomiasis

di tingkat desa dengan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis yang sudah dtunjuk

dan dilatih.

- Implementasi pengendalikan daerah fokus keong perantara Schistosomiasis untuk memutus

siklus penularan Schistosomiasis. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat, pemerintah desa dan lintas sektor terkait dalam pengendalian fokus keong O.

hupensis lindoensis di tingkat desa. Strategi Kebijakan ini meliputi; Melakukan Gerakan

Masyarakat Mandiri Berantas Schistosomiasis untuk menghilangkan fokus keong dengan

pembersihan dan penyemprotan. Membuat rencana pengendalian Schistosomiasis tingkat desa

untuk dimasukkan dalam RPJM Desa (APBDesa). Melakukan Modifikasi Lingkungan fokus

keong untuk menghilangkan fokus keong yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat dengan

APBD Kabupaten/Provinsi dan APBN.

Page 23: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

23

- Implementasi peningkatkan kapasitas guru, anak sekolah dan masyarakat dalam pengendalian

schistosomiasis. Kebijakan ini diarahkan untuk terselenggaranya pelatihan dan

penyebarluasan informasi tentang Schistosomiasis bagi tokoh agama, guru, anak sekolah dan

masyarakat. Strategi kebijakan ini meliputi; Melakukan pelatihan pada Tokoh Agama (Tim

Mobasa) untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian

Schistosomiasis. Melakukan pelatihan pada Guru SD, SMP dan SMA (Tim Mepaturo) untuk

meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian Schistosomiasis.

Menyelenggarakan Lomba Desa bebas Schistosomiasis untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam pengendalian Schistosomiasis. Menyelenggarakan pemilihan Duta

Schistosomiasis di sekolah untuk mensosialisasikan pengendalian Schistosomiasis

dilingkungan sekolah dan masyarakat.

- Penguatan fungsi Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis untuk mendukung eliminasi

schistosomiasis. Kebijakan ini diarahkan untuk menguatkan fungsi Puskesmas dan

laboratorium schistosomiasis dalam eliminasi schistosomiasis. Strategi kebijakan ini meliputi;

Melakukan pelatihan tenaga penanggung jawab Schistosomiasis puskesmas, surveillans,

promosi kesehatan, UKS, penanggung jawab upaya kesehatan masyarakat dan tenaga

laboratorium schistosomiasis. Melakukan survei survei keong dan survei tikus bersama-sama

dengan tim Pengendali Schistomiasis Desa. Mendampingi Tim Pengendali Schistosomiasis

Desa dalam kegiatan Gema Beraksi dan penyemprotan fokus dengan moluskisida.

Mendampingi Tim Mobasa dan Tim Mepaturo dalam kegiatan sosialisasi schistosomiasis

pada masyarakat dan anak sekolah.

3.5. Prosedur pengumpulan data

Melakukan wawancara mendalam kepada lintas sektor, pelatihan pada tim Peda’, tim

Mobasa, tim Mepaturo, tenaga puskesmas dan petugas laboratorium schistosomiasis. Mencatat

proses pendampingan penyusunan peraturan desa, kegiatan tim Pengendali Schistosomiasis Desa

(Tim Peda’), Tim Mobasa dan Tim Mepaturo.

Page 24: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

24

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis olehLintas Sektor Tahun 2019

Sebanyak dua puluh (20) orang informan lintas sektor yang telah dilakukan wawancara

mendalam. Kabupaten Poso terdiri dari tujuh orang yaitu Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas

Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Kepala

Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian, Kepala Bidang Pembudidayaan Bibit Perikanan,

Kepala Bidang Pembangunan Manusia Bappeda, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Kabupaten

Sigi ada enam orang informan yaitu; Sekertaris Bappeda, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit

Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Sumber Daya Air Pekerjaan Umum, Kepala Bidang Sarana dan

Prasarana Dinas Pertanian, Kepala Bidang Pembudidayaan Bibit Dinas Perikanan dan Kepala

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Provinsi Sulawesi Tengah ada tujuh orang informan

yaitu; Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Peternakan,

Kepala Tata Usaha UPT Veteriner Dinas Perkebunan dan Peternakan, Kepala Bidang Sosial

Budaya Bappeda, Kepala Subbagian Perencanaan Dinas Pertanian, Kepala Bidang

Pembudidayaan Bibit Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepala Subbagian Perencanaan Taman

Nasional Lore Lindu.

Program pengendalian Schistosomiasis yang digawangi oleh Dinas Kesehatan sebagai

upaya mengeliminir penyebaran penyakit Schistosomiasis telah lama dilaksanakan, terutama

oleh Dinas Kesehatan. Sejak ditemukannya penyakit ini Dinas Kesehatan telah terlibat dalam

mengobati dan mencegah penyebaran penyakit Schistosomiasis. Hanya saja keterlibatan Dinas

Kesehatan secara serius dalam Program Pengendalian Schistosomiasis dimulai sejak penyusunan

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia tahun 2018 - 2020. Pelaksanaan program ini

melibatkan berbagai instansi terkait, seperti: Dinas Peternakan, Dinas Pekerjaan Umum dan

Penataan Ruang (PUPR), BAPPEDA, Dinas Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, Dinas

Perkebunan, Dinas Perikanan, serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Secara

keseluruhan pelaksanaan program ini menggunakan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun

besarannya dan sumber anggaran lainnya berbeda-beda di tiap-tiap instansi. Keterlibatan mereka

dalam program ini juga diserahi wewenang sesuai dengan kapasitas dan tupoksi masing-masing.

Namun demikian dalam realisasi program semua instansi pada umumnya tidak menemukan

Page 25: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

25

kendala yang berarti di lapangan. Kendala terberat hanyalah di penganggaran yang dianggap

terlalu sedikit, sehingga ada beberapa program yang realisasinya tertunda atau bahkan tidak

terlaksana sama sekali. Secara keseluruhan target program belum tercapai. Masing-masing

instansi mengharapkan agar semua fokus dapat tertangani di tahun 2020 sesuai dengan target

pencapaian eradikasi. Namun karena keterbatasan anggaran, maka target tersebut tidak dapat

tercapai di tahun 2019 bahkan di tahun 2020. Seperti kutipan hasil wawancara dengan informan

perwakilan dari beberapa instansi berikut ini:

Dinas PUPR Provinsi Sulawesi Tengah:

“Ya...sebenarnya kalau program itu dukungan dana yang perlu. Ya..sarannya tadi

itu. Kita bisa lebih sinergislah. Artinya...programnya ke mace...seperti apa...sama-

sama kita duduk. Sama-sama untuk...apa namanya, kalau memang...sasarannya

untuk...untuk...a...Schisto itu.” (Wawancara 2 Oktober 2019)

Dinas PMD Kabupaten Sigi:

“Sebenarnya hambatan itu masalah anggaran saja. Artinya...sebenarnya kalau

dia...maksimal jelas anggarannya harus mendukung betul-betul. ...... Itu kendala

yang paling urgen. Masalah anggaran. Kalau yang lain, tidak ada. Kan di bidangnya

kami ini, sebenarnya kalau yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan

masyarakat, ada 1 kegiatan, yaitu pembinaan POSYANDU. Nah, itu sudah lama

sekali tidak dianggarkan. Sebenarnya di situ kami bisa kalau dianggarkan itu,

pembinaan POYANDU, kami bisa melaksanakan ini...apa namanya, pertemuan

kader itu. Sosialisasi Schisto di situ. Bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Hilang hehehe... kalau anggaran. ..... Tapi tidak didukung anggaran. ..... Mestinya

kalau...namanya ini kan, kalau seperti Pak...Bapak sampaikan lalu kan, sudah malu

juga kita kan. Dunia bilang kita ada Schisto kan. Di Indonesia kan? Berarti ini

secara nasional ya paling tidak kalau seperti itu marilah kita sama-sama. Mungkin

kalau nasional mau turun secara langsung tidak eh? Berikan misalnya anggaran

kepada daerah. Terus kita...apa yang bisa kita laksanakan ini. Kita laksanakan.”

(Wawancara 1 Oktober 2019)

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah:

“Anggaran...hehehe...a...selama ini kan dari APBN ya? Memang diharapkan ini

dari Pemda, supaya kepemilikan program ini kuat kalau ini menunggu dari pusat

kan mungkin mudah ya kalau daerah yang merasa a...bertanggung jawab ini

terhadap pembiayaan ini, supaya mereka cepat eliminasi ini. Kalau...dari pusat

membebani terus, daerah tidak merasakan beban anggaran pada wilayahnya.

Mungkin kalau di...alihkan ke situ, mungkin Pemda-nya akan lebih serius, supaya

dia tidak tergerogoti lagi anggarannya. Ya, mungkin pelan-pelan pengamatan ini

dialihkan ke...daerah. Tapi mungkin nanti setlah fase 2025 ya? Takutnya kita gagal

ini, Roadmap ini.” (Wawancara 7 Oktober 2019)

Page 26: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

26

Jika ditinjau secara keseluruhan, target eradikasi Schistosomiasis sasarannya ada pada 3

hal pokok, yaitu: (1) mengendalikan penyebaran Schistosomiasis pada manusia; (2)

mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada hewan; dan (3) mengendalikan penyebaran

schistosomiasis pada keong perantara. Setiap instansi yang terlibat dalam program ini memiliki

sasarannya masing-masing, yakni:

1. Untuk mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada manusia wewenangnya diserahkan

kepada Dinas Kesehatan.

2. Untuk mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada hewan wewenangnya diserahkan

kepada Dinas Peternakan.

3. Untuk mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada keong perantara wewenangnya

diserahkan kepada instansi lainnya di luar Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan.

Tabel 1. Target Hasil dan Capaian Kegiatan Lintas Sektor dalam Pengendalian

Schistosomiasis Tahun 2019

No Intervensi kunci Indikator capaian Target Hasil 2019 Hasil Capaian

2019

1 Pengobatan massal pada

manusia 1 kali setahun

Proporsi jumlah penduduk

minum obat Praziquantel tahun

2018

100% 70-94%

2 Pengobatan massal pada

hewan 2 kali setahun

Proporsi jumlah ternak besar

(sapi,kerbau,kuda) yang diobati

Praziquantel persemeter

100% 1 kali (50%)

3 Modifikasi lingkungan

terpadu lintas sektor

Jumlah desa yang menerima

modifikasi lingkungan 23 desa 7 desa

4 Pemberantasan keong secara

kimiawi

Luas fokus yang menerapkan

pemberantasan kimiawi 330.383 m2 24.000 m2

5 Penyediaan air minum,

sanitasi, hygiene

Kumulatif cakupan KK dengan

akses air minum dan sanitasi

layak dan berkelanjutan

100% akses dgn

sambungan rmh,

85%akses sanitasi

layak

10%

6 Penyediaan MCK, Umum

didaerah fokus

Kumulatif jumlah MCK yang

sehat dan terawat diareal fokus 172 unit MCK -

7

Pengelolaan hewan ternak

(termasuk pembinaan

kelompok peternak

Proporsi jumlah ternak besar

(sapi,kerbau,kuda) yang

terhindar dari kontak dengan

fokus

50% -

8 Surveilans pada manusia,

hewan, keong perantara

Proporsi jumlah sampel

pemeriksaan terhadap jumlah

100%(hewan),

51%(keong) Manusia (70%-

94,5%), fokus

Page 27: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

27

populasi (manusia dan hewan)

dan luas fokus)

keong (49%),

hewan (40 %)

9

kampanye perubahan

perilkau dan peningkatan

partisipasi masyarakat

Jumlah desa aktif melakukan

kampanye dengan materi dan

metoda KIE berbasis one health

28 Desa 18 Desa

10

Koordinasi multi sektor dan

monev terpadu secara

intensif

Cakupan kegiatan dengan

capaian sesuai target 80% 52%

Pada Tabel 1. terdapat sembilan intervensi kunci dalam pengendalian schistosomiasis oleh lintas

sector. Apabila dibandingkan antara target kegiatan dan hasil capaian kegiatan tahun 2019 maka

ditemukan dua target yang tidak dapat dicapai yaitu penyediaan sarana Mandi Cuci Kakus

(MCK) umum di daerah fokus dan pengelolaan hewan ternak (termasuk pembinaan kelompok

ternak). Sehingga cakupan kegiatan tahun 2019 jika dibandingkan dengan kegiatan target di

roadmap adalah 52%. Lintas sector tidak merencanakan dan menganggarkan pembangunan

MCK diarea focus, sedangkan proporsi jumlah ternak besar (sapi,kerbau,kuda) yang terhindar

dari kontak dengan fokus tidak tersedia data.

Adapun kegiatan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor tahun 2019 yaitu:

1. Dinas kesehatan

Anggaran yang tersedia yaitu Dinas Kesehatan Provinsi sebesar Rp.4.804.000.000,

anggaran ini bersumber dari dana Dana Alokasi Khusus (DAK) Pusat dan Dana Alokasi Umum

(DAU) sedangkan di Dinas Kesehatan Kabupaten Poso jumlah anggaran untuk pengendalian

schistosomiasis sebesar Rp.487.869.420 dana ini bersumber dana DAK dan dana DAU,

Sementara jumlah anggaran pengendalian schistosomiasis Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi

hanya sebesar Rp.7.000.000.

Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan program akan diuraikan di bawah ini, yaitu:

- Pengobatan massal tidak tuntas dilaksanakan berhubung karena ketersediaan obat tidak

mencukupi sesuai target.

- Distribusi obat dari kementrian juga tidak mencukupi untuk dilakukan pengobatan ke semua

wilayah endemis, sebab obat yang datang jumlahnya sangat terbatas.

- Media-media informasi tentang Schistosomiasis juga pengadaanya terbatas, sehingga hanya

dapat diidtribusikan ke sekolah-sekolah. Sementara masyarakat umum tidak dapat. Padahal

informasi seperti ini tidak hanya penting untuk sekolah tetapi juga untuk semua kalangan.

Page 28: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

28

- Di tingkat lintas sektor sering kali anggaran untuk Schistosomiasis selalu dianggap kurang.

Padahal sebenarnya anggaran itu besar. Pada awal pengusulan anggaran, kegiatan diarahkan

untuk Schistosomiasis. Setelah anggaran turun, kegiatan tidak lagi diarahkan untuk itu. Hal ini

akan memperlambat tercapainya eradikasi Schistosomiasis.

- Pengelolaan fokus dalam skala besar. Karena wilayah fokus yang terlalu luas sehingga sulit

untuk dilakukan pembersihan atau penyemprotan. Seperti: rawa atau danau. Ini sebenarnya

adalah peranan dari lintas sektor, namun Dinas Kesehatan juga terlibat di dalamnya secara

tidak langsung.

Masyarakat bukan merupakan kendala dalam proses pengobatan. Masyarakat justru

antusias ketika akan dilakukan pengobatan. Terutama ketika mereka tahu bahwa di tahun 2019

pengobatan massal terakhir kali dilaksanakan sebab tahun depan sudah dianggap 0% (nol). Oleh

karena itu disarankan agar pengobatan ini tidak dihentikan sebab penderita akan selalu ada

meskipun pengobatan pada manusia telah dilakukan, hewan dan keong telah dikendalikan.

Kendati tidak lagi dilakukan pengobatan massal melainkan pengobatan selektif. Untuk itu

ketersediaan obat harus tetap ada dan tidak dihentikan.

Anggaran di Dinas Kesehatan Kabupaten Poso untuk Schistosomiasis diangap sudah

cukup meskipun terbatas. Anggaran bersumber dari APBN dan APBD baik di tahun 2019

maupun tahun-tahun sebelumnya. Untuk keberlanjutan program di tahun 2020 direncanakan

untuk beberapa kegiatan terkait Schistosomiasis, yaitu: (1) kegiatan evaluasi Gema Beraksi

untuk melihat dampaknya terhadap fokus; (2) Masih tetap akan dilakukan pengobatan massal;

dan (3) Kegiatan surveilance.

Pada tahun 2019 Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi melaksanakan program terkait

Schistosomiasis berupa pengobatan massal, pemeriksaan tinja, uji kualitas air, serta pemeriksaan

dan pengendalian keong. Keseluruhan program per Oktober 2019 masih sementara berjalan

dengan progress 40% dan ditargetkan selesai November 2019. Tidak ditemukan hambatan dalam

melaksanakan program ini sebab sudah menjadi program rutin setiap tahun. Sudah beberapa

tahun terakhir kegiatan-kegiatan serupa rutin dilaksanakan sebagai rangkaian program untuk

pengendalian menuju eradikasi Schistosomiasis. Hanya saja kesadaran masyarakat untuk terlibat

dalam program perlu ditingkatkan agar dapat menjangkau pengobatan hingga 100%. Dukungan

kegiatan dari pusat mendapatkan respon yang baik dengan adanya pemberian obat dan anggaran.

Page 29: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

29

Schistosomiasis termasuk dalam program prioritas untuk Dinas Kesehatan Kabupaten

Sigi dengan penganggaran yang bersumber dari APBD kabupaten. Anggaran dialokasikan sesuai

petunjuk teknis. Ada yang dialokasikan untuk Laboratorium, ada untuk kebutuhan non-fisik, ada

untuk operasional kegiatan, dan semuanya terkait dengan Schistosomiasis. Sedangkan dukungan

dari provinsi langsung diserahkan ke PUSKESMAS. Kepada pihak kabupaten hanya

penyampaian untuk pendampingan petugasnya. Anggaran untuk tahun 2019 sebanyak Rp

7.000.000,- khusus untuk Schistosomiasis.

Khusus untuk Laboratorium Schistosomiasis yang mulai dibangun pada tahun 2018

sudah mencapai perampungan ketika bencana alam melanda Kabupaten Sigi dan sekitarnya

sehingga pembangunannya terhambat dan masih terus berjalan per Oktober 2019. Namun akan

terus dirampungkan hingga Desember 2019 jika pencairan anggarannya tidak tersendat-sendat.

Meskipun terdampak bencana dan masih dalam tahap perampungan di laboratorium ini masih

tetap berlangsung kegiatan sesuai tupoksinya. Tetapi dilaksanakan dengan segala keterbatasan

tempat, tenaga, biaya, dan fasilitas. Untuk penganggaran Schistosomiasis tahun 2020 diusulkan

sebesar Rp 13.000.000,.

Sebagai program keberlanjutan dari pengendalian Schistosomisis, kegiatan di tahun 2019

masih terus akan dilaksanakan di tahun 2020. Demikian pula dengan laboratorium, jika belum

rampung di tahun 2019 maka akan dirampungkan di tahun 2020.

2. Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura

Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura memberikan bantuan berupa perangkap tikus 2

unit dengan biaya Rp 200.000.000,-, untuk wilayah Provinsi Sulawesi Tengah di tahun 2019,

herbisida 12 liter di 20 desa dengan biaya Rp 42.000.000,-, dan semprot rumput elektrik 20 unit.

Seluruhnya telah diserahkan dan digunakan oleh masyarakat setempat. Semua kegiatan yang

telah direncanakan di 2019 telah terealisasi 100% dan semuanya berjalan sesuai target. Anggaran

kegiatan bersumber dari APBD Provinsi yang dialokasikan untuk pengadaan alat dan biaya

operasional. Dalam melaksanakan kegiatannya instansi ini tidak menemukan kendala di

lapangan. Masyarakat justru sangat antusias dengan adanya bantuan.

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Poso bidang Pertanian (masih di Dinas

Pertanian dan Peternakan Kabupaten Poso) untuk tahun 2019 kegiatan yang terkait

Schistosomiasis adalah pembangunan irigasi. Irigasi ini berupa parit dan drainase. Irigasi

dibangun di 5 desa di Lore Piore yaitu Desa Alitupu, Desa Wata, Desa Dampiri, Desa Maholo,

Page 30: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

30

dan Desa Kalimoyo. Juga dibangun irigasi di Desa Tuare dan Desa Tomehipi di Lore Barat.

Semuanya menggunakan anggaran dari dana DAK, DAU, dan TP. Per Oktober 2019

pembangunan masih sementara berjalan dengan progress keseluruhan 75%.

Ditargetkan akan rampung di bulan November 2019. Pembangunan irigasi di 7 desa ini

dianggap masih jauh dari target yang direncanakan sebab masih banyak titik-titik fokus yang

belum bisa dijangkau berhubung karena anggaran yang sangat terbatas. Anggaran keseluruhan

untuk pembangunan irigasi ini diperkirakan sekitar Rp 7.000.000.000.000,-. Jumlah dana ini

dirasa sudah cukup. Meskipun anggaran ini dianggap sebagai salah satu hambatan dalam

jalannya pembangunan. Sebab anggaran dapat dicairkan secara bertahap dan pencairannya dapat

dilakukan jika pembangunan telah berjalan sesuai ketentuan yang telah diatur sebelumnya.

Akhirnya pembangunan pun berjalan tersendat-sendat.

Di tahun 2018 ada program cetak sawah (Mina Padi) tetapi di tahun 2019 program

tersebut ditiadakan sebab tidak mudah menentukan wilayah yang akan diterapkan program ini.

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya adalah sawah tersebut harus sudah

selesai dicetak dengan ukuran tertentu, ada pemukiman di sekitarnya untuk pengotrolan, dan

tersedianya debit air yang cukup. Kriteria ini cukup sulit sehingga akan sulit juga diterapkan

untuk wilayah-wilayah fokus yang belum tentu memenuhi kriteria. Untuk tahun 2020 akan

dibangunkan kembali irigasi dan tentu saja akan dibangun di wilayah fokus lainnya yang belum

tersentuh. Jumlah anggaran yang diajukan di tahun 2020 akan disesuaikan dengan yang

tercantum dalam Roadmap Eradikasi Schistosomiasis.

Dinas Tanaman Pangan dan Holtokultura Kabupaten Sigi. Dinas ini juga sama dengan Dinas

Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Sigi yang keduanya tidak ada kegiatan

terkait Schistosomiasis di tahun 2019. Alasan bencana alam juga yang menjadi penyebab

kegiatan tersebut ditiadakan.

3. Dinas Perkebunan dan Peternakan

Jumlah anggaran untuk pengendalian schistosomiasis Dinas Perkebunan dan Peternakan

Provinsi sebesar Rp. 615.000.000 sedangkan biaya yang tersedia di Dinas Pertanian dan

Peternakan Kabupaten Poso sebesar Rp. 2.334.000.000,- sedangkan Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kab Sigi tidak ada.

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Poso. Untuk instansi ini ada dua bidang yang

diwawancarai untuk dimintai informasi mengenai program terkait Schistosomiasis, yaitu: Bidang

Page 31: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

31

Peternakan (Kesehatan Hewan) dan Bidang Pertanian. Bidang Peternakan (Kesehatan Hewan)

memberikan penjelasan bahwa kegiatan mereka di tahun 2019 adalah pengobatan hewan yang

dilaksanakan di Lore Tengah, Lore Selatan, Lore Timur, Lore Utara, dan Lore Barat.

Dinas Peternakan Kabupaten sigi dalam hal ini kesehatan hewan yang terlibat langsung

kegiatan terkait Schistosomiasis. Tahun 2019 kegiatan diarahkan ke pengobatan hewan,

pengambilan sampel, penyuluhan, dan pemasangan spanduk. Pengobatan hewan dilakukan di 5

desa dengan obat 3000 dosis. Pengambilan sampel sebanyak 500 sampel yang semuanya

hasilnya negatif setelah dilakukan pemeriksaan di Balai Besar Veteriner Kabupaten Maros,

Sulawesi Selatan. Penyuluhan mengenai ternak dilakukan bersamaan dengan pengobatan. Dan

pemasangan spanduk agar menghindari daerah fokus sebanyak 3 lembar dipasang di Desa Anca,

Desa Puro, dan Desa Tomado. Semua kegiatan dapat terlaksana hingga Oktober 2019.

Kegiatan berjalan 85% dan ditargetkan selesai hingga November 2019. Longsor yang

terjadi ketika akan dilakukan pengobatan menyebabkan keakses masuk ke lokasi pengobatan

tidak dapat dilewati, sehingga pengobatan harus tertunda. Juga hewan ternak yang sulit

dikendalikan tanpa bantuan masyarakat setempa merupakan beberapa hambatan yang dihadapi

petugas ketika akan turun ke lapangan. Namun semuanya dapat teratasi. Instansi ini

menempatkan Schitosomiasis bukan sebagai program prioritas seperti halnya rabies atau flu

burung. Sebab penyakit ini adalah penyakit yang menyerang pada manusia, bukan pada hewan

(ternak).

Di Desa Anca (Lindu) sedang ada pembangunan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan).

Sasarannya adalah untuk semua penyakit hewan. Tenaga penyuluhan dan kesehatan hewan juga

dilibatkan dalam pengobatan massal hewan untuk memberikan penyuluhan tentang hewan dan

membantu jalannya pengobatan. Keberlanjutan program di tahun 2020 adalah Puskeswan akan

menambah peralatan dan fasilitas lainnya, dan anggaran lainnya juga ditujukan untuk kegiatan

pendukung seperti sosialisasi dan lain-lain sesuai yang tertuang dalam Roadmap Eradikasi

Schistosomiasis.

4. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)

Jumlah anggaran kegiatan Dinas PUPR Provinsi sebesar Rp.444.000.000, rencana

kegiatan akan membuat drainase di Desa Lengkeka Kec. Lore Barat. Sedangkan anggaran

kegiatan schistosomiasis Dinas PUPR Kab. Poso sebesar Rp.12.506.747.900 sedangkan

Page 32: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

32

anggaran schistosomiasis Dinas PUPR Kab. Sigi tidak ada, hal ini disebabkan semua kegiatan

pembangunan di kab.sigi khusus pemulihan bencana alam.

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Poso mengangarkan

untuk tahun 2019 membangunkan jalan, jembatan, saluran, rehabilitasi jalan, pemulihan irigasi,

dan saluran pembawa yang kesemuanya berkaitan dengan Schistosomiasis. Dengan masing-

masing progress: jalan 50%, jembatan 60%, saluran 70%, rehabilitasi jalan 65%, pemulihan

irigasi 75%, dan saluran pembuangan 85%. Dengan rincian kegiatan dan penganggaran sebagai

berikut:

- Pembangunan jalan dilaksanakan di Doda – Lelio dan Kolori – Lengkeka dengan jumlah

anggaran Rp 3.000.000.000,- yang bersumber dari DAU (DAK Reguler).

- Pembangunan jembantan dilaksanakan di Desa Tomehipi dengan anggaran sebesar Rp

1.750.000.000.- bersumber dari dana DAU (DAK Afirmasi).

- Saluran drainase (gorong-gorong) dibangun di Desa Tomehipi, Watutau, Kageroa, dan

Mekarsari dengan jumlah anggaran Rp 185.000.000,- dari dana DAU.

- Rehabilitasi (pemeliharaan jalan) dibangun di Desa Banyusari – Alitupu, Banyusari –Wuasa,

Tamadue – Mekarsari dengan jumlah anggaran 1.200.000.000,- dari dana DAU Afirmasi.

- Operasional dan pemeliharaan daerah irigasi di Desa Maholo dan Watutau dengan anggaran

sebesar Rp 55.000.000,- dari dana DAU.

- Pembangunan prasarana pengambilan dan saluran pembawa di Desa Maholo, Alitupu, dan

Watumaeta dengan jumlah anggaran Rp345.000.000,- dari dana DAU.

5. Dinas Kelautan dan Perikanan

Anggaran yang tersedia Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi sebesar Rp.200.000.000,

rencana kegiatan akan membangun kolam di Desa-desa endemis schistosomiasis. Dana yang

tersedia di Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Poso sebesar Rp.2.334.000.000, sedangkan dikab

sigi tidak tersedia anggaran khusus kegiatan schistosomiasis. Kegiatan pembuatan kolam dan

penyediaan bibit ikan dan pakan yaitu di Desa Maholo dan Desa Lengkeka.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. Instansi ini di tahun 2019

membanguna 3 buah kolam di Desa Maholo 2 dan Di Desa Lengkeka 1 buah. Pembangunannya

telah rampung 100% dan teah dipergunakan oleh masyarakat setempat. Pembangunan kolam ini

sesuai dengan titik fokus yang telah ditentukan dan juga telah terlaksana sesuai dengan target

Page 33: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

33

yang telah direncanakan. Anggaran pembangunan bersumber dari APBD provinsi sebesar Rp

250.000.00,- termasuk pengadaan bibit ikan, biaya operasional, dan biaya monitoring.

Kegiatan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Poso terkait Schistosomiasis untuk tahun

2019 per Oktober 2019 adalah pembuatan kolam tapi masih sementara dalam proses pelelangan.

Adapun rangkaian kegiatan berikut rincian penganggarannya di tahun 2019 untuk instansi ini

diuraikan di bawah ini:

- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore barat, Desa Tomehipi dengan

anggaran 110.000.000,-

- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore Selatan, Desa Bomba dengan anggaran

Rp 55.000.000,-

- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore Tengah, Desa Lempe dengan anggaran

Rp 110.000.000,-

- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore Peore, Desa Wanga dan Desa watutau

dengan anggaran 220.000.000,-

- Benih ikan Nila untuk restocking di Kecamatan Lore tengah, danau Tonawuwu, Desa Torire

dengan anggaran 60.000.000,-

- Bantuan bibit ikan di Desa Dodolo Kecamatan Lore Utarasebanyak 20.000 ekor dengan

anggaran Rp 12.000.000,-

Pembuatan kolam hingga pengadaan bibit ikan akan digunakan atau dikelola sendiri oleh

masyarakat nanti. Program dianggap sudah berjalan sesuai sasaran apabila kolam telah selesai

dibangun tepat di titik fokus. Program internal instansi yang turut serta dalam kegiatan ini adalah

penyuluhan perikanan dengan melakukan pendampingan ke masyarrakat agar kolam dapat

digunakan, bibit ikan dapat berproduksi, dan dapat menambah atau meningkatkan pendapatan

masyarakat.

Pembangunan kolam telah dilakukan sejak tahun 2018. Apabila pada tahun 2019 program

terealisasi, maka sudah ada tiga kolam yang dibangun oleh instansi ini sebagai rangkaian dari

kegiatan pengendalian schistosomiasis. Tetapi jumlah ini masih jauh dari target, masih banyak

desa sasaran program yang belum tersentuh, oleh karena anggaran yang terbatas. Koordinasi

dengan pusat dan provinsi berjalan dengan baik terkait anggaran dan program. Anggaran

pembuatan kolam bersumber dari DAK.

Page 34: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

34

6. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD)

Dinas PMD Kab. Sigi adapun kegiatan terkait Schitosomiasis di tahun 2017 – 2018

dengan melaksanakan Pelatihan Kader dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat yang juga

sasarannya untuk Schistosomiasis. Dari tahun 2017 hingga 2019 banyak anggaran

yangdikurangi. Ditengarai pengurangan anggaran disebabkan untuk rehabilitasi pascabencana

alam dan untuk keperluan Pilkada. Tahun 2019 biaya operasional hanya Rp 50.000.000,- untuk 3

kegiatan, yaitu: Musrembang Desa (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), Lomba Desa,

dan Bulan Bakti Masyarakat. Dana sedemikian dianggap sangat kurang sehingga banyak biaya

yang harus dipangkas. Beruntung ada Anggaran Dana Desa (ADD) yang bisa membantu untuk

beberapa operasional kegiatan. Anggaran yang sangat minim ini dianggap sebagai penghambat

yang paling berat untuk melaksanakan kegiatan. Schistosomiasis sebenarnya merupakan salah

satu program prioritas di instansi ini, meskpiun anggaran untuk itu tetap dikurangi.

Dinas Pemberdayaan Masyarakatan Desa (PMD) Kabupaten Poso. Untuk tahun 2019

PMD dibantu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kabupaten

Donggala, memfasilitasi penyusunan Peraturan Desa (Perdes) mengenai Schistosomiasis. Setiap

desa didampingi untuk penyusunan hingga penetapan. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan

Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari Perdes tersebut. Akan tetapi RTL ini belum rampung, masih

sementara dalam tahap penyusunan. RTL ini dilanjutkan oleh masyarakat desa secara mandiri

dengan pendanaan dari dana desa. Selain itu juga melakukan pelatihan untuk aparat desa dengan

narasumber dari Dinas Kesehatan.

Pelatihan ini bertujuan sebagai penggerak Schistosomiasis di desa. Anggaran

Penadampingan Penyusunan Perdes dan Pelatihan Aparat Desa didanai dari APBD. Kendala

yang ditemui di lapangan adalah masyarakat cenderung “dipaksa” untuk menyusun Perdesnya

masing-masing. ada beberapa desa yang penyusunannya cepat tetapi ada pula yang lambat,

sehingga mereka perlu didampingi. Dukungan daripusat untuk dua kegiatan ini belum ada. Untuk

itu diharapkan mendapatkan dukungan atau bantuan dari pusat berupa anggaran. Untuk kegiatan

tahun 2020 PMD juga masih akan memfasilitasi penyususnan Perdes tetapi untuk desa-desa lain

dengan jumlah anggaran yang masih dalam proses perencanaan.

7. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah sebagai leading sector untuk kegiatan ini telah

melakukan kegiatan-kegiatan koordinasi terkait pengendalian Schistosomisis bersama dengan

Page 35: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

35

instansi-instansi terkait. Untuk tahun 2019 BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah melaksanakan

rapat-rapat koordinasi dengan lintas sektor, melakukan monitoring dan evaluasi, serta pelaporan

untuk semua kegiatan termasuk yang terkait Schistosomiasis. Kegiatan yang berkaitan langsung

dengan Schistosomiasis di instansi ini tidak ada, dia hanya mengakomodir dan memediasi lintas

sektor untuk kegiatan-kegiatan terkait. Kendala yang ditemukan di lapangan adalah beberapa

program yang dilaksanakan oleh lintas sektor tidak tepat pada sasaran atau meleset dari titik

fokus. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Kepala Bagian Sosial-Budaya dari BAPPEDA

Provinsi Sulawesi Tengah, berikut ini:

“Kalau program...untuk Schisto...itu...kita kan cuma nomenkaltur program, tidak bisa

menyebut Schisto langsung. Tapi...memang ada anggaran yang kita sediakan untuk rapat-

rapat kordinasi. Dan memang di situ tupoksinya BAPPEDA. Rapat-rapat kordinasi. ......

Nah, itu kemarin, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perangkat daerah yang tidak

tepat sasaran. Setelah dievaluasi. Seperti kayak di Perikanan itu. Itu kan sebenarnya, apa?

Dana...DAK, Dekon itu ya yang bantuan bibit itu? Banatuan bibit kemarin dari Perikanan

Provinsi. Itu kan dia sampaikan toh? Waktu kita rapat toh? Ah...dia bilang memang

eh...waktu dia kasih turun itu bantuan bibit itu, mereka pikir itu sudah lokasi anu itu,

eh...Schisto. Fokus. Ternyata begitu diambil dari anu, petanya, ternyata bukan di situ. Ya,

bukan di situ. Salah sasaran. Nah, itu mereka...tapi ada 2...3 lokasi yang salah sasaran. ......

Ya, di Peri...kanan, kolam. Iya, betul. Yang di Anca itu betul.” (Wanwancara3 Oktober

2019).

Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh instansi ini dalam melaksanakan program

terkait Schistosomiasis, yaitu:

1. Anggaran yang tersedia sangat kecil, bersumber dari APBD provinsi. Dari keseluruhan

anggaran sekitar RP 150.000.000.000,- hanya 5% untuk kesehatan. Jadi Schistosomiasis

hanya sebagian kecil saja dari 5% itu.

2. Untuk BAPPEDA, Schistosomiasis adalah program prioritas namun anggaran yang

dikucurkan sangat kecil sehingga sulit menyelesaikan semua target dengan dana yang sangat

terbatas.

3. Kurangnya koordinasi yang baik antarlintas sektor dalam melaksanakan kegiatan, sehingga

ada beberapa kegiatan yang meleset dari fokus.

4. Untuk lintas sektor, ada sebagian instansi yang menempatkan Schistosomiasis sebagai

program prioritas dan sebagian yang lain bukan prioritas sehingga dalam mengusulkan

anggaran mereka juga berlandaskan atas hal ini. Akan tetapi sebagian instansi mengajukan

anggaran yang besar untuk Schistosomiasis, namun setelah dananya cair, dananya justru

dialihkan ke program yang lain dan tidak diarahkan ke Schistosomiasis.

Page 36: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

36

Program keberlanjutan di tahun 2020 untuk kegiatan terkait Schistosomiasis di

BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah, masih terkait koordinasi, sosialisasi, dan monitoring,

diutamakan fokus ke kegiatan dari masing-masing OPD. BAPPEDA Kabupaten Sigi juga

melakukan koordinasi-koordinasi terkait Schistosomiasis. Tahun 2019 instansi ini bersama Dinas

Kesehatan memfasilitasi dan mengawasi pembangunan Puskeswan di Desa Anca (Lindu) dan

membagikan sepatu boot. Bersama Dinas PUPR membangunkan jalan pendukung dan irigasi,

bersama Dinas Peternakan membuatkan kandang ternak, bersama Dinas Perikanan membagikan

bibit ikan. Semua kegiatan terealisasi sesuai dengan tugas masing-masing OPD. Hambatan yang

dihadapi oleh instansi ini adalah peristiwa bencana alam yang melanda Kabupaten Sigi dan

sekitarnya pada tahun 2018 menyebabkan pembangunan Laboratorium Schistosomisis menjadi

tersendat-sendat. Selain itu akibat terjadinya bencana ini pula banyak anggaran yang

dialokasikan untuk rehabilitasi terutama perkantoran. Sebab sebagian besar bangunan berikut

sarana dan pra sarana perkantoran di Kabupaten Sigi mengalami rusak berat.

Selanjutnya instansi BAPPEDA Kabupaten Poso. Peranan instansi BAPPEDA

Kabupaten Poso sama halnya dengan peran BAPPEDA Kabupaten Sigi dan BAPPEDA Provinsi

Sulawesi Selatan. Bappeda hanya mengkoordinasikan program-program lintas sektor untuk

Pengendalian Schistosomiasis melalui rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. Selain itu juga

melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan masing-masing OPD. Rapat-rapat ini memfasilitasi

tiap-tiap OPD melaksanakan programnya.

8. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu

Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) dilibatkan dalam Program

Pengendalian Schistosomiasis sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Kehutanan. Instansi ini

untuk tahun 2019 melaksanakan beberapa kegiatan, yaitu: (1) pemberdayaan masyarakat di area

sekitar fokus sebanyak 21 desa; (2) Pembersihan dua area fokus di Sedoa dan Lindu; (4) Agro-

engineering 6 desa di Lore Barat; dan (4) Penghijauan atau penanaman kembali. Kegiatan

penghijauan ini merupakan keberlanjutan dari kegiatan tahun 2018. Pada waktu itu juga

dicanangkan akan diadakan penghijauan. Namun karena terjadi bencana alam yang melanda

Kota Palu dan sekitarnya, sehingga kegiatan ini tidak dapat terlaksana. Sesungguhnya bencana

alam tidak berdampak bagi kawasan hutan tetapi berdampak besar bagi pelaku kegiatan,

sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan. Untuk itulah maka tahun 2019 kegiatan ini akan

Page 37: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

37

dilanjutkan kembali. Untuk penghijauan disiapkan anggaran sekitar Rp. 600.000.000,- untuk

pengadaan bibit dan biaya operasional.

Semua kegiatan masih sementara berjalan dengan progress yang berbeda-beda. Anggaran

yang dikucurkan untuk semua kegiatan dianggap masih minim sebab belum mampu meng-couter

21 desa sesuai dengan target yang direncanakan. Instansi ini menetapkan Schistosomiasis

sebagai program prioritas mereka, sehingga banyak kegiatan yang diarahkan ke

Pengendaliannya. Keberlanjutan kegiatan terkait Schistosomiasi di instansi ini untuk tahun 2020

belum terprogram. Masih sementara dalam proses perumusan. Direncanakan akan melanjutkan

agro-engineering dengan besaran anggaran yang juga masih sementara dirumuskan. Keseluruhan

anggaran berasal dari APBN dan tidak ada sumber anggaran lainnya baik dari pemerintah itu

sendiri atau pun dari pihak swasta.

4.2. Proses Pendampingan Penyusunan Peraturan Desa Tentang Demam Keong

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2018 tentang

Penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong, menegaskan bahwa Pemerintah Daerah memiliki

kewajiban menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong,

serta melakukan advokasi dan sosialisasi untuk memantapkan komitmen dengan para penentu

kebijakan di tingkat daerah. Salah satu komitmen yang diharapan dari pemerintah daerah adalah

adanya regulasi tentang penanggulangan Demam Keong di tingkat desa yang dituangkan dalam

bentuk Peraturan Desa (Perdes). Perdes dirancang untuk meningkatkan penggunaan alat

pelindung diri pada masyarakat, meningkatkan cakupan pengumpulan tinja, meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam pengobatan baik perorangan maupun massal, meningkatkan

pemanfaatan jamban, pengandangan hewan ternak (mamalia), dan mengurangi jumlah area fokus

keong.

1. Proses pembentukan

a. Tahapan

Pembahasan draft Peraturan Desa tentang Penanggulangan Demam Keong (Schistosomiasis)

mulai disusun dan dibahas bersama Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) di Kabupaten Poso.

Pembahasan dilakukan oleh pemerintah Kecamatan Lore Barat dan seluruh Desa di Kecamatan

Lore Barat pada tanggal 11 April 2019 di Hotel Ancyra, bersama dengan Dinas Pemberdayaan

Masyarakat, Camat Lore Barat, Kepala Desa , BPD, Lembaga Adat Desa se-Kecamatan Lore

Barat. Pokok bahasan dalam pertemuan tersebut adalah membahas kembali materi batang tubuh

Page 38: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

38

dalam Draft Rancangan Pertaturan Desa. Materi regulasi yang sepakat ditambahkan adalah

tentang pembentukan Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa (Tim Peda’). Pada Tanggal 22-26

Juli 2019, draft Rancangan Perdes dikonsultasikan ke Bagian Hukum Sekretariat Daerah

Kabupaten Poso. Selanjutnya dilakukan finalisasi pembahasan draft Rancangan Perdes di Balai

Pertemuan Desa Lengkeka pada tanggal 6 Agustus 2019.

b. Peraturan Desa yang telah terbit

Dari enam desa yang ada di Kecamatan Lore Barat, semua desa telah mengesahkan dan

mengundangkan Perdes tentang Penaggulangan Demam Keong. Selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Rincian Pengesahan Perdes Tentang Penanggulangan Demam Keong

(Schistosomiasis) oleh Masing-Masing Desa Tahun 2019

No Nama Desa Nomor Perdes Tanggal Perdes

1 Tuare 1 Tahun 2019 22 Juli 2019

2 Kageroa 3 Tahun 2019 10 Agustus 2019

3 Tomehipi 5 Tahun 2019 6 Agustus 2019

4 Lengkeka 3 Tahun 2019 14 Agustus 2019

5 Kolori 6 Tahun 2019 29 Agustus 2019

6 Lelio 5 Tahun 2019 15 Agustus 2019

c. Isi perdes mencakup tentang:

- Penggunaan Alat Pelindung Diri

- Cakupan Pengumpulan Tinja

- Cakupan Pengobatan

- Pemanfaatan Jamban

- Pengandangan hewan ternak

- Pembersihan area fokus keong O. hupensis lindoensis

d. Sosialisasi Peraturan Desa

Peraturan Desa tentang Penanggulangan Demam Keong (Schistosomiasis) telah

disosialisasikan ke masyarakat oleh masing-masing pemerintah desa di Kecamatan Lore

Barat dengan frekuensi yang berbeda. Frekuensi penyampaian Perdes paling sedikit yang

dilakukan oleh pemerintah desa sebanyak dua kali dan paling banyak empat kali. Sosialisasi

Perdes pada umumnya dilakukan pada rapat desa dan saat pelaksanaan ibadah. Adapun

rincian frekuensi sosialisasi Perdes oleh masing-masing desa dapat dilihat pada tabel

berikut:

Page 39: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

39

Tabel 3. Frekuensi Sosialisasi Perdes Tentang Penaggulangan Demam Keong oleh

Masing-masing Desa

No Nama desa Frekuensi

1

2

3

4

5

6

Tuare

Kageroa

Tomehipi

Lengkeka

Kolori

Lelio

3 kali

3 kali

4 kali

2 kali

2 kali

3 kali

Setelah dilakukan sosialisasi oleh pemerintah desa ini terlihat dari hasil wawancara pada

sebagian masyarakat menunjukan bahwa umumnya sudah mengetahui tentang adanya Peraturan

Desa.

2. Hasil/Implikasi

a. Perubahan Perilaku

Dengan penerapan Peraturan Desa Penanggulangan Demam Keong terjadi perubahan sikap

pada masyarakat dalam kegiatan surveillans pada manusia dalam hal pengumpulan tinja.

Cakupan pengumpulan tinja manusia di Kecamatan Lore Barat tahun 2019 (dapat dilihat

pada tabel 4) mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018.

Tabel 4. Cakupan Pengumpulan Tinja Penduduk di Kecamatan Lore Barat Tahun 2018 dan 2019

NO NAMA DESA JUMLAH

SASARAN

JUMLAH

PENDUDUK

MENGUMPULKAN

TINJA

CAKUPAN

PENDUDUK

MENGUMPULKAN

TINJA (%)

2018 2019 2018 2019 2018 2019

1 Lelio 341 330 284 262 83,28 79,39

2 Kolori 430 544 330 404 76,74 74,26

3 Lengkeka 751 691 410 497 54,59 71,92

4 Tomehipi 245 264 217 244 88,57 92,42

5 Kageroa 318 325 264 303 83,02 93,23

6 Tuare 434 387 341 323 78,57 83,46

*Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2018 dan 2019

Peningkatan cakupan terjadi di Desa Tuare meningkat dari 78,57% menjadi 85%, Desa

Kageroa mengalami peningkatan dari 83,02% menjadi 93,23%, Tomehipi dari 88,57%

menjadi 90,7%, Lelio dari 83,28% menjadi 94%. Peningkatan paling besar terjadi di Desa

Page 40: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

40

Lengkeka yaitu dari 54,59% menjadi 72,5%. Cakupan pengumpulan tinja di Desa Kolori

sedikit menurun dari 76,74% menjadi 74,26%. Hal tersebut karena ada warga yang keluar

wilayah dan tidak mengetahui batas akhir pengumpulan tinja, jadi masih ada warga yang

belum mengumpulkan tinja sampai selesai survei tinja di Kecamatan Lore Barat. Untuk

mengantisipasi hal tersebut untuk survei tinja berikutnya diharapkan ada surat resmi dari

puskesmas terkait kegiatan pengumpulan tinja manusia khususnya informasi tentang batas

waktu pengumpulan tinja.

Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukan bahwa sejak diberlakukannya Perdes

umumnya masyarakat mulai memperhatikan pengumpulan tinja ketika diminta oleh petugas,

yang selama ini mereka seolah-olah tidak terlalu memperhatikan. Sehingga ketika ada

kegiatan pengumpulan tinja masyarakat antusias berpartisipasi. Selain itu, masyaralat selalu

berupaya menggunakan sepatu boot pada saat beraktivitas di kebun atau pada saat melintas

di wilayah fokus. Hasil wawancara menyebutkan masyarakat aktif menggunakan sepatu

boot ketika beraktivitas di kebun atau melintas di wilayah fokus. Seperrti kutipan

wawancara dengan salah seorang warga masyarakat Desa Lengkeka berikut ini:

“Jadi musti pakai jenggel...yang...selalu...pigi di...kemun. Ke mana-mana saja pakai

jenggel. Supaya tidak...” (Wawancara 3 Juli 2019)

b. Hasil survei prevalensi pada manusia

Survei prevalensi pada manusia telah dilaksanakan pada penduduk berusia dua tahun ke atas

di enam desa di Kecamatan Lore Barat. Cakupan pengumpulan tinja di setiap desa rata – rata

sudah mencapai target minimal oleh program, yaitu 80%. Hasil pemeriksaan tinja manusia

di Lore Barat tahun 2019 tidak ditemukan sampel tinja penduduk yang positif telur cacing

Schistosoma japonicum. Prevalensi manusia pada tahun 2018 sebesar 0,43% (delapan orang

dari 1.846 yang diperiksa) dan pada tahun 2019 tidak ditemukan kasus pada manusia

atau 0%.

c. Hasil survei prevalensi pada hewan

Survei tinja hewan dilaksanakan di enam desa di Kecamatan Lore Barat. Sampel tinja yang

dikumpulkan adalah dari 30 sampel dari setiap desa, terdiri atas tinja sapi, babi, anjing dan

kerbau. Hewan yang dipilih adalah hewan yang berada disekitar fokus keong. Jumlah hewan

setiap jenis berdasarkan proporsi jumlah hewan di setiap desa. Pemeriksaan sampel

Page 41: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

41

dilakukan dengan metode di Laboratorium Helminthologi, Balai Litbangkes Donggala. Hasil

pemeriksaan sampel tinja hewan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Sampel Tinja Hewan dari Enam Desa di Kecamatan

Lore Barat, Tahun 2019

No Desa Sampel Hewan

Mamalia yang

diperiksa

Hasil Pemeriksaan

Jenis Jumlah Sj Tt HW Asc Str Fg

1 Tuare Sapi 10 0 0 0 0 0 0

Babi 10 0 1 0 3 0 1

Anjing 10 0 0 6 2 0 0

2 Kageroa Sapi 13 0 0 0 0 0 5

Babi 13 0 0 2 3 0 0

Anjing 2 0 0 0 1 0 0

Kerbau 2 0 0 0 0 0 1

3 Tomehipi Sapi 10 0 0 0 0 0 0

Babi 10 0 0 6 3 0 1

Anjing 10 0 0 2 4 2 0

4 Lengkeka Sapi 6 0 0 0 0 0 0

Babi 12 0 0 4 4 0 0

Anjing 12 0 0 10 3 0 0

5 Kolori Sapi 9 0 0 1 0 0 1

Babi 20 0 1 7 5 2 0

Anjing 1 0 0 1 0 0 0

6 Lelio Sapi 15 0 0 0 0 1 6

Babi 15 0 0 13 2 0 0

Keterangan:

Sj: Schistosoma japonicum; Tt: Trichuris trichiura; HW: Hook worm

Asc: Ascaris sp.; Str: Strongylus sp.; Fg: Fasciola gigantica

Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel tinja hewan mamalia menunjukkan

bahwa tidak ditemukan infeksi schistosomiasis pada sampel hewan mamalia dari enam desa di

Kecamatan Lore Barat. Jenis cacing yang ditemukan pada sampel tinja hewan mamalia adalah

Trichuris trichiura, hook worm atau cacing tambang, Ascaris, Strongylus, dan Fasciola

gigantica.

Page 42: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

42

4.3. Pembentukan Tim Pengendali Schistosomiasis (Tim Peda’)

Pengendalian schistosomiasis selama ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi

Sulawesi Tengah bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Poso dan Laboratorium

Schistosomiasis Lengkeka, belum banyak melibatkan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan

dan diberdayakan dalam pengendalian schistosomiasis untuk mencapai eliminasi tahun 2024.

Dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis di tingkat

desa, dibentuk Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa (Tim Peda’).

Tim pengendalian schistosomiasis desa (Peda’) dibentuk dengan tujuan untuk

melaksanakan kegiatan pengendalian schistosomiasis dan menggerakkan masyarakat dalam

kegiatan pengendalian schistosomiasis di tingkat desa. Pembentukan Tim Peda’ dimasukkan

dalam isi peraturan desa tentang pengendalian demam keong. Tim Pengendalian Schistosomiasis

Desa atau disebut dengan Tim Peda’ berasal dari bahasa daerah Bada yang berarti keong

pemakan serasah di dasar. Hal tersebut diibaratkan bahwa tim Peda’ akan bergerak dalam

pengendalian schistosomiais di tingkat bawah atau langsung di masyarakat. Tim Peda’ terdiri

atas kader schistosomiasis di setiap desa di Lore Barat. Jumlah anggota tim Peda’ disesuaikan

dengan kebutuhan setiap desa. Pada tahun 2019, jumlah tim Peda’ Desa Tuare, Kageroa, dan

Lengkeka masing – masing lima orang. Jumlah anggota Tim peda’ Desa Tomehipi sebanyak

empat orang, dan di Desa Kolori dan Lelio masing – masing tiga orang. Struktur tim Peda’ terdiri

atas satu ketua, satu sekretaris, dan anggota. Dalam melaksanakan tugasnya Tim Peda’

bertanggung jawab kepada kepala desa.

a. Pelatihan Tim Peda’

Tim Peda’ yang dbentuk perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan tim dalam pengendalian schistosomiasis. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan

kegiatan pelatihan Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa. Pelatihan telah dilaksanakan pada

tanggal 22 – 25 Juli 2019. Pelatihan yang diberikan berupa teori di kelas dan praktek baik di

Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka maupun di lapangan untuk memberikan keterampilan

Tim peda’ dalam menjalankan tugasnya. Nara sumber pelatihan berasal dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Poso, Balai Litbangkes Donggala, dan Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka.

Terdapat peningkatan rerata nilai pre test (77) dan nilai post test (84,8) setelah pelatihan. Secara

statistik, pelatihan yang dilakukan dapat meningkatkan pengetahuan Tim Peda’ secara signifikan

tentang schistosomiasis dengan nilai p-value <0,001 (Tabel 6 dan 7).

Page 43: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

43

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

nilai_pre 25 77,0000 13,14978 45,00 95,00

nilai_post 25 84,8000 9,94569 60,00 100,00

Test Statisticsb

nilai_post -

nilai_pre

Z -3,496a

Asymp. Sig. (2-tailed) ,000

a. Based on negative ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

b. Kegiatan Tim Peda

Tim Peda’ juga dijelaskan mengenai tugas dan prosedur atau cara pelaksanaan setiap

tugas yang diberikan. Setelah dilakukan pelatihan, Tim peda’ masing-masing desa menyusun

rencana jadwal kegiatan dalam pelaksanaan tugas setiap bulan. Tim Peda’ melaksanakan tugas

sesuai jadwal yang dilaksanakan. Hasil kegiatan ditulis dalam buku kerja setiap tim, dan dibuat

laporan setiap bulan. Pelaksanaan tugas Tim Peda’ didampingi oleh petugas Laboratorium

Schistosomiasis yang sudah ditunjuk dan diberikan pelatihan dalam rangka sebagai pendamping.

Pendampingan dilaksanakan pada kegiatan surveilans keong berbasis masyarakat (tim

dari Desa Kolori dan Lelio belum pernah melakukan kegiatan survei keong, sehingga minta

untuk didampingi dalam kegiatan tersebut), kegiatan pembersihan daerah fokus (Gema Beraksi),

penyemprotan daerah fokus, survei tikus, dan pendampingan penyusunan laporan tim Peda’.

Pendampingan dilakukan oleh Tim Balai Litbangkes Donggala dan Laboratorium

Schistosomiasis Lengkeka. Hal tersebut karena ke depannya diharapkan implementasi bada

model dapat terus dijalankan meskipun kegiatan penelitian telah berakhir.

c. Hasil kegiatan Tim Peda’

1) Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengumpulan tinja. Tim Peda’ Desa

Tuare telah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada

masyarakat terkait pengumpulan tinja sebanyak tiga kali sebelum dilakukan kegiatan

pengumpulan tinja penduduk. Sosialisasi dilakukan di rumah ibadah dan balai desa.

Pemberian informasi di rumah ibadah dilakukan berdasarkan pembagian wilayah

Page 44: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

44

kelompok jemaat, yaitu kelompok I dengan jumlah peserta 54 orang, kelompok II 60

peserta, kelompok III 56 peserta, dan kelompok IV sebanyak 63 peserta.

2) Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengobatan schistosomiasis. Tim Peda’

Desa Tuare telah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada

masyarakat terkait pengobatan schistosomiasis sebanyak dua kali sebelum dilakukan

pengobatan. Sosialisasi dilakukan di rumah ibadah dan balai desa.

3) Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pembersihan daerah fokus. Tim Peda’

Desa Tuare telah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada

masyarakat terkait pembersihan daerah fokus pada hari sabtu dua kali sebulan. Sosialisasi

dilakukan di rumah ibadah dan balai desa maupun pengumuman dengan toa.

4) Memperbaharui data penduduk sasaran survei di wilayah binaan masing – masing setiap

triwulan. Tim Peda’ Desa Tuare, Kageroa, Lengkeka, Tomehipi, Kolori, dan Lelio telah

melaksanakan pembaruan data penduduk berdasarkan pembagian wilayah anggota Tim

Peda’ di setiap desa. Data penduduk yang dicatat dan dilaporkan ke Laboartorium

Schistosomiasis adalah yang berusia dua tahun ke atas dan berada di desa, bukan yang

keluar wilayah untuk waktu yang lama, misalnya kerja atau kuliah. Data penduduk tersebut

selanjutnya digunakan untuk dasar survei prevalensi pada manusia di Kecamatan Lore

Barat.

5) Membantu pembagian pot dan pengumpulan tinja. Kegiatan pembagian pot tinja penduduk

di semua desa di Lore Barat dilakukan pada bulan September sesuai jadwal yang

ditentukan oleh Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Pembagian pot

tinja dilakukan berdasarkan pembagian wilayah tim Peda’ dan kader schistosomiasis. Pot

yang sudah terisi kemudian dijemput oleh Tim Peda’ dan kader schistosomiasis dan

dikumpulkan di rumah ketua tim Peda’ yang selanjutnya akan dijemput oleh petugas

Laboratorium Schistosomiasis Lore Barat.

6) Menggerakkan masyarakat dan membantu pelaksanaan pembersihan fokus (GEMA

BERAKSI) dengan pendampingan dari Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Gema

Beraksi adalah kegiatan pemberantasan fokus keong schistosomiasis dengan prinsip

pemberdayaan, kemandirian dan kebersamaan, untuk melakukan kegiatan surveilans dan

kegiatan pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan keong O. hupensis lindoensis

secara rutin dan terus menerus. Kegiatan Gema Beraksi dilakukan di empat desa di

Page 45: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

45

Kecamatan Lore Barat dua kali sebulan. Tim Peda’ Desa Tuare membantu melaksanakan

kegiatan Gema Beraksi bersama masyarakat dan didampingi petugas Laboratorium

Schistosomiasis Lengkeka dua kali sebulan pada hari sabtu. Kegiatan pembersihan daerah

fokus dilakukan berdasarkan pembagian wilayah Tim Peda’. Kegiatan pembersihan daerah

fokus di kelompok / RT I diikuti oleh 40 prang, kelompok / RT II diikuti 51 orang,

kelompok / RT III diikuti oleh 45 orang, dan 53 orang di kelompok / RT IV. Lokasi Gema

Beraksi adalah di daerah fokus keong yang selama ini ditemukan di Desa Tuare, yaitu di

tujuh lokasi. Tim Peda’ Desa Kageroa melaksanakan kegiatan Gema Beraksi bersama

masyarakat dan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka dua kali

sebulan pada hari sabtu. Kegiatan pembersihan daerah fokus di Desa Kageroa diikuti oleh

67 oang. Lokasi Gema Beraksi adalah di daerah fokus keong yang selama ini ditemukan di

Desa Kageroa, yaitu di tiga lokasi. Tim Peda’ Desa Tomehipi melaksanakan kegiatan

pembersihan daerah fokus dengan Gema Beraksi pada hari sabtu dua kali sebulan.

Kegiatan dilakukan di enam lokasi yang selama ini diketahui sebagaidaerah fokus keong

perantara schistosomiasis, berdasarkan pembagian wilayah Tim Peda’. daerah fokus keong

kampung baru dilaksanakan oleh kelompok RT I. RT II mendapatkan tugas di daerah

rembesan ke Sungai Lariang, RT III di daerah fokus keong durian, dan RT IV di daerah

fokus keong Dondo. Peserta kegiatan adalah tim Peda’ bersama masyarakat Desa

Tomehipi dengan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Jumlah

peserta yang berpartisipasi dalam pembersihan daerah fokus adalah RT I (45 orang), RT II

( 43 orang), RT III (38 orang), dan RT IV (43 orang). Kegiatan pembersihan daerah fokus

di Desa Lengkeka dilakukan oleh Tim Peda’ bersama masyarakat didampingi oleh petugas

Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Pembersihan daerah fokus dilakukan di lima

daerah fokus keong perantara schistosomiasis Desa Lengkeka.

7) Surveilans keong di daerah fokus dan luar daerah fokus yang menjadi wilayah binaannya

dengan pendampingan dari laboratorium schistosomiasis dan puskesmas. Survei keong di

Desa Tuare dilakukan di daerah fokus sagu seberang sungai Tuare dan daerah fokus sawah

Desa Tuare. Hasil survei tidak ditemukan keong Oncomelania hupensis lindoensis,

melainkan hanya keong yang mirip (ada garis merah di cangkangnya). Survei keong di

Desa Kageroa dilakuan di daerah fokus 1 (fokus sagu belakang SD Kageroa) dan fokus

bekas bak air bersih dekat lapangan. Hasil survei juga tidak ditemukan keong O. hupensis

Page 46: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

46

lindoensis, melainkan hanya keong yang mirip (ada garis merah di cangkangnya). Survei

keong di Desa Lengkeka dilakukan di daerah fokus beringin. Hasil survei masih ditemukan

keong O.hupensis lindoensis, meskipun daerah fokus tersebut sudah sering dilakukan

pembersihan. Hasil pemeriksaan di laboratorium ditemukan satu keong mengandung

sporokista dari cacing S.japonicum dari sembilan keong yang diperiksa. Survei keong di

Desa Tomehipi dilakuan di daerah fokus kampung baru dan fokus ujung kampung. Hasil

survei juga tidak ditemukan keong O. hupensis lindoensis, melainkan hanya keong yang

mirip (ada garis merah di cangkangnya). Survei keong di Desa Kolori dilakukan di daerah

yang berpotensi sebagai daerah fokus keong perantara schistosomiasis, yaitu di daerah

becek di sekitar pohon sagu di dekat persawahan. Hal tersebut karena di Desa Kolori

belum ditemukan keong O.hupensis lindoensis. Hasil survei juga tidak ditemukan keong

O.hupensis lindoensis, tetapi keong lain dari jenis Sulawesidrobia sp. Survei keong di Desa

Lelio dilakukan di daerah yang berpotensi sebagai daerah fokus keong perantara

schistosomiasis, yaitu daerah becek di sekitar pohon sagu tidak jauh dari rumah penduduk.

Hal tersebut karena di Desa Kolori belum ditemukan keong O.hupensis lindoensis. Hasil

survei juga tidak ditemukan keong O.hupensis lindoensis, tetapi keong lain dari jenis

Sulawesidrobia sp.

8) Penyemprotan fokus keong perantara schistosomiasis dengan pendampingan dari

laboratorium schistosomiasis. Kegiatan penyemprotan keong dengan menggunakan

moluskisida dilakukan di empat desa di Lore Barat yang ditemukan keong perantara

schistosomiasis, yaitu Desa Tuare, Kageroa, Tomehipi, dan Lengkeka. Kegiatan

penyemprotan dilakukan dua kali sebulan, satu sampai dua hari setelah kegiatan

pembersihan daerah fokus dengan Gema Beraksi. Kegiatan penyemprotan dilakukan oleh

Tim peda’ dengan didampingi petigas Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Alat dan

bahan yang digunakan untuk penyemprotan disediakan oleh Laboratorium Schistosomiasis

Lengkeka. Bahan yang digunakan adalah moluskisida Niclosamide dengan dosis 1 gram

per liter.

9) Sosialisasi schistosomiasis di acara adat/pesta. Sosialisasi schistosomiasis oleh Tim Peda’

di semua desa dilakukan satu kali satu bulan di balai desa pada saat dilakukan rapat desa.

Materi yang disampaikan adalah tentang penularan atau siklus hidup, gejala, pengobatan,

dan cara pencegahan schistosomiasis. Jumlah peserta yang hadir pada sosialisasi di Desa

Page 47: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

47

Tuare sebanyak 215 orang, Desa Kageroa sebanyak 85 orang, Desa Tomehipi 55 orang,

Desa Lengkeka sebanyak 50 orang, desa Kolori 70 orang, dan Desa Lelio sebanyak 84

orang.

10) Pendampingan kegiatan sosialisasi oleh tim mobasa. Tim Peda’ semua desa di Kecamatan

Lore Barat melakukan pendampingan Tim Mobasa dalam melaksanakan sosialisasi pada

jemaat pada setiap hari minggu pada saat ibadah di gereja, maupun hari kamis pada saat

ibadah rumah kelompok jemaat. Materi yang disampaikan pada sosialisasi oleh Tim

Mobasa adalah tentang daur hidup cacing Schistosoma japonicum, cara penularan

schistosomiasis, gejala penyakit, cara pemeriksaan, pengobatan, dan pencegahan

schistosomiasis. Setelah dilakukan kegiatan sosialisasi oleh tim Mobasa, diharapkan

adanya peningkatan kesadaran jemaat terhadap bahaya schistosomiasis.

11) Pendampingan kegiatan sosialisasi oleh tim mepaturo. Tim Peda’ semua desa di

Kecamatan Lore Barat melakukan pendampingan sosialisasi tim Mepaturo pada anak

sekolah sesuai jadwal masing – masing. Pendampingan di Desa Tuare dilakukan pada hari

setiap hari Senin, Rabu, Sabtu di SD Tuare. Tim Peda’ Desa Kageroa melakukan

pendampingan tim Mepaturo pada setiap hari Kamis di SD Kageroa, Rabu dan Jumat di

SMP Satap Kageroa. Pendampingan tim Mepaturo di Desa Lengkeka dan Tomehipi

dilakukan pada hari yang sama, yaitu Senin, Rabu, dan Kamis di SD Lengkeka dan SD

Tomehipi. Tim Peda’ Desa Kolori melakukan pendampingan di SD Kolori pada hari

Kamis dan Jumat, sedangkan di SMP Kolori dilakukan pada setiap hari Jumat dan Sabtu.

Pendampingan di Desa Lelio dilakukan pada setiap hari Senin. Materi yang diajarkan

meliputi penyebab penyakit, siklus hidup cacing atau penularan schistosomiasis, gejala,

pengobatan, pemeriksaan, serta pencegahan schistosomiasis.

12) Kegiatan survei tikus. Tim Peda’ setiap desa melakukan kegiatan survei tikus satu kali

sebulan. Jumlah perangkap yang dipasang di setiap desa adalah 10 buah. Perangkap

dipinjam dari Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Perangkap dipasang di daerah yang

sudah diketahui sebagai daerah fokus keong dan di daerah yang berpotensi sebagai daerah

fokus. Tikus yang tertangkap oleh Tim Peda’ dibawa ke Laboratorium Schistosomiasis

Lengkeka untuk diperiksa. Tikus yang tertangkap yaitu tiga ekor dari Desa Lengeka, empat

ekor dari Desa Kageroa, dan tiga ekor dari Desa Kolori. Berdasarkan hasil pemeriksaan

Page 48: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

48

Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka, belum ada tikus yang tertangkap oleh Tim Peda’

positif terinfeksi schistosomiasis.

13) Menginformasikan ke masyarakat mengenai Pemberian Obat Massal Pencegahan (POPM)

Schistosomiasis. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Tim Peda di enam desa pada bulan

November, sesuai dengan jadwal POPM yang direncanakan pada Bulan November.

Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di tempat ibadah dan di balai desa masing – masing.

14) Membantu pelaksanaan POPM Schistosomiasis.

Kegiatan POPM dilaksanakan di balai desa masing – masing desa pada Bulan November.

Tim Peda’ bersama dengan kader schistosomiasis setiap desa bertugas membantu tenaga

kesehatan dalam pelaksanaan POPM dalam hal pencatatan kartu pengobatan, dosis dan

waktu minum obat, pendampingan minum obat, dan membantu mengantarkan obat ke

warga yang kesulitan menuju balai desa untuk minum obat kedua. Data cakupan POPM

masih dalam proses penghitungan oleh petugas puskesmas dan laboratorium.

15) Membantu pelaksanaan sweeping POPM.

Kegiatan sweeping POPM dilaksanakan satu minggu setelah pelaksanaan POPM di setiap

desa. Tim Peda’ bertugas membantu memastikan warga yang belum minum obat pada saat

pelaksanaan POPM di balai desa karena sedang keluar wilayah. Kegiatan sweeping POPM

di Desa Kageroa menjaring 53 orang yang belum minum obat saat POPM, Desa Kolori 40

orang, Desa Lelio 40 dari 70 orang sudah minum obat pada saat sweeping POPM.

16) Membuat laporan kegiatan kepada kepala desa dan ditembuskan kepada camat dan kepala

puskesmas. Tim Peda’ melaporkan hasil kegiatan yang dilakukan setiap desa kepada

kepala desa setiap bulan sebagai bentuk pertanggung jawaban. Tim Peda’ setiap desa

menyusun laporan setiap bulan berdasarkan buku kerja yang telah ditulis sesuai dengan

kegiatan yang dilaksanakan. Laporan tersebut ditanda tangani oleh ketua tim dan kepala

desa masing – masing. Laporan tersebut selanjutnya ditembuskan ke Camat Lore Barat dan

Kepala Puskesmas Lengkeka.

d. Evaluasi tim Peda’

Kegiatan evaluasi dilakukan dengan cara pertemuan koordinasi dengan Tripika Lore

Barat, semua kepala desa di Lore Barat, dan Tim Peda’ semua desa untuk mengetahui

perkembangan dan evaluasi pelaksanaan tugas tim Peda’. Hasil evaluasi kegiatan yang dilakukan

Tim Peda :

Page 49: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

49

1) Kegiatan yang dilakukan oleh Tim Peda’ meliputi survei keong, survei tikus, sosialisasi

schistosomiasis, pendampingan tim mepaturo dan tim mobasa, sensus penduduk, pembagian

dan pengumpulan pot tinja, pembersihan dan penyemprotan fokus keong.

2) Adanya perbedaan jumlah persentasi pengumpulan antara tim peda dan petugas

laboratorium sehingga perlu SOP pengumpulan tinja.

3) Tidak ada batas waktu pengumpulan tinja sehingga perlu dibuatkan surat dari puskesmas

batas pengumpulan tinja di masyarakat sehingga masyarakat yang tidak mengumpulkan

akan dikenakan sanksi sesuai perdes Demam Keong.

4) Insentif Tim Peda dimasukkan dalam ADD tahun 2020.

4.4. Pengendalian fokus keong Onchomelania hupensis lindoensis dengan modifikasi

lingkungan

a. Pembuatan drainase

Desa Lengkeka merupakan salah satu daerah endemis schistosomiasis di Kecamatan Lore

Barat dan terdapat lima daerah fokus keong O. hupensis lindoensis di desa tersebut. Salah satu di

antara lima daerah fokus keong telah dilakukan upaya pemberantasan dengan rekayasa

lingkungan, yaitu pembuatan drainase sepanjang 274 meter menggunakan dana Desa di Desa

Lengkeka. Pembangunan drainase tersebut dapat menghilangkan satu fokus posistif keong O.

hupensis lindoensis di Desa Lengkeka (fokus beringin).

b. Pembuatan kolam

Upaya pengendalian fokus keong di Desa Lengkeka selain pembuatan drainase adalah

pembuatan kolam seluas 60 m2 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesti Tengah.

Namun demikian, upaya tersebut belum berhasil menghilangkan seluruh keong O. hupensis

lindoensis, karena masih ditemukan keong O. hupensis lindoensis meskipun berukuran kecil.

Keong tersebut berasal dari air rembesan di sekitar kolam. Untuk menghilangkan keong O.

hupensis lindoensis maka perlu dibersihkan dan disemprot dengan moluskisida secara rutin

terutama saluran rembesan air yang mengalir pelan ke kolam.

Page 50: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

50

1. Hasil/Implikasi

Jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis di Dataran Tinggi Bada setelah dilakukan

intervensi dengan Pembentukan Tim Pengendali Schistosomiasis Desa, Gema Beraksi dan

Rekayasa Lingkungan mengalami penurunan. Jumlah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis di Kecamatan Lore Barat,

Tahun 2019

No Desa Jumlah

fokus

(2017)

Jumlah

fokus

dibersihkan

Jumlah

fokus

disemprot

Jumlah fokus

dilakukan

rekayasa

lingkungan

Jumlah fokus

(2019)

1 Tuare 8 8 8 0 0

2 Kageroa 4 4 4 0 0

3 Tomehipi 8 8 8 0 0

4 Lengkeka 5 5 5 2 3

5 Kolori 1 1 1 0 0

6 Lelio 0 0 0 0 0

Jumlah 26 26 26 2 3

Gambar 1. Peta Distribusi Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi

Page 51: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

51

Pada Gambar 1 terlihat penurunan jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis dari 26

fokus keong O. hupensis lindoensis tahun 2017 menjadi tiga fokus keong O. hupensis lindoensis

tahun 2019. Penurunan jumlah fokus paling banyak di Desa Tuare dan Tomehipi. Desa yang

masih terdapat fokus keong O. hupensis lindoensis yaitu Desa Lengkeka, sedangkan desa-desa

lain sudah tidak ditemukan lagi fokus. Keong yang ditemukan di desa selain Desa Lengkeka

adalah Sulawesidrobia sp sesuai hasil konfirmasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI). Surat konfirmasi dari LIPI terlampir.

Rencana pengendalian schistosomiasis setiap desa di Kecamatan Lore Barat dapat dilihat

pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Rencana Pengendalian Schistosomiasis Desa di Kecamatan Lore Barat Tahun

2020-2024

No Kegiatan Kode fokus Tahun Sumber

Dana 2020 2021 2022 2023 2024

Desa Lengkeka

1 Honor Tim Peda untuk 10 orang

(Rp. 200.000,- per orang)

√ √ √ √ √

Dana Desa

2 Pembuatan drainase (saluran air)

a. Ukuran ± 50 M C04301 √

Cipta Karya

Provinsi

b. Ukuran ± 500 M

C04401

√ Dana Desa

C04201

3 Pembuatan jamban sebanyak 26 unit √

Cipta Karya

Provinsi

4 Pembersihan fokus (GEMA BERAKSI) C04203 √ √ √ √ √

C04202 √ √ √ √ √

Desa Tomehipi

1 Honor Tim Peda untuk 4 orang

√ √ √ √ √ Dana Desa

2 Pembuatan drainase di Fokus I (Sebelah

kanan jalan masuk desa)

3BTB01 √

Dana Desa

3 Pembuatan drainase di fokus belakang

rumah mantan pak Desa

3BTL02

Dana Desa

4 Pembersihan fokus (GEMA BERAKSI)

3BTB07,

3BTB083BTTL02,

3 BTB04,

3BTB05, 3BTB06

√ √ √ √ √

Desa Tuare

1 Honor Tim Peda untuk 8 orang

√ √ √ √ √

2 Pembuatan drainase Kincir

Dana Desa

Page 52: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

52

3 Pembuatan drainase C01302

Dana Desa

4 Pembuatan kolam ikan C01202

Dana Desa

5 Pembersihan fokus (GEMA BERAKSI) C01201, C01203,

C01304, C01301,

C0303, C0305 √ √ √ √ √

Desa Kageroa

1 Honor Tim Peda untuk 10 orang

√ √ √ √ √ Dana Desa

2 Pembuatan drainase C02101, C02102,

C02302 √ √ √ √

Dana Desa

3 Pembuatan kolam ikan C02301 √

Lintas sektor

Desa Lelio

1 Honor Tim Peda untuk 3 orang - √ √ √ √ √ Dana Desa

Desa Kolori

1 Honor Tim Peda untuk 10 orang - √ √ √ √ √ Dana Desa

4.5. Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesehatan, Masyarakat dan Anak Sekolah

1. Tenaga Kesehatan

Pada penelitian ini dilakukan uji coba implementasi pengendalian schistosomiasis

berbasis masyarakat “Bada Model” di daerah endemis Bada. Implementasi “Bada Model”

meliputi enam kegiatan besar, yaitu penyusunan regulasi desa/perdes pengendalian

schistosomiasis, peran guru atau tim mepaturo dalam mengajarkan materi schistosomiasis pada

anak sekolah di daerah endemis, peran tokoh agama atau tim Mobasa, pembentukan tim

pengendalian schistosomiasis desa atau tim Peda’, kegiatan lomba desa, dan pengendalian

schistosomiasis oleh lintas sektor.

Implementasi Bada Model di daerah endemis schistosomiasis membutuhkan tenaga

pendamping dari petugas puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis. Hal tersebut bertujuan

supaya pelaksanaan implementasi Bada Model dapat melibatkan semua unsur baik di puskesmas,

laboratorium schistosomiasis, dan tim bada model yang sudah dibentuk. Hasil yang diharapkan

adalah sistem surveilans khususnya schistosomiasis dapat berjalan dengan baik di wilayah

Kabupaten Poso, baik dari pelaporan kasus maupun pengendalian schistosomiasis. Dalam rangka

menyiapkan tenaga pendamping tersebut maka dilakukan pelatihan pengendalian dan surveilans

schistosomiasis bagi petugas puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis.

Implementasi Bada Model di daerah endemis schistosomiasis membutuhkan tenaga

pendamping dari petugas puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis. Hal tersebut bertujuan

Page 53: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

53

supaya pelaksanaan implementasi Bada Model dapat melibatkan semua unsur baik di puskesmas,

laboratorium schistosomiasis, dan tim bada model yang sudah dibentuk. Hasil yang diharapkan

adalah sistem surveilans khususnya schistosomiasis dapat berjalan dengan baik di wilayah

Kabupaten Poso, baik dari pelaporan kasus maupun pengendalian schistosomiasis.

Dalam rangka menyiapkan tenaga pendamping tersebut maka dilakukan pelatihan

pengendalian dan surveilans schistosomiasis bagi petugas puskesmas dan Laboratorium

Schistosomiasis. Tujuan pelatihan adalah untuk menyiapkan tenaga pendamping Implementasi

Bada Model dari petugas puskesmas dan laboratorium schistosomiasis. Kualifikasi tenaga yang

dilatih surveilans dan pengendalian schistosomiasis adalah penanggung jawab program

schistosomiasis, surveilans, promkes, UKS, program upaya kesehatan masyarakat. Kegiatan

pelatihan surveilans dan pengendalian schistosomiasis dilaksanakan di ruang pertemuan

Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka, Lore Barat. Jumlah peserta terdiri atas 20 orang, terdiri

dari staf Puskesmas Lengkeka (lima orang), Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka (sembilan

orang), dan bidan desa (enam orang). Nilai rerata pre-test adalah 89,5 dan post test adalah 93,25.

Pengetahuan para petugas puskesmas dan laboratorium tentang schistosomiasis meningkat

signifikan secara statistik setelah pelatihan, dengan nilai p-value sebesar 0,001 (Tabel 8 dan 9).

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

nilai_pre 20 94,2500 4,94043 85,00 100,00

nilai_post 20 98,2500 2,93571 90,00 100,00

Test Statisticsb

nilai_post -

nilai_pre

Z -3,418a

Asymp. Sig. (2-tailed) ,001

a. Based on negative ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Setelah pelatihan juga tersusun rencana tindak lanjut dan komitmen petugas puskesmas,

laboratorium schistosomiasis dan bidan desa terkait pengendalian dan surveilans schistosomiasis,

yaitu:

Page 54: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

54

1. Pelaporan surveilans aktif dan surveilans pasif mengikuti alur pelaporan yang akan

dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, berlaku mulai Januari 2020

2. Pelaksanaan survei tinja, survei tikus, dan survei keong mengikuti SOP yang ditetapkan

(Panduan dan SOP dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso)

3. Puskesmas diharapkan mengembangkan inovasi dalam upaya pengendalian schistsomiasis.

Pendampingan puskesmas dan laboratorium schistosomiasis untuk Bada Model diharapkan

terus berkelanjutan. Bisa juga inovasi misalnya kotak pot untuk menyimpan pot tinja di depan

rumah penduduk, supaya tidak ada lagi warga yang tidak tau ada pot dibagi oleh kader.

4. Kegiatan promotif dan pemberdayaan masyarakat menjadi kegiatan terintegrasi antar program

di puskesmas

5. Peningkatan kapasitas petugas puskesmas, laboratorium schistosomiasis, dan bidan desa

diharapkan dapat dievaluasi secara berkala oleh kepala puskesmas

6. Seluruh peserta harus mampu menyampaikan informasi yang benar dan jelas terkait

pencegahan dan pengendalian schistosomiasis.

7. Kesinambungan program pengendalian schistosomiasis oleh Dinas Kesehatan Kabupaten

Poso, termasuk dalam peningkatan kapasitas petugas puskesmas, petugas laboratorium

schistosomiasis.

2. Masyarakat (MOBASA)

Upaya pengendalian schistosomiasis dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan,

salah satu cara yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kapasitas masyarakat tentang

schistosomiasis melalui peran tokoh agama, dalam bahasa Bada biasa di sebut dengan mobasa.

Keterlibatan tokoh agama dalam upaya pengendalian schistosomiasis sangatlah penting,

mengingat schistosomiasis adalah penyakit yang sangat berkaitan dengan perilaku hidup

masyarakat, khususnya masyarakat yang sering beraktivitas di sekitar daerah fokus keong. Untuk

mengoptimalkan peran mobasa dalam pengendalian schistosomiasis dilakukan beberapa kegiatan

yaitu pelatihan, sosialisasi dan pendampingan saat tim mobasa melakukan sosialisasi

schistosomiasis pada masyarakat.

Pembentukan tim mobasa (tokoh agama) bersama dengan tim mepaturo (kelompok guru)

dilakukan oleh tim peneliti bersama petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, aparat desa dan

pemerintah Kecamatan Lore Barat. Sosialisasi dan pembentukan tim mobasa dihadiri oleh 12

mobasa dari masing-masing desa, bertujuan untuk mengajak tokoh agama ikut berperan serta

Page 55: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

55

dalam pengendalian schistosomiasis melalui implemetasi bada model di Kecamatan Lore Barat.

Hasil diskusi kegiatan sosialisasi tim peneliti dan tim mobasa sebagai berikut :

- Peran mereka sebagai tokoh agama dalam pengendalian schistosomiasis adalah bentuk

tanggung jawab dan pengabdian mereka pada Tuhan dan bukan merupakan beban moral.

Sosialisasi schistosomiasis akan terus dilakukan dalam setiap kesempatan pada saat kegiatan

ibadah gereja maupun ibadah rumah.

- Tim Mobasa menginginkan sosialisasi dengan menggunakan media audio visual berupa

pemutaran film, poster, leaflet dan penyampaian materi dengan menggunakan in focus, hal ini

dilakukan guna mengenalkan kepada masyarakat tentang schistosomiasis secara umum.

Sosialisasi menggunakan media audio visual tidak seterusnya dilakukan.

- Sosialisasi schitosomiasis berdasarkan pada kelompok kategorial yaitu terdiri dari anak-anak,

remaja, pemuda, perempuan, dewasa dan lansia. Materi schistosomiasis dalam bahasa

sederhana, singkat dan mudah dimengerti, karena bagi tim mobasa materi yang disampaikan

dan dibagikan dalam bentuk modul sangat sulit mereka pahami karena isinya terlalu ilmiah

dan penjelasannya terlalu luas. Sosialisasi yang diinginkan pada kategorial anak-anak sekolah

minggu adalah alat peraga (poster, buku. gambar, permainan di alam terbuka, pemutaran

film). Sosialisasi yang diinginkan kategorial orang dewasa dan yang lainnya adalah dalam

bentuk penyampaian secara langsung pada jemaat dan pemutaran film, pembagian poster dan

leaflet.

- Tim Mobasa menginginkan materi schistosomiasis dalam bentuk power point dari tim peneliti

dalam bentuk soft file. Materi berisikan sejarah schistosomiasis, cara penularan, gejala dan

cara pencegahannya dengan bahasa sederhan, singkat dan mudah dipahami oleh jemaat.

Sosialisasi menggunakan in-focus tidak akan dilakukan terus menerus melainkan sebagai

pengenalan tahap awal tentang schistosomiasis kepada jemaat, agar selanjutnya pada saat

penyampaian sosialisasi masyarakat cukup mengerti apa penyebab schistosomiasis bagaimana

cara penularan dan pencegahannya.

- Tim Mobasa menyusun jadwal kegiatan sosialisasi dan materi schistosomiasis sesuai yang

mereka pahami, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh agama dari Desa Tomehipi berikut ini;

“Sejak kami mengikuti pelatihan schistosomiasis minggu kemarin oleh tim kesehatan, terus

terang kami sudah mensosialisasikan tentang schisto di organisasi-organisasi pada

persatuan perempuan. Dalam kategorial ada kelompok anak-anak, remaja, sekolah

minggu. sudah beberapa kami sampaikan ciri-ciri keong dan cara mengantisipasinya”.

Page 56: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

56

Kegiatan sosialisasi schistosomiasis oleh tim mobasa sebagai berikut :

- Sosialisasi schistosomiasis oleh mobasa Tomehipi dilakukan pada kelompok kategorial anak-

anak, dewasa dan pada kelompok ibadah umum dengan cara ceramah dan pemutaran film

schistosomiasis pada anak-anak.

- Sosialisasi schistosomiasis oleh mobasa Kolori dilakukan pada kelompok muslim dan Kristen.

Pada kelompok muslim sosialisasi dilakukan pada malam jumat setiap kegiatan pengajian,

setelah shalat magrib sampai menjelang shalat isha. Demikian juga pada kelompok anak-anak.

Untuk kelompok Kristen telah dilakukan pada kegiatan ibadah umum dan kategorial bapak.

- Sosilasisasi Desa Lengkeka dilakukan oleh majelis agama (penatua) pada kelompok Efrat

yang dihadiri oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak, dengan jumlah peserta sekitar 50

orang. Materi yang disampaikan meliputi pengenalan keong perantara Oncomelania hupensis

lindoensis dan cacing schistosoma japonicum, daerah fokus, penularan penyakit, upaya

pencegahan penyakit, pengumpulan tinja dan pengobatannya. Media yang digunakan berupa

modul dan leaflet dalm bentuk ceramah.

- Sosialisasi schistosomiasis pada kelompok kategorial di Desa Tuare dilakukan pada kelompok

kategorial anak-anak, remaja dan kegiatan ibadah umum di gereja.

- Sosialisasi schistosomiasis oleh mobasa Desa Lelio dilakukan sesuai jadwal yang telah di

susun pada kegiatan ibadah umum di gereja, kelompok kategorial dewasa, perempuan dan

lansia.

- Kegiatan sosialisasi schistosomiasis di Desa Kageroa dilakukan oleh pendeta dan majelis pada

kelompok kategorial dewasa dan kegiatan ibadah umum di gereja.

Pendampingan dilakukan untuk mengetahui kapasitas tim mobasa dalam memberikan

materi schistosomiasis. Pendampingan dilakukan sesuai jadwal yang telah di susun oleh tim

mobasa. Hasil Pendampingan kegiatan sosialisasi dapat diliihat pada tabel 8 dibawah ini.

Tabel 8. Pendampingan Sosialisasi Schistosomiasis oleh Tim Mobasa

di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

Desa Proses Keterangan

Kageroa - Sosialisasi dilakukan pada kelompok kategori

dewasa dengan jumlah jemaat 30 orang.

- Sosialisasi dilakukan setelah kegiatan ibadah

khotbah selesai

- Penyampaian materi schistosomiasis cukup

baik, Tim mobasa cukup menguasai materi

Tempat sosialisasi di rumah

warga oleh tim mobasa dan

penatua (pelayan ibadah)

Page 57: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

57

schistosomiasis khususnya tempat habitat

keong O.h. lindoensis, gejala, penyebab, cara

pencegahan, penularan dan pengobatan

schistosomiasis

- Himbauan pada jemaat untuk aktif dalam

pengumpulan tinja dan pengobatan

schistosomiasis

Tuare - Sosialisasi pada kelompok kategorial anak-anak

dan remaja

- Sosialisasi terkait schistosomiasis dilakukan

setelah khutbah selesai, dengan media

pemutaran film schistosomiasis, selain itu

melalui media gambar pada lefleat

menjelaskan tentang bentuk keong, gejala dan

cara penularan schistosomiasis. Penyampaian

materi di tekankan bagaimana cara hidup sehat,

tidak BAB (buang air besar) disembarang

tempat khususnya di tempat berair seperti

sungai, tidak melewati daerah fokus keong dan

tidak diperbolehkan main di fokus, cara

serkaria masuk dalam tubuh manusia. Ibu

desmin menekankan akan kesadaran anak-

anak/remaja untuk tetap menjaga kesehatan dan

merupakan sebagian dari bentuk ibadah.

- Bahasa yang digunakan dalam bahasa

Indonesia dan digabungkan dengan bahasa

daerah. Sosialisasi di awali dengan pembacaan

firman tuhan ayat 29 tentang kejadian

penciptaan tuhan terhadap langit dan bumi,

kemudian di kaitkan dengan penciptaan

tumbuh-tumbuhan, hewan salah satunya adalah

keong. Seterusnya dijelaskan dalam bahasa

daerah sambil menunjukkan gambar pada

modul seperti Bontena yaitu perut besar kalau

sudah tertular schistosomiasis, misua pori-pori

artinya cacing masuk di pori-pori dan Lalu

Pope berkembang di dalam perut dan jika tidak

di obati akan meninggal (Matemoke). Di

anjurkan anak-anak untuk melakukan batena isi

kato (isi kotoran dalam pot) dan menyuruh

anak-anak untuk berparitisipasi dalam

pengisian pot tinja.

Lengkeka Pendampingan pada kelompok Efrat. Sosialisasi

dihadiri oleh orang dewasa, remaja dan anak-

anak, dengan jumlah peserta sekitar 50 orang.

Materi yang disampaikan meliputi pengenalan

keong perantara Oncomelania hupensis

lindoensis dan cacing schistosoma japonicum,

daerah fokus, penularan penyakit, upaya

pencegahan penyakit, pengumpulan tinja dan

pengobatannya. Media yang digunakan berupa

Page 58: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

58

modul dan leaflet. Selain itu, dalam

penyampaian materi mobasa juga menggunakan

bahasa daerah

Lelio - Pendampingan tidak dilakukan

Sudah melakukan sosialisasi

sesuai jadwal

Tomehipi Pendampingan sosialisasi pada anak-anak sekolah

minggu dan ibadah umum di gereja Sosialisasi

dihadiri oleh 32 orang anak dan 60 jemaat.

Materi yang disampaikan berupa pengertian

schistosomiasis, keong perantara, cara

pencegahan, dan pengumpulan tinja. Sosialisasi

disampaikan dengan menggunakan bahasa

daerah agar lebih mudah dipahami oleh anak-

anak dan jemaat lainnya. Dalam sosialisasi

anak-anak diajak untuk menonton film

schistosomiasis agar mereka lebih memahami

schistosomiasis. Sosialisasi berjalan dengan

dengan baik dan anak-anak mengikuti

sosialisasi dengan semangat.

Kolori Melakukan pendampingan di desa Kolori pada K

pukul 11.00-12.00 siang. Sosialisasi dipimpin

langsung oleh mobasa Kolori, Sosialisasi di

rumah warga. Jemaat yang hadir berjumlah 18

orang. Di awali dengan penyampaian firman

tuhan yang berkaitan dengan kesehatan

manusia, kemudian di kaitkan dengan

schistosomiasis meliputi penyebab, gejala, cara

pencegahan, penularan dan pengobatan,

menganjurkan jemaat untuk turut berparitipasi

dalam pengumpulan tinja dan pengobatan.

Bahasa yang digunakan saat sosialisasi adalah

bahasa Bada dan bahasa Indonesia.

-

Pre test dan post test pada masyarakat dilaksanakan di Kecamatan Lore Barat yaitu Desa

Lengkeka, Tuare, Kageroa, Tomehipi, Lelio dan Kolori. Responden dari masing-masing desa

berjumlah 30 responden, total responden 180 orang. Dasar pemilihan responden berdasarkan

purposive sampling dengan jumlah sampel minimal 30 sampel perdesa. Isi pertanyaan pre-post

test meliputi cara penularan, pencegahan, gejala, perkembangbiakan keong, cara pengisian pot

tinja, nama obat schistosomiasis, dan upaya untuk menghilangkan daerah fokus keong. Hasil pre

dan post test masing-masing desa sebagai berikut:

Page 59: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

59

Gambar 2. Nilai Rata-Rata Pre-Post Test Masyarakat di Kecamatan Lore Barat

Tahun 2019

Grafik di atas menunjukkan nilai rata-rata pre dan post test masyarakat tentang

schistosomiasis. Hasil pre test tertinggi adalah desa Tomehipi 79,83 dan terendah desa Lengkeka

61,17. Hasil post-test tertinggi terkait schistosomiasis adalah desa Lelio 83,83 dan terendah desa

Lengkeka 69,33. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis meningkat secara

signifikan dengan nilai p-value sebesar 0,001.

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Skor_Pre 71,34 152 14,662 1,189

Skor_Post 78,58 152 14,923 1,210

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-

tailed) Mean

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Skor_Pre -

Skor_Post

-7,237 13,836 1,122 -9,454 -5,020 -6,449 151 ,000

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Tuare Kageroa Tomehipi Lengkeka Kolori Lelio

76,33 71

79,83

61,17

70,67 72,83

79,33 78

82,17

69,33

81,17 83,83

pre

post

Page 60: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

60

Pengetahuan responden tentang schistosomiasis sebelum dilakukannya sosialisasi

schistosomiasis oleh tokoh agama (mobasa) dapat dilihat pada tabel 9. Dari 30 responden,

sebagian besar mengetahui istilah lain dari penyakit schistosomiasis, cara penularannya, orang

yang memiliki risiko terkena schistosomiasis, cara pencegahan, nama obat dan tempat

mendapatkan pengobatan schistosomiasis. Sebanyak 78,9 % responden tidak mengetahui tempat

habitat keong, 70 % tidak mengetahui jumlah pot tinja yang harus di isi, 98,3 % mengetahui

gejala atau tanda-tanda orang tertular schistosomiasis, 97,8% tahu cara pecegahan

schistosomiasis, 89,4 % tahu nama obat schistosomiasis.

Tabel 9. Pengetahuan Responden Sebelum Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

No.

PENGETAHUAN Tidak Tahu Tahu

Jumlah % Jumlah %

1. Nama Lain schistosomiasis 15 8,3 165 91,7

2. Penyebab schistosomiasis 38 21,1 142 78,9

3. Nama keong perantara 77 42,8 103 57,2

4. Stadium cacing schistosomiasis 109 60,6 71 39,4

5. Cara penularan schsitosomiasis 21 11,7 159 88,3

6. Orang yang berisiko terkena

schistosomiasis

0 0,0 180 100,0

7. Binatang yang bisa terinfeksi

schistosomiasis

53 29,4 127 70,6

8. Habitat keong penular schistosomiasis 142 78,9 38 21,1

9. Yang bukan habitat keong perantara 46 25,6 134 74,4

10. Gejala atau tanda-tanda terkena

schistosomiasis

3 1,7 177 98,3

11. Cara pemeriksaan schistosomiasis 20 11,1 160 88,9

12. Jumlah pot tinja 126 70,0 54 30,0

13. Cara pengisian pot tinja 19 10,6 161 89,4

14. Nama obat schistosomiasis 19 10,6 161 89,4

15. Tempat pengambilan obat 4 2,2 176 97,8

16. Daerah schistosomiasis 86 47,8 94 52,2

17. Kasus pertama schistosomiasis 110 61,1 70 38,9

18. Daerah fokus schistosomiasis 12 6,7 168 93,3

19. Cara pencegahan schistosomiasis 4 2,2 176 97,8

20. Upaya pemberantasan fokus 105 58,3 75 41,7

Tabel 10 di bawah ini menunjukkan hasil post test responden setelah kegiatan sosialisasi

oleh tim mobasa. Ditemukan adanya peningkatan pengetahuan responden terkait schistosomiasis,

yaitu cara pencegahan, daerah fokus keong, dan gejala penyakit schistosomiasis. Sebanyak

Page 61: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

61

82,2 % dari responden masih kurang mengetahui hal terkait tempat habitat keong perantara

schistosomiasis.

Tabel 10. Pengetahuan Responden Sesudah Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat

No. PENGETAHUAN Tidak Tahu Tahu

Jumlah % Jumlah %

1. Nama Lain schistosomiasis 8 4,4 172 95,6

2. Penyebab schistosomiasis 52 28,9 128 71,1

3. Nama keong perantara 68 37,8 112 62,2

4. Stadium cacing schistosomiasis 92 51,1 88 48,9

5. Cara penularan schsitosomiasis 9 5,0 171 95,0

6. Orang yang berisiko terkena schistosomiasis 13 7,2 167 92,8

7. Binatang yang bisa terinfeksi schistosomiasis 40 22,2 140 77,8

8. Habitat keong penular schistosomiasis 148 82,2 32 17,8

9. Yang bukan habitat keong perantara 41 22,8 139 77,2

10. Gejala atau tanda-tanda terkena

schistosomiasis 4

2,2 176 97,8

11. Cara pemeriksaan schistosomiasis 19 10,6 161 89,4

12. Jumlah pot tinja 23 12,8 157 87,2

13. Cara pengisian pot tinja 9 5,0 171 95,0

14. Nama obat schistosomiasis 11 6,1 169 93,9

15. Tempat pengambilan obat 4 2,2 176 97,8

16. Daerah schistosomiasis 39 21,7 141 78,3

17. Kasus pertama schistosomiasis 70 38,9 110 61,1

18. Daerah fokus schistosomiasis 5 2,8 175 97,2

19. Cara pencegahan schistosomiasis 2 1,1 178 98,9

20. Upaya pemberantasan fokus 100 55,6 80 44,4

Jumlah responden 30 orang dari masing-masing desa, sebanyak 85.6 % responden telah

mengikuti sosialisasi schistosomiasis dan 14.4 % yang tidak pernah ikut sosialisasi. Alasan

responden yang tidak pernah mengikuti sosialisasi yaitu belum ada sosialisasi dari mobasa,

pernah mendapatkan informasi schistosomiasis dari kader dan petugas kesehatan, pernah ikut

kegiatan schistosomiasis, serta alasan lainnya karena sering keluar kota.

Secara keseluruhan informasi yang di peroleh responden saat mengikuti sosialisasi dari

tim mobasa meliputi tempat atau daerah fokus keog, ciri orang terinfesi schistosomiasis, cara

pencegahan schistosomiasis, penularan schistosomiasis, bahaya penyakit keong pada manusia,

anjuran minum obat dan periksa tinja, dan cara melindungi diri dengan menggunakan sepatu

boot serta membersihkan saluran air.

Page 62: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

62

3. Anak Sekolah (Tim Mepaturo)

Upaya untuk mengeliminasi schistosomiasis telah dilakukan dengan berbagai cara dari

tahun ke tahun. Untuk tahun 2019 salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan uji coba

implementasi pengendalian schistosomiasis berbasis masyarakat di daerah endemis Bada atau

yang disebut “Bada Model”. Kegiatan yang dilakukan dalam Bada Model yakni Regulasi Desa

(Perdes), Pembentukan Tim pengendali schistosomiasis desa, pemberian materi schistosomiasis

pada anak sekolah, dan peran tokoh agama. Pemberian materi schistosomiasis pada anak sekolah

dasar dan sekolah menengah pertama diharapkan dapat membantu meningatkan pengetahuan

siswa dan diharapkan para siswa dapat menyebarluaskan pengetahuannya ke orangtua, keluarga,

teman sepermainan. Sehingga dapat menurunkan angka prevalensi schistosomiasis dan

peningkatan cakupan pengumpulan tinja serta minum obat schistosomiasis di daerah endemis.

Pembentukan tim guru ini diawali dengan kegiatan rapat koordinasi yang

diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kabupaten Donggala

bekerja sama dengan Pemerintah Kecamatan Lore Barat. Dilaksanakan pada hari Senin 1 Juli

2019 jam 09.00 hingga jam 14.00 siang WITA. Bertempat di aula kantor camat Lore Barat

dengan jumlah peserta yang hadir kurang lebih 50 orang. Pada kegiatan ini disampaikan

mengenai implementasi bada model yang salah satunya pemberian muatan local schistosomiasis

pada anak sekolah di daerah. Pada kegiatan ini juga tim balai litbangkes mengharapkan adanya

data-data guru tiap sekolah yang dapatkan dilatih untuk mengajarkan materi schistosomiasis.

Akan tetapi kegiatan ini dilakukan bertepatan waktu libur sekolah sehingga untuk pemilihan guru

yang akan dilatih akan diambil alih atau atas rekomendasi Koordinator Satuan Pengawasan dan

Pelayanan Pendidikan (SP3) Kecamatan Lore Barat. Berdasarkan rekomendasi Koordinator SP3

maka terbentuk tim guru yang berasal dari perwakilan masing-masing sekolah yang ada di

Kecamatan Lore Barat yakni SD Tuare, SD Kageroa, SD Tomehipi, SD Lengkeka, SD Kolori,

SD Lelio, SMP Satap Kageroa, dan SMP 1 Lore Barat. Dan setiap sekolah diwakili oleh 2 orang

guru sehingga total jumlah tim guru sebanyak 16 orang. Tim guru yang terbentuk kemudian

dinamakan ‘Mepaturo” yang berdasarkan bahasa bada yang artinya mengajar sesuai dengan

filosofi tim ini yang akan mengajarkan materi schistosomiasis.

Page 63: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

63

Tabel 11. Susunan Tim Mepaturo dari Berbagai Sekolah yang Ada

di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

NO NAMA GURU NIP ASAL SEKOLAH

1 SONY TOMPA, S.Pd 196808022005021001 SD TUARE

2 SAHI KALAHE 196705292008011005 SD TUARE

3 BUARI GESO, S.Pd 197802112014061002 SD KAGEROA

4 ALFRIANUS NAWU,A.Ma.Pd 198604202014091002 SMP SATAP KAGEROA

5 ARDILES TOMPA, A.Ma.Pd - SMP SATAP KAGEROA

6 NOVIANTI WENGKAU, S.Pd 198504012009032002 SD TOMEHIPI

7 DAUD BATURU 196507072003121001 SD TOMEHIPI

8 ALEX MAROTO - SD LENGKEKA

9 ANDARIAS K.BUNGA 196707021994081001 SD LENGKEKA

10 ILIANA TOMBELA 197609252011012003 SD KOLORI

11 YAFET KARANTITI 196601012005021002 SD KOLORI

12 ORIN KARANTITI, S.Pd - SMP 1 KOLORI

13 FERDINAN WENGKAU, SP. - SMP 1 KOLORI

14 ALMINCE TEHAMPA, S.Pd.K 197101082008012000 SD LELIO

15 ANTONIUS TEHAMPA 196612222007011010 SD LELIO

Tim mepaturo yang terbentuk diberikan pelatihan mengenai schistosomiasis yang

bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman guru mengenai schistosomiasis.

Tim Mepaturo akan mengajarkan kembali materi ini ke para siswa di sekolah masing – masing.

Pelatihan ini diberikan selama dua hari. Hari pertama tim mepaturo mendapatkan materi

pengenalan schistosomiasis (demam keong) yang berisi penyebab, penularan, gejala, cara

pemeriksaan, pengobatan, dan pencegahan schistosomiasis. Serta materi mengenai pengumpulan

dan pemeriksaan tinja, Survey Pemeriksaan Keong, Survey dan pemeriksaan Tikus. Pada hari

kedua, para guru diberikan materi praktek mengenai keong Oncomelania hupensis linduensis

meliputi tempat hidup keong (daerah fokus) dan pemeriksaan keong menggunakan metode

crushing. Pada kegiatan pelatihan ini tim yang awalnya berjumlah 16 orang, akan tetapi guru

Page 64: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

64

yang berasal dari SD Kageroa yang dapat hadir hanya 1 orang sehingga untuk tim mepaturo

hanya beranggotakan 15 orang.

Tim mepaturo yang telah dilatih diharapkan dapat mengajarkan materi schistosomiasis

kepada para siswa disekolah masing-masing. Materi schistosomiasis ini akan dimasukkan ke

dalam materi muatan lokal di sekolah. Supaya memudahkan para guru dalam hal pengajaran

maka dibuatlah silabus untuk materi schistosomiasis ini. Pembuatan silabus ini dilakukan oleh

tim mepaturo bersama tim balai Litbangkes Donggala yang dikoordinatori oleh Koordinator SP3.

Pembuatan silabus ini diikuti dengan pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) oleh

masing-masing guru sebagai acuan dalam pembelajaran materi ini dikelas. Materi

schistosomiasis ini akan diberikan pada siswa kelas 4, 5, dan 6 SD yakni SD Tuare, SD Kageroa,

SD Tomehipi. SD Lengkeka, SD Kolori, dan SD Lelio. Sedangkan untuk SMP sebanyak 2

sekolah yakni SMP Satap Kageroa dan SMP 1 Lore Barat.

Pemberian materi schistosomiasis ini mengikuti jadwal pelajaran muatan lokal di masing-

masing sekolah. Materi schistosomiasis yang diajarkan pada siswa sesuai dengan RPP yang

disusun oleh masing-masing guru. Dan dalam pengajaran dikelas tim guru juga membagikan

media pembelajara seperti leaflet/brosur ataupun buku bergambar untuk membantu siswa dalam

memahami schistosomiasis. Media pembelajaran berupa leaflet diperoleh dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Poso dan video dari Balai Litbang Kesehatan Donggala.

Pendampingan tim mepaturo dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para guru

memahami materi schistosomiasis yang diberikan kepada siswa dan bagaimana cara

pengajarannya ke para siswa. Sejauh ini penguasaan materi tim mepaturo baik (67,14 %) dan

cara pengajarannya pun baik (69,28 %). Akan tetapi masih ada beberapa guru yang kurang

memahami materi yang diajarkan, misalnya mengenai cara penyebutan cacing schistosomiasis

yang masih salah ataupun cara penularannya. Dalam hal ini ada guru yang menyatakan bahwa

penularan schisto melalui tinja sehingga ketika kita terinjak tinja yang terifeksi maka kita akan

tertular schistosomiasis.

Cara pengajaran juga menjadi poin dalam pendampingan karena ada beberapa guru

terlihat tidak membawakan materi dengan baik misalnya membawakan materi sambil duduk dan

membaca materi yang akan diajarkan sehingga para siswa sedikit bingung dan tidak aktif pada

saat materi ini diberikan. Cara pengajaran yang atraktif dapat membuat siswa lebih mudah

memahami materi yang diberikan seperti guru mengajar dengan suara yang lantang, materi

Page 65: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

65

diberikan dengan memberi contoh-contoh sesuai keseharian siswa, sehingga siswa tergerak

untuk berpikir dan memahami. Pendampingan tim mepaturo dilakukan sebanyak dua kali dan

dilakukan di seluruh sekolah di Kecamatan Lore Barat.

Evaluasi tim mepaturo dilakukan sebagai sarana untuk memberi masukan atas pengajaran

yang sudah dilakukan oleh tim mepaturo agar kedepannya menjadi lebih baik. Pada kegiatan ini

disampaikan hasil pendampingan yang selama ini telah dilakukan, agar para guru yang merasa

kurang dapat lebih berusaha untuk memahami materi schistosomiasis dan juga cara

penyampaiannya kepada siswa. Kegiatan ini dihadiri oleh tim mepaturo, tim Balai Litbangkes

Donggala dan Koordinator SP3. Dalam kegiatan ini pun, tim mepaturo memberikan beberapa

saran untuk perbaikan ke depannya yakni :

Dibuatkan Surat Keputusan (SK) untuk tim mepaturo

Pengadaan alat peraga misalnya leaflet, poster, buku bergambar yang dapat digunakan dalam

pengajaran materi schistosomiasis dari dinas kesehatan Kabupaten Poso dan Balai Litbang

Kesehatan Donggala.

Diberikan pendalaman materi setiap semester agar tim mepaturo lebih memahami materi

schistosomiasis

Praktek materi schistosomiasis bagi siswa, bekerjasama dengan tim peda dan juga

Laboratorium schistosomiasis Kecamatan Lore Barat.

Jumlah sampel siswa sekolah tingkat pertama yang mengikuti pre dan post test 69 sampel dan

siswa sekolah dasar 101 sampel. Berdasarkan analisis statistik ditemukan peningkatan yang

signifikan pengetahuan pada siswa tentang schistosomiasis dengan nilai p-value < 0,001.

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 nilai_pre 57,353 170 18,3987 1,4111

nilai_post 68,706 170 18,9854 1,4561

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-

tailed) Mean

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Page 66: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

66

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 nilai_pre 57,353 170 18,3987 1,4111

Pair 1 nilai_pre -

nilai_post

-11,3529 22,2996 1,7103 -14,7292 -7,9766 -6,638 169 ,000

Gambar 3. Peningkatan pengetahuan siswa SD dan SMP di Kecamatan Lore Barat

Tahun 2019

4.6. Kegiatan Pendukung

1. Lomba Desa Bebas Schistosomiasis

Kegiatan lomba desa bebas schistosomiasis merupakan bagian dari penelitian Implementasi

Bada Model sebagai upaya tindak lanjut dari pelaksanaan sejumlah kegiatan yang

melibatkan banyak stakeholder pada tingkat desa. Upaya pengendalian schistosomiasis di

Bada yang diawali dengan usaha pelibatan multistakeholder dengan sasaran perangkat desa,

tokoh agama dan masyarakat, guru diawali dengan kegiatan pelatihan dan penyusunan

rencana aksi/renacana kerja, Sejumlah kegiatan yang direncanakan oleh tim yang ikut

berpartisipasi ditingkat desa merupakan gambaran bentuk partisipasi kolektif dari warga

desa mulai dari penguatan kapasitas masyarakat, perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

62,22 61,76 66,32

57,73 57,06 55

37,5 35,36

70,28 75,1

81,05

62,27

55,09

62,33

83

67,5

pre

post

Page 67: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

67

evaluasi. Kegiatan lomba desa ini sendiri dilakukan untuk meningkatkan spirit dan gairah

dari tim-tim yang bekerja di tingkat desa sebagai bagian dari evaluasi proses dan capaian

pelaksanaan sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pengendali Schistosomiasis

berdasarkan partisipasi masyarakat. Inisiatif lomba desa ini merupakan bagian dari

perencanaan penelitian Implementasi Bada Model yang disepakati oleh tim Peneliti dengan

Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dan stakeholder kecamatan dan desa saat perencanaan

penelitian ini disosialisasikan di Hotel Ancyra Poso pada Bulan April 2019.

Tabel 12. Kriteria Indikator Penilaian dalam Lomba Desa Bebas Schistosomiasis Tahun 2019

No. Indikator Implementasi Bada Model

“Lomba Desa Bebas Schistosomiasis”

Bobot

Penilaian

Bahan penilaian

1. Peraturan Desa yang sudah diundangkan

dan disosialisakan

30 Dokumen Perdes dan

croscek ke masyarakat

2. Dukungan anggaran desa dalam

pengendalian schistosomiasis

20 Dokumen APBDesa

3. Penghilangan dan kebersihan fokus 15 Bukti lapangan

4. Cakupan pengumpulan tinja 10 Persentase cakupan

5. Pengandangan ternak mamalia 10 Persentase KK mempunyai

kandang ternak mamalia

6. Ketersediaan dan Pemanfaatan jamban 10 Dokumen dan croscek

7. Keterlibatan lintas sector dalam pengendalian

schistosomiasis

5 Dokumen dan croscek

Penilaian di Desa Tuare dilakukan oleh tim penilai yang terdiri dari Kepala

Bapelitbangda Kabupaten poso, Pak Irfan (Kabid Bapelitbangda), Pak Hans dan Opyn (Dinkes

Kabupaten Poso), Pak Jufri (Dinas Pertanian, Peternakan dan Kesehatan Hewan) dan Ahmad

Erlan (Balai Litbangkes Donggala). Adapun aspek yang dinilai adalah Peraturan Desa yang

sudah diundangkan, disosialisasikan dan diterapkan, penggunaan dana desa dalam pengendalian

schistosomiasis, penghilangan fokus, cakupan pengumpulan tinja, pengandangan hewan/ternak,

kepemilikan dan pemanfaatan jamban serta keterlibatan lintas sektor dalam pengendalian

schistosomiasis. Hasil dari penilaian adalah peraturan desa sudah diundangkan dengan surat

nomor 1 tahun 2019 tanggal 22 Juli 2019, menurut sekertaris desa sudah disosialisasikan tetapi

ketika diminta bukti foto-foto saat sosialisasi dan daftar hadir pada saat sosialisai tidak dapat

Page 68: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

68

diperlihatkan pada tim penilai dengan alasan bukti-bukti tersebut dibawa oleh kepala desa.

Cakupan pengumpulan tinja menurut sekertaris desa dan tim peda dari desa Tuare adalah 85%.

Penilaian di Desa Kageroa dipimpin oleh pak Irfan dari Bapelitbangda Kabupaten Poso.

Peraturan desa sudah diundangkan, sudah dimasukkan dalam lembaran desa. Sosialisasi juga

sudah dilakukan dan ketika dicrosscek kepada masyarakat terbukti memang sudah sampai

kepada masyarakat mengenai isi dan sanksi yang ada dalam peraturan desa. Hasil dari cakupan

pengumpulan tinja adalah sebesar 93,23%, fokus keong setelah dicek dilapangan kelihatan sering

dibersihkan, pengandangan ternak untuk babi sebagian besar dikandangkan dan ada juga yang

diikat, sedangkan untuk sapi diikat. Kepemilikan dan pemanfaatan jamban sudah mencapai

100%.

Penilaian dilanjutkan di Desa Tomehipi, pada saat penilaian untuk peraturan desa belum

ada nomornya dan belum ditantandatangani dan distempel. Sosialisai kepada masyarakat sudah

dilaksanakan terbukti setelah ditanya ke masyarakat mereka sudah mengetahui tentang isi dan

sanksi yang dalam peraturan desa.Fokus keong sudah bersih dan nampak baru saja dibersihkan.

Persentasi pengumpulan tinja sebesar 90,70%. Di Desa Tomehipi belum ada alokasi dana desa

belum ada untuk pengendalian schistosomiasis tahun ini.

Penilain di Desa Kolori, hasilnya peraturan desa sudah diundangkan dan

disosialisasikan. Komentar dari pak Ahdar menyatakan bahwa bukti-bukti sosialisasi berupa foto

dan absen harus dilengkapi. Peraturan desa yang sudah diundangkan agar dilembardesakan

dalam 1 atau 2 hari ini. Masukan dari ibu Camat Lore Barat bahwa peraturan desa dilengkapi

dengan peraturan kepala desa, untuk sanksi dalam pembuatan jamban diberikan batas waktu

sampai kapan bisa ada jambannya dan batas waktunya dijelaskan dalam peraturan kepala desa.

Penggunaan dana desa tahun ini belum ada di Desa Kolori, pemberian insentif pada kader akan

diberikan tahun depan. Cakupan pengumpulan tinja sebesar 74,26%. Usul dari ibu Camat ada

jadwal khusus untuk anak-anak sekolah yang keluar desa, pada saat libur dilakukan

pengumpulan tinja dan pengobatan. Pengandangan hewan ternak dan mamalia seperti sapi,

kerbau diikat, babi dikandangkan dan anjing berkeliaran. Kepemilikan dan penggunaan jamban

sebesar 99,8%, sedangkan yang belum memiliki jamban akan dibantu dengan dana desa

sebanyak 17 kepala keluarga. Keterlibatan lintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis

yang ada baru dari dinas peternakan.

Page 69: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

69

Di Desa Lelio peraturan desa sudah diundangkan dan disosialisasikan, bukti sosialisasi

ada berupa foto dan absen. Kepemilikan dan penggunaan jamban sebesar 90% dan masyarakat

yang belum mempunyai jamban diberikan batas waktu sampai dengan 1 Desember 2019.

Cakupan pengumpulan tinja sebesar 94%, penggunaan dana desa untuk pengendalian

shistosomiasis tahun 2019 belum ada. Pengandangan hewan ternak sapi dan kerbau diikat

sedangkan babi semua dikandangkan. Keterlibatan lintas sektor dalam pengendalian

schistosomiasis dari Kementerian Sosial, Dinas Sosial berupa proyek Pamsimas. Dari Dinas

Peternakan yaitu pengambilan kotoran hewan dan pengobatan.

Penilaian di Desa Lengkeka dihadiri oleh kepala desa, sekertaris desa, tim peda tiga

orang dan perangkat desa dua orang. Peraturan Desa sudah diundangkan dan disosialisasikan dan

ada bukti sosialisasi berupa daftar hadir. Penerapan sanksi masih menunggu batas waktu sampai

tanggal 25 Nopember 2019. Kepemilikan dan penggunaan jamban sudah mencapai 85%,

sebanyak 10% sementara dikerjakan selebihnya yang 5% sama sekali belum ada, mereka BAB

diair mengalir. Penggunaan Anggaran Dana Desa dalam pengendalian schistosomiasis adalah

pembuatan saluran air (drainase) sepanjang 270 meter yang melintasi fokus keong dan

pembuatan bak 2 x 5 meter. Rencananya tahun 2020 akan dialokasikan dana sebesar 200.000 per

bulan untuk sepuluh orang kader schistosomiasis. Cakupan pengumpulan tinja sebesar 72,5%

sisanya akan dikumpulkan sampai batas waktu 30 Oktober 2019.

Pengandangan ternak sapi dan kerbau cukup diikat dan babi semua dikandangkan. Dari

lima fokus keong yang ada di Desa Lengkeka, dua sudah hilang menurut survei petugas

laboratorium dan hasil pemeriksaan keong sudah negatif. Keterlibatan lintas sektor dalam

pengendalian lintas sektor yaitu dari dinas perikanan provinsi berupa pembuatan kolam ikan

lengkap dengan bibit tambah pakannya. Dinas Pertanian Kabupaten Poso berupa 1 unit hand

traktor, pembuatan saluran air sepanjang 490 meter dari Dinas PU provinsi dan dari dinas PUPR

berupa pembuatan jalan lingkar.

Tim penilai melakukan pertemuan untuk menentukan pemenang lomba desa bebas

schistosomiasis pada enam desa di Kecamatan Lore Barat. Setelah mempertimbangkan dari

beberapa aspek penilaian dan diskusi yang alot akhirnya tim penilai mencapai kata sepakat

bahwa yang menjadi pemenang lomba desa bebas schistosomiasis adalah Desa Kageroa sebagai

juara pertama, Desa Lengkeka sebagai juara kedua dan Desa Lelio sebagai juara ketiga.

Page 70: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

70

2. Pemilihan Duta Schistosomiasis

Pemilihan Duta schistosomiasis dilakukan sebagai reward/hadiah untuk para siswa yang

sudah mempelajari materi schistosomiasis. pemilihan ini dilakukan pada tanggal 22 oktober 2019

di laboratorium schistosomiasis kecamatan lore barat. Peserta pemilihan ini berasal dari

perwakilan sekolah yang ada di Kecamatan Lore Barat yakni masing –masing 2 orang dari SD

Tuare, SD Kageroa, SD Tomehipi, SD Lengkeka, SD Kolori, SD Lelio, SMP Satap kageroa, dan

SMP 1 Lore Barat. Pemilihan duta schistosomiasis ini berupa lomba pidato mengenai

schistosomiasis

Penilaian untuk duta schistostomiasis ini berdasarkan dari penampilan peserta pemilihan,

cara penyampaian pidato peserta misalnya suara jelas terdengar dan teratur atau terstruktur dalam

menyampaikan pidato, dan materi yang dibawakan. Hasil pemilihan duta schistosomiasis,juara

pertama oleh SD Lelio, juara kedua SD Lengkeka, ketiga oleh SMP satap Kageroa.

4.7. Optimalisasi tugas dan fungsi Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis dalam pengendalian schistosomiasis

Sejak tahun 2017 Laboratorium Schistosomiasis diserahkan ke Dinas Kesehatan

Kabupaten yang sebelumnya di atur oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, semua

pembiayaan kegiatan laboratorium berasal dari dana DAK. ada pun tugas yang dilakukan oleh

laboratorium schistosomiasis yaitu :

Kegiatan pengumpulan dan pemeriksaan tinja

Kegiatan survei keong dan survei tikus

Kegiatan pembersihan fokus dan penyemprotan fokus

Kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan schistosomiasis

Keterlibatan petugas puskesmas masih kurang terutama dalam kegiatan surveilans

bahkan ada petugas puskesmas yang belum mengetahui penyebab schistosomiasis (1), sehingga

perlu meningkatkan peran puskesmas dalam upaya pengendalian schistosomiasis dengan

pelatihan surveilans.

Petugas laboratorium terdiri dari petugas puskesmas setempat, petugas dinas propinsi

yang ditempat di laboratorium dan petugas honorer yang dibiayai dari Dinas Kesehatan Provinsi.

Masih kurangnya tenaga laboratorium khususnya tenaga mikrsokopis sehingga ada beberapa

Page 71: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

71

petugas laboratorium schistosomiasis yang sudah purna tugas masih diperbantukan di

laboratorium schistosomiasis.

Peran laboratorium schistosomiasis sangat diperlukan maka perlu peningkatan tenaga

laboratorium baik secara kuantitas dan kualitas. Tahun 2018 gedung laboratorium

schistosomiasis di Wuasa dan di Lengkeka Kecamatan Lore Barat telah selesai di bangun dengan

dana yang cukup besar akan tetapi tidak diikuti dengan penambahan tenaga dan pelatihan khusus

petugas laboratorium schistosomiasis. Selain itu tidak tersedia dana operasional untuk

menunjang kegiatan kegiatan laboratorium selama ini semua pembiayaan dari DAK tetapi hanya

untuk kegiatan teknis saja dan belum ada dana operasional. Sejak diserahkan ke Dinas Kesehatan

kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi belum jelas tugas dan fungsi laboratorium schistosomasis

yang dibangun. Kegiatan yang dilakukan saat ini masih sama dengan kegiatan yang sebelumnya

hanya melakukan kegiatan survei saja.

Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dan Sigi perlu membuat Struktur Organisasi dan

Tata Kerja Lab.Schisto (Struktur, pembiayaan, SDM dan kedudukan) dan SOP tugas dan fungsi

lab.schisto Sesuai Permenkes Pengendalian schisto No19 thn 2018. Sehingga peran dan fungsi

laboratorium schistosomiasis dapat menunjang pengendalian schistosomiasis.

Gambar 4. Perbandingan keong Sulawesidrobia sp. dan O.hupensis lindoensis

Page 72: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

72

Gambar 5. Surat konfirmasi keong dari Puslit Biologi LIPI

Page 73: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

73

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis oleh Lintas Sektor

Balai Litbangkes Donggala memiliki peran sebagai ketua tim pengendali fokus keong

perantara schistosomiasis berdasarkan SK Tim Terpadu Schistosomiasis Provinsi Sulawesi

Tengah tahun 2017-2022. Peran Balai Litbang Kesehatan Donggala adalah melakukan penelitian

dan memberikan rekomendasi dalam rangka mempercepat dan mensinergikan upaya eliminas

schistosomiasis, Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan Kementerian Kesehatan telah

mengkoordinasikan penyusunan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 dengan

melibatkan seluruh stakeholder terkait baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rangkaian

proses penyusunan roadmap eradikasi schistosomiasis ini meliputi pemetaan kegiatan strategis,

pemetaan kebutuhan penganggaran (bersumber APBN, Dana Alokasi Khusus, dan APBD), dan

sinkronisasi perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah.(1)

Pengalaman pengendalian schistosomiasis di China mengkombinasikan pengendalian

keong dengan penyemprotan dan modifikasi lingkungan melalui keterlibatan linsek terkait.(2)

Pembuatan saluran air secara permanen oleh Dinas PU dapat mengalirkan air dengan lancar dan

deras, juga dapat menyulitkan keong O. hupensis lindoensis untuk bertahan hidup. Sejak

diluncurkan roadmap awal tahun 2018, setiap linsek telah menyusun anggaran dan kegiatan

pengendalian schistosomiasis, Sehingga untuk mengetahui keberhasilan program sesuai roadmap

maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dibuat.(3)

Evaluasi atau kegiatan

penilaian adalah merupakan bagian integral dari fungsi manajemen dan didasarkan pada sistem

informasi manajemen. Evaluasi dilaksanakan karena adanya dorongan atau keinginan untuk

mengukur pencapaian hasil kerja atau kegiatan pelaksanaan program terhadap tujuan yang

ditetapkan. Evaluasi dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang relevan guna pengambilan

keputusan. (4)

Alokasi anggaran schistosomiasis tidak sesuai dengan target yang ada dalam roadmap

eradikasi schistosomiasis (45% tahun 2018 dan 19% tahun 2019)(5)

. Secara keseluruhan untuk

lintas sektor di Kabupaten Sigi anggaran kegiatan yang dialokasikan khusus untuk

Schistosomiasis tidak ada. Semua lintas sektor menerima pengurangan anggaran di tahun 2019.

Anggaran lintas sektor terbanyak dialokasikan untuk rehabilitasi pascabencana alam di

Kabupaten Sigi. Satu-satunya instansi yang bekerja untuk Schistosomiasis hanyalah Dinas

Page 74: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

74

Kesehatan. Sementara instansi lainnya melaksanakan programnya di tahun 2019 yang

sesungguhnya terkait Schistosomiasis namun tidak berdampak secara langsung.

Dinas Kesehatan yang memegang peranan terbesar dalam Pengendalian Schistosomiasis.

Program di tahun 2019. Pengendalian Schistosomiasis adalah pengobatan massal dan Gema

Beraksi (Gerakan Masyarakat Berantas Schistosomiasis) yang masih keberlanjutan dari kegiatan

tahun sebelumnya. Gema Beraksi masih terus dilakukan oleh masyarakat setiap dua minggu

sekali Sedangkan untuk pengobatan massal desa-desa lainnya semuanya sudah rampung.

Program internal yang juga dilibatkan dalam pengobatan massal diantaranya adalah penyuluhan

Schistosomiasis, Promosi Kesehatan dengan membagikan buku-buku (materi-materi mengenai

Schistosomiasis, dan Kesehatan Lingkungan dengan memberikan stimulan Jamban (ini khusus

dilakukan di Lore Utara). Semua kegiatan belum mencapai target sesuai harapan hal ini

disebabkan masih kurangnya obat praziquantel. Untuk merealisasikan program, Dinas Kesehatan

bekerja sama dengan instansi terkait, seperti: BAPPEDA, Dinas PUPR, Dinas Tanaman Pangan,

Dinas Peternakan, PMD. Demikian pula dengan program internal dinas program Schistosomiasis

juga terkait dengan program lainnya, yaitu: GERMAS, stunting, PUSKESMAS, dan

laboratorium Schistosomiasis.

Pengobatan massal menggunakan Praziquantel dengan dosis 40 mg/kgBB pada manusia

merupakan upaya pemberantasan fase dewasa cacing S. japonicum yang ada di tubuh manusia.

Manusia yang merupakan induk semang definitif S. japonicum dengan gejala klinis paling

terlihat di antara induk semang definitif lainnya. Hal ini membuat proses serta hasil penanganan

schistosomiasis pada manusia menjadi indikator utama kesuksesan program. Dalam rangka

mencapai eradikasi schistosomiasis yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019 (0% prevalensi),

akan dilakukan perubahan sistem pengobatan massal pada manusia yang terdiri atas 2 tahap.

Tahap pertama adalah pengobatan massal pada seluruh populasi akan dilakukan selama 2 tahun

berturut-turut untuk menekan prevalensi schistosomiasis di manusia. Setelah periode tersebut,

tahap kedua pengobatan hanya akan dilakukan secara selektif pada populasi yang kemungkinan

masih terinfeksi sebagai bagian dari sistem tanggap cepat yang terintegrasi dengan sistem

surveilans.(1)

Dalam melaksanakan kegiatannya Dinas Tanaman pangan dan Holtikultural ini tidak

menemukan kendala di lapangan. Masyarakat justru sangat antusias dengan adanya bantuan.

Masyarakat sangat berterima kasih sebab peralatan yang diberikan tidak hanya untuk mengatasi

Page 75: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

75

Schistosomiasis tetapi dapat juga mereka pergunakan untuk keperluan lainnya. Dari pusat untuk

kegiatan terkait Schistosomiasis belum ada di instansi ini. Tetapi direncanakan untuk tahun 2020

ada dana yang disediakan oleh Kementrian untuk melaksanakan kegiatan lainnya terutama yang

terkait Schistosomiasis. Anggaran yang diusulkan untuk tahun 2020 kurang lebih Rp

100.000.000,- juga untuk pengadaan peralatan yang sama tetapi akan disalurkan di wilayah yang

berbeda dengan tahun 2019.

Pelaksanaan pengambilan dan pemeriksaan tinja hewan semua biaya operasional dan obat

disediakan oleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi. Untuk itu kabupaten tidak

mengeluarkan anggaran untuk kegiatan ini. Pengobatan tahap pertama sudah selesai tetapi akan

dilakukan kembali pengobatan tahap kedua. Hal ini disebabkan karena pada pengobatan tahap

pertama ditemukan sejumlah hewan yang mati setelah diberi obat. Dosis obat yang tidak jelas

ditengarai sebagai akibat dari kesalahan ini. Perlunya koordinasi dengan Balai Veteriner Maros

dalam pengumpulan, pemeriksaan dan pengobatan hewan serta perlu peran masyarakat dan

aparat desa dalam kegiatan ini juga. Sehingga diharapkan keberhasilan penurunan persentasi

hewan yang terinfeksi schistosomiasis. Penurunan persentasi hewan terinfeksi merupakan salah

satu target dalam roadmap eradikasi schistosomiasis.(1)

Kegiatan Dinas PUPR Kabupaten Poso per Oktober 2019 masih sementara berjalan dan

ditargetkan akan rampung pada bulan November 2019. Jika semua pembangunan telah rampung,

maka program ini akan berjalan sesuai dengan target yang direncanakan. Kendala yang dihadapi

di lapangan adalah jalur transportasi Poso – Napu terputus karena longsor pada saat

pembangunan berlangsung. Demikian pula jalur Palu – Napu juga terputus karena longsor ketika

itu, sehingga pembangunan berjalan tersendat-sendat. Program yang dilaksanakan di tahun 2019

sesuai dengan sasaran dalam Roadmap Eradikasi. Dukungan pusat untuk kegiatan ini berupa

asistensi DAK di Kementrian PU dan BAPPENAS.

Dinas Kelautan dan Perikanan untuk merealisasikan program instansi ini menemukan

beberapa kendala di antaranya adalah: (1) Kondisi sosial-budaya masyarakat yang terkadang

berbenturan ketika kegiatan yang dilaksanakan tidak seiring sejalan dengan kepentingan mereka;

(2) Belum terkoordinasinya dengan baik lintas sektor untuk menangani Schistosomiasis dengan

serius; dan (3) Masih meragukan keberlangsungan pembangunan kolam apakah masyarakat

mampu memelihara dan mengelolanya dengan baik hingga jangka panjang atau tidak.

Page 76: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

76

Sebab pada umumnya projek hanya bersifat sementara demikian pula dengan semangat

masyarakatnya. Jika anggaran projek telah habis, semangat masyarakat pun usai.

Dinas Kelautan dan Perikanan tidak menetapkan Schistosomiasis sebagai program

prioritas. Oleh karena itu anggaran yang disediakan juga relatif sedikit. Untuk keberlanjutan

program di tahun 2020 direncanakan akan dilakukan perbaikan kolam dan peningkatan sumber

daya manusia (masyarakat) pengguna kolam khususnya untuk budidaya ikan. Dengan rencana

anggaran sekitar Rp 200.000.000,- dan akan difokuskan ke Kecamatan Lore Barat Kabupaten

Poso.

Peranan insatansi BAPPEDA mengkoordinasikan program-program lintas sektor untuk

Pengendalian Schistosomiasis melalui rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. Selain itu juga

melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan masing-masing Organisasi Perangkat Desa (OPD).

Rapat-rapat ini memfasilitasi tiap-tiap OPD melaksanakan programnya dengan membawa serta

data dari masing-masing instansi. Data ini dibutuhkan juga untuk mengevaluasi masing-masing

OPD. Menguraikan evaluasi implementasi kebijakan yang dilakukan dengan tujuan pemantauan

kegiatan lintas sektor untuk mendapatkan informasi dini mengenai perkembangan pelaksanaan

pada pengendalian schistosomiasis atau dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diketahui

hal-hal yang perlu diperbaiki mengenai sistem dan proses pelaksanaan kebijakan tersebut agar

pelaksanaan kebijakan dapat berjalan optimal. Disamping memuat tentang gambaran

perkembangan pelaksanaan, dalam evaluasi pemantauan juga memuat identifikasi kelemahan-

kelemahan, penyimpangan yang terjadi serta potensi atau daya dukung yang ada selama proses

pelaksanaan kebijakan tersebut.(6)

Namun yang menjadi permasalahan di sini adalah terkadang data yang disampaikan itu

tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kebanyakan program juga tidak terlalu

mempertimbangkan sasaran utama. Yang terpenting hanyalah program dapat berjalan.

Terkadang berkesan asal dibuat hanya untuk memenuhi panggilan saja. Untuk itu diharapkan

agar semua instansi (terutama yang bekerja untuk Schistosomiasis) agar dapat menyampaikan

laporan (data) yang valid agar BAPPEDA Khususnya Kabupaten Poso dapat mengukur

kemajuan program dan dapat menentukan langkah terbaik selanjutnya yang harus diambil untuk

mempercepat pencapaian eradikasi. Hal ini dianggap sebagai salah satu hambatan dalam

menentukan kebijakan-kebiakan program lanjutan termasuk program terkait Schistosomiasis.

Page 77: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

77

Permasalahan ini tidak berlaku untuk semua lintas sektor, melainkan 1 – 2 instansi saja.

Tetapi hal ini patut menjadi perhatian bersama agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang

berulang sebab akan berakibat jangka panjang terhadap pencapaian program. Anggaran instansi

ini untuk Schistosomiasis tahun 2019 mencapai angka sekitar Rp 800.000.000.000,-.

Dialokasikan ke semua instansi terkait yang sama –sama bekerja sesuai Roadmap Eradikasi.

Masing-masing OPD sebagian besar sudah melaksanakan programnya per Oktober 2019. Hanya

sebagain kecil saja yang belum rampung. Meskipun dapat terlaksana dengan baik di lapangan,

namun program-program ini masih belum mencapai target yang telah direncanakan. Salah satu

penyebabnya adalah OPD-OPD sering kali bekerja tidak sesuai dengan Roadmap.

5.2. Implementasi Bada Model

Keberhasilan pengendalian suatu penyakit tidak lepas dari peran berbagai elemen dari

stakeholder hingga masyarakat. China merupakan negara yang paling berhasil mengendalikan

Schistosomiasis dengan menggerakkan masyarakat. Hal ini terjadi karena dukungan dan peran

dari para pemimpin mulai dari yang paling rendah (Kepala Desa) sampai yang paling tinggi (saat

itu Mao Tsedong).7 Dalam pengendalian Schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada peran

pemerintah desa dioptimalkan dengan mengeluarkan Peraturan Desa tentang Penanggulangan

Demam Keong. Strategi mengubah perilaku masyarakat dengan menggunakan

kekuatan/kekuasaan dengan adanya peraturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat

terbukti cukup efektif. Meskipun baru diterapkan, Perdes tentang Penaggulangan Demam Keong

telah memberikan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan peran masyarakat

dalam menggunakan alat pelindung diri (APD), pengingkatan cakupan pengumpulan tinja,

pengandangan hewan ternak, dan pemanfaat jamban, serta partisipasi aktif dalam pembersihan

area fokus keong.

Penggunaan alat pelindung diri (APD) menjadi sasaran dalam peraturan desa ini. Hal ini,

karena Schistosomiasi merupakan penyakit yang penularannya terjadi di daerah yang berair,8

melaui hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis yang bersifat amfibious.7

Infeksi Schistosomiasis terjadi melalui serkaria Schistosoma japonicum yang menembus kulit

manusia dan atau mamalia.9 Hal inilah yang menyebabkan orang yang tidak menggunakan alat

pelindung diri (APD) seperti sepatu boot bisa terkena Schistosomiasis saat melintasi atau menuju

ke area fokus keong yang terinfeksi S. japonicum. Suatu studi terhadap para petani di Dataran

Page 78: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

78

Tinggi Lindu menunjukan bahwa sebagian besar responden yang tidak menderita

Schistosomiasis adalah mereka yang sering menggunakan sepatu boot.10

Hasil studi lain juga

menunjukan bahwa ada hubungan penggunaan APD dengan kejadian schistosomiasis.11

Hal lain yang diatur dalam Perdes adalah partisipasi masyarakat dalam mengumpulkan

tinja. Cakupan pemeriksaan tinja yang rendah akan menyebabkan data prevalensi tidak akurat

dan berfluktuatif. Di Dataran Tinggi Napu fluktusi prevalensi Schistosomiasis terjadi setiap

tahun, hal ini disebabkan oleh cakupan pemeriksaan tinja yang bervariasi.12

Selain itu cakupan

pemeriksaan tinja yang rendah akan menyebabkan masyarakat yang diduga menderita

Schistosomiasis tidak terjaring, sehingga akan menjadi sumber penularan.

Pengandangan hewan ternak juga menjadi sasaran dalam Perdes, karena mengingat salah

satu kesulitan dalam pengendalian Schistosomiasis adalah karena sifatnya yang zoonosis, yaitu

selain menginfeksi manusia juga bisa menginfeksi hewan terutama mamalia. Hewan pejamu

yang berperan sebagai reservoir cacing tersebut di antaranya rusa, sapi, kerbau, domba, babi,

anjing, tikus dan cecurut serta hewan pengerat lainnya.7,13

Pembatasan gerak hewan ternak

diharapkan dapat mengurangi tingkat infeksi Schistosoma japonicum pada mamalia. Suatu studi

menyatakan bahwa hewan ternak yang dipelihara secara ekstensif (bebas) memiliki

kecenderungan terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang dipelihara dengan sistem

intensif (dikandangkan).14

Hewan mamalia terutama sapi dan kerbau, meskipun derajat

infeksinya ringan, namun tinja yang dikeluarkan cukup besar sehingga total telur yang

dikeluarkan yang terinfeksi Schistosoma japonicum besar pula.14

Pengendalian keong perantara schistosomiasis Oncomelania hupensis lindoensis sangat

penting dilakukan, karena merupakan salah satu cara untuk pemutusan mata rantai penularan

schistosomiasis. Partisipasi masyarakat tentunya sangat dibutuhkan dalam pengendalian keong

perantara Schistosomiasis. Keberhasilan pengendalian fokus keong di China terjadi karena

keterlibatan masyarakat.7 Hal ini yang mendorong partisipasi masyarakat perlu diatur dalam

Perdes. Seperti telah disebutkan di atas bahwa keong perantara schistosomiasis (O. hupensis

lindoensis) besifat amphibious, sehingga keong tersebut tidak dapat hidup di daerah yang

tergenang air atau tanah yang kering. Dengan demikian, pemberantasan keong dapat dilakukan

dengan manajemen lingkungan.7

Pengendalian keong schistosomiasis harus mempertimbangkan sifat keong yang

amfibious dan jenis daerah tempat hidup keong. Cara pengendalian keong perantara

Page 79: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

79

schistosomiasis di Indonesia dapat dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Pengendalian secara

kimiawi menggunakan zat kimia untuk membunuh keong. Sedangkan pengendalian secara

mekanis dimaksudkan untuk mengubah habitat dengan melakukan antara lain penimbunan

habitat keong perantara, pengeringan/pembakaran habitat keong perantara. Pengendalian juga

dapat dilakukan dengan mengubah cara mengolah sawah, misalnya dengan intensifikasi

pertanian, memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun, perbaikan irigasi,

mekanisasi pertanian.9 Pembersihan area fokus keong menjadi sasaran dalam Perdes, hal ini

dilakukan mengingat keong perantara schistosomiasis merupakan keong yang tidak menyukai

area yang terbuka dan terkena sinar matahari langsung.12

Dampak dari penerapan perdes terlihat

dari berkurangnya jumlah fokus keong.

Perdes tentang Penaggulangan Demam Keong memberikan sanksi kepada masyarakat

yang tidak memiliki jamban. Buang air besar (BAB) sembarangan dapat meningkatkan

penularan Schistosomiasis. Perilaku BAB tidak pada jamban dapat menyebabkan terjadi

pencemaran tanah oleh telur cacing dan bila terkontaminasi dengan air maka telur dapat menetas

menjadi serkaria sehingga lokasi tersebut da pat menjadi sumber penularan.11

Hasil studi

menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermkana antara kejadian infeksi schistosomiasis

dengan penggunaan jamban.10,11

Hal lain yang menjadi perhatian dan sasaran sanksi dalam Perdes adalah partisipasi

masyarakat ikut dalam pengobatan baik perorangan maupun massal. Masih banyak masyarakat

yang tidak mengikuti program pengobatan dikhawatirkan dapat meningkatkan prevalensi

Schistosomiasis. Di beberapa negara endemis Schistosomiasis pengobatan merupakan metode

pemberantasan yang utama selain surveilans.7 Saat studi ini dilakukan pengaruh dari penerapan

Perdes belum terlihat, karena program pengobatan belum berjalan.

Implementasi bada model merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam

pengendalian schistosomiasis. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan mengingat penularan

schistosomiasis sangat kompleks. Salah satu keberhasilan riset implementasi dalam pengendalian

penyakit di negara lain adalah Proyek Lawa Model, yang berhasil menurunkan kasus

Ophistorchiasis di Khon Khaen, Thailand. Dalam proyek tersebut pemberdayaan masyarakat

dilakukan dalam berbagai bidang, terutama upaya sosialisasi yang mencakup semua lapis

masyarakat, baik anak sekolah, warga maupun tokoh masyarakat. Upaya sosialisasi Lawa Model

Page 80: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

80

dilakukan secara terus menerus dan di berbagai tempat yang bisa menjangkau masyarakat,

misalnya di sekolah, pasar, maupun acara adat atau pesta masyarakat.15

Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis melalui

imolementasi Bada Model adalah dengan pembentukan Tim Peda’. Tim tersebut merupakan

tranformasi dari kader schistosomiasis yang sebelumnya sudah terbentuk. Perbedaannya kader

memiliki tugas yang relatif terbatas hanya untuk membantu masyarakat dan pihak laboratorium

melakukan pengumpulan tinja, sementara Tim Peda’ memiliki tugas yang relatif lebih banyak, di

antaranya pengumpulan tinja, pendampingan tim mobasa, tim mepaturo, melakukan sensus

penduduk, pembersihan daerah fokus, survei tikus, membantu kegiatan penyemprotan daerah

fokus, surveilans keong untuk mendeteksi wilayah-wilayah yang diduga berpotensi terdapat

keong.

Pembentukan Tim Peda’ dalam rangka mendukung penanggulangan penyakit demam

keong di tengah masyarakat, khususnya Kecamatan Lore Barat relatif berjalan dengan baik

sesuai dengan beban tugas yang diberikan kepada mereka. Berdasarkan hasil wawancara dengan

sejumlah informan yang menjadi Tim Peda’ dan telah dikonfirmasi ke masyarakat menjelaskan

bahwa pelaksanaan tugas pendampingan yang dilakukan oleh tim tersebut kepada tim mobasa

(Tokoh Agama) dan guru-guru yang juga dimintai perlibatannya dalam penanggulangan penyakit

demam keong (Tim Mepaturo), berjalan dengan baik.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung Tim Peda’ senantiasa hadir pada saat ada

sosialiasi oleh tokoh agama di Gereja atau di rumah pada saat ibadah umum dan ibadah

kategorial bagi umat Nasrani. Begitu juga pada saat acara pengajian yang dilakukan umat Islam--

seperti pada masyarakat di Desa Kolori yang beragama Islam, Tim Peda’ ikut serta hadir

mendampingi. Hal yang sama juga dilakukan oleh guru-guru ketika melakukan sosilisasi

terhadap anak-anak sekolah di level SD dan SMP.

Mekanisme kerja kolaborasi yang dikembangkan oleh Tim Peda dalam proses

pembentukan kesadaran tentang pentingnya penanggulangan penyakit demam keong berdasarkan

pengamatan di lapangan relatif berjalan efektif. Selain mekanisme kolaboratif, Tim Peda’

beberapa desa mengembangkan mekanisme “testimoni” pada saat melakukan sosialisasi yakni

dengan cara meminta langsung anggota masyarakat yang pernah mengalami atau terindikasi

positif terinfeksi penyakit demam keong berdasarkan hasil pemeriksaan tinjanya. Mereka

diminta menceritakan pengalaman apa yang dirasakan pada saat mengalami penyakit tersebut.

Page 81: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

81

Untuk membuktikan efektivitas pendekatan testimoni dalam mendukung pembentukan

kesadaran penanggulangan penyakit demam keong, hal tersebut dicoba diterapkan pada beberapa

desa pada saat melakukan FGD (Focus Group Discussion). Salah seorang anggota FGD yang

sudah sembuh setelah meminum obat cacing khusus untuk pengobatan penyakit demam keong

diminta untuk menceritakan pengalamannya. Berikut adalah kutipannya:

“Sebelumnya saya tidak mengetahui kalu saya menderita penyakit demam keong. Saya

hanya pertama merasakan gatal pada badan saya dan muncul bercak merah. Saya

menduga itu hanya gatal biasa saja. Saya mengobatinya dengan ramuan namun tidak

ada perubahan. Bahkan semakin hari saya semakin merasakan keadaan tubuh saya

semakin lemas, tidak bersemangat, tidak ada gairah. Tidak ada nafsu makan, terasa

pusing. Saya meminum beberapa obat termasuk vitamin dan menggunakan obat

tradisional, tetap saja tidak berubah. Satu kesyukuran karena pada saat itu bertepatan

dengan pemeriksaan tinja. Saya ikut mengumpulkan tinja dan keluar hasil pemeriksaan

saya positif mengalami penyakit demam keong. Sekali lagi saya bersyukur karena masih

awal saya ketahuan positif menderita penyakit tersebut. melalui bantuan kader pada saat

itu, saya diberikan tindakan oleh pihak laboratorium schisto dengan memberikan obat.

Selang beberapa bulan kondisi tubuh saya perlahan mulai membaik, gairah makan sudah

membaik. Sampai saat ini saya merasakan manfaat yang sangat besar setelah minum

obat cacing. Andaikan tidak diketahui sejak awal saya barangkali sudah mati.”

Penyampaian pengalaman seperti ini secara psikologis sangat berpengaruh bagi

masyarakat yang lainnya untuk lebih waspada, mengingat pengalaman itu disampaikan langsung

oleh orang yang sehari-hari berinterksi dengan mereka, sehingga kondisi yang dialami oleh si

penutur secara psikologis seperti dialami langsung oleh yang lainnya, karena dipengaruhi oleh

perasaan empati.

Tugas lain yang dibebankan kepada Tim Peda adalah surveilans keong dengan cara

mencari keong di daerah yang potensial sebagai tempat hidup keong perantara schistosomiasis.

Ketika ada ditemukan keong yang dicurigai Tim Peda’ mengambil keong tersebut dan

selanjutnya dibawa ke Laboratorium Schistosimiasis untuk diperiksa oleh petugas laboratorium

yang telah ditugaskan.

Tugas lainnya bersama dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat mengajak

masyarakat di wilayahnya melakukan pembersihan daeah fokus keong. Proses pembersihannya

adalah dengan cara: 1. pembakaran yakni dengan cara membakar ranting dan daun-daun yang

ada di sekitar daerah fokus; 2. Pengeringan baik dengan cara mengalirkan air yang tergenang

ataupun dengan menimbun air yang tergenang; 3. Pembabatan/pemangkasan ranting-ranting di

pohon lebat yang menghalangi sinar matahari menyinari daerah fokus secara langsung.

Page 82: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

82

Tugas Tim Peda’ yang lain adalah pengumpulan tinja. Berdasarkan hasil wawancara Tim

Peda’ sudah menjalankan tugasnya membantu masyarakat dan pihak laboratorium membagikan

pot tempat sampel tinja kepada masyarakat dan mengumpulkan tinja untuk di bawa ke

labortorium untuk diperiksa. Informasi yang cukup bagus adalah karena desa yang dulunya

memiliki presentase pengumpulan tinja sangat rendah dibandingkan dengan yang lainnya, kini

mengalami peningkatan persentase. Namun demikian peningkatan ini tidak bisa dinilai sebagai

bentuk tunggal dari buah kerja sosialisasi. Faktor lain yang diduga cukup berkontribusi atas

peningkatan presentasi pengumpulan tinja adalah diterapkannya aturan berupa PERDES yang

memberikan sanksi berup denda membayar sejumlah uang kepada desa bagi mereka yang lalai

mengumpulkan tinjanya, khususnya pada saat pemeriksaan tinja secara massal. Selain itu

terbentuknya semangat masyarakat untuk mendukung desanya memenangkan lomba desa dalam

moment penanggulangan schistosimiasis yang dilakukan oleh Balai Litbang Kesehatan

Donggala.

Tim Peda’ berperan penting dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan daerah fokus

bersama masyarakat dan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis. Jumlah daerah

fokus keong di Lore Barat mengalami penurunan cukup signifikan setelah dilakukan

pemberantasan secara intensif, dengan pembersihan daerah fokus (Gema Beraksi) dan

dilanjutkan dengan penyemprotan keong dengan moluskisida. Jumlah daerah fokus di Desa

Tuare dan Desa Tomehipi menjadi nol (0) dari sebelumnya masing – masing delapan daerah

fokus, Desa Kageroa dari tiga menjadi nol, dan Desa Lengkeka dari lima daerah fokus

berkurang menjadi tiga daerah fokus. Kegiatan pembersihan dan penyemprotan yang intensif

berhasil menghilangkan keong perantara schistosomiasis, sehingga dapat memutus rantai

penularan schistosomiasis. Keberadaan keong O.hupensis lindoensis di daerah fokus beringin

Desa Lengkeka juga sudah semakin sulit ditemukan, karena di daerah tersebut rajin dibersihkan

dan disemprot dengan moluskisida.

Penularan schistosomiasis membutuhkan keong sebagai hospes perantara, di Indonesia

keong perantara schistosomiasis adalah keong Oncomelania hupensis lindoensis. Infeksi terjadi

melalui serkaria yang menembus kulit manusia dan atau mamalia.1 Cacing parasit ini mutlak

membutuhkan keong perantara untuk melangsungkan siklus hidupnya. Berdasarkan hal tersebut

pengendalian keong menjadi salah satu upaya penting dalam memutus rantai penularan

schistosomiasis. Berkurangnya jumlah keong perantara schistosomiasis akan mengurangi risiko

Page 83: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

83

manusia untuk tertular schistosomiasis, sehingga prevalensi juga dapat diturunkan. Berdasarkan

literatur dari penelitian pemberdayaan masyarakat lain, peran masyarakat dalam bentuk juru

malaria desa juga sangat besar dalam penemuan kasus malaria positif.16

Berdasarkan literatur, pelibatan dan pemberdayaan masyarakat merupakan strategi yang

ampuh dalam menentukan keberhasilan program penanggulangan penyakit, baik menular

maupun tidak menular.17

Beberapa intervensi masyarakat yang dilakukan melalui pemberdayaan

masyarakat di beberapa negara berpenghasilan menengah misalnya India dan Mongolia

menunjukkan hasil yang menjanjikan dari segi keberlangsungan atau sustainibilitas. Strategi

promosi kesehatan dengan pemberdayaan masyarakat mengharuskan partisipasi yang tinggi dari

sasaran sehingga memberikan dampak yang signifikan pada perubahan perilaku.18,19

Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan manajenem dan atau modifikasi

lingkungan. Manajemen lingkungan meliputi kegiatan perbaikan saluran air di daerah fokus,

pemarasan rumput di tepi saluran air yang bertujuan memperlancar aliran air. Aliran air yang

lancar dan deras dapat mengurangi potensi tempat tersebut sebagai fokus keong perantara

schistosomiasis.3,20

Manajemen lingkungan juga dilakukan dengan penanaman lahan yang kosong dengan

tanaman produksi, misalnya sayur mayur, cokelat dan kemiri. Kegiatan pengolahan lahan ini

adalah untuk mengurangi potensi lahan menjadi fokus keong perantara schistosomiasis. Apabila

lahan kosong dibiarkan, maka akan ditumbuhi rumput yang menyimpan air yang membuat lahan

tersebut lembab, becek karena rembesan air dan sangat cocok bagi perkembangbiakan keong

perantara schistosomiasis.3,20

Kegiatan pengendalian dengan modifikasi lingkungan dilakukan dengan mengubah

daerah yang tergenang menjadi kolam ikan yang produktif. Hal ini dilakukan berdasarkan sifat

biologi keong yang akan mati apabila tenggelam di dalam air. Dengan pembuatan kolam, maka

air yang terkumpul menjadi banyak dan dalam, sehingga keong perantara schistosomiasis akan

mati. Selain itu masyarakat juga dapat mengambil manfaat lain, yaitu adanya ikan sebagai

sumber protein hewani.3,20

Kegiatan modifikasi lingkungan yang lain adalah mengubah lahan kosong menjadi sawah

irigasi. Dengan adanya pola tanam yang teratur di sawah tersebut, akan mengurangi terjadinya

lahan kosong di daerah fokus. Modifikasi lingkungan ini diterapkan di daerah fokus Desa

Mekarsari, yaitu daerah fokus diubah menjadi sawah dan kebun sayur seperti kol dan daun

Page 84: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

84

bawang. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan mengubah cara mengolah sawah, misalnya

dengan intensifikasi pertanian, memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun,

perbaikan irigasi, mekanisasi pertanian.3,20

Pengendalian keong perantara schistosomiasis adalah satu dari banyak upaya

pengendalian schistosomiasis di daerah endemis. Berkurangnya jumlah keong perantara

schistosomiasis akan mengurangi risiko manusia untuk tertular schistosomiasis, sehingga

prevalensi juga dapat diturunkan. Meskipun penurunan pevalensi bukan hanya disebabkan

pengurangan jumlah fokus keong, akan tetapi faktor penurunan jumlah fokus memberikan

sumbangan yang besar dalam penurunan prevalensi schistosomiasis.

Kegiatan manajemen dan modifikasi lingkungan tidak dapat dilaksanakan oleh sektor

kesehatan saja, melainkan perlu keterlibatan aktif oleh berbagai lintas sektor. Peran lintas sektor

dalam pengendalian schistosomiasis sudah ditetapkan dengan SK Gubernur Sulawesi Tengah

Nomor: 443.2/201/DISKESDA-G.ST/2012 tentang Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis

Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2012-2016. Tim tersebut terdiri dari Dinas Kesehatan, Balai

Litbang P2B2 Donggala, Balitbang Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan, Dinas PU, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pendidikan dan Pengajaran,

Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, BPMPD, Badan Lingkungan Hidup, dan Balai Besar

Taman Nasional Lore Lindu.4 Peran lintas sektor dalam pengendalian saat ini sudah berjalan

akan tetapi kurang maksimal. Sektor kesehatan saat ini masih berperan sebagai leading sector

dalam pengendalian schistosomiasis.

Peningkatan kapasitas masyarakat melalui tokoh agama sebagai salah satu kegiatan dalam

implementasi Bada Model di dataran tinggi Bada. Pendekatan melalui peran tokoh agama

diharapkan dapat meningkat peran serta masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis. Tokoh

Agama disebut juga sebagai peminpin nonformal karena kemampuan dan karismatiknya, diikuti

banyak orang walaupun pemimpin terrsebut tidak memimpin sebagai organisasi, tetapi

kehadirannya ditengah masyarakat diakui sebagai orang yang berpengaruh 1. Bentuk peran serta

masyarakat yang diharapkan adalah kesadaran individual dalam menumbuhkan tanggung jawab

bersama dengan memberikan motivasi warga dalam meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja,

pengetahuan, sikap dan perilaku positif masyarakat dalam kaitan dengan schistosomiasis 2.

Masing-masing tim mobasa telah menyusun jadwal sosialisasi dan materi schistosomiasis.

Dalam pelaksanaannya, tokoh agama secara jujur mengemukakan keterbatasan mereka dalam

Page 85: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

85

memberikan sosialisasi yang belum maksimal, dari segi pemahaman mereka tentang penularan

dan cara pengendalian schistosomiasis. Tim Mobasa masih butuh pembelajaran untuk

memahami schistosomiasis. Penyampaian materi tentang schistosomiasis belum secara

menyeluruh pada kelompok-kelompok ibadah, masih secara umum tentang himbauan kumpul

tinja, pengobatan dan cara mencegah schistosomiasis.

Hasil post test menunjukkan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang

schistosomiasis. Keterlibatan tokoh agama memberikan hasil yang baik dalam upaya

peningkatan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis. Kegiatan sosialisasi tidak dapat

dilakukan secara terus menerus karena berbagai hambatan dalam pelaksanaan sosialisasi, seperti

kesibukan beberapa mobasa dalam kegiatan desa, urusan keluarga dan kegiatan keagamaan

lainnya.

Pemberian materi schistosomiasis pada anak sekolah melalui tim mepaturo merupakan

salah satu metode yang digunakan untuk mengeliminasi schistosomiasis. Pemberian materi

schistosomiasis pada siswa merupakan strategi yang mempusatkan peserta didik sebagai objek.

Proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik merupakan model pembelajaran dengan

melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran. Sehingga diharapkan siswa lebih aktif

dalam pembelajaran materi schistosomiasis.21

para siswa juga dibagikan lefleat atau brosur atau

buku bergambar yang berguna sebagai media pembelajaran. Pemberian media cetak diberikan

untuk memperkuat informasi yang disampaikan secara lisan oleh guru. dan media cetak ini

sangat berguna dalam pembelajaran karena disajikan lebih sistematik dan sederhana, memiliki

daya tarik dan perhatian bagi siswa karena diharapkan pemberian materi ini dapat menjadi

sumber informasi untuk teman sepermainan, keluarga dan juga masyarakat.22

Penggunaan metode dengan memberikan materi schistosomiasis pada anak sekolah

mengikuti ‘Lawa Project’ yang dilakukan di Thailand untuk pengendalian penyakit opisthorcis.

Lawa project yang salah satu kompenannya yaitu memasukkan materi mengenai opisthorcis ke

dalam kurikulum pendidikan anak sekolah dasar dan menengah pertama, sehingga siswa

mempunya pengetahuan mengenai sumber infeksi penyakit dan siswa dapat membagi informasi

serta sebagai pengingat kepada orangtua untuk tidak memakan ikan mentah yang menjadi

sumber penularan. Dengan menerapkan lawa project (pendekatan berbasis masyarakat), di

Thailand tingkat infeksi menurun hingga 50 % atau prevalensi hampir 1 % dibanding

sebelumnya 70 %.15

Hal yang sama pun terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yuan,

Page 86: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

86

Provinsi Hunan, China dimana adanya kolaborasi antara departeman kesehatan dan pendidikan

publik untuk memberikan pengajaran selama 2 jam dan pemberian bahan cetak untuk

meningkatkan pengetahuan anak didik mengenai schistosomiasis. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan adanya perubahan signifikan pada pengetahuan tentang schistosomiasis dan

pengobatan penyakit. 23

Pemberian materi schistosomiasis pada anak sekolah dasar dan menengah pertama di

Kecamatan Lore Barat memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah

diberikan. Peningkatan yang terjadi karena secara rutin siswa diberikan materi mengenai

schistosomiasis mulai dari pengenalan cacing tersebut hingga bagaimana cara penularan,

pencegahan, dan gejala yang terlihat, ditambah lagi cara pengajaran guru dan media pengajaran

yang baik sehingga siswa lebih mudah memahami materi. Seperti pada penelitian yang dilakukan

oleh eliana dkk, dimana terjadi peningkatan pengetahuan mengenai gizi pada murid yang

diberikan buku saku yang dibahasakan secara sederhana dan bergambar sehingga siswa lebih

tertarik serta memahami isi buku tersebut.22

Penurunan pengetahuan juga terjadi pada siswa SD Tomehipi. Kemungkinan penurunan

ini terjadi karena pada saat mengerjakan soal pretest para siswa hanya menebak-nebak jawaban

yang sesuai. Soal pretest yang diberikan dalam bentuk pilihan berganda. Hal ini juga terlihat

pada penelitian yang dilakukan oleh Oviliani, bahwa terjadi penurunan pengetahuan setelah

diberikan penyuluhan kepada murid SD dikarenakan murid kurang cerdas karena berasal dari

golongan sosial ekonomi rendah dan materi yang diberikan harus secara perlahan dan

disampaikan dengan menarik.

Page 87: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

87

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor terkait belum maksimal dari target roadmap

eliminasi schistosomiasis.

2. Kelebihan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor: semua lintas sektor yang

termasuk dalam roadmap sudah terlibat dan berperan dalam pengendalian schistosomiasis.

Kekurangan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor adalah lokasi pengendalian

yang belum tepat sasaran, schistosomiasis bukan prioritas di lintas sektor selain sektor

kesehatan sehingga anggaran terbatas.

3. Implementasi Bada Model dapat meningkatkan cakupan pengumpulan tinja manusia,

pengandangan hewan ternak mamalia, penurunan jumlah daerah fokus keong O.hupensis

lindoensis, dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis.

6.2. Saran

1. Diharapkan Bappeda ditingkat daerah untuk mengkoordinir anggaran dan koordinasi

pengendalian schistosomiasis bersama lintas sektor agar target capaian bisa lebih maksimal.

2. Evaluasi implementasi Bada Model agar bisa berkelanjutan dan bisa diterapkan di wilayah

Lindu dan Napu yang juga endemis schistosomiasis.

Page 88: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

88

7. DAFTAR PUSTAKA

1. Hadidjaja P. Schistosomiasis Di Indonesia. 1st ed. Jakarta: UI Press; 1985.

2. WHO. WHO | Schistosomiasis. World Health Organization; 2017.

3. Sudomo M. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan. Jakarta: Badan Litbang

Kesehatan; 2008.

4. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Schistosomiasis Sulawesi Tengah.;

2015.

5. Bappenas. Roadmap Eradikasi Schistosomiasis Di Indonesia 2018-2025.; 2017.

6. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Schistosomiasis Sulawesi Tengah

2012.; 2012.

7. Sudomo M, Pretty M. S. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Bul Penelit

Kesehat. 2007;35 No. I.

8. Tchuem Tchuentï LA, Rollinson D, Stothard JR, Molyneux D. Moving from control to

elimination of schistosomiasis in sub-Saharan Africa: Time to change and adapt strategies.

Infect Dis Poverty. 2017;6(1):1-14. doi:10.1186/s40249-017-0256-8

9. Nurwidayati A. Strategi pengendalian hospes perantara schistosomiasis. Spirakel.

2015;7(2):38-45.

10. Nurul R, Rau MJ, Anggraini L. Analisis Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis Di Desa

Puroo Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Tahun 2014. J Prev. 2016;7(1):1-12.

11. Rosmini, Jastal, Ningsi. Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis Di Dataran Tinggi Bada

Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Vektora. 2016;8(1):1-6.

12. Rosmini, Soeyoko, Sumarni S. Penularan Schistosomiasis di Desa Dodolo dan Mekarsari

Dataran Tinggi Napu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehat. 2010;XX(3):113-117.

13. Nurjana MA, Samarang. INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES

RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU , KABUPATEN POSO ,

SULAWESI TENGAH TAHUN 2012. Media Litbang Kesehat. 2013;23(3):137-142.

14. Budiono NG, Satrija F, Ridwan Y, Nur D. Trematodosis pada Sapi dan Kerbau di Wilayah

Endemik Schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah , Indonesia ( Trematodoses in

Cattle and Buffalo Around Schistosomiasis Endemic Areas in Central Sulawesi Province

of Indonesia ). J Ilmu Pertan Indones. 2018;23(2):112-126. doi:10.18343/jipi.23.2.112

15. Sripa B, Tangkawattana S, Laha T, et al. Toward integrated opisthorchiasis control in

northeast Thailand: The Lawa project. Acta Trop. 2015;141(Part B):361-367.

doi:10.1016/j.actatropica.2014.07.017

16. Zubaidah IL. Hubungan Antara Pelaksanaan Tugas Juru Malaria Desa (JMD ) dengan

Page 89: EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS …...Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia,

89

Penemuan Kasus Malaria Positif di Kabupaten Banjarnegara. 2015.

17. Trisnowati H. Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencegahan Faktor Risiko Penyakit Tidak

Menular (Studi Pada Pedesaan Di Yogyakarta). Media Kesehat Masy Indones.

2018;14(1):17. doi:10.30597/mkmi.v14i1.3710

18. Krishnan A, Ekowati R, Baridalyne N, Kusumawardani N, Kapoor SK, Leowski J.

Evaluation of community-based interventions for non-communicable diseases:

experiences from India and Indonesia. doi:10.1093/heapro/daq067

19. Salwa M, Atiqul Haque M, Khalequzzaman M, Al Mamun MA, Bhuiyan MR, Choudhury

SR. Towards reducing behavioral risk factors of non-communicable diseases among

adolescents: protocol for a school-based health education program in Bangladesh. BMC

Public Health. 2019;19(1):1-9. doi:10.1186/s12889-019-7229-8

20. Badan Litbangkes. Kajian Penyakit Menular Utama dan Neglected. 2013;(11).

21. Hidayati F, Sudarnika E, Latif H, et al. Intervensi Penyuluhan dengan Metode Ceramah

dan Buzz untuk Peningkatkan Pengetahuan dan Sikap Kader Posyandu dalam

Pengendalian Rabies di Kabupaten Sukabumi. J Penyul. 2019;15(1):65-74.

22. Eliana D, Solikhah. PENGARUH BUKU SAKU GIZI TERHADAP TINGKAT

PENGETAHUAN GIZI PADA ANAK KELAS 5 MUHAMMADIYAH DADAPAN

DESA WONOKERTO KECAMATAN TURI KABUPATEN SLEMAN

YOGYAKARTA. Kes Mas. 2012;6(2):162-232.

23. Yuan L, Manderson L, Ren M, Li G, Yu D, Fang J. School-based interventions to enhance

knowledge and improve case management of schistosomiasis : a case study from Hunan ,

China. Acta Trop. 2005;96:248-254. doi:10.1016/j.actatropica.2005.07.019