evaluasi dan penatalaksanaan bedah empiema toraks

13
Evaluasi dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV Pendahuluan Infeksi pada rongga pleura merupakan salah satu penyakit tertua dan seringkali sulit untuk diobati. Drainase rongga pleura pertama kali dilakukan oleh Hippocrates sekitar 2000 tahun yang lalu untuk mengobati empiema. Selama masa pandemic influenza tahun 1917-1919, drainase pleura tertutup banyak digunakan dalam terapi empiema post-pneumonia. Pengenalan dini sangat penting dalam penatalaksanaan empiema, karena meskipun sudah mendapatkan terapi yang sesuai, mortalitas pasien dengan empiema masih tetap berksar antara 15-20% dan bahkan lebih tinggi pada pasien dengan gangguan imunitas. 1 Definisi empiema adalah adanya pus / nanah di rongga pleura. 1, 2 Kelainan ini dapat menyerang semua kelompok usia, tanpa memandang jenis kelamin maupun ras tertentu. Insiden empiema di berbagai belahan dunia dilaporkan meningkat, seiring dengan meningkatnya angka penderita HIV/AIDS dan penggunaan obat- obat imunosupresan serta resipien transplantasi organ. Empiema juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari trauma toraks dan tindakan pembedahan (cth: reseksi paru, reseksi esophagus). 1 Light memperkenalkan klasifikasi efusi parapneumonik pada tahun 1995, berdasarkan parameter klinis, radiologis, laboratorium dan penatalaksanaannya (Tabel 1). 3 Yang termasuk

Upload: muhammad-arsyad

Post on 26-Nov-2015

382 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

Evaluasi dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV

Pendahuluan

Infeksi pada rongga pleura merupakan salah satu penyakit tertua dan seringkali sulit

untuk diobati. Drainase rongga pleura pertama kali dilakukan oleh Hippocrates sekitar 2000

tahun yang lalu untuk mengobati empiema. Selama masa pandemic influenza tahun 1917-1919,

drainase pleura tertutup banyak digunakan dalam terapi empiema post-pneumonia. Pengenalan

dini sangat penting dalam penatalaksanaan empiema, karena meskipun sudah mendapatkan

terapi yang sesuai, mortalitas pasien dengan empiema masih tetap berksar antara 15-20% dan

bahkan lebih tinggi pada pasien dengan gangguan imunitas.1

Definisi empiema adalah adanya pus / nanah di rongga pleura.1, 2 Kelainan ini dapat

menyerang semua kelompok usia, tanpa memandang jenis kelamin maupun ras tertentu. Insiden

empiema di berbagai belahan dunia dilaporkan meningkat, seiring dengan meningkatnya angka

penderita HIV/AIDS dan penggunaan obat-obat imunosupresan serta resipien transplantasi

organ. Empiema juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari trauma toraks dan tindakan

pembedahan (cth: reseksi paru, reseksi esophagus).1

Light memperkenalkan klasifikasi efusi parapneumonik pada tahun 1995, berdasarkan

parameter klinis, radiologis, laboratorium dan penatalaksanaannya (Tabel 1).3 Yang termasuk

dalam pembahasan ini adalah empiema toraks sesuai kelas IV – VII menurut klasifikasi Light.

Klasifikasi lain membagi empiema berdasarkan etiologinya, yaitu empiema primer dan empiema

sekunder. Empiema sekunder dapat terjadi pasca reseksi paru (dengan atau tanpa fistula

bronkopleura), pasca pembedahan lain, dan pasca trauma.2

Etiologi dan Patofisiologi

Mikroorganisme penyebab empiema tidak selalu dapat diidentifikasi. Prevalensi pus yang

dari rongga toraks yang ternyata steril pada pemeriksaan mikrobiologi berkisar antara 47-56%.2

Apabila berhasil diisolasi, jenis mikroorganismenya pun berbeda-beda antara satu pusat

kesehatan dengan pusat kesehatan lainnya. Karena itu data pola mikroorganisme di suatu pusat

Page 2: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

kesehatan mutlak diperlukan sebagai bagian dari tatalaksana empiema yang paripurna.

Umumnya, mikroorganisme famili Streptococcus mendominasi temuan pada empiema toraks.1

Tabel 1. Klasifikasi Light3

Kelas Nama Kriteria

I Efusi parapneumonik non signifikan Ukuran kecil, tebal < 10 mm Tidak memerlukan torakosintesis

II Efusi parapneumonik tipikal Tebal > 10 mmGlukosa > 40 mg/dL, pH > 7,20Pulasan Gram dan kultur negatifAntibiotik saja

III Efusi parapneumonik perbatasan dengan komplikasi 7,00 < pH < 7,20 dan/atauLDH > 1000 dan Glukosa > 40 mg/dLPulasan Gram dan kultur negativeAntibiotik + Torakosintesis serial

IV Efusi parapneumonik simple dengan komplikasi pH < 7,00 dan/atau Glukosa < 40 mg/dLPewarnaan Gram dan kultur positif Tidak ada lokulasi dan pus nyataWSD + Antibiotik

V Efusi parapneumonik kompleks dengan komplikasi pH < 7,00 dan/atau Glukosa < 40 mg/dLPewarnaan Gram dan kultur positif MultilokulasiWSD + Trombolitik

VI Empiema simple Pus nyata terlihatSatu lokulasi atau “free flowing”WSD +/- Dekortikasi

VII Empiema kompleks Pus nyata terlihatMultilokulasi WSD + TrombolitikTorakoskopi atau dekortikasi

Terjadinya empiema yang berawal dari infeksi parapneumonik atau proses iatrogenik

dapat diterangkan sebagai berikut. Infeksi parenkim paru merangsang aktivasi proses imun lokal

di pleura, antara lain migrasi netrofil, pelepasan sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-8 dan

TNF-a. Mediator-mediator ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel-sel mesotel yang

berperan dalam peningkatan akumulasi cairan di rongga pleura. Dengan inflamasi yang terus

menerus, disertai peningkatan permeabilitas kapiler dan mesotel, terjadilah ekstravasasi plasma

ke dalam rongga pleura. Aktivasi dari cascade koagulasi dalam rongga pleura inilah yang

menyebabkan terjadinya efusi parapneumonik dengan komplikasi atau ‘fibropurulen” yang

Page 3: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

ditandai oleh penumpukan fibrin pada kedua permukaan pleura dan multilokulasi akibat adanya

septa-septa fibrin.1

Diagnosis

Kriteria diagnostic empiema toraks, terlepas dari etiologi dan kuman penyebabnya,

adalah jika ditemukan2:

1. Pus yang nyata terlihat pada torakosintesis atau terdeteksinya mikroorganisme (Gram

atau kultur), atau uji-uji lain positif untuk:

2. pH < 7,20, glukosai < 40 mg/dL, LDH > 1000 IU/ml, protein > 3g/ml dan leukosit >

15000 sel/mm3.

3. Tanda klinis, radiologis dan laboratorium sesuai dengan gambaran klinis empiema

Pemeriksaan Klinis

Dalam anamnesis pasien-pasien dengan kecurigaan empiema, harus ditanyakan mengenai

riwayat infeksi paru yang mungkin terjadi, lengkap dengan pengobatan yang sudah pernah

dijalani. Selain itu, riwayat trauma maupun pembedahan juga tidak boleh luput dari kajian

anamnesis.

Pemeriksaan fisik yang menonjol adalah demam, nyeri pleuritik terlokalisasi, batuk

berdahak dan leukositosis. Selain itu perlu diwaspadai juga tanda-tanda sistemik seperti

penurunan berat badan disertai hilangnya nafsu makan, terutama bila pasien tersebut diduga

menderita tuberculosis.

Pemeriksaan Radiologis

Semua pasien dengan gejala pneumonia atau yang tidak berespon terhadap terapi

antibiotika dan/atau yang memiliki opasitas di proyeksi pleura pada foto polos toraks AP, perlu

menjalani pemeriksaan radiologi lanjutan. Foto polos toraks lateral sangat bermanfaat pada

empiema toraks dengan memperlihatkan sudut kostofrnikus posterior yang tumpul atau tidak

terlihatnya hemidiafragma.1

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat memperlihatkan lokulasi dan septasi, di

samping itu juga meningkatkan angka keberhasilan torakosintesis pada kasus tersebut. Pasien-

pasien dengan septasi yang nyata terlihat pada USG memiliki prognosis yang lebih buruk, angka

perawatan ICU dan mortalitas yang lebih tinggi.1

Page 4: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

CT-scan dada menyediakan informasi yang lengkap mengenai kondisi infiltrate parenkim

paru, keberadaan abses paru dan posisi drain toraks, walaupun kadangkala pemeriksaan ini juga

tidak mampu memprediksi fase empiema yang sedang terjadi, akibatnya tidak cukup informatif

untuk memperkirakan tingkat kesulitan dari tindakan operasi yang akan dikerjakan, berkaitan

dengan kondisi organ dan berat-ringannya perlekatan yang sudah terjadi.1

Pemeriksaan Laboratorium

Analisa cairan pleura yang didapatkan dari torakosintesis atau produksi WSD sangat

penting untuk dikerjakan. Aktivitas fagositosis netrofil dengan produksi protease dan lisis

dinding sel, menyebabkan turunnya pH cairan pleura, disertai turunnya kadar glukosa.

Peningkatan sel-sel inflamasi dalam rongga pleura menyebabkan kadar lactate dehydrogenase

(LDH) ikut meningkat, bahkan kadangkala sampai tiga kali nilai normal.

Terapi

Prinsip penatalaksanaan empiema adalah1, 2:

1. Evakuasi pus

2. Obliterasi rongga empiema dan pengembangan paru

3. Eradikasi kuman

Ketiga hal tersebut seling terkait. Kontrol infeksi dengan melakukan eradikasi kuman

tidak akan serta merta tercapai tanpa menghilangkan “dead space” dalam rongga pleura. Tujuan

tersebut dicapai dengan kombinasi dari beragam metode mulai terapi medikamentosa, drainase

tertutup, fibrinolitik, dan pembedahan.

Drainase tertutup

Evakuasi pus dilakukan dengan torakosintesis atau bila perlu menggunakan drain toraks

yang disambung ke sistem WSD (lihat klasifikasi Light). Pada kasus-kasus empiema yang sudah

mengalami multilokulasi, dapat dipasang beberapa drain sekaligus, yang pemasangannya

difasilitasi dengan bantuan USG.2 Penggunaan kateter drainase berukuran kecil sering menjadi

masalah karena akan mudah tersumbat, meskipun dari segi kenyamanan pasien jauh lebih baik.

Untuk menyiasati hal tersebut, dapat diupayakan irigasi rongga pleura, baik dengan metode

siklik maupun irigasi kontinu (menggunakan 2 atau lebih drain).1

Antibiotika

Page 5: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

Segera setelah pus berhasil dievakuasi, antibiotika spectrum luas harus segera diberikan.

Pilihan jenis antibiotika disesuaikan dengan pola kuman di pusat kesehatan setempat .

Rekomendasi British Thoracic Society menganjurkan penggunaan kombinasi cefuroxime dan

metronidazole atau co-amoxiclav ditambah meropenem untuk kasus-kasus yang hospital based.1

Fibrinolitik

Adanya septa-septa seringkali menghambat evakuasi pus dari rongga pleura, sehingga

memperpanjang lama waktu perawatan dan penggunaan drain toraks, bahkan juga meningkatkan

angka pembedahan. Untuk mengatasi masalah ini, dapat diberikan terapi fibrinolitik yang

bertujuan untuk meningkatkan drainase rongga pleura tersebut. Namun demikian, walaupun

penggunaan streptokinase atau urokinase bermanfaat untuk meningkatkan volume drainase,

namun secara keseluruhan tidak memperbaiki hasil akhir pada pasien. Uji pada binatang

menunjukkan bahwa streptokinase justru merangsang akumulasi cairan, bahkan pada rongga

pleura yang normal, sehingga menjelaskan terjadinya peningkatan produksi pleura yang dramatis

setelah instilasi fibronolitik. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian fibrinolitik

intrapleura tidak menurunkan mortalitas dan perlunya tindakan bedah pada empiema toraks.1, 2

Pembedahan

Pembedahan seyogyanya tidak dijadikan sebagai terapi pamungkas, sehingga hanya

dikerjakan setelah terapi yang lain mengalami kegagalan. Keputusan untuk melakukan intervensi

bedah justru harus dibuat sedini mungkin, karena akan berpengaruh pada hasil akhir dan

prognosis pasien tersebut.2 Pembedahan yang “terlambat” dikerjakan, yaitu setelah perlekatan

intrapleura menjadi hebat, dan fungsi paru menjadi sangat menurun, akan berujung pada

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Pasien yang gagal mengalami kemajuan setelah pengobatan antibiotik dan drainase

tertutup, serta terus mengalami gejala infeksi seperti demam dan leukositosis, merupakan

kandidat kuat untuk menjalani pembedahan.2

Jenis pembedahan yang dikerjakan pada empiema antara lain dekortikasi (dengan

torakotomi maupun torakoskopi / VATS), torakoplasti, maupun torakostomi open window.

Pilihan jenis pembedahan dilakukan berdasarkan stadium klinis, kondisi pasien, fasilias kamar

operasi dan kebiasaan ahli bedah.

Page 6: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

Dekortikasi

Dekortikasi dikerjakan apabila parenkim paru tidak mampu mengembang (trapped lung)

oleh karena adanya lapisan radang tebal (pleural peel) pada pasien yang dapat mentoleransi

pembedahan mayor. Metode ini amat bergantung pada elastisitas paru untuk mengisi rongga

pleura, dengan membebaskan parenkim dari pleural peel yang menekannya. Jika empiema sudah

berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan demikian sudah berada pada stadium III, operasi ini

hanya boleh dikerjakan pada pasien yang dapat mentoleransi tindakan mayor. Mortalitas pasca

dekortikasi beriksar antara 1,3 – 6,6%.2

Pasien dengan empiema stadium III mengalami penurunan perfusi paru 20-25% pada sisi

yang terkena. Dekortikasi dapat memperbaiki hal ini, dan meningkatkan kapasitas vital paru dari

62% menjadi 80% serta FEV1 dari 50% menjadi 69%.2 Namun demikian, karena kerusakan

paru yang sudah terjadi, fungsi paru yang terkena tetap tidak membaik, meskipun parameter-

paremeter tersebut diatas mengalami peningkatan. Oleh karenanya, pada pasien dengan infeksi

parapneumponik lama dan/atau penderita tuberculosis, hasil akhir dekortikasi seringkali sulit

diramalkan. Pada pasien yang jelas memiliki gejala, dekortikasi akan memberikan hasil yang

baik, namun perbaikan yang signifikan mungkin tidak akan tampak pada pasien yang

asimtomatik.

Selain dari pendekatan bedah terbuka, dekortikasi dapat pula dikerjakan dengan bantuan

torakoskopi (VATS), tentu saja dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari segi teknis

pembedahan.2, 4, 5 Angka keberhasilannya 68-93% dengan angka konversi ke bedah terbuka 5-8%

pada stadium I, dan meningkat menjadi 10-25% pada stadium II.2 Pasien dengan riwayat

perjalanan penyakit kurang dari 4 minggu memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami

perbaikan klinis hanya dengan VATS saja, sementara yang lebih dari 5 minggu biasanya

memerlukan dekortikasi dengan pembedahan terbuka.2, 4 Kelebihan dari VATS dibanding

pembedahan terbuka adalah dalam hal kenyamanan pasien dan nyeri yang lebih ringan.2, 5

Sebagai alternatif dari VATS, dapat dilakukan pembedahan terbuka dengan torakotomi

muscle sparring (aksilaris) yang agresivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan pembedahan

konvensional metode Fowler-Delorme. Kemungkinan terjadinya fistula bronkopleural maupun

pleurokutaneus juga semakin mengurangi agresivitas dalam hal reseksi paru parenchyma

sparring sampai 10,1% kasus.2

Page 7: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

Torakoplasti

Terapi kolaps, dengan melakukan remodeling dinding osteomuskular rongga toraks

dengan tujuan mengendalikan proses inflamasi, merupakan salah satu terapi efektif pertama

dalam bidang bedah toraks.2 Di masa kini, terapi ini digunakan untuk “mengisi” rongga yang

semula diisi oleh empiema, baik dengan menghilangkan jarak antara parenkim paru

(mengkolapskan atap rongga dada) dan/atau mentransposisikan jaringan hidup (cth: otot,

omentum) untuk mengisi rongga tersebut.2, 6 Selain berfungsi sebagai bahan untuk mengisi

rongga empiema, otot atau omentum yang ditransposisikan tersebut dapat pula bermanfaat untuk

“memperkuat” stump bronkus dalam mencegah atau mengobati fistula bronkopleura atau

esofagopleura. Otot yang dapat dipergunakan antara lain adalah m. Latissimus dorsi, m.

Trapezius, m. Rhomboid dan m. Serratus anterior.6

Tindakan ini dapat dikerjakan secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan metode

terapi bedah yang lain. Untuk menghindari morbiditas jangka panjang, seperti skoliosis dan

deformitas lain, diperlukan perencanaan yang matang dan teknik pembedahan yang baik dalam

melakukan torakoplasti.2

Open Window

Pada keadaan dimana torakoplasti tidak mungkin dikerjakan, sedangkan drainase dengan

atau tanpa dekortikasi tidak mampu mengontrol penyakit, dapat dikerjakan torakostomi open

window.2 Torakostomi, dengan melakukan marsupialisasi rongga empiema melalui reseksi iga

dan drainase terbuka, dapat merupakan terapi definitif maupun terapi antara sebelum dilakukan

torakoplasti. Tindakan ini merupakan pilihan utama pada kasus dimana terjadi “supply”

mikroorganisme terus menerus ke dalam rongga empiema, seperti yang terjadi pada fistula

bronkopleura. Kegagalan torakoplasti berhubungan dengan keganasan, fungsi yang buruk dan

infeksi lokal yang terus menerus dan tidak dapat dikendalikan.2

Indikasi utama dari tindakan ini adalah empiema pasca operasi, biasanya disertai fistula

bronkopleura, dan jarang dikerjakan pada kasus parapneumonik dan pasca trauma. Dikenal

beberapa macam metode antara lain Elloesser, Clagett, dan Weder.2

Page 8: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

Rangkuman

Penatalaksanaan pleura yang paripurna memerlukan kajian yang mendalam mengenai

riwayat penyakit, stadium klinis dan kondisi fisik pasien. Tiga prinsip yang harus diperhatikan

adalah evakuasi pus, eradikasi mikroorganisme dan obliterasi rongga empiema. Pilihan metode

terapi saat ini cukup beragam, disesuaikan dengan kebutuhan pasien, fasilitas yang tersedia serta

kemampuan dan kebiasaan ahli bedah yang mengerjakannya.

Page 9: Evaluasi Dan Penatalaksanaan Bedah Empiema Toraks

Prognosis

1. Brims, F., et al., Empyema thoracis: new insights into an old disease. Eur Respir Rev, 2010. 19(117): p. 220-8.

2. Molnar, T., Current surgical treatment of thoracic empyema in adults. Eur J Cardiothoracic Surg 2007. 32: p. 422-30.

3. Light, R., A new classification of parapneumonic effusions and empyema. Chest, 1995. 108: p. 299-301.

4. Yamaguchi, M., et al., VATS for fibropurulent thoracic empyema. Ann Thorac Cardiovasc Surg 2009. 15: p. 368-72.

5. Chen, D., et al., Surgical treatment of empyema thoracic: is VATS better than thoracotomy. Ann Thorac Surg, 2007. 84: p. 225-31.

6. Krassas, A., et al., Current indications and results for thoracoplasty and intrathoracic muscle transposition. Eur J Cardiothoracic Surg, 2010. 37: p. 1215-20.