eutanasia
DESCRIPTION
for freeTRANSCRIPT
Euthanasia
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai
euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan
segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan
kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh
atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri
hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan
bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena
masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu
gugat oleh manusia.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana
luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal.
Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis
tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk
mengusahakan obat atau tindakan medis.
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan
pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah
penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan
memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya
yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan
secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan
dan tindakan medis di rumah sakit.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang
lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis
pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 : 44). Sementara itu menurut
Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu
kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan
hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia
(euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya
tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang
diakibatkannya). Non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien,
mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang
berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan
permintaannya). Involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada
pasien tanpa persetujuannya). Konstruksi Yuridis Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat
di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih- lebih di tengah kebingungan kultural
karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan,
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka
munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang
muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk
istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama
untuk istrinya, Siti Zulaeha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara
konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis
formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah
pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal
338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan
sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga
mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya
bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang
profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan
dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi
dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan:
1. Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin
akan sembuh lagi (euthanasia)
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti :
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Allah di bibir
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan
memberikan obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri
dan keluarganya
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah
Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, Mengakhiri hidup, mempercepat
kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien, Pasien menderita suatu penyakit
yang sulit untuk disembuhkan, Atas permintaan pasien dan keluarganya, Demi
kepentingan pasien dan keluarganya.
Euthanasia Dalam Perspektif Medis
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan
seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini sering kali membuat para dokter
dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan
jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika
dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka
kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan
tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam
tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan
ini dilakukan oleh kalangan medis.
Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan
euthanasia
negatif. Berikut adalah contoh-contoh tersebut:
Seseorang yang sedang menderita kanker ganas atau sakit yang mematikan, yang
sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya
sekaligus
Seperti yang dialami oleh Nyonya Agian (istri hasan) yang mengalami koma selama
tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia
akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan.
Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti
memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan
bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai
"orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat
pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh
medis. Berbeda dengan euthanasia negatif yang dalam proses tersebut tidak dilakukan
tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya
sebagai berikut:
Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada
otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan
penyakit paru- paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk
diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang
belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan
(tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit
otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk
euthanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit
seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif (euthanasia negatif) itu mencegah perpanjangan
penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai
sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia
termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana(KUHP). Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika
tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini
juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia
harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar
euthanasia bisa dilakukan.