etiologi maloklusi

11
ETIOLOGI MALOKLUSI Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuhkembangan disebabkan faktor-faktor tertentu. Secara garis besar etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena adanya berbagai faktor(multifaktor) yang memengaruhi pertumbuhkembangan. Faktor Herediter Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukkan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan sama. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40% variasi dental dan fasial dipengaruhi faktor herediter sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skelet kraniofasial sangat dipengaruhi faktor herediter sedangkan pengaruh herediter terhadap gigi rendah. Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1) disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai, 2)

Upload: nerva-anaa

Post on 01-Dec-2015

340 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: ETIOLOGI MALOKLUSI

ETIOLOGI MALOKLUSI

Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuhkembangan disebabkan faktor-faktor

tertentu. Secara garis besar etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat digolongkan dalam

faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan

secara tepat etiologinya karena adanya berbagai faktor(multifaktor) yang memengaruhi

pertumbuhkembangan.

Faktor Herediter

Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran

rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukkan relasi yang sama. Pada populasi

modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitif sehingga diduga karena

adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik

untuk mempelajari pengaruh herediter adalah dengan mempelajari anak kembar monozigot yang

hidup pada lingkungan sama. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40% variasi dental dan

fasial dipengaruhi faktor herediter sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter

skelet kraniofasial sangat dipengaruhi faktor herediter sedangkan pengaruh herediter terhadap

gigi rendah.

Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1) disproporsi ukuran gigi dan

ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa

diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai, 2) disproporsi ukuran, posisi dan

bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis.

Dimensi kraniofasial, ukuran dan jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan

dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang

paling tinggi adalah mandibula yang prognatik, mukia yang panjang serta adanya deformitas

muka.

Menurut Mossey (1999) berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah: 1)

ukuran maksila dan mandibula termasuk ramus dan korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi

relasi maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3) jumlah, ukuran dan

morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir, lidah, dan pipi). Kelainan pada

komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi.

Page 2: ETIOLOGI MALOKLUSI

Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor herediter adalah kasus

tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun sayangnya sukar

untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor herediter pada maloklusi tersebut.

Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu menerangkan penyebab

etiologi herediter dengan lebih tepat.

Kelainan Gigi

Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter ialah kekurangan jumlah gigi

(hiodontia), kelebihan jumlah gigi (hiperdontia), misalnya adanya mesiodens, bentuk gigi yang

khas misalnya karabeli pada molar, kaninus yang impaksi di palatal, transposisi gigi misalnya

kaninus yang terletak diantara premolar pertama dan kedua.

Kekurangan jumlah Gigi

Kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada pembentukan gigi atau agenesis gigi. Anadontia

adalah suatu keadaan tidak terbentuk gigi sama sekali, untungnya frekuensinya sangat jarang dan

biasanya merupakan bagian Dario sindrom dysplasia ektodermal. Bentuk gsnggusn pertumbuhan

yang tidak separah anadontia adalah hipodontia, yaitu suatu keadaan beberapa gigi mengalami

agenesis (sampai dengan 4 gigi), sedangkan oligodontia adalah gigi yang tidak terbentuk lebih

dari empat gigi. Sebagai panduan dapat dikatakan apabila gigi sulung agenesis maka gigi

permanennya agenesis. Gigi yang agenesis biasanya adalah gigi sejenis tetapi yang letaknya

lebih distal sehingga dapat dipahami bahwa yang sering agenesis adalah molar ketiga, premolar

kedua dan insisivi lateral.

Kelebihan Jumlah Gigi

Yang paling sering ditemukan adalah gigi kelebihan yang terletak di garis median rahang atas

yang biasa disebut mesiodens. Jenis gigi kelebihan lainnya adalah yang terletak di sekitar insisivi

lateral sehingga ada yang menyebut laterodens, premolar tambahan bisa sampai dua premolar

Page 3: ETIOLOGI MALOKLUSI

tambahan pada satu sisi sehingga pasien mempunya 4 premolar pada satu sisi. Adanya gigi-gigi

kelebihan dapat menghalangi terjadinya oklusi normal.

Disharmoni Dentomaksiler

Disharmoni dentomaksiler ialah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan rahang dalam

lengkung geligi. Menurut Anggraini (1957) etiologi disharmoni dentomaksiler adalah faktor

herediter. Karena tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi maka keadaan klinis

yang dapat dilihat adalah adanya lengkung geligi dengan diastema yang menyeluruh pada

lengkung geligi bila gigi-gigi kecil dan lengkung geligi normal, meskipun hal ini jarang

dijumpai. Keadaan yangs erring dijumpai adalah gigi-gigi yang besar pada lengkung geligi yang

normal atau gigi-gigi yang normal pada lengkung geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak

gigi berdesakan. Meskipun pada disharmonie dentomaksiler didapatkan gigi-gigi berdesakan

tetapi tidak semua gigi-gigi yang berdesakan disebabkan karena disharmoni dentomaksiler.

Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda klinis yang khas. Gambaran maloklusi

seperti ini bisa terjadi di rahang atas maupun di rahang bawah.

Tanda-tanda klinis suatu harmoni dentomaksiler di region anterior yang mudah diamati antara

lain sebagai berikut:

Tidak ada diastema fisiologis pada fase geligi sulung yang secara umum dapat dikatakan

bahwa bila pada fase geligi sulung tidak ada diastema fisiologis dapat diduga bahwa

kemungkinan besar akan terjadi gigi berdesakan bila gigi-gigi permanen telah erupsi.

Pada saat insisivi sentral permanen akan erupsi, gigi ini meresorpsi akar insisivi sentral

sulung dan insisivi lateral sulung secara bersamaan sehingga insisivi lateral sulung

tanggal premature.

Insisivi sentral permanen tumbuh dalam posisi normal oleh karena mendapat tempat

yang cukup. Bila letak insisivi sentral permanen tidak normal berarti penyebabnya bukan

disharmoni dentomaksiler murni tetapi ada penyebab lain.

Pada saat insisivi lateral permanen akan erupsi dapat terjadi dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama insisivi lateral permanen meresorpsi akar kaninus sulng sehingga

kaninus sulung tanggal premature dan insisivi lateral permanen tumbuh dalam letak yang

normal karena tempatnya cukup. Selanjutnya kaninus permanen akan tumbuh diluar

Page 4: ETIOLOGI MALOKLUSI

lengkung geligi (biasanya di bukal) karena tidak mendapat cukup tempat yang sebagian

telah ditempati insisivi lateral permanen. Pada kasus dengan kekurangan tempat yang

besar sisi distal insisivi lateral permanen berkontak dengan sisi mesial molar pertama

sulung.

Kemungkina kedua adalah insisivi lateral permanen tidak meresorpsi akar kaninus

sulung tetapi tumbuh di palatal sesuai dengan letak benihnya. Selanjutnya kaninus

permanen tumbuh normal pada tempatnya karena mendapatkan tempat yang cukup.

Faktor Lokal

Gigi sulung tanggal premature

Gigi sulung yang tanggal premature dapat berdampak pada susunan gigi permanen.

Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal premature gigi sulunhg semakin

besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivi sentral dan lateral sulung yang tanggal

premature tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya

pergeseran garis median. Perlu diusahakan agar kaninus sulung tidak tanggal premature.

Sebagian peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal premature kaninus sulung

karena resorpsi insisivi lateral atau karena karies disarankan dilakukan balancing

extraction, yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar tidak terjadi pergeseran

garis median dan kemudian dipasang space maintainer.

Molar pertama sulung yang tanggal premature juga dapat menyebabkan pergeseran garis

median. Perlu tidaknya dilakukan balancing extraction harus dilakukan observasi lebih

dahulu. Molar kedua sulung terutama rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling

sering tanggal premature karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kea rah

diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua tumbuh

sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal premature juga dapat

menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan serta kemungkinan terjadi supra

erupsi gigi antagonis.

Bila molar kedua sulung tanggal premature banyaknya pergeseran molar pertama

permanen ke mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjol gigi. (bila tonjol gigi tinggi pergeseran

Page 5: ETIOLOGI MALOKLUSI

makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling banyak bila molar

kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi).

Presistensi Gigi

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained deciduous teeth berarti gigi sulung

yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu

tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukkan persistensi gigi

sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak

tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di

rongga mulut, perlu diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis

kepada orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di region

tersebut.

Trauma

Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi

trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi gangguan

pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat

terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok).

Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal

bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali

dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi permanen perlu

diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar mulut untuk lebih

memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah satu sisi muka pada masa kanak-

kanak dapat menyebabkan asimetri muka.

Pengaruh Jaringan Lunak

Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memeberi pengaruh yang besar terhadap letak

gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot

pangunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung

selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir,

Page 6: ETIOLOGI MALOKLUSI

pipi dan lidah yang menempel terus pada gigi hamper selama 24 jam dapat sangat

memengaruhi letak gigi.

Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istirahat tidak benar atau

karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir

dan pipi sehingga insisivi bergerak ke labial. Dengan demikian patut dipertanyakan

apakah tekanan lidah pada saat menelan dapat memengaruhi letak insisivi karena

meskipun tekanannya cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlangsung

dalam waktu yang singkat.

Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-lngit kadang-kadang

mengandung jaringan parut yang banyak selain tekanannya yang besar oleh karena bibir

pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga member tekana yang lebih besar dengan

akibat insisivi tertekan kea rah palatal.

Kebiasaan Buruk

Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi

dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari

atau benda-benda lain dalam waktu berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari

ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung.

Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi

permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila

kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat maloklusi

dengan tanda-tanda berupa insisivi atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka,

lengkung atas sempit serta retroklinasi insisivi bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan

oleh jari mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu

mengisap.

Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabakan proklinasi insisivi atas disertai

jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi insisivi bawah. Kebiasaan mendorong lidah

sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi berupa adaptasi terhadap adanya gigitan

terbuka misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih

besar daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk

mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada

Page 7: ETIOLOGI MALOKLUSI

saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi teta[I

biasanya dampaknya hanya pada satu gigi.

Faktor Iatrogenik

Pengertian kata iatrogenic adalah berasal dari suatu tindakan professional. Perawatan

orthodontic mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenic. Misalnya, pada saat

menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain

atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yang terjadi gerakan gigi

ke distal dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk

menggerakkan gigi dapat menyebabkan resorbsi akar gigi yang digerakkan, resorpsi yang

berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan jaringan periodontal

dapat juga disebabkan adanya perawatan orthodontic, misalnya gerakan gigi kea rah

labial atau bukal yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan

fenestrasi.

Rahardjo, Pambudi. 2009. Orthodonti Dasar. Surabaya: Airlangga University Press.