etika profesi

27
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Membuat akta otentik yang merupakan salah satu kewenangan umum notaris yang ditur dalam pasal 15 ayat (1) UU No.30 tahun 2004 (selanjutnya disingkat “UUJN”). Disamping itu, notaris juga memiliki beberapa kewenangan khusus yang diatur dalam pasal 15 ayat (2) UUJN yang berkaitan dengan akta (surat) di bawah tangan. Keotentikan suatu akta berdasarkan pada pengaturan dalam pasal 1868 KUH Perdata, yang menentukan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Dengan demikian akta notaris adalah akta otentik, karena notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, bentuknya telah ditentukan dalam pasal 38 UUJN, dan kewenangan notaris membuat akta ditentukan juga oleh tempat kedudukan dan wilayah jabatannya. Dengan peran notaris yang sangat penting tersebut, maka seharusnya notaris menjalankan tugas jabatannya selalu berpedoman pada pertauran perundang-undangan, kode etik, dan moral. Pelanggaran maupun kesalahan yang dilakukan notaris akan sangat merugikan kepentingan masyarakat, khusunya para pihak. 1

Upload: widemade

Post on 24-Jul-2015

263 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

etika profesi notaris

TRANSCRIPT

Page 1: etika profesi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Membuat akta otentik yang merupakan salah satu kewenangan umum

notaris yang ditur dalam pasal 15 ayat (1) UU No.30 tahun 2004 (selanjutnya

disingkat “UUJN”). Disamping itu, notaris juga memiliki beberapa kewenangan

khusus yang diatur dalam pasal 15 ayat (2) UUJN yang berkaitan dengan akta

(surat) di bawah tangan. Keotentikan suatu akta berdasarkan pada

pengaturan dalam pasal 1868 KUH Perdata, yang menentukan bahwa “suatu

akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan

undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk

itu di tempat akta itu dibuat. Dengan demikian akta notaris adalah akta

otentik, karena notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta

otentik, bentuknya telah ditentukan dalam pasal 38 UUJN, dan kewenangan

notaris membuat akta ditentukan juga oleh tempat kedudukan dan wilayah

jabatannya.

Dengan peran notaris yang sangat penting tersebut, maka seharusnya

notaris menjalankan tugas jabatannya selalu berpedoman pada pertauran

perundang-undangan, kode etik, dan moral. Pelanggaran maupun kesalahan

yang dilakukan notaris akan sangat merugikan kepentingan masyarakat,

khusunya para pihak. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris baik sengaja

maupun tidak sengaja dalam menjalankan tugas jabatannya akan berakibat

sanksi bagi notaris yang bersangkutan. Dalam UUJN diatur bahwa ketika

notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan

pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi

1

Page 2: etika profesi

perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris. Sanksi terhadap notaris

menunjukkan notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum.

Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam

Peraturan Jabatan Notaris (PJN) maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik

Jabatan Notaris, namun peraturan-peraturan itu tidak mengatur adanya

sanksi pidana terhadap notaris. Selain berakibat sanksi terhadap notaris yang

melakukan pelanggaran, pelanggaran juga akan berakibat terhadap akta

yang menjadi produk dari notaris yang bersangkutan.

Walaupun dalam UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana

terhadap notaris, namun dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu

tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat

dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan notaris, tapi

kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang

dilakukan oleh notaris. Bahkan beberapa orang notaris telah dijadikan

tersangka, yang berdasarkan penyidik, akta yang dibuat di hadapan notaris

yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur pidana, misalnya dalam

kategori turut serta melakukan atau membantu melakukan pemalsuan surat

atau akta, setidaknya pada notaris yang bersangkutan. Memang suatu hal

yang lucu, jika pada tiap awal dan akhir akta tercantum nama notaris, jika

terjadi permasalahan notaris dianggap turut serta atau membantu melakukan

suatu tindak pidana.1 Di sisi lain banyak pula kalangan berpendapat bahwa

notaris tidak dapat dijatuhi sanksi pidana sepanjang notaris menjalankan

tugas jabatannya sesuai dengan aturan UUJN dan kode etik. Hal inilah yang

dikenal sebagai hak imunitas sebagai seorang notaris.

1 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009, h.107

2

Page 3: etika profesi

Seperti uraian diatas, bahwa peran notaris sangat penting dalam hal

membuat akta tentang perbuatan hukum dalam hal pembuktian.

Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya yang berakibat notaris yang bersangkutan dijatuhi sanksi

administrasi, perdata, maupun sanksi kode etik. Sanksi-sanksi tersebut dapat

berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara,

pemberhentian dengan hormat maupun tidak hormat, mengganti biaya, ganti

rugi, dan bunga kepada pihak yang menderita kerugian, serta sanksi-sanksi

lainnya. Sanksi-sanksi administrasi seperti itu sangat berpengaruh terhadap

kewenangan notaris menjalan tugas jabatannya. Pasal 1869 KUH Perdata

menentukan batasan akta notaris yang mempunyyai kekuatan pembuktian

sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan

karena tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau tidak

mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau cacat dalam bentuknya.

Kewenangan notaris tentu akan berakibat pula pada akta yang dibuat,

disahkan, dan ditetapkannya, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap

kekuatan pembuktian akta tersebut.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada 2

(dua) rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu :

1. Bagaimanakah kewenangan notaris yang menjadi tersangka

dalam menjalankan tugas jabatannya ?

2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta yang dibuat dihadapan

notaris berstatus tersangka ?

3

Page 4: etika profesi

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Kewenangan notaris yang menjadi tersangka dalam

menjalankan tugas jabatannya

Wewenang (kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang

diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang

bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasnya

sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Wewenang notaris terbatas sebagaimana peraturan

perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan.

Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya.

Dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi,

Delegasi, atau Mandat.

Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru

kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau

aturan hukum. Wewenang secara delegasi merupakan

pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu

4

Page 5: etika profesi

peraturan perundang-undangan atau aturan hukum . Mandat sebenarnya

bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapai karena yang

berkompeten berhalangan.2

Berdasarkan UUJN notaris sebagai pejabat umum memperoleh

wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan

diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh notaris bukan

bersal dari lembaga lain, misalnya Departemen Hukum dan HAM.

Kewenangan notaris yang diatur dalam pasal 15 UUJN akan melekat pada

seseorang ketika telah diangkat menjadi notaris. Pasal 2 UUJN

menentukan “Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. Untuk

dapat diangkat menjadi notaris, maka seseorang harus memenuhi syarat

dalam pasal 3 UUJN.

Kewenangan notaris diatur dalam pasal 15 dari ayat (1) sampai

dengan ayat (3) UUJN dapat dibagi menjadi : kewenangan umum notaris,

kewenangan khusus notaris, dan kewenangan yang akan ditentukan

kemudian. Pelanggaran terhadap larangan UUJN yang dilakukan oleh

notaris dapat berakibat notaris dijatuhi sanksi perdata, administrasi, dan

kode etik. Meskipun UUJN tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap

notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, tetapi dalam praktik

beberapa notaris ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan tindak

pidana. Diajtuhinya sanksi perdata, administrasi, maupun sanksi pidana

karena melanggar peraturan jabatan maupun etika profesi kepada notaris

membuktikan bahwa notaris tidak kebal hukum. Seorang notaris memiliki

hak imunitas artinya seorang notaris tidak dapat dijatuhi sanksi hukum

2 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, h.785

Page 6: etika profesi

dalam menjalankan tugas jabatannya, namun hak imunitas tersebut

memiliki batas-batas tertentu. Artinya seorang notaris kebal hukum atau

tidak dapat dijatuhi sanksi apabila dalam menjalankan tugas jabatannya

tidak melanggar peraturan jabatan (UUJN) maupun etika profesi notaris.

Jika seorang notaris bukan dalam menjalankan tugas jabatannya

melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka notaris tersebut tetap

dijatuhi sanksi hukum (tidak kebal hukum).

Tindak pidana yang potensial dilakukan oleh notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya adalah tindakan hukum dari notaris

terhadap aspek formal akta yang disengaja, penuh kesadaran dan

keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris

atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk

melakukan suatu tindak pidana. Notaris mencantumkan keterangan palsu

dalam akta otentik yang dibuatnya dan notaris yang bersangkutan secara

sadar mengetahui bahwa keterangan itu adalah palsu.

Dalam UUJN diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai

atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik

jabatan notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik

sebelumnya dalam PJN maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik

Jabatan Notaris yang tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap

notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum

atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi

administrasi atau perdata atau kode etik jabatan notaris, tapi kemudian

6

Page 7: etika profesi

ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan

oleh notaris. Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek

seperti :

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap;

b. Pihak (siapa – orang) yang menghadap notaris;

c. Tanda tangan yang menghadap;

d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;

e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta

akta dikeluarkan.

Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh notaris, maka

kepada notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau

administratif, atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan

yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan

sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap notaris. Namun ternyata

di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan

secara pidana atau dijadikan dasar untuk memidanakan notaris dengan

dasar notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan

kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan notaris.

Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk memidanakan notaris

tersebut merupakan aspek formal dari akta notaris, dan sehaarusnya

berdasarkan UUJN. Jika notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek

formal, maka dapat dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi

tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik jabatan

7

Page 8: etika profesi

notaris. Memidanakan notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa

melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari

unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris merupakan tindakan tanpa

dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Aspek-aspek formal akta notaris dapat saja dijadikan dasar atau

batasan untuk memidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek formal

tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh keasadaran dan

keinsyafan serta direncanakan oleh notaris yang bersangkutan) bahwa

akta yang dibuat dihadapan dan oleh notaris untuk dijadikan suatu alat

melakukan suatu tindak pidana. Di samping itu, notaris secara sadar,

sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang

bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh

penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya

sebagai tindakan yang melanggar hukum. Aspek lainnya yang perlu untuk

dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh notaris harus diukur

berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh notaris

melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan

menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN,

tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak

pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut,

lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti

mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan notaris.

Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan

dengan batasan, apabila :

8

Page 9: etika profesi

1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta

yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta

direncakan, baahwa akta yang dibuat di hadapan notaris atau

oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar

untuk melakukan suatu tindak pidana;

2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta

dihadapan atau oleh notaris yang jika diukur berdasarkan

UUJN tidak sesuai dengan UUJN, dan;

3. Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang

berwenang untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini

majelis pengawas notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan

sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar,

artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam

UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang

tersebut dalam KUHP. Jika tindakan notaris memenuhi rumusan suatu

tindak pidana, tapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian

dari Majelis Pengwas Notaris bukan suatu pelanggaran, maka notaris yang

bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk

menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan Kode Etik Jabatan

Notaris.

Apabila ternyata notaris secara sadar melakukan suatu tindakan

pidana yang merugikan pihak dalam akta, maka memang sepantasnya

notaris berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Ketika seorang

9

Page 10: etika profesi

notaris berstatus tersangka, maka diperlukan suatu pemahaman yang

baik menyangkut kewenangannya menjalankan tugas jabatan.

Kewenangan seorang notaris berstatus tersangka dalam menjalankan

tugas jabatannya tidak diatur dalam UUJN. Menteri hanya berwenang

untuk memberhentikan sementara atau diberhentikan dengan tidak

hormat notaris karena hal-hal yang diatur dalam pasal 9 ayat (1), dan

pasal 12 jo. pasal 13 UUJN, bukan karena status tersangka.

Status tersangka seorang notaris tidak menghalangi notaris untuk

melakukan tugas jabatannya membuat akta otentik, mengesahkan,

menetapakan maupun membubukan akta dibawah tangan, dan

kewenangan-kewenangan lain yang ditur dalam pasal 15 UUJN. Lain

halnya ketika seorang notaris telah berstatus terpidana akibat adanya

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka notaris

tidak dapat lagi menjalankan kewenangan melaksanakan tugas jabatan.

Notaris berstatus tersangka masih berwenang membuat akta otentik. Hal

ini merupakan implementasi dari asas Presumption of Innocence yaitu

asas praduga tidak bersalah, seseorang dianggap tidak bersalah,

sepanjang belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang

menyatakan ia bersalah. UUJN mengatur keadan-keadaan yang

menyebabkan notaris tidak berwenang membuat akta otetik maupun

kewenangan lainnya, yaitu :

1. Notaris belum mengucapkan sumpah/janji jabatan notaris

2. Notaris diberhentikan sementara (pasal 9 UUJN)

3. Notaris yang mengambil cuti (pasal 11 UUJN)

10

Page 11: etika profesi

4. Notaris tidak diperkenankan membuat akata untuk diri sendiri,

istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan

kekeluargaan (pasal 52 UUJN)

5. Notaris diberhentikan dengan hormat maupun tidak hormat

(pasal 8, pasal 12 jo. Pasal 13 UUJN).

Pasal 51 Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris

di Indonesia, yang menentukan bahwa notaris yang terhadapnya berstatus

tersangka dengan penahanan sementara, maka dengan sendirinya (demi

hukum) berhenti dari jabatannya sampai notaris tersebut dibebaskan

kembali. Dengan demikian, notaris berstatus tersangka diberhentikan

sementara. Berlakunya UUJN yang mencabut Peraturan Jabatan Notaris di

Indonesia, maka prosedur seperti itu tidak dapat dialkukan lagi terhadap

notaris berstatus tersangka, artinya notaris yang berstatus tersangka

tetap dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan pasal 15 UUJN.

II.2. Kekuatan pembuktian akta yang dibuat dihadapan notaris

berstatus tersangka

Bukti tulisan didalam perkara perdata merupakan bukti yang utama,

karena dalam hubungan keperdataan seringkali orang dengan sengaja

menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila timbul suatu

perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan. Dari

bukti-bukti tulisan itu terdapat sesuatu yang sangat berarti untuk

pembuktian, yang dinamakan akta, suatu akta adalah suatu tulisan yang

dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan

11

Page 12: etika profesi

ditandatangani, dengan demikian maka unsur yang penting untuk suatu

akta ialah kesengajaan untuk membuat suatu bukti tertulis

penandatanganan akta itu, syarat penandatanganan itu dapat dilihat dari

pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Seorang Notaris, Hakim, Juru sita pada suatu pengadilan, dan

seorang Pegawai Catatan Sipil adalah pejabat umum yang ditunjuk oleh

undang-undang, dengan demikian maka akta notaris, surat keputusan

hakim, surat proses verbal yang dibuat oleh juru sita pengadilan dan

surat-surat perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil adalah

Akta-akta Otentik. Apabila dua orang datang kepada seorang notaris,

menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian dan

meminta kepada Notaris supaya dibuatkan suatu akta, maka akta ini

adalah suatu akta yang dibuat dihadapan notaris, notaris hanya

mendengarkan sesuatu yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang

menghadap dan meletakkan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tadi

dalam suatu akta.

Pada dasarnya bentuk suatu akta notaris yang berisikan perbuatan-

perbuatan dan hal-hal lain yang dikonstantir oleh notaris, pada umumnya

harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam

perundang-undangan yang berlaku mengenai itu, antara lain kitab

undang-undang hukum perdata Indonesia dan Undang-undang jabatan

Notaris. Akta akan memiliki suatu karakter yang otentik, jika akta itu

mempunyai daya bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga,

sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak, bahwa perbuatan-

12

Page 13: etika profesi

perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukankan memberikan

suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.

Apabila seorang pejabat yang berwenang membuat suatu akta,

maka akta tersebut merupakan suatu akta otentik dan otensitasnya itu

bertahan terus bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda

tangannya pada akta tersebut tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia

tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian

pada saat pembuatan akta dan jika pejabat tersebut untuk sementara

waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta akta

tersebut tetap memiliki kekuatan otensitasnya, tetapi akta-akta tersebut

harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara

waktu itu dijatuhkan. Apabila suatu akta otentik yang berbentuk apapun

juga dituduh sebagai barang palsu maka pelaksanaan akta tersebut dapat

ditangguhkan sesuai dengan ketetapan-ketetapan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata Dalam hal itu berlaku pada tingkat pertama ketentuan

tentang Actori incumbit probation artinya ; “orang yang menuduh sesuatu

barang palsu harus dapat membuktikannya”, jika ia mendasarkan

tuntutannya terhadap penipuan yang dilakukan, maka ia mengajukan

bukti-bukti tentang hal itu harus membuktikan fakta-fakta yang

dituduhkannya dan jika ia tidak dapat melakukan hal itu, maka ia

kehilangan semua dasar dari tuntutannya dan akta tersebut tetap

mempunyai daya bukti da pihak-pihak harus bersikap yang sama

terhadapnya.3

3 Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, h.34.

13

Page 14: etika profesi

Undang-undang jabatan Notaris dengan tegas menyatakan bahwa

suatu akta otentik dapat ditentang berdasarkan kepalsuan, sebagaimana

bunyi Pasal 1872 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kepalsuan

tersebut dapat berupa dua macam yaitu :4

1. Pejabat yang melakukan pemalsuan terhadap akta misalnya

menguraikan didalam suatu surat wasiat mengenai hibah, yang

oleh pewaris tidak diperintahkan kepadanya dan pemalsuan ini

disebut pemalsuan intelektual, Pejabat yang memalsukan suatu

akta tidak dapat melakukannya dengan cara lain kecuali dengan

tujuan jahat.

2. Orang mengubah isi sesuatu akta setelah akta tersebut dibuat.

Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta

otentik menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, suatu akta otentik memberikan diantara para pihak

beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari

mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat

didalamnya. Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang

mengikat, dalam arti bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta

harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama

ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak

memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan

suatu penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti

yang mengikat dan sempurna. Akta otentik tidak hanya

membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuatu

4 Ibid, h.3514

Page 15: etika profesi

yang dituliskan, tetapi juga sesuatu yang diterangkan tadi adalah

benar, Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285

RDS), dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya

memberikan bukti yang sempurna tentang tentang sesuatu yang

termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya

sekadar sesuatu yhang dituturkan itu ada hubungannya langsung

dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambila mengenai

segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala

sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta.

Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal,

yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis

dalam akta tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian

materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah

yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, disimpulkan bahwa

kekuatan pembuktian akta otentik, adalah sah sebagai berikut :5

a. Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan

orang orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna

/lengkap berate bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui,

tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai dibuktikan

sebaliknya oleh pihak lain.

b. Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya

kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika

5 Kusunaryatun, Hukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara Perdata),Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1999, h.59.

15

Page 16: etika profesi

dibuktikan sebaliknya. Dari kekuatan pembuktian di atas, dapat

dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam

kekuatan pembuktian, yaitu meliputi :6

1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah

syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaris

dapat berlaku sebagai akta otentik.

2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah

kepastian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta

betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangakan oleh pihak-

pihak yang menghadap.

3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah

kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan

pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta

atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,

kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).

Salah satu kewenangan notaris yang diatur dalam pasal 15 ayat (1)

UUJN adalah membuat akta otentik. Selain kewenangan membuat akta

otentik, notaris juga berwenang mengesahkan tanda tangan dan

menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar

dalam buku khusus, membukukan surat-surat di bawah tangan dengan

mendaftar dalam buku khusus, serta kewenangan-kewenangan lain yang

diatur dalam pasal 15 UUJN. Harus dibedakan kewenangan notaris dalam

membuat akta otentik, legalisasi maupun waarmerking. Kewenangan

6 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982,h.55

16

Page 17: etika profesi

membuat akta otentik diatur pada pasal 15 ayat (1) UUJN, legalisasi diatur

dalam pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN, sedangkan kewenangan

waarmerking diatur dalam pasal 15 ayat (2) huruf b UUJN.

Apabila kewenangan membuat akta otentik, legalisasi atau

menetapakan suatu akta di bawah tangan dilakukan oleh notaris yang

berstatus tersangka, maka akta otentik maupun akta dibawah tangan

yang ditetapakan tersebut tetap sah dan memiliki kekuatan pembuktian

sama seperti akta dari notaris yang tidak berstatus tersangka. Hal ini

merupakan konskuensi bahwa notaris berstatus tersangka tetap

berwenang menjalankan tugas jabatannya. UUJN tidak mengatur

pemberhentian sementara bagi notaris berstatus tersangka seperti dalam

PJN (Staablad 1860 Nomor 3). Selama notaris berstatus tersangka maka

terhadap akta notaris yang bersangkutan harus dianggap sah, sepanjang

dalam pembuatan akta notaris tersebut berwenangg untuk membuat

aktta sesuai dengan keinginan para pihak, dan secara lahiriah, formal, dan

materiil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta

notaris.

Akta notaris sebagai produk dari pejabat umum, maka penilaian

terhadap akta notaris harus dilakukan denggan Asas Praduga Sah

(Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa. Asas ini

dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris harus

dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah.

Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan

gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan

17

Page 18: etika profesi

sampai denggan ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuuatan

hukum tetap, mmaka akta notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau

siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Dengan demikian

kekuatan akta yang dibuat dihadapan notaris yang berstatus tersangka

adalah tetap mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yaitu meliputi

Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), Kekuatan

pembuktian formal (formale bewijskracht), dan Kekuatan pembuktian

materiil (materiele bewijskracht).

BAB III

PENUTUP

III.1. Simpulan

1. Status tersangka seorang notaris tidak menghalangi notaris untuk

melakukan tugas jabatannya membuat akta otentik,

mengesahkan, menetapakan maupun membubukan akta

dibawah tangan, dan kewenangan-kewenangan lain yang diatur

dalam pasal 15 UUJN. Notaris berstatus tersangka tetap

18

Page 19: etika profesi

berwenang membuat akta otentik. Hal ini merupakan

implementasi dari asas Presumption of Innocence yaitu asas

praduga tidak bersalah.

2. Kekuatan akta yang dibuat dihadapan notaris yang berstatus

tersangka adalah tetap mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna, yaitu meliputi Kekuatan pembuktian yang luar

(uitwendige bewijskracht), Kekuatan pembuktian formal (formale

bewijskracht), dan Kekuatan pembuktian materiil (materiele

bewijskracht).

III.2. Saran

1. Dalam UUJN diperlukan ada pengaturan sanksi pidana bagi notaris

dalam menjalankan jabatannya, agar tidak timbul tarik ulur oleh

aparat penegak hukum dalam menetapkan status notaris dalam

suatu tindak pidana.

2. Dalam UUJN diperlukan adanya aturan tentang pemberhentian

sementara bagi notaris berstatus tersangka seperti dalam Staablad

1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia.

Notaris berstatus tersangka tetapi tetap menjalankan kewajibannya

akan menghasilkan citra yang kurang baik dari masyarakat terhadap

profesi notaris. Disamping itu, status tersangka akan membuat

notaris tidak mampu secara optimal memberikan pelayanan kepada

masyarakat.

19

Page 20: etika profesi

3. Dalam hal pembuatan Legalisasi, Waarmerking, serta melakukan

kewenangan lain diharapkan kepada para Notaris dapat dengan

sungguh-sungguh memperhatikan segala ketentuan perundang-

undangan yang terkait untuk menghindari munculnya permasalahan

hukum di kemudian hari. Notaris juga harus menjelaskan kepada para

pihak tentang perbedaan antara akta otentik (notaris), akta yang

dilegalisasi atau waarmerking.

DAFTAR BACAAN

20

Page 21: etika profesi

Adam, Muhammad, Asal Usul dan Sejarah Akta Notariat, Sinar Baru,

Bandung, 1985.

Adjie, Habib, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju,

Bandung, 2009.

Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Kusunaryatun, Hukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara

Perdata),Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1999.

Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Rajawali, Jakarta,

1982.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

Peraturan Perundang-undangan ;

Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris.

Peraturan Jabatan Notaris Staablad 1860 Nomor 3

21