etika profesi
DESCRIPTION
etika profesi notarisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Membuat akta otentik yang merupakan salah satu kewenangan umum
notaris yang ditur dalam pasal 15 ayat (1) UU No.30 tahun 2004 (selanjutnya
disingkat “UUJN”). Disamping itu, notaris juga memiliki beberapa kewenangan
khusus yang diatur dalam pasal 15 ayat (2) UUJN yang berkaitan dengan akta
(surat) di bawah tangan. Keotentikan suatu akta berdasarkan pada
pengaturan dalam pasal 1868 KUH Perdata, yang menentukan bahwa “suatu
akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk
itu di tempat akta itu dibuat. Dengan demikian akta notaris adalah akta
otentik, karena notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik, bentuknya telah ditentukan dalam pasal 38 UUJN, dan kewenangan
notaris membuat akta ditentukan juga oleh tempat kedudukan dan wilayah
jabatannya.
Dengan peran notaris yang sangat penting tersebut, maka seharusnya
notaris menjalankan tugas jabatannya selalu berpedoman pada pertauran
perundang-undangan, kode etik, dan moral. Pelanggaran maupun kesalahan
yang dilakukan notaris akan sangat merugikan kepentingan masyarakat,
khusunya para pihak. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris baik sengaja
maupun tidak sengaja dalam menjalankan tugas jabatannya akan berakibat
sanksi bagi notaris yang bersangkutan. Dalam UUJN diatur bahwa ketika
notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan
pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi
1
perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris. Sanksi terhadap notaris
menunjukkan notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum.
Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam
Peraturan Jabatan Notaris (PJN) maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik
Jabatan Notaris, namun peraturan-peraturan itu tidak mengatur adanya
sanksi pidana terhadap notaris. Selain berakibat sanksi terhadap notaris yang
melakukan pelanggaran, pelanggaran juga akan berakibat terhadap akta
yang menjadi produk dari notaris yang bersangkutan.
Walaupun dalam UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana
terhadap notaris, namun dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu
tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat
dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan notaris, tapi
kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh notaris. Bahkan beberapa orang notaris telah dijadikan
tersangka, yang berdasarkan penyidik, akta yang dibuat di hadapan notaris
yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur pidana, misalnya dalam
kategori turut serta melakukan atau membantu melakukan pemalsuan surat
atau akta, setidaknya pada notaris yang bersangkutan. Memang suatu hal
yang lucu, jika pada tiap awal dan akhir akta tercantum nama notaris, jika
terjadi permasalahan notaris dianggap turut serta atau membantu melakukan
suatu tindak pidana.1 Di sisi lain banyak pula kalangan berpendapat bahwa
notaris tidak dapat dijatuhi sanksi pidana sepanjang notaris menjalankan
tugas jabatannya sesuai dengan aturan UUJN dan kode etik. Hal inilah yang
dikenal sebagai hak imunitas sebagai seorang notaris.
1 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009, h.107
2
Seperti uraian diatas, bahwa peran notaris sangat penting dalam hal
membuat akta tentang perbuatan hukum dalam hal pembuktian.
Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya yang berakibat notaris yang bersangkutan dijatuhi sanksi
administrasi, perdata, maupun sanksi kode etik. Sanksi-sanksi tersebut dapat
berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat maupun tidak hormat, mengganti biaya, ganti
rugi, dan bunga kepada pihak yang menderita kerugian, serta sanksi-sanksi
lainnya. Sanksi-sanksi administrasi seperti itu sangat berpengaruh terhadap
kewenangan notaris menjalan tugas jabatannya. Pasal 1869 KUH Perdata
menentukan batasan akta notaris yang mempunyyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan
karena tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau tidak
mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau cacat dalam bentuknya.
Kewenangan notaris tentu akan berakibat pula pada akta yang dibuat,
disahkan, dan ditetapkannya, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
kekuatan pembuktian akta tersebut.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada 2
(dua) rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimanakah kewenangan notaris yang menjadi tersangka
dalam menjalankan tugas jabatannya ?
2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta yang dibuat dihadapan
notaris berstatus tersangka ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Kewenangan notaris yang menjadi tersangka dalam
menjalankan tugas jabatannya
Wewenang (kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang
diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang
bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasnya
sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Wewenang notaris terbatas sebagaimana peraturan
perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan.
Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya.
Dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi,
Delegasi, atau Mandat.
Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
aturan hukum. Wewenang secara delegasi merupakan
pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu
4
peraturan perundang-undangan atau aturan hukum . Mandat sebenarnya
bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapai karena yang
berkompeten berhalangan.2
Berdasarkan UUJN notaris sebagai pejabat umum memperoleh
wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan
diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh notaris bukan
bersal dari lembaga lain, misalnya Departemen Hukum dan HAM.
Kewenangan notaris yang diatur dalam pasal 15 UUJN akan melekat pada
seseorang ketika telah diangkat menjadi notaris. Pasal 2 UUJN
menentukan “Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. Untuk
dapat diangkat menjadi notaris, maka seseorang harus memenuhi syarat
dalam pasal 3 UUJN.
Kewenangan notaris diatur dalam pasal 15 dari ayat (1) sampai
dengan ayat (3) UUJN dapat dibagi menjadi : kewenangan umum notaris,
kewenangan khusus notaris, dan kewenangan yang akan ditentukan
kemudian. Pelanggaran terhadap larangan UUJN yang dilakukan oleh
notaris dapat berakibat notaris dijatuhi sanksi perdata, administrasi, dan
kode etik. Meskipun UUJN tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap
notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, tetapi dalam praktik
beberapa notaris ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan tindak
pidana. Diajtuhinya sanksi perdata, administrasi, maupun sanksi pidana
karena melanggar peraturan jabatan maupun etika profesi kepada notaris
membuktikan bahwa notaris tidak kebal hukum. Seorang notaris memiliki
hak imunitas artinya seorang notaris tidak dapat dijatuhi sanksi hukum
2 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, h.785
dalam menjalankan tugas jabatannya, namun hak imunitas tersebut
memiliki batas-batas tertentu. Artinya seorang notaris kebal hukum atau
tidak dapat dijatuhi sanksi apabila dalam menjalankan tugas jabatannya
tidak melanggar peraturan jabatan (UUJN) maupun etika profesi notaris.
Jika seorang notaris bukan dalam menjalankan tugas jabatannya
melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka notaris tersebut tetap
dijatuhi sanksi hukum (tidak kebal hukum).
Tindak pidana yang potensial dilakukan oleh notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya adalah tindakan hukum dari notaris
terhadap aspek formal akta yang disengaja, penuh kesadaran dan
keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris
atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk
melakukan suatu tindak pidana. Notaris mencantumkan keterangan palsu
dalam akta otentik yang dibuatnya dan notaris yang bersangkutan secara
sadar mengetahui bahwa keterangan itu adalah palsu.
Dalam UUJN diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai
atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik
jabatan notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik
sebelumnya dalam PJN maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik
Jabatan Notaris yang tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap
notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum
atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi
administrasi atau perdata atau kode etik jabatan notaris, tapi kemudian
6
ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh notaris. Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek
seperti :
a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap;
b. Pihak (siapa – orang) yang menghadap notaris;
c. Tanda tangan yang menghadap;
d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta
akta dikeluarkan.
Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh notaris, maka
kepada notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau
administratif, atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan
yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan
sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap notaris. Namun ternyata
di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan
secara pidana atau dijadikan dasar untuk memidanakan notaris dengan
dasar notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan
kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan notaris.
Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk memidanakan notaris
tersebut merupakan aspek formal dari akta notaris, dan sehaarusnya
berdasarkan UUJN. Jika notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek
formal, maka dapat dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi
tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik jabatan
7
notaris. Memidanakan notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa
melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari
unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris merupakan tindakan tanpa
dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Aspek-aspek formal akta notaris dapat saja dijadikan dasar atau
batasan untuk memidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek formal
tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh keasadaran dan
keinsyafan serta direncanakan oleh notaris yang bersangkutan) bahwa
akta yang dibuat dihadapan dan oleh notaris untuk dijadikan suatu alat
melakukan suatu tindak pidana. Di samping itu, notaris secara sadar,
sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang
bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh
penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya
sebagai tindakan yang melanggar hukum. Aspek lainnya yang perlu untuk
dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh notaris harus diukur
berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh notaris
melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan
menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN,
tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak
pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut,
lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti
mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan notaris.
Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan
dengan batasan, apabila :
8
1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta
yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta
direncakan, baahwa akta yang dibuat di hadapan notaris atau
oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar
untuk melakukan suatu tindak pidana;
2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta
dihadapan atau oleh notaris yang jika diukur berdasarkan
UUJN tidak sesuai dengan UUJN, dan;
3. Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang
berwenang untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini
majelis pengawas notaris.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan
sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar,
artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam
UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang
tersebut dalam KUHP. Jika tindakan notaris memenuhi rumusan suatu
tindak pidana, tapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian
dari Majelis Pengwas Notaris bukan suatu pelanggaran, maka notaris yang
bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk
menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan Kode Etik Jabatan
Notaris.
Apabila ternyata notaris secara sadar melakukan suatu tindakan
pidana yang merugikan pihak dalam akta, maka memang sepantasnya
notaris berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Ketika seorang
9
notaris berstatus tersangka, maka diperlukan suatu pemahaman yang
baik menyangkut kewenangannya menjalankan tugas jabatan.
Kewenangan seorang notaris berstatus tersangka dalam menjalankan
tugas jabatannya tidak diatur dalam UUJN. Menteri hanya berwenang
untuk memberhentikan sementara atau diberhentikan dengan tidak
hormat notaris karena hal-hal yang diatur dalam pasal 9 ayat (1), dan
pasal 12 jo. pasal 13 UUJN, bukan karena status tersangka.
Status tersangka seorang notaris tidak menghalangi notaris untuk
melakukan tugas jabatannya membuat akta otentik, mengesahkan,
menetapakan maupun membubukan akta dibawah tangan, dan
kewenangan-kewenangan lain yang ditur dalam pasal 15 UUJN. Lain
halnya ketika seorang notaris telah berstatus terpidana akibat adanya
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka notaris
tidak dapat lagi menjalankan kewenangan melaksanakan tugas jabatan.
Notaris berstatus tersangka masih berwenang membuat akta otentik. Hal
ini merupakan implementasi dari asas Presumption of Innocence yaitu
asas praduga tidak bersalah, seseorang dianggap tidak bersalah,
sepanjang belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan ia bersalah. UUJN mengatur keadan-keadaan yang
menyebabkan notaris tidak berwenang membuat akta otetik maupun
kewenangan lainnya, yaitu :
1. Notaris belum mengucapkan sumpah/janji jabatan notaris
2. Notaris diberhentikan sementara (pasal 9 UUJN)
3. Notaris yang mengambil cuti (pasal 11 UUJN)
10
4. Notaris tidak diperkenankan membuat akata untuk diri sendiri,
istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan
kekeluargaan (pasal 52 UUJN)
5. Notaris diberhentikan dengan hormat maupun tidak hormat
(pasal 8, pasal 12 jo. Pasal 13 UUJN).
Pasal 51 Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris
di Indonesia, yang menentukan bahwa notaris yang terhadapnya berstatus
tersangka dengan penahanan sementara, maka dengan sendirinya (demi
hukum) berhenti dari jabatannya sampai notaris tersebut dibebaskan
kembali. Dengan demikian, notaris berstatus tersangka diberhentikan
sementara. Berlakunya UUJN yang mencabut Peraturan Jabatan Notaris di
Indonesia, maka prosedur seperti itu tidak dapat dialkukan lagi terhadap
notaris berstatus tersangka, artinya notaris yang berstatus tersangka
tetap dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan pasal 15 UUJN.
II.2. Kekuatan pembuktian akta yang dibuat dihadapan notaris
berstatus tersangka
Bukti tulisan didalam perkara perdata merupakan bukti yang utama,
karena dalam hubungan keperdataan seringkali orang dengan sengaja
menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila timbul suatu
perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan. Dari
bukti-bukti tulisan itu terdapat sesuatu yang sangat berarti untuk
pembuktian, yang dinamakan akta, suatu akta adalah suatu tulisan yang
dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
11
ditandatangani, dengan demikian maka unsur yang penting untuk suatu
akta ialah kesengajaan untuk membuat suatu bukti tertulis
penandatanganan akta itu, syarat penandatanganan itu dapat dilihat dari
pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Seorang Notaris, Hakim, Juru sita pada suatu pengadilan, dan
seorang Pegawai Catatan Sipil adalah pejabat umum yang ditunjuk oleh
undang-undang, dengan demikian maka akta notaris, surat keputusan
hakim, surat proses verbal yang dibuat oleh juru sita pengadilan dan
surat-surat perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil adalah
Akta-akta Otentik. Apabila dua orang datang kepada seorang notaris,
menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian dan
meminta kepada Notaris supaya dibuatkan suatu akta, maka akta ini
adalah suatu akta yang dibuat dihadapan notaris, notaris hanya
mendengarkan sesuatu yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang
menghadap dan meletakkan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tadi
dalam suatu akta.
Pada dasarnya bentuk suatu akta notaris yang berisikan perbuatan-
perbuatan dan hal-hal lain yang dikonstantir oleh notaris, pada umumnya
harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam
perundang-undangan yang berlaku mengenai itu, antara lain kitab
undang-undang hukum perdata Indonesia dan Undang-undang jabatan
Notaris. Akta akan memiliki suatu karakter yang otentik, jika akta itu
mempunyai daya bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga,
sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak, bahwa perbuatan-
12
perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukankan memberikan
suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.
Apabila seorang pejabat yang berwenang membuat suatu akta,
maka akta tersebut merupakan suatu akta otentik dan otensitasnya itu
bertahan terus bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda
tangannya pada akta tersebut tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia
tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian
pada saat pembuatan akta dan jika pejabat tersebut untuk sementara
waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta akta
tersebut tetap memiliki kekuatan otensitasnya, tetapi akta-akta tersebut
harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara
waktu itu dijatuhkan. Apabila suatu akta otentik yang berbentuk apapun
juga dituduh sebagai barang palsu maka pelaksanaan akta tersebut dapat
ditangguhkan sesuai dengan ketetapan-ketetapan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Dalam hal itu berlaku pada tingkat pertama ketentuan
tentang Actori incumbit probation artinya ; “orang yang menuduh sesuatu
barang palsu harus dapat membuktikannya”, jika ia mendasarkan
tuntutannya terhadap penipuan yang dilakukan, maka ia mengajukan
bukti-bukti tentang hal itu harus membuktikan fakta-fakta yang
dituduhkannya dan jika ia tidak dapat melakukan hal itu, maka ia
kehilangan semua dasar dari tuntutannya dan akta tersebut tetap
mempunyai daya bukti da pihak-pihak harus bersikap yang sama
terhadapnya.3
3 Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, h.34.
13
Undang-undang jabatan Notaris dengan tegas menyatakan bahwa
suatu akta otentik dapat ditentang berdasarkan kepalsuan, sebagaimana
bunyi Pasal 1872 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kepalsuan
tersebut dapat berupa dua macam yaitu :4
1. Pejabat yang melakukan pemalsuan terhadap akta misalnya
menguraikan didalam suatu surat wasiat mengenai hibah, yang
oleh pewaris tidak diperintahkan kepadanya dan pemalsuan ini
disebut pemalsuan intelektual, Pejabat yang memalsukan suatu
akta tidak dapat melakukannya dengan cara lain kecuali dengan
tujuan jahat.
2. Orang mengubah isi sesuatu akta setelah akta tersebut dibuat.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta
otentik menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, suatu akta otentik memberikan diantara para pihak
beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya. Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang
mengikat, dalam arti bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta
harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama
ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak
memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan
suatu penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti
yang mengikat dan sempurna. Akta otentik tidak hanya
membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuatu
4 Ibid, h.3514
yang dituliskan, tetapi juga sesuatu yang diterangkan tadi adalah
benar, Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285
RDS), dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya
memberikan bukti yang sempurna tentang tentang sesuatu yang
termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya
sekadar sesuatu yhang dituturkan itu ada hubungannya langsung
dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambila mengenai
segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala
sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta.
Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal,
yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis
dalam akta tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian
materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah
yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, disimpulkan bahwa
kekuatan pembuktian akta otentik, adalah sah sebagai berikut :5
a. Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan
orang orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna
/lengkap berate bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui,
tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai dibuktikan
sebaliknya oleh pihak lain.
b. Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya
kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika
5 Kusunaryatun, Hukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara Perdata),Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1999, h.59.
15
dibuktikan sebaliknya. Dari kekuatan pembuktian di atas, dapat
dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam
kekuatan pembuktian, yaitu meliputi :6
1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah
syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaris
dapat berlaku sebagai akta otentik.
2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah
kepastian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta
betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangakan oleh pihak-
pihak yang menghadap.
3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah
kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta
atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).
Salah satu kewenangan notaris yang diatur dalam pasal 15 ayat (1)
UUJN adalah membuat akta otentik. Selain kewenangan membuat akta
otentik, notaris juga berwenang mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus, membukukan surat-surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus, serta kewenangan-kewenangan lain yang
diatur dalam pasal 15 UUJN. Harus dibedakan kewenangan notaris dalam
membuat akta otentik, legalisasi maupun waarmerking. Kewenangan
6 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982,h.55
16
membuat akta otentik diatur pada pasal 15 ayat (1) UUJN, legalisasi diatur
dalam pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN, sedangkan kewenangan
waarmerking diatur dalam pasal 15 ayat (2) huruf b UUJN.
Apabila kewenangan membuat akta otentik, legalisasi atau
menetapakan suatu akta di bawah tangan dilakukan oleh notaris yang
berstatus tersangka, maka akta otentik maupun akta dibawah tangan
yang ditetapakan tersebut tetap sah dan memiliki kekuatan pembuktian
sama seperti akta dari notaris yang tidak berstatus tersangka. Hal ini
merupakan konskuensi bahwa notaris berstatus tersangka tetap
berwenang menjalankan tugas jabatannya. UUJN tidak mengatur
pemberhentian sementara bagi notaris berstatus tersangka seperti dalam
PJN (Staablad 1860 Nomor 3). Selama notaris berstatus tersangka maka
terhadap akta notaris yang bersangkutan harus dianggap sah, sepanjang
dalam pembuatan akta notaris tersebut berwenangg untuk membuat
aktta sesuai dengan keinginan para pihak, dan secara lahiriah, formal, dan
materiil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta
notaris.
Akta notaris sebagai produk dari pejabat umum, maka penilaian
terhadap akta notaris harus dilakukan denggan Asas Praduga Sah
(Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa. Asas ini
dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris harus
dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah.
Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan
gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan
17
sampai denggan ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuuatan
hukum tetap, mmaka akta notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau
siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Dengan demikian
kekuatan akta yang dibuat dihadapan notaris yang berstatus tersangka
adalah tetap mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yaitu meliputi
Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), Kekuatan
pembuktian formal (formale bewijskracht), dan Kekuatan pembuktian
materiil (materiele bewijskracht).
BAB III
PENUTUP
III.1. Simpulan
1. Status tersangka seorang notaris tidak menghalangi notaris untuk
melakukan tugas jabatannya membuat akta otentik,
mengesahkan, menetapakan maupun membubukan akta
dibawah tangan, dan kewenangan-kewenangan lain yang diatur
dalam pasal 15 UUJN. Notaris berstatus tersangka tetap
18
berwenang membuat akta otentik. Hal ini merupakan
implementasi dari asas Presumption of Innocence yaitu asas
praduga tidak bersalah.
2. Kekuatan akta yang dibuat dihadapan notaris yang berstatus
tersangka adalah tetap mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna, yaitu meliputi Kekuatan pembuktian yang luar
(uitwendige bewijskracht), Kekuatan pembuktian formal (formale
bewijskracht), dan Kekuatan pembuktian materiil (materiele
bewijskracht).
III.2. Saran
1. Dalam UUJN diperlukan ada pengaturan sanksi pidana bagi notaris
dalam menjalankan jabatannya, agar tidak timbul tarik ulur oleh
aparat penegak hukum dalam menetapkan status notaris dalam
suatu tindak pidana.
2. Dalam UUJN diperlukan adanya aturan tentang pemberhentian
sementara bagi notaris berstatus tersangka seperti dalam Staablad
1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia.
Notaris berstatus tersangka tetapi tetap menjalankan kewajibannya
akan menghasilkan citra yang kurang baik dari masyarakat terhadap
profesi notaris. Disamping itu, status tersangka akan membuat
notaris tidak mampu secara optimal memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
19
3. Dalam hal pembuatan Legalisasi, Waarmerking, serta melakukan
kewenangan lain diharapkan kepada para Notaris dapat dengan
sungguh-sungguh memperhatikan segala ketentuan perundang-
undangan yang terkait untuk menghindari munculnya permasalahan
hukum di kemudian hari. Notaris juga harus menjelaskan kepada para
pihak tentang perbedaan antara akta otentik (notaris), akta yang
dilegalisasi atau waarmerking.
DAFTAR BACAAN
20
Adam, Muhammad, Asal Usul dan Sejarah Akta Notariat, Sinar Baru,
Bandung, 1985.
Adjie, Habib, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 2009.
Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Kusunaryatun, Hukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara
Perdata),Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1999.
Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Rajawali, Jakarta,
1982.
Subekti, R., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
Peraturan Perundang-undangan ;
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris.
Peraturan Jabatan Notaris Staablad 1860 Nomor 3
21