essai lpdp
DESCRIPTION
essaiTRANSCRIPT
PERANKU BAGI BANGSA
Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara maju dalam beberapa dekade ke depan.
Sebagai sebuah negara yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) mayoritas berusia
produktif dalam 10-20 tahun ke depan, sumber daya alam yang kaya, letak geografis yang
strategis, dan pemerintahan yang demokratis, hal tersebut tidak mustahil. Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diberlakukan
tahun 2011 menujukkan target pada 2025, Indonesia akan memiliki pendapatan per kapita
berkisar antara USD 14.250–15.500 dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berkisar
antara USD 4,0–4,5 triliun dan pertumbuhan ekonomi riil 8,0–9,0% pada periode 2015–
2025. Target tersebut tentu saja akan membawa Indonesia pada kategori negara maju.
Pembangunan ekonomi Indonesia menujukkan gejala positif dalam satu dasawarsa terakhir.
Saat ekonomi dunia sedang krisis, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5% dan kemiskinan
berkurang dari 20,6% tahun 1990 menjadi 7,5% tahun 2010 (UNDP). Namun, esensi
pembangunan bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi. Pembangunan berarti kehidupan
yang lebih baik bagi semua orang. Hal inilah yang belum dicapai secara optimal di
Indonesia. Indeks Gini Indonesia meningkat dari 29,9% tahun 1999 menjadi 38,1% tahun
2011. Artinya terjadi peningkatan kesenjangan (inequality) antara penduduk kaya dan
miskin. 20% orang termiskin di Indonesia menyumbang 7% PDB tahun 2011, menurun dari
10% pada 1999 (World Bank). Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan PDB nasional
disebabkan oleh kenaikan pendapatan penduduk yang lebih kaya, membenarkan sindiran
populer di tengah masyarakat bahwa “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin
miskin”.
Pembangunan sejatinya adalah usaha untuk mensejahterakan suatu bangsa, berarti
kesejahteraan seluruh penduduk tanpa terkecuali. Konsep pembangunan sendiri sering
dinilai ambisius karena tujuannya yang dinilai sulit serta melibatkan barbagai bidang
kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
lain sebagainya. Namun, pembangunan untuk mencapai falsafah Pancasila sila ke-5,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.
Pemerintah selama ini telah menjalankan program yang bertujuan untuk mencapai target
pembangunan bangsa seperti penyelenggaraan Millenium Development Goals (MDGs) dan
pembuatan kebijakan-kebijakan sosial, contohnya pembentukan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang bertujuan menjamin hak dasar seluruh penduduk Indonesia.
Pemerintahan pun dijalankan dengan mengacu pada prinsip good governance, yaitu tata
pemerintahan yang baik di mana pemerintah bukan satu-satunya pihak dalam pemerintahan
tetapi juga didukung oleh sektor swasta dan masyarakat sipil. Peran serta masyarakat dalam
pemerintahan inilah yang dapat menjadi kunci keberhasilan pembangunan yang inklusif.
Sejak tahun 1970-an, governance diakui dunia sebagai landasan dalam pembangunan
karena dianggap sejalan dengan semangat demokrasi. Governance melibatkan partisipasi
masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Tidak seperti pada
masa Orde Baru ketika partisipasi masyarakat diartikan sebagai pengorbanan dan dukungan
masyarakat terhadap pemerintah, partisipasi pada sistem yang lebih demokratis dimaknai
sebagai peran aktif masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pengambilan keputusan,
implementasi, sampai evaluasi program pembangunan. Pembangunan yang berhasil
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat membutuhkan sistem politik yang
demokratis, pemerintahan yang baik (good governance), dan partisipasi aktif masyarakat
dalam proses pembuatan kebijakan dan implementasi pembangunan.
Partisipasi secara optimal tidak hanya membutuhkan pemerintah yang siap mengakomodasi
aspirasi publik tetapi juga masyarakat yang siap berpartisipasi aktif. Masyarakat perlu
bertransformasi menjadi civil society yang mandiri, yaitu masyarakat sipil yang mampu
menjalankan fungsi sebagai mitra sekaligus kekuatan penyeimbang (balancing forces)
pemerintah. Sayangnya, banyak kelompok masyarakat masih belum berkembang menjadi
civil society mandiri karena belum menggali dan mengembangkan social capital yang ada
padanya. Pemerintah juga masih lebih berfokus pada perbaikan internal institusinya, seperti
melalui reformasi birokrasi, sehingga social capital dan pembangunan civil society belum
mendapatkan perhatian lebih besar.
Perhatian dan studi tentang pentingnya peran serta dan gerakan-gerakan masyarakat dalam
proses pembangunan bangsa perlu untuk ditingkatkan. Oleh karena itu, saya ingin
mengambil bagian dalam studi tersebut dan menganalisisnya dalam konteks Indonesia.
Pembangunan sendiri merupakan studi yang multidisipliner sehingga saya ingin mendalami
pembangunan sebagai konsep yang politis, yaitu pembangunan sebagai proses pemerintahan
yang melibatkan berbagai stakeholders. Saya akan mendalami pembangunan berlandaskan
governance baik secara praktis maupun akademis, terutama dalam kaitannya dengan
masyarakat sipil serta potensi, gerakan dan peran serta mereka dalam mendorong
terselenggaranya proses pembangunan yang berkeadilan.
Kesuksesan Terbesar dalam Hidupku
Kesadaran untuk terus membangun diri adalah titik awal sebuah kesuksesan. Ketika kecil
sempat merasakan tak ada listrik, tak memiliki kamar mandi, tak ada angkutan umum,
membuat saya pernah mengalami perasaan inferior. Saya merasa sukses ketika saya keluar
dari perasaan tersebut dan kini memiliki keinginan untuk membangun diri lebih jauh.
Sejak kecil di bangku sekolah saya selalu berusaha belajar dengan baik. Saya selalu
peringkat pertama di Sekolah Dasar dan berusaha mempertahankan prestasi tersebut di
SMP sehingga ketika lulus saya mendapat peringkat 4 secara paralel (sekitar 280 anak).
Saya kira itu cukup. Namun, ketika saya bersekolah di SMAN 1 Kebumen, saya justru sempat
rendah diri karena ternyata karena hanya pelajaran yang saya tahu ketika teman-teman saya
berbakat, aktif dalam organisasi, kritis dalam berargumen, percaya diri berbicara di depan
umum, dan menguasai Bahasa Inggris dengan baik. Mereka memiliki kualifikasi yang saat
itu belum saya miliki.
Saya mencoba mengatasi rasa rendah diri tersebut. Saya belajar dari kesalahan orang di
sekitar yang hanya karena perasaan inferior mereka kehilangan banyak kesempatan. Saya
tidak mau mengulang kesalahan yang sudah dilakukan mereka sehingga saya bertekad untuk
menjadi lebih percaya diri. Jarak rumah ke sekolah saya cukup jauh sehingga saya
memutuskan untuk tinggal di kost yang dekat sekolah. Awalnya tidak mudah hidup di kost
tetapi justru itulah yang membuat saya belajar mandiri dan punya lebih banyak waktu di
sekolah.
Saya mulai ikut organisasi dan meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris. Saya mulai ikut
organisasi dengan menjadi pengurus Palang Merah Remaja yang memungkinkan saya
bertemu orang baru, menerima tamu, dan berkunjung ke sekolah lain membawa nama
organisasi. Untuk Bahasa Inggris, saya mulai sering ke warnet untuk chatting dengan orang
asing dan membaca e-book, kemudian mencatat kosakata yang tidak saya mengerti. Di saat
yang sama, saya tetap harus mengikuti pelajaran agar bisa lulus dan masuk perguruan tinggi
negeri. Alhamdulillah, dengan doa, usaha, dan dukungan dari banyak pihak, pada tahun
2010, saya lulus dan diterima di UNY dengan skor TOEFL tahun itu adalah 503. Dengan itu,
saya memulai babak baru dalam hidup saya. Hidup yang lebih percaya diri.
Semasa kuliah, saya mencoba menggali potensi sebaik mungkin. Kuliah bagi saya bukan
hanya kegiatan akademik tetapi juga kegiatan organisasi, hobi, dan pengalaman kerja. Saya
berusaha mengikuti kuliah dengan baik. Standar acuannya adalah masa studi tepat waktu
dan Indeks Prestasi yang baik, hasil dari keaktifan di kelas, tugas-tugas, dan ujian. Selama
tiga tahun berturut-turut saya juga menjadi penerima beasiswa untuk mahasiswa dengan
performa akademik bagus, yaitu beasiswa Pengembangan Prestasi Akademik (PPA) dari
UNY.
Saya menjadi pengurus organisasi kampus seperti Himpunan Mahasiswa dan UKM
Penelitian. Tahun 2011, saya aktif memimpin FORBI, sebuah forum diskusi ilmiah
membahas masalah sosial politik yang sedang terjadi di Indonesia saat itu. Diskusi tersebut
dilakukan rutin dua mingguan dan telah memberi saya kesempatan untuk berlatih berdiskusi
secara sehat, berpikir kritis, sekaligus lebih peka terhadap perkembangan bangsa. Tahun
2012, saya berhasil menjadi pembicara perwakilan mahasiswa dalam Seminar Nasional
UNY bertema “Inovasi Social Policy dalam Membangun Kesejahteraan Masyarakat yang
Membumi”, membawakan telaah kritis tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Saya
juga sering terlibat dalam berbagai kepanitiaan kegiatan mahasiswa termasuk menjadi
Ketua Panitia UNY Scientific Fair dalam rangka Dies Natalis ke-49 UNY yang mengundang
mahasiswa se-Indonesia untuk mengikuti LKTI tingkat nasional di UNY.
Dengan semua kegiatan tersebut, ada kalanya saya merasa penat dan saya melepaskannya
dengan hobi. Saya menekuni hobi membaca dan menulis fiksi. Sejak tahun 2011, saya
bergabung dengan komunitas menulis Writing Revolution dan pada 2012 menjadi
koordinator bedah cerpen mingguan di komunitas tersebut. Beberapa karya saya yang
dilombakan berhasil dimuat dalam beberapa antologi, yaitu: Dalam Genggaman Tangan
Tuhan (Penerbit WR, 2012), Serahim Nira (WR Publishing, 2012), Curhat Colongan Sahabat
Inspirasiku (LeutikaPrio, 2013), Kisah dari Rumah Kambira (WR Publishing, 2013), dan
Cenningrara (Penerbit WR, 2014). Saya juga pernah menulis artikel populer ketika saya
bekerja sebagai English content writer untuk [……] Jogja. Pekerjaan tersebut memberi saya
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris.
Alhamdulillah dengan semua kegiatan di atas, saya berhasil lulus dalam waktu 3 tahun 8
bulan dengan IPK [….] (cum laude). Namun, saya sadar suatu langkah maju tidak mengenal
kata usai. Untuk itu, saya ingin melanjutkan pendidikan agar diri saya lebih berkembang dan
dapat memberi manfaat kepada orang lain.
STUDY PLAN
Saya Endah Tri Anomsari, lulusan UNY Jurusan Ilmu Administrasi Negara. Saya ingin
melanjutkan studi ke University of Manchester, mengambil program International
Development: Politics, Governance and Development Policy. Pernah merasakan hidup di
desa dan kota, saya merasakan sendiri bagaimana pembangunan merupakan isu sentral
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selama menempuh S1, saya mempelajari
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sering diidentifikasi sebagai hubungan
patron-client. Dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, masyarakat ditempatkan sebagai
objek bagi berbagai program pembangunan pemerintah dan bukannya secara bersama-sama
mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat.
Saat melakukan penelitian skripsi saya yang berjudul Governance Program Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (Studi Kasus Lahan Perhutani di Kecamatan Karanggayam,
Kabupaten Kebumen), saya menemukan fenomena bahwa program yang dirancang untuk
menjukkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat belum berhasil setidaknya
disebabkan oleh dua hal, yaitu: sikap pemerintah yang dominan atas masyarakat dan
tertutup dan ketidakberdayaan civil society sendiri. Hal ini memperkuat studi pembangunan
yang saya pelajari selama menempuh S1, bahwa dalam bangsa pluralis yang demokratis,
setiap komponen bangsa perlu bekerja sama untuk mewujudkan pembangunan. Hal ini
menuntut setidaknya dua hal, yaitu: pemerintah yang lebih terbuka dan masyarakat yang
berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan.
IDPM menawarkan mata kuliah yang mempelajari permasalahan di atas. Mata kuliah wajib
tempuh adalah Development Fundamentals, Development Research, Policy Analysis, The
Politics and Governance of Development, dan Fieldwork (total 75 credits). Mata kuliah
wajib ini cukup menggambarkan bagaimana posisi pemerintah dalam membuat dan
melaksanakan pembangunan. Mata kuliah opsional, di sisi lain, menawarkan pembangunan
dilihat dari sudut pandang masyarakat. Mata kuliah pilihan minimal menempuh 45 credits
dan saya berencana mengikuti mata kuliah Civil Society and Public Action, Citizen-Led
Development, Economics of Governance and Development, E-Government, Representations:
Film, Literature and Media in Development, dan Public Sector Reform and Management.
Selain itu, ada Dissertation sepanjang kurang lebih 10.000 kata (60 credits). […..] ini
memiliki keunggulan dengan menawarkan Fieldwork di negara berkembang di Asia atau
Afrika untuk memahami implementasi pembangunan dan mata kuliah E-Government yang
berperan besar dalam menjalankan pemerintahan partisipatif. Studi tersebut ditempuh
kurang lebih selama 12 bulan mulai September 2015.
Saya merencanakan dissertation tentang pembangunan bottom-up yang diatur dalam UU No.
6 Tahun 2014 tentang Desa. Konsep pembangunan ini diharapkan akan lebih demokratis,
partisipatif, mengakomodasi potensi dan kearifan daerah, dan mengubah pandangan bahwa
masyarakat bukan objek program pemerintah tetapi mitra pemerintah seperti dalam
paradigma governance. Untuk mewujudkan keberhasilan implementasi UU Desa ini,
dibutuhkan kerja sama antara pilar-pilar governance, yaitu: pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat sipil. Pemerintah diharapkan menjadi lebih terbuka dalam hal pelayanan publik.
Dalam hal ini, mata kuliah E-government akan membantu memahami pentingnya kemudahan
dan keterbukaan pelayanan pemerintah secara online. E-government merupakan upaya
memangkas hierarki birokrasi yang terlalu panjang dan berbelit sehingga memperdekat
jarak antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya melalui blusukan online yang digagas
Presiden Joko Widodo, pengurusan izin usaha online, pajak online, dan lain sebagainya. Di
sisi lain, masyarakat perlu untuk menempatkan diri sebagai pelaku dalam pembangunan dan
bukan objek. Hal tersebut akan dipelajari dalam mata kuliah Civil Society and Public Action
dan Citizen-Led Development, yaitu bagaimana potensi dan gerakan masyarakat dalam
mengupayakan pembangunan berbasis masyarakat. Sektor swasta juga dapat ikut berperan
dalam pembangunan misalnya melalui corporate social responsibility, aids, dan usaha
ramah lingkungan.
Pembahasan dissertation tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana
pembangunan yang berbasis masyarakat dapat mengatasi masalah ketimpangan
pembangunan yang bersifat agglomerative. Dissertation ini juga diharapkan dapat memberi
telaah kritis mengenai sikap pemerintah dalam membuka dirinya dan menganggap sektor
swasta dan masyarakat sipil sebagai aktor lain dalam pemerintahan. Selain itu, masukan
bagi masyarakat dalam mengembangkan dirinya sendiri untuk menjadi civil society yang
mandiri diharapkan dapat dihasilkan dari dissertation ini.
Selesai menyelesaikan program ini, saya berminat menjadi [….] yang berfokus pada studi
governance and development berbasis masyarakat, walaupun tidak menutup kemungkinan
saya bergerak bersama [….] khususnya di bidang pembangunan. Menjadi [….] sesuai
dengan minat saya karena [……………………….. ] Di masa depan, saya ingin melanjutkan
studi S3 untuk lebih mendalami ilmu tersebut. Selain itu, saya ingin menulis ide-ide dalam
bentuk cerita pendek atau novel karena saya percaya, dengan fiksi ide-ide dapat menyentuh
lebih banyak orang dari berbagai kalangan.
Beasiswa LPDP 2: Pengalaman Seleksi LGD dan Wawancara
Posted on January 24, 2015by endahanomsari
Artikel ini ditulis pada 6 Desember, berselang dua tiga jam setelah saya wawancara…
Saya menemukan nama saya ada di antara sekitar 1.400 orang yang lolos seleksi tahap 1 alias
seleksi administrasi, 840-an di antaranya adalah sesama pendaftar magister luar negeri.
Artinya, saya berhak mengikuti selanjutnya yaitu verifikasi berkas, LGD, dan wawancara.
Jadwalnya dua hari, lokasinya tergantung pilihan saat online. Pilih lokasi yang paling dekat
dengan tempat tinggal kalau tidak mau mengeluarkan biaya lebih banyak karena seluruh
akomodasi dan biaya perjalanan untuk seleksi tahap 2 ditanggung peserta. Lokasinya ada di
Medan, Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya dan Makassar. Saya pun mengikuti seleksi tahap 2
di Jogja pada 5-6 Desember 2014.
Setelah dapat pengumuman lolos, rajin cek e-mail ya biar tidak ketinggalan informasi. Pada
seleksi tahap 2, seluruh peserta harus verifikasi dokumen. Untuk LGD dan wawancara
dijadwal, ada yang dapat jadwal dalam sehari, ada yang dua hari. Ada yang LGD dulu baru
wawancara, ada yang wawancara dulu baru LGD. Saya dapat jadwal dua hari, LGD dulu baru
wawancara di hari berikutnya.
LGD, sesuai namanya, Leaderless Group Discussion adalah diskusi tanpa ketua atau
pemimpin. Setiap grup sekitar delapan orang (kelompok saya hanya tujuh karena satu
pelamar program doktor mengundurkan diri, sudah menerima beasiswa lain). Latar belakang
keilmuan dan tingkatan digabung. Satu grup saya, misalnya, terdiri dari pelamar program
doktor, dokter spesialis, magister dalam negeri dan luar negeri. Bidang keilmuan pun
berbeda. Waktu untuk LGD adalah sekitar 45 menit. Tema yang dibahas bervariasi,
kelompok saya saat itu mendapat tema tentang UU Minerba, bagaimana jika ekspor Minerba
mentah dihentikan dan kita mengolahnya di dalam negeri. Setelah itu ada pertanyaan yang
wajib didiskusikan kelompok.
Proses LGD ditunggui oleh 2 orang psikolog, saya tidak tahu apanya yang dinilai tetapi
dengar-dengar dari sesama peserta, ada 2 hal yang dinilai; kepemimpinan (berpikir strategis)
dan kepribadian (cara bicara, etika diskusi, kepercayaan diri, dll). Dan percayalah 45 menit
bukan waktu yang lama untuk diskusi, apalagi ada delapan kepala. Mau tak mau, usahakan
seefisien mungkin bicara, agar yang lain kebagian giliran juga. Sehebat dan semenguasai
apapun kita dalam bidang itu, jangan terlalu mendominasi. Ingat di situ ada pelamar lain yang
juga harus mengutarakan pikirannya!
Hari pertama menunggu LGD adalah penantian panjaaangggg!!! Semua peserta wajib datang
pukul 08.00 lalu kami harus menunggu giliran. LGD saya dapat sekitar setengah empat sore,
mundur satu jam dari jadwal seharusnya. Itu masih mending. Bagi yang wawancara hari
pertama jadwal sore, ada yang sampai menjelang maghrib. Memang ada pilihan untuk pergi
dulu, tapi…kecepatan seleksi sungguh tidak terduga. Daripada ketika dapat giliran orangnya
tidak ada lalu gugur, lebih memilih untuk menunggu di tempat bukan? Dengan 230 orang
yang seleksi di Jogja, sungguh ramaiiii…
Tempat seleksi di UNY. Tadinya di UIN, kemudian pihak LPDP menghubungi lagi tempat
dipindah ke UNY. Tips untuk LGD katanya sih, jaga kekompakkan grup, dengarkan semua
pendapat, dan jangan memandang rendah pendapat salah satu anggota grup. Jujur saya tidak
tahu apa saja yang dilihat para psikolog jadi saran saya hanya, ketahui kasus-kasus terbaru
karena yang diangkat adalah masalah nasional yang sedang populer. Kemudian, ketika bicara,
percaya diri saja. Kalau bisa, ketemu teman satu grup sebelum LGD mulai agar sudah saling
kenal dan nantinya tidak canggung saat diskusi.
Untuk wawancara, jadwal saya maju dari rencana. Memang karena wawancara berlangsung
lebih cepat. Jadwal saya 10.50 tetapi saya sudah dipanggil pada 09.50. Saya adalah peserta
terakhir yang diwawancara! Iya, benar-benar terakhir! Wawancara saya singkat sekali, hanya
20 menit. Ada tiga pewawancara dalam setiap tim. Saya diwawancara oleh tim 3 yang terdiri
dari dua wanita dan satu laki-laki. Salah satu di antara mereka, yang wanita, adalah psikolog.
Sementara wanita satunya kalau tidak salah dosen hukum. Yang laki-laki saya tidak tahu,
Bapak ini pendiam, hanya mengajukan dua pertanyaan. Para interviewer ini sudah membaca
formulir aplikasi dan essay kita, dan saat kita wawancara, mereka memandangi laptop
masing-masing untuk mengkroscek jawaban kita dengan apa yang kita tulis di aplikasi.
Saya sama sekali tidak ditanyai soal studi (hanya ditanya soal relevansi S1 dengan S2 yang
akan saya ambil). Kebanyakan pertanyaan bersifat pribadi. Saya ditanya tentang mengapa
saya memilih universitas itu, bagaimana keluarga saya, apakah orangtua saya merestui kalau
saya pergi jauh, kapan saya akan mendaftar ke universitas, kelebihan dan kekurangan saya,
rencana ke depan saya, kegiatan saya di masyarakat, dan lain sebagainya.
Ada yang dapat pengalaman mereka dikejar oleh tim dengan pertanyaan-pertanyaan, tetapi
saya tidak. Tapi, entah bagaimana, saya melihat mereka tidak mengejar saya karena
sepertinya mereka sudah cukup yakin dengan saya, bukan karena mereka tidak tertarik
(walau saya takut berpikiran seperti itu, takut kepedean dan nanti hasilnya tidak sesuai
harapan, saya akan lebih kecewa). Ada juga yang dapat pengalaman salah satu dari
pewawancara mencoba mengintimidasi, tapi saya tidak dapat pengalaman itu. Malah, salah
satu pewawancara bertanya, Anda sering sedih? Pasti nggak ya? Aduh, apa sebegitu kejinya
tampang saya ini? Saya pun beberapa kali menjawab pertanyaan dengan “iya” atau “tidak”
tanpa menjelaskan apapun lagi (saya merasa memang beberapa pertanyaan tidak perlu saya
perpanjang, cukup “iya” atau “tidak” yang diucapkan dengan mantap, saya percaya itu justru
akan menunjukkan kelugasan dan keyakinan saya akan jawaban itu). Saya baru kepikiran
ketika pulang, seharusnya saya menjawab lebih panjang, agar mereka bisa melihat saya lebih
jauh. Tapi itu tadi, beberapa pertanyaan saya merasa tak perlu memperpanjangnya.
Misal: Anda sering menangis? Saya hanya menjawab tidak. Lalu si bapak bertanya Anda
sudah punya pacar? What!!!
Pertanyaan ada dalam bahasa Indonesia dan Inggris, sekitar 50:50. Yang paling banyak
bertanya justru ibu psikolognya! Beliau yang tanya tentang aktivitas saya, karakter saya yang
bisa meyakinkan mereka kalau saya layak, kekurangan kelebihan, dll. Ibu psikolog ini juga
yang bertanya dalam Bahasa Inggris. Dan, bertanyanya tidak digilir. Jadi satu interviewer
bertanya, kadang disambung oleh interviewer lain, jadi mereka tidak giliran bertanya.
Pertanyaan terakhir untuk saya, saya ditanya di mana saya belajar bahasa Inggris kok bisa
bahasa Inggris saya bagus (menurut ibu itu). Saya bilang saya tidak pernah les, hanya sejak
SMP saya memperhatikan pelajaran di sekolah dan mengembangkannya dengan baca e-
book, chatting, dan nulis blog. Kemudian ibunya bilang maksud beliau speaking-nya, dan
saya dengan ketawa bodoh bilang saya latihan sendiri ngomong di depan cermin wkwk
Wawancara hanya 20 menit, saya tidak melihat mereka tidak tertarik pada saya tapi saya
melihat justru mereka seperti…sudah cukup tahu saya dan tidak perlu tanya apa-apa lagi.
Saya pun pamit, ibu psikolognya senyum dan bilang sukses ya mbak, dan saya juga
menyalami yang lain dan mereka semua tersenyum. Dosen hukumnya terkejut ketika
bersalaman dengan tangan saya yang dingin, saya memang nervous. Saya bukan orang yang
biasa nervous berbicara pada orang tapi wawancara itu memang spesial, sesuatu yang
mungkin akan mengubah hidup saya! Saya benar-benar nervous dan ketika saya katakana itu
kepada dosen hukum itu, ibunya tertawa!
Saya keluar ruang wawancara sambil tersenyum sendiri. Entah mengapa saya merasakan aura
positif di ruang wawancara (jangan tanyakan saya soal bagaimana kok yang terasa aura,
pokoknya saya hanya merasa). Dari ekspresi dan kalimat para interviewer, saya mendapat
kesan mereka yakin pada saya. Namun begitu pulang, saya berpikir dan terus berpikir,
mengapa wawancara saya secepat itu? Katanya semakin lama wawancara, tandanya semakin
besar kemungkinan lolos, lalu saya apa yang hanya 20 menit pun (sejujurnya) kurang 2 menit
tapi saya khawatir untuk mengakui bahwa sebenarnya wawancara saya hanya 18 menit?
Jangan-jangan saya kepedean, berpikir bahwa mereka sudah cukup yakin dengan saya
sehingga tidak perlu tanya apa-apa lagi ketika sebenarnya mereka tidak berpikir untuk
meloloskan saya (bayangkan, ada ribuan orang yang ikut wawancara!). Tapi, saya mencoba
berpikir positif. Saya harus yakin. Kalau saya tidak yakin pada diri saya, bagaimana saya bisa
meyakinkan orang lain untuk mempercayai saya? Saya pun menunggu….