epistaksis fix.docx

18
BAB I PENDAHULUAN Epistaksis merupakan perdarahan yang berasal dari hidung . Diperkirakan 60 % dari populasi pernah mengalami epistaksis, dan sebanyak 6% memerlukan penanganan medik. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Epistaksis ringan biasanya berasal dari anterior septum nasi sebagai akibat dari cidera kecil pada mukosa septum, pada anak-anak seringkali terjadi akibat mengorek hidung, sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat mukosa kering sebagai akibat pengaruh kelembapan udara, trauma, ulkus dan hipertensi 1,2 . Prevalensi epistaksis sulit dinilai karena mayoritas berheti sendiri dan tidak dilaporkan. Namun, sekitar 90 % dari total kejadian epistaksis ialah tipe anterior, dan 10 % sisanya merupakan epistaksis tipe posterior. Pada populasi anak dan dewasa muda cenderung beresiko untuk menderita epistaksis berulang pada daerah anterior hidung yang melibatkan pleksus Kiesselbach, sedangkan pada 1

Upload: yunis-amna-fadhillah

Post on 07-Jul-2016

225 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: epistaksis fix.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan yang berasal dari hidung . Diperkirakan 60

% dari populasi pernah mengalami epistaksis, dan sebanyak 6% memerlukan

penanganan medik. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit

lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan

medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah

kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Epistaksis

ringan biasanya berasal dari anterior septum nasi sebagai akibat dari cidera kecil pada

mukosa septum, pada anak-anak seringkali terjadi akibat mengorek hidung,

sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat mukosa kering sebagai akibat pengaruh

kelembapan udara, trauma, ulkus dan hipertensi 1,2.

Prevalensi epistaksis sulit dinilai karena mayoritas berheti sendiri dan tidak

dilaporkan. Namun, sekitar 90 % dari total kejadian epistaksis ialah tipe anterior, dan

10 % sisanya merupakan epistaksis tipe posterior. Pada populasi anak dan dewasa

muda cenderung beresiko untuk menderita epistaksis berulang pada daerah anterior

hidung yang melibatkan pleksus Kiesselbach, sedangkan pada golongan usia tua dan

lansia, resiko untuk terjadi epistaksis posterior lebih sering muncul.

1

Page 2: epistaksis fix.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar

menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan

yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung

luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung

(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5)

kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior) 1.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os

nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum 1.

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum

di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,

konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior 1.

2

Page 3: epistaksis fix.docx

II.2 Vaskularisasi hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoidalis

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dan a.karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,

di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di

belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan

dari cabang – cabang a.fasialis1.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang

disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial

dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis

(pendarahan hidung) terutama pada anak 1.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke

v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak

memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran

infeksi hingga ke intracranial1.

Gambar 1. Vaskularisasi hidung

3

Page 4: epistaksis fix.docx

II.3 EPISTAKSIS

Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung. Berdasarkan

tempat asal perdarahan, epistaksis di klasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu 2:

1. Epistaksis anterior

Berasal dari pleksus Kiesselbach yang terdiri dari ujung-ujung a.etmoidalis,

a.sfenopalatina, a.palatina mayor, dan arteri labialis superior. Kebanyakan dari

septum bagian anterior atau dari a.etmoidalis anterior. Perdarahan pada

septum anterior biasanya ringan kerena keadaan mukosa yang hiperemis atau

kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali

berulang dan dapat berhenti sendiri.

Gambar 2. Epistaksis anterior

2. Epistaksis posterior

Berasal dari a.sfenopalatina atau a.etmoidalis posterior. Perdarahan biasanya

lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien

hipertensi, arteriosclerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena

pecahnya a.sfenopalatina.

4

Page 5: epistaksis fix.docx

Gambar 3. Epistaksis posterior

Epistaksis disebabkan oleh berbagai hal, baik yang bersifat local maupun

sistemik, tetapi dapat juga idiopatik.

1. Penyebab lokal 1,2,3

- Trauma

perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan mengorek

hidung, bersin, mengeluarkan ingus terlalu keras, benturan, atau

sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti dipukul , jatuh atau

kecelakaan lalu lintas sehingga terjadi fraktur. Selain itu juga bisa

terjadi akibat adanya corpus alienum (benda asing ) tajam atau trauma

pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi akibat adanya spina septum yang

tajam. Perdarahan dapat terjadi ditempat spina itu sendiri atau pada

mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami

pembengkakan.

- Kelainan pembuluh darah local

Biasanya merupakan kelainan kongenital. Pembuluh darah

lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

- Infeksi local

5

Page 6: epistaksis fix.docx

Epistaksis dpat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal

seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti

rhinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis atau lepra.

- Pajanan zat kimiawi (spray nasal kokain)

- Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma.

Yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan

epistaksis berat.

2. Penyebab sistemik 1,2,3

- Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,

trombositopenia, bermacam2 anemia, serta hemoflia.

- Obat-obatan ( obat anti pembekuan darah, warfarin)

- Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi

pada aterosklerosis, nefritis kronis, sirosis hepatis atau diabetes

mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada

penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.

- Perubahan udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada ditempat

yang cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa

disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industry yang

menyebabkan keringnya mukosa hidung.

- Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah

telangiektasis hemoragik herediter ( hereditary hemorrhagic

teleangiektasis – Osler – Rendu- Weber disease). Juga sering terjadi

pada Von Willanbrand Disease.

- Infeksi sistemik

6

Page 7: epistaksis fix.docx

Yang sering mneyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (

dengue hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbili juga

dapat disertai epistaksis.

- Gangguan hormonal

epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau

menopause karena pengaruh perubahan hormone.

3. Idiopatik (pada 10% kasus)

TATALAKSANA

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan (dari anterior atau posterior), hentikan perdarahan, dan mencari faktor

penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Kemudian pasang tampon

sementara yaitu dengan menggunakan kapas yang sudah dibasahi dengan adrenalin

1/5000 – 1/10000 dan pantocain atau lidocain 2%. Lalu kapas tersebut dimasukkan ke

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri

pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit.

Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari

bagian anterior atau posterior hidung1.

a. Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach diseptum

bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior,

terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan memposisikan pasien dalam

keadaan duduk tegak condong kedepan, posisi kepala terangkat, tetapi tidak

hiperekstensi untuk mencegah aspirasi, lalu lakukan penekanan langsung dengan jari

1pada kedua cuping hidung kearah septum ( lokasi pleksus Kiesselbach) selama 10-

15 menit. Biasanya perdarahan akan segera berhenti terutama pada anak-anak.

Edukasi pasien untuk tetap bernapas melalui mulut1.

7

Page 8: epistaksis fix.docx

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik

dengan larutan Nitras Argentil (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi

krim antibiotik. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu

dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kassa yan diberi

pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah

dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut1.

Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus

dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, setelah itu

harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan

pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih

belum berhenti, dipasang tampon baru1.

Selain itu, dapat pula dilakukan kauterisasi. Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 % 4. Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan larutan asam 5. triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi.Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.5

Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya6.

b. Perdarahan posterior

8

Page 9: epistaksis fix.docx

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya

perdarahannya hebat dan sulit dicari sumbenya dengan rhinoskopi anterior. Untuk

menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon tampon

posterior, yang disebut dengan tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat

yang dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. pada tampon ini terikat 3 utas

benang, 2 buah di satu sisi dan 1 buah disisi berlawanan1.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan

bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di

orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang

tampon Bellocq tadi, kemudian tampon ditarik kembali melalui hidung sampai

benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk

untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan,

dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi.kedua benang yang keluar dari

hidung diikat dengan sebuah gulungan kain kasa didepan nares anterior, supaya

tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Bennag lain yang keluar dari

mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Guannya ialah untuk menarik

tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena

dapat menyebabkan laserasi mukosa1.

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misal pada kasus angiofibroma,

digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,

dan tampon posterior terpasang ditengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti

tampon Bellocq dapat digunakan kateter Folley dengan balon1.

9

Page 10: epistaksis fix.docx

Gambar 4. Protokol tatalaksana epistaksis 8

KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN

Komplikasi dapat terjadi sebgai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai

akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat

terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,

anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat

menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark

10

Page 11: epistaksis fix.docx

moikard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau

transfuse darah harus dilakukan secepatnya1 .

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu

diberikan antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rhinosinusitis, otitis media,

septicemia, atau Toxic Syok Syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan

antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus

dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru1.

Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah

melalui tuba Eustachius, dan airmata berdarah, akibat mengalirnya darah secara

retrograde melalui duktus nasolakrimalis 1.

Pemasangan tampon posterior (tampon belloq) dapat menyebabkan laserasi

palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat

diletakkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balo n tidak boleh dipompa terlalu

keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum 1.

MENCEGAH PERDRAHAN BERULANG

Epistaksis berulang biasnya terjadi karena interaksi yang simultan antara

empat faktor berikut : 1). Deformitas septum anterior yang spesifik 2). Dilatasi

pembuluh darah- pembuluh darah pada pleksus Kiesselbach 3). Infeksi pada kulit

hidung 4). Keturunan (herediter)5. Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi

dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan

pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula

darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada

sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan anak apabila dicurigai ada

kelainan sistemik 1.

11

Page 12: epistaksis fix.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Wardani RS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia;2012:131-135.

2. Himayati N, Mangunkusumo E.Kapita Selekta Kedokteran.Edisi ke-4. Jakarta

Pusat: Media Aesculapius;2014:1044-1046.

3. Fatakia A, Winters R, Amedee RG. Epistaxis: A common problem. The

Ochsner Journal:2010:10:176-178.

4. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB SaundersCompany, 1997: 1831 – 41.

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 – 60.

6. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.

7. Scitarelic N, Culina Z,Bacic I.Anterior Recurrent Epistaxis From

Kiesselbach’s Area. European Scientific Journal;2014:3:205-207

12

Page 13: epistaksis fix.docx

8. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management.

Postgrad Med J 2005; 81: 309-14.

13