epistaksis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan penyakit, berupa keluarnya
darah dari hidung. Perdarahan yang terjadi di hidung bisa diakibatkan kelainan setempat atau
penyakit umum. Penting sekali untuk mencari asal perdarahan dan menghentikannya, selain
itu juga menemukan dan mengobati sebabnya.
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti
dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien
sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupunjarang dijumpai, dapat
mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal apabila tidak segera
ditolong.4
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung, dapat berupa perdarahan anterior dan
perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari septum
bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Prevalensi dari epistaksis
sesungguhnya tidak dapat diketahui karena dalam beberapa kasus epistaksis dapat sembuh
spontan dan tidak dilaporkan.2,4,6
Dalam penanganan pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit dari
pasien tersebut. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
yang mendasari epistaksis. Secara umum penyebab epistaksis terbagi atas penyebab lokal dan
sistemik. Penyebab lokal antara lain karena trauma, benda asing, infeksi, iatrogenik,
neoplasma dan zat kimia. Penyebab sistemik berupa penyakit kardiovaskular, gangguan
endokrin, infeksi sistemik, teleangiektasis hemoragik herediter, kelainan hematologi, obat-
obatan dan defisiensi vitamin C serta defisiensi vitamin K.2,4,5,6
1
BAB II
STATUS PASIEN
II.1. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Usia : 63 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
CM : 1253572
Tanggal Masuk : 4 Juni 2013
II..2. Anamnesa
Keluhan utama : Keluar darah dari lubang hidung bagian kanan sejak 3 hari yang lalu
Keluhan tambahan : -
Riwayat Penyakit : Pasien datang dari IGD, konsul ke poli THT dengan keluhan keluar
darah dari lubang hidung bagian kanan sejak 3 hari yang lalu, sempat
disumbat dengan kapas serta daun sirih berhenti namun timbul lagi.
Pasien mengatakan keluar darah dari lubang hidung bagian kanan
terjadi ketika pasien pulang dari pasar siang hari, lalu sempat
berhenti setelah disumbat dengan kapas serta daun sirih namun
timbul lagi, dibawa ke klinik terdekat diberikan obat berupa vit.K,
2
dan karena pasien merasa tidak adanya perbaikan akhirnya dibawa ke
IGD RSUP. Pasien juga mengatakan 1 tahun yang lalu pernah
memiliki keluhan serupa berupa keluar darah dari lubang hidung
namun ada perbaikan setelah berobat ke klinik tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan paru,
kelainan darah, trauma pada hidung sebelumnya, dan pemakaian obat
pengencer darah disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan paru
disangkal pasien
II.3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Lemah, berbaring di tempat tidur
b. Kesadaran : Kompos Mentis
c. Tanda Vital : TD 140/90 mmHg, Nadi 83x/menit , RR 21x/menit
Suhu 36,3 C
d. Pemeriksaan fisik :
- Mata : Konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-)
- Jantung : BJ I-II reguler, gallop (-)
- Paru : Suara nafas vesikuler, murmur (-), wheezing (-)
- Abdomen : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas : Akral hangat
e. Pemeriksaan THT :
A.D Penilaian A.S
Tidak ada kelainan Daun Telinga Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan Retroaurikuler Tidak ada kelainan
Lapang, Hiperemis (-)
Serumen (-),
kolesteatoma (-)
Liang Telinga
Lapang, Hiperemis (-)
Serumen (-),
kolesteatoma (-)
Intak Gendang Telinga Intak
Tes penala : tidak dilakukan
3
N.D Penilaian N.S
Tidak ada kelainan,
lesi dan udema (-)Hidung Luar
Tidak ada kelainan,
lesi dan udema (-)
Hiperemis (-),
furunkel (-)Vestibulum
Hiperemis (-),
furunkel (-)
Tidak ada kelainan Lubang Hidung Tidak ada kelainan
Lapang, hiperemis (+),
sekret (-), krusta (+)Rongga Hidung
Lapang, hiperemis (-),
sekret (-)
Lurus Septum Lurus
Tidak ada kelainan Dasar Hidung Tidak ada kelainan
Normal Konka Medius Normal
Normal Konka Inferior Normal
Nyeri (-) Sinus Nyeri (-)
Penilaian Kavum Oris
Uvula terletak di tengah
Faring simetris, hiperemis (-), granulasi (-)
Tonsil T1-T1, granulasi (-), kripta (-), dedritus (-)
f. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin Nilai Normal
Leukosit
Hitung Jenis
- Netrofil
- Limfosit
- Monosit
- Eosinofil
- Basofil
2.80 ribu/mm3
58.2%
27.5 %
10.7 %
3.2 %
0.4 %
5-10
50-70
25-40
2-8
2-40
0-1
Eritrosit 2.93 juta/uL 3.6-5.8
4
Hemoglobin 9.5 g/dL 12.0-16.0
Hematokrit 28 % 35-47
MCV 93.9 fL 80-100
MCH 32.4 pg 26-34
MCHC 34.5% 32-36
RDW-CV 14.2 % 11.5-14.5
Trombosit 54 ribu/mm3
~duplo~
150-440
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 135 mg/dL <180
Hemostasis
PT-INR
Masa Prothrombin (PT)
INR
Control
17.2 detik
1.44
14.8 detik
10-14
0.83-1.16
12-16
APTT
APPT OS
Control
40.6 detik
33.1 detik
28-40
26.9-35.3
II.4. Kesimpulan Pemeriksaan
a. Anamnesis
- Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari lubang hidung bagian
kanan sejak 3 hari yang lalu.
- Terdapat riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya 1 tahun yang lalu.
b. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum baik
- Tanda vital : Hipertensi gr. II
- Keadaan aurikula baik dan liang telinga terdapat serumen
- Keadaan hidung terdapat hiperemis di rongga hidung sebelah kanan.
- Keadaan tenggorokan baik.
c. Pemeriksaan Penunjang5
- Terdapat tombositopenia
- Terdapat gangguan hemostasis darah
II.5. Diagnosa Kerja
Epistaksis Anterior ec trombositopenia dan hipertensi grade II
Adanya keluhan keluar darah dari lubang hidung serta memiliki riwayat
sebelumnya
Pemeriksaan fisik ditemukan hipertensi grade II, hiperemis pada rongga
hidung bagian kanan.
Pemeriksaan penunjang ditemukan trombositopenia dan gangguan
hemostasis darah
II.6. Terapi
- Menjaga kestabilan airway, breathing, circulation
- Pemasangan tampon anterior
- Asam traneksamat tablet 3x1 dan vitamin K 3x1
II.7. Saran
Konsultasi IPD
II.8. Prognosis
Dubia ad bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Anatomi Hidung
III.1.1. Anatomi Hidung
Hidung di bagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1
a. Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
- Pangkal hidung
- Ala nasi
- Dorsum nasi
- Kolumela
- Puncak hidung
- Lubang hidung
Bagian Kerangka tulang hidung terdiri dari :
- Sepasang os nasalis
- Prosesus frontalis os maksila
- Prosesus nasalis os frontalis
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu:
- Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
- Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
- Tepi anterior kartilago septum
7
b. Rongga hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian
anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Vestibulum
terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise,
sedangkan septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang
terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila,
krista nasalis os palatine sedangkan bagian tulang rawan terdiri dari kartilago
septum dan kolumela.
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media
dan konka superior. Sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
8
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid.
Vaskularisasi Hidung
Suplai vaskular pada bagian atas rongga hidung berasal dari a.etmoid anterior
dan bagian posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung diperdarahi dari cabang a.maksilaris
interna, diantaranya ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media dan bagian depan hidung juga mendapat
perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis.1,3
Sebagian besar kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, karena
depat septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatine mayor, yang disebut Pleksus
Kiesselbach. Letak pleksus kiesselbach berda superfisial dan mudah cedera oleh
trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis, terutama pada anak-anak.
Perdarahan pada bagian posterior hidung berasal dari a.sfenopalatina.1,3
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan bersamaan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup sehingga menjadi faktor predisposisi mudahnya penyebaran
infeksi sampai intrakranial.1,3
Gambar 1. Vaskularisasi Hidung
9
Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan paranasal adalah:
1. Fungsi Respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung
menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung
ini berbentuk lengkungan atau arcus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap
air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara melalui
hidung diatur sehingga berkisar 370C.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu,
virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh:
- Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi;
- Silia;
- Palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2. Fungsi Penghidu
Adanya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra
pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan dan juga untuk membedakan rasa asam.
3. Fungsi Fonetik
Berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting
untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
10
(rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun utnuk aliran udara.
4. Fungsi Statik dan Mekanik
Berguna untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas
5. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflaks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi liur, lambung dan pankreas.
III.2. EPISTAKSIS
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit
lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan
medis, ttapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan
yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.2
Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-
kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal
pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara
lingkungan. Kelaianan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi
sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital.2,4,6
- Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai akibat
11
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain
itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan
bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
- Kelainan pembuluh darah (lokal)
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya
lebih sedikit.
- Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau
sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus,
sifilis atau lepra.
- Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
- Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat
fatal.
- Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukimia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.
- Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis
hemoragik heredir (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber
disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.12
- Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue hemorrhagic
fever). Demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat disertai epistaksis.
- Perubahan udara atau tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada ditempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di
tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.
- Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.
Sumber Perdarahan
Melihat asalnya perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan
walaupun kadang-kadang sulit.2,4,6
- Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari
arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena
keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan
terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.2,4,6
- Epistaksis posterior
Dapat berasal arteri sfenoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien
hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena
pecahnya arteri sfenopalatina.2,4,6
13
Penatalaksanaan2,4,5,6
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya
dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau diisap.
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat
apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung
dan alat penghisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan
sebab perdarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya
setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan
sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.
Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak
dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang
telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2%
dimasukkan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi
rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-
15 menit. Setelah terjadi vasokontriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal
dari bagian anterior atau posterior.
- Menghentikan perdarahan2,4,5,6
14
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada
anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit,
seringkali berhasil
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi antibiotik.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas
vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah
dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut.
Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat
menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan
masih belum berhenti, dipasang tampon baru.
Tampon anterior
Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior.
15
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk
kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2
buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu
ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq
tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan
dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bntuan jari telunjuk untuk dapat
melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka
dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar
dari hidung diikat pada sebuah gulungan kainkasa di depan nares anterior, supaya
tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari
mulut diikatkan secara longgr pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena
dapat menyebabkan laserasi mukosa.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.
Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang
khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan
endoskop.
16
Tampon posterior
Komplikasi Dan Pencegahannya2,4,5
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan
darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
17
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila
perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba eustachius dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara
retrogad melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum
mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada
pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
Mencegah Perdarahan Berulang2
Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon,
selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto
polos atau CT-scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit dalam atau
Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien didiagnosa dengan epistaksis anterior ec hipertensi grade II dan
trombositopenia, berdasarkan dari hasil anamnesa dan pemeriksaan THT, dimana didapatkan
dari anamnesa pasien keluar darah dari hidung sebelah kanan dan 1 tahun sebelumnya pernah
mengalami hal serupa. Keluhan keluar darah dari hidung sempat berhenti menunjukkan
gambaran epistaksis anterior. Namun, keluar darah dari hidung timbul lagi sehingga
diperlukan mencari etiologinya, dari anamnesa pasien menyangkal riwayat hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung dan paru, kelainan darah, trauma pada hidung sebelumnya,
dan pemakaian obat pengencer darah.
Untuk mencari etiologi epistaksi selain dari anamnesa, dilakukan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan pasien hipertensi grade
II dan dari pemeriksaan penunjang berupa laboratorium darah ditemukan tromobositopenia
dan gangguan hemostasis.
Tatalaksana yang diberikan berupa pemasangan tampon anterior dengan tujuan
menghentikan perdarahan dengan menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach, disamping itu
juga tetap menjaga kestabilan airway, breathing, circulation. Pemberian asam traneksamat
merupakan obat antifibrinolitik yang menghambat pemutusan fibrin dengan cara memblok
ikatan plasminogen terhadap fibrin. Pemberian vitamin K juga berperan dalam proses
pembekuan darah. Selain itu konsul IPD dilakukan untuk mencegah epistaksis berulang yang
disebabkan adanya kelainan sistemik
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto, Damayanti, dkk. 2012. Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Maungkusumo, E.dan Wardani, R. 2012. Epistaksis. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. J. Budiman, Bestari, Al Hafiz. Tinjauan Pustaka: Epistaksis dan Hipertensi Adakah
Hubungannya?. Accessed from : http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_1no_2/75-
79.pdf (9 Juni 2013)
4. Munir, Delfitri, dkk. Epistaksis. Accessed from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20688/1/mkn-sep2006-%20sup
%20%2815%29.pdf (9 Juni 2013)
5. Kucik, CJ, and Clenney, T. 2005. Management of Epistaxis. American Family
Physician, Vol.71, No.2 Accessed from : www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.html
6. Schlosser, RJ. 2009. Epistaxis : Clinical Practice. The New Englans Journal of
Medicine
20