elib.unikom.ac.idelib.unikom.ac.id/files/disk1/349/jbptunikompp-gdl... · web viewbab i pendahuluan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia yang mengalami perkembangan cukup pesat ini sebagai
negara yang masih berkembang Indonesia cukup kelelahan mengikuti
perkembangan jaman khususnya dalam bidang ekonomi. Ada penjual pasti ada
konsumen, seiring berkembangnya jaman tingkat kebutuhan pun semakin
meningkat dan berbagai barang yang ditawarkan kepada konsumen pun semakin
beragam. Umumnya kita sering menemukan dalam hal membeli barang seperti
kata-kata ”memecahkan berarti membeli” atau ”teliti sebelum membeli, barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar ataupun dikembalikan”. Meskipun kata-
kata atau klausula-klausula tersebut ditulis dengan huruf jelas namun terkadang
menimbulkan suatu masalah yang cenderung lebih merugikan konsumen.
Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan
dimaksud adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya
disebut BPSK. Dengan demikian tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa
BPSK adalah Badan publik yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang
eksklusif dibidang perlindungan konsumen.
2
B. Sejarah Badan Penyelesaian Konsumen
BPSK kota Bandung ini merupakan amanat dari Undang-Undang No.8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang kemudian dipertegas oleh KEPPRES
No.90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota
yang salah satunya adalah kota Bandung.
Kedudukan BPSK kota Bandung berada di bawah Pemerintah kota Bandung,
telah berdiri sejak ditetapkannya Undang-Undang No.8 tahun 1999. Namun
demikian badan ini baru bisa terbentuk dan mulai melakukan kegiatannya pada
tanggal 01 November 2002 dengan dilantiknya pengurus oleh Wali Kota
Bandung, dengan fungsi utama menangani dan menyelesaikan sengketa
konsumen di luar pengadilan.
Sejak kelahirannya BPSK kota Bandung yang terdiri dari oleh 9 (sembilan) orang
anggota yaitu tiga orang dari unsur pemerintah, tiga orang dari unsur pelaku
usaha, dan tiga orang dari unsur konsumen serta dibantu oleh lima orang
sekretariat dari unsur pemerintah. BPSK kota Bandung telah berupaya maksimal
untuk menjalankan amanat undang-undang tersebut berupa sengketa
perlindungan konsumen khususnya di kota Bandung. Visi misi BPSK antara lain:
1) Visi BPSK Kota Bandung, menyelaraskan dengan visi Kota Bandung dalam
jangka waktu tahun 2004 -2008 adalah Kota Bandung Sebagai kota jasa yang
BERMARTABAT (Bersih, Makmur, Taat dan BERSAHABAT). Untuk
3
merealisasikan keinginan, harapan serta tujuan, sebagaimana tertuang pada
visi yang telah ditetapkan, maka akan terwujudnya upaya penyelesaian
sengketa konsumen dalam rangka pemberdayaan dan perlindungan
masyarakat sehingga tercapainya peningkatan kualitas barang dan pelayanan
jasa di Kota Bandung dan sekitarnya.
2) Untuk merealisasikan visi yang telah ditetapkan dalam lima tahun kedepan
(2004-2005) yang bertumpu pada potensi sumber daya dan kemampuan yang
dimiliki serta ditunjang dengan semangat kebersamaan, tanggung jawab yang
optimal dan proporsional dari seluruh komponen kota, maka misi yang akan
dilaksanakan sebagai berikut :
a. Mewujudkan Kota Bandung sebagai kota jasa yang bermartabat
sehingga memacu terciptanya situasi ekonomi yang kondusif dan
menguntungkan dengan mengutamakan perlindungan konsumen.
b. Mewujudkan kemandirian dan keberdayaan konsumen dalam
mempertahankan hak dan menjalankan kewajibannya sehingga
terangkat harkat dan martabatnya sebagai kosumen.
c. Mewujudkan sistim perlindungan yang mengandung unsure kepastian
hukum, keadilan dan manfaat secara berimbang bagi konsumen dan
pelaku usaha.
4
d. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha untuk bersikap jujur dan
bertanggung jawab sehingga mampu menjamin kelangsungan usaha
dan perlindungan konsumen.
C. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Tugas dan wewenang BPSK dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai badan
yang menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan,
adalah sebagi berikut :
1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase;
2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen ;
8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelangaran terhadap Undang-undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
5
9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada poin 7 dan 8 yang tidak
bersedia memenuhi panggilan BPSK;
10) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
13) Menjatuhkan sangsi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Dengan demikian, kesulitan yang dihadapi oleh konsumen akan berkurang
setelah hadirnya BPSK sebagai penyelasai sengketa konsumen di luar
pengadilan, namun sayangnya pada jaman modern seperti ini, BPSK tidak terlalu
dikenal oleh masyarakat sehingga sengketa konsumen di dalam kehidupan
bermasyarakat belum dapat diselesaikan secara bijaksana.
MAJELIS
KETUA
ANGGOTA ANGGOTA
KEPALASEKRETARIAT
KETUA BPSK
WAKIL KETUA
ANGGOTA
6
D. Struktur BPSK
Bagan 1.1
E. Identifikasi Masalah
Berdasaarkan yang telah diuraikan di atas maka, penulis mengidentifikasikan
permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen?
2. Bagaimana kekuatan hukum pembuktian digital dalam penyelesaian
konsumen melalui proses mediasi?
KONSUMEN
7
F. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan laporan kerja
praktek ini adalah:
1. Agar dapat mengetahui proses penyelesaian sengketa yang dilalui BPSK;
2. Agar dapat mengetahui kekuatan hukum pembuktian digital dalam proses
penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui
sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan
mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi
oleh masyarakat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat ”kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yana Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
9
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Pancasila sila ke dua ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan pada sila keempat
”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan keadilan sosial”
Dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UU Perlindungan Konsumen), pada Pasal 45 menyatakan bahwa konsumen dapat
mengajukan keluhan atau sengketanya terhadap pelaku usaha kepada lembaga di luar
pengadilan maupun dalam pengadilan negeri.
Apabila kita telah memilih jalan untuk menyelesaikan permasalahan terhadap pelaku
usaha maka sebaiknya mengajukan gugatan, dimana dalam pengajuan gugatan
tersebut tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen Pasal 46, dalam hal
ini mengatur bahwa pengajuan gugatan dapat dilakukan oleh seorang konsumen yang
merasa dirinya dirugikan oleh pelaku usaha atau pewarisnya. Sesungguhnya
penyelesaian sengketa dapat diamanatkan atau dilanjutkan kepada ahli waris
konsumen. Apabila dalam sengketa konsumen ini kita menemukan orang yang
merasa senasib sepenanggungan alias sama-sama merasa dirugikan oleh pelaku usaha
maka pengajuan gugatan tersebut bisa dilakukan secara bersama-sama, asal
mempunyai kepentingan yang sama.
10
UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 47 bahwa penyelesaian sengketa konsumen
yang ditempuh dengan jalur si luar pengadilan apabila diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Oleh karena itu hasil ganti rugi yang
pasti akan ditempuh dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah pelaku
usaha berpegang teguh untuk tidak melakukan kembali kelalaian tersebut yang
mengakibatkan konsumen menderita rugi.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat di tempuh dengan cara
mengajukan keluhan konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) di tingkat II, dalam Pasal 49 UU Perlindungan Konsumen mengatur syarat-
syarat seseorang yang dapat menjadi anggota BPSK , dalam ayat (2): warga negara
Republik Indonesia, berbadan sehat, berkelakuan baik, tidak pernah dihukum karena
kejahatan, memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen,
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. Sedangkan pengangkatan dan
pemberhentian anggota BPSK dilakukan oleh Menteri. Tugas dan wewenang BPSK
sendiri tercantum dalam Pasal 52 UU Perl;indungan Konsumen sedangkan dalam
pemaparan kinerja BPSK itu sendiri untuk tiap anggotanya diterangkan lebih jelas
dalam surat keputusan menteri seperti yang tercakup dalam Pasal 53 UU
Perlindungan Konsumen.
11
Pengaturan dalam majelis diatur dalam Pasal 54, sebagai berikut:1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian
sengketa konsumen membentuk majelis.2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
3) Putusan majelis bersifat final dan mengikat.4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur
dalam surat keputusan menteri.
BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu)
hari kerja setelah gugatan diterima, hal ini tercantum dalam Pasal 55 UU
Perlindungan Konsumen. Sedangkan peraturan mengenai jangka waktu yang lain-lain
diatur dalam Pasal 56, 57, dan 58, sebagai berikut:
Pasal 561) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
12
Pasal 57
”Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan
penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang
dirugikan”.
Pasal 581) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
Wewenang khusus dalam BPSK sebagai penyidik diatur pada Pasal 59, sebagai berikut:
1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
2) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
13
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang RI Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Pasal 1 ayat (4) mengartikan dokumen elektronik yaitu ”setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya” sedangkan dalam Pasal 5
pada ayat (1) menyatakan ”Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” dan dalam Pasal 5
ayat (2) menyatakan ”Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.
Keppres No.90/2001, Untuk Pertama kali dibentuk disepuluh kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surabaya, Malang dan Makasar).
14
Hukum Perlindungan Konsumen membagi pengertiannya sebagai berikut:
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen sedangkan konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan . Hukum Perlindungan Konsumen mengenal 5 (lima)
asas, antara lain:
1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
15
Dalam Hukum Perlindungan Konsumen dikenal beberapa pendapat tentangnya yang
menciptakan batasan Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen, dalam
Hukum Konsumen menurut Mochtar Kusumaatmaja adalah: “Keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai
pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam
pergaulan hidup”. Sedangkan dalam Hukum Perlindungan Konsumen adalah:
“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau
jasa konsumen”. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan: hukum konsumen pada
pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para
pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing maupun tingkat
pendidikannya. Kemudian hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila
kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah itu dalam
masyarakat tidak seimbang. Dalam kepentingan fisik konsumen: “kepentingan badani
konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan/ atau
jiwa mereka dalam penggunaan barang atau jasa konsumen. Dalam setiap perolehan
barang atau jasa konsumen, barang atau jasa tersebut harus memenuhi kebutuhan
hidup dari konsumen tersebut dan memberikan manfaat baginya (tubuh dan
jiwanya)”. Kepentingan sosial ekonomi konsumen: “Setiap konsumen dapat
memperoleh hasil optimal dengan penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka
dalam mendapatkan barang atau jasa kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu,
tentu saja konsumen harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggungjawab
16
tentang produk konsumen tersebut, yaitu informasi yang informatif tentang segala
sesuatu kebutuhan hidup yang diperlukan”. kepentingan perlindungan hukum:
Sampai saat ini masih merupakan hambatan bagi konsumen atas peraturan yang
diterbitkan bukan tujuan utamanya mengatur dan/atau melindungi konsumen, kriteria
konsumen dan apa kategori kepentingan konsumen, perilaku dari pelaku bisnis yang
canggih, sehingga terhadap perbuatan tersebut undang-undang tidak dapat
menjangkaunya, hukum acara yang ada tidak dapat secara mudah dimanfaatkan oleh
konsumen yang dirugikan dalam hubungannya dengan penyedia barang dan/atau jasa.
Tanggung jawab produsen di bidang goods (barang) dan bukan jasa, karena
pertanggungjawaban jasa telah khusus yaitu Proffesional liability yang bersandar
pada contractual liability. Dalam product liability dikenal dua caveat yaitu Caveat
Emptor (konsumen berhati-hati) dan Caveat Venditor (produsen berhati-hati).
Pertanggung jawaban produk ini merupakan tanggungjawab produsen kalau
produknya menimbulkan kerugian dan merupakan tanggung jawab perdata. Untuk
melindungi konsumen terdapat dua ketentuan yaitu hukum publik dan hukum perdata,
di mana dalam hukum perdata terdiri dari hukum perjanjian dan hukum tentang
perbuatan melawan hukum. Hukum perjanjian didalamnya terdapat tanggung jawab
atas dasar kontrak (contractual liability) sedangkan hukum tentang perbuatan
melawan hukum atas dasar Tortius liability (Tanggungjawab atas dasar perbuatan
melawan hukum.
17
Bagan 2.1
Bagan 2.2
Permohonan PenyelesaianSengketa & PemeriksaanBerkas Perkara
Pelakua Usaha
Pemohon/ Konsumen
Sekretariat BPSK
Ketua BPSK
Ajukan Permohonan
Tanda Terima
Teruskan PermohonanKonsumen
Pemberitahuan PenolakanKarena tidak Memenuhi Ketentuan
Atau Bukan Kewenangan BPSK
Permohonanditerima
Rapat Anggota
BPSK
Permohonanditolak
Pembentukan Majelis Berdasarkan
Keputusan Ketua BPSKPemanggilan Pelaku Usaha
(Turunan Gugatan Terlampir)
PRASIDANG(Pemilihan metode
persidangan)KETUA/ANGGOTA/
SEKRETARIAT BPSK
Para pihak memilih masing-masing arbitror dari unsur pelaku usaha dan konsumen
Dua arbitor terpilih memilih arbitor ke 3 dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis
Ditentukan waktu sidang pertama
KETUA BPSK MEMBENTUK MAJELISDITENTUKAN WAKTU SIDANG PERTAMA
Pemeriksaan identitas para pihakDijelaskan metode/cara penyelesaian sengketa di BPSK
Panggilan utk. Para Pihak dilakukan oleh panitera a.n. Ketua BPSK
KONSILIASI
MEDIASI
ARBITRASE
Para pihak memilih cara penyelesaian sengketa
18
Penyelesian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi dan Mediasi
1. Pemeriksaan identitas para pihak;
2. Pelaku usaha menyerahkan surat jawaban pada sidang pertama;
3. Majelis Pasif Dalam Sidang Konsiliasi (Sebagai Konsiliator);
4. Pemeriksaan identitas para pihak;
5. Pelaku usaha menyerahkan surat jawaban pada sidang pertama;
6. Majelis aktif pada sidang mediasi (sebagai mediator);
7. Hasil musyawarah berupa perjanjian/kesepakatan tertulis & ditandatangani
para pihak;
8. Putusan majelis berupa pengukuhan kesepakatan/perjanjian
9. Selesai.
19
Bagan 2.3
Keberatan Atas Putusan BPSK pada hakekatnya tidak dapat diajukan keberatan
terhadap putusan BPSK yang final dan mengikat, kecuali dipenuhi syarat-syarat
tertentu sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2006. Syarat-syarat mengajukan
keberatan: surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
PENYELESIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA ARBITRASE
PANGGILAN
PERTAMA
GUGATAN DICABUT DNG SURAT PERNYATAAN
SALAH SATU PIHAK TIDAK HADIR
PARA PIHAK HADIR
MAJELIS UMUMKAN PENCABUTAN
SIDANGMAJELIS U PAYAKAN DAMAI
TERUSKAN ARBITRASE
PEMBACAAN ISI GUGATAN KONSUMEN PEMBACAN SURAT JAWABAN PELAKU USAHA MASING-MASING PIHAK DNG KESEMPATAN YANG SAMA JELASKAN HAL YANG DIPERSENGKETAKAN
PUTUSAN PENETAPAN PERDAMAIAN
PUTUSAN MAJELIS
PARA PIHAK PILIH PERDAMAIANKONSU
MEN TDK HADIRPELAKU USAHA TDK HADIR
SIDANGGUGATAN BATAL DEMI HUKUMSIDANGGUGATAN DIKABULKAN TNP KEHDIRN PELAKU USAHA
PUTUSAN MAJELIS
PUTUSAN MAJELIS
PANGGILANKEDUA
SELESAI
20
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa. Untuk diperhatikan dalam pengajuan keberatan adalah
keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak para pihak menerima
pemberitahuan putusan arbitrase BPSK; pengajuan dibuat 6 rangkap; apabila
keduanya mengajukan keberatan, maka perkara harus didaftar dengan nomor yang
sama; BPSK bukan merupakan pihak.
Bagan 2.4
Dalam sistem hukum dan kehidupan sehari-hari, keberadaan suatu arsip adalah
sebagai suatu alat bukti yang merekam/menerangkan keberadaan suatu informasi
tertentu, atau dalam bahasa hukum ini dinyatakan sebagai pembuktian terhadap telah
terjadinya suatu peristiwa hukum yang tentunya mempunyai akibat hukum tertentu
TATACARA PENGAJUAN
KEBERATAN
DIKABULKAN
PEMBATALAN
PUTUSAN BPSK
SALAH SATU PIHAK
MENOLAK PUTUSAN
ARBRITASE BPSK
DITOLAK
PERKUAT
PUTUSAN
HAKIM PERIKSA
KEBERATAN ATAS
DASAR PUTUSAN
BPSK& BERKAS PERKARA
PUTUSANKETUA PN
MENUNJUK HAKIMPANITERA PN
PENGADILAN NEGERITEMPAT
KEDUDUKAN HUKUM
KONSUMEN
21
bagi hak dan kewajiban para pihak yang tersangkut daripadanya. Demikian dengan
keberadaan arsip elektronik, namun unsur trustworthiness dan reliability dari media
elektronik, walaupun sebenarnya memiliki beberapa keunggulan tertentu, ternyata
tidak dapat dengan mudah diakses dengan panca indera manusia sehingga sekilas
kekuatan pembuktiannya lemah. Beberapa alasan tersebut, menyebabkan lahirnya
rekomendasi dari UNICITRAL pada tahun 1985 yang lalu (UNICITRAL recomends
”Legal Value of Computer Records”),1 yaitu:
1. To review the legal rules affecting the use of computer records aas avidence
in litigation in order to eliminate unnecessary obstacles to their admission, to
be assured that the rules are consistent with developments in technology, and
provide appropriate means for a court to evaluate the credibility of the data
contained in those records;
2. To review legal requirements that certain trade transactions or trade related
documents be in writing, whether the written from is condition to the
enforceability or to the validity of the transaction or document, with a view to
permitting, where appropriate, the transaction or document to be recorded
and transmitted in computer readable form:
3. To review legal requirements of a handwritten signature or other paper based
method of authentication on trade related documents with a view to
permitting, where appropriate, the use of electronic means of authentication;
1 UNICITRAL Model Law on Eletonoc Commerce With Guide to Enacment 1996, United Nation: http://www.un.or.at/unicitral/english/texts/electron/mlec.htm
22
4. To review legal requirements that documents for submission to governments
be in writing and manually signed with a view to permitting, where
appropriate, such documents to be submitted in computer readable from to
those administrative services which have acquired the necessary aquipment
and established the necessary procedures;
Jasa perbankan sesuai dengan karakteristiknya, maka bentuknya: tidak berwujud,
tidak dapat dipisahkan yaitu melekat pada sumbernya, tidak dapat disimpan untuk
persediaan, serta memiliki sifat keanekaragaman. Dilihat dari kegiatan lembaganya,
jasa perbankan merupakan refleksi dari kegiatan lembaga perbankan tersebut yang
berupa: financial intermediary (lembaga perantara keuangan) sebagai bentuk kegiatan
di bidang administrasi dan layanan. Kemudian pada dunia globalisasi saat ini, Bank
dituntut untuk meningkatkan pelayanan salah satunya dengan sistem elektronik
dengan fungsi membangun perekonomian Indonesia, jenis-jenis teknologi e-banking,
antara lain adalah:
1. Computer Banking. Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui
koneksi internet ke pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan
perbankan, menerima dan membayar tagihan, dan lain-lain.
2. Debit (or check) Card. Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-
of-sale (POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang
langsung didebet (diambil) dari rekening banknya.
23
3. Direct Deposit. Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi
(misalnya pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah
dana (misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer
langsung ke setiap rekening nasabah.
4. Direct Payment (also electronic bill payment). Salah satu bentuk pembayaran
yang mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana
elektronik. Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke
rekening kreditor. Direct payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal
ini, nasabah harus menginisiasi setiap transaksi direct payment.
5. Electronic Bill Presentment and Payment (EBPP). Bentuk pembayaran
tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan
secara online, misalnya melalui email atau catatan dalam rekening bank.
Setelah penyampaian tagihan tersebut, pelanggan boleh membayar tagihan
tersebut secara online juga. Pembayaran tersebut secara elektronik akan
mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.
6. Electronic Check Conversion. Proses konversi informasi yang tertuang dalam
cek (nomor rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar
bisa dilakukan pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut.
24
7. Electronic Fund Transfer (EFT). Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari
satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik.
8. Payroll Card. Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan oelh
pemberi kerja sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya
mengakses pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi
kerja menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara
elektronik.
9. Preauthorized Debit (or automatic bill payment). Bentuk pembayaran yang
mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang
diambil dari rekening banknya pada tanggal-tangal tertentu dan biasanya
dengan jumlah pembayaran tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan
telpon, dll). Dana secara elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke
rekening kreditor (misalnya PLN atau PT Telkom).
10. Prepaid Card. Salah satu tipe Stored-Value Card yang menyimpan nilai
moneter di dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai
tersebut ke penerbit kartu.
25
11. Smart Card. Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu
atau lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data,
melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus
(misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan
menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada sistem terbuka
(misalnya untuk pembayaran transportasi publik) atau sistem tertutup
(misalnya MasterCard atau Visa networks).
12. Stored-Value Card. Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai
moneter, yang diisi melalui pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau
melalui simpanan yang diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain.
Untuk single-purpose stored value card, penerbit (issuer) dan penerima
(acceptor) kartu adalah perusahaan yang sama dan dana pada kartu tersebut
menunjukkan pembayaran di muka untuk penggunaan barang dan jasa tertentu
(misalnya kartu telepon). Limited-purpose card secara umum digunakan
secara terbatas pada terminal POS yang teridentifikasi sebelumnya di lokasi-
lokasi tertentu (misalnya vending machines di sekolah-sekolah). Sedangkan
multi-purpose card dapat digunakan pada beberapa penyedia jasa dengan
kisaran yang lebih luas, misalnya kartu dengan logo MasterCard, Visa, atau
logo lainnya dalam jaringan antar bank.
26
13. Automated Teller Machine (ATM). Terminal elektronik yang disediakan
lembaga keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk
melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan
setoran, cek saldo, atau pemindahan dana.
ATM termasuk dalam salah satu arsip elektronik yang dihasilkan oleh sistem
informasi elektronik yang telah dilegalisasi atau dijamin oleh para profesional yang
berwenang untuk itu, jika tetap berjalan sebagaimana mestinya, sepanjang tidak
dibuktikan lain oleh para pihak, semestinya dapat diterima sebagaimana layaknya
akta autentik, bukan akta di bawah tangan. Dengan demikian, keberadaan dokumen
tersebut semestinya tidak dapat disangkal lagi dan mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat bagi para pihak tersebut.
BAB III
KEGIATAN KERJA PRAKTEK
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang konsumtif terutama memenuhi
kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan yang kini pilihannya bervariasi sesuai
dengan selera yang diinginkan, oleh karena itu tidak aneh apabila terjadi pembelian
27
dalam jumlah besar. Dalam pelaksanaan perlindungan konsumen memerlukan
pembinaan sikap, baik dari pelaku usaha maupun konsumen. Pembinaan sikap
dilakukan melalui pendidikan sebagai salah satu media sosialisasi. Karena itu
sebabnya pendidikan konsumen diperlukan dalam pelaksanaan perlindungan
konsumen. Kepentingan perlindungan hak-hak konsumen mendorong organisasi
nonpemerintah di bidang perlindungan konsumen untuk menempatkan isu pendidikan
konsumen sebagai bagian dari advokasi untuk mendesakkan perubahan-perubahan
kebijakan publik yang transparan dan akuntabel terhadap kepentingan-kepentingan
konsumen. Sengketa konsumen biasanya muncul dikarenakan adanya klausula-
klausula baku dalam pembelian barang tidak terlalu jelas untuk dimengerti oleh
konsumen, perjanjian jual-beli yang tidak dipedulikan oleh kedua belah pihak namun
yang sering terjadi adalah konsumen yang tidak teliti dalam membaca ketentuan-
ketentuan yang ditawarkan penjual/pelaku usaha.
Adapun tugas dan wewenang BPSK sebagaimana yang termuat dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU
Perlindungan Konsumen) menyatakan bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang
BPSK yaitu :
a. Melaksanakan penanganan dan peneyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;d. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-undang
Perlindungan Konsumen;
28
e. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;g. Memanggil pelaku usaha uang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi akhli dan/atau setiap orang yang
diduga mengetahui pelanggaran Undang-undang Perlindungan Konsumen;i. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi akhli atau
setiap orang pada butir g dan butir h yan g tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian dipihak konsumen;l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;m. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang –Undang Perlindungan Konsumen.
Adapun dalam kelembagaan BPSK :
a. Legalitas Pembentukan
Pasal 49 ayat (1) jo. Keppres No.90/2001, Untuk Pertama kali dibentuk disepuluh
kota di Indonesia( Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makasar).
b. Kedudukan
Tiap-tiap Dati II, Pasal 49 ayat (1) UUPK, Pemerintah membentuk Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen diluar pengadilan, sejak Tahun 2004, BPSK
Kota Bandung, telah memiliki gedung sendiri, yang terletak di Jl. Mataraman
No.17 Bandung Telepon 022-7308147, Bantuan dari Bapak Walikota Bandung
(H. Dada Rosada, SH, Msi)
c. Keanggotaan
29
Anggota BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur : Pemerintah, Pelaku Usaha dan
Konsumen, Anggota dari setiap unsur, berjumlah sedikitnya 3 orang dan
maksimal 5 orang. Tugas-tugas BPSK, dibantu oleh Sekretariat BPSK dari unsur
PNS, yang terdiri dari, Kepala Sekretariat dan anggotanya, yang pengangkatan
dan pemberhentiannya ditetapkan oleh Menteri.
Mekanisme Peneyelesaian Sengketa
1. Pra- Sidang
a. Proses pada masa pra sidang :
1) Pemanggilan kepada para pihak untuk melakukan Pra Sidang dilakukan
oleh ketua BPSK.
2) Panggilan kepada para pihak harus disampaikan secara langsung baik
oleh sekretariat ataupun utusan untuk itu dan harus diterima langsung
oleh para pihak yang bersangkutan.
3) Nomor Surat Panggilan;
Hari, tanggal, tahun panggilan tersebut diserahkan;
Identitas dan kedudukan para pihak yang berperkara;
Kepentingan dipanggil;
Hari,tanggal,tahun panggilan tersebut harus dipenuhi;
Surat, bukti yang harus dibawa pada saat memenuhi panggilan;
Nama, tandatangan pihak yang memanggil;
Nama tandatangan Format pemanggilan berisi tentang :
30
pihak yang menyerahkan.
4) Pelaku usaha yang dipanggil selaku tergugat dapat memberi kuasa atau
memberi tugas kepada karyawan yang bertugas di bagian hukum.
5) Dalam hal Pelaku Usaha tidak memenuhi panggilan maka ketua BPSK
dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkannya.
6) Dalam hal Pelaku usaha tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil
secara patut, maka Ketua BPSK dapat melaporkannya kepada penyidik
untuk mendapatkan pengusutan adanya dugaan pelanggaran terhadap
peraturan perlindungan konsumen.
7) Apabila para pihak yang dipanggil pada masa pra sidang datang
menghadap, Ketua BPSK atau anggota yang ditunjuk akan memeriksa
dan mencatat pilihan forum dan pilihan cara penyelesaian sengketa yang
disepakati para pihak.
8) Apabila dalam Pra Sidang tidak terjadi kesepakatan pemilihan forum
dan pilihan cara penyelesaian sengketa, maka persidangan tidak bisa
dilanjutkan dan untuk itu Ketua BPSK membuat surat keterangan
tentang tidak terjadinya kesepakatan tersebut.
b. Proses Persidangan
1. Penunjukan Panitera dan Pembentukan Majelis
a. Penunjukan Panitera dilakukan oleh Ketua BPSK setelah berkas
perkara diterima Ketua BPSK.
31
b. Pembentukan Majelis dalam acara Konsiliasi dan Mediasi dilakukan
oleh ketua BPSK setelah para pihak hadir dalam acara Pra Sidang
dan memilih penyelesaian dengan cara Konsiliasi atau Mediasi.
c. Pembentukan Majelis dalam acara Arbitrasi dilakukan setelah para
pihak hadir dalam acara pra sidang, para pihak memilih arbiter
masing-masing dan selanjutnya Arbiter yang dipilih para pihak, akan
memilih Arbiter dari unsur pemerintah, yang akan bertindak sebagai
ketua Majelis.
2. Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan kepada para pihak untuk hadir dalam sidang dilakukan
oleh panitera atas perintah ketua Majelis.
Metode Persidangan :
1. Cara Mediasi :
(a) Dalam sidang pertama, Majelis mempersilahkan para pihak untuk melakukan
negosiasi dalam mencari solusi atas sengketa yang dihadapi.
(b) Majelis berupaya membantu para pihak untuk memberikan alternatif
penyelesaian sengketa yang dihadapi para pihak berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(c) Apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak dalam penyelesaian
sengketa, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam keputusan
32
BPSK. Yang ditandatangani oleh para pihak, ketua dan anggota majelis serta
panitera.
(d) Apabila tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak dalam penyelesaian
sengketa, maka ketua Majelis mengeluarkan Surat Keputusan yang
menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk tidak sepakat terhadap hasil
penyelesaian sengketa.
3. Cara Konsiliasi
(a) Dalam sidang pertama, Majelis mempersilahkan para pihak untuk
melakukan negosiasi dalam mencari solusi atas sengketa yang dihadapi.
(b) Majelis berupaya mengarahkan para pihak untuk mencari dan menentukan
alternatif penyelesaian sengketa yang dihadapi para pihak.
(c) Apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak dalam penyelesaian
sengketa, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam keputusan
BPSK. Yang ditandatangani oleh para pihak, ketua dan anggota majelis serta
panitera.
(d) Apabila tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak dalam penyelesaian
sengketa, maka ketua Majelis mengeluarkan Surat Keputusan yang
menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk tidak sepakat terhadap hasil
penyelesaian sengketa.
4. Cara Arbitrase
(a) Dalam sidang pertama, Majelis akan berusaha untuk mendamaikan para pihak
yang bersengketa
33
(b) Apabila upaya perdamaian tersebut berhasil, maka Majelis akan
mengeluarkan putusan perdamaian.
(c) Putusan Perdamaian bersifat final dan mengikat.
(d) Apabila upaya perdamaian tidak berhasil, Maka majelis akan melanjutkan
persidangan untuk memutuskan sengketa tersebut.
(e) Putusan Majelis bersifat final dan mengikat.
Mengenai kegiatan kerja praktek di instansi yang terkait yaitu dalam hal ini adalah
BPSK antara lain adalah mengenali terlebih dahulu isi dan maksud dari UU
Perlindungan Konsumen, menganalisis pasal demi pasal yang terdapat dalam UU
Perlindungan Konsumen, memepelajari teori-teori hukum perlindungan konsumen,
kemudian mengikuti acara peradilan yang berlangsung dalam BPSK. Sebagai
mahasiswa yang praktek kerja lapangan di BPSK menempati posisi sebagai asisten
sekretaris yang bekerja mencatat perkara yang masuk dan mengikuti pra sidang dan
persidangan yang berlangsung.
Di persidangan BPSK mengenal istilah pra sidang, sidang I, sidang II, hingga sidang
III. Perkara konsumen yang diikuti penuh oleh penulis adalah perkara konsumen
nasabah Bank Mandiri mengenai pembobolan ATM, perkara ini mengambil jenis
persidangan mediasi, dimana majelis hanyalah sebuah fasilitator untuk mengambil
jalan penyelesaian sengketa. Sedangkan perkara-perkara lain yang diikuti oleh
penulis antara lain mengenai sengketa konsumen PT. Cipta Karya dengan konsumen
34
bernama Ibu Puspitawati melalui metode arbitrase dan pra sidang PT. Potencial
dengan konsumen bernama Bapak Budi, pra sidang sengketa konsumen Blue Top
dengan konsumen bernama Bapak Andi S. Selain itu, pekerjaan lainnya yaitu
mencatat nomor perkara yang masuk ke dalam daftar persidangan.
BAB IV
ANALISA
A. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
35
Pada tanggal 13 Oktober 2008, para pelaku di dalam sengketa konsumen
pembobolan ATM Bank Mandiri di undang oleh BPSK untuk mengikuti acara
pra sidang yang menetapkan Bank Mandiri yang diwakili oleh karyawannya di
bagian legal yaitu Bapak Amin dan Bapak Budito selaku kuasa hukum dari Bank
Mandiri selanjutnya disebut pelaku usaha, kemudian Ibu Hj. Yayah beserta
pendampingnya dalam pra sidang ini didampingi oleh Ibu Eti Mulyati adik
kandung dan selaku kuasa hukum selanjutnya disebut konsumen. Mereka semua
dikumpulkan oleh BPSK dengan majelis yang dipimpin oleh Bapak Dedi
menjelaskan secara rinci proses persidangan yang akan dilalui sesuai dengan
Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), dimana pada Pasal 55
menyebutkan ”Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan
putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah
gugatan diterima”, dapat dikatakan proses pra sidang ini adalah konsulidasi bagi
para pihak yang terkait agar tidak salah dalam memahami maupun menjalankan
proses persidangan.
Dalam hal ini para pihak baik konsumen maupun pelaku usaha ditawarkan untuk
mengambil proses persidangan yang menurut kedua belah pihak dirasa efektik
dan efisien. Oleh karena itu dalam hal ini majelis menawarkan tiga metode dalam
persidangan BPSK kepada para pihak, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.
36
Pada tahap ini, konsumen memilih metode mediasi namun pelaku usaha sepakat
untuk mengambil jalur hukum yaitu mengajukannya ke pengadilan negeri namun
majelis menjelaskan bahwa pelaku usaha harus mengikuti prosedur yang telah
diputuskan oleh konsumen maka dari itu kedua belah pihak sepakat untuk
mengambil metode mediasi melalui BPSK. Para pihak terutama khususnya
konsumen mengambil metode mediasi dikarenakan metode ini mengutamakan
prosedur musyawarah lebih kekeluargaan dan majelis hanya berperan sebagai
mediator dalam metode ini sedangkan yang berperan aktif tetaplah para pihak
yang bersangkutan. Dalam proses persidangan BPSK pelaku usaha dalam hal ini
yang berusaha untuk membuktikan dan menghadirkan bukti-bukti dan/atau saksi
yang menurut pelaku usaha dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tidak
bersalah.
Proses persidangan tahap pertama, konsumen mengutarakan keluhannya secara
langsung kepada pelaku usaha bahwasannya pengambilan uang melalui ATM
adalah pembobolan dikarenakan konsumen tidak merasa mengambil uang pada
tanggal tersebut dikarenakan pada saat itu konsumen sedang terbaring sakit
ditambah lagi lokasi dari pengambilan uang tersebut yaitu Metro Bandung adalah
area yang tidak terjangkau oleh konsumen atau jauh dari tempat tinggal dan
konsumen belum sama sekali mengambil uang melalui ATM di area tersebut.
Kemudian dalam proses ini pelaku usaha memberikan print out yang
menunjukan lokasi pengambilan uang melalui ATM yang dilakukan konsumen.
37
Hasil print out tersebut membuktikan bahwa konsumen hanya melakukan
pengambilan uang di Metro Bandung pada saat pembobolan uang tersebut
terjadi. Konsumen meminta pelaku usaha untuk membuktikan print out
pengambilan uang tersebut namun pelaku usaha berdalih bahwasannya
pengambilan uang secara digital tidak bisa di tunjjukan dalam pengadilan
dikarenakan hal ini adalah termasuk rahasia Bank. Namun majelis memberikan
kelonggoran terhadap pelaku usaha untuk tidak menunjukan hasil print out
pengambilan uang kepada pengadilan namun majelis menegaskan bahwa apabila
pelaku usaha tidak dapat melakukannya maka posisi pelaku usaha terancam
untuk kalah dalam proses persidangan karena bukti digital tersebut adalah satu-
satunya dokumen yang dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tidak melakukan
kesalahan. Di mana dalam teori hukum perlindungan konsumen tanggung jawab
produsen di bidang goods (barang) dan bukan jasa, karena pertanggungjawaban
jasa telah khusus yaitu Proffesional liability yang bersandar pada contractual
liability. Dalam product liability dikenal dua caveat yaitu Caveat Emptor
(konsumen berhati-hati) dan Caveat Venditor (produsen berhati-hati).
Pertanggung jawaban produk ini merupakan tanggungjawab produsen kalau
produknya menimbulkan kerugian dan merupakan tanggung jawab perdata.
Untuk melindungi konsumen terdapat dua ketentuan yaitu hukum publik dan
hukum perdata, di mana dalam hukum perdata terdiri dari hukum perjanjian dan
hukum tentang perbuatan melawan hukum. Hukum perjanjian didalamnya
terdapat tanggung jawab atas dasar kontrak (contractual liability) sedangkan
38
hukum tentang perbuatan melawan hukum atas dasar Tortius liability (tanggung
jawab atas dasar perbuatan melawan hukum). 2
Proses sidang tahap kedua, pelaku usaha dapat membawa bukti digital berupa
print out pengambilan berupa:
1. Pada tanggal 2 Agustus 2008, melakukan pengambilan sebesar
Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sebanyak dua kali
pengambilan, kemudian
2. Pada tanggal 10 Agustus 2008, melakukan kembali pengambilan sebesar
Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sebanyak dua kali
pengambilan.
Pada tahap terakhir ini, konsumen dan pelaku usaha diberi kesempatan untuk
membela diri dan memberi keluhan-keluhannya dengan tempat dan waktu yang
berbeda di muka majelis BPSK. Kemudian mereka kembali dipertemukan dalam
persidangan dan dipersilahkan untuk bermusyawarah. Dalam permusyawarahan
tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa
1. Perbaikan sistem di tempat pengambilan uang melalui ATM di mana
disetiap tempat pengambilan harus disediakan kamera CCTV sebagai
bukti kuat pelaku pembobolan ATM.
2 Handout mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Dosen Budi Fitriadi S, S.H, M.H. Tahun 2008.
39
2. Apabila satu hari kasus yang sama seperti yang dialami konsumen maka
pihak pelaku usaha bersedia mengaku salah dan memberikan
kompensasi kepada nasabah yang bersangkutan dan kepada konsumen.
B. Kekuatan Hukum Pembuktian Digital dalam Penyelesaian Konsumen
melalui Proses Mediasi.
Penyelesian Sengketa Konsumen secara Mediasi, meliputi:
1. Pemeriksaan identitas para pihak;
2. Pelaku usaha menyerahkan surat jawaban pada sidang pertama;
3. Pemeriksaan identitas para pihak;
4. Pelaku usaha menyerahkan surat jawaban pada sidang pertama;
5. Majelis aktif pada sidang mediasi (sebagai mediator);
6. Hasil musyawarah berupa perjanjian/kesepakatan tertulis &
ditandatangani para pihak;
7. Putusan majelis berupa pengukuhan kesepakatan/perjanjian
8. Selesai.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam proses persidangan BPSK seperti
Pengadilam Negeri pada umumnya dalam hukum positif Indonesia mengakui atas
pembuktian digital. Dalam hal ini ATM termasuk dalam salah satu arsip elektronik
yang dihasilkan oleh sistem informasi elektronik yang telah dilegalisasi atau dijamin
40
oleh para profesional yang berwenang untuk itu, jika tetap berjalan sebagaimana
mestinya, sepanjang tidak dibuktikan lain oleh para pihak, semestinya dapat diterima
sebagaimana layaknya akta autentik, bukan akta di bawah tangan. Bahwa keberadaan
dokumen tersebut semestinya tidak dapat disangkal lagi dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak tersebut ditambah dengan kekuatan hukum
dari UNICITRAL yang mengakui adanya dokumen elektronik yang telah
direkomendasi Indonesia.
Selanjutnya, Undang-Undang RI Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 1 ayat (4) mengartikan dokumen elektronik
yaitu ”setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki
makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”
sedangkan dalam Pasal 5 pada ayat (1) menyatakan ”Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”
dan dalam Pasal 5 ayat (2) menyatakan ”Informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia”. Dengan demikian, hukum acara peradilan yang diatur dalam hukum
41
positif Indonesia secara langsung dan tegas mengakui keberadaan dokumen
elektronik sebagai alat bukti yang sah dan selama dokumen elektronik tersebut
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU ITE.
Oleh karena itu pihak dalam sengketa konsumen harus mengakui keberadaan bukti
digital tersebut apalagi dalam sengketa ini bukti digital tersebut merupakan kunci dari
penyelesaian sengketa konsumen yang dihadapi yang memakai metode mediasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Proses penyelesaian sengketa konsumen dalam Badan Penyelesaian Sengketa
(BPSK), konsumen diberi kebebasan untuk memilih cara mana yang dianggap
paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan konsumen yang dihadapi,
cara tersebut antara lain:
1) Cara Mediasi;
42
2) Cara Konsiliasi;
3) Cara Arbitrase.
Dalam kenyataannya proses yang selalu dipilih oleh konsumen adalah cara
mediasi, alasan utama konsumen dalam memakai cara mediasi dikarenakan
cara ini lebih mengutamakan kemusyawarahan dalam mengambil kesepakatan
atau keputusan itu sendiri sedangkan majelis hanya sebagai mediator bagi
konsumen dengan pelaku usaha. Ciri khas yang sangat menonjol dalam
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK adalah dimana pelaku usaha yang
hanya memberikan bukti-bukti yang terkait dalam pembelaan/alibi dari pelaku
usaha. Dalam kata lain pelaku usaha yang membuktikan bahwasannya dirinya
tidak bersalah.
2. Dalam Hukum Acara di Indonesia diakui adanya alat bukti digital sebagai alat
bukti yang sah di mata pengadilan. Hal ini diperkuat dalam UNICITRAL dan
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Oleh karena itu kekuatan hukum pembuktian digital
dalam penyelesaian konsumen melalui proses mediasi dianggap sah dan kuat
adanya selama alat bukti tersebut memenuhi kriteria dalam UNICITRAL dan
dalam UU ITE.
C. Saran
43
1. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas secara khusus mengenai tata
cara pengajuan Fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri belum diatur; penetapan
sanksi administrasi belum diatur; pedoman pengawasan, pencantuman
klausula baku belum diatur; biaya pendaftaran dan persidangan belum diatur;
tugas dan wewenang Kepala Sekretariat dan anggota belum diatur, kecuali
panitera; pemanggilan dan/atau penyidikan oleh Polri terhadap pihak-pihak
yang tidak bersedia datang atau tidak melaksanakan putusan, belum diatur;
Protokoler BPSK belum diatur; dan belum optimalnya sosialisasi keberadaan
BPSK. Peraturan tersebut baiknya diatur secara tertulis dalam bentuk Undang-
Undang tentang Tata Cara Hukum Beracara Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Karena menurut penulis kekuatan hukumnya agar sama kuatnya
dengan Undang-Undang Acara Peradilan lainnya baik Acara Pidana maupun
Acara Perdata.
2. Perlu adanya sosialisasi agar masyarakat atau konsumen dapat mengetahui
tempat untuk menampung keluhan dan menyelesaikan permasalahan yang
telah mereka hadapi dalam persengketaan dengan pelaku usaha mengenai
perkara sengketa konsumen.
3. Perlu dibuat batasan sebagaimana diatur dalam UNICITRAL dan UU ITE
mengenai alat bukti digital, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam
penyelesaian sengketa konsumen baik melalui proses arbitrase, konsiliasi, dan
44
mediasi dalam Putusan Pengadilannya bersifat final dan mengikat bagi para
pihak yang terkait, layaknya persidangan dalam Acara Pengadilan Negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Sri Wahyuni, Endang. Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004
45
Handout Hukum Perlindungan Konsumen, Dosen Budi Fitriadi S, S.H.,M.H. Tahun
2008, Bandung
UUD 1945
Pembukaan UUD 1945
Pancasila
Undang-Undang RI No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Keppres No.90/2001
UNICITRAL Model Law on Eletonoc Commerce With Guide to Enacment 1996,
United Nation: http://www.un.or.at/unicitral/english/texts/electron/mlec.htm.
Dokumen-Dokumen Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.