eksternalitas dan transaction costs dalam...
TRANSCRIPT
Mochtarram Karyoedi, “Eksternalitas dan „Transaction Costs‟ dalam Mekanisme Pasar pada,
Pengembangan Lahan dan Properti di Kawasan Perkotaan-Bandung”
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.17/No.2, Agustus 2006, hlm. 1-20
1
EKSTERNALITAS DAN TRANSACTION COSTS
DALAM MEKANISME PASAR PADA PENGEMBANGAN
LAHAN DAN PROPERTI DI KAWASAN PERKOTAAN
BANDUNG
Mochtarram Karyoedi Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Labtek IXA, Gedung PWK Jl Ganesha 10 Bandung Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Land (and property) development should be viewed not only as physical
development, or as a matter of supply-demand of property development, or it is an event-sequence of management process. It should be viewed as
complexity of the events and agency involves in the process and diversity of
form within in a given institutional setting. This study focus on the nature
and the consequences of transaction costs economic for the land
development process performance. The incident of transaction cost
(approximately toward 20%) should be regarded as an indicator that there
could be externalities consequences – but according to the field interview in
the case of land and property development in the City of Bandung, there
had been no respond of that matter. The developers viewed that they tend
to refused their responsibility and leave it to the government (or the public)
to solve the problem. Some developer had a good initiative by joining
together with the local community to cope with the problem.
Keywords: land and property development, management process,
institutions, transaction costs, developer, externalities,
government, public.
I. PENDAHULUAN
Sejak pertama kalinya Thomas Kaarsten pada tahun 1930-an, menyusun
Rencana Kota Bandung sampai saat ini kota Bandung telah melalui berbagai
tahap penyusunan Rencana Tata Ruang Kota yang relatif telah maju dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Namun demikian upaya itu tidak
menghasilkan seperti yang diharapkan di dalam pengarahan Penataan Ruang
tsb. Sebagian besar kawasan perkotaan Bandung justru tumbuh dan berkembang secara spontan, ketimbang mengikuti pengarahan secara
berencana. Kota Bandung, cenderung telah menjadi gelanggang adu
kekuatan antara pihak yang menginginkan memberikan peran yang berbeda
atau lebih besar kepada mekanisme pasar. Sementara itu di pihak lain, ada pula yang cenderung berpendapat bahwa intevensi pemerintah masih sangat
perlu dan bermanfaat. Proses pengembangan lahan dan properti juga tidak
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
2
luput dari pergulatan tersebut, permasalahannnya merupakan tantangan yang
kompleks bagi pengembangan ekonomi perkotaan – yang di dalamnya terkandung banyak hal yang diperdebatkan. Perdebatan itu terutama karena
landasan kerangka konsep pemikiran yang diterapkan mungkin berseberangan
di dalam pendekatan teoretik dan analisisnya.
Artikel ini bermaksud untuk memahami proses yang terjadi itu, tidak saja
mencakup proses transformasi dari penyiapan lahan (masih kosong, belum
terbangun) menjadi properti dan kawasan perkotaan serta proses modifikasi pematangan lahan, bangunan, sarana-prasarana dan pemanfaatannya dari
waktu ke waktu. Proses itu ternyata bukan hanya proses pengalihan dan
perubahan materi dan teknik saja, akan tetapi seperti yang dikemukakan oleh Alexander (di dalam Buitelaar, 2002) bahwa proses itu perlu dibedakan dan
dianalisis transaksi apa yang terjadi yang relevan dengan proses
pengembangan lahan dan properti tsb.
Artikel ini disusun berdasarkan penelitan yang melakukan ekplorasi di dalam
proses pengembangan lahan dan properti, berfokus pada keberadaan
eksternalitas (negatif) dan biaya transaksi. Secara teoretik, eksternalitas dan biaya transaksi dapat diintervensi oleh pemerintah manakala mencapai angka
yang tinggi dan menyebabkan ketidak-efisienan secara ekonomis. Namun
demikian hal itu di dalam praktik justru tidak dilakukan. Kenyataannya, tidak
adanya aturan formal yang patuh dipercaya dan adanya desakan pasar justru mengidikasikan biaya transaksi yang tinggi merupakan peringatan yang perlu
diwaspadai. Keadaan tersebut menggiring pada implikasi yang lebih intensif
untuk melakukan pembenahan perubahan tatanan kelembagaan (institusi) secara teoretik maupun dalam tataran praktik, dalam proses pengembangan
lahan dan properti khususnya dan di dalam pengelolaan Pembangunan di
Kawasan Perkotaan pada umumnya.
II. PENDEKATAN DAN MODEL DI DALAM PROSES
PENGEMBANGAN LAHAN DAN PROPERTI. Pengembangan lahan mengacu pada upaya yang dilakukan dalam penyiapan
lahan sampai kepada pembangunan yang dilakukan di atasnya yang meliputi
tapak lahan beserta berbagai kegiatan yang menunjang. Karena itu kajian yang dilakukan meliputi kepemilikan/penguasaan lahan, organisasi bagaimana
industri konstruksi dilakukan, finansial yang diinvestasikan, pembangunan
intermediaries dari pengembang sampai ke konsultan (Healey & Barrett, 1990). Lebih lanjut, Healey (1992) mendifinisikannya sebagai: “transformasi
dari bentuk fisik, status hak, dan material serta nilai simbolik yang terkandung
di dalam lahan dan bangunan dari satu keadaan pada keadaan lainnya, melalui
usaha yang dilakukan oleh agen yang berkepentingan dan tujuan untuk
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
3
mengalihkan dan memanfaatkan sumberdaya, serta mengoperasikan peraturan
dengan menerapkan dan mengembangkan gagasan dan sistem nilainya”. Telah banyak studi dan model yang dilakukan di dalam pengembangan lahan,
menurut Healey, (1991) ada 4 model pengembangan lahan: (1) Equilibrium
Models (2) Event-sequence Models, (3) Agency Models, (4) Structure Models.
Model pengembangan lahan tersebut erat kaitannya dengan falsafah ekonomi yang dijadikan latar belakang pendekatannya. Equilibrium Models
merupakan pendekatan yang didasari oleh falsafah Ekonomika Neo-klasik.
Structure Models berlandaskan tradisi pendekatan tradisi ekonomi Marxist yang berfokus pada kekuatan yang mengorganisasi hubungan proses
pembangunan secara dinamis. Berdasarkan pada organisasi dari struktur dan
dinamika produksi komoditas dan perubahannya, Structure Model ini berhubungan dengan terbentuknya harga pasar terhadap kepentingan di dalam
cara pasar terstrukturkan melalui hubungan kekuasaan kapital, buruh dan
pemilik lahan
Kunci dari usaha pengembangan lahan adalah mengolah tapak (kawasan) dan
potensi lokasi dapat meningkatkan keunggulan daya saingnya terhadap pasar
yang terjadi atau sengaja diciptakan. Equilibrium Models merupakan pendekatan yang banyak dilakukan oleh pengembang real estat yang
berasumsi bahwa kegiatan pembangunan terstrukturkan oleh adanya rambu-
rambu ekonomi mengenai adanya kebutuhan efektif terhadap lahan dan
properti. Sementara itu, Event-sequence Models, berfokus pada tahapan manajemen di dalam proses pengembangan lahan. Event-sequence Models,
berfokus pada tahapan manajemen di dalam proses pengembangan lahan -
merupakan turunan dari peranan manajemen estat dalam pengelolaan proses pembangunan.
Yang menarik untuk dikaji lebih mendalam di dalam artikel ini adalah Agency Models, berfokus pada pelaku dan hubungannya yang utamanya
dikembangkan oleh akademisi dari sudut pandang behavioral dan
institusonal. Kemudian Healey (1992) mengembangkan model ini, dengan
mengajukan Model Pengembangan Lahan Institusional yang memperhatikan peran berbagai agen, keterkaitannya, kegiatan dan event yang terlibat di dalam
proses pengembangan lahan. Model yang lebih menekankan pada peranan
institusi dan peran para pelakunya. Lebih lanjut, dalam hubungan untuk melakukan analisis yang kompleks terhadap kejadian (events) dan aparat
(agent) yang terlibat di dalam proses dan berbagai bentuk kegiatan, Healey
(1992) mengemukakan 4 tingkat analisis: (1) deskripsi kegiatan (events) yang menggabarkan proses, (2) Identifikasi peran yang dimainkan di dalam proses
dan kewenangan yang berhubungan diantara mereka, (3) Penilaian strategi
dan kepentingan yang membentuk peran tsb dan hal itu dibentuk oleh sumber
daya, aturan dan gagasan, dan (4) Keterkaiatan diantara sumberdaya , aturan, dan masyarakat luas
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
4
Seperti yang diidentifikasi oleh Haryo Winarso (2000) bahwa di dalam
perioda tahun-tahun 1985-1995 telah terjadi peningkatan penyediaan lahan yang berlebihan, hal itu menunjukkan betapa pendekatan “equilibrium” justru
memburuknya pasar properti pada waktu itu. Equilibrium Models hanya
dapat menjelaskan pemahaman proses pembangunan yang diterapkan pada
proyek standard dalam kondisi ekonomi yang relatif stabil dimana pasar properti bergulir secara aktiv dimana tidak terjadi dominasi oleh beberapa
pengembang besar “kelas kakap” (Healey, 1991). Apa yang terjadi di negara-
negara barat menunjukkan bahwa pengusaha besar mendominasi pasar lahan lokal, di mana hal itu juga terjadi di Indonesia (Ball, 1983, Lin Leung, 1987,
Haryo Winarso, 2000). Lebih lanjut, Healey (1991) mengusulkan agar
perhatian perlu diarahkan kepada dimensi institusi. Sejalan dengan itu pula. Seperti yang ditunjukkan oleh Haryo Winarso’ (2000) dalam penelitiannya di
wilayah Jabotabek bahwa peran pengembang lahan ternyata jauh lebih besar
ketimbang adanya permintahan (demand) terhadap lahan dan properti baru..
Sejalan dengan kerangka studi dalam artikel ini, pengembangan lahan akan
dibahas dipusatkan pada model pengembangan lahan dari sudut pandang
institusional tersebut. Pada tataran teoretikal, permasalahan penting yang dibahas adalah keterkaitan sosial yang ditunjukkan di dalam produksi
utamanya, perangkat peraturan dan ideologi yang berlaku di dalam tatanan
masyarakatnya (Healey, 1992, hal.37). Atas dasar argumen itu, pembahasan
akan lebih memperhatikan tatanan institusi (kelembagaan) sebagai pendekatan di dalam pengembangan lahan. Pendekatan institusional di dalam ilmu
ekonomi telah mendapat tempat sebagai salah satu mashab yang disebut
sebagai “institutional economics” yang kemudian berkembang pada tahun 1980-an sebagai “the new institutional economics” dan menjadi perhatian di
dalam bidang ekonomi setelah dua orang tokohnya Ronald H. Coase dan
Douglas C. North mendapat hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi pada awal 1990’an.
Institusi telah menjadi perangkat untuk menciptakan tatanan untuk
mengurangi ketidak pastian di dalam pertukaran (exchange). Institusi memegang peranan penting – yang dapat menyiapkan struktur insentif
ekonomi; begitu struktur itu bergulir, terbentuklah arahan pertumbuhan
ekonomi ke arah pertumbuhan, stagnasi, atau penurunan (North, 1991). Institusi bermakna karena menetapkan aturan dasar bagi transaksi ekonomik.
Sejalan dengan model Healey (1992) yang memberikan kerangka bagi analisis institusional dalam pengembangan lahan, telah mampu mengemukakan kaitan
sosial yang dapat menjelaskan mengapa dalam konteks internasional proses
pembangunan berbeda di dalam bentuk dan variasi waktu sehubungan dengan
proses pengembangan properti tersebut. Akan tetapi Healey melewatkan alasan ekonomik dan non-ekonomik mengenai langkah-langkah strategik
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
5
yang dilakukan oleh para pelakunya. Kemudian lebih lanjut van der
Krabben (1995), di dalam disertasi PhDnya melakukan kritisi bahwa model Healey tidak mengemukakan teori dinamika terhadap perubahan institusi yang
terjadi – mengapa perubahan institusi (“institutional change”) terjadi? – walau
pun hal itu tentunya dikenali (oleh Healey) sebagai variasi waktu dalam
konteks institusi. Model Healey berteori tentang hubungan antara konteks institusional dengan proses pengembangan properti. Namun demikian
menurut van der Krabben (1995:64) tidak masuk ke dalam konteks
institutional itu sendiri.
Disertasi van der Krabben (1995) bertujuan untuk mengembangkan kerangka
untuk melakukan analisis institutional-economik di dalam proses pengembangan properti. Teori ekonomi kemudian dipakai secara eksplisit -
asumsi yang mendasari model dan berteori di dalam dinamika institusional
pada tingkat ekonomi lokal dan nasional dan aksi (tindakan) ekonomi yang
dilakukan oleh agen tertentu. Menurut van der Krabben, pandangan North terhadap makna dan pembentukkan institusi yang berupa konsep perubahan
institusional (institutional change) dan path dependency dengan
mempertimbangkan institusi berazaskan efisiensi dapat menjelaskan proses pengembangan lahan.
Studi yang dilakukan oleh van den Krabben (1995) tersebut telah menjelaskan
bagaimana dinamika pengembangan properti di negara Belanda yang dilakukan melalui pengamatan penataan ruang ditinjau dalam jangka waktu
25 tahun (1970-1995). Studi yang dimaksud menerapkan analisis intitusional
di dalam pengembangan real estat yang mencakup beberapa aspek sbb: (1) dampak persoalan ketidak-pastian dan kurangnya informasi di dalam tindakan
ekonomi, (2) asumsi bahwa pelaku ekonomi yang berbeda juga mempunyai
strategi yang berbeda sesuai dengan rasionalisasinya, (3) perilaku individual terbentuk oleh berbagai “aturan informal” seperti kebiasaan, kepercayaan dan
norma tertentu, (4) adanya perubahan instiusi yang kentara pada pasar real
estat di dalam proses pengembangan (berpengaruh terhadap hubungan baru
dalam pasar real estat, strategi alternatif terhadap segmen pasar, perspektif baru terhadap sektor kebijakan publik serta perubahan terhadap biaya
pembangunan dan harga pasar), (5) path dependency ( bagaimana cara
tindakan ekonomi dan sektor kebijakan publik saat ini terbentuk oleh keputusan yang telah diambil pada masa lalu) merupakan sektor kegiatan
pengembangan yang harus difahami dengan tepat prosesnya sebagai
pertimbangan bagaimana pasar real estat berevolusi dari waktu ke waktu. Disertasi van der Krabben (1995) itu menunjukkan pentingnya peranan
institusi di dalam proses pengembangan properti khususnya aspek institusi di
dalam pasar real estat dan perubahan institusi.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
6
Proses pengembangan lahan yang dihadapi di kawasan perkotaan memang
benar dipengaruhi oleh adanya perubahan institusi seperti yang telah ditunjukkan van der Krabben (1995), dengan kasus pengembangan perkotaan
di negara Belanda. Akan tetapi pada kasus yang dihadapi dalam
pengembangan kawasan perkotaan yang berlangsung secara spontan seperti
kasus di kawasan perkotaan di Indonesia keadaannya berbeda. Seperti yang dilakukan oleh van der Krabben, aspek institusi yang juga perlu dikaji dalam
proses pengembangan secara spontan adalah: (1) dampak persoalan ketidak-
pastian dan kurangnya informasi di dalam tindakan ekonomi, keadaan ini justru yang menyebabkan reaksi para pengembang dan masyarakat bertindak
secara spontan (2) asumsi bahwa pelaku ekonomi yang berbeda juga
mempunyai strategi yang berbeda sesuai dengan rasionalisasinya, terutama di dalam menanggapi gejolak perubahan pasar sesuai dengan rasionalisasi
agar dapat bertindak lebih cepat, (3) perilaku individual terbentuk oleh
berbagai “aturan informal” seperti kebiasaan, kepercayaan dan norma tertentu,
yang merupakan motivasi penting didalam mobilisasi pengembangan secara spontan (4) adanya perubahan instiusi yang kentara pada pasar real estat di
dalam proses pengembangan (perubahan ini tidak banyak berpengaruh
terhadap pengembangan secara spontan, tidak ada perubahan perspektif dari sektor kebijakan publik- akan tetapi terjadi perubahan biaya pembangunan
dan harga pasar dengan melakukan persaingan secara ilegal dan informal –
yang menyebabkan tingginya biaya transaksi dalam bentuk pengembangan
spontan) (5) path dependency – dapat difahami sebagai proses evolusi pemenuhan kebutuhan yang timbul secara spontan – dan dari waktu ke waktu
menunjukkan bahwa pengembangan secara spontan dapat berlangsung
secara fleksibel.Karena itu, untuk melengkapi analisis institusional di dalam pengembangan lahan diperlukan pendekatan yang lebih ekonomi mikro yaitu
analisis biaya transaksi.
2.1 Paradigma Biaya Transaksi
Biaya transaksi (Transaction Cost Economics - TCE) atau biaya tawar-
menawar –menurut James A. Acheson (1994) merupakan konsep penting di dalam mashab neo-ekonomika institusional (the new institutional economics).
Sejak diperkenalkan pada tahun 1937, biaya transaksi telah berkembang
sebagai paradigma baru (dinyatakan oleh Dietrich, 1994 dan Cheung, 1998) di dalam bidang ekonomi-mikro dan ekonomi kesejahteraan. Gagasan
“transaction cost economics” (TCE) diprakarsai oleh Ronald H. Coase (1937)
dikemukakan di dalam makalahnya yang mengamati mekanisme harga – yang dapat mengalokasikan sumberdaya secara efektif – dan berargumentasi bahwa
alokasi sumberdaya dapat atau tidak dapat direncanakan/diarahkan melalui
kegiatan usaha (firms). Coase memberikan pemecahannya dengan
mengemukakan “alasan utama mengapa mendirikan kegiatan usaha menguntungkan adalah karena cenderung adanya biaya di dalam yang
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
7
menggunakan mekanisme harga”. Biaya (costs) ini dapat direduksi
berdasarkan pertimbangan faktor sebagai berikut : (a) biaya untuk menutup pengeluaran yang relevan dengan kegiatan usaha tsb. dan (b) biaya untuk
melakukan negosiasi dan termasuk kontrak yang beragam di dalam kontrak
terpisah bagi setiap kontrak transaksi pertukaran (berdasarkan kutipan dari
Dietrich, 1994).
Williamson (dalam Furubotn dan Richter, eds., 1991) menunjukkan bahwa
pendekatan biaya transaksi menggambarkan peringatan para ilmuwan sosial untuk menghargai organisasi ekonomi berbeda dari yang biasa dilakukannya.
(Williamson, 1991). Gagasan biaya transaksi telah berkembang pada
perspektif yang semakin luas, tidak hanya pada dunia usaha dan pasar akan tetapi pada dasarnya berkembang pada usaha, waktu dan pengeluaran yang
diperlukan untuk memperoleh “informasi penting untuk membuat pertukaran,
negosiasi dan penguatan (enforce) untuk melakukan pertukaran tersebut”.
Komponen yang sangat penting dalam biaya transaksi menurut Williamson (1975) adalah informasi pada pasar dan harga, asosiasi bisnis, dsb (Acheson,
1994).
Lebih lanjut Alexander (1992, p.195), di dalam kaitannya dengan perencanaan
(wilayah & kota) mencatat bahwa “.... teori biaya transaksi menawarkan dasar
pemahaman perencanaan yang lebih penting dari rasional untuk intervensi
publik”. Ringkasnya, teori biaya transaksi dalam perencanaan dijelaskannya sbb:
(1) Biaya transaksi, terutama investasi “transaction-specific”
merupakan insentif untuk pengembangan keterkaitan non-
market, yang membangkitkan organisasi hirarkis dan sistem inter organisasi.
(2) Keputusan kolektif di dalam pasar baik secara ekonomik
ataupun politik, dibuat melalui agregasi dari keputusan
perorangan secara berganda: pasar secara intrinsik tidak memerlukan perencanaan.
(3) Karenanya perencanaan adalah bentuk organisasi properti non-
market. Khususnya perencanaan diasosiasikan dengan hirarki,
yang muncul di dalam bentuk yang beragam merentang dari
satuan organisasi yang tunggal/mandiri sampai kepada kerangka mandat yang kompleks dan sistem inter organisasi.
Biaya transaksi cenderung meningkat pada kasus ketidak-pastian (uncertainty) dan perilaku oportunistik kombinasi dengan bounded rationality
dan 'sejumlah kecil relasi pertukaran’ (“behaviour assumption”). Dan lebih
lanjut bahwa biaya transaksi tinggi apabila pertukaran tergantung pada seseorang yang spesifik, lokasi yang spesifik, atau aset fisik yang spesifik.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
8
Dalam kondisi ini, kemampuan seseorang untuk tawar-menawar menjadi
rendah dan oportunistik menjadi sangat tinggi (Williamson. 1975, p.40; Acheson, 1994, p.11).
Gagasan yang penting sekali dari biaya transaksi di dalam pemikiran
ekonomi adalah analisis Ronald H. Coase yang menjelajahi hubungannya dengan kegagalan pasar. Menurut Coase, di dunia zero transaction costs,
intervensi kebijakan publik tidak hanya tidak beralasan – tetapi tidak relevan
dengan efisiensi ekonomi. Gagasan ini telah dikutip selama puluhan tahun, dikenal sebagai theorema Coase, yang menyatakan bahwa apabila tidak ada
dampak kekayaaan (wealth effect) atau transactions costs, maka tugas awal
(initial assignment) dari hak kepemilikan (property rights) yaitu hak milik tidak akan berpengaruh terhadap alokasi akhir, akan tetapi akan berpengaruh
pada bagian kekayaan yang terlibat. Betapa pun, dan hal yang sangat penting,
Teorema Coase mengamati bahwa pada kenyataannya, dunia sebenarnya
penuh dengan dampak kekayaan dan transactions costs, sehingga tugas awal hak pemilikan (property rights) tidak hanya berpengaruh pada dampak
kekayaan, tetapi juga berpengaruh pada alokasi akhir property rights.
(Heikkila, 2000)
Berangkat dari Theorema Coase, para skolar telah mempertimbangkan bahwa
biaya transaksi sekarang merupakan variabel penting di dalam evolusi
kebijakan publik. Beberapa menganjurkan agar biaya transaksi hendaknya dimasukan pada paradigma ekonomi kesejahteraan (welfare economic
paradigm); yang lain menganjurkan untuk meninggalkan kriteria efisiensi dan
menggantikannya dengan kritera seleksi kebijakan yang relevan, seperti misalnya pemerataan dan keefektifan (Dawkins, 2000). Dalam kaitan dengan
artikeli ini, Theorema Coase seperti yang dinyatakan Dawkins (2000)
memaksa analis kebijakan penggunaan lahan untuk berfikir ulang asumsi normatif yang melandasi preskripsinya. Lebih lanjut, pertanyaan mengenai
lingkup perencanaan – merencanakan atau tidak merencanakan – bukanlah
berkait pada apakah intervensi perencanaan beralasan. Atau apakah suatu
persoalan harus dipecahkan dengan melepaskannya pada mekanisme pasar atau paling banyak dengan berupaya memanipulasi interaksi pasar dengan
memperkenalkan insentif tertentu. Ketimbang, pertanyaannya adalah apakah
transactions costs merupakan keputusan kolektif jenis-pasar, apakah ekonomi atau politikal? Apakah lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan
biaya organisasi hierarhikal dan perencanaan yang sedang berlaku
(Alexander, 1994)?
Jawabannya terkait dengan pengaturan organisasi hierarhikal – atau struktur
kepemerintahan (governance). Bahwa biaya transaksi tinggi ketika pertukaran
bergantung pada orang tertentu (specific person), di lokasi khusus (special location), atau aset fisik tertentu (specific physical assets). Pada kondisi ini
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
9
kemampuan tawar-menawar rendah dan kesempatan untuk mendapat peluang
tinggi (Acheson, 1994: p.11).
Biaya transaksi cenderung meningkat di dalam kasus ketidak-pastian
(uncertainty) dan perilaku opportunistik yang dikombinasikan dengan
rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan 'small-numbers exchange relations' (Williamson, 1975: p. 40). Seperti yang dicatat oleh Alexander
(1994 p.17), apabila biayanya rendah, agen atau perusahaan boleh jadi
didesentralisasikan, atau pelayanan masyarakat dapat diswastanisasi. Apabila menjadi tinggi, mandat legislasi dapat melakukan superimpose kerangka
hirarhikal pada politikal atau ekonomi pasar, atau organisasi hirarhikal atau
keterkaitan inter-organikal yang akan muncul. Apakah hal ini dilakukan oleh sektor publik atau sektor swasta atau campuran antara keduanya adalah
pertanyaan lain, permasalahannya ditujukan pada proses perancangan
institusi.
Ekonomika biaya transaksi kemudian menjadi fokus unit analisis dasar untuk
menilai dan mengukur penetapan “institusi yang tidak-efisien” dan pemilihan
alternatif struktur kepemerintahan (governance) dalam proses pengembangan lahan. Indikasi “institusi yang tidak-efisien” terjadi di negara ketiga terutama
disebabkan oleh tingginya biaya transaksi. Konsep bounded rationality, asset
specificity, dan opportunity akan menjadi faktor pertimbangan utama di dalam
analisis ekonomika biaya transaksi.
2.2 Eksternalitas
Eksternalitas adalah biaya/beban (cost) atau manfaat (benefit) yang terkena kepada konsumen atau perusahaan oleh karena tindakan yang dilakukan oleh
pihak lain. Eksternalitas dapat memberikan manfaat disebut eksternalitas
positif atau dapat juga menyebabkan beban (cost) disebut eksternalitas negatif. Teori eksternalitas (analisis situasi, seperti misalnya polusi, dimana
tindakan satu orang dapat menimbulkan beban atau manfaat) pada orang lain.
Dua gagasan yang berseberangan yaitu pendekatan Pigouvian1 dan Coasian
2
perlu difahami dalam penanganan dampak eksternalitas ini. Penanganan dampak eksternalitas merupakan keputusan publik, di mana pemerintah akan
menerapkan suatu tindakan, salah satunya adalah dengan menetapkan pajak
Pigouvian. Maksud pengenaan pajak itu adalah untuk dapat mengkonversikan biaya eksternal menjadi biaya internal (=melakukan internalisasi terhadap
biaya eksternal). Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah menetapkan
pengenaan pajak/retribusi pembangunan yang harus mampu mengukur biaya untuk mengatasi eksternalitas negatif (misalnya polusi). Akan tetapi, berbeda
dengan peraturan langsung, penggunaan pajak/retribusi pembangunan tersebut
tidak mempersyaratkan pemerintah untuk mengukur biaya untuk mencegah
eksternalitas negatif – apakah dengan memasang instalasi alat kontrol
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
10
pengawas lingkungan atau dengan mengurangi hasil produksinya. Hal itu
dilakukan oleh pengembang, yang bertindak atas kepentingannya sendiri.
Apabila Pigou dianggap keras kepala dengan pendekatan intervensi
pemerintah melalui pajak dan retribusi, maka Coase juga bersikeras
beradvokasi akan adanya negosiasi (tawar-menawar) secara bebas antara berbagai pihak yang berpengaruh terhadap berbagai persoalan eksternalitas –
yaitu dengan menghindari intervensi yang dilakukan pemerintah. Menurut
Coase, selama hak milik (property rights) jelas dan selama transaksi (pembayaran) antar pihak terkait, eksternalitas dapat ditangani dan hasil
optimal akan terjadi. Pihak yang terlibat masih dapat keuntungan sementara
masyarakat juga memperoleh hasil yang diharapkan. Argumentasi Coase adalah bahwa tawar-menawar yang dilakukan pihak swasta dapat mengatasi
dampak eksternalitas lebih efisien ketimbang yang dilakukan melalui
intervensi pemerintah, Lebih lanjut prosesnya bergantung pada biaya
transaksi. Apabila terjadi eksternalitas akan tetapi tidak ada biaya transaksi – tidak ada persoalan, selama berbagai pihak bersepakat untuk mencari solusi
secara efisien. Ketika kita mengamati persoalan eksternalitas (atau bentuk lain
dari kegagalan pasar) di dunia nyata, kita hendaknya tidak semata mempertanyakan dari mana persoalan itu berasal, akan tetapi apakah biaya
transaksi itu dapat mencegah dalam bersepakat bahwa proses pengembangan
akan terjadi. (Klink, 1994, Webster, 1978)
III. PENELITIAN LAPANGAN
Penelitian ini bermaksud untuk memahami mekanisme pasar dan bagaimana intervensi yang dilakukan oleh pemerintah kota dalam berperan pada proses
pengembangan lahan dan properti. Kenyataan bahwa pengembangan lahan
dan properti di kota Bandung cenderung terjadi secara spontanitas ketimbang dipandu oleh dokumen Rencana Kota (RTRW) - di mana pasar lahan dan
properti (swasta) lebih merupakan alasan penting yang memacu
pengembangan ketimbang panduan rencana yang berdasar pada arahan
kebijakan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelajah (eksplorasi) interaksi yang terjadi antara institusi pemerintah, pengembang (swasta) dan
komunitas, dengan fokus pada pengamatan gejala eksternalitas dan biaya
transaksi. Lebih lanjut penelitian ini juga bermaksud untuk memahami peran pemerintah kota di dalam mengurangi (dampak) eksternalitas dan biaya
transaksi agar proses pengembangan lahan dan properti lebih efektif dan
efisien.
Sejalan dengan tujuan penelitian, survey lapangan dilakukan secara
wawancara dengan menggunakan kuestioner untuk menjaring informasi
mengenai:
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
11
(1) Keberadaan Biaya Transaksi: Untuk tujuan opersional penelitian ini
dilakukan identifikasi biaya transaksi seperti yang disarankan Buitelaar (2004) sebagai berikut: (a) dengan cara membedakannya dengan biaya produksi, (b)
di dalam proses produksi dengan informasi yang sempurna tanpa institusi
(lain) yang terlibat, semua biaya yang terjadi adalah biaya produksi, (c) segala
bentuk proses pengembangan yang tidak nampak di dalam “dunia nyata”, akan tetapi membentuk rujukan yang baik menunjukkan identitas sebagai
biaya transaksi. Selanjutnya fokus pada biaya pengadaan dan penggunaan
(jasa) penataan secara institusional. Penataan secara institusional yang dimaksud adalah dalam rangka penataan ruang (rencana tata guna lahan dan
bangunan) adalah apa yang disebut pengaturan penggunaan lahan (user right
regime) – perangkat peraturan formal yang menetapkan dan peruntukkan hak pemanfaatan lahan sebagai cara untuk melakukan koordinasi perubahan
pemanfaatan lahan di kawasan tertentu. Hal itu dilakukan melalui pengaturan
terhadap status hak atas lahan (property rights regime) dan peraturan
paenataan ruang (spatial planning regime). Untuk menelusuri keberadaan biaya transaksi diungkap informasi yang berkaitan dengan (a) biaya yang
dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya produksi secara fisik, (b) biaya
dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya administrasi, hukum dan organisasi (koordinasi institusi), (c) biaya yang dikeluarkan untuk proyek
yang termasuk biaya dampak pencemaran /gangguan/polusi fisik, (d) biaya
yang dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya dampak gangguan
sosial/budaya/mental-spiritual/moral
(2) Keberadaan Eksternalitas: melalui penelusuran pengeluaran atas
biaya-biaya tersebut pada (1) dilakukan identifikasi gejala-gejala apa yang
kemudian dapat digolongkan sebagai dampak eksternalitas (negatif) dan juga ditanyakan bagaimana persepsi – perilaku dan sikap responden terhadap
keberadaan eksternalitas, alternatif penanganan dan biaya transaksi tsb.
Dari sampel yang diteliti, yang dilakukan secara purposive (dipilih) berdasarkan daftar pengusaha (formal) yang tercatat pada Kamar Dagang
Kota Bandung. Informasi yng dikumpulkan telah cukup memberikan
deskripsi mengenai permasalahan mekanisme pasar, pengembangan lahan dan
properti dan Perencanaan Penataan Ruang Perkotaan di dalam Institusi Pengelolaan Pembangunan di Kawasan Perkotaan - Bandung khususnya
untuk memahami gejala “biaya transaksi economics” dan eksternalitasnya.
Dengan mengingat kekurangan dan kendala yang dihadapi, berikut ini disampaikan hasil penelitian lapangan yang diharapkan dapat memberikan
ilustrasi persoalan yang dihadapi di dalam pengembangan lahan dan
pembangunan kota Bandung – dan dapat digunakan sebagai langkah awal penyusunan agenda penelitian yang lebih lengkap dan menyeluruh.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
12
IV. HASIL PENELITIAN
Perusahaan pengembang lahan yang beroperasi di Kota Bandung berdiri di
sekitar tahun 1970-an, umumnya (pengembang yang diteliti) lebih banyak
bergerak di dalam bidang perumahan. Walaupun beberapa pengembang
berusaha ekspansi di bidang bisnis lain ( rotan, tambak udang, peti kemas, pariwisata) akan tetapi umumnya kembali lagi ke pengembangan lahan
(perumahan) karena bidang usaha ini dianggap masih dapat memberikan
keuntungan. Keberhasilan perusahaan terutama apabila mereka dapat menjalankan proses pengembangan lahan sesuai dengan skedul waktu yang
direncanakan. Di samping itu juga kepuasan konsumen terhadap hasil kerja
perusahaan, dan adanya permintaan (demand) yang cukup tinggi (pembelian/pemesanan rumah banyak) memperkuat keberhasilannya. Di
samping faktor internal perusahaan (dengan spesialisasi yang lebih terfokus),
faktor eksternal yang penting adalah stabilitas ekonomi nasional dan bunga
bank yang menunjang. Faktor lokasi (yang strategis) jelas merupakan alasan utama keberhasilan pengembangan lahan; dari sisi lain pengembangan lahan
memberikan nilai lebih karena dapat meningkatkan pemanfaatan lahan yang
produktivitasnya rendah. Sedangkan kegagalan dalam pengembangan lahan terjadi terutama sebagai akibat dari skedul yang tidak dapat dipenuhi (tidak
tepat waktu) – kewajiban bunga bank tidak terbayar – dan apabila penjualan
rumah/kaveling sulit. Periode yang dianggap menguntungkan adalah pada
tahun-tahun 1970an sampai 1996, ketika keadaan ekonomi sangat menunjang dan harga lahan relatif masih murah dan kompetitor masih minim. Akan
tetapi pada periode 1997-1999 saat Indonesia dilanda krisis moneter –
permintaan/pembelian untuk rumah menurun - pasar lesu – perekonomian tidak stabil, kegiatan pengembangan lahan menurun.
Mulai tahun 2000 keadaan membaik, perusahaan relatif stabil, terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang cukup menunjang iklim pembangunan.
Akan tetapi Dana Pembebasan Lahan Tinggi sementara itu pengadaan
Infrastruktur oleh Pemerintah sangat lambat. Dana Pembebasan Lahan tidak
disediakan oleh Bank – Bank hanya memberi bantuan dana untuk konstruksi.
4.1 Biaya Proyek
Di dalam penelitian ini, biaya transaksi mengikuti cara identifikasi seperti
yang dilakukan Buitelaar (2004): yaitu dimulai dengan cara membeda-
kannya dengan biaya produksi. Karena itu kuestioner dirancang untuk meliput informasi mengenai pengeluaran biaya produksi untuk (1) bahan bangunan,
(2) lahan, (3) tenaga kerja dan (4) lainnya (transport dan pemasaran). Di luar
biaya itu dapat digolongkan sebagai “biaya transaksi” yang akan diliput di
dalam kuestioner berikutnya “biaya koordinasi” dan biaya eksternalitas (negatif)
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
13
Proporsi dalam pengeluaran untuk Proyek Pengembangan Properti yang termasuk biaya produksi (yang dimaksud adalah (rata-rata) untuk proyek-
proyek fisik yang pernah dikerjakan, di luar biaya eksternalitas.) adalah: (a)
Bahan bangunan – yang tertinggi- diperkirakan sampai mencapai 45%, (b)
Lahan, yang kedua - diperkirakan sampai mencapai 34% (Tidak termasuk biaya “administrasi, hukum, sosial”: ganti rugi, pengalihan hak, sertifikat
lahan, dll.), (c) Tenaga Kerja - diperkirakan sampai mencapai 12%, (d) Biaya
lainnya (Angkutan/transport, Pemasaran dan lain-lain) relatif kecil terhadap biaya tsb, di atas) .
Selain dari biaya tersebut di atas, terdapat biaya Administrasi. Hukum, Organisasi yaitu biaya (eksentralitas) lain seperti yang tersebut di bawah ini:
(a) Biaya yang tertinggi adalah untuk pembebasan lahan & pengalihan hak
atas tanah, (b) administrasi perizinan, (c) koordinasi pelaksanaan proses
pengembangan lahan, (d) pengumpulan informasi dan (e) biaya untuk pembuatan kontrak/kerja-sama san biaya hukum lainnya
Biaya-biaya tersebut perlu diperhitungkan tersendiri karena biaya tsb.
“tidak dapat diabaikan”, walaupun tidak dapat diperkirakan tetapi tetap harus diperhitungkan. Betapapun perijinan sangat
mempengaruhi biaya produksi, walaupun mau tidak mau biaya
perijinan tsb harus dipenuhi.
Biaya Biaya transaksi yang diabaikan untuk koordinasi, perolehan informasi dan kontrak karena biaya relatif kecil; akan tetapi biaya
Biaya transaksi yg tidak dapat diabaikan adalah biaya perijinan dan
pembebasan lahan. Harga (jual) pasar properti diakibatkan oleh biaya produksi (fisik
bangunan dan lahan) ditambah biaya tersebut di atas.
Biaya transaksi cukup besar dibandingkan dengan biaya produksi, mencakup kurang lebih 20% dari seluruh biaya. Responden
berpendapat bahwa biaya transaksi cenderung makin besar karena:
(a) ketidak pastian peraturan-perundangan, (b) buruknya aparat
pemerintah, walaupun peraturan cukup jelas, (c) Ketentuan informal lebih menentukan, (d) Peraturan tidak dapat mengendalikan biaya
transaksi- tergantung pada kesepakatan antara Pemda dan
pengembang. (e) Ada indikasi bahwa Biaya transaksi diserahkan pada mekanisme pasar.
Biaya perizinan yang cukup besar – yang besarnya sangat variatif – dalam beberapa hal besarnya dapat “ditentukan” oleh developer melalui
proses negosiasi dengan aparat pelaksana. Dalam hal terjadi dampak
lingkungan, dampak sosial & pencemaran dapat diatasi - contohnya -
pengembang memberikan subsidi melalui kelurahan atau langsung kepada masyarakat di sekitar proyek yang dikerjakan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
14
Sikap terhadap keberadaan biaya Administrasi, Hukum, Organisasi, para responden berkesimpulan sbb.: Biaya administrasi dll. dianggap cukup wajar
pengenaannya oleh pemerintah daerah demi keteraturan penataan ruang,
lingkungan dan menjamin kepentingan publik: (1) prosedurnya sudah cukup
jelas dan adil, walau pun sosialisasi terhadap prosedur tersebut kurang memadai, (2) akan tetapi masih terdapat prosedur yang kurang adil, dan
merugikan pengembang, untuk itu diusulkan adanya deregulasi birokrasi; (3)
prosedurnya cukup adil tetapi pelaksanaannya buruk, karena adanya biaya tambahan di luar biaya tetap, bahkan kadang-kadang pengembang harus
mengeluarkan biaya di luar prosedur; (4) Namun demikian hal itu masih dapat
diperhitungkan oleh responden, dalam kalkulasi proyek, selama masih sejalan dengan prosedur yang berlaku.
Dari segi biaya pengenaannya, responden masih merasa keberatan karena
terlalu besar: (1) Biaya formal tidak besar tetapi biaya informalnya besar; (2) Dalam banyak hal biaya informal tidak masuk akal. Karena pengembang
sudah merasa cukup banyak mengeluarkan biaya untuk perijinan (prosedur)
akan tetapi masih sulit (keluarnya lama).
Karena itu responden berpendapat bahwa masih perlu perbaikan di dalam: (1)
Prosedur yang lebih adil: standar prosedur sudah baik, namun pelaksanaan
seringkali melenceng dari prosedur. (2) Biaya pengenaan yang masuk akal: standar biaya perlu ditetapkan secara lebih adil dan mengikuti prosedur masuk
akal, sehingga masih dapat diperhitungkan di dalam proses pelaksanaan
pengembangan lahannya. (3) Pembenahan kelembagaan: perlu diupayakan agar prosesnya berjalan lebih cepat, terutama capacity building para aparat
pelaksananya, (4) Kelembagaan perlu disederhanakan: khususnya dengan
adanya adanya Otonomi Daerah yang lebih besar – hendaknya diperhatikan agar tidak lagi terjadi tumpang tindih wewenang (terutama dengan pemerintah
propinsi dan pemerintah pusat).
Pengembang/responden merasa terlalu banyak dirugikan, karena mereka berpendapat bahwa biaya-biaya itu seharusnya sudah termasuk di dalam
perhitungan pengenaan pajak. Hal lain yang mengurangi efisiensi di dalam
pengenaan biaya ini adalah: (1) Biaya-biaya informal terlalu besar (khususnya dalam memperoleh informasi yang berkaitan dengan kebijakan lahan,
penataan ruang dan lingkungan), (2) Responden berpendapat bahwa
pelayanan yang diberikan belum baik, kurang aksesibel dan tidak transparan. Perlu ditingkatkan, khususnya dalam kualitas sumber daya manusianya.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
15
4.2 Biaya Dampak Pencemaran/Gangguan
Biaya lain yang mungkin muncul adalah sebagai dampak pencemaran atau
gangguan secara fisik:dari proyek/kegiatan yang terjadi terhadap kawasan di
sekitarnya. Jenis Pembiayaan yang diperkirakan muncul adalah: (1)
kemacetan lalulintas, (2) polusi udara, (3) polusi air limbah/buangan cair, (5) gangguan kebisingan, (6) buangan limbah padat/sampah .
Umumnya responden kurang memperhatikan dampak biaya ini - peranannya
di dalam proses produksi dianggap kecil hingga sedang. (Hal yang relatif dianggap terpenting adalah buangan limbah padat/sampah). Namun demikian
responden berpendapat bahwa biaya tersebut tidak dapat “diabaikan” dan
di”internalisasikan” di dalam biaya produksi; perlu diperhitungkan tersendiri.
Biaya lain yang juga mungkin timbul adalah untuk dampak sosia-budaya,
mental-spiritual terhadap masyarakat disekitarnya. Jenis Pembiayaan yang
diperkirakan muncul adalah: (1) dampak meningkatnya kejahatan, (2) keresahan dan “gejala sosial”, (3) penjagaan keamanan, (4) bimbingan
masyarakat : peningkatan moral, (5) bimbingan masyarakat: spiritual, agama.
Umumnya responden juga kurang memperhatikan dampak biaya ini -
peranannya di dalam proses produksi dianggap kecil hingga sedang. (Hal yang relatif terpenting adalah penjagaan keamanan).
Para responden tidak sepakat dengan berpendapat bahwa biaya tersebut tidak dapat “diabaikan” dan di”internalisasikan” di dalam biaya produksi; perlu
diperhitungkan tersendiri. Hal tsb. menunjukkan bahwa dampak biaya ini
tidak mendapat perhatian yang serius dari para pengembang.
Sikap terhadap penangan dampak eksternal dan pembiayaannya – umumnya
mereka berpendapat:
(1) Para responden tidak sepakat apabila dampak itu sebaiknya ditanggung
penangannnya oleh pengembang: (a) Agak keberatan apabila diperhitungkan
sebagai resiko perusahaan, karena biayanya tidak pasti (b) Juga meragukan
apabila dilakukan sebagai bagian dari pelayanan masyarakat – secara sukarela (c) Akan tetapi apabila hal itu telah ditetapkan di dalam UU/peraturan daerah
– para responden menyetujui akan tetapi dengan pengarahan dan bantuan
pemerintah
(2) Para responden cenderung lebih setuju apabila dampak itu sebaiknya
menjadi tanggung jawab penuh pemerintah: (a) Karena sudah membayar pajak, retribusi dan perizinan, (b) Sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah saja
(c) Pengembang membantu seperlunya
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
16
(3) Para responden meragukan apabila dampak itu sebaiknya ditanggung oleh
masyarakat setempat, beberapa hal yang meragukan adalah (a) Apakah masyarakat menerima apabila dampak itu merupakan resiko yang ditanggung
masyarakat? (b) Keraguan dapat dikurangi apabila ada inisiatif dari
masyarakat dan pemerintah memberikan bantuan dan dorongan, atau (c)
Inisiatif dari masyarakat dan pengembang bersedia memberikan bantuan (d) Atau mencari bantuan dari berbagai sponsor
(4) Akan tetapi para responden umumnya sepakat apabila dampak itu sebaiknya ditanggung bersama: (a) Negosiasi dengan masyarakat, pemerintah
dan pengembang merupakan persyaratan yang mutlak. (b) Dilaksanakan oleh
pemerintah, pengembang membayar pajak pemerintah dan pengembang (walau pun masih meragukan kemampuan birokrasi dan kapasitas pelayanan
pemerintah), (c) Dilaksanakan oleh masyarakat, dana dari pengembang.
Dengan pengarahan dari pemerintah (walaupun masih meragukan peran
“gotong royong” dan partisipasi masyarakat), (d) Dilakukan oleh pengembang, dengan partisipasi masyarakat dan bantuan dana & pengarahan
pemerintah (walaupun diragukan keefektivan oraganisasinya) (e) Bergantung
pada mekanisme pasar
(5) Hal itu menyebabkan harga (jual) properti menjadi mahal karena adanya
biaya transaksi yang cukup besar. Hal ini menyebabkan timbulnya sikap
pengembang untuk: (a) karena biaya perijinan besar maka, dalam proses pembebasan lahan akan menguntungkan apabila luas lahan yang akan
dibebaskan tidak kecil (luas lahan yang besar/kecil biaya perijinannya tetap
tinggi, maka untuk menutupi kerugian tsb pengembang membuat strategi dengan memperluas lahan yang akan dikembangkan. (b) Pengembang masih
mencari perolehan keuntungan dari harga lahan (c) Untuk mengatasi
persoalan ini pengembang memerlukan bantuan REI sebagai mediator untuk negosiasi dengan pemerintah, sehubungan dengan: (c1) kemudahan perijinan,
(c2) ketegasan dan konsistensi dari pemerintah (c3) kebijakan publik yang
dikeluarkan pemerintah dalam perekonomian (makromaupun mikro) (c4)
Diharapkan adanya peningkatan profesionalisme aparat – harus benar-benar konsisten dan berlaku sesuai dengan prosedur.
V. KESIMPULAN, PERTANYAAN DAN AGENDA PENELITIAN
Pengembangan lahan dan properti menunjukan fluktuasi yang dramatis sejak
tahun 1970an ketika hampir semua pengembang lahan dan properti memulai kegiatan bisnisnya. Selama perioda “deregulasi” ekonomi Indonesia – di mana
privatisasi telah mendapat dukungan penuh dengan adanya kebijakan fiskal
yang kondusif terhadap pengembangan lahan dan properti – bisnis
pengembangan lahan dan properti telah berkembang dengan pesat. Akan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
17
tetapi pada perioda 1997-2000 ketika Indonesia dilanda krisis moneter –
bisnis pengembangan lahan dan properti mengalami penurunan. Terlepas dari meningkatnya bahan bangunan (terutama disebabkan oleh
inflasi, biaya transport - BBM yang tinggi, dan tenaga kerja yang
meningkat) menarik untuk mengkaji biaya pengembangan lahan dan
properti yang disebabkan oleh komponen biaya di luar biaya produksi (fisik).
Di luar biaya produksi terdapat “co-ordination costs atau “institutional
costs” dan eksternalitas (negatif) seperti polusi fisik maupun non-fisik. Hal ini didefinisikan sebagai biaya transaksi, di mana dalam hal ini
meliput juga keberadaan suatu biaya yang tidak dapat diperkirakan sebab
relatif kecil akan tetapi dapat dianggap sebagai faktor penting dalam kaitan apakah bisnis akan berlangsung atau terhenti. Komponen biaya
tertinggi adalah (a) di dalam proses mengajukan rencana untuk
memperoleh izin pengembangan lahan dan properti, (b) pada proses
pembebasan lahan. (c) spesifikasi aset di lokasi menyebabkan komponen itu makin tinggi dan konsekuensinya adalah harga lahan dan properti juga
menjadi lebih tinggi.
Pengembang juga melakukan ”strategi jual-beli lahan”: (a) Membeli atau membebaskan lahan lebih dahulu dengan maksud untuk berspekulasi bila
ada konsumen yang berminat membeli lahan di kawasan tertentu. (b)
Memanfaatkan lahan yang tidak produktif – agar pembebasan lahan lebih
mudah/tidak bermasalah dan harganya lebih murah. Bunga Deposito Bank yang rendah menyebabkan konsumen lebih banyak
yang membeli properti. Bisnis properti tidak akan pernah mati karena
kebutuhan akan properti akan selalu ada dan meningkat sejalan dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonominya. Bisnis
properti yang paling banyak diminati para konsumen adalah permahan
sederhana. Biaya-biaya di luar produksi biasanya sudah dialokasikan sebelumnya,
sehingga dengan demikian pengembang dapat menekan harga jual kepada
konsumen akan tetapi juga mengupayakan kelancaran proses
pengembangan lahannya. Besarnya alokasi ini sangat bervariasi bergantung pada karakteristik lokasi, jenis dan skala proyek
pengembangan. Biaya transaksi merupakan salah satu komponen penting
di dalam hal ini. Dampak eksternalitas yang ditimbulkan dalam proses pengembangan ini
cenderung tidak diatasi melalui intervensi pajak Pigouvian akan tetapi
nampaknya pemerintah kota cenderung melakukan pendekatan Coasian; di mana penanganan eksternalitas diambangkan dalam proses negosiasi
antar berbagai fihak (sesuai dengan mekanisme pasar) – sehingga biaya
transaksi kemudian menjadi indikasi penting berlangsungnya proses ini.
Penelitian ini mengidentifikasikan bahwa biaya transaksi di dalam pengembangan lahan dan properti berkisar pada 20%. Sebenarnya
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
18
menurut para pengembang angka ini memang cukup tinggi, akan tetapi
biaya itu tidak dapat dihindari dan dalam beberapa hal masih dapat ditanggulangi – demi keberlangsungan kegiatan usaha. Willy Irawan
(2006) melakukan indikasi bahwa para pengembang masih dapat
mempertimbangkan keberlangsungan usahanya apabila biaya transaksi
yang masih dibawah 30%. Besarnya biaya transaksi ini merupakan indikasi dalam kebijakan publik saat yang tepat untuk melakukan
intervensi agar proses pengembangan lahan dapat berlangsung secara
efektif dan efisien. Keberadaan biaya transaksi menimbulkan beberapa permasalahan
penelitian sbb.: (a) Rasionalisasi apa yang mendasari pengenaan biaya
transaksi agar pengenaannya tidak berdampak terhadap kelancaran proses pengembangan lahan- khususnya di dalam menangani dampak
eksternalitas pengembangan lahan, (b) Memahami perilaku pengembang,
aparat pemerintah dan masyarakat – khususnya bagaimana karakteristik
mereka pada waktu menjalani proses itu. Apakah ada hal-hal yang menghambat karena adanya perilaku yang oportunistik, yaitu sifat yang
mementingkan diri sendiri, menghalalkan segala cara, melakukan praktik
tercela (berbohong, menipu, korupsi dll) yang sama sekali tidak menghiraukan kepentingan publik. (c) Mempelajari aspek hukum dan
hubungan kerja antar pelaku-pelaku bisnis pengembangan lahan yang
menjalani proses interaksi, kontrak kerja dan prosedur pelaksanaan proses
pengembangan lahan. Khususnya mempelajari peran dan kewenangan institusi yang menangani proses tersebut. (d) Mengkaji dan mengukur
besaran Biaya transaksi untuk mengetahui apakah proporsinya tidak
terlalu besar sehingga dengan demikian proses masih dapat berlangsung secara efisien. Kisaran angka 20% yang terjadi saat ini apakah masih bisa
ditekan agar lebih efisien? Dan sampai mencapai angka berapa biaya
transaksi menjadi indikator bahwa tingkat efisiensi sudah tidak bisa dicapai sehingga diperlukan intervensi instutusi (pemerintah dan atau
kepemerintahan) yang dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi tsb.
Hendaknya disadari bahwa gejala Biaya transaksi telah memberikan
informasi yang berharga dalam (a) merupakan indikasi apakah proses pengembangan lahan dapat berlangsung secara efisien, (b) merupakan
indikasi tingkat ketidak-efisienan akibat dari eksternalitas negatif, (c)
merupakan indikasi apakah institusi pemerintah harus melakukan intervensi pasar atau melepaskannya pada mekanisme pasar.
Catatan Kaki: 1. Pajak yang dikenakan berdasar nama pencetusnya: Arnold C. Pigou – yang merupakan gagasan untuk melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar ataupun mencegah penyebarannya secara lebih luas. 2. Salah satu pelopor ekonomika institusional : Ronald H. Coase yang mendapat Noble Prize untuk ekonomi pada tahun 1991
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
19
VI. DAFTAR PUSTAKA
Acheson, James. Welcome to Nobel Country: a Review of Institutional Economics.
Ed. in Acheson, J., Anthropology and Institutional Economics,. Maryland
and London: University Press of America, Inc., 1994.
Alexander, Ernest R. 1986, Approaches to Planning – Introducing Current Planning
Theories, Concepts and Issues. (New York: Gordon & Breach Science
Publication).
____________ 1992. A transaction cost theory of planning. Journal of the American
Planning Association 58, 2: 190-200
_____________1994. To plan or not to plan, that is the question: Transaction cost
theory and its implications for planning. Environment and Planning B 21:
341-52. Bovaird, Tony 1993. "Analysing Urban Economic Development." Urban Studies
vol.30 nos 4/5. 631-658
Buitelaar, Edwin. 2002 “New institutional economics and planning. A different
perspective on the market versus government debate in spatial planning”,
Nijmegen, Nijmegen School of Management Spatial planning
Buitelaar, Edwin. 2004. A Transaction-cost Analysis of the Land Development
Process. Urban Studies, Vol. 41, No. 13, 2539–2553, December 2004
Coase, Ronald H. 1960. The problem of social cost. Journal of Law and Economics 3
(October): 1-44.
Dahlman, Carl J. 1979. The problem of externality. Journal of Law and Economics
22: 141-62.
Dawkins, Casey J. 2000. Transaction Costs and the Land Use Planning Process Journal of Planning Literature, Vol. 14, No. 4 (May 2000).
Dietrich, Michael, 1994. Transaction Cost Economic and Beyond – toward a new
economics of firms. London & New York, Routledge
Furubotn, E.G. & R. Richter (1991), The new institutional economics: an assessment.
In: E.G. Furubotn & R. Richter (eds.), The new institutional economics: a
collection of articles from the Journal of institutional and theoretical
economics, 1-32. Tübingen: Mohr.
Hart, Oliver. 1990. An economist’s perspective on the theory of the firm. In
Organization theory: From Chester Barnard to the present and beyond,
Oliver E. Williamson, ed. New York: Oxford University Press.
Haryo Winarso, 2000. “Residential Land Developers’s Behaviour in JABOTABEK, Indonesia, PhD thesis, University College London, University of London
Healey, Patsy, 1991. "Models of the Development Process: a review." Journal of
Property Research 8. 1991. 219-238.
_____________1992. "An institutional model of the development process." Journal
of Property Research 9. . 33-44.
Healey, P. and Barrett, S.M.. 1990. "Structure and Agency in land and property
development process." Urban Studies 27. 89-104
Heikkilla, E. J. 2000. The Economics of Planning. New Brunswick, NJ: Center for
UrbanPolicy Research. 35, pp. 53–75
Klink, F.A. 1994. Pigou and Coase reconsidered, Land Economics; Aug 1994; 70, 3;
ABI/INFORM Global pg. 386
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol. 17/No.2, Agustus 2006
20
Medema, Steven G. 1996. Coase, costs, and coordination. Journal of Economics
Issues 30, 2: 571-78.
Mochtarram Karyoedi, 2006. Mekanisme Pasar, Pengembangan Properti dan
Perencanaan Penataan Ruang Perkotaan di dalam Institusi Pengelolaan
Pembangunan di Kawasan Tengah Kota Bandung (melalui Perspektif
Pendekatan Transaction Cost Economics). Riset ITB – Kelompok Keahlian
Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Needham, Barrie and George de Kam. 2004 Understanding How Land is Exchanged:
Co-ordination Mechanisms and Transaction Costs Urban Studies, Vol. 41,
No. 10, 2061–2076, September 2004
North, Douglas C.. Institutions, Institutional change and economic Performance.
Cambridge, N.Y. et al.: Cambridge Univercity Press , 1991.
Pigou, A. C. 1929. The economics of welfare. London: Macmillan.
Shelanski, Howard A., and Peter G. Klein. 1995. Empirical research in transaction
cost economics: A review and assessment. Journal of Law, Economics, and
Organization 11, 2: 335-61.
Webster, Christopher J. 1998. “Public Choice, Pigouvian and Coasian Planning Theory” Urban Studies, Vol. 35, No. 1, 53- 75,
Willy Irawan, 2006, Identifikasi Biaya Transaksi dalam Proses Pengembangan pada
Koridor Komersial Jalan LRE Martadinata (Riau) – Kota Bandung, Tugas
Akhir – Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK, ITB.