eksistensi tari cokek sebagai hasil akulturasi...

13
UNIVERSITAS INDONESIA EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI MAKALAH NON SEMINAR CLARISSA AMELINDA 1006700242 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI CINA DEPOK FEBRUARI 2014 Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Upload: dangnguyet

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

UNIVERSITAS INDONESIA

EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA

TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI

MAKALAH NON SEMINAR

CLARISSA AMELINDA

1006700242

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI CINA

DEPOK

FEBRUARI 2014

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 2: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 3: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 4: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA

TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI

Clarissa Amelinda

Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Makalah ini membahas eksistensi tari Cokek sebagai warisan budaya Betawi yang juga merupakan hasil akulturasi dengan

budaya masyarakat Tionghoa. Dalam penelitian ini akan dipaparkan bagaimana kebudayaan masyarakat Tionghoa

memperngaruhi tari Cokek. Di samping itu, penelitian ini juga memaparkan pandangan kedua masyarakat ini terhadap tari

Cokek, serta usaha-usaha pelestarian yang telah dilakukan maupun yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan

pemerintah agar eksistensi tari ini tetap terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh-pengaruh budaya

Tionghoa pada tari Cokek dan juga menjelaskan keberadaan tari Cokek dari masa awal perkembangannya oleh masyarakat

Tionghoa dan masyarakat Betawi. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menumbuhkan ketertarikan pembaca

untuk mengenal tari ini. Hingga kini, tari Cokek masih dapat bertahan, meskipun keberadaannya hanya sebatas pada daerah

kelahirannya, yakni Tangerang.

Abstract

The Existence of Cokek Dance as The Acculturation of Chinese and Betawi Culture discusses the existence of Cokek

dance as one of Betawi cultural heritages and an acculturation with Tionghoa culture. This paper will explain how far

Chinese culture influences this dance. In addition, this paper also explains the overview of these two communities, Betawi

and Tionghoa, to Cokek dance and preservation efforts that have been done and should be done by the public and

government to maintain the existence of this dance. The purposes of this research are to explain Chinese culture influences

that affected Cokek dance and to explain the existence of Cokek dance from the beginning of its developments by Chinese

and Betawi society. This research aims to gain readers’ interest about Cokek dance. Now, Cokek dance can still survive up,

eventhough its presence merely in the area where it was developed first, Tangerang.

Keywords: existence, acculturation, cokek dance

1. Pendahuluan

Jakarta yang dikenal dengan nama Batavia semenjak

zaman penjajahan (abad XVII) merupakan tempat

pertemuan antar berbagai budaya yang dibawa oleh para

pendatang, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Akulturasi yang terjadi dengan adanya para pendatang

tersebut menjadikan sebuah komunitas tersendiri dari

masyarakat Jakarta. Percampuran penduduk dari berbagai

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 5: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

etnis seperti Jawa, Minang, Sunda, Batak dan lain-lain ini

memberikan nuansa dari kehidupan kota Batavia yang

heterogen. Dalam perkembangannya (abad XIX)

terjadilah perpaduan antar ettnis yang ada di Batavia ini,

baik yang berasal dari nusantara maupun mancanegara.

Sesuai dengan teori salad bowl1

, perpaduan antar

masyarakat ini membuat masyarakat Batavia menjadi

suatu kelompok etnis dengan ciri khas tersendiri.

Masyarakat etnis tersebut menamakan komunitasnya

dengan sebutan masyarakat Betawi.2

Pembauran yang terjadi pada zaman itu memperlihatkan

masyarakat Betawi sebagai kelompok sosial kultural

yang berbeda dengan kelompok lainnya. Hal itu tampak

dari adat istiadat, bahasa yang dipergunakan dan jenis

keseniannya.3 Hinga saat ini dapat kita lihat bahwa

kesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi tidak lepas

dari pengaruh bangsa-bangsa lain, seperti Keroncong

Tugu yang mendapatkan pengaruh dari bangsa Portugis,

Tanjidor yang mendapat pengaruh dari bangsa Belanda,

Gambang Kromong yang mendapat pengaruh dari bangsa

Tionghoa, serta Rebana yang berakar pada tradisi musik

Arab. Salah satu bangsa yang memiliki pengaruh besar

terhadap masyarakat Betawi adalah bangsa Tionghoa.

Pengaruh bangsa Tionghoa ini dapat terlihat hampir pada

semua segi kehidupan masyarakat Betawi, mulai dari

penyerapan bahasa Hokkian menjadi bahasa Betawi

hingga pada salah satu tari tradisional Betawi, yakni tari

Cokek.

Menurut J. Kunst dalam Husein Wijaya (2000 : 79), tari

Cokek merupakan suatu tarian yang dilakukan sambil

bernyanyi dan dianggap sebagai seni budaya orang-orang

keturunan Tionghoa. Hampir pada setiap aspek pada tari

Cokek ini pun tidak terlepaskan dari pengaruh

kebudayaan masyarakat Tionghoa, baik dari segi gerak,

musik pengiring hingga kostumnya. Dalam masyarakat

1 Teori Salad Bowl menjelaskan bahwa keberagaman sayuran dan

bumbu (masyarakat multietnis) dalam satu mangkuk salad (bangsa)

saling membaur, namun tidak meninggalkan rasa asli dari sayuran

dan bumbu itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun masyarakat

antar etnis ini sudah membaur dalam suatu bangsa, namun tetap bisa

dikenali karena tetap memperlihatkan budaya asalnya. (Bruce M.

Mitchel, Robert E. Salsbury, 1999:209)

2 Lance Castle. The Ethnic Profile of Djakarta, dalam Majalah

Indonesia I (1967), hlm. 153-204.

3 Budiaman, etal., FolklorBetawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), hlm.17

sendiri, pertunjukan tari Cokek ini berfungsi untuk

menghibur masyarakat.

Namun, dalam perkembangannya, terdapat pihak-pihak

yang mendukung dan juga mengecam tari yang

berkembang di Tangerang ini. Dukungan dan kecaman

ini berpengaruh besar pada eksistensi dan kontinuitas

tari Cokek sendiri. Di samping itu, perkembangan

masyarakat yang menuju modernitas mempengaruhi

pola pikir masyarakat sehingga banyak terjadi amnesia

budaya pada generasi muda. Hal ini juga berdampak

pada eksistensi tari Cokek di tengah masyarakat.

Dalam mengantisipasi amnesia budaya pada generasi

muda dan mencegah kepunahan seni budaya, pola

pikir masyarakat yang semakin maju membuat

sebagian masyarakat mencari jalan untuk tetap

mempertahankan eksistensi tari Cokek dan seni budaya

Betawi lainnya.

Oleh karena itu, penelitian ini akan memaparkan

bagaimana pengaruh kebudayaan masyarakat Tionghoa

terhadap tari Cokek? Bagaimanakah pandangan

masyarakat Tionghoa dan masyarakat Betawi terhadap

tari Cokek ini? Seberapa besar kah pandangan

masyarakat mempengaruhi eksistensi tari ini? Bagaimana

eksistensi tari Cokek saat ini?

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh-

pengaruh budaya masyarakat Tionghoa pada tari Cokek

dan menjelaskan keberadaan tari Cokek dari masa awal

perkembangannya oleh masyarakat Tionghoa dan

masyarakat Betawi. Penelitian ini diharapkan akan

menambah wawasan pembaca mengenai akulturasi yang

terjadi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat

Betawi yang khususnya berdampak pada bidang

kebudayaan, terutama mengenai tari Cokek. Penelitian

ini juga diharapkan akan menumbuhkan ketertarikan dan

minat pembaca terhadap tari Cokek sehingga tari Cokek

sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia tidak

akan punah seiring perkembangan zaman.

Penelitian ini meneliti di bidang kebudayaan, secara

khusus mengenai kebudayaan yang merupakan hasil

akulturasi dua masyarakat. Pada penelitian ini akan

dibatasi pada perkembangan tari Cokek di Jakarta dan

Tangerang. Selain itu, penelitian ini terbatas pada

pandangan-pandangan masyarakat Betawi dan juga

masyarakat Tionghoa di Jakarta dan Tangerang terhadap

tari Cokek.

Penelitian ini bukan merupakan penelitian pertama yang

mengangkat permasalahan pada tari Cokek. Sebelum

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 6: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

penelitian ini telah ada sebuah skripsi dari Emma

Kurniasih, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, pada

tahun 2000 yang berjudul Perkembangan Bentuk Tari

Cokek di Teluk Naga Tangerang. Namun, perbedaan

penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada

fokus permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan

menitikberatkan pada permasalahan tari Cokek sebagai

sebuah produk akulturasi dua budaya, yakni budaya

masyarakat Tionghoa dengan budaya masyarakat Betawi,

sedangkan fokus dari penelitian terdahulu hanya pada

perkembangan bentuk tari Cokek.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan

mengumpulkan sampel melalui wawancara. Demi

memperkuat hasil wawancara yang telah dilakukan

kepada beberapa narasumber, hasilnya ditinjau kembali

dengan studi pustaka.

3. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka

pembabakan makalah ini terbagi menjadi empat

subbagian, yakni : tari Cokek sebagai akulturasi budaya

masyarakat Tionghoa dan Betawi, perspektif masyarakat

terhadap tari Cokek, perkembangan tari Cokek dan

eksistensi tari Cokek masa kini.

3.1 Tari Cokek Sebagai Akulturasi Budaya

Masyarakat Tionghoa dan Betawi

Tari Cokek adalah sebuah tari yang lahir pada

lingkungan masyarakat Betawi-Tionghoa di pinggiran

ibu kota Jakarta, yakni di Teluk Naga, Tangerang.

Dahulu, Sungai Cisadane yang terletak di daerah Teluk

Naga merupakan akses strategis bagi para pedagang

Tionghoa untuk menjual barang-barang dagangannya

kepada masyarakat Tangerang pada masa itu.

Perdagangan di kota ini berkembang dengan pesat.

Banyak pedagang yang makmur dan akhirnya membeli

tanah di sana. Orang-orang yang memiliki hak atas

penggunaan tanah inilah yang kemudian disebut tuan

tanah. Mereka mulai menetap di kawasan ini dan mulai

membaur bersama penduduk asli. Pembauran kedua

masyarakat ini pada akhirnya membawa akulturasi bagi

segala aspek kehidupan diantara keduanya. Menurut

KBBI (2008) akulturasi adalah : 1. percampuran dua

kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling

mempengaruhi; 2. proses masuknya pengaruh

kebudayaan asing di suatu masyarakat, sebagian

menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur

kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak

pengaruh itu; 3. proses atau hasil pertemuan kebudayaan

atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa,

ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme. Hingga

saat ini hasil akulturasi yang terjadi diantara kedua

masyarakat ini masih banyak ditemukan pada bahasa,

kesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi, salah

satunya adalah tari Cokek. Tari Cokek ini merupakan

hasil percampuran dua kebudayaan, yakni kebudayaan

masyarakat Tionghoa dengan kebudayaan masyarakat

Betawi yang saling mempengaruhi. Hal ini senada

dengan yang dinyatakan oleh Brian Longhurst, Greg

Smith,dll (2008) bahwa dalam memahami makna dari

berbagai bentuk budaya, jangan hanya melihatnya dari

satu kebudayaan itu saja, tetapi seharusnya juga melihat

dari adanya hubungan kecocokan dari pertemuan budaya

yang berbeda. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan

dipaparkan tari Cokek sebagai sebuah tari Betawi yang

mendapatkan pengaruh kuat dari kebudayaan Tionghoa.

Berdasarkan KBBI (2008), Cokek merupakan kesenian

tradisional Betawi yang diiringi gambang kromong

dengan penari wanita yang juga bersedia diajak menari

bersama para tamu. Nama Cokek sendiri berasal dari

bahasa Hokkian chniou-khek yang berarti menyanyikan

lagu.4 Dalam bahasa Mandarin dibaca juga chàng gē (唱

歌). Disebut menyanyikan lagu karena sebenarnya pada

awal perkembangan, tari Cokek bukanlah sebuah tari

yang berdiri sendiri, tetapi juga dengan menyanyi. Cokek

sebenarnya merupakan sebuah sebutan bagi seorang

penyanyi yang mengiringi alunan gambang kromong,

namun mereka tidak hanya menyanyi, melainkan juga

menari. Mereka lebih dikenal dengan sebutan wayang

cokek. Oleh sebab itu, hingga sekarang pun tari Cokek

tidak dapat dipisahkan dari Gambang Kromong yang

juga merupakan salah satu hasil akulturasi dengan

masyarakat Tionghoa. Berbagai aspek dalam tari Cokek

mulai dari gerakan, kostum hingga musik merupakan

hasil akulturasi masyarakat Betawi dengan masyarakat

Tionghoa.

Tari Cokek merupakan sebuah tari sosial atau pergaulan

yang berfungsi sebagai hiburan. Tari Cokek juga

dipertunjukkan ketika ada acara-acara besar seperti

pernikahan, sunatan atau penyambutan tamu-tamu

terhormat yang datang ke daerah tersebut. Awalnya, tari

4

Indonesian Cross-Cultural Society. Indonesian Chinese-Peranakan A

Cultural Journey. (Jakarta: Intisari, 2012), hlm.217

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 7: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

ini berkembang di tengah masyarakat Tionghoa dan

Betawi di daerah Teluk Naga untuk menghibur para tuan

tanah yang sedang mengisi waktu senggangnya. Pada

zaman dahulu, tarian ini dilakukan oleh budak-budak

wanita para tuan tanah atau orang kaya keturunan Cina

yang dikenal dengan sebutan "Baba".(Hussein Wijaya,

2000:79). Mereka datang dari berbagai daerah di luar

Tangerang. Mereka diasuh oleh Baba tersebut sehingga

gerakan dalam tari ini pun tidak lepas dari unsur-unsur

gerak tari Cina.

3.1.1 Gerakan Tari Cokek

Berdasarkan hasil pengamatan penulis melalui video-

video tarian tradisional Cina yang diunggah di youtube,

penulis menemukan sedikit kemiripan pola gerak tari

Cokek dengan tarian dari Cina, yakni tari Tage (Tàgē 踏

歌 ) Secara harfiah, tàgē 踏歌 berarti menghentakkan

kaki sambil bernyanyi. Tari ini merupakan tari tradisional

Cina dari zaman Dinasti Han. Para arkeolog menemukan

gambar tari Tage ini pada tembikar dari zaman

kebudayaan Majiayao di Gansu. Tari ini adalah tari

hiburan yang ditarikan secara berkelompok oleh para

pekerja untuk menghilangkan rasa letihnya.

敛肩、含颏、掩臂、摆背、松膝、拧腰、倾胯是《踏

歌》所要求的基本体态.

“Gerakan dasar dari tari Tage ini adalah melenturkan

bahu sembari menggerakan tangan mendekati dagu,

berputar, lalu mengendurkan lutut dan menggoyangkan

pinggang serta pinggul.” (www.baike.baidu.com)

Dari sini terlihat bahwa sama halnya dengan tari Cokek,

tari Tage juga memiliki gerakan dasar menggoyangkan

pinggul. Penulis juga mendapatkan kemiripan pola gerak

antara tari Cokek dan tari Tage saat penari maju sembari

mengangkat lengan ke atas dan berbaris sejajar. Namun,

jika pada tari Tage lengan hanya diangkat ke atas, jika

pada tari Cokek penari memainkan tangannya secara

bergantian. Namun, apabila dilihat, gerakan tari Tage

lebih halus dan lemah lembut dibandingkan tari Cokek.

Gerak pada tari Cokek lebih dinamis dan lebih energik

serta gerakan menggoyangkan pinggul pun lebih banyak

ditemui pada tari Cokek ini. Hal ini membuktikan bahwa

gerakan tari Cokek juga mengadaptasi gerakan-gerakan

dasar tari dari Cina dan dimodifikasi.

3.1.2 Gambang Kromong, Musik Pengiring Cokek

Berbicara mengenai tari Cokek tidak bisa tidak

membicarakan orkes gambang kromong sebagai

pengiringnya. Wayang cokek akan menyanyikan lagu-

lagu yang diminta oleh para tamu atau tuan tanah yang

datang dan gambang kromong yang memadukan unsur

Cina dan Betawi begitu harmonis akan mengiringi

wayang cokek bernyanyi selama pertunjukkan. Musik

Gambang Kromong sendiri sudah dikenal pada tahun

1880 saat Bek Teng Tjoe menyajikan musik tersebut

untuk sebuah sajian penyambutan para tamunya.5

Penyebutan musik Gambang Kromong berasal dari alat

musik yang dipergunakan dalam ensambel tersebut,

yaitu gambang dan kromong. Alat musik pada gambang

kromong yang merupakan alat musik khas Betawi sendiri

adalah gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong.

Sementara itu, terdapat alat-alat musik yang juga

mengindikasikan adanya unsur Cina, seperti kongahyan,

tehyan dan sukong. Jaap Kunst (1973: 374) mengatakan

bahwa ketiga alat musik ini memang dipengaruhi oleh

budaya masyarakat Cina yang berada di Jakarta.

Instrumen musik yang mirip dengan ketiganya di Cina

dinamakan èrhú 二胡.

Gambar 1. Èrhú 二胡 Sumber: www.globaltimes.cn

Gambar 2. Kongahyan, Tehyan, Sukong

Sumber : www.plengdut.com

5 Poa Kian Sioe, Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di

Jakarta, dalam Majalah Pantja, Juni1949, hlm.39.

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 8: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

Gambar 3. Gambang Kromong Sumber : www.tamanismailmarzuki.com

Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh wayang Cokek tidak

hanya lagu-lagu berbahasa Indonesia saja, tetapi juga

lagu-lagu berbahasa Hokkian. Lagu-lagu yang biasa

dibawakan oleh orkes gambang kromong pada saat itu

adalah Matojin (Pendeta Wanita), atau dalam bahasa

Mandarin Nǚ Mùshī (女牧师), Si Jin Kui Hwee Ke (Si

Jin Kui Pulang Kampung), atau dalam bahasa Mandarin

Xuē Rénguì Huí Jiā (薛仁贵回家), Lui Kong (Dewa

Halilintar), atau dalam bahasa Mandarin Léi Gōng (雷公),

Khong Ji Liok (Kosong Dua Enam), atau dalam bahasa

Mandarin Kōng Èr Liù (空二六), Chia Pe Pan (Makan

Nasi Putih) atau dalam bahasa Mandarin Chī Báifàn (吃

白饭), Mas Nona, Kramat Karem, Jali-Jali, Kicir-Kicir,

Sirih Kuning dan Lenggang Kangkung. Di tengah

pertunjukkan, wayang cokek akan mengundang tamu

yang telah memintanya menyanyikan lagu tersebut untuk

menari bersama di atas panggung dengan menariknya

menggunakan cukin atau selendang. Penghasilan yang

didapatkan oleh wayang cokek hanya berasal dari

pemberian para tamu yang menari bersamanya.

Pertunjukkan cokek ini bisa berlangsung semalam suntuk

karena lamanya pertunjukkan tergantung pada banyaknya

permintaan lagu yang diajukan oleh para tamu.

3.1.3 Kostum Wayang Cokek

Berbagai aspek yang terdapat pada tari Cokek ini tidak

terlepaskan dari pengaruh-pengaruh Tionghoa, termasuk

kostum yang dikenakan wayang cokek. Wayang cokek

biasanya mengenakan baju kurung berbahan sutra dan

berwarna cerah yang juga merupakan pakaian-pakaian

sehari-hari wanita di Cina serta menggunakan celana

berbahan sutra dan berwarna cerah, seperti merah,

kuning, hijau dan ungu. Dalam masyarakat Tionghoa

sendiri, warna-warna ini memiliki makna khusus.

Warna merah melambangkan kebahagiaan, kehidupan,

kekuatan dan semangat. Masyarakat Tionghoa juga

percaya bahwa warna merah dapat menjauhkan diri

mereka dari gangguan setan. Dalam kepercayaan

masyarakat Tionghoa, warna kuning melambangkan

kekuasaan dan kemakmuran. Masyarakat Tionghoa juga

percaya bahwa warna hijau melambangkan kemurnian

dan kesucian. Sementara itu, warna ungu dalam

kepercayaan masyarakat Tiongha merupakan simbol dari

surga. Selain itu, ada juga yang mengenakan kebaya

encim, serta kain sebagai kostumnya. Disebut dengan

kebaya encim karena dahulu kebaya ini dikenakan oleh

para encim. Encim merupakan bahasa Hokkian untuk

panggilan wanita Tionghoa yang dituakan. Biasanya

kebaya encim ini dipadukan dengan kain batik pesisir.

Batik pesisir ini pun mendapat pengaruh kuat dari

kebudayaan masyarakat Tionghoa. Ragam motif batik ini

biasanya bunga, burung hong dan naga. Ragam motif

batik pesisir ini mirip dengan ragam hias pada pakaian-

pakaian zaman Dinasti Tang. Ragam hias fauna yang

sering keluar pada batik pesisir adalah naga, dalam

kepercayaan masyarakat Tionghoa, naga adalah lambang

keagungan, kekuasaan dan keberuntungan.6 Selain itu,

wayang cokek juga mengenakan cukin (selendang) atau

dalam bahasa Mandarin disebut juga pījīn (披巾), yang

berwarna cerah dan menjadi salah satu ciri khas wayang

cokek yang tak terpisahkan.

Rambut wayang cokek biasanya disanggul kecil dan

menggunakan aksesoris kepala berupa kembang goyang

dan burung hong. Burung hong atau dalam bahasa

Mandarin disebut Fènghuáng (凤凰), dalam kepercayaan

masyarakat Tionghoa merupakan sebuah lambang untuk

kebahagiaan dan kemakmuran. Apabila diamati lebih

jauh lagi aksesoris kepala yang dikenakan oleh penari

cokek merupakan aksesoris kepala yang biasa dikenakan

oleh wanita-wanita Cina pada zaman dahulu. Hal ini

tertulis dalam dalam Rangkaian Sejarah Dinasti Song,

bagian Catatan Perjalanan, “pada tahun ke-6 di bawah

pimpinan Kaisar Yuanjia dari Dinasti Song, para wanita

sudah mengikatkan rambutnya.... Kepala mereka pun

dihiasi dengan beragam penjepit rambut.” Selanjutnya,

pada dinasti Ming dan Qing, aksesoris rambut yang

berbentuk bunga krisan, teratai, kupu-kupu dan burung

hong yang biasa disebut jī (笄) dan bùyáo (步摇) ini,

bagi wanita Cina menjadi simbol kelas sosial mereka.

Selain itu, aksesoris rambut ini juga menjadi lambang

kedewasaan seorang wanita. Dari segi kostum ini terlihat

6

Yasmin Zhaki Shahab. 2000. Betawi: Sejarah dan Prospek

Pengembangan. Jakarta.

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 9: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

begitu jelas pengaruh budaya masyarakat Tionghoa

terhadap tari ini.

Gambar 3. Kostum Penari Cokek

Sumber : dokumentasi Rulliita

Gambar 4. Aksesoris Rambut Wanita Cina

Sumber : http://traditions.cultural-china.com

3.2 Perspektif Masyarakat terhadap Tari Cokek

Seiring waktu berjalan, muncul berbagai pendapat dari

masyarakat mengenai tari Cokek. Pendapat masyarakat

ini cukup mempengaruhi perkembangan tari Cokek.

Setiap orang dapat melihat suatu objek dari perspektif

yang berbeda satu sama lainnya, begitupun dalam

melihat dan menilai tari Cokek. Di tengah-tengah

perkembangannya, tari Cokek mendapat dukungan dan

kecaman dari masyarakat sekitar. Berbagai kecaman ini

muncul karena gerakan wayang cokek yang dianggap

mengandung nilai moral yang kurang baik. Hal ini

dikarenakan adanya gerakan menggoyangkan pinggul

dari bawah hingga ke atas oleh para cokek. Demi

menghibur tamu dan juga mendapatkan uang, wayang

cokek akan menarik tamu-tamu pria menggunakan

selendangnya untuk menari bersama. Gerakan ini

merupakan salah satu gerakan khas tari Cokek, namun

gerakan ini jugalah yang menimbulkan kecaman. Hal ini

dikarenakan lahir sebuah kepercayaan di dalam

masyarakat bahwa laki-laki yang telah ditarik oleh

wayang cokek akan tidak kembali lagi ke rumah. Hal ini

senada dengan yang diungkapkan oleh Mona Lohanda

(2011), seorang Sejarawan dari Arsip Nasional Republik

Indonesia, "Anak-anak tidak diperbolehkan menonton

tari Cokek sebab Cokek nanti efeknya seperti ada

erotisme di penari…" Cokek di masyarakat Betawi dapat

diidentikan dengan tayub yang berada dalam masyarakat

Jawa. Menurut Soedarsono, tayub adalah suatu

perwujudan tari pasangan antara penari putri dan putra

dengan mengekspresikan hubungan romantis.7

Oleh karena itu, selama pertunjukkan dapat terlihat

hubungan yang cukup intim antara penari cokek dengan

tamu yang hadir. Bahkan berdasarkan hasil wawancara,

kedekatan ini bisa berlanjut setelah pertunjukan cokek

usai. Senada dengan hal ini, dalam wawancara dengan

bapak Oey Tjin Eng, Humas Perkumpulan Boen Tek Bio,

beliau juga mengatakan bahwa semenjak dahulu tari

Cokek ini selalu mengarah ke hal negatif karena memang

setelah pertunjukan Cokek ini berakhir, biasanya akan

ada hubungan kelanjutan antara pria-pria yang menari

dengan para Cokek. Bahkan dahulunya, sebelum para

wayang cokek ini tampil, mereka biasanya memberikan

samseng8 berupa ayam dan bebek yang sudah tidak ada

darahnya, hatinya dan ampelanya serta kepiting yang

sudah tidak ada isi perutnya. Hal ini dimaksudkan agar

lelaki yang nanti menari dengan wayang cokek ini bisa

mengeluarkan seluruh hartanya untuk wayang

cokekhingga dia lupa daratan dan lupa keluarganya di

rumah. Adanya pandangan negatif inilah yang membuat

banyak perubahan pada tari Cokek seiring dengan

perkembangan zaman.

Gambar 5. Gerakan Khas Tari Cokek

Sumber : http://unitydiversity.org

7

Soedarsono. Peranan Seni Budaya Dalam Sejarah Kehidupan

Manusia Kontinuitas dan Perubahannya, 1985, hlm.2.

8 Mand. 三 sān tiga + 牲 shēng hewan ternak; hewan kurban,

merupakan sebuah alusi untuk sebuah ritual rahasia masyarakat. ( Thian,

William G. 2006. A Baba Malay Dictionary)

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 10: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

Di samping adanya berbagai pertentangan terhadap

eksistensi tari Cokek, masih terdapat pihak-pihak yang

mendukung dan mempertahankan kebudayaan tari Cokek.

Pihak-pihak pendukung ini datang dari penikmat seni dan

pemerhati budaya yang menganggap tari Cokek sebagai

salah satu warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.

Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan warga Cina

Benteng pun, seperti Mak Engkin, beliau

mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Tangerang

sendiri, khususnya warga Cina Benteng, meskipun tari

Cokek banyak dinilai negatif, tari hiburan ini sudah

menjadi bagian dari masyarakat dan harus dilestarikan.

Bagi Masnah, 89 tahun, yang sudah menggeluti Cokek

sejak usia 14 tahun, dia senang telah menjadi wayang

Cokek. Setidaknya, Cokek telah membuatnya dikenal

oleh banyak orang dan bisa membawanya pada banyak

orang asing yang tertarik dengan kesenian tradisional ini.

Bahkan ibu Masnah sendiri mengakui, “saya tidak tahu

sebabnya orang di luar keturunan Tionghoa tidak suka

dengan Cokek. Jika alasannya mengandung hal-hal yang

tidak sopan alias porno, itu memang saya akui. Dulu,

saya juga seperti racun bagi banyak lelaki. Ketika

mengibing, saya memabukkan tiap pengibing dengan

tarian dan nyanyian saya. Mereka berebut mendampingi

saya menari. Ada yang nyawer lewat mulutnya. Tak

jarang pula yang menyelipkan uangnya ke balik kutang

atau bagian tubuh lain……Kalau saya tidak menyanyi

dan menari, siapa lagi yang akan melestarikan Cokek?”9

Inilah pertanyaan besar yang seharusnya dijawab oleh

generasi muda dan Pemerintah saat ini, melestarikan

Cokek dengan cara yang tepat.

3.3 Perkembangan Tari Cokek

Perkembangan tari Cokek ini tidak berjalan dengan

lancar. "Tarian sosial atau pergaulan selalu berubah

sesuai dengan zaman dan struktur masyarakat pada masa

itu. Maka dari itu kerap terjadi tari pergaulan yang

beberapa tahun lalu sangat popular, sekarang sudah

lenyap dan diganti dengan bentuk yang lain atau yang

baru" (Sudarsono, 1977 :24). Senada dengan Soedarsono,

Mona Lohanda mengatakan bahwa zaman berubah,

selera masyarakat dan orientasi masyarakat pun berubah.

Hal ini menyebabkan tidak sedikit kebudayaan dan

kesenian Betawi bahkan Indonesia kehilangan generasi

penerusnya. Tidak dapat dihindari bahwa perkembangan

zaman yang menuju modernisasi membuat adanya

9

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota

Tangerang serta Dewan Kesenian Tangerang. 2005. Jurnal Kesenian Cisadane Nomor 1 Juni 2005, Festival Cisadane 2005: Menata Relasi

Kesenian dan Pariwisata. Tangerang.

budaya-budaya bangsa yang mulai luntur bahkan punah,

begitu pun dengan tari Cokek. Era globalisasi ini

membuat banyak remaja kehilangan pengetahuannya

terhadap warisan-warisan bangsa. Hal itu dapat terjadi

mengingat kota Jakarta semakin pesat perkembangannya

menjadi sebuah kota metropolis. Masyarakat Betawi

yang sudah lama mendiami Jakarta perlahan

keberadaannya semakin terpinggirkan dengan adanya

pola kehidupan Jakarta yang modern. Sebagian

masyarakat Betawi yang merupakan penduduk pribumi

Jakarta, lambat laun berpindah tempat tinggalnya ke

daerah-daerah sekitar ibu kota, seperti Bekasi, Depok

dan Tangerang. Hal ini juga menyebabkan kesenian

Betawi asli kurang berkembang baik di Jakarta,

termasuk tari Cokek. Oleh karena itu, tari Cokek yang

merupakan bentuk kesenian tradisi masyarakat Betawi

terpengaruh dengan adanya perubahan pola tingkah laku

masyarakat pendukungnya..

Di samping perkembangan zaman yang menuju

modernitas, berbagai pendapat terhadap tari Cokek yang

berkembang di kawasan Teluk Naga ini membuat tari

Cokek kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kurangnya

pengetahuan remaja-remaja Betawi maupun Tionghoa

mengenai tari ini juga telah membuktikan dampak dari

pandangan negatif tersebut. Hal ini menjadi sebuah

hambatan bagi perkembangan tari Cokek sehingga tari

ini akhirnya kurang berkembang luas di daerah Jakarta

lainnya dan hanya berkembang di wilayah-wilayah

pinggiran Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi. Hal ini

menyebabkan terjadi beberapa perubahan yang dilakukan

untuk tetap mempertahankan eksistensi tari Cokek agar

tetap dapat diterima oleh masyarakat. Saat ini sudah sulit

ditemui wayang cokek yang menari sambil menyanyi,

mereka hanya menari saja. Diakui Masnah bahwa saat

ini banyak yang salah mengartikan cokek, banyak

wayang cokek yang menari secara sembarangan dan

tidak memperhatikan pakem-pakemnya. Hal inilah yang

menjadi salah satu fokus Masnah untuk dapat

mempertahankan nilai Cokek sendiri.. Dia melatih para

generasi penerus supaya cokek tidak punah.10

Selain itu,

seiring perkembangan zaman terdapat perubahan-

perubahan dari segi kostum, musik maupun gerakannya.

10

Masnah. 2005. Siapa Mau Ikut Saya Mencokek?,dalam Jurnal

Cisadane Nomor 1 Juni 2005

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 11: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

Dari segi kostum, seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya, pada awal perkembangannya wayang cokek

mengenakan baju kurung panjang dan celan yang terbuat

dari sutraberwarna cerah. Baju kurung ini bertahan

hingga tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an mereka mulai

mengenakan kebaya encim. Memasuki tahun 1970-an,

mereka mebiarkan rambut mereka terurai, tidak seperti

sebelumnya yang selalu diikat atau dikonde. Baru pada

tahun 1990-an, para wayang cokek ini mengenakan

kebaya-kebaya modern sesuai perkembangan zaman.

Perubahan-perubahan gerakan pada tari Cokek juga

disebabkan oleh perkembangan musik yang terus

mengikuti zaman. Selain itu, masuknya instrumen-

instrumen musik baru seperti keyboard, bass dan gitar

melodi pada musik pengiring tari Cokek membuat gerak

tari ini lebih cepat dan dinamis dibandingkan gerakan

yang terdahulu. Penambahan instrumen pada musik

Gambang Kromong sendiri dilatarbelakangi faktor

perkembangan selera masyarakat yang menuju pada

modernitas. Oleh karena itu, dengan adanya

penambahan instrumen musik ini dianggap dapat

memenuhi selera penonton. Walaupun tari Cokek dan

musik Gambang Kromong adalah dua hal yang tak

terpisahkan, namun karena mengikuti perkembangan

zaman ternyata tidak sedikit pertunjukkan tari Cokek kini

menjadikan musik dangdut sebagai musik pengiringnya.

Oleh karena itu, saat ini lebih banyak wayang cokek yang

hanya goyang dangdut dibandingkan menari Cokek yang

sesuai pakemnya. Hal ini pula lah yang menyebabkan

banyak masyarakat, terutama generasi muda tidak

mengetahui bentuk tari Cokek yang sebenarnya.

3.4 Eksistensi Tari Cokek Masa Kini

Berdasarkan KBBI (2008), eksistensi bermakna hal

berada dan keberadaan. Keberadaan tari Cokek pada

awal perkembangannya merupakan tari sosial atau

pergaulan dan berfungsi untuk menghibur masyarakat

Tionghoa di sekitar Tangerang. Namun, dukungan dan

kecaman dari masyarakat terhadap tari ini serta

perkembangan zaman membuat keberadaan tari ini

kurang berkembang luas di masyarakat. Dalam

mempertahankan keberadaan tari Cokek ini, kini

perlahan mulai bermunculan upaya-upaya dari

masyarakat dan pemerintah. Jakarta sebagai pusat

ibukota negara Indonesia banyak dikunjungi oleh

pendatang dari dalam negeri maupun mancanegara.

Faktor pariwisata yang menjadi suatu penunjang dalam

menyambut kedatangan tersebut mendapat perhatian dari

pemerintah. Pemasukan yang didapat dari adanya

pariwisata oleh pemerintah mempunyai dampak yang

baik dalam bidang pendapatan devisa negara. Salah satu

faktor pendukung pariwisata di Jakarta adalah adanya

perkembangan seni budaya Betawi sebagai bentuk

penyajian yang diarahkan pada sasaran tersebut.

Kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Betawi yang

dikembangkan untuk program pariwisata terdiri dari jenis

teater, musik, dan tari. Masyarakat Betawi yang sudah

mulai menyusut intensitasnya dalam mempergunakan

keseniannya untuk hiburan yang berhubungan dengan

adat istiadat, mulai dikembangkan kembali dengan

adanya pariwisata. Dalam hal tersebut dikemukakan oleh

Soedarsono bahwa seni wisata merupakan gabungan

antara wisata yang berbau bisnis dengan kesenian yang

orientasinya pada estetika.11

Hubungan praktis dan

integratif dari fungsi seni dikemukakannya dalam tiga

bentuk bagian utama yaitu: 1. Untuk kepentingan sosial

atau sarana upacara; 2. Sebagai ungkapan pribadi yang

dapat menghibur diri; 3. sebagai penyajian estetis.12

Ketiga fungsi tersebut berlaku dalam kehidupan

masyarakat Betawi yang mempergunakan sebuah bentuk

kesenian. Salah satu contoh dari bentuk kesenian

tersebut adalah tari Cokek. Pemerintah kembali mulai

memperkenalkan tari Cokek kepada masyarakat dengan

cara menampilkan tari Cokek ini pada acara-acara

promosi pariwisata Betawi. Bahkan, tari Cokek ini pun

dijadikan sebagai sebuah tari untuk penyambutan tamu-

tamu terhormat yang datang ke Tangerang. Hampir di

setiap acara yang diselenggarakan di Tangerang selalu

ada pertunjukkan tari Cokek ini.

Selain manjadi salah satu seni wisata masyarakat Betawi,

bagi masyarakat Cina Benteng di Tangerang, tari Cokek

sendiri masih menjadi salah satu pengisi acara wajib

dalam acara pernikahan mereka. Namun, pertunjukan

Cokek yang biasa ditampilkan pada acara-acara resmi

Pemda dengan yang biasa ditampilkan pada acara-acara

masyarakat berbeda. Pada acara-acara resmi

Pemerintahan biasanya memanggil Cokek dari sanggar-

sanggar tari sehingga Cokek yang tampil pun pola

geraknya lebih teratur sesuai pakemnya dan kostumnya

pun masih mengenakan kostum yang seperti zaman

dahulu, namun sudah dimodifikasi. Sementara, Cokek

yang biasa dipanggil dalam acara-acara masyarakat biasa

sudah tidak lagi mengenakan kostum baju kurung,

11 Soedarsono. Pendidikan Seni Dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan, makalah Seminar dalam rangka peringatan hari jadi

jurusan pendidikan Sendratasik ke-10, FPSB IKIP Yogyakarta, 12

Februari 1995.

12 Soedarsono. Dampak Pariwisata terhadap Perkembangan Seni di Indonesia, Pidato Ilmiah pada Dies Natalis ke-2 Institut Seni Indonesia

Yogyakarta, Juli 1986.

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 12: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

bahkan banyak yang hanya mengenakan kaos atau

kemeja dengan celana jeans. Mereka pun cenderung lebih

banyak joget dangdut, sudah jarang yang membawakan

lagu-lagu gambang kromong. Pola gerak mereka pun

mengikuti alunan lagu saja. Walaupun masih belum

banyak sanggar-sanggar yang mengajarkan tari Cokek,

perlahan mulai bermunculan sanggar-sanggar yang

mengkreasikan tari ini. Upaya pengkreasian tari Cokek

merupakan salah satu upaya menghilangkan pandangan

negatif dari masyarakat terhadap tari ini. Hal ini juga

menunjukkan fleksibilitas tari Cokek yang dapat

mengikuti perkembangan zaman karena menurut Zainal

Abidin (2008) eksistensi itu tidak bersifat kaku dan

terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan

atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada

kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-

potensinya. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya dan

kesadaran dari masyarakat untuk dapat membuat tari

Cokek ini tetap eksis di tengah perkembangangan zaman.

Bahkan saat ini ada perlombaan khusus tari Cokek yang

diselenggarakan untuk memacu ketertarikan masyarakat

untuk terus mengembangkan tari ini. Dapat disimpulkan

bahwa saat ini upaya-upaya mempertahankan eksistensi

tari Cokek sedang terus dijalankan oleh masyarakat dan

pemerintah.

Simpulan

Kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia, khususnya

Jakarta, membawa pengaruh yang cukup besar pada

segala aspek kehidupan masyarakat lokal, terutama pada

aspek seni budaya. Banyak tradisi dan kebudayaan

masyarakat Betawi yang ternyata merupakan hasil

akulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan

masyarakat Betawi. Salah satu hasil akulturasi antara

masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Betawi adalah

tari Cokek. Berbagai aspek dalam tari Cokek seperti

gerak, musik dan kostumnya tidak lepas dari pengaruh

masyarakat Tionghoa sendiri.

Tari Cokek berasal dari bahasa Hokkian, yakni chniou-

kek (唱歌) yang berarti menyanyikan lagu. Pada awal

perkembangannya, cokek atau yang lebih dikenal wayang

cokek merupakan panggilan bagi para penyanyi wanita

yang mengiringi alunan musik gambang kromong.

Mereka tidak hanya menari, tetapi juga menari. Dahulu,

pertunjukkan cokek berfungsi untuk menghibur para tuan

tanah yang sedang mengisi waktu luang. Di tengah

pertunjukkan, wayang cokek dengan menggunakan

cukin atau selendangnya akan menarik tamu-tamu yang

hadir dan telah meminta mereka menyanyikan lagu untuk

ikut menari bersama di atas panggung. Gerakan ini

merupakan gerakan khas dari tari Cokek. Namun, gerakan ini pulalah yang akhirnya memicu pandangan-

pandangan negatif terhadap tari ini.

Perkembangan tari Cokek beriringan dengan

perkembangan zaman dan:/pola pikir masyarakat

mengalami beberapa perubahan. Walaupun terdapat

perubahan-perubahan dalam tari Cokek, seperti pada

gerak, musik, maupun kostum. Perubahan-perubahan

yang terjadi ini menyesuaikan perkembangan zaman agar

eksistensi tari Cokek ini tetap dapat dipertahankan dan

tidak hilang termakan zaman. Berbagai usaha untuk

mempertahankan dan melestarikan tari Cokek terus

dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.

Daftar Acuan

Buku

1. Budiaman, etal. 1979, FolklorBetawi. Jakarta:

Pustaka Jaya.

2. Indonesian Cross-Cultural Society. 2012. Indonesian

Chinese-Peranakan A Cultural Journey. Jakarta:

Intisari.

3. Longhurst, Brian, Greg Smith,dll. 2008. Introducing

Cultural Studies. Longman.

4. Santoso, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di

Nusantara Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur.

Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara

5. Soedarsono. Tari-Tarian Indonesia I. Jakarta:

Proyek Pengembangan Media Kebudayaan,

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan

6. Soedarsono. 1985. Peranan Seni Budaya Dalam

Sejarah Kehidupan Manusia Kontinuitas dan

Perubahannya,

7. Wang, Yang. 2010. Chinese Symbols. Beijing : New

Star Press.

8. Wijaya, Hussein. 2000. Seni Budaya Betawi

Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya.

Jakarta : Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

9. -. Akulturasi Budaya Cina Benteng. Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Skripsi,Tesis

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014

Page 13: EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369064-MK-Clarissa Amelinda.pdf · sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia ... Naga merupakan

10. Kurniasih, Emma. 2000. Perkembangan Bentuk Tari

Cokek di Teluk Naga Tangerang. Jakarta:

Universitas Negeri Jakarta.

11. Sukotjo; Prof.Dr. RM. Soedarsono. 1999.

Kontinuitas dan Perubahan Musik Gambang

Kromong Betawi Sebagai Dampak Kehadiran

Masyarakat Baru Dan Pariwisata. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada.

Artikel

12. Castle, Lance. The Ethnic Profile of Djakarta,

dalam Majalah Indonesia I (1967)

13. Parani, Julianti. 2006. Intercultural Jakarta,

Ambience of Betawi Theatre to Indonesian Theatre.

Wacana Seni Journal of Arts Discourse.

Jil./Vol.5.2006.

14. Poa Kian Sioe, Orkes Gambang Hasil Peranakan

Tionghoa di Jakarta, dalam Majalah Pantja,

Juni1949,

15. Soedarsono. Dampak Pariwisata terhadap

Perkembangan Seni di Indonesia, Pidato Ilmiah

pada Dies Natalis ke-2 Institut Seni Indonesia

Yogyakarta, Juli 1986.

16. Soedarsono. Pendidikan Seni Dalam Kaitannya

dengan Kepariwisataan, makalah Seminar dalam

rangka peringattan hari jadi jurusan pendidikan

Sendratasik ke-10, FPSB IKIP Yogyakarta, 12

Februari1995.

17. -. Orkest Gambang Kromong, majalah Pantja

Warna no.9 Juni 1949.

Publikasi Elektronik

18. Arsy. 2012, 19 September. Tari Cokek, Kesenian

Betawi yang Hampir Punah . , diakses pada 7

Oktober 2013.

19. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2011. Sejarah

Tari Cokek (Presentasi Mohan

Mohanda.http://www.youtube.com/watch?gl=US&

hl=en&client=mv

google&v=cWsKsgS7zIU&fulldescription=1.

diakses pada 7 November 2013.

20. http://traditions.cultural-china.com/. Historical

Hair Ornament and Their Social Conotation..

diakses pada 3 Februari 2014

21. http://www.cultural-china.com. Ta Ge. diakses pada

3 Februari 2014.

22. http://www.youtube.com/watch?v=Gi7y-XFZn_I. 踏

歌 tage 排练 1. diakses pada 3 Februari 2014. 23. m.youtube.com/results?q=tari%20cokek&sm=1.

Tari Cokek DWP BP2T Tangsel di Serang

Provinsi Banten. diakses pada 3 Februari 2014.

24. m.youtube.com/watch?v=7llY7N6_DiY. Lomba

Tari Cokek. diakses pada 3 Februari 2014.

Jurnal

25. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan

Pariwisata Kota Tangerang serta Dewan Kesenian

Tangerang. 2005. Jurnal Kesenian Cisadane

Nomor 1 Juni 2005, Festival Cisadane 2005:

Menata Relasi Kesenian dan Pariwisata.

Tangerang.

Wawancara

26. Pak Oey Tjin Eng, Humas Klenteng Boen Tek Bio

Tangerang, 27 Januari 2014.

27. Mak Engkin, warga Cina Benteng, 27 Januari 2014.

Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014