eksistensi tari cokek sebagai hasil akulturasi...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA
TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI
MAKALAH NON SEMINAR
CLARISSA AMELINDA
1006700242
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI CINA
DEPOK
FEBRUARI 2014
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA
TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI
Clarissa Amelinda
Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Abstrak
Makalah ini membahas eksistensi tari Cokek sebagai warisan budaya Betawi yang juga merupakan hasil akulturasi dengan
budaya masyarakat Tionghoa. Dalam penelitian ini akan dipaparkan bagaimana kebudayaan masyarakat Tionghoa
memperngaruhi tari Cokek. Di samping itu, penelitian ini juga memaparkan pandangan kedua masyarakat ini terhadap tari
Cokek, serta usaha-usaha pelestarian yang telah dilakukan maupun yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan
pemerintah agar eksistensi tari ini tetap terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh-pengaruh budaya
Tionghoa pada tari Cokek dan juga menjelaskan keberadaan tari Cokek dari masa awal perkembangannya oleh masyarakat
Tionghoa dan masyarakat Betawi. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menumbuhkan ketertarikan pembaca
untuk mengenal tari ini. Hingga kini, tari Cokek masih dapat bertahan, meskipun keberadaannya hanya sebatas pada daerah
kelahirannya, yakni Tangerang.
Abstract
The Existence of Cokek Dance as The Acculturation of Chinese and Betawi Culture discusses the existence of Cokek
dance as one of Betawi cultural heritages and an acculturation with Tionghoa culture. This paper will explain how far
Chinese culture influences this dance. In addition, this paper also explains the overview of these two communities, Betawi
and Tionghoa, to Cokek dance and preservation efforts that have been done and should be done by the public and
government to maintain the existence of this dance. The purposes of this research are to explain Chinese culture influences
that affected Cokek dance and to explain the existence of Cokek dance from the beginning of its developments by Chinese
and Betawi society. This research aims to gain readers’ interest about Cokek dance. Now, Cokek dance can still survive up,
eventhough its presence merely in the area where it was developed first, Tangerang.
Keywords: existence, acculturation, cokek dance
1. Pendahuluan
Jakarta yang dikenal dengan nama Batavia semenjak
zaman penjajahan (abad XVII) merupakan tempat
pertemuan antar berbagai budaya yang dibawa oleh para
pendatang, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Akulturasi yang terjadi dengan adanya para pendatang
tersebut menjadikan sebuah komunitas tersendiri dari
masyarakat Jakarta. Percampuran penduduk dari berbagai
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
etnis seperti Jawa, Minang, Sunda, Batak dan lain-lain ini
memberikan nuansa dari kehidupan kota Batavia yang
heterogen. Dalam perkembangannya (abad XIX)
terjadilah perpaduan antar ettnis yang ada di Batavia ini,
baik yang berasal dari nusantara maupun mancanegara.
Sesuai dengan teori salad bowl1
, perpaduan antar
masyarakat ini membuat masyarakat Batavia menjadi
suatu kelompok etnis dengan ciri khas tersendiri.
Masyarakat etnis tersebut menamakan komunitasnya
dengan sebutan masyarakat Betawi.2
Pembauran yang terjadi pada zaman itu memperlihatkan
masyarakat Betawi sebagai kelompok sosial kultural
yang berbeda dengan kelompok lainnya. Hal itu tampak
dari adat istiadat, bahasa yang dipergunakan dan jenis
keseniannya.3 Hinga saat ini dapat kita lihat bahwa
kesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi tidak lepas
dari pengaruh bangsa-bangsa lain, seperti Keroncong
Tugu yang mendapatkan pengaruh dari bangsa Portugis,
Tanjidor yang mendapat pengaruh dari bangsa Belanda,
Gambang Kromong yang mendapat pengaruh dari bangsa
Tionghoa, serta Rebana yang berakar pada tradisi musik
Arab. Salah satu bangsa yang memiliki pengaruh besar
terhadap masyarakat Betawi adalah bangsa Tionghoa.
Pengaruh bangsa Tionghoa ini dapat terlihat hampir pada
semua segi kehidupan masyarakat Betawi, mulai dari
penyerapan bahasa Hokkian menjadi bahasa Betawi
hingga pada salah satu tari tradisional Betawi, yakni tari
Cokek.
Menurut J. Kunst dalam Husein Wijaya (2000 : 79), tari
Cokek merupakan suatu tarian yang dilakukan sambil
bernyanyi dan dianggap sebagai seni budaya orang-orang
keturunan Tionghoa. Hampir pada setiap aspek pada tari
Cokek ini pun tidak terlepaskan dari pengaruh
kebudayaan masyarakat Tionghoa, baik dari segi gerak,
musik pengiring hingga kostumnya. Dalam masyarakat
1 Teori Salad Bowl menjelaskan bahwa keberagaman sayuran dan
bumbu (masyarakat multietnis) dalam satu mangkuk salad (bangsa)
saling membaur, namun tidak meninggalkan rasa asli dari sayuran
dan bumbu itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun masyarakat
antar etnis ini sudah membaur dalam suatu bangsa, namun tetap bisa
dikenali karena tetap memperlihatkan budaya asalnya. (Bruce M.
Mitchel, Robert E. Salsbury, 1999:209)
2 Lance Castle. The Ethnic Profile of Djakarta, dalam Majalah
Indonesia I (1967), hlm. 153-204.
3 Budiaman, etal., FolklorBetawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), hlm.17
sendiri, pertunjukan tari Cokek ini berfungsi untuk
menghibur masyarakat.
Namun, dalam perkembangannya, terdapat pihak-pihak
yang mendukung dan juga mengecam tari yang
berkembang di Tangerang ini. Dukungan dan kecaman
ini berpengaruh besar pada eksistensi dan kontinuitas
tari Cokek sendiri. Di samping itu, perkembangan
masyarakat yang menuju modernitas mempengaruhi
pola pikir masyarakat sehingga banyak terjadi amnesia
budaya pada generasi muda. Hal ini juga berdampak
pada eksistensi tari Cokek di tengah masyarakat.
Dalam mengantisipasi amnesia budaya pada generasi
muda dan mencegah kepunahan seni budaya, pola
pikir masyarakat yang semakin maju membuat
sebagian masyarakat mencari jalan untuk tetap
mempertahankan eksistensi tari Cokek dan seni budaya
Betawi lainnya.
Oleh karena itu, penelitian ini akan memaparkan
bagaimana pengaruh kebudayaan masyarakat Tionghoa
terhadap tari Cokek? Bagaimanakah pandangan
masyarakat Tionghoa dan masyarakat Betawi terhadap
tari Cokek ini? Seberapa besar kah pandangan
masyarakat mempengaruhi eksistensi tari ini? Bagaimana
eksistensi tari Cokek saat ini?
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh-
pengaruh budaya masyarakat Tionghoa pada tari Cokek
dan menjelaskan keberadaan tari Cokek dari masa awal
perkembangannya oleh masyarakat Tionghoa dan
masyarakat Betawi. Penelitian ini diharapkan akan
menambah wawasan pembaca mengenai akulturasi yang
terjadi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat
Betawi yang khususnya berdampak pada bidang
kebudayaan, terutama mengenai tari Cokek. Penelitian
ini juga diharapkan akan menumbuhkan ketertarikan dan
minat pembaca terhadap tari Cokek sehingga tari Cokek
sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia tidak
akan punah seiring perkembangan zaman.
Penelitian ini meneliti di bidang kebudayaan, secara
khusus mengenai kebudayaan yang merupakan hasil
akulturasi dua masyarakat. Pada penelitian ini akan
dibatasi pada perkembangan tari Cokek di Jakarta dan
Tangerang. Selain itu, penelitian ini terbatas pada
pandangan-pandangan masyarakat Betawi dan juga
masyarakat Tionghoa di Jakarta dan Tangerang terhadap
tari Cokek.
Penelitian ini bukan merupakan penelitian pertama yang
mengangkat permasalahan pada tari Cokek. Sebelum
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
penelitian ini telah ada sebuah skripsi dari Emma
Kurniasih, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, pada
tahun 2000 yang berjudul Perkembangan Bentuk Tari
Cokek di Teluk Naga Tangerang. Namun, perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada
fokus permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan
menitikberatkan pada permasalahan tari Cokek sebagai
sebuah produk akulturasi dua budaya, yakni budaya
masyarakat Tionghoa dengan budaya masyarakat Betawi,
sedangkan fokus dari penelitian terdahulu hanya pada
perkembangan bentuk tari Cokek.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan
mengumpulkan sampel melalui wawancara. Demi
memperkuat hasil wawancara yang telah dilakukan
kepada beberapa narasumber, hasilnya ditinjau kembali
dengan studi pustaka.
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka
pembabakan makalah ini terbagi menjadi empat
subbagian, yakni : tari Cokek sebagai akulturasi budaya
masyarakat Tionghoa dan Betawi, perspektif masyarakat
terhadap tari Cokek, perkembangan tari Cokek dan
eksistensi tari Cokek masa kini.
3.1 Tari Cokek Sebagai Akulturasi Budaya
Masyarakat Tionghoa dan Betawi
Tari Cokek adalah sebuah tari yang lahir pada
lingkungan masyarakat Betawi-Tionghoa di pinggiran
ibu kota Jakarta, yakni di Teluk Naga, Tangerang.
Dahulu, Sungai Cisadane yang terletak di daerah Teluk
Naga merupakan akses strategis bagi para pedagang
Tionghoa untuk menjual barang-barang dagangannya
kepada masyarakat Tangerang pada masa itu.
Perdagangan di kota ini berkembang dengan pesat.
Banyak pedagang yang makmur dan akhirnya membeli
tanah di sana. Orang-orang yang memiliki hak atas
penggunaan tanah inilah yang kemudian disebut tuan
tanah. Mereka mulai menetap di kawasan ini dan mulai
membaur bersama penduduk asli. Pembauran kedua
masyarakat ini pada akhirnya membawa akulturasi bagi
segala aspek kehidupan diantara keduanya. Menurut
KBBI (2008) akulturasi adalah : 1. percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi; 2. proses masuknya pengaruh
kebudayaan asing di suatu masyarakat, sebagian
menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur
kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak
pengaruh itu; 3. proses atau hasil pertemuan kebudayaan
atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa,
ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme. Hingga
saat ini hasil akulturasi yang terjadi diantara kedua
masyarakat ini masih banyak ditemukan pada bahasa,
kesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi, salah
satunya adalah tari Cokek. Tari Cokek ini merupakan
hasil percampuran dua kebudayaan, yakni kebudayaan
masyarakat Tionghoa dengan kebudayaan masyarakat
Betawi yang saling mempengaruhi. Hal ini senada
dengan yang dinyatakan oleh Brian Longhurst, Greg
Smith,dll (2008) bahwa dalam memahami makna dari
berbagai bentuk budaya, jangan hanya melihatnya dari
satu kebudayaan itu saja, tetapi seharusnya juga melihat
dari adanya hubungan kecocokan dari pertemuan budaya
yang berbeda. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan
dipaparkan tari Cokek sebagai sebuah tari Betawi yang
mendapatkan pengaruh kuat dari kebudayaan Tionghoa.
Berdasarkan KBBI (2008), Cokek merupakan kesenian
tradisional Betawi yang diiringi gambang kromong
dengan penari wanita yang juga bersedia diajak menari
bersama para tamu. Nama Cokek sendiri berasal dari
bahasa Hokkian chniou-khek yang berarti menyanyikan
lagu.4 Dalam bahasa Mandarin dibaca juga chàng gē (唱
歌). Disebut menyanyikan lagu karena sebenarnya pada
awal perkembangan, tari Cokek bukanlah sebuah tari
yang berdiri sendiri, tetapi juga dengan menyanyi. Cokek
sebenarnya merupakan sebuah sebutan bagi seorang
penyanyi yang mengiringi alunan gambang kromong,
namun mereka tidak hanya menyanyi, melainkan juga
menari. Mereka lebih dikenal dengan sebutan wayang
cokek. Oleh sebab itu, hingga sekarang pun tari Cokek
tidak dapat dipisahkan dari Gambang Kromong yang
juga merupakan salah satu hasil akulturasi dengan
masyarakat Tionghoa. Berbagai aspek dalam tari Cokek
mulai dari gerakan, kostum hingga musik merupakan
hasil akulturasi masyarakat Betawi dengan masyarakat
Tionghoa.
Tari Cokek merupakan sebuah tari sosial atau pergaulan
yang berfungsi sebagai hiburan. Tari Cokek juga
dipertunjukkan ketika ada acara-acara besar seperti
pernikahan, sunatan atau penyambutan tamu-tamu
terhormat yang datang ke daerah tersebut. Awalnya, tari
4
Indonesian Cross-Cultural Society. Indonesian Chinese-Peranakan A
Cultural Journey. (Jakarta: Intisari, 2012), hlm.217
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
ini berkembang di tengah masyarakat Tionghoa dan
Betawi di daerah Teluk Naga untuk menghibur para tuan
tanah yang sedang mengisi waktu senggangnya. Pada
zaman dahulu, tarian ini dilakukan oleh budak-budak
wanita para tuan tanah atau orang kaya keturunan Cina
yang dikenal dengan sebutan "Baba".(Hussein Wijaya,
2000:79). Mereka datang dari berbagai daerah di luar
Tangerang. Mereka diasuh oleh Baba tersebut sehingga
gerakan dalam tari ini pun tidak lepas dari unsur-unsur
gerak tari Cina.
3.1.1 Gerakan Tari Cokek
Berdasarkan hasil pengamatan penulis melalui video-
video tarian tradisional Cina yang diunggah di youtube,
penulis menemukan sedikit kemiripan pola gerak tari
Cokek dengan tarian dari Cina, yakni tari Tage (Tàgē 踏
歌 ) Secara harfiah, tàgē 踏歌 berarti menghentakkan
kaki sambil bernyanyi. Tari ini merupakan tari tradisional
Cina dari zaman Dinasti Han. Para arkeolog menemukan
gambar tari Tage ini pada tembikar dari zaman
kebudayaan Majiayao di Gansu. Tari ini adalah tari
hiburan yang ditarikan secara berkelompok oleh para
pekerja untuk menghilangkan rasa letihnya.
敛肩、含颏、掩臂、摆背、松膝、拧腰、倾胯是《踏
歌》所要求的基本体态.
“Gerakan dasar dari tari Tage ini adalah melenturkan
bahu sembari menggerakan tangan mendekati dagu,
berputar, lalu mengendurkan lutut dan menggoyangkan
pinggang serta pinggul.” (www.baike.baidu.com)
Dari sini terlihat bahwa sama halnya dengan tari Cokek,
tari Tage juga memiliki gerakan dasar menggoyangkan
pinggul. Penulis juga mendapatkan kemiripan pola gerak
antara tari Cokek dan tari Tage saat penari maju sembari
mengangkat lengan ke atas dan berbaris sejajar. Namun,
jika pada tari Tage lengan hanya diangkat ke atas, jika
pada tari Cokek penari memainkan tangannya secara
bergantian. Namun, apabila dilihat, gerakan tari Tage
lebih halus dan lemah lembut dibandingkan tari Cokek.
Gerak pada tari Cokek lebih dinamis dan lebih energik
serta gerakan menggoyangkan pinggul pun lebih banyak
ditemui pada tari Cokek ini. Hal ini membuktikan bahwa
gerakan tari Cokek juga mengadaptasi gerakan-gerakan
dasar tari dari Cina dan dimodifikasi.
3.1.2 Gambang Kromong, Musik Pengiring Cokek
Berbicara mengenai tari Cokek tidak bisa tidak
membicarakan orkes gambang kromong sebagai
pengiringnya. Wayang cokek akan menyanyikan lagu-
lagu yang diminta oleh para tamu atau tuan tanah yang
datang dan gambang kromong yang memadukan unsur
Cina dan Betawi begitu harmonis akan mengiringi
wayang cokek bernyanyi selama pertunjukkan. Musik
Gambang Kromong sendiri sudah dikenal pada tahun
1880 saat Bek Teng Tjoe menyajikan musik tersebut
untuk sebuah sajian penyambutan para tamunya.5
Penyebutan musik Gambang Kromong berasal dari alat
musik yang dipergunakan dalam ensambel tersebut,
yaitu gambang dan kromong. Alat musik pada gambang
kromong yang merupakan alat musik khas Betawi sendiri
adalah gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong.
Sementara itu, terdapat alat-alat musik yang juga
mengindikasikan adanya unsur Cina, seperti kongahyan,
tehyan dan sukong. Jaap Kunst (1973: 374) mengatakan
bahwa ketiga alat musik ini memang dipengaruhi oleh
budaya masyarakat Cina yang berada di Jakarta.
Instrumen musik yang mirip dengan ketiganya di Cina
dinamakan èrhú 二胡.
Gambar 1. Èrhú 二胡 Sumber: www.globaltimes.cn
Gambar 2. Kongahyan, Tehyan, Sukong
Sumber : www.plengdut.com
5 Poa Kian Sioe, Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di
Jakarta, dalam Majalah Pantja, Juni1949, hlm.39.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Gambar 3. Gambang Kromong Sumber : www.tamanismailmarzuki.com
Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh wayang Cokek tidak
hanya lagu-lagu berbahasa Indonesia saja, tetapi juga
lagu-lagu berbahasa Hokkian. Lagu-lagu yang biasa
dibawakan oleh orkes gambang kromong pada saat itu
adalah Matojin (Pendeta Wanita), atau dalam bahasa
Mandarin Nǚ Mùshī (女牧师), Si Jin Kui Hwee Ke (Si
Jin Kui Pulang Kampung), atau dalam bahasa Mandarin
Xuē Rénguì Huí Jiā (薛仁贵回家), Lui Kong (Dewa
Halilintar), atau dalam bahasa Mandarin Léi Gōng (雷公),
Khong Ji Liok (Kosong Dua Enam), atau dalam bahasa
Mandarin Kōng Èr Liù (空二六), Chia Pe Pan (Makan
Nasi Putih) atau dalam bahasa Mandarin Chī Báifàn (吃
白饭), Mas Nona, Kramat Karem, Jali-Jali, Kicir-Kicir,
Sirih Kuning dan Lenggang Kangkung. Di tengah
pertunjukkan, wayang cokek akan mengundang tamu
yang telah memintanya menyanyikan lagu tersebut untuk
menari bersama di atas panggung dengan menariknya
menggunakan cukin atau selendang. Penghasilan yang
didapatkan oleh wayang cokek hanya berasal dari
pemberian para tamu yang menari bersamanya.
Pertunjukkan cokek ini bisa berlangsung semalam suntuk
karena lamanya pertunjukkan tergantung pada banyaknya
permintaan lagu yang diajukan oleh para tamu.
3.1.3 Kostum Wayang Cokek
Berbagai aspek yang terdapat pada tari Cokek ini tidak
terlepaskan dari pengaruh-pengaruh Tionghoa, termasuk
kostum yang dikenakan wayang cokek. Wayang cokek
biasanya mengenakan baju kurung berbahan sutra dan
berwarna cerah yang juga merupakan pakaian-pakaian
sehari-hari wanita di Cina serta menggunakan celana
berbahan sutra dan berwarna cerah, seperti merah,
kuning, hijau dan ungu. Dalam masyarakat Tionghoa
sendiri, warna-warna ini memiliki makna khusus.
Warna merah melambangkan kebahagiaan, kehidupan,
kekuatan dan semangat. Masyarakat Tionghoa juga
percaya bahwa warna merah dapat menjauhkan diri
mereka dari gangguan setan. Dalam kepercayaan
masyarakat Tionghoa, warna kuning melambangkan
kekuasaan dan kemakmuran. Masyarakat Tionghoa juga
percaya bahwa warna hijau melambangkan kemurnian
dan kesucian. Sementara itu, warna ungu dalam
kepercayaan masyarakat Tiongha merupakan simbol dari
surga. Selain itu, ada juga yang mengenakan kebaya
encim, serta kain sebagai kostumnya. Disebut dengan
kebaya encim karena dahulu kebaya ini dikenakan oleh
para encim. Encim merupakan bahasa Hokkian untuk
panggilan wanita Tionghoa yang dituakan. Biasanya
kebaya encim ini dipadukan dengan kain batik pesisir.
Batik pesisir ini pun mendapat pengaruh kuat dari
kebudayaan masyarakat Tionghoa. Ragam motif batik ini
biasanya bunga, burung hong dan naga. Ragam motif
batik pesisir ini mirip dengan ragam hias pada pakaian-
pakaian zaman Dinasti Tang. Ragam hias fauna yang
sering keluar pada batik pesisir adalah naga, dalam
kepercayaan masyarakat Tionghoa, naga adalah lambang
keagungan, kekuasaan dan keberuntungan.6 Selain itu,
wayang cokek juga mengenakan cukin (selendang) atau
dalam bahasa Mandarin disebut juga pījīn (披巾), yang
berwarna cerah dan menjadi salah satu ciri khas wayang
cokek yang tak terpisahkan.
Rambut wayang cokek biasanya disanggul kecil dan
menggunakan aksesoris kepala berupa kembang goyang
dan burung hong. Burung hong atau dalam bahasa
Mandarin disebut Fènghuáng (凤凰), dalam kepercayaan
masyarakat Tionghoa merupakan sebuah lambang untuk
kebahagiaan dan kemakmuran. Apabila diamati lebih
jauh lagi aksesoris kepala yang dikenakan oleh penari
cokek merupakan aksesoris kepala yang biasa dikenakan
oleh wanita-wanita Cina pada zaman dahulu. Hal ini
tertulis dalam dalam Rangkaian Sejarah Dinasti Song,
bagian Catatan Perjalanan, “pada tahun ke-6 di bawah
pimpinan Kaisar Yuanjia dari Dinasti Song, para wanita
sudah mengikatkan rambutnya.... Kepala mereka pun
dihiasi dengan beragam penjepit rambut.” Selanjutnya,
pada dinasti Ming dan Qing, aksesoris rambut yang
berbentuk bunga krisan, teratai, kupu-kupu dan burung
hong yang biasa disebut jī (笄) dan bùyáo (步摇) ini,
bagi wanita Cina menjadi simbol kelas sosial mereka.
Selain itu, aksesoris rambut ini juga menjadi lambang
kedewasaan seorang wanita. Dari segi kostum ini terlihat
6
Yasmin Zhaki Shahab. 2000. Betawi: Sejarah dan Prospek
Pengembangan. Jakarta.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
begitu jelas pengaruh budaya masyarakat Tionghoa
terhadap tari ini.
Gambar 3. Kostum Penari Cokek
Sumber : dokumentasi Rulliita
Gambar 4. Aksesoris Rambut Wanita Cina
Sumber : http://traditions.cultural-china.com
3.2 Perspektif Masyarakat terhadap Tari Cokek
Seiring waktu berjalan, muncul berbagai pendapat dari
masyarakat mengenai tari Cokek. Pendapat masyarakat
ini cukup mempengaruhi perkembangan tari Cokek.
Setiap orang dapat melihat suatu objek dari perspektif
yang berbeda satu sama lainnya, begitupun dalam
melihat dan menilai tari Cokek. Di tengah-tengah
perkembangannya, tari Cokek mendapat dukungan dan
kecaman dari masyarakat sekitar. Berbagai kecaman ini
muncul karena gerakan wayang cokek yang dianggap
mengandung nilai moral yang kurang baik. Hal ini
dikarenakan adanya gerakan menggoyangkan pinggul
dari bawah hingga ke atas oleh para cokek. Demi
menghibur tamu dan juga mendapatkan uang, wayang
cokek akan menarik tamu-tamu pria menggunakan
selendangnya untuk menari bersama. Gerakan ini
merupakan salah satu gerakan khas tari Cokek, namun
gerakan ini jugalah yang menimbulkan kecaman. Hal ini
dikarenakan lahir sebuah kepercayaan di dalam
masyarakat bahwa laki-laki yang telah ditarik oleh
wayang cokek akan tidak kembali lagi ke rumah. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan oleh Mona Lohanda
(2011), seorang Sejarawan dari Arsip Nasional Republik
Indonesia, "Anak-anak tidak diperbolehkan menonton
tari Cokek sebab Cokek nanti efeknya seperti ada
erotisme di penari…" Cokek di masyarakat Betawi dapat
diidentikan dengan tayub yang berada dalam masyarakat
Jawa. Menurut Soedarsono, tayub adalah suatu
perwujudan tari pasangan antara penari putri dan putra
dengan mengekspresikan hubungan romantis.7
Oleh karena itu, selama pertunjukkan dapat terlihat
hubungan yang cukup intim antara penari cokek dengan
tamu yang hadir. Bahkan berdasarkan hasil wawancara,
kedekatan ini bisa berlanjut setelah pertunjukan cokek
usai. Senada dengan hal ini, dalam wawancara dengan
bapak Oey Tjin Eng, Humas Perkumpulan Boen Tek Bio,
beliau juga mengatakan bahwa semenjak dahulu tari
Cokek ini selalu mengarah ke hal negatif karena memang
setelah pertunjukan Cokek ini berakhir, biasanya akan
ada hubungan kelanjutan antara pria-pria yang menari
dengan para Cokek. Bahkan dahulunya, sebelum para
wayang cokek ini tampil, mereka biasanya memberikan
samseng8 berupa ayam dan bebek yang sudah tidak ada
darahnya, hatinya dan ampelanya serta kepiting yang
sudah tidak ada isi perutnya. Hal ini dimaksudkan agar
lelaki yang nanti menari dengan wayang cokek ini bisa
mengeluarkan seluruh hartanya untuk wayang
cokekhingga dia lupa daratan dan lupa keluarganya di
rumah. Adanya pandangan negatif inilah yang membuat
banyak perubahan pada tari Cokek seiring dengan
perkembangan zaman.
Gambar 5. Gerakan Khas Tari Cokek
Sumber : http://unitydiversity.org
7
Soedarsono. Peranan Seni Budaya Dalam Sejarah Kehidupan
Manusia Kontinuitas dan Perubahannya, 1985, hlm.2.
8 Mand. 三 sān tiga + 牲 shēng hewan ternak; hewan kurban,
merupakan sebuah alusi untuk sebuah ritual rahasia masyarakat. ( Thian,
William G. 2006. A Baba Malay Dictionary)
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Di samping adanya berbagai pertentangan terhadap
eksistensi tari Cokek, masih terdapat pihak-pihak yang
mendukung dan mempertahankan kebudayaan tari Cokek.
Pihak-pihak pendukung ini datang dari penikmat seni dan
pemerhati budaya yang menganggap tari Cokek sebagai
salah satu warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan warga Cina
Benteng pun, seperti Mak Engkin, beliau
mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Tangerang
sendiri, khususnya warga Cina Benteng, meskipun tari
Cokek banyak dinilai negatif, tari hiburan ini sudah
menjadi bagian dari masyarakat dan harus dilestarikan.
Bagi Masnah, 89 tahun, yang sudah menggeluti Cokek
sejak usia 14 tahun, dia senang telah menjadi wayang
Cokek. Setidaknya, Cokek telah membuatnya dikenal
oleh banyak orang dan bisa membawanya pada banyak
orang asing yang tertarik dengan kesenian tradisional ini.
Bahkan ibu Masnah sendiri mengakui, “saya tidak tahu
sebabnya orang di luar keturunan Tionghoa tidak suka
dengan Cokek. Jika alasannya mengandung hal-hal yang
tidak sopan alias porno, itu memang saya akui. Dulu,
saya juga seperti racun bagi banyak lelaki. Ketika
mengibing, saya memabukkan tiap pengibing dengan
tarian dan nyanyian saya. Mereka berebut mendampingi
saya menari. Ada yang nyawer lewat mulutnya. Tak
jarang pula yang menyelipkan uangnya ke balik kutang
atau bagian tubuh lain……Kalau saya tidak menyanyi
dan menari, siapa lagi yang akan melestarikan Cokek?”9
Inilah pertanyaan besar yang seharusnya dijawab oleh
generasi muda dan Pemerintah saat ini, melestarikan
Cokek dengan cara yang tepat.
3.3 Perkembangan Tari Cokek
Perkembangan tari Cokek ini tidak berjalan dengan
lancar. "Tarian sosial atau pergaulan selalu berubah
sesuai dengan zaman dan struktur masyarakat pada masa
itu. Maka dari itu kerap terjadi tari pergaulan yang
beberapa tahun lalu sangat popular, sekarang sudah
lenyap dan diganti dengan bentuk yang lain atau yang
baru" (Sudarsono, 1977 :24). Senada dengan Soedarsono,
Mona Lohanda mengatakan bahwa zaman berubah,
selera masyarakat dan orientasi masyarakat pun berubah.
Hal ini menyebabkan tidak sedikit kebudayaan dan
kesenian Betawi bahkan Indonesia kehilangan generasi
penerusnya. Tidak dapat dihindari bahwa perkembangan
zaman yang menuju modernisasi membuat adanya
9
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota
Tangerang serta Dewan Kesenian Tangerang. 2005. Jurnal Kesenian Cisadane Nomor 1 Juni 2005, Festival Cisadane 2005: Menata Relasi
Kesenian dan Pariwisata. Tangerang.
budaya-budaya bangsa yang mulai luntur bahkan punah,
begitu pun dengan tari Cokek. Era globalisasi ini
membuat banyak remaja kehilangan pengetahuannya
terhadap warisan-warisan bangsa. Hal itu dapat terjadi
mengingat kota Jakarta semakin pesat perkembangannya
menjadi sebuah kota metropolis. Masyarakat Betawi
yang sudah lama mendiami Jakarta perlahan
keberadaannya semakin terpinggirkan dengan adanya
pola kehidupan Jakarta yang modern. Sebagian
masyarakat Betawi yang merupakan penduduk pribumi
Jakarta, lambat laun berpindah tempat tinggalnya ke
daerah-daerah sekitar ibu kota, seperti Bekasi, Depok
dan Tangerang. Hal ini juga menyebabkan kesenian
Betawi asli kurang berkembang baik di Jakarta,
termasuk tari Cokek. Oleh karena itu, tari Cokek yang
merupakan bentuk kesenian tradisi masyarakat Betawi
terpengaruh dengan adanya perubahan pola tingkah laku
masyarakat pendukungnya..
Di samping perkembangan zaman yang menuju
modernitas, berbagai pendapat terhadap tari Cokek yang
berkembang di kawasan Teluk Naga ini membuat tari
Cokek kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kurangnya
pengetahuan remaja-remaja Betawi maupun Tionghoa
mengenai tari ini juga telah membuktikan dampak dari
pandangan negatif tersebut. Hal ini menjadi sebuah
hambatan bagi perkembangan tari Cokek sehingga tari
ini akhirnya kurang berkembang luas di daerah Jakarta
lainnya dan hanya berkembang di wilayah-wilayah
pinggiran Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi. Hal ini
menyebabkan terjadi beberapa perubahan yang dilakukan
untuk tetap mempertahankan eksistensi tari Cokek agar
tetap dapat diterima oleh masyarakat. Saat ini sudah sulit
ditemui wayang cokek yang menari sambil menyanyi,
mereka hanya menari saja. Diakui Masnah bahwa saat
ini banyak yang salah mengartikan cokek, banyak
wayang cokek yang menari secara sembarangan dan
tidak memperhatikan pakem-pakemnya. Hal inilah yang
menjadi salah satu fokus Masnah untuk dapat
mempertahankan nilai Cokek sendiri.. Dia melatih para
generasi penerus supaya cokek tidak punah.10
Selain itu,
seiring perkembangan zaman terdapat perubahan-
perubahan dari segi kostum, musik maupun gerakannya.
10
Masnah. 2005. Siapa Mau Ikut Saya Mencokek?,dalam Jurnal
Cisadane Nomor 1 Juni 2005
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Dari segi kostum, seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, pada awal perkembangannya wayang cokek
mengenakan baju kurung panjang dan celan yang terbuat
dari sutraberwarna cerah. Baju kurung ini bertahan
hingga tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an mereka mulai
mengenakan kebaya encim. Memasuki tahun 1970-an,
mereka mebiarkan rambut mereka terurai, tidak seperti
sebelumnya yang selalu diikat atau dikonde. Baru pada
tahun 1990-an, para wayang cokek ini mengenakan
kebaya-kebaya modern sesuai perkembangan zaman.
Perubahan-perubahan gerakan pada tari Cokek juga
disebabkan oleh perkembangan musik yang terus
mengikuti zaman. Selain itu, masuknya instrumen-
instrumen musik baru seperti keyboard, bass dan gitar
melodi pada musik pengiring tari Cokek membuat gerak
tari ini lebih cepat dan dinamis dibandingkan gerakan
yang terdahulu. Penambahan instrumen pada musik
Gambang Kromong sendiri dilatarbelakangi faktor
perkembangan selera masyarakat yang menuju pada
modernitas. Oleh karena itu, dengan adanya
penambahan instrumen musik ini dianggap dapat
memenuhi selera penonton. Walaupun tari Cokek dan
musik Gambang Kromong adalah dua hal yang tak
terpisahkan, namun karena mengikuti perkembangan
zaman ternyata tidak sedikit pertunjukkan tari Cokek kini
menjadikan musik dangdut sebagai musik pengiringnya.
Oleh karena itu, saat ini lebih banyak wayang cokek yang
hanya goyang dangdut dibandingkan menari Cokek yang
sesuai pakemnya. Hal ini pula lah yang menyebabkan
banyak masyarakat, terutama generasi muda tidak
mengetahui bentuk tari Cokek yang sebenarnya.
3.4 Eksistensi Tari Cokek Masa Kini
Berdasarkan KBBI (2008), eksistensi bermakna hal
berada dan keberadaan. Keberadaan tari Cokek pada
awal perkembangannya merupakan tari sosial atau
pergaulan dan berfungsi untuk menghibur masyarakat
Tionghoa di sekitar Tangerang. Namun, dukungan dan
kecaman dari masyarakat terhadap tari ini serta
perkembangan zaman membuat keberadaan tari ini
kurang berkembang luas di masyarakat. Dalam
mempertahankan keberadaan tari Cokek ini, kini
perlahan mulai bermunculan upaya-upaya dari
masyarakat dan pemerintah. Jakarta sebagai pusat
ibukota negara Indonesia banyak dikunjungi oleh
pendatang dari dalam negeri maupun mancanegara.
Faktor pariwisata yang menjadi suatu penunjang dalam
menyambut kedatangan tersebut mendapat perhatian dari
pemerintah. Pemasukan yang didapat dari adanya
pariwisata oleh pemerintah mempunyai dampak yang
baik dalam bidang pendapatan devisa negara. Salah satu
faktor pendukung pariwisata di Jakarta adalah adanya
perkembangan seni budaya Betawi sebagai bentuk
penyajian yang diarahkan pada sasaran tersebut.
Kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Betawi yang
dikembangkan untuk program pariwisata terdiri dari jenis
teater, musik, dan tari. Masyarakat Betawi yang sudah
mulai menyusut intensitasnya dalam mempergunakan
keseniannya untuk hiburan yang berhubungan dengan
adat istiadat, mulai dikembangkan kembali dengan
adanya pariwisata. Dalam hal tersebut dikemukakan oleh
Soedarsono bahwa seni wisata merupakan gabungan
antara wisata yang berbau bisnis dengan kesenian yang
orientasinya pada estetika.11
Hubungan praktis dan
integratif dari fungsi seni dikemukakannya dalam tiga
bentuk bagian utama yaitu: 1. Untuk kepentingan sosial
atau sarana upacara; 2. Sebagai ungkapan pribadi yang
dapat menghibur diri; 3. sebagai penyajian estetis.12
Ketiga fungsi tersebut berlaku dalam kehidupan
masyarakat Betawi yang mempergunakan sebuah bentuk
kesenian. Salah satu contoh dari bentuk kesenian
tersebut adalah tari Cokek. Pemerintah kembali mulai
memperkenalkan tari Cokek kepada masyarakat dengan
cara menampilkan tari Cokek ini pada acara-acara
promosi pariwisata Betawi. Bahkan, tari Cokek ini pun
dijadikan sebagai sebuah tari untuk penyambutan tamu-
tamu terhormat yang datang ke Tangerang. Hampir di
setiap acara yang diselenggarakan di Tangerang selalu
ada pertunjukkan tari Cokek ini.
Selain manjadi salah satu seni wisata masyarakat Betawi,
bagi masyarakat Cina Benteng di Tangerang, tari Cokek
sendiri masih menjadi salah satu pengisi acara wajib
dalam acara pernikahan mereka. Namun, pertunjukan
Cokek yang biasa ditampilkan pada acara-acara resmi
Pemda dengan yang biasa ditampilkan pada acara-acara
masyarakat berbeda. Pada acara-acara resmi
Pemerintahan biasanya memanggil Cokek dari sanggar-
sanggar tari sehingga Cokek yang tampil pun pola
geraknya lebih teratur sesuai pakemnya dan kostumnya
pun masih mengenakan kostum yang seperti zaman
dahulu, namun sudah dimodifikasi. Sementara, Cokek
yang biasa dipanggil dalam acara-acara masyarakat biasa
sudah tidak lagi mengenakan kostum baju kurung,
11 Soedarsono. Pendidikan Seni Dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan, makalah Seminar dalam rangka peringatan hari jadi
jurusan pendidikan Sendratasik ke-10, FPSB IKIP Yogyakarta, 12
Februari 1995.
12 Soedarsono. Dampak Pariwisata terhadap Perkembangan Seni di Indonesia, Pidato Ilmiah pada Dies Natalis ke-2 Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, Juli 1986.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
bahkan banyak yang hanya mengenakan kaos atau
kemeja dengan celana jeans. Mereka pun cenderung lebih
banyak joget dangdut, sudah jarang yang membawakan
lagu-lagu gambang kromong. Pola gerak mereka pun
mengikuti alunan lagu saja. Walaupun masih belum
banyak sanggar-sanggar yang mengajarkan tari Cokek,
perlahan mulai bermunculan sanggar-sanggar yang
mengkreasikan tari ini. Upaya pengkreasian tari Cokek
merupakan salah satu upaya menghilangkan pandangan
negatif dari masyarakat terhadap tari ini. Hal ini juga
menunjukkan fleksibilitas tari Cokek yang dapat
mengikuti perkembangan zaman karena menurut Zainal
Abidin (2008) eksistensi itu tidak bersifat kaku dan
terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan
atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada
kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-
potensinya. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya dan
kesadaran dari masyarakat untuk dapat membuat tari
Cokek ini tetap eksis di tengah perkembangangan zaman.
Bahkan saat ini ada perlombaan khusus tari Cokek yang
diselenggarakan untuk memacu ketertarikan masyarakat
untuk terus mengembangkan tari ini. Dapat disimpulkan
bahwa saat ini upaya-upaya mempertahankan eksistensi
tari Cokek sedang terus dijalankan oleh masyarakat dan
pemerintah.
Simpulan
Kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia, khususnya
Jakarta, membawa pengaruh yang cukup besar pada
segala aspek kehidupan masyarakat lokal, terutama pada
aspek seni budaya. Banyak tradisi dan kebudayaan
masyarakat Betawi yang ternyata merupakan hasil
akulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan
masyarakat Betawi. Salah satu hasil akulturasi antara
masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Betawi adalah
tari Cokek. Berbagai aspek dalam tari Cokek seperti
gerak, musik dan kostumnya tidak lepas dari pengaruh
masyarakat Tionghoa sendiri.
Tari Cokek berasal dari bahasa Hokkian, yakni chniou-
kek (唱歌) yang berarti menyanyikan lagu. Pada awal
perkembangannya, cokek atau yang lebih dikenal wayang
cokek merupakan panggilan bagi para penyanyi wanita
yang mengiringi alunan musik gambang kromong.
Mereka tidak hanya menari, tetapi juga menari. Dahulu,
pertunjukkan cokek berfungsi untuk menghibur para tuan
tanah yang sedang mengisi waktu luang. Di tengah
pertunjukkan, wayang cokek dengan menggunakan
cukin atau selendangnya akan menarik tamu-tamu yang
hadir dan telah meminta mereka menyanyikan lagu untuk
ikut menari bersama di atas panggung. Gerakan ini
merupakan gerakan khas dari tari Cokek. Namun, gerakan ini pulalah yang akhirnya memicu pandangan-
pandangan negatif terhadap tari ini.
Perkembangan tari Cokek beriringan dengan
perkembangan zaman dan:/pola pikir masyarakat
mengalami beberapa perubahan. Walaupun terdapat
perubahan-perubahan dalam tari Cokek, seperti pada
gerak, musik, maupun kostum. Perubahan-perubahan
yang terjadi ini menyesuaikan perkembangan zaman agar
eksistensi tari Cokek ini tetap dapat dipertahankan dan
tidak hilang termakan zaman. Berbagai usaha untuk
mempertahankan dan melestarikan tari Cokek terus
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
Daftar Acuan
Buku
1. Budiaman, etal. 1979, FolklorBetawi. Jakarta:
Pustaka Jaya.
2. Indonesian Cross-Cultural Society. 2012. Indonesian
Chinese-Peranakan A Cultural Journey. Jakarta:
Intisari.
3. Longhurst, Brian, Greg Smith,dll. 2008. Introducing
Cultural Studies. Longman.
4. Santoso, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di
Nusantara Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
5. Soedarsono. Tari-Tarian Indonesia I. Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
6. Soedarsono. 1985. Peranan Seni Budaya Dalam
Sejarah Kehidupan Manusia Kontinuitas dan
Perubahannya,
7. Wang, Yang. 2010. Chinese Symbols. Beijing : New
Star Press.
8. Wijaya, Hussein. 2000. Seni Budaya Betawi
Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya.
Jakarta : Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
9. -. Akulturasi Budaya Cina Benteng. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Skripsi,Tesis
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
10. Kurniasih, Emma. 2000. Perkembangan Bentuk Tari
Cokek di Teluk Naga Tangerang. Jakarta:
Universitas Negeri Jakarta.
11. Sukotjo; Prof.Dr. RM. Soedarsono. 1999.
Kontinuitas dan Perubahan Musik Gambang
Kromong Betawi Sebagai Dampak Kehadiran
Masyarakat Baru Dan Pariwisata. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Artikel
12. Castle, Lance. The Ethnic Profile of Djakarta,
dalam Majalah Indonesia I (1967)
13. Parani, Julianti. 2006. Intercultural Jakarta,
Ambience of Betawi Theatre to Indonesian Theatre.
Wacana Seni Journal of Arts Discourse.
Jil./Vol.5.2006.
14. Poa Kian Sioe, Orkes Gambang Hasil Peranakan
Tionghoa di Jakarta, dalam Majalah Pantja,
Juni1949,
15. Soedarsono. Dampak Pariwisata terhadap
Perkembangan Seni di Indonesia, Pidato Ilmiah
pada Dies Natalis ke-2 Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, Juli 1986.
16. Soedarsono. Pendidikan Seni Dalam Kaitannya
dengan Kepariwisataan, makalah Seminar dalam
rangka peringattan hari jadi jurusan pendidikan
Sendratasik ke-10, FPSB IKIP Yogyakarta, 12
Februari1995.
17. -. Orkest Gambang Kromong, majalah Pantja
Warna no.9 Juni 1949.
Publikasi Elektronik
18. Arsy. 2012, 19 September. Tari Cokek, Kesenian
Betawi yang Hampir Punah . , diakses pada 7
Oktober 2013.
19. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2011. Sejarah
Tari Cokek (Presentasi Mohan
Mohanda.http://www.youtube.com/watch?gl=US&
hl=en&client=mv
google&v=cWsKsgS7zIU&fulldescription=1.
diakses pada 7 November 2013.
20. http://traditions.cultural-china.com/. Historical
Hair Ornament and Their Social Conotation..
diakses pada 3 Februari 2014
21. http://www.cultural-china.com. Ta Ge. diakses pada
3 Februari 2014.
22. http://www.youtube.com/watch?v=Gi7y-XFZn_I. 踏
歌 tage 排练 1. diakses pada 3 Februari 2014. 23. m.youtube.com/results?q=tari%20cokek&sm=1.
Tari Cokek DWP BP2T Tangsel di Serang
Provinsi Banten. diakses pada 3 Februari 2014.
24. m.youtube.com/watch?v=7llY7N6_DiY. Lomba
Tari Cokek. diakses pada 3 Februari 2014.
Jurnal
25. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan
Pariwisata Kota Tangerang serta Dewan Kesenian
Tangerang. 2005. Jurnal Kesenian Cisadane
Nomor 1 Juni 2005, Festival Cisadane 2005:
Menata Relasi Kesenian dan Pariwisata.
Tangerang.
Wawancara
26. Pak Oey Tjin Eng, Humas Klenteng Boen Tek Bio
Tangerang, 27 Januari 2014.
27. Mak Engkin, warga Cina Benteng, 27 Januari 2014.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014