ekonomi tenaga kerja pertanian dan …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3233043.pdf ·...

9
Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004 91 K ompleksitas ekonomi tenaga kerja pertanian mencakup dimensi yang relatif luas. Penurunan peran relatif sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang relatif cepat tidak diikuti oleh akselerasi yang sama pada aspek kesempatan kerja sehingga produktivitas tenaga kerja pertanian menurun. Perkembangan tingkat upah sektor pertanian pun tidak berjalan selaras dengan kenaikan harga kebutuhan pokok sehingga berimplikasi negatif terhadap daya beli dan kesejahteraan buruh tani. Rendahnya pendapatan buruh tani juga tidak terlepas dari rendahnya partisipasi dan aksesibilitas buruh tani terhadap kesempatan kerja di luar sektor per- tanian. Pada tahun 2000, kesempatan kerja sektor pertanian menempati posisi dominan dengan proporsi 45,28% dari total kesempatan kerja yang mencapai 89,84 juta orang. Menurut status pe- kerjaan, kesempatan kerja berburuh (karyawan) mencapai 32,83% atau sebesar 29,49 juta orang. Kesempatan kerja berburuh di sektor pertanian mencapai EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN KESEJAHTERAAN BURUH TANI I Wayan Rusastra dan M. Suryadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161 ABSTRAK Kesempatan kerja sektor pertanian selama periode 19952000 meningkat 0,51%/tahun. Pada tahun 2000, posisinya tetap dominan (45,28%) dengan status pekerjaan berburuh tani meliputi 5,38 juta orang. Permasalahan tenaga kerja pertanian mencakup produktivitas, daya beli, dan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Tulisan ini membahas perkembangan struktur kesempatan kerja dan tingkat upah serta dampaknya terhadap produksi padi, struktur pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani di pedesaan. Terdapat indikasi kelangkaan tenaga kerja dan kenaikan tingkat upah absolut, namun kenaikan upah riil berjalan lambat. Elastisitas tenaga kerja terhadap produksi relatif tinggi (0,13) dan tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap penawaran dan keuntungan usaha tani padi. Sumber pendapatan dominan rumah tangga buruh tani adalah kegiatan berburuh dan nonpertanian dengan proporsi 68,10%. Implikasinya adalah kelangkaan dan kenaikan tingkat upah perlu dikendalikan dan perbaikan kesejahteraan buruh tani perlu dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan komprehensif. Produktivitas dan kesejahteraan buruh tani dapat ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaan mekanisasi pertanian, agribisnis dan agroindustri, serta perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Kata kunci: Produktivitas tenaga kerja, produksi pertanian, buruh tani, kesejahteraan sosial ABSTRACT Agricultural labor economy and its impact on agricultural production and hired labor welfare During the period of 19952000, the growth of agricultural employment was 0.51%/year. Its role in the year 2000 was still dominant (45.28%), with hired agricultural labor approaching to 5.38 million. The problems faced by agricultural labor are low productivity, weak purchasing power, and low welfare status. This paper analyses the perspective of employment structure and wage rate as well as their impact on rice production, income structure, and hired labor welfare in rural area. The evidence showed the indication of labor shortage as well as the increasing of absolute wage rate, but with sluggish real wage growth. Elasticity of rice production with respect to labor was relatively high (0.13), and elasticity of supply and profit with respect to wage rate was negative inelastic. The main source of hired labor household income was hired labor and non-agricultural activity with the proportion of 68.10%. All of those implied that labor shortage and wage rate increase had to be controlled, and improvement of hired labor welfare should be conducted in holistic and comprehensive manner. The productivity and welfare of hired labor can be improved through implementing appropriate institutional arrangement on agricultural mechanization, agribusiness and agroindustry development, as well as non-agricultural employment generation. Keywords: Labour productivity, agricultural production, hired labour, social welfare

Upload: halien

Post on 06-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004 91

Kompleksitas ekonomi tenaga kerjapertanian mencakup dimensi yang

relatif luas. Penurunan peran relatif sektorpertanian terhadap Produk DomestikBruto (PDB) nasional yang relatif cepattidak diikuti oleh akselerasi yang samapada aspek kesempatan kerja sehinggaproduktivitas tenaga kerja pertanianmenurun. Perkembangan tingkat upah

sektor pertanian pun tidak berjalan selarasdengan kenaikan harga kebutuhan pokoksehingga berimplikasi negatif terhadapdaya beli dan kesejahteraan buruh tani.Rendahnya pendapatan buruh tani jugatidak terlepas dari rendahnya partisipasidan aksesibilitas buruh tani terhadapkesempatan kerja di luar sektor per-tanian.

Pada tahun 2000, kesempatan kerjasektor pertanian menempati posisidominan dengan proporsi 45,28% daritotal kesempatan kerja yang mencapai89,84 juta orang. Menurut status pe-kerjaan, kesempatan kerja berburuh(karyawan) mencapai 32,83% atau sebesar29,49 juta orang. Kesempatan kerjaberburuh di sektor pertanian mencapai

EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DANIMPLIKASINYA DALAM PENINGKATAN

PRODUKSI DAN KESEJAHTERAANBURUH TANI

I Wayan Rusastra dan M. Suryadi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK

Kesempatan kerja sektor pertanian selama periode 1995−2000 meningkat 0,51%/tahun. Pada tahun 2000, posisinyatetap dominan (45,28%) dengan status pekerjaan berburuh tani meliputi 5,38 juta orang. Permasalahan tenagakerja pertanian mencakup produktivitas, daya beli, dan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Tulisan inimembahas perkembangan struktur kesempatan kerja dan tingkat upah serta dampaknya terhadap produksi padi,struktur pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani di pedesaan. Terdapat indikasi kelangkaantenaga kerja dan kenaikan tingkat upah absolut, namun kenaikan upah riil berjalan lambat. Elastisitas tenaga kerjaterhadap produksi relatif tinggi (0,13) dan tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap penawaran dankeuntungan usaha tani padi. Sumber pendapatan dominan rumah tangga buruh tani adalah kegiatan berburuh dannonpertanian dengan proporsi 68,10%. Implikasinya adalah kelangkaan dan kenaikan tingkat upah perludikendalikan dan perbaikan kesejahteraan buruh tani perlu dilakukan melalui pendekatan yang holistik dankomprehensif. Produktivitas dan kesejahteraan buruh tani dapat ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaanmekanisasi pertanian, agribisnis dan agroindustri, serta perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian.

Kata kunci: Produktivitas tenaga kerja, produksi pertanian, buruh tani, kesejahteraan sosial

ABSTRACT

Agricultural labor economy and its impact on agricultural production and hired labor welfare

During the period of 1995−2000, the growth of agricultural employment was 0.51%/year. Its role in the year 2000was still dominant (45.28%), with hired agricultural labor approaching to 5.38 million. The problems faced byagricultural labor are low productivity, weak purchasing power, and low welfare status. This paper analyses theperspective of employment structure and wage rate as well as their impact on rice production, income structure,and hired labor welfare in rural area. The evidence showed the indication of labor shortage as well as the increasingof absolute wage rate, but with sluggish real wage growth. Elasticity of rice production with respect to labor wasrelatively high (0.13), and elasticity of supply and profit with respect to wage rate was negative inelastic. The mainsource of hired labor household income was hired labor and non-agricultural activity with the proportion of68.10%. All of those implied that labor shortage and wage rate increase had to be controlled, and improvement ofhired labor welfare should be conducted in holistic and comprehensive manner. The productivity and welfare ofhired labor can be improved through implementing appropriate institutional arrangement on agriculturalmechanization, agribusiness and agroindustry development, as well as non-agricultural employment generation.

Keywords: Labour productivity, agricultural production, hired labour, social welfare

92 Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

5,38 juta orang atau 13,23% dari totalkesempatan kerja sektor pertanian yangbesarnya 40,68 juta orang (Badan PusatStatistik 2001).

Upaya memperbaiki tingkat upahdan kesejahteraan buruh tani meng-hadapi permasalahan yang kompleks(Sumaryanto dan Rusastra 2000) yaitu: 1)permintaan tenaga kerja di sektor pertanianbersifat fluktuatif dan musiman, 2)penggunaan tenaga per unit luasan usahatani cenderung menurun karena ber-kembangnya mekanisasi pertanian(traktor), aplikasi herbisida, dan mak-simisasi penggunaan tenaga kerja dalamkeluarga, 3) adanya indikasi penurunanupah riil, daya beli dan kesejahteraan buruhtani, 4) sulitnya mengimplementasikaninstrumen kebijakan karena posisi buruhtani yang bersifat dilematis, yaitu sebagaipemasok dan sekaligus juga penggunatenaga kerja pertanian, dan 5) strategiperbaikan kesejahteraan dan tingkat upahmelalui upaya tidak langsung sepertipeningkatan intensitas garapan dankesempatan kerja nonpertanian.

Tulisan ini menyajikan perkem-bangan kesempatan kerja menurut sektorutama dan status pekerjaan serta perkem-bangan tingkat upah sektor pertaniandengan basis data agregat dan data PanelPetani Nasional (Patanas) di enam propinsipenelitian. Di bahas pula dinamika dampakpenggunaan tenaga kerja dan tingkatupah terhadap penawaran dan produksiusaha tani padi, struktur kesempatan kerjadan tingkat pendapatan rumah tanggaburuh tani, serta nilai tukar petani dankesejahteraan buruh tani di pedesaan.

PERKEMBANGANKESEMPATAN KERJANASIONAL DAN SEKTORPERTANIAN

Dalam periode 1995–2000, total ke-sempatan kerja nasional meningkat 1,94%/tahun, dari 80,11 juta menjadi 89,84 jutaorang. Sektor pertanian memberikansumbangan dominan dengan peningkatanproporsi dari 43,98% menjadi 45,28%,dan tumbuh dengan laju 0,51%/tahun.Kesempatan kerja di sektor perdagangantumbuh dengan laju terbesar (2,75%/tahun), serta proporsi penyerapan tenagakerja menempati posisi kedua terbesardengan pangsa 20,58% terhadap total

kesempatan kerja nasional yang mencapai89,84 juta jiwa. Dengan mengacu padasumbangan sektor pertanian pada PDBnasional tahun 2000 yang besarnya 16%,tampak adanya disparitas produktivitastenaga kerja antara sektor pertanian dannonpertanian (Badan Pusat Statistik 2001).

Dibandingkan dengan pertumbuhankesempatan kerja nasional yang mencapai1,94%/tahun, pertumbuhan kesempatankerja di enam propinsi wilayah penelitianPatanas yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur,Lampung, Nusa Tenggara Barat, SulawesiUtara, dan Sulawesi Selatan berkisarantara 1,59%/tahun (Jawa Tengah) dan3,28%/tahun di Sulawesi Selatan (Tabel 1).Di luar Jawa (kecuali NTB), laju per-tumbuhan kesempatan kerja agregatmelebihi laju pertumbuhan nasional, tetapilaju kesempatan kerja pertanian meng-alami penurunan 0,07%/tahun (SulawesiSelatan) sampai dengan 2,63%/tahun(Lampung). Andalan pertumbuhan ke-sempatan kerja di Jawa adalah sektorpertanian, sedangkan di luar Jawa mulaibergeser ke sektor industri, perdagangandan jasa dengan besarnya kontribusiyang bervariasi antardaerah. Dibutuhkanfasilitasi kebijakan yang memungkinkanterjadinya mobilisasi tenaga kerja yanglebih cepat ke luar Jawa.

Di enam propinsi penelitian Patanas,sektor pertanian masih tetap merupakanpenyumbang kesempatan kerja terbesar(khususnya di luar Jawa), dengan kisar-

an 41,10% (Jawa Tengah) sampai dengan59,42% di Lampung (Tabel 1). Pe-nyumbang kesempatan kerja keduaterbesar adalah sektor perdagangandengan kisaran 14,32% (Lampung) sampaidengan 20,08% (Jawa Tengah). Di Jawa,posisi berikutnya adalah sektor industridan jasa, namun sebaliknya untuk luarJawa. Di luar Jawa, sektor jasa menempatiposisi ketiga dengan kisaran 10,98%(Lampung) sampai dengan 15,06%(Sulawesi Selatan). Kisaran sumbangansektor industri adalah 5,39% (SulawesiSelatan) sampai dengan 11,29% (NTB).Dengan demikian, fase pertumbuhanekonomi yang direfleksikan oleh peranmasing-masing sektor secara spasialmenunjukkan perbedaan sehingga stra-tegi dan fokus kebijakan pembangunanpun berbeda. Dalam jangka pendek, peransektor industri belum dapat diharapkanmengingat masih lemahnya dukunganstabilitas politik, keamanan, dan pe-negakan hukum.

Proporsi kesempatan kerja nasionalmenurut status pekerjaan dalam periode1995−2000 menunjukkan bahwa statussebagai buruh/karyawan menempatiposisi dominan, diikuti oleh kategoriberusaha sendiri, berusaha dibantu ang-gota keluarga/buruh tidak tetap, pekerjakeluarga, dan terakhir adalah berusahadengan buruh tetap (Badan Pusat Statistik2001). Tampak bahwa bidang kewira-usahaan masih perlu pembinaan dan

Tabel 1. Pertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja menurut sektor utamadi enam propinsi Indonesia, 1995−−−−−1999.

Sektor utamaPertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja (%)1

Jawa Jawa Lampung Nusa Teng- Sulawesi SulawesiTengah Timur gara Barat Utara Selatan

Pertanian 41,10 44,01 59,42 47,41 51,21 54,71 (1,12) (1,46) (-2,63) (-1,53) (-0,47) (-0,07)

Industri 17,65 14,73 8,14 11,29 7,29 5,39 (0,68) (-1,23) (5,18) (0,95) (-2,89) (-4,80)

Perdagangan 20,08 18,92 14,32 17,23 14,95 17,17(1,95) (0,13) (4,96) (-0,40) (2,84) (2,97)

Jasa 11,43 11,71 10,98 11,31 14,15 15,06(-5,88) (-2,89) (3,88) (0,94) (-2,68) (-1,39)

Lainnya2 9,75 10,64 7,14 12,76 12,41 7,65(-1,97) (-1,04) (3,38) (5,50) (4,31) (0,69)

Total kesempatan 14.621 16.982 3.041 1.716 1.162 3.078 ('000 orang) (1,59) (1,97) (2,30) (1,67) (2,73) (3,28)

1Angka dalam kurung adalah pertumbuhan kesempatan kerja (%/tahun).2Bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, jasa perusahaan, pertambangan, listrik, gas, dan air.Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004 93

dukungan fasilitasi kebijakan untukmendorong partisipasi dan kesempatanberusaha bagi masyarakat luas. Implikasilainnya adalah peningkatan kesejahteraanmasyarakat melalui perbaikan taraf hidupdan kesejahteraan buruh dan karyawanmemegang peranan sentral. Walaupunkesempatan kerja berburuh mengalamipenurunan 1,52%/tahun, posisinya padatahun 2000 tetap dominan (32,83%), dandiyakini dalam satu dekade ke depan akantetap memegang peranan penting dalamekonomi ketenagakerjaan nasional.

Di sektor pertanian, status pekerjaanberburuh menempati posisi keempatsetelah kategori berusaha dibantuanggota keluarga/buruh tidak tetap,pekerja keluarga, dan berusaha sendiri(Tabel 2). Seperti halnya pada kesempatankerja agregat nasional, dalam sektorpertanian, kategori status pekerjaanberusaha dengan buruh tetap menempatiperingkat terakhir. Selama periode 1995−2000, posisi status pekerjaan berburuh disektor pertanian relatif stagnan yang

proporsinya pada tahun 2000 mencapai13,23% (5,38 juta orang) dari totalkesempatan kerja sektor pertanian sekitar40,68 juta orang.

Secara relatif terhadap total ke-sempatan kerja berburuh, proporsiberburuh di sektor pertanian menempatiperingkat ketiga setelah sektor jasa danindustri (Tabel 3), sedangkan sektorperdagangan menempati posisi keempatdari empat sektor utama pembangunannasional. Pada tahun 2000, pangsakesempatan kerja berburuh di sektor jasa,industri, pertanian, dan perdaganganberturut-turut adalah 27,18%, 25,70%,18,24%, dan 10,64%. Selama periode1995−2000, kesempatan kerja berburuhdi sektor pertanian meningkat denganlaju 1,84%/tahun, dari 4,92 juta orangtahun 1995 menjadi 5,38 juta orangtahun 2000, atau 18,24% dari total ke-sempatan kerja berburuh yang mencapai29,50 juta orang. Laju pertumbuhan inidinilai cukup tinggi dibandingkan denganlaju kesempatan kerja total berburuh yang

hanya 0,45%/tahun. Tampaknya sektorpertanian masih tetap merupakan sumberkesempatan kerja berburuh yang potensialdalam kondisi melemahnya daya tampungsektor jasa dan sektor ekonomi lainnyayang mengalami penurunan penyerapanmasing-masing 2,84% dan 2,47%.

PERKEMBANGAN TINGKATUPAH SEKTOR PERTANIAN

Deskripsi tingkat upah absolut menurutjenis kegiatan di enam propinsi pada tahun1990−2001 menunjukkan bahwa: 1) tingkatupah berbeda antarwilayah, yaitu terendahdi Jawa Tengah dan tertinggi di SulawesiUtara, 2) tingkat upah meningkat secarakonsisten untuk seluruh jenis kegiatanselama tiga segmen waktu analisis, 3)kecuali di Sulawesi Utara dan SulawesiSelatan, terdapat disparitas tingkat upahdi mana tingkat upah mencangkul lebihtinggi dibandingkan dengan upah me-manen dan menyiang (Badan Pusat

Tabel 3. Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja berburuh menurut status pekerjaan di Indonesia, 1995−−−−−2000.

Status pekerjaan Proporsi kesempatan kerja (%) Pertumbuhan

1995 1996 1997 1998 1999 2000 (%/tahun)

Pertanian 17,26 17,07 15,78 18,09 18,42 18,24 1,84Industri 21,96 21,47 21,87 20,68 22,79 25,70 2,74Perdagangan 7,57 8,58 8,95 8,51 8,87 10,64 5,09Jasa 33,70 32,54 32,70 34,30 32,23 27,18 -2,84Lainnya1 19,51 20,33 20,69 18,43 17,68 18,24 -2,47Total buruh 28.498 28.952 30.489 28.805 29.384 29.498 0,45 ('000 orang)

1Bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, jasa perusahaan, listrik, gas, dan air.Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).

Tabel 2. Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja sektor pertanian menurut status pekerjaan di Indonesia, 1995−−−−−2000.

Status pekerjaan Proporsi kesempatan kerja (%) Pertumbuhan

1995 1996 1997 1998 1999 2000 (%/tahun)

Berusaha sendiri 22,35 16,51 18,89 18,23 19,85 15,17 -4,09Berusaha dengan dibantu 30,70 38,40 32,48 34,94 32,94 36,50 1,26 anggota rumah tangga/buruh tidak tetapBerusaha dengan buruh 0,86 0,83 1,22 1,18 2,59 1,71 19,35 tetapBuruh/karyawan 13,96 13,10 13,42 13,22 14,10 13,23 1,84Pekerja keluarga 32,13 31,16 33,99 32,44 30,52 33,39 0,25Total tenaga kerja 35.233 37.720 35.849 39.415 38.378 40.677 2,47 ('000 orang)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).

94 Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

Statistik 1996a; 2002a). Informasi di atassedikitnya mengindikasikan dua hal,yaitu adanya keterkaitan antara kelangka-an tenaga kerja dan tingkat upah, sertaterjadinya diskriminasi tingkat upah.

Perbedaan tingkat upah secaraspasial menunjukkan adanya kelangkaandan berfungsinya pasar tenaga kerja. Halini dinilai positif bagi tenaga kerja buruhtani. Perbedaan tingkat upah mencangkuldengan upah menyiang/menanam me-nunjukkan adanya diskriminasi tingkatupah, di mana kegiatan pertama dilakukantenaga kerja pria dan yang terakhir olehtenaga kerja wanita. Menurut Pasandaranet al. (1990), jam kerja menanam lebih lama31% daripada mencangkul, sehinggadisparitas upah per jam kerja antaramenanam dan mencangkul menjadi makinmelebar.

Perkembangan indeks upah absolutsecara spasial dan jenis kegiatan meng-ilustrasikan akselerasi atau konvergensitingkat upah (Badan Pusat Statistik2001). Pada wilayah yang memungkinkanterjadinya mobilitas tenaga kerja antar-wilayah seperti Jawa Tengah dan JawaTimur, konvergensi tingkat upah tidakterjadi. Pada jenis kegiatan yang sama,Jawa Tengah dengan tingkat upah awal(tahun 1990) lebih rendah, tidak memilikiperkembangan indeks upah yang secarasignifikan lebih tinggi dibandingkandengan Jawa Timur. Bila dibandingkanantara Jawa Tengah (upah awal terendah)dan Sulawesi Utara (tingkat upah ter-tinggi), peningkatan indeks upah diSulawesi Utara berlangsung lebih cepatyang merefleksikan dampak dari ke-langkaan tenaga kerja di wilayah tersebut.Kecuali di NTB, indeks upah menanammeningkat lebih cepat dibandingkandengan kegiatan mencangkul, yangmengindikasikan adanya konvergensitingkat upah antara dua jenis kegiatanini dan juga menurunnya diskriminasitingkat upah. Hal ini berimplikasi padaperbaikan dan pemerataan tingkatkesejahteraan buruh tani serta mening-katnya produktivitas tenaga kerja.

Perkembangan tingkat upah absolutdan riil menurut jenis kegiatan disajikanpada Tabel 4. Jawa Tengah dengan tingkatupah absolut yang lebih rendah dariJawa Timur ternyata memiliki laju per-tumbuhan tingkat upah yang lebih tinggi.Namun, pertumbuhan tingkat upah riillebih baik, terutama pada periode 1998−2000. Sulawesi Utara dengan tingkatupah absolut tertinggi memiliki laju

pertumbuhan tingkat upah yang jugalebih tinggi dibandingkan daerah lain-nya, kecuali Lampung dan SulawesiSelatan, khususnya dalam empat tahunterakhir. Jawa dan NTB dengan surplustenaga kerja yang relatif tinggi meng-alami tekanan dalam peningkatan tingkatupah, sementara daerah lainnya meng-alami laju peningkatan upah yang relatiftinggi. Pada seluruh wilayah dan jeniskegiatan, secara konsisten laju per-tumbuhan upah riil lebih rendah daripadaupah absolut. Tampak bahwa hargakebutuhan pokok masyarakat meningkatlebih cepat daripada tingkat upahsehingga daya beli buruh tani jugasemakin rendah.

Data tingkat upah usaha tani padi didesa penelitian Patanas umumnya me-nunjukkan pola yang serupa dengan dataBadan Pusat Statistik (Tabel 5). Luar Jawadengan tingkat kelangkaan tenaga kerjayang lebih besar memiliki tingkat upahyang lebih tinggi dibandingkan dengandua propinsi di Jawa. Jawa juga memilikilaju pertumbuhan tingkat upah yang lebih

rendah sehingga makin memperbesardisparitas tingkat upah secara spasial.

Kegiatan mencangkul tetap memilikitingkat upah yang lebih tinggi di-bandingkan kegiatan menanam danmenyiang, sepanjang waktu untuk seluruhwilayah. Pertumbuhan upah riil relatifrendah pada seluruh wilayah dan jeniskegiatan, yang merefleksikan kurangnyaakselerasi peningkatan daya beli tenagakerja buruh tani pada usaha tani padi.Kecuali di Lampung dan NTB, lajupeningkatan upah menanam dan me-nyiang lebih tinggi dibandingkan denganupah mencangkul sehingga diharapkandisparitas dan diskriminasi tingkat upahantarkegiatan dan gender semakinmembaik.

RESPONS TINGKAT UPAHTERHADAP PENAWARAN

Melalui pendekatan analisis kebijakandilakukan ulasan dan sintesis secara

Tabel 4. Perkembangan tingkat upah absolut dan riil (%/tahun) kegiatanusaha tani di enam propinsi Indonesia, 1990−−−−−20011.

Mencangkul Menanam MenyiangPropinsi/tahun

Absolut Riil Absolut Riil Absolut Riil

Lampung1990−1993 12,70 5,31 11,70 4,52 12,87 5,601994−1997 8,14 0,62 9,88 2,40 6,66 -0,871998−2001 28,15 18,41 30,97 21,53 24,56 14,79

Jawa Tengah1990−1993 11,75 3,48 11,04 2,75 11,42 3,071994−1997 16,12 9,83 11,23 4,83 12,96 6,561998−2001 17,27 7,85 21,60 12,42 22,73 13,62

Jawa Timur1990−1993 12,70 4,05 13,61 4,96 14,77 6,101994−1997 14 6,79 14,12 6,96 13,59 6,431998−2001 15,13 5,26 20,46 10,89 15,91 6,13

Nusa Tenggara Barat1990−1993 12,53 5,42 9,55 2,33 13,34 6,051994−1997 10,92 3,67 10,55 3,22 12,75 5,351998−2001 20,41 12,42 20,29 12,07 18,26 10,06

Sulawesi Selatan1990−1993 5,75 -1,14 5,95 -0,95 5 -1,901994−1997 10,66 4,33 11,08 4,85 9,75 3,411998−2001 26,83 19,11 35,93 28,97 27,43 19,60

Sulawesi Utara1990−1993 8,03 1,15 11,25 4,31 7,50 0,441994−1997 16,72 8,28 19,45 11,17 21,44 13,281998−2001 24,50 13,05 21,01 9,22 27,46 15,94

1Upah riil dihitung dengan menggunakan deflator indeks harga konsumen menurut propinsi(Indeks harga konsumen di Ibukota Propinsi, Badan Pusat Statistik).Sumber: Badan Pusat Statistik (1996a; 2002a, diolah).

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004 95

mana usaha tani padi bersifat padattenaga kerja. Aplikasi teknologi varietasunggul, pupuk, dan irigasi dapat men-dorong aplikasi tenaga kerja (labor-usingtechnologies). Urutan kontribusi faktorproduksi terhadap keluaran sepertitersebut di atas dinilai konsisten denganhasil penelitian yang dilakukan diIndonesia atau di negara lain, di manatenaga kerja dan lahan merupakan faktorproduksi yang terpenting, diikuti olehpupuk atau modal (Yotopoulus et al. 1976;Sidhu dan Baanante 1979; Sugianto 1982;Erwidodo 1990).

PARTISIPASI DANSTRUKTUR PENDAPATANBURUH TANI

Dalam periode 1995−1999, kegiatan rumahtangga usaha tani padi makin bervariasi,di mana peran kegiatan nonpertanianmengalami peningkatan. Peningkatanpartisipasi rumah tangga pada kegiatannonpertanian cukup menonjol di JawaTimur, Lampung, NTB, dan SulawesiSelatan, dengan kisaran laju peningkatansebesar 8,06%/tahun (NTB) sampaidengan 121,43%/tahun (Lampung). Bagirumah tangga dengan kegiatan berburuh,partisipasi tertinggi adalah pada sektorpertanian. Kecuali di Lampung dan NTB,partisipasi kegiatan berburuh di sektorpertanian mengalami peningkatan de-ngan kisaran 4,31%/tahun (SulawesiSelatan) sampai dengan 11,32%/tahun(Sulawesi Utara) (Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertani-an 1996). Dalam kondisi krisis ekonomiyang belum pulih sampai saat ini, sektorpertanian tetap menjadi tumpuan ke-sempatan kerja bagi masyarakat. Sektorpertanian menjadi katup pengaman dansekaligus menjadi beban karena akansemakin berdampak terhadap penurunanproduktivitas tenaga kerja pertanian.

Secara absolut, pendapatan rumahtangga buruh tani yang terendah adalahdi NTB (Rp788.454/tahun) dan tertinggidi Sulawesi Selatan (Rp2.167.835) padatahun 1995 (Tabel 7). Kisaran proporsipendapatan berburuh di sektor pertanianadalah 12% (Sulawesi Utara) sampai 45%(Jawa Tengah). Sumber pendapatanberburuh dari sektor pertanian yangcukup menonjol adalah di Jawa Timur(28%) dan Jawa Tengah (10%), sedangkandi luar Jawa umumnya di bawah 10%.

Tabel 5. Tingkat upah absolut dan riil pada usaha tani padi di enam propinsipenelitian Panel Petani Nasional (Patanas), Indonesia, 1995−−−−−1999.1

Tingkat upah (Rp/orang/hari)

Mencangkul Menanam MenyiangPropinsi/tahun

Absolut Riil Absolut Riil Absolut Riil

Jawa Tengah1995 3.429 2.064 2.401 1.446 2.418 1.4561999 4.670 2.493 3.470 1.852 3.590 1.916

Pertumbuhan (%/tahun) 8 4 9 6 10 7Jawa Timur

1995 3.094 1.747 1.860 1.050 1.704 9621999 4.530 2.258 3.190 1.590 3.240 1.615

Pertumbuhan (%/tahun) 10 6 14 10 17 13Lampung

1995 3.369 1.973 3.000 1.757 2.571 1.5061999 7.050 3.319 5.090 2.396 4.800 2.259

Pertumbuhan (%/tahun) 20 13 14 8 17 11Nusa Tenggara Barat

1995 2.809 1.596 2.640 1.499 2.551 1.4491999 5.110 2.392 4.270 1.999 4.800 2.069

Pertumbuhan (%/tahun) 16 11 13 7 17 9Sulawesi Utara

1995 5.000 2.941 2.900 1.706 6.0182 3.5401999 9.890 4.668 6.670 3.148 7.690 3.630

Pertumbuhan (%/tahun) 18 12 23 16 6 1Sulawesi Selatan

1995 4.750 2.902 4.086 2.497 7.1002 4.3391999 14.120 6.944 13.350 6.565 13.340 6.560

Pertumbuhan (%/tahun) 31 24 34 27 17 10

1Upah riil dihitung dengan deflator indeks harga konsumen (BPS).2Pada usaha tani perkebunan.Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2000, diolah).

mendalam terhadap dampak tingkat upah/tenaga kerja terhadap tingkat keuntungan,penawaran, dan produksi usaha tani padipada berbagai wilayah di Indonesia (Tabel6). Peningkatan tingkat upah umumnyaberdampak negatif terhadap keuntunganusaha tani dengan kisaran elastisitas 0,13−0,19. Penurunan keuntungan lebih besarpada usaha tani padi di lahan sawah di-bandingkan dengan di lahan kering,dengan elastisitas tingkat upah terhadapkeuntungan (Ep) -0,15 vs. -0,13. Pe-ningkatan upah tenaga kerja ternak jugaberdampak negatif terhadap keuntungandengan Ep -0,04 dan bersifat nyata padataraf kepercayaan 1% (α = 1%). Namun,Wardana et al. (2001) melaporkan bahwatingkat upah justru meningkatkan ke-untungan usaha tani padi dengan Ep 0,21pada musim hujan dan 0,03 pada musimkemarau. Tingkat upah yang lebih baik(tambahan insentif) akan menstimulasiefektivitas pemanfaatan tenaga kerjasehingga produktivitas usaha tani padimeningkat.

Dampak peningkatan tingkat upahterhadap penawaran usaha tani padimenunjukkan respons yang inelastis,dengan kisaran dampak penurunanterhadap penawaran sebesar 0,21−0,33%untuk setiap 1% peningkatan tingkatupah. Tidak terdapat perbedaan elastisitaspenawaran (Es) antara usaha tani padi dilahan kering dan di lahan sawah, denganelastisitas penawaran -0,20 vs -0,21.Respons peningkatan tingkat upah tenagakerja ternak terhadap penawaran relatifrendah dengan elastisitas -0,04 (Rachman1986).

Pada usaha tani padi lahan sawah,kisaran elastisitas tenaga kerja adalah 0,12−0,14, sedangkan untuk lahan keringnilainya sedikit lebih rendah yaitu 0,11(Hutabarat 1988; Rusastra 1995). Di-bandingkan dengan faktor produksilainnya, tenaga kerja dinilai yang ter-penting (elastisitas 0,12), disusul olehpupuk (0,04), bibit (0,02), dan pestisidadengan nilai elastisitas 0,01. Hasil inisesuai dengan kondisi di lapangan, di

96 Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

Rumah tangga buruh tani jugaterlibat pada kegiatan pertanian dannonpertanian dengan proporsi kegiatanpertanian berkisar dari 13% (Jawa Timur)hingga 46% (Lampung). Pangsa kegiatannonpertanian yang cukup menonjoladalah di Sulawesi dan Jawa Timur,sementara di daerah lainnya di bawah20%. Rumah tangga buruh tani umumnyaadalah petani berlahan sempit atau petanipenyakap sehingga andalan sumber pen-dapatan utama adalah dari kegiatannonpertanian dan berburuh. Oleh karenaitu, perbaikan sistem sakap, tingkat upah,dan kesempatan kerja di luar sektorpertanian akan memegang peranan

Tabel 6. Tinjauan dampak penggunaan tenaga kerja/tingkat upah terhadap produksi atau penawaran komoditas pangandi Indonesia.

Peneliti Lokasi/jenis data Model/fungsi Respons

Sawit (1985) Empat desa di Jawa Barat Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Es = -0,31Data primer petani padi Peubah bebas tingkat upah

Kasryno (1986) Jawa Barat Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Es = -0,33Data panel 360 rumah tangga Peubah bebas tingkat upahpetani padi

Rachman (1986) Enam desa DAS Cimanuk, Fungsi keuntungan Cobb-Douglas TK manusia:Jawa Barat Peubah bebas upah tenaga Eπ = -0,1930Data primer resurvei kerja manusia dan tenaga kerja ternak (S = α 1%)Proyek SDP-SAE (padi) Es = -0,2660

TK ternak:Eπ = -0,0419(S = α 1%)Es = -0,0412

Hutabarat (1988) Sulawesi Selatan Fungsi produksi translog Lahan keringTiga desa lahan kering dan Peubah bebas tenaga kerja Ep = 0,11tiga desa lahan sawah (padi) Lahan sawah

Ep = 0,14

Rusastra (1995) Indonesia Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Padi lahan sawah:Kombinasi data penampang Peubah bebas tingkat upah Eπ = -0,1463lintang (11 wilayah) dan deret (S = α 1%)waktu (1973−1991) Ep= 0,1202Padi lahan sawah dan Es = -0,2067padi lahan kering Padi lahan kering:

Eπ= -0,1294(S = α 1%)Ep = 0,1073Es = -0,2034

Rusastra et al. (1997) Indonesia Fungsi produksi linier Ep= 0,7180Kombinasi data penampang Peubah tergantung (n.s.)lintang (5 wilayah) dan deret produktivitas padiwaktu, 1979−1993 (padi) sawah; peubah bebas

tenaga kerja

Wardana et al. (2001) Pati, Jawa Tengah Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Eπ (MH): 0,2065Data primer padi tadah hujan Peubah bebas tingkat upah (S = α 1%)dataran rendah Eπ (MK): 0,0288

(S = α 5%)

Tabel 7. Struktur pendapatan rumah tangga buruh tani pada desa padisawah di enam propinsi Panel Petani Nasional (Patanas), 1995.

Proporsi jenis kegiatan utama (%)

Propinsi BerburuhTotal pen-

Pertanian Non-Pertanian Non-

dapatanpertanian

pertanian(Rp/tahun)

Jawa Tengah 28 17 45 10 1.551.010Jawa Timur 13 24 36 28 1.549.159Lampung 46 17 30 8 1.244.266Nusa Tenggara Barat 39 13 44 5 788.454Sulawesi Selatan 24 30 44 2 2.167.835Sulawesi Utara 44 39 12 5 1.758.515

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (1996, diolah).

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004 97

penting dalam peningkatan pendapatanrumah tangga buruh tani.

Sumber pendapatan utama selaindari kegiatan pertanian (usaha tani padi)dan berburuh (pertanian dan non-pertanian) relatif terbatas. Sumberpendapatan dari subsektor peternakandan perikanan hampir tidak ada. Kegiat-an nonpertanian yang cukup menonjoladalah perdagangan, sedangkan kegiatanindustri hanya ada di Jawa Timur, NTB,dan Sulawesi Selatan. Kegiatan jasaterdapat di semua propinsi dengan kisaran3% (Lampung) sampai 24% di SulawesiUtara (Patanas P/SE).

Secara absolut, total pendapatanberburuh yang cukup menonjol adalah diSulawesi Selatan, Jawa Timur, dan JawaTengah dengan nilai masing-masingRp1.001.000, Rp987.100, dan Rp858.400pada tahun 1995 (Tabel 8). Di propinsilainnya, nilainya di bawah Rp500.000/rumah tangga buruh tani/tahun. Sumberpendapatan berburuh dari sektor per-tanian menempati posisi dominan dengankisaran proporsi 56,50% (Jawa Timur)sampai 94,60% (Sulawesi Selatan). Dalamupaya meningkatkan pendapatan buruhtani dan produktivitas tenaga kerjapertanian, persoalan yang paling sulitadalah mendorong tenaga kerja keluardari sektor pertanian primer. Upaya yangdinilai strategis adalah mengembangkanagroindustri melalui pendekatan agro-politan. Dengan pendekatan tersebut,petani dapat mengakses kegiatanagroindustri tanpa harus kehilangankesempatan kerja di sektor pertanianatau sebagai tenaga kerja paruh waktu.Pengembangan agroindustri diharapkanakan meningkatkan respons permintaanproduk pertanian terhadap perubahanpendapatan sehingga nilai tukar petanimakin membaik.

NILAI TUKAR DANKESEJAHTERAAN BURUHTANI

Nilai tukar petani (NTP) dan kesejahteraanburuh tani memiliki keterkaitan yangkuat. Secara hipotetis, normatif kesejah-teraan petani akan ditransmisikan dalambentuk perbaikan taraf hidup buruhtani. Pembahasan NTP dan faktor pem-bentuknya menggunakan data Patanas,sementara kinerja dan perspektif ke-sejahteraan buruh tani menggunakan

Tabel 8. Pendapatan berburuh (Rp/tahun) rumah tangga buruh tani padadesa padi sawah di enam propinsi penelitian Panel Petani Nasional(Patanas), 1995.

PropinsiJenis kegiatan berburuh

TotalPertanian Nonpertanian

Jawa Tengah 701.444 (81,70) 156.915 (18,30) 858.359Jawa Timur 557.267 (56,50) 429.817 (43,50) 987.084Lampung 368.423 (79,40) 95.377 (20,60) 463.800Nusa Tenggara Barat 344.109 (90,20) 37.281 (9,80) 381.390Sulawesi Selatan 946.831 (94,60) 54.194 (5,40) 1.001.025Sulawesi Utara 208.483 (69) 93.737 (310) 302.220

Angka dalam kurung menunjukkan proporsi dari jenis kegiatan berburuh.Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (1996, diolah).

Tabel 9. Indeks harga yang diterima (IT), indeks harga yang dibayar (IB),dan nilai tukar petani (NTP) di enam propinsi Indonesia, 1992−−−−−2001.

Uraian1 Indikator NTP

1992 1994 1996 1998 2001

LampungI T 121,80 174,30 160,80 307,90 261,40IB 135,50 182,30 207 428,60 321,20N T P 89,90 95,61 77,68 71,84 81,38

Jawa TengahI T 219 286,70 363,30 738,60 407,30IB 230,20 284,30 341,20 755 393,30N T P 95,13 100,84 106,48 97,83 103,56

Jawa TimurI T 200,50 279,40 341,90 818,90 509IB 207,90 264,60 324,40 743,80 441,60N T P 96,44 105,59 105,39 110,10 115,26

Nusa Tenggara BaratI T 150 197 243,30 740,50 381,50IB 150,40 185,50 216,60 500 443,50N T P 99,73 106,20 112,33 148,10 86,02

Sulawesi UtaraI T 132,40 157,90 197,50 437,60 980,50IB 133,20 161,30 198,60 623,90 434,30N T P 99,40 97,89 99,45 70,14 225,77

Sulawesi SelatanI T 154,80 203,60 268,90 600,40 423IB 151,50 185,90 233,80 479,60 394,70N T P 102,18 109,52 115,01 125,19 107,17

1NTP = (IT : IB) x 100%.Sumber: Badan Pusat Statistik (1996b; 2002b).

pendekatan analisis kebijakan ber-dasarkan ulasan dan sintesis penelitiankebijakan yang ada.

Analisis perkembangan NTP danfaktor pembentuknya di enam propinsiPatanas selama periode 1992−2001memberikan gambaran (Tabel 9) sebagaiberikut:

• Di Lampung, rataan NTP adalah 83,52dengan kisaran 71,80–95,60, cen-derung fluktuatif dan menurun.Pada tahun 2001, NTP relatif rendah(81,40) terutama disebabkan olehmeningkatnya indeks harga konsumsirumah tangga petani.

98 Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004

• Di Jawa Tengah, rataan NTP adalah99,63, dengan kisaran 90,50–104,80,cenderung stabil dan sedikit me-ningkat. Pada tahun 2001, NTP diJawa Tengah mencapai 103,60 yangmengindikasikan indeks harga yangditerima petani secara relatif lebihbaik, terutama indeks harga tanamanpangan dan perkebunan.

• Di Jawa Timur, rataan NTP selamaperiode 1992−2001 mencapai 105,30,dengan kisaran 93,40−115,30, danmeningkat secara konsisten. Padatahun 2001, NTP relatif tinggi(115,30) karena adanya perbaikanindeks harga yang diterima petani,khususnya untuk komoditas tanamanpangan.

• Di NTB, rataan NTP mencapai 109,10,dengan kisaran 84,60–148,10, cen-derung fluktuatif dan menurun. Padatahun 2001, NTP di NTB mencapai 86yang mengindikasikan penurunandaya beli petani karena meningkatnyaindeks harga yang dibayar petaniuntuk kedua komponen utamanya,yaitu biaya produksi dan konsumsirumah tangga petani.

• Di Sulawesi Utara, rataan NTP men-capai 115,90, dengan kisaran 83,50–225,80, dan cenderung meningkatsecara konsisten dari waktu ke waktu.Pada tahun 2001, NTP di SulawesiUtara mencapai angka tertinggi(225,80) yang menunjukkan dayabeli petani relatif tinggi, khusus-nya terhadap barang-barang untukmendukung kegiatan produksi dankonsumsi rumah tangga. Hal initerutama disebabkan oleh mening-katnya indeks harga komoditasperkebunan.

• Di Sulawesi Selatan, rataan NTPselama periode 1992−2001 mencapai110,80, dengan kisaran 101,20 – 125,20dan cenderung menurun. Pada tahun2001, NTP di Sulawesi Selatan men-capai 107,20, yakni mendekati nilairataan dengan posisi daya beli yangmemadai. Hal ini juga disebabkanoleh meningkatnya indeks hargayang diterima petani, khususnyauntuk komoditas perkebunan.

Perkembangan nilai tukar pekerja(buruh tani) pada tahun 1985, 1989, dan1995, dengan memanfaatkan dua basisdata indeks upah yang disusun BPS danPatanas, memberikan informasi yang

menarik (Djauhari et al. 2000). Bilaberpedoman pada indeks upah BPS, nilaitukar pekerja di Jawa Barat dan Jawa Timurdalam periode 1985−1989 mengalamipenurunan, namun pada periode se-lanjutnya meningkat. Sebaliknya dalamtujuh tahun berikutnya (1989−1995), nilaitukar pekerja berkembang cukup pesatyang disebabkan oleh meningkatnyaindeks upah yang cukup besar relatifterhadap harga barang-barang konsumsi.Pemerintah berperan penting dalampengendalian harga pangan yang ter-jangkau masyarakat luas. Dalam situasikrisis yang diindikasikan oleh pemutusanhubungan kerja atau semakin terbatasnyakesempatan kerja, kelangkaan danpeningkatan harga kebutuhan pokokmasyarakat akan menurunkan tingkatkesejahteraan buruh tani.

Hasil perhitungan nilai tukar pekerjaversi Patanas menunjukkan perkem-bangan yang berbeda. Pada periode1985−1989, nilai tukar meningkat danpada periode selanjutnya (1989−1995)menurun. Walaupun demikian, perhi-tungan nilai tukar pekerja untuk keduaversi ini (BPS dan Patanas) tidak berbedanyata, kecuali untuk tahun 1995. Haltersebut disebabkan adanya perbeda-an cakupan pengumpulan data upah,serta penetapan pembobotan perolehanpendapatan dari upah sektor pertaniandan kegiatan di luar pertanian. Namun,secara umum selama periode 1985−1995kesejahteraan pekerja di wilayah pe-desaan Jawa Barat dan Jawa Timur relatifmeningkat. Perkembangan tingkat upahyang cukup pesat di Jawa Timur meng-akibatkan nilai tukar pekerja (buruhtani) lebih baik dibandingkan dengan diJawa Barat. Dalam upaya mempertahan-kan kesejahteraan petani dan pekerjaperlu terus diupayakan peningkatanbagian harga yang diterima petani danpengendalian harga barang konsumsidan sarana produksi pada tingkat hargayang wajar.

KESIMPULAN DANIMPLIKASI KEBIJAKAN

Sektor pertanian masih tetap merupakansumber kesempatan kerja dan berburuhtani yang potensial. Upaya meningkatkanproduktivitas dan kesejahteraan buruh

tani perlu terus dilakukan antara lainmelalui perbaikan sistem sakap dan peng-upahan, mobilitas dan informasi tenagakerja, serta pengembangan agroindustridan kesempatan kerja di luar sektorpertanian. Tingkat upah bergantung padapenawaran tenaga kerja, perkembanganmekanisasi pertanian, dan pertumbuhankesempatan kerja di luar sektor pertani-an. Walaupun indeks upah absolutmeningkat, harga kebutuhan pokokmeningkat lebih cepat sehingga lajupertumbuhan upah riil menjadi sangatlambat. Pengembangan infrastruktur, pen-didikan dan pembinaan keterampilantenaga kerja (khususnya wanita) sangatpenting agar mereka dapat bekerja secaramandiri dan posisi tawarnya meningkat.Perbaikan infrastruktur perlu dikom-plemenkan dengan pembenahan strukturdan efisiensi pemasaran sehingga dayabeli petani dan buruh tani dapat diting-katkan.

Tingkat upah berdampak negatifinelastis terhadap keuntungan danpenawaran pada usaha tani padi. Elas-tisitas tenaga kerja terhadap produksipadi adalah yang tertinggi (0,13) di-bandingkan faktor produksi lainnya (<0,04). Kontribusi tenaga kerja dinilaimenentukan kinerja usaha tani padi yangbersifat padat tenaga kerja. Kelangkaantenaga kerja dan peningkatan upahsecara tidak terkendali perlu dicegah.

Sumber pendapatan dominan buruhtani adalah berburuh (pertanian) dankegiatan nonpertanian. Proporsi pen-dapatan berburuh tani adalah 78,60%dari total pendapatan berburuh, sedang-kan total pendapatan berburuh adalah44,80% dari pendapatan keluarga.Sumbangan pendapatan dari kegiatannonpertanian mencapai 23,30%. Keber-hasilan dalam mempertahankan tingkatupah yang wajar dan membangun ke-sempatan dan aksesibilitas kegiatan di luarpertanian memegang peranan pentingdalam peningkatan kesejahteraan buruhtani.

Untuk meningkatkan kesejahteraanpetani dan buruh tani, perlu diupayakanpeningkatan bagian harga yang diterimapetani dan pengendalian harga barangkonsumsi dan sarana produksi. Bagirumah tangga buruh tani, di samping perlumempertahankan tingkat upah yang wajar,juga diperlukan upaya yang bersifatinklusif dan integratif dalam peningkatankesejahteraannya.

Jurnal Litbang Pertanian, 23(3), 2004 99

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 1996a. Statistik UpahBuruh Tani di Pedesaan 1990−1995. BadanPusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1996b. Indikator Ekonomi1992−1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik IndonesiaTahun 1996−2000. Badan Pusat Statistik,Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002a. Statistik UpahBuruh Tani di Pedesaan, 1996−2001. BadanPusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002b. Indikator Ekonomi1996−2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Djauhari, A., W. Sudana, dan I W. Rusastra. 2000.Kesempatan kerja, konvergensi tingkatupah dan kesejahteraan petani di pedesaanJawa. Prosiding Perspektif PembangunanPertanian dan Pedesaan dalam Era OtonomiDaerah. Pusat Penelitian dan PengembanganSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Erwidodo. 1990. Panel Data Analysis of FarmLevel Efficiency, Input Demand and OutputSupply of Rice Farming in West Java,Indonesia. Ph.D. Thesis. Michigan StateUniversity, USA.

Hutabarat, B. 1988. Analisis Elastisitas Produksiterhadap Masukan pada Usaha Tani Padi diSulawesi Selatan. Prosiding Patanas:Perubahan Ekonomi Pedesaan menujuStruktur Ekonomi Berimbang (F. Kasryno,A. Suryana, A. Djauhari, P. Simatupang, B.Hutabarat, dan Chairil A. Rasahan (Ed.).Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.

Kasryno, F. 1986. Supply of rice and demandfor fertilizer for rice farming in Indonesia.Jurnal Agro Ekonomi 5(2): 27−42.

Pasandaran, E., I W. Rusastra, and B. Rachman.1990. Wage Rate, Employment and Welfarein Rural Java. Paper Presented in Workshopon Rural Income and Employment inIndonesia. University of Wollongong, NSW,Australia, 6−8 February 1990.

Pusat Penelitian dan Pengembangan SosialEkonomi Pertanian. 1996. Bank Data Struk-tur Pendapatan Rumah Tangga PedesaanPanel Petani Nasional. Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan SosialEkonomi Pertanian. 2000. Bank DataTingkat Upah Usaha Tani Padi, PanelPetani Nasional. Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,Bogor.

Rachman, H.P.S. 1986. Pendugaan FungsiKeuntungan dan Analisis Efisiensi EkonomiRelatif Usaha Tani Padi Sawah (StudiBeberapa Desa di Jawa Barat). ThesisMagister Sain, Fakultas Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor.

Rusastra, I W. 1995. A Profit Function Ap-proach in Estimating Input Demand, OutputSupply and Economic Efficiency for RiceFarming in Indonesia. Ph.D Dissertation, UPLos Banos, Philippines.

Rusastra, I W., R. Kustiari, dan E. Pasandaran.1997. Dampak penghapusan subsidi pupuk

terhadap permintaan pupuk dan produksipadi nasional. Jurnal Agro Ekonomi 16(1dan 2): 31−41.

Sawit, M.H. 1985. Fungsi respons dan fungsipermintaan tenaga kerja. Jurnal Agro Eko-nomi 4(1): 1−10.

Sidhu, S.S. and C.A. Baanante. 1979. Farm levelfertilizer demand for Mexican wheat varietiesin the Indian Punjab. Am. J. Agric. Econ.61(1): 445−462.

Sugianto, T. 1982. The Relative EconomicEfficiency of Irrigated Rice Farms, WestJava, Indonesia. Ph.D. Thesis. Universityof the Illinois at Urbana-Champign, USA.

Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Strukturpenguasaan tanah dan hubungannya dengankesejahteraan petani. Prosiding PerspektifPembangunan Pertanian dan Pedesaan dalamEra Otonomi Daerah. Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,Bogor.

Wardana, P., Mulyadi, and C.T. Aragon. 2001.Economic efficiency of rice farmers in arainfed lowland environment before andduring the financial crisis. Jurnal AgroEkonomi 19(1): 85−105.

Yotopoulus, P.A., L.J. Lau, and W.L. Lin. 1976.Microeconomic output supply and factordemand function in the agriculture of theProvince of Taiwan. Am. J. Agric. Econ.58(2): 333−340.