ekonomi migas 2

7

Click here to load reader

Upload: rikasusantiii

Post on 17-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

EKONOMI MINYAK DAN GAS (1)

Hingga kini bahkan hingga sepuluh tahun lagi atau mungkin saja lebih dari itu peranan dari minyak dan gas bumi (migas) dilihat dari kepentingan perekonomian Indonesia masih tetap besar. Walaupun pada saatnya Indonesia akan terpaksa menjadi negara net importir minyak (Indonesia jadi net importir pada 2003, bahkan setahun sebelumnya penulis sudah memperkirakan kondisi tersebut, Red), karena jumlah hasil produksi minyak mentah Indonesia, khususnya, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kebutuhannya.Tetapi peran Migas dalam roda perekonomian Indonesia akan tetap besar, hanya saja harus diimpor dan semakin banyak membutuhkan devisa untuk mengimpornya, masalahnya segala bahan baku atau energi pembangkit listrik atau mesin-mesin industri masih menggunakan BBM.Tetapi sekiranya Indonesia mampu membangun beberapa kilang minyak bumi terutama untuk tujuan ekspor berarti masih cukup berperan bagi perekonomian Indonesia, terutama karena adanya nilai tambah dengan cara mengolah minyak mentah impor yang hasil produksinya juga bisa untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri sebagai penggerak industri dan ekonomi yang semakin meningkat (namun, kenapa selama 20 tahun tidak ada pembangunan kilang baru? apakah benar, karena masih didoktrin Indonesia kaya akan minyak sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam mengatasi kebutuhan minyak dalam negeri? atau sengaja, karena kue di sektor ini sangat manis sehingga menggiurkan beberapa pihak sehingga rakyat tidak perlu mengetahui bahwa dari minyak mentah dapat menjadi beberapa produk yang memiliki nilai tambah?, Red).Mudah-mudahan saja Indonesia tidak terlalu cepat menjadi negara net importir minyak bumi dan masih tetap menjadi negara penghasil dan pengekspor minyak mentah dari hasil produksi, masalahnya yang harus disadari bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka, minyak dan gas bumi Indonesia telah banyak dikuras untuk membiayai pembangunan negara-negara penjajah. Walau sifatnya terselubung atau tidak nampang (undisguised), tetapi setelah anggota-anggota OPEC bangkit dari berbagai belenggu serta tipu daya negara maju lewat perusahaan minyak raksasanya, maka mulailah terasa bahwa minyak dan gas bumi sebenarnya milik siapa.Jauh sebelum OPEC terbentuk pada bulan September 1960, negara maju atau industri bisa berpesta pora dengan harga minyak yang sangat murah karena minyak dikuras secara berlebihan, pengadaan atau penawaran minyak dunia boleh dianggap melimpah sedangkan permintaannya sedikit, sudah pasti harga minyak pada waktu OPEC belum dibentuk di Baghdad, maka mudah sekali produksi serta harga minyak OPEC dipermainkan oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa milik negara-negara industri/besar yang juga sebagai pengimpor minyak terbesar di dunia (apakah perlu belajar dari perusahaan minyak raksasa milik negara maju? Meski pengimpor minyak, tapi bisa menghasilkan hasil produk selain minyak dari pengolahan minyak yang memiliki nilai tambah, Red).Oleh karena itu, pada waktu OPEC OPEC belum terbentuk, nampaknya kalau negara maju/industri, terutama negara pengimpor minyak menghendaki agar minyak dunia murah atau turun, maka pasti mereka berupaya lewat perusahaan-perusahaan minyak raksasanya untuk memompa produksi minyak di berbagai negara anggota OPEC khususnya, tentu saja produksi minyak dunia dalam sekejap saja pasaran dunia banjir minyak. Harga minyak pasti merosot tajam dan pada gilirannya pajak serta royalti negara penghasil minyak juga semakin kecil.Harus diingat bahwa setelah Perang Dunia II berakhir, maka begitu banyak negara-negara yang dijajah kemudian merdeka, mereka mulai bangkit membangun bangsa dan negaranya. Mereka mencoba menumbuhkan serta menjalankan roda-roda perekonomian mereka agar bisa hidup jauh lebih baik dibandingkan pada waktu mereka masih dijajah, bahkan mereka terus berupaya membangun terutama bagi mereka yang kaya akan sumber daya alamnya seperti migas, emas dan hasil tambang lainnya. Termasuk juga mereka kaya akan aneka sumber daya alam lainnya, seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian dan lain-lain.Karena bagaimanapun mereka terus berupaya agar mereka bisa juga hidup setaraf/setingkat dengan kehidupan bangsa-bangsa di negara maju yang umumnya sebagai penjajah yang berhasil menguras aneka rupa sumber daya alam negara yang dijajah. Layaklah, jika negara-negara berkembang mulai memanfaatkan aneka rupa sumber daya alamnya untuk membiayai pembangunan di segala sektor, bidang dan regional, seperti halnya yang terjadi di Indonesia selama ini terutama sejak adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tahun pertama 1969/70 pada masa Orde Baru.Walau pada tahun pertama Repelita I itu harga minyak dunia masih sekitar US$2 per barel. Baru setelah harga minyak dunia melonjak sejak perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang terjadi dan sangat menguntungkan bagi Indonesia yang sedang butuh banyak dana untuk pelaksanaan Pelita I dan seterusnya. Karena harga minyak dunia terus melonjak untuk itulah pemanfaatan sumber daya alam seperti hasil migas semakin ditingkatkan dan dikuras, hanyasayangnya dana dari hasil migas seolah-olah tidak diinventasikan kembali dalam usaha migas, terutama untuk dana pembangunan kilang-kilang minyak bumi khususnya untuk tujuan ekspor.Oleh karena dengan alasan Indonesia masih kekurangan dana untuk pembangunan nasionalnya, sedangkan sumber daya alam seperti migas masih berada di perut bumi, maka layak akhirnya dalam awal Orde Baru terbukalah peluang besar bagi investor asing untuk mencari serta menghasilkan migas terutama dengan cara sistem Production Sharing Contract/PSC (kontrak bagi hasil).Sejak awal Pelita I mulai nampak betapa besarnya peranan migas dalam perekonomian Indonesia, baik dilihat dari hasil jumlah serta jenis-jenis minyaknya, juga yang terpenting berupa hasil devisa dari ekspor migas yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia.Masalahnya di satu pihak peran migas bisa sebagai pemenuh kebutuhan yang sangat penting, artinya bagi kebutuhan bahan bakar atau energi di dalam energi, terutama untuk menghidupkan roda perekonomian di sektor industri, sektor angkutan serta di sektor perdagangan maupun perhotelan dan lain-lain, juga migas sebagai bahan baku di sektor industri terutama di bidang industri petrokimia dalam negeri, maupun sebagai sumber yang sangat besar perannya dilihat dari devisa ekspor maupun dari pendapatan dalam negeri yang selalu terdapat dalam setiap APBN.Tidak mengherankan kalau dunia migas selalu banyak orang ingin tahu. Seperti OPEC, hampir setiap orang dari berbagai keahlian seperti ingin tahu saja terhadap kebijakan yang akan atau dijalankan OPEC. Bahkan banyak tokoh dunia yang berusaha agar OPEC segera hancur atau bubar, jika OPEC hancur yang tinggal hanya perusahaan Super Multi nasionalnya yang bisa merajalela dan terus menekan harga minyak dunia (apakah perang jadi solusinya?, Red).Kepentingan EkonomiSejak 1893 hingga 1982, jumlah kumulatif produksi minyak mentah Indonesia telah mencapai sekitar 10,4 miliar barel (De Goyler and Mac Naughton: 1982 dan OPEC, Annual Statistical Buletin 1982), ini membuktikan bahwa usi pencarian serta menghasilkan minyak di Indonesia telah lebih dari 100 tahun, walau nyatanya minyak terus mengalis dan belum habis-habisnya juga.Pada 1982 cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 9,6 miliar barel dari jumlah cadangan minyak bumi Indonesia sebanyak itu hanya sekitar 1,39 persen dari jumlah cadangan minyak dunia atau hanya sekitar 2,1 persen dari cadangan minyak OPEC pada tahun yang sama (nah, siapa yang bilang Indonesia kaya akan minyak kemudian didoktrin seperti itu? dari dulu memang cuman ada sekitar 1-2 persen cadangan minyaknya dari cadangan minyak dunia, Red).Sebagai catatan bahwa minyak mentah Indonesia yang berasal dari Kalimantan sebelum pecah Perang Dunia I ternyata telah digunakan di dalam industri petrokimia di Eropa, yakni untuk menghasilkan nitro toluene (wah, salah satu bahan baku dinamit/bahan peledak, Red), dengan demikian berarti bahwa sudah sejak lama ternyata minyak bumi Indonesia di samping digunakan sebagai bahan bakar atau energi, juga digunakan di dalam upaya pengembangan industri petrokimia Eropa.Di samping minyak mentah juga, Indonesia mampu menghasilkan gas bumi, pada 1972 cadangan gas bumi Indonesia yang terbukti sebesar 155,8 triliun meter kubik, sedangkan produksi kotornya hanya 4.147 juta meter kubik, preoduksi bersihnya (netto) hanya sebesar 1.234 juta meter kubik atau berarti sebanyak 2.913 juta meter kubik yang tidak dimanfaatkan, tetapi hanya dibakar percuma (sering yang disebut dengan istilah flare/flaring, Red), dengan kata lain lebih dari 70 persen produksi gas bumi kotornya pada mulanya hanya dibakar percuma (kenapa tidak terpikir untuk bangun pipa gas? Kalau alasannya belum ada teknologi yang memadai, haruskah menunggu hingga 30 tahun kemudian? Atau memang lebih gampang diekspor saja? Supaya pembagian kuenya jelas, Red).Baru setelah adanya pengaruh yang sangat besar, karena harga minyak dunia begitu mahal di pasaran dunia, karena akibat terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka pemanfaatan gas bumi di dunia semakin meningkat jumlahnya. Ini berarti upaya pencarian besar-besaran lapangan/ladang gas bumi di dunia semakin banyak pula. Begitu pula upaya menghasilkan serta memanfaatkan gas bumi di Indonesia, terutama yang unassociated gasnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan ekspor berupa LNG khususnya.Ternyata pihak Jepanglah yang berhasil merangkul Pertamina untuk bekerja sama dalam upaya memenuhi kebutuhan energi Jepang, baik sebagai pengganti atau upaya diversifikasi pemanfaatan energi di Jepang, di samping upaya Jepang memanfaatkan energi bersih seperti gas bumi. Karenanya, Jepanglah sebagai pengimpor terbesar LNG Indonesia, ini berarti suatu peluang bagi Indonesia untuk membiayai pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonominya yang ditunjang dengan semakin banyaknya devisa ekspor LNG dan LPG.Peran gas bumi bagi perekonomian Indonesia semakin meningkat karena gas bumi bukan hanya sebagai komoditas ekspor yang menghasilkan devisa, serta pendapatan dalam negeri dari gas bumi, juga yang terpenting gas bumi sebagai bahan baku untuk pengembangan industri petrokimia khususnya yang berkenaan dengan pupuk urea.Pupuk urea merupakan penunjang utama bangkitnya Indonesia sebagai penghasil beras yang cukup baik, ini berarti berkat keberhasilan Indonesia memanfaatkan gas bumi sebagai bahan baku pembuat pupuk, khususnya pupuk urea yang sangat dibutuhkan dalam produk pertanian pangan, terutama padi. Layaklah akhirnya Indonesia mampu swasembada beras yang justru masalah kekurangan pangan khususnya, beras sebagai suatu penghalang besar yang ikut menjatuhkan pemerintahan Orde Lama (dan kemudian hanya terfokus sebagai bahan baku pupuk, apakah tidak pernah terpikir, saat itu, gas sebagai energi seperti yang dilakukan Jepang?, Red).Pengembangan produksi dan pemanfaatan gas bumi Indonesia yang semakin meningkat pesat terbukti dengan keadaan pada 1982 dimana jumlah produksi gas bumi Indonesia terus meningkat menjadi 31.490 juta meter kubik. Produksi netto sebesar 19.640 juta meter kubik, yang digunakan re-injeksi sumur-sumur minyak sebanyak 6.589 juta meter kubik dan yang dibakar sebanyak 5.261 juta meter kubik. Dari gambaran pemanfaatan gas bumi untuk di re-injeksi sumur-sumur minyak ini, berarti peran gas bumi juga untuk meningkatkan produksi minyak bumi, sekaligus sebagai sumber devisa dan penghasil BBM.Pada gilirannya, baik langsung maupun tidak langsung, gas bumi yang digunakan untuk menghasilkan minyak dari sumur-sumur minyak yang membutuhkan bantuan tekanan dari gas bumi agar minyak bumi bisa dihasilkan lagi, berarti akan menghasilkan produksi dan sekaligus menambah peranna bagi perekonomian Indonesia.Dari gambaran 1982, membuktikan bahwa jumlah gas bumi yang dibakar percuma hanya sebesar 16,71 persennya dari produksi kotor gas bumi Indonesia, oleh karena itulah untuk mengurangi jumlah gas bumi yang dibakar percuma itu supaya terus diupayakan peningkatan pemanfaatan gas bumi semakin semaksimal mungkin. Masalahnya, dilihat dari cadangan gas bumi terbukti pada 1982 saja diperkirakan besarnya cadangan gas bumi Indonesia sekitar 838,3 triliun meter kubik, layak jika jumlah itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.Terjadinya peningkatan penemuan-penemuan cadangan baru baik minyak maupun gas bumi, karena semakin banyaknya usaha-usaha pencarian minyak bumi Indonesia bauk yang dilakukan Pertamina sendiri maupun hasil kerjasama antara Pertamina dan pada kontraktor migas asing khususnya yang melakukan operasi di Indonesia.Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.sumber: http://www.sejarahmigas.co.vu/2013/11/gambaran-ekonomi-dari-migas-bagian-1.html