ekonomi buddha

Upload: adi-wibowo

Post on 20-Jul-2015

202 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I Pendahuluan Kata ekonomi tidak asing lagi terdengar, apalagi di negara Indonesia yang penuh problema kemiskinan. Melihat adanya kemiskinan yang tumbuh subur tentunya menimbulkan banyak pertanyaan bagaimana hal itu dapat terjadi. Kemiskinan tersebut tentunya berkaitan dengan konsep ekonomi yang diterapkan. Berbicara mengenai ekonomi sekarang ini berarti membicarakan ilmu ekonomi modern. Karena ada modern tentunya ada konsep ekonomi lama, salah satunya adalah konsep ekonomi Buddhis. Akan menjadi menarik apabila membahas kearifan ekonomi Buddhis, oleh karena untuk mencari kesejahteraan materi sekaligus berbicara moral yang keduanya dipahami berlawanan pada umumnya. Ekonomi buddhis adalah Pendekatan secara spiritual untuk sebuah Ekonomi, hal itu digunakan untuk menguji kejiwaan manusia tentang rasa kegelisahan dan emosi secara langsung terhadap aktivitas ekonomi. Hal itu dilakukan untuk menghapuskan kebingunan antara apa yang benar-benar bermanfaat dan berbahaya di bidang ekonomi dan nantinya membuat manusia untuk lebih dewasa dalam beretika. Konsep ekonomi buddha adalah penghidupan atau mata pencaharian yang benarbenar sesuai dengan Jalan Utama Berusa Delapan. Dengan mengerti ilmu ekonomi hendaknya dapat mengurangi permasalahan ekonomi yang sedang tumbuh subur. Maka dari itu, penulis akan membahas konsep ekonomi dalam Buddhisme dalam paper ini. Pembahasan Ilmu ekonomi dalam agama Buddha tidak bersifat materialistis. Tujuan adalah bukan untuk melipat gandakan keuntungan materi melainkan salah satu usaha untuk memurnikan watak buruk manusia. Sehingga diharapkan pekerjaan menjadi pembentuk kepribadian yang baik, sedangkan hasil materi adalah akibat logis. Orang materialis akan mementingkan barang dan hasil, sedangkan Buddhisme bertitik tolak pada proses dan pembebasan. Pengertian Ekonomi Buddhis Meskipun demikian ekonomi Buddhis lebih tepat disebut sebagai jalan tengah. Ekonomi Buddhis bukan ekonomi modern (materialistik) dan bukan ekonomi tradisional (tidak berubah). Hasil baik atau buruk bukan dilihat dari ukuran materi tetapi dilihat sikap individu terhadap hasil materi. Schumacher (1994: 55) berpendapat, Bukan harta kekayaan yang merupakan penghalang untuk mencapai pembebasan, tetapai cinta kepada kekayaan itu bukannya menikmati segala yang dapat dinikmati, melainkan haus akan yang dapat dinikmati. Maka dari itu, ekonomi Buddhis menekankan pada pemikiran sederhana dan tanpa kekerasan. Ekonomi Buddhis juga mempertimbangkan

penggunaan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam perlu mempertimbangkan kelangsungan sumber daya alam, misalnya, menebang pohon diimbangi dengan penanaman pohon. Selain itu, penggunaan sumber daya alam memerlukan pengkategorian penggunaan yang tepat. Contohnya, penggunaan bahan bakar mempunyai banyak pilihan, antara lain; batu bara, kayu, dan minyak, maka yang hendaknya dipilih adalah kayu karena dapat diperbarui. Dengan kata lain, ekonomi Buddhis mempertimbangkan keberlangsungan hubungan manusia dengan alam. Keterkaitan antara konsumsi dan pertimbangan faktor lainnya dapat dijelaskan sesuai hukum sebab akibat. Maka dari itu, ekonomi Buddhis tidak hanya berhenti ketika konsumsi terjadi. Melainkan pertimbangan sebab dan akibat dari konsumsi tetap menjadi pertimbangan. Konsumsi agar tidak menimbulkan kerusakan yang parah perlu adanya kebijaksanaan dari konsumen. Salah satu pertimbangannya adalah dorongan dari diri manusia sendiri, meliputi; Tanh adalah keinginan terhadap objek-objek yang menyenangkan, dan Chanda adalah keinginan untuk kebaikan/kebahagiaan. Tanh diarahkan menuju perasaan sehingga membawa pada pencarian objek-objek yang mengikuti kepentingan pribadi dan didukung serta dikembangkan oleh kebodohan batin. Chanda diarahkan menuju manfaat dan membawa pada usaha dan perbuatan serta refleksi kebijaksanaan. Berdasarkan dua jenis dorongan tersebut, tindakan konsumsi hendaknya berdasarkan Chanda. Chanda akan mengurangi konsumsi yang berlebihan tetapi menunjukkan rasa puas (positif). Payutto (2005: 37) berpendapat, Rasa puas adalah suatu kualitas baik yang seringkali disalah-artikan. Berkaitan dengan bekerja, ekonomi Buddhis memandang bekerja paling sedikit memiliki tiga fungsi, yaitu: 1. memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya. 2. mengurangi egoisme dengan kerja bersama-sama. 3. menghasilkan barang dan jasa untuk kehidupan yang layak. Dari pekerjaan diharapkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, tetapi juga untuk mendapat kepuasan atas dasar dorongan Chanda. Tujuan bekerja berdasarkan dorongan kerja adalah perbuatan dan hasil yang muncul dari perbuatan tersebut. Hasil yang dimaksud bukan berupa gaji, tetapi hasil tersebut adalah konsekuensi alami dari hasil bekerja. Di lain pihak, jika bekerja atas dorongan Tanh maka pekerja hanya akan berorientasi gaji, dan seringkali cara-cara yang digunakan melalui cara-cara yang tidak baik. Meskipun demikian, ajaran Buddha tetap mengambil jalan tengah dalam hal bekerja, dapat berorientasi pada hasil materi tetapi tidak menjadi dorongan utama.

BAB II Dasar-Dasar Buddha Bagian ini akan mengkaji secara singkat hubungan antara ontologi Buddha dengan ajaranajaran praktis yang berfungsi sebagai dasar etika ekonomi buddhis. Ada Empat kebenaran mulia untuk dasar tersebut antara lain: a. Dukkha Dukkha bersumber kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika), yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh kenikmatan baru di sana-sini

(tatratatrabhinandini), yaitu : 1. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu ( kamatanha ) 2. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran ( bhava-tanha ) 3. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau pemusnahan diri ( vibhava-tanha ). Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhlukmakhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama; segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan. b. Nibbana Nibbana adalah suatu tempat khusus tanpa penderitaan, hanya terdapat kebahagian yang tak terbatas. Tempat ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan 10 paramita (kedermawaan, kesusilaan, peninggalan kehidupan duniawi, kebijaksanaan, kegigihan, kesabaran, kejujuran, kebulatan tekad, kasih-sayang, dan ketenangan bathin) di beribu-ribu kehidupan yang lalu. Orang-orang maju di generasi zaman sekarang melihat Nibbana sebagai halangan untuk kemajuan ekonomi dan sosial, sebagai sesuatu yang seharusnya tidak diselidiki, juga tidak untuk disinggung sedikitpun.

c. Pattica Samuppada Paticcasamuppada merujuk pada pemunculan (dan penghentian) yang saling berkaitan dari semua benda yang ada, yakni mereka muncul dan lenyap dikarenakan oleh sebab dan kondisi. Ini berarti semua benda yang ada adalah terkondisi dan tidak ada sesuatu apapun yang tidak berubah, kekal abadi. d. Kamma Kamma (Pli) atau Karma (Sansekerta) artinya "perbuatan". Agama Buddha memandang hukum kamma sebagai hukum semesta tentang sebab akibat dan sebagai hukum moral. Dalam aspeknya sebagai hukum semesta tentang sebab akibat, hukum ini menerangkan bahwa segala sesuatu yang timbul baik itu berupa jasad organik maupun non organik, pasti mempunyai sebab; atau dengan kata lain yakni tiada sesuatu yang timbul tanpa ada sebab sebelumnya. Istilah kamma' berarti perbuatan / tindakan, suatu perbuatan dilakukan selalu diawali oleh kehendak (cetana). Jadi apabila ada unsur kehendak (cetana) maka hukum kamma akan berproses. Kehendak (cetana) ini dapat melalui pikiran, ucapan dan tindakan jasmani. Hasil dari perbuatan yang telah dilakukan selalu berada dalam dua sisi, yaitu sisi baik (phala) atau sisi buruk (vipaka). Apabila kita dapat menolong seseorang sehingga akan menghasilkan sebuah persahabatan baru maka perbuatan ini disebut kamma baik (phala) tetapi bila sebalikanya karena kita sering berdusta sehingga tak ada seorangpun yang mau bergaul maka ini disebut dengan kamma buruk (vipaka) Secara sekilas pendapat umum mengatakan bahwa Kamma = Nasip, tetapi apakah benar demikian?, sudah tentu tidak. Perbedaan antara kamma dan Nasip terletak di sifatnya yakni bahwa sifat dari kamma dapat diubah sedangkan sifat dari nasip adalah mutlak. Seseorang yang lahir dalam keluarga miskin (nasip), namun oleh karena dia seorang pekerja yang ulet serta jujur maka dia mampu merupah kondisi ekonomi dari miskin menjadi sejahtera (kamma).

Agama Buddha tidak memerima doktrik nasip karena doktrin nasip akan membuat kita selalu pasrah sehingga keinginan untuk merubah menuju yang lebih baik berat untuk dilakukan karena bila ada kejadian yang menimpa kita, maka kita akan berucap " Ini memang takdir/nasip'ku ", akhirnya timbul rasa putus asa.

Konsep Ekonomi Buddhis Menurut para ahli Ekonomi buddhis tidak hanya mempetimbangkan nilai-nilai etika dari suatu kegiatan ekonomi , tetapi juga berjuang untuk memahami realitas dan mengarahkan kegiatan ekonomi pada keharmonisan dengan hal seperti apa adannya. Dalam Anguttara Nikaya IV, 285 Sang Buddha menjabarkan bahwa keberhasilan usaha kita paling sedikit tergantung pada empat faktor utama yaitu: a. Utthanasampada Rajin dan bersemangat di dalam bekerja. Semangat, menduduki urutan pertama untuk menentukan kesuksesan kita karena pekerjaan kita tidak akan berhasil bila dikerjakan dengan setengah hati. Unsur dalam semangat adalah keinginan untuk menjadi orang nomor satu di lingkungan kita . Selain keinginan menjadi orang nomor satu, uang, kekuasaan dan status juga dapat memacu semangat kita. Semangat bekerja akan mudah didapat bila jenis pekerjaan yang dilakukan adalah menjadi kesenangan kita atau kalau dapat bahkan sejalan dengan hobby atau bakat kita. Dalam menghadapi situasi ekonomi saat ini yang sangat ketat persaingannya maka kepandaian saja bukanlah satu-satunya jaminan keberhasilan namun KETRAMPILAN atau KEMAMPUAN KHUSUS menjadi factor penting menuju kesuksesan, disamping kerja keras, pelatihan, pengalaman dan strategi, tentu saja. Buddha Dhamma memandang kerja itu paling sedikit mempunyai tiga fungsi, yaitu: 1. Memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya. 2. Agar orang dapat mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain untuk melaksanakan tugasnya. 3. Menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak. Kerja hendaknya dijadikan sumber kesenangan, kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas, sarana untuk mengungkapkan potensi diri, dan mengembangkan bakat seseorang. Pekerjaan akan menjadi sarana membentuk watak, memupuk persaudaraan dengan sesama manusia dan juga menyejahterakan kehidupan kita.

b. Arakkhasampada Penuh hati-hati menjaga kekayaan yang telah diperoleh. Memelihara kesuksesan adalah hal pokok kedua yang kadang diremehkan oleh sebagian orang yang telah merasa berhasil dalam

usahanya. Menjaga kesuksesan di sini termasuk menjaga SISTEM YANG DIGUNAKAN dan HASIL YANG DIDAPAT serta berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi. Meningkatkan sistem yang dipakai dan sekaligus akan meningkatkan hasil produksi kita dalam menejemen modern dikenal dengan istilah SWOT - Strength, Weakness, Opportunity, Threat. Hal serupa juga telah diuraikan caranya oleh Sang Buddha dalam salah satu unsur Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu DAYA UPAYA BENAR. Evaluasi ini disebutkan sebagai empat cara (Padhana) yang terdapat dalam Anguttara Nikaya II, 16 : Sangvarappadhana : Usaha agar kekurangan yang BELUM dimiliki tidak timbul dalam diri kita, bandingkan dengan Opportunity. Pahanappadhana : Usaha untuk menghilangkan kekurangan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Weakness. Bhavanappadhana : Usaha untuk menumbuhkan kelebihan yang BELUM dimiliki, bandingkan dengan Threat. Anurakkhappadhana :Usaha untuk mengembangkan kelebihan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Strength. Jadi, setelah mencapai keberhasilan suatu usaha hendaknya kita mau mencari faktor-faktor yang menyebabkannya dan kemudian berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi, sedangkan bila menemui kegagalan pun haruslah ia dijadikan sahabat kita.Kegagalan itu ibarat persimpangan jalan yang paling penting menuju kerja yang lebih termotivasi.

c. Kalyanamittata Memiliki teman yang bersusila Dalam pengertian Buddhis, teman dan lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh cukup besar untuk kemajuan usaha kita. Teman tersebut akan mampu memberikan ide-ide segar dan dukungan moral agar kita maju dalam usaha. Digha Nikaya III, 187 memberikan kriteria dasar teman yang dapat memajukan usaha kita sebagai berikut : 1. Teman yang mampu dan mau membantu didalam berbagai cara. 2. Teman yang simpati di kala suka dan duka. 3. Teman yang mampu dan mau memperkenalkan kita pada hal-hal yang bermanfaat untuk kemajuan usaha kita.

4. Teman yang memiliki perasaan persahabatan yaitu dapat memberikan kritik membangun dan jalan keluarnya, serta dapat memberikan pujian yang tulus agar memberikan dorongan semangat. Sedangkan agar dapat memperoleh serta membina teman yang baik dan juga termasuk rekanan kerja yang sesuai, Anguttara Nikaya II, 32 menguraikan hal-hal perlu kita laksanakan : 1. Dana : Kerelaan 2. Piyavaca : Ucapan yang menyenangkan dan halusA 3. tthacariya : Melakukan hal-hal yang berguna untuk orang lain 4. Samanattata : Memiliki ketenangan batin, tidak sombong

d.

Samajivita Hidup sesuai dengan pendapatan, tidak boros dan juga tidak kikir. Materi dalam Agama Buddha

bukanlah musuh yang harus dihindari, namun ia juga bukan pula majikan yang harus kita puja. Hendaknya kita bersikap netral terhadap materi serta mampu mempergunakannya sewajarnya sesuai dengan kebutuhan. Digha Nikaya III, 188 mengajarakan penggunaan materi yang seimbang dilakukan dengan membagi keuntungan yang didapat dalam beberapa bagian : 50% : dipakai untuk menambah modal usaha 25% : digunakan untuk membiayai hidup sehari-hari 25% : disimpan sebagai cadangan di saat darurat, untuk berdana dan kegiatan sosial lainnya. Dengan menggunakan rumus di atas, kemewahan dan kekikiran menjadi relatif sifatnya. Kita tidak akan gampang mengatakan seseorang hidup bermewah-mewah ataupun sebaliknya kikir dengan hanya melihat sepintas pengeluarannya. Semua pengeluaran hendaknya disesuaikan dengan pandapatan sehingga dengan demikian pastilah kemajuan ekonomi tercapai. Salah satu kesalahan yang dilakukan kebanyakan dari kita ialah kurang mengendalikan pengeluaran padahal dengan menekan biaya serendah mungkin akan memaksimalkan keuntungan. Tugas yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan pancapaian saat ini adalah : 1. Semangat dan kerja keras menghasilkan kekayaan. 2. Perawatan dan perhiasan menambah kecantikan.

3. Melaksanakan pekerjaan pada saat yang sesuai menjaga kesehatan. 4. Persahabatan sejati menumbuhkan kebajikan. 5. Pengendalian indria menjaga kehidupan suci. 6. Menghindari sengketa menumbuhkan persahabatan. 7. Pengulangan menghasilkan pengetahuan. 8. Bersedia mendengar dan bertanya menumbuhkan kebijaksanaan. 9. Mempelajari dan menguji memperdalam Buddha Dhamma. 10. Kehidupan yang benar menghasilkan kelahiran di alam-alam sorga. Sang Buddha membekali kita dalam melakuakan pekerjaan apapun, yaitu dengan: 1. Semangat, munculnya semangat harus didukung dengan mengerti apa tujuankita mengerjakan suatu pekerjaan itu. 2. Hendaknya kita harus bias menjaga hasil usaha kita, yaitu dengan merawatnya. 3. Hendaknya kita harus mempunyai teman atau lingukngan yang mendukung, yang bias membantu supaya pemeliaraan tersebut berjalan terus. Tema yang baik mendorong kita bertambah maju dengan menganjurkan hal-hal yang baik, tetapi teman yang tidak baik justru menarik kita untuk selalu mundur dengan menganjurkan hal-hal yang tidak baik yang akan memerosotkan moral dan menghanculkan hasil usaha kita dapatkan dengan susah payah. 4. Hendaknya kita bias menggunakan hasil tersebut secara bijaksana. Menggunakan hasil tersebut dengan tidak terlalu pelit tetapi juga tidak terlalu boros. Konsep ekonomi dalam agama buddha adalah 1) bekerja keras tanpa membuang-buang waktu mereka yang sangat berharga untuk mendapatkan uang, 2) menabung untuk masa depan untuk menopang keluarga, 3) memenuhi tugas dan kewajiban hati-hati dengan mengeluarkan uang dari apa yang dihasilkan dengan tanpa boros.

BAB III Pengaruh Ekonomi Buddhis Secara Individual Konsep ekonomi Buddhis juga tampak jelas dalam bagian Jalan Utama Berusa Delapan, yaitu: mata pencaharian benar. Mata pencaharian benar bukan bertujuan untuk menghasilkan keuntungan materi yang besar, tetapi berorientasi pada banyaknya kebaikan yang dihasilkan. Materi yang dihasilkan ditujukan untuk memenuhi empat kebutuhan untuk eksistensi manusia. Empat kebutuhan pokok ialah makanan, pakaian, tempat berteduh, dan obat-obatan. Di lain pihak, Buddha tidak melarang individu menjadi kaya dan berkelimpahan harta (lebih dari cukup untuk empat kebutuhan pokok) selama harta kekayaan dapat dipahami dan digunakan secara benar. Seseorang yang mencari kekayaan hendaknya tidak hanya membawa ke kebahagiaan duniawi (mundane), tetapi juga di atas duniawi (transcendent). Mundane meliputi: mencari kekayaan secara benar dan jujur; memenuhi kebutuhan diri sendiri; dan berbagi dengan orang lain dan banyak berbuat baik. Transcendent meliputi menggunakan kekayaan tanpa keserakahan, tidak melekat, mewasdai bahayanya, dan memiliki pengertian yang memelihara kebebasan jiwa. Maka dari itu, seseorang hendaknya bijaksana dalam memperoleh, menyimpan, menggunakan, dan menetapkan sikap mental terhadap kekayaan duniawi. Kegiatan ekonomi juga mencakup kegiatan produksi. Menurut Buddhisme, kegiatan produksi bukanlah menciptakan, melainkan merubah bentuk menjadi bentuk lain. Perubahan tersebut melalui penghancuran bentuk lama dan pembentukan bentuk baru. Penghancuran dan pembentukan dapat memiliki sifat baik dan buruk. Baik apabila menghasilkan bentuk yang bermanfaat dan berdampak kebahagiaan, contohnya kegiatan produksi yang memenuhi empat kebutuhan pokok. Sebaliknya, buruk apabila menghasilkan produk yang dapat merugiakan dan menjadikan kehidupan semakin menderita, contohnya produksi senjata api, minuman keras, dan rokok. Produksi buruk di dorong oleh Tanh ,seringkali menimbulkan persaingan (kompetisi) yang tidak baik. Produksi baik didorong oleh chanda dan menghasilkan kompetisi yang baik dan kerjasama. Menurut para ahli Ekonomi Buddha tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai etika dari suatu kegiatan ekonomi, tetapi juga bertujuan untuk memahami realitas dan mengarahkan kegiatan ekonomi pada keharmonisan dengan hal seperti apa adanya. Misalkan kita mempertimbangkan permintaan untuk mensupply rokok, dan orang-orang beranggapan bahwa rokok adalah tren masa kini maka dimasukkannya rokok tersebut ke dalam pasar dan dibeli dan dikomsumsi oleh masyarakat. Ketika di komsumsi, permintaan puas dan biasanya tidak ada masalah yang menganggu

tentang tanggung jawab setelah di komsumsi. Tapi ekonomi buddha lebih dari itu, dalam ekonomi buddha harus menyelidiki bagaimana tren ini mempengaruhi tiga aspek yang saling terkait dengan keberadaan manusia secara individu, masyarakat dan lingkungan di sekitar. Khusus untuk peningkatan konsumsi rokok, ekonom buddha mencoba untuk menguraikan bagaimana peningkatan ini berakibat pada tingkat polusi di lingkungan, dampak terhadap perokok pasif dan perokok aktif serta bahaya kesehatan yang di timbulkan oleh rokok tersebut, sehingga dengan

mempertimbangkan etika tersebut maka akan didapatkan suatu sisi ekonomi yang berdampak baik bagi semua masyarakat. Pengaruh Ekonomi Buddhis Secara Global Dalam globalisasi situasi yang sulit adalah menciptakan, di agama Buddha landasan filosofis dan penekanan pada kasih sayang menempatkan pengikut yang mendalam ajaran dalam posisi yang unik untuk memimpin jalan keluar. Tidak hanya Buddhisme dapat menyediakan alat-alat intelektual yang diperlukan untuk menentang lanjut globalisasi tetapi yang lebih penting, dapat membantu menerangi jalan menuju manusia berdasarkan struktur skala - prasyarat untuk tindakan berakar pada kebijaksanaan dan belas kasih. Bagaimana kita bisa membuat penilaian bijaksana jika skala ekonomi begitu besar sehingga kita tidak dapat menerima dampak dari sebuah tindakan? Bagaimana kita bisa bertindak karena kasihan ketika skala begitu besar sehingga rantai sebab dan akibat yang tersembunyi, yang menyebabkan kita untuk sadar berkontribusi terhadap penderitaan makhluk hidup lain? Meskipun jawaban Buddhisme penawaran, Budaya Barat banyak telah lambat untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi mengganggu globalisasi. Di bagian ini jelas karena orang Barat secara umum telah diterima dengan sangat sedikit informasi akurat tentang dampak ekonomi global, terutama di kondisi saat ini. Alasan lain mungkin kurangnya kejelasan tentang fakta bahwa ajaran Buddha mengacu pada keadaan dunia sebagaimana adanya, dalam dan dari dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh intervensi manusia. Dengan kata lain, mengacu pada alam, bukan buatan yang dibangun teknologi dan sistem yang korup oleh ekonominya. Tantangan bagi Ekonomi Buddha adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip Buddhis diajarkan berabad-abad yang lalu, di zaman lokal sosial dan ekonomi interaksi, ke dunia yang sangat kompleks dan semakin global di yang sekarang kita hidup. Buddhisme dapat membantu kita dalam situasi yang sulit dengan mendorong kita untuk menjadi penuh kasih dan tanpa kekerasan dengan diri kita sendiri serta orang lain. Banyak di antara kami menghindari pemeriksaan yang jujur dari hidup kita karena takut mengekspos kami kontribusi untuk masalah global.

Namun, setelah kita menyadari bahwa itu adalah kompleks global ekonomi yang menciptakan masyarakat terputus, kekurangan psikologis, dan kerusakan lingkungan, Buddhisme dapat

membantu kita untuk fokus pada sistem dan kekerasan struktural, bukan mengutuk diri kita sendiri atau orang lain dalam sistem itu.

BAB IV Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Ekonomi Buddhis adalah kegiatan ekonomi yang didasarkan pada etika. Etika baik didorong oleh Chanda dan berdampak pada kebahagiaan duniawi dan linear dengan di atas duniawi. Etika buruk didorong oleh Tanh dan berdampak pada keburukan dan penderitaan. Pada akhirnya baik atau buruk dari kegiatan dan hasil ekonomi bergantung pada individu yang menjalaninya. Dalam ekonomi, Buddhisme mengambil jalan tengah sebagai dasar konsep ekonominya. Selain itu, kegiatan ekonomi memperhatikan sebab-akibat yang berdampak baik pada semua pihak, termasuk alam. Hendaknya umat Buddha menjadi kaya dengan cara-cara sesuai etika sehingga dapat mendapat kebahagiaan duniawi. Dengan kekayaan yang berlebih hendaknya dapat berbagi dengan sesama lebih banyak dan dapat dengan tenang menjalani kehidupan spiritual.

Daftar Pustaka Saputra, Andi. 2011.Konsep Ekonomi dalam Agama Buddha. Jakarta Helena, 1997. Buddhist engagement in the global economy. Schmacher, EF. Buddhist Ekonomics. Payutto, P.A. 2005. Ekonomi Buddhis. Jakarta