ekologi peneluran dan intensitas pemanfaatan … · kabupaten asmat, papua richard gatot nugroho...

161
EKOLOGI PENELURAN DAN INTENSITAS PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: nguyendung

Post on 08-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EKOLOGI PENELURAN DAN INTENSITAS

PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys

insculpta Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP

KABUPATEN ASMAT, PAPUA

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Peneluran dan Intensitas

Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) di

Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua adalah karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Richard Gatot Nugroho Triantoro

NRP. E 351100151

ABSTRACT

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO. Nesting Ecology and

Utilization Intensity of Pig-nosed Turtle at Vriendschap River Asmat Regency,

Papua. Under direction of MIRZA D. KUSRINI dan LILIK B. PRASETYO.

Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of

southern Papua. Land clearing for human development and high hunting of

natural resource affect the condition of forest ecosystems and put pressure on pig-

nosed turtle population, while the scientific information in Indonesia is still

lacking. In effort to obtain information of pig-nosed turtle in Indonesia, the study

was conducted to determine the nesting ecology and intensity utilization of pig-

nosed turtle in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried out

in 8 – 25 November 2011 during nesting season. Transect methods were used to

get data on nesting ecology, while unstructured interview and observation

techniques be used to assess the intensity of pig-nosed turtle utilization by

communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua. Results

showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is

clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the

Vriendschap River). High density of nests were built near vegetation cover

compared to area without vegetation. Females prefer sands with the presence of

vegetation cover for nesting habitat. The intensity of utilization is very high for

eggs (> 75%), whereas females turtles were captured only local consumption. Egg

harvesting is done for the whole nest without exception and females turtles were

captured simultaneously while collecting eggs.

RINGKASAN

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO. Ekologi Peneluran dan

Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat, Papua. Dibimbing oleh MIRZA D. KUSRINI dan LILIK B.

PRASETYO.

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah satu

jenis labi-labi di Indonesia yang hanya hidup di wilayah Selatan Papua.

Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman terutama

akibat perburuan yang tidak terkontrol. Pengelolaan terhadap Labi-labi moncong

babi harus segera dilakukan untuk menjaga kestabilan populasinya di alam dan

mendukung pemanfaatan berkelanjutan. Di Indonesia, informasi yang dibutuhkan

untuk mendukung pengelolaannya masih sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut

maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ekologi peneluran

dan intensitas pemanfaatannya. Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah

: 1) jumlah induk bersarang, jumlah sarang dan pola penyebaran sarang, 2) biologi

peneluran, 3) pemilihan habitat bersarang, 4) wilayah pemanfaatan adat C.

insculpta, 5) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem

ekonomi di lokasi pemanfaatan, 6) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 7)

pengumpulan telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.

Metode yang digunakan untuk ekologi peneluran adalah metode survei

dengan sistem transek, sedangkan untuk intensitas pemanfaatan yang digunakan

adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur dan

teknik observasi. Analisis deskriptif dilakukan terhadap sarang peneluran, biologi

peneluran, dan intensitas pemanfaatan. Pola sebaran jejak induk dan sarang

dianalisis menggunakan metode ratio ragam dan indeks, sementara habitat

persarangan dianalisis menggunakan ArcView 3.3 dan Microsoft office excel

2007. Tekstur pasir diperoleh dari hasil analisis di laboratorium tanah IPB.

Parameter fisik lingkungan yang mempengaruhi jumlah jejak induk dan sarang

dianalisis menggunakan Regresi linier.

Jumlah jejak induk (induk bersarang) yang terdata selama waktu penelitian

adalah sebanyak 543 jejak dimana 19 jejak terdapat di wilayah rawa dan 524 jejak

terdapat di wilayah sungai. Jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 131 sarang

dengan sebaran 7 sarang berada di wilayah rawa dan 124 sarang terdapat di

wilayah sungai. Sarang yang dibangun di wilayah Vriendschap mempunyai jarak

yang lebih jauh dari tepi sungai apabila dibandingkan dengan jarak sarang yang

didapati di wilayah peneluran di PNG dan Utara Australia. Analisis terhadap pola

sebaran jejak induk menunjukkan pola sebarannya adalah mengelompok, begitu

pula pola sebaran yang didapati pada sarang. Pengelompokan jejak induk dan

sarang terjadi pada wilayah Obokain yang posisinya berada ditengah dari panjang

Sungai Vriendschap.

Umur atau tingkat kedewasaan induk dapat dilihat dari ukuran karapasnya.

Rata-rata panjang karapas lengkung adalah 48 cm dan panjang karapas tegak lurus

adalah 44 cm. Sarang Labi-labi moncong babi cukup dangkal dengan lubang

permukaan yang kecil karena kedalaman rata-rata hanya mencapai 17 cm dengan

xii

diameter rata-rata sarang di permukaan hampir mencapai 12 cm. Dibandingkan

dengan ukuran Labi-labi moncong babi di wilayah Kikori (PNG) yang aktifitas

pemanenan juga tinggi, panjang kerapas Labi-labi moncong babi dari wilayah

Vriendschap lebih panjang dari panjang kerapas yang terdapat di Kikori. Kualitas

telur yang dihasilkan dari wilayah Vriendschap juga sedikit lebih baik dari

wilayah Kikori. Pada sarang yang digali, tidak ditemukan adanya telur abnormal

seperti yang umumnya ditemukan pada telur penyu.

Kepadatan jejak induk dan sarang pada pasir peneluran yang tidak terdapat

tutupan vegetasi lebih rendah dibandingkan kepadatan jejak induk dan sarang

pada pasir peneluran yang terdapat terdapat tutupan vegetasi. Untuk setiap luasan

pasir peneluran tidak bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk sebesar 4,19/ha

dan kepadatan sarang sebesar 0,23/ha, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh

kepadatan jejak induk sebesar 5,74/ha dan kepadatan sarang sebesar 2,76/ha.

Pada setiap 1 Km panjang pasir (perimeter) diperoleh kepadatan jejak induk pada

pasir tidak bervegetasi sebesar 13,63 jejak/Km dan kepadatan sarang sebesar 0,75

sarang/Km, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk

sebesar 18,70 jejak/Km dan kepadatan sarang sebesar 9 sarang/Km.

Kompleksitas bentuk bentang pasir (fractal dimension), keteraturan bentuk

permukaan pasir (shape index), dan ukuran tekstur pasir bukan merupakan dasar

bagi induk Labi-labi moncong babi untuk melakukan aktifitas peneluran. Analisis

regresi menunjukkan bahwa pemilihan pasir peneluran dengan adanya tutupan

vegetasi memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah jejak induk dan jumlah

sarang (P-value jejak = 0,001, R-Sq (adj) jejak = 21,6%; P-value sarang = 0,000,

R-Sq (adj) sarang = 40,8%; α = 0,05; n = 48).

Wilayah pemanfaatan telur di Vriendschap secara adat terbagi atas lima

(5) wilayah yang meliputi Bor (rawa) yang berada dibawah adat suku Betkuar,

Bor (sungai), Obokain yang berada dibawah adat suku Diai dan Dini, dan Indama

dan Sumo yang berada dibawah adat suku Momuna. Wilayah pemanfaatan telur

merupakan wilayah yang jauh dari lokasi kampung masyarakat. Kondisi tersebut

menyebabkan tidak terjadinya pemanfaatan lahan yang intensif pada wilayah

pemanfaatan ini, selain karena sifat masyarakat lokal yang dalam memenuhi

kebutuhannya hidupnya masih dominan bergantung dari ketersediaan sumber

daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dari tumbuhan oleh masyarakat lokal

di lokasi pemanenan meliputi sagu dan pucuk rotan, sedangkan dari satwa liar

meliputi kura-kura, buaya, babi hutan, kasuari, ular, ikan, dan ulat sagu.

Pengelolaan pemanenan telur pada wilayah Bor (rawa) dan Obokain didapati

adanya kerjasama dengan pencari telur dari luar komunitas masyarakat adat,

sedangkan pada wilayah Sumo tidak didapati kerjasama tersebut. Perburuan telur

dan kerjasama yang terjadi menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan

yang meliputi sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan

langsung tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli.

Intensitas pemanenan sarang (telur) termasuk kelas sangat tinggi yaitu

mencapai 100% karena keseluruhan sarang yang ditemui di seluruh wilayah

pemanenan dibongkar, digali, dan telurnya diambil seluruhnya tanpa menyisakan

sebutir telur dalam sarang alaminya. Pemanenan telur dilakukan sebelum

matahari terbit (jam 04.00 WIT). Pengecekan sarang dilakukan dengan menusuk-

nusuk pasir menggunakan tongkat yang ujungnya diberi besi. Sarang yang

ditemukan ditandai dan menjadi milik kelompok yang menemukan. Induk yang

ditemukan saat pengecekan sarang masih berada di pasir, ikut ditangkap untuk

dikonsumsi. Jumlah induk yang ditangkap tidak ada ketentuan tergantung dari

jumlah kelompok (keluarga), persediaan pada hari selanjutnya apabila tidak

ditemui induk, dan kapasitas angkut perahu. Pemanfaatan telur lebih diutamakan

sebagai sumber ekonomi dengan menjual dalam bentuk barter atau hasil tetasan

(tukik). Konsumsi telur sebagai sumber makanan hanya dilakukan terhadap telur-

telur yang diprediksi rusak akibat proses pemanenan. Pemanfaatan pada induk

ditemukan berbeda dengan pemanfaatan pada telur karena pemanfaatan induk

didasarkan pada keinginan untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber

makanan (protein) dibanding untuk mendapatkan uang (dijual).

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

EKOLOGI PENELURAN DAN INTENSITAS

PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys

insculpta Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP

KABUPATEN ASMAT, PAPUA

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

xii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

Judul Tesis : Ekologi Peneluran dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi

Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886)

Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua

Nama Mahasiswa : Richard Gatot Nugroho Triantoro

Nomor Pokok : E351100151

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : 4 Oktober 2012 Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala berkat dan kasih-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian

yang dilaksanakan bulan November 2011 ini memilih tema ekologi peneluran dan

pemanfaatan satwa liar dengan judul “Ekologi Peneluran dan Intensitas

Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886)

di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat”. Tesis ini dibuat dalam dua

makalah terpisah untuk memudahkan penulisan dan pemahaman substansinya.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini,

M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing.

Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Nirsatmanto, M.Sc dalam

memperlancar aksesibilitas ke lokasi penelitian dan Bapak Yohannes Wibisono,

S.Hut yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih

juga disampaikan kepada bapak (almarhum), ibu, istri dan anak, serta seluruh

keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-

rekan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) 2010, penulis sampaikan

terimakasih atas segala kebersamaan dan bantuannya saat menjalani pendidikan

pascasarjana.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan memberi

kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam oleh manusia.

Bogor, Oktober 2012

Richard Gatot Nugroho Triantoro

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 24 Februari 1972 sebagai

anak ke tiga dari pasangan Albertus Magnus Soemarlan dan Ibu Albertina Sri

Rahayu. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan,

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, lulus tahun

1996. Tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Konservasi Biodiversitas

Tropika pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya tahun 2012.

Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan dan ditempatkan sebagai

peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sejak tahun 2001, dengan

jabatan terakhir saat menempuh pendidikan magister sebagai peneliti muda.

Bidang penelitian yang menjadi profesionalisme penulis adalah Konservasi

Sumber Daya Alam dengan spesifikasi satwa liar terutama dari kelompok reptil.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxvi

PENGANTAR PARIPURNA ............................................................................... 1

Makalah I :

EKOLOGI PENELURAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys

insculpta) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA

1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 9

2. METODE PENELITIAN .............................................................................. 13

2.1. Lokasi dan Waktu ..................................................................................... 13

2.2. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 13

2.3. Analisis Data ............................................................................................ 17

3. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 23

3.1. Hasil .......................................................................................................... 23

3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran ......................................... 23

3.1.2. Biologi Peneluran ............................................................................... 25

3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap ...................... 26

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension

dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index) ...................................... 26

B. Tekstur Pasir ....................................................................................... 26

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi ....................................................... 28

3.2. Pembahasan .............................................................................................. 30

3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys

insculpta ............................................................................................. 30

3.2.2. Biologi Peneluran Carettochelys insculpta ........................................ 36

3.2.3. Habitat Peneluran (Bersarang) Di Sungai Vriendschap ..................... 38

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension)

dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index) ...................................... 38

B. Tekstur Pasir ....................................................................................... 39

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi ....................................................... 41

3.2.4. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Peneluran Carettochelys

insculpta Di Sungai Vriendschap ....................................................... 47

4. SIMPULAN .................................................................................................... 51

xx

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 53

LAMPIRAN ......................................................................................................... 57

Makalah II :

INTENSITAS PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI

(Carettochelys insculpta) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN

ASMAT, PAPUA

1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 77

2. METODE PENELITIAN.............................................................................. 83

2.1. Lokasi dan Waktu .................................................................................... 83

2.2. Jenis Data ................................................................................................. 83

2.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 84

2.5. Analisis Data ............................................................................................ 85

3. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 87

3.1. Hasil ......................................................................................................... 87

3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta .................................. 87

3.1.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem

Ekonomi ............................................................................................. 88

3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta .................... 90

3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys

insculpta ............................................................................................. 92

3.2. Pembahasan .............................................................................................. 93

3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta .................................. 93

3.2.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem

Ekonomi ............................................................................................. 94

3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta .................... 99

3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys

insculpta ........................................................................................... 100

4. SIMPULAN .................................................................................................. 105

Daftar Pustaka ................................................................................................... 107

Lampiran ............................................................................................................ 111

Pembahasan Paripurna ..................................................................................... 115

Daftar Pustaka ................................................................................................... 127

Rangkuman Simpulan dan Saran .................................................................... 131

DAFTAR TABEL

Halaman

I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap .......... 24

I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap .. 25

I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3 wilayah

pemanfaatan di Sungai Vriendschap. ........................................................... 29

I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

berdasarkan luasan pasir .............................................................................. 28

I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi Moncong Babi di Sungai

Vriendschap.berdasarkan perimeter ............................................................. 28

I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan

vegetasi. ........................................................................................................ 29

I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah

Wamena (Pegunungan) .... 32

I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan beberapa

sungai di wilayah PNG dan Utara Australia ............................................... 35

I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap

dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia. ................... 36

I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-labi

moncong babi di Sungai Vriendschap.......................................................... 38

II.1 Kelas pemanfaatan sarang Labi-labi Moncong Babi ………..……………. 85

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara ................................... 4

2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap ............................................... 4

3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap............................ 6

I.1 Lokasi penelitian sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap.................................................................................................. 13

I.2 Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi .......................................... 14

I.3 Pengukuran kerapas induk Labi-labi moncong babi. ................................... 15

I.4 Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi. .................................. 15

I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap. .. 23

I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di sepanjang

Sungai Vriendschap. .................................................................................... 24

I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta pada

bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap. .............................. 24

I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di wilayah

Sungai Vriendschap ..................................................................................... 26

I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir peneluran di

sepanjang Sungai Vriendschap .................................................................... 29

I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di tepi sungai dan rawa

Vrienschap.................................................................................................... 40

I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)

di wilayah Sungai Vriendschap .................................................................... 42

I.12 Beberapa jenis vegetasi dominan penutup pasir peneluran Labi-labi

moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ............................................ 43

II.1 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di wilayah

Sungai Vriendschap. .................................................................................... 83

II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Labi-labi moncong babi pada

wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo di wilayah Sungai Vriendschap. .. 87

xxiv

II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan

pekerjaan ………………………………………………………………….. 89

II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanfaatan telur

Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ............................. 89

II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

berdasarkan (a) suku dan (b) kampung......................................................... 91

II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur Labi-labi

moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap. ........................................... 91

II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys insculpta di

wilayah Sungai Vriendschap. ..................................................................... 102

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

I.1 Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran Labi-labi moncong babi

(Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap. ......................... 59

I.2 Suhu lingkungan di wilayah Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat .......... 61

I.3 Jumlah sarang, jumlah jejak, luas pasir (area), perimeter, shape index,

fractal dimension, tekstur pasir dan luas tutupan vegetasi. .......................... 63

I.4 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap.................................................................................................. 65

I.5 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap.................................................................................................. 67

I.6 Analisis regresi jumlah sarang terhadap parameter luas pasir, perimeter,

shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi. .... 69

I.7 Analisis regresi jumlah jejak induk terhadap parameter luas pasir, perimeter,

shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi ..... 73

I.8 Titik sebaran sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat ......................................................................................... 77

II.1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai

Vriendschap.............................................................................................. 1117

1

PENGANTAR PARIPURNA

Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi, pig-nosed turtle)

termasuk dalam famili Carettochelyidae dan merupakan satu-satunya spesies dari

famili ini yang masih tersisa di dunia. Kura-kura ini merupakan salah satu jenis

berukuran besar dengan sebaran terbatas di Selatan New Guinea dan Australia

Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai Daly

pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al. 2000; Georges

dan Kennett 1989) dan di Indonesia (IUCN 2010) yang hanya terdapat di Papua

bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana.

C. insculpta merupakan satwa reptil yang hampir seluruh hidupnya selalu

di dalam air (aquatic) dan hanya ke darat saat bertelur saja. Habitat hidupnya di

Sungai Vriendschap meliputi rawa dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu,

cabang atau anak sungai, juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak

didapati pasir peneluran (Triantoro dan Rumawak 2010), sungai (termasuk

estuaria dan delta sungai), laguna rumput, rawa, danau, dan cekungan berair dari

dataran rendah dibagian selatan Papua New Guinea (Georges et al. 2006, 2008a),

sementara habitat penelurannya dilakukan pada pasir peneluran (sand bank) yang

terdapat di sepanjang sungai atau rawa. Pemilihan habitat terjadi ketika

ketersediaan habitat digunakan proporsional dan tipe habitat yang tersedia

berbeda pada setiap spesies (Rasmussen dan Litzgus 2010a).

Kebanyakan amfibi dan reptil bergerak relatif sedikit selama seumur hidup

mereka kecuali ketika mereka berkembang biak dan pada kura-kura, pergerakan

di habitatnya dapat disebabkan oleh adanya musim peneluran, perkawinan,

perubahan iklim, ketersediaan makanan, maupun persaingan dalam populasi,

sedangkan pergerakan meninggalkan habitat perairan dilakukan untuk menggali

sarang, mencari pasangan, melewati musim dingin, atau mencari habitat akuatik

baru ketika aliran atau kolam mengering (Vitt dan Caldwell 2009). Pola

pergerakan yang terjadi tidak sama antara jenis yang satu dengan jenis lainnya.

Pada jenis Map Turtles (Graptemys geographica), pola pergerakan di lingkungan

lotik (sungai St. Lawrence) dan lentik (danau Opinicon) memberikan perbedaan

dimana pola pergerakan atau daya jelajah pada lingkungan lentik (danau) tidak

2

dipengaruhi oleh ukuran klas reproduksi (betina dewasa, betina muda, dan jantan),

tetapi pada lingkungan lotik (sungai) betina dewasa mempunyai daya jelajah lebih

luas dan lebih besar dibandingkan betina muda dan pejantan (Carriére et al. 2009).

Pada lingkungan lahan basah (wet land), pergerakan perpindahan Chelodina

longicollis jantan dewasa diantara lahan basah dengan jarak yang ditempuh,

mempunyai perpindahan lebih panjang dibanding betina dewasa dan betina muda

karena ukuran tubuh kura-kura jantan yang kecil memberikan peranan penting

terhadap pergerakan pada lahan basah (Roe et al. 2009). Untuk jenis C. insculpta,

pergerakan dalam penggunaan pasir persarangan tidak berbeda antara betina

bertelur dan tidak bertelur tetapi C. insculpta betina mempunyai wilayah jelajah

lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002).

Musim peneluran C. insculpta di Sungai Vriendschap terjadi pada

pertengahan Agustus sampai pertengahan Desember (Triantoro dan Rumawak

2010). Di Sungai Daly, C. insculpta dapat bertelur dua kali dalam setahun musim

peneluran (Doody et al. 2000) dan melakukan aktifitas peneluran di malam hari

pada saat air pasang maupun pada saat air surut (Georges et al. 2008b). Sarang

yang dibangun di Sungai Vriendschap berdiameter 12 – 16 cm dengan kedalaman

18 – 23 cm (Triantoro dan Rumawak 2010), sedangkan kedalaman sarang di

Australia Utara berkisar 10 – 22 cm (Doody et al. 2000).

C. insculpta merupakan hewan omnivorous yaitu hewan yang

mengkonsumsi tumbuhan dan hewan lain sebagai sumber pakannya seperti buah

pandan batu, daun Melaleuca spp, biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous,

dan materi hewan yang meliputi siput air tawar (Thiaridae sp), Water boatmen

(Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes scutellaris Germ.), Hydrophilus

latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et

al. 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon Pandanus aquaticus, buah-

buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan

dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia)

(Georges dan Kennett 1989).

Di Indonesia, C. insculpta merupakan satwa dilindungi berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh

PP No. 7 Tahun 1999, dan dalam perdagangan dimasukkan ke dalam Apendix II

3

CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and

Fauna) (UNEP-WCMC 2011) dengan status Vulnerable oleh The IUCN Red List

of Threatened Species (IUCN 2010). Dengan status perlindungan tersebut kuota

terhadap C. insculpta belum bisa diberikan, namun yang terjadi di alam adalah

pemanenan terutama terhadap telurnya terus terjadi dari tahun ke tahun.

Pemanenan yang tinggi terhadap telur C. insculpta dari alam selama ini berasal

dari kawasan Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, tetapi sejauh mana tingkat

pemanfaatannya juga belum diketahui. Kondisi tersebut cukup disayangkan

mengingat informasi mengenai C. insculpta baik informasi dasar dan tingkat

pemanfaatannya di Indonesia masih sangat kurang. Tanpa adanya informasi

terhadap suatu jenis satwa maka dasar pengelolaannya masih sangat jauh dari

harapan karena informasi dasar mengenai populasi dan biologi suatu jenis

merupakan hal yang penting dalam pengelolaannya (Alikodra 2002).

Kawasan Sungai Vriendschap terdiri atas wilayah sungai dan wilayah

rawa dimana bagian hulunya bertemu dengan muara Sungai Baliem dan Sungai

Seng yang mengalir dari wilayah pegunungan, sedangkan bagian hilirnya (muara)

bertemu dengan muara Sungai Catarina. Anakan ataupun alur sungai yang

terbentuk saat banjir dan terputus di saat sungai surut sangat banyak didapati.

Tepian Sungai Vriendschap maupun di dalam kawasan rawanya, termasuk

didalamnya alur-alur sungai, terdapat kumpulan pasir (sandbank) yang sangat

berpotensi sebagai tempat peneluran atau persarangan kura-kura air tawar,

terutama dari jenis labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta). Panjang

Sungai Vriendschap mulai hulu (pertemuan dengan sungai Baliem dan Seng)

sampai muara (pertemuan dengan Sungai Catarina) adalah ± 110 km. Sebagai

gambaran panjang Sungai Vriendschap dan posisi kumpulan pasir di tepi sungai

dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

4

Sumber peta : Google earth (2011)

Gambar 1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara

Sumber peta : Google earth (2011) dikombinasi dengan hasil penelitian 2011

Gambar 2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap

Jarak Sungai Vriendschap dari Agats sebagai ibukota kabupaten Asmat

cukup jauh karena sebagian sudah berada atau berbatasan dengan wilayah

5

Kabupaten Yahukimo. Secara administratif belum disepakati antara Pemerintah

Daerah (Pemda) Kabupaten Asmat dengan Pemda Kabupaten Yahukimo, apakah

pemukiman (kampung) di Vriendschap masuk dalam wilayah administratif

Kabupaten Asmat atau Yahukimo, namun aksesibilitas masyarakat di

Vriendschap dalam menjual dan membeli kebutuhan hidup lebih banyak

dilakukan ke wilayah Kabupaten Asmat, seperti Jinak, Waganu, Atsy, Distrik

Akat, maupun sampai ke Agats sendiri. Saat sungai Vriendschap meluap

perjalanan dapat dilakukan dengan speed boat 40 PK sampai di lokasi pemanenan

telur, sedangkan apabila sungai surut perjalanan hanya dapat dilakukan sampai di

Kolam Tujuh dan dilanjutkan kembali menggunakan perahu tempel 15 PK atau

mesin Katinting. Kolam Tujuh merupakan nama sebuah tempat sebelum

memasuki Sungai Vriendschap yang dihuni oleh para pencari gaharu (terutama

masyarakat pendatang) sejak lama. Aktifitas utama masyarakat ditempat tersebut

adalah sebagai pencari dan penadah hasil gaharu dari masyarakat lokal, sedangkan

aktifitas lainnya adalah menjual berbagai kebutuhan kelontong (berdagang).

Pergerakan masyarakat kedalam, keluar dan selama di wilayah Sungai

Vriendschap hanya dilakukan menggunakan perahu dan hampir keseluruhan

perahu sudah menggunakan mesin (terutama) katinting. Kebutuhan terhadap

sarana transportasi tersebut menyebabkan ketergantungan terhadap kepemilikan

perahu bermesin sangat tinggi pada seluruh lapisan masyarakat. Kesulitan Bahan

Bakar Minyak (BBM) jenis bensin yang digunakan saat musim perburuan telur

maupun bukan musim perburuan, dan dalam menunjang aktifitas masyarakat antar

kampung, menuju ibukota distrik dan ibukota Kabupaten Agats, membuat

penggunaan mesin perahu didominasi oleh mesin katinting karena lebih irit, tidak

memerlukan oli sebagai campuran bensin, dan masih dapat digunakan walau

sudah pernah tenggelam ke dalam sungai. Gambaran rentang jarak Agats sebagai

ibukota kabupaten dengan wilayah sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar

3.

6

Gambar 3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap.

Wilayah Sungai Vriendschap merupakan wilayah terbuka, dataran rendah,

dengan ketinggian 9 – 65 m dpl mulai dari wilayah Bor (rawa) sampai wilayah

Sumo. Suhu lingkungan di pagi hari berkisar 23.5 – 26.2 ⁰C (Rata-rata = 24,6 ±

0.8) dengan kelembaban relatif berkisar 83 – 99% (Rata-rata = 92.0 ± 4.8), suhu

di siang hari berkisar 27.9 – 42.1 ⁰C (Rata-rata = 34.1 ± 4.2) dengan kelembaban

relatif berkisar 35 – 73% (Rata-rata = 55.1 ± 10.4), dan suhu di malam hari

berkisar 23.6 – 28.6 ⁰C (Rata-rata = 25.6 ± 1.1) dengan kelembaban relatif

berkisar 79 – 97% (Rata-rata = 89.3 ± 5.4).

Minimnya informasi dasar terkait jenis C. insculpta di Indonesia

mendorong penelitian ini dilakukan. Informasi yang dicari dalam penelitian ini

meliputi sebaran sarang yang dilakukan dengan pendekatan jumlah sarang, biologi

peneluran yang meliputi karakteristik morfologi induk betina, telur dan sarang,

serta mengetahui intensitas pemanfaatan telurnya oleh masyarakat. Hasil

penelitian disajikan dalam 2 (dua) bentuk makalah dengan judul yaitu :

I. Ekologi peneluran Carettochelys insculpta (Ramsay, 1886) di Sungai

Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui

7

karakteristik induk betina, ukuran sarang, ukuran dan jumlah telur dalam

aktifitas peneluran, pola sebaran sarang dan kepadatan sarang Labi-labi

moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah sungai Vriendschap,

Kabupaten Asmat, Papua.

II. Intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) di Sungai

Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui

intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)

yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang bermukim di sekitar

wilayah Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat, Papua.

Wilayah sebaran C. insculpta di Sungai Vriendschap sampai saat ini bukan

merupakan kawasan konservasi dan meliputi wilayah yang cukup luas. Sebaran

sarang dan habitat penelurannya juga menyebar dalam rentang yang cukup

panjang mengikuti alur Sungai Vriendschap dengan banyak alur-alur sungai yang

menyertai didalamnya. Disisi lain, jenis ini di Indonesia merupakan satwa yang

dilindungi karena wilayah sebarannya yang terbatas di Papua bagian selatan.

Walaupun termasuk jenis dilindungi, perburuan telur dan perdagangan illegal

anakannya terus terjadi dengan ditemukannya jenis ini di pasar penjualan satwa

dalam dan luar negeri. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat

berguna dalam :

1. Memberikan informasi terkait sebaran sarang dan pemilihan pasir peneluran

Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.

2. Memberikan informasi terkait biologi peneluran Labi-labi moncong babi di

wilayah Sungai Vriendschap.

3. Memberikan informasi terkait intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi

yang terjadi di wilayah Sungai Vriendschap

4. Menyusun manajemen pengelolaan Labi-labi moncong babi kedepannya

terkait pengelolaan wilayah (pemanfaatan dan perlindungan) dan kelestarian

jenis.

9

Makalah I

EKOLOGI PENELURAN Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) DI

SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA

(Nesting Ecology of Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) at Vriendschap River

Asmat Regency, Papua)

Richard Gatot Nugroho Triantoro

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Pascasarjana IPB

Email : [email protected]

ABSTRACT

Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of

southern Papua. Land clearing for human development affect the condition of

forest ecosystems and put pressure on C. insculpta, while the scientific

information in Indonesia is still lacking. In effort to obtain information of C.

insculpta in Indonesia, the study was conducted to determine the nesting ecology

of C. insculpta in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried

out in 8 – 25 November 2011 during nesting season by transect methods. Results

showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is

clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the

Vriendschap River). Nesting occurred during sunset (night) and in clear weather

(no rain). High density of nests were built near vegetation cover compared to area

without vegetation. Females prefer the sands with the presence of vegetation

cover for nesting habitat.

Key Words : Carettochelys insculpta, Papua, pressure, Vriendschap River, nesting

ecology

1. PENDAHULUAN

Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi) merupakan salah satu

jenis labi-labi di Indonesia yang hanya didapati hidup di wilayah Selatan Papua,

menyebar dari Danau Yamur di Kabupaten Kaimana sampai ke Merauke.

Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman yang

dapat terjadi seiring perkembangan pembangunan. Kebutuhan ruang untuk

pembangunan diberbagai bidang seperti pembukaan lahan untuk perkebunan,

pertanian, pemukiman (transmigrasi), pertambangan, pembangunan bendungan,

10

dan sarana transportasi yang berkembang pesat di Papua ikut mempengaruhi

kondisi ekosistem hutannya dengan cepat pula. Tekanan pada C. insculpta telah

meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Papua Barat (Indonesia)

dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan populasi manusia,

kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai

setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga

2010), sedangkan kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai

(DAS) di Australia Utara potensi memberikan dampak serius bagi populasi Labi-

labi moncong babi (Georges et al. 2008a). Tanpa disadari proses degradasi

habitat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menyebabkan

kehilangan atau kepunahan spesies. Dampak degradasi hutan terhadap hilangnya

spesies diungkapkan oleh Arief (2001) yang mengatakan bahwa sepetak hutan

kecil yang dirusak dapat mengakibatkan banyak spesies yang hilang sama sekali

atau punah secara lokal. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan fragmentasi

telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke jurang

kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009).

Di alam, Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang membuat sarang

di pasir, meletakkan telurnya pada sarang yang dibangun dan menyerahkan proses

penetasan sepenuhnya pada alam. Sarang-sarang C. insculpta umumnya terdapat

pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan

air (Georges et al. 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah

dimana pasir masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah,

didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada berbagai substrat

mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, sekumpulan pasir dengan

sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di

atas air (Doody et al. 2003b), pasir pada tepi sungai atau rawa, substrat pasir halus

sampai bercampur kerikil (Triantoro dan Rumawak 2010). Keberhasilan

penetasan telur-telurnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan seperti

faktor panas, tekstur pasir, kelembaban pasir, luas pasir, tutupan vegetasi pasir,

predator, rusaknya sarang dan telur akibat terendam air saat sungai meluap, dan

faktor pemangsa seperti babi hutan (Sus sp) dan biawak (Varanus sp).

11

Informasi terkait spesies C. insculpta di Indonesia sangatlah kurang walau

dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Dengan mengetahui informasi

terkait populasi, biologi peneluran, habitat hidup, perilaku bertelur, pemilihan

habitat persarangan, dan informasi pendukung lainnya, maka manajemen

pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan

baik. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam

penelitian ini dapat diketahui pola sebaran sarang dan biologi penelurannya.

Pengujian secara ekologi dilakukan untuk mengetahui informasi terkait

pola sebaran sarang dan biologi peneluran yang dapat menjadi indikator dalam

upaya pengelolaan dan konservasi C. insculpta kedepannya. Pertama, survei

dilakukan di sepanjang sungai dan rawa untuk mendapatkan jumlah sarang secara

akurat dan jumlah pasir peneluran, baik yang terdapat sarang maupun tidak

terdapat sarang. Pengukuran terhadap induk betina, sarang dan telur dilakukan

untuk melihat karakteristik morfologi induk, ukuran sarang, ukuran telur dan

jumlah telur terkait tingkat kedewasaan induk betina dan mengestimasi calon

anakannya. Jumlah sarang digunakan sebagai salah satu cara pendekatan terhadap

populasi induk C. insculpta maupun calon regenerasinya (anakan) di alam.

Kedua, menguji pola sebaran sarang apakah bersifat acak, homogen atau

berkelompok. Kepadatan sarangnya diuji berdasarkan luasan pasir dan perimeter

pasir pada pasir peneluran bervegetasi dan tanpa vegetasi. Pola sebaran dan

kepadatan sarang dapat memberikan informasi terkait wilayah bersarang

potensial.

Ketiga, menguji pemilihan habitat bersarang induk betina C. insculpta

terhadap pasir peneluran berdasarkan parameter lingkungan yaitu 1) apakah

pemilihan didasarkan atas luasan pasir peneluran, 2) apakah pemilihan didasarkan

atas perimeter (perimeter) pasir, 3) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk

bentang (fractal dimension) pasir, 4) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk

permukaan (shape index) pasir, 5) apakah pemilihan didasarkan atas tekstur pasir

(halus, sedang, kasar), dan atau 6) apakah pemilihan didasarkan atas luas tutupan

vegetasi pasir peneluran. Pada penelitian ini ingin diketahui parameter fisik

lingkungan yang paling mempengaruhi induk betina dalam memilih habitat pasir

penelurannya.

13

2. METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar I.1) yang

termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten

Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di rawa dan

sepanjang sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor,

Obokain, Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat

Betkuar. Penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011

dengan pertimbangan masih berada dalam rentang waktu puncak musim

peneluran.

Gambar I.1 Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap.

2.2. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan adalah metode survey (perjumpaan) dengan

sistem transek. Sebagai transek adalah panjang Sungai Vriendschap. Pendataan

dilakukan disepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah Bor (rawa)

dilakukan selama 4 hari (terdapat jejak dalam 3 hari dan sarang dalam 2 hari), di

14

wilayah Bor (sungai) dilakukan selama 2 hari (terdapat jejak dan sarang dalam 1

hari), di wilayah Obokain, Indama dan Sumo dilakukan selama 5 hari (terdapat

jejak dalam 5 hari dan sarang dalam 3 hari di Obokain, jejak dan sarang dalam 2

hari di Indama, dan jejak dan sarang dalam 3 hari di Sumo). Data yang

dikumpulkan meliputi sarang peneluran, biologi peneluran, dan habitat

persarangan. Pendataan dilakukan mulai jam 05.00 – 16.00 WIT. Sarang

peneluran terlebih dahulu di data kemudian dilanjutkan dengan pendataan habitat

persarangan. Pengukuran biologi peneluran dilaksanakan saat tidak melakukan

pendataan sarang peneluran dan habitat persarangan. Pengambilan data meliputi :

1. Data Sarang Peneluran

Jumlah sarang : menghitung jumlah sarang yang ditemui dan mengambil

titik-titik koordinat sarang peneluran menggunakan GPS pada setiap pasir

peneluran disepanjang Sungai Vriendschap. Sarang yang telah dihitung

kemudian ditandai untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda (double

counting).

Jejak induk : menghitung jejak induk yang naik pada pasir peneluran baik

jejak induk membuat sarang maupun tidak membuat sarang. Induk yang naik

ke pasir sering membuat jejak berputar-putar mulai saat naik dari tepi sungai

sampai kembali ke sungai, sehingga satu jejak induk dihitung sebagai satu

individu induk dengan mengikuti jejak yang dibuat pada saat naik ke pasir

sampai kembali ke sungai.

Keterangan : a. Jejak induk Labi-labi moncong babi; b. Sarang Labi-labi moncong babi

Gambar I.2. Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi.

Jarak sarang : mengukur jarak sarang peneluran dari tepi sungai. Jarak

sarang yang diukur adalah jarak sarang yang paling terdekat dari tepi sungai

atau air. Pengukuran dilakukan menggunakan roll meter (50 m) dengan

satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam satuan

terkecil milimeter.

15

2. Data Biologi Peneluran

Data biologi peneluran yang diambil meliputi ukuran karapas induk C.

insculpta, ukuran plastron, karakteristik telur, dan karakteristik sarang.

Pengukuran karapas induk C. insculpta mengacu pada metode pengukuran

karapas penyu menurut Bolten (1999) yang meliputi panjang karapas tegak

lurus (SCL : Straight Carapace Length) yang di ukur secara panjang tegak

lurus karapas, panjang karapas lengkung (CCL : Curved Carapace Length)

yang di ukur mengikuti panjang lengkung karapas, lebar karapas tegak lurus

(SCW : Straight Carapace With) yang di ukur mengikuti lebar tegak lurus

karapas dan lebar karapas lengkung (CCW : Curved Carapace With) yang di

ukur mengikuti lebar lengkung karapas. Plastron di ukur terhadap panjang

dan lebarnya. Pengukuran karapas dan plastron menggunakan roll meter (3

m) dengan satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam

satuan terkecil milimeter. Jumlah individu yang ditangkap dan berhasil diukur

sebanyak 14 ekor. Pengukuran SCL, CCL, SCW, CCW, dan plastron Labi-

labi moncong babi seperti terlihat pada Gambar I.3 dan I.4.

Gambar I.3. Pengukuran karapas induk Labi-labi moncong babi

Gambar I.4. Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi

Karakteristik telur dan sarang C. insculpta yang dikumpulkan meliputi jumlah

telur dalam satu sarang, jumlah telur normal dan abnormal dalam satu sarang,

c b

a

d

a. Pengukuran SCL

b. Pengukuran CCL

c. Pengukuran SCW

d. Pengukuran CCW

e

f

e. Pengukuran panjang plastron

f. Pengukuran lebar plastron

16

diameter telur normal dan abnormal, berat telur normal dan abnormal,

diameter sarang dan kedalaman sarang. Pengukuran diameter telur

menggunakan digital caliper dengan satuan nilai dalam millimeter. Telur

abnormal berbeda dengan telur normal dimana telur abnormal tidak

mempunyai kuning telur dan secara visual telur abnormal mempunyai ukuran

lebih kecil (biasanya setengah atau lebih kecil dari ukuran telur normal) bila

dibandingkan dengan telur normal, dan semakin kecil mendekati akhir

peneluran.

3. Data Habitat Persarangan

Habitat sarang peneluran Labi-labi moncong babi yang dimaksudkan adalah

sekumpulan pasir di tepi sungai atau rawa yang digunakan oleh Labi-labi

moncong babi untuk melakukan aktifitas bertelur. Data yang dikumpulkan

meliputi :

Luasan pasir : mengingat bentuk luasan pasir di alam tidak beraturan maka

luasan pasir dihitung berdasarkan titik-titik koordinat (tracking) terluar. Posisi

koordinat diambil menggunakan Global Positioning System (GPS). Pasir

yang di data adalah pasir yang terdapat sarang, pasir yang terdapat jejak, dan

pasir tanpa sarang dan jejak. Luasan masing-masing pasir peneluran akan

dihitung dan kemudian diakumulatif untuk mendapatkan luasan pasir

peneluran yang terdata disepanjang Sungai Vriendschap. Luasan pasir akan

dibedakan antara pasir di wilayah rawa dengan pasir di wilayah sungai.

Panjang pasir (Perimeter) : merupakan ukuran panjang pasir dalam meter

yang didapatkan dengan nilai indeks > 0 sampai tidak terbatas.

Bentuk bentang pasir (Fractal Dimension) : diperoleh dengan mengambil

titik koordinat tepi pasir menggunakan GPS untuk mendapatkan dimensi

bentuk pasir sarang peneluran. Nilai bentuk bentang pasir berupa nilai indeks

tanpa satuan dengan interval nilai indeks 1 ≤ Fract ≤ 2. Nilai 1 menunjukkan

bentuk pasir adalah sederhana dan bentuk semakin kompleks mencapai nilai 2.

Bentuk permukaan pasir (Shape Index) : diperoleh dalam bentuk nilai

indeks tanpa satuan dengan nilai indeks ≥ 1 sampai tidak terbatas. Nilai 1

menunjukkan bahwa bentuk permukaan pasir adalah teratur dan semakin

tinggi nilainya dari angka 1 menunjukkan semakin tidak teratur.

17

Tekstur pasir : analisa terhadap tekstur pasir dilakukan dilaboratorium tanah

Institut Pertanian Bogor. Analisa tekstur pasir dilakukan dari sampel pasir

pada keseluruhan pasir (site) yang di data yaitu sebanyak 48 area pasir

peneluran. Pendataan tekstur pasir dilakukan pada pasir yang terdapat sarang,

jejak maupun yang tidak terdapat sarang. Sampel diambil pada kedalaman 10

– 25 cm yang didasarkan pada kedalaman sarang labi-labi moncong babi

dengan cara mencampurkannya (mix). Hasil ditunjukkan dalam bentuk

ukuran butiran pasir berdasarkan metode penyaringan. Tekstur butiran pasir

diklasifikasikan berdasarkan kelompok yang meliputi pasir sangat halus (very

fine sand) 0,05 – 0,1 mm, pasir halus (fine sand) 0,1 – 0,25 mm, pasir sedang

(medium sand) 0,25 – 0,5 mm, pasir kasar (coarse sand) 0,5 – 1,0 mm, dan

pasir sangat kasar (very coarse sand) 1,0 – 2,0 mm (Gee dan Bauder, 1986).

Luas tutupan vegetasi : tutupan vegetasi di lakukan dengan mendata ada

tidaknya vegetasi penutup pada habitat peneluran. Luasan vegetasi penutup

dihitung pada setiap satu luasan pasir peneluran untuk mendapatkan luasan

tutupan vegetasi. Untuk luasan tutupan vegetasi yang besar atau luas,

pengukuran luas dilakukan dengan mengambil titik-titik koordinat tepi

vegetasi terluar menggunakan GPS kemudian dihitung luasnya menggunakan

ArcView 3.3, sedangkan untuk luasan tutupan vegetasi yang kecil dapat

diukur secara manual menggunakan roll meter (50 m). Untuk memudahkan

penghitungan luas tutupan vegetasi ang kecil secara manual, pendekatan

penghitungannya disesuaikan dengan bentuk tutupan vegetasi dilapangan,

apakah berbentuk lingkaran, persegi panjang, bujur sangkar, dan lain-lain.

Jika terdapat lebih dari satu luasan tutupan vegetasi dalam satu pasir peneluran

maka luasan tutupan vegetasinya merupakan kumulatif dari lebih dari satu

luas tutupan vegetasi yang ada.

2.3. Analisis Data

Analisis data secara deskriptif dilakukan untuk mengetahui struktur habitat

sarang peneluran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap.

Variabel-variabel yang di analisis terhadap jumlah sarang peneluran dan jejak

induk betina meliputi meliputi luasan pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk

18

bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur

pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir.

Nilai Shape Index (SHAPE), Fractal Dimension (FRACT) dan Perimeter

(PERIM) dicari dengan menggunakan rumus (McGarigal et al. 1995) sebagai

berikut :

Shape Index :

Vector

SHAPE : pij

2√π ₀ aij

Satuan : tidak ada; Kisaran nilai : SHAPE ≥ 1, sampai tidak terbatas

Fractal Dimension :

Vector

FRACT : 2 ln pij

ln aij

Satuan : Tidak ada

Kisaran nilai : 1 ≤ FRACT ≤ 2

Perimeter :

Vector

PERIM : pij

Satuan : Meter

Kisaran nilai : PERIM ≥ 0, sampai tidak terbatas

Proses mendapatkan nilai luasan pasir, Perimeter (PERIM), Fractal

Dimension (FRACT) dan Shape Index (SHAPE), diawali dengan membuat

polygon setiap pasir peneluran terlebih dahulu kemudian dianalisis menggunakan

ekstension Habitat Analysis dan Patch Analysis pada ArcView 3.3, sedangkan

untuk mendapatkan nilai luasan tutupan vegetasi menggunakan ArcView 3.3 dan

Microsoft office exel 2007. Nilai tekstur pasir didasarkan pada kelas ukuran

tekstur pasir mulai dari pasir sangat kasar sampai sangat halus berdasarkan hasil

analisis di laboratorium tanah IPB.

Analisis terhadap bentuk sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong

babi dilakukan menggunakan Metode rasio ragam dan Metode indeks (Ludwig

dan Reynolds 1988). Peubah yang diukur dalam menggunakan metode rasio

19

ragam adalah nilai tengah dan nilai keragaman. Rumus yang digunakan

berdasarkan metode rasio ragam adalah :

= = dan S² =

Dimana : = nilai tengah atau rata-rata

S2 = varians/keragaman

xi = jumlah individu

fi = frekuensi banyaknya jumlah individu ditemukan

n = jumlah total individu (jumlah sarang/jejak induk)

N = jumlah plot (jumlah pasir peneluran)

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk

Labi-labi moncong babi berdasarkan metode rasio ragam adalah :

Jika S² = X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi

adalah acak (randomly disperse)

Jika S² < X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi

adalah homogen/teratur (regularly disperse)

Jika S² > X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi

adalah mengelompok/agregat (contagiously disperse)

Dari nilai tengah dan nilai keragaman kemudian dilanjutkan dengan melihat

pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menggunakan

Metode indeks yang meliputi Index of Dispertion (ID), Index of Clumping (IC)

dan Green’s Index (GI) (Ludwig dan Reynolds 1988).

Index of Dispertion (ID) :

Untuk menghitung nilai Index of Dispertion (ID) dan nilai Chi-square (X2)

menggunakan rumus :

ID = S2

/ x dan X2 = ID (N - 1)

Dimana : = = dan S2 =

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-

labi moncong babi berdasarkan Index of Dispertion (ID) adalah jika :

xi

ii

f

fx .

N

n

x

1

.).(2

N

nxfx ii

xi

ii

f

fx .

N

n

1

.).(2

N

nxfx ii

20

ID = 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara

acak (randomly disperse)

ID < 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara

homogen (regularly disperse)

ID > 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara

mengelompok (contagiously disperse)

Index of Clumping (IC) :

Untuk menghitung nilai Index of Clumping (IC) digunakan rumus :

IC = (S2

/ x) – 1 = ID – 1 dimana : IC = Index of Clumping

ID = Index of Dispertion

Green’s Index (GI) :

Untuk menghitung nilai Green’s Index (GI) digunakan rumus :

GI = [(S2

/ x) – 1] / n-1 = IC / n-1 dimana : GI = Green’s Index

IC = Index of Clumping

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-

labi moncong babi berdasarkan Index of Clumping (IC) dan Green’s Index (GI)

adalah jika :

IC atau GI = 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong

babi adalah acak (randomly disperse)

IC atau GI < 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong

babi adalah seragam (regularly disperse)

IC atau GI > 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong

babi adalah mengelompok (contagiously disperse)

Untuk mengetahui nilai dari masing-masing variabel, dilakukan analisis

statistik Regresi Linier menggunakan software Minitab 16. Dari persamaan

regresi yang diperoleh kemudian dilakukan prosedur stepwise pada statistik

regresi agar diperoleh variabel mana yang paling memberikan pengaruh terhadap

jumlah sarang peneluran dan jejak induk Carettochelys insculpta.

21

Adapun persamaan regresi linier yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y1 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6

Y2 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6

Dimana : Y1 = Jumlah sarang Carettochelys insculpta

Y2 = Jumlah jejak induk Carettochelys insculpta di pasir

a = Nilai konstanta

b-g = Nilai setiap variabel

V1 = Variabel luasan pasir

V2 = Variabel panjang pasir (Perimeter)

V3 = Variabel bentuk bentang pasir (Fractal Dimension)

V4 = Variabel bentuk permukaan pasir (Shape Index)

V5 = Variabel tekstur pasir

V6 = Variabel luasan tutupan vegetasi

Untuk mengetahui validitas data yang diperoleh maka dilakukan tahapan-tahapan

pengecekan menggunakan minitab 16 sebagai berikut :

Analisis regresi linier awalnya dilakukan terhadap data yang diperoleh

langsung dari lapangan sehingga belum diketahui apakah data yang diperoleh

menyebar normal atau tidak.

Setelah didapat persamaan regresi dari data lapangan kemudian dilakukan

pengecekan kenormalan data menggunakan Kolmogorov-Smirnov pada

software minitab 16. Jika nilai P-value belum melebihi dari 0.05 (P-value ≤

0.05) maka data yang diperoleh belum menyebar normal dan apabila P-value

sudah melebihi dari 0.05 (P-value ≥ 0.05) maka data yang diperoleh sudah

menyebar normal

Apabila diperoleh data lapangan tidak menyebar normal maka dilakukan

transformasi data agar mendapatkan sebaran data yang normal. Setelah proses

transformasi data selesai dilakukan general regression dengan menggunakan

box-cox power transformation pada use optimal lambda dan pengecekan

kenormalan sebaran datanya kembali menggunakan Kolmogorov-Smirnov.

Jika setelah proses transformasi sebaran datanya menyebar normal maka

digunakan persamaan hasil regresi setelah transformasi tersebut, namun jika

setelah proses transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan

persamaan regresi yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum

22

transformasi maka digunakan persamaan model regresi dari data awal

(sebelum transformasi).

Tahap berikutnya yaitu mencari parameter terbaik yang mempengaruhi jumlah

sarang dan jejak induk betina dengan menggunakan metode stepwise. Hasil

yang diperoleh kemudian di cek kembali sebaran datanya normal atau tidak.

Apabila belum normal digunakan data transformasi dan melakukan general

regression menggunakan box-cox power transformation pada use optimal

lambda lalu diteruskan pengecekan kenormalan sebaran data transformasi

menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika setelah proses transformasi sebaran

datanya menyebar normal maka digunakan persamaan hasil regresi dengan

metode stepwise setelah transformasi tersebut, namun jika setelah proses

transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan persamaan regresi

yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum transformasi maka

digunakan persamaan model regresi hasil metode stepwise dari data awal

(sebelum transformasi).

Pada persamaan regresi ini dapat diketahui kontribusi variabel luasan

pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension),

bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi

penutup pasir, sehingga dapat ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap

jumlah sarang peneluran dan jarak sarang Labi-labi moncong babi dari air/sungai.

Sebaran sarang peneluran Carettochelys insculpta di sungai dan rawa

Vriendschap dilakukan berdasarkan titik-titik koordinat sarang yang di dapat.

Data titik-titik koordinat sarang peneluran kemudian digabungkan dengan data

koordinat kampung, distrik atau kabupaten yang diambil pula. Sebaran sarang

peneluran Labi-labi moncong babi dan wilayah administrasi (pemukiman)

kemudian diolah menggunakan perangkat lunak (software) ArcView 3.3.

23

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran

Total jejak C. insculpta berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak

terdapat di wilayah Bor (rawa) sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai

yang meliputi wilayah Bor, Obokain, Indama dan Sumo (rata-rata = 11.44 ±

34.11; kisaran = 0 – 201). Sedangkan total sarang yang terdata berjumlah 131

sarang dengan rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa (Bor) dan 124 sarang

terdapat di sepanjang sungai yang meliputi wilayah Bor (sungai), Obokain,

Indama dan Sumo (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Sebaran sarang

sarang Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada

Gambar I.5 dibawah ini.

Gambar I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap

Total jumlah jejak dan sarang C. insculpta pada keseluruhan pasir

peneluran yang berhasil di data pada wilayah Bor (Rawa), Bor (Sungai), Obokain,

Indama, dan Sumo disepanjang wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada

24

Gambar I.6, sedangkan jumlah sarang dan jejak induk harian dapat dilihat pada

Gambar I.7.

Gambar I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di

sepanjang Sungai Vriendschap

Gambar I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys

insculpta pada bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap

Hasil analisis terhadap pola sebaran sarang dan jejak induk C. insculpta

menunjukkan bahwa pola sebaran sarang dan jejak C. insculpta di Sungai

Vriendschap adalah berkelompok seperti yang terlihat pada Tabel I.1 dan Tabel

I.2.

Tabel I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap.

19 6

373

65 80

7 1

109

8 6

0

50

100

150

200

250

300

350

400

Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo

JejakSarang

3 4 0 0 0

102

121

1 18 4 7 11

40

271

3

195

56

7

020406080

100120140160180200220240260280

Jumlah sarang

Jumlah jejak

25

Nilai Pola sebaran sarang

x 2.75 S² = x acak

S² 232.957 S² < x homogen/teratur

S² > x berkelompok

ID = 1 acak

ID < 1 homogen/terarur

ID > 1 berkelompok

Clumping 83.712 IC/GI = 0 acak

Green 0.639 IC/GI < 0 homogen/teratur

IC/GI > 0 berkelompok

Metode Hipotesis

Ratio ragam

Indeks

Dispersi 84.712

Berkelompok

Berkelompok

Berkelompok

Tabel I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai

Vriendschap.

Nilai Pola sebaran Jejak

x 11.438 S² = x acak

S² 1163.31 S² < x homogen/teratur

S² > x berkelompok

ID = 1 acak

ID < 1 homogen/terarur

ID > 1 berkelompok

Clumping 100.706 IC/GI = 0 acak

Green 0.184 IC/GI < 0 homogen/teratur

IC/GI > 0 berkelompok

Metode Hipotesis

Ratio ragam Berkelompok

Indeks

Dispersi 101.706 Berkelompok

Berkelompok

3.1.2. Biologi Peneluran

Diameter rata-rata sarang yang dibangun adalah 11.91 ± 1.73 cm (n = 62,

kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38 ± 1.86 cm

(n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang adalah 20.05

± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34) dengan diameter rata-rata adalah 41.33 ±

1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ± 6.30

gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang yang

keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur Labi-

labi moncong babi yang tidak normal (abnormal). Telur normal adalah telur yang

ukurannya relatif seragam dan mengandung kuning telur sedangkan telur

abnormal adalah telur yang tidak mengandung kuning telur dengan ukuran yang

lebih kecil dari rata-rata ukuran normal. Rata-rata jarak sarang Labi-labi

moncong babi dari tepi sungai atau air di wilayah Sungai Vriendschap adalah

22.13 ± 12.79 m (n = 116, kisaran = 4.10 – 49.70).

Induk betina yang melakukan proses peneluran bervariasi dalam berat dan

ukuran. Karakteristik ukuran morfologi dari induk betina C. insculpta meliputi

26

rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14, kisaran = 10.43 – 13.38),

rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14, kisaran = 35 – 39),

rata-rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran = 27 - 31), rata-

rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14, kisaran =

46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ± 2.91 cm

(n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah 48.16

± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus kerapas

(SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36).

3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension)

dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)

Perimeter pasir yang didapat berkisar 0,099 – 2,281 km atau 99 – 2.281 m

( rata-rata = 0.74 ± 0.42 km), fractal dimension berkisar 0.991 – 1.243 (rata-rata =

1.073 ± 0.047) dan shape index berkisar 0.964 – 2.061 (rata-rata = 1.405 ± 0.253)

dari 48 pasir peneluran yang berhasil terdata di wilayah Sungai Vriendschap.

B. Tekstur Pasir

Dari 15 pasir di wilayah Bor (Rawa) dan 33 pasir di tepi sungai yang

meliputi wilayah Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didapati sebaran

tekstur pasir peneluran sarang di wilayah Sungai Vriendschap seperti tersaji pada

Gambar I.8.

Gambar I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di

wilayah Sungai Vriendschap

0 01

11

3

01

23

0 0 02

4 4

10

31

23

0 0 00 0

6

10 0

02468

1012

I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 -

0.25)

IV (0.25 -

0.1)

V (0.1 -

0.05)

VI (0.05 -

0.02)

Tekstur pasir (mm)

Bor (Rawa)

Bor (Sungai)

Obokain

Indama

Sumo

Σ

p

a

s

i

r

27

Mengacu pada penggolongan tekstur pasir menurut Gee dan Bauder

(1986) maka fraksi I adalah golongan pasir sangat kasar dengan ukuran butir pasir

berkisar 2 – 1 mm, fraksi II adalah golongan pasir kasar dengan ukuran butir pasir

berkisar 1 – 0.5 mm, fraksi III adalah golongan pasir sedang dengan ukuran butir

pasir berkisar 0.5 – 0.25 mm, fraksi IV adalah golongan pasir halus dengan

ukuran butir pasir berkisar 0.25 – 0.1 mm, fraksi V adalah golongan pasir sangat

halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.1 – 0.05 mm, fraksi VI adalah golongan

debu kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.05 – 0.02 mm, fraksi VII adalah

golongan debu sedang dengan ukuran butir pasir berkisar 0.02 – 0.005 mm, fraksi

VIII adalah golongan debu halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.005 – 0.002

mm, fraksi IX adalah golongan liat kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.002

– 0.0005 mm dan fraksi X adalah golongan liat halus dengan ukuran butir pasir

berkisar < 0.0005 mm. Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran yang

di data di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar I.8 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai

Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama

dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir

peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran,

tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat

kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI)

sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V)

sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor

(rawa) terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan

sebarannya di dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai)

dan Indama tekstur pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan

sedang. Sebaran tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit

dimana tekstur pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar,

sedang, halus dan debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas

dua kelompok pasir yaitu pasir sedang dan halus. Sebaran jumlah jejak dan

sarang C. insculpta pada 3 wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap yang

didasarkan pada tekstur pasir, disajikan pada Tabel I.3.

Tabel I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3

wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap

28

Sebaran jejak dan sarang berdasarkan tekstur pasir Total

Wilayah I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 - 0.25) IV (0.25 - 0.1) V (0.1 - 0.05) VI (0.05 - 0.02)

Jejak S a r a n g Jejak Sarang J e j a k Saran g J e j a k S a r a n g Jejak Saran g J e j a k S a r a n g Jejak Sarang

Bor 0 0 0 0 4 3 3 0 0 0 0 0 7 3

Obokain 155 1 7 0 3 1 201 106 0 0 6 0 372 108

Sumo 0 0 0 0 80 6 0 0 0 0 0 0 80 6

Tabel I.3 memperlihatkan bahwa potensi pasir dengan jejak induk yang

cukup banyak terdapat pada pasir sangat kasar (I) dan halus (IV) pada wilayah

Obokain dan pasir sedang (III) pada wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang

didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok pasir halus (IV) di wilayah

pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo. Potensi jejak induk labi-

labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang) menggambarkan bahwa

kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus berpotensi dijadikan

pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi induk labi-labi untuk melakukan

aktifitas bertelur.

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi

Total luasan pasir yang terdata dari 48 pasir peneluran adalah 1.156.823

m2 atau seluas 115,68 Ha dan total panjang perimeter adalah 35.518,37 m atau

sepanjang 35,52 Km. 15 pasir peneluran diantaranya didapati adanya tutupan

vegetasi dengan luas 416.128 m2 atau 41,6 Ha dan panjang perimeternya 12.778

m atau 12,78 Km. Didasarkan pada luasan pasir dan perimeter terdapat vegetasi

dan tanpa vegetasi, maka kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi

pada pasir peneluran di Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Tabel I.4 dan I.5.

Tabel I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap berdasarkan luasan pasir

Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan

Luas Total Pasir (Ha) 115.68

Luas Tot al Pasir (Ha) 115.68

Luas Total Pasir Ada Veg (Ha) 41.61 Luas Total Pasir Tdk Ada Veg (Ha) 74.07

Sarang Keseluruhan 132 1.14

Sarang Keseluruhan 132 1.14

Pasir bervegetasi 115 2.76 Pasir tdk bervegetasi 17 0.23

Jejak Keseluruhan 549 4.75

Jejak Keseluruhan 549 4.75

Pasir bervegetasi 239 5.74 Pasir tdk bervegetasi 310 4.19

29

Tabel I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap berdasarkan perimeter

Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan

Panjang Total Perimeter (Km) 35.52

Panjang Total Perimeter (Km) 35.52

Pjg Total Perim Ada veg (Km) 12.78 Pjg Total Perim Tdk Ada veg (Km) 22.74

Sarang Keseluruhan 132 3.72

Sarang Keseluruhan 132 3.72

Pasir bervegetasi 115 9.00 Pasir tdk bervegetasi 17 0.75

Jejak Keseluruhan 549 15.46

Jejak Keseluruhan 549 15.46

Pasir bervegetasi 239 18.70 Pasir tdk bervegetasi 310 13.63

Pada habitat pasir peneluran, sebagian terdapat tutupan oleh vegetasi dan

sebagian lagi bersih dari tutupan vegetasi. Dari 48 pasir peneluran yang terdata,

15 pasir peneluran (31.25%) diantaranya terdapat tutupan vegetasi sedangkan 33

pasir peneluran lainnya (68.75%) tidak tertutup oleh vegetasi dengan persentase

luas tutupan vegetasi pada pasir peneluran berbeda-beda yaitu berkisar 0.2%

sampai 49.05%. Sebaran pasir peneluran yang terdapat tutupan vegetasinya dapat

dilihat pada Tabel I.6 dan perbandingan luasan pasir peneluran dengan luas

tutupan vegetasi di sepanjang Sungai Vriendschap (termasuk rawa) dapat dilihat

pada Gambar I.9.

Tabel I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan

vegetasi.

Uraian Wilayah

Bor (rawa)

Pasir 1 MB 3 MB 5 LT 6 MB 6 LT 7 LT 8 LT 9 LT

Luas Pasir (m2) 89285.88 51871.21 69771.77 14130.35 8267.93 10255.38 19491.86 12548.22

Tutupan Vegetasi (m2) 4687.06 5749.87 5313.32 6930.86 339.66 633.68 521.226 1019.77

% Tutupan Vegetasi 5.25 11.08 7.62 49.05 4.11 6.18 2.67 8.13

Obokain Indama Sumo

Pasir 1 SS 3 SS 8 B 1 MK 5 MK 4 KW 6 KW

Luas Pasir (m2) 7295.95 32180.58 25196.69 17632.66 21333.31 23137.13 13729.40

Tutupan Vegetasi (m2) 1301.11 9781.92 83.79 1907.92 276.45 243.67 27.41

% Tutupan Vegetasi 17.83 30.40 0.33 10.82 1.30 1.05 0.20

Ket : - Kode di bawah wilayah menyatakan nomor urut pasir dan nama responden. Sebagai

contoh 1 MB berarti pasir nomor 1 pada wilayah Bor yang merupakan pasir pencarian

milik responden MB

30

Gambar I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir

peneluran di sepanjang Sungai Vriendschap

3.2. Pembahasan

3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys insculpta

Didasarkan pada tingginya jumlah jejak dan sarang pada tiap wilayah

peneluran di sungai Vriendschap, Gambar I.6 memperlihatkan pasir peneluran di

wilayah Obokain paling dipilih oleh induk Labi-labi moncong babi untuk

dijadikan tempat bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan

Sumo juga mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh

induk Labi-labi moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi.

Pada pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) terlihat mempunyai

potensi yang kecil untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan

rendahnya jumlah jejak maupun sarang yang ditemukan.

Gambar I.7 memperlihatkan aktifitas jejak maupun sarang peneluran induk

Labi-labi moncong babi cukup bagus terjadi pada tanggal 17 – 23 November 2011

dengan puncak peneluran terjadi pada tanggal 19 November 2011. Namun dalam

rentang waktu 8 – 25 November terdapat hari-hari yang tidak ditemukan adanya

aktifitas induk naik ke pasir peneluran. Kegagalan maupun keberhasilan

persarangan kura-kura dapat disebabkan oleh kondisi tertentu yang terjadi pada

lingkungannya. Kura-kura menggunakan berbagai petunjuk lingkungan untuk

memilih tempat bersarang (Miller dan Dinkelacker 2008) dan perilaku bersarang

induk betina (Pike 2008). Kura-kura Dermatemys mawii bersarang dalam musim

penghujan (Miller dan Dinkelacker 2008), dan penyu Tempayan (Caretta caretta)

serta penyu Hijau (Chelonia mydas) mempunyai keberhasilan bersarang lebih

baik pada saat hujan (Pike 2008; Godley et al. 2001). Pike (2008) mendapati

30.4

22.8

16.7

8.7

25.0

2.520.00

1.12 0.22 0.030.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

Bor (Rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo

Luas Pasir (ha)

Luas Tutupan

Vegetasi (ha)

L

u

a

s

31

penyu tempayan (Caretta caretta) di Pantai Atlantik, Florida mempunyai proporsi

induk naik ke pasir dan keberhasilan membuat sarang lebih baik saat ada hujan

dibanding malam-malam tanpa hujan. Godley et al. (2001) mendapati pula

keberhasilan bersarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Ascension,

Selatan Atlantik, lebih baik di saat cuaca hujan, namun keduanya tidak mendapati

korelasi yang signifikan antara keberhasilan bersarang dengan curah hujan.

Penyebab keberhasilan peneluran Penyu Tempayan dan Penyu Hijau di saat hujan

belum dapat dijelaskan oleh Pike (2008) dan Godley et al. (2001), tetapi keduanya

mempunyai kesamaan dalam pendugaan proporsi induk naik ke pasir dan

melakukan aktifitas bertelur mengacu pada isyarat lingkungan pada malam-malam

dimana tekanan atau suhu udara meningkat atau lebih tinggi. Kamel dan

Mrosovsky (2005) juga menyadari variasi lingkungan dapat menyebabkan

perbedaan dalam pola persarangan pada Eretmochelys imbricata, tetapi mereka

tidak menemukan korelasi antara penempatan sarang dengan kondisi cuaca di

waktu malam.

Pada induk betina Labi-labi moncong babi, kepekaaan terhadap isyarat

lingkungan dalam proses peneluran ditunjukkan berbeda dengan yang ditemukan

pada proses peneluran penyu. Minimnya aktifitas peneluran oleh induk Labi-labi

moncong babi disebabkan adanya gangguan cuaca (hujan) baik yang terjadi pada

wilayah Vriendschap maupun pada wilayah pegunungan. Hujan yang turun pada

wilayah Sungai Vriendschap menyebabkan basahnya pasir peneluran sedangkan

hujan yang turun pada wilayah pegunungan menyebabkan permukaan air sungai

meningkat sehingga menutup sebagian atau seluruh pasir peneluran. Tingginya

curah hujan memberikan dampak negatif terhadap kegagalan proses peneluran,

namun Doody et al. (2003a) mendapati adanya dampak positif akibat gangguan

cuaca adalah telur yang dihasilkan menjadi lebih besar dalam dua periode

berurutan (tahun). Diluar faktor curah hujan, isyarat atmosfir terlihat turut

memberikan andil dalam menunjang keberhasilan proses induk labi-labi moncong

babi untuk naik ke pasir. Induk Labi-labi moncong babi naik ke pasir saat langit

terlihat cerah di malam hari yang ditandai dengan banyaknya bintang yang

terlihat. Kilatan-kilatan cahaya maupun bunyi gemuruh dari petir dan guntur akan

membuat induk Labi-labi moncong babi mengurungkan niatnya untuk naik ke

32

pasir. Pada penyu, Pike (2008) mendapati penyu tempayan betina muncul

menggunakan isyarat lingkungan untuk memandu perilaku bersarang, dan dapat

menggunakan berbagai proses sensorik untuk menentukan kapan cuaca cocok

untuk muncul dari laut dengan kondisi yang kondusif untuk bertelur.

Curah hujan dan hari hujan yang meningkat di wilayah Wamena

(pegunungan) meningkatkan debit Sungai Baliem dan Sungai Seng yang

berdampak langsung terhadap debit Sungai Vriendschap karena bagian hulu

Sungai Vriendschap bertemu dengan kedua sungai tersebut. Peningkatan debit air

sungai mengakibatkan pasir peneluran tertutup oleh air dan proses surutnya air

sungai yang terjadi berangsur-angsur memungkinkan minimnya aktifitas

peneluran. Gambaran tingginya curah hujan dan hari hujan tahun 2011 yang

mempengaruhi aktifitas peneluran induk Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap disajikan pada Tabel I.7 dan sebagai pembanding, disajikan pula

curah hujan dan hari hujan tahun 2010.

Tabel I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah

Wamena (Pegunungan).

No Bulan (2010) Tek.Udr Suhu.Udr Suhu.Max Suhu.Min Klmbabn Crh.Hjn H.Hujan Sifat

Hujan

Peny.

Mthri (%) (MB) ('C) ('C) ('C) (%) (MM) (Hari)

1 Agustus 835.5 19.4 27.3 13.7 75.0 178.4 21 111.5 60

2 September 835.3 19.7 27.4 14.3 75.0 74.4 16 46.5 65

3 Oktober 834.6 19.9 27.5 14.8 75.0 150.4 19 94.0 43

4 November 834.2 20.2 27.9 14.8 74.0 119.4 19 74.6 64

Jumlah 3339.6 79.2 110.1 57.6 299.0 522.6 75.0 626

Rata-Rata 834.9 19.8 27.5 14.4 74.8 130.7 18.8 52

No Bulan (2011) Tek.Udr Suhu.Udr Suhu.Max Suhu.Min Klmbabn Crh.Hjn H.Hujan Sifat

Hujan

Peny.

Mthri (%) (MB) ('C) ('C) ('C) (%) (MM) (Hari)

1 Agustus 835.1 18.6 25.3 14.0 78.0 122.3 24.0 67.3 48

2 September 835.5 19.0 25.3 14.8 79.6 174.6 22.0 96.1 29

3 Oktober 835.4 19.1 26.3 14.3 77.3 137.1 21.0 75.4 43

4 November 834.2 19.7 26.6 14.8 76.0 180.2 22.0 99.1 42

Jumlah 3340.1 76.3 103.6 58.0 310.9 614.2 89.0 448

Rata-Rata 835.0 19.1 25.9 14.5 77.7 153.6 22.3 45

Sumber : BMKG Wamena (2011)

Tabel I.7 memperlihatkan rata-rata volume curah hujan selama 4 bulan

pada tahun 2011 sebesar 153.6 mm/bulan meningkat dibanding pada tahun 2010

sebesar 130.7 mm/bulan. Demikian pula dengan hari hujan dimana pada tahun

2011 rata-rata jumlah hari hujan sebanyak 22.3 hari lebih tinggi dari pada rata-rata

33

jumlah hari hujan tahun 2010 sebanyak 18.8 hari. Didasarkan kriteria curah hujan

bulanan maka rata-rata curah hujan bulanan pada rentang waktu bulan Agustus –

November di tahun 2010 dan 2011 masuk dalam kategori sedang. Kriteria curah

hujan bulanan terbagi atas empat kriteria yaitu :

1. 0 - 100 mm/bulan : rendah;

2. 101 – 300 mm/bulan : sedang;

3. 301 – 400 mm/bulan : tinggi;

4. > 400 mm/bulan : sangat tinggi.

Sifat hujan pada tahun 2010 di bulan September dan November masuk

dalam kategori dibawah normal (46.5% dan 74.6%) sedangkan di bulan Agustus

dan Oktober masuk dalam kategori normal (111.5% dan 94.0%). Pada tahun

2011, sifat hujan berbanding terbalik dengan sifat hujan tahun 2010 dimana sifat

hujan di bulan September dan November masuk dalam kategori normal (96.1%

dan 99.1%) sedangkan di bulan Agustus dan Oktober masuk dalam kategori

dibawah normal (67.3% dan 75.4%).

Sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi

selama satu bulan dengan nilai rata-rata atau normalnya pada bulan tersebut di

suatu tempat. Kategori sifat hujan terbagi atas tiga kategori yaitu :

1. di atas Normal (A), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih besar dari

115%;

2. Normal (N), jika perbandingan terhadap rata-ratanya antara 85%-115%; dan

3. Di bawah Normal (B), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih kecil

dari 85%.

Jumlah sarang yang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada wilayah

Obokain dibanding pada 4 (empat) wilayah lainnya menggambarkan

kecenderungan bersarang C. insculpta yang mengelompok. Hasil perhitungan

sebaran sarang berdasarkan metode ratio ragam (Tabel I.1) diperoleh nilai

ragamnya (232.957) lebih tinggi dari nilai tengahnya (2.75). Dengan hipotesis

jika didapatkan nilai ragam lebih besar dari nilai tengah, maka didapatkan pola

sebaran sarang C. insculpta adalah mengelompok. Pola sebaran yang

mengelompok juga didapati dengan menggunakan metode indeks dimana jika

34

nilai indeks dispersi (84.712) lebih besar dari 1, nilai indeks clumping (83.712)

lebih besar dari 0, dan nilai indeks green (0.639) juga lebih besar dari 0.

Tabel I.2 menunjukkan pola sebaran jejak induk C. insculpta di Sungai

Vriendschap juga mengelompok seperti pola sebaran sarang pada Tabel I.1. Pola

sebaran sarang dan jejak induk yang mengelompok ini diduga disebabkan oleh

sifat eco-ethology (sosio-ekologi) dari kelompok kura-kura atau penyu pada

umumnya dimana induk ingin kembali pada tempat dilahirkan dengan pergerakan

menuju tempat peneluran secara bersama sambil melakukan interaksi sosial.

Sebaran mengelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih

mungkin bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran

satu individu menarik atau memunculkan individu lainnya mendekat ke

lingkungan tersebut (Begon et al. 2006). Di antara gerakan yang paling mencolok

pada amfibi dan reptil yang masih ada adalah migrasi penyu dari tempat menetas

menuju tempat makan sebagai remaja dan bertahun-tahun kemudian kembali ke

pantai peneluran sebagai penyu dewasa (Vitt dan Caldwell 2009). Sifat tersebut

juga diperlihatkan oleh Wood Turtles (Glyptemys insculpta) yang menunjukkan

keterkaitan erat dengan tempat kelahirannya, dimana 95% betina kembali pada

sarang atau tempat yang sama selama dua tahun berturut-turut (Walde et al.

2007). Tingkah laku bersarang yang mengelompok ini di satu sisi menjadi salah

satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan, sementara disisi

lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh manusia dan

rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan (Sus sp) dan

biawak (Varanus sp).

Rowe et al. (2005) menyebutkan bahwa lokasi penjelajahan dalam air

tampaknya dipengaruhi pemilihan dan kesetiaan penempatan sarang oleh

beberapa individu meskipun individu lain bersarang relatif jauh dari daerah jelajah

air. Individu-individu dari banyak spesies bergerak secara bersama dari satu

habitat ke habitat yang lain dan kembali lagi berulang kali selama hidup mereka

dengan skala waktu yang terlibat mungkin dalam hitungan jam, hari, bulan atau

tahun (Begon et al. 2006). Doody et al. (2003c) mendapati bahwa induk betina

C. insculpta bergerak bersama di sepanjang sungai selama musim peneluran dan

induk yang telah naik ke pasir dapat mempengaruhi keputusan bersarang induk

35

lainnya. Lebih lanjut disampaikan bahwa dengan menggunakan informasi sosial

yang terkumpul dari induk betina sebelumnya, dapat mempengaruhi jumlah

naiknya induk ke pasir untuk menemukan tempat bersarang yang cocok. Kura-

kura dan penyu menggunakan kombinasi sinyal visual dan kimia selama interaksi

sosial dengan melibatkan kepala dan menampilkan pola dan warna pada anggota

tubuh bagian depan, leher, dan kepala (Vitt dan Caldwell 2009). Informasi yang

terkumpul tersebut mendasari induk melakukan pilihan (1) hanya muncul ke pasir

yang diketahui induk betina lainnya telah membuat sarang, dan (2) menghindari

pasir dimana induk betina lainnya hanya berhasil naik ke pasir namun tidak

membuat sarang. Apabila didapati pada awal proses peneluran terdapat induk

betina Labi-labi moncong babi yang terganggu dalam usahanya melakukan

aktifitas bertelur (naik maupun bertelur) maka kelompok induk betina lainnya

yang belum naik ke pasir berpindah mencari tempat (pasir) peneluran lainnya dan

bertelur selama beberapa malam ditempat yang baru tersebut (Doody et al.

2003c).

Dua perilaku penting intra spesifik induk kura-kura yang berkumpul di air

pada saat hendak naik ke pasir ditunjukkan pula oleh Doody et al. (2009) yaitu

perilaku 1) saat 2 individu atau induk bertemu secara berhadapan maka mereka

saling menghindar dengan cara saling memutari atau melingkari satu sama lain,

dan 2) beberapa kura-kura lebih kecil (kemungkinan betina atau jantan remaja)

muncul dan menciumi pasir basah selama 1 – 3 menit kemudian kembali dengan

cepat ke air. Didasari tingkah laku induk betina dalam rangkaian proses

peneluran, Doody et al. (2003c) menyatakan keberhasilan bersarang Labi-labi

moncong babi tidak dapat dianggap sama untuk setiap tahunnya di setiap pasir

peneluran, dimana pendataan harus dilakukan setiap tahun untuk menganalisa

seberapa jauh pengaruh lokasi, pasir, dan tutupan vegetasi terhadap aktifitas

peneluran.

Jarak sarang yang dibangun oleh induk dapat berbeda antara satu lokasi

dengan lokasi lainnya. Perbandingan jarak sarang C. insculpta dari air di lokasi

Sungai Vriendschap dengan beberapa beberapa sungai lainnya ditampilkan pada

Tabel I.8.

Tabel I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan

beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia

36

Sungai Jarak Sarang dari Air (m)

Vriendschap 2011 22,13 ± 12,79 (n = 116; 4,10 – 49,70)

Kikori 2003* 11,9 ± 0,59 (n = 58; 1,5 – 25,5)

Kikori 2006* 11,8 ± 2,87 (n = 5, 1 – 17)

Daly* 2,45 ± 0,094 (n = 180; 0,59 – 9,10)

Alligator* 2,16 ± 0,28 (n = 8; 1,1 – 3,7)

*) Georges et al. (2008b)

Tabel I.8 memperlihatkan rata-rata sarang yang dibuat di Sungai

Vriendschap mempunyai jarak yang cukup jauh dari tepi sungai dibandingkan

jarak sarang dari air yang dibangun pada lokasi di sungai Kikori, Daly dan

Alligator. Sarang yang dibangun jauh dari air dimungkinkan membutuhkan

waktu yang lebih lama dalam sekali proses peneluran. Di lokasi dengan tingkat

pemanenan tinggi, lamanya waktu dapat memberikan dampak negatif terhadap

keselamatan induk yang naik untuk bertelur karena waktu yang dibutuhkan induk

untuk kembali ke air cukup panjang sehingga memberikan kesempatan bagi

manusia untuk menangkapnya. Rowe et al. (2005), tidak menemukan korelasi

diantara rata-rata jarak sarang dari air dan rata-rata panjang kerapas dari setiap

Kura-kura Midland Painted (Chrysemys picta marginata) dimana sarang yang

diletakkan mengindikasikan kura-kura dengan ukuran besar tidak melakukan

perjalanan dari air lebih jauh dibanding kura-kura dengan ukuran lebih kecil

selama masa peneluran.

3.2.2. Biologi Peneluran Carettochelys insculpta

Proses peneluran oleh induk Labi-labi moncong babi dimulai dengan naik

ke pasir, berputar-putar dalam mendapatkan tempat yang cocok, menggali sarang,

bertelur, menutup lubang sarang, dan kembali ke sungai dengan cara berputar-

putar pula. Proses tersebut dilakukan pada saat matahari tenggelam (malam hari)

dan saat cuaca cerah (tidak hujan). Doody et al. (2009) mendapati C. insculpta

bersarang pada malam hari dengan satu pengecualian satu individu bersarang pada

senja hari. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi dalam satu sarang dengan

berat dan dimensi yang berbeda antara lokasi satu dengan lokasi lainnya. Sebagai

perbandingan diameter dan berat telur C. insculpta di Sungai Vriendschap dengan

beberapa sungai lainnya dapat dilihat pada Tabel I.9.

37

Tabel I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap

dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia

Sungai Diameter Telur (mm) Berat Telur (gr)

Vriendschap

2011

41,33 ± 1,54 (n = 400; 35,25 –

46,49)

37,98 ± 6,30 (n = 400, 30 –

50).

Kikori 2003* 43,1 ± 0,59 (n = 20; 40,2 – 53,1) 48,0 ± 1,29 (n = 20; 39,3 –

66,6)

Kikori 2006* 40,9 ± 0,52 (n = 14; 38,0 – 45,1) 36,4 ± 0,46 (n = 14; 33,8 –

40,1)

Daly* 39,6 ± 0,21 (n = 156) 35,2 ± 0,20 (n = 153)

Alligator* 41,8 (n = 1) 40,2 (n = 1)

*) Georges et al. (2008b)

Berat telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap terlihat

masih lebih tinggi dibandingkan berat telur di Kikori tahun 2006 yang juga telah

mengalami penurunan kualitas berat telur dari tahun 2003 dan di Daly (Tabel I.9).

Tingginya tingkat pemanfaatan diduga dapat mempengaruhi kualitas telur yang

dihasilkan, seperti penurunan berat telur yang terjadi di Kikori, dimana ukuran

telur, berat telur dan volume kuning telur dapat berkurang. Wood et al. (2009)

mendapati ukuran telur burung Black-Headed Gulls (Larus ridibundus) terbesar

berada pada sarang ditengah koloni (sarang kecil kemungkinan dipanen),

sedangkan pada sarang yang di panen didapati adanya pengurangan volume telur,

kuning telur dan ketebalan cangkang, yang dapat mempengaruhi keberhasilan

penetasan dan tingkat keberhasilan hidup anak hasil penetasan. Pada sarang yang

dipanen juga ditemui proporsi telur abnormal lebih tinggi dengan kuning telur

lebih kecil dan telur tidak berpigmen. Penurunan kualitas telur Larus ridibundus

diduga oleh Wood et al. (2009) sebagai pengaruh akibat dari adanya dampak

pemanenan.

Ukuran kerapas menunjukkan umur dari C. insculpta, dimana semakin

panjang atau besar ukuran kerapasnya menunjukkan individu induk semakin

dewasa. Sebagai pembanding, Georges et al. (2008b) mendapatkan panjang

kerapas rata-rata induk betina C. insculpta di aliran Kikori (PNG) adalah 47.7 ±

0.88 cm (n = 12, 40.4 – 52.0) dengan berat 11.2 ± 0.56 Kg (n = 12, 6.9 – 14.3

Kg), mencapai 52,3 cm di Billabong (Australia) dan berkisar 52,4 – 58,6 cm di

Taman Nasional Kakadu (Australia) (Georges dan Kennett 1989), dan 45.6 cm di

South Alligator River (Australia) (Schodde et al. 1972). Dari perbandingan diatas

38

terlihat panjang kerapas induk betina C. insculpta di Sungai Vriendschap lebih

rendah dibanding panjang kerapas induk dari Billabong dan Taman Nasional

Kakadu, namun masih lebih panjang dibanding induk dari Kikori dan South

Alligator River.

3.2.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension)

dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)

Fractal dimension bernilai 1 menunjukkan dimensi bentuk atau bentuk

bentang pasirnya lebih sederhana seperti berbentuk lingkaran atau persegi dan

bentuknya semakin kompleks apabila nilainya semakin mendekati nilai 2,

sedangkan shape index bernilai 1 menunjukkan patch berbentuk melingkar atau

persegi (teratur) dan bentuknya semakin tidak beraturan apabila semakin besar

dari nilai 1. Rata-rata nilai fractal dimension dengan nilai 1.073 menunjukkan

pasir peneluran Labi-labi moncong babi mempunyai bentuk bentang pasir yang

sederhana. Shape index (Si) bernilai 1 didapati pada 1 pasir peneluran di wilayah

Obokain dan patch paling tidak teratur didapati pada 1 pasir di wilayah Bor

(rawa) dan 1 pasir di wilayah Sumo. Patch pasir peneluran di wilayah Sungai

Vriendschap lebih condong kearah yang teratur didasarkan pada persentase nilai

Si < 1.5 sebanyak 62.5% (30 site pasir) dan persentase nilai Si ≥ 1.5 sebanyak

37.5% (18 site pasir). Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan

sarang labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap yang terdapat pada masing-

masing wilayah adat pemanfaatan disajikan pada Tabel I.10.

Tabel I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-

labi moncong babi di Sungai Vriendschap

SI Bor (rawa) Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo

Σ % Σ % Σ % Σ % Σ %

< 1.5 10 20.83 6 12.50 10 20.83 3 6.25 1 2.08

> 1.5 5 10.42 0 0 4 8.33 3 6.25 6 12.50

Total 15 31.25 6 12.50 14 29.17 6 12.50 7 14.58

Jejak 19 6 379 65 80

Sarang 7 1 110 8 6

39

Tabel I.10 memperlihatkan bahwa nilai shape index tidak menunjukkan

hubungan antara bentuk patch dengan keberadaan jejak induk dan jumlah sarang.

Nilai Si < 1.5 dengan persentase tinggi terdapat pada wilayah Bor (rawa) dan

Obokain, namun terdapat perbedaan dari total jejak induk maupun sarang.

Demikian pula di wilayah Obokain persentase nilai Si < 1.5 tinggi diikuti total

jumlah jejak induk dan sarang yang juga tinggi, namun di wilayah Sumo

persentase nilai Si > 1.5 rendah namun total jejak induk tinggi. Hal tersebut

menunjukkan bahwa Labi-labi Moncong Babi dalam proses penelurannya tidak

memperhitungkan keteraturan bentuk dari pasir peneluran.

B. Tekstur Pasir

Doody et al. (2003b) mendapatkan tempat peneluran C. insculpta

umumnya didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada

berbagai substrat mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, dimana

dalam memilih pasir potensial sebagai tempat menaruh telurnya C. insculpta

menggunakan isyarat-isyarat bawah air, sedangkan Triantoro dan Rumawak

(2010) secara visual mendapati sarang-sarang terdapat pada substrat pasir halus

sampai bercampur kerikil. Dalam wilayah jelajah C. insculpta, penggunaan pasir

persarangan tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi

Carettochelys insculpta betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas

dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002). Sarang-sarang Labi-

labi moncong babi umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak

tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al. 2008b) dan hanya

dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir masih dapat saling terikat

dengan kelembaban yang rendah, pada pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi

penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al.

2003b), pada pasir di sungai, pasir ditikungan alur sungai, atau di anak sungai

kecil yang memasuki aliran utama (Georges et al. 2008b), pasir pada tepi sungai

atau rawa. Di Australia, sarang-sarang berada pada sekumpulan pasir yang

terdapat dekat sungai dan rawa (Georges dan Kennett 1989; Doody et al. 2003b)

sementara di New Guinea, sarang-sarang juga terdapat dekat air di pertengahan

sampai muara sungai, pada sekumpulan pasir di delta sungai dan pada pasir pantai

40

di pesisir laut (Georges et al. 2008b). Sebagai gambaran pasir peneluran di

wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar I.10 di bawah ini.

Gambar I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di (a) tepi sungai dan (b)

rawa Vrienschap

Tingginya jumlah jejak namun tidak diikuti oleh keberhasilan dalam

proses peneluran atau membuat sarang dapat disebabkan oleh beberapa faktor

seperti 1) adanya gangguan suara motor perahu saat induk naik ke pasir untuk

bertelur, 2) perburuan induk di saat hendak naik ke pasir, 3) kondisi pasir yang

masih basah oleh luapan air sungai, 4) turunnya hujan di sore hari sebelum hari

gelap, dan 5) gangguan alam (atmosfir) berupa kilatan-kilatan cahaya dilangit

yang biasa menandakan hujan akan turun.

Umumnya, kura-kura air tawar dalam membuat sarang lebih memilih

tempat berpasir, tinggi dan terbuka, namun dapat mencari habitat alternatif seperti

tanggul jika habitat bersarang dalam waktu lama tidak tersedia (Bodie 2001). Di

daerah tropika, kura-kura air tawar bertelur di musim kemarau pada pasir yang

terkumpul (bank sand) atau timbul (Alvarenga 2010) yang tidak tersedia selama

musim penghujan (Miller dan Dinkelacker 2008). Pada kura-kura punggung

lunak (softshell turtles) seperti Charadrius melodus dan Sterna antillarum secara

khusus menempati gundukan pasir yang tinggi, Trachemys scripta dan softshell

turtles (Apalone mutica dan A. spinifera) menggunakan habitat bersarang pasir

yang terbuka, dan Podocnemis unifilis yang menggunakan pasir terbuka dan

tinggi sebagai habitat persarangannya (Bodie 2001).

Di wilayah Obokain, tekstur pasir halus hanya didapati pada 1 pasir

peneluran saja namun pada pasir tersebut didapati jumlah jejak (201) dan sarang

(106) terbanyak (Tabel I.3). Jumlah jejak dan sarang yang tinggi pada pasir halus

a b

41

di wilayah Obokain ternyata tidak diikuti tingginya jumlah jejak dan sarang di

wilayah Bor (Rawa) yang didominasi tekstur pasir halus (11 site). Sedikitnya

jumlah jejak maupun sarang di wilayah Bor (rawa) diduga akibat faktor alam

(eksternal) yang meliputi pasir peneluran di wilayah ini belum mencapai kondisi

pasir yang cukup ideal untuk adanya aktifitas persarangan akibat endapan lumpur

dan basahnya pasir peneluran akibat luapan sungai (banjir), dan akibat faktor

individu (internal) yaitu akibat dari tingkah laku bersarang dari labi-labi moncong

babi itu sendiri.

Pada peneluran penyu di pantai, kepadatan pasir dapat memberikan

kontribusi bagi berkurangnya kehadiran jumlah sarang. Pasir yang padat

umumnya menghasilkan jumlah sarang lebih sedikit dibanding jumlah sarang

yang terdapat pada pasir tidak padat. Pasir yang padat umumnya masih terkena

dampak hempasan air laut ataupun air sungai saat banjir. Penyu akan

menghindari pasir yang basah dan padat dan bergerak mencari pasir yang

permukaannya gembur. Triantoro dan Kuswandi (2005) mendapati jumlah sarang

penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) di Suaka Margasatwa (SM) Jamursba

Medi didapati lebih sedikit pada bagian pantai yang padat akibat sering

mengalami limpasan atau abrasi air sungai, sementara Karavas et al. (2005)

mendapati berkurangnya jumlah sarang jenis penyu tempayan (Caretta caretta) di

bagian barat pantai dibandingkan jumlah sarang di bagian timur Pantai Sekania

akibat semakin meningkatnya konsentrasi pasir halus dari timur pantai ke barat

pantai. Peningkatan konsentrasi pasir halus tersebut mengakibatkan struktur pasir

menjadi lebih padat yang dihindari oleh penyu Tempayan.

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi

Habitat pasir peneluran di Sungai Vriendschap menyebar disepanjang

sungai mulai dari hulu sampai dengan hilir termasuk kumpulan pasir yang

terdapat di wilayah rawa. Pasir yang terkumpul (sandbank) tersebut terlihat atau

muncul saat debit sungai turun, tetapi tertutup atau tenggelam saat debit air sungai

meningkat. Peningkatan debit air terutama disebabkan oleh hujan di wilayah

pegunungan yang terkumpul pada aliran Sungai Baliem dan Sungai Seng

42

kemudian bersatu pada satu aliran di Sungai Vriendschap. Sebaran pasir

peneluran yang berhasil terdata selama penelitian dapat dilihat pada Gambar I.11.

Gambar I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys

insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap

Tabel I.6 memperlihatkan sebaran pasir peneluran di wilayah Bor (rawa)

mempunyai tutupan vegetasi yang lebih luas dibandingkan pasir peneluran yang

berada di wilayah tepi sungai (Obokain, Indama dan Sumo). Jenis vegetasi yang

dominan menutupi pasir peneluran di wilayah rawa terdiri atas beberapa jenis

rumput seperti Ludwigia scandens, Scirpus glosus, Ischaemum timoriense dan

Pragmintes karka. Diluar jenis-jenis rumput tersebut, jenis Pandanus

lauterbachii terlihat bersama-sama mendominasi wilayah rawa.

Sifat rumput yang ringan memudahkannya terbawa air dan mengendap

pada wilayah dengan perairan yang lebih tenang, seperti rawa. Rumput-rumput

tersebut kemudian tertahan pada kumpulan pasir yang ada dan tumbuh menyebar

cukup cepat saat sungai surut yang dapat mengakibatkan pasir tertutup oleh

rumput. Keterikatan antar rumput dalam penyebarannya di pasir peneluran juga

menyebabkan mengumpulnya berbagai serasah dan lumpur yang terbawa aliran

air saat meluap sehingga ikut mendukung pertumbuhan dan penyebaran terutama

jenis Pandanus sp. Pada proses peneluran labi-labi, lumpur yang terkumpul

43

menyebabkan permukaan pasir menjadi lebih padat (kompak) saat kering

sehingga mempengaruhi keberadaan sarang atau pemilihan bersarang labi-labi.

Díaz-Zorita dan Grosso (2000), kekompakan tanah menurun sejalan dengan

turunnya kandungan lumpur namun turunnya kekompakan tanah menaikkan total

kandungan karbon organik. Roth (1997) juga mendapati pada tekstur tanah

lempung berpasir dan dengan sebagian besar berlumpur, kepadatan menurun

bertahap kearah kedalaman sampai pada batas kepadatan permukaan tanah.

Tutupan vegetasi pada wilayah tepi sungai lebih banyak di dominasi jenis

Casuarina rumphiana (Gymnostoma rumphianum), Sacharum spontaneum dan

Cyperus rotundus. Jenis Casuarina rumphiana dapat tumbuh dan menyebar pada

pasir peneluran di tepi sungai disebabkan buahnya terbawa air sungai saat meluap.

Jenis ini sudah terdapat di wilayah Bor (rawa) namun masih jarang sebarannya.

Sementara jenis rumput Sacharum spontaneum tumbuh secara mengelompok pada

pasir peneluran dan menyebar mulai dari wilayah Bor (sungai) sampai Sumo

namun masih dalam jumlah sedikit di wilayah Bor (rawa). Jenis Cyperus

rotundus baru ditemui pada wilayah Obokain dengan konsentrasi cukup banyak

pada pasir dimana terdapat banyak sarang peneluran (pasir nomor 3 pada wilayah

pemanfaatan Obokain). Beberapa jenis vegetasi yang mendominasi pasir

peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar I.12.

(a) (b) (c)

44

(d) (e) (f)

(g) (h) Keterangan : (a) Ludwigia scandens; (b) Scirpus glosus; (c) Ischaemum timoriense; (d) Pragmintes

karka; (e) Sacharum spontaneum; (f) Cyperus rotundus; (g) Casuarina rumphiana; dan (h)

Pandanus lauterbachii.

Gambar I.12 Beberapa jenis vegetasi dominan penutup pasir peneluran Labi-labi

moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap

Triantoro dan Rumawak (2010) mengidentifikasi beberapa jenis vegetasi

yang terdapat di sekitar pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) meliputi Intsia

bijuga ok., Heritiera littoralis, Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica

Miquel, Hibiscus tiliaceus L., Elaeocarpus spaericus K., Gymnacranthera

paniculata, Myristica fatua Houtt, Schefflera lucescens, Alstonia sp, Pandanus

lauterbachii K.Sch & Warb., Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius

Sol. dan Freycinetia funicularis Mar. Sedangkan Jenis vegetasi yang terdapat di

sekitar muara Sungai Baliem dan hulu Sungai Vriendschap meliputi Casuarina

rumphiana, Duabanga moluccana Blume, Anthocephalus cadamba,

Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus variagata, Premna corymbosa,

Dysoxylum moltissimum, Timonius timons, Canarium indicum, Pandanus

polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Daemonorops melanochaetes

Blume dan Calamus scipionum Lour.

45

Diantara tumbuhan di tepi Sungai atau Rawa Vriendschap yang

diperkirakan menjadi sumber makanannya adalah Pandanaceae (Pandanus

polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol. dan Pandanus lauterbachii), Sagu

(Metroxylon sp), Premna corymbosa, Dysoxylum moltissimum, Syzygium verstegi,

Ipomoea aquatica (kangkung air) dan Pragmintes karka (rumput air) (Triantoro

dan Rumawak 2010). Hasil analisa makanan dari perut Labi-labi moncong babi

di Australia, ditemukan remah-remah buah pandan batu, daun Melaleuca spp, biji,

akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air

tawar (Thiaridae sp), Water boatmen (Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes

scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-

semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et al. 1972), buah-buahan dan dedaunan dari

pohon Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus

racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium

cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett 1989). Buah

pandan dari beberapa jenis, setelah tua jatuh dan masuk kedalam sungai yang

akan menjadi makanan bagi labi-labi.

Tabel I.4 memperlihatkan kepadatan sarang sebesar 2.76 sarang/Ha dan

kepadatan jejak sebesar 5.74 jejak/Ha pada pasir peneluran yang terdapat vegetasi,

lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.23/Ha dan jejak sebesar

4.19/Ha pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Demikian pula apabila

didasarkan pada perimeter (Tabel I.5), terlihat kepadatan sarang sebanyak 9.00

sarang/Km dan jejak sebanyak 18.70 jejak/Km pada pasir peneluran yang terdapat

vegetasi, lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.75 sarang/Km dan

jejak sebesar 13.63 jejak/Km pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Hasil ini

memberikan gambaran bahwa pasir dengan adanya vegetasi memberikan

kontribusi terhadap keberadaan sarang maupun jejak dari Labi-labi moncong babi.

Jumlah sarang yang tinggi pada pasir yang mempunyai luas tutupan vegetasi besar

bukan menyimpulkan bahwa sarang C. insculpta diletakkan pada pasir yang

tertutup oleh vegetasi (dibawah tajuk pohon) tetapi keberadaan sarang-sarang

tersebut berada pada pasir peneluran yang terbuka (terkena sinar matahari secara

langsung) namun pada wilayah pasir peneluran tersebut terdapat tutupan vegetasi

yang cukup luas. Caputo et al. (2005), penutupan vegetasi dan ketinggian di atas

46

permukaan sungai menunjukkan relevansi yang besar dalam menentukan

distribusi spasial sarang Podocnemis unifilis, dimana tidak ada sarang yang

ditemukan pada daerah yang sangat tertutup, satu sarang ditemukan pada daerah

tertutup menengah sedangkan semua sarang lainnya ditemukan pada daerah

berpasir yang terbuka. Berbeda dengan sifat bersarang Labi-labi moncong babi

yang memilih pasir terbuka, pada jenis Colombian Slider Turtles (Trachemys

callirostris callirostris) sarangnya selalu diletakkan dibawah tutupan vegetasi

yang diduga untuk mengurangi tekanan suhu udara yang panas saat induk betina

bertelur, mengurangi kemungkinan deteksi sarang oleh pemangsa, dan menjaga

inkubasi telur-telur dari lingkungan ekstrim (Restrepo et al. 2006), tetapi kura-

kura tidak selalu menggunakan strategi menempatkan sarang ditengah vegetasi

untuk mengurangi deteksi pemangsa (Junior 2009).

Jenis vegetasi yang terdapat pada pasir peneluran ikut memberikan

sumbangan bagi kehadiran sarang maupun jejak yang ditemukan. Terdapat

perbedaan sifat penutupan vegetasi antara pasir peneluran di wilayah rawa dengan

pasir peneluran di tepi sungai akibat perbedaan jenis vegetasi penyusun. Pada

pasir peneluran di wilayah rawa lebih di dominasi oleh rerumputan dengan

pertumbuhan yang rapat seperti Scirpus glosus (rumput pisau), Ischaemum

timoriense dan Pragmintes karka, sedangkan pada pasir peneluran di wilayah tepi

sungai sifat penutupan vegetasi diselingi pepohonan dan rumput. Sifat penutupan

rapat yang terjadi pada pasir peneluran yang terdapat di tepi sungai disebabkan

telah terjadi pembentukan pulau vegetasi pada pasir peneluran dengan

memberikan ruang pasir peneluran di sekeliling vegetasi, sementara sifat

penutupan yang tidak rapat terjadi apabila jenis vegetasinya tumbuh secara

menyebar dalam kelompok-kelompok (rumpun-rumpun) kecil atau tunggal

dengan memberikan ruang pasir peneluran di antara kelompok-kelompok vegetasi

atau di celah-celah vegetasi yang ada. Jenis yang mengelompok (berumpun) diisi

oleh jenis Sacharum spontaneum (tebu air) sedangkan jenis Cyperus rotundus

pertumbuhannya menyebar. Walaupun pertumbuhannya menyebar namun

batangnya yang kecil dan lemah masih bisa diterobos oleh induk labi-labi untuk

melakukan persarangan dicelah-celahnya dan tidak mengurangi tingginya

intensitas cahaya matahari.

47

Keberadaan vegetasi juga merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi proses kecepatan penguapan air pada pasir peneluran. Keberadaan

air terikat pada pasir peneluran berfungsi menjaga kelembaban dari pasir itu

sendiri dan kelembaban tersebut tetap diperlukan terkait dengan kebutuhan induk

Carettochelys insculpta dalam membuat sarang. Doody et al. (2003b)

mendapatkan bahwa Carettochelys insculpta memilih pasir persarangan secara

acak yang didasarkan pada aspek ketinggian, temperatur dan kedalaman air,

dengan pasir terdapat sarang mempunyai kelembaban lebih tinggi dibanding pasir

tanpa adanya sarang. Lebih lanjut disampaikan bahwa pasir dimana didapati

sarang mempunyai suhu yang sama dengan pasir tanpa sarang tetapi pasir dengan

adanya sarang mempunyai kelembaban lebih tinggi dibanding pasir tanpa ada

sarang. Pada Taman Nasional Kakadu, sarang-sarang dibangun pada semua pasir-

pasir permanen maupun yang tidak permanen di Billabong (rawa), yang bersih

dan berdekatan dengan air, dan menggunakan semua kumpulan atau gundukan

pasir berdekatan dengan air (Georges dan Kennett 1989).

3.2.4. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Peneluran Carettochelys

insculpta di Sungai Vriendschap

Hasil analisis secara statistik regresi linier untuk melihat sejauh mana

pengaruh parameter-parameter lingkungan yang meliputi luasan pasir (V1),

panjang pasir (Perimeter) (V2), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension) (V3),

bentuk permukaan pasir (Shape Index) (V4), tekstur pasir (V5) dan luasan tutupan

vegetasi penutup pasir (V6) terhadap keberadaan sarang dan jejak induk pada pasir

peneluran di Sungai Vriendschap, memberikan persamaan sebagai berikut :

Y1 = – 41 – 3.86 V1 + 24.2 V2 + 31 V3 - 0.9 V4 – 0.04 V5 + 43.5 V6

Y2 = 275 – 3.48 V1 + 0.2 V2 – 297 V3 + 52.4 V4 – 5.52 V5 + 86.6 V6

Dimana : Y1 = Jumlah Sarang dan Y2 = Jumlah Jejak Induk

Analisis Regresi : Jumlah Sarang vs Area, Perimeter, Fractal Dimensi, Shape

Index, Ukuran Butir pasir, dan Luas Tutupan Vegetasi.

Predictor Coef SE Coef T-Value P-Value VIF

Constant -41.3 142.6 -0.29 0.774

48

Area (ha) -3.864 2.665 -1.45 0.155 17.679

Perimeter (km) 24.22 19.86 1.22 0.230 24.062

FD 31.1 168.9 0.18 0.855 21.557

SI -0.93 33.48 -0.03 0.978 24.474

Ukpasir -0.038 1.512 -0.02 0.980 1.209

LTupVeg (ha) 43.483 9.113 4.77 0.000 1.221

*). S = 11.7475 R-Sq = 48.3% R-Sq(adj) = 40.8%

Analisis Regresi : Jumlah Jejak Induk vs Area, Perimeter, Fractal Dimensi, Shape

Index, Ukuran Butir pasir, dan Luas Tutupan Vegetasi.

Predictor Coef SE Coef T-Value P-Value VIF

Constant 275.3 366.6 0.75 0.457

Area (ha) -3.479 6.849 -0.51 0.614 17.679

Perimeter (km) 0.25 51.05 0.00 0.996 24.062

FD -296.8 434.2 -0.68 0.498 21.557

SI 52.43 86.06 0.61 0.546 24.474

Ukpasir -5.516 3.886 -1.42 0.163 1.209

LTupVeg (ha) 86.55 23.42 3.70 0.001 1.221

*). S = 30.1929 R-Sq = 31.6% R-Sq(adj) = 21.6%

Dari 6 parameter yang diregresikan terhadap jumlah sarang dan jumlah

jejak induk terlihat bahwa nilai P-value hanya menunjukkan 1 (satu) parameter

yang memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah jejak induk dan sarang

yaitu parameter luas tutupan vegetasi (P-value = 0.000; P-value = 0.001; α = 0.05;

n = 48). Nilai R-Sq (adj) untuk regresi jumlah sarang sebesar 40.8% dan untuk

jumlah jejak induk sebesar 21.6% menunjukkan bahwa model persamaan ini

kurang bagus apabila diimplementasikan.

Persamaan regresi yang dihasilkan di atas merupakan hasil regresi dengan

data yang belum menyebar secara normal, sehingga perlu dilakukan proses

normalisasi data (transformasi). Setelah proses transformasi data dilakukan,

pengecekan kenormalan data hasil regresi dilakukan menggunakan Kolmogorov-

Smirnov dengan hasil menunjukkan sebaran data masih belum menyebar secara

normal (Lampiran 6 dan 7), bahkan nilai R-Sq (adj) dari hasil regresi setelah

49

proses normalisasi menunjukkan hasil yang negatif dengan nilai – 4.13% untuk

jumlah sarang dan nilai – 2.56% untuk jumlah jejak induk. Proses normalisasi

data yang dilakukan ternyata tidak berhasil mendapatkan sebaran data yang

normal pula, sehingga dengan pertimbangan kestabilan model dan nilai R-Sq (adj)

yang dihasilkan pada persamaan regresi sebelum dilakukan transformasi data

lebih baik maka data dan persamaan yang digunakan adalah yang belum

mengalami proses normalisasi (transformasi) dengan persamaan regresi seperti

diatas.

Analisis selanjutnya menggunakan statistik regresi stepwise terhadap

keenam parameter tersebut memberikan hasil bahwa parameter yang paling

berpengaruh terhadap jumlah sarang dan jejak induk labi-labi moncong babi

adalah parameter luas tutupan vegetasi dengan nilai R-Sq (adj) adalah 39.0%

untuk jumlah sarang dan 20.3% untuk jumlah jejak induk. Persamaan regresi

yang dihasilkan setelah menggunakan statistik regresi stepwise adalah :

Y1 = – 1.02 + 46.6 V6 dan Y2 = 5.21 + 77.1 V6

Proses pengecekan sebaran data dilakukan pula setelah tahapan stepwise,

yang dilakukan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengecekan

menunjukkan sebaran data menyebar tidak normal dan perlu dilakukan

transformasi data. Proses transformasi dan dan pengecekan sebaran data hasil

transformasi menunjukkan sebaran datanya tidak menyebar normal pula dengan

nilai R-Sq (adj) adalah – 0.47% untuk jumlah sarang dan – 0.78% untuk jumlah

jejak induk. Dengan pertimbangan kestabilan model dan nilai R-Sq (adj) yang

dihasilkan pada persamaan regresi sebelum dilakukan transformasi data lebih

baik, maka data dan persamaan yang digunakan adalah yang belum mengalami

proses normalisasi (transformasi) dengan persamaan regresi setelah tahapan

stepwise seperti diatas.

Nilai R-Sq (adj) sebesar 40.8% untuk jumlah sarang dan 21.6% untuk

jumlah jejak induk menginformasikan bahwa masih terdapat faktor-faktor lain

yang dapat mempengaruhi keberadaan jumlah sarang maupun jejak induk.

Analisis regresi dari enam parameter di uji memberikan gambaran bahwa pasir

peneluran dengan adanya tutupan vegetasi memberikan pengaruh sangat nyata,

yang berarti pasir peneluran dengan adanya tutupan vegetasi memberikan

50

kontribusi lebih baik bagi keberadaan sarang dan jejak induk Labi-labi moncong

babi dibandingkan pasir peneluran tanpa vegetasi. Berbeda dengan induk betina

jenis Spotted turtle (Clemmys guttata) yang menunjukkan mereka lebih memilih

kondisi substrat untuk sarang dibandingkan lokasi untuk bersarang (Rasmussen

dan Litzgus 2010b), induk betina Labi-labi moncong babi dalam membuat sarang

dipengaruhi oleh adanya tutupan vegetasi pada pasir peneluran.

51

4. SIMPULAN

Pola sebaran sarang dan jejak induk Carettochelys insculpta di wilayah

Sungai Vriendschap adalah mengelompok dengan lokasi pasir peneluran yang

paling dipilih berada pada wilayah adat Obokain (bagian tengah sungai

Vriendschap). Dengan kondisi pemanfaatan C. insculpta yang tinggi di Sungai

Vriendschap (Indonesia) dan Sungai Kikori (PNG), didapati ukuran induk betina

dewasa, diameter telur dan berat telur di Sungai Vriendschap (Indonesia) masih

lebih baik dibandingkan ukuran induk betina dewasa, diameter telur dan berat

telur di Sungai Kikori (PNG). Faktor luas tutupan vegetasi memberikan pengaruh

sangat nyata terhadap keberadaan jumlah sarang dan jejak induk betina, yang

tergambarkan dari kepadatan jumlah sarang dan jejak induk betina lebih tinggi

pada pasir peneluran bervegetasi dibanding pasir peneluran tanpa vegetasi.

53

Daftar Pustaka

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor. Yayasan Penerbit

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Alvarenga CCED. 2010. Nesting Ecology, Harvest and Conservation of the Pig-

nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in the Kikori Region, Papua New

Guinea [disertasi]. Canberra : Institute for Applied Ecology University of

Canberra Australia.

Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta. Kanisius.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. Data Rata-rata

Bulanan Curah Hujan dan Hari Hujan 2010 dan 2011 [laporan]. Wamena :

Stasiun Meteorologi Wamena.

Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to

Ecosystem. fourth edition. United Kingdom. Blackwell Publising.

Bodie JR. 2001. Stream and Riparian Management for Freshwater Turtles.

Journal of Environmental Management 62, 000 – 000.

Bolten AB. 1999. Research and Management Techniques for the Conservation of

Sea Turtles. Di dalam Eckert KL, Bjorndal KA, Abreu-Grobois FA,

Donnelly M, editors. IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group

Publication No. 4. Pp 110 – 114.

Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay

(Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-

based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 –

92.

Carriére MA, Bulté G, Blouin-Demers G. 2009. Spatial Ecology of Northern

Map Turtles (Graptemys geographica) in a Lotic and a Letic Habitat.

Journal of Herpetology, Vol. 43, No. 4, pp. 597 – 604.

Díaz-Zorita M, Grosso GA. 2000. Effect of Soil Texture, Organic Carbon And

Water Retention on The Compactability of Soils From The Argentinean

Pampas. Soil & Tillage Research 54 : 121 – 126.

Doody JS, Georges A, Young JE. 2000. Monitoring Plan for the Pig-nosed

Turtle in the Daly River, Northern Territory. Applied Ecology Research

Group and CRC for Freshwater Ecology [laporan]. University of Canberra.

Doody JS, Young JE, Georges A. 2002. Sex Differences in Activity and

Movements in the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta, in the Wet-

Dry Tropics of Australia. Copeia 1 : 93 – 103.

Doody JS, Georges A, Young JE. 2003a. Twice Every Second Year :

Reproduction in The Pig-Nosed Turle, Carettochelys insculpta, in the Wet

Dry Tropics of Australia. Journal Zoology London 259 : 179 – 188.

Doody JS, West P, Georges A. 2003b. Beach Selection in Nesting Pig-Nosed

Turtles, Carettochelys insculpta. Shorter Communications. Journal of

Herpetology 37 : 178 – 182.

54

Doody JS, Sims RA, Georges A. 2003c. Gregarious Behavior of Nesting Turtles

(Carettochelys insculpta) Does Not Reduce Nest Predation Risk. Copeia 4

: 894–898.

Doody JS, Pauza M, Stewart B, Camacho C. 2009. Nesting Behaviour of the

Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta, in Australia. Chelonian

Conservation and Biology 8 : 185 – 191.

Gee GW, Bauder JW. 1986. Methods of Soil Analysis. Part 1. Physical and

Mineralogical Methods. Second Edition. Di dalam : Klute A, editor.

American Society of Agronomy, Inc and Soil Society of America, Inc.

Madison, Wisconsin USA.

Georges A, Kennett R. 1989. Dry-season Distribution and Ecology of

Carettochelys insculpta (Chelonia : Carettochelydidae) in Kakadu National

Park, Northern Australia. Aust. Wildl. Res. 16 : 323 – 335.

Georges A, Guarino F, Bito B. 2006. Freshwater Turtles of The TransFly Region

of Papua New Guinea. Notes on Diversity, Distribution, Reproduction,

Harvest and Trade. Wildlife Research 33 : 373 – 384.

Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys

insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :

Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,

Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and

Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and

Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.

5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,

http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.

Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with

Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.

Wildlife Research 35 : 700 – 711.

Godley BJ, Broderick AC, Hays GC. 2001. Nesting of Green Turtles (Chelonia

mydas) at Ascension Island, South Atlantic. Biological Conservation 97 :

151-158.

Google Earth. 2011. Google Earth. http://www.google.com/earth/index.html [17

Agustus 2011].

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.

<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].

Junior PDF. 2009. Environmental Factors Effects in Turtles Reproduction. Acta

Amazonica 39 : 319 – 334.

Karavas N, Georghiou K, Arianoutsou M, Dimopoulos D. 2005. Vegetation and

Sand Characteristics Influencing Nesting Activity of Caretta caretta on

Sekania Beach. Biological Conservation 121 : 177 – 188.

Kamel SJ dan Mrosovsky N. 2005. Repeatability of Nesting Preferences in The

Hawksbill Sea Turtle, Eretmochelys imbricata, and Their Fitness

Consequences. Animal Behaviour 70 : 819–828.

55

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, a primer on Methods and

Computing. Canada. A Wiley-Interscience Publication.

Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona

MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological

Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International

Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.

McGarigal K, Marks BJ. 1995. FRAGSTATS : Spatial Pattern Analysis Program

for Quantifying Landscape Structure. Portland : U.S. Department of

Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. 122 p.

Miller JD, Dinkelacker SA. 2008. Reproductive Structures and Strategies of

Turtles. Di dalam : Wyneken J, Godfrey MH, Bels V, editors. Biology of

Turtles. Boca Raton. CRC Press.

Pike DA. 2008. Environmental Correlates of Nesting in Loggerhead Turtles,

Caretta caretta. Animal Behaviour 76 : 603 – 61.

Rasmussen ML, Litzgus JD. 2010a. Habitat Selection and Movement Patterns of

Spotted Turtles (Clemmys guttata) : Effects of Spatial and Temporal Scales

of Analyses. Copeia 1 : 86 – 96.

Rasmussen ML, Litzgus JD. 2010b. Patterns of Maternal Investment in Spotted

Turtles (Clemmys gluttata) : Implications of Trade Offs, Scales of

Analyses, and Incubation Substrates. Ecoscience 17 : 47 – 58.

Restrepo A, Pineros VJ, Paez VP. 2006. Nest Site Selection by Colombian Slider

Turtles, Trachemys callirostris callirostris (Testudines : Emydidae), in the

Mompos Depression, Colombia. Chelonian Conservation and Biology 5 :

249 – 254.

Roe JH, Brinton AC, Georges A. 2009. Temporal and Spatial Variation in

Landscape Connectivity for a Freshwater Turtle in a Temporarally

Dynamic Wetland System. Ecological application, 19(5), pp. 1288 – 1299.

Roth CH. 1997. Bulk Density of Surface Crusts : Depth Functions and

Relationship to Texture. Catena 29 : 223 – 237.

Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and

Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta

marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist

154 : 383 – 397.

Schodde R, Mason I, Wolfe TO. 1972. Further Records of the Pitted-Shelled

Turtle (Carettochelys insculpta) from Australia. Trans. R. Soc. S. Aust.

Vol. 96, Part 2.

Triantoro RGN, Kuswandi R. 2005. Faktor yang Berpengaruh Pada Kualitas

Habitat Peneluran Penyu Di Suaka Margasatwa Jamursba Medi. Info

Hutan Vol. II No. 2.

56

Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong

Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari : Hasil Penelitian Balai Penelitian

Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Departemen Kehutanan.

UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species.

[27 January 2011].

Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of

Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic

Press.

Walde AD, Bider JR, Masse D, Saumure RA, Titman RD. 2007. Nesting

Ecology and Hatching Success of the Wood Turtle, Glyptemys insculpta, in

Québec. Herpetological Conservation and Biology 2 : 49 – 60.

Wood PJ, Hudson MD, Doncaster CP. 2009. Impact of Egg Harvesting on

Breeding Success of Black-Headed Gulls, Larus ridibundus. Acta

Oecologica 35 : 83 – 93.

57

LAMPIRAN

59

Lampiran 1 Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran Labi-labi

moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai

Vriendschap

No.

Lab No. Lapang

Tekstur

Fr. I Fr. II Fr. III Fr. IV Fr. V Fr. VI Fr. VII Fr. VIII Fr. IX Fr. X

………………………(%)……………………

E.1 Wil P1 MB Pasir 1 - 0.30 43.79 42.61 4.14 3.27 1.03 0.87 0.32 3.67

E.2 Wil P1 MB Pasir 2 - - 3.78 55.82 21.06 10.99 1.55 1.10 1.04 4.66

E.3 Wil P1 MB Pasir 3 - 0.11 1.86 35.84 29.48 11.22 15.61 0.37 0.60 4.91

E.4 Wil P1 MB Pasir 4 - 0.10 9.82 39.72 22.05 12.04 10.74 0.79 0.89 3.85

E.5 Wil P1 MB Pasir 5 - - 0.63 46.53 26.45 18.44 3.39 1.32 1.70 1.54

E.6 Wil P1 MB Pasir 6 - - 6.34 63.47 12.78 9.06 0.54 1.37 1.04 5.40

E.7 Wil P1 MB Pasir 7 - - 15.16 69.33 3.49 1.64 2.95 1.56 2.04 3.83

E.8 Pasir 1 BOR 2.30 34.91 51.27 1.84 0.09 0.69 2.02 1.32 2.44 3.12

E.9 Pasir 2 BOR 17.67 49.39 22.71 0.35 0.08 2.40 2.26 1.17 2.28 1.69

E.10 Pasir 3 BOR - 0.83 59.78 27.04 3.49 2.02 2.57 0.44 0.23 3.60

E.11 Pasir 4 BOR 39.98 37.20 11.68 2.88 0.27 1.11 1.53 0.34 2.46 2.55

E.12 Pasir 5 BOR 4.95 38.19 25.64 21.39 2.12 1.02 2.62 0.42 2.13 1.52

E.13 Pasir 6 BOR 1.41 23.89 55.56 10.59 1.22 1.39 0.84 0.89 0.28 3.93

E.14 Pasir 1 Indama 26.79 18.03 14.65 16.75 3.77 9.78 3.58 2.71 2.13 1.81

E.15 Pasir 2 Indama 7.55 33.54 34.53 14.48 1.26 4.03 0.79 0.76 0.51 2.55

E.16 Pasir 3 Indama 32.31 35.99 7.27 8.56 2.13 6.29 2.14 1.03 0.93 3.35

E.17 Pasir 4 Indama 14.14 19.39 40.46 17.23 1.40 2.23 1.96 0.28 0.85 2.06

E.18 Pasir 5 Indama 18.80 45.58 23.57 5.23 0.37 1.72 0.29 1.03 0.95 2.46

E.19 Pasir 6 Indama 4.76 34.39 46.83 6.79 0.26 2.29 1.48 0.88 0.47 1.85

E.20 Wil P1 LT Pasir 1 - - 1.32 69.18 15.67 4.88 0.77 1.46 0.86 5.86

E.21 Wil P1 LT Pasir 2 - - 1.51 58.35 21.43 10.46 0.48 0.68 0.37 6.72

E.22 Wil P1 LT Pasir 3 - - 0.54 15.55 45.25 25.05 1.76 2.40 3.53 5.92

E.23 Wil P1 LT Pasir 4 - - 0.84 11.21 50.35 25.15 3.53 1.02 1.22 6.68

E.24 Wil P1 LT Pasir 5 - - 0.73 60.68 21.05 10.76 0.62 2.96 1.33 1.87

E.25 Wil P1 LT Pasir 6 - - 2.06 65.88 16.32 9.28 0.98 1.14 2.02 2.32

E.26 Wil P1 LT Pasir 7 - - 0.68 52.63 28.76 11.94 1.53 0.35 1.92 2.19

E.27 Wil P1 LT Pasir 8 - - 0.45 51.29 29.21 13.11 0.36 0.89 1.03 3.66

E.28 Wil P1 LT Pasir 9 - 0.42 0.84 29.54 42.43 17.43 2.47 2.47 0.92 3.48

60

No.

Lab No. Lapang

Tekstur

Fr. I Fr. II Fr. III Fr. IV Fr. V Fr. VI Fr. VII Fr. VIII Fr. IX Fr. X

………………………(%)……………………

E.29 Wil P2 S. Pasir 1 22.82 42.01 17.66 2.73 0.76 11.28 0.22 0.86 0.48 1.18

E.30 Wil P2 SS. Pasir 2 47.79 15.18 9.08 13.16 5.14 5.52 0.52 1.49 1.21 0.91

E.31 Wil P2 SS. Pasir 3 3.46 3.68 17.76 52.29 10.34 7.28 1.78 1.19 1.01 1.21

E.32 Wil P2 SS. Pasir 4 39.56 23.16 13.48 14.84 2.29 3.95 1.01 0.27 0.78 0.66

E.33 Wil P2 SS. Pasir 5 24.77 28.93 32.75 6.85 1.65 0.86 1.04 0.81 0.41 1.93

E.34 Wil P2 SS. Pasir 6 - 0.18 2.14 9.81 15.34 57.32 5.21 5.31 2.31 2.38

E.35 Wil P2 SS. Pasir 7 - 0.06 0.49 9.96 36.60 40.64 5.62 2.52 2.07 2.04

E.36 Wil P2 Bak. Pasir 8 - 0.81 0.91 12.98 30.43 45.36 2.19 2.35 0.95 4.02

E.37 Wil P2 An. Pasir 9 20.63 36.39 28.19 7.81 0.98 2.07 0.72 0.85 1.10 1.26

E.38 Wil P2 BU. Pasir 10 5.66 18.63 64.19 6.41 0.69 1.65 0.46 0.18 0.32 1.81

E.39 Wil P2 BU. Pasir 11 19.77 53.70 19.72 2.44 0.38 1.24 0.26 1.11 0.44 0.94

E.40 Wil P2 BU. Pasir 12 2.95 36.55 52.82 3.29 0.34 1.03 1.10 0.46 10.63 0.83

E.41 Wil P2 BU. Pasir 13 20.22 32.16 23.73 19.56 1.42 0.85 0.08 0.56 0.44 0.98

E.42 Wil P2 BU. Pasir 14 0.19 21.38 68.49 6.01 0.34 0.21 0.78 1.14 0.76 0.70

E.43 Wil P3 KW Pasir 1 1.63 19.97 58.79 13.49 1.12 1.21 2.04 0.49 0.42 0.84

E.44 Wil P3 KW Pasir 2 4.29 29.87 44.07 10.79 4.66 3.04 1.01 0.38 1.14 0.75

E.45 Wil P3 KW Pasir 3 16.03 17.24 35.17 21.95 4.26 2.91 0.60 0.33 0.95 0.56

E.46 Wil P3 KW Pasir 4 6.85 7.52 43.93 28.29 7.13 0.86 2.72 0.57 0.99 1.14

E.47 Wil P3 KW Pasir 5 0.24 4.13 65.62 19.69 1.44 5.11 1.02 1.34 0.47 0.94

E.48 Wil P3 KW Pasir 6 4.51 20.78 58.34 8.39 1.39 2.76 1.62 0.61 0.86 0.74

E.49 Wil P3 KW Pasir 7 - 0.12 4.46 37.36 24.98 21.57 7.06 1.17 1.52 1.76

Keterangan :

Fr I : Pasir Sangat Kasar (2 – 1 mm)

Fr II : Pasir kasar (1 – 0.5 mm)

Fr III : Pasir Sedang (0.5 – 0.25 mm)

Fr IV : Pasir Halus ( 0.25 – 0.1 mm)

Fr V : Pasir Sangat Halus (0.1 – 0.05 mm)

Fr VI : Debu Kasar (0.05 – 0.025 mm)

Fr VII : Debu Sedang (0.025 – 0.005 mm)

Fr VIII : Debu Halus (0.005 – 0.002 mm)

Fr IX : Liat Kasar (0.002 – 0.0005 mm)

Fr X : Liat Halus (≥ 0.0005 mm)

61

Lampiran 2 Suhu lingkungan di wilayah Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat

Tanggal (2011)

Suhu Lingkungan

Lokasi Keterangan Pagi Siang Malam

T (°C) RH (%) T (°C) RH (%) T (°C) RH (%)

8-Nov

Suhu 25,5 86 30,6 63 25,4 92 Rawa Bor Tanggal 7 malam hujan

waktu : 06.00 13.00 20.00

9-Nov

Suhu 24,9 96 30,4 54 25,9 95 Rawa Bor

waktu : 06.00 13.30 20.00

10-Nov

Suhu 24,0 99 38,0 35 26,2 92 Rawa Bor

waktu : 06.00 13.00 20.00

11-Nov

Suhu - - - - 26,1 85 S. Vriendschap

(Muara Demi)

waktu : - - 19.00

12-Nov

Suhu 24,3 87 31,9 59 25,8 86 S. Vriendschap

hujan malam di daerah

gunung, sungai banjir, pasir terendam waktu : 06.00 14.00 20.30

13-Nov

Suhu 23,5 93 31,5 64 25,1 88 S. Vriendschap hujan lebat jam 18.00

waktu : 06.00 12.00 20.00

14-Nov

Suhu 24,3 92 36,2 47 24,9 86 S. Vriendschap

pagi hari sungai kembali

banjir waktu : 06.15 13.00 19.50

15-Nov

Suhu 24,8 83 27,9 65 24,2 96 S. Vriendschap sampai malam sungai belum

surut waktu : 06.00 13.00 21.00

16-Nov

Suhu 23,7 96 - - 25,5 83 S. Vriendschap

sungai surut di pagi hari,

pasir peneluran mulai terlihat,

hujan deras 19.00 - 24.00 waktu : 06.00 - 20.50

17-Nov

Suhu 23,7 86 30,0 73 23,6 84 S. Vriendschap

sungai kembali banjir, pagi - siang mendung, sore - malam

cerah waktu : 06.15 13.10 20.05

18-Nov

Suhu 24,3 89 34,1 50 24,5 93 S. Vriendschap

pagi-malam cerah,

permukaan sungai mulai turun waktu : 06.03 13.05 20.35

19-Nov

Suhu 24,0 96 39,4 41 26,3 89 S. Vriendschap hujan lebat di daerah Sumo

waktu : 05.58 13.10 20.15

20-Nov

Suhu 24,2 91 41,4 52 27,0 83 S. Vriendschap

permukaan sungai meningkat, hujan sebabkan

tidak ada peneluran waktu : 06.05 13.30 20.10

21-Nov

Suhu - - 32,9 60 26,2 95 S. Vriendschap

waktu : - 13.10 20.00

22-Nov

Suhu 25,3 98 33,0 56 24,8 96 S. Vriendschap

hujan subuh, tidak deras ± 30 menit waktu : 06.00 13.00 20.00

23-Nov

Suhu 25,8 92 - - 26,2 97 S. Vriendschap cerah

waktu : 06.00 - 20.00

24-Nov

Suhu 24,7 90 31,5 66 25,1 88 S. Vriendschap hujan jam 02.00 - 08.00

waktu : 06.00 13.35 20.05

25-Nov

Suhu 25,2 98 42,1 41 28,6 79 S. Vriendschap malam hujan ringan

waktu : 06.00 13.00 20.10

26-Nov

Suhu 26,2 92 34,9 55 - - S. Vriendschap

waktu : 06.00 13.00 -

62

Lampiran 3 Jumlah sarang, jumlah jejak, luas pasir (area), perimeter, shape

index, fractal dimension, tekstur pasir dan luas tutupan vegetasi.

ΣSarang ΣJejak Area (m2) Perim (m) SI FD Ukpasir Ltupveg Pasir

0 0 12548.22 614.494 1.37141 1.06693 5 1019.77 Psr 9 LT

0 1 14130.35 615.833 1.29517 1.05413 4 6930.86 Psr 6 MB

1 6 14520.07 606.736 1.25880 1.04803 2 0 Psr 9 An

3 4 19491.86 678.611 1.21516 1.03946 4 521.226 Psr 8 LT

1 1 25196.69 848.145 1.33579 1.05714 6 83.789 Psr 8 Bak

0 0 2160.33 254.943 1.37127 1.08224 6 0 Psr 7 SS

0 0 10255.38 467.471 1.15403 1.03102 4 633.678 Psr 7 LT

0 0 4293.202 404.609 1.54378 1.10382 4 0 Psr 7 KW

0 1 54140.11 973.986 1.04649 1.00834 3 0 Psr 6 S.Bor

0 6 1358.792 194.731 1.32068 1.07711 6 0 Psr 6 SS

0 4 4420.239 384.667 1.44645 1.08795 3 0 Psr 6 MK

1 8 8267.925 447.616 1.23069 1.04602 4 339.658 Psr 6 LT

1 8 13729.4 806.429 1.7206 1.11392 3 27.406 Psr 6 KW

1 4 25244.37 759.796 1.19551 1.03523 2 0 Psr 5 S.Bor

1 3 13736.82 537.154 1.14577 1.02856 3 0 Psr 5 SS

0 4 21333.31 706.796 1.20978 1.03821 2 276.446 Psr 5 MK

0 2 174.477 98.998 1.87369 1.24329 4 0 Psr 5 MB

0 0 69771.77 1504.735 1.42416 1.06341 4 5313.317 Psr 5 LT

0 0 6223.008 645.716 2.04636 1.16393 3 0 Psr 5 KW

0 1 26245.57 711.184 1.09747 1.01828 1 0 Psr 4 S.Bor

1 50 11365.72 545.727 1.27973 1.05282 1 0 Psr 4 SS

6 50 34339.75 917.017 1.23714 1.04075 3 0 Psr 4 MK

0 0 4160.981 337.074 1.30637 1.06414 4 0 Psr 4 MB

0 0 5916.274 634.23 2.0614 1.16657 5 0 Psr 4 LT

0 1 23137.13 879.805 1.44601 1.07340 3 243.673 Psr 4 KW

0 0 17480.59 643.013 1.21585 1.04001 3 0 Psr 3 S.Bor

106 201 32180.58 1298.58 1.80972 1.11430 4 9781.921 Psr 3 SS

0 0 4176.701 360.992 1.39644 1.08010 2 0 Psr 3 MK

0 0 51871.21 1035.987 1.13719 1.02368 4 5749.874 Psr 3 MB

0 0 3831.029 386.349 1.56049 1.10787 5 0 Psr 3 LT

3 64 7202.527 446.494 1.31526 1.06171 3 0 Psr 3 KW

0 0 60810.52 1162.477 1.17851 1.02982 2 0 Psr 2 S.Bor

0 105 4283.409 252.237 0.96351 0.99111 1 0 Psr 2 SS

2 7 5450.278 552.054 1.86944 1.14544 3 0 Psr 2 MK

0 0 785.006 191.248 1.70648 1.16035 4 0 Psr 2 MB

0 0 12230.35 701.751 1.58637 1.09806 4 0 Psr 2 LT

1 1 143288.4 2281.197 1.5066 1.06904 3 0 Psr 2 KW

0 0 43889.68 1062.68 1.26812 1.04444 3 0 Psr 1 S.Bor

0 7 7295.947 527.959 1.54525 1.09785 2 1301.109 Psr 1 SS

0 0 17632.66 865.184 1.62888 1.09980 1 1907.922 Psr 1 MK

3 4 89285.88 1480.186 1.23841 1.03752 3 4687.057 Psr 1 MB

63

ΣSarang ΣJejak Area (m2) Perim (m) SI FD Ukpasir Ltupveg Pasir

0 0 1129.206 191.146 1.42206 1.10018 4 0 Psr 1 LT

1 6 51764.07 1475.924 1.62177 1.08909 3 0 Psr 1 KW

0 0 14901.22 643.612 1.31811 1.05749 3 0 Psr 14 BU

0 0 39724.05 1309.876 1.64302 1.09378 2 0 Psr 13 BU

0 0 30837.34 1051.652 1.49718 1.07809 3 0 Psr 12 BU

0 0 55301.09 1125.655 1.19668 1.03288 2 0 Psr 11 BU

0 0 35309.91 895.613 1.19155 1.03347 3 0 Psr 10 BU

64

Lampiran 4 Pola sebaran sarang Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai

Vriendschap

A. Tabel sebaran frekuensi sarang Labi-labi moncong babi

No xi xi² fi (N) xi.fi (n) xi².fi

1 0 0 33 0 0

2 1 1 9 9 9

3 2 4 1 2 4

4 3 9 3 9 27

5 4 16 0 0 0

6 5 25 0 0 0

7 6 36 1 6 36

107 106 11236 1 106 11236

JUMLAH 48 132 11312

B. Metode Ratio Ragam

Nilai Tengah ( x ) : = =

= 132/48 = 2.75

Keragaman (S2) : S

2 =

= [11312 – (2.75)(132)] / 48 – 1

= 10949 / 47 = 232.957

C. Metode Indeks

Index of Dispertion (ID) : ID = S2 / x = 232.957 / 2.75 = 84.712

Index of Clumping (IC) : IC = ID – 1 = 84.712 – 1 = 83.712

Green index (GI) : GI = IC / (n – 1) = 83.712 / (132-1)

= 83.712 / 131 = 0.639

xi

ii

f

fx .

N

n

1

.).(2

N

nxfx ii

65

Lampiran 5 Pola sebaran jejak induk Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai

Vriendschap

A. Tabel sebaran frekuensi sarang Labi-labi moncong babi

No xi xi² fi (N) xi.fi (n) xi².fi

1 0 0 23 0 0

2 1 1 6 6 6

3 2 4 1 2 4

4 3 9 1 3 9

5 4 16 5 20 80

6 5 25 0 0 0

7 6 36 3 18 108

8 7 49 2 14 98

9 8 64 2 16 128

51 50 2500 2 100 5000

65 64 4096 1 64 4096

106 105 11025 1 105 11025

202 201 40401 1 201 40401

JUMLAH 48 549 60955

B. Metode Ratio Ragam

Nilai Tengah ( x ) : = =

= 549 / 48 = 11.438

Keragaman (S2) : S

2 =

= [60955 – (11.438)(549)] / 48 – 1

= 54675.538 / 47 = 1163.309

C. Metode Indeks

Index of Dispertion (ID) : ID = S2 / x = 1163.309 / 11.438 = 101.706

Index of Clumping (IC) : IC = ID – 1 = 101.706 – 1 = 100.706

Green index (GI) : GI = IC / (n – 1) = 100.706 / (549-1)

= 83.712 / 548 = 0.184

xi

ii

f

fx .

N

n

1

.).(2

N

nxfx ii

66

Lampiran 6 Analisis regresi jumlah sarang terhadap parameter luas pasir,

perimeter, shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas

tutupan vegetasi.

Regression Analysis: Jmlh Srg versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,

Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)

The regression equation is

Jmlh Srg = - 41 - 3.86 Area (ha) + 24.2 Perimeter (km) - 0.9 SI + 31 FD - 0.04 Ukpasir + 43.5 Ltupveg (ha)

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -41.3 142.6 -0.29 0.774

Area (ha) -3.864 2.665 -1.45 0.155 17.679

Perimeter (km) 24.22 19.86 1.22 0.230 24.062

SI -0.93 33.48 -0.03 0.978 24.474

FD 31.1 168.9 0.18 0.855 21.557

Ukpasir -0.038 1.512 -0.02 0.980 1.209

Ltupveg (ha) 43.483 9.113 4.77 0.000 1.221

S = 11.7475 R-Sq = 48.3% R-Sq(adj) = 40.8%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 6 5290.9 881.8 6.39 0.000

Residual Error 41 5658.1 138.0

Total 47 10949.0

Source DF Seq SS

Area (ha) 1 35.3

Perimeter (km) 1 1850.5

SI 1 37.4

FD 1 39.6

Ukpasir 1 185.8

Ltupveg (ha) 1 3142.2

Unusual Observations

Obs Area (ha) Jmlh Srg Fit SE Fit Residual St Resid

2 1.4 0.00 29.71 5.88 -29.71 -2.92R

17 0.0 0.00 -2.21 10.49 2.21 0.42 X

18 7.0 0.00 22.88 4.79 -22.88 -2.13R

27 3.2 106.00 53.06 8.30 52.94 6.37RX

37 14.3 1.00 -9.69 9.14 10.69 1.45 X

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large leverage

6050403020100-10-20-30

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI1

Pe

rce

nt

Mean 2.405483E-15

StDev 10.97

N 48

KS 0.197

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI1Normal

67

Transformasi data :

General Regression Analysis: Jmlh Srg+1 versus Area (ha), Perimeter (km),

Shape Index, Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)

Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -2

The 95% CI for lambda is (*, -1.065)

Regression Equation

Jmlh Srg+1^-2 = -0.0727689 - 0.0410059 Area (ha) + 0.471659 Perimeter (km) + 0.0684055 SI - 0.972892

FD + 0.00784339 Ukpasir + 0.044390 Ltupveg (ha)

Coefficients

Term Coef SE Coef T P

Constant -0.072769 4.85905 -0.014976 0.988

Area (ha) -0.041006 0.09079 -0.451680 0.654

Perimeter (km) 0.471659 0.67662 0.697080 0.490

SI 0.068405 1.14075 0.059965 0.952

FD -0.972892 5.75506 -0.169050 0.867

Ukpasir 0.007843 0.05151 0.152268 0.880

Ltupveg (ha) 0.044391 0.31045 0.142990 0.887

Summary of Model

S = 0.400208 R-Sq = 9.17% R-Sq(adj) = -4.13%

PRESS = 9.41960 R-Sq(pred) = -30.29%

Analysis of Variance

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Regression 6 0.66263 0.66263 0.110438 0.689518 0.659200

Area (ha) 1 0.35308 0.03268 0.032676 0.204014 0.653880

Perimeter (km) 1 0.27011 0.07783 0.077828 0.485921 0.489686

SI 1 0.02648 0.00058 0.000576 0.003596 0.952475

FD 1 0.00375 0.00458 0.004577 0.028578 0.866589

Ukpasir 1 0.00593 0.00371 0.003714 0.023186 0.879722

Ltupveg (ha) 1 0.00327 0.00327 0.003275 0.020446 0.886999

Error 41 6.56683 6.56683 0.160167

Total 47 7.22945

Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response

Obs Jmlh Srg+1^-2 Fit SE Fit Residual St Resid

17 -1.00000 -1.07683 0.357402 0.076834 0.42666 X

27 -0.00009 -0.47774 0.282859 0.477657 1.68712 X

37 -0.25000 -0.49786 0.311469 0.247860 0.98630 X

Fits for Unusual Observations for Original Response

Obs Jmlh Srg+1 Fit

17 1 0.96366 X

27 107 1.44678 X

37 2 1.41725 X

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

1.00.50.0-0.5-1.0

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI2

Perc

ent

Mean -1.64220E-16

StDev 0.3738

N 48

KS 0.237

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI2Normal

68

Stepwise Regression : Jmlh Srg versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,

Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)

Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0.05

Response is Jmlh Srg on 6 predictors, with N = 48

Step 1

Constant -1.021

Ltupveg (ha) 46.6

T-Value 5.57

P-Value 0.000

S 11.9

R-Sq 40.30

R-Sq(adj) 39.00

Mallows Cp 3.4

Regression Analysis: Jmlh Srg versus Ltupveg (ha)

The regression equation is

Jmlh Srg = - 1.02 + 46.6 Ltupveg (ha)

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -1.021 1.849 -0.55 0.583

Ltupveg (ha) 46.635 8.369 5.57 0.000 1.000

S = 11.9203 R-Sq = 40.3% R-Sq(adj) = 39.0%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 1 4412.7 4412.7 31.05 0.000

Residual Error 46 6536.3 142.1

Total 47 10949.0

Unusual Observations

Obs Ltupveg (ha) Jmlh Srg Fit SE Fit Residual St Resid

2 0.693 0.00 31.30 5.40 -31.30 -2.95RX

18 0.531 0.00 23.76 4.14 -23.76 -2.13R

27 0.978 106.00 44.60 7.70 61.40 6.75RX

29 0.575 0.00 25.79 4.48 -25.79 -2.33RX

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

6040200-20-40

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI3

Pe

rce

nt

Mean -4.07082E-16

StDev 11.79

N 48

KS 0.349

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI3Normal

69

Transformasi Data :

General Regression Analysis: Jmlh Srg+1 versus Ltupveg (ha)

Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -2

The 95% CI for lambda is (*, -1.045)

Regression Equation

Jmlh Srg+1^-2 = -0.760749 + 0.243921 Ltupveg (ha)

Coefficients

Term Coef SE Coef T P

Constant -0.760749 0.060973 -12.4769 0.000

Ltupveg (ha) 0.243921 0.275981 0.8838 0.381

Summary of Model

S = 0.393113 R-Sq = 1.67% R-Sq(adj) = -0.47%

PRESS = 8.20012 R-Sq(pred) = -13.43%

Analysis of Variance

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Regression 1 0.12072 0.12072 0.120718 0.78116 0.381383

Ltupveg (ha) 1 0.12072 0.12072 0.120718 0.78116 0.381383

Error 46 7.10873 7.10873 0.154538

Lack-of-Fit 14 2.72260 2.72260 0.194471 1.41881 0.200895

Pure Error 32 4.38613 4.38613 0.137067

Total 47 7.22945

Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response

Obs Jmlh Srg+1^-2 Fit SE Fit Residual St Resid

2 -1.00000 -0.591691 0.178233 -0.408309 -1.16531 X

27 -0.00009 -0.522147 0.254061 0.522060 1.74029 X

29 -1.00000 -0.620497 0.147701 -0.379503 -1.04170 X

Fits for Unusual Observations for Original Response

Obs Jmlh Srg+1 Fit

2 1 1.30003 X

27 107 1.38390 X

29 1 1.26949 X

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

1.00.50.0-0.5-1.0

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI4

Perc

ent

Mean 1.734723E-16

StDev 0.3889

N 48

KS 0.418

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI4Normal

70

Lampiran 7 Analisis regresi jumlah jejak induk terhadap parameter luas pasir,

perimeter, shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas

tutupan vegetasi.

Regression Analysis: Jmlh Jejak versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,

Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)

The regression equation is

Jmlh Jejak = 275 - 3.48 Area (ha) + 0.2 Perimeter (km) + 52.4 SI - 297 FD - 5.52 Ukpasir + 86.6 Ltupveg(ha)

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 275.3 366.6 0.75 0.457

Area (ha) -3.479 6.849 0.51 0.614 17.679

Perimeter (km) 0.25 51.05 0.00 0.996 24.062

SI 52.43 86.06 0.61 0.546 24.474

FD -296.8 434.2 -0.68 0.498 21.557

Ukpasir -5.516 3.886 -1.42 0.163 1.209

Ltupveg (ha) 86.55 23.42 3.70 0.001 1.221

S = 30.1929 R-Sq = 31.6% R-Sq(adj) = 21.6%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 6 17299.8 2883.3 3.16 0.012

Residual Error 41 37376.0 911.6

Total 47 54675.8

Source DF Seq SS

Area (ha) 1 108.3

Perimeter (km) 1 3738.0

SI 1 535.2

FD 1 199.4

Ukpasir 1 270.0

Ltupveg (ha) 1 12448.9

Unusual Observations

Obs Area (ha) Jmlh Jejak Fit SE Fit Residual St Resid

2 1.4 1.00 63.47 15.11 -62.47 -2.39R

17 0.0 2.00 -17.60 26.96 19.60 1.44 X

27 3.2 201.00 91.16 21.34 109.84 5.14RX

33 0.4 105.00 24.69 15.30 80.31 3.09R

37 14.3 1.00 -28.86 23.50 29.86 1.57 X

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

100500-50

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI1

Pe

rce

nt

Mean -7.33487E-14

StDev 28.20

N 48

KS 0.227

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI1Normal

71

Transformasi Data :

General Regression Analysis: Jmlh Jejak+1 versus Area (ha), Perimeter (km),

Shape Index, Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)

Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -0.5

The 95% CI for lambda is (-0.825, -0.275)

Regression Equation

Jmlh Jejak+1^-0.5 = -0.25145 - 0.0216933 Area (ha) + 0.00943328 Perimeter (km) - 0.10662 SI -

0.0471626 FD - 0.0703477 Ukpasir + 0.30992 Ltupveg (ha)

Coefficients

Term Coef SE Coef T P

Constant -0.251450 4.00382 -0.06280 0.950

Area (ha) -0.021693 0.07481 -0.28999 0.773

Perimeter (km) 0.009433 0.55753 0.01692 0.987

SI -0.106620 0.93997 -0.11343 0.910

FD -0.047163 4.74213 -0.00995 0.992

Ukpasir -0.070348 0.04244 -1.65742 0.105

Ltupveg (ha) 0.309920 0.25581 1.21154 0.233

Summary of Model

S = 0.329769 R-Sq = 10.53% R-Sq(adj) = -2.56%

PRESS = 7.70469 R-Sq(pred) = -54.60%

Analysis of Variance

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Regression 6 0.52502 0.52502 0.087503 0.80465 0.572159

Area (ha) 1 0.01506 0.00915 0.009145 0.08410 0.773284

Perimeter (km) 1 0.01043 0.00003 0.000031 0.00029 0.986583

SI 1 0.12469 0.00140 0.001399 0.01287 0.910244

FD 1 0.00003 0.00001 0.000011 0.00010 0.992113

Ukpasir 1 0.21519 0.29873 0.298732 2.74703 0.105069

Ltupveg (ha) 1 0.15962 0.15962 0.159621 1.46782 0.232627

Error 41 4.45864 4.45864 0.108747

Total 47 4.98366

Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response

Obs Jmlh Jejak+1^-0.5 Fit SE Fit Residual St Resid

17 -0.577350 -0.790695 0.294497 0.213345 1.43775 X

27 -0.070360 -0.532746 0.233074 0.462386 1.98203 X

37 -0.707107 -0.962867 0.256649 0.255760 1.23512 X

Fits for Unusual Observations for Original Response

Obs Jmlh Jejak+1 Fit

17 3 1.59949 X

27 202 3.52338 X

37 2 1.07862 X

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

0.80.60.40.20.0-0.2-0.4-0.6-0.8

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI2

Perc

ent

Mean -1.29526E-16

StDev 0.3080

N 48

KS 0.189

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI2Normal

72

Stepwise Regression : Jmlh Jejak versus Area (ha), Perimeter (km), Shape Index,

Fractal Dimension, Tekstur Pasir, Luas Tutupan Vegetasi (ha)

Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0.05

Response is Jmlh Jejak on 6 predictors, with N = 48

Step 1

Constant 5.206

Ltupveg (ha) 77

T-Value 3.61

P-Value 0.001

S 30.4

R-Sq 22.03

R-Sq(adj) 20.34

Mallows Cp 2.8

Regression Analysis: Jmlh Jejak versus Ltupveg (ha)

The regression equation is

Jmlh Jejak = 5.21 + 77.1 Ltupveg (ha)

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 5.206 4.722 1.10 0.276

Ltupveg (ha) 77.06 21.37 3.61 0.001 1.000

S = 30.4419 R-Sq = 22.0% R-Sq(adj) = 20.3%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 1 12047 12047 13.00 0.001

Residual Error 46 42629 927

Total 47 54676

Unusual Observations

Obs Ltupveg (ha) Jmlh Jejak Fit SE Fit Residual St Resid

2 0.693 1.00 58.61 13.80 -57.61 -2.12RX

27 0.978 201.00 80.58 19.67 120.42 5.18RX

29 0.575 0.00 49.51 11.44 -49.51 -1.76 X

33 0.000 105.00 5.21 4.72 99.79 3.32R

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

100500-50

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI3

Pe

rce

nt

Mean -5.66214E-15

StDev 30.12

N 48

KS 0.362

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI3Normal

73

Transformasi Data :

General Regression Analysis : Jmlh Jejak+1 versus Ltupveg (ha)

Box-Cox transformation of the response with rounded lambda = -0.5

The 95% CI for lambda is (-0.855, -0.295)

Regression Equation

Jmlh Jejak+1^-0.5 = -0.715565 + 0.18337 Ltupveg (ha)

Coefficients

Term Coef SE Coef T P

Constant -0.715565 0.050701 -14.1133 0.000

Ltupveg (ha) 0.183370 0.229490 0.7990 0.428

Summary of Model

S = 0.326890 R-Sq = 1.37% R-Sq(adj) = -0.78%

PRESS = 5.66567 R-Sq(pred) = -13.68%

Analysis of Variance

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Regression 1 0.06822 0.06822 0.068223 0.638448 0.428380

Ltupveg (ha) 1 0.06822 0.06822 0.068223 0.638448 0.428380

Error 46 4.91544 4.91544 0.106857

Lack-of-Fit 14 1.38817 1.38817 0.099155 0.899556 0.567393

Pure Error 32 3.52726 3.52726 0.110227

Total 47 4.98366

Fits and Diagnostics for Unusual Observations for Transformed Response

Obs Jmlh Jejak+1^-0.5 Fit SE Fit Residual St Resid

2 -0.70711 -0.588474 0.148209 -0.118633 -0.40717 X

27 -0.07036 -0.536194 0.211263 0.465834 1.86745 X

29 -1.00000 -0.610129 0.122820 -0.389871 -1.28696 X

Fits for Unusual Observations for Original Response

Obs Jmlh Jejak+1 Fit

2 2 2.88766 X

27 202 3.47821 X

29 1 2.68631 X

X denotes an observation whose X value gives it large leverage.

0.80.60.40.20.0-0.2-0.4-0.6-0.8

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

RESI4

Pe

rce

nt

Mean -3.70074E-17

StDev 0.3234

N 48

KS 0.290

P-Value <0.010

Probability Plot of RESI4Normal

74

Lampiran 8 Titik sebaran sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat.

No.

Latitude Longitudinal Altitude

1 WAYPOINT 610 -4.95543572 139.30648204 34.00

2 WAYPOINT 923 -4.95494320 139.30607082 44.00

3 WAYPOINT 699 -4.95185120 139.30485670 29.00

4 WAYPOINT 698 -4.95221162 139.30515435 29.00

5 WAYPOINT 697 -4.95341417 139.30534235 30.00

6 WAYPOINT 696 -4.95342289 139.30534336 30.00

7 WAYPOINT 695 -4.95342876 139.30535057 30.00

8 WAYPOINT 694 -4.95344946 139.30536398 30.00

9 WAYPOINT 693 -4.95342792 139.30539407 30.00

10 WAYPOINT 692 -4.95398456 139.30616789 31.00

11 WAYPOINT 691 -4.95377661 139.30577972 32.00

12 WAYPOINT 609 -4.95545777 139.30650224 34.00

13 WAYPOINT 690 -4.95371441 139.30562046 32.00

14 WAYPOINT 689 -4.95349565 139.30548476 32.00

15 WAYPOINT 688 -4.95362489 139.30537848 32.00

16 WAYPOINT 687 -4.95377820 139.30528116 31.00

17 WAYPOINT 686 -4.95382338 139.30540161 32.00

18 WAYPOINT 685 -4.95382187 139.30540228 32.00

19 WAYPOINT 684 -4.95387367 139.30531830 32.00

20 WAYPOINT 683 -4.95390586 139.30532785 33.00

21 WAYPOINT 682 -4.95392011 139.30542206 33.00

22 WAYPOINT 681 -4.95392882 139.30536171 33.00

23 WAYPOINT 608 -4.95553178 139.30656712 34.00

24 WAYPOINT 680 -4.95394265 139.30537948 33.00

25 WAYPOINT 679 -4.95379765 139.30565986 32.00

26 WAYPOINT 678 -4.95382070 139.30559758 34.00

27 WAYPOINT 677 -4.95390083 139.30556598 33.00

28 WAYPOINT 676 -4.95398842 139.30552382 33.00

29 WAYPOINT 675 -4.95397601 139.30554318 33.00

30 WAYPOINT 674 -4.95394978 139.30566589 34.00

31 WAYPOINT 673 -4.95402798 139.30558124 34.00

32 WAYPOINT 672 -4.95403921 139.30565106 33.00

33 WAYPOINT 671 -4.95400443 139.30559666 34.00

34 WAYPOINT 922 -4.93435582 139.30386211 42.00

35 WAYPOINT 607 -4.95556950 139.30659520 34.00

36 WAYPOINT 670 -4.95405522 139.30555307 34.00

37 WAYPOINT 669 -4.95405271 139.30535769 33.00

38 WAYPOINT 668 -4.95412773 139.30545006 34.00

39 WAYPOINT 667 -4.95412052 139.30545299 34.00

40 WAYPOINT 666 -4.95414072 139.30545215 34.00

41 WAYPOINT 665 -4.95420517 139.30546967 34.00

42 WAYPOINT 664 -4.95417760 139.30542843 35.00

43 WAYPOINT 663 -4.95417726 139.30542885 34.00

44 WAYPOINT 662 -4.95416712 139.30547738 35.00

45 WAYPOINT 661 -4.95415019 139.30558174 35.00

46 WAYPOINT 921 -4.93428734 139.30364862 42.00

47 WAYPOINT 606 -4.95508703 139.30608088 34.00

48 WAYPOINT 660 -4.95415480 139.30558409 36.00

49 WAYPOINT 659 -4.95415295 139.30558870 36.00

50 WAYPOINT 658 -4.95415346 139.30559062 36.00

51 WAYPOINT 657 -4.95402555 139.30567947 36.00

52 WAYPOINT 656 -4.95410199 139.30570613 36.00

53 WAYPOINT 655 -4.95410342 139.30571157 36.00

54 WAYPOINT 654 -4.95404801 139.30578014 36.00

55 WAYPOINT 653 -4.95411322 139.30574611 36.00

56 WAYPOINT 652 -4.95418212 139.30573848 36.00

57 WAYPOINT 651 -4.95425421 139.30575290 36.00

75

No.

Latitude Longitudinal Altitude

58 WAYPOINT 920 -4.93399825 139.30356313 41.00

59 WAYPOINT 605 -4.95509039 139.30609169 34.00

60 WAYPOINT 650 -4.95420484 139.30577947 36.00

61 WAYPOINT 649 -4.95431447 139.30569322 37.00

62 WAYPOINT 648 -4.95434096 139.30569666 36.00

63 WAYPOINT 647 -4.95439880 139.30580160 37.00

64 WAYPOINT 646 -4.95455554 139.30578827 37.00

65 WAYPOINT 645 -4.95455462 139.30578953 37.00

66 WAYPOINT 644 -4.95463676 139.30589262 38.00

67 WAYPOINT 643 -4.95463282 139.30591869 38.00

68 WAYPOINT 642 -4.95465998 139.30588097 38.00

69 WAYPOINT 641 -4.95471681 139.30578123 38.00

70 WAYPOINT 919 -4.93414803 139.30340203 40.00

71 WAYPOINT 604 -4.95493180 139.30607527 34.00

72 WAYPOINT 907 -4.86581985 139.33179782 48.00

73 WAYPOINT 378 -5.12615087 139.08790539 9.00

74 WAYPOINT 640 -4.95471739 139.30578316 38.00

75 WAYPOINT 639 -4.95475427 139.30578425 38.00

76 WAYPOINT 638 -4.95479132 139.30580168 38.00

77 WAYPOINT 637 -4.95478973 139.30580629 38.00

78 WAYPOINT 636 -4.95466618 139.30611500 38.00

79 WAYPOINT 635 -4.95474514 139.30602464 38.00

80 WAYPOINT 634 -4.95476106 139.30608935 38.00

81 WAYPOINT 633 -4.95482175 139.30600301 37.00

82 WAYPOINT 632 -4.95482150 139.30600285 37.00

83 WAYPOINT 631 -4.95494052 139.30602749 36.00

84 WAYPOINT 701 -4.95600603 139.30761695 28.00

85 WAYPOINT 918 -4.93393471 139.30327236 38.00

86 WAYPOINT 603 -4.95493147 139.30605716 34.00

87 WAYPOINT 906 -4.86573930 139.33190737 48.00

88 WAYPOINT 916 -4.93247626 139.31306602 49.00

89 WAYPOINT 058 -5.12595473 139.08681180 14.00

90 WAYPOINT 630 -4.95499676 139.30604459 35.00

91 WAYPOINT 629 -4.95506164 139.30607828 35.00

91 WAYPOINT 628 -4.95511302 139.30610904 36.00

93 WAYPOINT 627 -4.95513028 139.30610485 35.00

94 WAYPOINT 626 -4.95515618 139.30614743 35.00

95 WAYPOINT 625 -4.95520539 139.30616420 35.00

96 WAYPOINT 624 -4.95529155 139.30626721 35.00

97 WAYPOINT 623 -4.95529172 139.30626813 35.00

98 WAYPOINT 622 -4.95537680 139.30631490 35.00

99 WAYPOINT 621 -4.95537428 139.30631960 35.00

100 WAYPOINT 955 -5.03084259 139.29502297 28.00

101 WAYPOINT 944 -5.02499261 139.29445543 32.00

102 WAYPOINT 403 -5.15051479 139.05679135 16.00

103 WAYPOINT 911 -4.88585377 139.33201524 47.00

104 WAYPOINT 169 -5.11996184 139.21141852 21.00

105 WAYPOINT 700 -4.95688939 139.30765953 28.00

106 WAYPOINT 917 -4.93396380 139.30236326 37.00

107 WAYPOINT 602 -4.95523280 139.30618440 34.00

108 WAYPOINT 905 -4.86508735 139.33167561 46.00

109 WAYPOINT 865 -4.93255413 139.31296972 40.00

110 WAYPOINT 865 -4.93255413 139.31296972 40.00

111 WAYPOINT 057 -5.12654674 139.08667887 14.00

112 WAYPOINT 702 -4.83270806 139.33922670 55.00

113 WAYPOINT 620 -4.95542197 139.30637249 35.00

114 WAYPOINT 619 -4.95538191 139.30643736 34.00

115 WAYPOINT 618 -4.95538962 139.30644977 35.00

116 WAYPOINT 617 -4.95539985 139.30644650 34.00

117 WAYPOINT 616 -4.95539742 139.30645823 35.00

76

No.

Latitude Longitudinal Altitude

118 WAYPOINT 615 -4.95543648 139.30644264 34.00

119 WAYPOINT 614 -4.95544586 139.30644038 34.00

120 WAYPOINT 613 -4.95543840 139.30639872 34.00

121 WAYPOINT 612 -4.95546439 139.30639520 34.00

122 WAYPOINT 611 -4.95551191 139.30644248 34.00

123 WAYPOINT 930 -4.95560361 139.30651431 45.00

124 WAYPOINT 929 -4.95540823 139.30655454 45.00

125 WAYPOINT 928 -4.95544209 139.30637567 44.00

126 WAYPOINT 927 -4.95523439 139.30629445 45.00

127 WAYPOINT 926 -4.95523129 139.30621466 45.00

128 WAYPOINT 925 -4.95499768 139.30618750 45.00

129 WAYPOINT 924 -4.95501654 139.30610594 44.00

77

Makalah II

INTENSITAS PEMANFAATAN Carettochelys insculpta

(Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP

KABUPATEN ASMAT, PAPUA

Richard Gatot Nugroho Triantoro

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Pascasarjana IPB

Email : [email protected]

ABSTRACT

One of the exploited natural resources of Papua is pig nosed turtle (Carettochelys

insculpta). Continuous demand for wildlife, high the economy value, and the low

availability of animal from breeding farm, has made the utilization of C. insculpta

from nature increased. Although report stated financial benefit for local people

from the sale of C. insculpta, but it is feared that the uncontrollable intensity of

their utilization in nature will lead to population decline and extinction of this

species. This study aims to assess the intensity of C. insculpta utilization by

communities living around the Vriendschap River, Asmat regency, Papua.

Unstructured interview and observation techniques were carried out from 8 to 25

November 2011. The results showed utilization in the Vriendschap River region

can be divided into 5 (five) indigenous territories that is Bor (Marsh), Bor (River),

Obokain, Indama and Sumo. Custom dedicated that different tribes controlled

different areas, i.e. Bor (marsh) area under Betkuar tribe, Obokain area under Diai

and Dini tribes, and Indama and Sumo area under Momuna tribe. Collaboration

with non-local hunter occurred in the Bor (marsh) and Obokain, whereas in the

Indama and Sumo there is no collaboration. Extraction of nature is the main

source of local communities and intensive land use has not been made. Eggs at the

harvesting location are traded barter system, combination of barter system with

direct sales of hatchlings, and hatchling sales system directly to the buyer. The

intensity of utilization is very high for eggs (> 75%), whereas females turtles were

captured only local consumption. Egg harvesting is done on a whole nest without

exception, usually in the morning starting at 04.00 am. Females turtles were

captured simultaneously while collecting eggs.

78

1. PENDAHULUAN

Di Papua dan Papua Barat terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik

masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup

harmonis bersama alam (Indrawan et al. 2007). Masyarakat dari anggota

kelompok etnik tersebut banyak yang masih hidup secara tradisional dengan

melakukan aktifitas kegiatan yang menyatu dengan alamnya seperti memancing

dan berburu sesuai kebutuhan kesehariannya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya

alam berupa tumbuhan dan satwa liar dilakukan secara terkontrol alami dimana

pemanfaatan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sub sistence). Dari

berbagai satwa liar yang dimanfaatkan dari alam, kura-kura air tawar maupun

labi-labi merupakan salah satu kelompok satwa liar yang dimanfaatkan untuk

pemenuhan hidup mereka.

Diantara kelompok kura-kura air tawar, Carettochelys insculpta (Labi-labi

moncong babi) merupakan salah satu satwa yang telah dimanfaatkan sebagai

sumber makanan (sumber protein) secara turun temurun oleh penduduk asli di

bagian Selatan Papua, terutama bagi masyarakat yang pemukimannya berada di

lokasi yang jauh dari pemerintahan. Labi-labi moncong babi merupakan salah

satu sumber daya yang penting bagi penduduk lokal di selatan Papua dan

dimanfaatkan sebagai sumber protein hewan secara turun temurun (IUCN 2010;

Triantoro dan Rumawak 2010), sementara penduduk lokal di PNG mengkonsumsi

kura-kura air tawar dan telur-telurnya secara teratur (Georges et al. 2008b). Dari

segi budaya, penduduk lokal di wilayah sungai Vriendschap dahulu menggunakan

Labi-labi moncong babi sebagai mas kawin (Triantoro dan Rumawak 2010).

Dari segi ekonomi, labi-labi merupakan salah satu jenis reptil yang sudah

mempunyai nilai ekonomi tinggi tidak terkecuali jenis C. insculpta. Jenis ini

dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 dan belum

diberikan kuota pemanfaatan walau telah dimasukkan dalam Apendiks 2 CITES

(Dirjen PHKA 2007, 2008; Kemenhut 2010, 2011, 2012), namun dalam

kenyataannya, perdagangan illegal terhadap C. insculpta tetap terjadi dan dapat

ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan luar negeri seperti di Jakarta

79

(Shepherd dan Nijman 2007; Daniel 2011) dan Singapura (Goh dan O’Riordan

2007). Nilai ekonomi labi-labi cenderung semakin meningkat seiring permintaan

pasar yang terus meningkat pula namun tidak dapat dipenuhi dari usaha

penangkaran. Akibatnya pemanenanan dari alam untuk konsumsi perdagangan

ikut meningkat tanpa memandang apakah jenis yang diambil dari alam merupakan

jenis endemik, dilindungi atau tidak dilindungi. Di seluruh dunia, spesies kura-

kura banyak menghadapi ancaman eksploitasi untuk makanan, obat, dan

perdagangan hewan peliharaan, dan juga dari perusakan habitat dan penyakit

(Leuteritz et al. 2005). Amfibi dan reptil biasanya di panen secara luas dan

sebagian besar untuk konsumsi (makanan dan obat-obatan rakyat), perdagangan

mewah (kulit, perhiasan, dan barang antik), dan perdagangan hewan peliharaan

(Vitt dan Calwell 2009). Harga hidupan liar yang dijual illegal sangat

menggiurkan dan memberikan insentif ekonomi yang kuat bagi para pemburu dan

penyelundup untuk terlibat, termasuk masyarakat lokal, beberapa lembaga

pemerintahan dan penegak hukum dengan perannya masing-masing sebagai

pemburu, pembeli, perantara dan penjual (Kartikasari et al. 2012).

Di Indonesia, C. insculpta hanya didapati tersebar di Selatan Papua mulai

dari Danau Yamur, Kaimana (BBKSDA Papua II, personal communication)

sampai ke Merauke dengan perkiraan populasi tinggi terdapat di Sungai

Vriendschap, Kabupaten Asmat. Statusnya yang dilindungi dan dengan wilayah

sebaran populasi yang terbatas, tidak menyurutkan penghentian perburuan

terhadap spesies ini akibat permintaan pasar perdagangan. Pemanfaatan dari alam

oleh masyarakat yang dahulu dilakukan secara sub sistence berubah menjadi

pemanfaatan yang berlebihan akibat meningkatnya permintaan pasar dan nilai

ekonomi C. insculpta. Perburuan, pengumpulan dan perdagangan illegal hidupan

liar Papua adalah sumber utama perdagangan illegal hidupan liar karena

banyaknya jenis endemik yang menarik dan unik (Kartikasari et al. 2012).

Tingkat eksploitasi (perburuan) C. insculpta sangat tinggi di Indonesia dan Papua

New Guinea (PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri

hewan peliharaan internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap

penampilan satwa unik ini (Georges et al. 2008a). Spesies ini diekspor dalam

jumlah besar untuk perdagangan hewan internasional langsung dari selatan Irian

80

Jaya (Papua), Indonesia (IUCN 2010), penangkapan biasanya dilakukan pada

musim peneluran (Georges et al. 2008b; Triantoro dan Rumawak 2010).

Perburuan di alam terutama dilakukan terhadap telur-telurnya pada musim

peneluran setiap tahunnya dan pemanfaatan daging induk labi-labi sebagai

dampak ikutannya. Dikuatirkan, perburuan yang dilakukan tanpa memperhatikan

aspek konservasi, membuat salah satu jenis labi-labi yang berada di Papua ini

rentan terhadap kepunahan. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan

fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke

jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009). Minimnya informasi pemanfaatan

C. insculpta di alam dan tingginya perburuan mendasari dilakukannya penelitian

ini yang bertujuan untuk mengetahui: 1) wilayah pemanfaatan adat C. insculpta,

2) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem ekonomi di

lokasi pemanfaatan, 3) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 4) pengumpulan

telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.

Kegiatan penelitian ini dibagi dalam tiga tahap yaitu : Pertama,

inventarisisasi wilayah pemanfaatan adat dan suku apa saja yang berprofesi

sebagai pencari pada masing-masing wilayah. Pada konteks ini wilayah adat

memberikan gambaran batas wilayah pemanfaatan antara suku adat yang

mempunyai hak pemanfaatan dan wilayah atau suku adat mana yang

berkolaborasi dengan pencari non lokal. Kedua, melihat pola pemanfaatan lahan

dan sumber daya alam oleh masyarakat lokal di wilayah pemanfaatan serta sistem

ekonomi yang terjadi saat pemanenan telur dilakukan. Pola pemanfaatan lahan

dan sumber daya alam memberikan informasi terkait kondisi habitat hidup dan

peneluran C. inscupta, sedangkan sistem ekonomi memberikan gambaran sistem

perdagangan yang terjadi di wilayah pemanfaatan. Ketiga, menguji intensitas

pemanfaatan yang dilakukan oleh komunitas masyarakat di wilayah Sungai

Vriendschap yang meliputi pertanyaan-pertanyaan terkait dengan : 1) apakah

perburuan dilakukan terhadap telurnya atau induk saja atau kepada kedua bagian

ini?, 2) apakah perburuan telur dilakukan terhadap sarang-sarang yang diprediksi

rusak akibat luapan air sungai?, atau 3) apakah perburuan dilakukan pada

keseluruhan sarang tanpa terkecuali? Intensitas pemanfaatan memberikan

gambaran seberapa tinggi pemanfaatan C. insculpta yang dilakukan oleh

81

komunitas masyarakat saat musim peneluran. Keempat, mendeskripsikan pola

pengumpulan telur dan pemanfaatan induk C. insculpta. Pada penelitian ini

digambarkan bagaimana proses pencarian dan penandaan sarang sampai

pengambilan telurnya, dan bagaimana penangkapan induk dilakukan, jumlah

ditangkap dan prosesnya sampai dikonsumsi.

83

2. METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar II.1)

yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten

Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di sepanjang

Sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain,

Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar, tidak

termasuk alur-alur sungai atau anakan sungai disekitarnya. Penelitian dilakukan

dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada

dalam rentang waktu puncak musim peneluran.

Gambar II.2 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di

wilayah Sungai Vriendschap.

2.2. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi : luas wilayah yang di panen

(sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo), jumlah induk di panen,

jumlah sarang di panen, frekuensi perburuan (pengambilan), dan data responden

84

yang menyangkut pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku,

dan pengalaman berburu

2.3. Metode Pengumpulan Data

Pendataan difokuskan pada para pencari atau pemburu telur yang ditemui

di sepanjang Sungai Vriendschap. Metode yang digunakan dalam pendataan

adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur

yaitu wawancara yang didasarkan pada daftar pertanyaan kunci (tanpa

menggunakan kuisioner yang harus diisi secara langsung oleh responden), dan

teknik observasi yaitu pengamatan langsung dilapangan. Teknik wawancara tidak

terstruktur dilakukan untuk mengumpulkan data responden yang menyangkut

pekerjaan, umur, pendidikan, tempat tinggal (kampung), suku, dan pengalaman

berburu, sedangkan teknik observasi dilakukan untuk mengumpulkan data luas

wilayah yang di panen (sampling pada wilayah Bor (rawa), Obokain, dan Sumo),

jumlah induk di panen, jumlah telur di panen, dan frekuensi perburuan

(pengambilan), dengan mengikuti aktifitas pencari atau pemburu telur. Metode

ini digunakan agar bisa mendapatkan informasi pemanfaatan secara aktual

dilapangan karena obyek yang di teliti adalah satwa yang dilindungi namun

pemanenan illegal di alam terus terjadi. Wawancara dilakukan setelah selesai

dilakukan pendataan sarang atau di waktu luang saat tidak mengambil data

persarangan akibat banjir dalam suasana tidak formil dan informasi yang di dapat

di catat kemudian setelah selesai diskusi. Jumlah pencari telur di lokasi perburuan

yang dapat di wawancarai sebanyak 12 orang. Sebanyak 11 responden

merupakan masyarakat lokal yang berdiam disekitar Sungai Vriendschap dan 1

responden merupakan masyarakat non lokal (pendatang). Keterbatasan jumlah

responden disebabkan para pencari banyak yang pergi meninggalkan lokasi

pencarian atau bersembunyi akibat aktifitas patroli yang dilakukan oleh pihak

BKSDA Asmat.

Pengambilan data intensitas pemanfaatan dilakukan pada 3 (tiga) lokasi

yang dipilih di wilayah Sungai Vriendschap yaitu wilayah pemanfaatan Bor yang

berada pada bagian rawa, wilayah pemanfaatan Obokain yang berada pada bagian

tengah sungai, dan wilayah pemanfaatan Sumo yang terdapat pada bagian hulu

85

sungai. Pada tiap wilayah terdapat lebih dari 1 (satu) kelompok pencari telur

sehingga dalam pendataan sampling wilayah pemanfaatan mengikuti wilayah

pemanfaatan dari salah satu kelompok pengumpul atau pemilik wilayah adat,

sehingga luas wilayah pemanenan adalah gambaran dari luas wilayah dari salah

satu kelompok atau pemilik wilayah adat. Masing-masing sampling lokasi

pemanfaatan kemudian dipetakan luas wilayah perburuan atau pemanenannya dan

ditampilkan secara visual. Pemilihan lokasi pemanfaatan didasarkan pembagian

Sungai Vriendschap yaitu pada bagian hulu (Sumo), tengah (Obokain), dan

mendekati hilir (Bor rawa) dimana pada masing-masing wilayah pemanfaatan

terdiri atas 6 (enam) pasir peneluran. Pendataan sampling wilayah pemanfaatan

dilakukan masing-masing selama 1 hari. Jumlah sarang di panen pada wilayah

Bor (rawa) dihitung selama 4 hari, pada wilayah Obokain selama 5 hari dan pada

wilayah Sumo selama 3 hari. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas

pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan berdasarkan persentase pemanfaatan

jumlah sarang pada tiap lokasi terpilih (Tabel II.1). Para kelompok pemburu telur

disepanjang sungai dan rawa Vriendschap di data asal (kampung/kecamatan)

mereka untuk mendapatkan akses perburuan ke Sungai Vriendschap.

Tabel II.1 Kelas pemanfaatan sarang Labi-labi moncong babi

Kelas Kriteria

Sangat tinggi : Jika lebih dari 75% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Tinggi : Jika sebesar 51-75% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Menengah : Jika sebesar 26-50% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Rendah : Jika sebesar 1-25% jumlah sarang yang dimanfaatkan

Sangat rendah : Jika penduduk tidak memanfaatkan sarang labi-labi

moncong babi

Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009)

2.4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengolah data

dalam bentuk tabulasi terlebih dahulu. Hasil analisis kemudian disajikan dalam

bentuk tabel, grafik dan gambar.

87

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta

Wilayah pemanfaatan di sepanjang Sungai Vriendschap terbagi atas 5

(lima) wilayah pemanfaatan berdasarkan wilayah adat yaitu wilayah Bor (Rawa),

Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo. Sebaran wilayah pemanfaatan telur

dan induk C. insculpta disajikan pada Gambar II.2 dibawah ini yang diwakili oleh

wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo. Letak wilayah pemanfaatan Bor

(Sungai) berada diantara Bor (Rawa) dengan Obokain dan wilayah pemanfaatan

Indama berada diantara Obokain dengan Sumo.

Gambar II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Carettochelys

insculpta pada wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo di wilayah

Sungai Vriendschap.

Wilayah Bor (rawa) secara adat berada dibawah wilayah adat Suku

Betkuar, namun kelompok pencari tahun 2011 di dalam kawasan ini juga terdiri

dari Suku Mapi dan Ternate. Pada wilayah Obokain secara adat berada dibawah

wilayah adat Suku Diai dan Dini dengan kelompok pencari didalamnya terdapat

88

Suku Jawa, Kei, Madura dan Batak. Sementara pada wilayah pemanfaatan

Indama dan Sumo, secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Momuna

namun tidak didapati pencari dari luar suku. Pola pemanfaatan pada wilayah Bor

(rawa) dan Obokain masih terlihat adanya kerjasama dengan pencari telur dari

luar masyarakat lokal, sedangkan pada wilayah Sumo pencarian telur dilakukan

murni oleh masyarakat lokal. Pencari telur diluar masyarakat adat berasal dari

wilayah Jinak, Waganu, Atsy, maupun Agats, dan ijin untuk berburu telur dan

lokasi pencarian dapat berubah sejalan dengan ijin yang diberikan oleh suku adat

kepada mereka. Pendataan jejak induk yang naik ke pasir untuk bersarang

ditemukan sebanyak 19 jejak di wilayah Bor (Rawa), 6 jejak di wilayah Bor

(Sungai), 379 jejak di wilayah Obokain, 65 jejak di wilayah Indama, dan 80 jejak

di wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 7 sarang di

wilayah Bor (Rawa), 1 sarang di wilayah Bor (Sungai), 110 sarang di wilayah

Obokain, 8 sarang di wilayah Indama, dan 6 sarang di wilayah Sumo.

3.1.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem

Ekonomi

Hasil pendataan terhadap pekerjaan responden (pencari telur) diluar

musim peneluran, diperoleh masyarakat setempat masih bergantung kepada

sumberdaya alam yang terlihat dari tingginya pekerjaan berupa ekstraksi langsung

dari hutan, seperti yang terlihat pada Gambar II.3, sedangkan hasil pendataan

responden terhadap tingkat pendidikan menunjukkan bahwa secara keseluruhan

masyarakat lokal belum mendapatkan pendidikan. Responden lokal yang

mengenyam pendidikan hanya 1 (satu) orang dengan tingkat pendidikan sampai

Sekolah Dasar (SD) sedangkan responden lokal lainnya sama sekali tidak

mengenyam pendidikan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA hanya

ditemukan pada responden (pencari telur) dari luar. Gambaran sebaran

pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanenan telur dapat dilihat

pada Gambar II.4.

89

Keterangan : PG : Pencari Gaharu; PB : Pencari Buaya; Sekdes : Sekretaris Desa; PP : Penebang

Pohon; P : Pedagang.

Gambar II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan

pekerjaan

Gambar II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan

pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai

Vriendschap.

Pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal baik untuk

pertanian, perikanan maupun peternakan di sekitar wilayah pemanfaatan telur

belum dilakukan, namun pada wilayah perkampungan lahan pertanian sudah

diupayakan oleh masyarakat lokal walau bukan berupa pertanian intensif.

Beberapa produk pertanian yang pernah dikembangkan maupun dijual oleh

masyarakat meliputi kacang panjang (Vigna sinensis), kacang tanah (Arachis

hypogaea), jagung (Zea mays), ketimun (Cucumis sativus), gambas (Luffa

acutangula), cabe (Capsicum sp.), pisang (Musa sp.), ubi kayu (Manihot

esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan keladi (Caladium sp.). Hasil

pertanian ada yang sebagian kecil dijual ke Jinak, namun lebih sering digunakan

41.67

8.338.33

8.33

8.33

16.67

8.33

PG

PG, PB

PG, Sekdes

PG, Sekdes, PP

PG, P

Bertani

Aparat

83.33

8.33

0

8.33

100

0 0 0

0

20

40

60

80

100

Tidak Sekolah SD SMP SLTA

Tingkat

Pendidikan

Frekuensi

Pemanenan

%

90

untuk kebutuhan sendiri karena jauhnya akses untuk menjual dengan jumlah yang

tidak ekonomis sebagai sumber pendapatan. Dari segi kualitas habitat, tidak

adanya pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal pada wilayah

Sungai Vriendschap menyebabkan kondisi habitat peneluran C. insculpta tidak

mengalami penurunan kualitas akibat adanya campur tangan manusia.

Beberapa jenis sumberdaya alam berupa tumbuhan digunakan pula untuk

kebutuhan hidup (makanan) masyarakat lokal di Sungai Vriendschap yang

meliputi sagu (Metroxylon sagu) dan pucuk rotan (Calamus sp), sedangkan jenis

sumberdaya alam berupa satwa liar meliputi kura-kura (Carettochelys insculpta,

Pelochelys bibroni, Emydura subglobosa), buaya (Crocodylus cf novaeguineae),

babi hutan (Sus scrofa), kasuari (Casuarius sp), ular karung (Acrocordus

arafurae), ikan gurame (Osphronemus goramy) dan ulat sagu (Rhynchophorus

ferruginenus). Pemanfaatan satwa liar yang telah bernilai ekonomi (uang tunai)

bagi masyarakat lokal di Sungai Vriendschap adalah kulit buaya dan telur C.

insculpta.

Dari segi perdagangan, penjualan telur oleh pencari lokal dilakukan

dengan sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung

tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli. Sistem barter yang

dilakukan sampai saat ini adalah kesepakatan sejumlah telur yang di barter dengan

satu set perahu. Jumlah telur yang dibarter dengan satu set perahu untuk tahun

2011 berkisar 2 – 4 ember dimana barter telur sebanyak 2 ember didapati di

wilayah Bor, 3 ember di wilayah Obokain dan 4 ember di wilayah Sumo, dengan

jumlah telur tiap ember ± 1.500 butir. Untuk penjualan langsung dalam bentuk

tukik, diperoleh harga tukik tahun 2011 di wilayah sungai Vriendschap berkisar

Rp 15.000 – 20.000 (rata-rata Rp 17.500), sedangkan apabila dijual diluar wilayah

Vriendschap seperti di Jinak, Waganu, Atsy maupun Agats mencapai kisaran

harga Rp 30.000 – 50.000 (rata-rata Rp 40.000).

3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta

Responden yang berhasil di data di Sungai Vriendschap, dipetakan

sebarannya berdasarkan suku dan kampung seperti disajikan pada Gambar II.5,

sedangkan sebaran umur dan pengalaman perburuan telur responden dapat dilihat

pada Gambar II.6.

91

Gambar II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap berdasarkan (a) suku dan (b) kampung

Gambar II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur

Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.

Hasil pendataan sarang yang di panen, diperoleh pemanenan untuk

mendapatkan nilai ekonomi dilakukan terhadap telur-telurnya saja. Pemanenan

tidak dibedakan antara sarang yang baik, sarang yang kemungkinan rusak akibat

tergenang luapan sungai saat banjir, ataupun sarang yang dimungkinkan rusak

akibat predator alami. Seluruh sarang yang ditemukan kemudian dibongkar dan

telur-telurnya diambil tanpa menyisakan sebutirpun telur dalam sarang atau

menyisakan satupun sarang yang utuh. Kondisi tersebut mengakibatkan

pemanenan sarang atau telur C. insculpta mencapai 100%. Dengan persentase

pemanfaatan sarang yang mencapai 100% dan didasarkan atas kelas pemanfaatan

sarang yang ditunjukkan pada Tabel II.4, maka intensitas pemanenan sarang atau

telur di wilayah Sungai Vriendschap termasuk dalam kelas pemanfaatan sangat

tinggi karena keseluruhan sarang di panen tanpa terkecuali dan terjadi diseluruh

wilayah pemanfaatan.

8.338.33

8.33

25.00

41.67

8.33

Mapi

Betkuar

Diai

Dini

Momuna

Madura

8.338.33

33.33

8.33

33.33

8.33

BorBetkuarObokainIndamaSumoJinak

16.67

33.33

8.33

0.00

25.00

16.67 20 - 2526 - 3031 - 3536 - 4041 - 4546 - 50

8.33

16.67

25.00

50.00

0

10

20

30

40

50

60

1 Tahun 2 - 3

tahun

4 - 5

Tahun

≥ 6

Tahun

1 Tahun

2 - 3 tahun

4 - 5 Tahun

≥ 6 Tahun

a b

92

3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta

Pemanenan telur C. insculpta dilakukan pada musim peneluran yaitu di

bulan Agustus – Desember dengan puncak peneluran pada bulan September –

November. Pencari telur berada di wilayah peneluran pada rentang waktu 3-4

bulan dengan frekuensi perburuan telur dilakukan setiap hari apabila kondisi

dilokasi memungkinkan (baik). Kondisi di lokasi yang mendukung perburuan

telur apabila sungai tidak banjir, langit cerah tanpa ada kilatan cahaya, dan tidak

turun hujan. Waktu pengumpulan telur (pemanenan) dimulai pagi hari pada jam

04.00 saat matahari belum terbit dengan menggunakan senter sebagai penerang.

Pengecekan keberadaan sarang dilakukan dengan menusuk-nusuk pasir

menggunakan tongkat yang ujungnya sudah diberi besi atau menggunakan

tongkat kayu yang ujungnya sudah dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan

penusukan. Sarang yang ditemukan kemudian ditandai atau langsung diambil.

Dalam sekali pemanenan apabila sarang yang ditemukan sedikit maka sarang

langsung digali dan diambil telurnya, sedangkan apabila sarang yang ditemui

banyak maka sarang-sarang yang ditemui ditandai terlebih dahulu menggunakan

tongkat kecil yang ujungnya sudah diberi penanda (label) menyerupai bendera

berbahan pita, tali rafia atau bungkus mie instan. Masing-masing label pada

tongkat berbeda-beda yang merupakan ciri pembeda diantara pencari telur.

Apabila tongkat penanda masih belum cukup maka digunakan batang rumput tebu

(Pragmintes karka), ranting, atau batang tumbuhan lainnya yang dapat digunakan

sebagai penanda. Sarang yang telah ditandai tersebut tidak boleh dibongkar dan

diambil telurnya oleh pencari lainnya karena telah ada komitmen bersama bahwa

tidak boleh mengambil telur dari sarang yang sudah ditandai oleh pencari yang

telah menandai terlebih dulu. Komitmen ini dapat dikontrol apabila sekali

pemanenan dalam jumlah sedikit tetapi apabila dalam jumlah banyak sulit

mengontrolnya karena ada yang mencari untung dengan membuang tongkat

penanda, membongkar sarang dan mengambil telurnya. Telur dikumpulkan

dalam suatu wadah (ember) dengan bagian bawahnya dilapisi terlebih dahulu

dengan pasir dan ditutup bagian atasnya dengan pasir pula setelah selesai

pengumpulan telur.

93

Pemanenan terhadap induk betina C. insculpta umumnya dilakukan secara

bersamaan pada saat melakukan pengecekan terhadap sarang dan ditujukan untuk

pemenuhan pangan para pecari (lokal) selama melakukan perburuan telur. Jumlah

induk betina yang ditangkap tidak terbatas jumlahnya didasarkan atas

pertimbangan jumlah anggota pencari (keluarga) dan sebagai persediaan makanan

apabila tidak mendapatkan induk di hari berikutnya. Induk yang ditangkap saat

pengecekan sarang adalah induk yang selesai membuat sarang tetapi belum

sempat kembali ke air atau induk yang terlambat naik ke pasir (menjelang pagi).

Apabila ditemui maka induk segera dibalik dengan plastron menghadap ke atas

yang membuatnya tidak bisa bergerak kembali ke sungai. Selain pemanenan

induk yang dilakukan saat pengecekan sarang di pagi hari, pemanenan induk juga

dilakukan pada saat matahari tenggelam dimana induk terlihat mulai bermain atau

berkumpul di air dekat tepi pasir.

Pada keseluruhan responden, didapati semuanya mengkonsumsi daging

dari induk betina sedangkan yang pernah menjualnya sebanyak 4 (empat)

responden dimana jumlah yang pernah dijual masing-masing responden sebanyak

1 (satu) ekor dengan harga jual Rp 50.000. Penjualan induk dilakukan atas

pesanan dengan lokasi penjualan induk dilakukan di Jinak bersamaan saat

masyarakat kesana membeli kebutuhan hidup.

3.2. Pembahasan

3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta

Pemanfaatan masyarakat lokal terhadap telur dan induk C. insculpta pada

wilayah Sungai Vriendschap dilakukan selama musim peneluran yaitu pada bulan

Agustus – Desember. Pada rentang bulan tersebut masyarakat lokal keluar dari

kampungnya dan membuat bivak (pondok) disepanjang sungai untuk

memudahkan proses pemanenan karena jarak yang cukup jauh antara lokasi

kampung dengan Sungai Vriendschap. Sebaran dan luas wilayah pemanfaatan

terjadi di seluruh wilayah sungai mulai dari muara Vriendschap (pertemuan

dengan Sungai Catarina) sampai ke hulu Sungai Vriendschap yang bertemu

dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng, yang meliputi sungai utama, anak

sungai, rawa-rawa dan aliran-aliran air dimana terdapat kumpulan pasir.

94

Jumlah pasir peneluran yang terdata di wilayah Sungai Vriendschap

meliputi wilayah pemanfaatan Bor (Rawa) sebanyak 15 dengan total luas pasir

peneluran sebesar 30.38 Ha dan pada wilayah Bor (Sungai) sebanyak 6 dengan

total luas pasir peneluran sebesar 22.78 Ha. Pada wilayah pemanfaatan Obokain

jumlah pasir peneluran yang terdata sebanyak 14 dengan total luas pasir peneluran

sebesar 28.82 Ha, pada wilayah Indama sebanyak 6 dengan total luas pasir

peneluran sebesar 8.74 Ha, dan pada wilayah pemanfaatan Sumo jumlah pasir

peneluran yang terdata sebanyak 7 dengan total luas pasir peneluran sebesar 24.96

Ha. Pada wilayah Bor (Sungai) dan Sumo jumlah pasir yang terdata lebih sedikit

karena saat pendataan terdapat beberapa pasir peneluran sudah muncul tetapi

masih tergenang oleh air.

Dari 5 (lima) wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap terlihat bahwa

pencari telur di wilayah adat Obokain mempunyai peluang mendapatkan

penghasilan lebih baik dari para pencari telur di 4 (empat) wilayah lainnya (Bor

rawa, Bor sungai, Indama dan Sumo) disebabkan jumlah sarang cukup banyak

terdapat pada wilayah tersebut. Jumlah sarang yang tinggi pada wilayah Obokain

dapat berkaitan dengan pemilihan tempat peneluran yang mereka sukai dan sifat

C. insculpta yang melakukan pergerakan seperti reptile pada umumnya yaitu

kembali ketempat dimana mereka menetas. Berkaitan dengan sifat penyu yang

umumnya menunjukkan kesetiaan pada satu atau dua tempat bersarang setiap

tahunnya (Rowe et al. 2005), maka lokasi pemanfaatan di wilayah Obokain

Sungai Vriendschap diprediksi merupakan pemilihan tempat bersarang yang

disukai oleh C. insculpta. Pergerakan yang dilakukan C. insculpta ke wilayah

Obokain dipengaruhi oleh gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil

seperti migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja

dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa

(Rowe 2005; Vitt dan Calwell 2009).

3.2.2. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan, Sumber Daya Alam, dan Sistem

Ekonomi

Secara umum, mata pencaharian masyarakat lokal di Sungai Vriendschap

masih berupa peramu dimana kebutuhan pokoknya masih bergantung cukup

95

tinggi terhadap sumberdaya alam. Kondisi seperti ini umum ditemui pada

masyarakat lokal di Papua yang akses menuju dan keluar wilayahnya cukup jauh

atau sulit. Gambar II.3 menunjukkan 41.67% responden murni berprofesi sebagai

pencari gaharu dan 16.67% murni berprofesi sebagai petani. Diluar kedua profesi

murni ini, profesi sebagai pencari gaharu merupakan profesi yang juga dilakukan

oleh responden lainnya yang tidak bekerja sebagai pencari gaharu murni. Saat

musim peneluran, responden mengalihkan profesinya dengan mencari telur dan

kembali ke profesi semula saat musim peneluran selesai. Profesi perburuan telur

dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomi langsung berupa uang tunai agar bisa

memenuhi kebutuhan bahan makanan, transportasi dan simpanan uang.

Diantara masyarakat lokal yang masih bersifat peramu di bagian Selatan

Papua adalah masyarakat Suku Kamoro (Muller 2005), menggantungkan

kebutuhan hidupnya dengan berburu seperti babi, menangkap ikan dan meramu

sepanjang tahun, dan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar musiman seperti

buah-buahan, sayuran hutan hujan, kura-kura, dan sejumlah jenis burung musim

tertentu. Etika kerja masyarakat Papua yang hidup berkelompok di daerah rawa

mengandalkan sagu untuk kelangsungan hidupnya (misalnya, masyarakat Asmat,

Kamoro, Waropen, Bauzi, dan Inawatan) yang berpusat pada upaya-upaya untuk

memenuhi kebutuhan mendesak (misalnya, mengumpulkan cukup makanan untuk

kebutuhan sehari) dan tidak melakukan kerja sebagai investasi untuk masa depan

(Kartikasari et al. 2012).

Mengkonsumsi telur sebagai sumber protein pada masyarakat lokal sudah

tidak menjadi prioritas utama karena telur lebih diutamakan dijual atau ditetaskan

terlebih dahulu untuk dijual dalam bentuk tukik. Konsumsi telur hanya dilakukan

terhadap telur yang diprediksi tidak menetas (rusak) atau pada saat kebutuhan

bahan makanan sudah tidak ada dan belum sempat mencari di hutan. Masyarakat

lokal yang tidak mempunyai perahu atau perahu lama yang dimiliki sudah rusak

ataupun alasan lainnya yang mendesak, maka pada tahap awal penjualan telur

dilakukan dengan sistem barter dimana sejumlah telur ditukar dengan satu set

perahu (perahu lengkap dengan mesinnya). Keuntungan bagi masyarakat lokal

dengan sistem barter adalah mereka dapat memperoleh barang barterannya

terlebih dahulu walau belum menyerahkan atau melengkapi jumlah telur. Setelah

96

jumlah telur tercukupi untuk barter dengan perahu yang dibutuhkan maka telur

selebihnya yang terkumpul ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik. Jumlah

(penjualan) telur yang dilakukan dengan sistem barter tidak ada ketentuan atau

standar, semuanya tergantung kepada tawar menawar antara pemilik modal yang

juga merangkap pencari telur dari luar dengan masyarakat lokal yang mempunyai

wilayah adat sekaligus sebagai pencari telur lokal. Kondisi tersebut

mengakibatkan terdapat perbedaan antara jumlah telur yang dibarter pada setiap

wilayah pemanfaatan atau pada setiap kelompok pencari telur.

Pada kondisi sebelumnya, pencari lokal hanya menjual sejumlah telur

secara barter dengan satu set perahu. Apabila jumlah telur barter telah tercukupi

dan ada kelebihannya maka dilakukan barter kembali (berulang) seperti

kesepakatan semula. Kekurangan jumlah telur untuk melengkapi nilai barter telur

dan perahu akan ditebus oleh pencari telur pada tahun berikutnya. Sistem barter

seperti ini dapat memberikan surplus perahu kepada masyarakat lokal tetapi tidak

memberikan nilai simpanan dari segi keuangan. Saat ini sistem yang digunakan

oleh pencari lokal dengan pencari dari luar meliputi 3 (tiga) model yaitu sistem

barter murni, kombinasi sistem barter dan jual tukik, dan sistem menjual tukik

murni. Sistem barter murni masih didapati pada para pencari lokal yang baru

pertama kali mencoba peruntungan dalam pemanenan telur, sedangkan kombinasi

sistem barter dan jual tukik serta sistem menjual tukik murni didapati pada pencari

lokal yang sudah mempunyai pengalaman pencarian dalam beberapa tahun.

Sistem kombinasi maupun sistem menjual tukik murni dirasakan oleh beberapa

kelompok masyarakat lokal lebih memberikan keuntungan karena selain

mendapatkan perahu dan dukungan logistik (bahan makanan dan bensin),

kelebihan keuntungan dapat diterima dalam bentuk uang tunai yang dapat

disimpan maupun digunakan untuk membeli kebutuhan hidup seperti bahan

makanan dan bahan bakar minyak (bensin) dalam mendukung sarana transportasi.

Penjualan tukik ada yang dilakukan sendiri oleh pencari lokal (sistem menjual

tukik murni) dan ada yang menjualnya berkolaborasi dengan pencari dari luar

(tukik dijualkan oleh pencari dari luar).

Dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 diperoleh jumlah sarang

disepanjang wilayah Sungai Vriendschap sebanyak 132 buah dengan rata-rata

97

jumlah telur setiap sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34),

sehingga dari 132 sarang diperoleh rata-rata jumlah telur yang dipanen adalah

2.647 butir (kisaran = 924 – 4.488). Didasarkan pada asumsi jumlah sarang yang

terdata, harga jual rata-rata tukik di wilayah Sungai Vriendschap, dan seluruh

telur yang dipanen berhasil menetas, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul

dari hasil penjualan tukik di sepanjang Sungai Vriendschap dalam rentang waktu

8 – 25 November 2011 sebesar Rp 46.322.500 dengan kisaran Rp 16.170.000 –

78.470.000. Apabila didasarkan pada harga tukik di Jinak, Waganu, Atsy maupun

Agats, maka penghasilan rata-rata yang terkumpul dari hasil penjualan tukik

sebesar Rp 105.880.000 dengan kisaran Rp 36.960.000 – 179.360.000. Nilai

perhitungan ini merupakan simulasi sederhana dengan asumsi yang melekat

didalamnya. Dalam kenyataannya penghasilan bersih setiap kelompok pencari

dapat berbeda disebabkan : 1) Nilai jual yang berlaku saat penjualan karena

masing-masing pencari mempunyai jalur tersendiri dalam memasarkan telur

maupun tukik, 2) persentase tetas telur yang dipanen, 3) perbedaan jumlah telur

yang berhasil dipanen, dan 4) pengeluaran terhadap bahan makanan, bahan bakar

minyak (bensin), dan kebutuhan lain yang digunakan selama musim perburuan.

C. insculpta diekspor dalam jumlah besar untuk perdagangan hewan

internasional langsung dari Selatan Irian Jaya (Papua), Indonesia, dieksploitasi

dan dikonsumsi secara lokal di Papua (Indonesia dan Papua New Guinea), dan

terancam punah oleh hilangnya habitat dan degradasi di Australia (IUCN 2010),

serta diperdagangkan illegal di Indonesia, Singapura, Jepang, Thailand, China,

USA dan Eropa (Georges et al. 2008a). Di dalam negeri tepatnya di pasar

Kemuning, Jakarta, C. insculpta dijual dengan harga Rp 800.000 (Daniel 2011)

dan di luar negeri khususnya di Singapura, C. insculpta di jual illegal secara

sembunyi-sembunyi dengan tidak menempatkan atau memajang di toko hewan

peliharaan dengan harga jual tahun 2007 berkisar 25 – 50 dolar Singapura untuk

panjang kerapas < 5 cm dan harga 100 dolar Singapura untuk panjang kerapas 5 –

10 cm (Goh dan O’Riordan 2007). Dengan kurs 1 $ Singapura sebesar Rp 7.500

(kurs tanggal 25 Juli 2012) dan mengacu pada harga C. insculpta tahun 2007,

maka harga jual tukik C. insculpta di Singapura berkisar Rp 187.500 – 375.000

untuk ukuran kerapas < 5 cm, sedangkan anakan yang mempunyai ukuran sedikit

98

lebih besar (5 – 10 cm) diperoleh harga jualnya sebesar Rp 750.000. Untuk C.

insculpta yang dijual di Singapura, ukuran kerapas < 5 cm masih tergolong

ukuran tukik (anakan) hasil penetasan.

Pekerjaan masyarakat lokal yang bergantung dari sumberdaya alam tidak

terlepas dari pendidikan yang dimiliki. Pemukiman yang jauh dari pemerintahan

dan tingkat pendidikan yang rendah memberikan kontribusi bagi alternatif

pekerjaan yang dapat dilakukan. Tingkat pendidikan yang rendah juga dapat

memberikan dampak negatif bagi pemahaman tentang keberlanjutan populasi

suatu spesies. Hubungan pendidikan rendah dengan intensitas pemanfaatan

sangat tinggi (100%) yang diperlihatkan gambar II.4 tidak berarti menunjukkan

bahwa pendidikan rendah akan memberikan dampak intensitas pemanfaatan yang

tinggi pula, karena tidak ada jaminan dengan pendidikan tinggi dapat mengurangi

tingkat intensitas pemanfaatan telur, namun sulit untuk melihat korelasi diantara

keduanya karena tidak didapati sebaran intensitas pemanfaatan diluar intensitas

sangat tinggi (100%). Korelasi antara faktor-faktor lainnya seperti umur, suku,

kampung, pekerjaan pencari telur, frekuensi pemanenan, waktu perburuan dan

pengalaman perburuan telur terhadap intensitas pemanfaatan juga tidak dapat

dilakukan dengan alasan serupa.

Intensitas pemanenan telur yang sangat tinggi, tingkat pendidikan yang

rendah, nilai jual tukik yang terus meningkat seiring permintaan pasar, dan

pemanfaatan terhadap induk betina sebagai sumber protein secara bersamaan di

wilayah Sungai Vriendschap, secara perlahan dapat menyebabkan hilangnya

generasi dan akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis dari Labi-labi

moncong babi. Kemungkinan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin

terjadi karena hasil penelitian Eisemberg et al. (2011) di kawasan Kikori (PNG)

yang masyarakatnya melakukan pemanenan dan pemanfaatan Labi-labi moncong

babi seperti di wilayah Sungai Vriendschap, mendapati adanya penurunan ukuran

populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang terindikasikan dari

kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang sangat tinggi

oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina yang di

panen.

99

3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta

Pada Gambar II.5 memperlihatkan sebaran responden didominasi oleh

Suku Momuna. Suku Betkuar hanya dijumpai di wilayah Bor (Rawa) sedangkan

Suku Mapi dijumpai di wilayah Bor (Rawa) dan Bor (Sungai). Suku Diai, Dini

dan Madura dijumpai di wilayah Obokain, dan Suku Momuna dijumpai di

wilayah Indama dan Sumo. Semua suku merupakan suku asli setempat kecuali

Suku Mapi yang berasal dari Kabupaten Mapi dan tinggal di Kampung Bor, dan

Suku Madura yang tinggal di kampung Jinak. Semua suku tinggal di wilayah

Sungai Vriendschap kecuali Suku Betkuar dan Suku Madura. Kampung Betkuar

letaknya tidak jauh dari Bor (Rawa) dan secara adat mengklaim bahwa wilayah

Bor (Rawa) merupakan wilayah adatnya, sedangkan Kampung Jinak letaknya jauh

dari Sungai Vriendschap.

Menurut BPS dan Bappeda Provinsi Papua Barat (2011), penduduk usia

produktif adalah penduduk berusia 15 - 64 tahun sedangkan penduduk usia tidak

produktif adalah penduduk yang berusia 0 – 14 tahun dan usia 64 tahun ke atas.

Gambar II.6 memperlihatkan bahwa seluruh umur responden (pencari telur)

berada pada kisaran umur produktif (20 - 50 tahun). Hal ini menggambarkan telur

C. insculpta memberikan rangsangan nilai ekonomi (jual) kepada masyarakat

lokal untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan mereka tanpa menyadari

pemanenan yang berlebihan di alam dapat menyebabkan turunnya populasi

bahkan kepunahan dari spesies bersangkutan. Sebaran pengalaman perburuan

responden memperlihatkan 50% responden mempunyai pengalaman berburu telur

lebih > 6 tahun. Pengalaman responden yang didapati memperlihatkan adanya

tren bahwa para responden telah lama menggeluti perburuan cukup lama. Tren

tersebut menggambarkan pula bahwa pekerjaan perburuan telur memberikan

dampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal sehingga terus

dilakukan di setiap musim peneluran, namun dikuatirkan menjadi salah satu

penyebab turunnya populasi bahkan kepunahan spesies C. insculpta.

Pemanenan telur yang mencapai intensitas sangat tinggi disebabkan

pemanfaatan telur bukan lagi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan

tetapi lebih digunakan untuk pemenuhan nilai ekonomi masyarakat akibat dari

tingginya nilai ekonomi hasil penjualan anakan C. insculpta (tukik). Pemanfaatan

100

telur sebagai sumber pangan hanya dilakukan terhadap telur-telur yang

mengalami kerusakan atau diprediksi tidak menetas. Manusia merupakan faktor

utama yang menyebabkan rusaknya sarang dan hilangnya telur di alam yang dapat

berdampak pada putusnya generasi dan kepunahan labi-labi moncong babi

kedepannya. Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan

berlebihan terhadap spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola

yang serupa dimana suatu sumber daya ditemukan, pasar komersial

dikembangkan untuk sumber daya tersebut dan penduduk lokal dikerahkan untuk

mendapatkan dan menjual sumber daya. Ketika sumber daya yang dieksploitasi

mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk

eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumber daya menjadi langka dan bahkan

punah.

3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta

Maraknya pemanenan telur C. insculpta tidak terlepas dari tingginya nilai

jual telur maupun tukiknya yang berdampak terhadap semakin baiknya

pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal. Mencari dan memanen telur C.

insculpta sudah merupakan suatu pekerjaan yang menghasilkan pendapatan cukup

baik bagi masyarakat lokal, dan dengan kondisi saat ini pekerjaan perburuan telur

dapat digolongkan sebagai pekerjaan utama bagi mereka. Pekerjaan ini lebih

menguntungkan bagi masyarakat lokal karena jaminan mendapatkan uang dari

telur atau tukik cukup baik dengan hanya melakukan pengecekan sarang dan

pengumpulan telur di pagi hari menggunakan perahu. Berbeda dengan pekerjaan

sebagai pencari gaharu yang penuh resiko keluar masuk hutan atau rawa dalam

rentang waktu 3 - 6 minggu namun hasil yang didapatkan tidak pasti, kadang

beruntung bisa membawa pulang kayu gaharu untuk dijual, kadang pula tidak

mendapatkan apa-apa.

Pada beberapa komunitas masyarakat lokal, sumber daya kura-kura air tawar

mempunyai nilai yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein maupun

digunakan dalam ritual-ritual adat. Pemanfaatan kura-kura air tawar C. insculpta

sebagai sumber pakan oleh penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap

(Asmat) telah berlangsung secara turun temurun (Triantoro dan Rumawak 2010),

101

dengan tingkat eksploitasi C. insculpta (di Indonesia dan PNG) sangat tinggi

sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan

internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa

unik ini (Georges et al. 2008a). Triantoro dan Rumawak (2010) mendeskripsikan

pemanfaatan secara turun temurun oleh penduduk lokal di wilayah Sungai

Vriendschap dapat dilihat dari budaya pemanfaatan induk C. insculpta sebagai

hantaran mas kawin kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai

permintaan pihak perempuan. Hantaran tersebut kemudian dimasak dan

dikonsumsi bersama-sama antara pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Lebih

jauh disampaikan bahwa saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku karena

semuanya lebih dihargai dengan uang akibat dari nilai ekonomi yang dapat

diperoleh masyarakat lokal dari penjualan telur. Masyarakat lokal mulai

mendapat nilai ekonomi dari telur Labi-labi moncong babi sejak sekitar tahun

2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur dengan

perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun 2008

diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat. Adanya pendapatan dari nilai telur

juga diikuti dengan semakin tingginya pemanfaatan daging Labi-labi moncong

babi oleh masyarakat lokal karena masyarakat lokal biasanya ke lokasi peneluran

dalam waktu cukup lama dengan bekal seadanya dan berharap atas bahan

makanan dari alam.

Penangkapan induk betina dalam jumlah besar biasa dilakukan oleh

masyarakat lokal sedangkan masyarakat non lokal (pencari luar) menangkap

apabila menginginkan variasi menu makanan di lokasi pencarian. Induk dewasa

ditangkap secara intensif terutama di saat musim peneluran, sebelum atau sesudah

induk bertelur dan membalikkan punggungnya (Georges et al. 2008b).

Penangkapan juga biasa dilakukan penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap

(Asmat) di musim peneluran saat induk labi-labi naik untuk bertelur, di tepi air

atau sungai, atau sehabis bertelur (Triantoro dan Rumawak 2010). Pencarian

induk dapat dilakukan juga dengan menyisiri tepi pasir menggunakan perahu.

Pemanenan seperti ini dilakukan apabila telah cukup lama tidak mendapati induk

pada saat pengecekan sarang atau telah kehabisan bahan makanan. Induk yang

telah ditangkap kemudian diangkut menggunakan perahu dan dimasukkan

102

kedalam kurungan (kandang) sederhana diatas tanah yang dibuat menggunakan

batang-batang kayu dengan membentuk persegi atau lingkaran. Pemanfaatan

induk C. insculpta di wilayah Sungai Vriendschap mengikuti jumlah kelompok

pencari, apabila dalam kelompok pencari terdapat 5 kepala keluarga maka

minimal induk yang di konsumsi dalam sehari adalah 5 induk betina.

Pemanfaatan induk betina C. insculpta lebih didasarkan pada keinginan

untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber makanan (protein) dibanding

untuk mendapatkan uang (dijual) atau alasan budaya. Beberapa alasan

masyarakat lokal mengkonsumsi daging Labi-labi moncong babi saat perburuan

adalah : 1) ingin mengkonsumsi daging, 2) persediaan bahan makanan dalam

proses perburuan telur terbatas, dan 3) ingin menghemat bahan makanan.

Georges et al. (2008b), C. insculpta disukai karena ukuran telur yang besar dan

mempunyai daging yang banyak. Sebagai gambaran pemanfaatan induk oleh

masyarakat lokal sebagai sumber makanan dapat dilihat pada Gambar II.7.

Keterangan : a. Sekumpulan kerapas Labi-labi moncong babi; b. Pemanfaatan induk Labi-labi

moncong babi untuk di konsumsi.

Gambar II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys

insculpta di wilayah Sungai Vriendschap

Dalam pengolahan terhadap daging, plastron akan dihilangkan agar bisa

mendapatkan daging beserta isi perutnya (usus, hati, jantung), dan biasanya akan

dimasak (direbus) bersama dengan ubi dan sayuran lainnya, sedangkan

pengolahan terhadap telur biasanya di rebus dan bisa dimakan langsung, dimasak

dengan nasi atau sagu, ataupun sebagai bahan penyusun biskuit dan kue (Georges

et al. 2008b). Pengolahan daging labi-labi pada masyarakat lokal di wilayah

Sungai Vriendschap (Asmat), dilakukan dengan cara dibakar diatas bara atau api,

bakar batu dan rebus dengan sedikit perbedaan dalam cara pengolahan dimana

a b

103

sebelum dimasak ada bagian daging yang dilepas dahulu dari plastron sebelum

dimasak (bakar dan rebus) dan ada bagian daging yang ditinggalkan pada plastrón

untuk dibakar bersama plastronnya (Triantoro dan Rumawak 2010).

Pemanfaatan induk yang tinggi secara terus menerus pada setiap musim

peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat berdampak bagi turunnya

populasi kedepannya, tetapi apabila pemanfaatan dilakukan dengan bijaksana

dapat memberikan kesempatan C. insculpta melakukan regenerasi dan mendapat

nilai pemanfaatan yang berkesinambungan. Eksploitasi komersial secara teratur

menyebabkan pemanenan yang berlebihan dan merupakan kepedulian utama

konservasi, namun konsumsi keluarga lokal juga menggerus populasi dari spesies

yang ditargetkan ketika penduduk lokal tergantung pada satwa liar sebagai sumber

utama dari sumber protein (Vitt dan Caldwell 2009). Pada masyarakat lokal di

Sungai Vriendschap, pemanfaatan saat ini tidak memberikan kesempatan C.

insculpta untuk melakukan regenerasi karena seluruh telur diambil (dipanen) dan

induknya di konsumsi. Pemanfaatan berkesinambungan dapat terjadi apabila telur

tidak diambil seluruhnya dari alam dan konsumsi induk dapat dikurangi.

Kepercayaan (legenda) pada masyarakat lokal di Sungai Vriendschap bahwa

Labi-labi moncong babi merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah

akibat istrinya berzinah dengan laki-laki lain yang dimunculkan dalam bentuk

Labi-labi moncong babi jantan dan betina, tidak memberikan dampak positif bagi

konservasi Labi-labi moncong babi karena legenda ini sudah hampir hilang dan

tidak ada pantangan dalam mengkonsumsinya (Triantoro dan Rumawak 2010).

Pada komunitas masyarakat Aborigin, intensitas pemanenan terhadap induk kura-

kura leher ular (Chelodina rugosa) cukup rendah dan hal tersebut dapat

memberikan kesempatan bagi C. rugosa untuk bertahan dan berkembangbiak

dengan baik karena pemanenannya dilakukan atas dasar kebutuhan ritual budaya

(Fordham et al. 2006). Perbedaan jumlah individu juga didapati berbeda antara

daerah pemujaan (veneration area) yang tidak tereksploitasi dengan daerah

pemanenan (harvest area) dimana dengan luas area relatif sama di setiap lokasi,

jumlah kura-kura darat Kinixys homeana dan Kinixys erosa ditemui jauh lebih

banyak di daerah pemujaan dibandingkan jumlah kura-kura darat yang ditemui di

daerah panen (Luiselli 2003).

104

Pemanfaatan C. insculpta sebagai sumber makanan oleh masyarakat lokal

tidaklah mengherankan karena wilayah mereka di dominasi oleh sungai dan rawa

yang memungkinkan sumber makanan alaminya berasal dari satwa yang hidup di

air. Disamping itu, pemanfaatan satwa dari kelompok kura-kura besar atau penyu

sebagai sumber makanan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang berdiam di

wilayah Sungai Vriendschap tetapi banyak dilakukan pula oleh masyarakat

dibanyak tempat dengan intensitas pemanfaatan yang berbeda. Magnino et al.

(2009) menyampaikan bahwa berkenaan dengan konsumsi dari berbagai jenis

reptil liar yang ditangkap, daging dan telur penyu mungkin yang paling banyak

dieksploitasi di seluruh dunia. Selanjutnya Caputo et al. (2005) menyampaikan

bahwa eksploitasi terhadap penyu sebagai sumber makanan telah lama dianggap

faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan populasi.

105

4. SIMPULAN

Pemanfaatan sumberdaya labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

telah dilakukan oleh masyarakat tradisional yang membagi wilayah pemanfaatan

menjadi 5 (lima) wilayah adat. Dari tiga wilayan adat yang diamati, ada dua

wilayah yang bekerjasama dengan pencari telur dari luar sedangkan pada satu

wilayah adat tidak didapati adanya kerjasama. Perburuan telur yang terjadi

menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan yang meliputi sistem barter,

kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung tukik, dan sistem

penjualan tukik langsung kepada pembeli. Perburuan dan perdagangan terutama

dilakukan terhadap telurnya karena adanya nilai ekonomi, sedangkan perburuan

terhadap induknya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan makanan. Pemanenan

telur dilakukan terhadap keseluruhan sarang di seluruh wilayah adat tanpa

menyisakan satupun sarang yang utuh berisi telur di alam.

Pemanfaatan telur yang sangat tinggi diduga dapat memberikan dampak

negatif bagi kelestarian Labi-labi moncong babi di alam. Pendidikan masyarakat

lokal yang rendah, tingginya ketergantungan terhadap sumber daya alam,

tingginya permintaan untuk perdagangan (illegal), tidak adanya sumber

pendapatan yang tetap, dan belum adanya manajemen pengelolaan yang

menunjang pemanfaatan berkelanjutan, mendorong pemanenan terus berlangsung.

107

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah Provinsi Papua Barat. 2011. Penduduk Asli Papua Di Provinsi

Papua Barat. Manokwari. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi

Papua Barat.

Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay

(Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-

based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 –

92.

Daniel S. 2011. Perdagangan Reptilia Sebagai Binatang Peliharaan Di DKI

Jakarta [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk

Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-

KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk

Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-

KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.

Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an

Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle

(Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation

144 : 2282 – 2288.

Fordham D, Georges A, Corey B, Brook BW. 2006. Feral Pig Predation

Threatens the Indigenous Harvest and Local Persistence of Snake-necked

Turtles in Northern Australia. Biological Conservation.

[GOK] Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar Lingkungan Blok Kasuri PSC

di Kabupaten Fakfak dan Bintuni [Laporan Akhir]. Manokwari :

Kerjasama BP Migas dan UNIPA.

Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys

insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :

Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,

Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and

Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and

Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.

5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,

http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.

Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with

Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.

Wildlife Research 35 : 700 – 711.

108

Goh TY, O’Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still

Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short

communication).

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2

(revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.

<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].

Kartikasari SN, Marshall AJ, Beehler BM. 2012. Ekologi Papua. Jakarta.

Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February

2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January

2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to

31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia.

Leuteritz TEJ, Lamb T, Limberaza JC. 2005. Distribution, Status, and

Conservation of Radiated Tortoises (Geochelone radiata) in Madagascar.

Biological Conservation 124 : 451–461

Luiselli L. 2003. Comparative Abundance and Population Structure of Sympatric

Afrotropical Tortoises in Six Rainforest Areas: the Differential Effects of

“Traditional Veneration” and of “Subsistence Hunting” by Local People.

Acta Oecologica 24 : 157–163

Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona

MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological

Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International

Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.

Muller K. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Ismoyo F, Kilmaskossu A,

Kilmaskossu MSE, Lumatauw S, Nainggolan D, Prabawardani S,

penerjemah; Wanggai F, Sumule A, Editors. Manokwari. Universitas

Negeri Papua. Terjemahan dari : The Biodiversity of New Guinea.

Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and

Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta

marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist

154 : 383 – 397.

Shepherd CR, Nijman V. 2007. An Overview of The Regulation of The

Freshwater Turtles and Tortoise Pet Trade in Jakarta, Indonesia. Traffic

Southeast Asia, Petaling Jaya. Malaysia.

109

Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong

Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan

Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen

Kehutanan.

UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species.

[27 January 2011].

Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of

Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic

Press.

111

LAMPIRAN

113

Lampiran 1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah

Sungai Vriendschap

Nama responden : Umur :

Suku :

Tempat tinggal :

Pendidikan : (Tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA)

1. Pekerjaan utama : PNS, POLRI, TNI, bertani, berburu (jenis utama), pedagang

2. Pekerjaan sampingan :

bertani : jenis komoditi, konsumsi, jual

berburu : jenis satwa, konsumsi, jual (dimana)

berdagang : jenis diperdagangkan, lokasi

3. Pemanfaatan Labi-labi moncong babi :

Telur : Konsumsi (per hari), Jual (telur/tukik), harga jual telur, harga jual

tukik, pengambilan telur (sarang baik, sarang kemungkinan rusak oleh

banjir/tergenang, keseluruhan sarang)

Induk : Konsumsi (per hari), Jual (induk/bagian, dimana), harga jual

(induk/bagian)

Alasan menjual, alasan konsumsi

Frekuensi perburuan : setiap hari, 2-4 hari sekali, ≥ 5 hari sekali

Lama di lokasi perburuan : 1-7 hari, 8 – 21 hari, > 21 hari

Seberapa lama mendalami perburuan Labi-labi moncong babi : 1 tahun, 1-

3 tahun, > 3 tahun

115

PEMBAHASAN PARIPURNA

Sebaran sarang dan intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta

Pola sebaran sarang C. insculpta di Sungai Vriendschap adalah

mengelompok (aggregate dispersion) dimana pemilihan habitat bersarang berada

pada pasir peneluran di wilayah adat Obokain. Sebaran kelompok terjadi ketika

individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin bertahan dalam) bagian

tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu individu menarik atau

memunculkan lainnya mendekat ke lingkungan tersebut (Begon et al. 2006).

Sarang yang berkelompok terjadi sebagai akibat dari komunikasi sosial diantara

induk betina yang melakukan aktifitas peneluran. Keberhasilan induk sebelumnya

dalam bersarang dapat menarik induk lainnya untuk bersarang pula. Interaksi

sosial mungkin menjadi fitur biasa dari kehidupan sehari-hari individu, terutama

bagi individu yang hidup dalam kelompok atau menduduki wilayah yang

berbatasan atau dapat terjadi sekali sehari, seminggu sekali, dan bahkan hanya

setahun sekali selama musim reproduksi pada kepadatan spesies rendah (Vitt dan

Caldwell 2009). Tingkah laku bersarang yang mengelompok ini di satu sisi

menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan,

sementara disisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh

manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan

(Sus sp) dan biawak (Varanus sp).

Reptil besar sangat rentan terhadap pemusnahan oleh manusia karena

mereka biasanya digunakan sebagai makanan, memiliki kulit yang berharga,

relatif mudah untuk diburu, dan memiliki sejarah kehidupan yang membuat sulit

masyarakat untuk mempertahankan pemanenan terhadap satwa besar terus-

menerus (Vitt dan Caldwell 2009). Intensitas pemanfaatan telur C. insculpta yang

sangat tinggi oleh manusia di Sungai Vriendschap menjadi ancaman tersendiri

bagi pelestariannya. Ketika sumber daya yang dieksploitasi mulai berkurang,

harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk eksploitasi berlebihan,

menyebabkan sumber daya menjadi langka dan bahkan punah (Indrawan et al.

2007). Dengan pola sebaran sarang yang mengelompok, secara tidak langsung

116

memberikan kemudahan bagi manusia untuk memanen telur-telur karena waktu

yang dibutuhkan lebih cepat dan biaya operasional yang lebih kecil.

Nilai ekonomi yang dihasilkan dari perdagangan C. insculpta sangat tinggi

bagi masyarakat lokal dengan tingkat pendidikan yang rendah. Dampaknya

adalah masyarakat belum berhenti melakukan pemanenan sebelum populasinya di

alam habis atau permintaan pasar terhadap jenis ini menurun. Kemungkinan

kedua sulit untuk diharapkan karena permintaan pasar tidak pernah berhenti

sebelum sumber daya habis, sementara melarang masyarakat lokal untuk tidak

melakukan pemanenan sumber daya yang telah memberi mereka nilai ekonomi

secara langsung hanya menciptakan konflik-konflik baru. Gambaran nilai

ekonomi yang beredar di lokasi pemanenan dapat dilihat dari perhitungan

sederhana jumlah telur yang dapat dihasilkan dalam satu musim peneluran. Hasil

penelitian selama 18 hari didapatkan jumlah sarang sebanyak 132 sarang, jumlah

telur rata-rata tiap sarang adalah 20 butir, harga jual rata-rata tukik di Vriendschap

adalah Rp 17.500 dan harga jual rata-rata tukik di luar Vriendschap adalah Rp

40.000. Dengan asumsi 1) setiap 18 hari (3 minggu) jumlah sarang yang dipanen

adalah tetap sebanyak 132 sarang, 2) puncak musim peneluran selama 3 (tiga)

bulan (12 minggu) antara September dan November, maka jumlah sarang yang

dihasilkan sebanyak 528 sarang, 3) jumlah total telur dari 528 sarang adalah

10.560 butir, dan 4) semua telur menetas menjadi tukik, maka nilai ekonomi yang

beredar di wilayah Vriendschap sebanyak Rp 184.800.000 dan diluar wilayah

Vriendschap sebanyak 422.400.000. Nilai asumsi tersebut dapat berubah sejalan

dengan banyaknya telur atau sarang yang dapat di panen setiap tahunnya, naiknya

harga tukik, dan keberhasilan tetas tukik.

Dari sisi populasi, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009 selama

34 hari (15 Oktober – 19 November) sebanyak 720 sarang (Triantoro dan

Rumawak 2010) dan tahun 2011 selama 18 hari (8 – 25 November) sebanyak 132

sarang, maka jumlah rata-rata sarang tahun 2009 sebanyak 21 sarang/hari dan

jumlah rata-rata sarang tahun 2011 sebanyak 7 sarang/hari. Perbedaan jumlah

sarang yang cukup menyolok pada tahun 2009 dengan tahun 2011 dapat

mengindikasikan adanya penurunan populasi atau dapat juga disebabkan pengaruh

iklim. Populasi sarang selama 34 hari tahun 2009 memberikan gambaran jumlah

117

sarang masih cukup baik, namun intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi dapat

mempengaruhi umur induk dan kualitas telur yang dihasilkan seperti yang terjadi

pada pemanfaatan telur di Sungai Kikori (PNG) yang menyebabkan penurunan

kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006 (Georges et al. 2008b) dan

penurunan populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang

terindikasikan dari kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan

yang sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk

betina yang di panen (Eisemberg et al. 2011).

Dari penelitian ini terlihat adanya benturan dua kepentingan antara

perlindungan dan pemanfaatan yang sangat tinggi. Perlu dilakukan manajemen

pengelolaan yang dapat memadukan dua kepentingan agar fungsi perlindungan,

pengawetan, dan pemanfaatan dapat berjalan bersama.

Manajemen Pengelolaan Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap

Habitat merupakan fungsi penting bagi satwa liar sebagai tempat

perlindungan, mencari makan, melakukan perkawinan, aktifitas bertelur, dan

pergerakan dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya populasi. Populasi

yang baik ditandai dengan stabilnya populasi di alam bahkan cenderung

meningkat sampai batas kemampuan daya dukung habitatnya. Semakin tinggi

populasi semakin tinggi pula persaingan dalam memperoleh fungsi dari habitat

sehingga menimbulkan persaingan dalam satu jenis atau antar jenis. Untuk

mengatur keseimbangan habitat dan populasi satwa liar di alam maka dibutuhkan

pengelolaan terhadap kawasan dengan baik. Sistem pengelolaan yang terencana,

tersusun dan termonitoring dengan baik dapat mendukung konservasi satwa liar di

alam. Pasal 5 Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1990 menjelaskan kegiatan

konservasi dilakukan melalui kegiatan 1) perlindungan sistem penyangga

kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

Kawasan Vriendschap adalah suatu wilayah yang terdiri dari Sungai

Vriendschap sebagai sungai utama serta alur-alur sungai dan rawa yang sangat

banyak menyertai didalamnya. Panjang Sungai Vriendschap ± 110 km yang

118

dimulai dari bagian hulu (pertemuan dengan muara Sungai Baliem dan Sungai

Seng) sampai ke bagian hilir atau muara yang bertemu dengan muara Sungai

Catarina. Aksesibilitas ke wilayah Sungai Vriendschap cukup terbuka yang dapat

dijangkau dari Kabupaten Asmat dan Yahukimo, namun frekuensinya lebih tinggi

dari Kabupaten Asmat. Wilayah ini bukan merupakan kawasan konservasi tetapi

didalamnya terdapat beberapa jenis reptil yang mempunyai nilai ekonomi dan

sebagai sumber makanan bagi masyarakat lokal, diantaranya Buaya (Crocodilus

cf novaeguineae), Kura-kura Dada Merah (Emydura subglobosa), Labi-labi Irian

(Pelochelys bibroni), dan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)

(Triantoro dan Rumawak 2010). Diantara keempat jenis tersebut, Buaya dan

Labi-labi Moncong Babi merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan peraturan

perundangan di Indonesia. Keduanya dilindungi berdasarkan SK Mentan No.

327/Kpts/Um/5/1978 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 (Noerdjito

dan Maryanto 2001).

Beberapa tahun terakhir ini Sungai Vriendschap menjadi suatu tempat

tujuan perburuan satwa liar dari jenis C. insculpta dengan intensitas pemanfaatan

sangat tinggi (> 75%). Tingkat eksploitasi (perburuan) yang sangat tinggi (di

Indonesia dan PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasok bagi industri

hewan peliharaan internasional dilaporkan pula oleh Georges et al. (2008a) dan

IUCN (2010). Pemanfaatan berlebihan tanpa memperhitungkan umur induk dan

laju pertumbuhan di alam dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi dan

mempercepat kepunahan jenis. Kemusnahan jenis adalah suatu peristiwa alami

tetapi pelanggaran yang dilakukan oleh manusia seringkali mempercepat proses

kepunahan jenis (Alikodra 2010). Kondisi tersebut bertolak belakang dengan

kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar yang termasuk

Appendix CITES tahun 2007 dan 2008 (Dirjen PHKA 2007, 2008) dan kuota

export Apendix II dari jenis tumbuhan dan satwa liar asal Indonesia tahun 2010 –

2012 (Kemenhut 2010, 2011, 2012), dimana ijin untuk penangkapan dari alam liar

dan ekspor perdagangannya belum diberikan. Dapat disimpulkan bahwa

penangkapan dan perdagangan terhadap C. insculpta sifatnya illegal. Beberapa

penangkapan dalam upaya menggagalkan perdagangan illegal (penyelundupan) C.

insculpta telah dilakukan seperti yang tergambarkan pada Tabel 1 dibawah ini.

119

Tabel 1 Kasus-kasus penggagalan perdagangan illegal Carettochelys insculpta di

Indonesia

No. Penangkapan

Instansi Sumber Tanggal Jumlah (ekor)

1. 14-03-2005 7.275 BKSDA Jawa Timur Tempointeraktif.com (2005)

2. 12-02-2009 12.247 SPORC dan KSDA

wilayah Timika

Sawabi-Kompas.com (2009);

Kemenhut-Dephut.go.id

3. 09-03-2010 464 Stasiun Karantina Ikan

Merauke

MeraukePos.com (2010)

4. 06-01-2011 744 KSDA wilayah Merauke Suara Pembaharuan (2011)

5. 25-01-2011 500 Polrestabes Surabaya Arifin-Okezone.com (2011)

6. 26-01-2012 1.495 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)

7. 06-02-2012 690 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)

8. 06-03-2012 1.882 KSDA wilayah Jayapura USS-BBKSDA Papua (2012)

Membendung maraknya pemanfaatan illegal C. insculpta di alam sangat

sulit dilakukan disebabkan luasnya wilayah Sungai Vriendschap dengan

banyaknya alur atau anak sungai. Upaya yang sudah dilakukan sampai sejauh ini

oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua selaku

institusi pengelola, masih berupa patroli pengamanan di musim peneluran. Patroli

yang dilakukan belum memberikan hasil optimal terhadap berkurangnya

pemanenan maupun perdagangan illegal. Beberapa faktor yang mempengaruhi

belum optimalnya patroli pengamanan meliputi :

1. Patroli tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Celah diantara waktu

patroli pertama dengan jadwal patrol berikutnya dapat dimanfaatkan oleh para

pencari telur.

2. Patroli dilakukan menggunakan speed boat. Kemampuan speed boat untuk

kegiatan patroli di Sungai Vriendschap tidak optimal karena hanya dapat

memasuki Sungai Vriendschap dengan mesin 40 PK dalam kondisi

permukaan air sungai meningkat akibat hujan (banjir) dan tidak dapat

menjangkau alur-alur sungai yang sangat banyak.

3. Patroli hanya dapat dilakukan pada sungai utama. Informasi kegiatan patroli

biasanya sudah diketahui oleh para pencari telur sehingga sebelum tim patroli

sampai di lokasi, para pencari sudah pergi meninggalkan pondok di tepi

sungai dan membuat pondok baru ditempat yang sulit dijangkau dengan speed

boat dan tidak terlihat dari sungai utama.

4. Membutuhkan biaya yang besar. Biaya yang dibutuhkan untuk sekali

melakukan patroli ke wilayah Vriendschap tidak sedikit karena menyangkut

120

biaya sewa speed boat, bahan bakar minyak, dan biaya operasional dilokasi.

Apabila dalam sebulan dilakukan patroli 2 (dua) kali maka selama 4 (empat)

bulan (musim peneluran) dibutuhkan minimal 8 (delapan) kali kegiatan

patroli.

5. Hukuman tidak dapat diberlakukan kepada para pencari telur. Pencari telur di

dominasi oleh penduduk lokal walau terdapat pula penduduk bukan lokal.

Para pencari telur telah mengetahui bahwa jenis C. insculpta merupakan jenis

yang dilindungi dan sanksi dapat diberikan apabila ditemui

memperdagangkannya. Namun masyarakat lokal secara budaya telah

memanfaatkan telur dan induk secara turun temurun, dan secara adat

merupakan wilayah mereka. Pelarangan hanya memberikan antipati terhadap

petugas dan menciptakan konflik dengan institusi terkait.

6. Banyaknya akses jalur bagi para pencari, pengumpul dan pedagang. Tim

patroli akan mengalami kesulitan dalam menutup ruang gerak pencari,

pengumpul dan pedagang telur atau tukik karena banyaknya alur sungai yang

dapat digunakan untuk bersembunyi atau membawa hasil pemanenan.

Kegiatan patroli dilakukan untuk menjaga satwa liar yang dilindungi

berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia dari pemanfaatan yang tidak

bertanggungjawab. Petugas mempunyai persepsi bahwa pemanfaatan satwa

dilindungi adalah melanggar hukum dan perlu dilakukan tindakan sanksi secara

bertahap. Namun keefektifan kegiatan patroli kedepannya dapat dipertimbangkan

kembali karena setelah menggunakan biaya yang tinggi, sanksi yang diberikan

kepada para pencari telur masih sulit dilakukan. Keterbatasan penindakan dapat

disebabkan 3 prinsip yaitu : 1) wilayah Sungai Vriendschap bukan merupakan

wilayah konservasi, 2) Labi-labi moncong babi sudah sejak lama telah

dimanfaatkan sebagai sumber makanan bagi masyarakat lokal, dan 3) hak

masyarakat lokal atas pemanfaatan di wilayah adat mereka. Sanksi dapat

diberikan apabila dasar pengenaan sanksi jelas dimana masyarakat dapat

memanfaatkan sumber daya mereka tetapi melanggar aturan yang telah disepakati

bersama. Biaya yang hendaknya digunakan untuk patroli dapat di kelola untuk

mendapatkan manajemen pengelolaan yang berpihak kepada masyarakat lokal,

dan berfungsinya perlindungan, pengawetan sumber daya alam dan monitoring.

121

Secara budaya masyarakat lokal telah memanfaatkan C. insculpta sebagai

sumber makanan hewani. Pemanfaatan yang bersifat tradisional (sub sistence)

juga mempunyai pengaruh sangat kecil bagi penurunan populasi di alam. Akan

tetapi tingginya permintaan pasar perdagangan satwa dan nilai ekonomi dari satwa

liar khususnya C. insculpta, telah merubah pola pemanfaatan masyarakat lokal

dari sub sistence menjadi intensif terutama terhadap telur-telurnya. Keseluruhan

telur pada semua sarang yang ditemukan dipanen dan tidak dikonsumsi karena

lebih bernilai ekonomi apabila ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik,

sementara induk dimanfaatkan sebagai sumber pakan selama berada di lokasi

pencarian.

Mengantisipasi tingkat pemanenan yang tinggi di alam dan perdagangan

illegal terhadap telur maupun tukik, maka alternatif pengelolaan kedepannya

dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu :

1. Pengelolaan Berbasis Kawasan

Pengelolaan kawasan dapat dilakukan dengan menetapkan seluruh atau

sebagian wilayah di Sungai Vriendschap sebagai kawasan konservasi. Sistem

pengelolaan yang menetapkan seluruh wilayah sebagai kawasan konservasi

rentan terhadap konflik antara institusi pengelola sumber daya alam dengan

masyarakat lokal karena masyarakat sebagai pemegang wilayah ulayat

mempunyai kesempatan yang kecil untuk mendapatkan insentif. Pada sistem

pengelolaan yang menetapkan sebagian wilayah sebagai kawasan konservasi

juga dapat memicu konflik antara masyarakat lokal dengan institusi dan

diantara masyarakat lokal itu sendiri karena sebagian masyarakat yang

wilayahnya menjadi kawasan konservasi lebih sulit mendapatkan insentif

dibandingkan yang tidak digunakan sebagai kawasan konservasi.

Konsekuensi pengelolaan berbasis kawasan juga memberikan tugas dan

tanggungjawab bagi institusi pengelola untuk selalu berada di wilayah

pemanenan selama musim peneluran. Dibutuhkan personil yang tidak sedikit

dan dengan kendaraan dan biaya operasional tinggi untuk menutup ruang

gerak para pencari telur dari alur-alur sungai yang begitu banyak.

122

2. Pengelolaan Berbasis Jenis

Pengelolaan berbasis jenis disini adalah memberikan ruang dan peluang

insentif bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan jenis satwa liar sebagai

sumber ekonomi dengan kesadaran atas pemanfaatan yang berkelanjutan

karena masyarakat lokal diberikan kewenangan untuk memanfaatkan jenis

satwa liar di wilayah adatnya secara legal dan terkontrol (terbatas).

Pemanfaatan dapat dilakukan dengan sistem kuota secara merata untuk

memberikan rasa keadilan bagi seluruh pencari. Bantuan pihak pengelola

dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman konservasi kepada

masyarakat lokal sangat dibutuhkan di awal pembentukan pola pemanfaatan

jenis ini terkait pembatasan panen, pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan

jenis dipanen dan jenis lainnya yang dilindungi dan terancam di alam, dan

adanya kemungkinan penghentian pemanenan akibat turunnya populasi.

Monitoring dan pengawasan perdagangan secara ketat pada pengumpul dan

monitoring populasi di alam perlu diwujudkan dan dilaksanakan dengan

tanggungjawab untuk menjamin kestabilan populasi di alam. Para pakar

dibidangnya dapat dimintai bantuan dan pendapatnya terkait peningkatan dan

penurunan populasi, kondisi fisik habitat hidup dan peneluran, kesehatan,

metode untuk mengatasi permasalahan, dan lainnya.

Manajemen pengelolaan merupakan jembatan yang menghubungkan

perbedaan persepsi antara masyarakat lokal dengan institusi pengelola. Terkait

manajemen pengelolaan terhadap C. insculpta, pengelolaan jenis lebih

memungkinkan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.

Pengelolaan untuk menjamin kelangsungan hidup jenis langka dan terancam

adalah tugas utama yang umum dari pelestarian alam dan pelestarian populasi

jenis mungkin menghendaki strategi yang berbeda dari strategi yang cocok bagi

perlindungan ekosistem (MacKinnon et al. 1993). Pemberian kuota terhadap

pemanfaatan telur atau tukik merupakan tindakan pemberdayaan dan memberikan

asas manfaat bagi masyarakat lokal atau adat dan negara. Perbincangan dengan

beberapa masyarakat lokal yang juga sebagai pengumpul telur, ada ketertarikan

untuk memanfaatkan secara legal dengan mengikuti ketentuan-ketentuan

pemanenan yang telah disepakati bersama institusi pengelola dan adanya

123

pendampingan. Jumlah kuota yang diberikan belum dapat diakomodir dalam

penelitian ini dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut, namun sisi positif

yang diharapkan dengan adanya pemberian kuota adalah :

1. Masyarakat lokal mendapat insentif secara legal

2. Telur tidak di panen seluruhnya dari sarang alami atau sebagian hasil tetasan

(tukik) dapat dilepas kembali ke alam

3. Menyelamatkan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor alam dan

pemangsa

4. Monitoring pemanenan maupun penjualan dapat lebih mudah pada pengumpul

resmi

5. Perdagangan illegal dapat di tekan atau diminimalkan

6. Negara mendapat devisa dari penjualan satwa liar

7. Meminimalkan konflik, membangun kemitraan dan sinergisitas antara institusi

pengelola dengan masyarakat lokal

C. insculpta merupakan satwa yang dilindungi namun bukan berarti

pemberian kuota tidak dapat diberikan. Sebagai pembanding dapat dilihat pada

jenis Crocodylus novaeguineae yang dilindungi namun diperbolehkan kuota

tangkap dan ekspor untuk pemanfaatan kulitnya dan Crocodylus porosus yang

diperbolehkan kuota tangkap untuk pembesaran (Dirjen PHKA 2007, 2008;

Kemenhut 2010, 2011), sedangkan kuota ekspor untuk kulit C. porosus

diperbolehkan kembali pada tahun 2012 (Kemenhut 2012). Indonesia sendiri

termasuk Negara yang belum mengembangkan secara professional potensi-

potensi satwaliarnya, baik untuk diekspor, rekreasi berburu, ataupun untuk

atraksi-atraksi di taman nasional (Alikodra 2010). Suatu jenis tumbuhan dan

satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi

kriteria 1) mempunyai populasi yang kecil, 2) adanya penurunan yang tajam pada

jumlah individu di alam, 3) daerah penyebaran yang endemik (PP No 7 Tahun

1999), dan 4) tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan (UU No. 5 Tahun

1990).

Pemberian kuota merupakan salah satu sistem pengelolaan satwa liar yang

bertujuan memanfaatkan sumber daya alam sebagai 1) sumber pemberdayaan

ekonomi bagi perseorangan atau badan usaha milik bersama dan 2) sebagai

124

sumber devisa bagi Negara, dengan mempertimbangkan kelestarian jenis di alam.

Pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.41 tahun 1999 menjelaskan bahwa peyelenggaraan

dan pemanfaatan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk

kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Kuota terhadap C. insculpta harus

diimbangi dengan manajemen pengelolaan yang baik dari BBKSDA Papua

sebagai mandat pengelolaan terhadap satwa dan tumbuhan dilindungi dari alam.

Insentif yang diperoleh masyarakat dari sumber daya alam yang dimiliki secara

tidak langsung memberikan fungsi pengawetan terhadap C. insculpta dan

pengawasan di habitat alami dapat dilakukan secara sadar dan sukarela karena

adanya rasa memiliki. Tugas BKSDA Papua juga secara tidak langsung menjadi

lebih mudah dalam mengontrol pemanfaatan di lapangan dan monitoring populasi.

Monitoring secara ketat harus dilakukan setiap tahun untuk mengetahui apakah

populasi meningkat, menurun atau stabil. Tercapainya kerjasama pengelolaan

sumber daya alam (C. insculpta) antara institusi pengelola dengan masyarakat

lokal merupakan tindakan nyata terhadap UU No. 41 Tahun 1999 pasal 60 dimana

1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan,

dan 2) masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan

kehutanan.

Paradigma pengelolaan dengan melarang pemanfaatan sudah saatnya

dirubah menjadi mitra dengan masyarakat demi kesejahteraan terutama

masyarakat yang terpencil dan tanggungjawab bersama terhadap satwa liar atau

ekosistemnya. Secara umum, hubungan terbaik antara penduduk asli dan

pengelola terjadi apabila penduduk asli melihat bahwa kawasan yang dilindungi

membantu memelihara budaya mereka dan memberi manfaat nyata (misalnya

kesempatan kerja dan penghasilan) (MacKinnon 1993). Konvensi Ramsar (2008)

menegaskan pula pentingnya manajemen pengelolaan terkait mata pencaharian

masyarakat pada wilayah lahan basah yang mencakup :

1. Tindakan untuk memelihara manfaat yang diberikan oleh lahan basah untuk

pembangunan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat, terutama yang

tidak mampu.

2. Penggunaan secara bijak manajemen dan pengembalian lahan basah harus

membantu terciptanya peluang untuk meningkatkan mata pencaharian

125

masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung pada lahan basah,

masyarakat pinggiran dan rentan.

3. Manajemen lahan basah yang berkesinambungan harus didukung oleh

pengetahuan lokal (indigeneous) dan tradisional, tanggapan dari identitas

alami yang berhubungan dengan lahan basah, pengurusan yang dilakukan

melalui insentif ekonomis dan diversifikasi berdasarkan dukungan untuk mata

pencaharian.

Mengelola spesies agar dapat terus dimanfaatkan dan sekaligus menjaga

populasinya di alam tidaklah semudah membalikkan tangan, sedikit kesalahan

mungkin menciptakan peluang percepatan penurunan populasi. Vitt dan Caldwell

(2009) menyatakan komersialisasi satwa liar memiliki potensi efek samping

negatif dan fokus pada satu kelompok spesies telah mengakibatkan pengabaian

spesies benar-benar terancam punah, terutama yang memiliki distribusi kecil dan

demografi kurang fleksibel, seperti Crocodylus sinensis dan Crocodylus

mindorensis. Selanjutnya, komersialisasi satu kelompok spesies menciptakan

pasar untuk semua jenis dan menjadi ancaman serius bagi spesies langka.

127

Daftar Pustaka

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka

Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor. PT.

Penerbit IPB Press.

[Anonim]. 9 Maret 2010. 464 Kura-kura Moncong Babi Disita di Bandara

Mopah. MeraukePos.com

[Anonim]. 6 Januari 2011. Penyelundupan 744 Kura-kura Moncong Babi

Digagalkan. Suara Pembaruan.com

Arifin N. 25 Januari 2011. Polisi Gagalkan Penyelundupan Kura-Kura Moncong

Babi. Okezone.com

Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to

Ecosystem. 4th

edition. United Kingdom. Blackwell Publising.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk

Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-

KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk

Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-

KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.

Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an

Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle

(Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation

144 : 2282 – 2288.

Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys

insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :

Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA,

Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and

Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and

Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No.

5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,

http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b.

Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with

Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.

Wildlife Research 35 : 700 – 711.

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2

(revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.

<www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].

128

[Kemenhut]. 6 Maret 2009. SPORC dan Polisi Timika Sita 12.247 Ekor Kura-

Kura Moncong Babi, SPORC Anoa Sulawesi Tangkap 31 Penangkap Ikan

di TN Bunaken [Siaran Pers]. Dephut.go.id

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February

2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January

2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II

Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to

31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES

Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.

Konvensi Ramsar. 2008. Deklarasi Changwon Untuk Kesejahteraan Manusia

dan Lahan Basah. Korea.

MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsel J. 1993. Pengelolaan Kawasan

yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, alih bahasa. Yogyakarta.

Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Managing Protected

Areas in the Tropics.

Noerdjito M, Maryanto, I. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-

undangan Indonesia. Cibinong. Puslit Biologi – LIPI, The Nature

Conservancy dan USAID.

[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 : Tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta.

Raharjo IJ. 14 Maret 2005. Penyelundupan Kura-kura Papua Digagalkan.

Tempointeraktif.com

Sawabi IGN. 10 Maret 2009. 12.247 Kura-kura Moncong Babi Disita.

Kompas.com

Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong

Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan

Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen

Kehutanan.

[UU] Undang-undang Republik Nomor 5 Tahun 1990 : Tentang Konservasi

Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 : Tentang

Kehutanan. Jakarta.

[USS] Unit Sidik SPORC. 2012. Unit Register Kasus SPORC Brigade Kanguru

Provinsi Papua Bulan Juli 2012 [laporan]. Balai Besar Konservasi Sumber

Daya Alam Papua. Kementerian Kehutanan.

129

Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of

Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic

Press.

131

RANGKUMAN SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Induk betina Labi-labi moncong babi melakukan aktifitas peneluran pada

pasir yang terkumpul di rawa dan disepanjang sungai. Jejak induk dan sarang

yang terdata di wilayah Sungai Vriendschap menggambarkan bahwa Labi-labi

moncong babi memilih melakukan pergerakan ke wilayah peneluran dan

membangun sarang secara berkelompok. Pemilihan lokasi bersarang terdapat

pada bagian tengah dari panjang sungai, tepatnya berada di wilayah Obokain.

Jarak sarang yang dibangun dari tepi sungai di wilayah Sungai Vriendschap

didapati mempunyai jarak paling jauh apabila dibandingkan dengan lokasi

peneluran Labi-labi moncong babi di wilayah PNG dan Utara Australia (Kikori,

Daly dan Alligator). Umur induk betina yang melakukan aktifitas bertelur di

wilayah Sungai Vriendschap (Indonesia) lebih tua dibandingkan dengan umur

induk yang melakukan aktifitas bertelur di wilayah Kikori (PNG). Kualitas telur

yang dihasilkan juga didapati masih lebih baik pada wilayah Sungai Vriendschap

apabila dibandingkan dengan kualitas telur pada wilayah Kikori dan Daly. Pada

habitat peneluran, pasir yang dipilih untuk membangun sarang tidak terikat

kepada luasan pasir, perimeter, kompleksitas bentuk bentang pasirnya, keteraturan

bentuk permukaan pasirnya, maupun ukuran tekstur pasirnya namun pasir yang

dipilih terikat pada pasir yang terdapat vegetasi dibandingkan pasir tanpa vegetasi.

Pemanfaatan Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap

terutama dilakukan terhadap telurnya karena adanya insentif nilai ekonomi yang

dapat diperoleh masyarakat lokal. Pemanenan telur dilakukan berdasarkan

wilayah adat dan tidak diperbolehkan memanen diluar wilayah adatnya. Wilayah

adat pemanenan terdiri atas wilayah Bor (rawa) yang berada dibawah adat suku

Betkuar, wilayah Bor (sungai), wilayah Obokain yang berada dibawah adat suku

Diai dan Dini, dan wilayah Indama dan Sumo yang berada dibawah adat suku

Momuna. Pemenuhan kebutuhan hidup bagi pencari lokal di lokasi pemanenan

telur masih bergantung kepada sumber daya alam, tidak terkecuali pemanfaatan

induk Labi-labi sebagai sumber pakan. Pada masing-masing wilayah adat

dimungkinkan pemanenan dilakukan sendiri oleh pencari lokal (masyarakat adat)

132

maupun adanya kerjasama dengan pencari non lokal (masyarakat pendatang).

Kerjasama pemanenan dengan pencari dari luar maupun tidak, telah membentuk

sistem perdagangan tersendiri di wilayah perburuan yaitu sistem barter, kombinasi

antara sistem barter dan penjualan tukik langsung, dan sistem penjualan tukik

langsung. Intensitas pemanfaatan telur yang terjadi tergolong sangat tinggi.

Manusia menjadi faktor utama penyebab hilangnya generasi Labi-labi moncong

babi karena seluruh sarang yang ditemui di wilayah Sungai Vriendschap digali

dan diambil telurnya tanpa memberikan kesempatan sarang yang utuh di alam

untuk menetas secara alami. Pemanenan telur dilakukan pagi hari sebelum

matahari terbit dan induknya ditangkap setelah menyelesaikan peneluran dan

belum sempat kembali ke sungai. Jumlah induk yang ditangkap disesuaikan

dengan jumlah kelompok pencari telur (keluarga) dan sebagai persediaan sumber

pakan untuk satu atau dua hari kedepannya.

B. Saran

Informasi terhadap jenis Labi-labi moncong babi di Indonesia masih

sangat kurang sementara tekanan pemanfaatan di alam sangat tinggi. Beberapa

hal yang dapat disarankan untuk mendukung pengelolaan jenis ini adalah :

1. Monitoring populasi yang dilakukan di alam dan di sentra-sentra pengumpul

atau pedagang (illegal) lokal. Pengecekan silang dari hasil monitoring dapat

memberikan evaluasi terhadap populasi sarang di alam, banyaknya telur yang

diperdagangkan, trend tingkat kedewasaan induk yang melakukan aktifitas

bertelur, trend kualitas telur yang dihasilkan dan tercapainya fungsi

pengawasan.

2. Penelitian mengenai pergerakan Labi-labi moncong babi dapat memberikan

gambaran luas wilayah jelajah dan sebarannya. Koridor-koridor yang

digunakan sebagai penghubung dapat diketahui dan faktor pembatas yang

menghambat sebarannya dapat diprediksi. Radio telemetry merupakan salah

satu alat yang dapat digunakan dalam penelitian ini.

3. Membangun kemitraan dan mengurangi konflik dengan masyarakat lokal

(adat) sangat diperlukan bagi kelangsungan jenis Labi-labi moncong babi.

Penyuluhan dalam memberikan pemahaman mengenai pentingnya jenis ini

133

bagi sistem ekologi dan sumber daya (ekonomi) masyarakat, diharapkan dapat

menjalin terciptanya kemitraan tersebut.

4. Mendukung pemanfaatan Labi-labi moncong babi oleh masyarakat adat secara

berkelanjutan, maka diperlukan penelitian mengenai penetasan alami dan semi

alami. Hasil penelitian ini memberikan gambaran keberhasilan penetasan dan

kemungkinan penyelamatan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor

alam dan predator. Persentase tetas yang diperoleh juga memberikan

gambaran banyaknya telur atau tukik yang dapat dimanfaatkan dan banyaknya

tukik yang dilepas kembali ke alam liar (habitatnya).