ehk

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.I KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA Di Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para dokter balk yang tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan dan penelitian telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dalam relevansi hubungan dengan pengobatan dari dokter ke pasien, maka KODEKI 2012 memberikan batasan dalam beberapa pasal yaitu : Kewaiban umum : Pasal 1 : Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter. Pasal 2 : Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Penjelasan : Pengambilan keputusan profesional kedokteran lebih ditujukan kepada sikap, tindak dan perilaku dokter yang

Upload: aditya-wira-buana

Post on 18-Jan-2016

2 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ehk

TRANSCRIPT

Page 1: ehk

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.I KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

Di Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma

yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah

Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud

untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para

dokter balk yang tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI),

maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan dan penelitian

telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dalam relevansi hubungan

dengan pengobatan dari dokter ke pasien, maka KODEKI 2012 memberikan batasan dalam

beberapa pasal yaitu :

Kewaiban umum :

Pasal 1 : Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

sumpah dan atau janji dokter.

Pasal 2 : Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan

profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran

yang tertinggi.

Penjelasan : Pengambilan keputusan profesional kedokteran lebih ditujukan kepada

sikap, tindak dan perilaku dokter yang memiliki niat baik yang konsisten, kesungguhan dan

ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial sebagai wujud dari integritas moral dan

kejujuran intelektual sebagai komponen etis altruistik deontologik dan terpenting dari suatu

standar profesi, mengingat dapat saja sarana dan prasarana dari fasilitas pelayanan

kesehatan tempat bekerja dokter belum/tidak optimal untuk melaksanakan kompetensi

yang dimiliki dokter. Namun bila fasilitas, sarana dan prasarana dan semua komponen

pengelolaan teknis medis pasien tersedia secara ideal, dokter wajib secara independen

melaksanakan/mempertahankan standar profesi yang tertinggi semata-mata sebagai wujud

keberpihakan/toleransinya bagi kepentingan terbaik pasien. Kewajiban ini sebagai jaminan

terlayaninya pasien dimanapun berada, siapapun dirinya, bagaimanapun kondisinya dan

Page 2: ehk

situasi lingkungannya. Independen artinya bebas dari pengaruh/tekanan dari

luar/siapapun/pihak manapun sehingga dokter dapat melaksanakan kebebasan sepenuhnya

dalam bentuk upaya maksimal demi kepentingan terbaik pasien sesuai kewajiban intrinsik

dalam nuraninya untuk menolong pasien, semata-mata karena pasien itu adalah insan

manusia yang memerlukan pertolongannya.

Pasal 3 : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan

kemandirian profesi.

Penjelasan : Walaupun hubungan antara dokter dengan industri farmasi atau alat

kesehatan dan pelbagai jasa ikutannya sudah dirasakan tak dapat dipisahkan, namun

hubungan yang menyimpangi kode etik kedua pihak harus diakhiri, karena ibarat lereng

yang licin (the slippery slope), dokter tergelincir menjadi pedagang yang menganggap sah

komisi, diskon dan lain lain, padahal itu semua pasti memberatkan pasien/keluarganya yang

tengah menderita atau pihak ketiga yang menanggungnya. Dokter memiliki kekuasaan besar

untuk menentukan pilihan produk/barang/jasa tersebut, sehingga sepantasnya etika

kedokteranlah yang menjadi rem kekuasaan ini. Pada diri dokter terlebih dahulu muncul

tanggungjawab daripada kebebasannya. Uraian tersebut menggambarkan bahwa pasal

inimerupakan salah satu cirri profesi luhur.

Pasal 6 : Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau

menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya

dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Penjelasan : Perbuatan seorang dokter dapat mempengaruhi pendapat masyarakat

luas, sebaliknya reaksi menyimpang masyarakat tersebut dapat kembali mempengaruhi

persepsi mereka terhadap seluruh korsa kedokteran Oleh karena itu dokter harus hati-hati

dalam mengumumkan hasil penelitian, teknik dan pengobatan yang belum diuji

kebenarannya atau dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 8 : Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan

pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai

rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Penjelasan :

Untuk menjalankan praktek profesi yang bertanggungjawab dan bermutu, diperlukan bekal

diri dokter yang cukup banyak. Ada 3 tanggungjawab profesi yakni : (a) kepada diri

sendiri (responsibility) dalam rangka menjalankan kebebasan teknis profesi berdasar

Page 3: ehk

kompetensi masing-masing, (b) kepada teman sejawat dan lingkungan kerja

(accountability) dan (c) kepada klien/pasien sebagai pihak ketiga (liability). Profesionalisme

dihasilkan dari tanggungjawab moral sepenuhnya, adanya kasih sayang dan penghormatan

hak asasi manusia karena pasien merupakan wujud insan bermartabat.

Pasal 12 : Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan

keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif ),

baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik dan

pengabdi sejati masyarakat.

Penjelasan : Tanggung jawab pekerjaan dokter mencakup manusia sehat dan/atau

sakit yang dimulai dari masa pra-patogenesa hingga ke paliatif, secara individu atau

komunitas/masyarakat yang memerlukan tindakan medik, baik yang jenis biasa maupun

intervensif maupun tindakan bimbingan/penasehatan individual hingga ke pendidikan

masyarakat untuk mengubah perilaku sakit menjadi sehat. Kesehatan adalah sesuatu

keadaan dan upaya yang kompleks sesuai dengan defnisi sehat WHO maupun defnisi sehat

berindikator positif seperti kesejahteraan (wellbeing), kebugaran, keindahan, kedamaian

hidup bersama. Keutuhan dan kemenyeluruhan pelayanan kedokteran dan kesehatan inilah

yang menjadikan dokter sebagai manusia berwawasan luas/generalis yang dibutuhkan

masyarakat yang menempatkan tingginya kedudukan sosial dokter. Karenanya dokter

seyogyanya mampu bekerjasama dengan semua unsur kepemerintahan, swasta dan lapisan

masyarakat termasuk inter dan antar masyarakat profesi apapun.

Kewajiban dokter terhadap pasien

Pasal 14 : Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh

keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia

wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu. Yang dimaksud

dengan sikap tulus ikhlas adalah:

a. Sikap demi menjaga kehormatan profesi luhur kedokteran dan perilaku terpuji

seorang dokter yang ditandai oleh ramah tamah,sopan santun dan berwibawa

terhadap pasien.

b. Berkemauan sepenuh hati, teliti dan hati-hati menolong denganmengutamakan

kepentingan kesehatan pasien seutuhnya

Page 4: ehk

c. Bersungguh-hati bertanggung jawab atas semua tindakan mengabdi yang semata-

mata ditujukan untuk kepentingan pasien

d. Bersikap empati, turut merasakan dan berkeinginan untuk segera mengatasi

permasalahan kesehatan pasien

e. Di saat menolong tidak memikirkan imbalan materi atau memikirkan akan

menguntungkan pihak lain.

Yang dimaksud dengan konsultasi adalah upaya untuk meminta pendapat, saran dan

nasehat dari dokter lain. Merujuk adalah upaya menyerahkan pasien kepada dokter lain

(secara vertikal atau horizontal). Keduanya bertujuan membantu pasien mendapatkan

pelayanan yang lebih baik. Konsultasi horizontal terutama untuk sesama dokter spesialis

karena pada hakekatnya tubuh manusia itu utuh dan bukan hanya sekedar kumpulan

sistem, organ atau jaringan belaka yang seringkali dijadikan ciri spesialisasi. Pihak

terujuk/terkonsultasikan harus lebih mampu, ahli dan mau menangani lebih baik. Konsultasi

dan rujukan selain karena keterbatasan perujuk, juga agar menghindari kemungkinan

kesalahan dalam diagnosis, pengobatan maupun pelayanan medis yang dapat merugikan

pasien. Rawat bersama adalah bekerja dalam tim yang saling berkonsultasi

tentang penyakit-penyakit yang diderita satu penderita.

II.II Batasan obat Menurut PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG KEWAJIBAN MENGGUNAKAN OBAT

GENERIKDI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH

Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa :

1. Obat Paten adalah obat yang masih memiliki hak paten.

2. Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names

(INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk

zat berkhasiat yang dikandungnya.

3. Obat Generik Bermerek/Bernama Dagang adalah obat generik dengan nama dagang

yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan.

4. Obat Esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan

kesehatan bagi masyarakat mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan

tercantum dalam Daftar Obat Esensial yang ditetapkan oleh Menteri.

Page 5: ehk

Pasal 3 : Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib

menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan Puskesmas dan Unit

Pelaksana Teknis lainnya sesuai kebutuhan.

Pasal 4 :

(1) Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib

menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis.

(2) Dokter dapat menulis resep untuk diambil di Apotek atau di luar fasilitas

pelayanan kesehatan dalam hal obat generik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 7 : Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat

generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter

dan/atau pasien.

Pasal 8 : Dokter di Rumah Sakit atau Puskesmas dan Unit Pelaksana Teknis lainnya

dapat menyetujui pergantian resep obat generik dengan obat generik bermerek/bermerek

dagang dalam hal obat generik tertentu belum tersedia.

Pasal 10 :

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat memberi peringatan

lisan atau tertulis kepada dokter, tenaga kefarmasian dan pimpinan fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah yang melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

(2) Peringatan lisan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

paling banyak 3 (tiga) kali dan apabila peringatan tersebut tidak dipatuhi,

Pemerintah dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menjatuhkan

sanksi administratif kepegawaian kepada yang bersangkutan.

II.III Aspek Pengobatan rasional

Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM)

merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam

situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien

menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan

kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya

dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu,

Page 6: ehk

dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang

efektif.

Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak belakang.

Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di dunia

diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak

belakang dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk

dunia ternyata kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial.

Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan

Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat

diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan

lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat.

Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi penjabarannya tetap

sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan dapat menganalisis secara sistematis

proses penggunaan obat yang sedang berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis

adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh

pasien.

Page 7: ehk

Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1

Waspada:

1. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.

Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena

ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit

pasien.

2. Tepat pemilihan obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang

tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan

jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat

dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan.

Jenis obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal

mungkin.

3. Tepat indikasi

Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter.

Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit

akibat bakteri.

4. Tepat pasien

Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu

yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal

atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia

harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan

Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko

nefrotoksik sehingga harus dihindari

5. Tepat dosis

Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat

mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan

mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus

disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan

tertentu.

Page 8: ehk

6. Tepat cara dan lama pemberian

Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan

keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan

dan saat pemberian obat.

7. Tepat harga

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama

sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat

membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian

antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non spesifik yang sebenarnya

tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek

samping yang tidak dikehendaki.l

8. Tepat informasi

Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien

akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya

pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah

menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun

urinnya berwarna merah.

9. Waspada efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi

II.IV Aspek pengobatan irasional

Pemberian obat-obatan yang rasional merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam

penyelengaraan upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter & dokter gigi yang

memiliki etika & moral yang tinggi, keahlian & kewenangan yang secara terus menerus

harus ditingkatkan mutunya.

Namun, pada kenyataannya dilapangan pemakaian obat yang irrasional masih sering

atau banyak dijumpai dalam praktik pelayanan kesehatan sehari-hari, mulai dari praktik

dokter, balai pengobatan, puskesmas, sampai di rumah sakit. Yang digolongkan pemakaian

obat yang irrasional antara lain adalah pemakaian obat secara berlebihan baik dalam jenis

maupun jumlah dosis, indikasi pemberian jenis obat yang tidak jelas, tatacara pemakaian

Page 9: ehk

atau penggunaan yang tidak tepat (termasuk obat puyer racikan), polifarmasi yang berisiko

tinggi, penggunaan obat mahal sementara masih banyak obat sejenis yang lebih murah &

penggunaan jenis obat suntik & infus yang tidak perlu.

Dalam praktik sehari-hari yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka tujuan

pengobatan sering tidak tercapai. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat

irrasional antara lain:

1. Faktor internal

a. Knowledge deficit: kurangnya pengetahuan secara umum dari seorang dokter

terhadap pengetahuan ilmu kedokteran maupun ilmu farmasi medis.

b. Acquired habit: adanya kebiasaan meresepkan jenis atau merk obat tertentu.

2. Faktor eksterna

a. Cultural believe: kepercayaan masyarakat terhadap jenis atau merk obat

tertentu.

b. Patient demand: keinginan pasien yang cenderung ingin mengkonsumsi obat

tertentu, dengan sugesti menjadi lebih cepat sembuh

c. Influence of industry: adanya sponsor dari industri farmasi obat tertentu

d. Authority & supervision: adanya keharusan dari atasan di dalam suatu

instansi atau lembaga kesehatan untuk meresepkan jenis obat tertentu.

e. Biased information: informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian

obat menjadi tidak tepat.

f. Workload & staffing: beban pekerjaan yang terlalu berat sehingga seorang

dokter menjadi tidak sempat untuk berpikir soal rasionalitas pemakaian obat.

g. Infrastructure: adanya keterbatasan penyediaan jenis obat di suatu instansi

atau lembaga kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan untuk

suatu penyakit justru tidak tersedia, sehingga memakai obat yang lain.

h. Relation with peers: pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik

perorangan dengan pihak dari industri farmasi.

Jika memperhatikan UU no.36/2009 tentang Kesehatan, di pasal 105 ayat (1)

berbunyi: “sediaan farmasi yang berupa obat & bahan obat harus memenuhi syarat

farmakope Indonesia atau buku standar lainnya”, maka pemberian obat yang irrasional atau

tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat dikategorikan melanggar hukum.

Page 10: ehk

Adanya efek farmakodinamik & farmakokinetik dari tiap-tiap jenis obat akan menimbulkan

efek interaksi obat di dalam tubuh yang dapat merugikan ataupun membahayakan apabila

pemakaian obat diberikan dalam jumlah jenis yang melebihi batas. Sebagai contoh, apabila

kita memberikan 3 jenis obat maka akan didapatkan adanya 3 macam jenis interaksi obat,

namun apabila kita memberikan 5 jenis obat akan menghasil kurang lebih 10 macam

interaksi obat yang mempunyai resiko tinggi bagi pengguna.

Pemakaian obat puyer, suntik, & infus yang irrasional juga banyak ditemukan di lapangan,

terutama pada sarana kesehatan tingkat dasar seperti puskesmas ataupun dokter praktik

swasta di daerah dengan ruang lingkup komunitas masyarakat menengah ke bawah. Adanya

kepercayaan yang berakar pada masyarakat berpendidikan rendah yang merasa belum

diobati apabila belum diberikan obat suntik.

Jenis infus yang jenisnya terbatas & tersedia pada sarana kesehatan seperti

puskesmas juga menyebabkan penggunaan infus menjadi tidak tepat.

Adanya berbagai media informasi (media cetak, televisi, radio, internet, dst) juga

memberikan efek kurang baik yang menyebabkan masyarakat menggampangkan memakai

obat seperti obat pengurang nyeri (analgesik) atau penurun panas (antipiretik) yang tidak

tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang

dengan gampang menggunakan obat analgesik karena merasa sedikit nyeri kepala.

Begitupun bagi para ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila ada anaknya

yang demam, maka dengan cepat mereka diberikan obat antipiretik.

Penggunaan obat antibiotik pada praktik pelayanan medis dapat digolongkan menjadi

beberapa jenis yaitu terapi definitif, yaitu pengobatan suatu penyakit berdasarkan pedoman

dosis & cara tertentu. Namun ada juga yang disebut dengan terapi empirik, yaitu jumlah

dosis yang digunakan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Adanya resistensi obat &

virulensi dari bakteri yang meningkat, menyebabkan dosis terapi empirik biasanya lebih

tinggi dari pada yang seharusnya. Ditambah pula dengan adanya kemajuan teknologi

farmasi yang mengembangkan antibiotik menjadi beberapa generasi & terus berkembang

sampai sekarang.