ehk
DESCRIPTION
ehkTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.I KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
Di Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma
yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah
Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud
untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para
dokter balk yang tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan dan penelitian
telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dalam relevansi hubungan
dengan pengobatan dari dokter ke pasien, maka KODEKI 2012 memberikan batasan dalam
beberapa pasal yaitu :
Kewaiban umum :
Pasal 1 : Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dan atau janji dokter.
Pasal 2 : Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran
yang tertinggi.
Penjelasan : Pengambilan keputusan profesional kedokteran lebih ditujukan kepada
sikap, tindak dan perilaku dokter yang memiliki niat baik yang konsisten, kesungguhan dan
ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial sebagai wujud dari integritas moral dan
kejujuran intelektual sebagai komponen etis altruistik deontologik dan terpenting dari suatu
standar profesi, mengingat dapat saja sarana dan prasarana dari fasilitas pelayanan
kesehatan tempat bekerja dokter belum/tidak optimal untuk melaksanakan kompetensi
yang dimiliki dokter. Namun bila fasilitas, sarana dan prasarana dan semua komponen
pengelolaan teknis medis pasien tersedia secara ideal, dokter wajib secara independen
melaksanakan/mempertahankan standar profesi yang tertinggi semata-mata sebagai wujud
keberpihakan/toleransinya bagi kepentingan terbaik pasien. Kewajiban ini sebagai jaminan
terlayaninya pasien dimanapun berada, siapapun dirinya, bagaimanapun kondisinya dan
situasi lingkungannya. Independen artinya bebas dari pengaruh/tekanan dari
luar/siapapun/pihak manapun sehingga dokter dapat melaksanakan kebebasan sepenuhnya
dalam bentuk upaya maksimal demi kepentingan terbaik pasien sesuai kewajiban intrinsik
dalam nuraninya untuk menolong pasien, semata-mata karena pasien itu adalah insan
manusia yang memerlukan pertolongannya.
Pasal 3 : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Penjelasan : Walaupun hubungan antara dokter dengan industri farmasi atau alat
kesehatan dan pelbagai jasa ikutannya sudah dirasakan tak dapat dipisahkan, namun
hubungan yang menyimpangi kode etik kedua pihak harus diakhiri, karena ibarat lereng
yang licin (the slippery slope), dokter tergelincir menjadi pedagang yang menganggap sah
komisi, diskon dan lain lain, padahal itu semua pasti memberatkan pasien/keluarganya yang
tengah menderita atau pihak ketiga yang menanggungnya. Dokter memiliki kekuasaan besar
untuk menentukan pilihan produk/barang/jasa tersebut, sehingga sepantasnya etika
kedokteranlah yang menjadi rem kekuasaan ini. Pada diri dokter terlebih dahulu muncul
tanggungjawab daripada kebebasannya. Uraian tersebut menggambarkan bahwa pasal
inimerupakan salah satu cirri profesi luhur.
Pasal 6 : Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya
dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Penjelasan : Perbuatan seorang dokter dapat mempengaruhi pendapat masyarakat
luas, sebaliknya reaksi menyimpang masyarakat tersebut dapat kembali mempengaruhi
persepsi mereka terhadap seluruh korsa kedokteran Oleh karena itu dokter harus hati-hati
dalam mengumumkan hasil penelitian, teknik dan pengobatan yang belum diuji
kebenarannya atau dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 8 : Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Penjelasan :
Untuk menjalankan praktek profesi yang bertanggungjawab dan bermutu, diperlukan bekal
diri dokter yang cukup banyak. Ada 3 tanggungjawab profesi yakni : (a) kepada diri
sendiri (responsibility) dalam rangka menjalankan kebebasan teknis profesi berdasar
kompetensi masing-masing, (b) kepada teman sejawat dan lingkungan kerja
(accountability) dan (c) kepada klien/pasien sebagai pihak ketiga (liability). Profesionalisme
dihasilkan dari tanggungjawab moral sepenuhnya, adanya kasih sayang dan penghormatan
hak asasi manusia karena pasien merupakan wujud insan bermartabat.
Pasal 12 : Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif ),
baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi sejati masyarakat.
Penjelasan : Tanggung jawab pekerjaan dokter mencakup manusia sehat dan/atau
sakit yang dimulai dari masa pra-patogenesa hingga ke paliatif, secara individu atau
komunitas/masyarakat yang memerlukan tindakan medik, baik yang jenis biasa maupun
intervensif maupun tindakan bimbingan/penasehatan individual hingga ke pendidikan
masyarakat untuk mengubah perilaku sakit menjadi sehat. Kesehatan adalah sesuatu
keadaan dan upaya yang kompleks sesuai dengan defnisi sehat WHO maupun defnisi sehat
berindikator positif seperti kesejahteraan (wellbeing), kebugaran, keindahan, kedamaian
hidup bersama. Keutuhan dan kemenyeluruhan pelayanan kedokteran dan kesehatan inilah
yang menjadikan dokter sebagai manusia berwawasan luas/generalis yang dibutuhkan
masyarakat yang menempatkan tingginya kedudukan sosial dokter. Karenanya dokter
seyogyanya mampu bekerjasama dengan semua unsur kepemerintahan, swasta dan lapisan
masyarakat termasuk inter dan antar masyarakat profesi apapun.
Kewajiban dokter terhadap pasien
Pasal 14 : Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh
keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu. Yang dimaksud
dengan sikap tulus ikhlas adalah:
a. Sikap demi menjaga kehormatan profesi luhur kedokteran dan perilaku terpuji
seorang dokter yang ditandai oleh ramah tamah,sopan santun dan berwibawa
terhadap pasien.
b. Berkemauan sepenuh hati, teliti dan hati-hati menolong denganmengutamakan
kepentingan kesehatan pasien seutuhnya
c. Bersungguh-hati bertanggung jawab atas semua tindakan mengabdi yang semata-
mata ditujukan untuk kepentingan pasien
d. Bersikap empati, turut merasakan dan berkeinginan untuk segera mengatasi
permasalahan kesehatan pasien
e. Di saat menolong tidak memikirkan imbalan materi atau memikirkan akan
menguntungkan pihak lain.
Yang dimaksud dengan konsultasi adalah upaya untuk meminta pendapat, saran dan
nasehat dari dokter lain. Merujuk adalah upaya menyerahkan pasien kepada dokter lain
(secara vertikal atau horizontal). Keduanya bertujuan membantu pasien mendapatkan
pelayanan yang lebih baik. Konsultasi horizontal terutama untuk sesama dokter spesialis
karena pada hakekatnya tubuh manusia itu utuh dan bukan hanya sekedar kumpulan
sistem, organ atau jaringan belaka yang seringkali dijadikan ciri spesialisasi. Pihak
terujuk/terkonsultasikan harus lebih mampu, ahli dan mau menangani lebih baik. Konsultasi
dan rujukan selain karena keterbatasan perujuk, juga agar menghindari kemungkinan
kesalahan dalam diagnosis, pengobatan maupun pelayanan medis yang dapat merugikan
pasien. Rawat bersama adalah bekerja dalam tim yang saling berkonsultasi
tentang penyakit-penyakit yang diderita satu penderita.
II.II Batasan obat Menurut PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG KEWAJIBAN MENGGUNAKAN OBAT
GENERIKDI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH
Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa :
1. Obat Paten adalah obat yang masih memiliki hak paten.
2. Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names
(INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk
zat berkhasiat yang dikandungnya.
3. Obat Generik Bermerek/Bernama Dagang adalah obat generik dengan nama dagang
yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan.
4. Obat Esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan
tercantum dalam Daftar Obat Esensial yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 3 : Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib
menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan Puskesmas dan Unit
Pelaksana Teknis lainnya sesuai kebutuhan.
Pasal 4 :
(1) Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib
menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis.
(2) Dokter dapat menulis resep untuk diambil di Apotek atau di luar fasilitas
pelayanan kesehatan dalam hal obat generik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 7 : Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter
dan/atau pasien.
Pasal 8 : Dokter di Rumah Sakit atau Puskesmas dan Unit Pelaksana Teknis lainnya
dapat menyetujui pergantian resep obat generik dengan obat generik bermerek/bermerek
dagang dalam hal obat generik tertentu belum tersedia.
Pasal 10 :
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat memberi peringatan
lisan atau tertulis kepada dokter, tenaga kefarmasian dan pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Peringatan lisan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling banyak 3 (tiga) kali dan apabila peringatan tersebut tidak dipatuhi,
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menjatuhkan
sanksi administratif kepegawaian kepada yang bersangkutan.
II.III Aspek Pengobatan rasional
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM)
merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam
situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya
dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu,
dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang
efektif.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak belakang.
Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di dunia
diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak
belakang dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk
dunia ternyata kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial.
Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan
Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat
diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan
lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat.
Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi penjabarannya tetap
sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan dapat menganalisis secara sistematis
proses penggunaan obat yang sedang berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis
adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh
pasien.
Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1
Waspada:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.
Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena
ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit
pasien.
2. Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang
tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan
jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat
dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan.
Jenis obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal
mungkin.
3. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter.
Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit
akibat bakteri.
4. Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu
yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal
atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia
harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan
Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko
nefrotoksik sehingga harus dihindari
5. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat
mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan
mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus
disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan
tertentu.
6. Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan
keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan
dan saat pemberian obat.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama
sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat
membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian
antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non spesifik yang sebenarnya
tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek
samping yang tidak dikehendaki.l
8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien
akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya
pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah
menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun
urinnya berwarna merah.
9. Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi
II.IV Aspek pengobatan irasional
Pemberian obat-obatan yang rasional merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelengaraan upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter & dokter gigi yang
memiliki etika & moral yang tinggi, keahlian & kewenangan yang secara terus menerus
harus ditingkatkan mutunya.
Namun, pada kenyataannya dilapangan pemakaian obat yang irrasional masih sering
atau banyak dijumpai dalam praktik pelayanan kesehatan sehari-hari, mulai dari praktik
dokter, balai pengobatan, puskesmas, sampai di rumah sakit. Yang digolongkan pemakaian
obat yang irrasional antara lain adalah pemakaian obat secara berlebihan baik dalam jenis
maupun jumlah dosis, indikasi pemberian jenis obat yang tidak jelas, tatacara pemakaian
atau penggunaan yang tidak tepat (termasuk obat puyer racikan), polifarmasi yang berisiko
tinggi, penggunaan obat mahal sementara masih banyak obat sejenis yang lebih murah &
penggunaan jenis obat suntik & infus yang tidak perlu.
Dalam praktik sehari-hari yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka tujuan
pengobatan sering tidak tercapai. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat
irrasional antara lain:
1. Faktor internal
a. Knowledge deficit: kurangnya pengetahuan secara umum dari seorang dokter
terhadap pengetahuan ilmu kedokteran maupun ilmu farmasi medis.
b. Acquired habit: adanya kebiasaan meresepkan jenis atau merk obat tertentu.
2. Faktor eksterna
a. Cultural believe: kepercayaan masyarakat terhadap jenis atau merk obat
tertentu.
b. Patient demand: keinginan pasien yang cenderung ingin mengkonsumsi obat
tertentu, dengan sugesti menjadi lebih cepat sembuh
c. Influence of industry: adanya sponsor dari industri farmasi obat tertentu
d. Authority & supervision: adanya keharusan dari atasan di dalam suatu
instansi atau lembaga kesehatan untuk meresepkan jenis obat tertentu.
e. Biased information: informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian
obat menjadi tidak tepat.
f. Workload & staffing: beban pekerjaan yang terlalu berat sehingga seorang
dokter menjadi tidak sempat untuk berpikir soal rasionalitas pemakaian obat.
g. Infrastructure: adanya keterbatasan penyediaan jenis obat di suatu instansi
atau lembaga kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan untuk
suatu penyakit justru tidak tersedia, sehingga memakai obat yang lain.
h. Relation with peers: pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik
perorangan dengan pihak dari industri farmasi.
Jika memperhatikan UU no.36/2009 tentang Kesehatan, di pasal 105 ayat (1)
berbunyi: “sediaan farmasi yang berupa obat & bahan obat harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya”, maka pemberian obat yang irrasional atau
tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat dikategorikan melanggar hukum.
Adanya efek farmakodinamik & farmakokinetik dari tiap-tiap jenis obat akan menimbulkan
efek interaksi obat di dalam tubuh yang dapat merugikan ataupun membahayakan apabila
pemakaian obat diberikan dalam jumlah jenis yang melebihi batas. Sebagai contoh, apabila
kita memberikan 3 jenis obat maka akan didapatkan adanya 3 macam jenis interaksi obat,
namun apabila kita memberikan 5 jenis obat akan menghasil kurang lebih 10 macam
interaksi obat yang mempunyai resiko tinggi bagi pengguna.
Pemakaian obat puyer, suntik, & infus yang irrasional juga banyak ditemukan di lapangan,
terutama pada sarana kesehatan tingkat dasar seperti puskesmas ataupun dokter praktik
swasta di daerah dengan ruang lingkup komunitas masyarakat menengah ke bawah. Adanya
kepercayaan yang berakar pada masyarakat berpendidikan rendah yang merasa belum
diobati apabila belum diberikan obat suntik.
Jenis infus yang jenisnya terbatas & tersedia pada sarana kesehatan seperti
puskesmas juga menyebabkan penggunaan infus menjadi tidak tepat.
Adanya berbagai media informasi (media cetak, televisi, radio, internet, dst) juga
memberikan efek kurang baik yang menyebabkan masyarakat menggampangkan memakai
obat seperti obat pengurang nyeri (analgesik) atau penurun panas (antipiretik) yang tidak
tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang
dengan gampang menggunakan obat analgesik karena merasa sedikit nyeri kepala.
Begitupun bagi para ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila ada anaknya
yang demam, maka dengan cepat mereka diberikan obat antipiretik.
Penggunaan obat antibiotik pada praktik pelayanan medis dapat digolongkan menjadi
beberapa jenis yaitu terapi definitif, yaitu pengobatan suatu penyakit berdasarkan pedoman
dosis & cara tertentu. Namun ada juga yang disebut dengan terapi empirik, yaitu jumlah
dosis yang digunakan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Adanya resistensi obat &
virulensi dari bakteri yang meningkat, menyebabkan dosis terapi empirik biasanya lebih
tinggi dari pada yang seharusnya. Ditambah pula dengan adanya kemajuan teknologi
farmasi yang mengembangkan antibiotik menjadi beberapa generasi & terus berkembang
sampai sekarang.