efisiensi pemerintah dalam mengurangi tingkat...
TRANSCRIPT
EFISIENSI PEMERINTAH DALAM MENGURANGI TINGKAT
KEMISKINAN TAHUN 2016-2017
(Studi Kasus : Pemerintah Provinsi Banten)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun Oleh :
Silvia Nurul Hidayah
1112084000038
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
Nama Lengkap : Silvia Nurul Hidayah Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 8 Maret 1995 Alamat : Perumahan Villa Taman Bandara blok D4 no. 21
Kel. Dadap, Kec. Kosambi Kab. Tangerang, 15211
Nomor Handphone : (+62) 8192222023 E-mail : [email protected]
Latar Belakang Keluarga
Nama Ayah : Tri Tunggal Wuryanto
Tempat, Tanggal Lahir : Gunung Kidul, 2 Maret 1964 Nama Ibu : Sri Muryani Tempat, Tanggal Lahir : Gunung Kidul, 10 September 1967
Alamat : Perumahan Villa Taman Bandara blok D4 no. 21 Kel. Dadap, Kec. Kosambi
Kab. Tangerang, 15211 Anak ke- dan dari- : 2 dari 2 bersaudara
Pendidikan Formal
1. TK Sehati Jakarta
2. SDN Kamal 01 Jakarta 3. SMPN 224 Jakarta 4. SMAN 95 Jakarta
5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Organisasi
1. Dept. Pendidikan HMJ IESP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013-2014. 2. Anggota HMJ IESP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015-2016.
Pendidikan Non-Formal, Seminar dan Workshop
1. LBPP LIA Ciputat
2. Kuliah Umum “Sosialisasi Hemat Energi”, diselanggarakan oleh BEM FEB & Kementerian ESDM, 8 November 2012.
3. Seminar Nasional “Korupsi Mengorupsi Indonesia”, diselanggarakan
oleh Prodi IESP, 3 Desember 2014. 4. Workshop “Aplikasi Akuntansi Zahir” HMJ Akuntansi.
5. Seminar Nasional “How To Deal With The Decreasing of Rupiah By Tax”, Diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, 6 Oktober 2015
i
ABSTRACT
Silvia Nurul :GOVERNMENT EFFICIENCY IN REDUCING POVERTY LEVELS
2016-2017
(Case Study: Banten Provincial Government)
Using the Data Envelopment Analysis (DEA) method, this study discusses the technical expenditure consisting of Capital Expenditures, Goods & Services Expenditures, Social
Aid Expenditures for Financial Aid Expenditures, and Poverty. The model used is subject to Variable Return to Scale (VRS). In line with the purpose of this study to determine the
efficiency of government spending in reducing poverty levels. The results of the DEA analysis in this study indicate that the level of government efficiency varies in Prov. Banten, where is Kab. Pandeglang became the region with the highest average efficiency
level for two years in a row, and the city of Cilegon increased the most severe government inefficiency.
Keywords: Capital Expenditures, Goods & Services Expenditures, Social Aid
Expenditures, Financial Aid Expenditures, and Poverty
ii
ABSTRAK
Silvia Nurul : EFISIENSI PEMERINTAH DALAM MENGURANGI TINGKAT
KEMISKINAN TAHUN 2016-2017
(Studi Kasus : Pemerintah Provinsi Banten)
Menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA), penelitian ini mengulas teknis
efisiensi pengeluaran pemerintah yang terdiri dari Belanja Modal, Belanja Barang & Jasa, Belanja Bantuan Sosial Belanja Bantuan Keuangan, dan Kemiskinan. Dea yang dipakai
mengacu pada model Variable Return to Scale (VRS). Sejalan dengan tujuan penelitian ini untuk mengetahui efisiensi pengeluaran pemetintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Hasil analisis DEA pada penelitian ini menunjukkan tingkat efisiensi
pengeluaran pemerintah yang bervariasi di kawasan Prov. Banten, dimana Kab. Pandeglang menjadi daerah dengan tingkat efisiensi rata-rata tertinggi selama dua tahun
bertuturut-turut, dan Kota Cilegon mengalami inefisiensi pengeluaran pemerintah yang paling parah.
Kata Kunci : Belanja Modal, Belanja Barang & Jasa, Belanja Bantuan
Sosial, Belanja Bantuan Keuangan, dan Kemiskinan
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.,
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat, karunia,
rezeki, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, yang senantiasa menjadi panutan, tauladan dan sumber inspirasi bagi umat Islam
dan terkhusus untuk putri baginda Nabi, Sayyidah Fatimah az-Zahra yang kisah hidupnya
sudah menginspirai penulis.
Skripsi yang berjudul “Efisiensi Pemerintah Dalam Mengurangi Tingkat
Kemiskinan Tahun 2016-2017 (Studi Kasus : Pemerintah Provinsi Banten)” ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tentunya berkat
bimbingan Bpk. Arief Fitrijanto, M.Si yang dengan sabar membantu menyelesaikan
skripsi ini dengan memberikan dukungan, saran dan koreksi. Teruntuk Bpk. Sofyan
Rizal, M.Si terimakasih atas saran serta dukungannya selama ini.
Terimakasih juga untuk kepala jurusan ekonomi pembangunan Bpk. Dr.
M.Hartana.I.Putra,M.Si, dan Bpk. Drs.Rusdianto, M.Sc selaku penguji ahli, Terimakasih
juga kepada semua dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu yang insyaAllah bermanfaat buat penulis.
Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis mendapat banyak kendala. Terimakasih
yang terdalam dan terbesar diungkapkan kepada orang tua tercinta, Ibu. Sri Muryani dan
Bpk. Tri Tunggal atas nasihat bijak mereka dan untuk cinta, doa, dan dukungan yang tak
ada batasnya. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada keponakan
perempuan tercerewetnya, Jasmin yang selalu ingin diganggu. You are always there for
me.
Kepada sahabatnya, Nurul Hidayati, terimakasih atas semua dukungan dan
kebaikannya. Dan untuk Muh. Abdul Farid dan Habibatul terima kasih telah menjadi
pemacu suasana hati. Kemudian, untuk teman KKN Andi Permana, Alm. Fatimah, dan
Sepupu di rumah Halimah terimakasih atas dukungan dan hal-hal gila yang telah kami
lewati. All of you are amazing!
Penulis ingin mengucapkan terimakasih khusus kepada 'Disicipi' yaitu Tri Andini,
Nursiti Noviyana, Cecilia, you are awesome! Dan untuk sahabat karib jarak jauhnya,
Hasana Annas, Dewi Yuliana Sari, Indiana Shinta terimakasih banyak atas dukungan dan
waktu yang Anda berikan kepada saya. Selanjutnya untuk yang istimewa, Lukman
Febrian, terima kasih telah menjadi motivator, selalu memberikan dukungan tanpa henti
and always break these temporary hard times. Terakhir tetapi tidak sedikit, Geng The
Last Minutes: Rafi, Hakim, Ifil, Wilda, Pijar, Erul, Amir, Irfan, dan Mawaddah. Terima
kasih telah berjuang bersama sampai akhir. Terimakasih untuk semua dan orang-orang
yang mengenal penulis karena mendukungnya dalam menyelesaikan skripsi, Semoga
Allah senantiasa mempermudah urusan kalian. Aamiin
Wassalamualaikum wr. wb.
Jakarta, 15 Mei 2019
Silvia Nurul Hidayah
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..........................................................................i
ABSTRACT.......................................................................................................ii
ABSTRAK..........................................................................................................iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................iv
DAFTAR ISI.......................................................................................................v
DAFTAR TABEL..............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................7
C. Tujuan Penelitian..................................................................................7
D. Manfaat Penelitian.............................................................................7
E. Sistematika Penulisan........................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................9
A. Landasan Teori..................................................................................9
1. Kemiskinan...................................................................................9
2. Efisiensi.......................................................................................14
3. Belanja Pemerintah......................................................................16 B. Penelitian Terdahulu.........................................................................20
C. Kerangka Pemikiran.........................................................................24
D. Hipotesis...........................................................................................24
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................25
A. Ruang Lingkup Penelitian................................................................25
B. Metode Penentuan Sample...............................................................25
C. Metode Pengumpulan Data..............................................................25
1. Sumber Data..............................................................................25
2. Jenis Data..................................................................................26
D. Metode Analisis Data.......................................................................26
1. Data Envelopment Analisis (DEA)............................................27
2. Pengukuran Orientasi Efisiensi..................................................33
a. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented
Measurement).......................................................................33
b. Pengukuran Berorientasi Output (Output-Oriented
Measurement).......................................................................33
3. Konsep Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to
Scale (VRS)................................................................................34
a. Constant Return to Scale (CRS)...........................................34
b. Variable Return to Scale (VRS)............................................34
E. Definisi Operasional........................................................................35
1. Variabel Input............................................................................35
2. Variabel Ouput..........................................................................37
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN...................................................38
A. Gambaran Umum Objek Penelitian.................................................38
1. Letak Geografis dan Pemerintahan............................................38
2. Keadaan penduduk.....................................................................39
B. Analisis Deskriptif............................................................................45
C. Analisis Efisiensi..............................................................................48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................55
A. Kesimpulan........................................................................................55
B. Saran..................................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................56
Lampiran............................................................................................................58
v
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten Tahun 2016 – 2017 2
1.2 Data Realisasi Belanja Pemerintah
6
2.2 Penelitian Terdahulu 20
4.3 Indikator Kependudukan Banten Menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2016-2017
41
4.4 Statistik Ketenagakerjaan Banten 42
4.10 Hasil Perhitungan Efisiensi Pengeluaran
Pemerintah dalam Mengurangi Tingkat
Kemiskinan Banten Tahun 2016
48
4.11 Hasil Perhitungan Efisiensi Pengeluaran
Pemerintah dalam Mengurangi Tingkat
Kemiskinan Banten Tahun 2017
50
4.12 Wilayah Acuan Prov. Banten Tahun 2016 52
4.13 Wilayah Acuan Prov. Banten Tahun 2017 53
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Teori Lingkarang Setan Kemiskinan 12
2.3
Kerangka Berpikir 24
4.1 Komposisi Penduduk Banten Tahun 2016 40
4.2 Komposisi Penduduk Banten Tahun 2017 40
4.5 Persentase Penduduk Miskin
44
4.6 Realisasi Belanja Modal pada Tahun 2016-
2017 (dalam ribu rupiah)
45
4.7 Realisasi Belanja Barang dan Jasa pada
Tahun 2016-2017 (dalam ribu rupiah) 46
4.8 Realisasi Belanja Bantuan Keuangan pada
Tahun 2016-2017 (dalam ribuan rupiah) 47
4.9 Realisasi Belanja Bantuan Sosial pada
Tahun 2016-2017 (dalam ribuan rupiah)
47
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1 Hasil Analisis Efisiensi Pemerintah
Kabupaten/Kota Provinsi Banten 2016 dengan
Metode DEA
57
2 Hasil Analisis Efisiensi Pemerintah
Kabupaten/Kota Provinsi Banten 2017 dengan
Metode DEA
66
xiii
1
BAB I
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Hingga pada level perekonomian yang tertinggi sekalipun, permasalahan
mengenai kemiskinan merupakan salah satu masalah utama. Kemiskinan,
dalam perspektif perekonomian makro lebih dipandang sebagai kegagalan
sebuah negara untuk bisa mencapai kinerja perekonomian yang optimal karena
masih adanya faktor– faktor produksi yang tidak digunakan sesuai dengan
kapasitasnya. (Kristiyanto: 2017).
Tidak hanya dipandang sebagai kegagalan sebuah negara tetapi juga
sebagai acuan kemajuan dan kesejahteraan suatu negara, negara dengan tingkat
kemiskinan yang rendah maka negara tersebut bisa dikatakan sejahtera atau
maju dan mampu mengatasi permasalahan kemiskinan di negaranya. Masalah
kemiskinan dihadapi semua negara di dunia terutama di negara berkembang.
Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh kemiskinan selain timbulnya
banyak masalah-masalah sosial, kemiskinan juga dapat mempengaruhi
pembangunan ekonomi suatu negara. Kemiskinan yang tinggi akan
menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembangunan
ekonomi menjadi lebih besar yang secara tidak langsung akan menghambat
pembangunan ekonomi di berbagai sektor sehingga pertumbuhan haruslah
beriringan dan terencana mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan
dan pembagian hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian mereka yang
tergolong miskin akan maju dan sejahtera.
Khusus untuk kasus Indonesia sendiri, merujuk pada Undang– Undang
Dasar Tahun 1945 pasal 34, menegaskan bahwa pemerintah merupakan institus i
atau lembaga yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan permasalahan
kemiskinan tersebut. Pemerintah, sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945,
adalah pemerintah dari tingkat tertinggi, yaitu pemerintah pusat, pemerintah
tingkat provinsi hingga pada level pemerintahan paling rendah, yaitu
pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kota. Pemerintah daerah sendiri, telah
banyak melakukan program yang ditujukan untuk penanggulangan
kemiskinan.. Program–program jaminan sosial pemerintah daerah selain
2
terintegrasi dengan program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat
seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau Kartu Indonesia Pintar (KIP), beberapa
pemerintah kota kabupaten juga merancang khusus program penanganan
kemiskinan bagi wilayahnya sendiri. Namun, tidak semua kabupaten kota
mampu untuk merancang dan mengeksekusi sendiri program–program
pengentasan kemiskinan. Umumnya, kabupaten kota yang telah memilik i
kemandirian fiskal, adalah kota kabupaten yang bisa menjalankan program–
program pengentasan kemiskinannya sendiri.
Angka kemiskinan Provinsi Banten hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) bulan September 2017 sebesar 5,59%. Angka ini berarti terjadi
kenaikan 0,14 poin dibanding semester sebelumnya yang sebesar 5,45%.
Kenaikan angka kemiskinan sebesar 0,14 poin sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk miskin sebanyak 24,79 ribu orang dari 675,04 ribu orang pada
Maret 2017 menjadi 699,83 ribu orang pada September 2017. Persentase
penduduk miskin baik di daerah perkotaan maupun perdesaan mengalami
peningkatan. Persentase penduduk miskin di perkotaan naik dari 4,52 menjadi
4,69 dan persentase penduduk miskin di perdesaan naik dari 7,61 pada Maret
2017 menjadi 7,81 pada September 2017.
Tabel 1.1
Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Tahun 2016 – 2017
Kab./Kota 2016 2017
Kab. Lebak 111.210
111.080
Kab. Pandeglang
115.900
117.310
Kab. Serang
67.920
69.100
Kab. Tangerang
182.520
105.340
Kota Cilegon
14.900
14.890
3
Kota Tangerang
102.880
105.340
Kota Serang
36.400
36.970
Kota Tangerang Selatan
26.380
28.730
Sumber : BPS Prov. Banten
Semua program yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut tentu
membutuhkan anggaran yang besar. Dalam penganggaran pemerintah, belanja
yang dibutuhkan dalam rangka penanggulangan kemiskinan tersebut
dimasukkan ke dalam dua kategori besar, yaitu belanja langsung dan belanja
tidak langsung. Penggunaan belanja pemerintah kota dan kabupaten tersebut
tentu mengandung konsekuensi tersendiri. Bagi kota kabupaten yang memilik i
tingkat pendapatan yang tinggi, tidak akan menjadi masalah untuk menjalankan
semua program pengentasan kemiskinan tersebut, namun akan menimbulkan
permasalahan tersendiri jika kota kabupaten tersebut tidak mempunyai sumber
daya yang mencukupi. Dengan kondisi yang demikian, tentu pengentasan
kemiskinan akan berjalan.
Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah bila mengkaitkan upaya
pemerintah dalam mengatasi kemiskinan tersebut dengan efisiensi dalam
penggunaan anggaran pemerintah. Dalam menjalankan program pengentasan
kemiskinan tersebut, tentu akan terdapat kota kabupaten yang efisien dan ada
pula kota yang tidak efisien. Kota kabupaten yang menggunakan belanja
pemerintah baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung yang efisien
tentu akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan kota
kabupaten yang belum efisien dalam penggunaan anggaran. Penggunaan
anggaran yang lebih efisien juga menguntungkan bagi pemerintah kota
kabupaten tersebut, karena anggaran pemerintah bisa dialokasikan ke pos
pengeluaran lainnya. (Kristiyanto :2017)
Hal yang penting untuk dilihat adalah sejauh mana pembelanjaan yang
dilakukan oleh pemerintah mampu memberikan pengaruh dan dampak pada
peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan dari tahun ke tahun.
4
Semangat otonomi daerah harus mampu memberdayakan segenap potensi yang
dimiliki daerah dan masyarakatnya untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemajuan daerah. (Darise, 2006 : 14). Pembelanjaan yang dilakukan pemerintah
daerah sudah seharusnya mampu mengurangi masalah kesejahteraan yang
masih membelit sebagian masyarakat yakni kemiskinan. Pos-pos belanja yang
langsung bersentuhan dengan kesejahteraan rakyat harus mendapat perhatian
serius dari pemerintah daerah.
Sesuai dengan aturan otonomi daerah dan pengelolaan keuangan daerah
maka pos-pos yang paling vital menyentuh langsung kesejahteraan rakyat
adalah Belanja Bantuan Sosial dan Belanja Modal. Belanja bantuan sosial
memang dikhususkan untuk meningkatkan kesejahateraan masyarakat baik
dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan Belanja modal merupakan
pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan seperti aset daerah,
infrastruktur, sarana dan prasarana dasar di daerah. Oleh karena itu peran kedua
jenis belanja ini sangat penting sebab jika belanja bantuan sosial dan belanja
modal disalurkan tepat sasaran dan mengalami peningkatan setiap tahunnya
maka diharapkan akan memberikan pengaruh terhadap kesejahteran masyarakat
terutama mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Pada sisi yang lain
pengelolaan keuangan daerah yang baik efisiensi menjadi sesuatu hal yang
menarik untuk dilihat lebih jauh, karena secara umum kabupaten atau kota yang
memiliki tingkat efisiensi yang tinggi tentu akan menghasilkan output (berupa
penurunan tingkat kemiskinan) yang paling optimal.
Dengan kata lain, kabupaten kota yang dengan realisasi pembelanjaan
tepat sasaran sesuai program kerja yang telah tersusun maka pengeluaran
pemerintah akan berdampak positif terhadap perekonomian terutama
pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi setiap periodenya
akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan
kemiskinan.Sedangkan syarat kecukupan (sufficient condition) ialah bahwa
pertumbuhan ekonomi efektif dalam mengurangi kemiskinan.( Siregar :2006).
5
Realita yang terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia paska otonomi
daerah bergulir dalam hal pembelanjaan ialah bahwa share atau bagian belanja
untuk pembangunan dan kehidupan sosial masih lebih rendah dibandingkan
dengan belanja rutin dan operasional. Jika bagian belanja pembangunan atau
belanja modal dan belanja sosial lebih rendah dari belanja rutin dan operasional
maka akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat terutama
terhadap tingkat kemiskinan. Selain itu pengeluaran pemerintah juga memilik i
hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu jika pertumbuhan
ekonomi rendah setiap periodenya pasti akan berdampak juga terhadap
kesejahteraan masyarakat terutama terhadap tingkat kemiskinan.
Anggaran pembangunan di Provinsi Banten sampai saat ini masih
mengandalkan dana transfer atau dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Dana perimbangan yang diterima pemerintah Provinsi Banten terdiri atas bagi
hasil pajak, bagihasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK), Kota kabupaten Banten tidak terlepas dari masalah
kemiskinan. Peranan pemerintah Kota kabupaten di Provinsi Banten dalam
mengurangi tingkat kemiskinan tercermin dalam realisasi pembelanjaan dalam
APBD setiap tahunnya terutama dalam realisasi pembelanjaan dalam pos
belanja modal dan belanja sosial. Pada sisi yang lain, pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Kota di provinsi Banten setiap tahunnya diharapkan dapat
memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Usaha
pemerintah Provinsi Banten dalam meningkatkan kesejahteraan dalam hal ini
mengurangi tingkat kemiskinan juga dapat dilihat dari besaran dana atau belanja
yang dikucurkan setiap tahunnya baik dalam sisi belanja langsung maupun
belanja tidak langsung. Namun realisasi belanja yang diharapkan dapat
menyentuh langsung kesejahteraan masyarakat melalui pengurangan tingakt
kemiskinan adalah melalui belanja modal dan belanja sosial serta besaran laju
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.
6
Tabel 1.2
Data realisasi belanja pemerintah
Sumber : BPS Prov. Banten
Padahal dalam konsep keuangan daerah di era otonomi saat ini salah satu
hal yang sangat penting adalah memahami dan mengetahui sejauh mana
pengaruh dan dampak pengeluaran pemerintah dan perkembangan ekonomi
terhadap indikator kesejahteraan masyarakat. Masalah yang sering terjadi pada
perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan
daerah ialah sejauh mana pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi
memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal
inilah maka sangat penting untuk dilakukan kajian mengenai pengaruh belanja
modal, belanja sosial dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan
di Prov. Banten.
Berangkat dari pemikiran tersebut, tulisan ini mencoba untuk meliha t
secara lebih komprehensif mengenai kota kabupaten mana yang telah efisien
dan mana kota kabupaten yang masih belum efisien di Provinsi Banten. Dengan
mengerti posisi kota kabupaten mana yang efisien, maka kota kabupaten yang
masih belum efisien bisa meniru langkah–langkah yang telah diambil oleh kota
kabupaten yang telah efisien sebelumnya. Maka dari itu peneliti menentukan
judul penelitian dengan judul “Efisiensi Pemerintah Dalam Mengurangi
0,00
500.000,00
1.000.000,00
1.500.000,00
2.000.000,00
2.500.000,00
3.000.000,00
3.500.000,00
Belanja Bansos Belanja BantuanKeuangan
Belanja Barang& Jasa
Belanja Modal
2016 2017
7
Tingkat Kemiskinan Tahun 2016-2017 (Studi Kasus: Pemerintah Provins i
Banten)”.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat efisiensi pemerintah dalam menurunkan tingkat
kemiskinan Banten (Periode 2016-2017) ?
2. Bagaimana cara meningkatkan tingkat efisiensi pemerintah dalam
menurunkan tingkat kemiskinan Banten (Periode 2016-2017) ?
3. Tujuan Penelitian
Atas perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka terdapat
beberapa tujuan dalam penelitian ini. Adapun tujuan penilitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemerintah dalam menurunkan
tingkat kemiskinan Banten (Periode 2016-2017) ?
2. Untuk mengetahui cara meningkatkan efisiensi pemerintah dalam
menurunkan tingkat kemiskinan Banten (Periode 2016-2017) ?
3. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Banten dalam melaksanakan
kebijakan di bidang anggaran terutama untuk meningkatkan efisiens i
pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan.
2. Sebagai masukan dan tambahan informasi untuk melakukan penelit ian
selanjutnya di bidang yang sama bagi peneliti lain.
8
4. Sistematika Penelitian
1. BAB I Pendahuluan
Pendahuluan berisi latar belakang mengenai permasalahan penelitian yang
dilanjutkan dengan perumusan masalah dan penjabaran tujuan dan kegunaan
penelitian serta sistematika penulisan.
2. BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tentang teori-teori dan penelitian terdahulu yang melandas i
penelitian ini, kerangka pemikiran teoritis dan hipotesis.
3. BAB III Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan metode
analisis, dan definisi operasional variabel.
4. BAB IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum objek penelitian,
gambaran singkat variabel penelitian, analisis data dan pembahasan mengena i
hasil analisis dari objek penelitian.
5. BAB V Kesimpulan dan Saran
Sebagai bab terakhir, bab ini akan menyampaikan secara singkat
kesimpulan yang diperoleh dalam pembahasan. Selain itu, bab ini juga berisi
saran-saran bagi pihak yang berkepentingan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kemiskinan
a. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah makro ekonomi yang
menjadi perhatian khusus bagi negara manapun, terlebih utama bagi negara -
negara sedang berkembang. Kemiskinan merupakan permasalahan yang
diakibatkan oleh kondisi nasional suatu negara dan juga kondisi global.
Menurut Kunarjo (Munir, 2002:10) suatu Negara dikatakan miskin biasanya
di tandai dengan pendapatan perkapita rendah, pertumbuhan tingkat
penduduk yang tinggi,sebagian besar tenaga kerja bergerak di bidang
pertanian dan terbelenggu dalam lingkaran setan kemiskinan.
Kemiskinan adalah permasalahan yang sifatnya multidimensiona l.
Pendekatan dengan satu bidang ilmu tertentu tidaklah mencukupi untuk
mengurai makna dan fenomena yang menyertai kemiskinan. Definisi secara
umum yang lazim dipakai dalam perhitungan dan kajian-kajian akademik
adalah pengertian kemiskinan yang diperkenalkan oleh Bank Dunia yaitu
sebagai ketidakmampuan mencapai standar hidup minimum.
Friedman mendefinisikan kemiskinan (Usman, 2006) sebagai
ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis
kekuatan sosial tidak terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset
(misalnya organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama, partai politik, sindikasi, koperasi dan lain-lain), tetapi
juga pada (2) network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan,
barang-barang dan lainlain; (3) pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
dan (4) informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan mereka.
Kemiskinan diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana seseorang
tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan
kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun
fisiknya, dan kelompok tersebut. (Soerjono Soekanto, 1982).
10
Apabila kemiskinan dikaitkan dengan ukuran penentuannya
seringkali dibedakan dalam dua definisi yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan
untuk hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan
sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum
kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk
yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan digolongkan sebagai
penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolut (tidak berubah) dalam hal standar hidup,
garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara
umum. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh
kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.
Dari segi faktor penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi
kemiskinan kultural, kemiskinan sumber daya ekonomi, dan kemiskinan
struktural. Menurut Surbakti (Usman, 2006), kemiskinan kultural bukanlah
bawaan melainkan akibat dari tidak kemampuan menghadapi kemiskinan
yang berkepanjangan. Kemiskinan bukanlah sebab melainkan akibat.
Sikap-sikap seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi
ke generasi. Kemiskinan sumber daya ekonomi melihat fenomena
kemiskinan dari sisi ketiadaan atau kelangkaan sumber daya ekonomi baik
faktor-faktor produksi yang berupa modal, tanah, sumber daya manusia
dalam hal ini tingkat dan kualitas pendidikan maupun kondisi geografis
yang terkait dengan tempat tinggal suatu masyarakat. Kemiskinan struktural
merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor struktur ekonomi dan
politik yang melingkupi si miskin. Struktur ekonomi dan politik yang
kurang berpihak pada sekelompok masyarakat tertentu sehingga
menimbulkan hambatan-hambatan dalam akses sumber daya ekonomi,
lapangan pekerjaan dan partisipasi dalam pembangunan.
11
Usman (2006) menyatakan bahwa teori yang menarik dan sering
dijadikan acuan dalam membahas permasalahan kemiskinan serta sekaligus
menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan bersifat mutidimensi adalah
teori lingkaran kemiskinan.
b. Pengukuran Kemiskinan
Pengukuran kemiskinan biasanya dikaitkan dengan konsep
kemiskinan mutlak dan dilihat dari sisi ekonomi dengan menggunakan
indikator kesejahteraan. Ravalion (1998) mengemukakan tiga tahapan
pengukuran kemiskinan, meliputi
1. mendefinisikan indikator kesejahteraan yang digunakan
2. membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan, dimana
standar minimum ini sering dikenal sebagai garis kemiskinan, dan
3. membuat ringkasan statistik.
Di Indonesia, pengukuran kemiskinan salah satunya dilakukan oleh
BPS. Konsep kemiskinan yang digunakan BPS adalah kemampuan
seseorang atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Berdasarkan pendekatan ini, BPS merumuskan kemiskinan sebagai
ketidakmampuan seseorang atau rumah tangga dari sisi ekomomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Pengeluaran perkapita perbulan dipakai sebagai variabel
yang akan dibandingkan dengan besarnya nilai garis kemiskinan untuk
menentukan seseorang dikategorikan miskin atau tidak miskin. Seseorang
yang mempunyai rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis
kemiskinan, dikategorikan sebagai penduduk miskin.
c. Teori Lingkaran Setan
Pada awal pembangunan di Indonesia, beredar suatu teori yang
sangat terkenal mula-mula dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi asal
Swedia dan penerima hadiah nobel untuk ekonomi, Ragnar Nurkse. Teori
itu disebut “Lingkaran Setan Kemiskinan”, terjemahan dari “Vicius Sircle
of Poverty” yaitu konsep yang mengandaikan suatu konsellasi melingkar
dari daya-daya yang cenderung beraksi dan beraksi satu sama lain secara
sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara miskin terus menerus
12
dalam suasana kemiskinan. Teori itu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan
di negara-negara sedang berkembang yang umumnya baru merdeka dari
penjajahan asing.
Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan
kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktivitas menyebabkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan
investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan dan
seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Rukse, ekonom
pembangunan ternama di tahun 1953, yang mengatakan : “ A poor country
is poor because it is poor” (Negara miskin itu karena dia miskin).
Gambar 2.1 Teori Lingkaran Setan Kemiskinan
Sumber : Kuncoro, 2004
Di Indonesia masalah kemiskinan merupakan masalah yang cukup
rumit yang di hadapi oleh pemerintah. Kondisi kemiskinan di Indonesia
diperparah oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, dimana
Ketidaksempurnaan pasar Keterbelakangan
ketergantungan
Produktivitas
rendah
Pendapatan rendah Tabungan rendah
Investasi rendah
13
jumlah penduduk miskin mulai meningkat. Usaha pemerintah dalam
menanggulangi masalah kemiskinan sangatlah serius bahkan menjadi
prioritas utama pemerintah. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh
pemerintah misalnya dengan mengadakan pembangunan ekonomi yang
diharapkan dapat menaikkan pendapatan perkapita dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, namun hal tersebut belum bisa mengatasi masalah
kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tidak diiringi dengan pemerataan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat akibatnya masyarakat tidak
dapat keluar dari sebuah teori yang di temukan oleh seorang ahli ekonomi
asal Swedia, Ragnar Nurkse yaitu lingkaran setan kemiskinan (vicious
circle of proverty).
Sebenarnya makna dari lingkaran setan kemiskinan tersebut adalah
keharusan semua pihak terutama pemerintah untuk memiliki keinginan
yang kuat memutus siklus tersebut. Lingkaran tersebut tidak akan pernah
terpotong apabila tidak ada satu bagian dari lingkaran tersebut yang
dihilangkan. Dari siklus lingkaran setan kemiskinan maka untuk
menuntaskan masalah kemiskinan tersebut harus ada kebijakan-kebijakan
sebagai berikut dari pemerintah :
1. Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan di Indonesia dari sisi
supply (penawaran) yaitu dengan meningkatkan produktifitas yang
rendah tersebut sehingga penghasilan yang mereka dapat bisa
meningkat, dengan meningkatnya penghasilan mereka maka
sebagian dari penghasilan tersebut dapat mereka tabung, dengan
menabung maka investasi akan meningkat dan modal akan menjadi
besar.
2. Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dari sisi demand
(permintaan) yaitu dengan meningkatkan pendapatannya. Hal ini
akan berdampak kepada permintaan meningkat dan investasi juga
meningkat maka modal menjadi efisien. Dengan demikian
produktifitas dapat meningkat.
3. Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dari sisi
keterbelakangan sumber alam dan manusia yaitu dengan memutar
14
keterbelakangan itu sendiri , dengan begitu negara dapat keluar dari
lingkaran setan kemiskinan tersebut.
2. Efisiensi
Menurut kamus besar ekonomi (2003;178) menyatakan bahwa
efisiensi adalah hubungan atau masukan (input) yang langka di dalam satu
unit kerja, atau ketetapan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu
(dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya).
Manusia selalu berupaya untuk melakukan efisiensi dalam berbagai
bidang kehidupan. Agar upaya efisiensi dapat dikatakan berhasil maka harus
memenuhi beberapa syarat berikut : (1) berhasil guna, yaitu kemampuan
suatu unit kerja dalam mendatangkan hasil dan manfaat. Misalnya, barang
yang diproduksi bermanfaat bagi masyarakat. (2) ekonomis, yaitu suatu
tindakan untuk mendapatkan input (barang atau jasa) yang berkualitas
dengan tingkat sekecil mungkin. (3) pelaksanaan kerja dapat
dipertanggungjawabkan (4) rasionalitas kerja yang nyata. (5) prosedur kerja
yang praktis.
Efisiensi sering dilakukan pada berbagai bidang kehidupan manusia
yang tentunya memiliki tujuan sebagai alasan dilakukannya efisiensi. Secara
umum tujuan efisiensi adalah (1) untuk mencapai suatu hasil atau tujuan
sesuai dengan yang diharapkan (2) untuk menghemat atau mengurangi
penggunaan sember daya dalam melakukan kegiatan (3) untuk
memaksimalkan penggunaan segala sumber daya yang dimiliki sehingga
tidak ada yang terbuang percuma (4) untuk meningkatkan kinerja suatu unit
kerja sehingga outputnya semakin maksimal (5) untuk memaksimalkan
keuntungan yang mungkin didapatkan.
Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, efisiensi adalah
hubungan antara masukan dan keluaran, efisiensi merupakan ukuran apakah
penggunaan barang dan jasa yang dibeli dan digunakan oleh organisasi
perangkat pemerintahan untuk mencapai tujuan organisasi perangkat
pemerintahan dapat mencapai manfaat tertentu.
Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian antara lain :
a. Efisiensi pada sektor hasil dijelaskan dengan konsep masukan-
15
keluaran (input-output)
b. Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan pengorbanan seminimal mungkin; atau dengan kata
lain suatu kegiatan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan
pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran dengan biaya yang terendah
atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
c. Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dicapai dengan
memperhatikan aspek hubungan dan tatakerja antar instansi
pemerintah daerah dengan memanfaatkan potensi dan
keanekaragaman suatu daerah.
Dalam teori ekonomi, ada dua pengertian efisiensi, yaitu efisiens i
teknis dan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomis mempunyai sudut
pandang makro yang mempunyai jangkauan lebih luas dibandingkan dengan
efisiensi teknis yang bersudut pandang mikro. Pengukuran efisiens i
teknis cenderung terbatas pada hubungan teknis dan operasional dalam
proses konversi input menjadi output. Akibatnya usaha untuk meningkatkan
efisiensi teknis hanya memerlukan kebijakan mikro yang bersifat interna l,
yaitu dengan pengendalian dan alokasi sumber daya yang optimal. Dalam
efisiensi ekonomis, harga tidak dianggap given, karena harga dapat
dipengaruhi oleh kebijakan makro.
Guritno Mangkoesoebroto (1993:52), peranan pemerintah dalam
bidang alokasi adalah menjamin tercapainya penggunaan sumber ekonomi
yang efisien yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar bebas.
Ekonomis membedakan efisiensi menjadi dua, yaitu alokatif efisiens i
(allocative efficiency) dan X-efisiensi (X-efficiency). Alokatif efisiens i
adalah alokasi sumber-sumber ekonomi sesuai dengan kendala anggaran
(budget constraints) konsumen barang dan jasa. X-efisiensi menunjukan
kondisi pada penawaran (supply side) yaitu apakah penyediaan barang atau
jasa sudah dilaksanakan dengan biaya yang minimum dengan kondisi
dimana penyediaan barang atau jasa tidak terjadi pada batas efisiens i
(efficiency frontier).
Menurut Jafarov dan Gunnarson (2008), Efisiensi ekonomi terdiri
16
atas efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokasi (allocat ive
efficiency). Efisiensi Teknis adalah kombinasi antara kapasitas dan
kemampuan unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat output
maksimum dari sejumlah input yang digunakan. Sedangkan efisiens i
Alokasi adalah kemampuan dan kesediaan unit ekonomi yang digunakan
dalam proses produksi pada tingkat harga relatif. Seiring dengan
perkembangannya penggunaan ukuran efisiensi saat ini tidak hanya
digunakan bagi perusahaan saja, tetapi juga dapat digunakan dalam
mengukur kinerja pemerintah atau sektor.
Nicholson (2003) dalam Arinto (2011) menyatakan bahwa efisiens i
dibagi menjadi dua pengertian. Pertama, efisiensi teknis (technical
efficiency) yaitu pilihan proses produksi yang kemudian menghasilkan
output tertentu dengan meminimalisasi sumberdaya. Kondisi efisiens i
teknis ini digambarkan oleh titik-titik di sepanjang kurva isoquan. Kedua,
efisiensi ekonomi (cost efficiency) yaitu bahwa pilihan apapun teknik yang
digunakan dalam kegiatan produksi haruslah yang meminimumkan biaya.
Pada efisiensi ekonomis, kegiatan perusahaan akan dibatasi oleh garis
anggaran yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (isocost). Efisiens i
produksi yang dipilih adalah efisiensi yang di dalamnya terkadung
efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi.
3. Belanja Pemerintah
Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan atas dua
bagian yaitu teori makro dan mikro. Dalam teori ekonomi makro, ada dua
pandangan yang berbeda berkenaan dengan pengeluaran pemerintah dalam
hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan nasiona l
(Hidayat : 2010).
Setiap anggota masyarakat menginginkan kemakmuran material dan
spiritual dalam arti dapat terpenuhi keinginan atau kebutuhannya yang selalu
berkembang, maka bagi masyarakat sebagai keseluruhan menghendak i
keamanan (termasuk kestabilan), keadilan dan kemakmuran, disini
pemerintah dalam kegiatannya ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut agar
keinginan masyarakatnya terpenuhi. Dalam pelaksanaannya digunakan
17
barang-barang dan jasa dengan berbagai bentuk termasuk berupa uang.
Penggunaann uang untuk melaksanakan fungsi pemerintah inilah yang
dimaksudkan dengan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah dapat
juga diartikan sebagai penggunaan uang dan sumberdaya suatu negara untuk
membiayai suatau kegiatan negara atau pemerintah dalam rangka
mewujudkan fungsinya dalam melakukan kesejahteraan.
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Belanja negara dipergunakan untuk keperluan
penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Belanja negara sangat berperan
penting dalam usaha mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu sudah
seharusnya rakyat mengawasi belanja negara dalam penyelenggaraan tugas
pemerintah agar dapat digunakan secara optimal untuk melayani rakyat dalam
usaha mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera sesuai yang
diamanatkan oleh UUD 1945. Untuk mengawasi belanja negara, maka
masyarakat juga perlu tahu apa saja jenis-jenis belanja negara yang berasal
dari uang mereka sendiri yang dipungut oleh pemerintah melalui berbagai
cara yang ditentukan oleh Undang-undang dan peraturan-peraturan.
Pasal 11 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara menetapkan klasifikasi jenis belanja negara terdiri dari Belanja
Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan
Sosial, Belanja Iain-Iain dan Belanja Daerah. Penjelasan mengenai jenis-jenis
belanja tersebut adalah sebagai berikut:
a. Belanja Langsung,
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Belanja langsung
adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja
modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah dan
telah dianggarkan oleh pemerintah daerah.
18
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan keseluruhan jenis belanja daerah tersebut di
atas dikonversi dalam penyajian laporan keuangan dikelompokkan menjadi
belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga dan belanja transfer.
1. Belanja pegawai
Belanja pegawai biasanya digunakan untuk pengeluaran
honorarium/upah dalam melaksanakan program kegiatan
pemerintah daerah.
2. Belanja barang dan jasa
Digunakan untuk pengeluaran dalam bentuk pembelian atau
pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan dan
pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintah daerah
3. Belanja modal
Digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan, seperti tanah, mesin, bangunan, jalan,
irigasi, dan aset tetap lainnya.
b. Belanja Tidak Langsung
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja tidak langsung
adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program, seperti belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan
yang telah ditetapkan Undang-Undang, belanja subsidi, belanja bunga,
belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi atau
kabupaten/kota dan pemerintah desa, belanja bantuan keuangan dan belanja
tidak terduga.
Belanja tidak langsung, ialah kegiatan belanja daerah yang
dianggarkan dan tidak memiliki hubungan apapun secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja jenis ini, pada umumnya dibagi
menjadi :
19
1. Belanja pegawai, merupakan belanja kompensasi yang diberikan
dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang
diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Belanja bunga, untuk menganggarkan pembayaran bunga utang
yang dihitung atas kewajiban pokok utang, sesuai dengan
perjanjian pinjaman berjangka yang terdiri dari jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang.
3. Belanja subsidi, untuk menganggarkan bantuan biaya produksi
kepada perusahaan atau lembaga tertentu agar harga jual produksi
dan jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat luas.
4. Belanja hibah, untuk menganggarkan pemberian hibah dalam
bentuk uang, barang dan jasa kepada pemerintah maupun
pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat serta
perorangan yang secara spesifik telah memiliki peruntukan yang
jelas.
5. Bantuan sosial, untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam
bentuk uang dan barang kepada masyarakat, dengan tujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
6. Belanja bagi hasil, untuk menganggarkan dana bagi hasil yang
bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau
pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau
pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah
lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
7. Bantuan keuangan, untuk menganggarkan bantuan keuangan yang
bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota,
pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya, atau dari
pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan
pemerintah lainnya dalam rangka pemerataan atau peningkatan
kemampuan keuangan daerah.
20
8. Belanja tidak terduga, merupakan tindakan belanja untuk kegiatan
yang bersifat tidak biasa atau tidak diharapkan akan terjadi seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahun sebelumnya, yang telah ditutup.
B. Penelitian Terdahulu
No Nama Penelitian Judul Penelitian Variabel Penelitian Metode
Analisis
Hasil Penelitian
1 Abdul Azis, Analisis Pengaruh
DBH, DAU, DAK
Terhadap Tingkat
Kemiskinan dan
Ketimpangan
Pendapatan Antar
Daerah Provinsi
Jawa Timur (2010-
2013)
Variabel dependen
: tingkat
kemiskinan
variabel
independen : DBH,
DAU, DAK
data panel
dengan
pendekatan
fixed effect
model (FEM)
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa :
1. tingkat kemiskinan
tidak dipengaruhi
secara signifikan dan
negatif oleh dana bagi
hasil
2. tingkat kemiskinan
dipengaruhi
signifikan dan negatif
oleh dana alokasi
umum
3. tingkat kemiskinan
dipengaruhi
signifikan dan negatif
oleh dana alokasi
khusus.
2 Nurul Mudhiatil
Mufliha,
Pengaruh Penyaluran
Dana ZIS, Belanja
Bantuan Sosial dan
Belanja Subsidi
Variabel
independen : ZIS,
Bantuan Sosial,
dan Subsidi
Regresi linear
berganda
dengan
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa :
1. menurut hasil uji F
bahwa variabel
21
Terhadap
Kemiskinan
Terhadap Indonesia
Periode 2013-2017
Variabel dependen
: Kemiskinan
menguji
asumsi klasik
independen
berpengaruh secara
simultan terhadap
variabel dependen
dengan memiliki nilai
signifikan sebesar
0,0000 yang berarti
lebih kecil dari 0,05
2. selanjutnya, didukung
dengan hasil uji T
bahwa ketiga variabel
independen secara
parsial berpengaruh
secara signifikan
terhadap variabel
dependen, dengan
nilai signifikan ppada
variabel ZIS sebesar
0,000 kemudian
Bansos sebesar 0,016
dan terakhir subsidi
sebesar 0,000yang
berarti lebih kecil dari
0,05
3 Edo Pramana
Putra, Yeti Lis
Purnamadewi,
Sahara
Dampak Program
Bantuan Sosial
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi dan
Kemiskinan
Kabupaten
Variabel dependen
: kemiskinan
Variabel
independen :
bantuan sosial dan
pertumbuhan
ekonomi
Regresi model
data panel
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa :
1. terjadi dinamika
kenaikan dan
penurunan penduduk
miskin di daerah
tertinggal di Indonesia
22
Tertinggal di
Indonesia
dalam kurun waktu
tahun 2010-2013
2. dari hasil analisis
regresi model data
panel pertumbuhan
ekonomi diketahui
bahwa variabel bantuan
kelembagaan sosial
budaya, bantuan
infrastuktur, dan
bantuan ekonomi dan
dunia usaha signifikan
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
yang tertinggal,
sedangkan bantuan
sumber daya manusia
dan bantuan daerah
khusus tidak signifikan
di dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
yang tertinggal.
3. Dari hasil analisis
regresi model data
panel kemikiskinan
diketahui bahwa
variabel PDRB tidak
signifikan
mempengaruhi tingkat
kemiskinan, yang
signifikan
mempengaruhi tingkat
23
kemiskinan di daerah
tertinggal adalah
variabel jumlah
pengangguran, IPM,
dan share sektor jasa.
4 Akhmad Dampak
Pengeluaran
Pemerintah Daerah
Terhadap
Kemiskinan Pada
Sepuluh Kabupaten
di Provinsi Sulawesi
Selatan
Variabel dependen
: kemiskinan
Variabel
independen :
Pengeluaran
pemerintah
Menggunakan
data panel
(yaitu
gabungan
antara data
time series
tahun (2004-
2012) dan data
cross section
10 kabupaten
kota
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa :
1. Kebijakan fiskal yang
dilakukan oleh
pemerintah daerah
terutama belanja modal
berpengaruh positif
terhadap investasi
swasta.
2. Selanjutnya investasi
swasta berpengaruh
positif dan nyata
terhadap pertumbuhan
ekonomi, penyerapan
tenaga kerja dan
kemiskinan pada 10
kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi
Selatan.
3. Hasil estimasi model
menunjukkan bahwa
indeks pembangunan
manusia, investasi
swasta dan penyerapan
tenaga kerja
berpengaruh positif
dalam menurunkan
24
angka kemiskinan,
namun hanya indeks
pembangunan manusia
yang berpengaruh
nyata terhadap
penurunan kemiskinan
C. Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tercapai efisiensi teknis pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan
tahun 2016 sampai 2017.
Variabel output :
kemiskinan
Data Envelopment
Analysis (DEA)
Variabel input :
Belanja Modal,
Belanja Barang dan
Jasa, Belanja Bantuan
Keuangan, Belanja
Bantuan Sosial
Pembangunan
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah 8 kab/kota wilayah di Provins i
Banten, yaitu kab. Tangerang, kab. Serang, kab. Lebak, kab. Pandeglang, kota
Cilegon, kota Tangerang, kota Serang, dan kota Tangerang Selatan dengan
kurun waktu pada tahun 2016-2017.
Penelitian ini menggunakan Variabel Inputnya yaitu Bantuan Sosial,
Bantuan Keuangan, Belanja Barang & Jasa, Belanja Modal dan dengan
Variabel Outputnya yaitu Jumlah Penduduk Miskin.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara purposive sampling,
yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan atau kriteria-kriter ia
tertentu (Wiraratna Sujarweni, 2015:8). Metode purposive sample
pengumpulan data atas dasar strategi kecakapan atau pertimbangan pribadi
semata (Abdul Hamid dkk, 2010:17).
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara yang dilakukan penelit i
untuk mengungkap atau menjaring informasi kuantitatif dari responden sesuai
lingkup penelitian (Wiratna Sujarweni, 2015). Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode dokumentasi atau studi pustaka, sehingga tidak
diperlukan teknik sampling dan kuesioner.
Wiratna Sujarweni (2015) mendefinisikan analisis dokumen lebih
mengarah pada bukti konkret, dengan instrumen ini, kita diajak untuk
menganalisis isi dari dokumen-dokumen yang dapat mendukung penelit ian
kita.
1. Sumber Data
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber
dari website Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK),
Jakarta Dalam Angka Katalog Badan Pusat Statistik, serta berbagai
26
buku dan literatur baik berupa jurnal penelitian maupun laporan
kinerja pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data
kuantitatif adalah data yang berbentuk angka (Wiratna Sujarweni,
2015). Seluruh data berjenis data time series yang dikumpulkan
berdasarkan tahun 2016-2017 sebagai tahun penelitian.
D. Metode Analisis Data
Pengukuran kinerja dapat memberi arah pada keputusan strategis yang
menyangkut perkembangan suatu organisasi di masa datang. Dalam mengukur
efisiensi suatu kinerja perusahaan, ataupun kinerja keuangan pemerintah
khususnya, dapat menggunakan pendekatan parametrik dan non parametrik.
Dimana perbedaannya terdapat pada gangguan, pada pendekatan parametrik
menggunakan ekonometrik stokastik dan berusaha menghilangkan gangguan
tersebut, sedangkan pada non parametrik dengan pendekatan program linier
yang tidak stokastik dan cenderung “mengkombinasikan” gangguan (Aam
Rusydiana, 2013).
Penggunaan metode parametrik pada umumnya menggunakan metode
Stochastic Frontier Analysis (SFA), Distribution-Free Analysis (DFA), dan
Thick Frontier Abalysis (TFA). Sedangkan penggunaan metode non-
parametrik pada umumnya menggunakan metode Free Disposal Hull Analys is
(FDH) dan Data Envelopment Analysis (DEA).
Metodologi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
non parametrik Data Envelopment Analysis (DEA). Pendekatan DEA pertama
kali dikembangkan secara teoritik oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun
1978. DEA pada dasarnya merupakan teknis berbasis pemrograman linear yang
digunakan untuk mengukur kinerja relatif berbasis organisasi dimana
keberadaan beberapa (multiple) input dan output yang sulit dibuat
perbandingan. DEA mengidentifikasi secara relatif dari unit yang
menggunakan input dalam memberikan output tertentu dengan cara yang paling
optimal dan DEA menggunakan informasi ini untuk membentuk perbatasan
(frontier) efisiensi dari data unit-unit organisasi yang tersedia. Lalu DEA
27
menggunakan perbatasan efisiensi ini untuk menghitung efisiensi dari unit-unit
organisasi lainnya yang tidak berada pada garis perbatasan yang efisien
sehingga dapat memberikan informasi tentang unit-unit yang tidak
menggunakan input secara efisien.
DEA menghitung efisiensi relatif pada sebuah organisasi yang berada
dalam kelompok terhadap kinerja organisai terbaik ada kelompok yang sama.
DEA biasa digunakan untuk mengukur efisiensi atau mengevaluasi pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah, organisasi non protfit maupun BUMN. Alat
analisis DEA ini dapat digunakan untuk penelitian mengukur efisiensi, antara
lain kesehatan (health care), pendidikan (education), transportasi, pabrik
(manufacturing), maupun perbankan. Dalam hal ini adalah penelitian tentang
mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah berkaitan dengan Anggaran
Belanja Pemerintah Provinsi Banten dalam pencapaian kualitas dan mutu
sumber daya manusia masyarakat khususnya di Provinsi Banten.
Penelitian ini menggunakan software DEAWIN.exe yang merupakan
metode yang telah terstandarisasi sebagai alat untuk pengukuran efisiens i
kinerja suatu aktifitas unit ekonomi yang telah dikembangkan oleh peneliti di
Universitas Dipenegoro oleh Indah Susilowati dkk (2004). Selain itu penelit ian
ini juga menggunakan perangkat lunak lainnya untuk membantu mengolah data
yaitu Microsoft Excel dan Notepad sebagai perangkat lunak pendukung.
1. Data Envelopment Analysis (DEA)
DEA adalah suatu teknik pemrograman matematika yang mengukur
tingkat efisiensi dari unit pengambil keputusan (UPK) atau decision-mak ing
unit (DMU) relatif terhadap UPK yang sejenis ketika semua unit-unit ini berada
pada atau dibawah ”kurva” efisien frontiernya. DEA (Data Envelopment
Analysis) mengukur efisiensi suatu organisasi yang melibatkan banyak input
dan banyak output (multi input multi output) (Indah Susilowati, 2004). DEA
merupakan formulasi dari program linier yang bisa mencakup banyak output
dan input tanpa perlu menentukan bobot untuk tiap variabel sebelumnya, tanpa
perlu penjelasan eksplisit mengenai hubungan fungsional antara input dan
output (tidak seperti regresi) (Yuli Indrawati, 2009).
Menurut Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978) dalam Aristyasani (2013)
28
secara teknis ada dua tahap yang harus dilalui dalam model matematis
menggunakan analisis DEA. Pada dasarnya teknik analisis DEA didesain
khusus untuk mengukur efisiensi relatif suatu UKE (Unit Kegiatan Ekonomi)
dalam kondisi banyak input maupun output. Kondisi tersebut biasanya sulit
disiasati secara sempurna oleh teknik analisis pengukuran efisiensi lainnya
(Aam Rusydiana, 2013). Tahap pertama, model DEA diformulasikan dari
persamaan fraksional yang dikenal Fractional Programming (FP) yang
menggunakan unit input dan output sebagai variabel keputusan. Kemudian
tahap kedua, persamaan (FP) akan diubah menjadi persamaan linear (LP)
ekuivalen melalui metode simpleks untuk menemukan solusi optimal untuk
fungsi tujuan. Efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan berikut
:
Bobot yang dipilih tidak boleh bernilai negatif :
Salah satu kendala dari pemecahan persamaan tersebut adalah persamaan
berbentuk fraksional sehingga sulit dipecahkan dengan pemrograman linear.
Namun demikian dengan melakukan linearisasi persamaan dapat diubah
menjadi persamaan linear sehingga pemecahan melalui pemrograman linear
dapat dilakukan. Dasar pengukuran efisiensi dengan DEA adalah program
29
linear, transformasi program linier yang kita sebut dengan DEA adalah sebagai
berikut :
Memaksimumkan
Dengan batasan atau kendala :
Dimana :
Zk : nilai optimal sebagai indikator efisiensi relatif dari UKE k
Yrk : jumlah output r yang dihasilkan oleh UKE k
Xik : jumlah input i yang digunakan UKE k
s : jumlah output yang dihasilkan
m : jumlah input yang digunakan
Urk : bobot tertimbang dari output r yang dihasilkan tiap UKE k
Vik : bobot tertimbang dari input i yang dihasilkan tiap UKE k
Tujuan dari metode DEA adalah untuk mengukur tingakt efisiensi dari
DMU (misal bank) relatif terhadap bank yang sejenis ketika semua unit-unit
ini berada pada atau dibawah garis efisien frontiernya. Jadi, metode ini
digunakan untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari beberapa objek
(benchmarking kinerja).
30
Model DEA menghitung efisiensi teknik untuk seluruh unit. Skor
efisiensi untuk setiap unit adalah relatif, tergantung pada tingkat efisiensi dari
unit-unit lainnya di dalam sampel. Setiap unit dalam sampel dianggap memilik i
tingkat efisiensi yang tidak negatif, dan nilainya diantara 0 dan 1 dengan
ketentuan satu menunjukkan efisiensi sempurna. Selanjutnya, unit- unit yang
memiliki nilai satu ini digunakan dalam membuat envelope untuk frontier
efisiensi, sedangkan unit lainnya menunjukkan tingkat inefisiensi. Dalam
DEA, efisiensi relatif UKE didefinisikan sebagai rasio dari total output
tertimbang dibagi total input tertimbangya (total weighted output/total
weighted input).
Inti dari DEA adalah menentukan bobot (weights) atau timbangan untuk
setiap input dan output UKE. Setiap UKE diasumsikan bebas menentukan
bobot untuk setiap variabel-variabel input maupun output yang ada, asalkan
mampu memenuhi dua kondisi yang disyaratkan (Samsubar Saleh, 2000).
Adapun kedua kondisi yang disyaratkan yaitu, (Silkman, 1986; Nugroho, 1995
dalam Huri M. D. dan Indah Susilowati, 2004):
a. Bobot tidak boleh negatif
b. Bobot harus bersifat universal. Hal ini berarti setiap UKE dalam
sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama
untuk mengevaluasi rasionya (total weighted output/total weighted
input) dan rasio tersebut tidak lebih dari 1 (total weighted output/total
weighted input ≤ 1) (Harjum Muharam dan Pusvitasari, 2007).
DEA bekerja dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan
dievaluasi, input serta output unit tersebut. Selanjutnya, dihitung nilai
produktivitas dan mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input
secara efisien atau tidak menghasilkan output secara efektif. Produktivitas yang
diukur bersifat komparatif atau relatif, karena hanya membandingkan antar unit
pengukuran dari 1 set data yang sama. DEA adalah model analisis faktor
produksi untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari set unit kegiatan
ekonomi (UKE) (Yanitra Ega Pamula, 2012:36). Skor efisiensi dari banyak
faktor input dan output dirumuskan sebagai berikut:
31
DEA memiliki beberapa manajerial. Pertama, DEA menghasi lkan
efisiensi untuk setiap UKE terlatif terhadap UKE yang lain didalam sampel.
Angka efisiensi ini memungkinkan seseorang mengenali UKE yang paling
membutuhkan perhatian dan merencanakan tindakan bagi UKE yang tidak atau
kurang efisien. Kedua, jika UKE kurang efisien (efisiensi<100%), maka DEA
menunjukkan sejumlah UKE yang memiliki efisiensi sempurna dan
seperangkat angka pengganda yang dapat digunakan oleh manajer untuk
menyusun strategi perbaikan. Informasi tersebut memungkinkan seorang
analisis membuat UKE hipotesis yang menggunakan input yang lebih sedikit
dan menghasilkan output yang paling tidak sama atau lebih banyak dibanding
UKE yang tidak efisien, sehingga UKE hipotesis tersebut akan memlik i
efisiensi yang sempurna jika menggunakan bobot input atau bobot output dari
UKE yang tidak efisien. Pendekatan tersebut memberi arah strategis manajer
untuk meningkatkan efisiensi suatu UKE yang tidak efisien melalui pengenalan
terhadap input yang terlalu banyak digunakan serta output yang produksinya
terlalu rendah. Sehingga seorang manajer tidak hanya mengetahui seberapa
besar tingkat input dan ouput yang harus disesuaikan agar dapat memilik i
efisiensi yang tinggi. Ketiga, DEA menyediakan matriks efisiensi silang.
Efisiensi silang UKE A terhadap UKE B merupakan rasio dari ouput
tertimbang dibagi input tertimbang yang dihitung dengan menggunakan tingkat
input dan output UKE A dan bobot input dan output UKE B. Analisis efisiens i
silang dapat membantu seorang manajer untuk mengenali UKE yang efisien
tetapi menggunakan kombinasi input dan menghasilkan kombinasi output yang
sangat berbeda dengan UKE yang lain. UKE tersebut sering disebut sebagai
Maverick (menyimpang atau unik) (Yartiman, 2012).
32
Menurut Aam Rusydiana (2013:32) dalam perkembangannya, metode
DEA pun tentu terdapat kelebihan dan kekurangannya. Secara singkat,
berbagai keunggulan dan kelemahan metode DEA adalah :
a. Keunggulan DEA :
1. Bisa menangani banyak input dan output, yang merupakan fitur utama
dalam DMU kategori pelayanan publik.
2. Tidak butuh asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan
output. Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) dibandingkan secara langsung
dengan sesamanya.
3. Dapat membentuk garis frontier fungsi efisiensi terbaik atas variabel
input-output dari setiap sampelnya.
4. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda.
b. Keterbatasan DEA :
1. Bersifat simple spesifik, semua input dan output harus spesifik dan
dapat diukur.
2. Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran bisa
berakibat fatal, maka pengukan data base yang harus lebih spesifik.
3. Hanya mengukur produktivitas relatif dari unit kegiatan ekonomi
bukan produktivitas absolut.
4. Uji hipotesis secara statistik atas hasil DEA sulit dilakukan.
Menurut Indah Susilowati dkk. (2004:2), ada tiga manfaat yang diperoleh
dari pengukuran efisiensi dengan DEA :
1. Sebagai tolak ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna untuk
mempermudah perbandingan antara unit ekonomi yang sama.
2. Kedua mengukur berbagai informasi efisiensi antar unit kegiatan ekonomi
untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya.
3. Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat
efisiensinya.
Selain itu kelemahan yang dimiliki yaitu menghilangkan atau
memasukkan input dan output yang tidak revelan akan mempengaruhi dalam
pengukuran inefisiensi suatu DMU. Dimana menghilangkan variabel akan
membuat pengukuran inefisiensi menjadi lebih tidak efisien dari yang
33
sebenarnya. Sedangkan memasukkan variabel yang tidak relevan akan
membuat hasil nilai inefisiensi dari DMU menjadi terlalu rendah atau terlalu
kecil (Douglas, 2007).
2. Pengukuran Orientasi Efisiensi
Dalam pengukuran efisiensi dengan menggunakan pendekatan
frontier sudah digunakan selama 40 tahun lebih (Coelli, 1996). Metode utama
yang menggunakan linier programming dan metode ekonomterika adalah: 1)
Data Envelopment Analysis; dan 2) Stokastic Frontier. Pengukuran efisiens i
modern ini pertama kali dirintis oleh Farrell (1957), bekerja sama dengan
Debreu dan Koopmans, dengan mendefinisikan suatu ukuran yang sederhana
untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan yang dapat memperhitungkan
input yang banyak. Efisiensi yang dimaksudkan oleh Farrell terdiri dari
efisiensi teknis (technical efficiency) yang merefleksikan kemampuan dari
suatu perusahaan untuk memaksimalkan output dengan input tertentu, dan
efisiensi alokatif (allocative efficiency) yang merefleksikan kemampuan dari
suatu perusahaan yang memanfaatkan input secara optimal dengan tingkat
harga yang telah ditetapkan. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian
dikombinasikan untuk menghasilkan efisiensi ekonomis (total).
Aam Rusydiana (2013:16) menganalisis efisiensi dengan pendekatan
DEA diklasfikasikan menjadi dua model orientasi, antara lain :
a. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measurement)
Pengukuran berorientasi input menunjukkan sejumlah input dapat
dikurangi secara proporsional tanpa mengubah jumlah output yang
dihasilkan. Perspektif dalam melihat efisiensi pada orientasi ini yaitu
sebagai pengurangan penggunaan input meski memproduksi output dalam
jumlah yang tetap. Orientasi input dapat berasumsi Constant Return to
Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS).
b. Pengukuran Berorientasi Ouput (Output-Oriented Measurement)
Pengukuran orientasi output mengukur bilamana sejumlah output
dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah input yg
digunakan. Perspektif dalam melihat efisiensi pada orientasi ini yaitu
sebagai peningkatan output secara proporsional dengan menggunakan
34
tingkat input yang sama. Orientasi output juga dapat berasumsi Constant
Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS).
Perbedaan antara orientasi input dan output model DEA hanya terletak
pada ukuran yang digunakan dalam menentukan efisiensi (yaitu itu dari sisi
input dan output), namun semua model (apapun orientasinya), akan
mengestimasi frontier yang sama (Yuli Indrawati,2009).
3. Konsep Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale
(VRS)
a. Constant Return to Scale (CRS)
Model CCR yang merupakan model dasar DEA menggunakan asumsi
constant return to scale yang membawa implikasi pada bentuk efficient set
yang linier. Model ini dikembangkan oleh Charner, Cooper dan Rhodes
(CCR) pada tahun 1978. Model ini mengasumsikan bahwa rasio antara
penambahan input sebesar x kali, maka output akan meningkat sebesar x
kali juga. Asumsi lain yang digunakan dalam model ini adalah bahwa setiap
perusahaan atau unit pembuat keputusan (UPK) beroperasi pada skala yang
optimal.
Nilai efisiensi selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai
efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UPK yang nilai
efisiensinya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.
b. Variable Return to Scale (VRS)
Model ini dikembangkan oleh BBC (Banker, Charnes dan Cooper)
pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari model CCR. Model
ini beranggapan bahwa perusahan atau suatu kinerja keuangan atau
fasilitas dan layanan tidak atau belum beroperasi pada skala yang optima l.
Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara penambahan input dan
output tidak sama (variable return to scale). Artinya, penambahan input
sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali,
bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Nilai dari efisiensi tersebut
selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilaiefisiensinya kurang dari
1 berarti inefisiensi sedangkan UPK yang nilainya sama dengan 1 berarti
UPK tersebut efisien.
35
E. Definisi Operasional Variabel
Analisis dengan DEA didesain secara spesifik untuk mengukur efisiens i
relatif suatu unit produksi dalam banyak input maupun banyak output dengan
satuan yang berbeda-beda yang sulit disiasati secara sempurna oleh teknis
analisis pengukuran efisiensi lainnya (Hastarini, 2002 dalam Amanda 2010).
1. Variabel Input
a. Belanja Modal
Belanja modal adalah komponen belanja langsung dalam anggaran
pemerintah yang menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam pemanfaatan
aset tetap yang dihasilkan tersebut, ada yang bersinggungan langsung dengan
pelayanan publik atau dipakai oleh masyarakat (seperti jalan, jembatan, trotoar,
gedung olah raga, stadion, jogging track, halte, dan rambu lalu lintas) dan ada
yang tidak langsung dimanfaatkan oleh publik (seperti gedung kantor
pemerintahan). Dalam perspektif kebijakan publik, sebagian besar belanja
modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada setiap anggaran
tahunan jumlahnya semestinya relatif besar.
Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan
pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa
bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan
kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik.
Sebagai contoh adalah belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda
(Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) atau inspektorat daerah. Oleh
karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa belanja modal adalah belanja
publik, atau sebaliknya, belanja publik adalah belanja modal. Pengategorian ke
dalam belanja publik dan belanja aparatur mengandung bias dari aspek
penggunaan makna fungsi (outcome) belanja.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 71 Tahun 2010 tentang
standar akuntansi pemerintah menjelaskan bahwa Belanja Modal adalah
pengeluaran anggaran untuk perolehan asset lainnya yang memberi manfaat
lebih dari satu priode akuntansi. Belanja Modal meliputi antara lain belanja
modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan peralatan dan asset tak
berwujud.
36
b. Belanja Bantuan Sosial
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Pemendagri) Nomor
37 tahun 2010 Belanja Bantuan Sosial digunakan Pemerintah Daerah untuk
memelihara kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Daerah dapat memberikan
Bantuan Sosial kepada kelompok/anggota masyarakat secara selektif, tidak
mengikat dan diupayakan dalam penetapan besarannya. Penelitian ini
menggunakan Belanja Bantuan Sosial dari Prov. Banten dari tahun anggaran
2016-2017.
c. Belanja Barang dan Jasa
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
127/PMK.02/2015 mengenai klasifikasi anggaran yang dimaksud dengna
Belanja Barang dan Jasa adalah “Pengeluaran untuk menampung pembelian
barang dan atau jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan atau jasa
yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan dan pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat/ Pemerintah
Daerah (Pemda) dan belanja perjalanan”. Belanja Barang dan jasa sendiri
terdiri dari Belanja Barang yang mencakup belanja operasional maupun non-
operasional, belanja jasa, belanja pemeliharaan aset, belanja perjalanan dinas,
belanja barang badan layanan umum, belanja barang yang nantinya akan
diserahkan kepada masyarakat maupun pemda.
d. Belanja Bantuan Keuangan
Belanja bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan
keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada
kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah Iainnya atau
dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan atau peningkatan kemampuan
keuangan. Belanja Bantuan Keuangan dalam penelitian ini adalah proporsi
belanja bantuan keuangan dalam APBD Tahun anggaran 2016-2017. Proporsi
Belanja Bantuan Keuangan (PBBK) diukur menggunakan perbandingan antara
Belanja Bantuan Keuangan (BBK) dengan Total Belanja Daerah (TBD),
dengan satuan persentase (Mahmudi, 2010).
37
2. Variabel Output
Kemiskinan dalam penelitian ini digambarkan menggunakan jumlah
penduduk miskin di masing-masing daerah yang penghasilannya berada
dibawah garis kemiskinan yang mencangkup kebutuhan makanan dan non
makanan dalam satuan jiwa. Variabel kemiskinan yang digunakan adalah data
jumlah penduduk miskin tahun 2016-2017 yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS).
38
BAB IV
ANALISIS DAN PEMABAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Letak Geografis dan Pemerintahan
Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan
105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 tahun 2000. Provinsi Banten merupakan salah satu dari
lima provinsi dengan luas wilayah terkecil di Indonesia (9.662,92 Km2) yang
pada tahun 2016 mempunyai penduduk sebanyak 12,20 juta jiwa (peringkat
lima ditingkat nasional), dengan kepadatan pemduduk sebesar 1.263 jiwa/km2
pada tahun 2016.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda
merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui
kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan
kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di
samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera.
Bila dikaitkan posisi geografis, dan pemerintahan maka wilayah Banten
terutama daerah Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan
Kota Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara
ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten
juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipas i
untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta, dan
ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Indeks pembangunan manusia Provinsi Banten tahun 2016 sebesar 70,96%,
menduduki peringkat ke 8 di Indonesia, lebih tiggi dari angka nasional yang
sebesar 70,18%. Persentase penduduk miskin di Provinsi Banten pada
September 2016 sebesar 5,36%, merupakan salah satu dari lima provinsi
dengan persentase penduduk miskin terkecil di Indonesia.
Perekonomian Provinsi Banten pada triwulan II 2016 tumbuh sebesar
5,16% (yoy), menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan I 2016 yang
tercatat 5,10% (yoy). Tumbuhnya perekonomian Provinsi Banten pada
39
triwulan II 2016 ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang
meningkat sejalan dengan masuknya bulan Ramadhan. Sementara investas i
tumbuh stabil ditopang oleh pembangunan proyek multiyears milik swasta. Di
sisi lain, ekspor luar negeri menunjukkan perlambatan yang disebabkan oleh
belum kuatnya permintaan luar negeri. Meskipun demikian, tingginya
permintaan domestik menjadi penopang tumbuhnya ekspor total, sekaligus
berkontribusi pada tumbuhnya lapangan usaha perdagangan di sisi penawaran.
2. Keadaan Penduduk
Provinsi Banten terdiri dari empat Kabupaten dan empat Kota, yaitu: -
Kabupaten Pandeglang - Kabupaten Lebak - Kabupaten Tangerang -
Kabupaten Serang - Kota Tangerang - Kota Cilegon - Kota Serang - Kota
Tangerang Selatan.
Akhir tahun 2016, wilayah administrasi Provinsi Banten terdiri dari empat
wilayah kabupaten dan empat kota, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri no. 6 Tahun 2008 luas daratan masing-masing kabupaten/kota, yaitu:
Kabupaten Pandeglang (2.746,89 km2 ), Kabupaten Lebak (3.426,56 km2 ),
Kabupaten Tangerang (1.011,86 km2 ), Kabupaten Serang (1.734,28 km2 ),
Kota Tangerang (153,93 km2 ), Kota Cilegon (175,50 km2 ), Kota Serang
(266,71 km2 ), serta Kota Tangerang Selatan (147,19 km2 ).
Jarak antara Ibukota Provinsi ke Daerah Kabupaten/Kota:
1. Serang - Pandeglang (Kabupaten Pandeglang) : 21 km.
2. Serang – Rangkasbitung (Kabupaten Lebak) : 41 km.
3. Serang - Tigaraksa (Kabupaten Tangerang) : 33 km.
4. Serang - Ciruas (Kabupaten Serang) : 9 km.
5. Serang - Tangerang (Kota Tangerang) : 65 km.
6. Serang - Purwakarta (Kota Cilegon) : 20 km.
7. Serang - Pamulang (Kota Tangerang Selatan) : 73 km.
Wilayah Provinsi Banten bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa,
bagian timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta, bagian selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia, dan bagian barat berbatasan dengan Selat
Sunda.
40
Penduduk Banten, secara geografis tidaklah terdistribusi dengan merata,
karena lebih banyak yang mendiami wilayah Banten Utara. Kondisi ini dapat
terjadi karena Banten Utara merupakan salah satu daerah tujuan utama migras i
di Indonesia, yang antara lain akibat perannya sebagai daerah penyangga atau
hinterland bagi Provinsi DKI Jakarta.
3. Kemiskinan Prov. Banten
Tabel 4.1
Sumber : BPS Prov. Banten
Sementara secara spasial, tampak bahwa Kabupaten Tangerang
merupakan daerah yang terbanyak penduduknya, yaitu dengan persentase
mencapai 28,5% (3,5 juta orang). Sebaliknya, yang paling sedikit adalah Kota
Cilegon, dengan persentase hanya 3,4% (0,4 juta orang).
Tabel 4.2
Kab. Tangerang
28,8%
Kab. Pandeglang
9,7%
Kab. Lebak10,3%
Kab. Serang12,0%
Kota Serang5,4%
Kota Cilegon3,4%
Kota Tangerang
Selatan
13,2%
Kota Tangerang
17,2%
KOMPOSISI PENDUDUK BANTEN TAHUN 2017
Kab. Tangerang 28,5%
Kab. Lebak 10,5%
Kab. Serang 12,2%
Kab. Lebak 10,5%
Kota Serang 5,4%
Kota Tangerang 17,2%
Kota Tangerang Selatam13,1%
Kab. Pandeglang
9,8%
KOMPOSISI PENDUDUK BANTEN TAHUN 2016
41
Sumber : BPS Prov. Banten
Tidak jauh berbeda pada tahun 2017 dapat terlihat bahwa Kabupaten
Tangerang masih merupakan daerah yang terbanyak penduduknya, yang naik
1jt penduduk dengan persentase mencapai 28,8% (3,6 juta orang). Sebaliknya,
sedang daerah yang paling sedikit masih pada daerah Kota Cilegon, dengan
persentase yang sama pada tahun sebelumnya hanya 3,4% (0,4 juta orang).
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten pada tahun 2017 mencapai
675,04 ribu orang. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 658,11
ribu orang. Hampir seluruh kabupaten/kota mengalami penurunan jumlah
penduduk miskin kecuali Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Tabel 4.3
Indikator Kependudukan Banten Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2016-
2017
Kab/Kota Rasio Jenis
Kelamin
Pertumbuhan
Penduduk (%)
Kepadatan
Penduduk
(orang/km2)
2016 2017 2016 2017 2016 2017
Kab. Pandeglang 104,4 104,3 0,47 0,39 437 439
Kab. Lebak 105,1 105,0 0,78 0,68 373 376
Kab. Tangerang 104,8 104,7 3,17 3,08 3.437 3.543
Kab. Serang 102,9 102,8 0,69 0,61 856 861
Kota Cilegon 104,3 104,3 1,60 1,53 2.386 2.422
Kota Tangerang 104,2 104,2 2,28 2,21 13.602 13.902
Kota Serang 105,2 105,1 1,83 1,77 2.456 2.499
Kota Tangsel 101,5 101,5 3,28 3,21 10.828 11.175
Sumber : BPS Prov. Banten
42
Diamati menurut kecepatan pertambahan penduduk, Kota Tangerang
Selatan yang wilayahnya terletak di bagian utara, menjadi daerah yang paling
pesat pertumbuhannya. Adapun Kota Tangerang yang juga terletak di bagian
utara, merupakan daerah terpadat penduduknya, dimana untuk setiap satu
kilometer persegi wilayahnya, dihuni oleh 13.602 orang, namun pada tahun
2017 jika diamati kenaikannya tidak terlalu signifikan wilayahnya dihuni oleh
14.000 orang.
Kondisi yang sama sekali berbeda terjadi di bagian selatan Banten.
Kabupaten Lebak, menjadi daerah yang paling jarang penduduknya, sedangkan
Kabupaten Pandeglang merupakan daerah yang paling lambat pertumbuhan
penduduknya.
Sementara porsi penduduk laki-laki terbesar terdapat di Kota Serang,
dimana terdapat 1.052 penduduk laki-laki untuk setiap 1.000 penduduk
perempuan. Adapun yang terkecil di Kota Tangerang Selatan, dengan
perbandingan 1.000 penduduk perempuan untuk setiap 1.015 penduduk laki-
laki.
Dibandingkan dengan luas wilayahnya yang hanya sekitar 10 ribu
kilometer persegi, Banten pada tahun 2017 terasa lebih sesak. Kondisi Ini
terlihat jelas dari tingkat kepadatan penduduknya yang naik hingga menjadi
1.288 orang per km2. Selain itu, Banten juga menjadi provinsi ketiga terpadat
se-Indonesia, setelah DKI Jakarta (15.623 orang per km2) dan Jawa Barat
(1.358 orang per km2).
Tabel 4.4
Statistik Ketenagakerjaan Banten
Uraian 2016 2017
Penduduk Usia Kerja (juta
orang)
8,78 8,89
Angkatan Kerja (juta
orang)
5,59 5,97
- Penduduk Bekerja 5,09 5,51
43
- Penganggur 0,50 0,46
Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (%)
63,66 67,23
Tingkat Pengangguran
Terbuka (%)
8,92 7,75
Sumber : BPS Prov. Banten
Sejak 2016 hingga 2017, penduduk usia kerja Banten (penduduk usia 15
tahun ke atas), yang memasuki pasar kerja telah meningkat hingga menjadi
lebih dari dua pertiganya. Kondisi ini terlihat dari indikator Tingkat Partisipas i
Angkatan Kerja (TPAK), yang memberikan gambaran mengenai besarnya
persentase penduduk usia kerja yang termasuk dalam bagian angkatan kerja.
Jumlah angkatan kerja Banten sendiri selama periode tersebut terus bertambah,
yaitu dari 5,59 juta orang menjadi 5,97 juta orang.
Seiring dengan jumlah angkatan kerja yang bertambah, persentase
penduduk usia kerja yang bekerja juga meningkat. Peningkatan ini, terjadi
karena kesempatan kerja yang tercipta melebihi pertambahan jumlah angkatan
kerja. Imbasnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Banten menurun
hingga menjadi 7,75% pada tahun 2017. Hanya saja, angka pengangguran ini
terasa sangat tinggi, karena jauh di atas rata-rata Nasional yang hanya sebesar
5,33%.
Tingkat kemiskinan Banten cukup rendah apabila dibandingkan dengan
provinsi lainnya. Pada Maret 2016, tingkat kemiskinan di Provinsi Banten
tercatat sebesar 5,42% dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 658,11 ribu
jiwa. Secara nasional, tingkat kemiskinan Banten berada pada posisi terendah
kelima setelah DKI Jakarta (3,75%), Bali (4,25%), Kalimantan Selatan
(4,85%) dan Bangka Belitung (5,22%). Rendahnya tingkat kemiskinan di
Banten bukan berarti masalah kemiskinan tidak menjadi prioritas utama.
Pengentasan kemiskinan tetap menjadi program prioritas, karena hidup yang
layak menjadi hak semua orang dan hal ini yang ingin diwujudkan oleh
Pemerintah Provinsi Banten. (BPS Prov. Banten).
44
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase
penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah
penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan
bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang
terkait dengan kesejahteraan penduduk miskin.
Tabel 4.5
Persentase Penduduk Miskin
Sumber : BPS Prov. Banten
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten sebesar 5,45% atau naik
0,09% dibanding September 2016 yang mencapai 5,36%. Angka kemiskinan
di Banten pada enam bulan lalu atau September 2016 sempat turun 0,06%
dibanding Maret 2016, namun Maret 2017 kembali naik hingga 0,09%.
Kenaikan angka kemiskinan sebesar 0,09% sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk miskin sebanyak 17,3 ribu orang. Bila Maret 2016 jumlah
penduduk miskin sebanyak 658,1 ribu orang atau 5,42%, September 2016 turun
menjadi 657,74 ribu orang atau 5,36%. Maret 2017 kembali naik menjadi
675,04 ribu orang atau 5,45%. Persentase penduduk miskin baik di daerah
perkotaan maupun perdesaan mengalami peningkatan. Persentase penduduk
miskin di perkotaan naik dari 4,49 menjadi 4,52 dan persentase penduduk
miskin di perdesaan naik dari 7,32 menjadi 7,61 pada Maret 2017.
Jumlah penduduk miskin baik di daerah perkotaan maupun perdesaan juga
mengalami peningkatan. Di perkotaan bertambah 10,9 ribu orang (dari 380,16
9,67
8,71
5,294,58
4,94
3,575,58
1,67
Kab Pandeglang Kab Lebak Kab Tangerang
Kab Serang Kota Tangerang Kota Cilegon
Kota Serang Kota Tangerang Selatan
45
ribu orang pada September 2016 menjadi 391,06 ribu orang pada Maret 2017).
Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 6,4 ribu orang dari
277,58 ribu orang pada September 2016 menjadi 284,00 ribu orang pada Maret
2017. “Peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar
dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2017, sumbangan garis kemiskinan
makanan terhadap garis kemiskinan tercatat sebesar 70,47%, sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 70,29%.
B. Analisis Deskriptif
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah DEA (Data
Envelopment Analysis) dan software yang digunakan dalam penelitian ini
adalah DEAP version 2.1 dengan asumsi VRS berorientasi output. Alasan
pemilihan skala efisiensi model VRS ini adalah studi ini ingin mengetahui
tingkat efisien sebenarnya (tanpa dibatasi oleh kendala apapun). Dikatakan
efisien jika memiliki tingkat efisien 1 atau 100%, sedangkan yang memilik i
efisiensi kurang dari 1 atau <100% dinyatakan sebagai bank yang tidak efisien.
Pada penelitian ini variabel input digunakan yaitu Belanja Modal, Belanja
Barang dan Jasa, Belanja Bantuan Keuangan, dan Belanja Bantuan Sosial. Pada
tabel berikut disajikan perkembangan variabel input dan output yang
digunakan dalam penelitian.
Tabel 4.6
Realisasi Belanja Modal pada Tahun 2016-2017 (dalam ribu rupiah)
Sumber : BPS Prov. Banten
0200.000.000.000400.000.000.000600.000.000.000800.000.000.000
1.000.000.000.0001.200.000.000.0001.400.000.000.0001.600.000.000.0001.800.000.000.000
2016 2017
46
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa realisasi belanja modal tahun 2016
sampai tahun 2017 dapat dikatakan mengalami kenaikan di setiap daerahnya,
namun ada beberapa daerah yang mengalami penurunan realisasi belanja
modal seperti Kab. Lebak dan Kota Tangerang Selatan.
Tabel 4.7
Realisasi Belanja Barang dan Jasa pada Tahun 2016-2017 (dalam ribu
rupiah)
Sumber : BPS Prov. Banten
Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa realisasi belanja barang dan jasa tahun
2016 sampai tahun 2017 dapat dikatakan mengalami kenaikan di setiap
daerahnya.
0200.000.000.000400.000.000.000600.000.000.000800.000.000.000
1.000.000.000.0001.200.000.000.0001.400.000.000.0001.600.000.000.0001.800.000.000.000
2016 2017
47
Tabel 4.8
Realisasi Belanja Bantuan Keuangan pada Tahun 2016-2017 (dalam
ribuan rupiah)
Sumber : BPS Prov. Banten
Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa rata-rata belanja bantuan keuangan pada
tahun 2016 sampai 2017 mengalami kenaikan pertahunnya, namun hanya Kota
Tangerang saja yang mengalami penurunan.
Tabel 4.9
Realisasi Belanja Bantuan Sosial pada Tahun 2016-2017 (dalam ribuan
rupiah)
Sumber : BPS Prov. Banten
050.000.000.000
100.000.000.000150.000.000.000200.000.000.000250.000.000.000300.000.000.000350.000.000.000400.000.000.000450.000.000.000
2016 2017
0
5.000.000.000
10.000.000.000
15.000.000.000
20.000.000.000
25.000.000.000
30.000.000.000
2016 2017
48
Dari tabel 4.9 dapat dilihat bahwa belanja bantuan sosial pada tahun 2016
sampai 2017 mengalami fluktuatif di Prov. Banten, namun lebih banyak
mengalami kenaikan, walaupun tidak terlalu signifikan.
C. Analisis Efisiensi
DEA merupakan suatu teknik pemograman yang digunakan untuk
mengukur tingkat efisiensi dari sekumpulan unit-unit pengambilan keputusan
dalam mengelola input untuk menghasilkan output. Nilai efisiensi dihitung
dengan varian angka 0-1. Bisa dikatakan efisien jika nilai efisiensinya semakin
mendekati 1. Sebaliknya, dikatakan efisien jika nilainya mendekati 0.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai efisiensi dengan menggunakan software
DEAP version 2.1 dengan asumsi VRS dan orientasi output, dapat dilihat nilai
efisiensi pengeluaran pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan
Banten tahun 2016-2017.
Tabel 4.10
Hasil Perhitungan Efisiensi Pemerintah dalam Mengurangi Tingkat
Kemiskinan Banten Tahun 2016
Vrste
Kab. Lebak 0.893
Kab. Pandeglang 1.000
Kab. Serang 0.924
Kab. Tangerang 1.000
Kota Cilegon 0.942
Kota Serang 1.000
Kota Tangerang 1.000
Kota Tangerang Selatan 1.000
Sumber : Hasil olah data dengan DEAP 2.1
Tabel 4.10 menunjukkan skor efisiensi tahun 2016, berdasarkan hasil
pengolahan data DEAP dengan asumsi VRS menunjukkan bahwa Kab.
Pandeglang, Kab. Tangerang, dan Kota Serang telah efisien, karena nilai
efisiensi sudah mencapai angka 1. Namun pada Kab. Lebak, Kab. Serang, dan
Kota Cilegon mengalami inefisiensi. Ini berarti pada tahun 2106 pengeluaran
49
pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan belum beroperasi secara
efisien. Dapat dilihat juga pada jumlah penduduk miskin Kab. Lebak tahun
2016 yang berjumlah 11.121.000 jiwa yang masih dikategorikan tinggi.
Sumber daya atau aspek yang dapat digali untuk mengurangi tingkat
kemiskinan dapat menggali sumber daya dengan menciptakan lapangan kerja
baru di sektor argoindustri yang merupakan daerah yang memiliki potensi
tersebut karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat berada pada
sektor pertanian. Sebagai dukungan sumber daya alam yang berlimpah serta
kondisi iklim yang memiliki curah hujan merata merupakan keunggulan
komporatif dalam penguatan sektor pertanian sebagai sektor basis dalam
perekonomian daerah. Namun lemahnya kualitas sumber daya manusia dan
rendahnya kemampuan fiskal daerah serta belum tersebarnya pengetahuan
teknologi tepat guna, membuat laju pertumbuhan ekonomi di Kab. Lebak
cenderung mengalami perlambatan secara komprehensif sehingga membuat
pengeluaran pemerintah di daerah tersebut tidak beroperasi dengan baik.
Kondisi sosial dan perekonomian merupakan salah satu aspek yang
diukur dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Berdasarkan data BPS
dan hasil dari aplikasi DEA, pekerjaan utama masyarakat Kota Cilegon
sebagian besar jenis lapangan usahanya adalah pedagangan besar, eceran,
rumah makan dan hotel, sedangkan dapat dilihat dari hasil aplikasi DEA Kota
Cilegon mengalami inefisiensi, untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran
pemerintah kota tersebut dapat menggali potensial daerahnya seperti
mensupport produk-produk daerahnya sendiri, dan dapat dimulai dari
pemerintah yang ikut melibatkan produk daerah sendiri.
50
Tabel 4.11
Hasil Perhitungan Efisiensi Pemerintah dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan
Banten Tahun 2017
Vrste
Kab. Lebak 1.000
Kab. Pandeglang 1.000
Kab. Serang 0.787
Kab. Tangerang 0.940
Kota Cilegon 0.320
Kota Serang 1.000
Kota Tangerang 1.000
Kota Tangerang Selatan 1.000
Sumber : Hasil olah data dengan DEAP 2.1
Tabel 4.11 menunjukkan skor efisiensi tahun 2017, berdasarkan hasil
pengolahan data DEA dengan asumsi VRS menunjukkan bahwa di setiap
daerah Prov. Banten telah efisien, karena nilai efisiensi di masing-mas ing
daerah tersebut sudah mencapai angka 1. Kab. Pandeglang merupakan daerah
yang dengan tingkat pertumbuhan penduduknya yg paling rendah diantara
daerah lainnya di Prov. Banten, itu termasuk salah satunya yang membuat
daerahnya efisien sehingga pengeluaran pemerintahnya telah beroperasi
dengan baik. Sedangkan pada Kota Cilegon pada tahun 2017 mempunya i
jumlah penduduk terkecil diantara daerah lainnya di Banten yang berjumlah
14.890.000 jiwa namun pada hasil penelitian Kota Cilegon termasuk yang tidak
efisien, sehingga pengeluaran pemerintahnya tidak beroperasi secara baik. Jika
dilihat dari hasil DEA dari 2016 sampai 2017 terjadi perubahan pada Kab.
Lebak yang semulanya inefisien menjadi efisiensi.
Pengembangan ekonomi mikro bagi masyarakat berpenghasilan rendah
menjadi pendekatan yang dicanangkan dalam Program GEBRAK SIPINTAR
atau Gerakan Berantas Kemiskinan Melalui Simpan Pinjam Terpadu. Gerakan
Berantas Kemiskinan melalui Simpan Pinjam Terpadu ini memberikan
stimulasi bagi yang benar-benar membutuhkan tanpa agunan. Program yang
51
menjadi bagian dari program GEBRAK SIPINTAR yaitu program
pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil
menengah melalui penguatan pembiayaan usaha bagi UMKM dan penyediaan
infrastruktur pendukung. Diharapkan pada akhir periode RPJMD sebanyak
32.000 UMKM dapat ditingkatkan produk dan mutunya melalui penyertaan
modal pada Unit Pengelola Dana Bergulir (UPDB). Pihak yang terkait dalam
program ini antara lain Dinas KUMKM dan lembaga-lembaga keuangan.
Program tersebut merupakan usaha pemerintah Kab. Pandeglang untuk
meretaskan tingkat kemiskinan.
Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten
dengan Kecamatan Rangkasbitung sebagai ibu kota, sebelum Ibu Kota
Kabupaten Lebak di Warunggunung, Ibu Kota Kabupaten Lebak di Lebak
Parahiang yang saat ini menjadi Kecamatan Leuwidamar. Pemindahan Ibu
Kota Kabupaten Lebak ke Warunggunung terjadi pada sekitar tahun 1843.
Rangkasbitung sebagai ibu kota sempat menjadi daerah tertinggal.
Namun, semangat pembangunan yang ingin dilakukan Pemkab Lebak,
terutama di sekitar perkotaan Rangkasbitung, mulai mengubah segalanya.
Denyut Rangkasbitung menggeliat, wajahnya pun semakin cantik.
Pengembangan Ibu Kota Rangkasbitung terjadi sejak tiga periode, yaitu saat
Kabupaten Lebak dipimpin Mulyadi Jayabaya selama dua periode dan Iti
Octavia Jayabaya. Beberapa pembangunan di Kota Rangkasbitung yang
monumental, yaitu Pembangunan Masjid Agung Alun-Alun Rangkasbitung.
Peninggalan dari pembangunan Mulyadi Jayabaya ini menjadi sarana ibadah
yang megah dan alun-alun menjadi ruang publik yang nyaman bagi masyarakat
Kabupaten Lebak, itu merupakan salah satu penyebab yang semula inefis ien
menjadi efisiensi.
52
Tabel 4.12
Wilayah Acuan Prov. Banten Tahun 2016
Lebak Kab. Pandeglang Kab. Tangerang Kota Serang
Kab. Pandeglang
Kab. Serang Kab. Pandeglang Kota Serang Kota Tangsel
Kab. Tangerang
Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangsel
Kota Serang
Kota Tangerang
Kota Tangsel
Sumber : Hasil olah data dengan DEAP 2.1
Berdasarkan tabel 4.12, hasil perhitungan selama periode 2016 sampai 2017
menunjukkan bahwa kemiskinan pada Prov. Banten rata-rata sudah efisiens i,
namun yang selalu mencapai nilai 1 efisien yaitu Kab. Pandeglang. Selanjutnya,
Kab. Pandeglang dapat dijadikan bechmark (wilayah acuan) bagi kabupaten/kota
lainnya yang belum mencapai nilai efisiensi. Pada tahun 2016 Kab. Tangerang,
Kab. Pandeglang, Kota Serang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan
sudah menjadi bechmark.
Pada kolom pertama dijelaskan bahwa Kab. Pandeglang dapat dijadikan
bechmark (wilayah acuan) untuk Lebak dikarenakan jarak yang bersekitaran hanya
43,1km dari Kab. Lebak. Untuk Kab. Serang yang dimana daerah tersebut belum
mencapai titik efisiensi yang hanya mencapai 0.787 yang menunjukkan bahwa
daerah tersebut dapat meniru daerah yang sudah efisien seperti Kab. Pandeglang
dan Kota Serang yang merupakan jarak terdekat dari Kab. Serang.
53
Tabel 4.13
Wilayah Acuan Prov. Banten Tahun 2017
Kab. Lebak
Kab. Pandeglang
Kab. Serang Kab. Lebak Kota Serang
Kab. Tangerang Kota Tangerang Kab. Pandeglang Kota Serang
Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangsel
Kota Serang
Kota Tangerang
Kota Tangsel
Berdasarkan tabel 4.13 hasil perhtiungan selama periode 2017
menunjukkan bahwa kemiskinan Prov. Banten rata-rata sudah efisien, namun
yang selalu mencapai nilai 1 efisien dari 2016 sampai 2017 yaitu Kab.
Pandeglang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan, sehingga daerah
tersebut dapat dijadikan bechmark (wilayah acuan).
Pada tahun 2017, Kab. Lebak sudah mencapai efisiensi yang artinya
daerah tersebut sudah bisa dijadikan wilayah acuan untuk wilayah yang masih
tertinggal, tak hanya pembangunan ibadah yang diperbaiki, pada tahun 2017
juga Kab. Lebak membangun beberapa ruang publik yaitu balong ranca lentah,
stadion ona (hutan kota), taman hati, dan museum multatuli, serta perpustakaan
saija dan adinda. Karena itu, pengembangan Kota Rangkasbitung akan memilik i
daya tarik, baik di Indonesia maupun mancanegara.
Namun dapat disayangkan pada tahun 2017 Kab.Tangerang yang semula
efisiensi menjadi inefisien, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2017, hanya 15,99% di tahun ajaran tersebut penduduk usia 0-
6 tahun yang mengikuti pendidikan pra sekolah, persentase tersebut terbagi
44,28% di Taman Kanak-kanak (TK) dan 50,75% di Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD). Di usia 15 tahun ke atas, penduduk berijasah Sekolah Dasar (SD)
sederajat masih yang tertinggi, yakni sebesar 28,66% dan SLTP sebesar 23,24
54
persen, namun penduduk yang memiliki ijasah perguruan tinggi masih yang
terkecil, yakni hanya 4,5%. Data ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan
di Kabupaten Tangerang masih rendah.
55
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan pada tahun 2016 daerah Prov. Banten yang mengalami
efisiensi ialah daerah Kab. Pandeglang, Kota Serang, Kota Tangerang, dan Kota
Tangerang Selatan, sedangkan Lebak, Kab. Serang, Kab. Tangerang dan Kota
Cilegon mengalami inefisiensi.
Sedangkan pada tahun 2017 daerah Prov. Banten yang mengalami
efisiensi ialah daerah Lebak, Kab. Pandeglang, Kota Serang, Kota Tangerang,
Kota Tangerang Selatan, dan yang mengalami inefisiensi pada tahun 2017 ialah
daerah Kab. Serang, Kab. Tangerang.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, maka saran yang dapat
diajukan dalam penelitian ini yaitu :
1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Banten dalam melaksanakan
kebijakan di bidang anggaran terutama untuk meningkatkan efisiens i
pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan.
2. Sebagai masukan dan tambahan informasi untuk melakukan penelit ian
selanjutnya di bidang yang sama bagi peneliti lain.
56
DAFTAR PUSTAKA
Boediono. “Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro”, BPFE, Yogyakarta, 2000.
Jonadi, A. (2012). Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Di Indonesia.
Jurnal Kajian Ekonomi, 1(April), 140–164.
Boediono. “Teori Pertumbuhan Ekonomi”, BPFE UGM, Yogyakarta, 1999.
Kuncoro, Mudrajad, 1997. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Nazamuddin. (2009). Atas Nama Kemiskinan. Aceh : FE-Universitas Syiah Kuala
Darise, Nurlan. “Pengelolaan Keuangan Daerah”, PT. Indeks, Jakarta 2009.
Kurnia, Akhmad Syakir. “Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Public Metode
Free Disposable Hull (FDH)”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 11 No.2, 2006.
Lela, Dina Pertiwi. “Efisiesi Pengeluaran Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa
Tengah”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.12 No.2 Hal: 123 – 139, Yogyakarta,
2007.
Lestari, Triyanti. “Analisis Efisiensi Belanja Daerah di Jawa Timur (Studi Kasus
Bidang Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2009-2011)”, Jurnal Ilmiah Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, 2013
Mangkoesoebroto, Guritno. “Ekonomi Publik”, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta,1993.
Mahmudi. “Manajemen Keuangan Daerah”, Erlangga, Jakarta, 2010.
Merini, Dian, dkk.“Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor Publik Di
Kawasan Asia Tenggara : Aplikasi Data Envelopment Analysis”,Jurnal Ilmiah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, 2013.
Rusyidiana, Aam Slamet.”Mengukur Tingkat Efisiensi dengan Metode Data
Envelopment Analysis (DEA)”, Cetakan Pertama Februari 2013, Tim SMART
Consulting, Bogor, 2013.
Saleh, Samsubar. “Metodologi Empiris Data Envelopment Analysis (DEA)”, Pusat
Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000.
Sujarweni, Wiratna. “Metode Penelitian Bisnis & Ekonomi”, Pustaka Baru Press,
Yogyakarta, 2015.
Susilowati, Indah, dkk. “Modul Mengukur Efisiensi dengan Metode Data
Envelopment Analysis (DEA) DEAWIN.exe”, Fakultas Ekonomi, Univers itas
Dipenogoro, Semarang, 2004.
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
57
Yunan, Zuhairan N. “Tingkat Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah Di Pulau
Jawa”, Jurnal Signifikan Vol. 3 No.1, Jakarta, 2015.
LAMPIRAN – LAMPIRAN
58
Hasil olahan DEA tahun 2016
Results from DEAP Version 2.1
*****************************
by Tim Coelli, CEPA
http://www.uq.edu.au/economics/cepa
Project: DATA 2016
Model 1: First model
Input orientated DEA
Scale assumption: VRS
Slacks calculated using multi-stage method
EFFICIENCY SUMMARY:
firm crste vrste scale
Lebak 0.892 0.893 0.999 drs
KabPande 1.000 1.000 1.000 -
KabSer 0.597 0.961 0.622 irs
KabTang 0.988 1.000 0.988 drs
KCilgeon 0.345 0.942 0.366 irs
KotaSera 1.000 1.000 1.000 -
KotaTang 1.000 1.000 1.000 -
KTangsel 1.000 1.000 1.000 -
mean 0.853 0.975 0.872
Note: crste = technical efficiency from CRS DEA
vrste = technical efficiency from VRS DEA
scale = scale efficiency = crste/vrste
Note also that all subsequent tables refer to VRS results
SUMMARY OF OUTPUT SLACKS:
firm output: Kemiskin
Lebak 0.000
KabPande 0.000
KabSer 41292.560
KabTang 0.000
KCilgeon 19107.007
KotaSera 0.000
KotaTang 0.000
KTangsel 0.000
mean 7549.946
SUMMARY OF INPUT SLACKS:
firm input: Bansos BanKeu Barjas BModal
Lebak 4587302.743 0.000 0.00095252428.365
KabPande 0.000 0.000 0.000 0.000
KabSer 0.000 0.000************ 0.000
KabTang 0.000 0.000 0.000 0.000
KCilgeon 9815689.049 0.000 0.00055000078.638
KotaSera 0.000 0.000 0.000 0.000
KotaTang 0.000 0.000 0.000 0.000
KTangsel 0.000 0.000 0.000 0.000
mean 1800373.974 0.00026123221.38418781563.375
SUMMARY OF PEERS:
firm peers:
Lebak KabPande KabTang KotaSera
KabPande KabPande
KabSer KabPande KotaSera KTangsel
KabTang KabTang
KCilgeon KotaSera KTangsel
KotaSera KotaSera
KotaTang KotaTang
KTangsel KTangsel
SUMMARY OF PEER WEIGHTS:
(in same order as above)
firm peer weights:
Lebak 0.876 0.035 0.089
KabPande 1.000
KabSer 0.923 0.024 0.054
KabTang 1.000
KCilgeon 0.761 0.239
KotaSera 1.000
KotaTang 1.000
KTangsel 1.000
PEER COUNT SUMMARY:
(i.e., no. times each firm is a peer for another)
firm peer count:
Lebak 0
KabPande 2
KabSer 0
KabTang 1
KCilgeon 0
KotaSera 3
KotaTang 0
KTangsel 2
SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:
firm output: Kemiskin
Lebak 111210.000
KabPande 115900.000
KabSer 109212.560
KabTang 182520.000
KCilgeon 34007.007
KotaSera 36400.000
KotaTang 102880.000
KTangsel 26380.000
SUMMARY OF INPUT TARGETS:
firm input: Bansos BanKeu Barjas BModal
Lebak 2352535.164************************************
KabPande 1400000.000************************************
KabSer 1456438.472************************************
KabTang 25552293.000************************************
KCilgeon 2406816.981 719589.392************************
KotaSera 2552027.000 846504.000************************
KotaTang 24032292.000 1546723.000************************
KTangsel 1944000.000 315084.000************************
FIRM BY FIRM RESULTS:
Results for Lebak:
Technical efficiency = 0.893
Scale efficiency = 0.999 (drs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 111210.000 0.000 0.000 111210.000
input Bansos 7770521.000 -830683.094 -4587302.743 2352535.164
input BanKeu 332851248.000 -35582415.190 0.000 297268832.810
input Barjas 479957839.000 -51308382.358 0.000 428649456.642
input BModal 541448513.000 -57881849.352 -95252428.365 388314235.283
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KabPande 0.876
KabTang 0.035
KotaSera 0.089
Results for KabPande:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 115900.000 0.000 0.000 115900.000
input Bansos 1400000.000 0.000 0.000 1400000.000
input BanKeu 330100633.000 0.000 0.000 330100633.000
input Barjas 390683453.000 0.000 0.000 390683453.000
input BModal 369304934.000 0.000 0.000 369304934.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KabPande 1.000
Results for KabSer:
Technical efficiency = 0.961
Scale efficiency = 0.622 (irs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 67920.000 0.000 41292.560 109212.560
input Bansos 1515100.000 -58661.528 0.000 1456438.472
input BanKeu 316873928.000 -12268700.860 0.000 304605227.140
input Barjas 647065435.000 -25053030.741-208985771.071 413026633.189
input BModal 417285119.000 -16156413.785 0.000 401128705.215
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KabPande 0.923
KotaSera 0.024
KTangsel 0.054
Results for KabTang:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 0.988 (drs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 182520.000 0.000 0.000 182520.000
input Bansos 25552293.000 0.000 0.000 25552293.000
input BanKeu 225291257.000 0.000 0.000 225291257.000
input Barjas 1440530317.000 0.000 0.0001440530317.000
input BModal 1410376721.000 0.000 0.0001410376721.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KabTang 1.000
Results for KCilgeon:
Technical efficiency = 0.942
Scale efficiency = 0.366 (irs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 14900.000 0.000 19107.007 34007.007
input Bansos 12975088.000 -752581.970 -9815689.049 2406816.981
input BanKeu 763897.000 -44307.608 0.000 719589.392
input Barjas 527990656.000 -30624551.295 0.000 497366104.705
input BModal 461651194.000 -26776725.138 -55000078.638 379874390.224
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaSera 0.761
KTangsel 0.239
Results for KotaSera:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 36400.000 0.000 0.000 36400.000
input Bansos 2552027.000 0.000 0.000 2552027.000
input BanKeu 846504.000 0.000 0.000 846504.000
input Barjas 401907614.000 0.000 0.000 401907614.000
input BModal 169833427.000 0.000 0.000 169833427.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaSera 1.000
Results for KotaTang:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 102880.000 0.000 0.000 102880.000
input Bansos 24032292.000 0.000 0.000 24032292.000
input BanKeu 1546723.000 0.000 0.000 1546723.000
input Barjas 1315240511.000 0.000 0.0001315240511.000
input BModal 933923684.000 0.000 0.000 933923684.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaTang 1.000
Results for KTangsel:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 26380.000 0.000 0.000 26380.000
input Bansos 1944000.000 0.000 0.000 1944000.000
input BanKeu 315084.000 0.000 0.000 315084.000
input Barjas 801613779.000 0.000 0.000 801613779.000
input BModal 1049322169.000 0.000 0.0001049322169.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KTangsel 1.000
Hasil olahan DEA tahun 2017
Results from DEAP Version 2.1
*****************************
by Tim Coelli, CEPA
http://www.uq.edu.au/economics/cepa
Project: data 2017
Model 1: First model
Input orientated DEA
Scale assumption: VRS
Slacks calculated using multi-stage method
EFFICIENCY SUMMARY:
firm crste vrste scale
Lebak 1.000 1.000 1.000 -
KabPande 1.000 1.000 1.000 -
KabSer 0.596 0.757 0.787 irs
KabTang 0.541 0.575 0.940 drs
KotaCile 0.315 0.985 0.320 irs
KotaSera 1.000 1.000 1.000 -
KotaTang 1.000 1.000 1.000 -
KTangsel 1.000 1.000 1.000 -
mean 0.806 0.915 0.881
Note: crste = technical efficiency from CRS DEA
vrste = technical efficiency from VRS DEA
scale = scale efficiency = crste/vrste
Note also that all subsequent tables refer to VRS results
SUMMARY OF OUTPUT SLACKS:
firm output: Kemiskin
Lebak 0.000
KabPande 0.000
KabSer 0.000
KabTang 0.000
KotaCile 20125.965
KotaSera 0.000
KotaTang 0.000
KTangsel 0.000
mean 2515.746
SUMMARY OF INPUT SLACKS:
firm input: Bansos BanKeu BarJas BModal
Lebak 0.000 0.000 0.000 0.000
KabPande 0.000 0.000 0.000 0.000
KabSer 4746362.316************89955646.867 0.000
KabTang 1772182.511 0.000 0.000************
KotaCile 6975085.670 0.00038976314.072 0.000
KotaSera 0.000 0.000 0.000 0.000
KotaTang 0.000 0.000 0.000 0.000
KTangsel 0.000 0.000 0.000 0.000
mean 1686703.81213359817.68016116495.11719255183.507
SUMMARY OF PEERS:
firm peers:
Lebak Lebak
KabPande KabPande
KabSer Lebak KotaSera
KabTang KotaTang KabPande KotaSera
KotaCile KotaSera KTangsel
KotaSera KotaSera
KotaTang KotaTang
KTangsel KTangsel
SUMMARY OF PEER WEIGHTS:
(in same order as above)
firm peer weights:
Lebak 1.000
KabPande 1.000
KabSer 0.434 0.566
KabTang 0.429 0.486 0.085
KotaCile 0.763 0.237
KotaSera 1.000
KotaTang 1.000
KTangsel 1.000
PEER COUNT SUMMARY:
(i.e., no. times each firm is a peer for another)
firm peer count:
Lebak 1
KabPande 1
KabSer 0
KabTang 0
KotaCile 0
KotaSera 3
KotaTang 1
KTangsel 1
SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:
firm output: Kemiskin
Lebak 111080.000
KabPande 117310.000
KabSer 69100.000
KabTang 105340.000
KotaCile 35015.965
KotaSera 36970.000
KotaTang 105340.000
KTangsel 28730.000
SUMMARY OF INPUT TARGETS:
firm input: Bansos BanKeu BarJas BModal
Lebak 12090835.000************************************
KabPande 8590000.000************************************
KabSer 6723321.821************************************
KabTang 12013607.249************************************
KotaCile 2498849.034 977657.176************************
KotaSera 2615218.000 1152153.000************************
KotaTang 17754706.000 1030009.000************************
KTangsel 2124500.000 416319.000************************
FIRM BY FIRM RESULTS:
Results for Lebak:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 111080.000 0.000 0.000 111080.000
input Bansos 12090835.000 0.000 0.000 12090835.000
input BanKeu 400267333.000 0.000 0.000 400267333.000
input BarJas 651217728.000 0.000 0.000 651217728.000
input BModal 374004042.000 0.000 0.000 374004042.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
Lebak 1.000
Results for KabPande:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 117310.000 0.000 0.000 117310.000
input Bansos 8590000.000 0.000 0.000 8590000.000
input BanKeu 396536743.000 0.000 0.000 396536743.000
input BarJas 562468349.000 0.000 0.000 562468349.000
input BModal 541393604.000 0.000 0.000 541393604.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KabPande 1.000
Results for KabSer:
Technical efficiency = 0.757
Scale efficiency = 0.787 (irs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 69100.000 0.000 0.000 69100.000
input Bansos 15151000.000 -3681315.862 -4746362.316 6723321.821
input BanKeu 371275741.000 -90210763.289-106878541.437 174186436.274
input BarJas 834778178.000-202830318.005 -89955646.867 541992213.128
input BModal 463747394.000-112679073.169 0.000 351068320.831
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
Lebak 0.434
KotaSera 0.566
Results for KabTang:
Technical efficiency = 0.575
Scale efficiency = 0.940 (drs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 105340.000 0.000 0.000 105340.000
input Bansos 23968700.000 -10182910.239 -1772182.511 12013607.249
input BanKeu 335940647.000-142721693.462 0.000 193218953.538
input BarJas 1666517795.000-708006738.721 0.000 958511056.279
input BModal 1530660350.000-650288791.242-154041468.052 726330090.706
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaTang 0.429
KabPande 0.486
KotaSera 0.085
Results for KotaCile:
Technical efficiency = 0.985
Scale efficiency = 0.320 (irs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 14890.000 0.000 20125.965 35015.965
input Bansos 9615336.000 -141401.296 -6975085.670 2498849.034
input BanKeu 992249.000 -14591.824 0.000 977657.176
input BarJas 628654507.000 -9244873.223 -38976314.072 580433319.704
input BModal 500709558.000 -7363339.217 0.000 493346218.783
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaSera 0.763
KTangsel 0.237
Results for KotaSera:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 36970.000 0.000 0.000 36970.000
input Bansos 2615218.000 0.000 0.000 2615218.000
input BanKeu 1152153.000 0.000 0.000 1152153.000
input BarJas 458394886.000 0.000 0.000 458394886.000
input BModal 333514135.000 0.000 0.000 333514135.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaSera 1.000
Results for KotaTang:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 105340.000 0.000 0.000 105340.000
input Bansos 17754706.000 0.000 0.000 17754706.000
input BanKeu 1030009.000 0.000 0.000 1030009.000
input BarJas 1506228131.000 0.000 0.0001506228131.000
input BModal 1013676203.000 0.000 0.0001013676203.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KotaTang 1.000
Results for KTangsel:
Technical efficiency = 1.000
Scale efficiency = 1.000 (crs)
PROJECTION SUMMARY:
variable original radial slack projected
value movement movement value
output Kemiskin 28730.000 0.000 0.000 28730.000
input Bansos 2124500.000 0.000 0.000 2124500.000
input BanKeu 416319.000 0.000 0.000 416319.000
input BarJas 973020546.000 0.000 0.000 973020546.000
input BModal 1007512392.000 0.000 0.0001007512392.000
LISTING OF PEERS:
peer lambda weight
KTangsel 1.000