efektivitas 1
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring adanya tuntutan good coorporate governance dan reformasi
pengelolaan sektor publik yang ditandai dengan munculnya era new public
management, dengan tiga prinsip utamanya yang berlaku secara universal yaitu
profesional, transparansi, dan akuntabilitas telah mendorong adanya usaha untuk
meningkatkan kinerja dibidang pengelolaan keuangan, dengan mengembangkan
pendekatan yang lebih sistematis dalam penganggaran sektor publik.
Untuk menghadapi tuntutan perkembangan tersebut, pemerintah Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah menetapkan
penggunaan pendekatan penganggaran berbasis prestasi kerja atau kinerja dalam
proses peyusunan anggaran. Penganggaran berbasis kinerja atau performance
budgeting merupakan suatu pendekatan dalam penyusunan anggaran yang
berorientasi pada kinerja atau prestasi kerja yang ingin dicapai.
Anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan merupakan hal baru karena pusat
perhatian diarahkan pada upaya pencapaian hasil, sehingga menghubungkan alokasi
sumber daya atau pengeluaran dana secara eksplisit dengan hasil yang ingin dicapai.
Dengan demikian pengalokasian sumber daya didasarkan pada aktivitas untuk
pencapaian hasil yang dapat diukur secara spesifik, melalui proses perencanaan
strategis dengan mempertimbangkan isu kritis yang dihadapi lembaga, kapabilitas
lembaga, dan masukan dari stakeholder.
Tuntutan perubahan sistem anggaran, juga bisa diimplemantasikan pada
bidang pendidikan karena dengan adanya otonomi dalam pengelolaan lembaga
2
pendidikan, yang antara lain diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah tentang
Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), penerapan
manajemen berbasis sekolah, penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP), serta adanya usulan tentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP) yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, maka lembaga pendidikan
memiliki otonomi untuk mengelola sistem anggaran.
Adanya tuntutan reformasi ini merupakan tantangan dan prospek bagi
lembaga pendidikan untuk merevitalisasi manajemen pendidikan. Walaupun dalam
prakteknya, penyelenggaraan otonomi pengelolaan lembaga pendidikan bagi sebagian
Perguruan Tinggi malah menjadi beban tersendiri, karena otonomi pengelolaan
perguruan tinggi sebagai BHMN tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan
perguruan tinggi, dan seringkali dikaitkan dengan prinsip automoney, sehingga
kemandirian perguruan tinggi dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari
kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri.
Implikasi dari penerapan prinsip automoney ini kemudian mendorong
perguruan tinggi untuk meningkatkan pendapatan internal, antara lain melalui
pengembangan model penerimaan mahasiswa baru yang tidak hanya sebatas SMPTN,
tetapi juga melalui berbagai jalur khusus lainnya seperti Jalur Non Subsisi atau
Kemitraan yang pada intinya adalah peningkatan penerimaan SPP dan DPP.
Meskipun kini paradigma penyelenggaraan otonomi pengelolaan lembaga
pendidikan telah mengalami pergeseran, sejalan dengan adanya keputusan Mahkamah
Agung yang membatalkan UU tentang BHP dan cenderung bergerak kearah Badan
Layanan Umum (BLU). Namun pada kenyataannya kapasitas keuangan lembaga
pendidikan masih dititik beratkan pada kemampuan menggali pendapatan internal
dari sektor SPP dan DPP, yang justru menimbulkan beban baru, antara lain
3
menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan memberatkan bagi mahasiswa dan
masyarakat.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong berkembangnya wacana mengenai
perlunya dilakukan reformasi anggaran, karena sistem anggaran yang selama ini
digunakan yaitu sistem lineitem budgeting dan zero bassed budgeting atau
incremental, dalam penerapannya ternyata memiliki berbagai kelemahan, yang
memberi peluang terjadinya pemborosan dan penyimpangan anggaran.
Demikian halnya traditional budget selama ini juga didominasi oleh
penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses
penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran
tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar terhadap anggaran
baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan
masyarakat. Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan
pengelolaan anggaran yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja
tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti
harus berorientasi kepada kepentingan publik.
Kelemahan dari sistem anggaran tersebut antara lain: (1) Orientasi
pengelolaan anggaran lebih terpusat pada pengendalian pengeluaran berdasarkan
penerimaan, dengan prinsip balance budget, sehingga akuntabilitas terbatas pada
pengendalian anggaran bukan pada pencapaian hasil atau outcome. (2) Adanya
dikotomi antara anggaran rutin dan pembangunan yang tidak jelas. (3) Implementasi
basis alokasi yang tidak jelas dan hanya terfokus pada ketaatan anggaran.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka anggaran pendidikan pada era
otonomi pengelolaan lembaga pendidikan, disusun dengan pendekatan kinerja,
4
sehingga system penganggaran mengutamakan pada pencapaian hasil atau kinerja
dari perencanaan biaya aktivitas yang telah ditetapkan.
Melalui penerapan anggaran berbasis kinerja, lembaga pendidikan dituntut
untuk membuat standar kinerja pada setiap anggaran kegiatan, sehingga jelas kegiatan
apa yang akan dilakukan, berapa biaya yang dibutuhkan, dan apa hasil yang akan
diperoleh. Klasifikasi anggaran dirinci mulai dari sasaran strategis sampai pada jenis
belanja dari masing-masing kegiatan atau program kerja, sehingga memudahkan
dilakukannya evaluasi kinerja. Dengan demikian, diharapkan penyusunan dan
pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi
lembaga pendidikan yang bersangkutan, dengan memperhatikan prinsip ekonomis,
efisiensi dan efektivitas.
Beberapa lembaga pendidikan kini telah menerapkan sistem anggaran berbasis
kinerja dalam penyusunan dan pengelolaan anggarannya. Salah satunya adalah
Universitas Hasanuddin. Walaupun dalam implementasinya masih terpaku pada
masalah pendapatan dan penerapan prinsip ekonomis, efisiensi, dan efektivitas. Oleh
karena itu, perlu dilakukan prioritas terhadap tujuan kebijakan dan pendekatan
program untuk pencapaian indikator kinerja sesuai tujuan, sasaran, visi dan misi yang
ingin dicapai organisasi.
Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi negeri terbesar di Indonesia
Timur tentu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terutama dalam
menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang handal dimasa yang akan datang.
Universitas Hasanuddin sebagai satuan kerja di lingkungan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan mempunyai unit kerja meliputi 14 fakultas, program pasca sarjana,
lembaga-lembaga, rumah sakit Unhas, rumah sakit gigi dan mulut, dan kantor pusat
terdiri dari unit pelaksana teknis dan biro-biro. Unhas memperoleh pendanaan dari
5
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Pinjaman Hibah Luar Negeri
(PHLN), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dana tersebut harus
dipertanggungjawabkan penggunaannya berikut pencapaian kinerja yang telah
dihasilkan atas pelaksanaan anggaran.
Pada bulan September 2008, Unhas memperoleh persetujuan untuk
menerapkan pola PK BLU melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
280/KMK.05/2008 tentang Penetapan Universitas Hasanuddin pada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan, dengan demikian mempunyai flesibilitas
dalam pengelolaan keuangannya. Dengan fleksibilitas ini menuntut peningkatan
kinerja maupun akuntabilitas yang lebih baik.
Seiring berjalannya waktu disadari bahwa implementasi penganggaran
berbasis kinerja pada Universitas Hasanuddin belum berjalan secara optimal. Oleh
karena beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyusunan anggaran antara lain,
yaitu data dan informasi yang digunakan kurang tepat dan akurat serta faktor
pengetahuan dan pengalaman sumber daya manusia khususnya dalam penyusunan
anggaran mulai dari program dan penentuan kegiatan, klasifikasi belanja, penentuan
standar biaya, penentuan indikator kinerja, dan target kinerja sampai dengan jumlah
anggaran yang harus disediakan masih kurang sehingga menghambat pencapaian
sasaran dan kinerja yang diinginkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini
dengan judul “IMPLEMENTASI STRATEGI PENGANGGARAN BERBASIS
KINERJA PADA UNIVERSITAS HASANUDDIN “. Pertimbangan penelitian ini
dilakukan di Universitas Hasanuddin (UNHAS) karena Unhas merupakan universitas
negeri terbesar di Indonesia Timur yang mengelola sumber dana APBN yang sangat
6
besar, sehingga diperlukan pertanggungjawaban keuangan yang sangat besar juga. Di
satu sisi, Unhas merupakan universitas pertama di Indonesia Timur yang berstatus
Badan Layanan Umum (BLU), dimana pola BLU ini mempunyai fleksibilitas dalam
mengelola keuangannya. Dengan fleksibilitas dan tanggungjawab yang besar tentu
saja banyak kendala yang dihadapi terutama dalam hal akuntabilitas kinerja.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu motivasi bagi Universitas
Hasanuddin maupun Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai organisasi publik dalam menerapkan
penganggaran berbasis kinerja dengan lebih baik.
B. Perumusan Masalah
Masalah pokok dalam penelitian ini berkaitan dengan belum terwujudnya
implementasi penganggaran berbasis kinerja pada organisasi sektor publik sesuai
dengan yang diharapkan. Demikian juga pada satuan kerja di Universitas Hasanuddin,
dari informasi pendahuluan yang diperoleh, permasalahan yang sering dihadapi yaitu
seringnya revisi anggaran, serapan keuangan yang rendah, serta laporan kinerja yang
belum baik. Penelitian ini mengenai implementasi Strategi Penganggaran Berbasis
Kinerja pada Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui mengenai strategi penganggaran
berbasis kinerja dan sejauh mana implementasi penganggaran berbasis kinerja
tersebut diterapkan oleh Universitas Hasanuddin serta apa saja yang menjadi kendala
dalam pelaksanaannya. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka masalah-
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran sistem perencanaan pada tingkat Sub Bagian/Jurusan
dan Fakultas/Universitas?
7
2. Bagaimana proses perencanaan anggaran pada tingkat Sub Bagian/Jurusan,
dan Fakultas/Universitas?
3. Bagaimana implementasi penganggaran berbasis kinerja pada tingkat Sub
Bagian/Jurusan, dan Fakultas/Universitas?
4. Apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan penganggaran berbasis
kinerja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan gambaran sistem perencanaan pada tingkat Sub
Bagian/Jurusan dan Fakultas/Universitas.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses perencanaan anggaran pada tingkat Sub
Bagian/Jurusan dan Fakultas/Universitas.
3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi penganggaran berbasis kinerja
pada tingkat Sub Bagian/Jurusan, dan Fakultas/Universitas.
4. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
penganggaran berbasis kinerja.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini adalah sebuah usaha persiapan terkait program pemerintah
menjadikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pilot
project penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting)
pada tahun 2010. Penelitian ini juga sebagai usaha untuk memperbanyak khasanah
penelitian dalam rangka mendukung Universitas Hasanuddin sebagai research
university, dengan pendekatan yang belum banyak dilakukan oleh mahasiswa,
8
khususnya mahasiswa Magister Manajemen Strategik Universitas Hasanuddin, yaitu
pendekatan kualitatif.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berharga mengenai
pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja pada satuan kerja (satker) Universitas
Hasanuddin. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan konseptual
berupa dalil atau prinsip-prinsip dalam pelaksanaan Penganggaran Berbasis
Kinerja di lingkungan Kemendikbud.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. Sebagai masukan/bahan pertimbangan bagi Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan dalam mengambil keputusan/kebijakan mengenai pelaksanaan
Penganggaran Berbasis Kinerja oleh Satuan Kerja (satker) Universitas
Hasanuddin.
b. Sebagai masukan/bahan pertimbangan bagi Pendidikan Tinggi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengevaluasi lebih lanjut pelaksanaan
Penganggaran Berbasis Kinerja oleh satuan kerja (satker) di lingkungannya.
c. Sebagai masukan bagi semua pihak yang memerlukan informasi mengenai
pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja pada Satuan Kerja (satker)
Universitas Hasanuddin.
E. Sistematika Penulisan
9
Penelitian studi kasus (internship) ini secara keseluruhan disajikan dalam 5
bab, yaitu: Bab I Pendahuluan, berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Pembahasan; Bab II Telaah
Pustaka, berisi tentang telaah teori yang digunakan dalam penelitian yaitu Konsep
New Public Management (NPM), Konsep Penganggaran Berbasis Kinerja
(Performance Based Budgeting), Tujuan Penganggaran Berbasis Kinerja, Manfaat
dan Karakteristik Sistem Anggaran Berbasis Kinerja, Struktur Anggaran Berbasis
Kinerja, Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja, Dasar Hukum Sistem Anggaran
Berbasis Kinerja, Keunggulan Anggaran Berbasis Kinerja, Prasyarat Implementasi
Anggaran Berbasis Kinerja, Pengertian Kinerja Keuangan, Tujuan Pengukuran
Kinerja Keuangan, Teknik Pengukuran Value for Money, Kerangka Pemikiran dan
Telaah Penelitian Sebelumnya; Bab III Metode Penelitian, berisi tentang Desain
Penelitian, Alasan Pemilihan Setting, Lokasi dan Waktu Penelitian, Teknik
Pengumpulan Data, Narasumber/Informan, Keterbatasan Penelitian;
10
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Dalam setiap melakukan penelitian, tinjauan pustaka mempunyai fungsi
membantu penentuan tujuan dan alat penelitian dengan memilih konsep-konsep yang
tepat. Tinjauan pustaka digunakan sebagai kerangka dasar dalam melakukan analisis
terhadap objek yang diteliti. Sehingga pada dasarnya, tinjauan pustaka mempunyai
fungsi untuk menjelaskan hubungan yang akan dipergunakan untuk menjelaskan
gejala dan permasalahan yang akan diteliti. Studi kasus tentang Implementasi Strategi
Penganggaran Berbasis Kinerja ini meninjau pustaka baik itu dari landasan teori yang
ada maupun dari penelitian sebelumnya.
A. Landasan Teori
Untuk meninjau pustaka dari landasan teori, laporan internship ini mengkaji
konsep New Public Management (NPM), konsep Penganggaran Berbasis Kinerja
(Performance Based Budgeting), dan pengalaman-pengalaman dalam pelaksanaan
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting). Disamping itu juga
mengkaji teori implementasi kebijakan yang dapat digunakan untuk menjelaskan
permasalahan yang ditemukan dalam penelitian.
1. New Public Management (NPM)
Sejak pertengahan tahun 1980-an, telah terjadi perubahan manajemen sektor
public yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku,
11
birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan
lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan
sederhana, tetapi perubahan besar yang telah mengubah peran pemerintah terutama
dalam hal hubungan antara pemerintah dan masyarakat (Djedje Abdul Aziz dkk,
2007). Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor publik tersebut adalah
pendekatan New Public Management (NPM).
Model NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada
kinerja, bukan pada kebijakan. Penggunaan paradigma baru tersebut menimbulkan
beberapa konsekuensi pada pemerintah, diantaranya adalah tuntutan untuk melakukan
efisiensi,pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender. Salah satu model
pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne
dan Gaebler (1995) adalah sebagai berikut:
1. pemerintahan katalis (fokus pada pemberian arahan bukan produksi layanan
publik),
2. pemerintah milik masyarakat (lebih memberdayakan masyarakat dari pada
melayani),
3. pemerintah yang kompetitif (mendorong semangat kompetisi dalam
pemberian pelayanan publik),
4. pemerintah yang digerakkan oleh misi (mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan menjadi digerakkan oleh misi),
5. pemerintah yang berorientasi hasil (membiayai hasil bukan masukan),
6. pemerintah berorientasi pada pelanggan (memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi),
7. pemerintah wirausaha (mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan),
12
8. pemerintah yang antisipatif (berupaya mencegah daripada mengobati),
9. pemerintah desentralisasi (dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja), dan
10. pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (mengadakan perubahan
dengan mekanisme pasar/sistem insentif dan bukan mekanisme
administratif/sistem prosedur dan pemaksaan).
Tujuan New Public Management adalah untuk mengubah administrasi yang
sedemikian rupa sehingga administasi publik sebagai penyedia jasa bagi masyarakat
harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien dan efektif,
namun tidak berorientasi kepada laba (Osborne dan Gaebler, 1995).
Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan
syarat didukung oleh birokrat, politisi dan masyarakat. Adapun perangkat-perangkat
dari New Public Management (Djedje Abdul Aziz dkk, 2007) adalah beberapa hal
berikut ini.
a. Manajemen Kontrak
Manajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasi melalui
kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai. Kesepakatan ini
mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih sampai dengan pengawasan terhadap
proses pencapaian tujuan tersebut.
Landasan manajemen kontrak adalah kontrak atau perjanjian antara pihak
politisi (Parlemen atau DPR) dengan pihak yang akan memberikan layanan atau
pemerintah sebagai pelaksana. Kontrak ini menyangkut kesepakatan tujuan yang
bersifat mengikat tentang jangka waktu yang telah ditetapkan, yang mengandung
unsur-unsur, yaitu ditetapkannya produk atau kinerja yang harus dilakukan
berdasarkan kuantitas dan kualitas serta anggaran yang dibutuhkan. Si pemberi order
menjelaskan produk yang diinginkan, tetapi tidak menentukan bagaimana proses
13
kerja tersebut dilakukan. Artinya, bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produk
yang diinginkan oleh pemberi order merupakan urusan mereka sendiri dengan
diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri cara untuk menghasilkan produk
yang diminta.
Unsur lainnya yang mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalah
penerapan sistem pelaporan yang menyediakan seluruh informasi mengenai
pelaksanaan kinerja kepada pihak pemberi order dengan mendokumentasikan
kemajuan kinerja sedemikian rupa sehingga di dalam pembahasan didukung oleh
data-data kinerja untuk kepentingan evaluasi.
b. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)
Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak di
dalam penyelenggaraannya berorientasi pada hasil (output) kerja. Namun sampai
dengan hari ini masih banyak negara yang pengendalian administrasi publiknya masih
dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secara sentral.
Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan
oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu, namun tidak
ada bagian penjelasan atau keterangan dalam anggaran itu yang menyatakan dengan
jelas kinerja atau produk apa yang akan dihasilkan dengan uang itu dan apa yang
benar-benar diharapkan pemerintah dari anggaran tersebut.
c. Controlling
Controlling diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan
administrasi secara efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi dengan baik, pengawasan harus
14
menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan tujuan
mengendalikan proses. Controlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung
pada, pertama, kalkulasi biaya dan produk kerja, dimana penerapan kalkulasi biaya
kerja ini merupakan beban yang berat dalam adminstrasi publik karena itu dibutuhkan
perombakan cara berpikir karena instrumen ini merupakan satu persyaratan untuk
mencapai efisiensi. Kalkulasi biaya administrasi memberikan data mengenai seberapa
jauh produksi yang hendak dilakukan dalam administrasi publik dan bidang apa saja
yang bisa diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, untuk dapat menekan
biaya.
Kedua, adanya pelaporan. Keleluasaan yang muncul dengan adanya
desentralisasi dan pendelegasian wewenang harus dihubungkan oleh kewajiban
membuat laporan oleh pihak yang diberikan keleluasaan dan wewenang kepada si
pemberi order mengenai apa yang telah mereka lakukan dengan dana yang telah
dipercayakan kepada mereka dan apakah mereka telah mencapai tujuan dan standar
mutu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ketiga adalah penganggaran. Penganggaran dalam konteks new public
management berangkat dari metode arus balik, di mana politik atau parlemen
menetapkan kerangka acuan bagi administrasi (pemerintah) untuk menentukan
anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini diperbandingkan
dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottom-up untuk dirundingkan suatu
anggaran yang akan ditetapkan.
d. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan
Prinsip new public management menekankan bahwa “segala sesuatu yang
tidak bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengandung makna
bahwa administrasi bukanlah tujuan akhir, mempunyai satu tugas yaitu memberikan
15
layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa negara
pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang
merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai warga pembayar pajak
kepada negara. Ini artinya, warga tidak dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai
pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya, mempunyai hak atas layanan
dalam jumlah dan kuantitas tertentu.
Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang kadang-
kadang bersaing dengan pihak swasta, tetapi di lain pihak, dalam bidang-bidang
tertentu memonopoli layanan jasa, dengan memberikan layanan dengan kualitas
maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi publik lainnya. Tugas
admistrasi (pemerintah) adalah menciptakan transparansi dan tercapainya layanan,
memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta menciptakan kondisi
yang berorientasi pada pelayanan.
e. Personalia
Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.
Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber daya
manusia dimanfaatkan secara maksimal dan memperbaiki jika ada kekurangan.
Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan dengan menentukan
tujuan-tujuan yang jelas dan menunjukkan keuntungan apa saja yang mereka miliki
dengan tujuan yang jelas tersebut, meningkatkan kompetensi dan kualitas pegawai, di
mana proses untuk menjadi karyawan dalam kantor publik harus berdasarkan
kualifikasi dan reliabilitas.
f. Teknik Informasi
Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas serta berbagai bentuk
pengendaliannya membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna.
16
Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk
pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan
pelanggan, membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisa
dilakukan dengan cepat, akurat dan dapat dipercaya.
g. Manajemen Mutu
Manajemen mutu di sini adalah bahwa ‘administrasi’ melakukan segala
sesuatu dalam rangka mengorganisir proses-proses produksi, standar dan sumber
daya bersama para pegawai. Tujuannya adalah merespon kebutuhan pelanggan
(dalam hal ini adalah masyarakat).
2. Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting)
Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran negara telah mengalami banyak
perkembangan. Sistem perencanaan anggaran negara pada saat ini telah mengalami
perkembangan dan perubahan sesuai dengan dinamika manajemen sektor publik dan
tuntutan yang muncul di masyarakat, yaitu sistem penganggaran dengan pendekatan
New Public Management (NPM).
Munculnya konsep New Public Management (NPM) berpengaruh langsung
terhadap konsep anggaran negara pada umumnya. Salah satu pengaruh itu adalah
terjadinya perubahan sistem anggaran dari model anggaran tradisional menjadi
anggaran yang lebih berorientasi pada kinerja. Kinerja adalah gambaran pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006:274). Setiap kegiatan organisasi harus
diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan visi dan misi organisasi. Produk dan
17
jasa akan kehilangan nilai apabila kontribusi produk dan jasa tersebut tidak dikaitkan
dengan pencapaian visi dan misi organisasi.
Anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan perkiraan
penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa
periode mendatang. Anggaran sektor publik adalah rencana kegiatan dan keuangan
periodik (biasanya dalam periode tahunan) yang berisi program dan kegiatan dan
jumlah dana yang diperoleh (penerimaan/pendapatan) dan dibutuhkan
(pengeluaran/belanja) dalam rangka mencapai tujuan organisasi publik.
Menurut Govermental Accounting Standards Board (GASB) dalam Bastian
(2006:164), definisi anggaran (budget) adalah:
.........rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang
diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya
dalam periode waktu tertentu.
Sedangkan Penganggaran (budgeting) merupakan aktifitas mengalokasikan
sumberdaya keuangan yang terbatas untuk pembiayaan belanja organisasi yang
cenderung tidak terbatas (Haryanto, Sahmuddin, Arifuddin: 2007). Dengan demikian,
Performance Based Budgeting (Penganggaran Berbasis Kinerja) adalah sistem
penganggaran yang berorientasi pada ‘output’ organisasi dan berkaitan sangat erat
dengan visi, misi dan rencana strategis organisasi. Ciri utama Performance Based
Budgeting adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan (input) dan hasil yang diharapkan (outcomes), sehingga dapat memberikan
informasi tentang efektivitas dan efisiensi kegiatan. (Haryanto, Sahmuddin,
Arifuddin: 2007).
Sistem penganggaran yang berbasis kinerja (Performance Based Budgeting)
merupakan sistem yang saat ini berkembang pesat dan banyak dipakai oleh negara-
18
negara maju di dunia sebagai pengganti sistem penganggaran lama yaitu sistem Line
Item Budgeting (Bastian,2006:170). Dalam sistem Line Item Budgeting penekanan
utama adalah terhadap input, di mana perubahan terletak pada jumlah anggaran yang
meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan kurang menekankan pada output
yang hendak dicapai dan kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan yang
ditetapkan secara nasional.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja
yang ditekankan adalah berbagai segi yang akan dicapai (output), seperti
pembangunan sosial ekonomi dan aspek fisik yang terukur dengan jelas. Ditekankan
pula segi-segi fungsional dari masing-masing lembaga/departemen, pengelompokan
setiap kegiatan proyek yang berorientasi pada pengendalian anggaran dan
menekankan pula pada efisiensi pelaksanaan program.
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004, maka dilaksanakan pula perubahan pengelolaan keuangan daerah, melalui
reformasi anggaran yaitu dari sistem anggaran tradisional (traditional budgeting) ke
performance budget.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-
perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut:
1. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang
menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran,
mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional
dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perguruan tinggi
dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
19
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian
di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan
berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama,
harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan
fiskal dalam jangka menengah. Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan
analisis apakah perguruan tinggi perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang
ada, termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar kebijakan-
kebijakan baru dapat diakomodasikan.
2. Penerapan penganggaran secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan perguruan tinggi disusun secara
terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja
pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian
upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan
memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja.
Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat
penting untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat
investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
3. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari
pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung
perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat
proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah.
Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan
20
perguruan tinggi harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah
ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Performance budgeting adalah teknik anggaran yang mengikuti pendekatan
New Public Management, yang berfokus pada manajemen sektor publik yang
berorintasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Hal ini menimbulkan beberapa
konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi,
pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender. NPM memberikan
perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem manajemen
tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen
sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar.
Anggaran kinerja adalah sebuh sistem anggaran yang mengutamakan upaya
pencapian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
anggaran berbasis kinerja juga dapat dimengerti sebagai hasil penganggaran yang
mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan
keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari
keluaran tersbut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target kinerja pada
setiap unit kerja.
Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi
manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-
kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam
target kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai,
dituangkan dalam program, diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat
pencapaian tujuan.
21
Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja dalam Pedoman
Reformasi Perencanaan dan Penganggaran (2009), prinsip-prinsip yang digunakan
dalam penganggaran berbasis kinerja meliputi:
1. Alokasi anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcome oriented)
Alokasi anggaran yang disusun dalam dokumen rencana kerja dan anggaran
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumbedaya yang efisien. Dalam hal ini program dan kegiatan harus
diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan dalam rencana.
2. Fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga
prinsip akuntabilitas (let the manager manages)
Prinsip tersebut menggambarkan keleluasaan manager unit kerja (dalam hal ini
Kuasa Pengguna Anggaran) dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai
keluaran sesuai rencana. Keleluasaan tersebut meliputi penentuan cara dan tahapan
suatu kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasilnya pada saat pelaksanaan
kegiatan, yang memungkinkan berbeda dengan rencana kegiatan. Cara dan tahapan
kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat perencanaan merupakan dasar dalam
pelaksanaan kegiatan. Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
seorang manager unit kerja bertanggungjawab atas penggunaan dana dan
pencapaian kinerja yang telah ditetapkan (outcome).
3. Money Follow Function, Function Followed by Structure
Money Follow Function merupakan prinsip yang menggambarkan bahwa
pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan
fungsi unit kerja sesuai maksud pendiriannya (biasanya dinyatakan dalam
peraturan perundangan yang berlaku). Selanjutnya prinsip tersebut dikaitkan
dengan prinsip Function Followed by Structure, yaitu suatu prinsip yang
22
menggambarkan bahwa struktur organisasi yang dibentuk sesuai dengan fungsi
yang diemban. Tugas dan fungsi suatu organisasi dibagi habis dalam unit-unit
kerja yang ada dalam struktur organisasi dimaksud, sehingga dapat dipastikan
tidak terjadi duplikasi fungsi-fungsi.
Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja, berdasarkan Pedoman
Reformasi Perencanaan dan Penganggaran (2009), terdapat elemen-elemen utama
yang harus harus ditetapkan terlebih dahulu yaitu:
1. Visi dan Misi yang hendak dicapai.
Visi mengacu kepada hal yang ingin dicapai dalam jangka panjang sedangkan misi
adalah kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.
2. Tujuan.
Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Tujuan tergambar
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang menunjukkan
tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi dan misi yang
telah ditetapkan. Tujuan harus menggambarkan arah yang jelas serta tantangan
yang realisitis. Tujuan yang baik bercirikan, antara lain memberikan gambaran
pelayanan utama yang akan disediakan, secara jelas menggambarkan arah
organisasi dan program-programnya, menantang namun realistis,
mengidentifikasikan obyek yang akan dilayani serta apa yang hendak dicapai.
3. Sasaran.
Sasaran menggambarkan langkah-langkah yang spesifik dan terukur untuk
mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusun anggaran untuk mencapai
tujuan dengan menetapkan target tertentu dan terukur. Kriteria sasaran yang baik
adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik, terukur, dapat dicapai,
relevan, dan ada batasan waktu (specific, measurable, achievable, relevant,
23
timely/SMART) dan yang tidak kalah penting bahwa sasaran tersebut harus
mendukung tujuan (support goal).
4. Program.
Program adalah sekumpulan kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai bagian dari
usaha untuk mencapai serangkaian tujuan dan sasaran. Program dibagi menjadi
kegiatan dan harus disertai dengan target sasaran output dan outcome. Program
yang baik harus mempunyai keterkaitan dengan tujuan dan sasaran serta masuk
akal dan dapat dicapai.
5. Kegiatan.
Kegiatan adalah serangkaian pelayanan yang mempunyai maksud menghasilkan
output dan hasil yang penting untuk pencapaian program. Kegiatan yang baik
kriterianya adalah harus dapat mendukung pencapaian program. Dalam menyusun
anggaran berdasarkan kinerja, organisasi ataupun unit organisasi tidak hanya
diwajibkan menyusun anggaran atas dasar fungsi, program, kegiatan, dan jenis
belanja tetapi juga menetapkan kinerja yang ingin dicapai. Kinerja tersebut antara
lain dalam bentuk keluaran (output) dari kegiatan yang akan dilaksanakan dan
hasil (outcome) dari program yang telah ditetapkan. Apabila telah ditetapkan
prestasi (kinerja) yang hendak dicapai, baru kemudian dihitung pendanaan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran atau hasil yang ditargetkan sesuai
rencana kinerja.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan RI No. 102/2008 tentang
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Tahun 2009, penerapan
penganggaran berbasis kinerja yang efektif membutuhkan pra-kondisi sebagai
berikut:
24
a. Telah tercipta sebuah lingkungan atau kondisi yang mendukung dan
berorientasi pada pencapaian kinerja.
b. Sistem kontrol yang efektif, memerlukan mekanisme akuntabilitas masing-
masing pimpinan kementrian/lembaga (managerial accountability).
c. Telah tersedia sistem dan metode akuntansi yang handal sebelum
diterapkannya sistem keuangan yang terintegrasi (integrated financial
management system).
d. Telah terbentuk sebuah mekanisme pengalokasian sumber daya yang
berorientasi pada output.
e. Telah berjalannya sistem audit keuangan yang efektif sebelum audit kinerja
(performance audit) dilakukan.
3. Tujuan Penganggaran Berbasis KInerja
Dengan anggaran berbasis kinerjea (ABK) diharapkan rencana dan program-
program pembangunan yang disusun dapat mengarah kepada :
- Terwujudnya sasaran yang ditetapkan,
- Dicapainya hasil yang optimal dari setiap investasi yang dilakukan guna
meningkatkan kualitas pelayanan public,
- Tercapainya efisiensi serta meningkatkan produktivitas didalam pengelolaan
sumber daya dan peningkatan kualitas produk serta jasa untuk mewujudkan
kesinambungan pembangunan dan kemandirian nasional,
- Mendukung Alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan yang
dilaksanakan.
Tujuan penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja berdasarkan Pedoman
Reformasi Perencanaan dan Penganggaran (2009) diharapkan:
25
1. Menunjukkan keterkaitan antara pendanaan dan prestasi kerja yang akan
dicapai (directly linkages between performance and budget).
2. Meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan (operational
efficiency).
3. Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas
dan pengelolaan anggaran (more flexibility and accountability).
Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja, berdasarkan
4. Manfaat dan Karakteristik SistemAnggaran Berbasis Kinerja
Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan anggaran yang berbasis kinerja,
yaitu :
1. Teridentifikasinya output dan outcome yang dihasilkan dari setiap program
dan pelayanan yang dilakukan,
2. Diketahuinya dengan jelas target tingkat pencapaian output dan outcome,
3. Terkaitnya biaya atau input yang dikorbankan dengan hasil yang diinginkan
dan proses perencanaan strategis yang sebelumnya dilakukan,
4. Dapat diketahuinya urutan prioritas untuk setiap jenis pengeluaran yang
dilakukan oleh unit kerja,
5. Setiap unit atau satuan kerja dapat diminta pertanggung-jawaban atas hasil
yang dicapainya.
Karakteristik anggaran berbasis kinerja, yaitu :
1. Berorientasi pada aktifitas, bukan pada unit kerja sehingga menuntut
koordinasi yang baik antar unit atau satuan kerja yang ada;
2. Perhatian lebih terfokus pada hasil (outcome);
26
3. Memberikan focus perhatian lebih pada kerja atau aktifitas dan bukan pada
pekerja atau serta item barang atau jasa yang dibeli;
4. Memiliki alat ukur (indicator) kinerja sehingga memudahkan dalam proses
evaluasinya;
5. Lebih sesuai diterapkan untuk memenuhi tuntutan efisiensi, efektifitas, dan
akuntabilitas.
Dapat disimpulkan bahwa anggaran kinerja (performance budget) adalah hasil
penganggaran dengan pendekatan New Public Management. Anggaran kinerja sangat
menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output atau
outcome. Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan pembuatan
prioritas tujuan serta pendakatan yang sistematis dan rasional dalam proses
pengambilan keputusan.
Beberapa tolok ukur dalam menilai pelaksanaan sistem anggaran kinerja yang
membedakan dengan sistem anggaran lainnya, yaitu sebagai berikut:
1. Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Undang-undang 32 tahun 2004 Pasal 11,12,13,14 (tentang pembagian urusan
pemerintah), misalnya :
a. perencanaan dan pendendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
27
i. fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal yang berkaitan dengan kinerja anggaran, pemerintah daerah harus
menyusun APBD berdasarkan SPM, yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Kinerja yang dimaksud dalam SPM ini adalah target-target yang menjadi tolok ukur
yang ditetapkan sebagai indicator-indikator keberhasilan suatu kegiatan yaitu ;
indicator output, outcome, benefit, impact, dan hal ini digunakan untuk menetapkan
analisis standar biaya (ASB) serta menghitung rencana anggaran kegiatan. Program
dan rencan kegiatan termasuk tokol ukur kinerjanya yang merupakan pelaksanaan
dari urusan wajib selanjutnya dituangkan dalam rencana kinerja instansi terkait.
2. Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan
tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja sebagai
beikut:
a. Input, yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besarnya sumber
daya yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan.
b. Output, yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang/jasa) yang
dihasilkan dari program sesuai dengan masukan yang digunakan.
28
c. Outcomes, yaitu tolok ukur kinerja yang berdasarkan tingkat keberhasilan
yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program yang telah dilaksanakan.
d. Benefit, yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan atau
hasil yang dapat dirasakan.
e. Impacts, yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi
makro dari manfaat yang ingin dicapai.
Penerapan indikator kinerja ini berprinsip pada relevansi, komunikatif,
konsisten, dapat dibandingkan, dan andal.
3. Analisis Standar Biaya
Analisis strandar biaya adalah standar dan pedoman yang bermanfaat untuk
menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh unit kerja dalam satu tahun anggaran. ASB juga berguna dalam
menilai dan menentukan rencana program, kegiatan dan anggaran belanja yang
memenuhi tiga prinsip, yaitu ekonomis, efisien dan efektif.
Standar biaya merupakan komponen lainnya yang harus dikembangkan untuk
dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Standar biaya
adalah harga satuan unit biaya yang berlaku bagi masing-masing daerah. Penetapan
standar biaya akan membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau
kegiatan bagi daerah yang bersangkutan.
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik berbasis kinerja ini memiliki
karakteristik umum, yaitu :
1. Komprehensif/komparatif,
2. Terintegrasi dan lintas departemen,
3. Proses pengambilan keputusan yang rasional dan berjangka panjang,
4. Spesifikasi tujuan dan perankingan prioritas,
29
5. Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
6. Berorientasi input, output dan outcome (value for money), bukan sekedar
input.
7. Adanya pengawasan kinerja.
.
5. Struktur Anggaran Berbasis KInerja
Struktur anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang dirinsi menurut
organisasi, fungsi, kelompok, dan jenis belanja (mardiasmo, 2002:185). Pendapatan
adalah semua penerimaan dalam periode tahun anggaran tertentu. Pembiayaan adalah
transaksi keuangan untuk menutup selisih antara pendapatan dengan belanja.
Menurut Robby Sirait (2008) ada beberapa struktur yang perlu diperhatikan
dalam penerapan anggaran berbasis kinerja yaitu :
1. Information base
2. Analytical Techniques
3. Interaction among budget actor’s
4. Spending criteria
Information base merupakan suatu mekanisme menjelaskan secara detail
mengenai pengeluaran pemerintah dalam anggaran, penjelasan tersebut meliputi
informasi keuangan (expenditure) yang tidak hanya sekedar dokumentasi pembayaran
tetapi informasi yang lebih terperinci tentang pengeluaran yang telah dilakukan
pemerintah, narasi pengeluaran serta berapa persen tingkat penyelesaian dengan
pengeluaran tersebut.
Analytical Techniques merupakan suatu teknik analisis proyek dengan
melakukan kalkulasi yang lebih eksplisit dan tidak hanya sebatas perhitungan yang
30
bersifat intuitif, experiental dan subjektif. Teknik ini meliputi plan of work, cost
accounting dan operation research.
Interaction among budget actor’s menjelaskan bahwa harus terjadi interaksi
antar pelaku yang berkaitan dengan penyusunan anggaran legislatif, pemerintah
daerah dan pelaksana anggaran sehingga seluruh yang berkepentingan dengan
anggaran tersebut dapat menilai performa anggaran. Dengan interaksi ini juga
diharapkan pelaksanaan anggaran dilakukan langsung oleh daerah yang bersangkutan
atau wilayah tempat pelaksana program anggaran sehingga pencapain performa dapat
diicapai secara fleksibel dan optimal.
Spending criteria menjelaskan bahwa dalam penganggaran harus ada
pengukuran efisiensi antara input dan output, perhitungan ini tidak hanya
memperhitungkan biaya saja tanpa memperhatikan benefit dari output atau sebaliknya
tetapi harus kedua-duanya sehingga mekanisme control dan pencapaian program
anggaran tercapai.
Dari kajian beberapa pendapat, diperoleh hasil bahwa dalam kaitannya dengan
struktur, anggaran berbasis kinerja harus memuat komponen tolak ukur dan target
kinerja, standar biaya, dan klasifikasi anggaran. Tolak ukur dan target kinerja terdiri
dari input, output, dan outcome. Standar biaya meliputi rincian perhitungan harga
satuan unit biaya yang berlaku. Dengan adanya standar biaya, setiap unit kerja
diharapkan mampu menyusun anggaran berdasarkan skala prioritas. Selain itu dikenal
anggaran defisit dan sisa anggaran (anggaran surplus). Defisit anggaran merupakan
konsekuensi logis dari belanja yang lebih besar dari pendapatannya. Sedangkan sisa
anggaran (anggaran surplus) terjadi karena adanya penghematan. Dalam hal
klasifikasi anggaran, anggaran disusun berdasarkan sasaran strategis dan dirinci
menurut jenis belanja untuk setiap program /kegiatan.
31
6. Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja
Menurut Akhmad Solikin (2006) dalam mengimplementasikan anggaran
berbasis kinerja harus melibatkan empat tahap yaitu :
1. Tahap persiapan
2. Tahap Ratifikasi (penetapan)
3. Tahap Implementasi
4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi
Berkaitan dengan proses penyusunan, anggaran pendapatan akan disusun oleh
unit kerja berdasarkan pada sasaran, target dan biaya yang rasional obyektif serta
sesuai dengan jenis dan fungsi alokasinya. Sasaran dan target merupakan tolak ukur
keberhasilan kinerja harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Besarnya biaya
dan alokasi belanja untuk menilai apakah sasaran dan target dapat dicapai secara
optimal atau tidak. Dalam pengalokasian anggaran, apakah belanja tersebut
manfaatnya lebih banyak diterima oleh aparatur pemerintah atau oleh masyarakat,
dan apakah alokasi tersebut ditujukan untuk administrasi umum ataukah untuk
belanja modal.
Semua kegiatan penyusunan rencana anggaran menjadi tanggung jawab unit
kerja, yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk rencana anggaran satuan kerja
(RASK). Berkaitan dengan pertanggungjawaban publik, APBD tersebut secara etis
harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan secara legal kepada
stakeholder.
Penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun orientasi output. Jadi,
apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus
focus pada “apa yang ingin dicapai” Jika fokus ke “Output”, berarti pemikiran
32
tentang’ “tujuan” kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah kita menyusun
anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain
efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Dengan membangun suatu
system penganggaran yang dapat memudahkan perencanaan kinerja dengan anggaran
tahunan akan terlibat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang
diharapkan.
Untuk dapat menyusun Anggaran Berbasis Kinerja terlebih dahulu harus
disusun perencanaan strategic (Renstra). Penyusunan Renstra dilakukan secara
obyektif dan melibatkan seluruh komponen yang ada. Agar system dapat berjalan
dengan baik perlu ditetapkan beberapa hal yang sangat menentukan yaitu standar
harga, tolak ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.Pengukuran kinerja (tolak ukur) yang digunakan
utnuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan
sesuai dengan sasaran dan tugas yang ditetapkan dalam mewujudkan visi dan misi
suatu organisasi.
Menurut Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasisi Kinerja (Deputi IV
BPKP), kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan
implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu :
1. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang,waktu
dan orang).
4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
33
Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah
implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas
kinerja, baik dari sisi efisiensi dan efektifitas dari suatu program/kegiatan. Cara
pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil terhadap
target (dari sisi efektivitas) dan realisasi terhadap pemanfaatan sumber daya (dilihat
dari sisi efisiensi). Hasil dari evaluasi kinerja merupakan umpan balik (feed back)
bagi suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya.
7. Dasar Hukum Sistem Anggaran KInerja
Adapun dasar hukum penerapan system anggaran kinerja sebagaimana
tercantum dalam Diklat PK (2003:1) adalah sebagai berikut :
1. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
2. UU No.32 dan 33 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
3. PP No.105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan pertanggungjawaban
Keuangan Daerah,
4. Keputusan Menteri Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tantang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas merupakan dasar hukum
penetapan sistem anggaran kinerja, sehingga dalam penerapan sistem anggaran
kinerja pun harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan tersebut.
8. Keunggulan Anggaran Berbasis KInerja
34
Menurut Sjahruddin Rasul (2003:51) system anggaran kinerja memiliki
beberapa keunggulan, diantaranya :
1. Fokus pada hasil-hasil (Focuses on results),
2. Lebih fleksibel (Flexibility),
3. Lebih dapat dievalusi (Evaluability),
4. Mempemudah pengambilan keputusan (Easier decision making),
5. Perspektif jangka panjang (Has a long-term perspektive).
Fokus pada hasil artinya adanya keterkaitan antara anggaran dengan hasil,
akan mendorong perubahan arah pengambilan keputusan, termasuk pengawasan
anggaran dari pengendalian masukan-masukan keuangan kearah pengendalian hasil
atau outcomes. Juga akan lebih mendorong usaha-usaha untuk menciptakan good
governance, dalam hal ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pengendali inputs saja,
tetapi juga sebagai alat akuntabilitas publik.
Lebih fleksibel dalam konteks pergeseran anggaran dari satu jenis belanja ke
belanja yang lain menjadi lebih mudah, sebab instansi pengguna anggaran dapat
melakukan pergeseran anggaran sepanjang berada dalam lingkup sasaran strategis yang
sama (inter sasaran). Adanya fleksibilitas secara otomatis mampu mendorong
menciptakan keekonomisan dan efisiensi anggaran.
Lebih dapat dievalusi maksudnya adanya keterkaitan antara sasaran strategis
yang ingin dicapai dengan jumlah dana yang dialokasikan akan memudahkan
perencanaan dan pelaksanaan evaluasi yang bersifat menyeluruh, baik dari segi
pencapaian sasaran,perumusan, dan implementasi program/kegiatan, maupun proses
penetapan dan pengendalian anggaran serta analisis kinerja.
Mempermudah pengambilan keputusan yaitu system anggaran kinerja dapat
membantu proses pengambilan keputusan menjadi lebih mudah dan efektif, sebab
35
terdapat muatan informasi kinerja menjadi focus pertimbangan para pengambil
keputusan.
Perspektif jangka panjang artinya ada perencanaan strategis yang bersifat
jangka menengah (umumnya untuk periode lima tahunan),berarti mengakui adanya
hubungan antara perencanaan jangka menengah dengan alokasi sumber daya, yang
pada akhirnya akan member focus pada perspektif waktu yang lebih panjang dalam
keputusan penganggaran.
9. Prasyarat Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja
Beberapa prasyarat mendasar yang diperlukan untuk menjamin efektivitas
penerapan anggaran berbasis kinerja menurut Sjahruddin Rasul (2003:55) adalah
sebagai berikut :
1. Kejelasan sasaran strategis,
2. Pengembangan dan ketersediaan indikator kinerja,
3. Adanya keterkaitan yang jelas antara sasaran strategis dengan indikator
kineja,
4. Kejelasan akuntabilitas kinerja dan laporan akuntabilitas kinerja yang
menekankan pada outcome,
5. Perlu perencanaan lebih awal,
6. Leadership untuk mempromosikan perubahan,
7. Kehati-hatian dalam implementasi
Kejelasan sasaran strategis maksudnya setiap lembaga pengguna anggaran
harus mengembangkan rencana strategis dengan focus pada hal-hal yang ingin
dicapainya. Rencana tersebut harus berisikan sasaran berdasarkan outcame yang
akhirnya dapat dirasakan secara langsung manfaat dan dampaknya oleh masyarakat.
36
Sasaran strategis yang jelas akan lebih memudahkan para pengambil keputusan,
khususnya dalam proses alokasi anggaran sesuai prioritas yang ditetapkan dalam
kerangka pengeluaran jangka menengah.
Pengembangan dan ketersediaan indikator kinerja maksudnya instansi
pengguna anggaran harus mengembangkan indicator kinerja (khususnya outcome)
secara spesifik dan sistematis, untuk menentukan seberapa baik suatu instansi
mencapai sasaran strategisnya.
Adanya keterkaitan yang jelas antara sasaran strategis dengan indikator kineja
dapat memudahkan proses antara alokasi anggaran dengan hasil, seberapa jauh
sasaran strategis dapat dicapai sebagaimana indicator kineja.
Kejelasan akuntabilitas kinerja dan laporan akuntabilitas kinerja yang
menekankan pada outcome artinya dibutuhkan adanya suatu peraturan, pedoman
maupun petunjuk teknis yang jelas dan tegas tentang akuntabiltas kinerja yang
menekankan pada outcome. Oleh karena itu, system pengumpulan data kinerja yang
komprehensif memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas (lengkap dan
akurat) informasi yang terkandung dalam laporan akuntabilitas kinerja.
Perlu perencanaan lebih awal untuk membangun konsensus antar unit
organisasi dan membangun kompetisi pada unit-unit organisasi tersebut untuk
menghasilkan outcame terbaik dengan dana yang relative terbatas.
Leadership untuk mempromosikan perubahan. Dalam hal ini diperlukan suatu
kepemimpinan yang kuat yang memiliki komitmen mendorong kearah perubahan.
Kehati-hatian dalam implementasi. Hal ini berhubungan dengan ruang lingkup
dan langkah-langkah penerapannya, apakah serentak atau bertahap sesuai jadwal
penerapan yang ditetapkan.
37
Menurut Schick (2004) mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal yang
harus dipertimbangkan dan dipenuhi (prakondisi) sebelum memberi kewenangan
sepenuhnya kepada pengguna anggaran. Konsep Penganggaran Berbasis Kinerja
tersebut tidak bisa diterapkan secara sekaligus bila prakondisinya tidak memenuhi.
Prakondisi ini merupakan prasyarat untuk melakukan reformasi belanja negara secara
komprehensif. Kondisi tersebut adalah:
a. Sebelum penganggaran berbasis kinerja diterapkan sebaiknya telah
tercipta sebuah lingkungan atau kondisi yang mendukung dan telah
berorientasi pada kinerja.
b. Sebelum melakukan perubahan kepada kontrol terhadap output sebaiknya
telah terbentuk sistem kontrol terhadap input yang kuat.
c. Sebelum merubah sistem akuntansi menjadi sistem akrual, sebaiknya telah
berjalan system account for cash yang baik.
d. Sebelum merubah mekanisme kontrol menjadi sistem kontrol internal
sebaiknya telah terbentuk sistem eksternal kontrol yang baik dan untuk
bergeser menjadi mekanisme akuntabilitas manajerial (managerial
accountability) diperlukan sistem internal kontrol yang baik.
e. Telah beroperasinya sistem akuntansi yang handal sebelum diterapkannya
sistem keuangan yang terintegrasi (intregated financial management
system).
f. Telah terbentuk sebuah mekanisme pengalokasian yang berorientasi pada
output sebelum difokuskan pada outcome.
g. Telah berjalannya mekanisme kontrak (formal contract) dengan baik di
pasar (perekonomian) sebelum diterapkannya mekanisme kontrak kinerja
(performance contracts).
38
h. Telah berjalannya sistem audit keuangan yang efektif sebelum audit
kinerja (performance audit) dilakukan.
i. Adanya budget negara yang realistis dan predictable sebelum menuntut
para manajer untuk bertindak efisien dan efektif dalam menggunakan
anggarannya.
10. Pengertian KInerja Keuangan
Endang Wirjatmi (2005:61) mengemukakan bahwa “KInerja merupakan
tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya”.
Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003:3) “KInerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program, kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi organisasi”.
Kaplan dan Norton (1995:23) mengungkapkan bahwa “ Berdasarkan Balance
Scorecard, ukuran kinerja dapat dibedakan menjadi empat perspektif, yaitu perspektif
financial, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan”.
Sedangkan menurut Mulyadi (2001), ukuran kinerja dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :
Ukuran kinerja keuangan dan ukuran kinerja non keuangan. Kinerja keuangan
biasanya diukur berdasarkan anggaran yang telah dibuat, yaitu dengan
menganalisis varians (selisih atau perbedaan) antara kinerja actual dengan
yang dianggarkan. Sedangkan kinerja non keuangan dapat dilihat dari kualitas
pelayanan, kedisiplinan, kepuasan pelanggan dan sebagainya.
39
Lebih lanjut Mulyadi (2001) mengungkapkan bahwa “Pengukuran kInerja
keuangan merupakan penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu
organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan
kriteria sebelumnya”.
Akhmad Solikin (2006) menyatakan bahwa “Kinerja keuangan yaitu kinerja
kegiatan operasional yang berdimensi keuangan”.
Berdasarkan definisi-definis di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja
keuangan adalah ukuran keberhasilan suatu organisasi mencapai target-target yang
telah ditetapkan dalam anggarannya guna mewujudkan visi dan misi perusahaan,
Anggaran dan laporan keuangan merupakan sumber informasi dalam menilai
kinerja keuangan suatu organisasi. Dalam mengukur kinerja keuangan, Weston
(2001:237) mengklasifikasikan ukuran kinerja keuangan ke dalam tiga kelompok
yaitu: 1) Ukuran Kinerja, 2) Ukuran efisiensi operasi, 3) Ukuran kebijkan keuangan.
Ukuran-ukuran kinerja mencerminkan keputusan-keputusan strategis, operasi,
dan pembiayaan. Ukuran efisiensi operasi mencerminkan pengelolaan penggunaan
berbagai sumber daya yang dimiliki perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya.
Sedangkan ukuran keuangan mengukur kemampuan organisasi dalam memenuhi
kewajibannya dan mengukur sebatas mana total aktiva dibiayai oleh modal sendiri
dibandingkan dengan pembiayaan kreditor.
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja
(output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan
2. Output (keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan
dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan
40
3. Input (masukan) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia,
material, waktu, dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan
program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan
4. Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara input (masukan) dengan output
(keluaran).
11. Tujuan Pengukuran KInerja Keuangan
Menurut Mardiasmo ( 2002:122) secara umum, tujuan pengukuran kinerja
adalah:
1. Untuk mengkomunikasikan strategis secara lebih baik,
2. Untuk mengukur kinerja financial dan non financial secara berimbang
sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi.
3. Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manager level menengah
dan bawah serta memotivasi untuk mencapai goal congruence.
4. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual
dan kemampuan kolektif yang rasional.
Menurut Kaplan dan Norton (2001:20) manajemen memiliki kepentingan
yang sangat besar terhadap informasi kinerja keuangan, yaitu untuk :
1. Mengetahui dan menilai kinerja setiap bagian yang ada dalam organisasi,
2. Memberikan pertimbangan terhadap keputusan yang diambil.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada intinya
pengukuran kinerja bertujuan untuk melihat gambaran mengenai tingkat pencapaian
suatu target yang telah ditetapkan baik melalui alat ukur finansial maupun non
finansial.
41
Dalam organisasi pemerintahan, pengukuran kinerja keuangan sangat penting
untuk membantu memperbaiki kinerja instansi, memperbaiki pengalokasikan sumber
daya dan pembuatan keputusan, serta untuk memfasilitasi terwujudnya akuntabilitas
publik oleh organisasi dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik.
Larry D Stout (1993) dalam Bastian (2006:275) menyatakan bahwa:
“Pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur
pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission
accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa
ataupun suatu proses.”
Menurut James B. Whittaker (1993) dalam Akuntansi Sektor Publik (Bastian
2006:275) diyatakan bahwa:
“Pengukuran/penilaian kinerja adalah suatu alat manajemen untuk
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas”.
12. Teknik Pengukuran Value for Money
Kriteria pokok yang mendasari pelaksanaan manajemen publik dewasa ini
adalah ekonomi, efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas publik.Tujuan
yang dikehendaki masyarakat yang mencakup pertanggungjawaban mengenai
pelaksanaan value for money, yaitu ekonomis (hemat cermat) dalam pengadaan dan
alokasi sumber daya, efisiensi (berdaya guna) dalam penggunaan sumber daya, serta
efektif (berhasil guna) dalam mencapai tujuan dan sasaran.
Menurut Mardiasmo (2002:127) “Value for money merupakan inti
pengukuran kinerja keuangan pada instansi pemerintahan. Kinerja keuangan instansi
pemerintah harus dinilai dari sisi output, input dan outcome secara bersama-sama”.
42
Agar dalam menilai kinerja keuangan instansi pemerintah dapat dilakukan
secara objektif, maka diperlukan indikator kinerja.Menurut Mardiasmo (2002:130)
“Indikator kinerja value for money dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Indikator alokasi biaya (ekonomi dan efisiensi)
2. Indikator kualitas pelayanan (efektivitas)”.
“Indikator value for money menekankan pada tiga elemen utama yanitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas atau lebih dikenal 3E”, (Mardiasmo, 2002:4).
Ekonomi berhubungan dengan biaya pengadaan (cost of inputs). Dengan kata
lain, ekonomi adalah praktek pembelian barang dan jasa input dengan tingkat kualitas
tertentu pada harga terbaik yang dimungkinkan, mencakup juga pengelolaan secara
hati-hati atau cermat dan tidak ada pemborosan.
Efisiensi menggambarkan hubungan antara masukan sumber daya dengan
keluaran yang dihasilkan. Kegiatan dikatakan efisiensi apabila output tertentu dapat
dicapai sumber daya seminimal mungkin.
Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai
tujuannnya. Efektifitas menggambarkan kontribusi output terhadap pencapaian tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan.
Tujuan pengukuran kinerja dengan konsep value for money yaitu untuk
mengukur tingkat keekonomisan dalam alokasi sumber daya, efisiensi dalam
penggunaan sumber daya dengan hasil yang optimal serta efektivitas dalam
penggunaan sumber daya.
Indikator ekonomi, efisiensi, dan efektivitas harus digunakan secara bersama-
sama. Karena disatu pihak mungkin pelaksanaannya sudah dilakukan secara
ekonomis dan efisien akan tetapi output yang dihasilkan tidak sesuai dengan target
yang diharapkan. Sedang dipihak lain, sebuah program dapat dikatakan efektif dalam
43
mencapai tujuan, tetapi mungkin dicapai dengan cara yang tidak ekonomis dan
efisien. Jika suatu program efektif dan efisien maka program tersebut dapat dikatakan
cost-effectiveness.
Pengukuran value for money dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengukuran value for money
NILAI INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME TUJUANINPUT
EKONOMIS EFISIENSI EFEKTIFITAS (hemat) (berdaya guna) (berhasil guna)
Cost-Effectiveenes
B. Kerangka Pemikiran
Reformasi bidang keuangan di Indonesia sejak tahun 2003 membawa
perubahan mendasar pada sistem penganggaran yaitu menjadi berbasis kinerja. Akan
tetapi, meskipun sudah diamanatkan sejak tahun 2003, pelaksanaan penganggaran
berbasis kinerja sampai saat ini belum sesuai dengan harapan. Universitas
Hasanuddin merupakan salah satu organisasi publik yang harus
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran dan kinerjanya.
44
Penelitian yang dilakukan dalam implementasi strategi penganggaran
berbasis kinerja di Universitas Hasanuddin dengan model pendekatan deskriptif
kualitatif dan survey. Untuk memperoleh data dan informasi yang valid maka
digunakan teknik pengumpulan data dengan teknik wawancara langsung, kuesioner
dari beberapa sampel dengan uji validitas menggunakan skala likert serta
dokumentasi. Hasil penelitian berupa diskripsi yang menjawab atas pertanyaan
penelitian. Untuk menjelaskan kerangka pemikiran pada penelitian, sebagai berikut;
Skema Kerangka Pemikiran
Struktur Anggaran
Implementasi Anggaran
Akuntabilitas
Kinerja Keuangan
45
C. Telaah Penelitian Sebelumnya
Haoran Lu (1998) melakukan penelitian tentang hal-hal yang menghambat
dalam implementasi Performance Based Budgeting, yaitu kualitas yangg buruk dalam
pengukuran kinerja serta kurangnya dukungan dari pembuat keputuan anggaran.
Wang (1999) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa implementasi sistem
tergantung dari beberapa factor penting: (1) dukungan legislatif secara konsisten; (2)
kesepakatan ukuran kinerja; (2) komunikasi yang konsisten; (3) laporan kinerja dan
praktik manajemen yang baik; (4) pemahaman tentang bagaimana input anggaran
diubah menjadi outcomes; (5) evaluasi dari semua pihak. Robinson (2002)
menyebutkan prakondisi yang harus dimiliki untuk memberhasilkan implementasi
performance based budgeting yaitu: (1) sistem informasi kinerja yg baik; (2)
penyusunan indikator kinerja yg baik; (3) sistem akuntansi manajemen yg baik; (4)
evaluasi dan alat analisis.
Di Indonesia, penelitian tentang Penganggaran Berbasis Kinerja dilakukan
oleh Sri Rahayu, dkk (2007) dengan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi
pemahaman atas fenomena penganggaran dengan berfokus bagaimana proses
penyusunan anggaran pemerintah daerah pada tingkat satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) khususnya yang berkaitan dengan perilaku aparatur. Penelitian ini
mengambil tempat di Pemda Propinsi Jambi. Hasil dari penelitian tersebut yaitu
penerapan performance budgeting dalam proses penyusunan anggaran belum berjalan
sebagaimana yang diinginkan. Perubahan kebijakan hanya diikuti oleh daerah pada
tingkat perubahan teknis dan format, namun perubahan paradigma belum banyak
terjadi.
46
Penelitian kualitatif yang lain dilakukan oleh Nugroho Adi Utomo (2007).
Penelitian tersebut mengkaji penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Dinas
Kehutanan Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Hasil dari penelitian tersebut
yaitu penerapan Anggaran Berbasis Kinerja menghadapi tantangan antara lain terkait
data, sumberdaya manusia dan mekanisme.Penelitian kuantitatif yang relevan
dilakukan oleh Nurul Chomsiah (2007) yang meneliti tingkat kontinuitas penyediaan
informasi yang mempengaruhi tingkat keefektifan implementasi anggaran berbasis
kinerja. Firmansyah (2008) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perencanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Propinsi DKI Jakarta.
Penelitian dilakukan di lingkungan Badan Perencana Daerah dan Biro
Keuangan. Hasil penelitian menggunakan perhitungan analisis faktor dengan teknik
Principal Component Analysis menunjukkan bahwa terdapat 7 faktor yang
mempengaruhi perencanaan anggaran berbasis kinerja di Propinsi DKI Jakarta adalah
(1) faktor ketrampilan dan keahlian; (2) faktor dokumen perencanaan; (3) faktor
pengetahuan tentang anggaran; (4) faktor prosedur perencanaan anggaran; (5) faktor
data; (6) faktor informasi yang valid dan mutakhir; dan (7) faktor deskripsi kerja.
BAB III
METODE PENELITIAN
47
Metode penelitian ini akan menggambarkan desain penelitian yang
mengungkapkan jenis penelitian yang akan dilakukan, alasan pemilihan setting,
lokasi dan waktu penelitian yang merupakan periode penelitian yang diambil datanya,
serta metode pengumpulan data dan teknik analisis yang akan digunakan. Metode
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Desain Penelitian
Desain riset yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif yaitu suatu pendekatan penelitian yang membicarakan beberapa
kemungkinan untuk memecahkan masalah actual dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, megklarifikasi dan menganalisis.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti
kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi
yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3)
mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati.
Metode deskriptif disini bertujuan untuk menguraikan sifat atau karakteristik
mengenai keputusan melalui pengukuran. Tujuan riset dari desain deskriptif bersifat
suatu paparan untuk mendeskripsikan hal-hal yang ditanyakan dalam riset, seperti:
siapa, yang mana, kapan, dan di mana, studi dengan desain ini dapat dilakukan secara
sederhana atau rumit.Periset dituntut untuk melakukan riset dengan standar yang
48
layak, baik dalam perencanaannya maupun pelaksanaannya. Metode penelitian yang
digunakan adalah survei yaitu riset yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta
tentang gejala-gejala atas permasalahan yang timbul
Jenis/tipe penelitian bersifat deskriptif bertujuan memberikan gambaran
implementasi penganggaran berbasis kinerja pada Universitas Hasanuddin secara
sistematis dan analitis tentang kondisi ideal penyusunan anggaran berbasis kinerja
berdasarkan data dan informasi serta hasil wawancara dilapangan dan gambaran
sistem dan proses perencanaan pada tingkat Sub Bagian/Jurusan, Fakultas/Universitas
serta kendala yang dihadapi dalam implementasi penyusunan anggaran berbasis
kinerja dalam kaitannya dengan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan program dan
kegiatan.
B. Alasan Pemilihan Setting
Penelitian tentang Implementasi Strategi Penganggaran Berbasis Kinerja ini
menarik karena penulis merasakan bahwa pelaksanaan anggaran berbasis kinerja pada
satuan kerja (satker) Universitas Hasanuddin masih banyak masalah. Dari informasi
pendahuluan yang diperoleh, yaitu dari Bagian Perencanaan Unhas, mengindikasikan
masih banyak pelaksanaan anggaran yang tidak sesuai dengan perencanaan, seringnya
revisi dokumen pelaksanaan anggaran, serta lemahnya daya serap anggaran.
Pertimbangan lain karena Unhas merupakan universitas negeri terbesar di Indonesia
Timur yang mengelola sumber dana APBN yang sangat besar, sehingga diperlukan
pertanggungjawaban keuangan yang sangat besar juga. Di satu sisi, Unhas merupakan
universitas pertama di Indonesia Timur yang berstatus Badan Layanan Umum (BLU),
dimana pola BLU ini mempunyai fleksibilitas dalam mengelola keuangannya.
49
Dengan fleksibilitas dan tanggungjawab yang besar tentu saja banyak kendala yang
dihadapi terutama dalam hal akuntabilitas kinerja.
Disamping itu ada keunikan lain yaitu Unhas memiliki unit kerja yang banyak
(20 unit) dengan karakteristik yang berbeda, yang terdiri dari fakultas yang
mempunyai penerimaan dari dana masyarakat dan unit kerja non fakultas yang tidak
mempunyai penerimaan. Unit kerja yang banyak dengan karakteristik yang berbeda
ini tentu saja akan membuat Unhas mengalami kesulitan dalam mengelola anggaran
dan menilai kinerjanya.
C. Obyek dan Waktu Penelitian
Obyek penelitian studi kasus ini adalah Universitas Hasanuddin sebagai satker
di lingkungan pendidikan tinggi kemendikbud yang mempunyai 20 unit kerja
(subsatker) di bawahnya. Waktu penelitian yaitu bulan Januari tahun 2012 s/d bulan
Mei 2012, karena pada bulan-bulan tersebut sebagian besar proses penganggaran
sedang berlangsung.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
wawancara, kuesioner ,studi pustaka dan dokumentasi.
a. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data yang diperlukan secara face to face dengan
informan yang sesuai dengan bidang penelitian. Kerlinger (2006,p.770)
menyatakan bahwa wawancara adalah situasi peran antar pribadi bersemuka (face
to face) , ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-
50
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan
masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancarai atau responden.
Wawancara juga dilakukan secara informal guna menggali informasi mendalam
tentang kondisi dan situasi internal. Pengumpulan data melalui pengamatan
berpartisipasi dengan para informan yang dilakukan secara tidak terstruktur dan
informal dalam berbagai situasi.
b. Kuesioner
Yaitu proses pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang disusun secara
sistematis dan bersifat tertutup yaitu responden memberikan jawaban berdasarkan
pilihan jawaban yang telah disediakan (Nur Indriyanto, 1999;254).
Pertanyaan yang akan diberikan pada kuesioner ini adalah pertanyaan
menyangkut fakta dan pendapat responden, sedangkan kuesioner yang digunakan
pada penelitian ini adalah kuesioner tertutup, dimana responden diminta
menjawab berdasarkan pilihan dari sejumlah jawaban alternatif. Keuntungan
bentuk tertutup ialah mudah diselesaikan, mudah
dianalisis, dan mampu memberikan jangkauan jawaban.
c. Riset Kepustakaan
Yaitu teknik penelitian yang dilakukan dengan mempelajari dan membaca
berbagai literature yang terkait dengan pembahasan penelitian sebagai landasan
teori yang menuntun penelitian tetap pada jalur penelitian ilmiah, yaitu menelaah
beberapa kajian ilmiah dari buku-buku, jurnal, surat kabar, e-book di internet
dalam memperkaya khasanah kajian literature.
d. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai berupa dokumen, catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. Metode ini digunakan untuk
51
mengumpulkan berbagai informasi khususnya untuk melengkapi data yang tidak
diperoleh dalam observasi dan wawancara.
Adapun dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian Implementasi Strategi
Penganggaran Berbasis Kinerja ini adalah :
1. Data mengenai profil Universitas Hasanuddin mencakup : visi, misi, struktur
organisasi, sumberdaya manusia, kondisi sarana dan prasarana, serta
gambaran perencanaan dan penganggaran.
2. Data pengelolaan keuangan Universitas Hasanuddin khususnya perencanaan
dan penganggaran yang meliputi Rencana Bisnis Strategis (RSB), rencana
kinerja (renja), Rencana Kerja Anggaran Kementrian Negara/Lembaga
(RKAKL), Standar Pelayanan Minimal (SPM), Kerangka Acuan Kerja atau
Term of Reference (TOR), Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
2. Pengolahan dan Analisis Data
Menurut Hasan (2006: 24), pengolahan data adalah suatu proses dalam
memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara
atau rumus-rumus tertentu. Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari
hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk
pengkajian lebih lanjut (Sudjana, 2001: 128).
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan penghitungan
komputasi program SPSS ( Statistical Product and Service Solution ) karena program
ini memiliki kemampuan analisis statistik cukup tinggi serta sistem manajemen data
52
pada lingkungan grafis menggunakan menu-menu dekriptif dan kotak-kotak dialog
sederhana, sehingga mudah dipahami cara pengoperasiannya (Sugianto, 2007: 1).
Pengolahan data menurut Hasan ( 2006: 24 ) meliputi kegiatan:
1. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah terkumpul,
tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan
dilapangan dan bersifat koreksi.
2. Coding (Pengkodean)
Coding adalah pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam
katagori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau huruf
yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan
dianalisis.
3. Pemberian skor atau nilai
Dalam pemberian skor digunakan skala Likert yang merupakan salah
satu cara untuk menentukan skor. Kriteria penilaian ini digolongkan dalam
lima tingkatan dengan penilaian sebagai berikut:
a. Jawaban 5, diberi skor 5
b. Jawaban 4, diberi skor 4
c. Jawaban 3, diberi skor 3
d. Jawaban 2, diberi skor 2
e. Jawaban 1, diberi skor 1 (Sudjana, 2001: 106).
4. Tabulasi
Tabulasi adalah pembuatan tabel-tabel yang berisi data yang telah diberi kode
sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. Dalam melakukan tabulasi diperlukan
ketelitian agar tidak terjadi kesalahan. Tabel hasil Tabulasi dapat berbentuk:
53
a. Tabel pemindahan, yaitu tabel tempat memindahkan kode-kode dari kuesioner atau
pencatatan pengamatan. Tabel ini berfungsi sebagai arsip.
b. Tabel biasa, adalah tabel yang disusun berdasar sifat responden tertentu
dan tujuan tertentu.
c. Tabel analisis, tabel yang memuat suatu jenis informasi yang telah dianalisa
(Hasan, 2006: 20)
Analisis Data menurut Hasan ( 2006: 29) adalah memperkirakan atau
dengan menentukan besarnya pengaruh secara kuantitatif dari suatu (beberapa)
kejadian terhadap suatu (beberapa) kejadian lainnya, serta
memperkirakan/meramalkan kejadian lainnya. Kejadian dapat dinyatakan sebagai
perubahan nilai variabel. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang diperoleh baik melalui hasil kuesioner dan bantuan wawancara.
Pengolahan data dilakukan melalui sistem pengkodean dan penyimpanan serta
pengaksesan data agar mudah digunakan. Adapun strategi analisis data melalui
langkah sebagai berikut :
Pengumpulan Transkrip Pembuatan Kategorisasi data mentah data kodina data
Penyimpulan Triangulasi Penyimpulan sementara akhir
Strategi analisis data
E. Teknik Pengambilan Sampel
54
Dalam penelitian ini, metode pengambilan sampel yang digunakan adalah
metode nonprobability sampling. Pada teknik ini, unsur populasi yang ditentukan
menjadi sampel didasarkan pada tujuan penelitian. Teknik ini baru dapat digunakan
jika karakteristik populasinya, yang juga menjadi objek penelitian yang dilakukan,
telah diketahui. (Aritonang R., 2007, p103)
Non-probability sampling merupakan teknik penarikan sampel yang memberi
peluang /kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk
terpilih menjadi sampel. Dimana teknik sampel yang dipilih adalah Purposive
Sampling, yaitu teknik penarikan sampel yang dilakukan untuk tujuan tertentu saja.
Seperti masalah yang akan diteliti adalah tentang implementasi strategi penganggaran
berbasis kinerja, maka sampel yang dipilih adalah orang yang ahli atau yang terlibat
dalam penganggaran atau pengelolaan anggaran saja.
F. Operasional Variabel
Dalam penelitian ini penulis menganalisis pengaruh 2 variabel yaitu variabel
eksogen (struktur dan implementasi penganggaran berbasis kinerja) dan variable
endogen (akuntabilitas kinerja keuangan).
F. Narasumber/Informan
Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui teknik wawancara
dengan narasumber/informan dan survey. Adapun narasumber yang diwawawancarai
adalah pejabat yang memahami perumusan konsep penganggaran berbasis kinerja dan
pejabat yang berkompoten langsung terhadap perencanaan anggaran di lingkungan
kantor pusat/Universitas. Adapun informan yang menjadi target yaitu wakil rektor II,
kepala biro perencanaan, kasubag perencanaan dan kepala biro keuangan.
55
Pertimbangan pemilihan narasumber dan informan adalah dengan memperhatikan
kapasitas dan kompetensi masing-masing serta dengan memperhatikan kebutuhan
data dan informasi yang relevan dengan obyek dan topik yang diteliti, yang umumnya
adalah pejabat/pelaksana yang bersentuhan langsung dalam proses penyusunan
kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan di bidang penganggaran.
Sedangkan untuk pengambilan data melalui kuesioner adalah sampel dari
populasi dari semua unit kerja yang ada di lingkungan Universitas Hasanuddin yaitu
para pembantu dekan II, ketua/sekretaris jurusan prodi/jurusan, kasubag keuangan
dan bendahara di Unit kerja yang ada.
G. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu: pertama, penelitian hanya
memfokuskan hanya pada implementasi strategi penganggaran berbasis kinerja dalam
kurun waktu tahun 2009 sampai dengan tahun 2011. Tahun 2009 merupakan tahun
kedua diterapkannya system penganggaran berbasis kinerja, sedangkan tahun 2011
merupakan tahun awal pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) kedua. Kedua,
narasumber dan informan yang diwawancarai jumlahnya relative terbatas.
56