efektifitas pembelajaran pendekatan design for …

9
804 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR CHANGE DALAM PENGEMBANGAN KREATIVITAS ENTREPRENEURIAL LEADERSHIP ANAK USIA DINI Siti Fadjryana Fitroh 1 , Dewi Mayangsari 2 Program Studi PG PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura Email : [email protected] 1 , [email protected] 2 ABSTRAK Kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh seorang anak adalah kreativitas. Di zaman globalisasi saat ini menjadi orang kreatif sangat menguntungkan. Susahnya mencari pekerjaan, membuka peluang seseorang untuk menunjukkan kreativitasnya lewat sebuah hasil karya dan nantinya karyanya (produk) akan dipasarkan. Namun, disayangkan tidak semua orang paham berwirausaha. Dalam berwirausaha seseorang harus memiliki jiwa kepemimpinan, agar tidak mudah ditipu daya pembeli ataupun pengusaha lain. Hal ini perlu diajarkan, sehingga menjadi penting jika mulai distimulus sejak dini. Anak usia dini dengan rasa ingin tahunya yang tinggi sangat tepat jika dikembangkan kreativitas entrepreneurial leadership lewat pembelajaran yang menyenangkan. Penelitian ini memiliki tujuan antara lain ingin melihat: 1) Efektifitas penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan DFC dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD; 2) Bentuk kesulitan yang dialami guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD penerapan metode pembelajaran pendekatan DFC. Subyek penelitian anak kelompok B usia 5-6 tahun. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan datanya observasi, wawancara, dan FGD. Hasil penelitian menyatakan bahwa 1) Penerapan metode pembelajaran pendekatan Design for Change (DFC) sangat efektif dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership, nampak disetiap langkah pelaksanaan mulai dari feel, image, do dan share subyek mengalami peningkatan. 2) Hambatan yang dialami oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership anak adalah perkembangan anak dan mengenal karakteristik kepribadian anak. Kata kunci: DFC, Kreativitas, Entrepreneurial Leadership, Anak Usia Dini PENDAHULUAN Usia dini merupakan usia yang paling tepat dalam menumbuh kembangkan segala kemampuan yang dimiliki oleh anak. Karena pada masa ini anak sedang membutuhkan banyak stimulus guna mengembangkan segala kemampuan serta minat yang dimilikinya secara optimal. Hal di atas senada dengan pengungkapan Mansur (2005) yang menjelaskan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, karea memiliki sifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam prosesnya dibutuhkan sebuah wadah yang dapat mendidik dan menstimulasi anak usia dini secara tepat yakni pendidikan. Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14, upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun dilakukan melalui Pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan anak usia dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan anak usia dini jalur formal berbentuk taman kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini jalur nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS) Dalam pendidikan untuk anak usia dini baik formal, non formal ataupun informal perlu diperhatikan pula karakteristik anak, sehingga dalam menstimulus pembelajarannya dapat tepat sesuai tahapan usianya. Menurut Hartati (2005) menjelaskan bahwa karakteristik anak usia dini adalah 1) memiliki rasa ingin tahu yang besar, 2) memiliki pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap egosentris, 6) memiliki rentan daya konsentrasi yang pendek, 7) merupakan bagian dari mahluk sosial. Karakteristik diatas menggambarkan bahwa potensi harus dapat berkembang maksimal.

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

804 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR CHANGE

DALAM PENGEMBANGAN KREATIVITAS ENTREPRENEURIAL

LEADERSHIP ANAK USIA DINI

Siti Fadjryana Fitroh1, Dewi Mayangsari2

Program Studi PG PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Email : [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh seorang anak adalah kreativitas. Di zaman globalisasi saat ini

menjadi orang kreatif sangat menguntungkan. Susahnya mencari pekerjaan, membuka peluang seseorang untuk

menunjukkan kreativitasnya lewat sebuah hasil karya dan nantinya karyanya (produk) akan dipasarkan.

Namun, disayangkan tidak semua orang paham berwirausaha. Dalam berwirausaha seseorang harus memiliki

jiwa kepemimpinan, agar tidak mudah ditipu daya pembeli ataupun pengusaha lain. Hal ini perlu diajarkan,

sehingga menjadi penting jika mulai distimulus sejak dini. Anak usia dini dengan rasa ingin tahunya yang

tinggi sangat tepat jika dikembangkan kreativitas entrepreneurial leadership lewat pembelajaran yang

menyenangkan. Penelitian ini memiliki tujuan antara lain ingin melihat: 1) Efektifitas penerapan metode

pembelajaran menggunakan pendekatan DFC dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership

AUD; 2) Bentuk kesulitan yang dialami guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership

AUD penerapan metode pembelajaran pendekatan DFC. Subyek penelitian anak kelompok B usia 5-6 tahun.

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan datanya observasi, wawancara, dan

FGD. Hasil penelitian menyatakan bahwa 1) Penerapan metode pembelajaran pendekatan Design for Change

(DFC) sangat efektif dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership, nampak disetiap langkah

pelaksanaan mulai dari feel, image, do dan share subyek mengalami peningkatan. 2) Hambatan yang dialami

oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership anak adalah perkembangan anak dan

mengenal karakteristik kepribadian anak.

Kata kunci: DFC, Kreativitas, Entrepreneurial Leadership, Anak Usia Dini

PENDAHULUAN

Usia dini merupakan usia yang paling tepat dalam menumbuh kembangkan segala kemampuan

yang dimiliki oleh anak. Karena pada masa ini anak sedang membutuhkan banyak stimulus guna

mengembangkan segala kemampuan serta minat yang dimilikinya secara optimal. Hal di atas senada

dengan pengungkapan Mansur (2005) yang menjelaskan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak

yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, karea memiliki sifat unik. Mereka

memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan

perkembangannya. Dalam prosesnya dibutuhkan sebuah wadah yang dapat mendidik dan

menstimulasi anak usia dini secara tepat yakni pendidikan.

Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14, upaya pembinaan yang

ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun dilakukan melalui Pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan

anak usia dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan

anak usia dini jalur formal berbentuk taman kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk

lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini jalur nonformal berbentuk kelompok bermain (KB),

taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan

keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu

yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS)

Dalam pendidikan untuk anak usia dini baik formal, non formal ataupun informal perlu

diperhatikan pula karakteristik anak, sehingga dalam menstimulus pembelajarannya dapat tepat

sesuai tahapan usianya. Menurut Hartati (2005) menjelaskan bahwa karakteristik anak usia dini

adalah 1) memiliki rasa ingin tahu yang besar, 2) memiliki pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan

berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap egosentris, 6) memiliki rentan daya

konsentrasi yang pendek, 7) merupakan bagian dari mahluk sosial. Karakteristik diatas

menggambarkan bahwa potensi harus dapat berkembang maksimal.

Page 2: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 805

Adapun aspek-aspek perkembangan anak usia dini yang perlu dikembangkan yakni :

1. Perkembangan fisik/motorik

Perkembangan ini akan mempengaruhi kehidupan anak baik secara langsung

ataupun tidak langsung (Hurlock, 2007). Perkembangan motorik kasar berhubungan

dengan gerakan dasar yang terkoordinasi dengan otak seperti berlari, berjalan, melompat,

memukul dan menarik. Sedangkan motorik halus berfungsi untuk melakukan gerakan yang

lebih spesifik seperti menulis, melipat, menggunting, mengancingkan baju dan mengikat

tali sepatu.

2. Perkembangan Kognitif

Perkembangan ini menggambarkan bagaimana pikiran anak berkembang dan

berfungsi sehingga dapat berpikir (Mansur, 2005). Keat menyatakan bahwa perkembangan

kognitif merupakan proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan

pengetahuan, pembuatan perbandingan, berfikir dan mengerti (Endang & Nur, 2005).

Proses mental yang dimaksud adalah proses pengolahan informasi yang menjangkau

kegiatan kognisi, intelegensi, belajar, pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Hal

ini juga menjangkau kreativitas, imajinasi dan ingatan

3. Perkembangan Bahasa

Penguasaan bahasa anak berkembang menurut hukum alami, akan muncul dan

berkembang melalui berbagai situasi interaksi sosial anak dengan lingkungan. Suhartono

(2005) menyatakan bahwa peranan bahasa bagi anak usia dini diantaranya sebagai sarana

untuk berfikir, sarana untuk mendengarkan, sarana untuk berbicara dan sarana agar anak

mampu membaca dan menulis. Melalui bahasa seseorang dapat menyampaikan keinginan

dan pendapatnya kepada orang lain.

4. Perkembangan Sosial-Emosi

Sosial Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan antara

gejolak fisiologis dan gelaja perilaku yang terlihat (Mansur, 2005). Perkembangan emosi

memainkan peranan yang penting dalam kehidupan terutama dalam hal penyesuaian

pribadi dan sosial anak dengan lingkungan.

Aspek perkembangan diatas menunjukkan bahwa didalam aspek Kognitif terdapat kreativitas

yang harus dikembangkan sejak usia dini. Menurut Sujiono 2005 (dalam Nurhayati, 2011)

menyatakan bahwa kreativitas yang ditunjukkan anak merupakan bentuk kreativitas yang original

dengan frekuensi kemunculannya seolah tanpa terkendali. Selain itu, Munandar (2009) juga

mengemukakan pentingnya pengembangan kreativitas pada anak antara lain: (1) kreativitas dapat

mewujudkan aktualisasi diri; (2) kreativitas merupakan cerminan berpikir kreatif anak; (3) kreativitas

bermanfaat bagi lingkungan sosial; dan (4) kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan

kualitas hidup.

Dalam bidang pendidikan, kreativitas anak didik mendapat perhatian yang cukup besar.

Terlihat pada upaya-upaya pengambil kebijakan di bidang pendidikan untuk memasukkan

peningkatan kreativitas dalam berbagai kegiatan pendidikan, baik dimuat dalam kurikulum, strategi

pembelajaran maupun perangkat pembelajaran lainnya. Menurut Hurlock (2007) ada beberapa faktor

yang dapat meningkatkan kreativitas antara lain a) Waktu untuk menuangkan ide/gagasan atau

konsep-konsep originalnya; b) Kesempatan menyendiri untuk mengembangkan imajinasinya; c)

Dorongan atau motivasi untuk kreatif, bebas dari ejekan; d) Sarana bermain untuk merangsang

dorongan eksperimen dan eksplorasi. Selain itu ada hal lain yang juga perlu diperhatikan selain faktor

yakni beberapa kondisi yang dapat meningkatkan kreativitas yaitu: 1) sarana belajar dan bermain

disediakan untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi; 2) lingkungan sekolah yang

teratur, bersih, dan indah secara lansung akan mendorong kreativitas; 3) Kemenarikan guru dalam

mendidik dan memberikan motivasi; 4) peran masyarakat dan orangtua mendukung kegiatan TK

yaitu menyediakan media/bahan praktek senirupa (Depdikbud, 2005: 42).

Penjelasan diatas merupakan bagian dari upaya agar setiap kegiatan pendidikan atau

pembelajaran, dapat memfasilitasi peserta didik dalam mendapatkan keterampilan mengembangkan

kreativitas terutama dalam memecahkan masalah. Dengan demikian dunia pendidikan akan

memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan SDM yang kreatif dan memiliki

kemampuan pemecahan masalah yang handal untuk menjalani masa depan yang penuh tantangan.

Page 3: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

806 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

Perkembangan zaman saat ini, semakin banyak produk-produk hasil kreativitas. Namun,

disayangkan banyak orang kreatif banyak pula orang berbuat curang dalam berbagai kegiatan salah

satunya berwirausaha. Hal ini membuat banyak pengusaha yang memiliki sifat tidak jujur. Ternyata

sifat tersebut menjadi model untuk banyak orang, tidak terkecuali anak-anak. Jadi dapat disimpulkan

bahwa berwirausaha tidaklah mudah, butuh pembelajaran yang tepat. apalagi dengan fenomena

sosial diatas, jika hal tersebut semakin berlanjut bagaimana dengan masa depan bangsa yang

dikelilingi oleh orang-orang yang tidak jujur.

Hal ini membuat penting untuk mengembangkan kreativitas dalam usia yang masih dini,

kreativitas yang dimaksudkan disini adalah memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus dalam

berwirausaha. Ada dua karakter seorang entrepreneur yakni Pertama entrepreneur sebagai creator

yaitu menciptakan usaha atau bisnis yang benar-benar baru yang dalam hal ini mengarah ke

pengembangan kreativitas. Kedua, entrepreneur sebagai innovator, yaitu menggagas pembaruan

baik dalam produksi, pemasaran, maupun pengelola dari usaha yang sudah ada sehingga menjadi

lebih baik mengarah pada jiwa kepemimpinan. Saat sudah mampu menguasai karakteristik menjadi

seorang pengusaha, perlu diketahui menjadi seorang pemimpin di usahanya sendiri membutuhkan

beberapa proses, dan hal ini bagus jika dilakukan atau ditanamkan secara dini sehingga menjadi

karakter lekat pada anak. Menurut Pattikumay, 2008 (dalam Sugianto & Sutanto, 2013), menyatakan

bahwa untuk membangun jiwa entrepreneurial leadership merupakan suatu tindakan perubahan

yang mengarah kepada peningkatan kreativitas, inovasi, intuisi, dan kemampuan memimpin,

motivasi, serta keberanian mengambil risiko.

Dapat disimpulkan bahwa entrepreneurial leadership adalah kemampuan yang dimiliki oleh

seseorang anak dalam memimpin usahanya dengan bentuk peningkatan kreativitas, inovasi, intuisi,

motivasi, serta keberanian mengambil risiko. Adapun tujuannya saat anak sudah memiliki bekal jiwa

entrepreneurial leadership maka anak akan memiliki keberanian, kemandirian serta ketrampilan,

sehingga mampu meminimalisir kegagalan dalam dirinya sehingga tidak mudah putus asa dan terus

berjuang serta optimis. Sedangkan kreativitas entrepreneurial leadership sendiri adalah anak dapat

berfikir luwes dalam memimpin usahanya dengan bentuk peningkatan kreativitas, inovasi, intuisi,

dan motivasi, serta keberanian mengambil risiko.

Mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership pada anak usia dini dalam proses

pembelajaran sangatlah mudah, jika stimulus yang diberikan tepat. Dalam hal ini pemberian

stimulasi dalam pembelajaran anak usia dini tidak jauh-jauh dengan konsep bermain, namun disaat

bermain perlu penekanan tentang hikmah atau maksud dari permainan yang dilakukan, sehingga

tidak terlihat hanya bermain saja, namun anak bisa belajar banyak hal. Metode pembelajaran dengan

pendekatan Design For Change (DFC) menjadi pilihan yang sangat sesuai untuk anak-anak karena

berkonsep dasar bahwa anak merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk membawa

perubahan yang luar biasa. Selain itu melalui pendekatan design ini kita sebagai pengasuh bisa guru

maupun orangtua diminta untuk menularkan semangat “saya bisa” yang mana dalam kesempatan ini

meminta anak-anak untuk mengekspresikan ide-ide mereka dan meminta untuk menjalankan ide

tersebut.

DFC didalam bidang pendidikan digunakan untuk mengembangkan ketrampilan yang

dibutuhkan oleh anak-anak. Cara kerja pendekatan ini adalah membekali anak dengan sebuah

perangkat yang membuat anak lebih peduli terhadap segala informasi. Dalam pendekatan ini tidak

hanya bidang akademis yang ditekankan tetapi juga meminta anak-anak untuk peduli secara sosial

dan proaktif dalam menjadi agen perubahan di permasalahan sosial. Maka dari itu penerapan DFC

di lingkungan pendidikan diharapkan dalam proses pembelajarannya berfokus mengajarkan anak

untuk memiliki sifat antusiasme, kasih sayang, konten, karakter dan berbuat baik (Eka,2015).

Desain ini memiliki ketepatan dalam pembelajaran untuk anak usia dini dalam pengembangan

kreativitas entrepreneurial leadership. Menurut Kiran Bir Sethi (dalam Eka, 2015) menyatakan

bahwa seorang anak harus memiliki FIDS, dalam hal ini disebut sebagai langkah-langkah yakni:

1. Feel (Merasakan)

Dalam langkah ini anak diajak untuk bisa memahami perasaan orang lain dan melihat

permasalahan yang ada disekitarnya dengan melalui beberapa tahapan yakni :a) observasi,

anak diminta mengamati; b) memilih, dari hasil observasi anak diminta memilih satu kondisi

Page 4: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 807

yang ingin dirubah; c) terlibat, mengajak anak untuk belajar mewawancarai orang-orang yang

terlibat maupun yang terkena dampak dari keadaan yang ingin dirubah.

2. Image (Membayangkan)

Langkah yang kedua diminta untuk menjadi pemandu dalam mendorong anak untuk

dapat mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya dan membayangkan solusi yang “tidak biasa”.

Mengajak anak untuk berimajinasi sehingga eksplorasi ide-idenya dapat keluar menakjubkan.

Langkah kedua ini jangan beri batasan pada proses penciptaan sebuah ide, tugas kita hanya

memandu dan mendorong anak untuk memunculkan bermacam-macam ide.

3. Do (Melakukan)

Langkah ketiga saatnya mengajak anak-anak untuk melaksanakan ide-ide yang sudah

mereka susun dalam membuat sebuah perubahan. Disini ada beberapa tahap yang harus

diperhatikan yakni a) merencanakan cara menjalankan ide; b) mengimplementasikan ide,

disini berikan dukungan dan sorakan “Ya Kamu Bisa”; c) Refleksikan yakni mengajak anak

untuk dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah dilakukan, ajak anak membuat jawaban

tentang apa yang telah dipelajari dari diri sendiri lalu bersama teman-temannya.

4. Share (Membagikan)

Langkah yang terakhir mengajak anak untuk menularkan atau berbagi kisah lewat cerita

dengan orang lain. Dalam langkah ini meminta anak untuk fokus pada F.A.C.T.S yakni

a. Feeling (Perasaan) yakni bagaimana mereka menggambarkan perasaan orang-orang atau

teman-teman nya saat bermain tadi

b. Action (aksi) yakni merekam aksi teman-teman super mereka saat bermain

c. Changes & Transformations (perubahan dan transformasi) yakni meminta anak untuk

merekam kutipan-kutipan yang bisa membuat seseorang berubah

Jika langkah-langkah diatas dapat dilalui maka permasalahan sosial tentang berwirausaha

tidak jujur bisa diatasi secara dini. Ketertarikan peneliti tentang pendekatan Design For Change

(DFC) ingin dibuktikan dalam bidang pendidikan khususnya pengembangan kreativitas

entrepreneurial leadership anak usia dini lewat pembelajaran. Design For Change (DFC) digunakan

sebagai pilihan metode pendidikan yang efektif untuk guru dalam proses pembelajaran, serta sebagai

bentuk stimulasi yang tepat dalam merangsang serta menumbuhkan kreativitas entrepreneurial

leadership. Maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana efektifitas

penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC) dalam

mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD?; dan 2) Kesulitan apa saja yang

dialami oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD dengan

penerapan metode pembelajaran mengunakan pendekatan Design For Change (DFC)?

METODE

Penelitian dilakukan di TK Tarbiyatus Sibyan Kamal dengan subyek anak Kelompok B usia

5-6 tahun sejumlah 6 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan

deskriptif naratif, dengan didasari beberapa alasan, yaitu: (1) bersifat natural, maksudnya adalah

penelitian dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) data

bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan proses daripada hasil, (4) pengolahan data cenderung

dilakukan secara induktif, (5) perhatian utama pada setiap aktivitas yang dilakukan individu. Sumber

data yakni observasi, wawancara dan focus group discussion (FGD).

Dalam proses analisis adapun alur kegiatan yang akan dilakukan yakni: 1) Reduksi data yakni

proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari

catatan yang tertulis di lapangan. 2) Penyajian Data yakni sekumpulan informasi yang tersusun

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan bisa dengan bentuk grafik, maupun bagan. 3)

Penarikan kesimpulan yakni proses mencari arti, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,

konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi dari gambaran-gambaran secara

keseluruhan baik catatan deskriptif maupun reflektif yang telah dibuat sebelumnya pada bagan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 5: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

808 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan FGD yang dilakukan peneliti selama

pelaksanaan penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC)

dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD menyatakan ada beberapa

catatan perubahan selama proses. Lokasi penelitian ini menggunakan dua tempat yakni laboratorium

dan sekolah, intinya menyesuaikan dengan kondisi dalam rancangan penelitian. Akan lebih detail

dan jelas jika di tiap langkah kegiatan yang harus dilalui anak kita ketahui yakni anak diminta secara

berurutan melakukan kegiatan dalam FIDS lewat pembelajaran DFC, langkah-langkah yang

dimaksud adalah:

1. Feel (Merasakan)

Dalam langkah ini anak diajak untuk berkunjung sekaligus mempelajari kegiatan di

suatu tempat yang tidak biasa anak datangi sebelumnya, tujuannya anak bisa memahami dan

melihat. Kegiatan ini dikonsep sebagai kegiatan tamasya berkunjung di perusahaan jagung

(setting tempat dilaboratorium menjadi perusahaan jagung), dalam kegiatan ini anak diminta

untuk dapat melalui beberapa tahapan yakni :

a) Observasi; anak diminta mengamati di tiap proses kegiatan, terdapat dua kegiatan yakni

pertama cara pemuatan kotak pensil dan gantungan kunci dari kulit jagung dan kedua cara

membuat susu dan ice cream dari biji jagung. Anak diberi tahu cara pembuatannya lewat

sebuah demo pembuatan dan anak diminta memperhatikan. Dalam proses kegiatan ini ke

enam anak nampak antusias ditiap proses, nampak dari bagaimana mereka tetap mengikuti

aturan dan memperhatikan demo pembuatan.

b) Memilih; dari hasil observasi (pengamatan) kegiatan, anak diminta memilih satu dari dua

kegiatan di atas. Ternyata dari dua kegiatan diatas yang diminati oleh 6 anak yang dalam

hal ini adalah subyek yakni cara pembuatan ice cream. Dalam wawancara yang dilakukn

oleh peneliti pada salah satu anak yang membuat dia tertarik adalah ingin membuat ice

cream di rumah karena dilihatnya dirasa mudah.

c) Terlibat; setelah melihat dan memilih kegiatan, anak diajak untuk belajar membuat

sekaligus bertanya-tanya seputar kegiatan kepada istuktur pembuat ice cream. Dalam

proses ini anak sangat senang dan berantusias, nampak dari diikutinya kegiatan hingga

akhir.

Pelaksanaan kegiatan langkah pertama ini memakan waktu sekitar 2 jam 30 menit,

dengan hasil anak tidak merasa bosan dan dapat mengikuti kegiatan dengan baik.

2. Image (Membayangkan)

Langkah kedua ini peneliti mengambil lokasi tempat di sekolah. Kegiatan ini lebih

banyak dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai pemberi stimulus dan pemandu dalam

mendorong anak untuk dapat mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya dan membayangkan

solusi yang “tidak biasa”. Mengajak anak untuk berimajinasi sehingga eksplorasi ide-idenya

dapat keluar menakjubkan. Di awal kegiatan peneliti mencoba untuk flash back ulang kegiatan

yang sudah dilakukan sebelumnya yakni langkah feel dan anak-anakpun menjawab spotan

yakni “main keperusahaan jagung membuat ice cream”. Lalu dilanjutkan dengan stimulus

berikutnya berupa pertanyaan dari peneliti yakni siapa yang ingin memiliki toko besar jualan

es krim? Ke enam anak antusias dengan mengacungkan tangannya. Setelah itu barulah dilanjut

pemberian stimulasi berupa pemutaran video inspirasi berjudul “juragan cilik”. Video itu

bercerita tentang awal mula seorang anak kecil yang sudah memulai karirnya sejak kecil (usia

mengkondisikan sama dengan subyek) berjualan es krim dan akhirnya dewasanya benar-benar

menjadi juragan sukses. Video tersebut berhasil menstimulasi anak-anak untuk ingin menjadi

pengusaha, lewat pertanyaan yang mendorong anak-anak untuk bisa jadi juragan cilik. Proses

kegiatan ini berlangsung selama 1 jam 30 menit dengan durasi pemutaran video dua kali.

3. Do (Melakukan)

Dalam langkah ini peneliti mengambil lokasi tempat di sekolah. Anak diajak untuk

melaksanakan ide-ide yang sudah mereka susun dalam sebuah rencana. Anak harus melalui

beberapa tahap yang harus diperhatikan yakni

a) Merencanakan cara menjalankan ide, dalam kegiatan ini anak disediakan buku gambar dan

meminta anak untuk menggambar ide yang ingin dilakukan yakni bentuk usaha apa, setelah

menggambar anak diminta untuk bercerita kepada peneliti tentang apa yang digambar.

Page 6: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 809

Terlihat dari hasil gambar hampir tiap anak memiiki ide usaha yang berbeda-beda. Diakhir

kegiatan anak diminta untuk membawa hasil karyanya dan menceritakan kepada orangtua

tentang usaha yang ngin dibuat.

Dihari esoknya orang tua diundang kesekolah, untuk membahas tentang rancangan

yang sudah dibuat anak dan diceritakan pada mereka untuk dapat diwujudkan dalam

kegiatan berikutnya. Orang tua dari ke enam subyek menyepakati dilaksanakan kegiatan

aplikasi ide, sebelum pelaksanaan orang tua dan anak diberi waktu 1 minggu untuk belajar

berwirausaha mulai dari mencari bahan, membuat sampai dengan cara pemasaran.

b) Mengimplementasikan ide; dari kegiatan mengambar yang dilakukan anak hingga

mengundang orangtua dalam keterlibatan, membuat kegiatan ini dapat berjalan. Awal

kegiatan dimulai dari menyiapkan jualannya, anak dibantu orangtua. Setelah siap, anak

diminta bersiap-siap dijam istirahat. Anak diminta melakukan pemasaran dengan cara

merayu konsumen yakni teman-teman sekolahnya untuk membeli produksnya. Dalam

kondisi ini tidak perlu ada setting, anak benar-benar diberi kebebasan untuk menjual

produks jualannya sedangkan orangtua hanya bertugas untuk membantu memberikan uang

kembalian sekaligus memberikan semangat “ kamu bisa”. Waktu berjualan 20 menit untuk

menjual 10 produks. Kondisi lapangan nampak ramai dan anak sangat antusias mencari

pelanggan, anak berkompetisi secara teratur, tidak berebut ataupun curang. Setelah selesai

kegiatan pemasaran anak kembali keruangan dengan orang tua untuk menghitung

untung/rugi. Dalam proses langkah ini selalu diberikan dukungan dan sorakan “Ya Kamu

Bisa” itu bagian dari stimulasi

c) Refleksikan; anak diajak untuk dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah dilakukan,

dan diminta mengungkapkan tentang apa yang telah dipelajari dari mulai diri sendiri,

bersama teman-temannya, salah satunya bersyukur dari hasil usaha jualannya. Peneliti

masih selalu memberikan dukungan dan sorakan “Ya Kamu Bisa” dan ternyata memang

anak-anak bisa.

4. Share (Membagikan)

Langkah yang terakhir mengajak anak untuk menularkan semua kegiatan yang sudah

dilaluinya dari awal hingga akhir puncak kegiatan dengan bercerita didepan teman-temannya. Dalam

langkah ini meminta anak untuk tetap fokus pada F.A.C.T.S, dalam kegiatan ini tetap dibantu peneliti

untuk mengarahkan yakni dilakukan secara berurutan mulai dari apa yang dirasakan Feeling

(Perasaan) yakni anak menceritakan tentang perasaan dirinya saat dibawa keperusahaan jagung dan

waktu membuat ice cream, terus impian ingin memiliki toko jualan yang besar dan menceritakan

teman-teman nya saat kegiatan begitu senang dan serunya dilanjutkan dengan Action (aksi) yakni

merekam aksi teman-teman super mereka saat kegiatan, menceritakan ulang teman-temannya tadi

jualan apa saja dan menanyakan kepada teman-teman yang sudah membeli tentang bagaimana rasa

dari produks yang dijual enak atau tidak. Proses selanjutnya Changes & Transformations (perubahan

dan transformasi) yakni meminta teman-temanya untuk mengikuti instruksi kata-kata sang juragan

dengan slogan kata “juragan cilik pasti bisa”, dan memberikan pesan pada teman-teman untuk selalu

usaha dan nyakin. Memberi kenyakinan pada teman-temannya bahwa mereka yang terpilih sebagai

juragan cilik bisa pasti teman-temannya juga bisa melakukan, meneriakan slogan terakhir “ aku bisa,

kamu pasti bisa”.

Tabel 1

Hasil Penilaian Subyek Di Tiap Langkah DFC

No Nama

Tahapan DFC

Feel Image Do

& Share

1 Dn 107 129 137

2 Dk 92 119 133.5

3 In 136 99,5 110.5

4 Ar 115 135 142.5

5 Fi 78 119 69.5

6 Ls 83 123 128

Page 7: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

810 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

Tabel diatas membuktikan bahwa terdapat 4 anak dari 6 yang mengalami peningkatan yakni Dn, Dk, Ar dan Ls.

Menunjukkan bahwa di tiap pelaksanaan kegiatan mulai dari langkah feel, image, do & share ada peningkatan.

Pembahasan

Design For Change (DFC) digunakan untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan

oleh anak-anak, khususnya anak usia dini. Pendekatan ini mengajarkan anak-anak untuk peduli

secara sosial dan proaktif menjadi agen perubahan di permasalahan sosial. Dalam hal ini

permasalahan sosialnya adalah mengajarkan anak sejak dini untuk bisa menjadi pemimpin yang jujur

lewat kegiatan berwirausaha. Sehingga penelitian ini difokuskan pada integrasi antara penerapan

metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC) dalam mengembangkan

kreativitas entrepreneurial leadership anak usia dini.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dilapangan menyatakan bahwa terdapat peningkatan, yang

tepatnya mengarah pada suatu perubahan selama pelaksanaan kegiatan DFC, pastinya lebih pada

progres. Metode pembelajaran dengan pendekatan Design For Change (DFC) menjadi pilihan yang

sangat sesuai untuk anak-anak karena berkonsep dasar bahwa anak merupakan individu yang

memiliki kemampuan untuk membawa perubahan yang luar biasa. Hal tersebut didukung oleh

Hartati (2005) yang menjelaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, suka berfantasi

dan berimajinasi, dan memiliki potensial untuk belajar sehingga dalam mencapai sebuah perubahan

itu bagian dari tahapan perkembangan.

Selama pelaksanaan kegiatan ditiap tahapan mulai dari feel, image, do sampai share anak

sangat antusias nampak dari setiap langkah dari kegiatan dapat dilalui dengan baik. Hal ini sesuai

dengan kaidah dari penerapan DFC di lingkungan pendidikan, memang diharapkan dalam proses

pembelajarannya berfokus pada bagaimana mengajarkan anak untuk memiliki sifat antusiasme, kasih

sayang, konten, karakter dan berbuat baik (Eka,2015). Pemilihan desain ini dirasa tepat dalam

pembelajaran untuk anak usia dini khususnya pengembangan kreativitas entrepreneurial leadership.

Kegiatan awal sebagai permulaan, anak diperkenalkan tentang apa itu berwirausaha terlebih

dahulu lalu diperkenalkan tentang karakter seorang pengusaha. Dalam prosesnya membutuhkan

bantuan dari orang lain berupa stimulasi. Menurut Hurlock, 2007 dalam memberikan stimulasi harus

tepat sesuai tahapan usianya. Ada dua karakter seorang entrepreneur yakni Pertama sebagai creator

dalam menciptakan usaha atau bisnis yang benar-benar baru yang dalam hal ini mengarah ke

pengembangan kreativitas. Kedua, sebagai innovator, menggagas pembaruan baik dalam produksi,

pemasaran, maupun pengelola dari usaha yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik mengarah

pada jiwa kepemimpinan. Dalam pembentukan karakter tersebut nampak bahwa sudah mampu

mengembangkan gagasan sekaligus menghasilkan gagasan yang bervariasi hingga sampai pada hasil

karya yang berbeda. Sehingga anak sudah dapat dikatakan memiliki kreativitas dalam berwirausaha

dimana mampu berfikir lancar, luwes dan orisinil. Hal ini senada dengan pengungkapan dari

Williams dalam Munandar (2009) yang menyatakan bahwa kreativitas berhubungan dengan aspek

Kognitif yakni kemampuan berfikir kreatif meliputi keterampilan berfikir lancar, keterampilan

berfikir luwes dan keterampilan berfikir orisinil.

Efektifitas penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change

(DFC) dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership nampak pada beberapa

langkah penerapan DFC yakni feel, image, do dan share. Jadi dapat dikatakan bahwa penerapan

metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC) sesuai atau dapat

dikembangkan dalam pembelajaran anak usia dini. Namun dari keberhasilan DFC, adapun beberapa

hambatan yang perlu diperhatikan agar dapat dikurangi sehingga jalannya pembelajaran dapat

maksimal.

Adapun hambatan yang dialami oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial

leadership anak usia dini saat penerapan metode pembelajaran mengunakan pendekatan Design For

Change (DFC) antara lain adalah:

1. Perkembangan anak

Dalam hal ini tahapan perkembangan dirasakan sangat penting untuk diperhatikan

karena disaat tahapan-tahapan belum maksimal sangat berdampak dalam penerapan

kegiatan. Didalam tahapan perkembangan anak menurut PERMENDIKNAS No 58 Tahun

2009 saat proses pembelajaran harusnya menyesuaikan dengan standar PAUD yang

Page 8: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 811

digambarkan dalam Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA). Selain itu

sifat perkembangan saling berpengaruh, dimana saat anak belum berhasil mencapai tahap

sebelumnya maka akan mengalami kesulitan ditahap selanjutnya (Hurlock, 2007). Dalam

hal ini anak usia 5-6 seharusnya sudah berkembang dengan baik ditahap motorik baik halus

maupun kasar serta dalam perkembangan sosial-emosi. Disaat dua perkembangan tersebut

maksimal maka pada tingkatan perkembangan berikutnya akan dirasa mudah yakni

perkembangan Kognitif dan Bahasa. Tingkat pemahaman anak pun akan dirasa mudah saat

pelaksanaan kegiatan.

2. Mengenal Karakteristik kepribadian anak

Dalam hal ini memahami karakteristik kepribadian anak dirasa sangat penting karena

saat proses kegiatan belajar dan mengajar dapat berlangsung maksimal. Jika berbicara

tentang kepribadian anak memang belum sepenuhnya terbentuk seperti orang dewasa. Hal

ini diungkapkan oleh Wijaya (2000) yang menyatakan bahwa kepribadian anak masih

dalam proses pengembangan, sehingga dalam hal ini yang terpenting adalah mengenali

karakteristik anak secara sederhana, dikelompokkan menjadi 3 yakni ; a) kelompok anak

yang mudah dan menyenangkan; b) anak yang biasa-biasa saja; c) anak yang sulit dalam

penyesuaian diri dan sosial, khususnya dalam melakukan kegiatan pembelajaran di

sekolah. Saat karakteristik diatas dapat diketahui diawal maka pemberian stimulasi dan

kesesuaian pemilihan kegiatan bisa ditentukan dengan tepat

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran

pendekatan Design for Change (DFC) sangat efektif dalam mengembangkan kreativitas

entrepreneurial leadership, nampak pada setiap langkah pelaksanaan DFC mulai dari feel, image,

do dan share subyek mengalami peningkatan, sehingga dapat dikatakan bahwa subyek berhasil

memiliki FIDS dalam pembelajaran sehingga kreativitas entrepreneurial leadership dapat dicapai .

Selain itu adapun evaluasi yang diperoleh yakni hambatan yang dialami oleh guru dalam

mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership melalui penerapan metode pembelajaran

pendekatan Design for Change (DFC). Terdapat dua hambatan yakni 1) guru harus memperhatikan

dan memastikan bahwa anak yang akan menerima pembelajaran DFC dalam pengembangan

kreativitas entrepreneurial leadership sudah dinyatakan siap dalam tahapan perkembangan baik

motorik, sosial-emosi maupun bahasa, sehingga ditahap kognitif dalam mengembangkan

kreativitasnya dapat maksimal ; 2) guru harus mengenal dekat karakteristik kepribadian anak,

sehingga dapat mudah melihat mood anak selama pelaksanaan pembelajaran, sehingga anak tidak

mudah terpengaruh diluar stimulasi yang diberikan sehingga memperoleh hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Dajamarah, S., B. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rieneka Cipta

[2] Eka, S., N. 2015. Aku Bisa! Inspirasi dari Gerakan Design for Change oleh Kiran Bir Sethi.

Jakarta: Noura Books.

[3] Endang P & Nur W. 2005. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas

Muhamadiyah Malang Press.

[4] Hartati, S. 2005. Perkembangan Belajar Pada Anak Usia Dini. Depdiknas.

[5] Hibama, S., R. 2002. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Galah

[6] Hidayah, C. 2014. Pengembangan Kreativitas Anak Usia Dini Berbasis Pendidikan Tauhid

Dan Entrepreneurship (Penelitian di TK Khalifah Gedong Kuning Yogyakarta). Tesis.

Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

[7] Hurlock, E., B. 2007. Perkembangan Anak Jilid I. Yogyakarta: Erlangga.

[8] Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[9] Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

[10] Nurhayati. 2011. Peningkatan Kreativitas Anak Usia Dini Dengan Bereksplorasi Melalui

Koran Bekas Di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah 2 Duri. Jurnal Pesona PAUD. Vol 1 (1),

Hal 1-10.

[11] Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar dalam CBSA. Jakarta: Rineka Cipta

Page 9: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR …

812 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk

[12] Santrock, J., W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

[13] Sugianto., E., Y & Sutanto., E., M. 2013. Pengaruh Entrepreneurial Leadership Terhadap

Iklim Organisasional, Kreativitas, Dan Inovasi Karyawan Bagian Produksi Pada Sbo TV.

Jurnal AGORA, Vol 1 (2) Hal 1-9.

[14] Yulianti, D. 2010. Bermain Sambil Belajar Sains di Taman Kanak-kanak. Jakarta: PT

Indeks.