efek preventif dan kuratif ekstrak etanol 70% rumput
TRANSCRIPT
1
Efek Preventif dan Kuratif Ekstrak Etanol 70% Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L. Lamk) Terhadap Sistem Imun pada Tikus Model Osteoartritis
Yang Diinduksi Natrium Iodoasetat
Fitri Arum Sari
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424 E-mail: [email protected]
Abstrak
Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan inflamasi kronik pada daerah persendian. Berdasarkan penelitian sebelumnya, rumput mutiara memiliki efek sebagai antiinflamasi dalam praktik pengobatan herbal, tetapi belum banyak data yang mendukung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek preventif dan kuratif ekstrak etanol 70% rumput mutiara terhadap sistem imun yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah putih, yaitu leukosit, limfosit, dan granulosit. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahapan, yaitu pembuatan tikus model osteoartritis, kemudian pemberian ekstrak rumput mutiara secara preventif dan kuratif secara bersamaan. Pada perlakuan preventif dan kuratif, digunakan masing-masing 30 tikus putih jantan galur Sprague dawley dibagi menjadi 6 kelompok. Kelompok normal diberikan CMC 0,5%, kelompok negatif diberikan 0,025 mL natrium iodoasetat dalam salin 0,9%, kelompok positif diberi suspensi glukosamin kondroitin 520 mg/ 200 g bb untuk preventif, dan 780 mg/ 200 g bb. Kelompok dosis diberikan ekstrak etanol 70% rumput mutiara dengan variasi dosis berturut-turut 5,62 mg; 11,25 mg; dan 22,5 mg. Semua kelompok diinduksi 0,025 mL natrium iodoasetat kecuali kontrol normal. Bahan uji diberikan satu kali sehari secara oral pada hari ke-1 hingga 50 secara preventif, dan diberikan pada hari ke-29 hingga 50 secara kuratif. Pengukuran jumlah leukosit, limfosit dan granulosit dilakukan pada hari ke-14, 28 dan 49. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% rumput mutiara secara preventif (dosis 2= 11,25 mg/ 200 g bb) dan kuratif (dosis 1= 5,62 mg/ 200 g bb) mampu menurunkan jumlah leukosit dan limfosit secara bermakna.
Abstract
Osteoarthritis is a degenerative disease characterized by chronic inflammation in the joints. Based on previous research, pearl grass has anti-inflammatory effects in the practice of herbal medicine, but doesn’t have a lot of data to support. This study aimed to analyze the preventive and curative effects of the 70% ethanolic extract of pearl grass on the immune system characterized by decreasing number of leukocytes, lymphocytes and granulocytes. This study is divided into two stages, there are making rat model of osteoarthritis, and analyze the effect preventive and curative extract of pearl grass on the immune system. This study used 30 male white Sprague Dawley rats were divided into 6 groups. The normal group was given 0,5% CMC, the negative group was given 0,025 mL of monosodium iodoacetate in 0,9% saline, positive group was given suspension of glucosamine chondroitin 520 mg/200 g BW for preventive and 780 mg/200 g BW for curative. The dose variation was given 70% ethanolic extract of pearl grass with 3 dose variation 5,62 mg/ 200 g BW; 11,25 mg/ 200 g BW; and 22,5 mg/ 200 g BW. All groups were induced by 0,025 mL of monosodium iodoacetate except normal group. The test material is given orally once daily on days 1 to 50 in preventive , and given on days 29 to 50 are curative. Measurement of the number of
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
2
leukocytes, lymphocytes and granulocytes counted on day 14, 28 and 49. The best results showed that the effect preventive (dose 2 = 11,25 mg / 200 g BW) and curative (dose 1 = 5,62 mg / 200 g BW) extract of pearl grass were able to decrease the number of leukocytes and lymphocytes significantly. Keywords : osteoarthritis, sodium iodoacetate, pearl grass, Hedyotis corymbosa L.Lamk., immune system Pendahuluan
Osteoatritris merupakan salah satu penyakit artritis degeneratif yang ditandai dengan
kerusakan tulang kartilago artikular yang menyebabkan rasa sakit, pergerakan yang terbatas,
deformitas, dan cacat progresif. Hal ini terkait dengan penuaan sendi seperti lutut, pinggul,
jari, dan tulang punggung bagian bawah (WHO, 2011). Menurut World Health Organization
(WHO) tahun 2004, diketahui bahwa osteoartritis diderita oleh 151 juta jiwa di seluruh dunia
dan mencapai 24 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara (WHO, 2004). Di Indonesia, prevalensi
osteoartritis tahun 2004 mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan
65% pada usia >61 tahun (Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, dan Pramudiyo, 2006). Inflamasi
dan respon imun memiliki peran penting dalam perkembangan penyakit osteoartritis.
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh yang
menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat
infeksi maupun kerusakan sel. Respon inflamasi disebabkan oleh mediator sistem imun
spesifik seperti sitokin yang memicu kerusakan sel dan jaringan tulang rawan (Haseeb dan
Haqqi, 2013).
Osteoatritis diprediksi sulit untuk disembuhkan dan kondisinya akam memburuk
seiring berjalannya waktu. Terapi untuk osteoartritis umumnya hanya ditujukan untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara mengurangi rasa sakit akibat inflamasi, tetapi tidak
mengobati penyakit tersebut. Terapi umum yang digunakan pasien osteoartritis adalah obat-
obatan antiinflamasi non-steroid (AINS). Namun, terapi ini banyak menghasilkan reaksi obat
yang tidak diinginkan seperti tukak dan pendarahan pada saluran cerna. Terapi lain yang biasa
digunakan yaitu suplemen glukosamin dan kondroitin sulfat yang berasal dari pengolahan
hewan laut, akibatnya, glukosamin dan kondroitin sulfat tidak dapat dikonsumsi oleh pasien
osteoarthritis yang memiliki riwayat alergi terhadap hewan laut (Pecchi, et al., 2011; Tallia,
2002). Pengobatan untuk osteoartritis saat ini banyak dikembangkan baik secara sintesis
maupun herbal. Obat herbal menjadi pilihan alternatif terutama setelah mengetahui efek
samping yang disebabkan oleh penggunaan obat golongan AINS serta glukosamin dan
kondroitin. Salah satu tanaman yang memiliki efek antiinflamasi yaitu rumput mutiara
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
3
(Hedyotis corymbosa L. Lamk). Namun, penelitian yang menunjukkan ekstrak etanol 70%
rumput mutiara memiliki efek antiinflamasi pada osteoartritis masih sangat terbatas.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai efek preventif dan kuratif
pemberian ekstrak etanol 70% terhadap sistem imun pada tikus model osteoartritis sehingga
dapat diketahui terapi yang lebih efektif bagi penderita osteoartritis.
Tinjauan Pustaka
a. Rumput Mutiara
Klasifikasi dan Tata Nama (Depkes RI, 1995)
Kerajaan : Tumbuhan
Divisi : Spermatophyta
Anak Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Rubiales
Suku : Rubiaceae
Marga : Hedyotis
Jenis : Hedyotis corymbosa L. Lamk.
Sinonim : Oldenlandia corymbosa L. Lamk.
Rumput mutiara tumbuh rindang berserak, agak lemah, memiliki tinggi sebesar 15–20
cm, tumbuh subur pada tanah lembab di sisi jalan, pinggir selokan, memiliki banyak
percabangan. Batang berbentuk persegi, daun berhadapan bersilang, tangkai daun pendek atau
hampir duduk, memiliki panjang daun sebesar 2–5 cm, tulang daun satu di tengah. Ujung
daun mempunyai rambut yang pendek. Bunga ke luar dari ketiak daun, bentuknya seperti
payung berwarna putih, berupa bunga majemuk 2–5, (Depkes RI, 1995; Dalimartha, 2008).
[Sumber: Mishra, Dash, Swain & Dey, 2009, telah diolah kembali]
Gambar 1. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa)
Kandungan kimia yang terkandung dalam rumput mutiara diantaranya flavanoid,
kaemferol, iridoid, stigmasterol, triterpenoid, asam ursolat (Asyhar, Febriansah, Ashari,
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
4
Susidarti, dan Meiyanto, 2008; Damayanti, 2005), asam oleanolat, p-asam kumarat, glikosida,
alizarin dan ikatan antragalol (Wijayakusuma, 2008; Kim et al., 2004). Rumput mutiara
memiliki khasiat sebagai antiinflamasi diuretik, antipiretik, antitoksin (Wijayakusuma, 2008).
Rumput ini juga mengobati berbagai penyakit, seperti hepatitis, radang kandung empedu,
hipetensi, pneumonia, radang usus buntu dan infeksi saluran kemih (Asyhar, Febriansah,
Ashari, Susidarti, dan Meiyanto, 2008).
b. Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang ditandai dengan
kerusakan atau penurunan tulang kartilago artikular yang menyebabkan rasa sakit, pergerakan
yang terbatas, deforminitas, dan cacat progresif (WHO, 2011). Osteoartritis dimulai dengan
kerusakan pada kartilago artikular karena trauma, beban sendi berlebih pada obesitas,
ketidakstabilan atau cedera sendi yang menyebabkan beban abnormal (Dipiro et al., 2005).
Kerusakan kartilago meningkatkan metabolisme aktivitas kondrosit yang menyebabkan
peningkatan sintesis konstituen matriks dengan pembengkakan kartilago. Kerusakan ini tidak
dapat mengembalikan kartilago menjadi normal tetapi menyebabkan hilangnya kartilago lebih
lanjut (Vigorita, 2003)
Setelah fase hipertrofi, terjadi peningkatan sintesis matriks metaloproteinase (MMPs)
menyebabkan kerusakan kolagen yang terjadi lebih cepat dari sintesisnya. Kondrosit
berkontribusi terhadap hilangnya kolagen dengan mengeluarkan MMPs dalam menanggapi
mediator inflamasi yang hadir dalam OA (interleukin-1 dan tumor necrosis factor-α).
Kondrosit mensintesis metalloproteinase matriks (MMP) untuk memecah kolagen tipe II dan
aggrekan. MMP memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit. Pada fase
awal osteoartritis, aktivitas serta efek dari MMP menyebar hingga ke bagian permukaan dari
kartilago (Janusz et al, 2001). Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah
menstimulasi pergantian matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida
nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks
TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan
menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan.
Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya osteoartritis (Felson, 2008).
c. Hubungan Osteoartritis dengan Sistem Imun
Pada keadaan osteoartritis, ditemukan peningkatan respon imun. Terjadi pelepasan
auto-antigen spesifik yang akan memicu aktivasi respon imun (Haseeb dan Haqqi, 2013).
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
5
Sel-sel imun seperti limfosit B dan T akan menyusup ke jaringan Sistem komplemen akan
diaktifkan, dan kondrosit akan melepaskan MMP dan PGE2 sebagai respon inflamasi.
[Sumber: Haseeb & Haqqi, 2013]
Gambar 2.5 Skema imunopatologi pada osteoartritis
[Sumber: Pecchi et al., 2011; Janusz et al., 2001; telah diolah kembali]
Gambar 2.6 Hubungan natrium iodoasetat, rumput mutiara, dan glukosamin
Natrium iodoasetat sebagai zat induksi osteoartritis akan bekerja sebagai inhibitor
gliseraldehid-3-fosfat, yang menyebabkan penurunan produksi GADPH (Vonsy, 2008).
Peningkatanstressmekanik
Induksikimia,kelainangenetik
Aktivasisitokin:IL-1,TNF-a,IL-6,MMP,PGE2
InfiltrasilimfositTdanB,makrofag
Aktivasiresponimunakibatinflamasi
Degradasikartilago
Aktivasikomplemen
KompleksimunSinovitis
Sitokinproinflamasi:IL-1;TNF-α
NatriumIodoasetat
NO PGE-2COX-2
↑MMP
↓ GADPH
ApoptosisKondrosit
↓Kondrosit
↓Proteoglikan
Osteoarthritis
Stressoksidatif
Flavanoid
Flavanoid
Glukosamin,Flavanoid
Glukosamin
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
6
Akibatnya, sel gagal memproduksi ATP sehingga menyebabkan sel-sel kondrosit apoptosis.
Natrium iodoasetat juga dapat mengaktifkan sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α
yang memicu NO, COX-2 dan PGE-2 dalam reaksi inflamasi. Aktivasi mediator inflamasi
akan menyebabkan kondrosit untuk mengeluarkan enzim pemecah matriks yaitu matrix
metalloproteinase sehingga terjadi degradasi kartilago (Pritzker et al., 2006). Kartilago yang
terdegradasi ditandai dengan penurunan proteoglikan dalam sel kondrosit sehingga terjadi
osteoartritis. Glukosamin dipilih sebagai kontrol positif karena memiliki jalur penghambatan
inflamasi yang berhubungan dengan proteoglikan. Glukosamin berperan sebagai inhibitor
PGE-2 dan MMP (Pecchi et al., 2011). Selain itu, glukosamin dapat berperan dalam stimulasi
pembentukan proteoglikan. Senyawa yang bekerja dalam rumput mutiara yaitu flavanoid,
diduga memiliki mekanisme kerja sebagai inhibitor TNF-α, NO, COX-2 dan stress oksidatif
(Kim, Son, dan Chang, 2004) untuk menghambat terjadinya osteoartritis.
Metode Penelitian
a. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium Kimia
Analisis Instrumen Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Laboratorium Kimia Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Besar Penelitian Veteriner, Pusat Laboratorium
Forensik POLRI yang berlangsung dari bulan Januari - Mei 2015.
b. Bahan
1. Bahan Uji dan Bahan Kimia
Pada penelitian ini digunakan bahan uji yaitu serbuk kering rumput mutiara
(Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) dari PT. Bina Agromandiri dan kapsul rumput mutiara dari
PT. Herbal Insani.Bahan kimia yang digunakan berupa Natrium Iodoasetat (Sigma),
Glukosamin-Kondroitin Sulfat (PT Nutrend), buffer formalin 10%, larutan 0,9% salin,
natrium klorida 0,9% steril, CMC (Brataco Chemical), etanol 70%, ketamin, akuades.
2. Hewan Uji
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan putih galur Sprague
Dawley sebanyak total 30 ekor dalam setiap masing-masing perlakuan berusia 2 bulan
dengan berat badan 150-200 gram. Sebelum diberi perlakuan tikus-tikus tersebut
diaklimatisasi selama 1-2 minggu dalam kandang hewan Farmasi UI.
c. Alat
36
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
7
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus, labu erlenmeyer,
pletismometer, alat-alat gelas, waterbath, lemari pendingin, evaporator (Tokyo Rikakikai),
tube K3EDTA, jarum suntik, timbangan analitik, sonde, spuit, dan alat pengukur jumlah sel
darah/hematology analyzer.
d. Prosedur Kerja
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yakni terdiri dari tahap pembuatan
hewan model OA dengan induksi menggunakan natrium iodoasetat. Selanjutnya pada 2
kelompok perlakukan dilakukan variasi pemberian ekstrak etanol 70% rumput mutiara secara
preventif dan kuratif. Dalam penelitian ini digunakan kelompok perlakuan dan jumlah tikus uji
untuk setiap kelompok perlakuan dihitung berdasarkan rumus Federer (Federer, 1963).
(t-1) (n-1) ≥ 15
(5-1) (n-1) ≥ 15
(4n – 4) ≥ 15
4n ≥ 20
n ≥ 4
Dalam rumus di atas, t menyatakan jumlah kelompok perlakuan dan n menyatakan
jumlah tikus untuk setiap kelompok perlakuan. Berdasarkan rumus di atas , jumlah tikus yang
diperlukan untuk tiap kelompok perlakuan adalah 4 ekor.
1. Pembuatan Hewan Model Osteoartritis
Pembuatan hewan model osteoartriris yang optimal dilakukan dengan cara induksi
natrium iodoasetat dengan variasi waktu pengamatan hingga minggu ke-4. Sebelum dilakukan
isolasi tulang lutut tikus, dilakukan pengamatan dengan pengukuran udem menggunakan
pletismometer dengan cara mengukur volume air yang tergantikan, kemudian dilanjutkan
dengan pengamatan histopatologi. Pengamatan histopatologi hewan meliputi: fiksasi,
dekalsifikasi, dehidrasi dan penjernihan, infiltrasi dan penanaman, pemotongan,
deparafinisasi, dan pengamatan histopatologi proteoglikan menggunakan pewarnaan safranin
o fast green. Hasilnya, proteoglikan akan memberikan warna spesifik merah. Data
histopatologi selanjutnya dianalisis menggunakan software ImageJ untuk perhitungan secara
kuantitatif. Analisis dilakukan dengan mengambil 5 titik yang merupakan perwakilan dari tiap
area sampel kemudian diambil nilai rata-ratanya.
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
8
Tabel Error! No text of specified style in document..1 Perlakuan terhadap tikus
dengan variasi waktu pengamatan induksi natrium iodoasetat
Kelompok Perlakuan
Pengukuran Hari 1-28
Kelompok 1 (kontrol normal)
Pemberian 0,025 mL larutan saline 0,9%
Pengukuran pletismometer dan pengamatan histopatologi hari ke-
14, 21, dan 28.
Kelompok 2 (waktu 1)
Pemberian larutan dosis natrium
iodoasetat 0,025 mL, hari ke-1 secara
intrartikular pada kaki kiri tikus
Pengukuran pletismometer dan
pengamatan histopatologi hari ke-14
Kelompok 3
(waktu 2)
Pemberian larutan
dosis natrium iodoasetat 0,025
mg/mL, pada hari ke-1 secara intrartikular pada kaki kiri tikus
Pengukuran pletismometerdan
pengamatan histopatologi hari ke-21
Kelompok 4 (waktu 3)
Pemberian larutan dosis natrium
iodoasetat 0,025 mg/mL, pada hari ke-1 secara intrartikular pada kaki kiri tikus
Pengukuran pletismometer dan pengamatan histopatologi hari ke-
28
Hasil terbaik waktu lamanya pemberian natrium iodoasetat (t) dari pengamatan
pertama dijadikan patokan untuk dilanjutkan ke pengamatan kedua, dan ketiga yaitu
perlakuan preventif dan kuratif ekstrak etanol 70% rumput mutiara dilihat dari parameter
hematologi.
2. Penghitungan Jumlah Leukosit, Limfosit dan Granulosit
Parameter yang dilihat secara hematologi dalam penelitian ini adalah melalu
penghitungan jumlah leukosit, limfosit dan granulosit. Pemeriksaan sel darah dilakukan pada
kelompok perlakuan preventif dan kuratif. Pada kelompok preventif, dilakukan pemeriksaan
hari ke-21 saat pemberian ekstrak sebelum induksi osteoartritis dan hari ke-49saat setelah
osteoartritis. Pada kelompok kuratif, dilakukan pemeriksaan darah pada hari ke-14, dan 28
saat terjadi osteoartritis dan hari ke- 49 selama pemberian ekstrak.
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
9
Tabel Error! No text of specified style in document..2 Perlakuan Terhadap Tikus
dengan Efek Preventif
No. Jumlah Hewan Uji (ekor) Kelompok Perlakuan
1. 5 Kontrol normal
Hari ke-1 sampai 21 diberikan 3 mL larutan CMC 0,5% per oral, hari ke-22 disuntik 0,025 mL larutan salin, dan hari ke-23 sampai 50 diberikan larutan CMC 0,5% per oral.
2. 5 Kontrol negatif
Hari ke-1 sampai 21 diberikan 3 mL larutan CMC 0,5% per oral, hari ke-22 diinjeksi 0,025 mL natrium iodoasetat pada lutut kiri secara intraartrikular dan hari ke-23 sampai 50 diberikan larutan CMC 0,5% per oral.
3. 5 Kontrol positif
Hari ke-1 sampai 21 diberikan 5 mL glukosamin dalam CMC 0,5% setara dosis 520 mg/200 gram BB tikus per oral, hari ke-22 disuntik 0,025 mL natrium iodoasetat pada lutut kiri secara intraartikular dan hari ke-23 sampai ke-50 diberikan 5 mL glukosamin dalam CMC 0,5% setara dosis 520 mg/200 gram BB tikus per oral
4. 5 Dosis I
Hari ke-1 sampai ke-21 diberikan bahan uji ekstrak kental 70% rumput mutiara setara dosis 180 mg/200 g BB tikus dalam CMC 0,5% per oral dan hari ke-22 diinjeksi 0,025 mL natrium iodoasetat pada lutut kiri secara intraartrikular, hari ke-23 sampai ke-50 diberikan ekstrak kental 70% rumput mutiara setara dosis 5,62 mg/200 g BB tikus dalam CMC 0,5% per oral.
5. 5 Dosis II
Hari ke-1 sampai 21 diberikan bahan uji ekstrak kental 70% rumput mutiara setara dosis 180 mg/200 g BB tikus jantan dalam CMC 0,5% per oral dan hari ke-22 diinjeksi 0,025 mL natrium iodoasetat pada lutut kiri secara intraartrikular, hari ke-23 sampai ke-50 diberikan ekstrak kental 70% rumput mutiara setara dosis 360 mg/200 g BB tikus dalam CMC 0,5% per oral.
6. 5 Dosis III
Hari ke-1 sampai 21 diberikan bahan uji ekstrak kental 70% rumput mutiara dosis 720 mg/200 g BB tikus jantan dalam CMC 0,5% per oral dan hari ke-22 diinjeksi 0,025 mL natrium iodoasetat pada secara intraartrikular, hari ke-23 sampai 50 diberikan ekstrak kental 70% rumput mutiara setara dosis serbuk 720 mg/200 g BB tikus dalam CMC 0,5% per oral
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
10
Tabel 3.3 Perlakuan Terhadap Tikus dengan Efek Kuratif
No Jumlah Hewan Uji
(ekor)
Kelompok Perlakuan
1
5
Kontrol Normal Hari ke-1 disuntik 0,025 mL larutan 0,9% salin secara intraartikular pada lutut kiri, pada hari ke-29 sampai 50 diberi 2 mL larutan CMC 0,5% per oral
2 5 Kontrol Negatif Hari ke-1 disuntik 0,025 mL natrium iodoasetat dalam larutan 0,9% salin secara intraartikular pada lutut kiri, pada hari ke-29 sampai 50 diberi 2 mL larutan CMC 0,5% per oral
3
5
Kontrol Positif
Hari ke-1 disuntik 0,025 mL natrium iodoasetat dalam larutan 0,9% salin secara intraartikular pada lutut kiri, pada hari ke-29 sampai 50 diberi 50 mL suspensi glukosamin dan kondroitin sulfat 780 mg/200 g BB dalam CMC 0,5% per oral
4 5 Dosis I Hari ke-1 disuntik 0,025 mL natrium iodoasetat dalam larutan 0,9% salin secara intraartikular pada lutut kiri, pada hari ke-29 sampai 50 diberi 2 mL suspensi ekstrak etanol 70% rumput mutiara setara dosis serbuk kering 180 mg/200 g BB dalam CMC 0,5% per oral
5 5 Dosis II Hari ke-1 disuntik 0,025 mL natrium iodoasetat dalam larutan 0,9% salin secara intraartikular pada lutut kiri, pada hari ke-29 sampai 50 diberi 2 mL suspensi ekstrak etanol 70% rumput mutiara setara dosis serbuk kering 360 mg/200 g BB dalam CMC 0,5% per oral
6 5 Dosis III Hari ke-1 disuntik 0,025 mL natrium iodoasetatdalam larutan 0,9% salin secara intraartikular pada lutut kiri, pada hari ke-29 sampai 50 diberi 2 mL suspensi ekstrak etanol 70% rumput mutiara setara dosis serbuk kering 720 mg/200 g BB dalam CMC 0,5% per oral
3. Pengukuran Berat Limpa
Pengukuran berat limpa dilakukan pada hari terakhir pada kelompok perlakuan preventif
dan kuratif. Tikus terlebih dahulu dikorbankan dengan cara dianastesi menggunakan ketamin
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
11
48 mg/ 200 g bb kemudian dibedah pada bagian abdomen dan diambil limpanya kemudian
ditimbang.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh diolah secara statistik menggunakan perangkat lunak statistik.
Jika non parametrik, analisis yang dilakukan menggunakan SPSS 16 yaitu dengan uji
homogenitas (uji Levene) dan kenormalan (uji Saphiro-Wilk). Kemudian untuk melihat
hubungan antara kelompok perlakuan, dilakukan analisis varian satu arah (ANAVA) jika data
terdistribusi normal dan homogen.Jika terdapat perbedaan signifikan antar kelompok,
dilakukan analisis uji Beda Nyata Terkecil (BNT).Namun, jika data tidak terdistribusi normal
dan homogen maka dilakukan analisis Kruskal-Wallis. Untuk melihat adanya perbedaan
digunakan Mann Whitney.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
a. Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Rumput Mutiara
Serbuk kering herba rumput mutiara yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan
dari PT. Bina Agro Mandiri. Herba rumput mutiara yang digunakan yaitu berupa akar, batang,
daun dan bunga. Serbuk kering diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Pelarut
yang digunakan adalah etanol 70% bertujuan agar senyawa aktif berupa flavanoid yang
cenderung polar dapat tertarik (Andriani, 2012). Etanol juga memiliki sifat kurang toksik
dibandingkan dengan pelarut polar lainnya. Ekstrak yang diperoleh berupa ekstrak kental,
berwarna hijau kecoklatan, berbau khas dan berasa pahit. Bentuk ekstrak dapat dilihat pada
Gambar 4.1
Gambar 4.1 Ekstrak Kental Rumput Mutiara
b. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Rumput Mutiara
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengkonfirmasi senyawa yang terkandung dalam
ekstrak etanol 70% rumput mutiara. Skrining fitokimia senyawa lainnya dilakukan di
BALITRO, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.1
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
12
Tabel. 4.1 Hasil Skrining kandungan ekstrak etanol 70% rumput mutiara
Senyawa yang diuji Hasil Flavanoid + Tanin + Saponin + Alkaloid + Glikosida + Triterpenoid + Steroid +
Berdasarkan hasil skrining fitokimia, didapatkan hasil bahwa ekstrak etanol rumput mutiara
mengandung flavanoid, tanin, saponin, alkaloid, glikosida, triterpenoid dan steroid.
c. Pembuatan Hewan Model Osteoartritis
Pada penelitian ini, kelompok yang diuji dalam pembuatan hewan model osteoartritis
ini berjumlah 4 kelompok dengan variasi waktu pengamatan menggunakan 0,025 mL natrium
iodoasetat dengan rute intraartikular (Janusz et al., 2001). Hasil induksi osteoartritis berupa
pembengkakan pada lutut (Gambar 4.4), dan terjadinya penurunan proteoglikan yang ditandai
dengan pudarnya warna merah pada preparat histopatologi (Pritzker, et al., 2006).
Gambar 4.3 Pengukuran volume udem lutut tikus menggunakan alat pletismometer
Keterangan: (a)Udem kelompok normal (diberi larutan salin 0.9%); (b) Udem kelompok 1 (diinduksi natrium iodoasetat 0,25 mg diamati selama 14 hari); (c) Udem kelompok 2 (diinduksi natrium iodoasetat 0,25 mg diamati selama 21 hari); (d) Udem kelompok 3 (diinduksi natrium iodoasetat 0,25 mg diamati selama 28 hari);
Gambar 4.4 Hasil Pengamatan Volume Udem Hewan Uji
Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat pada gambar (a) yaitu kelompok normal
tidak mengalami perubahan volume udem karena tidak diinduksi natrium iodoasetat. Gambar
(b) menunjukkan volume udem yang belum terlihat, sedangkan gambar (c) menunjukkan
volume udem terlihat lebih jelas dibanding kelompok normal dan kelompok 1. Gambar (d)
merupakan induksi dengan waktu pengamatan paling lama dari semua kelompok dan volume
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
13
udemnya paling besar. Tujuan dari pembuatan hewan model osteoartritis adalah memastikan
bahwa tikus benar-benar telah mengalami osteoartritis sehingga dapat digunakan acuan
penelitian selanjutnya yaitu pengamatan efek ekstrak rumput mutiara terhadap sistem imun.
Tabel. 4.2 Volume udem rata-rata tiap kelompok perlakuan pada hari ke-n
Perlakuan Volume Udem Lutut Tikus (mL) ± SD
Kontrol Normal 0,01 ± 0,01 Kelompok 1 0,06 ± 0,02* (Hari ke-14) Kelompok 2 0,11 ± 0,04* (Hari ke-21) Kelompok 3 0,16 ± 0,04* (Hari ke-28)
Keterangan: Kontrol normal = injeksi intraartikular larutan salin diamati pada hari ke-14, 21, dan 28. Kelompok 1= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-14. Kelompok 2= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-21. Kelompok 3= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-28. (*) Berbeda bermakna secara statistik dengan kontrol normal.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pemberian natrium iodoasetat mampu
membuat osteoartritis hewan uji. Hal ini ditandai dengan adanya tanda primer dari inflamasi,
yaitu terjadinya pembengkakan. Semakin lama waktu pengamatan dari induksi natrium
iodoasetat terlihat sebanding dengan tingkat keparahan osteoartritis. Perbandingan volume
udem rata-rata dapat dilihat pada Gambar 4.5
Keterangan : Kontrol normal = injeksi intraartikular larutan salin diamati pada hari ke-14, 21, dan 28. Kelompok 1= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-14. Kelompok 2= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-21. Kelompok 3= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-28.
Gambar 4.5 Grafik perbandingan volume udem rata-rata
0.01
0.06
0.11
0.16
00.030.060.090.120.150.180.21
Normal Kelompok1(harike-14)
Kelompok2(harike-21)
Kelompok3(harike-28)
Volumeud
emra
ta-rata(m
l)
Perbandinganvolumeudemrata-rata(ml)harike-0danharike-n
Udemharike-n
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
14
Selain udem, parameter lain yang dijadian acuan pembuatan model osteoartritis adalah
parameter histopatologi yang dilihat dari perubahan proteoglikan. Hasil preparat yang telah
diwarnai dilakukan pengamatan dan difoto (Gambar 4.3). Hasil foto diamati menggunakan
aplikasi ImageJ untuk menentukan rata-rata dari intesitas warna merah yang muncul.
Keterangan : (a) Histopatologi kelompok normal (diberi larutan salin 0.9%) perbesaran 100x; (b) Histopatologi kelompok 1 (diinduksi natrium iodoasetat 0,025 mL diamati selama 14 hari) perbesaran 100x; (c) Histopatologi kelompok 2 (diinduksi natrium iodoasetat 0,025 mL diamati selama 21 hari) perbesaran 100x; Histopatologi kelompok 3 (diinduksi natrium iodoasetat 0,025 mL diamati selama 28 hari) perbesaran 20x, skala 100µm; (*anak panah menunjukkan bagian proteoglikan)
Gambar 4.6 Hasil pengamatan histopatologi
Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat pada gambar (a) merupakan preparat
histopatologi kelompok normal. Tulang rawan terlihat memiliki warna merah pekat hal ini
menunjukkan tulang masih mempunyai proteoglikan yang banyak. Pada gambar (b) hingga
(d) terlihat adanya pemudaran warna merah berturut-turut. Hal ini menunjukan bahwa terjadi
penurunan proteoglikan pada tikus dan ini merupakan tanda keberhasilan pembuatan tikus
model osteoarthritis.
Pada analisis ImageJ, Semakin tinggi jumlah mean pada sofware ImageJ menunjukkan
intensitas warna merah yang semakin pudar. Semakin pudar warna merah menandakan
jumlah proteoglikan yang semakin berkurang. Berdasarkan uji statistik, kelompok 1, 2 dan 3
mempunyai perbedaan bermakna dengan kontrol normal. Kelompok 1 memiliki nilai (p=
0,02). Kelompok 2 memiliki nilai (p= 0,00) dan kelompok 3 (p=0,00).
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
15
Tabel. 4.3 Nilai intensitas warna histopatologi (mean) rata-rata tiap kelompok pembuatan tikus model osteoartritis
Perlakuan
Intensitas warna (mean) ± SD Kontrol Normal 128,06 ± 4,13
Kelompok 1 134,03 ± 5,62 (Hari ke-14) Kelompok 2 143,77 ± 5,91* (Hari ke-21) Kelompok 3 181,21 ± 5,71* (Hari ke-28)
Keterangan: Kontrol normal = injeksi intraartikular larutan salin diamati pada hari ke-14, 21, dan 28. Kelompok 1= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-14. Kelompok 2= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-21. Kelompok 3= injeksi intraartikular natrium iodoasetat diamati pada hari ke-28. (*) Berbeda bermakna secara statistik dengan kontrol negatif. Perbedaan bermakna uji statistik pada kelompok 2 dan 3 juga terdapat pada parameter
pengukuran volume udem. Hasil histopatologi menunjukkan hal yang sama dengan hasil
pengamatan udem. Perbedaan bermakna ini menunjukkan tikus sudah berhasil dibuat menjadi
model hewan osteoartritis.
d. Uji Efek Ekstrak Etanol Rumput Mutiara Terhadap Sistem Imun
Pengujian efek ekstrak etanol rumput mutiara terhadap sistem imun ditinjau dari
jumlah leukosit, limfosit dan granulosit. Pengujian dilakukan pada kelompok preventif hari
ke-21 dan 49, sedangkan pada kelompok kuratif dilakukan hari ke 14, 28 dan 49.
Tabel. 4.4 Jumlah rata-rata leukosit pada tiap kelompok preventif pada hari ke-21 dan 49
Perlakuan Jumlah rata-rata leukosit (x109/L)± SD Hari ke-21 Hari-49
Kontrol Normal 11,18 ± 2,26 10,82 ± 2,21* Kontrol Negatif 9,60 ± 2,08 20,65 ± 4,09 Kontrol Positif 11,26 ± 1,53 10,25 ± 2,57* Dosis 1 10,61 ± 0,99 13,96 ± 2,29* Dosis 2 11,83 ± 1,01 14,15 ± 0,83* Dosis 3 11,70 ± 1,32 12,6 ± 2,9*
Pada penghitungan leukosit hari ke-21 kelompok hewan uji preventif menunjukkan
jumlah rata-rata leukosit yang tidak jauh berbeda dengan kelompok kontrol normal.. Uji
statistik jumlah leukosit perlakuan preventif pada hari ke-21 tidak menunjukkan perbedaan
bermakna antar kelompok. Jumlah leukosit yang tidak jauh berbeda disebabkan oleh belum
adanya induksi dari natrium iodoasetat. Data jumlah leukosit pada hari ke-49 kelompok
preventif, diuji secara statistik dan diperoleh hasil adanya perbedaan bermakna pada
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
16
kelompok normal (p= 0,000), positif (p= 0,000), kelompok dosis 1 (p= 0,001), dosis 2 (0,003)
dan dosis 3 (p= 0,000) terhadap kelompok negatif. Hasil statistik menunjukkan bahwa bahan
uji berupa ekstrak etanol rumput mutiara memiliki kemampuan kontrol positif glukosamin
kondroitin.
Pada penghitungan leukosit hari ke-14 kelompok hewan uji kuratif menunjukkan
kenaikan jumlah rata-rata leukosit dengan kelompok kontrol normal. Uji statistik jumlah
leukosit perlakuan kuratif pada hari ke-14 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antar
kelompok. Tidak adanya perbedaan bermakna pada jumlah leukosit menunjukkan bahwa
pengaruh pemberian induksi natrium iodoasetat belum memberikan efek sistemik.
Tabel 4.5 Jumlah rata-rata leukosit pada tiap kelompok kuratif pada hari ke-14, 28 dan 49
Perlakuan Jumlah rata-rata leukosit (x109/L)± SD
Selama masa induksi Pemberian Ekstrak Hari ke-14 Hari ke-28 Hari-49
Kontrol Normal 11,18 ± 3,62 9,58 ± 1,89 10,57 ± 1,55* Kontrol Negatif 14,61 ± 3,34 16,75 ± 4,60 17,25 ± 3,15 Kontrol Positif 13,76 ± 2,22 15,78 ± 2,53 13,3 ± 3,41* Dosis 1 14,46 ± 1,79 16,7 ± 5,21 15,27 ± 3,05* Dosis 2 12,9 ± 1,33 15,46 ± 3,15 13,07 ± 1,88* Dosis 3 15,2 ± 2,76 18,67 ± 3,77 11,92 ± 2,02*
Pada penghitungan leukosit hari ke-28, kelompok perlakuan hewan uji menunjukkan
kenaikan leukosit dibandingkan hari ke-14 walaupun secara uji statistik, jumlah leukosit hari
ke-28 tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Profil kenaikan leukosit hari ke-14 dan 28
menunjukkan bahwa natrium iodoasetat sebagai bahan induksi memberikan pengaruh
terhadap sistem imun. Pemberian ekstrak etanol rumput etanol secara kuratif dari hari ke-29
hingga 49 mampu mempengaruhi sistem imun ditandai dengan adanya penurunan jumlah
leukosit pada kelompok uji. Hasil uji statistik hari ke-49 menunjukkan adanya perbedaan
bermakna. Kelompok dosis 1 dengan nilai (p= 0,002 ) dan dosis 2 dengan (p = 0,000) dan
kelompok 3 (p = 0,000) menunjukkan hasil yang berbeda bermakna dengan kelompok negatif.
Seperti halnya jumlah leukosit rata-rata pada hari ke-21 dan 49, pola yang sama juga
dijumpai pada profil limfosit rata-rata pada hari ke-21 dan 49. Harapan dari perlakuan
preventif yaitu pemberian ekstrak rumput mutiara secara preventif akan menghambat
proliferasi limfosit yang berlebihan akibat induksi natrium iodoasetat.
Hasil penghitungan jumlah limfosit kelompok hewan uji preventif hari ke-21
menunjukan jumlah yang tidak jauh berbeda antar kelompok dan tidak berbeda makna secara
statistik.
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
17
Tabel 4.6 Jumlah rata-rata limfosit pada tiap kelompok preventif pada hari ke-21 dan 49
Perlakuan Jumlah rata-rata limfosit (x109/L) ± SD
Selama masa induksi Setelah Pemberian Ekstrak Hari ke-21 Hari-49
Kontrol Normal 6,26 ± 0,98 6,35 ± 1,71* Kontrol Negatif 5,48 ± 0,79 14,3 ± 4,05 Kontrol Positif 6,9 ± 0,70 6,5 ± 1,81* Dosis 1 6,68 ± 1,16 8,34 ± 2,10* Dosis 2 5,58 ± 1,26 8,55 ± 1,06* Dosis 3 6,83 ± 0,46 7,97 ± 1,43*
Hasil statistik menunjukkan bahwa pada hari ke-49, kelompok normal (p=0,021), kelompok
positif (p= 0,021), kelompok dosis 2 (p = 0,043) dan dosis 3 (p= 0,043) memiliki perbedaan
bermakna dengan kelompok negatif. Kesimpulannya, dosis 2 dan dosis 3 yang diberikan
secara preventif mampu mempengaruhi jumlah limfosit.
Tabel 4.7 Jumlah rata-rata limfosit pada tiap kelompok kuratif pada hari ke-14,28 dan 49
Perlakuan Jumlah rata-rata limfosit (x109/L) ± SD
Selama masa induksi Pemberian Ekstrak Hari ke-14 Hari ke-28 Hari-49
Kontrol Normal 7,16 ± 2,19 5,65 ± 1,13 6,22 ± 1,93* Kontrol Negatif 10,1 ± 3,07 9,26 ± 1,37 17,25 ± 3,15 Kontrol Positif 9,46 ± 2,51 7,73 ± 2,66 7,5 ± 2,14* Dosis 1 9,38 ± 1,22 10,16 ± 1,75 8,6 ± 1,83* Dosis 2 9,3 ± 2,97 10,13 ± 2,64 7,9 ± 1,30* Dosis 3 8,36 ± 2,03 13,06 ± 3,91 8,14 ± 2,14*
Pada perlakuan kuratif, jumlah leukosit rata-rata pada hari ke-14 kelompok negatif,
positif, dosis 1,2 dan 3 lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. Pada hari ke-28 terjadi
kenaikan jumlah limfosit dibandingkan dengan hari ke-14. Hal ini disebabkan induksi natrium
iodoasetat sudah mulai mempengaruhi sistem imun secara sistemik. Pada hari ke-49, hasil uji
statistik jumlah limfosit pada hari ke-49, terdapat perbedaan bermakna antara kelompok
normal, kelompok positif, kelompok dosis 1, dosis 2, dan dosis 3 dengan nilai (p= 0,00)
dengan kelompok negatif. Jumlah limfosit rata-rata kelompok variasi dosis 1 dan 2 dan
kelompok positif mengalami penurunan limfosit. Kelompok kontrol induksi mengalami
peningkatan jumlah limfosit. Kesimpulannya, ekstrak etanol 70% rumput mutiara memiliki
pengaruh terhadap jumlah limfosit.
Granulosit juga merupakan bagian dari leukosit yang berperan sebagai parameter
sistem imun. Jumlah granulosit rata-rata dari kelompok preventif dan kuratif cenderung tidak
jauh berbeda antar kelompok.
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
18
Tabel. 4.8 Jumlah rata-rata granulosit pada kelompok preventif pada hari ke-21 dan 49
Perlakuan Jumlah rata-rata granulosit (x109/L) ± SD
Selama masa induksi Setelah Pemberian Ekstrak Hari ke-21 Hari-49
Kontrol Normal 2,61 ± 1,10 2,8 ± 0,75 Kontrol Negatif 2,08 ± 1,03 2,2 ± 0,74 Kontrol Positif 2,20 ± 0,92 3,65 ± 1,712 Dosis 1 1,86 ± 0,92 3,91 ± 1,43 Dosis 2 2,56 ± 1,02 3,3 ± 1,34 Dosis 3 2,75 ± 1,48 3,1 ± 1,32
Tabel. 4.9 Jumlah rata-rata granulosit pada tiap kelompok kuratif pada hari ke-14,28 dan 49
Perlakuan Jumlah rata-rata granulosit (x109/L) ± SD
Selama masa induksi Pemberian Ekstrak Hari ke-14 Hari ke-28 Hari-49
Kontrol Normal 2,71 ± 1,01 2,55 ± 0,75 2,60 ± 0,66 Kontrol Positif 3,00 ± 0,90 4,25 ± 1,75 4,10 ± 2,12 Kontrol Negatif 3,8 ± 2,67 4,56 ± 2,42 3,40 ± 1,77 Dosis 1 2,41 ± 0,87 4,93 ± 1,58 3,87 ± 1,11 Dosis 2 2,55 ± 0,94 3,36 ± 1,34 3,50 ± 1,32 Dosis 3 3,76 ± 1,95 4,9 ± 1,54 2,44 ± 0,87
Pola jumlah granulosit rata-rata yang nilainya tidak jauh berbeda antar kelompok dan
secara statistik tidak memiliki perbedaan bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak rumput mutiara selama 49 hari tidak mempengaruhi jumlah granulosit. Hal ini
disebabkan oleh induksi natrium iodoasetat tidak mempengaruhi kenaikan jumlah granulosit
secara signifikan, karena granulosit berisi basofil dan eosionofil bekerja dalam pertahanan
mekanisme alergi.
Limpa merupakan organ yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Limpa
bertugas untuk memproduksi dan mematangkan limfosit sel darah putih untuk selanjutnya
dikirim ke seluruh tubuh melalui kelenjar getah bening (Sherwood, 2001). Pada kelompok
preventif dan kuratif, kelompok dengan berat limpa rata-rata terendah adalah kelompok
positif. Kelompok negatif merupakan kelompok dengan berat limpa tertinggi dibanding
kelompok lain. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna berat limpa rata-
rata pada kelompok perlakuan preventif dan kuratif pada hari ke-49. Pada kelompok
perlakuan preventif dan kuratif, berat limpa rata-rata memiliki perbedaan bermakna antara
dosis 2 (p =0,019) dan dosis 3 (p= 0,021) terhadap kelompok negatif.
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
19
Tabel. 4.10 Jumlah rata-rata berat limpa pada kelompok preventif dan kuratif pada hari ke-49
Tikus yang mengalami pembesaran limpa berarti telah terjadi infeksi osteoartritis yang
dapat memicu limpa terus memproduksi sel darah putih sebagai respon imun sistemik. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa splenomegali atau pembesaran limpa merupakan keadaaan yang
biasanya terjadi akibat proliferasi limfosit T dan B dalam limpa karena infeksi di tempat lain
tubuh (Radji, 2011; Sherwood, 2001). Pada tikus yang dibuat osteoartritis, berat limpa rata-
ratanya lebih besar daripada tikus normal. Dari data tersebut terlihat bahwa efek splenomegali
paling besar terdapat pada kelompok negatif yang diinduksi natrium iodoasetat. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa splenomegali atau pembesaran limpa merupakan keadaaan yang biasanya
terjadi akibat proliferasi limfosit T dan B dalam limpa karena infeksi di tempat lain tubuh
(Radji, 2011; Sherwood, 2001).
Kesimpulan
1. Lamanya waktu pengamatan yang paling optimal dalam pembuatan hewan model
osteoartritis yang diinduksi natrium iodoasetat 0,25 mg adalah 28 hari. Hal ini dapat dilihat
dari hasil pengukuran udem dan histopatologi.
2. Ekstrak etanol 70% rumput mutiara secara preventif mempunyai efek penghambatan
proliferasi berlebihan dari leukosit dan limfosit melalui jalur inhibitor TNF-α. Secara kuratif,
ekstrak etanol 70% rumput mutiara mempunyai efek menurunkan jumlah leukosit dan
limfosit sehingga dapat digunakan untuk pencegahan maupun pengobatan pada osteoartritis.
3. Dosis yang memiliki efek paling baik pada perlakuan preventif adalah dosis 2 (11,25 mg/
200 g BB tikus) dan dosis yang memiliki efek paling baik pada perlakuan kuratif adalah dosis
1 (5,62 mg/ 200 g BB tikus). Hal ini dibuktikan adanya perbedaan bermakna penurunan
leukosit dan limfosit dengan kelompok negatif.
Perlakuan Rata-rata berat limpa (g) hari ke-49 ± SD
Preventif Kuratif Kontrol Normal 0,42 ± 0,11 0,43 ± 0,13 Kontrol Negatif 0,52 ± 0,15 0,62 ± 0,19 Kontrol Positif 0,39 ± 0,06 0,386 ± 0,14 Dosis 1 0,50 ± 0,13 0,61 ± 0,23 Dosis 2 0,46 ± 0,13* 0,43 ± 0,09* Dosis 3 0,43 ± 0,08* 0,44 ± 0,08*
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
20
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian ekstrak etanol 70%
rumput mutiara secara preventif dan kuratif dengan waktu yang lebih lama sehingga dapat
diketahui hubungan respon imun dengan efek jangka panjangnya.
Daftar Acuan Asyhar, A., Febriansah, A. Ashari, R.A. Susidarti, dan E. Meiyanto. (2008). Modulasi
ekspresi protein n-ras ekstrak etanolik rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) pada sel hepar tikus galur sprague dawley terinduksi 7,12-dimetilbenz[a]antra-sena). Pro siding Kongres Ilmiah XVI ISFI 2008. Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC), Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.
Dalimartha, S. (2008). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Materia Medika Indonesia jilid IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 119-123 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000) Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, M. M. (2005). Pharmacotherapy,
A Pathophysiologic Approach. New York: McGraw Hills. Federer, W. T. (1991). Statistics and society: data collection and interpretation 2nd ed. New York: Marcel
Dekker. Felson, D.T., (2008). Osteoartritis, HARRISON’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition, Mc Graw-Hill
Companies Inc, New York, 2158-2165 Haseeb, A, Haqqie M., (2013). Immunopathogenesis of Osteoarthritis. Elsavier, 146, 185 Janusz, et al., Hoookfin, E. B., Heitmeyer, S. A., (2001). Moderation of iodoacetate-induced experimental
osteoartritis in rats by matrix metalloproteinase inhibitors. Journal Osteoartritis Research Society International, 2, 751-760
Kim, HP., Son KH., Chang, HW. & Kang SS. (2004). Anti-inflammatory Plants Flavanoids and Cellular Action Mechanism. Journal of Pharmacological Sciences 4, 1-7.
Mishra, K, Dash, A. P., Swain B.K dan Dey, N. (2009). Antimalarial activities of Hedyotis corymbosa extract and their combination with curcumin. Malaria Journal 8, 26.
Pritzker, K.P., Gay, S., Jimenez, S.A., Ostergaard K., Pelletier J.P., Salter D., et al., (2006). Osteoartritis cartilage histopathology: grading and staging. Journal Osteoartritis Research Society International, 721-732
Pecchi, E., Priam, S., MLadenovic, Z., Gosset, M., Saurel, A., Aguillar, L., et al., (2011). A potential role of chondroitin sulfate on bone in osteoarthritis: inhibition of prostaglandin E2 and matrix metalloproteinases synthesis in interleukin-1b- stimulated osteoblasts. Ostearthritis and cartilage. 20, 127-135
Radji, M., (2011). Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan. Kedokteran. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan
Sherwood, L. (2001). Human Physiology: From Cells to Systems. Virginia: A Division of International Thomson Publishing Inc.
Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, dan Pramudiyo, S., Isbagio, H., Kalim, H., Broto, R., dan Pramudiyo, R., (2006), Osteoartritis, Jilid II, 1195-1201, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Vigorita, Vincent, (2003). Orthopaedic Pathology Handbook 2nd edition. New York: The McGraw Hills. Wijayakusuma, Hembing. (2008). Tumpas Hepatitis dengan Ramua Herbal. Jakarta: Pustaka Bunda, 70-73. WHO (2011). The burden of musculoskeletal conditions at the start of the new millennium. Article World Health Organization Technology,1, 917- 919.
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015
21
Efek preventif ..., Fitri Arum Sari, FFAR UI, 2015