efek antimikroba ekstrak etanol akar...
TRANSCRIPT
EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL AKAR GANTUNG
BERINGIN (FICUS BENJAMINA) TERHADAP BAKTERI METHICILIN-
RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS SECARA IN VITRO
DENGAN METODE DIFUSI SUMURAN
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
Putu Ijiya Danta Awatara
NIM: 145070100111001
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan ii
Pernyataan Keaslian Tulisan iii
Kata Pengantar iv
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar Isi viii
Daftar Gambar ix
Daftar Tabel xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Simbol, Singkatan, dan Istilah xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
1.4.1 Manfaat Keilmuan 3
1.4.2 Manfaat Aplikatif 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) 5
2.1.1 Taksonomi 5
2.1.2 Definisi 5
2.1.3 Epidemiologi 6
iii
2.1.4 Patogenesis 6
2.1.5 Mekanisme Resistensi 8
2.1.6 Penyakit yang disebabkan oleh MRSA 8
2.1.7.Perjalaan resistensi MRSA dan pengobatan sekarang 9
2.2.Pohon Beringin (Ficus Benjamina) 10
2.2.1 Taksonomi 10
2.2.2 Definisi 11
2.2.3 Manfaat Akar Gantung Beringin 11
2.2.4 Flavonoid 12
2.2.5 Tanin 14
2.3 Difusi Sumuran/Well Diffusion 14
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 16
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 16
3.2 Hipotesis Penelitian 18
BAB 4. METODE PENELITIAN 19
4.1 Rancangan Penelitian 19
4.2 Sampel Penelitian 19
4.3 Variabel Penelitian 19
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 20
4.5 Alat dan Bahan Penelitian 21
4.6 Definisi Operasional 25
4.7 Prosedur Penelitian 26
4.8 Skema Prosedur Penelitian 34
4.9 Skema Data Hasil Penelitian 35
4.10 Analisis Data 36
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 37
iv
5.1 Hasil Penelitian 37
5.1.1 Identifikasi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus 37
5.1.1.1 Pewarnaan Gram 37
5.1.1.2 Uji Katalase 38
5.1.1.3 Uji Koagulase 38
5.1.1.4 Kultur Mannitol Salt Agar 39
5.1.1.5 Uji Sensitivitas Cefoxitin 40
5.1.1.6 Hasil Ekstrak Akar Gantung Beringin 41
5.1.1.7 Hasil Penelitian Pendahuluan Difusi Sumuran 42
5.1.1.8 Hasil Penelitian Inti Difusi Sumuran 42
5.1.1.9 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pertumbuhan
Bakteri 45
5.2 Analisa Data 47
5.2.1 Hasil Pengujian Normalitas Data dan Homogenitas 47
5.2.2 Hasil Uji One-Way ANOVA 49
5.2.3 Hasil Uji Post Hoc Tukey 50
5.2.4 Hasil Uji Korelasi Pearson 51
5.2.5 Hasil Uji Regresi 53
BAB 6 PEMBAHASAN 54
BAB 7 PENUTUP 59
7.1 Kesimpulan 59
7.2 Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 63
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pohon Beringin (Ficus benjamina) 10
Gambar 2.2 Metode Difusi Agar 15
Gambar 4.1 Cara Pengukuran Diameter Zona Inhibisi 33
Gambar 5.1 Hasil Pewarnaan Gram 37
Gambar 5.2 Hasil Uji Katalase 38
Gambar 5.3 Hasil Uji Koagulase 39
Gambar 5.4 Hasil Kultur Mannitol Salt Agar 40
Gambar 5.5 Hasil Uji Sensitivitas Cefoxitin 41
Gambar 5.6 Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin 42
Gambar 5.7 Hasil Penelitian Pendahuluan 43
Gambar 5.8 Hasil Penelitian Inti 44
Gambar 5.9 Grafik Rerata Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri. 46
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Skema Data Hasil Penelitian 34
Tabel 5.1 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat 46
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov 48
Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas Levene 49
Tabel 5.4 Hasil Uji One-Way ANOVA 50
Tabel 5.5 Hasil Uji Post Hoc Tukey 51
Tabel 5.6 Hasil Uji Korelasi Pearson 52
Tabel 5.7 Tabel Hasil Regresi 53
Tabel 6.1 Aktivitas Antimikroba dari isolat senyawa akar gantung beringin 56
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Foto Alat dan Bahan 63
Lampiran 2 Hasil Uji Statistik 65
Lampiran 3 Determinasi Tanaman Beringin (Ficus benjamina) 70
viii
DAFTAR SIMBOL, SINGKATAN, DAN ISTILAH
BHIB : Brain Heart Infusion Broth
BHIA : Brain Heart Infusion Agar
C : Celcius
CFU : Colony Forming Unit
MHA : Mueller Hinton Agar
ml : Mililiter
mm : Milimeter
MRSA : Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
MSA : Mannitol Salt Agar
NAP : Nutrient Agar Plate
NCCLS: National Committee for Clinical Laboratory Standard
nm : Nanometer
OD : Optical Density
OI : Original Inoculum
pH : Potential of Hydrogen
µm : Mikrometer
% : Persentase
λ : Panjang Gelombang
ABSTRAK
Awatara, Putu Ijiya Danta. 2017. Efek Antimikroba Ekstrak Etanol Akar
Gantung Beringin ( Ficus Benjamina ) terhadap Bakteri Methicillin
Resistance Staphylococcus Aureus secara In Vitro dengan Metode
Difusi Sumuran. Tugas Akhir. Program Studi Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing : (1) dr. Siwipeni
Irmawanti Rahayu M.Biomed. (2) dr. Indriati Dwi Rahayu, M.Kes
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri
kokus Gram positif yang merupakan salah satu penyebab terbanyak infeksi
nosokomial di dunia. Infeksi nosokomial oleh MRSA seringkali bermula dari infeksi
di kulit, saluran pernafasan bawah, saluran kemih, dan sebagainya. Tingginya
resistensi MRSA terhadap berbagai antimikroba mendasari perlunya dieksplorasi
substansi lain sebagai kandidat alternatif terapi, salah satunya adalah beringin
(Ficus benjamina). Akar gantung beringin mengandung unsur bioaktif seperti
flavonoid dan tanin yang telah diketahui memiliki efek antimikroba. Penelitian ini
dilakukan untuk mempelajari efek antimikroba ekstrak etanol akar gantung
beringin (Ficus benjamina) terhadap MRSA secara in vitro dengan metode difusi
sumuran. Penelitian dilakukan sebagai eksperimen laboratoris untuk
mendapatkan diameter zona hambat pertumbuhan MRSA yang dibentuk oleh
ekstrak. Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin yang digunakan adalah
50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100%. Tiap perlakuan dilakukan dengan
pengulangan sebanyak 4 kali. Zona hambat yang terbentuk diukur menggunakan
jangka sorong. Analisa data dengan One-Way ANOVA menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada konsentrasi ekstrak akar gantung beringin yang
berbeda-beda dalam pembentukan zona hambat pertumbuhan MRSA (p< 0,05).
Uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan sangat kuat dengan arah
positif. Hal ini membuktikan bahwa kenaikan konsentrasi ekstrak sejalan dengan
efektivitas ekstrak sebagai antimikroba. Berdasarkan penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina)
mempunyai efek sebagai antibakteri terhadap bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus secara in vitro dengan metode difusi sumuran.
Kata Kunci : Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus, akar gantung beringin
(Ficus benjamina), efek antimikroba, difusi sumuran.
ii
ABSTRACT
Awatara, Putu Ijiya Danta. 2017. The Antimicrobial Effect of Banyan
Hanging Roots (Ficus Benjamina) Ethanol Extract against
Methicillin Resistance of Staphylococcus Aureus In Vitro
using Well Diffusion Method. Final Assignment. Medical
Program Faculty of Medicine Brawijaya University. Supervisors:
(1) dr. Siwipeni Irmawanti Rahayu M.Biomed. (2) dr. Indriati Dwi
Rahayu, M.Kes.
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a Gram-positive
cocci bacteria that is one of the leading causes of nosocomial infection in the
world. Nosocomial infections caused by MRSA is most commonly started from
skin infections, lower respiratory tract infections, urinary tract infections, etc. The
high-rated resistance of MRSA toward various antimicrobial agents becomes the
reason of importance to explore other substances that might be suitable as
candidate of alternate therapy, one of them is banyan (Ficus benjamina). Banyan
hanging roots has bioactive elements such as flavonoids and tannins which have
been known to have antimicrobial agents. The study was conducted to
investigate the antimicrobial effects of banyan hanging roots (Ficus benjamina)
ethanol extract against MRSA in vitro using well diffusion method. The research
was a laboratory experiment aimed to obtain inhibitory zone diameter of MRSA.
The concentrations of ethanol extract of banyan hanging root were 50%, 60%,
70%, 80%, 90% and 100%. Each treatment was repeated 4 times. The inhibition
zone was measured using a caliper. Statistical analysis using One-Way ANOVA
showed significant difference between different extract concentrations toward
inhibition zone formation of MRSA (p <0,05). Pearson correlation test showed
very strong relationship with the positive direction. This is the proof that higher
concentration caused wider inhibition zone. Based on this research, it can be
concluded that banyan hanging roots (Ficus benjamina) ethanol extract has
antimicrobial effect on Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in vitro using
well diffusion method.
Keywords : Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus, banyan hanging roots
(Ficus benjamina), antimicrobial effect, well diffusion.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri
kokus gram positif yang merupakan salah satu penyebab terbanyak infeksi
nosokomial di dunia (Graffunder dan Venezia, 2002). Infeksi nosokomial adalah
infeksi yang terjadi dalam waktu 48 jam setelah masuk rumah sakit, 3 hari dari
rawat inap atau 30 hari pasca operasi. Infeksi nosokomial menyerang 1 dari 10
pasien yang dirawat di rumah sakit (Inweregbu et al., 2005). Infeksi nosokomial
yang disebabkan oleh MRSA paling banyak bermula dari infeksi luka, infeksi
saluran pernafasan bawah, infeksi saluran kemih, septikemia, luka bakar, luka
akibat tekanan, infeksi daerah infasif dan ulcer. (Ducel et al., 2012). Infeksi
nosokomial masih merupakan masalah serius. World Health Organization (WHO)
mencatat terjadinya infeksi nosokomial pada 5.7% dari 55 rumah sakit dari 14
negara (Eropa, Asia Tenggara, Timur Mediterania, dan Pasifik Barat) . Saat ini,
lebih dari 1.4 juta orang di seluruh dunia menderita komplikasi dari infeksi
nosokomial. Frekuensi terbesar terjadi di Asia Tenggara dengan angka
prevalensi 10%. Angka prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia adalah 7.1%
dengan angka mortalitas neonatus mencapai 12-15% (Allegranzi, 2011).
Regimen terapi utama untuk infeksi MRSA adalah Vancomycin.
Resistensi MRSA terhadap antimikroba lain seperti Penicillin dan Cephalosporin
menyebabkan terapi dengan kedua antimikroba tersebut tidak lagi digunakan.
Meskipun demikian, resistensi MRSA terhadap Vancomycin juga mulai terjadi.
Sebuah penelitian di Jepang pada tahun 1997 telah menemukan adanya bakteri
MRSA yang resisten terhadap Vancomycin (Hiramatsu et al., 1997). Berdasarkan
fakta tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk menemukan antimikroba alternatif
untuk terapi bakteri MRSA.
Salah satu alternatif pengobatan infeksi bakteri di era pengobatan modern
adalah menggunakan bahan herbal. Indonesia menyimpan kekayaan alam yang
melimpah, khususnya dibidang tumbuhan herbal. Beberapa tahun terakhir ini
telah banyak dilakukan penelitian terhadap potensi tumbuhan beringin (Ficus
benjamina) sebagai kandidat agen antimikroba. Ficus benjamina adalah jenis
pohon evergreen (berdaun hijau sepanjang tahun), monoecious (berumah satu),
memiliki mahkota bunga yang lebar dan memiliki akar yang menggantung.
Beringin masih jarang dimanfaatkan oleh manusia namun memiliki potensi terapi
medis (Imran dkk., 2014; Truchan et al., 2016). Akar gantung adalah salah satu
bagian yang paling aktif dari beringin. Analisis kandungan bioaktif di bagian
tersebut menunjukkan berbagai kandungan bioaktif, salah satunya adalah
flavonoid, yang dapat menjadi agen antimikroba melalui mekanisme
menghambat sintesis asam nukleat dan mengganggu fungsi membran
sitoplasma. Kedua mekanisme tersebut menyebabkan gangguan metabolisme
energi pada bakteri (Cushnie dan Lamb, 2005). Selain flavonoid, juga terdapat
kandungan senyawa tanin yang bekerja pada dinding sel bakteri dengan
kemampuannya untuk mengendapkan protein (Ojha, 2013)
Berdasarkan uraian diatas, terdapat kemungkinan bahwa akar gantung
beringin (Ficus benjamina) memiliki efek antimikroba, termasuk terhadap MRSA.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efek antimikroba ekstrak etanol akar
gantung beringin (Ficus benjamina) terhadap pertumbuhan bakteri MRSA.
Melalui penelitian ini, penulis berharap tanaman ini dapat menjadi inovasi
sebagai alternatif agen antimikroba dalam upaya penanggulangan infeksi,
terutama yang disebabkan oleh MRSA.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Apakah ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina)
memiliki efek antimikroba terhadap bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus secara in vitro dengan metode difusi
sumuran?
1.3. TUJUAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Mempelajari efek antimikroba ekstrak etanol akar gantung
beringin (Ficus benjamina) terhadap bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus secara in vitro dengan metode difusi
sumuran
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
1. Mengetahui hubungan antara kenaikan konsentrasi ekstrak
etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) terhadap
hambatan pertumbuhan bakteri Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus.
1.4. MANFAAT
Manfaat Keilmuan:
1. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian
selanjutnya dalam bidang kesehatan, khususnya tentang potensi
pengobatan infeksi nosokomial menggunakan ekstrak etanol akar
gantung beringin (Ficus benjamina).
2. Peluang publikasi dalam jurnal-jurnal ilmiah dan mendapatkan
paten tentang potensi antimikroba terhadap Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus.
Manfaat Aplikatif:
1. Pengembangan metode pengobatan infeksi nosokomial di
rumah sakit yang khususnya disebabkan oleh bakteri
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus yang efektif dan
non resisten.
2. Dapat dijadikan sebagai pertimbangan perusahaan industri
obat untuk menciptakan suatu alternatif baru dalam
pembuatan obat antimikroba dengan menggunakan ekstrak
Etanol Akar Gantung beringin (Ficus benjamina).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
2.1.1 Taksonomi
Taksonomi dari bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus adalah
sebagai berikut (UniProt, 2017):
Kingdom : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacili
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
2.1.2 Definisi
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram-positif yang berbentuk
kokus, biasanya tersusun dalam kelompok ireguler seperti anggur.
Staphylococcus aureus ditemukan sebagai bagian dari flora normal manusia di
30% populasi serta memiliki potensi sebagai patogen bagi manusia. Manifestasi
klinis yang berat akibat bakteri ini diantaranya adalah abses kulit, selulitis,
endokarditis, dan septic arthritis (Morell et al., 2010)
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus atau MRSA adalah jenis
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik methicillin. Bakteri yang
masih sensitif terhadap methicillindisebut Methicillin Sensitive Staphylococcus
aureus (MSSA). Resistensi MRSA terhadap methicillin juga diikuti dengan
resistensi terhadap penisilin, cephalosporin, betalaktam, macrolide, tetracycline,
chloramphenicol, dan quinolon (Ducel et al., 2012; Goyal et al., 2013)
2.1.3 Epidemiologi
Penyebaran strain MRSA yang juga disebut sebagai superbug (multi-drug
resistant organism) telah menjadi tantangan baru bagi sistem kesehatan dan
pengembangan obat-obatan di dunia. Prevalensi infeksi MRSA di unit perawatan
intensif rumah sakit di Amerika Serikat terus meningkat dari 2 % pada tahun
1974 menjadi 22 % pada tahun 1995 dan 64 % pada tahun 2004. Jumlah ini naik
pada tahun 2005, dimana 58 % (278.000) pasien rawat inap diagnosis terinfeksi
MRSA. Menurut perkiraan pada tahun tersebut, hampir 19.000 kematian
disebabkan oleh MRSA. Selain itu, MRSA kini dianggap salah satu penyebab
utama kematian yang disebabkan oleh bakteri patogen tunggal. Selain
menyebabkan infeksi nosokomial, MRSA juga sudah menyebar ke masyarakat,
menginfeksi individu tanpa faktor risiko yang diketahui (Morell et al., 2010)
2.1.4 Patogenesis
Fase pertama pada patogenesis infeksi Staphylococcus aureus adalah
kolonisasi. Kolonisasi dapat menyebabkan penyebaran antar manusia ke
manusia. Cara penyebaran utama adalah kontak langsung melalui kulit yang
terinfeksi koloni bakteri dan pada tingkat lebih rendah, kontak dengan pakaian
penderita. Bakteri Staphylococcus aureus juga terdapat di hidung pada 20-50%
manusia. Gangguan pertahanan kulit (misalnya abrasi atau luka bakar) serta
kondisi imunosupresif (misalnya, HIV, penggunaan steroid, penyakit genetik) juga
memiliki peran dalam meningkatkan faktor resiko terjadinya infeksi bakteri
Staphylococcus aureus (Brooks et al., 2012)
Fase awal infeksi Staphylococcus aureus diawali dengan perlekatan
pada jaringan inang dengan menggunakan kumpulan protein di permukaan yang
dikenal sebagai Microbial Surface Components Recognizing Adhesive Matrix
Molecules (MSCRAMMS). Setelah menempel ke permukaan, Staphylococcus
aureus mengambil berbagai sumber daya agar dapat menghindari sistem
kekebalan tubuh hospes yang akan mencegah berkembangnya infeksi (Brooks
et al., 2012) .
Ketika keadaan memungkinkan untuk menyerang pertahanan hospes,
Maka dinding sel Staphylococcus aureus akan dapat membentuk biofilm pada
permukaan inang untuk bertahan dengan menghindari pertahanan host dan
antimikroba. (Gordon dan Lowy, 2008)
Untuk bertahan hidup di tengah-tengah sistem kekebalan tubuh inang.
Kapsul antifagositik memberikan pertahanan utama terhadap sel imun fagosit
hospes, yaitu neutrofil, monosit, dan makrofag. Penelitian juga menunjukkan
bahwa Staphylococcus aureus menggunakan fibronectin-binding protein untuk
menghindari fagositosis dalam tubuh hospes (Brooks et al., 2012) .
Bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan toksin yang dapat
menyebabkan gangguan fisiologis pada sel hospes. Toksin dapat diklasifikasikan
sebagai superantigen yang memicu aktivasi banyak sitokin dan proliferasi sel-T.
Hal ini menyebabkan inflamasi dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang
luas. Exfoliative toxin memicu timbulnya eritema serta pengelupasan kulit, seperti
pada kasus Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Brooks et al., 2012).
Secara in vitro Staphylococcus aureus juga dapat menyerang dan
bertahan di dalam sel epitel, termasuk sel endotel, yang juga memungkinkan
untuk lolos dari pertahanan inang, terutama pada endokarditis. Staphylococcus
aureus juga mampu membentuk Small-Colony Variants (SCVs), yang dapat
menyebabkan infeksi persisten dan rekuren. SCVs dapat menyembunyikan sel
inang tanpa menyebabkan kerusakan sel inang yang berarti dan relatif
terlindungi dari antibiotik dan pertahanan inang. (Gordon dan Lowy, 2008)
2.1.5 Mekanisme Resistensi
Staphylococcus aureus telah mengembangkan beberapa mekanisme
pertahanan untuk menghindari sifat bakterisida dari methicillin. Mekanisme
tersebut meliputi hambatan ekspresi methicillin yaitu hidrolisis βlaktamase serta
perubahan bentuk dari Penicillin Binding Protein (PBP) yang mengikat methicillin.
Resistensi methicillin pada Staphylococcus aureus paling sering melibatkan
kromosom yang disebut elemen ‘mec’. Gen mecA, terdapat di dalam elemen mec
dan berfungsi sebagai pengkode protein 76 kDa yang disebut Penicillin Binding
Protein 2a (PBP2a). Protein ini memiliki afinitas yang rendah terhadap antibiotik
β-laktam. Oleh karena itu, walaupun bakteri yang memiliki molekul PBP normal
dihambat oleh β-laktam, bakteri yang mengekspresikan PBP2a akan dapat
melanjutkan perakitan dinding sel, dan bertahan hidup dalam paparan methicillin
(Morell et al., 2010).
2.1.6 Penyakit yang disebabkan oleh Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus
Manifestasi klinis dari infeksi Staphylococcus aureus sangat bervariasi.
Infeksi kulit adalah bentuk infeksi Staphylococcus aureus yang paling sering
ditemui. Infeksi kulit yang sering terjadi adalah abses, impetigo bulosa, folikulitis,
furunkulosis, dan necrotizing fasciitis. Jika Staphylococcus aureus menembus
pertahanan kulit dan berhasil menghindari sistem kekebalan tubuh hospes,
maka infeksi dapat berlanjut pada bentuk infeksi yang lebih berat, yaitu sepsis,
septic arthritis, osteomyelitis, dan endokarditis. Toksin yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus juga dapat menginduksi kondisi toxic shock syndrome
dan gastroenteritis. Penyakit ini membutuhkan perawatan intensif, karena
pengobatan toxic shock syndrome membutuhkan penggantian cairan dan
pengawasan tekanan darah (Morell et al., 2010).
2.1.7 Perjalanan resistensi MRSA dan pengobatan sekarang
Tahun 1928, seorang ilmuwan Skotlandia, Alexander Flemming,
menemukan antimikroba penisilin dari Penicillium notatum. Penisilin adalah
antibiotik β-laktam yang mengikat dan menghambat formasi protein dalam
bakteri berupa penicillin binding protein (PBP) Protein ini berfungsi untuk
pembentukan, pemeliharaan, dan regulasi peptidoglikan dinding sel.
Apabila PBP diikat oleh antibiotik β-laktam, proses transpeptidasi peptidoglikan
terhambat, sehingga dinding sel melemah dan dapat menyebabkan kematian sel
bakteri (Macheboeuf et al., 2006). Tidak lama setelah pengenalan penisilin
sebagai terapi klinis di tahun 1940-an, strain baru Staphylococcus aureus
dengan cepat muncul dan mensekresikan enzim yang disebut penicillinase, yang
menghidrolisis penisilin menjadi penicilloic acid yang tidak aktif. Selanjutnya,
pada tahun 1959, Beecham memperkenalkan metisilin, antimikroba golongan
beta laktam yang resisten terhadap penicillinase. Strain pertama methicillin-
resistant S. aureus kemudian dilaporkan di Eropa hanya beberapa tahun setelah
metisilin ditemukan. Kurang dari satu dekade kemudian, MRSA diidentifikasi di
Amerika Serikat di Rumah Sakit Boston sebanyak hampir 20 pasien (Morell et al.,
2010). Pengobatan yang dilakukan pada kasus infeki MRSA saat ini adalah
vancomycin. Meskipun demikian, sebuah penelitian di Jepang pada tahun 1997
telah menemukan adanya bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
vancomycin. Strain bakteri ini disebut dengan Vancomycin-resistant
Staphylococcus aureus (VRSA) (Hiramatsu et al., 1997).
2.2 Pohon Beringin (Ficus benjamina)
2.2.1 Taksonomi
Gambar 2.1 Pohon Beringin (Ficus benjamina)
Menurut Integrated Taxonomic Information System 2014 beringin atau Ficus
benjamina termasuk dalam sistem taksonomi berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Rosales
Family : Moraceae
Genus : Ficus
Species : Ficus benjamina L.
2.2.2 Definisi
Ficus benjamina atau biasa disebut Beringin atau Weeping Fig adalah
jenis pohon evergreen (berdaun hijau sepanjang tahun), monoecious (berumah
satu), memiliki mahkota yang lebar dan memiliki akar yang menggantung. Pohon
beringin memiliki ukuran yang besar dengan tinggi maksimal 8 m dan memiliki
mahkota serta akar gantung yang menjulur kebawah sepanjang 10 m. Berbagai
jenis pohon beringin sering ditemukan di Indonesia sebagai pohon besar sebagai
tempat untuk berteduh hingga tanaman hias seperti bonsai. Pohon beringin
tumbuh di berbagai belahan dunia seperti India, Cina Selatan, Asia Tenggara,
Malaysia, Filipina, Australia Utara, dan kepulauan Pasifik Selatan. Selain itu,
tanaman ini juga dibudidayakan di beberapa negara seperti Samoa Prancis,
Polinesia, Kepulauan Marshall, Majuro, Tonga hingga Florida, Amerika Serikat
(Imran dkk., 2014).
2.2.3 Manfaat Akar Gantung Beringin
Pohon beringin terkenal memiliki manfaat di bidang kesehatan. Getah dan
daun dari beringin memiliki potensi sebagai obat antiradang, gangguan kulit,
gangguan pencernaan, kusta dan malaria. Selain itu tanaman ini juga memiliki
potensi sebagai antimikroba, antinyeri, antidemam, dan antikanker. Selain di
bidang kesehatan, daun dan rantingnya juga dapat digunakan sebagai repellant
serangga. Beberapa manfaat diatas disebabkan oleh karena pada akar gantung
pohon beringin banyak mengandung unsur bioaktif seperti flavonoid dan tanin.
Selain itu pada daun dan buah terdapat kandungan cinnamic acid, lactose,
naringenin, quercetin, caffeic acid dan stigmasterol (Imran dkk., 2014).
Beringin juga mengandung berbagai variasi alkaloid yang juga dapat
bermanfaat sebagai fitokompleks yang memiliki potensi antioksidan yang tinggi.
(Novelli et.al, 2014)
2.2.4 Flavonoid
Besarnya manfaat medis dari pohon beringin ini disebabkan oleh
tingginya kandungan kimia dan biologis di bagian dari tumbuhan ini. Salah
satunya adalah kandungan flavonoid. Flavonoid adalah struktur kimia golongan
fenolik yang memiliki satu gugus karbonil. Flavonoid dibutuhkan oleh tumbuhan
sebagai bahan fotosintesis sehingga banyak sekali ditemukan kandungan
flavonoid di dalam tumbuhan. Senyawa ini ditemukan dalam buah, sayuran,
kacang-kacangan, biji-bijian, batang dan bunga, teh, anggur , propolis dan madu,
dan berbagai jenis tumbuhan lainnya (Imran dkk., 2014).
Flavonoid memiliki banyak sel target dan tidak spesifik pada satu target
tertentu dalam aktivitasnya sebagai agen antimikroba. Salah satu dari aktivitas
molekuler mereka adalah membentuk kompleks dengan protein melalui kekuatan
nonspesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik, serta pembentukan
ikatan kovalen. Dengan demikian, aktivitas antimikroba dari flavonoid dapat juga
dikaitkan dengan kemampuan inaktivasi microbial adhesins, enzim, cell envelope
transport protein, dan sebagainya. Lipophilic flavonoid juga dapat mengganggu
membran sel dari mikroba (Kumar dan Pandey, 2013).
Flavonoid mampu menghambat metabolisme bakteri melalui hambatan
sintesis asam nukleat dan gangguan fungsi membran sitoplasma. Kedua
mekanisme tersebut menimbulkan gangguan produksi energi dalam bakteri
(Cushnie dan Lamb, 2005). Flavonoid menghambat sintesis asam nukleat
melalui Ring B dari flavonoid yang memiliki peran dalam interkalasi (ikatan)
hidrogen dengan susunan basa asam nukleat sehingga terjadi hambatan pada
sintesis DNA dan RNA. Selain itu beberapa penulis menyatakan bahwa senyawa
flavonoid seperti quercetin mengikat subunit gyrB dari DNA gyrase bakteri
Escherichia coli sehingga terjadi hambatan aktivitas enzim ATPase. Flavonoid
dapat mengganggu fungsi membran sitoplasma melalui kandungan
sophoraflavanone G yang mampu mengurangi fluiditas lapisan luar dan dalam
membran. Flavonoid dapat mengganggu produksi energi bakteri melalui
licochalcones dengan cara menghambat respirasi bakteri, sehingga energi tidak
dapat diproduksi. (Cushnie dan Lamb, 2005; Cushnie dan Lamb, 2005).
Naringenin dan sophoraflavanone G memiliki aktivitas antimikroba
terhadap bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan
streptokokus. Perubahan fluiditas membran sel dalam kondisi hidrofilik dan
hidrofobik dapat dikaitkan dalam aktivitas flavonoid yang dapat mengurangi
fluiditas lapisan luar dan dalam dari membrane sel (Kumar dan Pandey, 2013).
2.2.5 Tanin
Selain flavonoid, juga terdapat kandungan tanin pada pohon beringin.
Tanin adalah polifenol yang larut dalam air dan sering ditemukan pada tumbuhan
herbal dan berkayu yang berukuran tinggi. Tanin dikandung oleh banyak bahan
makanan seperti teh, kakao, kacang, anggur, stroberi dan kesemek. Tanin juga
dikategorikan aman sebagai zat adiktif makanan (Ojha, 2013).
Tanin dikenal memiliki kandungan antimkroba. Senyawa ini mampu
menghambat pertumbuhan bakteri karena kemampuannya bekerja pada dinding
sel. Hal ini disebabkan karena tanin mampu mengendapkan protein. (Akiyama et
al., 2001; Rini, 2009). Tannin dapat mengikat protein yang dinamakan adhesin
pada permukaan bakteri. Pengikatan ini dapat merusak reseptor pada
permukaan sel bakteri. Selain itu , tanin dapat membentuk kompeks senyawa
yang irreversible dengan suatu protein bernama prolin dimana ikatan ini memiliki
kemampuan untuk menghambat sintesis protein untuk membentuk dinding sel
bakteri (Agnol et al., 2003).
2.4 Difusi Sumuran/ Well Diffusion
Metode difusi sumuran/ well diffusion digunakan untuk mengevaluasi
aktivitas antimikroba dari tanaman atau ekstrak mikroba. Sama seperti prosedur
yang digunakan dalam metode disk diffusion, permukaan plate agar diinokulasi
dengan menyebarkan inokulum mikroba di atas permukaan seluruh agar. Agar
kemudian dilubangi dengan perforator steril berdiameter 6 mm untuk diisi dengan
agen antimikroba atau larutan ekstrak dengan volume 20-100 µL dengan
konsentrasi yang sudah ditentukan. Agar kemudian diinkubasi dalam kondisi
yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme uji. Agen antimikroba akan
berdifusi dalam media agar dan menghambat pertumbuhan mikroba. Kerja
antimikroba pada difusi sumuran dilihat dengan terbentuknya zoba inhibisi di
sekitar sumuran, yang menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan mikroba
(Baloiri et al., 2015)
Gambar 2.2 Metode Difusi Agar: (A) Metode disk-diffusion menggunakan jamur Candida albicans (B) Metode agar well diffusion menggunakan bakteri Aspergillus niger (C) Metode agar plug diffusion dari bakteri Bacillus sp. Terhadap jamur Candida albicans. (Baloiri et al., 2015)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus
Ekstrak Etanol akar gantung
beringin (Ficus benjamina)
Flavonoid
Hambatan sintesis asam
nukleat, gangguan fungsi
membran sitoplasma
gangguan produksi energi
dalam bakteri.
Inaktivasi enzim
intraseluler gangguan
fungsi membran dan sintesi
dinding sel
Tanin
Hambatan pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri
Gram positif yang merupakan penyebab utama dari infeksi nosokomial di dunia
(Graffunder dan Venezia, 2002). MRSA dapat menyerang dan bertahan hidup di
dalam sel epitel, termasuk sel-sel endotel, dan memungkinkan untuk melarikan
diri pertahanan host dan berbagai jenis antimikroba. MRSA juga dapat
menyebabkan infeksi persisten dan berulang. Staphylococcus. aureus memiliki
banyak karakteristik lain yang membantu menghindari sistem kekebalan tubuh
host selama infeksi. Selama infeksi, Staphylococcus. aureus menghasilkan
berbagai enzim, seperti protease, lipase, dan elastase, yang memungkinkannya
untuk menyerang dan menghancurkan jaringan hospes dan bermetastasis ke
bagian lain. Staphylococcus. aureus juga mampu menyebabkan syok septik
dengan berinteraksi dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh host dan jalur
koagulasi. (Gordon dan Lowy, 2008). Pada saat ini antibiotik yang sensitif
terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus adalah vancomycin dan
teicoplanin. Pada saat yang sama, bakteri MRSA ini terus berkembang sehingga
menjadi resisten pula terhadap vancomycin. (Hiramatsu et al.,1997). Uraian
diatas menunjukkan bahwa infeksi nosokomial yang disebabkan oleh MRSA ini
adalah masalah yang serius di dunia kesehatan dan perlu segera ditemukan
antibiotik alternatif baru untuk mengatasi permasalahan ini.
Dalam penelitian ini digunakan ekstrak etanol akar gantung beringin
(Ficus benjamina) yang mengandung senyawa flavonoid yang memiliki sifat
antimikroba. Flavonoid memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis asam
nukleat dan mengganggu fungsi membran sitoplasma, sehingga menyebabkan
gangguan metabolisme energi pada bakteri. (Cushnie dan Lamb, 2005). Selain
flavonoid, juga terdapat kandungan senyawa tanin (Ojha, 2013). Selain bekerja
pada dinding sel, tanin dapat mengendapkan protein pada membran sel bakteri.
Mekanisme kerja tanin lainnya adalah dengan menginaktivasi enzim intraseluler,
yang salah satunya adalah enzim glycosyltransferase. Enzim ini berfungsi pada
pembentukan senyawa glycans yang merupakan bahan dasar peptidoglikan,
lipopolisakarida dan kapsul sel bakteri (Cowan,1999; Akiyama et al.,2001; Rini,
2009; Abdollahzadeh et al.,2010).
Berdasarkan uraian diatas, dapat diperkirakan bahwa ekstrak etanol akar
gantung beringin (Ficus benjamina) memiliki potensi untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
3.2 Hipotesis Penelitian
Ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) memiliki efek
antimikroba terhadap bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) secara in vitro dengan metode difusi sumuran.
1
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental
laboratoris dengan rancangan true experimental post test only control group
design, dengan fokus penelitian pada keadaan bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) setelah perlakuan berupa pemberian ekstrak
etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) secara in vitro. Tujuan penelitian
ini adalah membuktikan bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus
benjamina) memiliki efek antimikroba terhadap bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus secara in vitro dan perbandingannya dengan vancomycin
sebagai medikamentosa yang sudah terbukti efektif terhadap bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus dengan metode difusi sumuran.
4.2 Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus yang didapat dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
4.2.1 Estimasi Jumlah Pengulangan
Jumlah pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
rumus (Solimun, 2001) :
p ( n – 1 ) ≥ 15
Keterangan:
2
p = jumlah perlakuan yang dilakukan
n = jumlah pengulangan tiap perlakuan
Penelitian ini menggunakan 7 macam perlakuan yaitu ekstrak etanol akar
gantung beringin (Ficus benjamina) konsentrasi 50%, 60%, 70%, 80%, 90%,
100% dan akuades sebagai kontrol., maka :
p (n-1) ≥ 15
7 (n-1) ≥ 15
7n – 7 ≥ 15
7n ≥ 22
n ≥ 3,14 ( dibulatkan keatas menjadi 4)
Jumlah perlakuan ulang (n) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
3,14 yang kemudian dibulatkan menjadi 4 kali pengulangan.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi 50%, 60%, 70%,
80%, 90%, 100% ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) dan
akuades sebagai kontrol. Pemilihan konsentrasi ini didasarkan pada hasil
penelitian pendahuluan.
4.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah diameter zona inhibisi yang
dibentuk oleh ekstrak pada media agar yang telah diinokulasi oleh bakteri
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus.
3
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang dari bulan Mei 2017 sampai Juli 2017.
4.5. Alat dan Bahan Penelitian
4.5.1 Alat
4.5.1.1 Alat untuk Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram
1. Object Glass
2. Pipet
3. Bunsen
4. Ose
5. Korek Api
6. Mikroskop
7. Wadah pewarnaan
4.5.1.2 Alat untuk Tes Katalase
1. Object glass
2. Pipet
3. Tabung reaksi
4.5.1.3 Alat untuk Tes Koagulase
1. Tabung reaksi
2. Pipet
3. Inkubator
4
4.5.1.4 Alat untuk Uji Mannitol Salt Agar
1. Mikropipet
2. Ose
3. Inkubator
4. Cawan petri
4.5.1.5 Alat untuk Uji Nutrient Agar
1. Mikropipet
2. Ose
3. Inkubator
4. Cawan petri
4.5.1.6 Alat untuk Uji Sensitifitas Cefoxitin
1. Ose
2. Inkubator
3. Cawan petri
4.5.1.7 Alat untuk Ekstraksi Akar Gantung Beringin
1. Toples bertutup
2. Corong gelas
3. Timbangan
4. Gelas ukur
5. Botol
6. Erlenmeyer
7. Rotary evaporator
8. Beaker glass
9. Kertas saring
5
10. Waterbath
11. Gunting
4.5.1.8 Alat untuk Tes Difusi Sumuran ( Uji Antimikroba Ekstra Akar
Gantung Beringin)
1. Tabung reaksi
2. Cawan petri
3. Mikropipet
4. Inkubator
5. Pinset steril
6. Jangka Sorong dengan ketelitian 0.1 mm
7. Perforator diameter 5 mm
8. Spectrophotometer
4.5.2 Bahan
4.5.2.1 Bahan untuk Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram
1. Pewarna Gram ( Kristal Violet, Lugol, Alkohol 96%, Safranin)
2. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
3. Kertas penghisap
4.5.2.2 Bahan untuk Tes Katalase
1. H2O2 3%
2. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
3. Akuades
4.5.2.3 Bahan untuk Tes Koagulase
1. Lateks atau serum mamalia
6
2. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
4.5.2.4 Bahan untuk Uji Mannitol Salt Agar
1. Media MSA (Mannitol Salt Agar)
2. Normal saline (NaCl 0.9%)
3. Akuades
4. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
4.5.2.5 Bahan untuk Uji Nutrient Agar
1. Media Nutrient Agar
2. Normal saline (NaCl 0.9%)
3. Akuades
4. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
4.5.2.6 Bahan untuk Uji Sensitifitas Cefoxitin
1. Media Mueller Hinton Agar (MHA)
2. Cefoxitin disk 30 µg
3. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
4.5.2.7 Bahan untuk Ekstraksi Akar Gantung Beringin
1. Akar gantung beringin (Ficus benjamina)
2. Pelarut etanol 96%
4.5.2.8 Bahan untuk Tes Difusi Sumuran ( Uji Antimikroba Ekstra Akar
Gantung Beringin)
1. Ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina)
2. MHA (Mueller Hinton Agar)
3. Kultur bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
7
4. Akuades
4.6 Definisi Operasional
1. Akar gantung beringin (Ficus benjamina) yang digunakan dalam
penelitian ini didapatkan dan diidentifikasi di Laboratorium Batu Materia
Medika (BMM) di Batu .
2. Ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) adalah ekstrak
yang diperoleh dengan ekstraksi akar akar gantung beringin kering yang
telah dihaluskan dengan bahan pengestrak etanol 96%. Ekstraksi
dilakukan melalui proses maserasi dan evaporasi untuk menghilangkan
pelarut etanol. Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
3. Bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang
digunakan dalam penelitian berasal dari isolat yang dimiliki oleh
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang.
4. Kelompok perlakuan penelitian pendahuluan adalah kelompok dalam
penelitian yang mendapatkan perlakuan ekstrak etanol akar gantung
beringin dengan konsentrasi 3.125%, 6.25%, 12.5%, 25%, 50%, 100%.
Konsentrasi tersebut dipilih untuk memastikan bahwa penelitian
pendahuluan telah meliputi konsentrasi rendah (kurang dari 10%) dan
konsentrasi tinggi (100%).
5. Kelompok perlakuan penelitian inti adalah kelompok dalam penelitian
yang mendapatkan perlakuan ekstrak etanol akar gantung beringin
dengan konsentrasi 0%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 100%. Penentuan
konsentrasi penelitian inti didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan.
8
6. Kelompok Kontrol adalah kelompok dalam penelitian yang mendapatkan
perlakuan dengan akuades.
7. Aktivitas antimikroba diuji dengan menggunakan metode difusi sumuran.
Daya antimikroba ditunjukkan dengan adanya zona inhibisi berupa
daerah jernih di sekitar sumuran. Zona inhibisi menunjukkan kemampuan
suatu bahan dalam menghambat pertumbuhan suatu bakteri. Zona
inhibisi dukur dengan menggunakan jangka sorong dengan satuan
millimeter (mm).
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram
1. Object glass dibersihkan dan dipanaskan di atas nyala api bunsen burner.
2. Sedian apusan bakteri dibuat diatas object glass, kemudian ditunggu
hingga kering dan difiksasi dengan bunsen burner
3. Sediaan dituangi kristal violet yang berfungsi sebagai bahan warna dasar,
diamkan hingga 1 menit. Sisa kristal violet dibuang dan preparat dibilas
dengan air.
4. Sediaan dituangi dengan lugol selama 1 menit. Sisa lugol dibuang dan
preparat dibilas dengan air.
5. Sediaan dituangi dengan larutan alkohol 96% selama 5-10 detik atau
sampai warna cat luntur. Sisa alcohol 96% dibuang dan preparat dibilas
dengan air .
6. Sediaan dituangi safranin yang berfungsi sebagai bahan warna
pembanding, dan didiamkan hingga 30 detik. Sisa safranin dibuang dan
preparat dibilas dengan air.
9
7. Sediaan dikeringkan menggunakan kertas penghisap, lalu ditetesi minyak
emersi dan dilihat dibawah mikroskop. Bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus berbentuk kokus dengan sifat pewarnaan Gram
positif (berwarna warna ungu).
4.7.2 Tes Katalase
1. Satu ose akuades diletakkan pada object glass.
2. Satu koloni bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus diambil
dengan menggunakan ose, lalu dibuat emulsi dengan akuades pada
object glass.
3. Larutan H2O2 (hidrogen peroksida) 3% diteteskan diatas emulsi tersebut
dan diamati pembentukan gelembung gas O2. Hasil uji katalase
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus adalah positif.
4.7.3 Tes Koagulase
1. Satu ose akuades diletakkan pada object glass.
2. Satu koloni bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus diambil
dengan menggunakan ose, lalu dibuat emulsi dengan akuades pada
object glass.
3. Satu tetes test lateks atau serum mamalia diteteskan diatas emulsi. Uji
koagulase positif jika terbentuk gumpalan pada object glass. Hasil uji
koagulase Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus adalah positif.
4.7.4 Uji Mannitol Salt Agar
1. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus dari medium
cair distreaking pada medium MSA (Mannitol Salt Agar).
10
2. Medium MSA kemudian diinkubasi pada suhu 37º C selama 18-24 jam.
3. Koloni Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus pada MSA (Mannitol
Salt Agar) akan mengubah warna agar menjadi berwarna kuning karena
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus mampu memfermentasikan
manitol.
4.7.5 Uji Sensitifitas Cefoxitin
1. Biakan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus distreaking
pada medium Mueller Hinton Agar (MHA)
2. Antibiotik Cefoxitin 30 µg ditempelkan pada permukaan medium MHA
yang telah distreaking dengan bakteri.
3. Medium MHA diinkubasi pada suhu 37º C selama 18-24 jam.
4. Zona inhibisi disekitar sumuran diukur dengan menggunakan jangka
sorong. Jika diameter inhibisi ≤ 22 mm maka dapat dikatakan resisten
terhadap golongan methicillin (cefoxitin) atau disebut juga bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (Fernandes dkk, 2005).
4.7.6 Persiapan Suspensi Uji Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Persiapan suspensi uji Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus ( 106 CFU/ml)
adalah sebagai berikut :
1. Beberapa koloni bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
dipindahkan ke NB (Nutrient Broth) menggunakan ose dan diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37ºC.
2. Dilakukan spektrofotometri dengan panjang gelombang 625 nm untuk
mengetahui OD (Optical Density) dari suspensi.
11
3. Untuk mendapatkan konsentrasi bakteri sebesar 108 CFU/ml (sesuai
standar McFarland 0.5) yang setara dengan OD=0.1 maka dilakukan
perhitungan sebagai berikut :
Keterangan :
N1 = hasil spektrofotometri
V1 = Volume bakteri yang akan ditambah pengencer
N2 = OD ( 0,1 setara 108 CFU/ml)
V2 = volume suspensi bakteri uji ( 10ml)
Hasil yang didapat dari spektrofotometri (108 CFU/ml) selanjutnya diencerkan
sebanyak 100x dengan menggunakan NB (nutrient broth) sehingga diperoleh
suspensi dengan konsentrasi bakteri 106 CFU/ml.
4.7.7 Ekstraksi Akar Gantung Beringin
1. Akar gantung beringin dicuci bersih dengan air mengalir lalu digunting
sampai membetuk bagian yang lebih kecil kemudian ditimbang sebanyak
1000 gram.
2. Akar gantung beringin dikeringkan selama 3 hari dengan suhu 40 ºC.
Tanaman dikatakan sudah kering apabila bagian tanaman sudah hancur
ketika diremas.
3. Akar gantung yang telah kering kemudian ditimbang kembali dan
dihaluskan dengan blender, diayak hingga mendapatkan simplisia.
4. Simplisia diletakkan ke dalam wadah dan tuangkan etanol 96% sebanyak
800 ml untuk merendam simplisia, kemudian diamkan selama 1 jam
dengan suhu 25ºC.
N1 X V1 = N2 X V2
12
5. Massa dipindahkan ke dalam toples secara hati-hati kemudian
ditambahkan etanol 96% sebanyak 200 ml. Tutup toples dengan rapat
selama 48 jam dan dishaker diatas shaker digital rpm 50.
6. Ekstrak cair disaring dengan penyaring kain dan ditampung dalam
Erlenmeyer.
7. Remaserasi dilakukan pada ampas sebanyak satu kali dengan cara
memasukkan ampas kembali ke dalam toples dan ditambah dengan
pelarut sampai terendam (minimal 5 cm diatas permukaan simplisia).
Kemudian dibiarkan semalam atau 8 jam di atas shaker. Remaserasi
menggunakan pelarut etanol 96% sebanyak 800 ml
8. Hasil ekstrak cair pertama sampai dengan terakhir dijadikan satu dan
diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator. Diperlukan waktu 3
jam 30 menit untuk evaporasi.
9. Ekstrak cair yang dihasilkan kemudian dievaporasi atau diuapkan kembali
di ata waterbath selama 2 jam untuk menghilangkan etanol. Memastikan
kandungan etanol masih terdapat pada ekstrak dengan cara memasukan
ekstrak pada tisu, apabila menguap maka masih terdapat etanol.
10. Hasil ekstraksi diletakkan dalam botol plastik atau kaca warna gelap lalu
disimpan di dalam freezer
4.7.8. Penelitian Pendahuluan
Penelitian ini digunakan metode difusi sumuran dengan melakukan
pengukuran zona inhibisi yang diukur menggunakan jangka sorong di sekitar
sumuran yang berisi ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina).
Empat cawan petri yang terinokulasi dengan Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus pada media MHA kemudian diberi bahan uji konsentrasi
13
3.125, 6.25%, 12.5%, 25%, 50%,100%, dan akuades sebagai kontrol. Tahapan
yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Sebanyak 1 ml bakteri diambil dengan menggunakan mikropipet
kemudian dituangkan pada cawan petri yang berisi MHA
sebanyak 14 ml dan plate diputar secara perlahan agar bakteri
dan media menjadi homogen.
2. Setelah suspensi bakteri dan media bercampur dengan baik dan
medium telah mengeras, pada setiap cawan petri dibuat 4 lubang
sumuran dengan diameter 5 mm menggunakan perforator steril.
3. Masing-masing lubang sumuran pada cawan petri diisi dengan
satu konsentrasi sehingga mewakili 4 pengulangan dan masing-
masing diberi label. Cawan petri pertama berisi 40µl akuades
sebagai kontrol, cawan petri kedua berisi larutan ekstrak etanol
akar gantung beringin dengan konsentrasi 3.125%, cawan petri
ketiga berisi konsentrasi 6.25%, cawan petri keempat berisi
konsentrasi 12.5%, cawan petri kelima berisi konsentrasi 25%,
cawan petri kelima berisi konsentrasi 50%, dan cawan petri
ketujuh berisi konsentrasi 100%.
4. Setelah semua lubang berisi larutan perlakuan, cawan petri
dimasukkan kedalam inkubator dan diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37ºC.
Setelah inkubasi, zona inhibisi yang terbentuk dapat diukur dengan
menggunakan jangka sorong
14
4.7.9. Tes Difusi Sumuran ( Uji Antimikroba Ekstra Akar Gantung Beringin)
Penelitian ini digunakan metode difusi sumuran dengan melakukan
pengukuran zona inhibisi yang diukur menggunakan jangka sorong di sekitar
sumuran yang berisi ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina).
Empat cawan petri yang terinokulasi dengan Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus pada media MHA kemudian diberi bahan uji konsentrasi
50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 100%, dan akuades sebagai kontrol. Tahapan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Sebanyak 1 ml bakteri diambil dengan menggunakan mikropipet
kemudian dituangkan pada cawan petri yang berisi MHA
sebanyak 14 ml dan plate diputar secara perlahan agar bakteri
dan media menjadi homogen.
2. Setelah suspensi bakteri dan media bercampur dengan baik dan
medium telah mengeras, pada setiap cawan petri dibuat 4 lubang
sumuran dengan diameter 5 mm menggunakan perforator steril.
3. Masing-masing lubang sumuran pada cawan petri diisi dengan
satu konsentrasi sehingga mewakili 4 pengulangan dan masing-
masing diberi label. Cawan petri pertama berisi 40µl akuades
sebagai kontrol, cawan petri kedua berisi larutan ekstrak etanol
akar gantung beringin dengan konsentrasi 50%, cawan petri
ketiga berisi konsentrasi 60%, cawan petri keempat berisi
konsentrasi 70%, cawan petri kelima berisi konsentrasi 80%,
cawan petri kelima berisi konsentrasi 90%, dan cawan petri
ketujuh berisi konsentrasi 100%.
15
4. Setelah semua lubang berisi larutan perlakuan, cawan petri
dimasukkan kedalam inkubator dan diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37ºC.
5. Setelah inkubasi, zona inhibisi yang terbentuk dapat diukur
dengan menggunakan jangka sorong.
4.7.10. Pengamatan dan Pengukuran
Larutan yang diletakan di dalam sumuran akan memberikan zona bebas
bakteri mengelilingi daerah sumuran. Luas zona inhibisi berbanding lurus pada
kekuatan sampel dalam menghambat bakteri. Zona inhibisi yang dihasilkan
mempunyai bentuk lingkaran dan diukur menggunakan jangka sorong dengan
ketelitian 0,1 satuan milimeter (mm). Pengukuran diameter zona inhibisi
dilakukan sebanyak 4 kali (arah vertikal, horizontal dan dua arah diagonal) dan
dihitung rata-ratanya. Diameter diukur dari batas terluar dari zona inhibisi dari
satu sisi ke sisi lainnya.
A
B
C
Gambar 4.1 Cara Pengukuran Diameter Zona Inhibisi
X= (A+B+C+D)/4
X= Diameter zona inhibisi
16
4.8 Skema Prosedur Penelitian
Kultur bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus dalam MHA
Dilakukan pengenceran 1x106
CFU/ml
Cawan petri dilubangi menjadi 4
bagian (d= 5mm)
(1) 40µl
akuades
sebagai
kontrol
(2) 40µl
ekstrak
etanol akar
gantung
beringin
konsentrasi
50%
(3) 40µl
ekstrak
etanol akar
gantung
beringin
konsentrasi
60%
(4) 40µl
ekstrak
etanol akar
gantung
beringin
konsentrasi
70%
(5) 40µl
ekstrak
etanol akar
gantung
beringin
konsentrasi
80%
(6) 40µl
ekstrak
etanol akar
gantung
beringin
konsentrasi
90%
(7) 40µl
ekstrak
etanol akar
gantung
beringin
konsentrasi
100%
Dimasukkan ke dalam inkubator
selama 24 jam suhu 37ºC.
Pengukuran diameter zona inhibisi Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus menggunakan
jangka sorong dngan ketelitian 0,1 mm
Data hasil diameter zona hambat di
analisa dengan analisis statistik
17
4.9 Skema Data Hasil Penelitian
Tabel 4.1 Skema Data Hasil Penelitian Efek Antimikroba Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin
Pengulangan Kontrol
(Akuades)
50% 60% 70% 80% 90% 100%
1 .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm
2 .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm
3 .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm
4 .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm .....mm
4.10 Analisis Data
Data hasil pengujian antimikroba dianalisis dengan memakai uji statistik
sebagai berikut (Nisbet et al.,2009) :
1. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov (Uji K-S) untuk mendeteksi
normalitas dari suatu data
2. Uji Homogenitas (Levene) untuk mengetahui kesamaan atau
homogenitas varian dari beberapa populasi
Apabila hasil menunjukkan data berdistribusi normal dan homogen, maka
data digolongkan sebagai data parametrik. Selanjutnya dilakukan uji komparasi,
uji post hoc, uji korelasi, dan uji regresi sebagai berikut:
18
1. Uji analisis varian satu arah (ANOVA), untuk melihat perbedaan efek
antimikroba ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap pertumbuhan
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
2. Uji Post Hoc Tukey HSD Test, untuk membandingkan perbedaan antara
pemberian dua konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin.
3. Uji Korelasi (Pearson) untuk mengetahui hubungan jumlah konsentrasi
ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap pertumbuhan Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus.
4. Uji Regresi untuk mengetahui besarnya hubungan dan efek antimikroba
ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap pertumbuhan Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus.
Apabila hasil menunjukkan data berdistribusi tidak normal dan atau tidak
homogen, maka dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Apabila hasil
transformasi masih menghasilkan data yang tidak tersebar normal dan atau tidak
homogeny, maka data tersebut diuji sebagai data non-parametrik. Uji yang
dilakukan untuk data non-parametrik meliputi uji komparasi, uji post-hoc dan uji
korelasi:
1. Uji Komparasi Kruskal-Wallis kemudian dilanjutkan uji Post Hoc Mann
Whitney untuk melihat perbedaan efek antimikroba ekstrak etanol akar
gantung beringin terhadap pertumbuhan Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus.
2. Uji Korelasi (Spearman) untuk mengetahui hubungan jumlah konsentrasi
ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap pertumbuhan Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Identifikasi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus yang akan
digunakan dalam penelitian ini diperoleh dan telah identifikasi di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Proses identifikasi terdiri
dari uji pewarnaan Gram, uji katalase, Uji koagulase, Kultur Mannitol Salt Agar,
dan Uji Sensitivitas Cefoxitin.
5.1.1.1 Pewarnaan Gram
Gambar 5.1 Hasil Pewarnaan Gram Bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Area yang ditandai pada pada Gambar 5.1 menunjukkan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus merupakan Gram positif yang
ditandai dengan warna ungu yang tersusun dalam kelompok ireguler seperti
anggur.
5.1.1.2 Uji Katalase
Hasil uji katalase pada bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
menunjukkan hasil positif dengan ditandai terbentuknya gelembung udara
setelah koloni bakteri ditetesi hidrogen peroksida. Gelombang udara terjadi
karena adanya pemecahan ikatan hidrogen peroksida pada koloni bakteri yang
menandakan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus membentuk enzim
katalase. Hasil ini dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Hasil Uji Katalase Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
5.1.1.3 Uji Koagulase
Hasil uji koagulase pada bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus menunjukkan hasil positif dengan ditandai terbentuknya gumpalan pada
object glass. Gumpalan pada object glass terjadi akibat bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase yang mampu
menggumpalkan serum mamalia. Faktor serum bereaksi dengan koagulase
untuk membentuk esterase dan memicu terjadinya penggumpalan, serta untuk
mengaktivasi protrombin menjadi trombin. Trombin akan membentuk fibrin yang
akan berpengaruh terhadap terjadinya penggumpalan plasma. Hasil ini dapat
dilihat pada Gambar 5.3, yang menunjukkan adanya butir-butir kecil seperti pasir
sebagai tanda adanya proses koagulasi. Staphylococcus selain Staphylococcus
aureus umumnya tidak menghasilkan koagulase.
Gambar 5.3 Uji Koagulase Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
5.1.1.4 Kultur pada Mannitol Salt Agar
Kultur pada Mannitol Salt Agar bertujuan untuk membedakan bakteri
untuk membedakan bakteri Staphylococcus aureus dengan Staphylococcus jenis
lain dalam hal kemampuan memfermentasi manitol. Mannitol Salt Agar
merupakan media diferensial yang mengandung manitol dan indikator pH phenol
red. Staphylococcus aureus akan menghasilkan koloni kuning dengan zona
kuning di sekitar koloni karena adanya fermentasi manitol. Fermentasi ini
merubah pH medium menjadi asam dan merubah warna medium dari merah
menjadi kuning. Hasil ini dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4 Hasil Kultur Mannitol Salt Agar Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
5.1.1.5 Uji Sensitivitas Cefoxitin
Uji Sensitivitas Cefoxitin bertujuan untuk membedakan MRSA dan
Staphylococcus aureus non-MRSA. Bakteri MRSA resisten terhadap antibiotik
golongan meticilin karena kemampuannya menghasilkan enzim β-laktamase.
Pada Gambar 5.5 dapat diamati bahwa diameter inhibisi di sekitar disk Cefoxitin
adalah 20 mm (kurang dari 23 mm) sehingga dapat dikategorikan sebagai bakteri
yang resisten terhadap golongan methicillin. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri
uji merupakan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
Gambar 5.5 Hasil Uji Sensitivitas Cefoxitin Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
5.1.1.6 Hasil Ekstrak Akar Gantung Beringin
Gambar 5.6 Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin
Ekstrak akar gantung beringin dilakukan di Laboratorium Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya sebanyak 300 gram menggunakan
metode maserasi dengan pelarut etanol 96%. Gambar 5.5 diatas menunjukkan
bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin berwarna hitam dan keruh dengan
konsistensi kental.
5.1.1.7 Hasil Penelitian Pendahuluan Menggunakan Metode Difusi Sumuran
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
ekstrak etanol akar gantung beringin yang akan digunakan pada penelitian difusi
sumuran yaitu 100%, 50%, 25%, 12.5%, 6.25%, dan 3.125%. Daya antimikroba
ditandai adanya zona hambat pertumbuhan bakteri di sekeliling sumuran.
Penelitian pendahuluan menghasilkan zona hambat di konsentrasi 100% dan
50%. Hasil ini dapat dapat diamati pada gambar 5.6. Selanjutnya untuk penelitian
inti digunakan konsetrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 100%, 90%, 80%,
70%, 60%, dan 50%.
5.1.1.8 Hasil Penelitian Inti Menggunakan Metode Difusi Sumuran
Penentuan zona hambat menggunakan difusi sumuran pada penelitian
ini dilakukan dengan mengamati terbentuknya zona hambat pertumbuhan bakteri
yang ada disekeliling sumuran. Zona hambat yang dihasilkan mempunyai bentuk
lingkaran dan diukur menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0.1 mm.
Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin yang digunakan adalah 100%,
90%, 80%, 70%, 60%, 50%, dan 0%. Hasil difusi sumuran dapat diamati pada
Gambar 5.7
Gambar 5.7 Hasil Penelitian Pendahuluan Menggunakan Metode Difusi Sumuran
Keterangan gambar :
1. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 100% dengan rerata zona hambat 11.63 mm
2. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 50% dengan rerata zona hambat 10.28 mm
3. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 25% dengan rerata zona hambat 0 mm
4. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 12.5% dengan rerata zona hambat 0 mm
5. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 6.25% dengan rerata zona hambat 0 mm
6. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 3.125% dengan rerata zona hambat 0 mm
K : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 0% dengan rerata zona hambat 0 mm
Gambar 5.8 Hasil Penelitian Inti Difusi Sumuran Konsentrasi Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50% dan 0% .
Keterangan Gambar
1. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 100% dengan rerata zona hambat 10.17 mm
2. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 90% dengan rerata zona hambat 8.80 mm
3. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 80% dengan rerata zona hambat 7.95 mm
4. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 70% dengan rerata zona hambat 8.41 mm
5. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 60% dengan rerata zona hambat 8.52 mm
6. : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 50% dengan rerata zona hambat 7.38 mm
K : Konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin 0% dengan rerata zona hambat 0 mm
A : Pengulangan Uji Difusi Sumuran I
B : Pengulangan Uji Difusi Sumuran II
C : Pengulangan Uji Difusi Sumuran III
D : Pengulangan Uji Difusi Sumuran IV
Gambar 5.7 menunjukkan adanya variasi ukuran diameter besar zona
hambat pertumbuhan bakteri setelah diinkkubasi selama 18-24 jam. Secara
umum, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak akar gantung beringin
maka semakin besar zona hambat yang terbentuk.
5.1.1.9 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa konsentrasi ekstrak etanol
akar gantung beringin (100%,90%,80%,70%,60%,50%, dan 0%). Efektivitas
antimikroba ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus diuji dengan metode difusi sumuran.
Perbedaan daya antimikroba ditentukan dengan besar diameter zona hambat
pertumbuhan bakteri yang terbentuk pada medium BHI (Brain Heart Infusion)
yang telah dicampur dengan isolate bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus. Mueller Hinton Agar kemudian dilubangi dengan perforator steril untuk
membentuk sumur dengan diameter 6 mm. Lubang sumuran ditetesi dengan
ekstrak etanol akar gantung beringin dan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu
370C.
Zona hambat yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi
memiliki rata-rata diameter yang berbeda-beda. Semakin besar diameter zona
hambat yang terbentuk, maka semakin besar daya antimikrobanya. Berdasarkan
hasil uji difusi sumuran dapat diukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri
dan dapat ditentukan besar zona hambat pada masing-masing konsentrasi
ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap pertumbuhan bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus. Hasil perhitungan zona hambat ekstrak akar
gantung beringin disajikan dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin (Ficus Benjamina) terhadap
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Konsentrasi (%)
Zona Hambatan Ekstrak Akar Gantung Beringin
(mm)
Rerata (mm)
Standar Deviasi
Pengulangan (mm)
I II III IV
0% 6 6 6 6 6 0 50% 8.45 7.19 7.16 6.74 7.38 0.739818 60% 8.75 8.29 9.08 7.98 8.52 0.487166
70% 8.93 7.73 8.69 8.31 8.41 0.523112 80% 7.45 7.83 8.14 8.38 7.95 0.400569 90% 7.50 8.30 8.20 11.21 8.80 1.645207
100% 11.45 9.31 8.78 11.15 10.17 1.326665
Gambar 5.9 Grafik Rerata Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus pada Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin.
6
7.38
8.52 8.41 7.95
8.8
10.17
0
2
4
6
8
10
12
0% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Grafik Rerata Zona Hambatan Bakteri
Zo
na
Ham
ba
t (m
m)
Kelompok Perlakuan
Berdasarkan Tabel 5.2 dan Gambar 5.8 di atas dapat dilihat adanya
perbedaan rerata diameter zona hambatan yang menunjukkan adanya
perbedaan daya antimikroba masing-masing perlakuan. Kelompok kontrol
akuades tidak menunjukkan adanya daya antimikroba. Kelompok perlakuan 100
% menunjukkan zona hambatan yang terbesar dengan rerata 10.17 mm. Ekstrak
akar gantung beringin dengan konsentrasi 50%, 60%, 70%, 80%, 90%
menghasilkan zona hambatan yang menunjukkan bahwa ekstrak akar gantung
beringin dengan konsentrasi tersebut memiliki daya antimikroba untuk
menghambat pertumbuhan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
5.2 Analisis Data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik yang
diperoleh berdasarkan hasil perhitungan zona hambat pertumbuhan bakteri pada
Brain Heart Infusion Agar. Uji statistik yang digunakan yaitu uji statistic One-Way
ANOVA, uji korelasi Pearson dan uji regresi. Sebelum dilakukan uji statistik
tersebut, data harus berdistribusi normal dan varian data sama.
5.2.1 Hasil Pengujian Normalitas Data dan Homogenitas Varian pada
Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin
Data Hasil penelitian diuji dengan uji normalitas sebagai syarat untuk
melakukan uji One Way ANOVA. Untuk menguji apakah sampel penelitian
merupakan jenis sampel dengan distribusi normal maka digunakan pengujian
Kolmogorov-Smirnov.
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov pada Ekstrak Akar Gantung Beringin ( Ficus benjamina)
Konsentrasi Rerata Diameter Zona Hambatan (mm)
Ekstrak Akar Gantung Beringin
Uji Kolmogorov Smirnov
Angka Signifikansi Zona Hambat
0% 6
0.200
50% 7.38
60% 8.52
70% 8.41
80% 7.95
90% 8.80
100% 10.17
Keterangan Tabel :
p = 0.200 : distribusi normal (p>0.05)
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa nilai zona hambat signifikansi adalah
0.200 (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa data rerata diameter zona
hambat pertumbuhan bakteri ekstrak akar gantung beringin berdistribusi normal.
Setelah dilakukan uji Kolmogorov Smirnov, dilakukan uji homogenitas varians
data untuk mendeteksi apakah sampel dalam penelitian merupakan sampel yang
homogen.
Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas Levene pada Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin (Ficus benjamina)
Konsentrasi Rerata Diameter Zona Hambatan (mm)
Ekstrak Akar Gantung Beringin
Uji Homogenitas
Angka Signifikansi Zona Hambat
0% 6
0.258
50% 7.38
60% 8.52
70% 8.41
80% 7.95
90% 8.80
100% 10.17
Keterangan Tabel :
P = 0.258 : homogen ( p > 0.05)
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa nilai signifikansi adalah 0.258 (p>0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa ragam data rerata diameter zona hambat
pertumbuhan bakteri ekstrak akar gantung beringin homogen.
5.2.2 Hasil Uji One-Way ANOVA Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri pada
Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin
Data hasil penelitian yang berupa diameter zona hambatan dianalisis
dengan menggunakan uji One-Way ANOVA, untuk mengetahui adanya
perbedaan pemberian berbagai konsentrasi ekstrak akar gantung beringin
terhadap rerata diameter zona hambatan.
Tabel 5.4 Uji One-Way ANOVA antara Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin (Ficus benjamina) terhadap Diameter Zona Hambat Pertumbuhan
Bakteri
Konsentrasi Rerata Diameter Zona Hambatan (mm)
Ekstrak Akar Gantung Beringin
Uji One-Way ANOVA
Angka Signifikansi Zona Hambat
0% 0
0.000
50% 7.38
60% 8.52
70% 8.41
80% 7.95
90% 8.80
100% 10.17
Keterangan Tabel
P = 0.000 : Signifikan ( p < 0.05)
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa nilai signifikansi adalah 0.000
(p=<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara ketujuh kelompok perlakuan, yaitu antara konsentrasi ekstrak etanol akar
gantung beringin 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50% dan aquades (0%) sebagai
Kontrol terhadap rerata diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus.
5.2.3 Hasil Uji Post Hoc Tukey
Setelah dilakukan uji One-Way ANOVA, analisis dilanjutkan dengan
menggunakan Post Hoc Tukey untuk membandingkan dua sampel (kelompok
perlakuan atau konsentrasi dan zona hambat) yang memberikan perbedaan
signifikan ( p <0.05).
Tabel 5.5 Hasil Uji Post Hoc Tukey
Konsentrasi 0% (Kontrol)
50% 60% 70% 80% 90% 100%
0% (Kontrol)
0.000* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000*
50% 0.000* 0.571 0.676 0.971 0.324 0.004*
60% 0.000* 0.571 1.000 0.968 0.999 0.179
70% 0.000* 0.676 1.000 0.989 0.996 0.131
80% 0.000* 0.971 0.968 0.989 0.824 0.030*
90% 0.000* 0.324 0.999 0.996 0.824 0.363
100% 0.000* 0.004* 0.179 0.131 0.30* 0.363
Keterangan Tabel :
* = Terdapat perbedaan signifikan
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin
(Ficus benjamina). Dengan konsentrasi 0% memiliki perbedaan yang signifikan
terhadap semua konsentrasi, yaitu 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 100%. Efek yang
dihasilkan ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) konsentrasi
100% memiliki perbedaan yang signifikan terhadap konsentrasi 50% dan 80%.
5.2.4 Hasil Uji Korelasi Pearson
Uji Korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui hubungan dari pemberian
ekstrak etanol akar gantung beringin dengan beberapa konsentrasi yang
berbeda terhadap besarnya diameter zona hambat pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Data hasil uji Korelasi Pearson
terlihat pada table 5.6
Tabel 5.6 Hasil Uji Korelasi Pearson Antara Peningkatan Ekstrak Etanol Akar Gantung Beringin (Ficus benjamina) terhadap Diameter Zona Hambat
Pertumbuhan Bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Konsentrasi Rerata Diameter Zona Hambatan
(mm) Ekstrak Akar
Gantung Beringin
Uji One-Way ANOVA
Angka Signifikansi Zona Hambat
Hubungan Korelasi
0% 6
0.000
0.907 50% 7.38
60% 8.52
70% 8.41
80% 7.95
90% 8.80
100% 10.17
Keterangan Tabel
R = 0.907 : korelasi sangat kuat dan bernilai positif
Berdasarkan hasil uji Korelasi Pearson, dapat diketahui bahwa
terdapat hubungan (korelasi) yang signifikan antara pemberian ekstrak etanol
akar gantung beringin terhadap diameter zona hambat pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus yang dihasilkan pada medium BHI
(R = 0.907, p= 0.000) dan kekuatan korelasi adalah sangat kuat (nilai 0.907)
dengan arah korelasi positif (karena korelasi bernilai positif). Hal tersebut
mempunyai makna bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak etanol akar gantung
beringin cenderung akan memperbesar diameter zona hambat pertumbuhan
bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
5.2.5 Hasil Uji Regresi
Dalam penelitian ini uji regresi digunakan untuk mengetahui seberapa
besar distribusi konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus
benjamina) terhadap zona hambat pertumbuhan bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus. Uji regresi (Tabel 5.7) didapatkan dari nilai R Square
(R2) sebesar 0.823 yang berarti bahwa pengaruh ekstrak etanol akar gantung
beringin terhadap terbentuknya zona hambat pada pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus adalah sebesar 82.3%. Sisa dari
nilai tersebut sebesar 17.7% dapat disebabkan faktor-faktor lain yang tidak
diteliti. Hubungan antara perubahan konsentrasi ekstrak dengan besarnya zona
hambat dapat dinyatakan dengan rumus Y = 1.249 + 0.94X. Y adalah interval
zona hambat dan X adalah konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin
(Ficus benjamina).Hal ini menunjukkan hubungan konsentrasi terhadap
pembentukan zona hambat positif, yaitu semakin besar konsentrasi maka
semakin besar zona hambat yang terbentuk.
Tabel 5.7 Tabel Hasil Regresi
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of The Estimate
1 0.907 a 0.823 0.816 1.392756
Keterangan Tabel : a
Predictors = (Constant), Konsentrasi
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antimikroba ekstrak
etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) terhadap Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus secara in vitro. Metode yang digunakan adalah difusi
sumuran. Metode ini dilakukan karena ekstrak etanol akar gantung beringin
(Ficus benjamina) berwarna gelap, keruh dan pekat, sehingga tidak dapat
diamati dengan menggunakan metode dilusi tabung maupun dilusi agar. Hasil
penelitian ini diperoleh dengan cara mengukur zona hambat pertumbuhan bakteri
menggunakan jangka sorong (satuan millimeter). Zona hambat merupakan
daerah atau wilayah jernih yang tampak disekeliling lubang sumuran. Semakin
besar diameter zona hambat, maka semakin besar daya antimikrobanya.
Pemberian ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina)
terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus didapatkan rata-rata zona
hambat pada konsentrasi 50% adalah 7,38 mm, pada konsentrasi 60% adalah
8,52 mm, pada konsentrasi 70% adalah 8,41 mm, pada konsentrasi 80% adalah
7,95 mm, pada konsentrasi 90% adalah 8,80 mm, pada konsentrasi 100%
adalah 10,17 pada akuades (konsentrasi 0%) sebagai Kontrol adalah 6 mm
(sesuai lebar perforator yang digunakan dalam membuat sumuran pada agar).
Besar konsentrasi ekstrak akar gantung beringin memberikan pengaruh terhadap
besar diameter zona hambat pertumbuhan bakteri yang terbentuk. Hal ini
menunjukkan bahwa efektivitas ekstrak etanol akar gantung beringin dalam
menghambat pertumbuhan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus secara
umum sejalan dengan kenaikan konsentrasi ekstrak.
Uji normalitas dan uji homogenitas digunakan sebagai syarat unutk
melakukan uji One-Way ANOVA yaitu untuk mengetahui apakah sampel data
yang digunakan berdistribusi normal dan homogen. Hasil kedua uji tersebut
menunjukkan bahwa sampel berdistribusi dan homogen sehingga dapat
dilakukan uji statistik parametrik. Berdasarkan hasil uji statistik One-Way ANOVA
didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p< 0,05). Hasil ini ditunjang dengan
uji Post Hoc Tukey. Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa perbedaan
konsentrasi ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) dapat
menimbulkan efek yang signifikan dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus secara in vitro dengan metode difusi
sumuran.
Uji Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui karakteristik hubungan
antara pemberian ekstrak etanol akar gantung beringin dengan diameter zona
hambat pertumbuhan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Uji
korelasi menunjukkan angka signifikansi 0,000 (p< 0,01) serta nilai R= 0,907
positif sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara
pemberian ekstrak etanol akar gantung beringin terhadap Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus. Peningkatan konsentrasi ekstrak etanol akar gantung
beringin akan memperbesar diameter zona hambat pertumbuhan bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Uji regresi menunjukkan bahwa
kemungkinan terjadinya hambatan pertumbuhan MRSA oleh ekstrak etanol akar
gantung beringin adalah sebesar 82.3%.
Peningkatan diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi
perlakuan. Berdasarkan hasil data uji statistik yang mempunyai nilai kemaknaan
yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin
(Ficus benjamina) efektif sebagai antimikroba terhadap Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis penelitian yang
menyatakan bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina)
mempunyai efek antimikroba terhadap bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus secara in vitro dapat diterima.
Hambatan pertumbuhan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
disebabkan adanya senyawa-senyawa aktif yang terkandung pada ekstrak akar
gantung beringin (Ficus benjamina). Menurut Jain et al.(2013), senyawa aktif
yang terkandung dari akar gantung beringin antara lain flavonoid dan tanin.
Ekstraksi daun, akar, dan buah Ficus benjamina diisolasi dengan menggunakan
metode Kromatografi Kolom menghasilkan berbagai senyawa flavonoid yaitu
cinnamic acid, laktosa, naringenin, quercetin, caffeic acid dan stigmasterol.
Skrining antibakteri pada senyawa menunjukkan bahwa quercetin dan naringenin
menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih kuat. Cinnamic acid dan laktosa
menunjukkan aktivitas yang kuat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-
negatif daripada bakteri Gram positif. Sedangkan, caffeic acid dan stigmasterol
memiliki kemampuan antimikroba yang lemah. Data ditunjukkan pada Tabel 6.1
(Almahy et.al, 2003). Flavonoid mampu menghambat metabolisme bakteri
melalui hambatan sintesis asam nukleat dan gangguan fungsi membran
sitoplasma. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan produksi energi dalam
bakteri (Cushnie dan Lamb, 2005). Tanin telah terbukti dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dengan destruksi dinding sel bakteri, sehingga akan
mengganggu permeabilitas sel yang akan menyebabkan kematian sel bakteri.
(Akiyama et al., 2001; Rini, 2009). Bersamaan dengan penelitian ini, telah
dilaksanakan penelitian lain oleh Armandani dkk, 2017) yang menguji efek
antimikroba ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) terhadap
bakteri Gram negatif Pseudomonas aureuginosa. Secara umum, hasil dari
penelitian tersebut adalah bahwa ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus
benjamina) juga mempunyai efek sebagai antimikroba terhadap Pseudomonas
aureuginosa secara in vitro. Peningkatan konsentrasi ekstrak akar gantung
beringin yang diberikan memperlebar diameter zona hambat yang terbentuk.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Truchan et.al (2016). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa selain akar
gantung beringin, bagian lain seperti ekstrak etanol daun beringin juga dapat
menurunkan jumlah pertumbuhan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus, Staphylococcus aureus , dan Streptococcus pneumonia yang merupakan
bakteri gram positif, serta Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa
yang merupaka bakteri gram negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol
akar gantung beringin (Ficus benjamina) memiliki efek antimikroba
broadspectrum karena efektif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Senyawa Bakteri Fungi
B.cereu
s
P.
aeruginosa
A.
ochraceous
C.
lipolyttica
S.
cerevsieae
S.
lipolytica
Cinnamic
acid
++ ++ - - - -
Lactose + + - - - -
Naringenin +++ +++ - - - -
Quercetin +++ +++ - - - -
Caffeic acid + + - - - -
Stigmasterol ++ ++ - - - -
Keterangan B = Bacillus P = Pseudomonas C = Candida S = Sacchromyces - = tanpa hambatan (0 mm) + = hambatan lemah( 1-9 mm)
++ = hambatan sedang (10-14 mm) +++ hambatan kuat (15-19 mm)
Tabel 6.1 Aktivitas Antimikroba dari isolat senyawa akar gantung beringin (Ficus
benjamina)
Keterbatasan dari penelitian ini adalah penelitian ini hanya menggunakan
satu metode yaitu metode difusi sumuran. Metode difusi sumuran digunakan
untuk melihat zona hambat pertumbuhan bakteri dalam hubungannya dengan
perubahan konsentrasi. Penelitian ini tidak dapat menentukan Kadar Hambat
Minimal (KHM) karena ekstrak berwarna gelap, keruh dan kental. Perlu dilakukan
eksplorasi atau modifikasi penelitian untuk dapat menentukan KHM dari ekstrak
etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) terutama sebagai antimikroba
terhadap bakteri MRSA.
Keterbatasan lainnya adalah penelitian ini tidak didahului dengan
penelitian untuk mengetahui persentase kandungan bahan-bahan aktif dalam
ekstrak akar gantung beringin dan kandungan zat aktif mana yang memiliki efek
antimikroba paling besar sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Lama
penyimpanan ekstrak juga perlu untuk diteliti apakah lama simpan ekstrak dapat
mempengaruhi efektivitas ekstrak sebagai antimikroba atau tidak. Pada
penelitian ini ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) juga tidak
dibandingkan dengan antimikroba Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
yang telah paten (Vancomycin). Selain itu perlu dilakukan penelitian lain dengan
menggunakan menggunakan strain Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
lain untuk memperluas generalisasi hasil penelitian.
Keterbatasan lain yang dapat menjadi latar belakang penelitian lebih
lanjut adalah perlunya studi in vitro maupun in vivo untuk mengetahui dosis
efektif, toksisitas, dan efek samping yang dapat disebabkan oleh ekstrak etanol
akar gantung beringin (Ficus benjamina). Penelitian lanjut ini penting dilakukan
untuk mendasari aplikasi klinis pada manusia, terutama sebagai terapi alternatif
terhadap infeksi MRSA. Selain itu, mengingat ekstrak etanol akar gantung
beringin juga memiliki potensi sebagai antimikroba yang bersifat broad spectrum,
dapat dilakukan penelitian serupa untuk mengetahui efek antimikrobanya
terhadap bakteri lain selain MRSA.
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) mempunyai efek
sebagai antimikroba terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus secara in vitro dengan metode difusi sumuran.
a. Konsentrasi ekstra akar gantung beringin (Ficus benjamina)
berbanding lurus dengan diameter zona hambat yang terbentuk
pada pertumbuhan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
7.2 Saran
a) Perlu dilakukan penelitian tentang efek antimikroba akar gantung beringin
(Ficus benjamina) terhadap bakteri Resistant Staphylococcus aureus
secara in vitro dengan menggunakan metode selain difusi sumuran,
seperti dilusi tabung, difusi cakram dan lain-lain.
b) Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui persentase kandungan
bahan-bahan aktif dalam ekstrak akar gantung beringin.
c) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan zat
aktif mana yang memiliki efek antimikroba paling besar pada ekstrak akar
gantung beringin (Ficus benjamina) secara in vivo untuk melihat
farmakokinetik, farmakodinamik, dan efek toksik dari bahan aktif yang
terkandung dalam akar gantung beringin sebelum digunakan sebagai
alternatif pengobatan
d) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan lama simpan
ekstrak terhadap efek antimikroba yang ditimbulkan oleh ekstrak akar
gantung beringin (Ficus benjamina).
e) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan efektivitas
ekstrak akar gantung beringin (Ficus benjamina) dengan antimikroba
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus yang paten (Vancomycin).
f) Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan strain Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus lain.
g) Perlu adanya penelitian lebih lanjut, baik in vitro maupun in vivo mengenai
efek ekstrak etanol akar gantung beringin (Ficus benjamina) sebagai
antimikroba bakteri lain selain terhadap bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdollahzadeh, S. H., Mashouf, R. Y., Mortazavi, H., Moghaddam, M. H., Roozbahani, N., & Vahedi, M. 2011. Antibacterial and antifungal activities of Punica granatum peel extracts against oral pathogens. J Dent (Tehran), 8(1), 1-6.
Akiyama, H., Fujii, K., Yamasaki, O., Oono, T., & Iwatsuki, K. 2001. Antibacterial action of several tannins against Staphylococcus aureus. Journal of antimicrobial chemotherapy, 48(4), 487-491.
Balouiri, M., Sadiki, M., & Ibnsouda, S. K. 2016. Methods for in vitro evaluating antimicrobial activity: A review. Journal of Pharmaceutical Analysis, 6(2), 71-79.
Baltch, A. L., Ritz, W. J., Bopp, L. H., Michelsen, P. B., & Smith, R. P. 2007. Antimicrobial activities of daptomycin, vancomycin, and oxacillin in human monocytes and of daptomycin in combination with gentamicin and/or rifampin in human monocytes and in broth against Staphylococcus aureus. Antimicrobial agents and chemotherapy, 51(4), 1559-1562.
Broekema, N. M., Van, T. T., Monson, T. A., Marshall, S. A., & Warshauer, D. M. 2009. Comparison of cefoxitin and oxacillin disk diffusion methods for detection of mecA-mediated resistance in Staphylococcus aureus in a large-scale study. Journal of clinical microbiology, 47(1), 217-219.
Cowan, M. M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinical microbiology reviews, 12(4), 564-582.
Cushnie, T. T., & Lamb, A. J. 2005. Antimicrobial activity of flavonoids. International journal of antimicrobial agents, 26(5), 343-356.
Edition, A. S. T. 2015. CLSI document M07-A10. Clinical and Laboratory Standards Institute, 950.
Fernandes, C. J., Fernandes, L. A., Collignon, P., & Australian Group on Antimicrobial Resistance. 2005. Cefoxitin resistance as a surrogate marker for the detection of methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 55(4), 506-510.
Gordon, R. J., & Lowy, F. D. 2008. Pathogenesis of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infection. Clinical infectious diseases, 46(Supplement 5), S350-S359.
Goyal, N., Miller, A., Tripathi, M., & Parvizi, J. 2013. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Bone Joint J, 95(1), 4-9.
Hiramatsu, K., Aritaka, N., Hanaki, H., Kawasaki, S., Hosoda, Y., Hori, S.,& Kobayashi, I. 1997. Dissemination in Japanese hospitals of strains of Staphylococcus aureus heterogeneously resistant to vancomycin. The Lancet, 350(9092), 1670-1673.
Imran, M., Rasool, N., Rizwan, K., Zubair, M., Riaz, M., Zia-Ul-Haq, M., & Jaafar, H. Z. 2014. Chemical composition and Biological studies of Ficus benjamina. Chemistry Central Journal, 8(1), 1.
Inweregbu, K., Dave, J., & Pittard, A. 2005. Nosocomial infections. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 5(1), 14-17.
Inweregbu, K., Dave, J., & Pittard, A. 2005. Nosocomial infections. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 5(1), 14-17.
Jain, A., Ojha, V., Kumar, G., Karthik, L., & Rao, K. B. V. 2013. Phytochemical composition and antioxidant activity of methanolic extract of Ficus benjamina (moraceae) leaves. Research Journal of Pharmacy and Technology, 6(11), 1184-1189.
Rini J, Esko J, Varki A. Glycosyltransferases and Glycan-processing Enzymes. In: Varki A, Cummings RD, Esko JD, et al., editors. Essentials of Glycobiology. 2nd edition. Cold Spring Harbor (NY): Cold Spring Harbor Laboratory Press; 2009. Chapter 5. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1921/ (diakses tanggal 25 September 2017)
Tkachenko, G., Buyun, L., Osadovskyy, Z., Truhan, M., Sosnowski, E., Prokopiv, A., & Goncharenko, V. IN VITRO SCREENING OF ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF ETHANOLIC EXTRACT OBTAINED FROM FICUS LYRATA WARB.(MORACEAE) LEAVES.
World Health Organization. 2011. prevention of hospital-acquired infections: a practical guide, 2nd.
World Health Organization. 2011. Report on the burden of endemic health care-associated infection worldwide.
Novelli, S., Lorena, C. and Antonella, C.2014. Identification of alkaloid’s profile in Ficus benjamina L. extracts with higher antioxidant power. American Journal of Plant Sciences, 5(26), p.4029
Kumar, S. and Pandey, A.K.2013. Chemistry and biological activities of flavonoids: an overview. The Scientific World Journal, 2013.
Dai, J., Shen, D., Yoshida, W. Y., Parrish, S. M., & Williams, P. G. 2012. Isoflavonoids from Ficus benjamina and their inhibitory activity on BACE1. Planta medica, 78(12), 1357-1362.
Gordon, R. J., & Lowy, F. D. 2008. Pathogenesis of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infection. Clinical infectious diseases, 46(Supplement_5), S350-S359.
Armandani, Reviandy Achmad . 2017. Potensi Antimikroba Ekstrak Akar Gantung Beringin (Ficus benjamina) terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa secara in vitro. Fakultas Kedokteran. Malang : Majalah Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Vol 5, No1. [Belum Dipublikasi]
Almahy, H. A., Rahmani, M., Sukari, M. A., & Ali, A. M. 2003. The chemical constituents of Ficus benjamina Linn. and their biological activities. Pertanika J. Sci. Technol, 11(1), 73-81.