edisi: juli 2010 · pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus widhartono, selaku...

12
Edisi: Juli 2010 | 1 Edisi: Juli 2010 IKLAN Baliho di pertigaan jalan lingkar timur Janti, Yogyakarta yang berbunyi “Pilihlah tayangan TV untuk buah hati Anda dengan tayangan yang sehat,” dan pada bagian bawah tulisan tersebut tertulis: “Bila ada keluhan tentang tayangan TV, segera adukan ke KPID dengan nomor telepon xxx”. KPID-DIY (Komisi Penyiaran Indonesia-Daerah Istimewa Yogyakarta)”, menarik perhatian sekaligus menimbulkan pertanyaan, seberapa buruk dampak tayangan televisi (TV) terhadap anak-anak? Dapat dibayangkan, jam tayang televisi saat ini memang tidak ada batasnya. Mulai anak bangun tidur di pagi hari hingga menjelang tidur di malam hari, TV tidak pernah berhenti untuk menarik penonton. Disadari atau tidak, saat ini televisi merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Secara langsung atau pun tidak televisi berperan membentuk karakter bangsa Indonesia. Mengingat TV merupakan bagian dari kehidupan, untuk itu orangtua perlu cermat memilih tayangan untuk anak. Masih segar dalam ingatan tentang kasus anak meninggal akibat meniru tayangan di salah satu televisi swasta, program hiburan gulat atau smack down beberapa tahun lalu. Tayangan yang disiarkan pada waktu anak banyak menikmati hiburan televisi, ternyata menimbulkan korban. Akibatnya, karena desakan banyak pihak, tayangan yang dianggap berbahaya karena berdampak buruk pada penontonnya, terutama anak- anak, akhirnya pihak stasiun televisi menghentikan tayangan tersebut. Itulah salah satu dampak buruk tayangan tidak sehat sehingga anak dapat menjadi korban. Sebagai media massa, televisi idealnya punya fungsi yang sama dengan media lain. Sebagai alat komunikasi, televisi juga memiliki fungsi dasar yakni memberikan informasi (to inform), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence). Namun jika dicermati, apakah porsi fungsi televisi seimbang? Berapa persenkah tayangan televisi yang mendidik, khususnya untuk anak- anak? Meski sudah mengarah ke arah positif, tayangan yang sehat untuk anak masih sedikit jumlahnya. Menurut Anggota Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), Nina Mutmainah Armando, tayangan anak berlabel merah (berbahaya jika ditonton anak) porsinya masih 30 persen. (www.republika.co.id, 11/4/10). Padahal banyak waktu di mana anak terus menonton acara televisi tersebut dan tidak didampingi oleh orangtua. Anak pun tida tidak tahu mana tayangan yang baik dan tidak baginya. Ia hanya menonton acara yang disajkan tersebut. Di sinilah peran orangtua diuji. Mengapa diuji? Jangan melarang anak menonton televisi jika orangtua gemar menonton acara kesukaannya. Tidak adil melarang anak menonton acara tertentu padahal orangtua menikmati acara tersebut seperti misalnya acara gosip, kuis atau lainnya. Anak mudah meniru kebiasaan orang-orang di lingkungannya. Jika orangtua gemar menonton tayangan salah satu acara, tidak mustahil anak akan gemar pula acara tersebut. Sehingga selektiflah memilah tayangan televisi. Atau lebih baik matikan televisi. Isi kegiatan dengan anak dengan tidak sekadar menonton televisi. Mungkin ajakan ini terkesan klasik, tapi dapat mereduksi dampak tayangan televisi. Jika pun ada tayangan atau film terutama kartun yang ditujukan untuk anak, cermati apakah film tersebut berisi adegan kekerasan. Karena tidak sedikit film kartun yang secara tidak langsung berisi tentang kekerasan. Dan ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Newslleter edisi Juli ini menyajikan beberapa laporan tentang kegiatan lembaga serta analisis media. Salah satunya, pada rubrik Analisis Info berisi tentang ketidakpuasan pembaca terhadap media massa. Selain itu masih ada laporan lainnya tentang Jurnalis yang juga seorang dokter dalam rubrik Sumber Info. Selamat Membaca. (may) Peserta Pelatihan Radio Komunitas saat studi lapangan di radio komunitas Sadewo

Upload: others

Post on 07-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

Edisi: Juli 2010 | 1

Edisi: Juli 2010

Iklan Baliho di pertigaan jalan lingkar timur Janti, Yogyakarta yang berbunyi “Pilihlah tayangan TV untuk buah hati anda dengan tayangan yang sehat,” dan pada bagian bawah tulisan tersebut tertulis: “Bila ada keluhan tentang tayangan TV, segera adukan ke kPID dengan nomor telepon xxx”. kPID-DIY (komisi Penyiaran Indonesia-Daerah Istimewa Yogyakarta)”, menarik perhatian sekaligus menimbulkan pertanyaan, seberapa buruk dampak tayangan televisi (TV) terhadap anak-anak?

Dapat dibayangkan, jam tayang televisi saat ini memang tidak ada batasnya. Mulai anak bangun tidur di pagi hari hingga menjelang tidur di malam hari, TV tidak pernah berhenti untuk menarik penonton.

Disadari atau tidak, saat ini televisi merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Secara langsung atau pun tidak televisi berperan membentuk karakter bangsa Indonesia. Mengingat TV merupakan bagian dari kehidupan, untuk itu orangtua perlu cermat memilih tayangan untuk anak.

Masih segar dalam ingatan tentang kasus anak meninggal akibat meniru tayangan di salah satu televisi swasta, program hiburan gulat atau smack down beberapa tahun lalu. Tayangan yang disiarkan pada waktu anak banyak menikmati hiburan televisi, ternyata menimbulkan korban. akibatnya, karena desakan banyak pihak, tayangan yang dianggap berbahaya karena berdampak buruk pada penontonnya, terutama anak-anak, akhirnya pihak stasiun televisi menghentikan tayangan tersebut. Itulah salah satu dampak buruk tayangan tidak sehat sehingga anak dapat menjadi korban.

Sebagai media massa, televisi idealnya punya fungsi yang sama dengan media lain. Sebagai alat komunikasi, televisi juga memiliki fungsi dasar yakni memberikan informasi (to inform), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence). namun jika dicermati, apakah porsi fungsi televisi seimbang? Berapa persenkah

tayangan televisi yang mendidik, khususnya untuk anak-anak?

Meski sudah mengarah ke arah positif, tayangan yang sehat untuk anak masih sedikit jumlahnya. Menurut anggota Yayasan Pengembangan Media anak (YPMa), nina Mutmainah armando, tayangan anak berlabel merah (berbahaya jika ditonton anak) porsinya masih 30 persen. (www.republika.co.id, 11/4/10). Padahal banyak waktu di mana anak terus menonton acara televisi tersebut dan tidak didampingi oleh orangtua. anak pun tida tidak tahu mana tayangan yang baik dan tidak baginya. Ia hanya menonton acara yang disajkan tersebut.

Di sinilah peran orangtua diuji. Mengapa diuji? Jangan melarang anak menonton televisi jika orangtua gemar menonton acara kesukaannya. Tidak adil melarang anak menonton acara tertentu padahal orangtua menikmati acara tersebut seperti misalnya acara gosip, kuis atau lainnya.

anak mudah meniru kebiasaan orang-orang di lingkungannya. Jika orangtua gemar menonton tayangan salah satu acara, tidak mustahil anak akan gemar pula acara tersebut. Sehingga selektiflah memilah tayangan televisi. Atau lebih baik matikan televisi. Isi kegiatan dengan anak dengan tidak sekadar menonton televisi. Mungkin ajakan ini terkesan klasik, tapi dapat mereduksi dampak tayangan televisi.

Jika pun ada tayangan atau film terutama kartun yang ditujukan untuk anak, cermati apakah film tersebut berisi adegan kekerasan. Karena tidak sedikit film kartun yang secara tidak langsung berisi tentang kekerasan. Dan ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan anak.

Newslleter edisi Juli ini menyajikan beberapa laporan tentang kegiatan lembaga serta analisis media. Salah satunya, pada rubrik Analisis Info berisi tentang ketidakpuasan pembaca terhadap media massa. Selain itu masih ada laporan lainnya tentang Jurnalis yang juga seorang dokter dalam rubrik Sumber Info. Selamat Membaca. (may)

Peserta Pelatihan Radio komunitas saat studi lapangan di radio komunitas Sadewo

Page 2: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

2 | Edisi: Juli 2010

D a p u r I n f o

PeRTeMuan lanjutan yang kali ketiga ini dilaksanakan pada Minggu, 11 Juli 2010 bertempat di Dusun Tulung, Desa Srihardono, kabupaten Bantul. acara yang berlangsung mulai pukul 11.00 WIB – 13.30 WIB dihadiri14 Orang peserta. Berikut ini Rangkuman Hasil Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas:

1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah m e n y e r a h k a n proposal ke kPID DIY. Dalam waktu dekat akan segera dilakukan Verifikasi Faktual oleh kPID DIY. Dan diharapkan sebelum bulan agustus 2010 (sebelum bulan Ramadhan) sudah diselenggarakan evaluasi Dengar Pendapat (eDP)

2. Radio Sadewa – Wonolelo, akan segera mengirim-kan proposal ke kPID, dengan menunggu kepastian dari Sadewo, terutama menyangkut kelengkapan dan model penyusunan proposal. Dengan tujuan tidak mengulang-ulang jika terjadi

Kegiatan Program Warga Bermedia Pertemuan Lanjutan (ke-3) Pengelola Rakom 5 Desa(Desa Jambidan, Srihardono, Gilangharjo, Mulyodadi, Wonolelo)

kekuranglengkapan syarat atau cara/model pengisian formulis dsb.3.DesaSrihardono,MulyodadidanGilangharjo: Sampai hari Minggu 11 Juli 2010 perkembangan rencana pembentukan Rakom di tiga desa tersebut sudah mencapai pada terpenuhinya syarat-syarat untuk pengesahan hukum/pembuatan akta notaris (susunan kepengurusan organisasi, aD/aRT dsb)

Tiga desa sepakat bahwa untuk mengajukan

pengesahan badan hukum ke kantor notaris, akan dilakukan bersama, yakni pada Senin 19 Juli 2010.

Dalam pertemuan kemarin juga disampaikan kendala tiga desa tersebut, khususnya biaya untuk pengurusan ke notaris. apakah lP3Y bisa meng-cover kebutuhan tersebut?

Jawaban atas pertanya-an tersebut ditunggu, agar mereka bisa segera men-dapatkan pengesahan badan hukum/akta notaris.

Jadwal pertemuan mendatang direncanakan pada Hari : Minggu 1

agustus 2010Tempat : Desa MulyodadiTopik : Setelah akta notaris didapat, segera

menyiapkan proposal proses perizinan dan diajukan ke kPI.

Peserta Radio komunitas ketika rapat koordinasi di Dusun Warungpring, Mulyodadi, Bantul.

Peserta Pelatihan Koran warga saat membahas tugas

Page 3: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

Edisi: Juli 2010 | 3

D a p u r I n f o

PertemuanKetigaKoranWargaPaDa Juli ini peserta pelatihan warga bermedia khususnya koran warga melakukan pertemuan sebanyak dua kali. Pertemuan ketiga yang jatuh pada Sabtu 17 Juli 2010 yang berlangsung di lP3Y ini dihadiri lima peserta.

Materi yang diberikan dari pukul 09.00 hingga pukul 16.00 meliputi penulisan lead dan kelayakan berita. Waktu dari dua materi yang diberikan tersebut hanya sedikit tentang paparan konsep. Penekanan pelatihan bagi peserta lebih pada berlatih menulis dan hasil latihan dibahas bersama dengan fasilitator secara intensif.

Meski tidak lama waktu yang tersedia, peserta cukup antusias mengikuti pelatihan. Terlihat dengan begitu aktifnya peserta bertanya, sehingga pelatihan bisa lebih intensif karena seperti membentuk kelas kecil.

Selain membahas soal yang diberikan, peserta diwajibkan pula memperbaiki hasil kerjanya seteleh didiskusikan dengan fasilitator.

Koran Warga, Meski Sedikit Namun Penuh Semangat

Suasana lebih karab karena pelatihan yang difasilitatori oleh Dedi H Purwadi dan Rondang Pasaribu ini terkadang diisi dengan lelucon agar tidak terlalu tegang.

PertemuanKeempatPeserta pelatihan

koran warga yangkekempat diselenggarakan pada 26 Juli 2010 ini hanya dihadiri empat orang saja. keempat orang yang tersisa yang masih semangat ini dua orang berasal dari Desa

Wonolelo, Pleret Bantul dan Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul.

Materi yang diberikan oleh fasilitator pada pertemuan yang keempat ini masih melanjutkan pertemuan sebelumnya. kreatif menulis lead dengan menunjukan ragam atau variasi lead. Seperti biasa, porsi latihan menulis lead lebih banyak dari pada pemberian materinya.

Selain berlatih menulis teks lead, peserta pun mulai diajak untuk mulai mengenal menulis teks berita. akhir pada sesi latihan hari Senin ini mengerjakan Tugas 8 yakni menulis teks berita serta peserta pun mendapatkan tugas sebelum pelatihan hari itu berakhir. (may)

Peserta pelathan koran warga saat mengerjakan tugas di lP3Y

Page 4: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

� | Edisi: Juli 2010

A n a l i s i s I n f o

kalau saja tak ada diskusi Pembahasan Upaya Penyelesaian Pinjaman UMKM Bermasalah Akibat Gempa Bumi Pada Bank BUMN di rumah dinas Bupati Bantul pada Sabtu 22 Mei 2010 (lima hari menjelang peringatan empat tahun gempa 27 Mei 2006), mungkin sedikit orang yang tahu bahwa memasuki tahun keempat pascagempa ternyata persoalan pascabencana di Bantul belum habis benar.

Bersyukurlah ada peristiwa itu dan diliput media, terlepas apakah media meliputnya karena ada unsur prominence-nya (acara dihadiri anggito abimanyu, kepala Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI) ata u karena jurnalis melihat peristiwa tersebut memiliki unsur significance sehingga penting untuk dikabarkan, ataupun karena kedua unsur tersebut.

Dari media, dalam hal ini suratkabar, pembaca mendapat informasi bahwa masih ada 3.234 usaha Mikro, kecil dan Menengah (uMkM) di Bantul yang tak mampu melunasi utang ke bank. Gempa telah menghancurkan aset usaha mereka. kalaupun masih memiliki sebagian aset mereka tak lagi memiliki pembeli, sebab pembeli atau pelanggan telah berpindah ke pengusaha lain di lain tempat. ketiadaan pembeli berakibat pada terus menurunnya omset yang ujung-ujungnya mengurangi pemasukkan dan akhirnya mengurangi secara signifikan kemampuan untuk melunasi utang. Padahal, masa pemberian keringanan berupa penundaan pelunasan utang akan berakhir pada pengujung 2010 ini. kalau utang tak dilunasi, bank akan menyita aset mereka.

adapun jumlah kredit yang tak bisa dibayarkan oleh 3.234 uMkM tersebut Rp 74,9 miliar.

Dari berita yang sama, pembaca yang di antaranya pelaku uMkM mendapat kabar bahwa utang 3.234 uMkM ini berpeluang dihapuskan. Peluang tersebut dikemukakan kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI. Menurut dia, utang tersebut bisa dihapuskan karena macetnya pelunasan utang disebabkan bencana alam, bukan kesalahan debitur. Bagi ke-3.234 uMkM tersebut kabar ini tentu melegakan.

Pembaca suratkabar di Yogya kemudian mendapat informasi “kelanjutan peristiwa” tanggal 22 Mei dua bulan berikutnya, Juli. Suratkabar memberitakan peristiwa pertemuan para pelaku uMkM dengan DPRD DIY terkait dengan persoalan kredit macet tersebut.

PersoalanpemberitaanTerlepas dari unsur layak berita (newsworthy) mana yang

melatarbelakangi jurnalis meliput dan memberitakan topik kredit macet 3.234 uMkM korban gempa tersebut ada dua

Kredit Macet Korban GeMpa dan inisiatif Jurnalis

persoalan menyangkut pemberitaannya. kedua persoalan tersebut, yaitu mengenai cara mendapatkan bahan berita dan cara memberitakannya.

kedua persoalan itu terekam dari pencermatan terhadap berita di suratkabar Kedaulatan Rakyat edisi 23 Mei 2010 (hal 2) dan 14 Juli 2010 (hal 2) dan suratkabar Koran Tempo edisi 24 Mei 2010 (hal a 15) dan 12 Juli 2010 (hal a 20). Tidak ditemukan berita terkait topik kredit macet 3.234 uMkM Bantul di antara edisi 23/24 Mei dan 12/14 Juli 2010 di kedua suratkabar ini.

Dalam pemberitaan topik kredit macet 3.234 uMkM kedua suratkabar memiliki kesamaan juga perbedaan (tabel1). Persamaan Kedaulatan Rakyat dan Koran Tempo yaitu masing-masing dua kali memberitakan bertitiktolak dari peristiwa yang sama, sumber berita yang sama dan waktu pemuatan yang hampir bersamaan. adapun perbedaan keduanya terletak pada pilihan judul, angle, space yang disediakan, penempatan dan jumlah sumber yang dikutip.

1.CaramendapatkanberitaHasil analisis atas berita-berita dari kedua suratkabar

menunjukkan jurnalis mendapatkan berita dari peristiwa teragenda yang sama. Peristiwa pertama, yakni diskusi di rumah dinas Bupati Bantul, pada 22 Mei 2010. Peristiwa kedua, pertemuan komunitas uMkM DIY dengan DPRD DIY dan DPD Perwakilan DIY di gedung DPRD DIY, 13 Juli 2010.

kedua peristiwa ini disebut teragenda karena bukan peristiwa sekonyong-konyong atau tiba-tiba seperti kebakaran, gempa, kecelakaan atau bencana puting beliung. Pertemuan di rumah dinas Bupati Bantul dan di DPRD DIY sudah pasti telah direncanakan dan diagendakan penyelenggara. Penyelenggara pun biasanya mengirim undangan atau memberitahu redaksi atau jurnalis yang biasa meliput di instansi bersangkutan. undangan atau pemberitahuan bisa disampaikan melalui telepon, email, faksimili, beberapa hari atau sehari menjelang hari H. Tak jarang penyelenggara melampirkan rincian acara, ringkasan latar belakang penyelenggaraan kegiatan dan para pihak yang dijadwalkan atau diharapkan hadir.

adakah yang salah dengan liputan kedua peristiwa di atas? Tidak ada. Yang dilakukan jurnalis suratkabar Kedaulatan Rakyat dan Koran Tempo tentang kredit macet 3.234 uMkM Bantul merupakan salah satu cara bagi jurnalis atau media memperoleh bahan berita.

Di sisi lain, bagi jurnalis peristiwa teragenda tentu saja akan memudahkan kerja peliputan. Bahkan, dapat diibaratkan

Page 5: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

Edisi: Juli 2010 | 5

A n a l i s i s I n f o

belum ke lapangan pun sudah mendapat berita. Tanpa mencari, yang dicari sudah “di tangan”.

namun, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana jika tidak ada dua pertemuan teragenda itu? atau, dua pertemuan tersebut tidak diberitahukan ke redaksi atau jurnalis dan jurnalis tidak mendapat informasi sedikitpun bahwa akan ada dua peristiwa itu? kemungkinan yang terjadi adalah fakta bahwa ada 3.234 pelaku uMkM korban gempa yang terancam penyitaan aset oleh bank karena tak mampu melunasi utang (akibat bencana alam) tak diketahui publik. Publik mengira persoalan pascabencana gempa di Bantul sudah selesai teratasi, terutama jika mengingat bencana gempa sudah berlalu empat tahun silam dan proses rekonstruksi dinyatakan selesai dua setengah tahun lalu. Penanganan pascabencana di Bantul pun dinilai tercepat di Indonesia.

Persoalan kredit macet ribuan pelaku uMkM korban gempa Bantul boleh jadi memang terluput dari perhatian jurnalis dan redaktur, khususnya di suratkabar Kedaulatan Rakyat dan Koran Tempo, hingga ada peristiwa pertemuan di rumah dinas Bupati Bantul empat hari menjelang peringatan empat tahun gempa Bantul. Sepanjang empat tahun sejak gempa tentu banyak peristiwa dengan beragam isu di wilayah DIY yang penting dan menarik diberitakan. Ini memang bisa “mengalihkan” perhatian jurnalis dari persoalan pascabencana gempa, yang lambat laun membuat jurnalis lupa lalu meninggalkannya. apalagi, bagaimana pun juga persoalan kredit macet di atas bukan satu-satunya isu penting, di Bantul sekalipun.

kondisi semacam itu bisa saja dimaklumi. akan tetapi, mengapa begitu muncul berita yang bersumber dari peristiwa di rumah dinas Bupati Bantul tak ada follow up news dari kedua suratkabar. Baru dua bulan kemudian muncul lagi berita terkait, itu pun tidak berasal dari inisiatif jurnalis melainkan “berita yang telah disediakan pihak lain”.

Semestinya, berita yang berasal pertemuan di rumah dinas Bupati Bantul menjadi titik tolak untuk membuat liputan lanjutan atau follow up news. Dua bulan amat memadai untuk menggali dan memberitakan banyak hal. Tidak tampaknya hasil kerja itu tentu memunculkan pertanyaan besar mengenai daya inisiatif, kreatif dan sikap kritis jurnalis, khususnya berkaitan dengan pemberitaan kredit macet 3.234 uMkM korban gempa Bantul ini.

Dalam waktu dua bulan tak hanya follow up news berupa straight news yang bisa dibuat. Jurnalis bisa membuat lebih dari satu features dan indepth reporting. Padahal, sesungguhnya banyak pertanyaan yang muncul sejak berita dari pertemuan di rumah dinas Bupati Bantul dipublikasikan yang semestinya digali jawabannya melalui liputan lanjutan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain, bagaimana kondisi usaha para pelaku uMkM yang terlilit utang, bagaimana nasib karyawan mereka, kemana mereka, bagaimana upaya pelaku uMkM itu mempertahankan usaha dan aset sebagai usaha mereka melunasi utang ke bank, apa langkah pemerintah atasi persoalan ini, dan banyak lagi.

Jurnalis bisa memanfaatkan momentum peringatan empat tahun gempa Bantul 27 Mei 2010 untuk menurunkan

laporan, minimal features (jika untuk indepth reporting tak memungkinkan karena keterbatasan waktu), yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. kenyataannya, momentum yang bisa dijadikan news peg itu dibiarkan berlalu dan pembaca kedua suratkabar ini tidak mendapat informasi apa pun mengenai kelanjutan berita (tepatnya: perkembangan penanganan masalah) itu hingga dua bulan kemudian.

Jurnalis pun bahkan terkesan tidak terusik untuk mencari tahu apakah upaya mengatasi persoalan 3.234 uMkM itu benar-benar dilaksanakan sebagai implementasi pernyataan salah seorang pejabat bank pada pertemuan di rumah dinas Bupati Bantul. Pada pertemuan itu, pejabat Bank Mandiri mengatakan “...dalam waktu dekat, data para debitur itu segera dikirim ke kantor pusat untuk dihapus” (Koran Tempo, 24 Mei 2010, paragraf 8).

Jika jurnalis kritis dan punya inisiatif, setidak-tidaknya sebulan sejak berita itu muncul ia akan mengecek apa data para debitur telah dikirim ke kantor pusat. Sebelumnya, ia tentu perlu bertanya kepada pejabat bank itu, hitungan “dalam waktu dekat” yang dimaksudnya berapa lama: seminggu, dua minggu, sebulan?

akhirnya, hingga Juli pembaca pun tak tahu, apakah data para debitur yang dimaksudkan di atas benar-benar telah dikirimkan ke kantor pusat. Ini tak lain karena tak ada kelanjutan dari berita.

Tanpa adanya follows up news dari berita berjudul Utang UMKM Korban Gempa Harus Dihapuskan (Kedaulatan Rakyat, 23 Mei 2010) dan Utang UMKM Korban Gempa Dihapus (Koran Tempo, 24 Mei 2010) – tentu tak semua berita harus diikuti berita lanjutan – yang disusul berita pada Juli berjudul UMKM Korban Gempa Minta Kreditur Hentikan Penagihan (Kedaulatan Rakyat, 14 Juli 2010) dan Aset UMKM Korban Gempa Terancam Disita (Koran Tempo 12 Juli 2010), yang keduanya bersumber dari peristiwa teragenda memunculkan kesan bahwa jurnalis hanya menunggu berita. 2.Caramemberitakan

Selain memunculkan kesan jurnalis hanya menunggu, berita di suratkabar Kedaulatan Rakyat dan Koran Tempo mengandung sejumlah persoalan yang cukup mengganggu.

Persoalan pertama, pilihan kata. Judul berita pertama Koran Tempo (Utang UMKM Korban Gempa Dihapus; edisi 24 Mei 2010) mengesankan peristiwa yang sudah terjadi atau kebijakan yang sudah diputuskan. Padahal, itu baru rencana. Cermati kalimat kedua lead: Pemerintah segera menghapus utang mereka ke bank milik negara setelah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64 Tahun 2010 diberlakukan.

Lead ini berupa summary lead yang bersumber dari keterangan Kepala Badan kebijakan Fiskal Kementerian keuangan, anggito abimanyu.

Pilihan kata dalam judul ini menarik, tapi menyesatkan. apalagi jika mencermati isi kalimat pada lead yang menunjukkan bahwa penghapusan utang belum jelas kapan,

Bersambung ke halaman...7

Page 6: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

� | Edisi: Juli 2010

S p e s i a l I n f o

SeTIaP orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan nuraninya. Meskipun negara menjamin kebebasan dalam memeluk dan meyakini kepercayaan masing-masing, namun belum mampu menjamin kemerdekaan setiap warganya. Terbukti kekerasan menghantui sekelompok penganut kepercayaan tertentu.

Realitas ini terlihat dari peristiwa penyerangan jemaah ahmadiyah di Desa Manis lor, kecamatan Jakalaksana, kuningan, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Penyerangan yang dilakukan oleh massa di Masjid al Huda di desa tersebut menimbulkan korban baik dari pihak penyerang, jemaah ahmadiyah, polisi maupun wartawan (Koran Tempo, 30-31/7/10).

Faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa itu? Pihak penyerang merasa tindakannya paling benar. Pihak lain atau warga ahmadiyah dianggap membahayakan kayakinan mereka atau para penyerang karena tidak sesuai dengan tuntunan keyakinan yang dianutnya. Padahal warga ahmadiyah merasa tidak melakukan tindakan yang membahayakan kelompok penyerang, ahmadiyah juga punya hak seperti mereka meyakini kepercayaan yang dianutnya.

Setiap argumen atau pendapat sekelompok orang atau individu dianggap punya nilai kebenaran. kebenaran yang dianut oleh masing-masing pihak dianggap yang paling benar. Padahal itu merupakan kebenaran subyektif. Setiap pihak atau orang yang menganggap kebenarannya adalah yang paling benar maka itu tidak benar. karena ada kebenaran absolut yang paling benar dari yang benar.

kebenaran juga mengandung kepentingan pihak-pihak yang memilikinya. Sehingga ia tidak netral. Tidak bebas dari nilai-nilai yang ada. Sehingga jika ada sekelompok orang yang menganggap tindakannya adalah yang paling benar, dapat diuji pada hukum atau aturan yang berlaku di masyarakat.

Sebelum memasuki area aturan atau hukum yang berlaku, ada juga aturan yang disebut etika. etika biasanya tidak tertulis, namun setiap orang dapat menjalankan kehidupannya sesuai etika di masyarakatnya. karena etika tidak tertulis dan dianggap common sense saja, banyak orang menganggap hal itu tidak perlu ditaati. Sehingga acuan orang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan aturan atau hukum yang berlaku. Itu pun seringkali dilanggar.

namun sayangnya, terkadang hukum saat ini juga tidak bebas nilai. Banyak aturan atau hukum dibuat dengan didasari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Di sinilah kejelian

Mempertanyakan Ketegasan NegaraKasus Penyerangan Warga Ahmadiyah

melihat fenomena yang ada. kembali pada persoalan di atas mengapa kekerasan kerap terjadi atas alasan kebenaran yang “semu”?

Siapa yang berhak untuk menilai kepatutan dan kepantasan? apakah tindakan sekelompok orang berkeyakinan mengganggu kepentingan publik? Jika ya, seperti apa bentuk gangguan akibat perilaku mereka. Bandingkan dengan pihak yang melakukan tindakan penyerangan. Sangat jelas bahwa tindakan tersebut mengganggu kepentingan publik. Publik, selain pihak yang bertikai pun terganggu kerena merasa tidak aman dengan adanya peristiwa tersebut. Selain itu korban pun berjatuhan baik itu bagi pihak ahmadiyah maupun warga sekitar yang tidak termasuk kelompok tadi.

PeranNegaranegara menjamin kebebasan memeluk keyakinan yang

dituangkan dalam beberapa undang-undang seperti; uuD 1945 Pasal 28e ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (2), uu no. 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), uu no. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik pasal 18 ayat (1) dan ayat (2),

Meskipun negara telah menjamin atas keyakinan masing-masing warganya, namun negara tidak mampu melindungi warganya dari intimidasi atau kekerasan terhadap warga lainnya. Idealnya negara menjamin masing-masing orang menghormati segala bentuk keyakinan, selagi itu tidak membahayakan moral bangsa.

Sulitnya negara yang bertanggung jawab terdiri banyak elemen yang juga punya kepentingan. Jika negara telah dirasuki nilai-nilai lain dan tampak ambigu dalam bertindak, aparat tidak melakukan tindakan apa-apa, malah mungkin melakukan pembiaran terhadap tindakan tersebut.

kekuatan massa terkadang tidak mampu dihadapi untuk melindungi pihak minoritas yang menjadi korban. aparat negara akan bertindak mengamankan lingkungan jika kegiatan ahmadiyah menggangu ketertiban dan keamananan lingkungan. Maka melalui Surat keputusan Bersama (SkB) tiga menteri pada 9 Juni 2008 lalu, penganut ahmadiyah memang tidak dibubarkan hanya diperingatkan. Melalui menteri agama waktu itu, Maftuh Basyuni pemerintah akan menindak secara pidana jika ahmadiyah masih melakukan penyebaran agama seperti waktu itu.

Page 7: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

Edisi: Juli 2010 | �

S p e s i a l I n f o

Hal itulah yang membuat kelompok tertentu dalam konteks ini pihak penyerang tidak sepenuhnya setuju terhadap keputusan itu, karena mereka menginginkan ahmadiyah dibubarkan. Mereka juga berharap pemerintah bertindak tegas atas keberadaan ahmadiyah. namun SkB atau aturan itulah yang menjadi dasar yang dipegang oleh aparat. Sehingga atas dasar itu pihak aparat yang diberi wewenang menjalankan kewajibannya dengan atas dasar aturan tersebut dapat berjalan.

Hal tersebut di atas, tampaknya sejalan dengan apa yang diliput suratkabar Koran Tempo edisi 3/8/10. Menjelang dan selama bulan Ramadhan ini Polisi kota Yogyakarta akan menindak organisasi massa yang melakukan aksi anarkis yang bertentangan dengan undang-undang.

Inilah salah satu bentuk idealisasi tindakan aparat negara di ruang publik. negara bertindak atas dasar kebenaran atau hukum yang berlaku. Dalam konteks ini polisi diberi wewenang untuk menjalankan kewajibannya menjaga keamanan warganya (publik).

Seperti disampaikan kepala kepolisian kota Besar Yogyakarta, ajun komisaris Besar anang Heradi bahwa hanya polisi yang berhak menindak anggota atau kelompok masyarakat yang melakukan pelanggaran. Ormas manapun tidak memiliki kewenangan melakukan penindakan hukum.

Itulah kondisi ideal yang semestinya terjadi di ruang publik. Setiap orang berhak memeluk dan manjalankan keyakinannya, serta dilindungi oleh pihak yang berkewajiban menjaganya, yakni negara. (ismay prihastuti)

sebab itu menunggu diberlakukannya peraturan menteri yang juga belum jelas kapan waktunya.

Pilihan kata yang dipakai Kedaulatan Rakyat (edisi 23 Mei 2010), meski pesannya normatif, tidak bermasalah. kata-kata pada judul diulang dan diperjelas dalam lead (Judul: Utang UMKM Korban Gempa Harus Dihapus; lead: ....Anggito Abimanyu...., menegaskan, utang UMKM yang macet karena gempa harus dihapuskan. Hal tersebut harus dilakukan karena mengingat macetnya kredit karena bencana alam, bukan kesalahan kreditur).

Terlepas dari pilihan kata dua suratkabar itu, ada persoalan mengganggu ketika kedua berita itu dibandingkan. Ini terutama soal akurasi pengutipan. Pada Koran Tempo tak terdapat kalimat atau kata dari sumber berita yang menyatakan utang segera dihapus sebagai penjelas lead. Di suratkabar Kedaulatan Rakyat, kata-kata itu pun tak ditemukan. Jadi, benarkah sumber menyatakan utang segera dihapus? Jangan-jangan, ini kesimpulan tergesa-gesa dari jurnalis.

Sebaliknya, apakah sumber menyatakan utang uMkM korban gempa harus dihapus sebagaimana dikutip Kedaulatan Rakyat? Sebab, kata-kata atau kalimat itu tak muncul di Koran Tempo.

Persoalan kedua, memberitakan tanpa mempertautkan. kedua suratkabar tidak mempertautkan atau memberikan tanda bahwa antara berita Mei dengan Juli sesungguhnya ada pertautan.

Pembaca masing-masing suratkabar yang hanya membaca berita edisi Juli tak akan tahu bahwa peristiwa itu bertautan dengan berita Mei. Dengan kata lain, berita Juli bisa dianggap sebagai sesuatu atau fakta berdiri sendiri sebagai masalah baru yang tak berhubungan dengan masalah yang telah muncul dua bulan sebelumnya. Pada edisi 12 Juli Koran Tempo menulis berita berjudul Aset UMKM Korban Gempa Terancam Disita, adapun Kedaulatan Rakyat memberi judul UMKM Korban Gempa Minta Kreditur Hentikan Penagihan (14 Juli 2010). Sumber dan peristiwa yang diberitakan kedua suratkabar sama.

Jika jurnalis mau sedikit “bersusah payah” memasukkan satu paragraf yang menunjukkan bahwa dua bulan sebelumnya

pelaku uMkM ini pernah berdiskusi dengan kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI dan mendapat “janji” utang mereka segera dihapus, pembaca terbantu untuk memahami bahwa persoalan kredit macet ini ternyata belum selesai. alih-alih persoalan teratasi, persoalan baru justru dihadapi, yaitu terancam disitanya aset uMkM korban gempa. Tapi sayang, itu tidak dilakukan jurnalis.

Tanpa jembatan atau bridging antara berita Mei dan Juli, pembaca Koran Tempo malah bisa bingung. Pada berita Mei Koran Tempo menulis judul Utang UMKM Korban Gempa Dihapus, lalu pada berita Juli menulis judul Aset UMKM Korban Gempa Terancam Disita. Pembaca yang kebetulan membaca kedua berita tersebut tentu mempersoalkan nalar peristiwa itu: jika utang telah dihapus mengapa aset mereka terancam disita?

Bagaimanasebaiknya?Dari hasil pengamatan berita di Kedaulatan Rakyat dan

Koran Tempo di atas ada baiknya bagian akhir catatan ini mengingatkan para jurnalis tentang beberapa hal.

Pertama, selalu berinisiatif dalam mencari dan mengembangkan berita, bukan jurnalis yang hanya menunggu berita bagai petugas pemadam kebakaran; kedua, selalu menjaga sikap kritis terhadap fakta; ketiga, cermat dan akurat dalam mengutip;keempat, tepat dalam memilih kata; kelima, kreatif dalam melihat fakta yang bisa diangkat menjadi berita; keenam, mau bersusah payah untuk memperkaya dan melengkapi berita;ketujuh, mau bertanya kepada rekan maupun redaktur yang memberi tugas, kalau sempat berdiskusi lebih baik; kedelapan, perduli terhadap masalah atau isu yang diliput. Bukan sekadar karena menjalankan tugas redaktur; kesembilan, menghilangkan cara berpikir “kejar setoran” dalam meliput.

Hal-hal di atas penting bagi jurnalis mengingat tanggungjawab jurnalis sebagai mata dan telinga publik pembaca. Sebagaimana ditegaskan Bill kovaks, salah satu hal terpenting bagi jurnalis adalah bahwa tanggungjawab jurnalis pertama-tama adalah kepada pembacanya. (dedi h purwadi)

Sambungan halaman...5

Page 8: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

� | Edisi: Juli 2010

I n f o K o l a b o r a s i

Page 9: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

Edisi: Juli 2010 | �

I n f o K o l a b o r a s i

Page 10: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

10 | Edisi: Juli 2010

S u m b e r I n f o

BaGaIMana seharusnya yang dilakukan jurnalis, dalam sebuah liputan bencana, ketika dia berhadapan dengan korban bencana yang membutuhkan pertolongan, sementara si jurnalis mempunyai kompetensi medis? Menolong korban, menolong korban dan membuat liputan tentang peristiwa tersebut, atau meliput korban baru menolongnya?

Tony Rogers, bekas jurnalis dan editor di associated Press dalam artikel When Should Journalist Help Those in Need at Disaster Scenes? A Tough Question for Journalist Who Are Also Doctors di situs pribadinya About.com Guide (diunduh 23 Juli 2010) mengemukakan pertanyaan tersebut cukup kerap muncul pada peristiwa-peristiwa bencana seperti gempa. Menurut dia, pertanyaan semacam itu muncul karena tak sedikit jurnalis yang juga tenaga medis atau memiliki kompetensi medis seperti dokter atau perawat.

Dia mencontohkan apa yang dilakukan empat jurnalis ketika mereka meliput bencana gempa di Haiti. Mereka yaitu koresponden Cnn Sanjay Gupta, koresponden CBS Jennifer ashton, koresponden nBC nancy Syderman dan koresponden aBC Richard Besser.

Sanjay Gupta, ahli bedah syaraf, menolong bayi usia 15 hari yang mengalami luka di kepala dan mengoperasi anak perempuan usia 12 tahun yang mengalami retak di kepala. ashton membantu merawat seorang gadis yang tangannya baru diamputasi. Besser menolong persalinan bayi premature. Snyderman menolong sejumlah korban yang mengalami patah tulang.

Mengutip Bob Steele, seorang ahli di bidang etika di Poynter Institute dan professor jurnalisme di DePauw university, Rogers mengatakan yang dilakukan keempat jurnalis tersebut tentu merupakan tindakan berani tetapi mereka telah melakukan hal yang benar sebagai jurnalis. Disebut tindakan berani, sebab pada saat itu mereka bukan ahli bedah tapi jurnalis.

“Tindakan mereka penuh tantangan, menyangkut persoalan etika ketika mereka menghadapi persinggungan antara nilai-nilai pribadi dan profesional,” ujar Steele. “Pada beberapa kasus, persoalan tersebut cukup kompleks sebab yang dihadapi adalah begitu banyak nilai profesional yang harus dijalankan, sebagai jurnalis juga sekaligus sebagai tenaga medis,” katanya dalam wawancara telepon dengan Rogers.

Dalam kondisi seperti itu, Steele menegaskan: jangan membuat kesalahan! Jurnalis harus menolong mereka yang membutuhkan pertolongan apabila di tempat itu hanya ada si jurnalis.

“Jurnalis memiliki kewajiban moral untuk menolong

KetiKa Jurnalis JuGa tenaGa Medis

korban yang tengah membutuhkan pertolongan dan tak seorang pun kecuali si jurnalis yang dapat menolong. Dan ini berlaku tak hanya di Haiti, tapi di mana pun,” kata Steele.

Meskipun demikian, Steele mengingatkan, kewajiban utama jurnalis tentu saja menceritakan atau melaporkan cerita yang mencerminkan realitas dari peristiwa.

Persoalannya, bagaimana agar kedua peran itu, jurnalis dan tenaga medis dapat dilakukan sebaik mungkin oleh orang yang sama, yaitu si jurnalis.

Persoalan tersebut tak mudah dilakukan. Terutama, kata Steele, ketika menyangkut independensi, terutama independensi sebagi jurnalis. “Cukup sulit bagi jurnalis untuk secara jernih memaparkan persoalan atau menggambarkan peristiwa di mana dia menjadi bagian dari peristiwa tersebut. apalagi, jika kemudian si jurnalis justru menjadi pusat perhatian.”

Cara untuk mengatasi dilema tersebut, menurut Steele, si jurnalis bisa membuat liputan tentang ratusan tenaga medis selain dirinya yang bekerja menolong korban. Merekalah yang dijadikan fokus liputan, bukan (memberitakan diri sendiri) tindakan si jurnalis yang menolong korban.

lalu, apakah bukan berarti mempromosikan diri sendiri dan salah satu bentuk marketing ketika Cnn berulangkali menayangkan tindakan Sanjay Gupta yang menolong korban? Menurut Steele, fokusnya bukan itu tapi tentang seseorang yang menjalankan peran sesungguhnya dalam cerita.

Menjawab pertanyaan tentang tindakan tersebut, dalam Twitter, Gupta pun menjawab:”Ya, jika ada yang membutuhkan pertolongan, maka saya akan menolong dengan kemampuan ahli bedah yang saya miliki. Ya, saya memang jurnalis, tapi saya akan lebih mendahulukan tindakan sebagai dokter.”

Dari cerita tersebut, menurut Steele, di lokasi bencana jurnalis bisa menjalankan tugasnya sebagai jurnalis sekaligus menolong korban sesuai kapasitas medisnya, namun jangan mencoba melakukannya di saat yang sama. “Bagaimana mungkin, ia bisa menceritakan satu peristiwa dengan menghilangkan dirinya dari sebuah peristiwa yang diceritakannya padahal dia bagian dari cerita itu. Dan bagaimana mungkin dia bisa secara jernih menceritakan peristiwa sedangkan dia menjadi bagian dari peristiwa tersebut?” kata Steele.

Intinya, begitu Bob Steele, “jurnalis jangan menjadi bagian dari cerita yang diliputnya.” (dedi h purwadi).

Page 11: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

Edisi: Juli 2010 | 11

I n f o B u k u

SunGGuH mudah mengucapkan kata “gender”. namun tidak mudah untuk memahami kata itu. Demikian prolog dalam buku yang menurut sang penulis, dibuat sebagai rapor dalam belajar tentang gender, kesetaraan gender dan bagaimana harus mengutamakannya dalam pembangunan Indonesia.

Apa sebenarnya gender? Definisi yang cukup mudah dipahami, menurut Gayle Rubin (1975) yang tercatat pertama kali mempopulerkan konsep kesetaraan gender, mendefinisikan gender sebagai social construction and codification of differences between the sexes refers to social relationship beetwen women and men. Secara mudah dapat dimengerti sebagai, gender adalah pembedaan peran perempuan dan laki-laki yang membentuk adalah konstruksi sosial dan kebudayaan. Jadi bukan karena konstruksi yang dibawa sejak lahir. Jika “jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka “gender” adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Misalnya, jika perempuan bertugas membesarkan dan mengasuh anak dan laki-laki bekerja mencari nafkah adalah pembedaan yang bersifat “gender”.

Wacana gender mengemuka pada 1977 ketika sekelompok feminis di london tidak lagi memakai isu-isu lama, seperti patriarchal atau sexist. Mereka memilih jargon baru, gender discourse. Hakikatnya masalah ketidaksetaraan hubungan perempuan dan laki-laki sebagian besar dibentuk oleh pembedaan konstruksi “perempuan” dan “laki-laki” secara sosial-budaya dan bukan secara biologis (seks, kelamin). karena itu memindahkan wacana ketidaksetaraan tersebut dari panggung biologis ke panggung sosial-budaya secara teoretis lebih efektif (hal x).

Buku yang dirinci dalam tujuh bagian besar ini, mengupas berbagai persoalan mulai dari 1. Gender? 2. Perempuan dalam Perspektif Sejarah, 3. Feminis dan Genderis, 4.Gerekan Perempuan di Indonesia, 5.Gender di Indonesia, 6 Gender sebagai agenda dan 7. Strategi untuk Indonesia.

Pada bagian pertama misalnya, dikupas tentang gender yang tidak bersifat universal, namun bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian,

Memahami Gender Tak Semudah Mengucapkan

ada dua elemen gender yang bersifat universal, yaitu a. gender tidak identik dengan jenis kelamin dan b. gender merupakan dasar pembagian kerja di semua masyarakat. (hal 6).

ada lagi penjelasan tentang konsep gender lain sebagaimana diungkapkan oleh Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial (hal7). Dijelaskan bahwa gender adalah suatu sifat yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-

sifat yang dapat dipertukarkan. ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan. ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. (hal 7).

Penjelasan mengenai sifat dan konsep gender ini kemudian membawa pembaca untuk lebih memahami bagaimana penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari, yang memunculkan ketimpangan gender. Perbedaan gender (gender differences) sebenarnya bukan suatu masalah, sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur, laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Mengapa bisa terjadi? Beberapa hal menjadi musababnya. antara lain, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence), dan beban kerja. Semua itu berujung pihak perempuanlah yang kemudian menjadi korban.

Membaca buku ini secara keseluruhan, akan membuka cakrawala siapa pun untuk lebih memahami persoalan gender. Memang, substansi buku ini berat, namun penulisannya cukup populer. Tidak njelimet sebagaimana disertasi akademik, meski daftar kepustakaannya membutuhkan 23 halaman sendiri!. untuk itu, agaknya diperlukan waktu yang cukup untuk bisa mencerna, mengolah, demi mendapatkan pemahaman memadai senyampang membaca buku ini. apalagi, sekarang kata “gender”, kesetaraan gender, pengarusutamaan gender, misalnya, saat ini sudah sangat populer, sering diucapkan para birokrat mulai dari tingkat desa sampai tingkat pusat dalam pidato berbagai acara, namun jika mereka ditanya lebih jauh belum tentu bisa menjawab dengan tepat dan jelas.(awd)

Judul Buku : Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia

Penulis : Riant Nugroho Penerbit : Pustaka Pelajar Tahun : 2008 Tebal : (xxv +265)

Page 12: Edisi: Juli 2010 · Pembahasan pertemuan tersebut yang dilaporkan oleh agus Widhartono, selaku penanggungjawab kegiatan pengelola Radio komunitas: 1. Radio Swadesi – Jambidan, sudah

12 | Edisi: Juli 2010

P r o f i l

PaDa kartu nama yang dia sodorkan, tertulis dua kata “artis dan jurnalist”. Begitulah si empunya kartu, lelaki 46 tahun, bernama Hendro Pleret itu. Selain nama dan keterangan tersebut, pada kartu dibubuhi pula nomor telepon seluler, nomor faksimili, alamat e-mail dan alamat situs web. “Supaya orang mudah dan cepat menghubungi jika memerlukan saya,” tutur pemilik nama asli endra Harsaya itu.

nama asli? Benar. Hendro Pleret adalah nama populer lelaki kelahiran Bantul 13 Maret 1964, yang juga pegiat, pengelola, sekaligus pendiri Radio komunitas Swadesi 107,9 FM, di Desa Jambidan, Kecamatan Pleret, kabupaten Bantul itu. lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) jurusan teater tahun 2003, ini memang lebih populer disapa dengan nama Hendro Pleret, daripada nama asli sesuai yang tertera pada kTP, ijazah atau rekening bank yang dia miliki.

Ikhwal nama Hendro Pleret, kiranya tak berjauhan dengan maksud mengabadikan daerah kelahirannya, yakni Desa Pleret, kabupaten Bantul. “Saya pilih menggunakan nama itu, karena nama Hendro kan banyak sekali,” ujarnya. kini, endra Harsaya alias Hendro Pleret terus mengepakkan sayap dalam berbagai kegiatan. Mulai dari siaran radio komunitas, pembawa acara berbagai event (master of ceremony-MC), sebagai penulis citizen journalism yang disiarkan media on-line, penulis naskah humor juga aktif memberi pelatihan teater.

kecintaannya pada radio sudah bertemu sejak duduk di bangku sekolah menengah. kala itu, Hendri sudah mengikuti kursis keradioan yang diselenggarkan di kelurahan desanya. kemudian beranjak membuat radio amatir, menjadi anggota Orari, membuat radio gelombang Short Wave (SW), gelombang Amplitudo Modulation (AM) hingga Frequency Modulation (FM).

Pada awalnya Hendro mendirikan PJ FM, nama singkat dari Pleret dan Jambidan, lantas Rakom Cah Pedesaan yang disingkat Rakocap, dan kini, sejak 2004, berkibar dengan Radio Swara Desa Indonesia (Swadesi FM). Studio dan kantor Swadesi FM kebetulan “dirangkap” berlokasi di rumahnya yang asri.

Adalah Swadesi FM, rakom yang baru saja menjalani proses evaluasi dengar pendapat (eDP) yang diadakan komisi Penyiaran Indonesia Daerah (kPID) Yogyakarta, 4 agustus

Hendro Menebar Kabar dari pleret

lalu. Dengan demikian, selangkah lagi Swadesi FM mendapatkan izin siaran yang secara legal diberikan Depkonminfo.

Pengalaman di bidang radio tidak kalah seru dengan kiprahnya di berbagai bidang kesenian. Dimulai dari antena bambu, merakit alat-alat sendiri, tombok dana, hancur dihantam gempa Mei 2006, semua itu menempa Hendro untuk kemudian terus eksis. “Radio Swadesi dibutuhkan warga, soalnya. ketika terjadi gempa 2006, kami terus bersiaran dengan peralatan seadanya meski pemancar kena gempa. Dari sanalah, jejaring komunitas warga makin terekat melalui udara,” ujarnya. Pada waktu itu, isi

siaran Swadesi lebih pada support moral para korban gempa. Selain itu juga menyiarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) setiap saat yang dimonitor dari pesawat handy talkie (HT) yang 2 band yang dipancarkan.

kini siaran Swadesi sudah begitu melekat bagi warga desanya. Berbagai rubrik digelar, diberi nama yang diambil dari berbagai tempat yang ada di desanya. Dengan tujuan agar mudah diingat dan melekat di hati pendengar. Misalnya acara “kauman” (akronim dari kata kanggo uriping iman), “Pason” (papan sonjo atau tempat bersilaturahmi), “Tambalan” (tambah apik lan lantip - bertambah baik dan pandai), “karet” (kabar dari Pleret) dan masih banyak lagi. Semua itu dirangkai Hendro yang memang gemar mengotak-atik kata, membuat kalimat lucu. Profesinya sebagai pemandu acara, dia tentu berpengalaman bagaimana harus mampu membangun suasana agar lebih hidup, dengan kata-kata yang dilontarkannya.

Begitulah Hendro. lelaki lulusan STM 1 negeri Yogya jurusan otomotif tahun 1982 itu, juga pernah sekolah pada pendidikan non gelar teknik. Tapi, panggilan seni, ternyata lebih besar dibanding berteknik ria.

kebahagiaannya mengelola Rakom Swadesi, menurut Hendro, antara lain karena mengetahui interaksi warga yang bisa terjalin erat dan cepat, mengerti perkembangan informasi. Juga membuat masyarakat berani bicara, tidak malu dan tidak canggung lagi.

ketika ditanya obsesinya, Hendro menuturkan, “Berguna di dunia dan nikmat di akhirat. Selain itu, meski kedengarannya muluk, saya juga ingin punya televisi komunitas,” ujar Hendro yang terus menebar kabar dari Pleret. (awd)