ecoli

14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Morfologi Escherichia coli Bakteri E. coli merupakan spesies dengan habitat alami dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. E. coli pertama kali diisolasi oleh Theodor Escherich dari tinja seorang anak kecil pada tahun 1885. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 μm, termasuk gram negatif, dapat hidup soliter maupun berkelompok, umumnya motil, tidak membentuk spora, serta fakultatif anaerob (Gambar 1) (Carter & Wise 2004). Gambar 1. Morfologi E. coli (Sumber: Kunkel 2009) Struktur sel E. coli dikelilingi oleh membran sel, terdiri dari sitoplasma yang mengandung nukleoprotein (Gambar 2). Membran sel E. coli ditutupi oleh dinding sel berlapis kapsul. Flagela dan pili E. coli menjulur dari permukaan sel (Gambar 3) (Tizard 2004). Tiga struktur antigen utama permukaan yang digunakan untuk membedakan serotipe golongan E. coli adalah dinding sel, kapsul dan flagela. Dinding sel E. coli berupa lipopolisakarida yang bersifat pirogen dan menghasilkan endotoksin serta diklasifikasikan sebagai antigen O. Kapsul E. coli berupa polisakarida yang dapat melindungi membran luar dari fagositik dan sistem komplemen, diklasifikasikan sebagai antigen K. Flagela E. coli terdiri dari protein yang bersifat antigenik dan dikenal sebagai antigen H. Faktor virulensi E. coli juga disebabkan oleh enterotoksin, hemolisin, kolisin,

Upload: orang-yang-aneh

Post on 24-Oct-2015

87 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bakteri

TRANSCRIPT

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Morfologi Escherichia coli

Bakteri E. coli merupakan spesies dengan habitat alami dalam saluran

pencernaan manusia maupun hewan. E. coli pertama kali diisolasi oleh Theodor

Escherich dari tinja seorang anak kecil pada tahun 1885. Bakteri ini berbentuk

batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 µm, termasuk gram negatif, dapat hidup

soliter maupun berkelompok, umumnya motil, tidak membentuk spora, serta

fakultatif anaerob (Gambar 1) (Carter & Wise 2004).

Gambar 1. Morfologi E. coli

(Sumber: Kunkel 2009)

Struktur sel E. coli dikelilingi oleh membran sel, terdiri dari sitoplasma

yang mengandung nukleoprotein (Gambar 2). Membran sel E. coli ditutupi oleh

dinding sel berlapis kapsul. Flagela dan pili E. coli menjulur dari permukaan sel

(Gambar 3) (Tizard 2004). Tiga struktur antigen utama permukaan yang

digunakan untuk membedakan serotipe golongan E. coli adalah dinding sel,

kapsul dan flagela. Dinding sel E. coli berupa lipopolisakarida yang bersifat

pirogen dan menghasilkan endotoksin serta diklasifikasikan sebagai antigen O.

Kapsul E. coli berupa polisakarida yang dapat melindungi membran luar dari

fagositik dan sistem komplemen, diklasifikasikan sebagai antigen K. Flagela

E. coli terdiri dari protein yang bersifat antigenik dan dikenal sebagai antigen H.

Faktor virulensi E. coli juga disebabkan oleh enterotoksin, hemolisin, kolisin,

6

siderophor, dan molekul pengikat besi (aerobaktin dan entrobaktin) (Quinn et al.

2002).

Gambar 2. Struktur bakteri E. coli

(Sumber: Anonim 2009)

Gambar 3. E. coli dengan pili dan flagella

(Sumber: Li A 2009)

Bakteri E. coli dapat membentuk koloni pada saluran pencernaan manusia

maupun hewan dalam beberapa jam setelah kelahiran. Faktor predisposisi

pembentukan koloni ini adalah mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendahnya

kekebalan tubuh, faktor stres, pakan, dan infeksi agen patogen lain. Kebanyakan

E. coli memiliki virulensi yang rendah dan bersifat oportunis (Songer & Post

2005). Ditjenak (1982) melaporkan bahwa E. coli keluar dari tubuh bersama tinja

dalam jumlah besar serta mampu bertahan sampai beberapa minggu.

Kelangsungan hidup dan replikasi E. coli di lingkungan membentuk koliform.

sitoplasma

Membran sel

Flagella

DNA

7

E. coli tidak tahan terhadap keadaan kering atau desinfektan biasa. Bakteri ini

akan mati pada suhu 600

C selama 30 menit.

2.1.1. Klasifikasi

Klasifikasi E. coli menurut Songer dan Post (2005) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Berdasarkan perbedaan serotipe dan virulensi, strain E. coli patogen yang

menyebabkan penyakit pada saluran pencernaan dibedakan menjadi enam

golongan, yaitu enterotoksigenik (ETEC), enteroinvasif (EIEC), enteropatogenik

(EPEC), enterohemorhagik (EHEC), enteroagregatif (EAEC), dan

nekrotoksigenik (NTEC) (Sommer et al. 1994).

Golongan ETEC merupakan penyebab diare enterotoksigenik pada

mamalia, seperti anak sapi, anak babi, dan anak domba. Gejala klinis yang terjadi

antara lain diare, dehidrasi, asidosis, bahkan kematian (Hanif et al. 2003). Faktor

virulensi yang digunakan untuk identifikasi ETEC adalah enterotoksin dan

antigen pili (fimbriae). Enterotoksin ETEC berupa toksin labil panas (heat-labile

toxins/ LT) dan toksin stabil panas (heat-stabile toxins/ ST). ETEC dapat

menghasilkan satu atau dua enterotoksin tergantung pada plasmid (massa DNA

ekstra kromosom). Makhluk hidup yang terinfeksi bakteri mengandung kedua

plasmid biasanya mengalami diare yang lebih berat dan lebih lama. Enterotoksin

akan diabsorbsi oleh sel epitel yeyunum dan ileum serta dapat merusak motilitas

usus sehingga memfasilitasi keberadaan ETEC di dalam lumen usus (Salyers &

Whitt 1994).

ETEC yang mempunyai antigen perlekatan K99 merupakan penyebab

utama diare neonatal dan kematian anak sapi (Supar et al. 1998). ETEC K99

8

dapat terdeteksi pada hari kedua sampai hari kelima dari ulas rektal anak sapi

yang menderita diare dan tidak ditemukan lagi pada anak sapi yang diare setelah

lebih dari lima hari (Supar 1986). Adapun faktor yang mempengaruhi infeksi

ETEC pada inang, yaitu umur, pH lambung, dan kehadiran antibodi spesifik

terhadap permukaan antigen ETEC (Supar 2001).

2.1.2. Patogenesa Infeksi ETEC

Mekanisme infeksi ETEC di dalam tubuh, yaitu ETEC menempel pada sel

enterosit melalui pili (fimbriae). ETEC kemudian berproliferasi dan berkolonisasi

pada mukosa usus sehingga terjadi peningkatan jumlah ETEC di dalam saluran

pencernaan dan muncul lesio. Diare terjadi karena dinding usus mengalami

kerusakan dan menghalangi reabsorbsi cairan (Biowey & Weaver 2003).

ETEC memproduksi enterotoksin heat labile toxin (LT) atau heat stable

toxin (ST) (Sommer et al. 1994). Menurut Ganong (2002), toksin akan berikatan

dengan reseptor dan masuk ke dalam sel. Toksin stabil bekerja mengaktivasi

guanilat siklase sehingga menyebabkan akumulasi cairan dan elektrolit di dalam

lumen usus serta memblokade absorbsi. Toksin labil akan mengikat ribose

adenosin difosfat (ADP) sehingga menghambat kegiatan GTPase (pemecah

protein G). Akibatnya, protein G ini meningkat dan merangsang adenilil siklase

sel epitel yang berkepanjangan sehingga menyebabkan peningkatan jumlah adenil

monofosfat (AMP). Peningkatan AMP akan menyebabkan peningkatan sekresi

sel-sel kelenjar di dalam usus, yaitu merangsang seksresi Cl- (hipersekresi) dengan

membuka saluran klorida pada sel kripta dan menghambat absorbsi Na+

dari

lumen ke dalam sel epitel usus. Peningkatan kadar elektrolit dan air di dalam

lumen usus menyebabkan diare.

Diare merupakan gejala gangguan pencernaan yang ditandai dengan

pengeluaran feses dalam jumlah melebihi normal, konsistensi cair, dan frekuensi

pengeluaran yang melebihi normal. Feses dikeluarkan oleh penderita tanpa

kesulitan karena terjadi peningkatan peristaltik usus (Ganong 2002). Frekuensi

diare pada anak sapi berhubungan dengan keadaan imunodefisiensi neonatus.

Imunodefisiensi pada anak sapi disebabkan oleh kegagalan transfer kekebalan

pasif pada neonatus akibat tidak diberi kolostrum atau diberi susu berkualitas

9

rendah, belum optimalnya kemampuan absorbsi dari epitel usus, populasi terlalu

padat, sanitasi buruk, stres akibat perubahan pakan, higiene pakan, panas, dan

perubahan lingkungan (Khan & Khan 1996), serta kurangnya respon imun dan

mikroflora intestinal. Anak sapi yang diare terus-menerus akan memperlihatkan

gejala klinis berupa lemas, lesu, tidak mau menyusu, daerah di sekitar perineal

kotor oleh feses, mukosa mulut kering, pucat, kebiruan, turgor kulit jelek, dan

dapat menimbulkan kematian (Setiawan et al. 1983).

Cairan yang diseksresikan oleh kelenjar mukosa usus mengandung banyak

NaHCO3 sehingga ion Na+ dan HCO3

- akan ditarik dari darah, akibatnya derajat

asam (pH) darah menurun dan terjadi asidosis. Asidosis yang ditimbulkan oleh

keadaan ini akan menyebabkan kolapsnya sistem peredaran darah yang segera

diikuti shock dan kematian (Subronto 1985).

2.2. Sapi Friesian Holstein

Sapi merupakan hewan ternak sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja,

dan kebutuhan lainnya (misalnya upacara agama). Sapi menghasilkan sekitar 50%

kebutuhan daging, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit di dunia (Ismail

2008).

Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda Utara dan Friesland

Barat. Bangsa sapi ini dikembangkan dari sapi liar Bos taurus. Sapi FH murni

mempunyai ciri-ciri berwarna belang hitam putih, ada juga berwarna merah putih

dengan batas warna yang jelas. Sapi FH merupakan sapi perah dengan produksi

susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya dengan

kadar lemak susu rendah (3-7%). Dewasa kelamin sapi ini lambat, umur pertama

kali dikawinkan berkisar antara 15-18 bulan. Anak sapi FH neonatus memiliki

berat badan berkisar antara 35-45 kg (Sudono 1999). Berat badan sapi FH betina

dan jantan dewasa masing-masing sekitar 625 kg dan 900 kg. Umumnya terdapat

warna putih berbentuk segitiga pada dahi, kaki bagian bawah dan rambut di

bagian ekor berwarna putih, bertanduk pendek serta mengarah ke depan (Gambar

4). Sapi FH bersifat jinak dan tenang sehingga mudah untuk ditangani (Anonim

2008).

10

Klasifikasi sapi perah menurut Tyler dan Ensminger (2006) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Subordo : Ruminansia

Famili : Bovidae

Genus : Bos

Spesies : Bos taurus

Sapi FH mempunyai adaptasi lingkungan yang baik pada dataran tinggi

(sekurang-kurangnya 700 m di atas permukaan laut), pada temperatur berkisar

antara 16-24 0C dan curah hujan sekitar 2000 mm/ tahun. Produksi susu sapi FH

tidak berselisih jauh dibandingkan dengan negara asalnya bila suhu lingkungan

sejuk yaitu pada suhu 18,3 0C dengan kelembaban udara 55%. Produksi susu rata-

rata sapi FH dapat mencapai 6360 kg/ tahun (Sutardi 1983). Sapi perah akan

mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas jika

berada di lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak

mendukung (Anonima 2009).

Gambar 4. Sapi perah jenis Friesian Holstein (Sumber : Anonim 2008)

11

2.2.1. Sistem Pencernaan Sapi Neonatus

Saat dilahirkan, ruminansia pada umumnya memiliki lambung depan yang

kecil dan belum berfungsi. Lambung depan yang terdiri dari rumen, retikulum,

dan omasum, hanya menempati 30% dari keseluruhan lambung (Triakoso 2008).

Perkembangan lambung pada ruminansia muda dibagi ke dalam empat tahap,

yaitu tahap baru lahir (0-24 jam), tahap pre-ruminan (1 hari-3 minggu), tahap

transisi (3-8 minggu), serta tahap sebelum dan sesudah penyapihan (8 minggu-

dewasa) (Leek 1993). Tahap pre-ruminan, pakan cair akan masuk melalui

oesophageal groove, yang dapat menutup. Penutupan oesophageal groove

merupakan refleks yang diaktifkan oleh adanya gerakan menyusu dari anak

neonatus. Makanan dari esofagus langsung masuk ke dalam abomasum tanpa

melalui lambung depan (Imran 2010).

Abomasum secara fisik dan biokimiawi mampu mencerna bahan pakan

utama anak sapi yaitu susu. Abomasum mensekresi renin pada masa pre-ruminan.

Renin adalah enzim proteolitik dan berfungsi memecah susu menjadi kasein dan

whey. Whey masuk ke dalam duodenum dalam waktu lima menit setelah minum

susu, sedangkan kasein akan tetap berada di dalam abomasum. Kasein didegradasi

secara bertahap oleh renin atau pepsin serta asam klorida. Pencernaan protein ini

akan berlangsung selama 24 jam. Pencernaan dilanjutkan di dalam usus oleh

enzim-enzim seperti tripsin, kimotripsin dan karbopeptidase yang disekresikan

oleh pankreas serta peptidase lain yang disekresi oleh usus. Asam amino yang

terbentuk diabsorbsi di dalam usus halus, terutama pada yeyunum (Ruckebusch et

al. 1983).

Perubahan renin menjadi pepsin di dalam abomasum dipengaruhi faktor

umur. Semakin dewasa anak sapi, maka pepsin yang terbentuk semakin banyak.

Aktivitas pepsin masih rendah pada anak sapi yang berumur kurang dari tiga

minggu. Peningkatan jumlah pepsin terjadi jika anak sapi mulai mengkonsumsi

pakan selain susu dan pepsin bekerja optimal pada cairan abomasum dengan pH 2

(Triakoso 2008). Pakan yang dikonsumsi juga akan menggertak perkembangan

populasi mikroba dan fungsi ruminoretikulum. Sistem pencernaan anak sapi sudah

berfungsi penuh pada umur lebih dari delapan minggu (Sudono 1999).

12

2.3. Kolostrum dan Susu Sapi

Kolostrum merupakan sekresi yang dihasilkan kelenjar ambing mamalia

pada tahap akhir kebuntingan sampai beberapa hari setelah melahirkan (Tizard

2004). Kolostrum mulai diproduksi sekitar 3-6 minggu sebelum melahirkan

(Lazzaro 2000), berwarna kuning, konsistensi kental, dengan komposisi zat nutrisi

tinggi (Sutardi 1983). Menurut Parakkasi (1998), komposisi nutrisi dan sifat fisik

kolostrum dipengaruhi bangsa, paritas (jumlah kelahiran), ransum prepartum, dan

lamanya masa kering kandang.

Transfer imunoglobulin dari sirkulasi darah induk ruminansia menuju

kelenjar ambing dimulai pada beberapa minggu menjelang induk melahirkan dan

berhenti segera menjelang induk melahirkan (Esfandiari 2005). Antibodi di dalam

kolostrum melintasi epitel kelenjar ambing secara transitosis dan memasuki

sirkulasi anak melalui usus halus dan memberi imunitas pasif terhadap infeksi

(Arthington et al. 2000).

Imunoglobulin utama yang terkandung di dalam kolostrum sapi meliputi

IgG (90%), IgM (7%), dan IgA (5%) (Stott et al. 1979). Fraksi globulin kolostrum

disintesa oleh sel-sel plasma di dalam kelenjar ambing dari asam-asam amino

bebas di dalam darah (Toelihere 1979). Imunoglobulin utama di dalam kolostrum

hewan domestik pada umumnya adalah IgG, yaitu 65-90% dari total antibodi,

sedangkan kandungan IgA dan imunoglobulin lainnya hanya sedikit. Namun

setelah kolostrum berubah menjadi susu terjadi perubahan konsentrasi

imunoglobulin, tergantung spesies. IgG merupakan imunoglobulin paling

dominan pada ruminansia baik di dalam kolostrum maupun susu, sedangkan IgA

merupakan imunoglobulin yang paling dominan di dalam susu non-ruminansia

(Tabel 1) (Tizard 2004).

13

Tabel 1. Kandungan imunoglobulin dalam kolostrum dan susu pada hewan

domestik (Tizard 2004)

IgG merupakan antibodi utama yang berperan di dalam pengaturan respon

kekebalan sekunder, fiksasi komplemen, bertindak sebagai opsonin oleh

makrofag, dan imunoglobulin utama yang berperan dalam transfer kekebalan pasif

untuk anak neonatus. IgA berperan dalam melindungi selaput lendir, menetralisir

toksin atau virus dan mencegah perlekatan toksin atau virus pada permukaan sel

sasaran. IgA juga dapat meningkatkan efek bakteriolitik dengan cara

mengaktifkan komplemen. IgM berperan dalam perlindungan primer melawan

septikemia, fiksasi komplemen, dan proses agglutinasi (Roitt et al. 1998).

Pernyataan ini didukung oleh Subronto (1985) bahwa IgG dan IgM kolostrum

diperlukan untuk melindungi hewan neonatus dari penyakit sistemik, sedangkan

IgA mempunyai fungsi lokal dalam saluran percernaan.

Komponen kekebalan di dalam kolostrum mempunyai dua fungsi.

Pertama, antibodi kolostrum diabsorpsi ke dalam sirkulasi untuk mencegah invasi

mikroorganisme. Kedua, antibodi kolostrum tidak diabsorpsi karena usus halus

tidak lagi permeabel karena sel-sel di dalam usus sudah mature, akibatnya

antibodi tetap berada di dalam lumen usus dan berperan sebagai imunitas pasif

lokal (Scott et al. 2004). Frandson (1992) melaporkan bahwa kolostrum harus

segera diberikan setelah anak lahir karena permeabilitas usus paling tinggi segera

setelah lahir dan menurun dengan cepat terutama setelah 24 jam. Lebih dari waktu

tersebut usus tidak lagi permeabel menyerap protein antibodi kolostrum.

Imunoglobulin (mg/dL)

Spesies Fluida IgA IgM IgG

Kuda Kolostrum 500-1500 100-350 1500-5000

Susu 50-100 05-10 20-50

Sapi Kolostrum 100-700 300-1300 3400-8000

Susu 10-50 10-20 50-750

Domba Kolostrum 100-700 400-1200 4000-6000

Susu 5-12 0-7 60-100

Babi Kolostrum 950-1050 250-320 3000-7000

Anjing Kolostrum 500-2200 14-57 120-300

Susu 110-620 10-54 1-3

14

Kolostrum mengandung lebih banyak bahan kering, karbohidrat, lemak,

protein, vitamin (terutama vitamin A, B, D, dan E), dan mineral, dibandingkan

dengan susu (Tabel 2), sedangkan kandungan laktosa di dalam kolostrum lebih

sedikit dibandingkan dengan susu. Kolostrum juga terdiri dari asam amino

essensial dan non essensial, hormon steroid, growth factor, berfungsi sebagai

laksatif (membersihkan mekonium) dan menggertak alat pencernaan anak sapi

agar bekerja dengan baik. Oleh karena itu, kolostrum tidak hanya berfungsi

sebagai sumber antibodi, tetapi juga menyediakan zat gizi untuk metabolisme dan

pertumbuhan neonatal (Blum & Hammon 2000). Kadar vitamin A yang tinggi

dalam kolostrum dapat juga sebagai tambahan perlindungan terhadap invasi

mikroorganisme ke dalam tubuh karena vitamin A dapat mempertahankan epitel

agar tidak cepat rusak akibat adanya perlekatan mikroorganisme pada epitel

(Anonim 2001).

Tabel 2. Komposisi Kolostrum dan Susu Sapi (Blum dan Hammon 2000)

Kriteria Kolostrum sapi Susu sapi

Bahan kering (g/l) 245 122

Abu (g/l) 18 7

Energi (MJ/l) 6 2.8

Lemak (g/l) 64 39

Protein (g/l) 133 32

Asam amino essensial (mmol/l) 390 ND

Asam amino non esensial (mmol/l) 490 ND

Imunoglobulin G (g/l) 81 <2

Laktoferin (g/l) 1.84 ND

Transferin (g/l) 0.55 ND

Insulin (µg/l) 65 1

Glukagon (µg/l) 0.16 0.01

Prolaktin (µg/l) 280 15

Hormon pertumbuhan (µg/l) 1.4 <1

Insulin-like growth factor-I (µg/l) 310 <2

Insulin-like growth factor-II (µg/l) 150 ND

Keterangan : ND = tidak terukur.

Degradasi kolostrum di dalam saluran pencernaan tidak terjadi karena

rendahnya aktivitas protease pankreas sapi neonatus, terdapatnya tripsin inhibitor

di dalam kolostrum, rendahnya sekresi asam di dalam abomasum pada tiga hari

pertama, serta adanya sifat resistensi IgG terhadap proteolisis oleh kimotripsin

15

(Stott et al. 1979). Tizard (2004) melaporkan bahwa pada hewan neonatus,

kegiatan proteolitik di dalam saluran pencernaan rendah, karena itu protein

kolostrum tidak dipecah dan tidak digunakan sebagai sumber makanan, melainkan

utuh sampai di usus halus terutama yeyunum. Protein diserap di usus halus oleh

sel epitel usus melalui proses pinositosis. Melalui sel ini protein masuk ke dalam

saluran limfe dan kapiler usus, kemudian mencapai sirkulasi darah. Usus pada

ruminansia bersifat permeabel tapi tidak selektif. Semua imunoglobulin diabsorpsi

walaupun IgA berangsur-angsur diseksresi kembali ke dalam lumen usus. Setelah

absorbsi berhenti, antibodi yang diperoleh secara pasif ini akan segera menurun

konsentrasinya melalui proses katabolisme normal. Tingkat penurunan antibodi

tergantung pada kelas imunoglobulin dan konsentrasi awal.

Kolostrum penting untuk anak sapi karena adanya imunitas pasif dari

induk ke anak melalui pemindahan imunoglobulin asal kolostrum yang diserap

di dalam usus halus anak sapi. Kegagalan transfer imunoglobulin menyebabkan

anak sapi akan memiliki kadar imunoglobulin yang rendah atau tidak cukup di

dalam serumnya sehingga beresiko besar terhadap koliseptikemi, pneumoni, dan

infeksi lainnya (Biowey & Weaver 2003). Supar et al. (1998) melaporkan bahwa

anak sapi yang lahir dari induk sapi yang divaksin tetapi tidak mendapat

kolostrum, dan kemudian ditantang dengan E. coli K99, meskipun tidak mati akan

menderita diare dan bobot badan relatif tidak bertambah sampai umur 42 hari.

2.3.1. Kekebalan Humoral Neonatus

Tipe plasenta ruminansia adalah sindesmokhorial. Tipe plasenta tersebut

memiliki struktur jaringan pemisah antara sirkulasi darah induk dan fetus, yang

terdiri dari beberapa lapis yang tersusun atas endotel kapiler induk, jaringan

uterus, epitel uterus, epitel khorion, jaringan ikat fetus, dan endotel kapiler fetus.

Transfer imunoglobulin (Ig) transplasenta pada tipe plasenta ini benar-benar

terhambat akibatnya tidak memungkinkan terjadinya transfer Ig di dalam uterus

(Tizard 2004).

Anak sapi lahir dalam keadaan hipogammaglobulinemia, oleh karena itu

sapi neonatus sangat tergantung pada antibodi yang diterima melalui kolostrum

sampai sistem imun anak sapi aktif (Khan & Khan 1996). Sapi neonatus yang

16

belum menyusu mengandung sedikit sekali konsentrasi antibodi di dalam

serumnya, sedangkan sapi neonatus yang sudah menyusu mengandung

konsentrasi antibodi yang tinggi dalam serumnya (Supar et al. 1998).

Rendahnya konsentrasi imunoglobulin berhubungan dengan tingginya

tingkat morbiditas dan mortalitas. Sebanyak 53,6% resiko terjadinya mortalitas

disebabkan oleh konsentrasi IgG di dalam serum <10 g/l akibat kurangnya

transfer IgG dari kolostrum. Konsentrasi IgG normal di dalam serum agar anak

sapi sehat adalah sekitar 17,5-18 g/l (Stott et al. 1979). Menurut Loucks et al.

(1985), frekuensi kejadian hipo dan agammaglobulinemia diakibatkan oleh

kegagalan ingesti kolostrum, rendahnya konsentrasi IgG di dalam kolostrum,

keterlambatan pemberian kolostrum, dan kegagalan absorbsi kolostrum.

Kekebalan pasif yang rendah pada anak sapi akan menurunkan laju pertumbuhan

bobot badan, menurunkan produksi susu pada laktasi pertama, serta meningkatkan

angka kesakitan pada enam bulan pertama setelah lahir (Sudono 1999).

Antibodi adalah molekul glikoprotein yang bersirkulasi dalam darah,

berperan di dalam pencegahan dan pengobatan suatu penyakit karena dapat

bereaksi dengan antigen yang merangsang pembentukannya. Antibodi memiliki

kemampuan berikatan secara khusus dengan antigen serta mempercepat

penghancuran dan penyingkiran antigen. Molekul ini disintesa oleh sel plasma (sel

B) sebagai respon kekebalan terhadap suatu antigen dan bersifat spesifik terhadap

antigen tersebut (Tizard 2004).

Antibodi di dalam serum memiliki konsentrasi lebih tinggi dibandingkan

dengan cairan tubuh lainnya (susu, sekresi nasal, saliva, air mata, urin, sekresi

vagina, dan cairan broncho-alveolar), namun lebih rendah dibandingkan dengan

konsentrasi antibodi di dalam kolostrum. Konsentrasi tertinggi imunoglobulin

dalam serum umumnya dicapai antara 12-24 jam setelah lahir. Imunoglobulin

dalam serum merupakan kompleks antibodi yang ditujukan terhadap bermacam-

macam determinan antigen (Norman et al. 1981).

Berdasarkan ukuran molekul, waktu paruh di dalam plasma, kandungan

karbohidrat, dan aktivitas biologi, antibodi dikelompokkan menjadi IgG, IgM,

IgA, IgE, dan IgD. Antibodi yang paling berlimpah di dalam sirkulasi darah

17

adalah imunoglobulin gamma (IgG). Antibodi umumnya hanya berikatan khusus

dengan antigen yang merangsang pembentukannya (Kuby 2004).

Antibodi yang secara umum meningkat setelah paparan antigen adalah

IgM dan IgG. IgM adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi

tertinggi kedua setelah IgG di dalam serum kebanyakan hewan. IgM lebih efisien

dibandingkan dengan IgG pada aktivasi komplemen, opsonisasi, netralisasi virus,

dan aglutinasi walaupun diproduksi dalam jumlah relatif kecil. IgM akan

terbentuk sebagai respon paling awal dan selanjutnya konsentrasi akan menurun

dengan cepat. Sementara itu IgG akan terus-menerus meningkat hingga level

maksimum dalam periode yang relatif lama. IgG adalah imunoglobulin yang

terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah karena lebih mudah

berdifusi ke dalam cairan ekstravaskular dibandingkan dengan imunoglobulin lain

sehingga berperan utama dalam mekanisme pertahanan yang diperantai antibodi

(Roitt 1991).

Respon kekebalan humoral utama terhadap infeksi E. coli bekerja secara

langsung melawan bakteri atau produknya, seperti faktor kolonisasi dan toksin.

Antibodi terhadap antigen kapsul (K) dapat membantu menetralkan sifat

antifagosit dari kapsul (mengopsonisasi organisme) dan menyebabkan

penghancuran bakteri oleh sel fagositik. Antibodi juga akan berikatan dengan

reseptor sel usus sehingga ETEC tidak dapat melekat pada dinding usus dan tidak

patogen (Carter & Wise 2004). Salyers dan Whitt (1994) melaporkan bahwa

antibodi dalam usus halus akan melapisi permukaan usus halus sehingga

menghambat terjadinya perlekatan antara reseptor pada vili enterosit dengan

ETEC, akibatnya bakteri tidak dapat melekat pada dinding usus sehingga

kolonisasi E. coli pada vili dan produksi enterotoksin dapat dihindari.

2.4. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan salah satu jenis

uji pengikatan primer. Uji ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan

mengukur antibodi atau antigen. Prinsip dasar ELISA adalah mengukur langsung

interaksi antara antigen dengan antibodi. Adanya antibodi menunjukkan adanya

paparan antigen ke dalam tubuh inang yang diperiksa (Tizard 2004). Menurut

18

Burgess (1995), teknik ELISA dapat bekerja dengan konsentrasi bahan yang

cukup kecil dengan tingkat sensitifitas yang tinggi. Terdapat dua macam teknik

ELISA yang merupakan metode dasar ELISA, yaitu ELISA langsung dan ELISA

tidak langsung. ELISA langsung maupun tidak langsung digunakan untuk

mendeteksi antigen dan antibodi dengan syarat salah satunya diketahui. Indikator

enzim untuk reaksi imunologi merupakan ciri utama teknik ELISA.

ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat

digunakan untuk mengukur titer antibodi. ELISA tidak langsung digunakan

sebagai uji serologik karena cepat, sederhana dan relatif murah (Parede & Ginting

1996). Ikatan antigen dan antibodi pada ELISA tidak langsung ada dua macam,

yaitu ikatan antigen-antibodi primer dan ikatan antibodi primer-antibodi sekunder.

Ikatan antigen-antibodi primer bersifat spesifik, terjadi antara epitop antigen

dengan paratop pada rantai Fab antibodi. Antibodi primer tidak berlabel dapat

diperoleh dari serum atau cairan tubuh lain. Ikatan antibodi primer-antibodi

sekunder bersifat tidak spesifik, artinya ikatan antara antibodi dan anti-antibodi

dapat terjadi pada semua macam antibodi. Antibodi sekunder (sering disebut juga

dengan konjugat) terikat pada enzim (berlabel enzim). Enzim ini dapat

menguraikan substrat yang ditambahkan sehingga terjadi perubahan warna

larutan. Kekuatan warna ini tergantung dari banyaknya substrat yang terurai.

Banyaknya substrat yang terurai tergantung dari banyaknya enzim dalam larutan.

Kekuatan ini menunjukkan jumlah ikatan antigen-antibodi primer (Burgess 1995).