dub

Upload: prabawayuda

Post on 13-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Disfungsional Uterin Bleeding

PAGE

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam usia reproduktif, perdarahan uterus abnormal dapat terjadi sekunder akibat dari kehamilan, kelainan sistem hemostasis dan struktur patologis traktus genitalis atau karena perdarahan uterus disfungsional. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik maupun anovulatorik. Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik terjadi karena kelainan hemostasis lokal pada endometrium. Mekanisme pada perdarahan disfungsional anovulatorik, umumnya bersifat sistemik karena pengaruh endokrin terhadap kondisi endometrium. Estrogen menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium dan kelainan mekanisme hemostasis lokal yang terjadi sekunder karena tidak adanya produksi progesteron secara siklik dan berhubungan dengan biosintesa endotelin-1, prostaglandin dan substansi lain yang berperan pada hemostasis endometrium(9,27).

Perdarahan menstruasi yang banyak atau menoragia, merupakan masalah kesehatan yang cukup penting di negara yang sedang berkembang terlihat dari laporan mengenai indikasi terbanyak alasan kasus rujukan kepada ginekolog di negara berkembang untuk penanganan bedah akibat kelainan haid pada usia di atas 40 tahun adalah menoragia ( urutan pertama ), perdarahan intermenstrual yang persisten ( urutan kedua ), kegagalan terapi medikamentosa ( urutan ketiga ) yang terakhir faktor-faktor lain seperti biopsi yang abnormal serta dismenore berat. (26,30).

Secara obyektif menoragia didefinisikan sebagai hilangnya darah pada saat menstruasi lebih dari 80 ml per bulan. Studi populasi menunjukkan bahwa 40 % wanita usia reproduktif dengan perdarahan 80 ml, dan hampir sepertiga dari seluruh wanita pernah mengalami keluhan menstruasi yang berlebihan(29).

Saat ini dalam hal pengobatan klinis paradigma evidence base medicine (EBM ) menitik beratkan aplikasi pengobatan yang paling efektif dan pentingnya alasan yang rasional dalam penggunaan suatu obat dalam kerangka manajemen suatu penyakit. Di Inggris lebih dari sepertiga dokter meresepkan noretisteron ( yang sebenarnya merupakan pilihan pengobatan perdarahan uterus disfungsional yang paling tidak efektif menurut EBM ) sebagai pengobatan lini pertama, dan hanya 1 dari 20 orang yang meresepkan asam traneksamat (yang menurut EBM merupakan pengobatan lini pertama perdarahan uterus disfungsional yang paling efektif ). Di New Zaland ternyata penggunaan asam traneksamat juga sangat terbatas, 50 % ginekolog masih menggunakan progesteron sebagai pilihan utama dan kurang dari 10 % yang menggunakan asam traneksamat(9,26,30).

Ada beberapa hal penting yang harus dievaluasi dalam penanganan perdarahan uterus disfungsional secara rasional dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Menoragia karena perdarahan uterus disfungsional adalah masalah kesehatan wanita yang penting

2. Meskipun sudah terdapat banyak bukti-bukti mengenai keefektifan pengobatan secara evidence based ternyata pengobatan yang kurang tepat masih banyak dilakukan

3. Adanya panduan pengobatan rasional untuk menoragia karena perdarahan uterus disfungsional menurut evidence based 4. Pengobata yang tepat dan efektif akan meningkatkan kepuasan pasien5. Keberhasilan terapi medikamentosa merupakan alternatif yang efektif untuk menghindari tindakan bedah(30)Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai penggunaan antifibrinolitik, asam traneksamat sebagai pilihan pengobatan lini pertama berdasarkan evidence based medicine dalam penanganan menoragia karena perdarahan uterus disfungsional.

BAB 2

PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

Dari semua hubungan hormonal dengan endometrium, endometrium paling stabil dan fungsi menstruasi yang paling reproduktif dalam kualitas dan durasi perdarahan karena estrogen dan progesteron pasca ovulasi. Dengan karakteristik gambaran perjalanan yang khas. Setiap deviasi, durasi yang lebih panjang atau pendek, perdarahan lebih banyak atau sedikit akan mempengaruhi perhatian pasien(10,27).

Menar, diikuti 5-7 tahun siklus awal yang lebih panjang, kemudian lebih teratur dengan siklus lebih pendek seperti siklus usia reproduktif. Setelah usia 40 tahun siklus menjadi lebih panjang lagi(10,27).

2.1. Definisi

Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan abnormal dari uterus tanpa ditemukan kelainan organik pada traktus genitalia maupun ekstra genitalia. Perdarahan uterus disfungsional terjadi hanya akibat gangguan fungsi mekanisme kerja poros hipotalamus, hipofise dan ovarium serta target organnya dalam hal ini endometrium. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik atau anovulatorik. Pendarahan abnormal terjadi pada frekuensi, jumlah, durasi atau kombinasinya. Perdarahan yang bervariasi sebagai manifestasi siklus anovulasi, tanpa kelainan medis atau patologis(4,27).

2.2. Epidemiologi

Perdarahan uterus disfungsional sering terjadi pada usia reproduktif. Prevalensi tinggi pada adolesen dan premenopause. Prevalensi perdarahan uterus disfungsional 5 % dari seluruh wanita menstruasi dilaporkan Wren tahun 1998. Dari semua kasus ginekologi 15 20 % dengan perdarahan uterus disfungsional , 11 % berusia < 20 tahun, 50 % antara 20 40 tahun dan 39 % diatas 40 tahun(26,27).

Penelitian WHO tahun 1998, mendapatkan wanita dengan keluhan menoragia 1.011 dari 5.322 ( 19 % ) berdasarkan survey yang dilakukan di 14 negara yang berbeda(26).

2.3. Patofisiologi

Pada menstruasi normal terjadi pelepasan, pembentukan dan perbaikan lapisan fungsional endometrium. Destruksi dan regenerasi endometrium dikendalikan oleh faktor lokal yang tergantung pada estrogen dan progesteron. Prostaglandin dan endotelin adalah substansi vasoaktif yang mengatur kehilangan darah menstruasi. Konsentrasi endotelin jaringan bekerja sama dengan relaxing factor, seperti nitricoxide, meningkatkan dan memperpanjang kehilangan darah menstruasi (10).

Endometrium normal kaya akan fosfolipase yang dibutuhkan pada konversi asam lemak prekursor asam arachidonat. Pada fase luteal akhir cyclo oxygenase berperan pada konversi asam arachidonat menjadi endoperoksidase, yang dibawah sintetase spesifik berubah menjadi prostaglandin F2 ( vasokontriktor dan aggregator trombosit lemah ), prostaglandin E2 ( vasodilator dan antiagregasi platelet ), prostaglandin D2 ( aglutinasi inhibitor, prostaglandin I2 ( vasodilator dan antiagregasi platelet) dan tromboxan A2 ( vasokontriktor dan platelet aggregator ). Pada mensruasi normal, rasio prostaglandin F2 : prostaglandin E2 dalam cairan menstuasi 2 : 1(10,27,29).

Ecosanoid yang diproduksi leukosit melalui kerja lipooxygenase pada asam arachidonat. Jumlah perdarahan menstruasi sesuai dengan derajat infiltrasi leukosit. (27)Progesteron withdrawal bleeding / perdarahan sinambung progesteron menyebabkan hancurnya lysosom dan pelepasan fosfolipase A2. Ditandai dengan meningkatnya plasminogen aktivator dan aktivitas fibrinolitik dalam darah menstruasi pada perdarahan uterus disfungsional. Perdarahan uterus disfungsional primer terjadi karena gangguan metabolisme ecosanoid dalam sistem fibrinolitik dan enzim lisosomal endometrium(3,27).

Pada perdarahan uterus disfungsional dengan siklus ovulatorik, produksi prostaglandin yang disekresi endometrium dengan perbandingan terbesar dari prostaglandin F2 / prostaglandin E2 / prostaglandin D2 menjadi prostaglandin E2 / prostaglandin D2 / prostaglandin F2. Terjadi peningkatan sintesa prostaglandin I2 miometrium yang menmyebabkan dilatasi arteri radialis dan meningkatnya perdarahan(11,20,28).

Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik, kurangnya progesteron menyebabkan berkurangnya rasio prostaglandin F2 : prostaglandin E2 dan terjadi peningkatan relatif prostaglandin E2, yang merupakan vasodilator dan anti agregasi platelet, menyebabkan bertambahnya perdarahan. Kontraksi uterus tidak terjadi dan tidak nyeri adalah tanda dari siklus anavolusi(10,19,27).

Etiologi perdarahan uterus disfungsional yang paling sering adalah perdarahan karena sinambung estrogen / estrogen withdrawal bleeding atau perdarahan lucut estrogen / estrogen break through bleeding pada pasien dengan siklus anovulatorik(10,19,27).

Pada kasus progesteron negatif menyebabkan inhibisi sintesa DNA dan mitosis, respon proliferatif estrogen menyebabkan pertumbuhan endometrium dengan integritas matrik stroma yang lemah sehingga terjadi pelepasan spontan. Pada keadaan normal terjadi mekanisme kontrol yang membatasi menstruasi, perdarahan dapat berkepanjangan dan eksesif pada keadaan tanpa progesteron(19,27).

2.3.1.Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik

Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik disebabkan oleh fase proliferasi abnormal atau korpus luteum abnormal.

a.Fase proliferasi abnormal

Pada fase proliferasi abnormal dapat terjadi fase proliferasi yang panjang atau pendek. Gangguan panjang siklus lebih sering dibandingkan dengan perdarahan yang banyak.

1. Fase proliferasi panjang

Gambaran normal pada menark, mungkin pada sindrom ovarium polikistik dengan fase proliferasi panjang sehingga terjadi oligomenare. Pada wanita tua merupakan petanda menopause.

2. Fase proliferasi pendek

Mengarah pada polimenore, ovulasi yang terjadi normal tetapi terjadi hipersensitif ovarium.

b.Abnormalitas Korpus luteum

1. Insuffiensi Korpus luteum

Perkembangan korpus luteum yang inadekuat menyebabkan kurangnya produksi progesteron dan kurangnya perubahan sekresi endometrium ditandai dengan berkurangnya rasio prostaglandin F2 : prostaglandin E2 pada endometrium dan darah haid. Terjadi premenstrual spotting dan / atau siklus pendek(3,9,18,26).

2. Persisten korpus luteum

Terjadi karena sekresi estrogen dan progesteron yang terus menerus. Tidak terjadi penurunan tajam kadar hormon yang menyebabkan menstruasi terjadi(3,9,18,26).

Menyebabkan pelepasan fosfolipase A2 tidak adekuat dan pelepasan prostaglandin tidak adekuat, dengan irregular shedding endometrium. Terjadi perpanjangan menstruasi yang tidak normal dan fragmen endometrium ditemukan lebih dari 48 jam setelah onset menstruasi(19,27).

Perdarahan uterus ovulatorik tejadi karena kelainan hemostasis lokal endometrium. Fisiologis, progesterone withdrawal sebagai pencetus perdarahan menstruasi. Melalui rangsangan vasokontriksi arteri spiralis yang dimodulasi prostaglandin F2 dan endotelin-1, yang ditemukan pada endometrium premenstruasi dan permukaan miometrium. Prostaglandin dengan kerja vasodilator, prostaglandin E2 dapat diukur dari stroma endometrium dan prostaglandin I2 dari superfisial miometrium. Pada menoragia rasio prostaglandin F2 : E2 menurun dan kadar prostaglandin I2 meningkat.

Nitrik oksida (NO) adalah vasodilator poten lain, dan penghambat agregasi trombosit yang dapat ditemukan di kelenjar dan sel stroma endometrium. Nitrik oksida mempengaruhi hemostasis menstruasi seperti kerja prostaglandin I2. Belum ada data yang telah dipublikasikan tentang hubungan antara kadar nitrik oksida dengan volume dan lama perdarahan menstruasi(10,19,27).

Mekanisme lain yang merangsang dan mengendalikan perdarahan menstruasi adalah mediator sitokin. Matriks ekstraselular endometrium lepas karena pengaruh matriks metaloproteinase (MMPs) dan enzim proteolisis lain yang dilepaskan sesuai dengan penurunan kadar progesteron pada fase luteal. Produksi dan pelepasan matriks metaloproteinase dengan mediator sitokin, termasuk interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosing factor (TNF ) yang disekresi sel mast dan sel lain yang bermigrasi ke endometrium yang meningkat kemudian pada fase luteal(10,19,27).

2.3.2.Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik

Perdarahan uterus disfungsional dengan siklus anovulatorik umumnya tejadi karena abnormalitas endokrin.

1. Insufisiensi perkembangan folikel

Terjadi peningkatan progresif estrogen yang diikuti dengan turunnya sekresi estrogen secara tiba-tiba karena umpan balik inhibisi dari hipofise, sehingga proliferasi endometrium tidak diikuti proses iskemia. Dengan akibat, pelepasan yang terjadi umumnya irregular, inkomplit dan berkepanjangan menyebabkan perdarahan banyak. Siklus menjadi irregular. Pada thresthold bleeding, sekresi estrogen meningkat tetapi titernya sekitar nilai ambang kritis, dibawah kadar yang dapat memelihara endometrium. Sehingga terjadi perdarahan irregular dan asiklik.

2. Folikel ovarium persisten (metropatia hemoragik)

Tipe perdarahan uterus disfungsional klasik terjadi karena peningkatan sekresi estrogen sangat lambat dan umpan balik inhibisi hipofise tidak terjadi. Stimulasi endometrium yang lama oleh estrogen menyebabkan hiperplasia yang berlangsung sampai estrogen turun atau bagian endometrium yang sedang tumbuh tidak mendapat supply darah dan lepas. Siklus panjang dengan periode amenore yang diikuti oleh pelepasan endometrium hiperplastik dan perdarahan banyak. Pelepasan endometrium mungkin tidak komplit dengan akibat perdarahan terus dan asiklik(10,19,27).

Mekanisme perdarahan uterus disfungsional anovulatorik umumnya bersifat sistemik. Kelainan mekanisme hemostsis local terjadi sekunder karena tidak adanya produksi progesteron dan berhubungan dengan biosintesa endotelin-1, prostaglandin dan substansi lain yang berperan pada hemostasis endometrium. Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik terjadi karena pengaruh endokrin terhadap kondisi endometrium, estrogen menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium. Pada keadaan anovulasi dapat terjadi perdarahan eksesif, karena pada keadaan tanpa pelepasan progesteron dan tidak terjadi deskuamasi periodik maka tebal endometrium menjadi abnormal tanpa struktur penyangga yang kuat. Vaskularisasi jaringan meningkat, kelenjar bertambah tanpa matriks penyokong stroma yang kuat. Jaringan ini fragil dan permukaannya akan mudah lepas dan berdarah. Tidak terjadinya ovulasi menyebabkan perdarahan yang tidak dapat diprediksi(10,19,27).

2.4. Patologi Endometrium

Hubungan antara gambaran histologi endometrium dengan jumlah dan tipe perdarahan sangat sedikit. Variasi yang lebar dari endometrium ditemukan pada perdarahan uterus disfungsional, banyak kasus perdarahan uterus disfungsional dengan sekresi endometrium normal (60 %).

Endometrium pada siklus ovulasi

a. Pematangan endometrium irregular, 15 25 kasus dengan menoragi ovulasi. Endometrium dengan perubahan proliferatif dan sekretorik.

b. Pelepasan irregular

Terjadi maldesisualisasi endometrium dengan aktivitas sekresi glandula yang berkepanjangan. Terjadi perubahan sel stroma dari nukleus yang besar bulat menjadi sel pipih, pertanda fase proliferasi.

Endometrium pada siklus anovulasi

a. Proliferasi endometrium

Tipe ini ditemukan pada wanita dewasa dan sebelum menopause.

b. Hiperplasi endometrium

Diagnosa umum (30%) abnormalitas perdarahan uterus disfungsional. Bervariasi dari penyimpangan ringan fase proliferasi (atipik) petanda pertumbuhan adenokarsinoma endometrium. Struma dan glandula bertambah dan dilatasi, dengan bentuk tipikal swiss cheese appearance. Terjadi vaskularisasi vena pada permukaan endometrium. Terjadi infark dan trombosis pembuluh darah dengan nekrosis dan pelepasan lapisan superfisial endometrium sehingga terjadi menoragia.

Hiperplasia endometrium mungkin mengalami pertumbuhan progresif dari bentuk jinak menjadi hiperplasi adenomatous bahkan carninoma(19,27).

Endometrium Atropik

Sering pada perdarahan uterus post menopause. Dilatasi vena pada permukaan endometrium yang tipis, jika ruptur menyebabkan perdarahan banyak(19,27).

Apoptosis endometrium

Penemuan baru oleh Stewart (1999). Proses rutin, hematoxylin dan eosin untuk pengecatan biopsi endometrium terhadap 26 pasien, dengan gangguan menstruasi abnormal umumnya menoragia, dan 24 kontrol. Hasil biopsi fase proliferasi dengan batas normal. Apoptosis dan mitosis ditemukan pada minimal 100 potongan melintang kelenjar endometrium. Dari 16 biopsi (12 kasus dengan perdarahan uterus disfungsional dan 4 kontrol) gambaran apoptosis diidentifikasi pada sebagian besar kontrol 5,6 /100 kelenjar, terjadi peningkatan apoptosis pada biopsi pasien dengan perdarahan uterus disfungsional 13,9 /100 kelenjar(10).

Tidak terdapat perbedaan gambaran mitotik. 20-25 % apoptosis tipikal tidak dapat ditandai. Apoptosis glandula endometrium tampak pada sebagian besar biopsi fase proliferasi dan tampak meningkat pada perdarahan uterus disfugsional. Meningkatnya apopotosis merupakan penanda morfologis perkembangan endometrium abnormal(10,27).

Ovarium

Ukuran ovarium bervariasi tergantung umur dan perubahan endokrinologis. Pada pubertas tampak kista folikular dengan ( > 3 cm tanpa korpus luteum baru/lama. Ovarium pada usia reproduktif adalah normal disertai persisten korpus luteum. Ovarium premenopouse dengan kista multipel dengan ukuran bervariasi dengan ukuran bervariasi berhubungan dengan hiperplasia endometrium(10,27).

Normal Withdrawal Bleeding/Menstruasi

Dari semua hubungan hormonal-endometrium, endometrium paling stabil dan fungsi menstruasi yang paling reproduktif dalam kualitas dan durasi perdarahan karena estrogen progesteron post ovulasi. Dengan karakteristik gambaran perjalanan yang khas (10,27).

Ada 3 alasan selflimited dari perdarahan withdrawal estrogen-progesteron

1. Kejadian endometrium yang umum, karena onset dan timbulnya menstruasi berhubungan dengan hormonal, sehingga perubahan menstruasi terjadi secara simultan diseluruh segmen endometrium.

2. Lapisan endometrium yang dipengaruhi estrogen-progesteron dengan struktur stabil dan terhindar dari lepasnya jaringan secara acak atau fragil/ kelemahan jaringan. Terjadi disintegrasi iskemik endometrium yang sering dan progesif berhubungan dengan lamanya vasokontriksi.

3. Saat mulainya menstruasi, fungsional setelah estrogen-progesteron withdrawal . Diawali vasokontriksi kemudian terjadi iskemia. Stasis pembuluh darah, terjadi vasokontriksi lama dan kollaps endometrium menyebabkan faktor pembekuan menutupi daerah yang berdarah. Dapat dilihat adanya aktivitas estrogen(27).

Estrogen Withdrawal Bleeding

Kategori perdarahan ini terjadi pada penderita setelah ooforektomi bilateral, radiasi folikel matur atau pemberian estrogen kemudian terapi dihentikan. Perdarahan terjadi karena penghentian estrogen eksogen. Perdarahan pertengahan siklus terjadi sekunder karena estrogen tiba-tiba dihentikan(27).

Estrogen Breakthrough Bleeding

Terdapat hubungan semikuantitatif antara stimulasi estrogen pada endometirum dengan tipe perdarahan. Dosis estrogen yang relatif rendah menimbulkan perdarahan / spotting intermitten yang berkepanjangan, tetapi secara umum jumlah perdarahan sedikit. Di lain pihak kadar estrogen yang tinggi dan menetap menyebabkan periode amenore yang kemudian diikuti perdarahan akut, profuse dengan kehilangan darah yang banyak(27).

Progesteron Withdrawal Bleeding

Pelepasan korpus luteum menyebabkan deskuamasi endometrium. Secara farmakologis, kejadian yang sama dapat terjadi dengan pemberian kemudian penghentian pemberian progesterone atau sebuah nonestrogenik progestin sintetis. Progesterone withdrawal bleeding terjadi jika endometrium awalnya telah mengalami proliferasi karena pengaruh estrogen endogen atau estrogen eksogen. Jika terapi estrogen dilanjutkan dengan progesterone, progesterone with drawal bleeding tetap terjadi. Hanya jika kadar estrogen meningkat 10-20 kali maka progesterone withdrawal bleeding akan terhambat(27).

Progesteron Breakthrough Bleeding

Progesteron breakthrough bleeding terjadi pada rasio progesteron : estrogen tinggi. Pada keadaan tanpa estrogen, terapi progesteron terus menerus akan menyebabkn perdarahan intermitten dengan durasi bervariasi. Terjadi pada penggunaan progestin jangka panjang seperti Norplant, Depo Provera(27).

2.5. Presentasi Klinik

Perdarahan uterus disfungsional dievaluasi berdasarkan kelompok umur dan gambaran perdarahan / menogram.

Kelompok Umur:

a. Perimenar :

Penyakit organik dan keganasan sangat jarang dan perdarahan abnormal sebagian besar karena disfungsional. Perdarahan uterus disfungsional pada perimenar karena imaturitas hipotalamus dan umpan balik positif yang tidak adekuat dan sering disertai menstruasi irregular karena kegagalan ovulasi atau ovulasi terhambat, 40-50% kasus terselesaikan setelah 2 tahun. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan perdarahan uterus disfungsional yang terjadi pada periode menstruasi normal dibandingkan dengan perdarahan uterus disfungsional pada menar.Gangguan perdarahan harus disingkirkan dan sebagian besar kasus ditangani dengan medikamentosa.

b. Dewasa

Sebagian besar perdarahan uterus disfungsional pada wanita usia reproduktif dengan siklus ovulasi dan masalah dapat diatasi dengan spontan.

c. Perimenopause:

Perdarahan sebagian besar disfungsional. Singkirkan kelainan organik seperti fibromioma, karsinoma endometrium sebelum diagnosa perdarahan uterus disfungsional ditegakkan. Perdarahan diluar siklus dan lebih dari 50 % kasus disertai hiperplasia endometrium(2,3,27).

Gambaran perdarahan / menogram

a. Perdarahan siklik berulang

Menoragia mungkin berhubungan dengan mioma atau penyakit radang panggul mungkin juga perdarahan disfungsi ovulasi prognosis favorable.

b. Perdarahan irregular / diluar siklus

Mungkin disertai kelainan organik traktus genitalia bisa suatu perdarahan anovulasi.

Prognosis kurang baik, pada perimenopause harus diambil sampling endometrium.

c. Perdarahan diantara siklus mentruasi / metrogia

Polip serviks dan endometrium, mioma sub mukus dan karsinoma serviks, dapat menyebabkan perdarahan banyak.

Perdarahan pertengahan siklus, regular terjadi pada perdarahan uterus disfungsional ovulasi kerena turunnya sekresi estrogen(3,10,27).

2.6. DiagnosaDiagnosa perdarahan uterus disfungsional adalah diagnosa eksklusi. Kesulitan utama diagnosis adalah memutuskan pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menyingkirkan kelainan organik di uterus(3,4,11,27).

Anamnesa

Umur, paritas, fertilitas, jumlah, durasi dan gambaran perdarahan. Gejala menstruasi yang menyertai, gejala berkaitan dengan penyakit organik dan endokrin.

Kontrasepsi, hamil, stres emosional, gangguan psikiatri, latar belakang sosial dan personal(3,4,26,27).

Pemeriksaan

Pemeriksaan untuk mengetahui kondisi umum pasien dan pemeriksaan abdominal dan pelvis. Tujuan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan perdarahan uterus disfungsional, eksklusi penyakit intra uterin dan kelainan yang berhubungan dengan perdarahan.

Hematologi : darah lengkap, blood smear, profil koagulasi seperti bleeding time, cloting time, trombosit count, protrombin time, APTT (activated partial thromboplastin time).

Transvaginal sonografi untuk menyingkirkan massa pelvis dan komplikasinya. Endometrium bersifat dinamis, respon cepat terhadap stimulasi ovarium sesuai dengan stimulasi hormonal endogen dan eksogen. Respon itu tampak dari ketebalan, echogenitas, tekstur endometrium. Transvaginal sonografi tidak bisa membedakan kelainan intracavitas

Saline infusion sonography, infus salin dalam cavum uteri, jarak cavum uteri diukur dan untuk melihat lesi cavum uteri, sangat nyeri pada pasien syok.

Dilatasi dan kuretasi

Umum dikerjakan dan menggantikan pemeriksaan histeroskopi. Dilatasi dan kuretasi, pengambilan sampel untuk pemeriksaan histologi, untuk mengetahui kelainan organik intrauterin seperti hiperplasia endometrium, carcinoma endometrium, tuberkulosis. Dilatasi dan kuretasi merupakan prosedur diagnostik tetapi tidak banyak membantu pada perdarahan banyak dan tidak mengurangi perdarahan pada siklus berikutnya.

- Histeroskopi

untuk mengevaluasi area yang mengalami kelainan. Untuk rencana terapi dan mengurangi pembedahan yang tidak diperlukan. Sensitivitasnya 98 % sehingga menggantikan dilatasi dan kuretasi.

Pap smear, FSH dan LH, T3/T4, dan TSH(1,8,27,29).

BAB 3

PENANGANAN PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

Pilihan terapi perdarahan uterus disfungsional sangat lebar, termasuk penggunaan nonsteroid anti inflammatory drugs ( NSAID ), anti fibrinolitik, hormonal dan penanganan bedah. Sangat banyak pilihan obat yang efektif tetapi gejala akan muncul lagi pada saat terapi dihentikan. Terapi jangka panjang mungkin dibutuhkan sehingga berat dan frekuensi efek samping harus diperhitungkan(26,30).

Tujuan terapi perdarahan uterus disfungsional adalah :

1. mengendalikan perdarahan akut.

2. mencegah kekambuhan secara episodik / berulang.

3. mencegah komplikasi(26,30).

Menurut evidence-based pengobatan yang efektif untuk perdarahan uterus disfungsional adalah :

Asam traneksamat

NSAID

Selanjutnya adalah :

Kontrasepsi oral kombinasi

Progesteron siklik ( hari ke-21 )

Hormonal IUD

Dengan demikian yang rasional berdasarkan patofisiologi penyakit untuk mengatasi kelainan yang terjadi diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terapi, kepuasan pasien dan alternatif bagi tindakan bedah(9,26,30).

3.1.Penanganan medikamentosa

Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi dengan keluhan kronis, perdarahan irregular, berkepanjangan atau perdarahan di luar siklus haid yang tidak mengancam. Tetapi pasien dengan perdarahan uterus disfungsional dapat juga mengalami perdarahan banyak dan harus mendapat penanganan secepatnya. Penderita dengan perdarahan akut dan banyak memerlukan terapi intensif(9,26,27,30).

Beberapa peneliti membagi perdarahan uterus disfungsional kedalam beberapa kategori berdasarkan kadar hemoglobin yaitu perdarahan uterus disfungsional ringan jika kadar hemoglobin > 11 gr/dl, sedang jika hemoglobin 9-11 gr/dl, berat jika hemoglobin < 9gr/dl Konsentrasi hemoglobin yang rendah secara obyektif dapat dipakai untuk memprediksi perdarahan yang terjadi(11).

Kandidat terapi medikamentosa adalah wanita tanpa lesi organik, yang mengalami perdarahan uterus disfungsional dan menghindari pembedahan serta berharap mempertahankan fertilitas. Terapi medikamentosa dibagi menjadi terapi hormonal dan non hormonal(9,23,26,27).

3.1.1. Terapi hormonal

Penggunaan terapi hormonal kurang tepat untuk mengatasi penyebab perdarahan uterus disfungsional karena defek hormonal tidak ditemukan. Terapi hormonal untuk mengandalikan siklus menstruasi secara eksternal sehingga perdarahan eksesif dapat dihindarkan. Terapi hormonal tergantung pada karakteristik endometrium(6,9,20,27).

3.1.1.1. Progestin

Terapi dengan progestin ditujukan pada keadaan anovulasi, fungsi korpus luteum tidak adekuat atau durasi korpus luteum yang tidak adekuat yang ditandai dengan episode oligomenore yang diikuti perdarahan eksesif. Frekuensi anovulasi tinggi pada adolesen dan pada dekade dekat menopause(27).

Progestin merupakan anti estrogen jika diberikan dalam dosis farmakologis. Progestin menstimulasi kerja 17 hydroxysteroid dehydrogenase dan sulfotransferase yang berperan dalam perubahan estradiol menjadi estron sulfat. Progestin juga menghambat efek estrogen di di sel target dengan menghambat kerja reseptor estrogen. Progestin menghambat transkripsi onkogen dengan mediator estrogen(27).

Progestin bersifat antimitotik, mencegah hiperplasia endometrium, membatasi pertumbuhan endometrium post ovulasi. Perdarahan eksesif sering terjadi karena pelepasan yang irregular dari endometrium yang tumbuh secara berlebihan. Pada wanita dengan siklus anovulasi, progestin membuat siklus menjadi ovulasi dan menstruasi yang terjadi siklik(6).

Norethisteron dan medroxy progesteron asetat efektif untuk penanganan perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Tidak efektif untuk perdarahan ovulatorik jika diberikan dengan dosis rendah selama 5-10 hari pada fase luteal. Norethisteron dapat untuk terapi menoragia ovulasi jika diberikan dengan dosis yang lebih tinggi selama 3 minggu ( 5 mg tiga kali sehari mulai hari 5 sampai hari 26 ) (6,9,13).

a. Pemberian sesuai siklus

Pada kasus dengan hiperplasia endometrium, diberi norehisteron asetat 5 mg/hr atau medroxy progesteron asetat 10 mg/hr dari hari 5 sampai 25 selama 3 siklus(3,19,26,27).

b. Pemberian sistemik terus menerusProgestin diberikan terus menerus untuk menangani menoragia ovulatorik. Norethisteron untuk terapi menoragia ovulatorik diberikan selama tiga minggu dengan dosis 5 mg 3 kali sehari mulai hari 5 sampai hari 26 menstruasi. Depo-provera 80% membuat amenore dalam 1 tahun dan mungkin 50 % dengan perdarahan iregular dalam 1 tahun (3,19,26,27).

c. Pemberian lokal terus menerus

Progestin diberikan melalui impregnated IUD mengurangi perdarahan menstruasi. Kadang-kadang diberikan sementara pada pasien yang akan dihisterektomi. Terapi efektif untuk menoragia (kategori A), mengurangi perdarahan sampai 90 % dan efektif sebagai kontrasepsi(9,12,26).

Levonorgestrel intrauterine system ( LNG IUS, Mirena, Shering health ), sistem ini melepaskan 20 g levonorgestrel setiap 24 jam dalam formulasi pelepasan tetap, dan kedaluwarsa dalam 5 tahun. Pemberian progesterone secara langsung ke dalam cavum uteri mengurangi absorpsi sistemik(9,12,26).

Penelitian awal pada 20 wanita yang mengalami menoragia menunjukkan jumlah perdarahan berkurang dari yang rata-rata sebelum terapi 176 ml menjadi 24 ml setelah 3 bulan dan 5 ml setelah 12 bulan. Dan 7 wanita ( 35 % ) mengalami amenore pada akhir penelitian(26).

Efektivitas levonorgestrel intra uterine system untuk terapi menoragia telah dibandingkan dengan noresthisteron oral dan reseksi endometrium. 44 wanita dengan menoragia diberi noresthisteron 5 mg tiga kali sehari dari hari 5 sampai hari 21 atau dengan levonorgestrel. Perdarahan menstruasi yang diukur sebelum dan setelah 3 siklus berkurang mencapai batas normal pada kedua group. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna tentang efek samping diantara kedua kelompok, spotting diluar siklus 53 % pada levonorgestrel dan 13 % pada progesteron oral. 80% memutuskan untuk melanjutkan levonorgestrel dan 20 % noresthirenon(12).

Penelitian lain melibatkan 70 wanita premenopause dengan perdarahan uters disfungsional secara random dibandingkan penggunaan levonorgestrel atau reseksi endometrium. Perdarahan diukur secara semiobyektif dengan kuisioner kesehatan umum yang diselesaikan setelah 12 bulan. Perkiraan perdarahan berkurang 79 % pada kelompok levonorgestrel dan 89 % pada reseksi endometrium(29).

Efek yang tidak diinginkan dari penggunaan levonorgestrel intra uteri adalah terjadinya perdarahan lucut irregular dan spoting, terutama beberapa bulan setelah insersi. Sebanyak 20 % akan mengalami amenore dalam 1 tahun pemakaian. Angka ekspulsi spontan sekitar 3,3-5,9 % dalam 12 bulan(9,12,26).

3.1.1.2. Estrogen

Pada perdarahan akut dan banyak, dapat digunakan estrogen dosis tinggi yaitu 25 mg Conjugated estrogen intravena setiap 4 jam sampai perdarahan berkurang atau dalam 24 jam.Estrogen memicu penyembuhan dengan mekanisme kerja stimulasi proses pembentukan klot di tingkat kapiler endometrium. Jika perdarahan yang terjadi sedang/tidak banyak dapat diberikan 1,25 mg Conjugated estrogen atau 2 mg estradiol secara oral setiap 4 jam selama 24 jam diikuti dengan dosis tunggal selama 7-10 hari. Setiap terapi dengan estrogen harus diikuti dengan pemberian progestin dan akan terjadi perdarahan withdrawal(27).

3.1.1.3. Kombinasi estrogen dan progesteron

Oral kontrasepsi sangat popular digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus disfungsional ovulasi dan anovulasi. Kombinasi estrogen dan progesteron mengurangi perdarahan menstruasi sekitar 50 %. Mekanisme kerjanya melalui supresi endometrium. Wanita yang menggunakan pil kombinasi sebagai kontrasepsi perdarahan menstruasinya akan berkurang. Karena dengan pil kombinasi akan terjadi pelepasan regular dari endometrium yang tidak tebal(2,27,29.

Iyer tahun 2001 melakukan penelitian random seperti yang dikutip oleh Surendra tahun 2002, perdarahan menstruasi berkurang 43 % dengan penggunaan pil kombinasi seefektif penggunaan asam mefenamat, naproxen dan danasol(28).

Terapi dengan mengatur siklus serta mengurangi perdarahan diberikan pada usia reproduktif dan perimenopause. Pil kombinasi kurang popular karena efek samping tromboemboli dan kelainan arteri terutama pada wanita di atas 35 tahun(29).

(30)3.1.1.4. Danazol

Danasol adalah androgen sintetik dengan kerja antiestrogen dan anti progesteron. Bentuk sintetik isoxazole derivatif 17 alpha ethinyl testosteron. Danazol menghambat pelepasan gonadotropin. Aktivitas androgenik, menekan ovulasi, mengurangi produksi 17 estradiol ovarium dan efek langsung pada reseptor estrogen endometrium(26,27).

Dosis 200 800 mg / hr, Danazol dapat mengurangi perdarahan secara bermakna dan terjadi amenore pada dosis 400 mg atau lebih per hari.Danazol sering digunakan untuk terapi sementara pada preoperative untuk atrofi endometrium sebelum dilakukan reseksi endometrium(29).

Efek samping berat badan meningkat, jerawat, kulit berminyak, suara parau, pertumbuhan rambut meningkat(27,29).

3.1.1.5.GnRH agonis

Penggunaan GnRH analog pada perdarahan uterus disfungsional melalui desensitisasi hipofise dan terjadi hambatan aktivitas siklik ovarium. Keadaan hipogonadotropik yang reversibel. Diberi dalam bentuk depot. Akan terjadi supresi ovarium dan amenore dengan masalah hipoestrogenism seperti hot fluses, kekeringan vagina dan kehilangan densitas mineral tulang. Panggunaan GnRH analog memerlukan add back terapi dengan estrogen/progesteron(27,29).

3.1.2. Terapi non hormonal

Senyawa antifibrinolitik dan antiprostaglandin hanya bermanfaat apabila digunakan pada saat menstruasi dan sangat bermanfaat untuk pasien-pasien yang tidak menginginkan terapi hormonal atau membutuhkan kontrasepsi(20,29).

3.1.2.1.Pengobatan dengan senyawa antiprostaglandin

Sesuai dengan rekomendasi berdasarkan evidence based medicine NSAID efektif untuk mengurangi perdarahan menstruasi banyak ( Grade A ) . Prostaglandin endometrium meningkat pada menstruasi yang eksesif. Mekanisme kerja utama NSAID mengurangi produksi prostaglandin endometrium dengan menghambat enzim cycloxygenase yang berperan pada perubahan asam arachidonat menjadi prostaglandin. Endometrium kaya akan prostaglandin F2 dan prostaglandin E2, dari penelitian diketahui konsentrasi prostaglandin endometrium meningkat pada wanita menoragia. NSAID mengurangi konsentrasi prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclo-oxygenase. NSAID merupakan terapi medikamentosa lini pertama pada penanganan menoragia, NSAID mengurangi perdarahan menstruasi sekitar 20-50% jika digunakan selama menstruasi. Pemakaian NSAID ini sangat dianjurkan terutama pada penderita yang memiliki kontra indikasi terhadap pemakaian hormon estrogen maupun progesteron(9,26,30).

Pemberian asam mefenamat peroral dengan dosis 3 kali 500 mg per hari. Obat ini mencapai kadar puncak plasma setelah 30-60 menit dan memiliki waktu paruh di serum 1-3 jam. Asam mefenamat dapat mengurangi perdarahan sampai 25 % pada wanita dengan menoragia. Efektif pada perdarahan ovulasi. Perdarahan mentruasi berkurang 24 % pada wanita dengan perdarahan uterus disfungsional ovulatorik yang diberi asam mefenamat dibandingkan 20 % dengan yang diberi norhisteron(13,26,30).

Pada penggunaan danazol yang dibandingkan dengan asam mefenamat, didapatkan perdarahan berkurang 22 % pada kelompok danazol dibandingkan dengan 56 % pada yang menggunakan asam mefenamat(8).

Pemberian Naproxen atau Ibuprofen 600 1200 mg/hr dimulai hari pertama haid dilanjutkan selama 5 hari atau sampai haid berhenti(21).

Efek samping berupa diare dan nyeri abdomen. Asam mefenamat sebagai terapi inisial lebih baik karena tidak mahal dan efek samping minimal(26,30).

Asam mefenamat, flurbiprofen, asam meclopenamat, ibuproven, naproxen dan sodium diclopenak yang diberikan selama menstruasi semuanya efektif. Tidak ada bukti perbedaan efektivitas diantara NSAID yang tersedia. NSAID juga membantu wanita dengan keluhan dismenore dan 70 % rasa nyeri dapat diatasi(9,26,30).

3.2. Penanganan Bedah

Penanganan bedah dilakukan jika tidak berrespon atau refrakter dengan terapi medikamentosa atau dengan kontrindikasi atau intoleran terhadap efek samping. Ada 4 prosedur bedah yang dapat diikuti :

kuretasi

histerektomi

embolisasi arteri uterin

ablasi endometrium(1,13,20,26).

3.2.1. Kuretasi

Dalam kurun waktu yang cukup lama kuret dianggap sebagai terapi perdarahan uterus disfungsional. Tidak pernah ada laporan tentang efektifitas kuretasi dalam penanganan perdarahan uterus disfungsional dan kuretasi bukan merupakan terapi yang efektif sehingga untuk saat ini tidak direkomendasikan(20,26).

3.2.2. Histerektomi

Penyembuhan total dan mengangkat setiap patologi. Wanita diatas 40 tahun, histerektomi dianjurkan pada semua kasus dengan perdarahan persisten atau berulang dan respon terapi medis tidak komplit. Pilihan terakhir pada wanita reproduktif(19,25).

Varol dkk. Tahun 2001, melalui penelitian prosfektif multisenter mendapat angka morbiditas histerektomi per abdominal dan transvaginal 44,0 % dan 27,3 % dengan angka mortalitas histerektomi pada kelainan jinak ginekologi 15/10.000 kasus(20).

Morbiditas laparoskopi histerektomi yang dilaporkan oleh Garry dan Phillips sekitar 15,6 %. Lama rawat inap lebih singkat(20).

Karena komplikasi tindakan histerektomi termasuk perlengketan, trauma vesika urinaria dan usus, infeksi, perdarahan post operasi dan woud dehiscens, maka dalam perkembangannya histerektomi mulai ditinggalkan dalam penanganan perdarahan uterus disfungsional(9,25).

3.2.3. Embolisasi arteri uterina

Tehnik bedah vascular dengan bantuan flouroskopi, dilakukan obstruksi pembuluh darah yang mensupply darah ke uterus dengan mikropartikel sintetik melalui kateterisasi arteri femoralis. Salah satu pilihan terapi jika pembedahan sulit. Operasi dilakukan dengan anestesi lokal atau regional dan sedasi. Efektivitas jangka panjang dan keamanan tehnik bedah ini masih dalam tahap penelitian(20,29).

3.2.4. Ablasi endometrium

Ablasi endometrium mulai diperkenalkan dalam praktek klinik pada akhir tahun 1980an sebagai alternatif terapi yang kurang invasive pada penanganan perdarahan uterus disfungsional, dibandingkan dengan histerektomi. Karena biaya, resiko dan komplikasi histerektomi dan kenyataan bahwa 20 % uterus tanpa kelainan patologis, validitas histerektomi dipertanyakan(20,26).

Penghancuran selektif endometrium dan uterus masih dipertahankan, terapi jangka panjang. Pada awalnya tehnik ablasi endometrium menggunakan fotokauter atau elektrokauter, dengan menghancurkan ketebalan endometrium dengan bimbingan visualisasi histeroskopi dan irigasi cairan. Baku emas ablasio endometrium adalah hyteroscopically directed thermal ablation. Luas digunakan, efektif dan tahan lama. Tehnik ablasi endometrium ini dengan risiko komplikasi perforasi dan absorpsi cairan yang banyak(26,31).

Kemudian dikembangkan tehnik baru, untuk menghancurkan endometrium tanpa risiko perforasi dan absorpsi cairan dengan pemakaian intra uterin elektroballon endometrial ablation. Tehnik ini membutuhkan skill yang lebih baik dan sangat sedikit data publikasinya(20,29,31).

Prospek terapi bedah pada penanganan perdarahan uterus disfungsional diteliti secara random trial oleh dengan membandingkan ablasi endometrium dengan histerektomi, wanita dengan ablasi endometrium mengulangi ablasi atau histerektomi untuk mengatasi perdarahan uterus disfungsional. Hasil ablasi dapat lebih baik dengan supresi endometrium selama 4 6 jam dengan pemberian progentin, GnRH atau Danazol(29,31).

Beberapa teknik ablasio endometrium :

1. Hot water thermal ballon

2. Radio frequency thermal ballon

3. Hydrothermal ablation

4. Bipolar three dimentional device

5. Microwave 9,2 GHz applicator

6. Laser interstitial hyperthermy

7. Cryo-ablation(29,31).BAB 4

PENGGUNAAN ASAM TRANEKSAMAT

PADA PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

Penanganan medikamentosa perdarahan menstruasi banyak sangat bervariasi, termasuk NSAID ( asam mefenamat, naproxen ), antifibrinolitik ( asam traneksamat ), hormon ( norethisteron, danazol, kontrasepsi oral, obat intrauterine ( progestogen-releasing intrauterine system ). Gejala akan timbul berulang setelah terapi dihentikan, sehingga untuk terapi jangka panjang harus dipertimbangkan berat dan frekuensi efek samping(26).

Aktivitas fibrinolitik yang hebat terjadi pada wanita dengan menoragia. Proses ini terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari plasmin atau plasminogen sehingga terjadi degradasi fibrin, fibrinogen, faktor V, faktor VII dan beberapa protein lainnya. Plasminogen adalah senyawa tidak aktif yang kemudian menjadi bentuk aktif berupa plasmin karena pengaruh aktivator jaringan seperti urokinase, tripsin, dan streptokinase. Proses aktivasi plasminogen ini ternyata dapat dihambat oleh asam aminokaproat dan asam traneksamat. Telah terbukti bahwa kedua jenis asam ini berhasil mengurangi perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional. Antifibrinolitik merupakan lini pertama untuk menoragia usia muda.Dosis yang diberikan adalah 1 gram per hari, dibagi dalam 4 kali pemberian selama 4-7 hari dan dapat diulang setiap siklus. Asam traneksamat adalah padanan dari asam aminokaproat(9,26,30).

Asam traneksamat adalah asam amino, derivat lisin sintetik yang memiliki efek antifibrinolitik yang menghambat ikatan lisin pada plasminogen dan mencegah degradasi fibrin. Asam traneksamat diproduksi pertama kali di Swedia tahun 1969.

Struktur kimia asam traneksamat :

Tranexamic-stereo isomer 1,4, amino methycyclohexane carboxylic acid.

Formula C8H15NO2

Molekular Wt-157.

Mekanisme kerja asam traneksamat :

Menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin, mencegah lepasnya bekuan darah.

Meningkatkan sintesa kolagen yang mempertahankan matriks fibrin dan meningkatkan kekuatan bekuan darah.

Membantu stabilisasi bekuan darah(28).

Asam traneksamat difiltrasi glomerulus dan diekskresi melalui ginjal(7).

Pada penelitian klinis terhadap wanita dengan menoragia idiopatik, pemberian asam traneksamat 2-4,5 gr / hari selama 4-7 hari dapat mengurangi perdarahan menstruasi sekitar 34-59 % dalam 2-3 siklus dan bermakna secara signifikan dibandingkan dengan plasebo, asam mefenamat, flurbiprofen, etamsilat dan noresthisteron oral fase luteal(8).

Dengan asam traneksamat 1,5 gr tiga kali / hari selama 5 hari juga bermakna dalam mengurangi perdarahan menstruasi pada wanita yang menggunakan IUD yang mengalami menoragia dibandingkan dengan sodium diklofenak 150mg tiga kali / hari pada hari 1 dilanjutkan 25 mg tiga kali / hari pada hari 2-5 atau jika dibandingkan dengan plasebo(10).

Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat merupakan terapi yang rasional dan efektif, dapat mengurangi perdarahan menstruasi sampai 50 %. Studi komparatif membandingkan asam traneksamat lebih baik dalam mengurangi jumlah perdarahan dibandingkan inhibitor sintesa prostaglandin 56 % dan 44 % setelah pemberian asam traneksamat serta 21% dan 24 % setelah pemberian flubiprofen dan sodium diklofenak(9,26,31).

Pada penelitian yang lebih besar oleh Wellington tahu 2003, dengan studi non komparatif, non blinding didapatkan data bahwa 86 % wanita yang mendapat 3-6 gr asam traneksamat selama 3-4 hari per siklus selama 3 siklus mengalami jumlah perdarahan 94 % dibandingkan dengan yang tidak diobati(31).

Lakhani dkk. tahun 2002, melakukan penelitian untuk mengetahui efek asam traneksamat terhadap resistensi vascular uterus pada wanita yang mengalami perdarahan uterus disfungsional. Studi prospektif longitudinal melibatkan wanita premenopause dengan keluhan menoragia, dengan umur rata-rata 38,8 tahun, USG normal, histeroskopi dan biopsi endometrium normal. Tanpa oral kontrasepsi atau obat lain yang dapat mempengaruhi resistensi vaskular uterus. Semua wanita itu dengan fungsi koagulasi dan tirod normal. Dengan penggunaan asam traneksamat, 30 % perdarahan berkurang sekitar 210,0-137,6 ml. Asam traneksamat bermakna mengurangi resistensi vaskular arteri uterine pada wanita dengan perdarahan uterus disfungsional(19).

Joseph Y. Lee tahun 2000 di Kanada melakukan penelitian untuk mengevaluasi efektivitas asam traneksamat pada penanganan menoragia. Wanita yang berusia 18-45 tahun dengan perdarahan menstruasi banyak diberikan asam traneksamat 1 gr per oral setiap 6 jam dari hari 1-3 setiap menstruasi. Rata-rata darah menstruasi berkurang 47,4 %. Efek samping mayor tidak ada yang dilaporkan. Dari penelitian itu disimpulkan asam traneksamat efektif, ditoleransi dengan baik dan dapat dipakai sebagai terapi lini pertama untuk menoragia(17).

Efek samping yang terjadi karena inhibisi plasminogen aktivator berupa trombosis intravaskular, hipotensi, miopati, diare, vomiting, nause dan dispepsia. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan disseminated intravascular coagulation karena potensi cloting yang berlebihan(9,10,27).

Efek samping tergantung dari dosis, dengan keluhan gastrointestinal dengan dosis terapi 3-6 gram asam traneksamat setiap hari. Karena jumlah perdarahan 90 % hilang pada hari 1-3 menstruasi, efek samping dapat dikurangi dengan pembatasan hari pemberian antara 3-4 hari pertama haid(10,27).

Efek samping penggunaan asam traneksamat adalah tromboemboli. Studi histokimia gagal membuktikan supresi fibrinolisis vena superfisialis pada wanita yang menggunakan 3-4 gr asam traneksamat per hari selama 3 bulan. Di Skandinavia dimana asam traneksamat digunakan sebagai lini pertama terapi menoragia sejak awal tahun 1970, tidak dijumpai bertambahnya insiden tromboemboli pada wanita usia reproduktif. Tidak ada bukti meningkatnya risiko trombosis pada wanita yang menggunakan asam traneksamat, kecuali ada riwayat trombofili(27).

Total insiden efek samping yang timbul dari penggunaan asam traneksamat pada perdarahan uterus disfungsional sebesar 12 % yang diperoleh dari penelitian double blind yang dilakukan Carl tahun 1996. Dengan pemberian 1 gr empat kali sehari selama 2 siklus tidak bermakna perbedaannya dibandingkan dengan plasebo(9).

BAB 5

RINGKASAN

Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan abnormal dari uterus tanpa ditemukan kelainan organik pada traktus genitalia maupun ekstra genitalia. Perdarahan uterus disfungsional terjadi hanya akibat gangguan fungsi mekanisme kerja poros hipotalamus, hipofise dan ovarium serta target organnya dalam hal ini endometrium. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik atau anovulatorik. Prevalensi tinggi pada adolesen dan premenopause.

Tujuan terapi perdarahan uterus disfungsional adalah :

1. mengendalikan perdarahan akut.

2. mencegah kekambuhan secara episodik / berulang.

3. mencegah komplikasi.

Menurut evidence-based pengobatan medikamentosa yang efektif untuk perdarahan uterus disfungsional adalah :

Asam traneksamat

NSAID

Selanjutnya adalah :

Kontrasepsi oral kombinasi

Progesteron siklik ( hari ke-21 )

Hormonal IUD

Aktivitas fibrinolitik yang hebat terjadi pada wanita dengan menoragia. Proses ini terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari plasmin atau plasminogen sehingga terjadi degradasi fibrin, fibrinogen, faktor V, faktor VII dan beberapa protein lainnya. Proses aktivasi plasminogen ini ternyata dapat dihambat oleh asam aminokaproat dan asam traneksamat. Asam traneksamat adalah asam amino, derivat lisin sintetik yang memiliki efek antifibrinolitik yang menghambat ikatan lisin pada plasminogen dan mencegah degradasi fibrin. Mekanisme kerja asam traneksamat :

Menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin, mencegah lepasnya bekuan darah.

Meningkatkan sintesa kolagen yang mempertahankan matriks fibrin dan meningkatkan kekuatan bekuan darah.

Membantu stabilisasi bekuan darah.

Efek samping yang terjadi karena inhibisi plasminogen aktivator berupa trombosis intravaskular, hipotensi, miopati, diare, vomiting, nause dan dispepsia. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan disseminated intravascular coagulation karena potensi cloting yang berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alicia M.W., Gynecology : Abnormal Vaginal Bleeding, Menstrual Problems and Secondary Amenorhea, University of Iowa Family Practice Handbook, Fourth Ed., Chapter 13, Departement of Family Medicine, Univ. Iowa College of Medicine and Hospitals and Clinics, 2002.

2. Barbara W. dkk., V.T.S. Swaansea Bay, SA 28QA, www. Primarycare-wales.org.uk/vt/schemes/swensea, July 2004.

3. Baziad,Pengobatan Perdarahan Uterus Disfungsional dalam Endokrinologi Ginekologi, ed 2, hal. 61-70, Media Aesculapius Jakarta, 2003.

4. Berek j.s. dkk, Novaks Gynecology, twelfth ed., 336-349, Wiliams & Wilkins,USA, 1996.

5. Beth A.C., dkk., Cyclic Perimenopause Pain and Discomfort ; The Scientific Basis for Practice, JOGNN, 31, 637-649, The Assosiation of Women Health, Obstetry and Neonatal Nurses, Washington DC, 2002.

6. Bongers M. dkk., Current Treatment of Dysfunctional Uterine Bleeding , Maturitas, Mar 15 ; 47 (3) 159-74, 2004.

7. Bonnar J. and Sheppard B.L., Treatment of Menorrhagia during Menstruation : Randomised Controlled Trial of Ethamsylate, Mefenemic Acid and Tranexamide Acid, BMJ 313 : 579-587, Dublin, Sept 1996.

8. Carl E.W., Menorrhagia : a Clinical Update, MJA; 165 : 510-514, 1996.

9. Cooke I., Lethaby A., Farquhar C., Antifibrinolitics for Heavy Menstrual Bleeding ( Cohrane Review ), In : The Cochrane Library, Issue 3, 2000, Oxford : Update Software.

10. Desai P. dan Bhatt JK., Dysfunctional Uterine Bleeding in Clinical and Advance Endocrinology in Reproductive Endocrinology, 2nd ed., 331-342, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi , 2001.

11. Friedman dkk., Menoragia pada Sari Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Ginekologi, ed. Kedua, 78-79, Bina rupa aksara, 1998.

12. Hickey M. dan Fraser I.S., Surface Vascularization and Endometrial Appearance in Women with Menorrhagia or Using Levonorgestrel Contraceptive Implants. Implications for The Mechanisms of Breakthrough Bleeding, Human Reproduction, Vol.17, No.9, 2428-2434, European Society of Human Reproduction and Embryology, Sept 2002.

13. Jared C.R., Therapies for The Treatment of Abnormal Uterine Bleeding, Current Women Health Reports : 196-201, 2001.

14. Johnson K., Antifibrinolitic First Line for Teen Menorrhagia, Toronto Articles Obgyn News, August 2001.

15. Johnson & Johnson, Dysfunctional Uterine Bleeding, Gynaecare, Womens Health, Womenone.Org, 2004.

16. Joseph Y.L. dkk., Treatment of Menorrhagia with Tranexamic Acid, J.Soc. Obstet. Gynaecol ; 22 (10) : 794-8, Canada 2000.

17. Khurd S., Dysfunctional Uterine Bleeding in Clinical Dilemmas and Work up in Reproductive Endocrinology, 2nd ed., 421- 426, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi , 2001.

18. Lakhani dkk., Uterine Artery Blood Flow Parameters in Woman with Dysfunctional Uterine Bleeding and Uterine Fibroid, The Effect of Tranexamic Acid, Ultrasound in Obgyn, Vol 11 Issue 4: 283-285, Des 2002.

19. Latha V., Dysfunctional Uterine Bleeding in Practical Management of Gynecological Problems, Ed. Sulochana Gunasheela, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi , 2002.

20. Malcom G.M., Dysfunctional Uterine Bleeding : Advances in Diagnosis and Treatment, Current Opinion in Obgyn, 13 : 475-489, Dept. Obgyn UCLA School of, Medicine, Lippincott Williams & Wilkins, California USA, 2001.

21. Martha H. dkk., Update on Treatment of Menstrual Disorders, MJA ; 178 (12) : 625-629, 2003.

22. Mary E.R., Dysfunctional Uterine Bleeding, Pediatric Review, Vol. 23 No.7; 227-233, July 2002.

23. National Medicine Information Centre and Trinity College Dept. of Therapeutic, Management of Menorrhagia in Therapeutic To day, St. James Hospital, No. 4, Dublin, April 2004.

24. Oesman F. dan Setiabudy R., Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis dalam Hemostasis dan Trombosis, Ed. Kedua, Balai penerbit FK UI, Jakarta 1992.

25. Olive D.,dkk, Medical Management of Endometriosis, Uterine Fibroid, and Dysfunctional Uterine Bleeding : Does Histerectomy Still Have a Place in Modern Management ? The First World Conggres on Controversies in Obstetry Gynecology and Infertility, Praque, Czech Republic, 1999.

26. Royal College of Obstetricians & Gynaecologists. The initial Management of Menorrhagia. Evidence-based Clinical Guidelines No. I. London : RCOG Press, February 1998 : 1-43 ( ISBN : I 900364 14 X ).

27. Speroff L., dkk., Regulation of the Menstrual Cycle in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, sixth ed., 201 -238, Lippincott Wiliams & Wilkins,USA, 1999.

28. Surendra N.P., Tranexamic Acid in Gynaecology & Obstetrics, Dept. Obgyn MKCG Medical College, Benhampur, Des 2002.

29. Tod C.A. dkk., Dysfunctional Uterine Bleeding, e Medicine, Last Update : July 21, 2003.

30. Tono D., Perananan Antifibrinolitik dan NSAID pada Perdarahan Uterus Disfungsional Menurut Evidence-based, Dexa media No. 1 Vol. 17, 24-29, Januari Maret 2004.

31. Wellington K. dkk., Tranexamic Acid : a Review of Its Use in The Management of Menorrhagia, Adis International Limited, Vol. 63 No. 13, pp 1417-1433, New Zeland, 2003.

32. Vilos G.A. dkk, Guidelines for The Management of Abnormal Uterine Bleeding,SOGC Clinical Practice Guidelines, No. 106, August 2001.

PAGE 15