dr_ yudi latief... · web viewtentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa...

43
MEMBUMIKAN NEGARA KESEJAHTERAAN: PERSPEKTIF PANCASILA DAN KONSTITUSI PROKLAMASI . “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi” (Soekarno) Oleh: Yudi Latif 1 Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Sila keempat (Kerakyatan) dan sila kelima (Keadilan) dari Pancasila merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, hasil rumusan orisinal Panitia 9, kedua sila tersebut dihubungkan dengan kata sambung (“serta”), “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Soekarno menyebut keterkaitan kedua sila tersebut sebagai rangkaian dari prinsip “sosio-demokrasi”. Istilah terakhir ini dia pinjam dari seorang teoretikus Marxis Austria, Fritz Adler, yang mendefinisikan “sosio-demokrasi” sebagai “politiek ekonomische democratie” (demokrasi politik-ekonomi). Ungkapan Adler yang sering dikutip Bung Karno adalah bahwa, “Demokrasi yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar pula demokrasi ekonomi.” 2 Dalam suatu pamflet berjudul ‘Menuju Indonesia Merdeka’ (1932, 1998), Bung Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”. Selanjutanya dia menegaskan bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisahkan dan saling terkait. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi.” 1 Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila 2 Ucapan Adler lainnya yang sering dikutip oleh Bung Karno ialah bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. “Men kan de honger van een bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand te stoppen” (Orang tidak bisa menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis dengan hanya memberikan padanya Undang-Undang Dasar).

Upload: duongkhuong

Post on 12-Mar-2018

216 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

MEMBUMIKAN NEGARA KESEJAHTERAAN:PERSPEKTIF PANCASILA DAN KONSTITUSI PROKLAMASI

. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi”

(Soekarno)

Oleh: Yudi Latif1

Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Sila keempat (Kerakyatan) dan sila kelima (Keadilan) dari Pancasila merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, hasil rumusan orisinal Panitia 9, kedua sila tersebut dihubungkan dengan kata sambung (“serta”), “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Soekarno menyebut keterkaitan kedua sila tersebut sebagai rangkaian dari prinsip “sosio-demokrasi”. Istilah terakhir ini dia pinjam dari seorang teoretikus Marxis Austria, Fritz Adler, yang mendefinisikan “sosio-demokrasi” sebagai “politiek ekonomische democratie” (demokrasi politik-ekonomi). Ungkapan Adler yang sering dikutip Bung Karno adalah bahwa, “Demokrasi yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar pula demokrasi ekonomi.”2

Dalam suatu pamflet berjudul ‘Menuju Indonesia Merdeka’ (1932, 1998), Bung Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”. Selanjutanya dia menegaskan bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisahkan dan saling terkait. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi.” Senada dengan itu, Soekarno kerap mengatakan bahwa “Untuk membangun satu Negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan Negara, tak mungkin kita tetap hidup” (Soekarno, 1965: 587).

Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, haruslah berwajah dua: revolusi politik (nasional) dan revolusi sosial. Revolusi politik (nasional) adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu Negara Republik Indonesia. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.

Cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan

1 Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila2 Ucapan Adler lainnya yang sering dikutip oleh Bung Karno ialah bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. “Men kan de honger van een bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand te stoppen” (Orang tidak bisa menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis dengan hanya memberikan padanya Undang-Undang Dasar).

Page 2: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

demokrasi-ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan. Keadilan ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik dan usaha swasta (pasar). Daulat pasar dihormati dalam kerangka penguatan daulat rakyat (keadilan sosial).

Sebagai katalis untuk menghadirkan pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan itu, para pendiri bangsa menghendaki penjelmaan Negara Republik Indonesia sebagai “negara kesejahteraan” (dalam istilah Yamin) atau “negara-pengurus’ (dalam istilah Hatta).

Makalah ini mencoba menguraikan visi keadilan dan kesejahteraan sosial dalam perspektif Pancasila dan Konstitusi Proklamasi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945—versi asli).

Keadilan dan Kesejahteraan dalam Perumusan Pancasila dan KonsitusiVisi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para

pemimpin pergerakan kebangsaan itu kemudian mewarnai diskusi tentang dasar falsafah negara dalam persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam Pidatonya pada 1 Juni 1945, gagasan keadilan dan kesejahteraan telah dikemukakan oleh beberapa pembicara.

Pada 29 Mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya, menyebutkan tentang pentingnya “Kesejahteraan rakyat: Perubahan besar tentang kesejahteraan yang mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang mengenai dari putra-putra negeri”. Pada hari yang sama, Soerio menyatakan bahwa salah satu yang dikehendaki oleh negara baru nanti adalah bahwa negara tersebut harus “subur dan makmur”. Untuk mencapai negara yang subur dan makmur itu, menurutnya, “membutuhkan perekonomian yang sehat dan praktis”. Dalam kaitan ini, “karena perekonomian ini berhubungan erat dengan keadaan rakyat jelata, maka seharusnya kita pandang lebih dahulu keadaan rakyat pada dewasa ini”. Untuk itu, menurutnya, selain perlu mengatasi “kerendahan penghidupan”, yang amat penting diperhatikan dalam kaitan dengan kesejahteraan rakyat adalah “kesehatan”.

Pada 30 Mei, A. Rachim Pratalykrama menyatakan bahwa salah satu dasar negara yang harus diperhatikan adalah masalah perekonomian. “Ekonomi dalam arti seluas-luasnya perlu diperluas dan diperdalam dan di segala lapangan misalnya nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan. Aturan-aturan hak tanah-tanah komunal dihapuskan, tanah erfpacht,… Dan opstal harus dikembalikan pada rakyat via pemerintah.”

Pada 31 Mei, Abdul Kadir menyatakan bahwa salah satu dari tiga dasar pembentukan negara baru yang diusulkannya adalah “Pembangunan untuk memajukan ekonomi yang sehat agar rakyat menjadi makmur”. Pada tanggal yang sama, Soepomo menguraikan gagasan tentang keadilan sosial ini secara lebih elaboratif, dalam kaitannya dengan “perhubungan antara negara dan perekonomian”. Menurutnya, “Dalam negara yang berdasar integralistik yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem ‘sosialisme negara’ (staatssocialisme).” Selanjutnya dia menguraikan tentang bagaimana perekonomian disusun dalam sistem sosialisme negara tersebut:

Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada hakekatnya negara yang akan menentukan di mana dan di masa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada suatu badan

Page 3: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung daripada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya. Dalam negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang, perusahaan-perusahaan sebagai lalu-lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan juga oleh karena kekeluargaan itu sifat masyarakat Timur, yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong-menolong, sistem kooperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia.

Akhirnya, Soepomo menyimpulkan bahwa keadilan merupakan konsekuensi dari negara integralistik yang merefleksikan keinsafan akan keadilan rakyat seluruhnya:

Atas dasar pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang bersifat integralistik tadi, di mana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia yang bersatu dan adil, seperti sudah termuat dalam Panca Dharma,3 pasal 2, yang berbunyi: ‘kita mendirikan Negara Indonesia, yang makmur, bersatu, berdaulat, adil’. Maka negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita yang luhur, menurut aliran jaman.

Perhatian pada prinsip keadilan juga diungkapkan pada hari yang sama oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Dalam pandangannya, Islam, selain ”mementingkan perekonomian”, juga memerintahkan untuk ”membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan”.

Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menyampaikan pidatonya. Dalam uraiannya mengenai dasar falsafah negara Indonesia merdeka (philosofische gronslag), dia memasukkan prinsip “kesejahteraan” sebagai prinsip keempat. Dia memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa “Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan”. Pernyataannya itu barangkali disebabkan karena prinsip keadilan dan kesejahteraan itu dikemukakan oleh para pembicara sebelumnya dengan formulasi yang beragam dan secara umum tidak dinyatakan dalam terma “kesejahteraan”. Meski demikian, secara substantif prinsip ini juga diidealisasikan oleh anggota-anggota BPUPK lainnya.

3 Yang dimaksud Panca Dharma oleh Soepomo ini adalah lima pedoman hidup Chuo Sangi In. Kelima dharma tersebut adalah: 1. Kita bersama-sama dengan bangsa lain di Asia Timur Raya adalah sekutu yang sehidup semati dengan Jepang. 2. Kita akan mendirikan negara Indonesia Merdeka, yang makmur, bersatu, berdaulat dan adil, dengan penuh penghormatan atas jasa/bantuan Jepang dan tetap menjadi anggota persemakmuran. 3. Kita akan berusaha untuk memajukan moralitas yang tinggi dan kebudayaan kita. 4. Kita akan mengabdi kepada negara dan rakyat dengan seluruh kekuatan kita dan bertaqwa kepada Allah. 5. Berdasarkan prinsip Hakkoo Itjiu, kita akan berjuang membangun perdamaian abadi.

Page 4: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

Selanjutnya, Soekarno mengemukakan visi emansipasinya, bahwa dengan prinsip kesejahteraan, “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”, juga tidak akan dibiarkan “kaum kapitalis merajalela”. Selengkapnya dia katakan:

Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Cheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat! Tak lain dan tak bukan sebabnya, ialah oleh karena Badan-badan Perwakilan Rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid,--tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. ‘Di dalam Parlementaire Democratie’, kata Jean Jaures, ‘…tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama. Hak politiek yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam Parlemen. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?’ Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: ‘Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa’.

Kemudian, Soekarno mengajukan pertanyaan retoris, “Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki!” Maka dia pun mengajukan usulan:

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politiek democratie

Page 5: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

Selama masa reses persidangan BPUPK (2 Juni-9 Juli), Panitia Kecil berhasil mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota Chuo Sangi In (Iin). Usulan-usulan itu antara lain meliputi: Kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya, Dasar Negara, Bentuk Negara, Daerah Negara, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat, Bentuk Pemerintahan dan Kepala Negara, Soal Agama dan dan Negara, Soal Pembelaan, dan Soal Keungan. Dalam usulan mengenai dasar negara, prinsip keadilan dan kesejahteraan diusulkan secara eksplisit oleh seorang Iin dalam terma “kemakmuran hidup bersama”.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang berkembang di masa persidangan pertama dan usulan dari anggota Chuo Sangi In itu dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan yang merancang Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hasil rumusan Panitia Sembilan, prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat dalam Pidato Soekarno pada 1 Juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya disempurnakan menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Selain terkandung dalam sila kelima Pancasila, Pembukaan UUD 1945 sendiri memberikan perhatian yang istimewa terhadap masalah keadilan, sedemikian rupa sehingga kata “keadilan/adil” dan prinsip keadilan hampir ada di semua alinea—kecuali alinea ke-3. Pada alinea pertama terkandung komitmen penegakan keadilan secara universal, yang terekspresikan dalam ungkapan, “maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Pada alinea kedua dinyatakan tentang impian di seberang jembatan emas kemerdekaan, dalam rangka mewujudkan ‘Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pada alinea keempat dinyatakan tentang tujuan nasional, yang antara lain untuk memajukan “kesejahteraan umum” (yang mengandung prinsip keadilan), dan juga “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selain itu, pada aliena yang sama, kata ‘adil’/’keadilan’ terkandung dalam rumusan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta rumusan terakhir Pancasila, “serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (huruf miring dari penulis).

Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia, Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran. Dua dari empat pokok pikiran tersebut terkait dengan ‘keadilan sosial’. Pokok pikiran pertama menyatakan, “Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pokok pikiran ini mengandung pengertian bahwa persatuan nasional—sebagai wahana untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air—mensyaratkan perwujudan keadilan sosial. Pokok pikiran kedua menyatakan, “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan pokok pikiran ini, negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial sebagai basis legitimasinya.

Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan UUD dalam mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar, baik hukum yang tertulis (UUD), maupun hukum yang tidak tertulis. Hal ini akan segera tampak pada perumusan batang tubuh UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan pasal-pasal

Page 6: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

tentang keadilan dan kesejahteraan, serta dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan itu.

Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman Wediodiningat selaku Ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia: (1) panitia perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan dan ekonomi, (3) panitia perancang pembelaan tanah air.4 Yang pertama diketuai oleh Soekarno, yang kedua diketuai oleh Mohammad Hatta, dan yang ketiga diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam perkembangannya, Panitia Perancang Hukum Dasar yang diketuai Soekarno membentuk Panitia Kecil yang bertugas untuk merumuskan rancangan UUD yang dipimpin oleh Soepomo. Persoalan yang menyangkut prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial dibicarakan dalam Panitia Kecil perumus rancangan UUD dan dalam Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta.

Pada Rapat Besar Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (13 Juli), hasil rancangan pertama Panitia Kecil yang diketuai Soepomo mulai dibahas. Berdasarkan rancangan pertama, persoalan keadialan dan kesejahteraan sosial diakomodasi dalam Bab tentang Warga Negara (pasal 28 ayat 2), dan Bab tentang Kesejahteraan Sosial (pasal 32, 33). Setelah dibahas dalam Rapat Besar Panitia Perancang Hukum UUD, pasal-pasal tersebut dalam rancangan kedua menjadi pasal 27 (2), serta pasal 31 dan 32. Pasal 23 (2) menyebutkan: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.” Pasal 27 (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 31 (1): “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.” (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmutan rakyat.” Pasal 32: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”5

Pasal-pasal tersebut dirumuskan Panitia Kecil Perancang Hukum Dasar dengan mendapatkan masukan dari Mohammad Hatta. Masukan Hatta mengenai keadilan dan kesejahteraan sosial itu selengkapnya sebagai berikut:

1. Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong.2. Tipa-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan mendapat

penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang.

3. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif.4. Cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, dikuasai

oleh pemerintah.5. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-seorang berhak memakai

tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga.6. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain.7. Fakir dan miskin diperlihara oleh Pemerintah.

Mempertimbangkan sifat supel dari rancangan UUD, tidak semua masukan Hatta itu diakomodasi dalam pasal-pasal (rancangan) UUD. Meski demikian, pokok-pokok pikiran yang tidak tersurat dalam pasal-pasal UUD itu tetap menjiwai pasal-pasal UUD yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial.

4 Tentang anggota ketiga kepanitiaan ini, lihat bagian Pendahuluan, catatan kaki no. 24, 25, dan 26.

5 Kelak, dalam rancangan terakhir, kedudukan pasal-pasal tersebut menjadi pasal 27 (2), pasal 33, dan pasal 34.

Page 7: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

Pasal-pasal lainnya yang terkait dengan urusan keadilan dan kesejahteraan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkandung dalam Bab tentang Hal Keuangan. Pada rancangan pertama, pasal ini terletak pada pasal 24, kemudian bergeser menjadi pasal 23 pada rancangan kedua dan terakhir. Pasal 23 (1) menyebutkan: “Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran yang lalu”. Ayat 2: “Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-Undang.” Ayat 3: “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang.” Ayat 4: “Hal keuangan Negara selanjutnya diatur dengan Undang-Undang.” Ayat 5: “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Pasal-pasal mengenai Hal Keuangan itu dirumuskan Panitia Kecil Perancang UUD dengan mendapatkan masukan dari Mohammad Hatta. Usulan Hatta selengkapnya mengenai Hal Keuangan itu adalah sebagai berikut:

1. Tahun keuangan berjalan dari tanggal 1 April setiap tahun sampai tanggal 31 Maret tahun yang berikut.Rancangan Anggaran Belanja Negara untuk tahun yang akan datang dimajukan kepada Dewan Rakyat paling lambat sebulan sebelumnya tahun keuangan yang akan datang bermulaAnggaran Belanja ditetapkan dengan Undang-Undang.

2. Segala pajak untuk keperluan Negara berdasar kepada Undang-Undang.3. Pinjaman untuk keperluan Negara hanya boleh dilakukan dengan

permufakatan Dewan Rakyat.Segala perjanjian Negara terhadap si peminjam ditanggung oleh Negara.

4. Macam dan harga mata uang ditentukan dengan Undang-Undang.Pemerintah berhak membuat uang logam.

5. Pimpinan peredaran uang diserahkan kepada sebuah Bank Negara, yang pendiriannya berdasar kepada Undang-Undang.

6. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang.

Sekali lagi, tidak semua masukan dari Hatta itu dikomodasi dalam pasal-pasal UUD, tetapi tetap menjiwasi semangat pasal-pasal tentang keuangan. Dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (1945), pasal-pasal mengenai Hal Keuangan itu penjelasannya ditulis oleh Hatta sendiri. Di sana tertulis sebagai berikut:

Ayat (1), (2), (3), (4). Ayat (1) memuat hak begrooting Dewan Perwakilan Rakyat.

Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi sifat Pemerintah Negara. Dalam Negara yang berdasar fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh Pemerintah. Tetapi dalam Negara Demokrasi atau dalam Negara yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-undang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Betapa caranya Rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri,

Page 8: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya.

Ayat (5), pasal 23, menyatakan, bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda Kedaulatan Rakyat. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada Rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual-beli dalam masyarakat.Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh Rakyat sebagai pengatur harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karena itu keadaan uang itu, harus ditetapkan dengan Undang-undang.

Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang.

Cara Pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, harus sepadan dengan keputusan tersebut.

Untuk memeriksa tanggung jawab Pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya badan itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas Pemerintah.

Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan Undang-undang.

Pada Rapat Besar BPUPK (15 Juli) yang membahas rancangan UUD tersebut, Soekarno sekali lagi mengingatkan: “Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama, bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dan preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”

Selanjutnya, ketika Soepomo mendapatkan bagian giliran untuk menjelaskan hasil rancangan UUD pada hari yang sama, pasal-pasal yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan sosial itu dia jelaskan sebagai berikut:

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, demikianlah bunyi pasal 27 ayat 2. Panitia memasukkan ayat ini dalam undang-undang dasar, sebagai pernyataan, bahwa kami hendak menyelesaikan hukum negara kita dengan aliran jaman. Ini sesungguhnya aliran keadilan sosial yang sesuai dengan sifat kekeluargaan. …

Page 9: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

Pasal 32 menyebut: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar harus dipelihara oleh negara; itupun penting untuk negara yang bersifat kekeluargaan dan mengejar keadilan sosial.

Pasal 31 menegaskan, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Segala kekayaan alam yang penting untuk kepentingan negara dikuasai oleh negara. Pasal ini sesuai dengan pengertian negara sebagai suatu keluarga besar, yang mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan.6

Pasal-pasal yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan ini memperoleh tanggapan dari Kolopaking, Boentaran, dan Muhammad Yamin. Kolopaking memandang adanya kekurangan dari rancangan tersebut. Dia mengusulkan, antara lain, perlunya pasal-pasal tentang kesehatan dan hak tanah. Boentaran berkeberatan dengan bunyi pasal 32, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Dalam pandangannya, “Sesungguhnya dalam negara yang berdasarkan kekeluargaan, tidak boleh lagi ada fakir miskin dan anak terlantar dipelihara untuk menjamin kesehatan rakyat sepenuh-penuhnya.” Oleh karena itu, dia mengusulkan supaya kalimat itu diganti dengan: “Kesehatan rakyat seluruhnya dipelihara oleh negara.” Menurutnya, “Itu akan menjamin kesehatan rakyat yang menjadi sendi kekuatan rakyat dan kekuatan negara. Apabila kesehatan rakyat dipelihara sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akan tidak ada pakir miskin dan anak-anak yang terlantar ini, warisan dari pemerintah jajahan dulu.”

Pandangan Boentaran itu menunjukkan perbedaan perspektif dengan pandangan Soepomo. Perspektif Boentaran menekankan perlunya pencegahan kemiskinan lewat usaha negara menjamin kesehatan rakyat seluruhnya. Sedangkan perspektif Soepomo bersifat kuratif, dengan melihat kenyataan bahwa di negara yang peradabannya sudah tinggi sekali pun fenomena fakir-miskin dan anak-anak terlantar akan selalu dijumpai. Ditambah, barangkali, oleh pikiran bahwa usaha preventif mencegah kemiskinan itu sudah diakomodasi dalam pasal-pasal lain (terutama pasal 31, yang pada rancangan akhir menjadi pasal 33). Selengkapnya, tanggapan Soepomo atas pendapat Boentara itu sebagai berikut:

Sebetulnya tentang soal: apakah yang harus dimasukkan dalam undang-undang dasar, apakah yang tidak harus dimasukkan itu, selamanya dalam hal itu ada perbedaan pikiran. Sebab ada pikiran yang berlainan yang sebetulnya mengenai hal yang sama, itu susah untuk memutuskan. Seperti oleh anggota yang terhormat Dr. Buntaran menyatakan lebih baik diganti perkataan ‘fakir miskin dan anak-anak terlantar’ harus diganti dengan ‘kesehatan rakyat harus dijamin oleh negara’. Apakah sebabnya tuan Buntaran berkata begini, jikalau perkataan: ‘fakir miskin dan anak-anak terlantar’ dimasukkan ke dalam undang-undang dasar , membikin malu kepada negara yang telah beradab? Hukum dasar lain tidak ada. Akan tetapi dengan alasan itu juga mengatakan, apa masih perlu dalam undang-undang dasar dengan begitu terang-terang dikatakan ‘kesehatan rakyat’ harus dipelihara oleh negara dengan sendirinya, terutama dalam negara, dalam keadaan sekarang tidak ada satu orang pun yang akan mengakui, bahwa negara tidak akan menjamin kesehatan rakyat, malah saya kira hal itu tidak ada keragu-raguan dalam negara; akan tetapi tentang adanya pakir miskin dan anak-anak terlantar, meskipun dalam negara

6 Pada rancangan terkhir UUD, pasal 27 (2) tetap posisinya, adapun pasal 32 berubah menjadi pasal 34, sedangkan pasal 31 menjadi pasal 33.

Page 10: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

yang sudah tinggi peradabannya, saya belum pernah tahu, tidak ada negara yang begitu gecivieliseerd tapi tidak ada sama sekali fakir miskin dan anak-anak terlantar, tidak ada negara yang begitu berdaulat sampai tidak ada fakir miskin, di mana-mana saja ada. Oleh karena memang keadaan itu bukan saja di Indonesia, dimanapun kedudukan manusia di situ ada yang ada ada yang tidak. Jadi saya kira sama sekali tidak akan mengurangkan harganya Undang-Undang Dasar.

Setelah itu, Yamin mengajukan usulan, “hendaklah fasal-fasal tentang kesejahteraan, seperti dijanjikan dalam pembuka undang-undang dasar, diberi jaminan yang lebih luas dan lebih terang”. Yamin juga menekankan perlunya Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai “negara kesejahteraan”. Selengkapnya dia nyatakan:

Adapun republik Indonesia ialah negara kesejahteraan, maka seperti Constitution Weimar, Rusia, Filipina dan Republik Tiongkok hendaklah garis-garis besar kesejahteraan diatur dengan sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya. Rancangan ini mempunyai isi yang sangat sederhana dan tidak memberi jaminan yang teguh kepada suatu dasar, yang telah dijanjikan dalam penerangan kemerdekaan dan preambule undang-undang dasar ini.

Tentang hal ini, tidak ada tanggapan dari Soepomo. Namun, masih dalam semangat memperjuangkan keadialan dan kesejahteraan sosial, pada Rapat Besar 15 Juli, Hatta menekankan bahwa yang termasuk sebagai utusan golongan yang berhak duduk di MPR adalah utusan badan-badan seperti kooperasi dan serikat pekerja. Usaha memperjelas pasal-pasal mengenai kesejahteraan yang diminta oleh Yamin itu hingga taraf tertentu diberikan oleh Hatta yang bertugas memberi penjelasan atas pasal 33 (rancangan akhir UUD). Dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang menyangkut pasal 33, disebutkan:

Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.

Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah kooperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selain itu, Undang-Undang Dasar yang sifatnya supel memang tidak bisa menampung segala jaminan yang diperlukan. Untuk itu, perlu juga diperhatikan dokumen-dokumen tertulis lain yang dapat mendukung pemahaman terhadap pasal-pasal konstitusi, karena dokumen-dokumen itu merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari proses penyusunan Undang-Undang Dasar. Dalam kaitan dengan

Page 11: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

prinsip keadilan dan kesejahteraan, dokumen yang patut diperhatikan adalah hasil rumusan Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi bentukan BPUPK yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Hasil rumusan Panitia ini melahirkan suatu nota tentang ‘Soal Perekonomian Indonesia Merdeka’ dan nota tentang ‘Soal Keuangan Indonesia Merdeka’. Nota tentang ‘Soal Perekonomian Indonesia Merdeka’ mengandung ideologi perekonomian yang harus menjadi haluan perekonomian nasional. Ideologi perekonomian ini bersendikan empat prinsip pokok: 1) perekonomian Indonesia akan didasarkan pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama (kooperasi); 2) perusahaan-perusahaan besar yang menguasai hidup orang banyak harus dibawah kendali negara, dan dalam penjelmaannya akan berbentuk kooperasi publik; 3) tanah, sebagai faktor produksi terpenting, di bawah kekuasaan negara; 4) Perusahaan tambang yang besar akan dijalankan sebagai usaha negara. Uraian selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong! Perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi.

Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah di bawah pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila buruk-baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur, dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya kesana, semakin besar mestinya pesertaan Pemerintah. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu menyerupai bangunan korporasi publik. Itu tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi.7 Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang sangat bertentangan.

Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-orang untuk menindas dan memeras hidup orang lain.

Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa dengan itu dijalankan sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan rakyat. Dan tanah serta isinya negara yang punya. Tetapi cara menjalankan eksploitasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada Pemerintah, menurut peraturan yang ditetapkan.

Ini tentang ideologi perekonomian yang hanya dapat diselenggarakan berangsur-angsur dengan didikan pengetahuan, organisasi, idealisme dan rohani kepada orang banyak.

7 Huruf miring dari penulis.

Page 12: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

Selain pokok-pokok ideologi dari perekonomian Indonesia merdeka, nota juga mengandung saran-saran praktis bagaimana siasat perekonomian dalam masa perang. Ada empat macam soal praktis yang diajukan. Beberapa diantaranya masih relevan untuk dipertimbangkan bagi siasat perekonomian di masa kemerdekaan, terutama menyangkut urusan tanah, usaha daerah, kehutanan dan kooperasi. Dalam poin kedua, antara lain, dinyatakan:

‘Particuliere Landrijen’ dijadikan milik pemerintah dan dibagikan kepada rakyat sekeluarga atau kepada kooperasi rakyat. Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya, dibagikan kepada rakyat jelata yang belum mempunyai tanah. Tanah yang masih kosong sedapat-dapatnya dikerjakan dengan memindahkan keluarga-keluarga yang miskin dan tak punya tanah dari daerah yang lain-lain.

Usaha supaya tiap-tiap daerah sedapat-sedapatnya mencukupi keperluan hidupnya sendiri diteruskan, tetapi koordinasi produksi dari daerah ke daerah diadakan.

Pembaharuan hutan harus dijalankan dengan secepat-cepatnya, dengan menanam kayu-kayu yang lekas tumbuh dan besar, supaya dengan itu terpelihara pertanian dari bahaya banjir dan kekurangan air.

Sementara itu, dalam poin ketiga, antara lain dinyatakan:Cara mengatur sistem distribusi dengan jalan kooperasi hendaklah berlaku dengan susunan yang tepat, supaya kooperasi yang baik maksudnya, jangan menjadi beban bagi rakyat dalam praktek. Latihan calon pemimpin kooperasi hendaklah diperbesar dan diperhebat. Pada 16 Juli, Soepomo menyetujui secara umum nota dari Panitia Perancang

Keuangan dan Ekonomi, yang dalam garis besarnya usulan dari Panitia ini memiliki kecocokan pandangan dengan pasal-pasal yang telah dituangkan dalam rancangan UUD. Namun, dia memberi catatan khusus soal tanah, yang dalam nota ditulis bahwa “tanah haruslah kepunyaan masyarakat sesuai dengan hukum adat istiadat asli”. Dalam pandangan Soepomo, “hukum adat Indonesia asli tidak menolak sistem hak milik seseorang, sebagai yang telah diuraikan oleh Tuan Soewandi; tanah mempunyai functie social, artinya negara menguasai tanah dan penduduk berhak memiliki tanah, akan tetapi cata mempergunakannya hak milik tanah itu harus sesuai dengan sifat kemasyarakatan hak itu.” Selanjutnya, Soepomo menjelaskan:

Dalam hukum adat segala hak seseorang harus dijalankan menurut dasar kekeluargaan masyarakat. Sepanjang pengetahuan saya, di Eropa pun ada aliran baru yang menghendaki supaya hak milik tanah diberi arti sosial. Aliran itu makin lama makin kuat, terutama sesudah habis perang dunia pertama. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Jerman pada zaman Weimar misalnya, ditegaskan bahwa ‘Eigentum Verplichtet’. Hak milik seseorang tidak boleh dipergunakan sewenang-wenang dengan tidak memperdulikan kepentingan masyarakat. Hak milik mengandung kewajiban untuk mempergunakan miliknya menurut functie social dari tanah.

Soepomo juga menambahkan bahwa, di Perancis pun beberapa ahli hukum seperti Prof. Duguit menganjurkan supaya hak milik seseorang atas tanah harus memiliki sifat sosial. Oleh karena itu, dia mengusulkan agar ada penegasan bahwa

Page 13: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

dalam negara Indonesia, tanah sebagai faktor produksi harus mempunyai tujuan sosial, dan demi tujuan keadilan sosial harus pula ditegaskan bahwa tanah pertanian harus tetap dalam tangan petani:

Oleh karena itu, saya mengusulkan supaya ditegaskan bahwa tanah sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia harus mempunyai tujuan sosial, sesuai dengan hukum adat Indonesia yang asli. Negara Indonesia menguasai tanah, artinya mempunyai ‘hoogheidsrechten’ terhadap tanah. Alangkah baiknya ditegaskan dalam nota, bahwa hak milik dan hak memakai akan diatur dengan Undang-Undang. Kecuali itu, oleh karena masyarakat Indonesia mempunyai sifat agraris dan berhubung dengan keadilan sosial yang kita tuju, saya mengusulkan supaya dalam nota ini juga ditegaskan bahwa tanah pertanian itu lapangan hidup kaum tani dan harus tetap dalam tangannnya kaum tani. Tanah itu bukan saja faktor produksi akan tetapi mempunyai hubungan erat dengan kehidupan desa.

Tentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya dibagikan kepada rakyat jelata yang mempunyai tanah’, Soepomo menyarankan perlunya memperhatikan asas keadilan, baik bagi si calon penerima maupun bagi pihak-pihak yang terlanjur memiliki tanah yang besar. “Sudah tentu tidak dimaksudkan oleh Panitia, bahwa membaginya itu tidak dengan teratur, artinya Panitia juga akan mengingati dan menjalankan keadial sosial maupun terhadap rakyat yang akan dapat tanah, baik terhadap orang-orang yang pada waktu sekarang sudah terlanjur mempunyai tanah yang besar itu”.

Dokumen lain yang perlu diperhatikan sebagai sesuatu yang menjiwai pasal-pasal UUD adalah nota tentang ‘Soal Keuangan Indonesia Merdeka’. Di sana terkandung apa yang disebut sebagai “dasar politik keuangan”. Dasar pertama yang harus diperhatikan adalah “mencocokkan pengeluaran (belanja) dengan “pendapatan”. Beberapa saran yang dianjurkan untuk menutupi kekurangan adalah: 1) Perbaikan pemasukan pajak; 2) pemberlakuan pajak progresif; 3) mengadakan pajak baru, yang tidak menimpa penghidupan rakyat jelata; 4) pinjaman dalam negeri berdasarkan prinsip ‘tolong diri sendiri’; 4) memperkuat semangat simpanan; 5) mengecilkan belanja negara; 5) memperbesar berbagai macam produksi; 6) menaikkan berbagai bea ‘pemakaian jasa pemerintah’.

Dasar kedua menyangkut soal sirkulasi, yang berkaitan dengan mata uang. Dalam nota disebutkan:

Hak mengeluarkan uang kertas menjadi monopoli sesuatu Bank Negara, yang akan diberi nama ‘Bank Indonesia’. Tanggungan emas sekian persen dari pada sirkulasi tidak diwajibkan. Dasar yang dipakai ialah dasar a-metalisme. Tanggungan 40% daripada sirkulasi boleh diadakan dengan barang-barang yang tersimpan lama, seperti padi atau bahan-bahan mentah. Padi yang dijadikan ‘emas tanggungan’ itu dapat pula dipergunakan di waktu rakyat kekurangan padi atau beras.

Demikianlah, prinsip keadilan sosial dari Pancasila mendapatkan perhatian penting dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip keadialan sosial dari Pembukaan ini meliputi suasana kebatinan perumusan pasal-pasal UUD dan dokumen lain yang terkait dengan itu—yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum dasar yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu tampak nyata baik dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan negara—yang menekankan pemuliaan

Page 14: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

partisipasi dan daulat rakyat—maupun dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan perekonomian—yang menekankan pemenuhan hak warga dan jaminan keadilan/kesejahteraan sosial.

Membumikan Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila dan KonstitusiDalam menguraikan sila keadilan sosial (prinsip kesejahteraan), Soekarno

menyatakan: “Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.” Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Pernyataan Soekarno tersebut seyogianya tidak dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial di seberang jembatan emas kemerdekaan.

Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laissez-fair yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonialisme; sedang kolonialisme itu sendiri merupakan perpanjangan dari individualisme-kapitalisme. Alih-alih mempercayakannya pada individualisme-kapitalisme, Soekarno menyatakan bahwa sila keadilan sosial adalah “protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme”.

Titik tumpu pencapaiannya dipercayakan kepada sosialisme yang bersendikan semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa individu-individu tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis, yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam sistem sosialisme ini diandaikan bahwa seluruh penghasilan diatur menurut keperluan dan maslahat masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan ini, Sutan Sjahrir menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangaan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan” (Sjahrir, 1982: 127).

Dalam rangka merealisasikan keadilan itu, para pendiri bangsa kerap mengemukakan bahwa, “Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan keadilan.” Cita-cita menghadirkan keadilan bernegara dan negara yang berkeadilan mensyaratkan adanya emansipasi dan partisipasi di bidang politik yang berkelindan dengan emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Inilah yang disebut dengan prinsip “sosio-demokrasi”. Menurut Soekarno, “Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi,” (Soekarno, 1932).

Dengan demikian, negara Indonesia tidak dikehendaki sebagai “negara liberal”, melainkan sebagai “negara kesejahteraan” (negara sosial). Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu bentuk

Page 15: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (setidaknya secara minimal), bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika politiknya bukanlah penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa hak miliki pribadi itu memiliki fungsi sosial; dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam masyarakat.

Secara teoritik, yang dimaksud dengan negara kesejahteraan secara singkat dapat didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan demokratis yang menempatkan negara sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, melalui serangkaian kebijakan publik dalam mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial demi pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial (Tim Riset PSIK, 2008: 2). Sistem negara kesejahteraan diorientasikan untuk: (1) mempromosikan efisiensi ekonomi; (2) mengurangi kemiskinan; (3) memperkuat kesetaraan sosial; (4) mengembangkan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial; (5) menjamin stabilitas sosial; dan (6) mempromosikan kemandirian individu (Tim Riset PSIK, 2008: 2, 21-27).

Dalam perkembangannya, tingkat keluasan peran negara serta penekanan negara atas keenam elemen orientasi tersebut tidaklah sama di antara berbagai rezim kesejahteraan sosial yang berkembang di berbagai negara. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam realitas sosio-kultural negara masing-masing. Oleh karena itu, perwujudan negara kesejahteraan juga tidaklah monolitik, melainkan menampilkan berbagai model.

Model pertama dari negara kesejahteraan adalah model ”universal welfare state”. Model ini berbasis rezim kesejahteraan sosdem yang dicirikan dengan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. Model ini berkembang di Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda. Model ini beresonansi dengan model yang berkembang di negara-negara lain yang lebih konservatif seperti Austria, Belgia, Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol. Dalam persenyawaannya dengan tradisi sosialisme kekristenan, berkembanglah di negara-negara tersebut rezim kesejahteraan konservatif yang melahirkan model ”social insurance welfare state”. Model ini dicirikan oleh sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting jejaring keluarga sebagai penyedia pasok kesejahteraan.

Dalam pada itu, sebagai respons atas kritik sosialisme dan juga sebagai ikhtiar untuk meredakan perlawanan kelas pekerja dari lingkungan internal kapitalisme sendiri, negara-negara yang berbasis liberal-kapitalisme juga mengembangkan rezim kesejahteraannya tersendiri. Hal ini pada gilirannya melahirkan model ”residual welfare state”, yang berbasis pada rezim kesejahteraan liberal yang bercirikan jaminan sosial yang terbatas terhadap kelompok target secara selektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik. Model ini berkembang antara lain di Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Esping-Andersen, 1999; Triwibowo & Bahagijo, 2006: 14-15).

Dalam perspektif komparatif, gagasan negara kesejahteraan dalam perspektif Pancasila dan UUD 1945 (asli) mencoba mengintegrasikan ketiga pendekatan tersebut, sesuai dengan proporsinya masing-masing, sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan demikian, keadilan sosial melalui perwujudan negara kesejahteraan merupakan imperatif etis dari amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam realisasinya, usaha keadilan dan

Page 16: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

kesejahteraan sosial itu harus bersendikan nilai-nilai kekeluargaan Indonesia yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.

Berasal dari kata ‘al-adl’ (adil), yang secara harfiah berarti ‘lurus’, ‘seimbang’, keadilan berarti memperlakukan setiap orang dengan prinsip kesetaraan (principle of equal liberty), tanpa diskriminasi berdasarkan perasaan subjektif, perbedaan keturunan, keagamaan, dan status sosial. Adanya aneka kesenjangan yang nyata dalam kehidupan kebangsaan—sebagai warisan dari ketidakadilan pemerintahan pra-Indonesia—hendak dikembalikan ke titik berkeseimbangan yang berjalan lurus, dengan mengembangkan perlakuan yang berbeda (the principle of difference)— sesuai dengan perbedaan kondisi kehidupan setiap orang (kelompok) dalam masyarakat serta dengan cara menyelaraskan antara pemenuhan hak individual dengan penunaian kewajiban sosial.

Komitmen keadilan menurut alam pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran Negara dalam perwujudan keadilan sosial, setidaknya dalam kerangka: 1. Pewujudan relasi yang adil di semua tingkat sistem (kemasyarakatan); 2. Pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan; 3. Proses fasilitasi untuk akses atas informasi yang diperlukan, layanan yang diperlukan, dan sumber daya yang diperlukan; dan 4. Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang. Yang dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga terkait dengan usaha emansipasi dalam kerangka pembebasan manusia dari pemberhalaan terhadap benda, pemuliaan martabat kemanusiaan, pemupukan solidaritas kebangsaan, dan penguatan daulat rakyat.

Berdasarkan rumusan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Brawijaya (2009), keadilan sekurang-kurangnya terwujud dalam tiga bentuk:

1. Keadilan dalam hubungan ekonomi antarmanusia secara orang-seorang dengan senantiasa memberikan kepada sesamanya apa yang semestinya diterima sebagai haknya. Inilah yang melahirkan keadilan tukar-menukar.

2. Keadilan dalam hubungan ekonomi antara manusia dengan masyarakatnya, dengan senantiasa memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Inilah yang melahirkan keadilan sosial.

3. Keadilan dalam hubungan ekonomi antara masyarakat dengan warganya, dengan senantiasa membagi segala kenikmatan dan beban secara merata sesuai dengan sifat dan kapasitasnya masing-masing. Inilah yang melahirkan ‘keadilan distributif’.

Perwujudan keadilan tersebut tidak seharusnya hanya didasarkan pada asas hak dan legal-formal saja, tetapi harus juga dibarengi oleh rasa kasih sayang. Sendi ini disebut sebagai ‘kepantasan’, yang mengandung semangat kemanusiaan (PSEK Universitas Brawijaya, 2009: 22).

Terhadap ketiga bentuk keadilan tersebut, barangkali perlu ditambahkan satu lagi, yakni keadilan dalam hubungan-hubungan produksi antara pemiliki modal dan buruh. Nilai tambah tidak boleh hanya dieksploitasi oleh pemilik modal saja, melainkan juga perlu dibagi kepada buruh. Hal ini bisa ditempuh melalui pengalokasian sebagian saham bagi kaum buruh dan/atau kepatutan standard penggajian dan jaminan sosial karyawan. Inilah yang melahirkan ‘keadilan produktif’, yang dikenal dengan keadilan dalam hubungan industrial.

Usaha mewujudkan keadilan sosial dalam pelbagai hubungan ekonomi tersebut diletakkan dalam kerangka etis, imperatif moral Pancasila. Sri-Edi Swasono

Page 17: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

(2009: 6) menjelaskan bahwa sistem ekonomi Pancasila dapat digambarkan sebagai sistem ekonomi yang berwawasan sila-sila Pancasila, yaitu:

(1) Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, bukan materialisme);

(2) Kemanusiaan (kehidupan berekonomi yang humanistik, adil dan beradab), tidak mengenal pemerasan dan penghisapan);

(3) Persatuan (berdasar sosio-nasionalisme Indonesia, kebersamaan dan berasas kekeluargaan, gotong-royong, bekerjasama, tidak saling mematikan);

(4) Kerakyatan (berdasar demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang banyak, ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian nasional);

(5) Keadilan sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang, berkeadilan, berkemakmuran).

Dengan formulasi yang lain, Mubyarto (1994: 44-45) menyebutkan ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila sebagai berikut:

1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.

2. Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial-ekonomi.

3. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi-nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.

4. Kooperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional.5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan

desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga prinsip efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Emil Salim meringkas pengertian sistem Ekonomi Pancasila ke dalam empat ciri pokok. Pertama, adanya demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dan di bawah pimpinan atau pemilikan anggota. Kedua, ciri kerakyatan; memperhatikan penderitaan rakyat. Ketiga, kemanusiaan; tidak memberi toleransi pada eksploitasi manusia. Dan, keempat, religius; menerima nilai-nilai agama dalam hidupnya.8

Dengan landasan konsepsional tersebut, sistem ekonomi Pancasila berada pada tiga level sekaligus; ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara ontologis, keberadaan sistem Ekonomi Pancasila berjejak pada Pancasila sebagai landasan idealnya dan UUD-45 sebagai landasan konstitusionalnya. Secara epistemologis, sistem ekonomi Pancasila berangkat dari konsepsi paradigmatis yang menempatkan keadilan ekonomi dalam kerangka keseimbangan antara dimensi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, antara hak dan kewajiban, antara dimensi jasmani dan rohani, serta antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara aksiologis, sistem ekonomi Pancasila berangkat dari fakta empiris kesenjangan sosial dan ketidaksempurnaan pasar, yang ingin mengatasinya dengan cita-cita tolong-menolong secara kekeluargaan (kooperasi).

8 Lihat tulisan Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila,” dalam Prisma, No. 5, Mei 1979, hlm. 13.

Page 18: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sistem ekonomi Pancasila menekankan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, yang berorientasi kerakyatan (publik secara keseluruhan), dengan bersendikan nilai etis ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sokoguru perekonomian untuk merealisasikan sistem ekonomi Pancasila itu adalah prinsip ‘gotong-royong’ (‘kooperasi’).

Kata ‘kooperasi’, pertama-tama harus dipahami sebagai ‘kata kerja’ (proses). Yakni semangat tolong-menolong; semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakan keuntungan bersama; solidaritas sosial yang berorientasi “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Dalam arti ini, Mohammad Hatta dan juga Sjahrir, menyebut badan usaha milik negara dan bahkan perusahaan swasta pun harus berjiwa kooperasi.9 Hal ini juga tercemin pada pasal 33 (1): “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Menurut Penjelasan tentang UUD 1945, pasal ini merupakan dasar dari demokrasi ekonomi, bahwa “produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”. Selanjutnya, “kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”.

Selain itu, kata ‘kooperasi’ juga bisa dipahami sebagai kata ‘benda’ (bentuk badan usaha). Dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu (re: asas kekeluargaan) adalah kooperasi”. Hal ini didasarkan pada konteks ekonomi Indonesia pasca-kolonial. Menurut pandangan Hatta:

Dalam sistem kapitalisme dengan dasar ‘free competition’ tidak dapat diharapkan, bahwa orang Indonesia, yang hanya pandai melaksanakan segala yang kecil, akan dapat naik ke atas. Melihat contoh-contoh yang terdapat di Inggris dan beberapa negeri lain di daratan Eropah hanya kooperasi yang berhasil meningkatkan selangkah demi selangkah ekonomi rakyat jelata (Hatta, 1982: 173-174).

Dalam pengertian ‘kata kerja’, sifat kooperasi harus mewarnai segenap komponen sistem ekonomi, yang setidaknya meliputi faktor: (1) kepemilikan sumberdaya; (2) pelaku ekonomi; (3) mekanisme penyelenggaraan kegiatan ekonomi; (4) tujuan yang ingin dicapai.

Dalam hal kepemilikan sumberdaya, sifat kooperasi itu tercemin pada pasal 33 (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”; dan pasal 33 (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Menurut Penjelasan UUD 1945, perekonomian yang berdasar demokrasi ekonomi dan berorientasi kemakmuran bagi segala orang mengharuskan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. “Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya”. Oleh Karena itu, “Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang seorang.” Selanjutnya, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah

9 Perusahaan-perusahaan keluarga di Jepang, seperti Toyota, Honda, Suzuki dan lain-lain, yang memberikan saham dalam jumlah (prosentase) yang besar kepada karyawannya, merupakan contoh dari perusahaan swasta yang berjiwa kooperasi. Selain melalui pengalokasian saham, sifat kooperasi perusahaan swasta juga dapat dilakukan dengan memperhatikan kepatutan standard penggajian dan jaminan sosial bagi karyawan.

Page 19: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dalam hal pelaku ekonomi, sifat kooperasi tercemin pada pembagian peran di antara para pelaku ekonomi. Baik badan usaha milik negara, badan usaha kooperasi, maupun badan usaha swasta diberi tempatnya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, seluruh bentuk badan usaha itu harus mengembangkan sifat ‘kooperasi’ (‘tolong-menolong’). Pembagian peran diantara para pelaku ekonomi ini kira-kira bisa digambarkan sebagai berikut:

1. Negara menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak.

2. Produksi, pengangkutan dan distribusi bahan penting diselenggarakan oleh negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai negara.

3. Pemerintah daerah dianjurkan bergerak dalam ketiga lapangan produksi, pengangkutan, dan distribusi.

4. Kooperasi dianjurkan bergerak di segala lapangan, terutama sektor distribusi.

5. Swasta diberi tempat yang layak dalam sektor produksi dan pengangkutan (PSEK Universitas Brawijaya, 2009: 21).

Betapapun negara menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak, sifat kooperasi dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, segi efisiensi tetap menjadi kriteria penting bagi sehatnya perusahaan negara. Dalam kaitan ini, perusahaan negara tidak selalu harus diurus oleh birokrasi negara. Inilah visi yang terkandung dalam nota Perekonomian Indonesia Merdeka dari Panitia Keuangan dan Perekonomian hasil bentukan BPUPK. Dalam nota tersebut antara lain dinyatakan: “Dengan sendirinya perusahaan-perusahaan besar itu merupakan korporasi publik. Itu tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi. Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang sangat bertentangan.” Hanya saja, efisiensi dalam prinsip kooperasi harus merupakan efisiensi yang berkeadilan, yang tidak mengeksploitasi para pekerja dan tidak tercerabut dari kemaslahatan umum. Prinsip efisiensi berkeadilan ini hendaknya tidak hanya berlaku di badan usaha milik negara, tetapi juga di badan usaha kooperasi dan swasta.

Dalam hal mekanisme penyelenggaraan ekonomi, sifat kooperasi tampak pada peran negara kekeluargaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitasi, penyediaan, dan rekayasa sosial (social engineering). Dalam perekonomian yang bersifat kooperasi, hak milik perseorangan tetap diakui, namun dalam penggunaannya dibatasi oleh kepentingan bersama. Dengan demikian, hak milik perseorangan memiliki fungsi sosial. Selain itu, sifat kooperasi itu juga harus tercermin baik pada tingkat ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Pada tingkat ekonomi makro, sifat kooperasi ditunjukkan lewat pemberdayaan peran serta rakyat dalam politik anggaran. Inilah pesan yang terkandung dalam pasal 23 (1). Penjelasan UUD 1945 mengenai pasal ini menyebutkan “bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda Kedaulatan Rakyat.” Pada tingkat ekonomi mikro, sifat kooperasi ditunjukan oleh keterbukaan kesempatan berusaha dan berkerja, ketersediaan akses permodalan dan informasi serta public goods bagi segenap

Page 20: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

pelaku ekonomi, dan juga pemberdayaan buruh dalam proses produksi dan pemilikan dengan semangat kekeluargaan.

Sifat kooperasi pada tingkat ekonomi makro dan mikro itu sangat penting. Bila tidak, kita akan terperangkap ke dalam suatu sistem ekonomi di mana pemilik modal (aset material) secara sepihak akan menjadi penentu distribusi nilai tambah produk atau jasa yang diproduksi. Oleh sebab itu, dalam perekonomian yang bersifat kooperasi, sistem ekonomi yang demokratis secara nasional haruslah diikuti dengan terbentuknya unit-unit ekonomi yang demokratis di tingkat mikro. Hal ini memerlukan integritas penyelenggara negara yang betul-betul memiliki komitmen yang kuat bagi emansipasi dan partisipasi rakyat yang berkelindan dengan kesadaran rakyat yang berani memperjuangkan hak dan kewajibannya. Hanya dengan prasyarat seperti itu, kita dapat mengembangkan sifat kooperasi dalam perekonomian yang betul-betul pro-“rakyat” (publik secara keseluruhan) sesuai dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dalam hal tujuan yang ingin dicapai, perekonomian yang bersifat kooperasi hendak mewujudkan perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; bahagia lahir dan batin. Kebahagiaan yang tidak hanya berdimensi lahiriah, malainkan juga batiniah; kebahagiaan juga tidak hanya dinikmati oleh segundukan kecil elit masyarakat, melainkan juga bisa dirasakan oleh rakyat secara keseluruhan, dengan relatif sama-rata dan sama rasa.

Dari berbagai karakteristik yang dikemukakan tadi, tampak bahwa Sistem Ekonomi Pancasila mengandung nilai-nilai keindonesiaan, yaitu kekeluargaan dan kemandirian sebagai jatidiri budaya bangsa. Kemandirian yang dibangun dengan semangat kekeluargaan itu tak bisa dipisahkan dari akar budaya dan nilai-nilai religius yang hidup dalam masyarakat. Dengan landasan berpikir demikianlah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi hendak dibangun dalam suasana lingkungan kehidupan simbiosis-mutualisme, yang saling mendukung, tidak saling menegasikan. Demokrasi politik tidak mengabaikan cita-cita demokrasi ekonomi, dan demokrasi ekonomi tidak membunuh demokrasi politik.

Penguatan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi menghendaki penguatan partisipasi dan emansipasi rakyat—yang sebagian besar merupakan rakyat miskin—dalam kehidupan politik dan ekonomi. Bangun perusahaan yang tepat untuk mewadahi kehendak itu adalah kooperasi; karena partisipasi kolektif dalam kooperasi memiliki fungsi ekonomis dan politis. Itu sebabnya, mengapa kooperasi sebagai badan usaha diidealisasikan sebagai sokoguru perekonomian.

Dalam pandangan Mohammad Hatta, salah satu akibat dari penjajahan atas Indonesia adalah banyaknya rakyat miskin di tengah-tengah kekayaan alam yang berlimpah, tenaga ahli yang kurang serta kelangkaan kapital. Dalam situasi demikian, “Hanya dengan kooperasi perekonomian rakyat yang melarat itu dapat dibangun, kemiskinan dapat diubah menjadi kemakmuran.” Dengan belajar dari pengalaman kemampuan kooperasi dalam mengangkat taraf hidup rakyat miskin di negara-negara Eropa, Hatta menunjukkan arti penting kooperasi bagi emansipasi rakyat jelata Indonesia:

Rahasia daripada kooperasi terletak pada kemauan bekerja sama untuk memperbaiki keadaan ekonomi bersama. Dasar kerjasama ini adalah self-help dan kesetiakawanan (solidarity). Dengan kooperasi orang-seorang yang menjadi anggota merasa dirinya menjadi kuat. Rasa inferioritas, yang menekan hidupnya dan pandangannya selama itu, hilang padanya. Kepercayaan kepada kesanggupan bersama bertambah kuat. Dari individu egois ia menjadi orang sosial yang mulai insaf akan harga dirinya. Dalam

Page 21: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

kooperasi orang seorang tidak hilang kepribadiannya, ia tidak lenyap sama sekali ke dalam suatu kolektivitas sebagai anggota yang tidak bernyawa. Dengan kooperasi ia mendapat keinsafan akan harga dirinya dan insaf akan tanggung jawabnya untuk kebahagiaan dan kesejahteraan seluruhnya (Hatta, 1983: 169).

Dengan demikian, kooperasi berfungsi sebagai wahana pendidikan bagi rakyat dalam rangka memperkuat ekonomi dan moral serta keseimbangan antara solidaritas dan individualitas. Hatta menyatakan:

Dengan keinsafan yang sedalam-dalamnya kita harus menjadikan kooperasi sebagai anasir pendidikan rakyat. Anasir pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan moral kedua-duanya. Kooperasi dapat mendidik keinsafan ekonomi dan moral, karena ia berdasar atas dua sendi, yang satu sama lain saling memperkuat. Sendi yang dua itu ialah solidaritas dan individualitas, yaitu keinsafan akan harga diri sendiri. Kooperasi yang baik berdasar atas kedua sendi itu, tetapi sebaliknya kedua sendi itu bertambah kuat karena dipupuk senantiasa di dalam pergaulan kooperasi. Hanya di dalam kooperasi solidaritas dan individualitas dapat berkembang dalam hubungan yang harmonis. Dengan menghidupkan dan memupuk solidaritas dan individualitas itu, kooperasi senantiasa mendidik dalam jiwa manusia rasa tanggung jawab sosial (Hatta, 1983: 170).

Lebih lanjut, pandangan Hatta tentang kooperasi itu bisa dilihat dalam Uraian Pancasila mengenai sila ke-5, sebagai hasil rumusan dari Panitia Lima.10 Dalam uraian tersebut antara lain disebutkan bahwa bentuk usaha kooperasi mempunyai akarnya yang kuat dalam tradisi gotong-royong masyarakat Indonesia, yang bisa dikembangkan secara lebih canggih, lewat proses pendidikan yang difasilitasi oleh pemerintah:

Paham kooperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat-istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Sebab itu pemimpin-pemimpin dan pencinta-pencinta kooperasi harus dididik dan dilatih oleh Pemerintah, supaya jiwa dan keahliannya sesuai dengan keperluan dengan hidup kooperasi pada tingkat yang lebih tinggi itu. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan kooperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan. Ia menghargai pribadi manusia sebagai makhluk Allah yang bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya dan masyarakat seluruhnya, tetapi menolak pertentangan dan persaingan dalam bidang yang sama. Persaingan hanya boleh dan dianjurkan dalam hal melatih diri untuk memperbesar kecakapan dan kemampuan. Pada kooperasi, sebagai badan usaha berdasarkan asas kekeluargaan, didamaikan dalam keadaan harmonis kepentingan orang-seorang dengan kepentingan umum.

10 Panitia Lima dibentuk sekitar tahun 1969, beranggotakan Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, Alex Andries Maramis, Sunario, dan Abdoel Gafar Pringgodigdo, yang kemudian merumuskan hasil pekerjaaan mereka pada 1977 dengan judul Uraian Pancasila.

Page 22: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

Selanjutnya, kooperasi yang semacam itu dianggap akan mampu memupuk semangat toleransi—mengakui pendapat masing-masing dan rasa tanggung jawab bersama. Dengan itu kooperasi mendidik dan memperkuat demokrasi sebagai cita-cita bangsa dan sendi negara yang keempat seperti tertanam dalam Pancasila.

Oleh para penggagasnya, kooperasi diyakini bisa mendidik semangat percaya pada diri sendiri, memperkuat kemauan bertindak dengan dasar "self-help". Dengan kooperasi, rakyat seluruhnya dapat ikut serta membangun, berangsur-angsur maju dari yang kecil melalui yang sedang sampai akhirnya ke lapangan perekonomian yang besar. Tenaga-tenaga ekonomi yang lemah lambat laun disusun menjadi kuat. Peran negara dibutuhkan, oleh karena untuk mencapai hal itu diperlukan didikan, latihan dan pimpinan dari Pemerintah, dengan menunjukkan bidang-bidang ekonomi mana yang harus digarap berangsur-angsur. Kooperasi dapat pula menyelenggarakan pembentukan kapital nasional dalam jangka waktu yang lebih cepat, dengan jalan menyimpan sedikit demi sedikit tetapi teratur.

Sebab itu kooperasi dianggap suatu sarana yang efektif untuk membangun kembali ekonomi rakyat yang tertinggal. Kooperasi merasionalkan perekonomian, karena menyingkatkan jalan antara produksi dan konsumsi. Dengan adanya kooperasi produksi dan kooperasi konsumsi yang teratur dan bekerja baik, perusahaan perantaraan yang sebenarnya tidak perlu, yang hanya memperbesar ongkos dan memahalkan harga, dapat disingkirkan. Tenaga-tenaga ekonomi yang tersingkir karena itu, dapat dialirkan kepada bidang produksi yang lebih produktif. Antara pabrik pupuk dan kooperasi produksi (pertanian) tidak perlu ada organisasi lain. Kooperasi pertanian dapat langsung memesan keperluannya akan pupuk ke pabrik pupuk. Sampainya pupuk pada kooperasi tani dapat pula diatur pada waktunya. Karena itu produsen memperoleh upah yang pantas bagi jerih-payahnya dan konsumen membayar harga yang murah.

Begitu idealnya asas pemikiran kooperasi itu, sehingga ia diyakini menjadi salah satu jalan yang harus ditempuh untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi rakyat dan berangsur-angsur bagi kemandirian ekonomi bangsa. Dari pemikiran ini, kita bisa melihat bahwa pemikiran mengenai kooperasi ini jelas adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari upaya para pendiri republik untuk membangun apa yang dibayangkan sebagai negara kesejahteraan sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dalam kaitan ini Hatta menyatakan, “Sejarah kooperasi di benua Barat adalah suatu contoh. Tidak sedikit jasa kooperasi dalam melaksanakan beberapa welfare state yang kita kenal sekarang” (Hatta, 1983: 169).

Prinsip kooperasi dalam perekonomian Indonesia bukan hanya berlaku dalam segi bagaimana ekonomi diusahakan, tetapi juga bagaimana ekonomi diorientasikan. Dalam ekonomi Pancasila, ekonomi itu diletakkan dalam kerangka keadilan dan kesejahteraan sosial. Itu sebabnya, mengapa dalam UUD 1945 perekonomian itu didudukkan dalam Bab (XIX) tentang Kesejahteraan Sosial.

Dalam sendi ekonomi Pancasila, aspek keadilan dipandang sebagai hal yang utama dan harus didahulukan. Dalam pandangan Sri-Edi Swasono, adalah perintah agama bahwa seorang manusia harus berlaku adil tanpa menunggu makmur. Tidak ada perbedaan strata sosio-ekonomi di dalam menerapkan asas keadilan. Baik orang miskin maupun orang kaya haruslah berlaku adil. Sesungguhnya pencapaian keadilan-lah yang menjadi inti dari tujuan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bagi seluruh rakyatnya. Dengan demikian, perlu pengutamaan hajat hidup rakyat dan orientasi pokok kepada rakyat banyak dalam penggunaan bumi, air dan kekayaan alam pemberian Tuhan, yang lebih mengarah pada pemerataan atau

Page 23: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

penyebaran, dan bukan konsentrasi penguasaan rezeki dan sumber-sumbernya (Swasono, 1988: 7).

Atas dasar itu, pertumbuhan dan pemerataan menurut alam pikiran ekonomi Pancasila bukanlah suatu pilihan, melainkan harus terjadi secara bersamaan. Paham ekonomi seperti ini memperoleh pembenarannya dari Joseph E. Stiglitz (2008), berdasarkan pengamatannya atas perkembangan ekonomi global. Dalam pandangannya, pertumbuhan tidak bisa dipertukarkan (trade-off) dengan pemerataan. Jika pertumbuhan ekonomi dikehendaki secara berkelanjutan, maka pertumbuhan itu harus bersifat inklusif, dalam artian bahwa (setidaknya) mayoritas warga negara harus memperoleh keuntungan dari itu. Pengharapan pada efek penetesan ke bawah (trickle-down effect), sebagai berkah pertumbuhan, terbukti tidak berjalan. Menurutnya, pemerintah bisa meningkatkan pertumbuhan dengan memperluas pemerataan. Sumberdaya negara yang paling berharga adalah manusia. Oleh karena itu, kunci terpenting dalam mengembangkan pemerataan ini adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerataan, bukanlah dengan jalan proteksionisme ekonomi, melainkan lebih efektif melalui proteksi sosial, berupa pemberian kesempatan pendidikan bagi semua dan jaminan sosial. Ekonomi modern, menurutnya, memerlukan individu-individu yang berani mengambil risiko, dan untuk itu diperlukan jejaring pengaman sosial, lewat penguatan solidaritas sosial sebagai sumber jaminan sosial.11

Orientasi perekonomian yang mengarah pada keadilan sosial melalui pemerataan kesempatan dan jaminan sosial inilah yang menjadi misi dari negara kesejahteraan Indonesia. Negara kesejahteraan Indonesia diharapkan bisa menghadirkan kebijakan ekonomi yang dapat menjaga iklim persaingan yang fair, berinvestasi dalam public goods, serta membela yang lemah melalui pemberian jaminan sosial.

Persaingan yang fair ditumbuhkan melalui pembagian peran di antara berbagai jenis badan usaha, serta semangat tolong-menolong (kooperasi) di semua bentuk dan rantai perekonomian, serta kerangka hukum dan regulasi yang berkeadilan—yang mencegah terjadinya monopoli/oligopoli orang seorang. Negara juga dituntut untuk mengembangkan sarana dan prasarana publik yang dapat diakses oleh semua, yang dapat mengembangkan kesempatan kerja serta mencegah terjadinya asimetri informasi melalui kewajiban mengembangkan pendidikan yang bisa diakses oleh semua. Inilah pesan pokok dari pasal 27 (2) dan pasal 31, bahwa ‘Tiap-tiap Warga-Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan “Tiap-tiap Warga-Negara berhak mendapat pengajaran”.

Jaminan negara Indonesia atas hak pengajaran ini berdimensi strategis dalam usaha mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam gagasan Amartya Sen tentang welfare economics. Dalam penilaian Sen, pendapatan per kapita yang tinggi tidak secara otomatis membuat kehidupan manusia semakin baik (seperti pada penduduk miskin di Kerala, India, mempunyai angka harapan hidup (umur) yang lebih tinggi daripada penduduk Afro-Amerika di Amerika Serikat). Pernyataan bahwa “pendapatan yang rendah sebagai penyebab kemiskinan” dianggap terlalu menyederhanakan masalah. Bagi Sen, ada penyebab yang lebih mendasar mengapa terjadi keterbelakangan, yakni kualitas

11 Lihat tulisan Joseph E. Stiglitz, “Turn Left for Sustainable Growth,” dalam Economists’ Voice, www.bepress.com/ev, September 2008.

Page 24: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

sumberdaya manusia. Menurutnya, “Pembangunan Manusia (Human Development) adalah sekutu bagi masyarakat miskin.” (Sen, 1999).

Selain melalui pendidikan, negara kesejahteraan Indonesia juga berusaha mengatasi kesenjangan sosial yang lebar dengan menerapkan apa yang disebut John Rawls sebagai “prinsip perbedaan” (the principle of difference). Bahwa setiap orang harus diperlakukan setara (principle of equal liberty), kecuali jika dengan kesetaraan perlakuan itu justru melahirkan ketidakadilan yang lebih besar. Perlakuan khusus perlu diberikan oleh negara kepada golongan ekonomi lemah, yang menjadi karakteristik dari mayoritas rakyat Indonesia, baik pada skala ekonomi makro maupun mikro. Pada tingkat ekonomi makro, perlu didorong politik anggaran yang pro-rakyat serta politik moneter yang memberi akses modal bagi golongan ekonomi lemah. Pada tingkat mikro, pemerintah perlu memberi perhatian khusus bagi badan usaha kooperasi serta sektor usaha kecil dan menengah.

Selain itu, perlu adanya jaminan sosial dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan, tunjangan hari tua, pengajaran, pemenuhan kebutuhan dasar minimum, terutama bagi orang-orang yang hidup di garis kemiskinan. Inilah pesan yang terkandung dari pasal 34: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar diperlihara oleh negara.”

Rumusan yang lebih luas dari usaha perlindungan sosial ini dikembangkan dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dalam pasal 35 Konstitusi RIS dan Pasal 36 UUDS 1950 dinyatakan:

Penguasa sesanggupnya memajukan kepastian dan jaminan sosial teristimewa pemastian dan penjaminan syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perburuhan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan-pemeliharaan janda-janda dan anak-anak yatim piatu.

Selain itu, perlindungan sosial juga diusahakan lewat peran serta dan emansipasi dalam perekonomian. Dalam pasal 36 Konstitusi RIS dan Pasal 37 UUDS 1950 dinyatakan:

1) Meninggikan kemakmuran rakyat adalah suatu hal terus-menerus yang diselenggarakan oleh penguasa, dengan kewajiban senantiasa menjamin bagi setiap orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinya serta keluarganya.

2) Dengan tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk kepentingan umum dengan peraturan-peraturan Undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan masing-masing untuk turut serta dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran negeri.

Selain kedua ayat tersebut, dalam UUDS 1950 ada tambahan ayat 3): Penguasa mencegah adanya organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikulir yang merugikan ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut, Sjahrir

menekankan agar rakyat Indonesia menjadi lebih produktif. Hal ini pada gilirannya memerlukan penambahan produksi melalui industrialisasi. Guna mewujudkan industrialisasi secara baik, dia mengusulkan pelbagai usaha transformatif:

Page 25: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

1. Pengupayaan modal yang terus bertambah.2. Disediakannya alat produksi yang lebih baik serta lebih banyak untuk

rakyat.3. Diperbaikinya jalan raya agar menjadi lebih baik.4. Pembangunan gedung-gedung sekolah dan guru-guru yang lebih baik.5. Dibukanya tempat-tempat dan kesempatan untuk melatih generasi muda

kita agar memperoleh keahlian serta pengalaman dalam berbagai kerja.6. Diperbaikinya rumah sakit dan dokter serta juru rawat, poliklinik dan obat-

obatnya.7. Perlunya memperbaiki perumahan rakyat.8. Menciptakan kota dan desa bersih dan sehat (Sjahrir, 1982: 238).

Sjarir mengusulkan beberapa langkah dalam rangka memperoleh sumberdaya yang diperlukan untuk usaha-usaha perbaikan tersebut, antara lain:

1. Memperbaiki sistem pajak (antara lain melalui sistem pajak progresif)2. Penanaman modal3. Penghematan pemakaian dana negara4. Perbaikan pada usaha yang sudah ada dengan memanfaatkan potensi

alam yang dipunyai Indonesia5. Transmigrasi (Sjahrir, 1982: 213-276).

Hampir senada dengan gagasan Sjahrir, Hatta selama menjalankan kabinetnya (Desember 1949 - September 1950), berusaha memperbaiki kesejahteraan dan sistem jaminan sosial, antara lain dengan cara:

1. Memperbaiki ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan pengamatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan Pemerintah terhadap kegiatan ekonomi agar kegiatan terwujud demi kemakmuran seluruh rakyat.

2. Menyempurnakan perguruan tinggi sesuai dengan keperluan masyarakat Indonesia, membangun pusat kebudayaan nasional, dan mempergiat pemberantasan buta huruf di kalangan masyarakat (Tim Riset PSIK, 2007: 309).

Kewajiban negara untuk memenuhi hak individu dan kesejateraan sosial (pendidikan, kebudayaan, pekerjaan, jaminan sosial) diimbangi oleh “hak” Negara untuk mengelola pajak dan lebih ditekankan lagi dalam penguasaan kekayaan bersama (commonwealth). Inilah pesan yang terkandung dalam pasal 23 (2) serta pasal 33 (2 dan 3). Dalam pasal 23 (2) disebutkan: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang.” Pasal 33 (2 dan 3) menyebutkan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”; juga, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dalam menjelaskan Pasal 33 (1, 2, 3), Panitia Lima menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia yang menyusun Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kepercayaan, bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata. Ayat-ayat yang terkandung dalam pasal

Page 26: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

ini pada gilirannya membawa kita pada pembahasan soal apa yang dikuasai oleh negara dan soal penguasaan negara demi kemakmuran rakyat itu sendiri. Sebagai akibat dari hak penguasaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu dengan sendirinya akan muncul kewajiban negara untuk: (a) segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (b) melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat; (c) mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.12

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Konsep pandangan “dikuasai negara” ini sebenarnya sangat sejalan dengan pandangan yang pernah muncul di negara ini. Menurut Bung Hatta, “dikuasai oleh negara” tidak berati bahwa negara sendiri harus menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Sedangkan menurut Muhammad Yamin, “dikuasai oleh negara” itu termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan kooperasi. Ada pun Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan BPUPK merumuskan pernyataan “dikuasai oleh negara” itu dalam arti: (a) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; (b) Semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya kesana, semakin besar mestinya pesertaan pemerintah; dengan sendirinya perusahaan itu merupakan bangunan korporasi publik—itu tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi; (c) Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (d) Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

Selain masalah penguasaan oleh negara, pasal 33 UUD 1945 juga mengamanatkan agar bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penguasaan dan pengolahan atas kekayaan alam itu harus diletakkan dalam kerangka kesejahteraan yang berkelanjutan (sustainable walfare). Dalam kaitan ini, perekonomian yang berwawasan lingkungan sangat ditekankan. Dalam suatu kunjungannya ke Tanah Karo, Sumatra Utara, pada 22 November 1950, Mohammad Hatta menekankan hal ini. “Sekarang kita sudah merdeka dan berdaulat, kita mempunyai kekuasaan mengatur negara kita supaya kekayaan dari negara kita ini sebagian besar tinggal di negara kita sendiri.” Kekayaan negeri ini termasuk pula hutannya. Untuk itu, Bung Hatta mengingatkan agar hutan sebagai modal nasional kita dirawat dan dikelola secara bertanggung jawab demi sehatnya kehidupan dan kesinambungan manfaatnya bagi generasi mendatang:

Jikalau kita melewati Tanah Karo ini, kita akan melihat padang-padang rumput yang subur, gunung-gunung yang kayunya baik untuk menghidupkan perindustrian”. Tetapi banyak di antaranya tandus karena hutannya tidak terpelihara”. Dalam hutan itu tersimpan kekayaan nasional, modal nasional

12 Lihat M.P. Faiz, “Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi,” dalam Jurnal Hukum Online. Diakses 20 November 2010.

Page 27: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

kita. Janganlah hutan-hutan ini ditebang dengan begitu saja. Jikalau hendak membikin ladang, haruslah itu dirundingkan dengan dinas kesehatan. Karena hutan itu berguna sekali untuk menarik air dari langit untuk dapat dialirkan ke sawah-sawah. Air sangat perlu untuk persawahan, hutan perlu untuk menyimpan air itu. Salah satu jalan dapat dipergunakan dengan menanam kayu-kayuan yang dapat pula dijadikan kertas, sehingga di daerah ini dapat kita bangun industri kerta. Ini semua akan dapat dipikirkan. Demikian juga ternak akan dapat dimajukan. Dalam hal ini besar pengharapan saya bahwa di antara rakyat dengan pemerintah terdapat persatuan hati yang kuat untuk memelihara kayu kita. Dengan demikian kekayaan kita yang ada itu tidak musnah pada satu waktu, tetapi terpelihara sampai kepada turunan kita (Hatta, 2000: 344-345).

Apa-apa yang telah diuraikan tadi mengindikasikan bahwa semangat yang terkandung dalam perekonomian Indonesia yang dijalankan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu menempatkan negara bukan hanya sebagai regulator semata, seperti yang dikehendaki dalam ekonomi pasarnya neoliberal, melainkan juga menjadi penjamin kesejahteraan rakyat. Wujud kesejahteraan itu antara lain seperti diilustrasikan dengan baik oleh Bung Hatta dengan melukiskan bagaimana orang yang sudah mencapai usia pensiun pun harus mendapatkan tunjangan pensiun dari negara meskipun orang tersebut bukan pegawai negeri.

Sistem ekonomi Pancasila dan gagasan negara kesejahteraan itu hanya bisa dijalankan secara penuh dan konsisten sejauh Indonesia memiliki apa yang disebut Soekarno sebagai kemampuan untuk berdiri di atas kakinya sendiri (berdikari). Dalam istilah Tan Malaka, “rencana ekonomi yang teratur rapi” hanya dapat dibumikan secara leluasa dalam kondisi bangsa Indonesia “Merdeka 100%”. Bahwa, “Yang berhak menentukan nasib Rakyat Indonesia ialah kamauan, pelor, atau bambu runcingnya Rakyat Indonesia sendiri” (Malaka, 2005: 39). Mengapa demikian?

‘Merdeka 100%’ adalah satu jaminan buat terus merdekanya Indonesia. Tanpa Merdeka 100% Indonesia takkan bisa mengadakan kemakmuran cukup buat dirinya sendiri. Juga Indonesia walaupun merdeka takkan bisa mempersenjatai dirinya sendiri, karena tak akan diberi kesempatan oleh kapitalisme asing buat mendirikan ‘Industri Berat Nasional’. Kemerdekaan Indonesia abad ke-20 ini tak bisa dipisahkan dari ‘Industri Berat Nasional’ dan ‘Rencana Ekonomi’ (Malaka, 2005: 40).

Agar dapat leluasa menentukan nasib sendiri, sikap kejiwaan yang harus ditumbuhkan adalah mencukupi diri sendiri. Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengembangkan perilaku ekonomi boros, “besar pasak daripada tiang”, yang dapat mengarah pada ekonomi utang. Ketergantungan pada utang luar negeri harus dihindari, sebab seperti diingatkan Tan Malaka, “Negara yang meminjam pasti menjadi hamba peminjam.”13 Penghambaan terhadap peminjam merupakan pintu masuk bagi dikte-dikte kebijakan ekonomi nasional oleh kekuatan-kekuatan asing, yang dapat mendistorsikan sistem ekonomi dan rencana keadilan yang ingin dikembangkan.

Demikianlah, sistem Ekonomi Pancasila dan gagasan negara kesejahteraan yang diletakkan dalam kerangka imperatif etis pemenuhan keadilan dan kesejahteraan sosial memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang 13 Lihat Tan Malaka dalam “Uraian Mendadak,” 7 November 1948.

Page 28: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

kuat serta landasan historisitas, rasionalitas dan aktualitas yang tinggi. Tinggal masalahnya, bagaimana menumbuhkan keyakinan kepada bangsa (terutama pemimpin bangsa) Indonesia sendiri, yang dapat mendorong komitmen untuk memberikan kesempatan yang leluasa bagi penerapan sistem ekonomi Pancasila dan negara kesejahteraan itu dalam pilihan-pilihan kebijakan dan praktik pembangunan. Seperti diingatkan oleh Peter McCawley, akan lebih produktif dan efisien apabila sistem Ekonomi Pancasila itu benar-benar bisa diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah konkret yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.14

PenutupSila ‘Keadilan sosial’ merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-

prinsip Pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja ‘mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Notonagoro menyatakan (1974), “Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa dinilai dari usaha nyatanya dalam mewujukan keadilan sosial. Pokok pikiran pertama dari Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

Telah berlalu masa yang panjang ketika kekayaan alam Indonesia tidak membawa kemakmuran; kelimpahan penduduk tidak menjadi kekuatan pengubah. Ketidakadilan dalam penguasaan sumberdaya dan kesempatan menjadi penyebab, mengapa kekayaan tidak mendatangkan berkah, melainkan kutuk.

Dengan aktualisasi negara kesejahteraan diharapkan negara dapat mengelola kekayaan bersama (commonwealth) untuk sebesar-besarnya kemakuran rakyat; mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh modal perseorangan (baik kapitalis asing maupun lokal) yang melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif; mengembangkan semangat ‘tolong-menolong” (kooperasi) dalam setiap bentuk badan usaha serta memperkuat badan usaha kooperasi bagi emansipasi golongan ekonomi kecil dan menengah. Negara kesejahteraan juga diharapkan bisa memberi kesempatan bagi semua warga untuk mengembangkan dirinya melalui akses pendidikan bagi semua, perluasan kesempatan serta jaminan sosial sebagai jaring pengaman sosial.

Perwujudan negara kesejahteraan itu sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara negara—disertai dukungan rasa tanggung jawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga. Dalam visi negara ini yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berlaku prinsip ”berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tidak sepantasnya, pejabat negara cuma mau 14 Peter McCawley, “The Economics of Ekonomi Pancasila,” dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XVIII, No. 1, Maret 1982, hlm. 108.

Page 29: DR_ Yudi Latief... · Web viewTentang pernyataan pada poin kedua dari nota yang menyatakan bahwa ‘Milik tanah yang besar-besar yang ternyata tidak rasionil dan tidak produktif usahanya

mendapat untung dengan membiarkan rakyat terus buntung. Maka dari itu, pokok pikiran keempat UUD 1945 (”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”), ”mengadung isi yang mewajibkan Pemerintahan dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.

Dengan pemenuhan imperatif moral sila keadilan sosial diharapkan jeritan panjang rakyat Indonesia untuk keluar dari belenggu kemiskinan dan penderitaan bisa menemukan impian kebahagiaannya: “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”; sebuah negeri yang berlimpah kebajikan dengan ridla Tuhan.[]

Rujukan:

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.