MODUL 13
ANESTESI UNTUK OPERASI GENITOURINARIA
Disusun Oleh
Sandhi Yudha Tarigan
Wiji Asmoro
PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi
Pembimbing
Dr. Eko Setijanto, M. Si, M. Med, Sp. An
BAGIAN/ SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
RSUD Dr. MOEWARDI/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
SURAKARTA
2009
1
LEMBAR PENGESAHAN
Modul Semester III (Modul 13) dengan judul :
“Anestesi Untuk Operasi Genitourinaria” telah dipresentasikan di Bagian Anestesiologi
dan Reanimasi RSUD dr Moewardi Surakarta, pada :
Hari : Sabtu
Tanggal :
Presentan : 1. dr. Sandhi Yudha T.
2. dr. Wiji Asmoro
Mengetahui,Pembimbing
dr. Eko Setijanto, M. Si, M. Med, Sp. An
2
ANESTESI UNTUK OPERASI GENITOURINARIA
Pasien yang memerlukan anestesi untuk operasi genitourinaria sering dijumpai pada usia
lanjut. Penyakit sistem respirasi dan kardiovaskuler merupakan hal yang umum karena
perubahan fisiologis pada usia lanjut. Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium
diperlukan untuk mengevaluasi penyakit yang diderita.
Prosedur urologi biasa dilakukan untuk organ – organ renal, glandula adrenal, ureter, vesica
urinaria, glandula prostat, urethra, penis, scrotum, testis, dan vesica seminalis. Karena suplai
saraf sensorik utama berasal dari segmen thoracolumbal dan sacral, keseluruhan struktur
tersebut dapat dilindungi dengan anestesi regional.
Persarafan Sistem Genitourinaria
Tabel 13 – 1
Jalur Konduksi Nyeri dan Proyeksi Segmen Spinal dari Sistem Genitourinaria
Organ Simpatis Parasimpatis Level Spinal dari Konduksi Nyeri
Renal T8 – L1 X T10 – L1
Ureter T10 – L2 S2 – 4 T10 – L2
Vesica Urinaria T11 – L2 S2 – 4 T11 – L2 (dome)
S2 – 4 (neck)
Glandula Prostat T11 – L2 S2 – 4 T11 – L2; S2 – 4
Penis L1 – 2 S2 – 4 S2 – 4
Scrotum NS NS S2 – 4
Testis T10 – L2 NS T10 – L1
Renal Blood Flow
Renal menerima hampir 15 – 25% dari total cardiac output, atau 1 – 1,25 L/ menit melalui
arteri renalis. Sebagian besar darah diterima oleh korteks renal dan hanya sekitar 5% dari
cardiac output, mengalir melalui medulla renal.
Renal dalam pengaruh stres akan bereaksi untuk membantu mempertahankan volume
intravaskuler dan tekanan darah. Sistem saraf simpatis bereaksi terhadap trauma, syok, atau
3
nyeri dengan melepas nor epinefrin. Nor epinefrin akan mengaktivasi sistem renin –
angiotensin dan menyebabkan pelepasan ADH. Hasil akhir dari aktivitas sistem respon stres
ini adalah pergeseran aliran darah dari korteks ke medulla renal, mencegah reabsorpsi air dan
sodium, dan menurunkan output urin. Respon stres yang lebih hebat dapat menurunkan RBF
dan GFR melalui konstriksi arteriol aferen.
Acute Renal Failure
ARF merupakan penurunan secara tiba – tiba pada fungsi renal yang menyebabkan
ketidakmampuan renal untuk mengekskresikan nitrogenous dan zat sisa lain. Hal ini
disebabkan karena akumulasi dari kreatinin dan ureum di darah, dan sering disertai dengan
penurunan produksi urin.
Faktor Penyebab
1. Azotemia Prerenal
Azotemia prerenal didefinisikan sebagai peningkatan BUN yang dihubungkan dengan
hipoperfusi atau iskemia renal, bukan karena kerusakan parenkim renal.
2. Intrinsik ARF
Intrinsik diartikan sebagai etiologi utama dari renal untuk ARF, tetapi termasuk juga
iskemia dan toksik seperti penyakit parenkim renal.
3. Azotemia Postrenal (Uropati Obstruktif)
Lesi obstruktif dapat terjadi sepanjang saluran uropoetica, mulai dari pelvis renal sampai
urethra distal. Tekanan intraluminal meningkat dan diteruskan sampai ke glomerulus,
mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi.
Oliguria
Oliguria merupakan tanda bermakna dari hipoperfusi renal. Oliguria intraoperatif merupakan
azotemia prerenal dan acute tubular necrosis. Normal produksi urin 0,5 – 1,0 ml/ kgbb/ jam,
pada oliguria terjadi penurunan produksi urin < 0,5 ml/ kgbb/ jam.
4
Chronic Renal Failure/ End Stage Renal Disease
CRF/ ESRD merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sindrom klinik yang
ditandai dengan disfungsi organ multipel yang terbukti fatal tanpa dialisis. Pasien ini memiliki
GFR < 25% dari normal.
Tabel 13 – 2
Klasifikasi Chronic Renal Failure
Karakteristik GFR (5 dari normal)
Penurunan cadangan renal Asimptomatik
Kreatinin normal
BUN normal
60 – 75%
Insufusiensi renal Nokturia
Kreatinin meningkat
BUN meningkat
25 – 40%
Chronic Renal Failure Fatal tanpa dialisis < 25%
Uremia Dialisis rutin < 10%
Sindrom Uremia
Sindrom uremia menggambarkan bentuk paling ekstrim dari CRF yang terjadi karena nefron
yang masih berfungsi dan GFR turun < 10% dari normal. Sindrom uremia menyebabkan
ketidakmampuan renal menjalankan 2 tugas utama, yaitu :
a) Pengaturan volume dan komposisi dari cairan ekstrasel
b) Ekskresi produk sisa
Hilangnya homeostasis dan akumulasi toksin seluler menyebabkan disfungsi sistem organ
multipel yang terlihat dari sindrom uremia. Komplikasi kardiovaskuler dari sindrom uremia
terutama disebabkan karena overload volume, aktivitas renin – angiotensin yang tinggi,
hiperaktivitas sistem saraf otonom, asidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Masalah pulmoner yang berhubungan dengan CRF dikarenakan perubahan pada cairan di paru
dan kontrol dari ventilasi. Keluhan gastrointestinal terdiri dari anoreksia, nausea, vomitus, dan
hiccups. Pemanjangan waktu pengosongan lambung penting bagi anestesiologis. Komplikasi
neuromuskuler adalah sebagai akibat disfungsi sistem saraf pusat, polineuropati perifer, atau
5
disfungsi otonom. Anemia pada CRF disebabkan karena penurunan kadar eritropoietin,
kerusakan eritrosit, perdarahan saluran cerna, dan defisiensi vitamin serta zat besi.
Obat Anestesi pada Renal Failure
Kelainan pada renal mempengaruhi disposisi, metabolisme, dan ekskresi dari obat anestesi
yang digunakan. Obat anestesi dapat terakumulasi pada renal failure dan menyebabkan
pemanjangan efek klinis dari metabolit, meskipun hanya memiliki sedikit aktivitas
farmakologis dari obat asal.
1) Obat Premedikasi
Golongan antikolinergik cukup aman, namun tidak dianjurkan untuk pemberian secara
rutin karena diekskresi melalui renal.
Perubahan dosis antikolinesterase tidak diperlukan untuk memblokade neuromuskuler
pada pasien dengan penurunan fungsi renal.
Metoklopramid dapat diberikan, namun 50% metabolit diekskresikan melalui renal,
sehingga pemberian dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi.
Antagonis reseptor H2 sebaiknya diberikan untuk mengurangi keasaman lambung.
Farmakokinetik dari antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin, dan edrofonium) sangat
dipengaruhi oleh kondisi renal. Antikolinesterase akan mengalami pemanjangan durasi
kerja karena ekskresi melalui renal.
Analgesik NSAIDs merupakan kontra indikasi berhubungan dengan inhibisi efek
prostaglandin. Tramadol lebih dapat diterima. Dexmedetomidin menghasilkan analgesia,
amnesia dan sedasi yang seimbang, dan selain itu dexmedetomidin memberikan
keuntungan dapat menekan pelepasan ADH/ renin, sehingga merangsang ekskresi air.
2) Obat Induksi
Fraksi bebas tiopental pada dosis induksi hampir ditemukan 2x lipat pada pasien dengan
renal failure.
Ketamin lebih sedikit berikatan dengan protein dibanding tiopental. Pemberian ketamin
pada pasien dengan renal failure disertai hipertensi dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
Etomidat walaupun hanya sekitar 75% yang berikatan dengan protein pada orang normal,
namun pada pasien dengan renal failure memiliki fraksi bebas yang tinggi.
6
Farmakokinetik propofol tidak berubah pada pasien dengan renal failure, dan tidak
memiliki efek memanjang.
Benzodiazepin berikatan dengan protein dalam jumlah besar. CRF akan meningkatkan
fraksi bebas yang mempotensiasi efek klinis dari benzodiazepin.
3) Agen Anestesi Inhalasi
Halotan tidak nefrotoksik, dosis kecil – sedang tidak mempengaruhi RBF. Namun karena
sifat disritmogenik, asidosis dan katekolamin yang meningkat, maka penggunaannya
harus hati – hati.
Metoksifluran di metabolisir di hati menjadi fluorida anorganik, merupakan kontra
indikasi (kadar dapat melebihi 50 mmol/ l, melebihi dosis toksik fluorida).
Enfluran walaupun metabolit fluoridanya tidak sebesar metoksifluran, tetapi untuk pasien
dengan renal failure, sebaiknya dihindari karena masih menghasilkan metabolit fluorida
sebesar 22 mmol/ l pada penggunaan 2 – 3 jam.
Isofluran merupakan anestesi inhalasi terpilih untuk pasien dengan renal failure karena
lebih stabil, kadar puncak fluorida setelah 2 – 3 jam penggunaan hanya 5 mmol/ l
sehingga tidak nefrotoksik dan sedikit merubah RBF.
Sevofluran dalam satu jam penggunaan menghasilkan produk metabolit fluorida 22,1
mmol/ l, tetapi kadar puncaknya cepat turun. Tidak dianjurkan pada penggunaan lama,
karena pada penggunaan > 2 jam, kadar fluoridanya dapat mencapai 50 mmol/ l.
Desfluran sampai 7 MAC tidak menyebabkan peningkatan kadar fluorida. RBF terjaga
karena desfluran menyebabkan penurunan resistensi vaskuler renalis.
N2O tidak mempengaruhi fungsi renal dan penggunaannya dianjurkan tidak melebihi 50%
karena kecenderungan penurunan pengangkutan kapasitas O2 ke jaringan pada penderita
uremia.
4) Opioid
Pemberian morfin dalam waktu yang lama menyebabkan akumulasi dari metabolit 6 –
glukuronida yang juga memiliki efek analgesi poten dan sedasi.
Meperidin tidak direkomendasikan pada pasien dengan fungsi renal yang buruk.
Hidromorfon dimetabolisme menjadi hidromorfon – 3 – glukuronida yang diekskresi
melalui renal. Metabolit aktif ini akan terakumulasi pada pasien dengan renal failure dan
menyebabkan disfungsi kognitif dan terjadinya mioklonus.
7
Eliminasi oksikodon didapatkan memanjang pada pasien dengan CRF. Pemberian dosis
ulangan menghasilkan pemanjangan efek dari opioid.
Kodein juga memiliki potensi untuk menyebabkan pemanjangan efek narkose pada pasien
dengan renal failure.
Fentanil merupakan opioid pilihan karena hanya sedikit metabolit aktif, fraksi bebas yang
tidak berubah, dan fase redistribusi yang singkat.
Alfentanil dimetabolisme menjadi metabolit inaktif.
Sufentanil menyebabkan pemanjangan efek narkose.
Remifentanil dimetabolisme secara cepat oleh esterase darah dan jaringan menjadi
metabolit aktif lemah (GR90291) yang akan diekskresi renal. Renal failure tidak
mempengaruhi efek dari remifentanil, tetapi eliminasi GR90291 menjadi berkurang.
5) Penghambat Neuromuskuler
Hanya SCh, atracurium, cis - atracurium dan mivacurium yang diekskresi minimal
melalui renal tanpa diubah.
Pemberian SCh harus memperhatikan peningkatan konsentrasi potasium serum (0,5 meq/
L) pada pasien dengan renal failure. Dialisis < 24 jam pra operatif menurunkan resiko
hiperkalemia.
Penghambat neuromuskuler generasi lama (d – tubocurarin, metokurin, pankuronium dan
galamin) mengalami eliminasi half life yang memanjang.
Penggunaan penghambat neuromuskuler kerja lama (doksacurium dan pipecuronium)
harus dipertimbangkan pada pasien dengan insufisiensi renal, karena meningkatnya
eliminasi half life, berkurangnya klirens plasma dan pemanjangan efek durasi pada pasien
dengan renal failure.
Penghambat neuromuskuler kerja sedang (atracurium, cis - atracurium, vecuronium dan
rocuronium) memiliki keuntungan pada pasien dengan renal failure karena durasi kerja
dan blokade yang memanjang berkurang.
Atracurium dan derivatnya, cis - atracurium, mengalami hidrolisis ester enzimatik dan
degradasi non enzimatik spontan (Hoffman) dengan minimal ekskresi di renal dari
senyawa asal. Eliminasi half life, klirens dan durasi kerja tidak dipengaruhi oleh renal
failure. Dengan alasan ini, sangat direkomendasikan penggunaan atracurium dan cis -
atracurium pada pasien dengan renal failure. Perhatian pada metabolit atracurium,
8
laudanosin yang dapat menimbulkan kejang dan dapat terakumulasi dengan pemberian
dosis ulangan atau infus kontinyu.
Durasi kerja vecuronium mengalami pemanjangan. Metabolit aktif, 3 – desmetil
vecuronium, terakumulasi pada pasien anefrik yang mendapat infus kontinyu, yang
menghasilkan pemanjangan blokade neuromuskuler.
Volume distribusi dan eliminasi half life rocuronium, penghambat neuromuskuler onset
cepat, akan meningkat, tetapi tidak memiliki efek terhadap klirens.
Penghambat neuromuskuler kerja singkat (mivacurium) mengalami eliminasi enzimatik
oleh pseudokolinesterase plasma lebih lambat dibanding SCh. Aktivitas
pseudokolinesterase yang rendah berkorelasi dengan waktu pemulihan pada pasien
anefrik.
Rapacuronium merupakan penghambat neuromuskuler onset cepat, aksi singkat - sedang,
yang mengalami hidrolisis non spesifik menjadi sangat poten, 3 - hidroksimetabolit yang
diekskresi melalui renal, Org9488. Klirens menurun pada pasien anefrik. Dosis ulangan
atau infus kontinyu menyebabkan efek klinis yang memanjang.
Litotomi
1) Standar
Pada posisi litotomi standar, pasien berbaring supine dengan lengan melintang di badan
atau dengan ekstensi lateral < 90°. Ekstremitas bawah fleksi pada pinggul dan lutut dan
keduanya secara simultan di elevasi dan diposisikan terpisah sehingga perineum terlihat.
Beberapa alat disediakan untuk menahan ekstremitas yang terangkat selama operasi.
Perhatian diberikan untuk memastikan sudut atau ujung dari alat penahan tidak
mengkompresi daerah poplitea dan paha bagian belakang. Saat akhir prosedur, kaki
diturunkan secara perlahan bersamaan.
9
Gambar 13 – 1
Posisi Litotomi Standar
Standard lithotomy position with “candy cane” extremity support. Thighs are flexed approximately 90 degrees on
abdomen; knees are flexed enough to bring lower legs grossly parallel to the torso section of the table top. Arms are
retained on boards, crossed on the abdomen, or snugged at the sides of patient
2) Rendah
Gambar 13 – 2
Posisi Litotomi Rendah
Low lithotomy position for perineal access, transurethral instrumentation, or combined abdominoperineal procedures
10
Sebagian besar prosedur urologi dan prosedur lain yang mengharuskan akses simultan
terhadap abdomen dan perineum, derajat dari elevasi paha pada posisi litotomi sekitar 30
– 45°. Hal ini menyebabkan penurunan gradien perfusi ke dan dari ekstremitas bawah dan
memperbaiki akses medan operasi perineal.
3) Tinggi
Gambar 13 – 3
Posisi Litotomi Tinggi
High lithotomy position. Note potential for angulation and compression/ obstruction of contents of femoral canal A,
(insert) or stretch of sciatic nerve (B)
11
Beberapa ahli bedah lebih memilih akses perineum dengan menahan kaki pasien dengan
posisi yang tinggi. Akibatnya, kaki pasien ekstensi sempurna pada paha dan paha fleksi
90° pada badan. Posisi ini menghasilkan gradien tinggi untuk perfusi arteri di kaki yang
mengharuskan pengawasan terhadap hipotensi sistemik.
4) Exaggerated
Gambar 13 – 4
Posisi Litotomi Exaggerated
Akses transperineal ke area retropubik mengharuskan pelvis pasien ventral fleksi terhadap
collumna vertebralis, paha fleksi terhadap badan dan kaki pasien diarahkan ke atas. Posisi ini
menekan vertebrae lumbalis dan menghasilkan gradien tinggi untuk perfusi ke kaki, dan
membatasi ventilasi karena kompresi abdomen. Kontrol ventilasi perlu dilakukan.
Posisi ini dihubungkan dengan frekuensi tinggi sindrom kompartemen ekstremitas bawah.
Pemeliharaan tekanan perfusi yang adekuat untuk kaki sangat penting.
12
ANESTESI UNTUK PROSEDUR ENDOUROLOGI
A. Sistourethroskopi dan Prosedur Ureter
Sistourethroskopi biasa dilakukan untuk pemeriksaan dan pengobatan penyakit tractus
urinarius bagian bawah. Prosedur ini menghasilkan visualisasi langsung dari urethra
anterior dan posterior, collum vesica urinaria, dan vesica urinaria (buli). Untuk prosedur
sistoskopi singkat, 5 – 10 mL lubrikan jel anestesi (2% lidokain HCl) bisa diberikan.
Teknik anestesi lokal ini memberikan teknik anestesi yang adekuat pada pasien yang akan
menjalani prosedur sistoskopi singkat. Untuk prosedur yang lebih lama dan lebih luas,
teknik sedasi menggunakan pilihan hipnotik – sedatif, ansiolitik dan analgetik merupakan
kombinasi pilihan untuk kenyamanan pasien dan kondisi operasi dengan pemulihan yang
cepat. Jika anestesi umum diperlukan untuk prosedur sistoskopi dan urethral, LMA
merupakan alternatif selain face mask. Ureteroskopi membutuhkan dilatasi dari orificium
ureter dan ureter intramural, sering diperlukan anestesi regional dan umum.
B. Transurethral Resection of the Prostate (TUR Prostat)
TUR prostat merupakan penatalaksanaan primer untuk BPH simptomatis. Prosedur ini
dilakukan dengan sistoskopi inisial untuk mengetahui penyakit penyerta dan untuk
mengevaluasi ukuran dari glandula prostat. Resektoskop kemudian dimasukkan melalui
sistoskopi modifikasi ke vesica urinaria, dan jaringan yang menutupi urethra pars
prostatica direseksi. Irigasi kontinyu dari vesica urinaria dan urethra pars prostatica
diperlukan untuk mempertahankan area pandang, luas medan operasi, dan membuang
jaringan serta darah.
Glandula prostat kaya akan pleksus vena, yang dapat terbuka selama proses reseksi. Jika
tekanan dari cairan irigasi melebihi tekanan vena, absorpsi intravaskuler dari cairan irigasi
dapat terjadi via sinus vena yang terbuka.
Cairan Irigasi
Cairan irigasi yang ideal untuk TUR prostat adalah cairan yang bersifat isotonis dan non
hemolitik jika diabsorpsi. Cairan non elektrolit untuk memecah arus listrik, transparan,
non metabolik, non toksik, diekskresi cepat dan murah.
13
Air destilat merupakan cairan irigasi yang dulu digunakan urologis karena sifat non
konduktif dan memiliki sedikit pengaruh pada area pandang. Namun karena tonisitas
rendah, air diabsorpsi ke dalam sirkulasi, menyebabkan hemolisis intravaskuler masif,
hemoglobinemia, dan renal failure. Absorpsi air destilat dalam jumlah besar juga
menghasilkan hiponatremia dilusi.
Sindrom TUR
Sindrom TUR (sindrom intoksikasi air) merupakan istilah umum untuk menjelaskan
gejala neurologis dan kardiopulmoner yang terjadi saat cairan irigasi diabsorpsi selama
prosedur TUR, terutama TUR prostat.
Komponen utama dari sindrom TUR antara lain distres respirasi sekunder terhadap
ekspansi volume dari absorpsi intravaskuler cepat dari cairan irigasi, dilusi elektrolit dan
protein oleh cairan irigasi bebas elektrolit, dan simptom yang berkaitan dengan cairan
irigasi yang digunakan.
Rata – rata volume cairan irigasi yang diabsorpsi selama TUR prostat adalah 20 ml/ menit
dari waktu reseksi. Volume dari cairan yang diabsorpsi selama prosedur dapat
diperkirakan dengan rumus :
Volume terabsorpsi =Kadar Na serum pre operatif
- ECFKadar Na serum post operatif
Untuk mencegah absorpsi cairan berlebih, direkomendasikan waktu reseksi < 1 jam dan
ketinggian kantung irigasi tidak lebih dari 30 cm dari meja operasi saat reseksi dimulai
dan 15 cm saat reseksi diakhiri.
Manifestasi klinis dari sindrom TUR dari ringan (gelisah, nausea, nafas dangkal, atau
pusing) sampai berat (kejang, koma, hipertensi, bradikardi, atau kolaps kardiovaskuler).
Pada pasien sadar dengan anestesi regional, trias klasik dari gejala antara lain peningkatan
tekanan nadi (sistolik dan diastolik), bradikardi, dan perubahan status mental. Penurunan
sodium serum secara mendadak berperan dalam gejala dan tanda dari sindrom TUR.
Sodium serum 120 meq/ l berkaitan dengan simptom sistem saraf pusat yang
menyebabkan edema dan disfungsi neuronal. Gelisah dan bingung berkembang menjadi
14
hilang kesadaran dan kejang menunjukkan kadar sodium serum lebih rendah lagi.
Perubahan ECG terlihat ketika kadar sodium serum dibawah 115 meq/ l dan diikuti
dengan henti jantung saat mendekati 100 meq/ l. Urologis harus segera diinformasikan
tentang perubahan pada pasien sehingga prosedur dapat diakhiri secepat mungkin.
Intervensi sedini mungkin diperlukan saat komplikasi neurologis dan kardiovaskuler
ditemukan. Bantuan oksigenasi, ventilasi dan sirkulasi harus diberikan.
Jika gejala yang timbul ringan dan sodium serum > 120 meq/ l, restriksi cairan dan
pemberian diuretik loop diperlukan untuk mengembalikan kadar sodium menjadi normal.
Terapi dengan salin hipertonik diberikan untuk pasien dengan simptom berat dan
mengancam jiwa. Cairan NaCl 3% diberikan melalui infus tidak lebih dari 100 ml/ jam,
dan dihentikan jika sodium serum > 120 meq/ l. Saat sasaran terapi telah tercapai, terapi
dapat dilanjutkan dengan restriksi cairan dan diuretik.
Komplikasi lain dari prosedur TUR prostat :
1) Perdarahan
2) Perforasi kapsul prostat
3) Infeksi
4) Hipotermi
5) Retensi bekuan darah
Teknik Anestesi untuk Prosedur TUR Prostat
Anestesi regional merupakan teknik anestesi pilihan untuk TUR prostat. Penggunaan
anestesi regional kerja lama dibandingkan anestesi umum, dapat memperbaiki
pengendalian nyeri dan kebutuhan penatalaksanaan nyeri paska operasi.
Level anestesi pada dermatom T10 diperlukan untuk memblokade nyeri dari distensi vesica
urinaria karena cairan irigasi.
Anestesi lokal juga digunakan pada pasien dengan ukuran glandula prostat yang kecil
sampai sedang.
C. TUR pada Tumor Buli
Prosedur ini dapat dilakukan dengan bantuan anestesi regional maupun anestesi umum.
Pada anestesi regional, level anestesi T10 dibutuhkan untuk memblokade nyeri. Namun,
15
jika tumor buli terletak dekat dengan n. obturatorius, anestesi umum dengan penghambat
neuromuskuler merupakan teknik terpilih.
Komplikasi dari TUR buli :
a) Perforasi buli
b) Kontraksi yang keras dari otot paha
D. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Efek Fisiologis Litotripsi Imersi
Menempatkan pasien ke dalam bak air selama litotripsi menyebabkan beberapa perubahan
fisiologis pada sistem kardiovaskuler. Imersi menyebabkan kompresi vena perifer, yang
mengakibatkan peningkatan volume darah sentral. Peningkatan CVP sebanding dengan
kedalaman imersi.
Tabel 13 – 3
Perubahan Selama Litotripsi Imersi
Kardiovaskuler Meningkat Volume darah sentral
Tekanan vena sentral
Tekanan a. pulmoner
Respirasi Meningkat
Menurun
Aliran darah pulmoner
Respiratory rate
Kapasitas vital
Kapasitas residual fungsional
Volume tidal
Litotripsi imersi juga mempengaruhi sistem respirasi, yaitu peningkatan usaha napas,
pernapasan menjadi dangkal dan cepat. Efek lain termasuk penurunan kapasitas vital dan
kapasitas residual fungsional sekunder terhadap tekanan ekstrinsik pada abdomen atas dan
thorax.
Masalah yang berhubungan dengan pengaturan suhu dapat terjadi pada pasien usia lanjut
dengan gangguan sistem termoregulasi. Air pada bak litotriptor dipertahankan pada
kisaran suhu 35,8 - 37,5°C.
16
Seleksi Pasien untuk Prosedur Litotripsi
1) Kontraindikasi absolut
Kehamilan
Abnormalitas parameter koagulasi
Infeksi saluran kemih
Pemeriksaan pra operatif lain, meliputi :
Tes koagulasi
Kultur urin
Pengobatan yang mengandung aspirin dan NSAIDs harus dihentikan minimal 10 hari
sebelum operasi. Pasien dengan pacemaker dipertimbangkan untuk dapat menjalani
prosedur litotripsi.
2) Kontraindikasi relatif
Obstruksi komplet traktus urinarius distal dari batu
Kalsifikasi atau aneurisma a. renalis atau aorta
Penggunaan prostesa ortopedi
Insufisiensi renal yang ditandai dengan kadar kreatinin serum 3 mg/ dl
Komplikasi
Kerusakan parenkim renal yang mengakibatkan hematuria
Nyeri pinggang
Petechiae dan pembengkakan jaringan lunak
Kolik traktus urinarius
Teknik Anestesi untuk SWL
Pendekatan anestesi untuk litotripsi adalah dengan teknik anestesi regional atau anestesi
umum. Anestesi umum memberikan keuntungan dalam mengendalikan ventilasi dan
gerak pasien, tetapi meningkatkan resiko cedera saraf perifer karena pasien diposisikan di
kursi litotriptor. Dengan anestesi regional, pasien sadar, kooperatif dan mudah
diposisikan. Teknik anestesi regional memerlukan level sensoris setinggi T6.
17
Teknik sedasi juga dapat digunakan. Berbagai pilihan hipnotik – sedatif, ansiolitik, dan
analgesik dapat digunakan. Teknik sedasi merupakan teknik terpilih untuk prosedur SWL
rutin.
E. Laparoskopi Urologi
Tenik laparoskopi urologi dengan minimal invasif dengan cepat dapat diterima karena
berkaitan dengan nyeri paska operasi, singkatnya waktu perawatan di RS, waktu
penyembuhan yang relatif cepat dibanding prosedur operasi lain.
Perubahan fisiologis selama laparoskopi berhubungan dengan teknik laparoskopi, dan
sebagian karena pneumoperitonium dan absorpsi dari gas insuflasi.
Tabel 13 – 4
Komplikasi Intraoperatif Potensial Selama Operasi Laparoskopi
Pulmoner Pneumothorax
Pneumomediastinum
Hipoksemia
Hiperkapnea
Aspirasi
Kardiovaskuler Disritmia
Hipotensi
Hipertensi
Emboli gas vena
Trombus vena
MISCELLANEOUS Cedera vaskuler
Perforasi organ viscera
Oliguria
Hipotermia
Cedera saraf perifer
Prosedur laparoskopi urologi berbeda dengan laparoskopi pada umumnya dilihat dari
beberapa aspek. Banyak struktur dari sistem genitourinaria merupakan organ
ekstraperitoneal, dan urologis lebih memilih insuflasi ekstraperitoneal selama prosedur
18
dijalankan. Absorpsi CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneal dibandingkan dengan
intraperitoneal. Peningkatan absorpsi CO2 selama laparoskopi ekstraperitoneal
mengharuskan anestesiologis melakukan monitoring ketat dan meningkatkan ventilasi
untuk mempertahankan normokarbia.
Beberapa prosedur laparoskopi seperti kistektomi dan nefrektomi, cenderung memanjang.
Pemanjangan waktu insuflasi akan meningkatkan jumlah CO2 yang terabsorpsi. Oliguria
juga ditemukan pada durasi yang memanjang dari pneumoperitonium selama operasi
nefrektomi laparoskopi. Peningkatan tekanan intraabdomen yang lama menyebabkan
penurunan pada output urin meskipun volume darah sirkulasi dan cardiac output adekuat.
F. Pembedahan Radikal Kanker Urologi
Prosedur pembedahan terbuka pada urologi dilakukan untuk penatalaksanaan kanker
prostat, kanker buli, atau renal. Prosedur ini sering memanjang dan membutuhkan posisi
khusus yang akan mempengaruhi efek dari fungsi kardiorespirasi. Pembedahan radikal
kanker juga berpotensi menyebabkan perdarahan sehingga membutuhkan penggantian
cairan dan darah intraoperatif yang besar.
Prostatektomi radikal biasa digunakan sebagai prosedur kuratif untuk kanker prostat.
Prostatektomi radikal dapat dilakukan dengan pendekatan retropubik atau perineal.
Prostatektomi retropubik radikal dilakukan dengan posisi pasien supine. Meja operasi
diposisikan sedemikian rupa sehingga abdomen sedikit hiperekstensi. Kemudian meja
diposisikan pada posisi Trendelenburg sampai kedua kaki pasien paralel terhadap lantai.
Anestesi regional dengan sedasi maupun anestesi umum dapat dilakukan pada prosedur
ini. Jika teknik anestesi regional yang digunakan, blokade segmen T6-8 cukup adekuat.
Prostatektomi perineal radikal, pasien ditempatkan pada posisi litotomi exaggerated
dengan fleksi ringan dari badan dan Trendelenburg. Karena alasan posisi, kebanyakan
anestesiologis lebih memilih anestesi umum atau dengan kombinasi anestesi umum –
epidural untuk prosedur prostatektomi perineal radikal. Masalah yang terjadi selama
prosedur prostatektomi radikal adalah perdarahan. Kehilangan darah masif dapat terjadi
jika cabang dari vena hipogastrica terkena saat limfadenektomi pelvis atau selama
transeksi kompleks vena dorsalis.
19
G. Sistektomi Radikal
Standar penatalaksanaan untuk kanker buli dengan invasif intramuskuler adalah
sistektomi radikal. Pada laki – laki, pembedahan meliputi pengangkatan buli, glandula
prostat, vesica seminalis, dan urethra proksimal. Pada wanita, meliputi pengangkatan buli,
urethra dan dinding anterior vagina seperti prosedur histerektomi total dan bilateral
salphingo – ooforektomi.
Saat akhir prosedur, dilakukan diversi urin, kebanyakan sebagai ileal conduit atau colon
conduit. Posisi dan pengawasan pasien sama seperti pada prosedur prostatektomi radikal.
Diversi urin juga menyebabkan prosedur memanjang dan kebanyakan anestesiologis
mengharuskan menggunakan teknik anestesi umum atau kombinasi anestesi umum –
epidural.
H. Nefrektomi Radikal
Operasi merupakan satu – satunya metode yang efektif untuk penatalaksanaan kanker sel
renal, dengan nefrektomi radikal sebagai pilihan. Pendekatan pada renal dapat dilakukan
melalui insisi lumbal, transabdominal dan thoracoabdominal. Pada pendekatan lumbal,
pasien ditempatkan pada posisi lateral dekubitus fleksi dengan sisi operasi diatas. Anestesi
umum atau kombinasi anestesi umum – epidural dipilih untuk prosedur ini karena posisi
ini (kidney position) sangat tidak nyaman. Posisi ini menjadi predisposisi untuk kerusakan
saraf dan perubahan kardiopulmoner. Selama prosedur nefrektomi radikal, anestesiologis
harus mempersiapkan kehilangan darah dari pembuluh darah besar. Pasien harus
mendapat hidrasi adekuat untuk mengoptimalkan aliran darah ke renal dan untuk
mencegah hipotensi dari kompresi v. cava inferior selama kidney position. Emboli udara
mungkin terjadi selama prosedur nefrektomi jika medan operasi berada lebih tinggi dari
jantung.
I. Pembedahan Radikal untuk Kanker Testis
Semua massa intratestikuler dipertimbangkan kanker sampai terbukti sebaliknya, dan
radikal orkiektomi dilakukan untuk keduanya dan sebagai langkah awal untuk regimen
pengobatan. Anestesi regional maupun anestesi umum dapat digunakan untuk prosedur
ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
Barash, P. G., et al. 2006. Chapter 35 The Renal System and Anesthesia for Urologic Surgery. Clinical Anesthesiology 5th Edition. p : 1013 – 39. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia – USA.
Malhotra V., Diwan, S. 2005. Chapter 53 Anesthesia and the Renal and Genitourinary Systems. Miller’s Anesthesiology 6th edition. 2005. Elsevier Churchill Livingstone. Philadelphia – USA.
Morgan, G. E., et al. 2006. Chapter 31 Renal Physiology and Anesthesia. Clinical Anesthesiology 4th edition. p : 725 – 41. Lange Medical Books/ McGraw – Hill. New York – USA.
Morgan, G. E., et al. 2006. Chapter 32 Anesthesia for Patients with Renal Disease. Clinical Anesthesiology 4th edition. p : 742 – 56. Lange Medical Books/ McGraw – Hill. New York – USA.
Stoelting, R. K., Hillier, S. C. 2006. Chapter 54 Kidneys. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 4th edition. p : 817 – 30. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia – USA.
21