BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangSistem perbankan dalam ekonomi Islam didasarkan pada konsep pembagian baik
keuntungan maupun kerugian. Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin
mendapatkan hasil dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil resiko. Bank akan
membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari
modal mereka.
Ide pendirian Bank Syari’ah dinegara-negara Islam tidak terlepas dari kontroversi
seputar praktek bunga bank yang dilakukan pada bank-bank konvensional yang beredar
di negara-negara Islam sendiri. Pada abad ke 20 timbul kesadaran di kalangan umat
Islam untuk melepaskan diri dari imperialisme Barat, membawa dampak yang cukup
luas dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi.
Dalam dunia ekonomi, negara-negara Islam ingin melepaskan diri dari konsep
ekonomi yang berasal dari negara-negara Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam, antara lain adalah persoalan bunga bank. Oleh karena itu, dipandang perlu
adanya bank syari’ah yang bebas dari praktek bunga.
Ide pendirian bank syari’ah di Indonesia tidak terlepas dari adanya wacana yang
terus bergulir tentang pendirian bank-bank syari’ah di negara-negara Islam. Ide
pendirian perbankan syari’ah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai keputusan
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan maupun pandangan dari para intelektual Islam
di Indonesia.
Bank syai’ah sebagai suatu bentuk bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil
secara internal memiliki kekuatan dan kelemahan. Sedangkan dalam kancah bisnis
yang penuh persaingan, BPR Syari’ah menghadapi beberapa peluang dan tantangan.
Kekuatan dan peluang dapat dioptimalkan. Kelemahan dan ancaman dapat
diminimalkan jika dalam pengelolaan bank syari’ah dilakukan secara profesional dan
kredibel. Syarat ini diperlukan agar operasional bank syari’ah dapat efisien.
5
6
Efisiensi sebuah bank syari’ah akan turut dinikmati pula oleh nasabahnya, yang
notabene memang menuntut efisiensi. Pada gilirannya, efisiensi memungkinkan
lembaga keuangan yang bersangkutan untuk bertahan dan berkembang, sehingga
menambah kredibilitasnya lebih lanjut. Bank syari’ah yang tidak kredibel atau tidak
profesional niscaya tidak akan bisa langgeng, konon pula untuk berkembang.
1.2 Perumusan MasalahRumusan masalah yang menjadi bahasan dalam materi perkembangan perbankan
syari’ah di Indonesia ini antara lain yaitu :
1. Bagaimana sejarah perkembangan perbankan syari’ah di dunia ?
2. Bagaimana latar belakang berdirinya perbankan syari’ah di Indonesia ?
3. Berapa jumlah bank umum syari’ah yang beroperasi di Indonesia ?
4. Berapa jumlah unit usaha syari’ah yang beroperasi di Indonesia ?
1.3 Tujuan1. Untuk memenuhi salah satu tugas makalah aplikasi computer dalam bisnis.
2. Membuka wawasan kepada pembaca agar mengetahui sejarah perkembangan
perbankan syari’ah dan mampu memperluas wawasan.
1.4 Metodologi
Metode yang di gunakan dalam mendapatkan data dan informasi untuk penyusunan
makalah ini adalah metode kepustakaan. Selanjutnya penulis mencari literatur
mengenai Perkembangan Perbankan Syari’ah melalui buku-buku ataupun media
internet.
7
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA
2.1. Latar Belakang Bank Syari’ahBerkembangnya bank-bank syari’ah di negara-negara Islam berpengaruh ke
Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar
ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien azis, dan
lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di
antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, yang sempat tumbuh
mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni
Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20
Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah
Nasional I MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990.
Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank
Islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan
pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait untuk menggali ide dan
dukungan guna berdirinya perbankan yang bercirikan Islam. Bank Muamalat Indonesia
lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut. Akte pendirian PT Bank
Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat
8
penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak
Rp 84 miliar.
Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor,
dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp
106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank
Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat
Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini belum
mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan
hukum operasi bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai
“bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian ladasan hukum syari’ah serta
jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No.7
Tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya
sepintas dan merupakan “sisipan” belaka.
Gambar 2.1. Bank Muamalat Syariah
Perkembangan industri keuangan secara informal telah dimulai sebelum
dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional Perbankan
Syari’ah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha
pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan
operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya
institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan
syari’ah.
9
Untuk menjawab kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya sistem perbankan yang
sesuai syari’ah, pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-
undang yang baru. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah
membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil
yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang
Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan tersebut telah
dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya Bank Syari’ah di Indonesia yang
menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (Dual Banking System) di Indonesia.
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syari’ah
dan 78 bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun
1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi
keberadaan sistem Perbankan Syari’ah. Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia
untuk dapat pula menjalakan tugasnya berdasarkan prinsip syari’ah. Industri Perbankan
Syari’ah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat perundang-undangan tersebut
diberlakukan.
2.2. Perkembangan Perbankan Syari’ahSejarah perkembangan perbankan syari’ah dunia periode antara tahun 1940 sampai
periode tahun 1980 menurut Duddy Roesmara Donna (2007:3-4) disajikan sebagai
berikut :
Tahun Keterangan
1940 Rintisan Bank Syari’ah di Malaysia, untuk mengelola dana
jamaah haji secara non-konvensional.
1963 Berdirinya Mit Ghamr Real Bank, di Mesir, oleh Dr.
10
Ahmad Najar.
1967 Mit Ghamr ditutup arena alasan politis dan diambil alih
oleh National Bank of Egypt.
1969 Muncul gagasan kolektif pembentukan Bank Syari’ah pada
Konferensi Negara-negara Islam se-dunia di Malaysia.
1970 Delegasi Mesir mengajukan proposal pendirian Bank
Syari’ah pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara
OKI di Karachi.
1972 Berdiri kembali sistem bank tanpa bunga yang bersifat
sosial di Mesir, yaitu Nasser Social Bank.
Maret 1972 Usulan/proposal Delegasi Mesir diagendakan kembali dan
memutuskan membentuk komisi khusus menangani
masalah ekonomi dan keuangan.
Juli 1973 Para ahli yang mewakili Negara Islam penghasil minyak
membicarakan Pendirian Bank Syari’ah dan terumuskanlah
Anggaran Dasar dan Anggaaran Rumah Tangga.
Mei 1974 Pembahasan AD/ART yang telah dirumuskan.
1974 Berdiri Islamic Development Bank dengan modal awal 2
miliar Dinar atau sama dengan 2 miliar SDR (Special
Drawing Rights) IMF.
Awal 1980-an Bermunculan Lembaga Keuangan Syari’ah di Mesir,
Sudan, negara-negara di wilayah Teluk, Malaysia, Pakistan,
Inggris, Denmark, Bahmas, Swiss dan Luxembourg.
Tabel.2.1. Perkembangan perbankan syari’ah dunia periode antara tahun 1940
sampai periode tahun 1980
11
Terkait dengan perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia periode tahun 1970
sampai dengan tahun 2003, menurut Duddy Roesmara Donna (2007:3-4) dapat dirunut
melalui kronologis sebagai berikut :
Tahun Keterangan
1970-an Muncul gagasan pendirian Bank Syari’ah
1988 Muncul lagi gagasan Bank Syari’ah karena pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi
liberalisasi industri perbankan. Namun, gagasan tersebut
deadlock karena tidak ada perangkat hukum yang dapat
menjadi rujukan.
19-22 Agustus
1990
Lokakarya Ulama tentang bunga bank dan perbankan di
Cisarua Bogor.
22-25 Agustus
1990
Pembahasan hasil lokakarya pada Munas IV MUI di Jakarta
dan terbentuklah Kelompok Kerja Pembentukan Bank
Syari’ah.
1 November
1991
Penandatanganan Akte Pendirian Bank Muamalah
Indonesia dan terkumpulah komitmen pembelian saham
sebanyak 84 miliar.
3 November
1991
Silaturrahim dengan presiden di Istana Bogor dan
Terpenuhilah komitmen modal disetor awal sebesar
Rp.106.126.382.000.
1 Mei 1992 Operasional awal Bank Muamalat Indonesia (BMI).
1992 Pengakomodasian perbankan dengan prinsip bagi hasil pada
Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan.
1992 Pengenalan dual banking system.
12
30 Oktober
1992
Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 1992 tentang bank
berdasarkan prinsip bagi hasil.
1-29 Februari
1993
PP tersebut dijabarkan secara terperinci dengan keluarnya
Surat Edaran BI No.25/4/BPPP.
1994 BMI men-sponsori berdiriya Asurasi Syari’ah, Syarikat
Tafakul Indonesia dan menjadi salah satu pemegang
sahamnya.
1997 BMI men-sponsori lokakarya Ulama tentang Reksadana
Syari’ah yang diikuti operasionalnya dengan dikelola oleh
PT. Danareksa Investment Management.
1998 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan,
merubah Undang-undang No.7 Tahun 1992 yang
mengakomodasi perkembangan perbankan secara lebih
luas.
1999 Kebijakan moneter berdasarkan prinsip syari’ah.
2000 Keluarnya regulasi operasional dan kelembagaan.
2001 Pendirian Biro Perbankan Syari’ah Bank Indonesia.
September
2003
Perubahan Biro Perbankan Syari’ah menjadi Direktorat
Perbankan Syari’ah BI.
Tabel 2.1.1. Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia periode tahun
1970 sampai dengan tahun 2003
Statistik Perbankan Syari’ah yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa
sampai dengan bulan November tahun 2007, jumlah bank syari’ah mencapai 143 bank.
Dari ke 143 bank tersebut, tiga diantaranya merupakan Bank Umum Syari’ah (BUS),
dan 26 bank diantaranya merupakan Unit Usaha Syari’ah (UUS), serta 114 sisanya
merupakan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Terkait dengan kondisi saat ini,
13
diperkirakan pertumbuhan bank umum syari’ah, unit usaha bisnis syari’ah (unit bisnis
bank konvensional), maupun bank perkreditan rakyat syari’ah, meningkat. Artinya
jumlah bank syari’ah naik dari tahun ke tahun.
2.3. Perkembangan Bank Umum Syari’ahBank umum syariah (BUS) adalah bank yang secara penuh bertransaksi secara
syariah dan bukan merupakan unit usaha. Bank umum pertama yang menggunakan
sistem syariah di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai
beroperasi pada tahun 1992. Perkembangan bisnis bank syariah berlangsung lambat,
sampai dengan lima tahun kedepan belum ada pertambahan bank baru. BMI masih
menjadi satu-satunya bank syariah.
Baru pada Tahun 1998 pasar bank syariah mulai diramaikan dengan hadirnya PT.
Bank Syariah Mandiri (BSM) anak perusahaan Bank Mandiri, bank BUMN terbesar di
Indonesia. Selanjutnya menyusul kemunculan PT. Bank Mega Syariah pada tahun
2001. Memasuki tahun 2009 ini ada dua bank baru memasuki pasar perbankan syariah
yaitu PT. Bank Bukopin Syariah dan PT. BRI Syariah.
Saat ini, jumlah BUS yang beroperasi menjadi 5 bank yaitu Bank Muamalat
Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Bukopin Syariah dan Bank
BRI Syariah. Bank umum syariah (BUS) menerapkan sistem independent pada sistem
perbankan syariahnya.
Bank syari’ah yang dikategorikan Bank Umum Syari’ah adalah :
1. Bank Muamalat Indonesia
2. Bank Syari’ah Mandiri
3. Bank Syari’ah Mega Indonesia
Adapun bank syari’ah yang dikategorikan sebagai unit usaha syari’ah dari
bank konvensional adalah :
1. Bank IFI Syari’ah
14
2. Bank Danamon Syari’ah
3. BRI Syari’ah
4. Bank Niaga Syari’ah
5. Bank Permata Syari’ah
6. BNI Syari’ah
7. BII Syari’ah
8. Bank Riau Syari’ah
9. Bank Jabar Syari’ah
10. BPD Sumut Syari’ah
11. BPD DKI Syari’ah
12. BPD Lombak NTB
13. BPD Aceh Syari’ah
14. BPD Kalsel Syari’ah
15. HSBC Syari’ah
16. BTN Syari’ah (Buku Laporan Perbankan Syari’ah, 2004).
Di bawah ini tabel perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia :
Tabel.2.3 Jaringan Kantor Perbankan Syari’ah di Indonesia (Tahun
2000-2004)
Kelompok Bank 2000 2001 2002 2003 2004
BUS 2 2 2 2 3
UUS 3 3 6 8 15
Jumlah Kantor 62 96 127 253 355
BPRS 78 81 83 84 88
Total 140 177 210 337 443
Sumber : BI, Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah Tahun 2004, , Januari
2005.
15
Catatan : Pada bulan Februari 2005, jumlah UUS bertambah 1 lagi, yakni BTN
Syari’ah, sehingga Jumlahnya menjadi 16. Jadi, total bank syari’ah di
Indonesia mencapai 19 buah.
Keterangan :
BUS : Bank Umum Syari’ah
UUS : Unit Usaha Syari’ah
BPRS : Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah
Perkembangan perbankan syari’ah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber
daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun,
realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama
ini terlibat di institusi syari’ah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis
dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi
produktivitas dan profesionalisme perbankan syari’ah itu sendiri. Inilah yang memang
harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang
mampu mengamalkan ekonomi syari’ah di semua lini karena sistem yang baik tidak
mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.
2.4. Perkembangan Bank Syari’ah di IndonesiaPerkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur
keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama
dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini
ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada
tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang
dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan
system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada
penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya
16
tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan
memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang
terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan
tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun
2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk
menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu
tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya.
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka
dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap
kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan
perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara
lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor
perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi
hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi
masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi
yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam
berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan.
Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam
dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif
sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat
Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai
produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor
17
keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor
tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping
akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi
transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
2.4.1. Perkembangan Keuangan Syari’ahSebagai pengawas industri keuangan, Otoritas Jasa Keuangan akan terus mencermati
perubahan-perubahan lingkungan dan situasi perekonomian yang dapat berpengaruh
terhadap kondisi industri dan sistem keuangan nasional, termasuk terhadap perbankan
dan keuangan syariah. Selama 2013, meski diwarnai perlambatan pertumbuhan
ekonomi dan pelemahan kinerja pasar keuangan serta proses transisi pengalihan
pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK, secara umum perkembangan
keuangan syariah maupun pengaturan serta pengawasan industri keuangan syariah
termasuk perbankan syariah tetap berjalan dengan baik.
1.1.1. Gambar 2.4.1. Perkembangan Keuangan Syari’ah
Sepanjang 2013 ketahanan sistem keuangan, khususnya perbankan relatif terjaga
meskipun kinerjanya sedikit menurun seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Ekspansi kredit perbankan nasional mencapai 21,4% (yoy) atau sedikit melambat dari
18
tahun 2012 sebesar 23,1% (yoy), antara lain karena dampak kenaikan inflasi dan
penerapan kebijakan Loan To value (LTV) pada kredit konsumsi. Meski demikian,
kinerja intermediasi masih positif tercermin dari peningkatan kontribusi kredit ke sektor
produktif, sedangkan pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan tercatat menurun dari
15,8% (yoy) pada 2012 menjadi 13,6% (yoy) di 2013.
Sejalan kondisi industri perbankan nasional, perlambatan pertumbuhan ekonomi
juga mempengaruhi laju pertumbuhan perbankan syariah. Meskipun mengalami
perlambatan, laju pertumbuhan aset perbankan syariah tersebut tetap lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan aset perbankan secara nasional, sehingga pangsa perbankan
syariah secara keseluruhan dengan memasukkan BPRS terhadap industri perbankan
nasional meningkat dari 4,61% menjadi 4,93%.
Pasar modal syariah juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, selain
terdapat peningkatan market share pasar modal syariah yang tercermin antara lain dari
jumlah saham syariah pada 2013 yang meningkat sebesar 2,79% dibanding jumlah
saham syariah tahun sebelumnya, juga terdapat peningkatan jumlah saham yang masuk
dalam Daftar Efek Syariah (DES) dibanding periode sebelumnya. Peningkatan juga
terjadi pada akhir 2013 atas nilai kapitalisasi pasar Indeks Saham Syariah Indonesia
(ISSI) dan mengalami peningkatan sebesar 4,35% jika dibandingkan kapitalisasi pasar
saham ISSI pada akhir Desember 2012.
Industri keuangan Non Bank (IKNB) Syariah yang diawasi oleh OJK meliputi
Perusahaan Perasuransian Syariah, Dana Pensiun Syariah, Lembaga Pembiayaan
Syariah dan Lembaga Jasa Keuangan Syariah Lainnya. Untuk sektor dana pensiun,
secara legalitas kelembagaan saat ini belum terdapat entitas dana pensiun syariah.
Namun demikian, OJK saat ini sedang mempersiapkan konsep pengaturan dan
pengembangan dana pensiun syariah.
Lebih jauh, selain terus melakukan upaya sosialisasi dan edukasi masyarakat
bersama lembaga terkait dan publik, kerjasama domestik dan internasional juga terus
berjalan. Aktivitas pengembangan industri keuangan syariah dilakukan bersama-sama
dengan lembaga khusus terkait keuangan dan perbankan syariah seperti DSN, asosiasi
industri, asosiasi profesi dan lembaga terkait lainnya.
19
Berkenaan dengan prospek keuangan syariah ke depan, diharapkan kondisi
perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian tidak begitu banyak
berpengaruh terhadap kondisi keuangan syariah domestik. Perbankan dan keuangan
syariah Indonesia diyakini masih bertumbuh dan prospektif, tercermin dari
pengembangan pasar yang masih besar di dalam negeri. Selain itu, optimisme dunia
internasional terhadap keuangan syariah Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini tampak
dari penilaian Ernst & Young dalam World Islamic Banking.
Competitives Report 2013-2014 maupun UKs Global Islamic Finance Report 2013
bahwa keuangan syariah Indonesia adalah termasuk kedalam rapid growth market dan
dynamic market, serta telah menjadi reference pengembangan keuangan syariah
maupun berpotensi sebagai salah satu pendorong keuangan syariah dunia.
1.1.2. Langkah Strategis Pengembangan Perbankan SyariahLangkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit
Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah.
Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang
perbankan No. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU No.7 tahun 1992 tersebut
mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan
dan diimplementasikan oleh bank syariah.
BAB III
PENUTUP
20
3.1. SIMPULAN
Setelah kita menelusuri secara singkat perkembangan perbankan syari’ah yang
dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun
kosa kata fiqih islam tidak mengenal kata “bank”, tetapi sesungguhnya bukti-bukti
perkembangan perbankan syari’ah telah dipraktikkan umat muslim, bahkan sejak zaman
Nabi Muhammad Saw.
3.2. SARANPraktik-praktik fungsi perbankan syari’ah ini tentunya berkembang secara
berangsur-angsur dan mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu,
seiring dengan naik-turunnya peradaban umat Muslim. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing bagi umat Muslim,
sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan
syari’ah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya ALLAH
akan menjadi lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Alma Buchari., Juni Priansa Donni, Manajemen Bisnis Syari’ah. Bandung :
Alfabeta (Bandung : 2009)
Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman.
Yogyakarta : Ekonisia (Yogyakarta : 2006)
Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik .Jakarta : Gema
Insani (Jakarta : 2001)
Yunaldi Wendra, Potret Perbankan Syari’ah Di Indonesia. Jakarta : Centralis
(Jakarta : 2007)
Warman A. Karim Adi, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada (Jakarta : 2004)
21