i
VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) VITRIFIKASI
SETELAH KULTUR IN VITRO DALAM INKUBATOR CO2 PORTABLE
RIKI PRIMA SANTOSA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Viabilitas Embrio
Mencit (Mus musculus albinus) Vitrifikasi setelah Kultur In Vitro dalam
Inkubator CO2 Portable adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Riki Prima Santosa
NIM B04120029
v
ABSTRAK
RIKI PRIMA SANTOSA. Viabilitas Embrio Mencit (Mus musculus
albinus) Vitrifikasi setelah Kultur In Vitro dalam Inkubator CO2 Portable.
Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan KUSDIANTORO MOHAMAD.
Inkubator CO2 portable dapat digunakan untuk kultur embrio selama
proses transportasi. Vitrifikasi merupakan salah satu metode kriopreservasi untuk
penyimpanan embrio dalam waktu yang lama. Penelitian bertujuan untuk
mengevaluasi tingkat perkembangan dan viabilitas embrio vitrifikasi setelah
kultur in vitro dalam inkubator CO2 portable. Embrio dikoleksi dari mencit pada
hari ke-3 pasca fertilisasi yang telah disuperovulasi menggunakan PMSG dan
hCG. Embrio dibagi ke dalam kelompok vitrifikasi dan tanpa vitrifikasi (sebagai
kontrol). Vitrifikasi dilakukan menggunakan krioprotektan etilen glikol 15% +
DMSO 15%, dihangatkan (warming) secara bertahap dalam sukrosa 0.5, 0.25 dan
0.1 M, serta dikultur in vitro selama 48 jam. Evaluasi berupa tingkat
perkembangan embrio dan viabilitas dengan pewarnaan vital Hoechst–propidium
iodide. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa embrio pasca vitrifikasi tidak
memperlihatkan penurunan kualitas secara morfologi. Tingkat perkembangan
embrio tidak menunjukkan perbedaan antara embrio vitrifikasi dan kontrol
(P>0.05). Embrio yang divitrifikasi mampu mencapai tahap hatching dan hatched.
Total sel dan persentase sel hidup pada embrio vitrifikasi tidak berbeda dengan
embrio kontrol, yaitu berturut-turut 112.6±27.7 dan 95.8±3.3% untuk embrio
vitrifikasi serta 100.8±17.2 dan 97.3±3.2% untuk kontrol (P>0.05). Dapat
disimpulkan bahwa embrio mencit setelah vitrifikasi memiliki tingkat
perkembangan dan viabilitas yang baik setelah dikultur in vitro dalam inkubator
CO2 portable.
Kata kunci: embrio mencit, inkubator CO2 portable, viabilitas, vitrifikasi
ABSTRACT
RIKI PRIMA SANTOSA. Viability of Vitrified Mouse (Mus musculus
albinus) Embryos after In Vitro Culture in Portable CO2 Incubator. Supervised by
ARIEF BOEDIONO and KUSDIANTORO MOHAMAD.
Portable CO2 incubator can be used for embryo culture during transportation.
Vitrification is one of cryopreservation methods for long term embryo storage.
The aim of study was to examine the development and viability of vitrified
embryos after in vitro culture in portable CO2 incubator. Embryos were collected
on day 3 post fertilization from mice that superovulated with PMSG and hCG.
The embryos were divided into vitrified and not vitrified (as control) groups.
Vitrification were done using 15% ethylene glycol + 15% DMSO and warmed
using step wise method in 0.5, 0.25, 0.1 M sucrose then cultured for 48 hours in
vitro. Evaluation were the development rate of embryos and their viability with
Hoechst–propidium iodide stainning. There were no morphologically abnormality
in post warming on vitrified embryos. The development rate were no difference
(P>0.05) between vitrified and control groups, and embryos had developed to
hatching and hatched development stage. The total number of cells and percentage
of life cells were no difference between vitrified and control groups, i.e.
112.6±27.7, 95.8±3.3% and 100.8±17.2, 97.3±3.2% for vitrified and control
groups, respectively. It was concluded that vitrified mouse embryo have a good
development and viability after in vitro culture in portable CO2 incubator.
Keywords: mouse embryos, portable CO2 incubator, viability, vitrification
vii
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) VITRIFIKASI
SETELAH KULTUR IN VITRO DALAM INKUBATOR CO2 PORTABLE
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
RIKI PRIMA SANTOSA
ix
Judul Skripsi : Viabilitas Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Vitrifikasi
setelah Kultur In Vitro dalam Inkubator CO2 Portable.
Nama : Riki Prima Santosa
NIM : B04120029
Disetujui oleh
Prof Drh Arief Boediono, PhD, PAVet (K) Drh Kusdiantoro Mohamad, MSi, PAVet
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FKH
Tanggal Lulus:
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang
telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Viabilitas Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Vitrifikasi
setelah Kultur In Vitro dalam Inkubator CO2 Portable”. Skripsi ini diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari
sampai Mei 2016 di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi
dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Drh Arief Boediono, PhD,
PAVet (K) selaku pembimbing pertama dan Drh Kusdiantoro Mohamad, MSi,
PAVet selaku pembimbing kedua, atas bimbingan dan arahan yang diberikan
selama proses penyelesaian tugas akhir. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Wahyu yang telah membantu penulis selama pelaksanaan
penelitian di Laboratorium Embriologi. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada Yusa, Septi, Alissa, Senna, Herman, Syam, dan Reza sebagai rekan
penelitian dan keluarga besar Astrocyte 49. Penulis mengucapkan terima kasih
yang tak berhingga kepada orang tua tercinta ayah Slamet Widyatmo dan ibu
Julaeha, juga kakak dan adik tercinta Bara, Raka dan Gugun yang senantiasa
memberikan motivasi dan doa. Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberi
manfaat dan menambah wawasan bagi banyak pihak. Adanya kritik dan saran
diharapkan dapat membantu penyempurnaan karya tulis ini.
Bogor, Agustus 2016
Riki Prima Santosa
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiii
ABSTRAK iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Fertilisasi In Vivo dan Produksi Embrio In Vitro 2
Kriopreservasi Embrio dengan Metode Vitrifikasi 2
Inkubator Portable 3
METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Metode Penelitian 4
Rancangan Percobaan 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Morfologi Embrio 6
Tingkat Perkembangan Embrio 7
Daya Hidup Embrio 9
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 11
RIWAYAT HIDUP 15
DAFTAR TABEL
1 Tingkat perkembangan embrio vitrifikasi dan kontrol yang dikultur
dalam inkubator CO2 portable 7 2 Rerata sel hidup, sel mati dan total sel embrio vitrifikasi dan kontrol yang
dikultur dalam inkubator CO2 portable 10
DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi embrio sebelum, sesaat dan satu jam setelah vitrifikasi 6 2 Persentase viabilitas embrio vitrifikasi dan kontrol yang dikultur dalam
inkubator CO2 portable 8 3 Tahapan perkembangan embrio vitrifikasi dan kontrol pada kulur in vitro 9 4 Pewarnaan embrio menggunakan Hoecsht-propidium iodide setelah 48
jam kultur in vitro dalam inkubator CO2 portable 11
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teknologi fertilisasi in vitro (IVF) sudah ada sejak 1890 saat Walter
Heape pertama kali berhasil melakukan transfer embrio pada kelinci (Mapletoft
dan Hasler 2005). Keberhasilan tersebut disusul dengan kelahiran manusia
pertama melalui IVF yaitu Louis Brown pada 1978 (Kovacs et al. 2003).
Teknologi IVF memungkinkan untuk memproduksi embrio baik secara in vivo
maupun in vitro yang siap untuk ditransfer sehingga memunculkan harapan baru
sebagai solusi berbagai persoalan reproduksi seperti infertilitas dan konservasi
satwa terancam punah. Hewan bibit unggul jika hanya melahirkan sekali dalam
satu periode dapat dimaksimalkan produksi embrionya dengan cara ditransfer
kepada resipien sehingga anak yang dihasilkan dari induk kualitas unggul menjadi
lebih banyak.
Inkubator CO2 yang digunakan untuk kultur embrio merupakan inkubator
yang sudah dilengkapi dengan pengaturan otomatis terhadap suhu dan konsentrasi
CO2. Inkubator tersebut pada umumnya memiliki ukuran yang besar dan tidak
untuk dipindah-pindahkan. Saat ini telah banyak dikembangkan inkubator dengan
ukuran yang lebih kecil dan dapat dibawa dengan mudah. Salah satunya adalah
desain inkubator portable yang telah dikembangkan oleh Suzuki et al. (1999).
Teknologi kriopreservasi (pembekuan) embrio sudah berkembang sejak
lama. Salah satu metode kriopreservasi yaitu vitrifikasi menjadi teknik
penyimpanan yang ideal. Kriopreservasi sudah berkembang sejak tahun 1971
ketika Whittingham berhasil membekukan dan mencairkan embrio mencit
(Whittingham 1971). Sementara itu vitrifikasi merupakan metode pembekuan
dengan menghindari terjadinya pembentukan kristal es telah dikembangkan sejak
1985 (Rall dan Fahy 1985). Penyimpanan sel hidup terutama embrio
menggunakan metode vitrifikasi telah menunjukkan kemajuan yang pesat. Kultur
embrio segar pada inkubator CO2 portable telah dilakukan oleh Suzuki et al.
(1999) dan Kandil et al. (1999). Meskipun demikian kultur embrio vitrifikasi
dalam inkubator CO2 portable belum pernah dilakukan sehingga perlu dilakukan
penelitian mengenai kultur embrio pasca vitrifikasi dalam inkubator CO2
portable.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana mengetahui daya hidup
embrio mencit yang telah dibekukan dengan metode vitrifikasi dan dikultur in
vitro di dalam inkubator CO2 portable.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat
perkembangan dan viabilitas embrio mencit yang dikriopreservasi dengan metode
vitrifikasi dan dikultur in vitro dalam inkubator CO2 portable.
2
Manfaat
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah informasi mengenai daya
hidup embrio mencit yang telah dibekukan dengan metode vitrifikasi dan dikultur
in vitro dalam inkubator CO2 portable yang ekonomis serta ramah lingkungan.
Inkubator ini selanjutnya dapat digunakan untuk membantu laboratorium yang
membutuhkan, serta dapat digunakan untuk tujuan konservasi pada kawasan-
kawasan terpencil dan mudah dibawa.
TINJAUAN PUSTAKA
Fertilisasi In Vivo dan Produksi Embrio In Vitro
Produksi embrio secara in vivo sudah banyak dilaporkan, akan tetapi
aplikasi teknoligi ini masih sangat terbatas karena harga hormon cukup mahal
serta respon setiap individu donor yang berbeda terhadap hormon. Menurut
Jodiansyah et al. (2013) stimulasi superovulasi melalui sinkronisasi dapat
meningkatkan respon pasien, respon perolehan embrio dan efektifitas manajemen
yang lebih baik dibandingkan dengan superovulasi biasa.
Embrio dapat tumbuh dalam media kultur dengan pH antara 7.2-7.4
dengan kisaran optimal 7.1-7.2 (Edwards et al. 1998). Untuk mencapai pH media
pada kisaran 7.2-7.4 diperlukan konsentrasi CO2 sebesar 5% (Swain 2012).
Menurut Geshi et al. (1999), konsentrasi CO2 5% di udara dalam inkubator
merupakan kondisi in vitro yang ideal agar natrium bikarbonat dapat bekerja
sebagai buffer dalam media kultur. Dalam inkubator CO2 portable dengan luas
600 mL, suhu 37-38 °C, tekanan 1 psi dapat diperoleh konsentrasi CO2 antara 5-6
% dengan menggunakan serbuk effervescent yang berisi 0.2 mg natrium
bikarbonat dan 0.46 mg asam sitrat dalam 5 mL aquades (Mirsageri 2013).
Kriopreservasi Embrio dengan Metode Vitrifikasi
Teknik kriopreservasi adalah suatu teknik penyimpanan sel hewan,
tumbuhan maupun bahan biologis yang lain dalam keadaan beku melalui reduksi
aktivitas metabolisme tanpa memengaruhi organel-organel di dalam sel sehingga
fungsi biologis, dan morfologis tetap ada. Teknik kriopreservasi merupakan
teknik penyimpanan yang dilakukan pada suhu yang sangat rendah (-196 °C)
dalam nitrogen cair (Boediono 2003). Teknologi kriopreservasi memungkinkan
spermatozoa (semen), oosit, serta embrio dapat ditransportasikan pada jarak yang
jauh. Kriopreservasi dapat menyimpan embrio dalam waktu yang lama sehingga
dapat digunakan sewaktu-waktu. Metode kriopreservasi terdapat dua macam,
yaitu metode konvensional dengan pembekuan lambat dan vitrifikasi. Terdapat
beberapa kelebihan dan kekurangan pada masing-masing metode. Saat ini metode
vitrifikasi lebih banyak diaplikasikan untuk oosit dan embrio (Wahjuningsih et al.
2010). Vitrifikasi lebih banyak digunakan sebab memiliki viabilitas yang lebih
tinggi. Selain itu vitrifikasi lebih mudah diaplikasikan. Pembekuan secara lambat
3
dapat memperlama paparan terhadap suhu dingin. Beberapa mamalia memiliki
oosit dan embrio yang lebih sensitif terhadap suhu dingin (Seki et al. 2014).
Etilen glikol banyak digunakan sebagai krioprotektan pada beberapa
spesies mamalia karena memiliki toksisitas yang rendah. Beberapa krioprotektan
lain telah digunakan dalam kriopreservasi embrio dan berhasil menghasilkan anak
(Han et al. 2003). Dimetil sulfoksida (DMSO) sering digunakan pada metode
pembekuan lambat (Balaban et al. 2008) maupun vitrifikasi (Liebermann dan
Tucker 2002). Krioprotektan yang lain adalah gliserol (Rall et al. 2000), propilen
glikol (Dochi et al. 1998), propanediol, formamide dan eritritol (Sztein et al.
2001). Mekanisme utama kerusakan sel pada embrio yang divitrifikasi antara lain
sebagai akibat dari toksisitas krioprotektan, pembentukan es intraselular, dan stres
osmotik selama penghilangan cairan krioprotektan (Han et al. 2003). Proses
vitrifikasi dan penghangatan menyebabkan mulai dari kerusakan organel hingga
kematian sel. Proses dehidrasi dan rehidrasi secara cepat akan menyebabkan
keseimbangan cairan terganggu. Krioprotektan pada konsentrasi tertentu akan
bersifat toksik bagi sel sehingga dapat menurunkan daya hidupnya. Proses
kriopreservasi memiliki viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan proses
pembekuan lambat (Han et al. 2003). Perlu diteliti lebih jauh mengenai jumlah sel
yang hidup dan sel yang mati selama dan sesudah proses vitrifikasi.
Inkubator Portable
Desain inkubator CO2 portable yang digunakan dalam penelitian ini
mengambil contoh dari Suzuki et al. (1999) dengan beberapa modifikasi untuk
mengultur embrio sapi. Modifikasinya antara lain berupa inkubator portable yang
menggunakan listrik sebagai pemanas. Inkubasi embrio dilakukan dalam kotak
plastik berukuran 0.6 L (15 x 10 x 4 cm). CO2 yang diperlukan diperoleh dari
penambahan granul berisi 420 mg asam tartarat, 460 mg natrium bikarbonat, dan
10 mg fiber silikon per granul. Desain tersebut juga digunakan oleh Kandil et al.
(1999) untuk kultur embrio kerbau, Dong et al. (2001), Khan et al. (1993) untuk
kultur embrio sapi, dan Iwayama et al. (2005) untuk pematangan oosit paus biru.
Sebuah penelitian dari Mirsageri (2013) menggunakan inkubator termodifikasi
untuk kultur embrio mencit dengan berbagai konsentrasi bahan pembentuk CO2.
Penggunaan inkubator portable untuk mentransportasikan embrio yang telah
divitrifikasi pada jarak yang jauh sudah banyak dilakukan dengan tingkat
keberhasilan yang bervariasi (Inoe et al. 2014).
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari sampai dengan Mei 2016.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi
Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
4
Metode Penelitian
Superovulasi mencit
Mencit (Mus musculus albinus) betina sebanyak dan jantan (strain DDY)
berumur 8-10 minggu yang berasal dari koloni bebas penyakit digunakan dalam
penelitian ini. Superovulasi dilakukan dengan penyuntikan hormon pregnant
mare’s serum gonadotropine (PMSG) (Folligon®, Intervet, Belanda) 5 IU per ekor
secara intraperitoneum pada pukul 16.00 WIB. Setelah 48 jam penyuntikan
PMSG, dilanjutkan dengan penyuntikan hormon human chorionic gonadotropine
(hCG) (Chorulon®, Intervet, Belanda) 5 IU per ekor secara intraperitoneal untuk
menggertak ovulasi. Setelah penyuntikan hCG, setiap mencit betina tersebut
dikawinkan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1 : 1 (single mating).
Pemeriksaan sumbat vagina (vaginal/copulation plug) dilakukan pada pagi hari
berikutnya untuk memastikan mencit tersebut telah kawin. Hari di mana sumbat
vagina terlihat dihitung sebagai hari pertama (H-1) kebuntingan.
Koleksi Embrio
Mencit betina yang memperlihatkan sumbat vagina dipisahkan dari mencit
jantan ke dalam kandang individu. Koleksi embrio dilakukan hari ketiga atau 65-
67 jam setelah penyuntikan hormon hCG. Mencit betina bunting dikorbankan
dengan cara dislocatio cervicalis. Bagian oviduk atau tuba Falopii diisolasi dan
ditempatkan pada medium koleksi (G-MOPS™, Vitrolife Sweden AB, Swedia)
yang telah ditambahkan fetal bovine serum (FBS) 5%. Embrio dikoleksi dengan
cara membilas (flushing) bagian oviduk menggunakan jarum berukuran 30G dan
diamati di bawah mikroskop stereo. Selanjutnya, embrio hasil koleksi dievaluasi
dan dihitung jumlahnya. Hari ketiga diperoleh embrio tahap 4 atau 8 sel,
dikumpulkan dan dibilas 2-3 kali di dalam medium kultur (BlastAsstTM, ORIGIO
Malov, Denmark).
Kriopreservasi Embrio dengan Metode Vitrifikasi Embrio
Metode vitrifikasi dalam penelitian ini mengacu pada Mohamad et al.
(2005) dengan beberapa modifikasi. Embrio yang dikoleksi pada hari ketiga
selanjutnya dibekukan dengan metode vitrifikasi. Embrio terlebih dahulu
diekuilibrasi dalam larutan PBS + etilen glikol 10% selama maksimal 10 menit
pada suhu kamar. Kemudian embrio dipaparkan ke dalam medium vitrifikasi yang
berisi etilen glikol 15 % + DMSO 15 % + sukrosa 0.5 M + PBS selama kurang
dari 1 menit pada suhu kamar, embrio ditempatkan pada ujung straw (0.25 mL).
Embrio selanjutnya langsung dimasukkan ke dalam nitrogen cair dengan suhu -
196 °C.
Penghangatan (warming) embrio dilakukan dengan metode bertahap (step
wise), embrio dikeluarkan dari nitrogen cair kemudian langsung direndam ke
dalam larutan PBS + sukrosa 0.5 M (maksimal 1.5 menit). Embrio selanjutnya
dipaparkan secara berturut-turut dalam larutan PBS + sukrosa 0.25 M (2.5menit),
PBS + sukrosa 0.1 M (2.5 menit). Selanjutnya embrio dicuci dalam medium
kultur dan dikultur in vitro.
5
Kultur dalam Inkubator CO2 Portable
Pada eksperimen ini, digunakan inkubator portable yang dilengkapi
dengan thermostat dan termometer secara digital yang bekerja secara otomatis
menjaga kondisi ruangan inkubator tersebut berada pada suhu 37.0 °C. Kultur in
vitro embrio dilakukan dalam bentuk kotak plastik (15 cm x 10 cm x 4 cm = 0.6 L
volume). Selanjutnya kotak plastik tersebut dimasukkan ke dalam inkubator
portable kotak pemanas yang telah diatur suhunya pada 37 °C. Gas CO2
diproduksi melalui serbuk effervescent (natrium bikarbonat 0.2 mg dan asam sitrat
0.46 mg yang dikemas ke dalam kapsul) yang kemudian ditambahkan aquades 5
mL. Sehingga dicapai konsentrasi CO2 di dalam inkubator berkisar antara 5-6 %.
Serbuk effervescent selalu diganti pada setiap dilakukan pengamatan embrio.
Tingkat Perkembangan Embrio pada Kondisi Inkubator CO2 Portable
Kondisi inkubator CO2 portable dievaluasi dengan mengamati tingkat
perkembangan embrio mencit pada kultur in vitro. Embrio yang dikoleksi pada
hari ketiga dikultur secara in vitro dalam medium kultur BlastAsstTM (ORIGIO
Malov, Denmark) dalam inkubator CO2 portable sampai tahap perkembangan
blastosis. Sebanyak 10 embrio ditempatkan pada polysterene dish 35 mm
(Nunclon™, Roskilde, Denmark) yang berisi medium kultur sebanyak 10 μl dan
ditutupi dengan mineral oil (Sigma, St Louis, USA) untuk mencegah penguapan
medium dan kontaminasi selama kultur. Embrio dikultur dalam inkubator CO2
portable dengan konsentrasi CO2 5-6 %. Pada kondisi kultur in vitro, embrio akan
berkembang mencapai tahap morula setelah 24 jam inkubasi dan mencapai tahap
blastosis setelah diinkubasi selama 48 jam.
Pengamatan setiap tahap perkembangan embrio dilakukan melalui
identifikasi morfologi. Tahap morula kompak diidentifikasi dengan tidak
terlihatnya batas antar sel blastomer. Perkembangan tahap blastosis ditandai
dengan terbentuknya rongga blastosul dan ukuran embrio masih normal. Blastosis
ekspan memperlihatkan adanya ruang blastosul yang semakin besar sehingga
ukuran embrio juga lebih besar dari normal. Blastosis hatching yaitu lanjutan dari
blastosis ekspan di mana sebagian embrio telah keluar dari zona pelusida
(menetas), sedangkan blastosis hatched tercapai apabila semua bagian embrio
telah keluar dari zona pelusida (Hyttel et al. 2010).
Viabilitas Embrio
Embrio mencit yang sudah dikultur selama 48 jam dalam inkubator CO2
portable diwarnai dengan pewarna diferensial Hoechst–propidium iodide. Embrio
tahap blastosis dipindahkan ke dalam drop 20 µL berisi 10 µg/mL pewarna
Hoechst dan 10 µg/mL pewarna propidium iodide, dan diinkubasi dalam
inkubator selama 20 menit. Embrio kemudian dipindahkan ke dalam larutan G-
MOP + serum 10 %, dipindahkan ke atas glass obyek dengan diberi sedikit
larutan G-MOP + serum 10 %, dan ditutup cover glass agar embrio sedikit
tertekan. Preparat langsung diamati dan dipotret dengan mikroskop flourescence
(Nikon Eclipse E 6000) dalam kondisi gelap. Penghitungan sel yang hidup dan
yang mati dilakukan dengan menggunakan aplikasi ImageJ. Sel yang hidup
ditandai dengan inti akan berwarna biru sedangkan sel yang mati berwarna merah.
6
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan teracak lengkap (complete random design). Penelitian terdiri atas dua
perlakuan yaitu embrio yang telah divitrifikasi dan embrio tidak divitrifikasi
(kontrol). Respon yang diamati adalah perkembangan embrio pada tiap kelompok
hingga mencapai tahap blastosis hatched. Pengamatan dilakukan 24 jam (H-4) dan
48 jam (H-5) setelah dilakukan kultur. Setelah hari ke 2 kultur embrio diwarnai
dengan pewarnaan diferensial untuk menghitung jumlah total sel, sel hidup dan
sel mati.
Analisis Data
Data disajikan dalam bentuk persentase (rata-rata) ± standar deviasi dan
dianalisis dengan menggunakan uji t test. Semua perhitungan statistik dilakukan
menggunakan perangkat lunak SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Embrio
Morfologi embrio setelah penghangatan (warming) menunjukkan tidak
ada kerusakan yang signifikan. Seluruh embrio setelah warming menunjukkan
angka kelangsungan hidup (survival rate) 100%. Penilaian kelangsungan hidup
didasarkan pada keadaan morfologis embrio setelah satu jam penghangatan dan
kultur in vitro (Gambar 1). Angka kelangsungan hidup embrio secara umum
dinilai berdasarkan keutuhan morfologi dan kemampuan reekspansi rongga
blastosul (Khoirinaya 2011). Keutuhan morfologi embrio yang diamati antara lain
keutuhan membran sel dan zona pelusida, warna sitoplasma yang homogen, serta
tidak terjadi degenerasi dan fragmentasi blastomer. Seluruh embrio pasca
vitrifikasi mampu reekspansi kembali ke bentuk dan ukuran semula.
Gambar 1 Morfologi embrio mencit hasil vitrifikasi. (A) Embrio sebelum
vitrifikasi, (B) Embrio vitrifikasi sesaat setelah warming, dan (C)
Embrio vitrifikasi satu jam setelah kultur in vitro. Bar = 10 µm
7
Tingkat Perkembangan Embrio
Data perkembangan embrio disajikan dalam Tabel 1. Hasil pengamatan
awal pada saat koleksi embrio (hari ke-3 pascafertilisasi) menunjukkan proporsi
embrio tahap morula dan di bawah 8 sel yang tidak berbeda nyata (P>0.05) antara
embrio yang digunakan pada perlakuan vitrifikasi dan kontrol. Pengamatan hari
ke-4 (24 jam setelah kultur in vitro) sebagian besar embrio mencapai tahap morula
kompak dan blastosis (Gambar 3). Jumlah embrio yang mencapai tahap blastosis
pada hari ke-5 (48 jam setelah kultur in vitro) pada perlakuan vitrifikasi dan
kontrol tidak berbeda nyata (P>0.05) (Tabel 1). Jumlah embrio yang divitrifikasi
yang mencapai tahap blastosis hatching adalah sebesar 12 (27.3 %) dan blastosis
hatched sebesar 5 (11.4 %). Hasil tersebut menunjukkan perlakuan vitrifikasi
tidak memengaruhi kemampuan embrio untuk mencapai tahap hatched. Hasil
pengamatan perkembangan embrio menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara
nyata antara embrio kontrol dengan embrio vitrifikasi yang dikultur dalam
inkubator CO2 portable. Secara persentase embrio vitrifikasi memiliki tingkat
pertumbuhan yang baik. Hal ini menunjukkan embrio mencit yang telah
dikriopreservasi dengan metode vitrifikasi dapat berkembang dengan baik dalam
inkubator CO2 portable. Hal ini sesuai dengan penelitian Khoirinaya (2011) yang
menyatakan embrio mencit yang telah dibekukan dengan metode vitrifikasi dapat
berkembang dengan baik dalam kultur in vitro. Menurut Swain (2010) embrio
mencit dapat dikultur dalam inkubator konvensional hingga tahap blastosis
menggunakan CO2 yang diperoleh dari reaksi kimia sederhana.
Tabel 1 Tingkat perkembangan embrio vitrifikasi dan kontrol yang dikultur dalam
inkubator CO2 portable
Tahap Perkembangan
Embrio
Jumlah embrio (%)
Vitrifikasi Kontrol
N 44 49
0 jam
Kultur
< 8 sel 10 (22.7)a 13 (26.5)a
Morula 34 (77.3)a 36 (73.5)a
24 jam
kultur
Morula kompak 21 (47.7)a 32 (63.2)b
Blastosis 18 (41.0)a 9 (18.4)b
Degenerasi (mati) 5 (11.3)a 9 (18.4)b
48 jam
kultur
Blastosis 34 (77.3)a 39 (79.6)a
Degenerasi (mati) 10 (22.7)a 10 (20.4)a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menandakan berbeda secara nyata (P<0.05)
Kualitas oosit yang digunakan untuk kultur berpengaruh terhadap
perkembangan embrio hingga mencapai tahap blastosis (Adifa et al. 2010).
Perkembangan embrio secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kualitas embrio,
respon individu embrio, komposisi medium kultur yang digunakan dan
lingkungan inkubasi sistem kultur. Kualitas oosit berpengaruh terhadap
perkembangan embrio selanjutnya. Kualitas oosit diantaranya dipengaruhi oleh
genetik, karakteristik fisiologis, kesehatan organ reproduksi, dan nutrisi induk
(Silva et al. 2009).
8
Gambar 2 Persentase viabilitas embrio vitrifikasi dan kontrol yang dikultur dalam
inkubator CO2 portable
Mekanisme utama kerusakan sel saat vitrifikasi antara lain toksisitas
krioprotektan, pembentukan kristal es intraselular, dan stres osmotik selama
penghilangan krioprotektan (Swain 2010). Menurut Wahjuningsih et al. (2010),
etilen glikol yang digunakan sebagai krioprotektan dalam penelitian ini memiliki
sifat toksik terhadap embrio. Menurut Han et al. (2003), pengeluaran
krioprotektan yang tidak sempurna pada vitrifikasi satu tahap dapat menyebabkan
terbentuknya kristal es tetapi pengaruhnya tidak terlalu terlihat pada morfologi
embrio karena sebagian besar bentuk embrio tampak normal. Morfologi embrio
tahap empat sel vitrifikasi dalam penelitian Han et al. (2003) tidak
memperlihatkan perbedaan dengan embrio kontrol, sedangkan embrio tahap
delapan sel menunjukkan perbedaan.
Kualitas kultur oosit tidak dipengaruhi oleh tipe inkubator atau kontainer
(Fuji et al. 2009), namun dipengaruhi oleh konsentrasi CO2. Penggunaan
inkubator modifikasi tersebut membutuhkan suplai CO2 dengan konsentrasi yang
konstan. Penggunaan serbuk effervescent dalam kotak inkubator membuat
konsentrasi CO2 tidak dapat diubah hingga pengamatan selanjutnya. Hal ini
menyebabkan konsentrasi yang dapat diukur hanya pada saat pengamatan (24
jam). Konsentrasi CO2 selama 24 jam tersebut tidak dapat diukur fluktuasinya.
Menurut Swain (2012), karbon dari CO2 digunakan dalam berbagai proses
metabolik embrio. Pengaruh karbon dari CO2 dalam proses metabolik mungkin
menjelaskan mengapa ada beberapa variasi dalam literatur yang menyebutkan
jumlah CO2 yang tepat untuk pH optimal. Perubahan pH intraseluler sedikit saja
dapat menurunkan tingkat perkembangan embrio. Swain (2010) menyebutkan,
peningkatan pH sebesar 0.1-0.15 secara signifikan meningkatkan glikolisis embrio
dan menurunkan metabolisme oksidatif yang juga mempengaruhi kualitas
perkembangan.
100
88,6
77,3
100
81,6 79,6
0
20
40
60
80
100
120
0 jam 24 jam 48 jam
Vitrifikasi
Kontrol
9
Gambar 3 Tahapan perkembangan embrio vitrifikasi dan kontrol pada kulur in
vitro. (A) embrio vitrifikasi saat 0 jam kultur; (B) Embrio vitrifikasi
24 jam kultur; (C) embrio vitrifikasi 48 jam kultur; (D) embrio segar
isolasi 0 jam kultur; (E) embrio kontrol 24 jam kultur; (F) embrio
kontrol 48 jam kultur. Bar = 20 µm
Tingkat penurunan viabilitas embrio vitrifikasi cenderung tidak ada
perbedaan dengan embrio kontrol secara keseluruhan. Selain pada tahap morula
kompak ke blastosis awal, embrio kontrol memiliki nilai penurunan viabilitas
yang lebih tinggi pada semua tahap perkembangan. Jumlah embrio yang tidak
berkembang ke tahap selanjutnya dan yang mati mengalami peningkatan. Tahap
yang paling tinggi tingkat penurunan viabilitas adalah pada tahap blastosis
mencapai hatching dan blastosis hatching mencapai hatched. Angka penurunan
viabilitas yang tinggi pada tahap blastosis hatching hingga hatched disebabkan
salah satunya oleh elastisitas dan ketebalan zona pelusida yang akan berpengaruh
terhadap proses hatching (Balaban et al. 2006), serta trofektoderm dari embrio
tidak mampu mensekresi faktor-faktor untuk hatching. Kultur in vitro dan stres
akibat proses pembekuan-pencairan dapat menyebabkan pengerasan zona pelusida
sehingga memengaruhi proses hatching. Proses hatching dan hatched sangat
diperlukan untuk proses implantasi.
Daya Hidup Embrio
Rerata sel hidup, sel mati dan total sel disajikan pada Tabel 2. Hasil
pengamatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) pada
rerata total sel dan persentase sel hidup dan mati pada perlakuan vitrifikasi dan
kontrol. Embrio yang telah divitrifikasi memiliki rerata total sel tidak berbeda
10
nyata dibandingkan embrio kontrol. Hasil ini menunjukkan embrio yang telah
mengalami proses vitrifikasi mampu berkembang dengan baik dalam inkubator
CO2 portable (Gambar 4). Persentase sel hidup pada embrio yang telah
divitrifikasi dan embrio kontrol tidak berbeda nyata. Persentase sel hidup yang
tinggi tersebut menunjukkan tingkat proliferasi sel embrio pasca vitrifikasi baik.
Tabel 2 Rerata sel hidup, sel mati dan total sel embrio vitrifikasi dan kontrol yang
dikultur dalam inkubator CO2 portable
Perlakuan N Rerata sel hidup (%) Rerata sel mati (%) Rerata total sel
Vitrifikasi 14 95.8±3.3 4.2±3.3 112.6±27.7
Kontrol 15 97.3±3.2 2.7±3.3 100.8±17.2
Gambar 4 Pewarnaan embrio menggunakan Hoecsht-propidium iodide setelah 48
jam kultur in vitro dalam inkubator CO2 portable. (A, B) embrio
vitrifikasi dan (C, D) kontrol. Warna biru menunjukkan sel yang hidup
(A, C), sedangkan warna merah menunjukkan sel mati (B, D). Bar = 50
µm
Waktu yang diperlukan bagi sel embrio untuk membelah mulai dari tahap
4 sel dan tahap-tahap selanjutnya memiliki interval 12 jam (Wolpert et al. 2015).
Standar deviasi yang besar rerata total sel diakibatkan oleh banyaknya variasi
tingkat perkembangan embrio, mulai dari tahap blastosis hingga blastosis hatched.
Jumlah sel embrio mencit yang telah dilaporkan berbeda-beda, yaitu tahap
blastosis sebanyak 74.3±2.6 sel (Sudiman et al. 2014) dan tahap blastosis ekspan
sebanyak 73.7±7.1 sel (Lin et al. 2003). Sementara itu, hasil penelitian
menunjukkan jumlah sel yang jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian yang
11
dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Hal ini karena pada penelitian ini evaluasi
dilakukan sampai tahap blastosis yang sudah hatched dengan jumlah sel yang
lebih banyak dibanding jumlah sel blastosis atau blastosis ekspan.
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan embrio dalam sebuah
inkubator antara lain konsentrasi CO2 dan suhu. Konsentrasi CO2 dalam inkubator
portable pada penelitian ini disesuaikan seperti yang telah dilaporkan oleh
Mirsageri (2013), yaitu dengan menambahkan serbuk everffescent sehingga terjadi
reaksi kimia yang menghasilkan konsentrasi CO2 sebesar 5-6 %. Sementara itu
suhu dalam penelitian ini diatur dengan menggunakan pemanas yang
mempertahankan suhu pada 37.5 °C. Dengan demikian, tingkat perkembangan
dan viabilitas embrio pasca vitrifikasi sangat baik selama proses kultur in vitro
dalam inkubator CO2 portable.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat perkembangan dan viabilitas embrio vitrifikasi sangat baik dan
tidak berbeda dengan kontrol. Inkubator CO2 portable dapat digunakan untuk in
vitro kultur embrio yang telah mengalami proses kriopreservasi dengan metode
vitrifikasi.
Saran
Inkubator CO2 portable dapat digunakan untuk kultur in vitro embrio pada
mamalia lain pada berbagai spesies hewan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adifa NS, Astuti P, Widayati DT. 2010. Pengaruh penambahan chorionic
gonadotrophin pada medium maturasi terhadap kemampuan maturasi,
fertilisasi, dan perkembangan embrio secara in vitro kambing peranakan
ettawa. Bul Peter. 34(1):8-15
Balaban B, Urman B, Yakin K, Isiklar A. 2006. Laser-assisted hatching increases
pregnancy and implantation rates in cryopreserved embryos that were allowed
to cleave in vitro after thawing: a prospective randomized study. Hum Reprod.
21(8):2136–2140.
Balaban B, Urman B, Ata B, Isiklar A, Larman MG, Hamilton R, Gardner DK.
2008. A randomized controlled study of human day 3 embryo cryopreservation
by slow freezing or vitrification: vitrification is associated with higher survival,
metabolism and blastocyst formation. Hum Reprod. 23(6):1976-1982.
Boediono A. 2003. Vitrifikasi vs pembekuan lambat pada pembekuan embrio. Di
dalam. Symposium Perkumpulan Teknologi Reproduksi Indonesia I (PATRI).
Oktober 2003. Denpasar, Indonesia. Denpasar (ID).
12
Dochi O, Yamamoto Y, Saga H, Yoshiba N, Kano N, Maeda J, Miyata K,
Yamauchi A, Tominaga K, Oda Y, Nakashima T, Inohae S. 1998. Direct
transfer of bovine embryos frozen-thawed in the presence of propylene glycol
or ethylene glycol under on-farm conditions in an integrated embryo transfer
program. Theriogenology. 49:1051-1058.
Dong YJ, Varisanga MD, Mtango NR, Aono M, Otoi T, Suzuki T. 2001.
Improvement of the culture conditions for in vitro Production of cattle embryos
in a portable CO2 incubator. Reprod Dom Anim. 36:313–318.
Edwards LJ, Williams DA, Gardner DK. 1998. Intracellular pH of the
preimplantation mouse embryo: effects of extracellular pH and weak acids.
Mol Reprod Dev. 50:434–442.
Fuji A, Kaedei Y, Tanihara F, Ito A, Hanatate K, Kikuchi K, Nagai T, Otoi T.
2009. In vitro maturation and development of porcine oocytes cultured in a
straw or dish using a portable incubator with a CO2 chamber. Reprod Dom
Anim. 45:619–624
Geshi M, Yonai M, Sakaguchi M, Nagai T. 1999. Improvement of in vitro co-
culture systems for bovine embryos using a low concentration of carbon
dioxide and medium supplemented with 13-mercaptoethanol. Theriogenology.
51:551-558.
Han MS, Niwa K, Kasai M. 2003. Vitrification of rat embryos at various
developmental stages. Theriogenology. 59:1851-1863.
Hyttel P, Sinowatz F, Vejlsted M. 2010. Essentials of Domestic Animal
Embryology. Oxford (GB) : Saunders Elsevier.
Inoue T, Ono Y, Yonezawa Y, Fujiwara T, Nohara A, Mimura O, Kishi J, Emi N.
2014. Successful pregnancy following transfer of frozen-thawed day 7
blastocysts derived from transported oocytes. J Mamm Ova Res. 31(1):52–56
Iwayama H, Ishikawa H, Ohsumi S, Fukui Y. 2005. Attempt at in vitro maturation
of minke whale (Balaenoptera bonaerensis) oocytes using a portable CO2
incubator. J Reprod Dev. 51(1):69-75.
Jodiansyah A, Imron A, Sumantri C. 2013. Tingkat respon superovulasi dan
produksi embrio in vivo dengan sinkronisasi CIDR (controlled internal drug
releasing) pada sapi donor simmental. JIPTHP. 1(3):184-190.
Kandil OM, Abdoon ASS, Murakami M, Otoi T, Suzuki T. New technique, using
a portable CO2 incubator, for the production of in vitro fertilized egyptian
buffalo embryos. J Reprod Dev. 45(5):315-320.
Khan NH, Kikkawa Y, Sumantri C, Saba S, Murakami MS, Boediono A, Suzuki
T. 1993. Effect of gas atmosphere on the development of bovine embryos using
a simple portable incubator. J Jpn Embryo Transfer Soc. 2:113-122.
Khoirinaya C. 2011. Viabilitas embrio mencit (Mus musculus albinus) setelah
kriopreservasi dengan vitrifikasi ganda pada tahap perkembangan zigot dan
dilanjutkan pada tahap blastosis. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kovacs GT, Morgan G, Wood EC, Forbes C, Howlett D. 2003. Community
attitudes to assisted reproductive technology: a 20-year trend. Med J Aus.
179:536-538.
Liebermann J, Tucker MJ. 2002. Effect of carrier system on the yield of human
oocytes and embryos as assessed by survival and developmental potential after
vitrification. Reproduction. 124:483-489.
13
Lin TC, Yen JM, Gong KB, Hsu TT, Chen LR. 2003. IGF-1/IGFBP-1 increases
blastocyst formation and total blastocyst cell number in mouse embryo culture
and facilitates the establishment of a stem-cell line. BMC Cell Biol. 4(14).
Mapletoft RJ, Hasler JF. 2005. Assisted reproductive technologies in cattle: a
review. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 24(1):393-403.
Mirsageri M. 2013. Perkembangan embrio mencit (Mus musculus albinus) pada
inkubator CO2 termodifikasi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mohamad K, Djuwita I, Boediono A, Supriatna I. 2005. Vitrifikasi ovarium
mencit menggunakan etilen glikol dan DMSO sebagai krioprotektan dan
viabilitasnya pasca autotransplantasi di subkapsula ginjal. Med Ked Hewan.
20(1):23-27.
Rall WF, Schmidt PM, Lin X, Brown SS, Ward AC, Hansen CT. 2000. Factors
affecting efficiency of embryo cryopreservation and rederivation of rat and
mouse models. ILAR J. 41(4):221-227.
Rall WF, Fahy GM. 1985. Ice free cryopreservation at -196 °C by vitrification.
Nature. 313:573-575.
Seki S, Jin B, Mazur P. 2014. Extreme rapid warming yields high functional
survivals of vitrified 8-cell mouse embryos even when suspended in a half-
strength vitrification solution and cooled at moderate rates to 196 °C.
Cryobiology. 68:71-78.
Silva JCC, Alvarez RH, Zanenga RA, Pereira GT. 2009. Factors affecting embryo
production in superovulated Nelore cattle. Anim Reprod. 6(3):440-445.
Sudiman J, Ritter LJ, Feil DK, Wang X, Chan K, Mottershead DG, Robertson
DM, Thompson JG, Gilchrist RB. 2014. Effects of differing oocyte-secreted
factors during mouse in vitro maturation on subsequent embryo and fetal
development. J Assist Reprod Genet. 31(3):295-306.
Suzuki T, Sumantri C, Khan NHA, Murakami M, Saha S. 1999. Development of a
simple, portable carbon dioxide incubator for in vitro production of bovine
embryos. Anim Reprod Sci. 54:149–157.
Swain JE. 2010. Optimizing the culture environment in the IVF laboratory:
impact of pH and buffer capacity on gamete and embryo quality. Reprod
BioMed Online. 21:6–16.
Swain JE. 2012. Is there an optional Ph for culture media used in clinical IVF?.
Hum Reprod Update. 18(3):333-339.
Sztein JM, Noble K, Farley JS, Mobraaten LE. 2001. Comparison of permeating
and nonpermeating cryoprotectants for mouse sperm cryopreservation.
Cryobiology. 41:28-39.
Wahjuningsih S, Hardjopranjoto S, Sumitro SB. 2010. Pengaruh konsentrasi
etilen glikol dan lama paparan terhadap tingkat fertilitas in vitro oosit sapi. J
Ked Hewan. 4(2):61-64.
Whittingham DG. 1971. Survival of mouse embryos after freezing and thawing.
Nature. 233:125-126.
Wolpert L, Tickle C, Arias AM. 2015. Principles of Development. Oxford (UK):
Oxford University Press.
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 01 Januari 1995. Riwayat
pendidikan antara lain menyelesaikan sekolah dasar sekolah dasar di SD Negeri
03 Cadasari, Pandeglang dari tahun 2000 hingga 2006, Kemudian penulis
melanjutkan ke sekolah menengah di SMP Negeri 1 Karang Tanjung, Pandeglang
dari tahun 2006 hingga 2009. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah
atas di SMA Negeri 2 Pandeglang dari tahun 2009 hingga 2012. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Fakultas Kedokteran Hewan
pada bulan Juni 2012 melalui jalur SNMPTN Undangan. Alamat tempat tinggal
saat ini yaitu di Wisma Baristar, Bara 6, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Alamat asal penulis dari Desa Cadasari, Kecamatan Cadasari,
Kabupaten Pandeglang, Banten.
Selama kegiatan perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi, yaitu
Himpunan Minat Profesi Hewan Kecil dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA)
sekaligus anggota divisi Eksternal tahun 2013/2015, DPM FKH IPB tahun
2013/2014 sebagai ketua Komisi Satu.