67
VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG
Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena
perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang
terjadi pada komoditas CPO dan minyak goreng yang merupakan produk turunan
dan olahan lanjutan dari kelapa sawit. Pada bab ini akan diuraikan tentang
pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik serta harga rata-rata
minyak goreng sawit curah di tingkat eceran di beberapa kota besar di Indonesia
pada periode bulan Januari 2000-April 2012.
6.1 Pergerakan Harga CPO Internasional
Dalam perdagangan minyak nabati dunia, CPO mempunyai pangsa pasar
yang semakin besar dari tahun ke tahun. Dari sisi penawaran, Indonesia
mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi CPO dunia dimana
produksinya diperkirakan akan terus meningkat dan ditargetkan akan mencapai 40
juta ton pada tahun 2020 (meningkat 200% dari tahun 2010). Dari sisi konsumsi,
pertumbuhan penduduk dan pergeseran pola konsumsi minyak nabati dunia dari
minyak kedelai ke minyak sawit juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan
permintaan CPO dunia.
Pergerakan harga CPO Internasional selama bulan Januari 2000-April 2012
berfluktuasi dengan tren yang terus meningkat (Gambar 18). Pada periode itu,
pertumbuhan harga bulanan (growth month to month) tertinggi terjadi pada bulan
Juli 2001, dimana harga CPO internasional meningkat 24.9% dari bulan
sebelumnya dan sebaliknya penurunan harga terbesar terjadi pada bulan Oktober
2008 dimana harga turun hingga 24.0% dari bulan sebelumnya. Kenaikan harga
CPO dunia pada tahun 2001 merupakan dampak dari penurunan produksi sejak
tahun 1999 yang diakibatkan pengaruh kemarau panjang yang melanda Malaysia
dan Indonesia.
Pada tahun 2006, harga CPO Internasional mengalami kenaikan akibat
kenaikan permintaan dari Cina dan India yang merupakan importir terbesar selain
negara-negara Eropa. Selain itu, kenaikan harga CPO internasional juga
68
disebabkan tingginya harga minyak bumi yang mendorong peningkatan
penggunaan bioetanol yang antara lain diproduksi dari minyak sawit. Kenaikan
harga terus berlanjut pada tahun 2007 dan triwulan pertama 2008, dimana harga
CPO internasional pada bulan Maret 2008 mencapai Rp 11 577/kg, yang
merupakan harga tertinggi sejak tahun 2000. Lonjakan harga pada periode itu
disebabkan kenaikan permintaan dari industri bioetanol di India dan Cina. Pada
tahun 2007 tersebut, pemerintah India mengeluarkan kebijakan berupa pemberian
subsidi bagi penggunaan minyak nabati yang digunakan untuk bahan bakar
(Bachtiar, 2010).
Setelah mengalami puncak kenaikan harga pada triwulan pertama tahun
2008 tersebut, harga CPO internasional mulai mengalami penurunan sejalan
dengan perlambatan perekonomian dunia yang berdampak terhadap pengurangan
permintaan CPO dari negara-negara importir. Penurunan harga juga disebabkan
anjloknya harga minyak mentah dunia sehingga penggunaan minyak sawit
sebagai bioetanol juga ikut berkurang. Penurunan harga terjadi sejak bulan Mei
2008 hingga akhir tahun 2008. Harga CPO internasional pada bulan Oktober
2008 sebesar Rp 5 476/kg yang mendekati harga awalnya sebelum terjadi
lonjakan harga pada awal tahun 2007.
Pada tahun 2009, meskipun terlihat adanya kenaikan harga namun jauh
lebih kecil dibandingkan pada tahun sebelumnya. Meskipun demikian,
perkembangan harga CPO menunjukkan tren yang cenderung meningkat.
Rendahnya harga CPO internasional pada tahun 2009 masih merupakan dampak
dari penurunan harga yang terjadi pada akhir 2008. Menghadapi rendahnya harga
CPO internasional, pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk melakukan
peremajaan kebun kelapa sawit yang berakibat turunnya pasokan CPO dari kedua
negara tersebut ke pasar CPO dunia. Pasokan CPO Indonesia pada tahun 2009
berkurang hingga 75.000 ton sementara Malaysia berkurang 500.000 ton
(Bachtiar, 2010).
Memasuki tahun 2010, pertumbuhan produksi minyak sawit dunia
melambat karena adanya penurunan produktivitas perkebunan kelapa sawit di
Indonesia yang berakibat penurunan produksi dan pasokan ekspor. Hal ini
menyebabkan harga CPO internasional mulai menunjukkan peningkatan
69
dibandingkan harga pada akhir tahun 2009. Harga meningkat cukup tajam selama
tahun 2010 dan mencapai puncak kenaikan harga pada bulan Januari 2011,
dimana harga CPO internasional pada bulan tersebut mencapai Rp 11 515/kg,
lebih tinggi dari puncak kenaikan harga pada tahun 2008 dan menjadi harga
tertinggi sejak tahun 2000. Kenaikan harga CPO pada pasar minyak nabati dunia
menyebabkan peningkatan konsumsi minyak kedelai, namun peralihan ini hanya
bersifat sementara karena stok minyak kedelai dunia yang terbatas dan mulai
menipis pada bulan Juni 2010 (Drajat, 2010).
Harga CPO internasional kembali mengalami penurunan setelah Februari
2011 seiring peningkatan produksi minyak sawit di Indonesia dan Malaysia
selama tahun 2011. Pada bulan Maret 2011 stok minyak sawit Malaysia
meningkat 7% hingga 8% (Kemendag, 2011). Kenaikan suplai menyebabkan
harga terus mengalami penurunan harga hingga bulan Oktober dimana harga CPO
internasional menjadi Rp 8 841/kg yang merupakan harga terendah sejak tahun
2011. Harga kembali mengalami kenaikan setelah November 2011 yang dipicu
oleh banjir yang terjadi di Malaysia (World Bank, 2012). Harga CPO
internasional terus mengalami kenaikan selama kuartal pertama tahun 2012.
Namun demikian World Bank memprediksi jika harga CPO tahun 2012 tetap akan
mengalami penurunan sebesar 20 % karena adanya peningkatan suplai CPO
dunia.
Gambar 18 Pergerakan dan pertumbuhan harga CPO internasional periode
Januari 2000-April 2012
70
Tabel 8 memperlihatkan keragaman harga CPO internasional per tahun
pada periode tahun 2000-kuartal pertama tahun 2012. Dalam kurun waktu
tersebut, terjadi beberapa kali fluktuasi harga yang relatif tinggi, yaitu pada tahun
2001, 2007, 2008 dan 2010. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien variasi (CV)
pada tabel tersebut, dimana nilai CV pada tahun-tahun tersebut relatif lebih tinggi.
Tingginya fluktuasi harga CPO internasional pada tahun 2007 dan 2008 tidak
terlepas dari pergerakan harga dalam periode itu. Sebagaimana telah
dideskripsikan sebelumnya, bahwa pada tahun 2007 terjadi kenaikan harga yang
cukup tajam selama tahun 2007. Fluktuasi semakin besar pada tahun 2008 karena
pada tahun ini harga masih meningkat tajam yang diikuti penurunan harga yang
juga relatif tajam setelah puncak kenaikan harga pada bulan yang diikuti
penurunan harga yang juga cukup tajam setelah bulan Mei 2008. Harga kembali
berfluktuasi pada tahun 2010, dimana harga CPO internasional mengalami
kenaikan yang cukup tajam selama tahun 2010.
Fluktuasi harga CPO internasional mendapat perhatian serius dari
pemerintah karena akan berpengaruh terhadap harga CPO dan minyak goreng
domestik. Tingkat harga CPO internasional menjadi dasar penetapan kebijakan
yang terkait dengan penetapan harga kelapa sawit (TBS) dan harga minyak goreng
domestik.
Tabel 8 Keragaman harga CPO internasional periode 2000-2012
Tahun Harga Rata-Rata
(Rp/kg)
Standar Deviasi CV (%)
2000 2435.04 169.12 6.95 2001 2724.40 423.07 15.53 2002 3359.32 264.19 7.86 2003 3535.51 341.99 9.67 2004 3897.70 324.12 8.32 2005 3802.02 242.57 6.38 2006 4079.00 445.72 10.93 2007 6681.15 1192.14 17.84 2008 8485.12 2394.96 28.23 2009 6567.07 603.51 9.19 2010 7638.62 1200.89 15.72 2011 9184.57 872.61 9.50
2012* 10265.09 538.07 5.24 Rata-rata 5588.81 693.30 11.64 * kuartal pertama
71
6.2 Pergerakan Harga CPO Domestik
Harga CPO di dalam negeri dihasilkan dari mekanisme penawaran dan
permintaan pada pasar CPO domestik. Penawaran CPO domestik merupakan
gabungan dari produksi CPO dari prosesor minyak sawit milik negara maupun
swasta. Sedangkan permintaan CPO domestik berasal dari berbagai industri
turunan kelapa sawit seperti industri pangan, biofuel dan oleokimia dimana
permintaan terbesar berasal dari industri minyak goreng.
Harga CPO domestik pada periode bulan Januari 2000 hingga April 2012
menunjukkan tren yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Sebagaimana
pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik pada periode sebelum
tahun 2006 cenderung stabil dan menjadi lebih fluktuatif sejak tahun 2006.
Pertumbuhan harga bulanan (growth month to month) tertinggi terjadi pada bulan
November 2006 dimana terjadi kenaikan harga sebesar 20.4 % dari bulan
sebelumnya (Gambar 19).
Harga CPO domestik sempat mengalami fluktuasi pada awal tahun 2000
yang disebabkan penurunan kualitas tandan buah segar yang dihasilkan oleh
perkebunan rakyat yang merupakan dampak dari kenaikan harga pupuk pada
tahun 1999. Harga CPO domestik terus mengalami penurunan hingga akhir tahun
2000 dan mencapai titik terendah pada bulan Desember 2000 sebesar Rp 1 667/kg
sebelum bergerak naik kembali.
Gambar 19 Pergerakan dan pertumbuhan harga CPO domestik periode Januari 2000-April 2012.
72
Ditinjau dari keragaman harga antar tahun (tabel 9), fluktuasi harga CPO
domestik yang tertinggi terjadi pada tahun 2008, dengan nilai koefisien
keragaman (CV) mencapai 24.7%. Fluktuasi harga CPO domestik pada tahun ini
tidak lepas dari terjadinya fluktuasi pada pasar CPO dunia. Kenaikan tajam yang
terjadi selama tahun 2007 mencapai puncaknya pada bulan Maret 2008, dimana
harga CPO domestik mencapai Rp 9 978/kg sebelum kembali turun dengan
pertumbuhan negatif hingga bulan Oktober 2008.
Tabel 9 Keragaman harga CPO domestik periode 2000-2012
Tahun Harga Rata-Rata (Rp/kg) Standar Deviasi CV (%)
2000 2204.75 333.56 15.13 2001 2048.92 170.36 8.31 2002 2840.33 258.64 9.11 2003 3299.67 170.41 5.16 2004 3672.25 118.73 3.23 2005 3768.83 216.28 5.74 2006 4138.42 485.04 11.72 2007 7026.19 1044.90 14.87 2008 7885.92 1948.74 24.71 2009 6791.11 611.48 9.00 2010 7845.97 1080.32 13.77 2011 8904.16 638.00 7.17 2012* 9488.71 533.17 5.62
Rata-rata 5378.09 585.36 10.27 *kuartal pertama
Jika dibandingkan dengan harga CPO internasional, harga CPO domestik
pada periode tahun 2000-2012 relatif lebih stabil yang terlihat dari nilai CV rata-
rata CPO domestik (10.27) yang lebih rendah dari nilai CV rata-rata CPO
internasional (11.64). Pada tahun 2008 ketika terjadi fluktuasi harga CPO yang
tertinggi baik pada pasar dunia maupun pada pasar domestik, nilai koefisien
keragaman dari harga CPO internasional mencapai 28.2%, sementara CPO
domestik hanya 24.7%. Intervensi pemerintah berupa penerapan pajak ekspor
CPO terlihat dapat mengurangi dampak fluktuasi harga dunia terhadap pasar CPO
domestik.
73
6.3 Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik
Pada periode Januari 2000-April 2012, pergerakan harga minyak goreng
menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Secara grafis pergerakan harga
minyak goreng domestik juga mempunyai pola yang sama dengan pergerakan
harga CPO, dimana harga minyak goreng mengalami kenaikan harga yang cukup
tajam pada tahun 2007 .
Harga minyak goreng juga mengalami penurunan pada tahun 2008 namun
dengan besaran lebih kecil dari penurunan harga CPO (Gambar 20).
Pertumbuhan harga minyak goreng selama periode pengamatan juga lebih
stabil dimana perubahan harga antar bulan yang tertinggi tercatat 18% dan yang
terendah -10%. Nilai ini jauh lebih kecil dari kisaran pertumbuhan harga CPO
domestik yang mencapai 20% hingga -23%.
Gambar 20 Pergerakan dan pertumbuhan harga minyak goreng domestik periode Januari 2000-April 2012
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat
sehingga sisi permintaan tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan harga
minyak goreng. Dari Tabel 10 terlihat jika keragaman harga minyak goreng
relatif lebih stabil dibandingkan harga CPO yang terlihat dari nilai CV yang relatif
rendah. Meskipun keragaman harga meningkat pada tahun 2007-2008, namun
besarannya lebih kecil jika dibandingkan keragaman harga CPO pada periode
yang sama.
74
Tabel 10 Keragaman harga minyak goreng domestik periode 2000-2012
Tahun Harga Rata-Rata (Rp/kg) Standar Deviasi CV (%)
2000 3594.44 123.58 3.44 2001 3789.58 387.51 10.23 2002 4458.67 185.68 4.16 2003 4906.08 235.86 4.81 2004 5379.67 218.67 4.06 2005 5144.92 232.18 4.51 2006 5335.00 279.69 5.24 2007 8170.06 1246.04 15.25 2008 10347.77 1486.88 14.37 2009 9077.22 488.18 5.38 2010 9804.06 554.92 5.66 2011 10809.87 333.88 3.09 2012* 11489.56 185.97 1.62
Rata-rata 7100.531 458.3877 6.30 *kuartal pertama
6.4 Spread Harga CPO dan Harga Minyak Goreng Domestik
Spread harga CPO domestik dan minyak goreng domestik merupakan
selisih antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik.
Spread antara harga CPO domestik dengan minyak goreng dapat menunjukkan
margin keuntungan yang diterima oleh industri minyak goreng yang akan
berpengaruh terhadap harga eceran yang harus dibayarkan konsumen. Sementara
itu spread antara harga CPO internasional dengan minyak goreng dapat
memberikan informasi mengenai respon perubahan harga minyak goreng
domestik terhadap perubahan harga CPO.
Selama periode bulan Januari 2000-April 2012 terlihat jika fluktuasi harga
CPO domestik dan minyak goreng menyebabkan spread yang juga berfluktuasi.
Pada periode kenaikan harga CPO domestik selama bulan Oktober 2006- Januari
2008, spread harga mengalami penurunan dengan spread harga terendah terjadi
pada bulan November 2006 sebesar Rp 544/kg. Spread harga kembali mengalami
kenaikan setelah harga CPO kembali turun (Maret 2008-Oktober 2008) dimana
spread tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp 3 860/kg (Gambar
21).
75
Gambar 21 Pergerakan dan spread hargaCPO dengan harga minyak goreng periode Januari 2000-April 2012.
Kondisi yang sama terjadi pada saat harga CPO domestik kembali
mengalami kenaikan pada akhir tahun 2010, spread pada bulan Desember 2010
kembali mengalami penurunan tajam menjadi Rp 716/kg, dan kembali naik
seiring dengan penurunan harga CPO domestik pada awal tahun 2011. Pada
bulan Maret 2011, spread naik menjadi Rp 2851/kg. Hal ini menunjukkan jika
kenaikan harga CPO tidak serta merta dapat menjadikan industri minyak goreng
menaikkan harga dengan besaran yang sama dengan kenaikan harga CPO,
sehingga kenaikan harga CPO ternyata tidak hanya merugikan masyarakat tetapi
juga dapat mengurangi keuntungan produsen minyak goreng.
Sebagai salah satu komoditas pokok, pemerintah berkepentingan untuk
menjaga stabilitas harga minyak goreng dengan intervensi kebijakan antara lain
melalui penjualan minyak goreng bersubsidi bagi kalangan tidak mampu ketika
terjadi fluktuasi harga minyak goreng. Kebijakan ini secara psikologis dapat
meredam fluktuasi harga minyak goreng eceran. Dengan demikian kebijakan
pengendalian harga minyak goreng terbukti menguntungkan bagi konsumen,
tetapi berpotensi mengurangi kesejahteraan industri minyak goreng.
Ketika harga CPO kembali turun, industri minyak goreng mempertahankan
spread harga dengan tidak menurunkan harga minyak goreng sebesar penurunan
harga CPO. Kondisi itu menyebabkan spread akan semakin fluktuatif jika terjadi
76
fluktuasi harga CPO domestik. Dari Tabel 11 terlihat jika spread harga cenderung
fluktuatif setelah tahun 2006, dimana pada periode itu harga CPO domestik lebih
fluktuatif dibandingkan pada periode tahun 2000-2006.
Tabel 11 Keragaman spread harga CPO domestik-harga minyak goreng domestik periode 2000-2012
Tahun Standar Deviasi Spread rata-rata (Rp/kg) CV (%)
2000 333.63 1389.69 24.01 2001 306.95 1740.67 17.63 2002 136.43 1618.33 8.43 2003 154.97 1606.42 9.65 2004 203.99 1707.42 11.95 2005 219.10 1376.08 15.92 2006 270.01 1196.58 22.57 2007 267.45 1143.87 23.38 2008 866.08 2461.85 35.18 2009 455.60 2286.11 19.93 2010 540.67 1958.09 27.61 2011 523.73 1905.71 27.48
2012*) 374.89 2000.86 18.74 *kuartal pertama
6.5 Pergerakan Harga Minyak Goreng Curah Antar Wilayah
Minyak goreng curah merupakan komoditas yang mudah mengalami
fluktuasi harga. Selama periode bulan Januari 2000-April 2012 harga minyak
goreng di 10 kota besar terlihat fluktuatif sepanjang waktu pengamatan
(Gambar 22). Meskipun terdapat adanya pergerakan harga di beberapa kota yang
tidak sama seperti Denpasar dan Makasar, namun secara umum seluruh harga
yang diamati mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Persamaan pergerakan harga merupakan indikasi adanya integrasi pasar.
Meskipun demikian adanya integrasi harus dibuktikan melalui pengujian.
77
Gambar 22 Pergerakan harga minyak goreng antar kota besar periode
Januari 2000-April 2012
Dari Tabel 12 terlihat jika pergerakan harga minyak goreng curah di 10
kota besar di Indonesia menunjukkan keragaman harga yang cukup tinggi pada
setiap kota. Jika dibandingkan dengan komoditas beras, maka fluktuasi harga
minyak goreng jauh lebih tinggi dan lebih sering terjadi. Menurut Sari (2010),
CV harga eceran beras di tingkat nasional pada tahun 2000-2008 hanya berkisar
1-4% . Sehingga meskipun persentase pengeluaran masyarakat untuk minyak
goreng lebih kecil dari bahan pangan pokok (beras), tetapi pemerintah
memandang perlunya intervensi untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng.
Harga rata-rata minyak goreng yang paling rendah terjadi di Medan sebesar
Rp 6 408/kg. Hal ini sesuai dengan kondisi riil, dimana wilayah Sumatera Utara
merupakan sentra industri minyak goreng terbesar di Indonesia. Propinsi ini
termasuk wilayah surplus minyak goreng dimana hanya 6% dari total produksi
minyak goreng di wilayah tersebut yang digunakan untuk keperluan di wilayah
Sumatera Utara, sedangkan sisanya sebesar 94 % digunakan untuk memenuhi
kebutuhan propinsi lain dan untuk ekspor (KPPU, 2010). Kondisi ini mendorong
terciptanya tingkat harga yang lebih rendah pada pasar minyak goreng di Medan.
Sebaliknya harga rata-rata minyak goreng yang tertinggi adalah harga di
Denpasar yaitu sebesar Rp 7 381/kg. Salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat harga pada pasar minyak goreng di Denpasar adalah karena
78
propinsi Bali merupakan net importer untuk komoditas minyak goreng sawit. Di
propinsi ini sebagaimana Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tidak
terdapat satu pun industri pengolahan minyak goreng sawit. Mengingat Denpasar
mempunyai kedekatan dengan Jawa Timur sebagai salah satu sentra minyak
goreng , tingginya tingkat harga juga menimbulkan dugaan jika pasar minyak
goreng di Jawa Timur dan Bali tidak terintegrasi penuh.
Dengan demikian, perbedaan harga antara harga minyak goreng di Medan
dengan Denpasar (Rp 972/kg ) merupakan disparitas harga rata-rata yang tertinggi
diantara disparitas antar kota pada 10 kota yang diamati dalam penelitian ini.
Ditinjau dari keragaman harga antar kota, fluktuasi tertinggi terjadi di kota
Pekanbaru (CV= 10.65%). Tingginya fluktuasi harga minyak goreng di kota ini
lebih banyak dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO. Sebagaimana diketahui,
propinsi Riau merupakan sentra kelapa sawit terbesar. Produksi CPO di wilayah
ini sebagian besar ditujukan untuk keperluan ekspor. Perubahan harga CPO, baik
harga CPO dunia maupun domestik dengan cepat ditransmisikan ke pasar minyak
goreng. Hal yang sama terjadi dengan harga minyak goreng di Medan. Meskipun
harga rata-rata di Medan merupakan harga rata-rata terendah dibandingkan 9 kota
lain, namun harga di Medan juga lebih fluktuatif. Sebagaimana halnya harga di
Pekanbaru, harga minyak goreng di Medan juga mudah dipengaruhi oleh fluktuasi
harga CPO.
Harga minyak goreng di kota-kota di wilayah konsumen pada umumnya
cenderung lebih stabil, kecuali Denpasar. Koefisien keragaman harga minyak
goreng di kota ini mencapai 9.18% yang merupakan keragaman yang tertinggi
jika dibandingkan dengan kota konsumen lain. Selain dipengaruhi dari sisi
penawaran, fluktuasi harga di Denpasar juga dipengaruhi shock pada sisi
permintaan. Sebagai daerah pariwisata utama, jumlah arus wisatawan sangat
berpengaruh terhadap konsumsi minyak goreng di propinsi Bali. Perubahan dari
sisi permintaan tidak dapat dengan cepat disesuaikan oleh sisi penawaran,
mengingat propinsi Bali merupakan net consumer yang mengandalkan pasokan
minyak goreng dari wilayah lain. Pergeseran permintaan pada akhirnya akan
mengubah tingkat harga.
79
Diantara 10 kota tersebut, pergerakan harga minyak goreng di Jakarta
merupakan yang paling stabil (CV=7.22%). Perkembangan industri minyak
goreng di wilayah DKI Jakarta dewasa ini menjadikan propinsi ini sebagai salah
satu sentra industri minyak goreng sawit. Di wilayah DKI Jakarta telah banyak
berdiri pabrik minyak goreng sawit yang mempunyai kapasitas besar, misalnya
pabrik yang dimiliki oleh Grup Astra Agro Lestari, Indofood dan Majuan.
Kapasitas terpasang pabrik minyak goreng sawit milik ketiga perusahaan ini
mencapai 550 000 ton/tahun (Kemenperin, 2011). Dengan jumlah penduduk pada
tahun 2012 sebesar 9.8 juta jiwa (BPS, 2012) maka kebutuhan minyak goreng di
DKI Jakarta untuk konsumsi rumah tangga dan industri adalah sebesar 162.4 ribu
ton/tahun. Dengan demikian terdapat surplus produksi minyak goreng di DKI
387.7 ribu ton per tahun, sehingga pasar minyak goreng di Jakarta relatif
mempunyai kestabilan baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
Tabel 12 Harga* dan keragaman harga minyak goreng antar kota besar di Indonesia periode bulan Januari 2000-April 2012
Wilayah
Harga Rata-Rata
(Rp/kg) Standar Deviasi CV Rata-rata
(%) MEDAN 6408.67 615.26 9.56 PEKANBARU 6746.22 668.92 10.65 PALEMBANG 6487.92 561.53 8.20 JAKARTA 7024.24 489.42 7.22 BANDUNG 6765.72 517.29 7.47 SEMARANG 6540.83 561.99 8.19 SURABAYA 6668.79 603.28 8.64 DENPASAR 7381.04 652.19 9.18 PONTIANAK 6751.73 595.71 8.46 MAKASAR 6639.61 571.05 8.03
*rata-rata tahunan (tahun 2012 rata-rata 4 bulan)