V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, rangkaian analisis dinamika sistem dan pemodelan spasial
merupakan ha1 yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, kine rja
komponen pemodelan yang satu akan mempengaruhi kinerja komponen model yang
lainnya. Seperti telah dikemukakan pada Bab sebelumnya, pemodelan dilakukan
sebagai upaya untuk memberikan penjelasan dari fenomena dinamika perubahan yang
ada di Delta Mahakam (explanatory) serta memberikan alternatif penyelesaian
masalah melalui pengembangan model teoritis (predictive). Pemodelan dilakukan
dalam tiga modul yang bersifat sekuensial. Modul - modul tersebut yaitu:
1 . Modul analisis dinamika sistem yang terdiri dari tinjauan umum wilayah
Delta Mahakam melalui observasi lapangan, analisis perubahan tutupan lahan
melalui citra multi temporal, dan analisis dinamika sistem.
2. Modul pemodelan spasial, yang terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah
analisis pemilihan lokasi tambak berdasarkan pada kondisi dilapangan dengan
analisis multi kriteria serta pemodelan difusi spasial yang berdasarkan pada
dinamika salinitas yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut di wilayah Delta
Mahakam
3 . Modul pengembangan model skenario spasial dengan analisis multikriteria
dari hasil pemodelan yang digunakan sebagai masukan dalam pengembangan
rekomendasi pengelolaan.
V.l Modul Analisis Dinamika Sistem
Sepeti telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, analisis dinamika sistem dalam
penelitian ini tidak ditujukan untuk memprediksi perilaku dengan simulasi sistem yang
ada di Delta Mahakam, namun lebih ditujukan untuk memahami proses dan dinamika
sistem yang ada. Hasil dari analisis dinamika sistem ini dapat memberikan penjelasan
bagi fenomena perubahan yang ada di Delta Mahakam. Selanjutnya, analisis dinamika
sistem ini menuju kepada identifikasi komponen utama dalam modul - modul yang
lain.
Ada tiga tahap yang dilakukan dalam modul analisis dinamika sistem, yaitu tinjauan
wilayah Delta Mahakam, analisis citra multi temporal, dan analisis dinamika sistem
konversi mangrove.
V.l.l Tinjauan wilayah Delta Mahakam
Tinjauan wilayah Delta Mahakam dilakukan melalui tinjauan pustaka dan observasi
lapangan serta analisis citra multi temporal. Dari observasi lapangan dapat
disimpulkan bahwa Delta Mahakam terrnasuk ke dalam jenis delta yang dipengaruhi
oleh kondisi pasang surut. Delta Mahakam memiliki energi gelombang yang rendah,
transport sejajar pantai yang lemah, bedload yang tinggi, serta energi pasang surut
sedang (Haslett 2000). Delta Mahakam memiliki kondisi pasang surut semi diurnal
yang berarti memiliki kondisi pasang dua kali dalam sehari. Dari analisis gelombang
pasang surut, Delta Mahakam memiliki 4 (empat) komponen pasang surut yang
berbeda periodenya pada musim basah (Juni) dan musim kering (Desember). Kondisi
ini akan memberikan pengaruh kepada kondisi biofisik, terutama pada kondisi salinitas
pada kanal - kanal di wilayah Delta Mahakam.
Delta Mahakam merupakan wilayah yang penting secara ekonomi sebagai wilayah
penghasil minyak dan gas bumi yang utama di Indonesia. Delta Mahakam juga
merupakan sumber penghasilan bagi pemerintah daerah melalui pertambakkan
udangnya. Namun demikian, karena kondisi geografis, biofisik dan geologisnya, serta
tidak memiliki "governance" yang sangat diperlukan bagi pengelolaannya, Delta
Mahakam memiliki karakteristik sumberdaya yang terbuka pemanfaatannya (open
access resources).
Dari analisis citra multi temporal, disimpulkan bahwa perubahan tutupan vegetasi
mangrove terjadi pada tahun 1997 dan kemudian menurun dengan pesat hingga tahun
2001 (gambar 48).
Penurunan Luas Tutupan Mangrove
Gmbar 48 Penrbaha;n luas tutupan mangrove dan asosiasinya di Delta Mahakam pada tahun 1983,1997, dan 2001.
Dari analisis citra dapat disimpdkan bahwa luas tutupan vegetasi mangrove pada
tahun 1983 adalah 1 14.497,920 hektare, kemudian menufun pada tahun 1997 sebesar
5.380,84 hektare. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari bulan Juni tahun 1997
hingga F e b d 2001 luas tutupan mangrove menurun hingga 56.652,190 hektare. Hal
ini berarti luas tutupan mangrove hilang sebesar 52.462,89 hektar dalam waktu empat
tahun saja (rata - rata sekitar 36 hektar per hari selama empat tahun).
Dari tinjauan ini, dihasilkan suatu pernahaman awal mengenai fenomena konversi
lahan mangrove yang pesat, terutama setelah tahun 1997. Pemahaman ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Kondisi pasar udang internasional. Peningkatan konsumsi udang
dunia memicu ndmya harga udang pada tahun 1997. Kondisi ini
kemudian menyebabkan peningkatan kegiatan produksi udang pada
tahm 1998. Kegiatan ekspor udang meningkat dari 93.043 ton di tahun
1997 menjadi 142.689 ton di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik 1999).
b. Krisis ekonomi regional. Krisis ekonomi yang dimulai pada tahun
1997, dengan kondisi devaluasi rupiah terhadap US dollar memicu
peningkatan volume ekspor, termasuk komoditi udang. Multiplikasi
nilai dolar Amerika terhadap Rupiah menyebabkan meningkatnya
keuntungan marjinal yang diperoleh pelaku ekspor komoditi udang
secara umum.
c. Kebijakan perikanan. Pada tahun 1996 diberlakukan larangan
penggunaan pukat harimau yang banyak digunakan dalam perikanan
tampak di kawasan Delta Mahakam. Dengan demikian, nelayan
tradisional yang tadinya bekerja dalam mekanisme perikanan tangkap
ini mengalihkan pekerjaannya ke produksi tambak tradisional {Cornrn.,
2003 #252;Bourgeois, 2002 #283;Malinta, 2003 #261).
d. Kondisi biofisik dan tutupan lahan nipah. Tutupan lahan nipah
secara fisik lebih mudah dikonversikan dibanding mangrove. Meskipun
data yang berkaitan dengan perbandingan biaya pembukaan lahan
mangrove versus lahan nipah, kemudahan fisik untuk mengkonversi
nipah menyebabkan rendahnya biaya awal dari persiapan dan
konstruksi pembukaan tambak tersebut.
e. Kondisi iklim ekstrim pada tahun 1997. Pertambakan tradisional
dengan minimum input di Delta Mahakam, sangat tergantung pada
pasokan air tawar dari kanal - kanal yang ada. Dengan minimum input,
kondisi salinitas optimum yang menjadi syarat utama bagi produktivitas
tambak di wilayah Delta Mahakam. Kondisi ekstrim pada tahun 1997
yang dipicu oleh fenomena iklim global El Nino, menyebabkan musim
kering yang berkepanjangan pada tahun tersebut di Indonesia. Musim
kering panjang tersebut memicu kebakaran hutan, termasuk di
Kalimantan Timur, di wilayah hulu sungai Mahakam yang berpengaruh
pada kondisi sedimentasi dan salinitas di wilayah Delta Mahakam.
Meningkatnya sedimentasi dan rendahnya curah hujan diperkirakan
telah menyebabkan meningkatnya kadar garam di perairan Delta. Hal
ini merupakan lingkungan menguntungkan bagi produksi tambak
karena kondisi salinitas optimum yang terjaga. Dengan demikian,
wilayah nipah yang bukan merupakan wilayah yang tepat bagi tambak
udang karena rendahnya tingkat salinitas yang diperlukan bagi tumbuh
kembangnya species Nypa fructican, pada kondisi iklim ekstrim ini
memiliki kondisi kadar garam yang sesuai bagi pertambakan udang.
Tinjauan wilayah Delta Mahakam yang menjadi tahap awal analisis dinamika sistem
digunakan sebagai referensi bagi pemodelan selanjutnya. Dari hasil analisis ini
disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara proses biofisik, kondisi tutupan lahan,
kondisi iklim ekstrim serta faktor eksternal antara lain proses ekonomi dan kebijakan.
Analisis dinarnika sistem menunjukkan bagaimana keterkaitan dan hubungan antara
proses - proses yang telah diidentifikasi.
V.1.2 Analisis dinamika sistem
Analisis dinamika sistem dilakukan dengan mengidentifikasi subsistem yang
mempengaruhi integritas sistem ekologi mangrove dan asosiasinya yang mengalami
konversi dalam skala besar di Delta Mahakam. Dinamika sistem memiliki komponen
- komponen sebagai berikut:
1. Konversi mangrove
2. Produksi minyak dan gas bumi
3. Produksi tambak udang
4. Biofisik
Gambar (49) menunjukkan hasil pemodelan analisis sistem yang dilakukan. Hasil
dalam bentuk tabular disajikan dalam Lampiran V.
a w Gnph I ( M ~ w m r . C m ~ a ) Y u n 9q5.M IbD-
Gambar 49 Grafik hasil pernodelan analisis dinamika sistem
Dalam analisis didapatkan bahwa pengurangan tutupan mangrove melonjak pada tahun
ke 18 dan tutupan mangrove akan habis pada tahun ke 20 yang pada saat yang sama
konversi lahan mangrove untuk tambak mencapai maksimurn. Pada tahun ke 15 tahun
ke 16, luas wilayah tambak yang ditinggalkan akan meningkat menunjukkan turunnya
produktivitas tambak akibat kondisi ekologis, yaitu turunnya luas mangrove yang
merupakan sumber utama benih udang bagi pertambakkan di kawasan Delta Mahakam
serta kondisi pasar komoditi udang yang berfluktuasi.
Kondisi salinitas yang dipengaruhi oleh pasang surut dan serta debit air sungai
Mahakam, mempengaruhi produktivitas tambak secara signifikan. Hal ini ditunjukkan
oleh fluktuasi produktivitas yang sejalan dengan fluktuasi salinitas. Produktivitas
tambak yang didukung oleh keberadaan mangrove dan kondisi salinitas ini kemudian
memicu pembukaan lahan mangrove lebih lanjut.
Hasil analisis sistem dapat dirangkum sebagai berikut:
- Salinitas memiliki pengaruh yang penting dalam produktivitas tambak
- Luas tambak yang ditinggalkan dipengaruhi oleh produktivitas tambak
- Konversi lahan mangrove sangat dipengaruhi oleh produktivitas tambak
Dengan demikian, kondisi salinitas dapat dikatakan mempengaruhi konversi
mangrove.
V.1.3 Analisis dinamika salinitas
Dinamika distribusi salinitas dalam suatu sistem perairan diatur dalam hukum
keseimbangan massa garam. Seperti telah dibahas dalam Bab I11 dan Bab IV dalam
pemodelan dinamika salinitas, penyebaran salinitas di perairan, berdasarkan hukum
Fick akan melalui komponen proses adveksi dan proses difusi (Officer 1976). Proses
adveksi adalah penyebaran salinitas akibat arus laut, sehingga penyebaran salinitas
akan mengikuti pola arus. Proses difbsi adalah penyebaran salinitas akibat perbedaan
koefisien dari gradien salinitas (Ippen 1966).
Model diskret yang dihasilkan dari penurunan formula dari hukum Fick I adalah
(persamaan 3.9):
(3.9)
Dengan
gA g 2 ~ 2 3 g 2 ~ 2 w U ( X , t ) = - cos(kx - wt) - --j- cos 2(kx - wt) - x sin 2(kx - wt) c 8c 4c4
Dimana : S = salinitas
arus pasang surut koefisien difbsi salinitas amplitudo index waktu index ruang; j = 0 pada titik paling hilir yang berbatasan dengan laut kedalaman rata - rata j arak fiekuensi pasang surut gaya gravitasi bumi
Perhitungan komponen arus pasang surut (u) yang menentukan penyebaran kadar
garam menghasilkan besaran u yang ditampilkan pada tabel (9).
126
Tabel 9. Arus pasang surut pada titik - titik tertentu di kana1 Delta Mahakam
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin ke hulu, arus pasang surut semakin
melemah. Tanda negatif menunjukkan pengaruh debit air sungai yang lebih dominan
sehingga arus pasang surut berputar dan dan berbalik ke arah laut. Besaran arus
pasang surut yang pada titik j=0 dengan empat periode yang berbeda. Besaran arus
pasang surut ini digunakan untuk mencari nilai distribusi salinitas yang dicari melalui
program QuickBasic yang menghasilkan besaran salinitas yang digunakan sebagai rule
dalam routing aliran bagi pemodelan spasial yang dapat dilihat pada Lampiran VI.
Tabel (10) menunjukkan salinitas hasil pemodelan.
Tabel 10. Nilai salinitas hasil pemodelan
Pemodelan distribusi salinitas menggunakan pemodelan satu dimensi. Hasil
perhitungan nilai salinitas dari pernodelan konsisten dengan pernodelan akumulasi
aliran dimana arus berpengaruh terhadap persebaran nilai salinitas. Dengan j = 0
adalah titik paling hilir yang berbatasan dengan laut, nilai salinitas pada j =O adalah
tertinggi (33 ppm). Semakin jauh dari j = 0, nilai salinitas semakin menurun. Pada
periode (T) dengan amplitude tertinggi mempengaruhi besarnya salinitas karena
amplitude berkaitan erat dengan arus dan panjang gelombang yang kemudian
berpengaruh kepada volume air laut yang mengalir ke dalam kanal. Nilai salinitas ini
kemudian digunakan dalam pernodelan sebaran salinitas secara spasial.
V.2 Pemodelan spasial
V.2.1 Model difusi spasial
Pemodelan difusi spasial salinitas dibagi menjadi dua tahap. Yang pertama adalah
memodelkan aliran yang menjadi dasar penyebaran salinitas. Yang kedua adalah
pemodelan difusi spasial yang berdasarkan pada dinamika salinitas itu sendiri.
a. Akumulasi aliran
Pemodelan akumulasi aliran didasari oleh prinsip bahwa setiap air yang mengalir
melalui suatu kanal merupakan suatu proses distribusi yang disebabkan oleh laju
aliran, kecepatan arus, dan kedalaman yang bervariasi dalam suatu sistem, misalnya
daerah aliran sungai. Pengukuran laju aliran, jarak dan kedalaman dapat dalam
pemodelan spasial ini menggunakan prinsip routing distribusi aliran (distributedflow
routing). Dengan prinsip yang sama, akumulasi aliran kemudian dimodelkan berdasar
pada perbedaan kedalaman yang berarti perbedaan volume.
Pemodelan akumulasi aliran menunjukkan bahwa makin besar nilai kedalaman kanal
semakin besar volume air yang diperlukan untuk mengisi kedalaman tersebut sehingga
semakin jauh jarak horizontal yang dapat dicapai oleh aliran tersebut. Akumulasi
aliran di wilayah Delta Mahakam menunjukkan pada kondisi musim yang berbeda
kadar garam yang menyebar sesuai dengan volume air laut akan berbeda. Gambar
(50) hingga (59) adalah akumulasi aliran hasil pemodelan dengan kedalaman yang
berbeda.
- ---. 2 .;;;;; ;
, --
Gambar 50 Akumulasi aliran dengan kedalman -40 m di bawd permukaan laut
r
Gambar 5 1 Alnunulasi aliran d m p kedalaman -30 m di bawah permukaan laut
Gambar 52 Akumulasi aliran dengan kedalaman -20 m di bawah permukaan laut
Gambar 53 Akumulasi aliran dengan kedalman -10 m permukaan laut
Gambar 54 Akumulasi aliran dengan keddaman -5 m permukaan laut
Gambar 55 Akumulasi aliran dengan kedalaman -4 m di bawah permukam laut
Garnbar 56 Akumulasi alirm dengan kedalaman -3 m di bawah permukaan laut
Gambar 57 Akumulasi aliran dengan kedal- -2 m di bawah pmukam laut
- - . I . / L - , - - 8 r n F - ..
Gambar 58 Akurnulasi aliran dengan kedalaman -1 m di bawah permulaan laut
Gambar 59 Akumulasi h dengan kedalaman m a dengan permukaan laut.
Hasil pemodelan simulasi menunjukkan bahwa volume air pasang menentukan jarak
penyebaran massa garam. Tanpa kecepatan arus sungai, simulasi menunjukkan bahwa
volume terbesar dari pasang surut dapat mencapai wilayah sungai sejauh tiga kilometer
dari mulut sungai ke arah daratan. Hal ini menunjukkan dominasi pasang surut di
Delta Mahakam yang dapat menentukan penyebaran massa garam, dengan demikian
dapat menentukan kondisi salinitas di wilayah Delta Mahakam.
b. Model difusi distribusi salinitas
Dari hasil pemodelan dinamika salinitas diperoleh besaran yang kemudian digunakan
sebagai rule dalam pemrograman dengan AMLTM dalam ARC/INFO@. Kedua
komponen kunci dari penyebaran massa garam, yaitu proses adveksi dari arus pasut
dan koefisien gradien salinitas diakomodasikan dalam kedalam AMLTM. Model
dijalankan dengan besaran arus pasang surut yang ekstrim yaitu pada bulan Juni
dengan periode yang berbeda. Gambar (60) hingga gambar (64) menunjukkan
distribusi salinitas pada xj, dan u,, dimana j = 0, dan n = 12.4,24.01, 12 dan 25.82.
Gambar 60 Salinitas pada xj, dan G, dimaria j = 0, dan n = 12.4,24.01,12 dan 25.82.
Garnbar 6 1 Sdbitas pada Xj, dan h, dimana j = 0, dan n = 12.4,24.01, 12 dan 25.82.
Gambar 62 SahiSas pada xj, dan a, dimana j = 0, dan n = 12.4,24.01,12 dan 25.82.
Gmbar 63 Sahitas pada xj, dan u,,, dimam j = 0, dan n = 12.4,24.01,12 dan 25.82.
Dalam skala waktu harian, hasil menunjukkan bahwa pada kondisi pasang tinggi pada
periode T=12.4 jam salinitas terdistribusi hingga mulut sungai. Komponen adveksi
merupakan komponen dominan dan pada periode T = 12 jam, arus pasang surut
memiliki nilai negatif dan debit air sungai menjadi dominan. Hal ini menyebabkan
proses penyebaran salinitas pada perairan kana1 berbalik ke arah laut (Gambar 62).
Dalam skala waktu yang lebih besar, musim memegang peran yang penting dalam
penyebaran salinitas ini. Hal ini karena karakteristik pasang surut yang mengikuti
sirkulasi bulan dan matahari, yang kemudian berpengaruh pada volume air laut dan air
tawar. Karena data observasi pada kondisi iklim ekstrim tahun 1997 tidak diperoleh,
kondisi pasang surut pada musim kering dan musim basah dibangkitkan dari simulasi
pasang surut yang dilakukan dengan program WXTIDE32, yang urnum digunakan
bagi wilayah -wilayah tanpa data observasi (Hadi:Pers.-Comrn. 2003). Tabel (1 1)
menunjukkan kecepatan arus pada bulan Juni 1997 pada saat kondisi iklim ekstrim
global berlangsung. Pasang terendah memberikan nilai arnplitudo hingga 0.4 meter
dan tertinggi hanya mencapai 2.8 meter. Sehingga kecepatan arus maksimal pada
kondisi iklim ekstrim tersebut mencapai 6 meter per detik dan minimal mencapai 2
meter per detik.
Tabel 11. Tinggi pasang surut pada bulan Juni 1997
New 06-05 H0511 2.6 L1141 0.5 HI725 2.0 L23 1 1 0.4
12Jun LO217 0.9 H0853 2.2 L1538 0.9 H2129 1.6
19Jun H0425 2.4 Ll 100 0.7 H1636 1.8 L2221 0.6
26Jun LO209 0.7 H0835 2.4 L1514 0.6 H2118 1.9
6Jun H0543 2.7 L1214 0.4 H1759 2.0 L2342 0.4 FQtr 06-13 LO258 1.0 H0932 1.9 L1627 1.0 H2240 1.6
20Jun HOSOO 2.6 L1133 0.6 H1712 1.9 L2257 0.5 LQtr 06-27 LO257 0.9 H0917 2.2 L1602 0.7 H2222 1.8
Full 06-21 H0534 2.7 L1206 0.5 H1748 1.9 L2333 0.4
28Jun Lo400 1.1 HI008 1.9 L1701 0.8 H2350 1.8
29Jun 30Jun lJul 24111 3Jul 4Jul New 07-05 LO540 1.2 H0133 1.9 H0250 2.0 H0343 2.2 H0424 2.4 H0500 2.5 H0532 2.6 HI122 1.7 LO801 1.2 LO932 1.1 L1025 0.9 L1104 0.7 L1138 0.6 L1209 0.5 L18160.9 H1314 1.6 H1451 1.6 HI555 1.7 HI641 1.7 H1718 1.8 H1751 1.9
L1939 0.9 L2047 0.8 L2138 0.7 L2220 0.6 L2256 0.6 L2330 0.5 Sungai Kutei, Borneo, Indonesia
Units are meters, initial timezone is SEAST
June 1997 low is 0.4m, high is 2 . 8 ~ range is 2.4m.
Historical low is -0.5m, high is 3.3m, range is 3.8m.
Hasil analisis dinamika salinitas spasial menunjukkan jarak persebaran salinitas pada
waktu - waktu tertentu sejalan dengan dinamika pasang surut. Hasil analisis
menunjukkan bahwa volume air menentukan besaran dan arah persebaran garam
tersebut. Fakta ini menjadi penting karena asupan air bagi pertambakan diperoleh dari
kanal - kanal yang ada di Delta Mahakam. Dengan demikian, jarak dari badan air
memegang peran yang penting dalam pembukaan tambak. Jarak dari badan air
kemudian ditentukan sebagai kriteria penting dalam analisis multi kriteria yang
mengkaji latar belakang pengambilan keputusan lokasi pembukaan tambak.
Dari analisis dan pemodelan spasial ini didapat wilayah -wilayah dengan salinitas
optimum bagi pembukaan tambak (salinitas antara 15 ppm hingga 23 ppm) dan
wilayah -wilayah dengan salinitas optimum pada kondisi iklim ekstrim. Kedua hasil
ini ditampilkan dalam gambar (64) dan gambar (65).
Wilaya h dengan salinitas optimum
- 1 -
.-
8 - - -
Wend Optimum3
m S"m5
, - L
, * - -
A N
IIomMers 0 4 8 16 Salinlas antara 15 ppm hingga 23 ppm
Gmbar 64. Wilayah - wilayah dengan kondisi salinitas optimum bagi pertambakan udang (antara 15 hingga 23 ppm).
Salinitas dalam kondisi iklirn ekstrim
Legend extrameclass2
a N 1-
I - 1 Klometers 0 4 8 16
Salinitas ekstrim antara 14 ppm hingga !37 rendah -05 ppm berdasarkan pada kondisi pasut ekstrim Oerendah -0.5m; tertinggi33m dan kecepatan arus pasut = 16m/detik)
Gambar 65. Sahitas dalam kondisi iklim ekstrim antara 14 ppm hingga 57 ppm berdasarkan pada kondisi pasut ekstrim (terendah -0.5m; terthggi 3.3m dan kmepatan arus pasut = 16 ddetik) .
V.2.2 Analisis Multi kriteria
Analisis multikriteria dilakukan sebagai alat pengkajian kondisi sebenamya untuk
melihat faktor - faktor keruangan yang apa yang menentukan keputusan pembukaan
lahan bagi tambak. Analisis multi kriteria menunjukkan bahwa wilayah yang
dipertimbangkan memiliki kemungkinan konversi tertinggi adalah:
1. wilayah dengan tutupan lahan mangrove (bukan nipah), yang menunjukkan
kondisi salinitas yang memenuhi syarat tambak yang produktif. Secara
empiris, nipah membutuhkan kadar garam yang rendah untuk dapat bertumbuh
kembang.
2. jarak dari badan air maksimum 500 meter, yang menunjukkan kondisi
hidrodinamika yang rendah dari kanal - kanal Delta.
Jarak terhadap pusat pasar yaitu Samarinda, tidak menjadi komponen penting bagi
keputusan pembukaan tambak. Hal ini karena biaya transportasi yang relatif rendah
dibandingkan dengan pendapatan marjinal yang diperoleh petambak. Daerah
eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan daerah dengan kemungkinan pembukaan
tambak yang sedang dan rendah. Gambar (66) menunjukkan peta daerah dengan
kemungkinan pembukaan tambak.
Dari gambar (66) dapat dilihat bahwa wilayah dengan nilai tertinggi (Very high) dan
nilai tinggi (high) adalah wilayah dengan tutupan mangrove (Avicenia sp.) serta
wilayah dengan rataan pasang surut (tidalflats) di semenanjung delta. Wilayah nipah
yang sebenarnya merupakan wilayah dengan kondisi salinitas yang tidak sesuai bagi
produktivitas tambak yang optimum, memberikan kecenderungan sedang. Menguatkan
pertimbangan bahwa salinitas di wilayah tersebut mencukupi, sehingga meskipun
dengan produktivitas marjinal, karena biaya pembukaan yang relatif rendah.
Overlay dengan coverage kondisi vegetasi pada tahun 2001, menunjukkan bahwa
analisis multikriteria memberikan hasil yang baik. Overlay ini ditunjukan pada
gambar (67). Analisis statistik dari kedua overlay tersebut menunjukkan perbedaan
jumlah pixel yang tidak signifikan. Dari grafik yang tercantum dalam gambar (67)
memberikan nil& coincidence dari jumlah pixel yang tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja d s i s multi kziteria memberikafl hasil yang valid. -- - -
Wilayah dengan Kemungkinan Konversi
Legend Optimum3
extremeclass;!
Class I,
I 1 ~ ' 5
-
. 1 2 1 I 3
- r
1 r 1 '8-
N
I - I Meters 0 4875 9750 19m
Peta kernungkinan komersi hasil analisis multikr'bria dengan kriteria: Jarak dengan pusat pasar [Samarinda) Tutupan Nipah Penggunaan lahan [land use)
-bar 66 Wilayah dengan kernungkinan pembukaan tambak
Onlk Cohchmr d d niW &h pbrrl hrsil '"3
urllids kwnung)tirpn konnrsidr !
16-
n 0 1 2 3 b
I
I
1
d
e I
I
Meters 0 4,150 8900 16,600 Niiai Perhrtungan Coincidence Jumiah Pixel
Gambar 67 Overlay hasil multikriteria dengtm coverage vegetasi pada tahun
2001
Dari pemodelan dinamika salinitas dan pemodelan spasial, dapat dirangkum bahwa:
1. Salinitas yang optimum bagi pertambakan terbatas
2. Pada kondisi iklim ekstrim salinitas optimum bagi pertambakan udang dapat
mencapai daerah yang secara empiris memiliki salinitas rendah (wilayah
dengan tutupan vegetasi nipah)
3. Pembukaan terjadi di wilayah dengan tutupan nipah di wilayah dengan salinitas
optimum pada saat wilayah dengan tutupan vegetasi mangrove sudah habis
dikonversikan
V. 2 .3 Pengembangan Skenario Pengelolaan
Dalam analisis tinjauan umum Delta Mahakam, dapat ditunjukkan bahwa ada beberapa
penggeraklpemicu (driver) konversi vegetasi mangrove dan asosiasinya. Secara
umum penggerak dari masalah konversi di Delta Mahakam tersebut adalah:
a. kesempatan ekonomi (economic opportunity) yang sangat diperlukan
bagi berbagai tingkatan pengguna (masyarakat setempat, lokal,
propinsi, nasional)
b. pasar internasional yang berfluktuasi. Dalam konteks komoditi udang,
pasar internasional ditentukan oleh tingkat konsumsi dan kemampuan
pasar dalam mengakomodasi pennintaan. Statistik mencatat
peningkatan konsumsi udang di Arnerika Serikat misalnya, meningkat
sebesar 143% selama 20 tahun terakhir ini (http://www.seafood.com/).
Saat ini pasar udang dunia dipasok terutama oleh: Thailand, Indonesia,
dan Cina (Bourgeois et al. 2002). Indonesia merupakan negara
pemasok udang untuk 4% pasar dunia. Jepang, pengimpor terbesar
udang dari Indonesia mencatat harga udang yang berfluktuasi. Harga
udang di Jepang terutama pada tahun 1997 dan 1998 bernilai sangat
tinggi hingga mencapai USD23,5 per kg pada 1997 dan USD20,92 per
kg di tahun 1998 (Services) 1997 - 2003). Dengan nilai pertukaran
rupiah terhadap US dollar adalah 2.900 di tahun 1997 dan 10.013 di
tahun 1998.
c. kesempatan peningkatan pendapatan daerah (revenue capture
opportunity). Pendapatan Propinsi Kalimantan Timur khususnya Kota
Samarinda, dari industri udang beku, mencapai 9% dari pendapatan
daerah diluar minyak dan gas bumi. Gambar (68) menunjukkan peran
Delta Mahakam dalam ekspor udang beku dalam survey yang d i l a h
Bourgeois, et al pada tahun 2002 (Bourgeois et al. 2002).
Gambw 68 Kontribusi Delta M a b k m dalam ekspor udang dari Kalimantan Timur
d. h g n y a pengatwan status kepastian penggunaan lahan (land tenure)
e. tidak adanya i h m kelembagaan yang memadai bagi
pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan
f. tidak adanya pengetahuan mengenai aspek biofisik dan geofisik yang
berpengamh terhadap produktivitas tambak dalam menjawab
P ermintaan pasar internasional untuk udang
Dari masalah pengelolaan sumberdaya pesisir di Delta Mahzlkam, dibangun
serangkaian skenario intervensi bagi pengelolaan sumberdaya pesisir di Delta
Mahakam dengan mengacu kepada hasil pemodelan yang telah dilakukan. Skenario
intervensi pengelolaan yang dibangun adalah pengembangan zonasi mikro pada
tingkat landsekap dengan menggumhn analisis multilaiteria spasial. Pilihan - pilihan
zonasi m h kemudian diuji dengan menggmakan pagukuran ekologi bentang alam
dengan menggunakan model entropy dan juktaposisi. Kedua pengukunm ini
dilakukan untuk memastikan bahwa skenario yang dikembangkan memiliki integritas
sistem ekologi yang baik sehingga ekosistem Delta Mahakam dapat berfungsi dengan
baik. Model entropi mengukur indeks keragaman isi dari suatu patch. Entropi akan
maximum bila setiap unit lansekap dengan atribut i berada pada jarak maksimumnya.
Model juktaposisi mengukur kedekatan dan hubungan (linkage) di antara atribut yang
berbeda. Dua atribut yang berdekatan dan memiliki sisi atau batas yang sama dengan
ukuran yang tinggi, dianggap memiliki hubungan yang erat, dengan demikian
memiliki hubungan ekologis yang signifikan. Skenario yang dikembangkan
merupakan skenario yang berdasar pada kondisi pemanfaatan ekstrim.
Ada beberapa aspek yang berpengaruh pada zonasi mikro yang dikembangkan. Yaitu
aspek yang berdasar pada pemanfaatan ruang yang optimum dengan fungsionalitas
sistem ekologi Delta Mahakam dalam skala bentang alam yang utuh. Beberapa
pemanfaatan utama adalah:
1. Produksi tambak udang.
Seperti telah diketahui, udang merupakan komoditi yang menguntungkan bagi
masyarakat di Delta Mahakam dan bagi pemerintah daerah Kalimantan Timur,
khususnya Kabupaten Kutai Kartanegara. Namun demikian tidak seluruh wilayah
memiliki persyaratan untuk pertambakan udang yang produktif. Hasil pemodelan
dinamika salinitas yang berdasar pada hubungan aspek musim dan kondisi biofisik
digunakan untuk menentukan wilayah yang dapat diagihkan sebagai wilayah
pertambakan udang (Gambar A Lampiran VII)
2. Produksi minyak dan gas bumi.
Pada dasarnya, pemanfaatan bagi pengembangan infrastruktur ekstraksi minyak
dan gas bumi tidak mengalami perubahan yang substansial. Hal ini karena
kebijakan yang yang berkaitan dengan komoditi minyak dan gas bumi diatur di
tingkat nasional, sehingga perubahan yang terjadi lebih bersifat jangka panjang
(Gambar B Lampiran VII)
3. Konservasi.
Dalam skala bentang alam, Delta Mahakam merupakan bagian dari rangkaian
sistem ekologi yang penting. Sehingga terjaganya integritas ekosistem yang
berfungsi merupakan salah satu tujuan pengelolaan yang utama. Berangkat dari
tujuan ini, konservasi sistem ekologi merupakan ha1 yang tidak dapat diabaikan.
Hasil pemodelan dapat digunakan untuk mengagihkan kawasan konservasi di
wilayah tersebut (Gambar C Lampiran VII).
4. Pemanfaatan Khusus
Hasil analisis dan pemodelan menunjukkan bahwa konversi lahan yang terjadi
terkait erat dengan dinamika salinitas sebagai cermin dari dinamika fisik kawasan
tersebut. Selain itu, kondisi iklim ekstrim yang menyebabkan wilayah dengan
kondisi salinitas anomali dapat ditentukan, sehingga wilayah - wilayah tersebut
dapat diagihkan menjadi wilayah alternatif dalam pengelolaan (Gambar D
Lampiran VII).
Dari hasil analisis dan aspek pemanfaatan yang ada empat zonasi yang dapat
diterapkan. Keempat zonasi dasar tersebut adalah:
1. Zona pemanfaatan. Zona ini mencakup daerah dengan kemungkinan
kemungkinan sangat tinggi dan tinggi yang selalu mendapatkan salinitas yang
optimum hampir sepanjang waktu merupakan wilayah dengan produktivitas
tambak yang tinggi, sehingga wilayah dengan kondisi seperti ini dapat
diperuntukan sebagai wilayah produksi tambak. Termasuk juga ke dalam
wilayah pemanfaatan optimum adalah daerah dengan infi-astruktur ekstraksi
minyak dan gas bumi.
2. Zona penyangga. Zona penyangga ditujukan sebagai peralihan dari zona
dengan kegiatan pemanfaatan yang tinggi dan zona tanpa pemanfaatan. Pada
zona ini, rehabilitasi mangrove dan spesies asosiasi dapat dilakukan.
Rehabilitasi bagi zona penyangga ini dilakukan pula terutama pada wilayah -
wilayah di semenanjung Delta, dimana akresi sedimentasi tinggi. Di wilayah
seperti ini ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap
angin dan penahan arus pasang surut bagi wilayah produksi tambak.
3. Zona konservasi. Zona konversi ditetapkan di daerah - daerah dengan
keragaman jenis mangrove yang tinggi dengan kondisi yang baik. Zona
konservasi ditetapkan pula di wilayah - wilayah dengan tutupan nipah yang
tinggi dan tidak produktif bagi pertambakan. Selain itu, zona konservasi
diupayakan luasnya memenuhi persyaratan umum bagi sustainable aquaculture
yaitu dua hektar tambak berbanding dengan dua hektar mangrove.
4. Daerah dengan tutupan nipah dengan jangkauan salinitas optimum secara
musiman dan berkala dapat digunakan sebagai wilayah alternatif pemanfaatan
dengan memberikan semacam hak pemanfaatan lahan yang sifatnya berkala.
Misalnya karena musim kering yang berkepanjangan yang dipacu oleh proses
El Nino Southern Oscilation (ENSO). Prediksi proses ENS0 dapat dihitung
dan digunakan sebagai dasar pengelolaan. Namun demikian, perhitungan
proses ENS0 di luar lingkup penelitian ini.
Analisis multi kriteria spasial yang berdasar pada hasil pemodelan yang mengacu pada
Gambar 50, menghasilkan beberapa skenario pengelolaan. Coverage yang digunakan
dalam analisis multikriteria spasial dari hasil pembobotan dapat dilihat di lampiran
VIII.
1. Skenario 1
Skenario zonasi mikro pertama dapat dilihat dalam gambar (69). Skenario 1
bertumpu pada pemanfaatan lahan bagi pertambakan udang atau tanpa intervensi.
Dalam skenario ini, wilayah konservasi dikembangkan hanya dengan tutupan lahan
yang masih utuh yaitu di wilayah - wilayah dengan tutupan nipah di mulut sungai.
SKENARIO 1
B
Legend
Landclip
. - .-A . - I I - - a
h -
h - -
a N
I U U - l Kjlometers 0 3.5 7 14 Skenar~o 1 tanpa intewensi
Gambar 69 Skenario 1 yaag bertumpu pada pemanfaatan lahan bagi pertambakan udang
Perbitungan dengan menggunakan ukuran h g s i bentang alam mengbasilkan nilai
yang ditampilkan pada gambar (70).
b F
Leuend Valm
1 1 F Ad Fd'
1 .#MM01- 2 bii-
L- C" - -
b i N I Klometers
%asit pdrhtungin nilai diversit$@skenario 1
Gambar 70 Hasil perhitungan pengukmn h g s i lansekap skenario 1
Dari hasil pengukuran, skenario 1 menghasilkan serangkaian nilai yang berkaitan
dengan struktur spasial wilayah mahakam dengan tata guna lahan pemanfaatan tambak
yang dominan. Nilai yang rendah menunjukkan rendahnya kekuatan h g s i ekosistem
di kawasan tersebut bila tata guna lahan ini diterapkan.
2. Skenario 2
Skenario kedua dibangun dengan bertumpu pada rehabilitasi dan konservasi
wilayah - wilayah yang dibuka bagi pertambakkan. Skenario 2 disajikan dalam
gambar (71)
Dari hasil pengukuran, fungsionalitas lansekap dalam skenario 2 memberikan
rangkaian nilai yang tinggi dan merata. Dengan demikian, upaya konservasi dapat
mengembalikan fungsionalitas sistem ekologi di wilayah Delta Mahakam. Namun
demikian, alternatif ini mengabaikan butir - butir yang mengacu pada manfaat
ekonomi langsung yang diinginkan oleh berbagai pihak. Skenario 2 tidak
memberikan kesempatan bagi pencapaian tujuan pengelolaan wilayah pesisir yang
berkelanjutan, yaitu: tujuan ekologis, tujuan ekonomis, dan tujuan kesetaraan
(Beatley et al. 1994, Bengen 2001 a, Dahuri et al. 1996).
Pengukuran fungsionalitas bentang alam menghasilkan nilai yang ditampilkan
dalam gambar (72)
3. Skenario 3
Skenario 3 dibangun dengan mengakomodasikan berbagai tujuan pemanfaatan
lahan dan sumberdaya pesisir Delta Mahakam. Gambar 73 menyajikan Skenario 3
yang telah dikembangkan
Hasil pengukuran fungsionalitas lahan memberikan nilai yang disajikan dalam
gambar 74. Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa bentang alam sistem
ekologi mangrove, dengan mengakomodasikan berbagai pemanfaatan memberikan
nilai fungsionalitas yang baik. Skenario ini yang diusulkan dalam pengembangan
tata ruang Delta Mahakam.
SKENARIO 2
Legend Scene2
a -. :.';{ ,--- . 3 -
N
I l l Meters 0 4 , l Z 8250 16m Skenario 2 dengan bertumpu pada nilai rehabiliisi dan konsewasi
Gambar 71 S k d o yang bertumpu pada rehabilitasi clan konservasi tutupan mangrove
Legend VALUE
El
1 2
1
I 4 - A
e--
N
Klometers 0 4 8 16 Has11 perhlungan n l l a ~ dlvers~tas S k e n a r ~ o 2
Gambar 73 Skenario 3 yang mengakomodasikan berbagai pemanfaatan sumberdaya alam Delta Mahakam
- value b
, -
m , - .*
1 D 1 .mW30001- 4
cmmmoi - 7 7.#30000001- 9 1
b
I
h '1
N w- -- my ffilometers 0 3.75 7.5 15
Nilai Dkersitas zonasi mikro _I
Secara umum, pemodelan dapat memberikan gambaran dinamika sistem di Delta
Mahakam. Tentu saja, ada keterbatasan pemodelan yang ditemui. Dari rangkaian
pemodelan yang dilakukan keterbatasan model yang diidentifikasi adalah bahwa
model tidak dapat menangkap kondisi dinamika pasang surut dalam skala mikro serta
prediksi waktu pada kondisi anomali. Hal ini karena kondisi iklim ekstrim diperoleh
dari model pasang surut.
V.3 Implikasi Pengelolaan
Analisis sistem, pemodelan spasial, dan analisis multikriteria dalam menentukan
skenario kemudian diterjemahkan ke dalam suatu kerangka pengelolaan yang terpadu
sebagai suatu wilayah ekologi yang utuh. Untuk mencapai tujuan penelitian, ada tiga
modul pemodelan yang dilakukan, yaitu: Modul analisis dinamika sistem, modul
pemodelan spasial, dan modul pengembangan skenario pengelolaan.
a. Kebijakan Pengelolaan di Kawasan Delta Mahakam
1. Tata ruang.
Hasil dan Pembahasan, dapat dilihat bahwa rangkaian analisis dan pemodelan
menghasilkan perilaku model yang diharapkan. Dari analisis dan pemodelan
tersebut diusulkan suatu perencanaan zonasi dalam tingkat mikro yang dapat
digunakan sebagai dasar dari pengembangan tataruang. Dari skenario
intervensi pengelolaan yang dikembangkan dalam zonasi mikro, disimpulkan
bahwa berdasarkan pada hasil pemodelan dan pengukuran integritas sistem
ekologi, skenario 3 merupakan skenario yang optimum untuk dijadikan dasar
dari pengembangan tata ruang pengelolaan sumberdaya pesisir Delta
Mahakam.
Tata ruang yang dikembangkan berdasarkan pada zonasi mikro dari hasil
pemodelan ini mengakomodasikan kepentingan untuk tercapainya pemanfaatan
ruang yang optimum. Tata ruang yang dibangun mencakup:
a. Zona untuk konservasi dan rehabilitasi
Kepentingan konservasi mangrove dan spesies asosiasinya
diakomodasikan dalam tata ruang kawasan Delta Mahakam. Tata guna
lahan untuk konservasi dapat memastikan bahwa pemanfaatan lahan
tidak akan mengganggu fungsionalitas bentang alam kawasan ini.
Alokasi kawasan konservasi dilakukan di wilayah dengan keragaman
hayati jenis mangrove yang tinggi dan merupakan dengan representasi
keanekaragaman hayati ekosistem dan spesies mangrove di Delta
Mahakam. Zonasi konservasi dilakukan di wilayah dengan tutupan
nipah yang tidak produktif bagi produksi tambak. Di samping itu ,
zonasi konservasi dan rehabilitasi hams dilakukan di wilayah yang
disyaratkan sebagai right of way. Luas zona konservasi diupayakan
memenuhi persyaratan umum bagi sustainable aquaculture yaitu dua
hektar tambak berbanding dengan dua hektar mangrove. Zona
konservasi dapat memberikan sumbangan kepada pendapatan daerah
melalui kegiatan ekowisata.
b. Zona pemanfaatan optimum
Zona pemanfaatan produksi tambak, yaitu kawasan dengan nilai
salinitas yang optimum. Zona pemanfaatan bagi produksi minyak dan
gas bumi, yaitu wilayah dengan infiastruktur ekstraksi migas tersebut.
c. Zona penyangga
Merupakan wilayah peralihan dari zona dengan kegiatan pemanfaatan
dan zona konservasi. Pada zona ini rehabilitasi mangrove dan spesies
asosiasinya dilakukan. Zona penyangga ditetapkan di wilayah dengan
tutupan nipah dan wilayah - wilayah produksi tambak yang berbatasan
dengan badan air.
d. Zona dengan pemanfaatan khusus
Daerah dengan tutupan nipah dengan jangkauan salinitas optimum
secara musiman dan berkala dapat digunakan sebagai wilayah altematif
pemanfaatan dengan memberikan semacarn hak pemanfaatan lahan
yang sifatnya berkala Produksi tambak di wilayah dengan pemdaatan
khusus dapat dilakukan dengau teknik tumpang sari.
Zonasi mikro ditampilkan pada gambar (75) dan usulan tata ruang yang
dibangun berdasarkan pada zonasi mikro dari hail pemodelan ini disajikan
pada gambar (76).
C
Zonasi Mikro w
- - Htgh:2 EL:, k ' -
/ L; - * ,-r .
7 "
C I
%---
A N "vq ~ I 4 l o m o t o r s 0 3.75 75 15
Gambar 75 Zonasi mikro hasil pernodelan
Usulan Rencana Tata Ruang Legend:
m Zona Pemanfaatan Tambak Zona Pemanfaatan Migas
D Zona Ibnservasi dan Rehabiliiari D Zona Pemanfaatan ~husus P' ?
*A
I
a N &I r w --I IIometers 0 4 8 16
Gambar 76 Usulan tata rnang pengelolaan kawasan Delta Mahakam
2. Infrastruktur kelembagaan bagi pengelolaan
Kunci pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir secara terpadu adalah adanya
infrastruktur kelembagaan yang utuh. Di Delta Mahakam, salah satu celah
pengelolaan yang teridentifikasi secara umum adalah tidak adanya infrastruktur
pengelolaan. Hal ini menyebabkan simpang siurnya mandat dan tugas lembaga
yang terlibat dalam pengelolaan yang ada saat ini. Hal ini lebih jauh berakibat
pada pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebih.
Implikasi pengelolaan dari aspek infrastruktur kelembagaan yang diperlukan
berdasar pada hasil penelitian ini adalah:
a. pengembangan institusi pengelolaan yang terpadu.
Institusi pengelolaan yang terpadu diperlukan sebagai lembaga yang
benvenang dalam pengelolaan (Management Authority - Badan Pengelola)
Delta Mahakam sebagai suatu kawasan pengelolaan berdasar pada
tataruang yang telah dibangun. Management Authority Delta Mahakam
terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam di kawasan Delta Mahakam. Pihak - pihak ini terdiri
dari:
i. Pemerintah Daerah
ii. Industri Minyak dan Gas Bumi
iii. Petambak
iv. Lembaga Swadaya Masyarakat
v. Industri Perikanan
vi. Representasi masyarakat setempat
Badan Pengelola yang dimaksud tidak perlu dibentuk secara baru, namun
dapat dengan memberdayakan Badan Pengelola Kawasan Delta Mahakam
yang sudah ada dengan penegasan mandat serta penugasan yang sifatnya
formal (ditetapkan oleh peraturan daerah danlatau surat keputusan
eksekutif).
b. Revisi kebijakan land tenure
Kawasan mangrove, dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda,
yaitu: kawasan mangrove dilihat sebagai kawasan konservasi serta
kawasan lindung berdasar pada fungsi. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 32 tahun 1990 yang berkaitan dengan kawasan konservasi, kawasan
Delta Mahakam terkait dalam produk hukum tersebut. Wilayah Delta
Mahakam secara status berada di bawah wewenang Pemerintah Pusat.
Namun demikian, berdasarkan pada Undang - undang no. 22 tahun 1999
mengenai Pemerintah Daerah, yang dielaborasi dalam Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2000, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan
dalam mengatur kawasan hutan lindung. Karena dalam Peraturan
Pemerintah tersebut tidak atau belum diatur ha1 yang berkaitan dengan
pemanfaatan asset di kawasan hutan lindung, Pemerintah Daerah dapat
merevisi kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan hak pemanfaatan
sumberdaya di kawasan lindung. Salah satu contoh yang revisi yang dapat
diterapkan adalah dengan memberikan hak pemanfaatan (hak pakai)
dengan jangka waktu tertentu sesuai dengan siklus iklim ekstrim yang
terjadi secara teratur.
c. Pelaksanaan pengelolaan
Dalam pelaksanaanya, pengelolaan yang berdasarkan pada tataruang yang
dibangun memerlukan ha1 - ha1 sebagai berikut:
i. Enforcement:
Dalam tata ruang yang dibangun, telah ditentukan wilayah -
wilayah pemanfaatan tertentu dengan berbagai kriteria. Pada
pelaksanaannya diperlukan suatu "enforcement" bagi wilayah -
wilayah dengan pemanfaatan khusus, yaitu wilayah yang dapat
dimanfaatkan pada saat kondisi iklim anomali seperti ENS0 yang
mengakibatkan kekeringan panjang dan meningkatnya kondisi
salinitas di wilayah tertentu.
ii. Penyadar - tahuan
Diseminasi informasi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
para pihak yang berkepentingan berdasarkan pada tata ruang yang
dibangun. Bantuan teknis bagi petambak dan pihak lain dapat
dilakukan melalui pelayanan jasa informasi yang dikelola oleh
Management Authority Kawasan Delta Mahakam.
iii. Pembangunan tanda batas
Diperlukan pembangunan sistem tanda batas yang disepakati
bersama antara zona - zona berdasarkan pada tata ruang. Perlu
diingat bahwa tanda batas tidak berarti pemagaran. Hal ini
berkaitan erat dengan penyadar - tahuan serta komponen
penegakan hukum yang juga menjadi syarat pengelolaan.
iv. Resolusi konflik
Usulan rencana tata ruang yang dibangun, dapat diakomodasikan
sebagai sarana penyelesaian konflik pemanfaatan lahan, terutama
bagi petambak dan industri. Konflik yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang, dapat cegah dengan membangun
mekanisme konsultasi publik yang rutin.
v. Pengkinian tata ruang
Pengkinian tataruang sangat diperlukan untuk mengakomodasi
perubahan yang terjadi dalam konteks fisik, sosial, ekonomi,
budaya, serta kelembagaan yang ada dan mempengaruhi kondisi
sumberdaya alam Kawasan Delta Mahakam. Pengkinian tata
ruang hams dilakukan berdasar pada analisis ilmiah dan bersifat
partisipatoris. Sehingga tata ruang Kawasan Delta Mahakam
selalu dapat menjadi perangkat pengelolaan yang efektif.
d. mekanisme pembiayaan pengelolaan
Dalam pengelolaan kawasan Delta Mahakam yang berkelanjutan,
diperlukan mekanisme pembiayaan pengelolaan yang dapat menjamin
berlangsungnya pengelolaan dan ketersediaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan pula. Pembiayaan pengelolaan hams disediakan oleh
pihak yang berkepentingan secara proporsional terhadap pendapatan
(revenue) yang diterima oleh masing - masing. Proporsi biaya
pengelolaan yang dikeluarkan diatur oleh Badan Pengelola yang
disepakati oleh setiap pihak yang berkepentingan.
Dari pihak pemerintah daerah, diperlukan suatu mekanisme yang
bersifat revenue capture melalui insentif dan disinsentif bagi pemanfaat
surnberdaya alam. Prinsip polluter pay principles dapat diterapkan
terutama kepada pihak - pihak yang mendapat hak pemanfaatan
sumberdaya alam (hak pakai) di Delta Mahakam.