URGENSI PENDANAAN PARTAI POLITIK OLEH APBN/APBD
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
KHOIRURRIDHO AL QEIS
11140450000052
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441H/2020M
URGENSI PENDANAAN PARTAI POLITIK OLEH APBN/APBD
DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
KHOIRURRIDHO AL QEIS
11140450000052
Pembimbing
Dr. H. Rumadi, M. Ag.
NIP: 19690304 199703 1 001
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2020M
i
ABSTRAK
KHOIRURRIDHO AL QEIS, NIM: 11140450000052, Urgensi Pendanaan Partai Politik Oleh APBN/APBD Di Indonesia, Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2019.
Bantuan keuangan kepada partai politik merupakan apresiasi yang diberikan oleh negara kepada partai politik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi bantuan keuangan partai politik yang diberikan oleh negara melalui APBN/APBD, serta membahasa bagaimana implikasi dari adanya bantuan pendanaan partai politik di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukan bahwa urgensi adanya bantuan pendanaan partai politik yang diberikan oleh negara menjadi suatu hal yang penting. Hal tersebut menjadi sebuah salah satu langkah bagi negara untuk tidak adanya praktik korupsi yang dilakukan oleh partai politik dan anggotanya, dan mengantisipasi adanya kebergantungan partai politik kepada para penyumbang agar kepentingan-kepentingan di dalamnya tidak merugikan kepentingan bangsa. Implikasi adanya bantuan keuangan partai politik yang diberikan oleh negara, yang diharapkan dapat membantu keuangan partai politik dalam menjalankan fungsi dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dapat meminimalisir terjadinya korupsi yang dapat dilakukan oleh partai politik. Walaupun tidak dapat menjadi sebuah jaminan atas apa yang dilakukan oleh negara untuk tidak ada lagi kasus korupsi yang menjerat partai politik maupun anggotanya.
Kata Kunci: Partai Politik, Bantuan Keuangan, Sistem Pendanaan Partai Politik
Pembimbing: Dr. Rumadi, M.Ag, Daftar Pustaka: Tahun 1996 sampai Tahun 2019
iv
6. Mas Donald Fariz dan kak Almas Sjafrina bagian dari Indonesian Corruption
Watch (ICW) yang telah membantu penulis memberikan informasi-informasi
yang berkaitan dengan skripsi ini.
7. Kedua orang tua saya Bapak Drs. Zahruddin, M.M dan Ibu Nurjanah S.Ag
yang sangat berperan penting dalam kehidupan penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir ini. Pengorbanan yang sangat besar tentu nya
yang mereka berikan untuk penulis dengan tidak ada habisnya nasihat, doa,
motivasi, dan dukungan yang lainnya yang selalu mereka berikan untuk
penulis. Terimakasih yang sangat besar tentu nya yang bisa penulis ucapkan
pada saat ini. Semoga penulis bisa seperti apa yang mereka harapkan dan
bisa mereka banggakan kelak. Aamiin.
8. Kakak saya, dr. Khoirussyifa ZN, adik adik saya, M. Sayyid Rafi dan M.
Yazzid Nawwaf yang selalu sayang, memberikan support tiada hentinya,
memberikan kebahagiaan, dan menjadikan warna dalam hidup penulis.
9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cab. Ciputat,
(LKBHMI) Cab. Ciputat, Keluarga Besar HMI Komfaksy, teman-teman
yang telah menjadi wadah berproses, mengembangkan skill, menambah ilmu
pengetahuan, yang sangat bernilai bagi kehidupan penulis.
10. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (abah), Kanda Ahmad Masy’hud (bang
dim), Kanda Abdul Kadir Batubara, Kanda Rahmat Ramdani, serta senior-
senior yang lainnya yang tak hentinya membantu, memotivasi, dan
mendorong agar selesai nya tugas akhir ini serta selalu mengajarkan kepada
penulis tentang ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan.
11. Dr. Ir. Tubagus Wahyudi, Msi, MCHi, CHI. Guru besar KAHFI BBC
Motivator School. Serta para dosen yang mengajar.
12. Sahabat terbaik Triyono, M. Rifqi Aziz, Agustiar Hariri Lubis, Ahmad Imam
Santoso, Wahid Subekti, yang selalu menemani ketika dalam masa
perkuliahan serta dalam membantu memberikan gagasan dalam skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat kampus BBC Motivator School Murtadlo Baedowi, Dimas
Asy’ari Nasution, Achmad Alfian, Ahmad Fathoni, Faishal Robbani, Ikhwan,
Ernis Miratul Hayah, Dena Putri, Aisyah Fadilah, Rahajeng Ayesha.
v
14. Sahabat-sahabat siraman M. Rifky Maulana, Kemal Andrea, Nurvica
Rosady, Nisrina azziza, dan Amanda Dini.
15. Serta setiap orang yang hadir dalam kehidupan penulis sehingga penulis
tidak bisa menyebutkan satu persatu dalam skripsi ini, yang selalu
memberikan pelajaran baik akademis maupun non akademis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat kepada semua pihak
atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan.
Jakarta, 6 Januari 2020
KHOIRURRIDHO AL QEIS
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN SKRIPSI .................................................................. iii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
D. Review Kajian Terdahulu ........................................................................ 8
E. Metode Penelitian .................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 12
BAB II TINJAUAN TERHADAP PARTAI POLITIK DI INDONESIA
A. Pengertian Partai Politik ....................................................................... 14
B. Tujuan Partai Politik di Indonesia ......................................................... 16
C. Fungsi Partai Politik di Indonesia .......................................................... 19
D. Bentuk-Bentuk Serta Kedudukan Partai Politik .................................... 26
E. Jenis-Jenis Partai Politik ........................................................................ 29
BAB III PENDANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
A. Regulasi Terkait Pendanaan Partai Politik di Indonesia ......................... 33
B. Pengelolaan Keuangan Partai Politik dan Akuntabilitas Dalam Prisip
Good public Goevernance ..................................................................... 37
ix
1. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) ................ 37
2. Konsep Transparansi ....................................................................... 41
3. Akuntabilitas .................................................................................... 45
BAB IV BANTUAN PENDANAAN PARTAI DI INDONESIA
A. Problematika Pendanaan Partai Politik di Indonesia .............................. 51
B. Desain Pendanaan Partai Politik di Indonesia ........................................ 57
C. Implikasi Pendanaan Partai Politik di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Terhadap Masa Depan
Partai Politik ........................................................................................... 60
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan ............................................................................................. 70
B. Rekomendasi .......................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 72
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partai politik sebagai organisasi tentunya membutuhkan biaya
untuk bisa menjalankan semua kegiatan operasionalnya, sehingga
permasalahan biaya menjadi suatu keharusan untuk bisa mempertahankan
eksistensi selain dari pada dukungan masayarakat. Permasalahan biaya
untuk bisa menjalankan operasional partai politik tentunya membutuhkan
biaya yang sangat besar.
Partai politik tidak akan bisa terlepas dari yang namanya
pembiayaan partai. Namun kekuatan partai politik tidak hanya dilihat dari
faktor pembiayaan partai politik saja, dengan kata lain hal tersebut bukan
menjadi satu-satunya kekuatan partai. Berbeda dengan negara-negara
maju lainnya yang mana letak kekuatannya terletak pada parpol itu
sendiri.
Pemilu yang demokratis menjadi penilaian penting akan kesuksesan
sebuah negara menerapkan konsep demokrasi. Selain rakyat, partai politik
menjadi salah satu ciri tentang pemilu yang demokratis.
Partai politik memiliki banyak fungsi dalam melaksanakan sistem
demokrasi. Partai adalah perangkat ide-ide dan selalu menjelaskan,
mensistematisisasikan dan menerangkan ajaran partai. Partai adalah wakil
kelompok-kelompok kepentingan sosial, menjembatani jarak yang
terdapat antara orang per orang dan masyarakat luas.1.
Partai politik memiliki peran fundamental dalam masyarakat
demokrasi. partai politik merupakan perantara yang besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-
lembaga pemerintahan yang resmi. Dengan kata lain, partai politik
1 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Hlm. 148.
1
2
merupakan jembatan penghubung antara yang memerintah dan yang
diperintah.
Keberadaan partai politik di Indonesia, sebenarnya bisa dilacak
sebelum kemerdekaan. Pada masa pra kemerdekaan ini, terdapat beberapa
tahapan yang dapat diamati. partai adalah kelanjutan dari gerakan dan
sekaligus terjemahan dari rasa nasionalisme dan rasa kebangsaan yang
berkembang pada waktu itu.2
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik dinyatakan bahwa
“Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dari ketentuan pasal di atas jelas bahwa pembentukan partai
politik selain memiliki cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota tetapi pembentukan partai politik juga harus
memperhatikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang ter-
organisir, dimana para anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-
cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik
dengan merebut jabatan-jabatan politik secara konstitusional lewat
pemilihan umum.3
Sebagai organisasi yang hidup di tengah masyarakat, partai
politik menyerap, merumuskan, dan mengagregasi kepentingan
masyarakat. Sedangkan sebagai organisasi yang menempatkan kader-
kadernya di lembaga legislatif maupun eksekutif, partai politik
2 Sirajuddin dkk, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, (Malang: Setara Press, 2015), Hlm. 288.
3 I Gede Yusa, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, (Malang: Setara Press, 2016), Hlm. 218
3
menyampaikan dan mendesakkan kepentingan masyarakat tersebut untuk
dibuat kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, partai politik memiliki
fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana
rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik.
Selain ke-empat fungsi di atas, partai politik juga berfungsi sebagai
sarana untuk menyampaikan aspirasi, dimana partai politik memiliki
kewajiban untuk mengumpulkan aspirasi-aspirasi masyarakat, yang
kemudian aspirasi tersebut di sampaikan kepada perwakilan mereka di
legislatif dan eksekutif untuk bisa di perjuangkan.
Karena pentingnya peran partai dalam sistem demokrasi, berbagai
aturan telah di adopsi baik yang membatasi atau mendukung jenis
penghasilan politik tertentu. Insentif untuk merangsang kegiatan
penggalangan dana tertentu oleh partai politik masih jarang di antara
aturan-aturan ini.
Mengenai sumber pembiayaan partai politik dimana UU Nomor. 2
tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang partai politik memang telah mengatur mengenai sumber
keuangan partai politik. Setidaknya ada tiga sumber keuangan partai
politik.
Pertama, iuran anggota partai politik yang akan di tentukan oleh
partai politik, tidak ada jumlah tertentu yang di tentukan oleh undang-
undang mengenai besaran iuran anggota. Dalam praktik tidak banyak
partai politik yang menjalankan ketentuan ini secara teratur, hal ini karena
tidak ada anggaran dasar atau anggaran rumah tangga partai politik yang
mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga dalam praktek yang terjadi
adalah iuran di peroleh berdasarkan kesukarelaan hati dari anggotanya.
Pengumpulan dana lain di peroleh dari pengumpulan dana perseorangan
anggota partai politik, partai politik menjadikan anggota-anggota mereka
duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif dengan maksud menjadi
sarana penyumbang. Dasar hukum yang digunakan untuk menarik
sumbangan tersebut adalah rapat pengurus partai di tingkat pusat.
4
Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 34 ayat (1) huruf b
UU Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan yang dimaksud,
sebagai berikut : “sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34
ayat (1) huruf b yang diterima partai politik berasal dari:
a. Perseorangan anggota partai politik yang pelaksanaannya diatur
dalam AD dan ART;
b. Perseorangan bukan anggota partai politik paling banyak
senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orangan
dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran;dan
c. Perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp.
7,500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per
perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun
anggaran.
Pembatasan jumlah maksimal dan sumber kontribusi dana
merupakan salah satu metode paling umum digunakan untuk mengatur
peredaran uang dalam poltik. Sebagian besar negara demokrasi
mengenakan batas sumbangan. Batas sumbangan individu selalu lebih
kecil dari batas sumbangan dari perusahaan, organisasi, atau kelompok.
Pengaturan mengenai batas sumbangan dimaksudkan untuk
mencegah jangan sampai individu atau perusahaan tertentu mendikte
keputusan yang diambil partai politik karena sumbangan yang diberikan
besar.
Ketiga, bantuan keuangan dari APBN/APBD. Bantuan
APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada partai politik yang
mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
dengan didasarkan dengan jumlah perolehan suara. Untuk menentukan
jumlah subisidi negara kepada parpol diatur dalam PP Nomor 1 Tahun
2018 tentang perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan
Keuangan Kepada Partai Politik, serta Permendagri Nomor 6 Tahun
5
2017 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 77 Tahun 2014
tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penyelenggaraan Dalam
APBD, dan Tata Tertib Administrasi Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan
Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik.
Walaupun sudah ada pengaturan mengenai sumber keuangan partai
politik oleh negara, permasalahan korupsi tetap saja terjadi di tubuh partai
politik, baik melalui pengurusnya maupun perwakilannya yang ada di
lembaga legislatif maupun eksekutif. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan
pendanaan yang sangat besar dimana telah menyebabkan partai-partai
politik di negeri ini berlomba-lomba mengakumulasi sumber dananya
dengan berbagai cara. Tak terkecuali dengan menghalalkan segala cara:
seperti korupsi, paraktik curang, dan pengumpulan sumber-sumber dana
haram yang tidak jelas asal usulnya. Di sinilah peranan pemerintah dan
DPR harus mencari terobosan guna menghapus biaya politik yang besar
ini, sekaligus menguburkan paraktik kotor untuk pendanaan parpol.
Sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dengan pembiayaan parpol oleh negara, hal itu akan membantu
Indonesia mewujudkan demokrasi substantif, yakni demokrasi yang
mengabdi kepada kepentingan rakyat, bukan kepentingan si yang punya
modal.
Hal ini sangat penting mengingat fungsi partai politik yang sangat
besar, seperti yang di jelaskan oleh Miriam Budiarjo yang menyebutkan
empat fungsi partai politik. Pertama, sebagai sarana komunikasi politik.
Di ruang publik, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang,
apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi
orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan
(interest agregation). Sesudah di gabungkan, pendapat dan aspirasi diolah
dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih terdalam bentuk yang lebih
teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest
6
articulation). Selanjutnya, partai politik merumuskan sebagai usul
kebijakan untuk di perjuangkan ke pemerintah.
Kedua sebagai sarana sosialisasi politik, yakni suatu proses dimana
seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik
yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada.
Ketiga, sebagai sarana rekrutmen politik. Fungsi ini berkaitan erat
dengan usaha mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif
dalam kegiatan politik sebagai anggota partai politik.
Keempat, sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).
Di negara demokratis yang masayarakatnya terbuka, perbedaan pendapat
merupakan suatu keniscayaan. Namun seringkali pertikaian-pertikaian
muncul akibat perbedaan etnik, status, sosial ekonomi atau agama. Di
sinilah partai politik dapat berfungsi sebagai sarana mengatur konflik.4
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan analisis lebih mendalam mengenai pendanaan partai politik di
Indonesia yang berasal dari bantuan APBN/APBD, maka penulis tertarik
untuk meneliti dan diangkat sebagai sebuah skripsi dengan judul :
“Urgensi Pendanaan Partai Politik Oleh APBN/APBD di Indonesia”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang timbul dalam bantuan pendanaan partai politik
oleh negara yaitu :
a. Reformasi yang berhasil akan melahirkan partai-partai politik
modern, terbukti tetap saja menjalankan paraktik-praktik politik
kotor karena menjadi bagian dari kapitalisme politik. Demi uang
dan kekuasaan, partai politik dan elitnya pun menjadi kuda
tunggangan untuk mengejar mamon sampai ke ujung dunia.
4 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Hlm. 149.
7
Terjadilah kemudian parktik korupsi berjamaah oleh para elite
dengan menggerogoti BUMN-BUMN dan dana-dana APBN
serta APBD.
b. Pendanaan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan khususnya yang berkaitan dengan bantuan oleh
Negara. Terdapat beberapa peraturan yang dirasa bertentangan
secara normatif dan tidak sesuai dengan prinsip efektivitas dan
efisiensi anggaran.
2. Pembatasan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang pendanaan
partai politik, agar tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka
penulis membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini.
Peneitian ini hanya membahas mengenai bantuan pendanaan partai
politik oleh APBN/APBD di Indonesia yang di tinjau dari hukum positif
yang ada.
Hukum positif yang penulis maksud adalah pasal-pasal yang terkait
tersebut yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik dan PP Nomor 1 Tahun 2018 perubahan atas PP Nomor 5
Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik .
3. Rumusan Masalah
Dari masalah pokok di atas dapat diuraikan menjadi beberapa sub
masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research
question), yaitu:
a. Bagaimana urgensi bantuan pendanaan partai politik yang
diberikan oleh negara melalui APBN/APBD ?
b. Adakah implikasi bantuan pendanaan yang diberikan oleh
negara kepada partai politik ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah :
a. Untuk mengetahui urgensi bantuan keuangan partai politik yang
diberikan oleh negara melalui APBN/APBD, serta
b. Untuk mengetahui pendanaan partai politik dan implikasi dari
sistem pendanaan partai politik
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan
dalam mengetahui pandangan hukum positif terhadap pendanaan
dan implikasi dari sistem pendanaan partai politik di Indonesia,
hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar,
mahasiswa dan akademisi lainnya.
b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
kalangan pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya. Manfaat
kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
kepada penegak hukum dalam penerapan hukum pendanaan dan
implikasi dari sistem pendanaan partai politik di Indonesia yang
di tinjau dari hukum positif yang ada.
D. Kajian Review Terdahulu
Penulis telah menemukan beberapa judul penelitian yang
sebelumnya pernah di tulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang akan
di teliti saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya
penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara judul, pokok
permasalahan serta sudut pandang dengan skripsi yang akan di teliti.
Sehingga, tidak ada unsur-unsur kesamaan dalam penulisan skripsi ini.
Adapun penelitian terdahulu yang telah ada sebagai berikut:
1. Mushab Rabbani skripsi tahun 2016 yang berjudul “Pelaksanaan
Fungsi Partai Politik Berdasarkan Undang-Undang Partai
9
Politik di Kota Bandar Lampung (Studi Pada DPD Partai
Keadilan Sejahtera Bandar Lampung) hasil penelitian ini
menyimpulkan studi kasus DPD PKS Bandar Lampung
menunjukan bahwa DPD PKS tetap menjalankan fungsi
kepartaiannya dengan baik. Dilihat dari berbagai program yang
berfokus kepada masyarakat, kader, dan kebijakan pemerintah.
Faktor yang menjadi kendala DPD PKS dalam menjalankan
fungsinya karena masih dianggap ekslusif oleh masyarakat
sehingga mengurangi minat masyarakat untuk ikut serta dalam
kegiatan DPD PKS, selain itu kondisi politik yang kurang
kondusif menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat untuk
disibukan dengan kegiatan politik praktis atau kegiatan partai
politik.5
2. Ahsanul Ibad skripsi tahun 2017 yang berjudul “Politik Hukum
Pendanaan Partai Politik oleh Negara Dalam Mewujudkan
Demokrasi Yang Berkualitas (Studi Dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 Tentang Partai Politik) hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 membawa
semangat untuk memperkuat kembali peranan partai politik
melalui penguatan manejemen internal organisasi, pengaturan
keuangan organisasi, pendidikan politik bagi kader organisasi,
UU Nomor 2 Tahun 2011 menjadi semangat penyempurna atas
peranan partai politik yang berfokus pada penguatan pendidikan
kader baik pendidikan politik maupun pendidikan karakter, serta
peranan partai politik dalam memberikan pendidikan politik
bagi masyarakat.6
5 Mushab Robbani, Pelaksanaan Fungsi Partai Politik Berdasarkan Undang-Undang Partai Politik Di Kota Bandar Lampung (Studi Pada DPD Partai Keadilan Sejahtera Bandar Lampung), (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung: 2016), Hlm. 95.
6 Ahsanul Ibad, Politik Hukum Pendanaan Partai Politik oleh Negara Dalam Mewujudkan Demokrasi Yang Berkualitas (Studi Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
10
3. M. Aldi Jaya Kusuma Skripsi tahun 2018 yang berjudul
“Pengawasan Penggunaan Dana Partai Politik Menurut Undang-
Undang No 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No 2 Tahun 2011
Tentang Partai Politik” hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa partai politik belum menjalankan prinsip dengan baik,
partai politik belum mencantumkan kolom mengenai keuangan
dalam web sehingga masyarakat kesusahan dalam mengakses
atau mendapatkan data mengenai keuangan partai politik. Dari
15 partai politik yang memenangkan pemilu pada 2014 hanya
Gerindra dan PKS yang mencantumkan kolom mengenai
keuangan di web mereka, namun belum dilakukan secara
update.7
Berdasarkan pemaparan penulis yang di atas terkait dengan partai
politik baik dalam hal fungsi maupun terkait dana yang ada dalam partai
politik. Peneliti dalam skrpsi ini akan menjabarkan tentang pendanaan
partai politik oleh negara yang diberikan melalui APBN/APBD ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan PP Nomor 1 Tahun 2018.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif, hal ini digunakan untuk dapat menjelaskan
masalah yang berkenaan dengan tema penelitian secara deskriprif.
Penelitian hukum normatif memiliki kecendrungan dalam mencitrakan
hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik), (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta: 2016), Hlm. 129.
7 M. Aldi Jaya Kusuma, Pengawasan Penggunaan Dana Partai PolitikMenurut Undang-Undang No 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta: 2018), Hlm. 124-125.
11
sudut pandang norma-normanya saja, tentunya bersifat preskriptif yang
tema penelitiannya taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.8
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data dengan dua cara yaitu melalui data
pustaka atau pengumpulan data dari berbagai literatur seperti buku-buku
ilmiah, buku, majalah,jurnal, artikel dan bacaan lainnya yang berkaitan
dengan judul peneliti. Selain itu, penelitian ini juga memungkinkan
penulis melakukan wawancara dengan lembaga-lembaga yang terkait
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Pendekatan dengan menggunakan legislasi dan
regulasi. Suatu pendekatan normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
huum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.9
4. Sumber Data
Penelitian ini lebih fokus terhadap data–data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi perpustakaan. Penulis
dalam penelitian ini menggunakan 3 bahan hukum sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat meliputi.
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), Hlm. 14.
9 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), Hlm. 302.
12
b) Bahan Hukum Sekunder adalah data dari bahan lainnya seperti
sumber hukum,buku, majalah, jurnal, artikel dan bacaan lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini.
c) Data Tersier, data berupa kamus-kamus yang menjelaskan tentang
arti, maksud, dan istilah-istilah yang terkait dengan pembahasan
5. Teknik Analisis
Analisis data merupakan cara menganalisis, bagaimana
memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam
pemecahan penelitian.10 Penyususn menggunakan metode analisis
deskriptif, yaitu usaha untuk mengumpulkan data kemudian menganalisis
data tersebut. Data yang terkumpul kemudian dianalisa dengan
menggunakan metode deduktif yaitu cara berfikir berangkat dari teori atau
kaidah hukum yang ada.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub
bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan dan untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok penulisan serta
memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan
skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini secara
sistematis sebagai berikut:
10 Burhan Ashofa, MetodePenelitian Hukum, (Jakarta: Rienaka Cipta,1996), Hlm. 124
13
Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bagian ini merupakan pendahuluan yang meliputi tentang Latar
Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian dan, Manfaat Penelitian, Review Kajian
Terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bagian ini membahas tentang partai politik di Indonesia yang terdiri
dari: pengertian partai politik, tujuan partai politik, fungsi dan peran
partai politik, bentuk serta kedudukan partai politik dan jenis-jenis
partai politik.
Pada bagian ini akan di munculkan data – data dari penelitian yang
ditampilkan secara jelas dan lengkap. Dan dari data – data itu akan
dibahas dan dianalisis tentang permalasahan yang diangkat. Data itu
meliputi: tentang akuntabilitas pendanaan partai politik di Indonesia
yang terdiri dari regulasi terkait pendanaan partai politik dan
pengelolaan pendanaan partai politik dalam prinsip Good Publik
Goevernance.
Pada bagian ini akan membahas tentang analisis desain pendanaan
partai politik di Indonesia yang terdiri dari problematika pendanaan
partai politik di Indonesia, desain pendanaan partai politik di
Indonesia serta analisis desain pendanaan pertai politik di Indonesia.
Merupakan bagian penutup yang berisikan paparan tentang
kesimpulan dan rekomendasi yang perlu dan bermanfaat baik bagi
penulis, pembaca serta instansi terkait.
BAB II
TINJAUAN TERHADAP PARTAI POLITIK DI INDONESIA
A. Pengertian Partai Politik
Partai poitik dilihat secara etimologis adalah kata partai berasal dari
bahasa latin pars, yang berarti bagian. Karena hanya satu bagian,
membawa konsekuensi pengertian adanya bagian-bagian lain. Oleh
karena itu, jika hanya terdapat satu partai dalam satu negara berarti tidak
sesuai dengan makna etimologis dari partai itu sendiri.1
Partai politik dari akar kata part yang berarti bagian atau golongan,
kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokkan masyarakat
berdasarkan kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama bahkan
kepentingan. Pengelompokkan itu bentuknya adalah organisasi secara
umum, yang dapat dibedakan menurut wilayah aktivitasnya, seperti
organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi
kepemudaan, serta organisasi publik.
Istilah partai adalah untuk menggantikan istilah “faksi” yang
memiliki konotasi buruk. Ide dasar dari partai adalah keberadaan partai
tidak serta merta seperti faksi yang berkonotasi buruk, tidak selalu jahat,
dan tidak selalu mengganggu kepentingan umum. Transisi dari faksi
menjadi partai melalui proses yang lambat dan berliku, dalam ide maupun
kenyataannya. Dengan mengutip Voltaire, Sartori mengatakan bahwa
faksi adalah “kelompok yang durhaka dalam negara”. Sehingga istilah
partai digunakan untuk menggantikan istilah faksi yang terlanjur
1 Muchammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktek Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm. 30.
14
15
berkonotasi negatif. Istilah partai sendiri merupakan turunan dari kata
partire, bahasa latin yang berarti membagi.2
Dalam arti luas partai diartikan sebagai penggolongan masyarakat
dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada organisasi politik.
Sedangkan dalam arti sempit adalah partai politik yaitu organisasi
masyarakat yang bergerak di bidang politik. Namun, perkembangan kata
partai lebih banyak diartikan untuk organisasi politik masyarakat yang
bergerak di bidang politik. Sehingga pada akhirnya mereduksi makna
dari partai itu sendiri.
Partai politik berawal dari anggapan bahwa untuk menyatukan
berbagai ide, gagasan dan cita-cita maka harus ada suatu wadah yang
dapat menampung semuanya sehingga dapat tersalurkan dengan baik. dari
semua alat yang pernah didesain oleh manusia untuk mencapai tujuan-
tujuan politiknya, tidak ada yang lebih ampuh dari partai politik.3
Konsep mengenai partai politik secara berbeda-beda, namun
memiliki elemen-elemen yang hampir sama. Perumusan partai politik
sebagai perkumpulan yang diorganisasikan untuk mendukung suatu asas
atau perumusan kebijaksanaan yang menurut saluran-saluran konstitusi
dicoba untuk menjadikannya sebagai suatu dasar penentu bagi
pemerintahan.4
Menurut Sigmund Neuman, partai politik adalah organisasi dari
aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan
suatu golongan atau golongan lain yang pandangannya dianggap
2 Mushab Robbani, Pelaksanaan Fungsi Partai Politik Berdasakan Undang-Undang Partai Politik Di Kota Bandar Lampung: Studi Pada DPD Partai Keadilan Sejahtera Bandar Lampung. (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, 2016), Hlm. 12.
3 Efriza dan Yoyoh Rohaniah, Pengantar Ilmu Politik, (Malang: Intrans Publishing Wisna Kalimetro, 2015), Hlm. 352.
4 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Hlm. 155.
16
berbeda.5 Dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi, rakyat
memang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh sebab itu,
dukungan rakyat sangat dibutuhkan untuk berjalannya proses pemilu
sebagai salah satu kegiatan yang menunjang sistem demokrasi.
Rusadi Kantaprawira juga mengemukakan partai politik sebagai
organisasi manusia yang dimana di dalamnya terdapat pembagian tugas
dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai ideologi (political
doctrine, political ideal, political thesis, ideal objective), dan mempunyai
program politik (political platform, material objective) sebagai rencana
pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut
pentahapan jangka dekat sampai yang jangka panjang serta mempunyai
ciri berupa keinginan berkuasa.6
Jawaban kongkret atas pengertian partai politik telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang
memberikan pengertian bahwa Partai Politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.7
B. Tujuan Partai Politik Di Indonesia
Partai Politik sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh
sekelompok warga negara Republik Indonesia, atas dasar persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota
masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum yang memiliki
5 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Hlm. 406.
6 Ahmad Farhan Hamid, Partai Politik Lokal Di Aceh: Desentralisasi Politik Dalam negara Kebangsaan, (Jakarta, Kemitraan, 2008), Hlm. 7.
7 UU nomor 2 tahun 2011 pasal 1 ayat 1
17
tujuan tertentu. Atas dasar tersebut partai politik menggalang dukungan
warga negara yang berminat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik
di Indonesia. Sumber daya yang dimiliki oleh partai politik dijadikan
untuk membangun solideritas, memperkokoh komitmen untuk
mewujudkan cita-citanya.
Tujuan partai politik pada dasarnya adalah keadaan yang
dikehendaki yang senantiasa dikejar untuk diwujudkan di masa yang akan
datang. Partai politik tentunya berupaya merumuskan tujuannya
sedemikian rupa agar betul-betul aspiratif, mungkin dapat dicapai dan
berorientasi ke masa depan yang lebih memberi harapan, mempunyai daya
tarik yang kuat untuk membangun citra partai dan menggalang dukungan
yang kuat.8
Atas dasar tesebut partai politik harus memiliki tujuan yang jelas,
adapun secara garis besar tujuan partai politik di Indonesia adalah sebagai
berikut:9
1. Berpatisipasi dalam pemerintahan yaitu dengan mendudukan
orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah sehingga dapat
serta mengambil atau menentukan keputusan politik (output
pada umumnya)
2. Berusaha melakukan pengawasan. Dalam hal ini bukan
hanya pengawasan, tetapi bila perlu oposisi terhadap tindakan,
kelakukan, dan kebijakan para pemegang otoritas (terutama
jika mayoritas pemerintah tidak berada di pihaknya)
3. Berperan sebagai pemadu (Streamlining), dalam hal ini partai
politik berperan memadukan tuntutan-tuntutan yang masih
mentah sehingga partai politik berfungsi sebagai penafsir
8 Oka Mahendra, Prospek Partai Politik Pasca 2004, (Jayasan Pancur Siwah, 2004), Hlm. 99.
9 Drs. Haryanto, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum. (Yogyakarta: Liberty, 1984) , Hlm. 123
18
kepentingan dengan merencanakan isu politik yang dapat
dicerna dan diterima masyarakat.
Dari ketiga tujuan partai politik di atas dapat kita artikan bahwa
pada hakekatnya partai politik merupakan mesin politik yang digunakan
untuk mencapai kedudukan dalam pemerintah namun kedudukan itu tidak
semata-mata hanya menjadi wakil partai politik saja dalam ikut serta
membuat keputusan. Tetapi wakil tersebut merupakan representatif dari
masyarakat/ konstituen yang harus berjuang untuk menyampaikan aspirasi
masyarakat dengan mengelola pendapat masyarakat secara umum menjadi
sebuah kebijakan yang tepat. Selain itu juga wakil tersebut juga harus
bisa menjadi pengawas di setiap kebijakan yang bertentangan dan
berpotensi dapat merugikan masyarakat, sehingga keberadaan
keterwakilan politik dapat menjadi kehendak masyarakat/konstituen.
Tujuan partai politik terdapat dalam anggaran dasar di setiap partai
politik. Tujuan tersebut melukiskan apa yang hendak dicapai masa yang
akan datang yang hendak diwujudkan bersama. Tujuan itu dijadikan
pedoman dalam mengarahkan kegiatan partai politik dan berbagai sumber
legitimasi keberadaan partai politik serta menjadi sumber motivasi bagi
masyarakat untuk mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik yang
bersangkutan. Tujuan partai politik berfungsi sebagai tolak ukur untuk
menilai keberhasilan atau kegagalan para pemimpin partai politik.
Berdasarkan Pasal 10 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, bahwa partai politik mempunyai tujuan
umum dan khusus yaitu :
(1) Tujuan umum partai politik
a) Mewujudkna cita-cita nasional bangsa indonesia
sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
19
b) menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus partai politik
a) Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat
dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan
pemerintahan;
b) Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
c) Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
C. Fungsi Partai Politik di Indonesia
Partai Politik di Indonesia menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu
sebagai sarana komunikasi politik. Dalam hal ini, partai politik
merumuskan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi dari masyarakat.
Kemudian rumusan tersebut disampaikan kepada pemerintah agar dapat
dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Proses ini menunjukkan bahwa
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dapat dijembatani oleh
partai politik. Dan bagi partai politik dapat menyalurkan aspirasi rakyat
merupakan suatu kewajiban.
Selanjutnya partai politik juga sebagai sarana sosialisasi dan
pendidikan, partai politik berkewajiban untuk mensosialisasikan wacana
politiknya kepada masyarakat melelui visi, misi, platform, dan program
partai tersebut. Dengan hal tersebut diharapkan masyarakat akan menjadi
semakin dewasa dan terdidik dalam politik. Sosialisasi dan pendidikan
politik ini memposisikan masyarakat sebagai subyek, tidak lagi sebagai
20
obyek, serta sarana rekruitmen politik, fungsi untuk melakukan seleksi dan
rekruitmen dalam rangka megisi posisi dan jabatan politik tertentu,
partai politik memberikan pemahaman bahwa masyarakat memiliki hak
politik yang dilindungi sebagai hak konstitusional.
Sarana peredam dan pengatur konflik. adanya perbedaan dan
persaingan pendapat sudah merupakan hal yang wajar. Akan tetapi pada
masyarakat yang heterogen, perbedaan pendapat baik yang berdasarkan
etnis, status sosial ekonomi atau agama mudah sekali mengundang
konflik. Pertikaian-pertikaian yang ada dapat diatasi dengan bantuan
partai politik, sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa, sehingga
akibat- akibat negatifnya seminimal mungkin.10 Menciptakan iklim yang
kondusif berkaitan dengan fungsinya sebagai penyerap aspirasi karena
partai politik sebagai sarana agregasi kepentingan yang menyalurkan
ragam kepentingan yang berbeda-beda, yang dirumuskan dalam
kebijakan-kebijakan namun tujuannya adalah dalam rangka memajukan
bangsa dan Negara.
Fungsi Partai Politik menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik j.o Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011,
yaitu:
1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan
negara;
10 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Hlm. 17.
21
4. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender.
Sehubungan adanya pemisahan fungsi partai politik menurut
bentuk negaranya maka penulis memilih, fungsi partai politik.11 sebagai
berikut:
1) Partai Politik sebagai sarana sosialisasi politik
2) Partai Politik sebagai sarana rekruitmen politik
3) Partai Politik sebagai sarana pengelola konflik
4) Partai Politik sebagai sarana komunikasi politik
5) Partai Politik sebagai sarana agregasi dan artikulasi kepentingan
6) Partai Politik sebagai sarana partisipasi politik
Fungsi-fungsi partai politik menurut beberapa ahli sebagai berikut:
1. Partai Politik sebagai sarana sosialisasi politik
Sosialisasi politik adalah proses yang melalui orang dalam
masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit
banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik
(Political socialization may be defined is the process by which
individualism a given society become acquainted with the political system
and which to a certain degraa determines their perceptions and their
reactions to political phenomena).12
Sosialisasi politik menurut Dennis Kavanagh dalam Political
Culture menjelaskan bahwa sebuah proses untuk memasyarakatkan
nilai-nilai politik ke dalam suatu masyarakat.
Inti dari sosialisasi politik adalah sebuah proses pengenalan politik
kepada masyarakat dengan tujuan memberikan pemahaman kepada
11 Mahrus Irsyam dan Lili Romli, Menggugat Partai Politik, (Laboratorium Ilmu Politik Fisipol, UI, 2003), Hlm. 141
12 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Hlm. 407
22
masyarakat mengenai politik, agar masyarakat memahami politik dan
masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam partai politik dan ikut
berpartisipasi pada pemilu. Dalam proses ini partai politik dapat dikatakan
telah melakukan fungsinya sebagai pendidikan politik. Sosialisasi pada
masyarakat adalah kegiatan yang harus dilakukan oleh partai politik untuk
memberikan kesadaran politik pada masyarakat.
2. Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Rekrutmen politik menurut Czudnowski adalah suatu proses
berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang
dilantik dalam peran-peran politik aktif. Czudnowski juga mengemukakan
faktor yang mempengaruhi terpilih atau tidaknya seseorang dalam
lembaga legislatif antara lain sebagai berikut:13
a) Social Background, artinya faktor ini berhubungan dengan
pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga di mana seorang
calon elit dibesarkan.
b) Political Socialization, di mana melalui sosialisasi politik
seseorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas ataupun isu-isu
yang harus dilaksanakan oleh satu kedudukan politik.
c) Initial Political Activity, di mana faktor ini menunjuk kepada
aktivitas atau pengalaman politik seorang calon elit selama ini.
d) Apprenticeship, di mana faktor ini menunjuk langsung kepada
proses magang dari calon elit ke elit lain yang sedang menduduki
jabatan yang diincar oleh calon elit.
e) Occupational Variables, di mana calon elit dilihat pengalaman
kerjanya dalam lembaga formal yang belum tentu berhubungan
dengan politik. Ini menjadi menarik sebab elit politik sebenarnya
tidak sekedar dinilai dari popularitas saja namun dinilai pula faktor
kapasitas intelektual, vitalitas kerja, latihan peningkatan
kemampuan yang diterima, dan pengalaman kerja.
13 Khoirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi ”Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004), Hlm. 101.
23
f) Motivations, di mana hal ini merupakan faktor yang paling
penting, yakni melihat motivasi yang dimiliki oleh calon elit
tersebut menduduki suatu jabatan tertentu.
3. Partai Politik sebagai pengelola konflik
Fungsi ketiga adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi
dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas,
nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh
dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan
cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika Partai
Politik banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat
disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan
ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama
lain.
4. Partai Politik sebagai sarana komunikasi politik
Partai politik bertugas menyalurkan beragam aspirasi masyarakat
dan menekan kesimpangsiuran pendapat di masyarakat. Keberadaan partai
politik menjadi wadah penggabungan aspirasi anggota masyarakat yang
senada (interest aggregation) agar dapat dirumuskan secara lebih
terstruktur atau teratur (interest articulation). Dalam usahanya untuk
memperoleh dukungan luas masyarakat, partai politik akan berusaha
menunjukkan diri sebagai pejuang kepentingan umum. Oleh karena itu
partai politik harus mendidik dan membangun orientasi pemikiran
anggotanya (dan masyarakat luas) untuk sadar akan tanggung jawabnya
sebagai warga negara. Proses tersebut dinamakan sosialisasi politik, yang
wujud nyatanya dapat berbentuk ceramah penerangan, kursus kader,
seminar dan lain-lain. Lebih lanjut, sosialisasi politik dapat pula diartikan
sebagai usaha untuk memasyarakatkan ide, visi dan kebijakan strategis
partai politik kepada konstituen agar mendapatkan feedback berupa
dukungan masyarakat luas.14
14 Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, ( Jakarta: Gajah Media Pratama), Hlm. 238-239.
24
5. Partai politik sebagai sarana agregasi dan artikulasi kepentingan
Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginput-an berbagai
kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang
masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan, dan
kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam
pembuatan kebijakan publik.
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan
yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan
menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik. Dapat
disimpulkan bahwa agregasi dan artikulasi kepentingan adalah cara
menyalurkan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat dan
mengeluarkannya berupa keputusan politik. Dengan adanya fungsi ini
berarti partai politik sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan
berarti ikut membina kelangsungan kehidupan di negara yang menganut
faham demokrasi. Sebab ini merupakan masukan masyarakat bagi sistem
politik dan partai politik sendiri.
6. Partai politik sebagai sarana partisipasi politik
Menurut Sudijono Sastroatmodjo, partisipasi politik adalah kegiatan
yang dilakukan warga Negara untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
yang dilakukan pemerintah. 15
Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak
sebagai pribadi-pribadi, yang di maksudkan untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan pemerintah. Serta partisipasi ini bersifat individual
atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadic, secara
damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
15 Khoirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi ”Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia”, Hlm. 97.
25
Memahami penyebab yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi-
fungsi partai politik secara dapat dilihat dari tiga faktor, antara lain:16
a. Sosok Partai Politik
Sosok partai politik ini adalah kekuatan politik yang
utama supaya dapat memobilisasi massa sehingga
pelaksanaannya ditentukan oleh empat faktor secara internal.
Pertama, organisasi dan pelembagaan. Ini berkaitan
dengan sikap dasar yang dimiliki oleh anggota partai politik itu
sendiri yaitu kedisiplinan anggota dalam hal ini anggota tidak
hanya disiplin saat pemimpin itu ada, kemandirian pengurus
partai politik, sentralisasi organisasi, loyalitas, ketergantungan
donatur akibatnya kepentingan masyarakat tidak dapat
tersalurkan sebab keputusan partai mendapat intimidasi dari
donatur sehingga partai politik hanya mewakili golongan
tertentu.
Kedua, kepemimpinan partai. Kepemimpinan merupakan
kekuatan dalam mengelola dan menentukan arah perjalanan
partai politik sehingga kepribadian pemimpin harus unggul
supaya dapat membawa partai untuk menjadi lebih baik lagi
dalam menjalankan amanat rakyat.
Ketiga, Ideologi partai. Maksudnya ideologi ini
dimanfaatkan sebagai penentu proses politik yang terdiri dari
interaksi kegiatan politis intra dan ultra antar partai, atau
sebagai kamuflase motivasi aktor politik.
Keempat, strategi dan taktik dapat diartikan sebagai
perjuangan menyeluruh untuk mewujudkan tujuan politik
tertentu secara utuh melalui kiat atau cara perjuangan.
b. Sistem Partai Politik
16 Mahrus Irsyam dan Lili Romli, Menggugat Partai Politik, Hlm. 3-4.
26
Sistem partai adalah suatu set partai politik yang
beroperasi di dalam suatu bangsa dalam sebuah pola
pengorganisasian dan terwujudkan oleh sejumlah sistem
properti partai seperti koalisi, kelangsungan pemerintah,
disproporsionalitas pemilih, sejumlah dimensi isu, dan sejumlah
partai efektif. Sistem partai politik yang digunakan ialah sistem
multi partai. Yang mana sistem ini bagi masing-masing partai
untuk mendorongnya menjadi organisasi politik rakyat yang
memperjuangkan kepentingan rakyat.
c. Basis Sosial Partai
Basis sosial adalah tatanan nilai dan kepentingan
masyarakat berupa kelompok dan orgnisasi yang
menformasikan masyarakat sehingga berguna bagi partai untuk
dimanfaatkan sebagai sumber daya politik.
D. Bentuk-Bentuk Serta Kedudukan Partai Politik di Indonesia
Berdasarkan asas dan organisasi, partai politik dapat digolongkan
ke dalam tiga bentuk, yaitu:17
Pertama, partai politik pragmatis adalah suatu partai yang
mempunyai program tidak terikat kaku pada suatu doktrin atau ideologi
tertentu. Artinya, suatu perubahan waktu, situasi dan gaya kepemimpinan
akan turut merubah program, kegiatan dan penampilan partai politik
tersebut. Penampilan partai politik ini cenderung merupakan cerminan dari
program-program yang disusun oleh pemimpin utamanya dan gaya
kepemimpinan sang pemimpin.
Kedua, partai politik doktriner adalah sejumlah partai politik yang
mempunyai program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran dari
sebuah ideologi. Pergantian kepemimpinan mengubah gaya
17 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 225.
27
kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak merubah prinsip dan
program dasar partai karena ideologi partai sudah dirumuskan secara
konkret dan terorganisir secara ketat.
Ketiga, partai politik kepentingan merupakan partai politik yang
dibentuk berdasarkan kepentingan tertentu seperti petani, buruh, etnis
dan kalangan lainnya. Partai ini bisa ditemui baik dalam sistem multi
partai dan sistem dwi partai.
Kedudukan partai politik sebagai instrument demokrasi dalam
sistem ketatanegaraan tidak terlepas dari bingkai konstitusional yang
memberikan pengaturan terhadap partai politik itu sendiri. Bahkan
instrumen partai politik berperan paling besar dalam melakukan
reorganisasi dan siklus kepemimpinan dalam negeri, sebagaimana Pasal
6A ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945.
Dua belas prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku
di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar
utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern sehingga
dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law) ataupun
rechtstaat) dalam arti yang sebenarnya, yakni:18
1. Supremasi hukum (Supremacy of law);
2. Persamaan dalam hukum (Equality before the law);
3. Asas legalitas (Due process of law);
4. Pembatasan kekuasaan;
5. Organ-organ eksekutif independent;
6. Peradilan bebas dan tidak memihak;
7. Peradilan tata usaha negara;
8. Peradian tata negara (Constitutional court);
9. Perlindungan hak asasi manusia;
18 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika Offset, 2011), Cet.2, Hlm. 127-134.
28
10. Bersifat demokratis (Democratische rechstsstaat);
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
(Welfare rechtsstaat);
12. Transparansi dan kontrol sosial.
Disamping itu, kedudukan partai politik memegang salah satu
bentuk perwakilan dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD). Kedudukan konstitusional
partai politik diantaranya:
a. Secara tersurat, partai politik disebutkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik sebagai peserta
pemilu eksekutif dan legislatif maupun dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik.
b. Partai politik adalah satu-satunya peserta suksesi
kepemimpinan (melalui pemilu) pada level pusat dalam bidang
kekuasaan legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden dan wakil
Presiden), sedangkan dalam taraf daerah dalam bidang
pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah)
c. Dalam masa konsolidasi demokrasi yang terjadi, isu seputar
masalah kepartaian sangat banyak diperbincangkan, mulai dari
proses pemilu sampai bagaimana peran dan pengaruh partai
politik dalam mempengaruhi arah kebijakan negara.
Sebagimana telah disebutkan bahwa pengakuan konstitusional
partai politik selain dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang 1945, dalam
pasal 22E ayat yang menyatakan bahwa peserta pemilihan umum DPR
adalah partai politik. Dengan kedudukan demikian, partai politik
sebagaimana mewujudkan tujuan bernegara ialah sebagai tonggak
tegaknya kedaulatan rakyat tersebut.
Peran partai politik dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
berimplikasi terhadap setiap keputusan-keputusan kenegaraan akan saling
29
bergantung pada partai politik. Pengaruh konstitusional partai politik dan
partisipasi dalam keputusan kenegaraan tidak terlepas dari sistem
multipartai dalam sistem presidensil. Sistem ketatanegaraan di Indonesia
tidak memberikan batasan terhadap partai politik, Sistem multi-partai
merupakan struktur politik, sedangkan sistem presidensial merupakan
struktur konstitusi. Kedua struktur ini berada pada level yang sama dan
setara.19
Dengan kondisi desain partai politik yang di bingkai dalam multi
partai sistem, kedudukan partai politik dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia, merupakan bentuk penuh konflik dan dibutuhkan integrasi
partai politik dalam mewujudkan negara hukum dan cita-cita Negara
Indonesia.
E. Jenis-jenis Partai Politik
Mendasari pemahaman pada pengertian-pengertian partai Politik
yang ada, secara implisit diketahui pula dasar yang membedakan partai
politik yang satu dengan partai politik lainnya. Perbedaan partai politik
di berbagai negara di identifikasi melalui basis sosiologi partai politik
tersebut. Sedikitnya terdapat lima jenis partai yang dapat dikenali
berdasarkan basis ideologi, yakni:20
1. Partai Porto
Partai ini belum memiliki organisasi dan hanya merupakan
pengelompokan kepentingan daerah atau ideologi yang berkembang
dalam masyarakat tertentu. Tipe awal partai politik sebelum mencapai
tingkat seperti dewasa ini. Partai semacam ini muncul di Eropa Barat
sekitar abad pertengahan hingga akhir abad ke-19. Ciri paling
menonjol partai porto adalah perbedaan antara kelompok anggota
19 Hantayuda A.R, Presindensialme Setengah Hati Dari Dilema Ke Kompromi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), Hlm. 3.
20 Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996), Hlm. 16.
30
dengan non anggota. Partai porto belum menunjukkan ciri sebagai
partai politik dalam pengertian modern
2. Partai Massa
Partai massa muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih
rakyat sehingga dianggap sebagai suatu respon politisi dan
organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi
perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa dibentuk di
luar perlemen (extra parlemen). Partai tipe ini berorientasi pada basis
pendukung yang lebih luas, seperti; buruh, petani, kelompok agama
dan memiliki ideologi yang jelas untuk memobilisasi massa serta
mengembangkan organisasi yang cukup rapi dalam mewujudkan
tujuan ideologisnya.
3. Partai Kader
Partai kader merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai
porto. Partai ini muncul sebelum diterapkannya sistem hak pilih secara
luas bagi rakyat sehingga bergantung pada masyarakat kelas menegah
keatas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas,
kepemimpinan, serta para pemberi dana. Tingkat organisasi dan
ideologi partai kader sesungguhnya masih rendah karena aktifitasnya
jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat. Kelahiran
partai ini biasanya dari dalam parlemen (intra-parlemen). Orientasi
partai kader adalah pada pendidikan politik dan kurang mementingkan
massa.
4. Partai Ditaktoral
Partai ditaktoral merupakan sub tipe partai massa tetapi
memiliki ideologi yang lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi
partai melakukan kontrol yang sangat ketat kepada pengurus dan
anggota. Untuk diterima sebagai anggota partai seseorang harus lebih
dahulu diuji kesetiaan dan komitmennya terhadap ideologi partai.
Partai radikal menuntut pengabdian total dari para anggotanya.
31
5. Partai Catch-all.
Disebut juga umbrella party (partai payung), merupakan
gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah partai catch-all
pertama kali diperkenalkan oleh Otto Kirchheimer. Istilah ini merujuk
pada perhimpunan yang menampung kelompok sosial sebanyak
mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah
memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program- program
dan keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku.
Dilihat dari pembentukannya partai dapat dibedakan menjadi :
a) Partai afeksi, yaitu partai yang didirikan berdasarkan
kecintaan para anggotanya terhadap orang atau
keturunannya.
b) Partai yang didirikan berdasarkan kepentingan para
anggotanya.
c) Partai ideologi/ agama yaitu partai yang berdasarkan
persamaan agama atau cita-cita politik diantara para
anggotanya.
Dilihat dari segi aggotanya terhadap keadaan yang
dihadapi partai politik, partai politik terbagi menjadi :
a) Partai radikal, yaitu partai yang tidak puas dengan keadaan
sekarang dan ingin merubahnya dengan cepat keadaan
tersebut sampai ke akar-akarnya.
b) Partai progresif, yaitu partai yang merasa tidak puas
dengan keadaan sekarang dan ingin merubahnya secara
berangsur-angsur (evolusi).
c) Partai konservatif, yaitu partai yang mudah puas dengan
keadaan yang sekarang dan ingin mempertahankan keadaan
itu.
32
d) Partai reaksioner, yaitu partai yang tidak puas dengan
keadaan sekarang dan ingin kembali kepada keadaan di
masa lampau.
BAB III
PENDANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
A. Regulasi Terkait Pendanaan Partai Politik di Indonesia
Partai politik merupakan organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas
dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara,
serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Keuangan partai politik adalah semua hak dan kewajiban partai
politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta
segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab
partai politik.1 Dalam penjelasannya disebutkan bahwa keuangan partai
politik tersebut cukup jelas. Namun jika menilik kata: hak dan kewajiban
partai politik, maka itu tiada lain adalah mengacu pada hutang dan piutang
partai politik.
Ketentuan terkait keuangan partai politik terdapat 2 (dua) Undang-
Undang yang mengaturnya, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politk dan Undang-Undang 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD.
Kedua Undang-Undang tersebut mengatur hal yang berbeda terkait
dengan keuangan parpol, karena objek dan tujuan yang berbeda. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 mengatur bagaimana partai politik bisa mendapatkan sumber
1 Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun 2011.
33
34
keuangannya, tujuan pengeluaran keuangan, cara mengelola dan
melaporkan keuangannya dan pengawasan terhadap laporan keuangan
partai politik itu sendiri dalam kaitannya dengan kelembagaan partai
politik dalam melaksanakan fungsinya sebagai partai politik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, setiap partai politik berhak mendapat uang dari tiga sumber, yaitu
iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, serta bantuan
keuangan dari Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
1. Iuran anggota
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008, serta semua AD/ART partai politik
menyebutkan iuran anggota sebagai sumber pendapatan partai.
2. Sumbangan yang sah menurut hukum
Sumbangan yang sah menurut hukum adalah sumbangan dari
perseorangan anggota, sumbangan dari perseorangan bukan anggota,
sumbangan dari perusahaan dan/ badan usaha. Sumbangan yang sah
menurut hukum adalah sumbangan yang dimaksud dapat berupa uang,
barang, barang dan/atau jasa. Sumbangan dari perseorangan anggota
partai politik pelaksanaannya diatur dalam AD/ART. Sumbangan dari
perseorangan bukan anggota partai paling banyak senilai Rp.
1.000.000.000.,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu)
tahun anggaran. Sedangkan sumbangan dari perusahaan dan/atau
badan usaha paling banyak senilai Rp. 7.500.000.000.,00 (tujuh miliar
lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam
waktu 1 (satu) tahun anggaran.2
2 UU Nomor 2 tahun 2011 Tentang Partai Politik Pasal 35 ayat 1 huruf a,b, dan c
35
3. Bantuan Keuangan dari APBN/APBD
Bantuan ini diberikan secara proposional kepada partai politik
yang mempunyai kursi di DPR/DPRD berdasarkan jumlah perolehan
suara. Bantuan keuangan negara ini diprioritaskan untuk
melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan
masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2011 Perubahan atas Peraturan Pemerintah 83 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 adalah mengatur
keuangan Parpol dalam perannya sebagai peserta pemilu. Oleh karena
itu terkait dengan keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu
maka yang diatur dalam Undang-Undang tersebut terkait pengaturan
pendanaan, pembiayaan, pelaporan dan pengawasan terhadap dana
kampaye, adapun isi pasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 adalah Sebagai berikut:
Pasal 131
(1) Dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2)
huruf c tidak boleh lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain
kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak
boleh lebih dari Rp. 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.
36
(4) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan pihak lain
perseorangan yang lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau sumbangan
pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non
pemerintah yang lebih dari Rp. 7.500.000.000,00 (tujuh miliar
lima ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang menggunakan kelebihan dana tersebut dan wajib
melaporkannya kepada KPU serta menyerahkan sumbangan
tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari
setelah masa kampanye pemilu berakhir.
Pasal 133
(1) Dana kampanye pemilu calon anggota DPD yang berasal dari
sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh lebih dari Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dana kampanye pemilu calon anggota DPD yang berasal dari
sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan
usaha non pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (2) huruf b tidak boleh lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus mencantumkan identitas yang jelas.
(4) Peserta pemilu calon anggota DPD yang menerima sumbangan
pihak lain perseorangan yang melebihi Rp. 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau
badan usaha non pemerintah yang melebihi Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang menggunakan kelebihan sumbangan tersebut dan wajib
37
melaporkannya kepada KPU serta menyerahkan kelebihan
sumbangan tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah masa Kampanye Pemilu berakhir.
B. Pengelolaan Keuangan Partai Politik Dan Akuntabilitas Pendanaan
Partai Politik Dalam Prinsip Good Publik Goevernance
Partai politik sebagai pilar demokrasi suatu negara yang menganut
sistem demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan
sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang
efektif. Penataan dan penyempurnaan partai politik diarahkan pada
beberapa hal yaitu, membentuk sikap dan perilaku partai politik yang
terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung
prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi.
Partai politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen
keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan
dan kepemimpinan politik yang kuat, dan memaksimalkan fungsi partai
politik baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai
politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta
rekrutmen politik yang efektif dan baik yang bertujuan untuk
menghasilkan kader-kader atau calon pemimpin yang memiliki
kemampuan di bidang politik.
1. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak (AAUPL)
a. Pengertian Sebagai Asas Hukum.
Asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak
dapat disebut sebagai asas, karena AAUPPL tersebut mengandung
dua unsur penting, yakni, pertama, asas tersebut mengandung
asas-asas yang sifatnya etis normative. Kedua, asas-asas tersebut
mengandung asas-asas yang sifatnya menjelaskan. AAUPPL
bersifat etis normatif maksudnya adalah AAUPPL tersebut dapat
38
digunakan sebagai petunjuk melengkapi suatu sifat penting yang
mengandung berbagai pengertian hukum, seperti asas persamaan,
asas kepastian hukum dan asas kepercayaan.
Asas-asas etis normatif ini merupakan asas yang mengatur
kadar etis di dalam hukum administrasi dalam penyelenggaraan
pemerintah. Sifat dari AAUPPL yaitu bersifat menunjukan atau
menjelaskan terhadap sejumlah peraturan hukum, seperti asas
motivasi.3
b. Asas Pemerintah Yang Layak dalam Negara Hukum Indonesia
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum modern
dan negara demokratis, mewajibkan setiap penyelenggara
pemerintahan negaranya selalu berdasarkan atas hukum, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum tidak tertulis
tersebut dalam hukum administrasi Indonesia disebut AAUPPL.
Karena itulah maka dalam negara hukum Indonesia perlu
dikembangkan peran dari hukum administrasi Indonesia dan
dirumuskan fungsi AAUPPL tersebut baik fungsinya sebagai
stimulans dalam pembuatan undang-undang, sebagai kriteria
gugatan, sebagai patokan bagi hakim peradilan administrasi
maupun sebagai arahan bagi pelaksana wewenang badan/pejabat
administrasi Indonesia. Keempat fungsi tersebut disebut sebagai
catur fungsi dari AAUPPL.4
Secara fungsional hukum administrasi Indonesia dan
AAUPPL tersebut mempunyai hubungan timbal balik dengan
negara hukum Indonesia, atau dalam arti lain terdapat hubungan
saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Artinya,
negara hukum akan tercapai apabila hukum administrasi Indonesia
3 S.F Marbun, Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), Hlm. 6.
4 S.F Marbun, Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak, Hlm. 50.
39
dan AAUPPL secara fungsional dapat berperan dengan baik dalam
penyelenggarahan pemerintahan. Sebaliknya, negara hukum
Indonesia akan sulit tercapai apabila hukum administrasi negara
dan AAUPPL secara fungsional tidak berperan dengan baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan, utamanya dalam mengisi
ketidaklengkapan, ketidak-jelasan dan kekosongan peraturan
perundang-undangan tertulis (wetsvacuum).
c. Tata Pemerintahan yang Baik
Pemerintahan yang bersih (clean governance) adalah bagian
yang integral dari pemerintah yang baik (good governance) dan
pemerintah yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan
pemerintahan yang baik. Dengan kata lain bahwa pemerintahan
yang bersih adalah sebagian dari pemerintahan yang baik. Good
governance sebagai norma pemerintahan, adalah sesuatu sasaran
yang akan dituju dan diwujudkan dalam pelaksanaan pemerintah
yang baik dan asas-asas umum pemerintahan yang layak sebagai
norma mengikat yang menuntut pemerintahan dalam mewujudkan
good governance. Sinergitas antara menciptakan pemerintahan
yang bersih (clean government) dan pemerintah yang berwibawa.
Konsep good governance telah menjadi kemampuan politik dalam
berbagai ketentuan perundang-undangan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.5
Pemerintahan yang baik (good governance) mencerminkan
kesinergian antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Salah satu
komponennya adalah didasarkan atas keabsahan bertindak dari
pemerintahan. Karena itu, pembahasan pemerintah yang bersih
(clean government) tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan
pemerintahan yang bersih (clean governance).
5 A. Muin Fahma, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Meyujudkan Pemerintahan Yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006), Hlm. 61.
40
d. Asas Penyelenggaraan Pemerintah Yang Bersih
1. Asas kepastian hukum, adalah asas yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam
penngendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang inspiratif, akomodatif,
dan selektif.
4. Asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan
negara.
6. Asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan
keadilan yang yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan
negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peratutan perundang-undangan
yang berlaku.
41
2. Konsep Transparansi
Pedoman dan tata cara audit keuangan partai, penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye pemilu secara garis besar ditetapkan
dalam Undang-Undang pemilu, sedangkan rincian detail ditetapkan
oleh KPU berdasarkan masukan dari ikatan akuntan publik. Belum ada
Undang-Undang pemilu di Indonesia yang mengatur pedoman dan tata
cara audit keuangan partai.6
Untuk menjamin transparansi penerimaan dan pengeluaran
partai poitik (disclosure regulations) dalam laporan harus jelas
disebutkan
a. Identitas lengkap setiap sumber penerimaan: nama, tempat, dan
tanggal lahir, alamat tempat tinggal, nomor telepon rumah/seluler,
pekerjaan, kedudukan dalam pekerjaan, alamat tempat pekerjaan,
dan nomor telpon kantor.
b. Jumlah dari setiap jenis dan bentuk sumbangan (uang, barang, jasa,
potongan harga, pinjaman, hadiah).
c. Rincian program pengeluaran
d. Jumlah setiap jenis dan bentuk pengeluaran.
1) Pengertian Transparansi
Adapun beberapa definisi transparansi dari berbagai ahli
yaitu sebagai berikut :
a. Lalolo, transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi
tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi
tentang kebijakan, proses pembuatan serta hasil yang dicapai.
b. Mustopa Didjaja, transparansi adalah keterbukaan
pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan sehingga
6 Ramlan Subarki dan Didik Supriyanto, Pengendalian Partai Politik (Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011) Hlm. 69.
42
dapat diketahui oleh masyarakat. Transparansi pada akhirnya
akan menciptakan akuntabilitas antara pemerintah dengan
rakyat.
c. Mardiasmo menyebutkan transparansi adalah keterbukaan
pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan
aktifitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak yang
membutuhkan yaitu masyarakat.7
d. Nico Ardianto menyatakan, bahwa transparansi adalah suatu
keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh dan
memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan
masyarakat dalam proses penggunaan sumber daya publik.
Lebih lanjut Nico menjelaskan bahwa transparansi anggaran
didefinisikan sebagai keterbukaan kepada masyarakat dalam
hal fungsi dan struktur pemerintahan, tujuan kebijakan fiskal,
sektor keuangan publik, dan proyeksi-proyeksinya.8
e. Agus Dwiyanto mendefinisikan transparansi sebagai
penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan
dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi-
informasi yang akurat dan memadai. Dari pengertian tersebut
dijelaskan bahwa transparansi tidak hanya sekedar
menyediakan informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan, namun harus disertai dengan kemudahan bagi
masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut.9
Dari beberapa pemaparan dari para tokoh mengenai definisi
transparansi, dapat disimpulkan bahwa transparansi adalah
keterbukaan antara para pemegang keputusan dengan para pemegang
7 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. (Yogyakarta: Andi, 2006) Hlm. 45.
8 Nico Ardianto, Good e-Government:Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui e-Government, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Hlm. 20.
9 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melayani Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2006), Hlm. 80.
43
kepentingan untuk mendapatkan akses yang sama mengenai informasi
sumber daya atau dana yang didapatkan dan digunakan oleh suatu
organisasi.
Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintah, masyarakat
diberikan kesempatan untuk mengetahui apa-apa yang terjadi dalam
pemerintah, termasuk diantaranya kebijakan yang akan atau telah
diambil oleh pemerintah, serta implementasinya. Adanya keterbukaan
dalam penyelenggaraan urusan publik akan memudahkan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan. Pengawasan dari masyarakat dapat
mencegah terjadinya mis-alokasi sumber daya maupun pelanggaran
dalam kegiatan pemerintah seperti korupsi. Transparansi yang
dilakukan pemerintah akan mendorong kinerja pemerintah bekerja
dengan baik dalam pelaksanaan program-program pemerintah serta
dalam pengambil keputusan publik.
2) Prinsip-Prinsip Transparansi
Setidaknya ada 6 prinsip transparansi yang dikemukakan oleh
Humanitarian Forum Indonesia (HFI) yaitu:
a) Adanya informasi yang mudah dipahami dan diakses (dana,
cara pelaksanaan, bentuk bantuan atau program)
b) Adanya publikasi dan media mengenai proses kegiatan dan
detail keuangan.
c) Adanya laporan berkala mengenai pendayagunaan sumber
daya dalam perkembangan proyek yang dapat diakses oleh
umum.
d) Laporan tahunan
e) Website atau media publikasi organisasi
f) Pedoman dalam penyebaran informasi
44
Menurut Mustopa Widjaja, prinsip transparansi tidak hanya
berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut keuangan, transparansi
pemerintah dalam perencanaan juga meliputi 5 (lima) hal sebagai
berikut:10
a) Keterbukaaan dalam rapat penting dimana masyarakat ikut
memberikan pendapatnya.
b) Keterbukaan Informasi yang berhubungan dengan dokumen
yang perlu diketahuioleh masyarakat.
c) Keterbukaan prosedur (pengambilan keputusan atau prosedur
penyusunan rancana)
d) Keterbukaan register yang berisi fakta hukum (catatan sipil,
buku tanah dll.)
e) Keterbukaan menerima peran serta masyarakat.
Kristianten menyebutkan bahwa transparansi anggaran adalah
informasi terkait perencanaan penganggaran merupakan hak setiap
masyarakat. Hak masyarakat yang terkait penganggaran yaitu :11
a) Hak untuk mengetahui.
b) Hak untuk mengamati dan menghadiri pertemuan publik.
c) Hak untuk mengemukakan pendapat.
d) Hak untuk memperoleh dokumen publik.
e) Hak untuk diberi informasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, beberapa prinsip yang
di maksud adalah untuk menciptakan adanya keterbukaan informasi
yang mudah dipahami oleh masyarakat, adanya publikasi mengenai
detail keuangan dana alokasi keuangan dana parpol, adanya laporan
berkala mengenai penggunaan dana partai politik kepada masyarakat.
Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal balik antara
10 Mustopa Djaja, Transparansi Pemerintah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) Hlm. 261 11 Kristianten, Transparansi Anggaran Pemerintah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Hlm.
52
45
masyarakat dan pemerintah melalui penyediaan informasi yang akurat
dan memadai sehingga terciptanya suatu pemerintahan yang baik
(good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean
government).
3. Akuntabilitas
a. Pengertian Akuntabilitas
Istilah akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggris
accountability yang berarti pertanggunganjawaban atau keadaan untuk
dipertanggung jawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggung
jawaban.
Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh
komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan
kewenangannya masing-masing. Pengertian akuntabilitas ini
memberikan suatu petunjuk sasaran pada hampir semua reformasi
sektor publik dan mendorong pada munculnya tekanan untuk pelaku
kunci yang terlibat untuk bertanggungjawab dan untuk menjamin
kinerja pelayanan publik yang lebih baik.
Prinsip akuntabilitas adalah merupakan pelaksanaan
pertanggung jawaban di mana dalam kegiatan yang dilakukan oleh
pihak yang terkait harus mampu mempertanggung jawabkan
pelaksanaan. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-
kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan
untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang
menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat
dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal
pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara
transparan kepada masyarakat.
46
Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua) hal, yaitu : kemampuan
menjawab dan konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula
dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan para pejabat
negara untuk menjawab secara periodik yang berhubungan dengan
bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber
daya telah digunakan dan apa yang telah tercapai dengan
menggunakan sumber daya tersebut.
Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah
bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan
yang di ambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan dalam hal ini
yaitu partai politik. Media pertanggung jawaban dalam konsep
akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggung jawaban saja,
tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandate
mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara
lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh
subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai
landasan penting dan dalam suasana yang transparan dan demokrasi
serta kebebasan dalam mengemukakan pendapat.
b. Bentuk Akuntabilitas
Akuntabilitas dibedakan menjadi beberapa tipe, diantaranya
menurut Rosjidi jenis akuntabilitas dikategorikan menjadi dua tipe
yaitu :
1) Akuntabilitas Internal.
Berlaku bagi setiap tingkatan organisasi internal
penyelenggara pemerintah negara termasuk pemerintah dimana
setiap pejabat atau pengurus publik baik individu maupun
kelompok secara hierarki berkewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kepada atasannya langsung mengenai
47
perkembangan kinerja kegiatannya secara periodik maupun
sewaktu-waktu bila dipandang perlu. Keharusan dari akuntabilitas
internal pemerintah tersebut telah diamanatkan dari instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi
Pemerintah (AKIP).
2) Akuntabilitas Eksternal.
Melekat pada setiap lembaga negara sebagai suatu
organisasi untuk mempertanggung jawabkan semua amanat yang
telah diterima dan dilaksanakan ataupun perkembangannya untuk
dikomunikasikan kepada pihak eksternal lingkungannya.12
Agar dapat berfungsi dengan baik, dalam menerapkan
suatu sistem akuntabilitas, perlu diterapkan:13
a) Pernyataan yang jelas mengenai tujuan dari sasaran dari
kebijakan dan program. Hal terpenting dalam membentuk
suatu sistem akuntabilitas adalah mengembangkan suatu
pernyataan tujuan dengan cara yang konsisten. Pada
dasarnya, tujuan dari suatu kebijakan dan program dapat
dinilai, akan tetapi kebanyakan dari pernyataan tujuan yang
dibuat terlalu luas, sehingga mengakibatkan kesulitan
dalam pengukurannya. Untuk itu diperlukan suatu
pernyataan yang realistis dan dapat diukur.
b) Pola pengukuran tujuan. Setelah tujuan dibuat dan hasil
dapat di identifikasikan, perlu ditetapkan suatu indikator
kemajuan dengan mengarah pada pola pencapaian tujuan
dan hasil. Ini adalah tugas yang paling kritis dan sangat
sulit dalam menyusun suatu sistem akuntabilitas. Memilih
12 Rosjidi, Akuntansi Sektor Publik: Kerangka Standart dan Metode, (Surabaya: Aksara satu, 2001), Hlm. 145.
13 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta : Andi, 2004), Hlm. 69.
48
indikator untuk mengukur suatu arah kemajuan pencapaian
tujuan kebijakan dan sasaran program membutuhkan cara-
cara dan metode tertentu agar indikator terpilih dan
mencapai hal yang dibagikan oleh pembuat kebijakan.
c) Pengakomodasian sistem insentif. Pengakomodasian
sistem yang insentif merupakan suatu sistem yang perlu
disertakan dalam sistem akuntabilitas. Penerapan sistem
insentif harus dilakukan denga hati-hati. Adakalanya sistem
insentif akan mengakibatkan hasil yang berlawanan dengan
yang direncanakan.
d) Pelaporan dan penggunaan data. Suatu sistem
akuntabilitas kinerja akan dapat menghasilkan data yang
cukup banyak. Informasi yang dihasilkan tidak akan
berguna kecuali dirancang dengan hati-hati, dalam arti
informasi yang disajikan benar-benar berguna bagi
pimpinan, pembuat keputusan, manajer-manajer program
dan masyarakat. Bentuk dan isi laporan harus
dipertimbangkan sedemikian rupa, ini merupakan pedoman
pelaporan informasi dalam suatu sistem akuntabilitas.
e) Pengembangan kebijakan dan manajemen program yang
dikoordinasikan untuk mendorong akuntabilitas.
c. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Di Indonesia
Dalam pelaksanaan akuntabilitas dalam lingkungan pemerintah,
perlu memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas, seperti dikutip
LAN dan BPKP yaitu sebagai berikut :
1) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi
untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan nisi agar akuntabel.
2) Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin
penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
49
3) Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan
4) Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil
dan manfaat yang diperoleh.
5) Harus jujur, objektif, transparan dan inovatif sebagai
katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam
bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja
dan penyusunan laporan akuntabilitas.14
Uang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
penyelenggaraan partai politik di mana tanpa dana yang memadai,
partai politik tidak akan dapat mengorganisasi dirinya, para politikus
tidak akan dapat berkomunikasi dengan publik, dan kampanye pemilu
tidak akan dapat dilaksanakan. Singkat kata, partai politik memerlukan
dana yang cukup besar untuk dapat melaksanakan fungsinya, baik
sebagai jembatan antara masyarakat dengan negara maupun sebagai
peserta pemilu. yaitu yang berkaitan dengan kegiatan :
a) Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara,
yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
b) Pemahan mengenai hak dan kewajiban warga Negara
Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik.
c) Pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan
berkelanjutan.15
Dari ketiga sumber keuangan partai politik yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 jo Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2011 tersebut dipergunakan untuk membiayai kegiatan
pendidikan politik dan operasional sekretariat. Bahwa bantuan
14 Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Memahami Good Government Governance dan Good Coorporate Governance, (Yogyakarta: YPAPI, 2004), Hlm. 70.
15 Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.
50
keuangan dari Negara diprioritaskan untuk kegiatan pendidikan
politik.
Berdasarkan Laporan BPK, tampak bahwa sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011, penggunaan
dana bantuan keuangan partai politik tidak berubah, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan operasional sekretariat. Hal ini merupakan
kelanjutan dari kebiasaan lama di mana bantuan keuangan negara
selalu di identikan dengan bantuan operasional sekretariat, meskipun
PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang bantuan keuangan kepada partai
politik sudah menegaskan peruntukan dana bantuan keuangan: bukan
sekadar untuk kegiatan operasional sekretariat, melainkan juga untuk
pendidikan politik. Dari hasil pemeriksaan BPK, terlihat bahwa
sebagian besar partai politik nasional, provinsi maupun kabupaten/
kota tidak mengalokasikan bantuan keuangan untuk kegiatan
pendidikan politik.
BAB IV
BANTUAN PENDANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
A. Problematika Pendanaan Partai Politik di Indonesia
Partai politik sebagai sebuah aktualisasi dari negara demokrasi
memiliki posisi yang sangat strategis dalam mempengaruhi pengambilan
kebijakan dalam pemerintahan daerah maupun pusat. Partai politik
merupakan wadah penyaluran aspirasi politik rakyat baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang merupakan perwujudan dari demokrasi atau
disebut tiang demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Maka
dari itu tugas dari partai politik tidak hanya sekedar membesarkan nama
partai itu sendiri dengan menjadikan kader-kadernya duduk di kursi
pemerintahan eksekutif ataupun legislatif.
Fungsi ataupun kewajiban partai politik antara lain yaitu,
mengajarkan kepada masyarakat luas mengenai pentingnya pendidikan
politik dan pembelajaran politik yang baik dalam kehidupan bernegara.
Hal tersebut berguna untuk mendewasakan masyarakat terkait pengawasan
terhadap pemerintahannya untuk menciptakan pemerintahan yang baik,
pemerintahan yang bersih dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011
tentang Partai Politik, pendidikan politik yang dimaksud adalah
pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu
Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga
negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik,
pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.1
Kesadaran masyarakat akan politik tidaklah muncul begitu saja,
namun perlu pembelajaran dari berbagai pihak, salah satunya ialah partai
1 Undang-Undang No. 2 tahun 2011 Tentang Partai Politik pasal 34 ayat 3 b poin a, b, dan c.
51
52
politik. Kesadaran politik tidak serta merta membuat masyarakat langsung
ikut berpartisipasi apalagi banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak
mengenyam pendidikan tinggi. Sejalan dengan hal tersebut masalah atau
kesemrautan partai politik di Indonesia yang membuat masyarakat mulai
gerah dan enggan apalagi percaya kepada partai politik. Bahkan banyak
masyarakat sekarang, baik mulai dari tatanan yang tidak berpendidikan
sampai yang berpendidikan tinggi mulai menunjukan ketidak percayaanya
terhadap partai politik.
Sebagai sebuah organisasi publik yang memiliki peran penting di
suatu negara, maka tuntutan akan Good Governance partai politik tidak
dapat dielakkan. Good governance mengandung arti hubungan yang
sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat
(society). Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan
menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi,
pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan
dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan
UNDP yang memberikan definisi good governance sebagai “hubungan
yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan
masyarakat (society)”.2
Partai politik sebagai organisasi yang dapat mengantarkan para
politisi menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif, membutuhkan
dana besar untuk memenangkan perebutan kursi jabatan publik dalam
pemilu. Sistem pemilu proporsional daftar terbuka untuk memilih
anggota legislatif dan sistem pemilu mayoritarian runoff atau dua putaran
untuk memilih pejabat eksekutif, melipatgandakan dana kampanye yang
harus dikeluarkan para kandidat. Sebab, kampanye tidak cukup hanya
keluar masuk rumah penduduk, menghadiri banyak pertemuan, memasang
2 Rooseno, Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan Ham RI, Jakarta, 2014, Hlm. 23.
53
poster dan spanduk, tetapi juga tampil di media massa, khususnya koran
dan televisi.3
Sebagaimana diketahui bahwa parpol memerlukan dana yang besar
untuk menyukseskan program-programnya, terutama untuk memperoleh
kemenangan dalam pemilu. Sumber dana yang utama berasal dari
sumbangan para simpatisan. Banyak kelompok tertentu baik secara
individual maupun dalam bentuk entitas bisnis melakukan pendekatan
kepada suatu partai politik dengan cara memberikan sumbangan dalam
jumlah besar (siginifikan). Hal itu dilakukan agar kepentingan mereka
dapat diakomodasi oleh partai politik tersebut. Bentuk akomodasi
kepentingan tertentu yang di dalamnya ada unsur vested interest
tercermin dalam perumusan kebijakan yang menyangkut kepentingan
publik. Untuk menjaga agar partai politik tidak berpihak pada sekelompok
kepentingan tertentu, maka diperlukan pembatasan-pembatasan dalam hal
pemberian sumbangan, baik oleh individu maupun organisasi tertentu.4
Maka dari itu negara memberikan bantuan keuangan kepada partai politik
untuk mencegah adanya keberpihakan partai kepada pemberi sumbangan
untuk kepentingan tertentu.
Bantuan besaran keuangan kepada partai politik yang diberikan
negara sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 dan
dalam pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2018 pada tingkat
pusat yang mendapatkan kursi di DPR sebesar Rp. 1.000., per suara sah,
dapat dikatakan cukup kecil untuk partai politik. Jika besaran yang
diberikan negara cukup kecil, dibanding dengan tuntutan yang mengatur
tentang partai itu sendiri justru akan menimbulkan adanya korupsi. Karena
jika bukan negara yang membantu, dari mana partai politik bisa
mendapatkan uang yang bisa menghidupi partai itu sendiri. Tetapi jika
3 Rooseno, Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Hlm. 22.
4 Rooseno, Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Hlm. 25-26.
54
bantuan yang diberikan negara begitu besar, malah akan menjadi sebuah
kekhawatikan negara akan terlalu jauh mengintervensi partai politik.5 Kasus korupsi mempunyai irisan yang kuat terkait dengan
pendanaan partai politik atau pendanaan pemilu. PP Nomor 5 tahun 2009
masih menyebut prosentase penggunaan uang sebesar 60% untuk
pendidikan partai politik. Tetapi dalam PP Nomor 1 Tahun 2018 tidak lagi
menyebutkan prosentase lebih detail yang mengatur tentang penggunaan
keuangan partai politik ketika partai politik mendapatkan bantuan
keuangan dari negara. Sehingga PP Nomor 1 Tahun 2018 menjadi sebuah
kelemahan karena tidak terlalu rigit mengatur tentang pembelanjaan partai
politik yang mendapatkan alokasi dana dari negara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan sebagian besar
partai politik cenderung tertutup terhadap laporan keuangan partai maupun
sumber keuangan partai. Hal ini menimbulkan dugaan, adanya dana-dana
tak wajar yang mengalir ke partai politik selain bantuan dari APBN. Salah
satu contoh dari tertutupnya partai politik untuk membuka informasi dana,
ditunjukkan melalui hasil uji akses informasi laporan keuangan yang
dilakukan ICW.6
Persoalan yang terjadi dalam partai politik terkait dengan hal
transparansi, hampir semua partai politik menolak untuk membuka laporan
keuangannya. Padahal di dalam UU Nomor 2 tahun 2011 secara tegas
dikatakan bahwa partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggung
jawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tetapi partai politik memakanai
transparansi hanya keuangan yang bersumber dari negara saja.7
5 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019 6Maria Natalia, laporan keuangan parpol tertutup, bisa indikasi korupsi,
(https://nasional.kompas.com/read/2012/04/04/19393778/Laporan.Keuangan), diakses pada 10 November 2019, pukul 19.39 WIB
7 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019
55
ICW pernah merilis hasil monitoring kasus korupsi di Dewan
Perwakilan Rakyat RI periode 2014 samapai 2019. Sebanyak 22 anggota
Dewan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan
korupsi yang berbeda-beda. Di tingkat eksekutif daerah pada periode yang
sama tercatat 105 kasus korupsi dengan 90 di antaranya melibatkan bupati
dan walikota, sedangkan 15 sisanya melibatkan gubernur. Catatan itu akan
semakin panjang apabila kita tarik lebih jauh sejak awal bergulirnya
reformasi. Hal tersebut diyakini bahwa korupsi dan politisi partai yang
terlibat di dalamnya lebih cenderung disebabkan oleh masalah demokrasi
dan kepartaian. Buku anomali keuangan partai politik menyebutkan bahwa
rata-rata kebutuhan operasional harian partai mencapai Rp 50 miliar dalam
setahun. Belum termasuk dalam penyelenggaraan kegiatan seperti rapat,
konsolidasi, dan ajang unjuk publik partai, yang setiap tahunnya menelan
biaya miliaran. Belanja kampanye untuk pemilu lebih besar lagi. Dalam
laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemilu 2014, biaya
kampanye yang ditanggung partai Rp 200 sampai 300 miliar. Kenyataan
pahitnya, kandidat yang diusung partai masih harus merogoh kocek
pribadi untuk membiayai kampanyenya. Bahkan, jumlahnya terkadang
lebih banyak dari yang diberikan oleh partai pengusung.8
Seperti diketahui, tiga sumber dana partai politik selama ini, yakni
iuran anggota, subsidi negara, dan sumbangan pribadi atau badan usaha
yang tidak mengikat serta jumlahnya dibatasi Undang-Undang, tidak bisa
menutupi kebutuhan partai. Pada umumnya iuran anggota partai menjadi
salah satu sumber dana partai politik, akan tetapi iuran tersebut tidak
berjalan sehingga tidak bisa menjadi sumber pendanaan partai. Sumbangan
perorangan dan badan usaha juga relatif terbatas karena keengganan
pemilik dana berafiliasi secara terbuka dengan partai tertentu serta juga
belum tumbuhnya rasa memiliki terhadap partai. Sementara itu nominal
subsidi negara bagi partai politik terlampau kecil nilainya sehingga sulit
8 Grada Nagara, Celah Korupsi Dari Sistem Keuangan Partai Politik, (https://katadata.co.id/opini/2019/10/03/celah-korupsi-dari-sistem-keuangan-partai-politik), Diakses pada 7 November 2019 pukul 13.00 WIB
56
diharapkan sebagai sumber dana legal bagi partai. Akibatnya, meskipun
setiap partai politik diwajibkan oleh negara melakukan kegiatan-kegiatan,
misalnya pendidikan politik, dalam realitasnya hal itu tidak bisa terlaksana
karena terbatasnya dana partai politik.9
Terkait dengan bantuan keuangan partai politik yang diberikan oleh
negara atau subsidi negara, bantuan tersebut dianggap terlalu kecil
sehingga membuat partai politik menghadapi dilema. Di satu pihak, untuk
membiayai kegiatannya, partai politik membutuhkan uang banyak, di lain
pihak, besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandirian partai politik
dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, besarnya
sumbangan dapat mengganggu eksistensi partai politik sebagai pemegang
mandat rakyat karena partai politik bisa mengutamakan kepentingan
penyumbang daripada kepentingan rakyat.
Namun pada faktanya, partai politik selalu mengatakan bahwa
mereka krisis pendanaan sehingga tidak bisa menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai partai politik. Tetapi partai politik tidak pernah
secara terbuka soal transparansi bantuan keuangan yang bersumber dari 3
keuangan partai politik. Sehingga negara ada di wilayah ketidaktahuan
tentang berapa besaran yang dibutuhkan partai politik setiap tahunnya.
Ditambah besarnya biaya pencalonan dalam pemilihan DPD,
DPRD, DPR RI, walikota, bupati, gubernur, bahkan presiden yang
menimbulkan partai harus memutar otak untuk mendapatkan pembiayaan
yang lebih, tidak bisa bergantung pada bantuan yang diberikan oleh
negara. Mahar politik lah yang menjadi jalan pintas bagi partai politik.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 34
Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas PKPU Nomor 24 Tahun 2018
tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum (pemilu) menjelaskan bahwa
dalam bab II mengenai dana kampanye bagian kesatu menjelaskan bahwa
9 Syamsuddin Haris, dkk, Draft Kertas Posisi (Position Paper) Sisem Integritas Partai Politik, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi (Dikyanmas KPK) Bekerja sama dengan Pusat penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hlm. 6
57
dana kampanye berasal dari pasangan calon, partai politik atau gabungan
partai pengusul, dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain
(perseorangan, kelompok, dan perusahan atau badan usaha non
pemerintah). Selain dari sumber dana kampanye di atas, untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden, dapat di danai dari anggaran pendapatan dan
pembelanjaan negara. Bantuan tersebut bisa berupa uang, barang, dan jasa.
Adapun besaran jumlah dana kampanye dari perseorangan atau
pihak lain paling banyak berjumlah Rp. 2.500.000.000., (dua milyar lima
ratus juta rupiah). Sedangkan besaran jumlah dana kampanye dari
perusahaan paling banyak berjumlah Rp. 25.000.000.000., (dua puluh lima
milyar rupiah). Sama hal nya dengan pemilihan umum (pemilu) dalam
tingkat legislatif (DPR dan DPRD). Akan tetapi dibedakan dengan tidak
mendapatkan bantuan keuangan kampanye dari anggaran pendapatan dan
pembelanjaan negara.10
Jika peserta pemilu mendapatkan bantuan dana yang melebihi dari
nominal di atas dalam aturan tersebut, maka peserta pemilu tidak boleh
menggunakan dana tersebut, peserta pemilu wajib melaporkan kepada
Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan menyerahkan sumbangan tersebut
ke kas negara, paling lambat 14 hari setelah masa kampanye berakhir.
Persoalan yang sering terjadi, peserta pemilu baik pasangan calon atau
partai politik tetap tidak transparan mengenai besaran bantuan yang telah
didapatkan.11
B. Desain Pendanaan Partai Politik Di Indonesia
Partai politik sebagai entitas nirlaba mempunyai batasan-batasan
yang secara ketat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga dalam
menjalankan sisi operasionalnya baik rutin maupun kampanye harus selalu
berada dalam koridor Undang-Undang. Suatu aturan pembatasan
10 Pasal 16 UU Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum 11 Pasal 17 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum
58
merupakan salah satu upaya menjaga netralitas partai politik dalam
mempertahankan idealisme memperjuangkan kepentingan rakyat.
UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik sebagai payung
hukum yang di dalamnya mengatur regulasi terkait dengan kepartain.
Sedangkan PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang bantuan keuangan kepada
partai politik sebagai aturan pelaksana atas UU Nomor 2 Tahun 2011 yang
di dalamnya menejelaskan secara rinci atas apa yang dikatakan oleh
Undang-Undang. Kedua aturan tersebut sebagai formasi untuk terciptanya
Good Governance. Kedua aturan tersebut sebagai acuan yang membahas
soal pendanaan partai politik di Indonesia.
Banyaknya kasus korupsi yang membelit politisi di lingkungan
legislatif maupun eksekutif, nasional maupun daerah, semakin
menyadarkan kita untuk terus membenahi aturan pendanaan politik.
Kasus-kasus korupsi itu bukan saja menunjukan rendahnya standar moral
politisi, tetapi juga terbentuknya sistem politik yang memaksa mereka
mengambil uang yang bukan haknya. Menurut data yang di unggah oleh
KPK sejak 2014 hingga 2019, sudah 124 kepala daerah yang notabenenya
adalah para politisi yang terjerat kasus korupsi. Selain itu, korupsi yang
dilakukan baik secara individu dilakukan dengan melibatkan individu
tersebut di pemerintahan.12
Kemarakan kasus korupsi yang terjadi menjadi sebuah arti bahwa
adanya regulasi tersebut belum seluruhnya mengakomodir atas
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi seharusnya menjadi sesuatu yang harus diperhatikan oleh
pemerintah untuk mendesain ulang regulasi tersebut. Gerakan masyarakat
menjadi langkah yang efektif untuk mendorong pemerintah agar merevisi
regulasi yang terkait sehingga menjadi jawaban atas penyimpangan yang
terjadi.
12 Laksono Hari Wiwoho, Pembenahan Partai Politik Sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi, (https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/09/220840365/pembenahan-partai-politik-sebagai-solusi-pemberantasan-korupsi?page=all) diakses pada 10 November 2019, pukul 21.50 WIB
59
Bantuan pendanaan keuangan kepada partai politik yang dianggap
terlalu kecil bagi partai politik dijawab oleh pemerintah dengan adanya PP
Nomor 1 Tahun 2018 yang menambahkan besaran bantuan yang diberikan
oleh negara seperti yang tertuang dalam pasal 5 PP Nomor 1 Tahun 2018.
Jika dilihat dari sejarah besaran bantuan keuangan yang diberikan
oleh negara kepada partai politik pada era presiden Abdurrahman Wahid,
partai politik mendapatkan bantuan keuangan kepada partai politik yang
mendapatkan kursi sebesar Rp. 1.000., per suara sah. Hanya saja pada era
presiden Susilo Bambang Yudhoyono diturunkannya besaran bantuan
keuangan yang diberikan oleh negara kepada partai politik sebesar
Rp.108., per suara sah. Artinya, bantuan keuangan partai politik pernah
mengalami penurunan yang signifikan yang kemudian kembali lagi
besaran bantuan keuangan tersebut pada era presiden Joko Widodo.13
Adapun pendapat dari pakar, lembaga dan LSM (lembaga swadaya
masyarakat) seperti KPK dan LIPI yang mengkaji soal pendanaan partai
politik dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya korupsi oleh partai
politik yaitu dengan dinaikkannya jumlah besaran bantuan keuangan oleh
negara kepada partai politik hingga mencapai angka sebesar Rp. 10.000.,
untuk tiap suara yang diperoleh partai politik. Dengan jumlah besaran
bantuan keuangan kepada partai politik pun bukan menjadi sebuah
jaminan untuk meminimalisir terjadinya korupsi. Apabila jumlah bantuan
yang diberikan oleh negara cukup besar, akan menjadi kekhawatiran dan
cek kosong ketika regulasi terkait tidak lebih rigit mengatur tentang
keuangan partai politik. Yaitu tentang bagaimana uang yang didapat partai
politik harus dilaporkan dan apabila dalam laporannya tidak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011, maka aturan yang
berbicara soal konsekuensi atau sanksi yang diterima oleh partai politik
dalam aturannya harus lebih tegas.14
13 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019 14 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019
60
Pengaturan tentang transparansi dan akuntabilitas mengenai
keuangan partai politik masih sangat umum dan longgar, dalam arti lain,
penguatan pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap partai politik
kurang didukung dan diakomodir. Walaupun sudah diatur dalam UU
Nomor 2 Tahun 2011 akan tetapi dianggap perlu adanya penegasan yang
mengatur secara rigit. Seperti pengawasan keuangan dengan prinsip
pendaftaran rekening. Guna menghindari bercampurnya dana kas umum
partai dengan dana kampanye, maka perlu dilakukan pemisahan rekening.
Idealnya partai politik memiliki satu rekening dalam setiap dewan
pengurus pusat, daerah, dan cabang. Sehingga masing-masing dari struktur
partai politik tersebut dapat diawasi karena tidak tercampur dalam 1 (satu)
rekening saja. Ditambah dengan adanya lembaga yang kompeten dalam
mengawasi arus keuangan keluar-masuknya uangan di tiap rekening partai
politik.
Sedangkan dalam tata kelola keuangan partai semestinya kebijakan
yang bisa dirumuskan partai adalah memiliki sistem keuangan yang
transparan dan akuntabel. Partai bisa menerapkan sistem keuangan dengan
informasi pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel serta bisa
diakses publik. Kebijakan ini diharapkan akan membuat keuangan partai
dikelola secara transparan dan akuntabel.
C. Implikasi Pendanaan Partai Politik di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan PP Nomor 1 Tahun 2011
Terhadap Masa Depan Partai Politik
Hingga saat ini persoalan transparansi dan akuntabilitas dana politik
masih menjadi tantangan sistem demokrasi di Indonesia. Pada hakekatnya
partai politik adalah penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Partai
politik yang dapat menjadi elemen penghubung, adalah partai yang
memiliki komitmen untuk melakukan reformasi internal partai. Salah satu
cara yang biasa ditempuh adalah menjalankan prinsip-prinsip transparansi
dan akuntabilitas keuangan partai. Sistem pendanaan politik yang
61
transparan dan akuntabel pada hakikatnya adalah nilai tukar dari
kepercayaan publik terhadap partai politik. Implementasi dari kedua
prinsip ini akan memudahkan publik untuk melakukan proses pemilihan
dengan informasi yang selengkap-lengkapnya.
Lunturnya kepercayaan public (public trust) terhadap partai politik
timbul akibat kompleksnya permasalahan yang ditimbulkan oleh partai
politik, baik permasalahan internal partai dan kasus-kasus keanggotaan
partai politik yang dianggap sebagai tindakan-tindakan amoral dalam
kehidupan bermasyarakat.
Upaya yang perlu dilakukan partai politik untuk memulihkan
kembali kepercayaan publik salah satunya adalah mengimplementasikan
sistem integritas partai politik. Citra partai yang dipandang publik selama
ini telah diperburuk oleh kiprah para politisi. Terutama keterlibatan
mereka dalam kasus-kasus korupsi. Ketiadaan sistem integritas partai
politik sejauh ini telah membuka kesempatan bagi politisi untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bisa merugikan citra partai.
Padahal partai memerlukan citra yang positif untuk memperoleh
simpati elektoral. Semakin partai berintegritas semakin tinggi pula mereka
mendapat apresiasi positif dari publik dan sebaliknya. Oleh karena itu,
partai politik memerlukan langkah atau strategi dalam
mengimplementasikan sistem integritas agar partai nantinya bisa
melahirkan kader–kader partai atau pemimpin yang kompeten dan
berintegritas sekaligus untuk mencegah perilaku atau sikap dari kader
partai yang bisa mencederai kehormatan partai.
Untuk mengimplementasikan sistem integritas, yang dilakukan
adalah mengadopsi sistem integritas partai dalam kebijakan partai. Seperti
tentang bagaimana kebijakan partai mengenai standar etik, rekrutmen,
kaderisasi, maupun kebijakan pengelolaan keuangan partai. Kebijakan-
kebijakan ini harus bersandar pada nilai-nilai integritas yang sudah
dibangun di internal.
62
Sementara kebijakan internal terkait kaderisasi ditujukan untuk
regenerasi kepemimpinan di internal maupun kepemimpinan nasional.
Dalam mengadopsi kebijakan internal untuk kaderisasi adalah bagaimana
kaderisasi di partai berdasarkan sistem yang sudah baku, kemudian ada
penjenjangan dan didasarkan pada pertimbangan merit atau kompetensi.
Diharapkan dengan mengadopsi sistem integritas dalam proses kaderisasi
partai akan memperoleh kader-kader yang militan, kompeten dan
berintegritas.
Selain daripada strategi dalam mengimplementasikan sistem
integritas, strategi selanjutnya bisa dilakukan melalui program monitoring
dan evaluasi di internal. Monitoring merupakan upaya pemeriksaan rutin
terhadap informasi akan kemajuan yang kemudian dapat memastikan
adanya kemajuaan terhadap arah yang ditentukan. Monitoring biasanya
dilakukan dengan program bulanan sampai triwulanan.
Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa apa
yang telah direncanakan bisa berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai
dengan sumber daya yang dialokasikan. Sementara evaluasi adalah
kegiatan untuk memastikan bahwa arah yang di pilih tersebut benar, serta
kombinasi antara strategi dan sumber daya yang digunakan sesuai untuk
mencapai tujuan. Pada evaluasi biasanya berfokus pada hasil.
Monitoring dan evaluasi partai dilakukan untuk membantu partai
untuk mengukur sejauhmana sistem integritas partai terimplementasi.
Partai bisa memonitoring apakah praktik politik dari kader atau politisi
partai sudah sesuai dengan nilai-nilai integritas. Dari monitoring, partai
juga bisa mengukur berapa kader yang dalam jangka waktu tertentu
melanggar nilai-nilai integritas. Dari proses itu partai kemudian bisa
melakukan evaluasi maupun penilaian terhadap implementasi sistem
integritas di internal. Dalam konteks ini partai juga bisa menerapkan
mekanisme reward dan punishment.15
15 Syamsuddin Haris, dkk, Draft Kertas Posisi (Position Paper) Sisem Integritas Partai Politik, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi
63
Tujuan bantuan keuangan partai politik adalah menjaga
kemandirian partai politik. Sebab, jika kebutuhan dana partai politik lebih
banyak dipenuhi para penyumbang, maka partai politik cenderung
memperhatikan kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota
atau rakyat dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Apabila hal itu
terjadi, maka posisi dan fungsi partai politik sebagai wahana
memerjuangkan kepentingan anggota atau rakyat, menjadi tidak nyata.
Disinilah nilai strategis bantuan keuangan partai politik dari negara:
mampu menjaga kemandirian partai politik demi memperjuangkan
kepentingan anggota dan rakyat.
Dapat dikemukakan beberapa pola yang mencari pendanaan ideal
untuk mencegah korupsi yang dianggap relatif ideal bagi Indonesia
diantaranya :16
1. Subsidi 100 persen dari negara
Menghendaki seluruh pengeluaran partai dibiayai oleh
negara. Untuk mewujudkan pembiayaan partai 100 persen dari
negara, maka negara harus mampu menghitung pengeluaran
yang layak bagi partai. Pengeluaran yang dianggap wajar ini
kemudian ditetapkan dan diumumkan secara transparan.
Pemerintah lalu mengucurkan bantuan persis sejumlah
pengeluaran ini. Bantuan dapat diberikan dalam bentuk tunai,
barang, maupun fasilitas (iklan di media massa dan luar ruang,
fasilitas gedung pertemuan, dan lainnya). Dapat juga dilakukan
dengan mekanisme reimbursement (dengan menyertakan bukti
pengeluaran) maupun mekanisme lain yang dianggap efektif
seperti penagihan langsung pihak ketiga kepada negara. Pencapaian manfaat atau keuntungan dalam opsi ini
hanya akan diperoleh bila syarat-syaratnya terpenuhi. Pertama,
Pemberantasan Korupsi (Dikyanmas KPK) Bekerja sama dengan Pusat penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik LIPI), Jakarta, Agustus 2017, Hlm. 32
16 Faisal, dkk, “Pendanaan Partai Politik di Indonesia: Mencari Pola Pendanaan Ideal untuk Mencegah Korupsi”, Integritas Volume 4 Nomor 1, 2018, hlm. 278-283
64
partai harus memiliki tenaga keuangan yang handal dan mampu
membuat laporan keuangan secara profesional. Kedua, ada
batasan pengeluaran partai agar dana dari pemerintah cukup.
Partai harus punya kreativitas dalam menghemat. Tanpa batasan
pengeluaran, biaya politik akan tetap tinggi dan cenderung
makin tinggi, sehingga partai akan termotivasi mencari sumber-
sumber lain. Ketiga, tipe audit yang digunakan harus cukup
mendalam. Saat ini mekanisme audit (agreed upon procedure)
belum mampu memastikan kewajaran pengelolaan keuangan
dan belum bisa melakukan investigasi bila ada indikasi
pelanggaran. Keempat, tidak ada rekening-rekening kampanye
pribadi dari caleg/ calon kepala daerah. Seluruh biaya kampanye
harus melalui satu rekening partai. Bila tidak, maka pemasukan
dan pengeluaran kampanye pribadi tidak dapat dipantau (baik
itu lewat sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup). 2. Menaikkan jumlah bantuan politik pemerintah
Adanya peningkatan besaran bantuan dana plolitik yang
diberikan dari negara, bantuan politik dari pemerintah saat ini
relative kecil. Adapun pencapaian manfaat atau keuntungan
dalam opsi ini hanya hanya akan diperoleh bila syarat-syaratnya
terpenuhi, yakni pengeluaran partai dibatasi agar tujuan
portofolio negara memegang 50 persen saham partai terpenuhi,
dan perlu ada pengawasan pengeluaran partai yang ketat agar
negara bisa memastikan dananya tetap dominan dibanding
sumber lain. Tidak jauh berbeda jawaban dari ICW yang ketika penulis
melakukan wawancara terkait dengan bantuan keuangan partai politik.
Bantuan keuangan pendanaan partai politik yang diberikan oleh Negara
melalui APBN/APBD dianggap sebagai apresiasi yang diberikan oleh
negara atas apa yang diperoleh partai politik melaui perolehan suara yang
didapat. Tetapi ICW lebih sepakat jika bantuan keuangan partai politik
65
tidak hanya diberikan berdasarkan perolehan suara yang didapat partai
politik melalui hasil pemilu. Sehingga ICW merekomendasikan 2 metode
yang dapat negara berikan kepada partai politik
Pertama, tetap dengan menggunakan penghitungan secara
proporsional suara. Artinya setiap kursi dan jumlah suara yang diperoleh
oleh partai politik dari hasil pemilu dihargai oleh negara. Rekomendasi ini
diambil dari kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar bantuan
keuangan kepada partai politik ditingkatkan oleh negara. Angka Rp. 108,-
per suara sah (tingkat pusat) yang berlaku dianggap sangat kecil dan tidak
rasional. Secara total, pada tahun 2016, semua Parpol yang duduk di DPR-
RI hanya mendapatkan Rp. 13,167.000.000., atau (0,00063% dari APBN
2016). Jumlah tersebut diperkirakan hanya mampu membiayai sekitar
0,50% dari kebutuhan parpol setiap tahunnya.17
Hasil Kajian ilmiah bersama antara Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
merekomendasikan kepada pemerintah untuk menaikkan bantuan dana
kepada partai poitik dari Rp. 108., per suara menjadi Rp. 10.000., per
suara. KPK menegaskan, rekomendasi kenaikan bantuan dana parpol itu
bersifat bertahap dengan rentang waktu hingga 10 tahun, sehingga partai
politik tidak serta-merta langsung menerima Rp. 10.000., per suara.
Menurut KPK tambahan tersebut bertujuan untuk mengedukasi
pengelolaan anggaran parpol yang berasal dari bantuan pemerintah agar
terhindar dari kasus korupsi.18
Kedua, menggunakan metode fixed cost. Artinya besaran yang
didapatkan partai semuanya sama, tidak dilihat dari besaran jumlah kursi
17 Syamsuddin Haris, dkk, Draft Kertas Posisi (Position Paper) Sisem Integritas Partai Politik, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi (Dikyanmas KPK) Bekerja sama dengan Pusat penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik LIPI), Jakarta, Agustus 2017, Hlm. 6
18 M. Ilham Ramadhan Avisena, KPK dan LIPI Sosialisasikan Hasil Kajian Soal Dana
Parpol, (https://mediaindonesia.com/read/detail/222541-kpk-dan-lipi-sosialisasikan-hasil-kajian-
soal-dana-parpol), diakses pada selasa 12 November 2019, pukul 22.06 WIB
66
dan suara yang didapat partai pasca pelaksanaan pemilu. Karena beban
yang ditanggung oleh partai itu sama untuk melaksanakan fungsi dan
kewajibannya sebagai partai politik. Sebagaimana yang telah diatur dalam
UU Nomor 2 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008
tentang partai politik dan PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang bantuan
keuangan kepada partai politik, jelas bahwa di Indonesia menggunakan
metode pertama.
ICW juga menganggap bahwa dengan adanya PP nomor 1 Tahun
2018 dianggap belum cukup untuk meminimalisir terjadinya korupsi oleh
partai politik. Dikarenakan lemahnya aturan yang diatur dalam UU Nomor
2 Tahun 2011 tentang partai politik yang tidak menyentuh pembenahan
partai politik di sektor lainnya. Yakni kaderisasi, demokrasi internal,
transparansi, dan akuntabilitas anggaran, serta sanksi bagi partai politik
yang melanggar aturan.
Selain mendorong bantuan keuangan kepada partai politik, ICW
juga mendorong untuk di revisi nya UU Nomor 2 Tahun 2011 untuk
segera dimasukkannya rencana revisi UU tersebut dalam prolegnas 2019-
2024. Apabila tidak dilakukannya revisi UU tersebut, maka pemerintah
hanya bermain soal angka tentang kenaikan bantuan keuangan kepada
partai politik dan dapat dianggap tidak pro terhadap pemberantasan
korupsi yang selama ini terjadi dalam tubuh partai politik.
Akuntabilitas merupakan permasalahan penting dalam kontrol
publik. Bagi partai politik akuntabilitas dapat menunjukkan kredibilitasnya
dalam menjalankan roda pemerintahan jika nantinya mereka terpilih. Salah
satu indikator akuntabilitas adalah kepatuhan terhadap regulasi yang
berlaku terkait dengan pelaporan keuangan, kepatuhan tersebut dapat
diketahui dari hasil audit kepatuhan pelaporan keuangan yang telah diaudit
oleh akuntan publik. Indikator akuntabilitas lainnya adalah transparansi
partai politik dalam menginformasikan dana yang digunakan. Dalam
pemeringkatan keterbukaan informasi tahun 2014 oleh Komisi Informasi
Pusat (KIP), dari 12 partai tingkat pusat yang dikirim formulir untuk self
67
assessment, hanya 4 (empat) partai yang mengembalikan, yaitu Gerindra,
PKS, PKB dan PAN. Dari empat partai itu, setelah dilakukan verifikasi
website dan visitasi untuk pengecekan dokumen, skor keterbukaan
informasi tertinggi adalah 57 (dari nilai maksimal 100) dan terendah 16.
Hal ini menunjukkan, prinsip-prinsip keterbukaan informasi masih jauh
dari angan-angan pengelola parpol.19 ICW mencatat sepanjang 2015-2018 terdapat 252 kasus korupsi
anggaran desa. Pada tahun 2015, kasus korupsi yang tercatat sebanyak 22
kasus. Temuan ini meningkat pada tahun selanjutnya di 2016 sebanyak 48
kasus. Pada tahun selanjutnya 2017 dan 2018 mengalami kenaikan yang
jumlahnya meningkat 2 kali lipat, yakni sebanyak 98 dan 96 kasus.
Sedangkan kepala desa yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2015-
2018, terdapat 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Pada tahun
2015 terdapat 15 kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Pada setiap
tahunnya mengalami peningkatan kepala desa yang terjerat kasus korupsi.
2016 sebanyak 61 orang, 2017 sebanyak 66 orang, dan 2018 sebanyak 88
orang.20
Data yang diberikan ICW secara presentase kepada penulis terkait
dengan bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi pada tahun 2006-2018
menyatakan bahwa, sepanjang tahun 2006 terdapat 3 orang ditambah di
tahun selanjutnya mencapai 6 orang, sama banyak nya yang terjerat di
tahun 2008. Pada tahun 2009 sebanyak 5 orang terjerat dalam kasus
korupsi. Penurunan di mulai sejak tahun 2010 sebanyak 4 orang hingga
pada tahun 2011 sampai 2013 hanya 3 orang. Terjadi kenaikan yang cukup
signifikan yang terjerat kasus korupsi di tahun 2014, sebanyak 12 orang.
Penurunan yang signifikan pun terjadi di tahun 2019.21
19 Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia “Transparansi pendanaan Parpol”, (https://komisiinformasi.go.id/?p=2166), diakses pada 18 November 2019 pukul 14.30 WIB
20 Rosiana Haryanti, Sepanjang 2015-2018, ICW Catat ada 252 Kasus Korupsi di Desa, (https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/16/163922565/sepanjang-2015-2018-icw-catat-ada-252-kasus-korupsi-di-desa?page=all), Diakses pada 11 November 2019 pada pukul 08.50 WIB
21 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019
68
Hasil peneliti yang melakukan wawancara kepada ICW juga
mencatat mencatat terdapat 59 anggota dewan terpilih menyandang status
tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana kasus korupsi. DPR RI bahkan
melantik Setya Novanto sebagai ketua DPR, padahal Setya banyak diduga
terlibat dalam sejumlah kasus korupsi. Tak mengejutkan, Setya Novanto
akhirnya menyandang status tersangka pada tahun 2017. ICW mencatat,
hingga saat ini telah ada 22 anggota DPR RI 2014-2019 yang ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Tiga orang diantaranya bahkan
menjadi tersangka di tahun pertama masa jabatan, yaitu Ardiansyah
(Fraksi PDIP), Patrice Rio Capella (Fraksi Nasdem), dan Dewi Yasin
Limpo (Fraksi Hanura). Dapat dikatakan, korupsi oleh anggota DPR/D
periode 2014-2019 sangat memprihatinkan. Tidak hanya dikarenakan
jumlahnya yang banyak, melainkan juga dilihat dari jabatan anggota
tersebut. Pada periode ini, Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua
DPR Taufik Kurniawan menjadi tersangka korupsi. Dua anggota dewan
tersangka juga merupakan ketua umum partai, yaitu Setya Novanto (Ketua
Umum Partai Golkar) dan Muhammad Romahurmuziy (Ketua Umum
PPP).22
Korupsi di legislatif daerah tak kalah memprihatinkan. KPK pada
2018 menetapkan belasan dan bahkan puluhan anggota dan mantan
anggota DPRD Sumatera Utara (44 orang), Kota Malang (41 orang),
Jambi (13 orang), Lampung Tengah (6 orang) sebagai tersangka korupsi.
Mereka disangka menerima suap dari kepala daerah terkait fungsi dan
kewenangan mereka sebagai anggota dewan, khususnya dalam
pembahasan Anggaran Penerimaan dan Belanja Dearah (APBD). Pantauan
ICW terhadap penindakan kasus korupsi sepanjang 2015-2019 mencatat
bahwa sedikitnya terdapat 254 anggota dan mantan anggota DPRD
menjadi tersangka korupsi dalam lima tahun terakhir. Tidak semua dari
mereka menjabat pada periode 2014-2019, seperti misalnya tiga anggota
DPRD Bengkalis 2009-2014, yaitu Jamal Abdillah (PAN), Hidayat Tagor
22 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019
69
(Partai Demokrat), dan Purboyo (PDIP), yang menjadi tersangka korupsi
penyimpangan dana hibah bansos. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka
pada tahun 2015 sedangkan kasus korupsinya terjadi pada 2012. Selain itu,
tidak semua kasus korupsi yang membelit anggota dewan ini terjadi pada
2015-2019. Terdapat kasus-kasus yang terjadi pada tahun atau periode
jabatan sebelumnya. Misalnya, kasus suap pembahasan APBD Sumatera
Utara yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara dan 44 anggota DPRD
Sumatera Utara 2009-2014 dan kasus suap pengurusan izin usaha
pertambangan di Kabupaten Tanah Laut yang melibatkan anggota DPR RI
Ardiansyah (PDIP).23
Hal ini dapat disimpulkan bahwa indikator maraknya kasus korupsi
dari tahun ke tahunnya mengalami kenaikan dan penurunan. Sehingga
bukan menjadi sebuah jaminan bagi negara jika memberikan bantuan yang
besar kepada partai politik untuk meminimalisir kasus korupsi. Langkah
negara memberikan bantuan keuangan kepada partai politik dengan
ditambahkan besaran bantuaanya menjadi pilihan yang paling baik saat ini
untuk meminimalisir kasus korupsi yang selama ini dilakukan oleh partai
politik. Perlu adanya tamabah regulasi lebih ketat yang mengatur tentang
sanksi untuk partai politik apabila melakukan sebuah pelanggaran. Sama
seperti halnya sanksi yang diberikan kepada partai politik apabila
melakukan mahar politik. Pemilihan selanjutnya, partai tersebut tidak
boleh mengusung calon pada pemilihan selanjutnya baik kepala daerah
ataupun legislatif. Dengan ancaman sanksi tersebut dapat menekan partai
politik agar mengikuti koridor yang telah di atur dalam undang-undang.
23 Wawancara dengan Indonesian corruption watch (ICW), 6 Desember 2019
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Urgensi adanya bantuan pendanaan partai politik yang diberikan oleh
negara menjadi suatu hal yang penting, karena dengan negara memberikan
bantuan keuangan kepada partai politik, agar partai bisa menjalankan tugas
dan fungsi nya dengan baik sebagai partai politik. PP No. 1 Tahun 2018
yang menjadi pelaksana UU No. 2 Tahun 2011, menjadi sebuah
perwujudan adanya kontribusi yang negara berikan kepada partai politik.
Apalagi besaran bantuan yang diberikan dapat dikatakan meningkat jika
dibanding dengan jumlah besaran yang sebelumnya. Hal tersebut menjadi
sebuah salah satu langkah bagi negara untuk tidak adanya praktik korupsi
yang dilakukan oleh partai politik dan anggotanya. Selain itu, negara juga
mengantisipasi adanya kebergantungan partai politik kepada para
penyumbang agar kepentingan-kepentingan di dalamnya tidak merugikan
kepentingan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Implikasi adanya bantuan keuangan partai politik yang diberikan oleh
negara, yang diharapkan dapat membantu keuangan partai politik dalam
menjalankan fungsi dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan undang-
undang dan dapat meminimalisir terjadinya korupsi yang dapat dilakukan
oleh partai politik. Walaupun tidak dapat menjadi sebuah jaminan atas apa
yang dilakukan oleh negara untuk tidak ada lagi kasus korupsi yang
menjerat partai politik maupun anggotanya. Karena hasil analisis yang
penulis lakukan terkait dengan kasus korupsi yang menjerat partai politik
dan para elitnya, mengalami ketidakstabilan. Hanya saja pada tahun 2018,
kasus korupsi yang menjerat partai politik dan para elitnya mengalami
kenaikan yang signifikan dibanding dengan tahun sebelumnya. Tahun
2019 kasus korupsi pun mengalami penurunan yang signifikan pula. Hal
ini tidak menjadi sebuah jaminan atas apa yang telah diberikan oleh negara
kepada partai politik.
70
71
Rekomendasi
1. Hendaknya negara memberikan bantuan keuangan kepada partai politik
sesuai apa yang menjadi kebutuhan partai politik. Seperti yang telah di kaji
oleh KPK dan LIPI yang jumlah besaran bantuannya ditingkatkan sebesar
Rp.10.000., per suara sah.
2. Hendaknya negara memberikan bantuan keuangan kepada partai politik
dengan menggunakan metode fixed cost. Artinya besaran yang didapatkan
partai semuanya sama, tidak dilihat dari besaran jumlah kursi dan suara
yang didapat partai pasca pelaksanaan pemilu. Karena, bagaimanapun
beban dari partai politik yang sama juga harus mendapatkan besaran
bantuan keuangan yang sama dari masing-masing partai politik. Sebagai
contoh setiap partai politik membutuhkan pengeluaran yang hampir sama
baik untuk operasional partai, pendidikan politik untuk masyarakat, dan
lain lain yang berkaitan dengan partai itu sendiri.
3. Hendaknya dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang partai politik agar lebih rigit dalam mengatur transparansi, dan
sangsi. Serta menambahkan sangsi yang apabila partai politik tidak
menjalankan aturan, partai tersebut tidak boleh ikut serta dalam pemilihan
umum. Seperti sangsi yang diberikan apabila partai politik menerima
mahar politik. Ditambah dengan adanya lembaga khusus yang dapat
memonitoring partai politik.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU A.R, Hantayuda. Presindensialme Setengah Hati Dari Dilema Ke
Kompromi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Abdurahman, dan Soejono. Metode Penelitian Hukum Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1999 Alli, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Amal, Ichlasul. Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1996 Ardianto, Nico. Good e-Government:Transparansi dan Akuntabilitas
Publik melalui e-Government. Malang: Bayumedia Publishing, 2007
Ashofa, Burhan, MetodePenelitian Hukum, (Jakarta: Rienaka Cipta,1996), Hlm.
124 Asshidiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta;
Sinar Grafika Offset, 2011 Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008 Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008 Djaja, Mustopa. Transparansi Pemerintah. Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melayani Publik,
Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2006 Fahmal, Muin. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam
Meyujudkan Pemerintahan Yang Bersih. Yogyakarta: UII Press, 2006
Hamid, Ahmad Farhan. Partai Politik Lokal Di Aceh: Desentralisasi
Politik Dalam negara Kebangsaan. Jakarta, Kemitraan, 2008 Haryanto. Partai Politik Suatu tinjauan umum. Yogyakarta: Liberty, 1984 Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayu Media Publishing, 2007.
72
73
Khoirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi ”Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004
Kristianten. Transparansi Anggaran Pemerintah. Jakarta: Rineka Cipta,
2006 Mahendra, Oka. Prospek Partai Politik Pasca 2004. Jayasan Pancur
Siwah, 2004), Hlm. 99. Manan, Bagir. Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum, Jakarta: Gajah Media Pratama Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Andi, 2006 Rosjidi. Akuntansi Sektor Publik: Kerangka Standart dan Mwtode.
Surabaya: Aksara satu, 2001 Saebani, Beni Ahmad. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia,
2008 Safa’at, Muchammad Ali. Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan
Praktek Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Sirajuddin dkk. Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang:
Setara Press, 2015 Subarki, Ramlan dan Didik Supriyanto, Pengendalian keuangan Partai
Politik. Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Dalam Perspektif Fikih Siyasah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012 Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2010
Yoyoh Rohaniah, Efriza. Pengantar Ilmu Politik. Malang: Intrans
Publishing Wisna Kalimetro, 2015 Yusa, I Gede, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945. Malang:
Setara Press, 2016
74
B. JURNAL Faisal, dkk. “Pendanaan Partai Politik di Indonesia: Mencari Pola
Pendanaan Ideal untuk Mencegah Korupsi”, Integritas Vol. 4 Nomor 1, 2018.
Irsyam, Mahrus dan Lili Romli. Menggugat Partai Politik, Laboratorium
Ilmu Politik Fisipol, UI, 2003. Marbun, S.F. Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak, Yogyakarta: FH UII
Press, 2014. Rooseno. Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik Dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan Ham RI, Jakarta, 2014.
Syamsuddin Haris, dkk. Draft Kertas Posisi Position Paper Sisem
Integritas Partai Politik, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi Dikyanmas KPK Bekerja sama dengan Pusat penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI). Memahami
Good Government Governance dan Good Coorporate Governance. Yogyakarta: YPAPI, 2004.
C. PERUNDANG – UNDANGAN Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 24 Tahun 2018 tenang Dana
Kampanye Pemilihan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Partai politik
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan
Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye
Pemilihan Umum
75
D. SKRIPSI Aldi Jaya Kusuma, M. “Pengawasan Penggunaan Dana Partai
PolitikMenurut Undang-Undang No 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik”. Skripsi Yogyakarta
Ibad, Ahsanul. “Politik Hukum Pendanaan Partai Politik oleh Negara
Dalam Mewujudkan Demokrasi Yang Berkualitas (Studi Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik)”. Skripsi Yogyakarta 2017
Robbani, Mushab. “Pelaksanaan Fungsi Partai Politik Berdasakan
Undang-Undang Partai Politik Di Kota Bandar Lampung: Studi Pada DPD Partai Keadilan Sejahtera Bandar Lampung.” Skripsi. Bandar Lampung, 2016
E. WEBSITE
Grada Nagara, Celah Korupsi Dari Sistem Keuangan Partai Politik,
(https://katadata.co.id/opini/2019/10/03/celah-korupsi-dari-sistem-keuangan-partai-politik), Diakses pada 7 November 2019.
Interview pribadi dengan Almas Ghaliya Putri Sjafrina, Indonesian
Corruption Watch, 06 Desember 2019. Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia “Transparansi pendanaan Parpol”,
(https://komisiinformasi.go.id/?p=2166), diakses pada 18 November 2019 Laksono Hari Wiwoho, Pembenahan Partai Politik Sebagai Solusi
Pemberantasan Korupsi,(https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/09/220840365/pembenahan-partai-politik-sebagai-solusi-pemberantasan-korupsi?page=all) diakses pada 10 November 2019.
M. Ilham Ramadhan Avisena, KPK dan LIPI Sosialisasikan Hasil Kajian
Soal Dana Parpol, (https://mediaindonesia.com/read/detail/222541-kpk-dan-lipi-sosialisasikan-hasil-kajian-soal-dana-parpol), diakses pada selasa 12 November 2019.
Maria Natalia, laporan keuangan parpol tertutup, bisa indikasi korupsi,
(https://nasional.kompas.com/read/2012/04/04/19393778/Laporan.Keuangan), diakses pada 10 November 2019
76
Rosiana Haryanti, Sepanjang 2015-2018, ICW Catat ada 252 Kasus Korupsi di Desa, (https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/16/163922565/sepanjang-2015-2018-icw-catat-ada-252-kasus-korupsi-di-desa?page=all), diakses pada 11 November 2019