Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
135
UPAYA MENINGKATKAN PENGUASAAN MENGAJAR KOSAKATA
GURU MELALUI PENGGUNAAN METODE COACHING
(Penelitian Tindakan Kelas Di Salah Satu Tk Bilingual Di Kota Bandung)
Wulan Fauzia
SPS UPI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
e-mail: [email protected]
Abstrak
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru agar menghasilkan anak yang berkualitas adalah kompetensi
pedagogik, yang mana salah satu aspeknya yaitu guru mampu melakukan perencanaan pembelajaran, melakukan
pengajaran dan penilaian sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Penelitian ini dilakukan karena hasil
studi pendahuluan yang menunjukan bahwa penguasaan mengajar kosakata guru belum optimal dan guru perlu
dikembangkan dan ditingkatkan. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan penguasaan mengajar kosakata
guru menggunakan metode coaching. Penelitian ini adalah sebuah penelitian tindakan kolaboratif yang dilakukan
disebuah sekolah taman kanak- kanak bilingual di Kota Bandung yang melibatkan seorang guru kelas TK A. Data
pada penelitian ini didapatkan lewat wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Setelah proses coaching
dilakukan guru mampu untuk melakukan perencanaan dan persiapan pembelajaran, menggunakan flashcards
sebagai media mengajar kosakata dan menerapkan permainan dalam pembelajaran.
Kata kunci: coaching, pengajaran kosakata, anak usia dini
Abstarct
Teacher’s pedagogical competencies involving several aspects. Namely instructional planning, teaching and
assessing in accordance to the children’s needs and characteristics. This study is conducted based on the result
of prior study which shown that the teacher’s ability in teaching vocabulary was low and need to be improved.
The objective of this study is to improve the teacher’s ability in teaching vocabulary using coaching method. This
study is a collaborative action reseach which is conducted in one of bilingual kindergarten in Bandung. The
participant of this study is a K1 teacher’s ans student’s. The data were gathered using interview, observation and
documentation review. This study shows that after the coaching proces, the teacher was able to improve her ability
in planning the instruction, using flashcards in teaching vocabulary and applying games in the teaching. Key words: coaching, vocabulary teaching, children
Pendahuluan
Pada sekolah dwibahasa,
pembelajaran bahasa menjadi salah satu ciri
khas yang ditonjolkan oleh sekolah.
Perbedaan sekolah dwibahasa dengan
sekolah umum lainnya terletak pada bahasa
pengantar. Ketika Sekolah lain pada
umumnya menggunakan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar, sekolah
dwibahasa menggunakan Bahasa Inggris
dan juga Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. dikutip dari Margana dan
Sukarno (2011), May, dkk (2004)
mengatakan bahwa sekolah dwibahasa
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
136
adalah sekolah yang kurikulumnya diajarkan
menggunakan dua bahasa; bahasa pertama
dan bahasa kedua. Penggunaan bahasa
kedua ini, dapat diaplikasikan untuk seluruh
mata pelajaran ( Holmes, 1984 dalam
Margana dan Sukarno, 2011) atau mata
pelajaran tertentu saja (Baker and Prys-
Jones 1998, dalam Margana dan Sukarno,
2011).
Salah satu materi utama dalam
pembelajaran Bahasa Inggris di Taman
Kanak- kanak dwibahasa ini adalah
penambahan kosa kata. Penambahan kosa
kata tentu saja penting sebagai salah satu
komponen pendukung kepahaman bagi anak
atas suatu konsep bahasa . Laufer
(1997dalam Komachali dan Kodareza,
2012) mengatakan bahwa kosakata,
vocabulary, adalah ‘jantung’ dan ‘inti’ dari
sebuah bahasa sehingga untuk menguasai
sebuah bahasa penguasaan terhadap
kosakatanya tentulah cukup penting terlebih
lagi bila dikaitkan dengan penguasaan
membaca dan menulis anak dikemudian hari
(Neumann dan Wright, 2014).
Pada salah satu taman kanak- kanak
dwibahasa di Kota Bandung , seperti guru-
guru pada umumnya guru X pun menemui
beberapa kendala ketika mengajar kosa kata
kepada anak- anak. Berdasarkan observasi
singat, diketahui bahwa guru mengajarkan
kosa kata baru dengan cara pengulangan dan
hafalan. Anak diminta oleh guru untuk
mengulang- ngulang kosakata juga
mengulang artinya tanpa memberikan
contoh objek tersebut. Guru mengasumsikan
bahwa dengan cara pengulangan tersebut,
anak dapat mengerti kosa kata tersebut
dengan baik. Melalui wawancara singkat,
diketahui bahwa ternyata guru tersebut
adalah seorang guru baru dan tidak
mempunyai latar belakang penddidikan
mengajar anak. Beberapa hal yang telah
disebutkan di atas menunjukan bahwa ada
beberapa masalah yang terlihat, masalah
yang petama yaitu kurangnya pengetahuan
dan pengalaman guru dalam mengajar
sehingga menimbulkan masalah yang kedua
yaitu tidak digunakannya media ketika
pembelajaran berlangsung.
Pada tahun 2013, kementrian
pendidikan Indonesia memperkenalkan
sebuah kurikulum baru, Kurikulum 2013.
Pada kurikulum ini, Kementrian pendidikan
Indonesia memasukan GROW ME sebagai
salah satu keterampilan yang sebaiknya
dimiliki oleh para pengawas dan kepala
sekolah dan juga guru. Proses GROW ME
ini bekerja sebagai aid bagi guru- guru yang
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
permasalahan yang mereka temui di kelas (
Kemendikbud, 2015). Pada awalnya metode
GROW yang merupakan bagian dari sebuah
sistem coaching dilakukan oleh para pelatih
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
137
olahraga untuk mengembangkan
kemampuan atlit mereka, kemudian
coaching ini diaplikasikan pula pada dunia
pendidikan. Ada beberapa alasan mengapa
coaching ini perlu dilakukan oleh para guru,
khususnya guru baru mengenai pengajaran,
pengaturan kelas dan prilaku anak amat
penting karena banyaknya guru baru yang
berhenti mengajar pada 5 tahun pertama
mereka (Sempowicz dan Hudson, 2011).
National College for Teaching &
Leadership (2013) mengatakan bahwa guru
memerlukan bantuan secara profesional dari
ahli untuk memperbaiki cara mengajarnya
dan guru memerlukan bantuan atau masukan
terhadap strategi baru yang diterapkannya.
Beberapa penelitian mengenai coaching ini
sudah dilakukan. Salah satunya , dilakukan
oleh Djanuardi (2011). Djanuardi
menggunakan metode GROW ME ini untuk
membimbing siswa- siswanya di Sekolah
Minggu. Metode ini dipilih olehnya karena
pendekatannya yang terbukti baik dan sesuai
digunakan karena hasilnya menunjukan
bahwa potensi- potensi anak bimbingannya
muncul dan dapat berkembang. Apabila
merujuk kepada penelitain yang sudah
dilakukan sebelumnya, maka besar
kemungkinan dengan menggunakan metode
GROW ME ini, kemampuan dan wawasan
guru dapat pula berkembang dan meningkat.
Penelitian lain mengenai coaching juga
dilakukan oleh Paulus (2013) terhadap guru-
guru SD di Jawa Tengah. Menggunakan
metode coaching, para guru- guru ini
dibimbing untuk melakukan proses remedial
teaching untuk siswa- siswanya. Hasil
penelitian menunjukan bahwa guru- guru
yang mendapatkan coaching
memperlihatkan perkembangan dan
kemajuan yang baik dalam melaksanakan
remedial teaching. Penelitian mengenai
bimbingan model GROW ME juga
dilakukan oleh Sarifudin (2015). Penelitian
tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi
masalah yang dihadapi guru di SMAN 1
Jasingan Bogor. Penelitian tersebut
menunjukan bahwa masalah- masalah yang
terdintifikasi adalah 45% dari anak, 19 %
dari materi pembelajaran, 15% media
pembelajaran, 15 % metode pembelajaran,
dan 6% dari materi. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukan bahwa setelah
dilakukannya proses bimbingan tampak
adanya peningkatan dalam kualitas
pembuatan RPP begitu pula dengan
implementasi proses pembelajaran.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Arka,
Nyoman dan Nyoman (2015) Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui: perbedaan
kemampuan guru mengelola pembelajaran
tematik terpadu antara yang disupervisi
dengan model coaching GROW ME dan
pendekatan direktif, perbedaan kemampuan
guru mengelola pembelajaran tematik
terpadu antara yang disupervisi dengan
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
138
model coaching GROW ME dan pendekatan
direktif setelah mengontrol konsep diri guru,
hasil yang diperoleh adalah adanya
perbedaan kemampuan guru mengelola
pembelajaran tematik terpadu antara yang
disupervisi dengan model coaching GROW
ME dan pendekatan direktif dan adanya
perbedaan kemampuan guru mengelola
pembelajaran tematik terpadu antara yang
disupervisi dengan model coaching GROW
ME dan pendekatan direktif setelah
mengontrol konsep diri
Melihat dan mempertimbangkan hal-
hal yang sudah disebutkan di atas, penelitian
mengenai GROW ME ini perlu dilakukan
karena penelitian- penelitian yang
disebutkan diatas dilakukan bersama guru
pada tingkat pendidikan lebih tinggi dan
belum dilakukan dengan guru pada tingkat
pendidikan anak usia dini, dimana seperti
yang kita ketahui, anak memiliki
karakteristik yang berbeda sehingga guru
perlu mengaplikasikan strategi
pembelajaran yang berbeda pula. Selain itu,
beberapa penelitian diatas juga dilakukan
bersama dengan guru- guru yanmasih
sedikitnya penelitian mengenai tema serupa,
selain itu metode bimbingan GROW ME ini
belum dilakukan pada sekolah bilingual
yang tentu saja memiliki perbedaan-
perbedaan dengan Negri atau Swasta pada
umumnya. Permasalahan yang terjadi
berkaitan erat dengan guru, siswa dan
pengajaran ini merupakan permasalahan
yang unik, dan memiliki kekhasan tersendiri
oleh karena itu penelitian yang akan
dilakukan adalah penelitian tindakan
kolaboratif. Pada penelitian ini, peneliti akan
bekerjasama dengan guru, sebagai
pembimbing, untuk meningkatkan
kemampuan mengajar kosakata Bahasa
Inggris dengan metode GROW ME, lebih
khususnya lagi, guru akan menggunakan
media flashcards.
Landasan Teori
Coaching masuk ke dalam dunia
pendidikan pada tahun 1980 (Dunst &
Trivette, 1996; Dunst, Trivette,& LaPointe,
1992; Rappaport, 1981; Trivette & Dunst,
1998) sebagai salah satu cara untuk
meningkatkan kemampuan guru secara
profesional. Pengembangan diri guru secara
profesional lebih penting daripada
pengembangan karir guru, pengembangan
guru secara profesional itu penting karena
berkaitan dengan kepuasan guru dalam
berkarir secara profesional. Guru akan
merasa puas ketika mampu untuk melakukan
tugasnya sebagai guru (Anghelache, 2014).
Coaching dalam dunia pendidikan dapat
berbentuk bimbingan baik untuk siswa,
orang tua dan juga guru, Isner et al. (2011),
Cohen dan Kaufmann (2000 dalam Sue,
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
139
2011) mengatakan bahwa coaching dapat
berbentuk sebuah konsultasi individual yang
diperuntukan untuk keluarga dan anak, dan
juga coaching dapat berbentuk sebagai
sebuah program konsultasi yang
diperuntukan untuk orang- orang yang ingin
mengembangkan dirinya dalam bidang
pendidikan seperti guru atau kepala sekolah.
Dalam dunia pendidikan, coaching
didefinisikan sebagai pembelajaran secara
profesional yang mengintegrasikan cara
mengajar yang paling efektif mengenai
bagaimana guru bekerja (Clarkson, 2013).
Coaching yang sudah dilakukan sebelumnya
menunjukan banyak sekali manfaat guru dan
kemudian memberikan banyak sekali
dampak yang positif bagi anak dan proses
belajar dan mengajar secara keseluruhan.
Joyce dan Showers (2002) mengatakan
bahwa coaching meningkatkan kemampuan
mengajar guru, meningkatkan hasil belajar,
meningkatkan kualitas
kepemimpinan,merupakan sebuah proses
perkembangan yang berkelanjutan dan
meningkatkan kapasitas guru untuk
berkembang lebih maju karena sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Joyce dan
Showers (1980) mengenai efektifitas belajar
dan mengajar dikelas menunjukan bahwa
coaching mempunyai dampak yang lebih
baik dibandingkan dengan strategi lainnya
seperti: presentasi, demonstrasi dan
modeling dan stimulasi
Coaching dengan metode GROW ME
adalah sebuah metode coaching yang
dikembangkan oleh Ng Pak Tee (2005) dari
metode coaching yang lebih konvensional
sehingga dapat digunakan dan lebih sesuai di
dunia pendidikan. Ada beberapa perbedaan
antara coaching dibidang olehraga atau
bisnis dengan coaching metode GROW ME
yang di aplikasikan dibidang pendidikan.
Perbedaan ini dapat dilihat dari aspek
komunikasi, pemberian feedback, cara
bertanya dan memberikan motivasi juga
tujuan dari program coaching itu sendiri
Coaching GROW ME adalah proses
dimana coach menolong guru (sebagai
seorang pelajar) untuk meningkatkan
kinerjanya dengan melakukan tahapan-
tahapan belajar dibawah ini:
Goal: menentukan tujuan
Reality: menganalisa situasi/keadaan
yang ada
Options: menimbang- nimbang opsi apa
yang dapat dilakukan
Will: penentuan rencana
Monitoring: mengawasi perkembangan
pembelajaran
Evaluation: mereview pembelajaran
dan kinerja guru
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
140
Proses coaching GROW ME ini
dapat dimulai dengan diajukannya
pertanyaan- pertanyaan pada GROW ME
template, akan tetapi pertanyaan tersebut
hanya bersifat pembuka atau petunjuk saja
dan dapat dilanjutkan atau diganti dengan
pertanyaan yang memiliki makna yang
serupa disesuaikan dengan keadaan yang
ada.
Goal (G)
Pada tahapan ini, coach akan meminta guru
untuk bertanya pada dirinya sendiri, apa
tujuan yang ingin dicapai. Pada tahapan ini
juga, coach membantu guru untuk
mendapatkan pencerahan dan kejelasan
mengenai nilai.
Reality (R)
Pada tahapan ini, coach meminta guru untuk
bertanya kepada dirinya sendiri “ apa dan
bagaimana keadaanya saat ini”, guru diminta
untuk menilai keadaanya sekarang dan
mengapa.
Options (O)
Pada tahapan ini, coach meminta guru untuk
memikirkan berbagai opsi untuk
menjembatani permasalahan yang ada
dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu,
guru juga harus mengetahui apa keuntungan
dan kelebihan dari setiap opsi yang ada.
What’s next/ will (W)
Pada tahapan ini, guru diminta untuk
membuat action plan atau lesson plan
berdasarkan opsi yang sudah dipilih
sebelumnya. Pada action plan ini, guru
menyertakan tahapan- tahapan rencana juga
menyertakan jangka waktu yang ditentukan.
Monitoring (M)
Pada tahapan ini guru diminta untuk
bertanya pada dirinya sendiri apakah guru
sudah mengikuti tahapan yang sudah
direncanakan, apakah ada perubahan,
peningkatan dalam proses pencapaian tujuan
yang diinginkan? Pada tahapan ini juga,
coach akan membantu guru untuk
memastikan dirinya tetap pada jalur yang
sudah ditentukan. Apabila guru merasa tidak
puas atau merasa perlu adanya perbaikan,
makan proses grow akan dimulai lagi dari
awal dan melakukan perbaikan yang
diinginkan.
Evaluation ( E)
Pada tahapan ini guru diminta untuk
bertanya pada dirinya sendiri “sudahkan
saya mencapai tujuan yang sudah saya
rencanakan?” Coach juga akan bertanya
mengapa guru merasa sudah mencapai
tujuan yang diinginkannya
Kompetensi Guru Dalam Mengajar
Kosakata Bahasa Inggris
Seperti yang sudah disebutkan
sebelumya di pendahuluan, pengajaran
mengenai kosakata atau vocabulary masih
dianggap penting karena berkaitan erat
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
141
dengan kemampuan membaca anak kelak
dan sebaiknya dimulai sedini mungkin
(Teo,et all.,2016) Sejak tahun 1942 para
peneliti sudah menemukan bahwa
perkembangan kemampuan membaca
berbanding lurus dengan perkembangan
pengetahuan kosa kata anak. (The Report of
National Reading Panel, 2014), Neuman
dan Wright (2014) juga menambahkan
bahwa semakin banyak tabungan kosakata
yang dimiliki anak, semakin besar peluang
anak dalam memahami sebuah bacaan
karena semakin banyak kosakata yang
dipahami oleh anak, semakin mudah anak
dalam memahami sebuah bacaan. (Bravo,
Hiebert, & Pearson, 2007dalam Kindle.2010
juga Shane, 2014).
Pengajaran Kosakata
Terdapat berbagai teori mengenai
pengajaran kosakata kepada anak. Ada dua
cara pengajaran vocabulary yang
dikemukakan oleh Palmberg (1990) yang
pertama yaitu berdasarkan dan fokus kepada
pengajaran dan latihan bahasa kedua
(Bahasa Inggris) dan cara yang kedua yaitu
berdasarkan dan fokus kepada asosiasi dan
kemampuan berbahasa kedua anak.
Sedangkan Hsiu-Ting Hung (2015)
mengatakan bahwa Pembelajaran mengenai
vocabulary dibagi menjadi dua jenis, satu
yang bersifat spontan dan yang bersifat
terencana atau anak belajar koskata baru
secara kontekstual dan non kontekstual
(Jose, 2015).Yang bersifat spontan dapat
terjadi ketika guru membacakan cerita,
benyanyi atau melihat tayangan video atau
pemaparan anak terhadap lingkungan yang
kaya akan ( gambar- gambar didinding)
Pembelajaran terencana ketika pembelajaran
mengenai vocabulary memang
dorencanakan dan dilakukan secara
terencana ditiap tahapannya. Kupzyk, et all.
(2011)mengatakan bahwa cara yang
direncanakan lebih efektif dan efisein
hasilnya. Selain itu, Oxford dan Crookall
(1990 dalam Linse, T. C.(2005)
mengklasifikasi pengajaran vocabulary
menjadi 4 tingkatan pembelajaran: pertama,
de- contextualising, dimana pengajaran
vocabulary menggunakan flashcards, word
lists, dan penggunaan kamus. Kedua, Semi
contextualizing; dimana kosakata dipelajari
dengan cara pengelompokan kata, asosiasi,
imajinasi visual, kata kunci, respon fisik, dan
peta semantik. Ketiga, fully contextualizing;
dimana anak mempelajari kosakata dengan
membaca, menyimak, berbicara dan
menulis. Tingkat yang terakhir dan paling
rumit adalah adaptable; yaitu ketika
kosakata dipelajari denga melihat struktur
katanya. pengajaran kosakata ini juga dapat
dibantu berbagai media. Media atau alat
pembelajaran yang dipilih oleh guru ketika
mengajar vocabulary haruslah disesuaikan
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
142
dengan karakteristik anak, perkembangan
dan juga kebutuhannya. Salah satu
contohnya adalah bagi anak yang autis,
pembelajaran mengenai kosakata dapat
dilakukan dengan bentuk digital atau
menggunakan software bantuan tertentu
(Lindsey-Glenn dan Gentry,2008).
Ada empat prinsip dalam pengajaran
bahasa yang dikemukakan oleh Blachowicz
and Fisher (2000): anak harus aktif dalam
mengembangkan pemahaman akan kosakata
dan cara mempelajarinya, anak dapat
memilih mempelajari kata yang disukainya,
anak harus melibatkan diri dalam
mempelajari makna kata, anak harus
membangun berbagai sumber informasi
untuk belajar dari pemaparan yang berulang-
ulang. dalam sebuah konteks yang kaya,
dalam berbagai aktivitas (Linse, T. C.,
2005).
Salah kunci berhasilnya
pembelajaran kosakata anak berkaitan
dengan beberapa hal, salah satunya yaitu
media pembelajaran, anak belajar dari dunia
sekitarnya, anak belajar dengan
menggunakan semua panca indra yang ada
pada dirinya. Anak mengeksplorasi dunia
dan belajar dengan cara mencium, meraba,
melihat, mendengar dan merasa (Timur,
2012) sehingga media pembelajaran yang
dipilihpun sebaiknya sesuai dengan karakter
tersebut. Ada berbagai media yang dapat
dipilih mulai dari cerita, lagu (Millington,
2011) program komputer dan yang dapat
salah satu media yang dapat dipilih guru
adalah flashcard. Gunning (2013)
mengatakan bahwa flashcards dapat
digunakan sebagai media pembelajaran
kosakata dan konsep baru. Yorkey (1970)
juga menambahkan ketika seorang anak
belajar ingin menambah perbendaharaan
katanya, anak tersebut membutuhkan sebuah
cara dimana anak dapat menghafal kata
tersebut dan mengasosiasikan makna dari
kata tersebut, selain itu anak juga perlu
untuk mereview kata baru tersebut berulang-
ulang. Gambar atau visualisasi suatu benda,
khususnya pada flashcards dapat membantu
anak untuk mendapat gambaran yang sesuai
mengenai suatu benda, bantuan visual
tersebut lebih terasa konkrit dan bermakna,
bantuan visual dapat digunakan guru untuk
membantu anak yang memiliki kesulitan
dalam membaca Press dan Epstein (2007).
Pengajaran vocabulary menggunakan
gambar lebih efektif daripada hanya dengan
teks saja. Koren (1997) mengatakan bahwa
belajar bahasa asing menggunakan gambar
bisa lebih memudahkan dan gampang
diingat dibandingkan dengan menghafal
kosakata hanya denga teks atau tulisan saja.
Flashcards membantu anak mengenal huruf.
setelah anak melihat gambar pada
flashcards, anak dapat belajar membaca
dengan melihat huruf apa saja yang terdapat
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
143
pada flashcards tersebut. Flesch (1950)
dalam Sitthitikul(2014) menyebutkan bahwa
anak belajar membaca dimulai dengan
mengenal huruf, potongan kata dan
kemudian kata.
Kompetensi mengajar guru
Kemampuan guru untuk dapat
bekerja secara profesional berkaitan erat dan
menghasilkan sebuah pengajaran yang
efektif. Katz 1993 (dalam Colker, 2008)
mengatakan bahwa keefektifan mengajar
seorang guru adalah hasil penggabnungan
dari pengentahuan, keterampilan dan
karakter tiap individu.
Berdasarkan peraturan menteri
pendidikan nasional RI no. 58 Tahun 2009
pendidik harus memiliki empat kompetensi
yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, kompetensi pedagogik, dan
kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik
ini terdiri dari beberpa aspek. Pertama, guru
dapat merencanakan kegiatan program
pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan,
guru dapat menyusun rencana kegiatan
tahunan, semesteran, bulanan, mingguan,
dan harian, guru dapat menetapkan kegiatan
bermain yang mendukung tingkat
pencapaian perkembangan anak dan guru
dapat erencanakan kegiatan yang disusun
berdasarkan kelompok usia. Kedua, guru
dapat melaksanakan proses pendidikan,
pengasuhan, dan perlindungan, yang
ditandai dengan kemampuan guru dalam:
mengelola kegiatan sesuai dengan rencana
yang disusun berdasarkan kelompok usia,
menggunakan metode pembelajaran melalui
bermain sesuai dengan karakteristik anak,
memilih dan menggunakan media yang
sesuai dengan kegiatan dan kondisi anak,
memberikan motivasi untuk meningkatkan
keterlibatan anak dalam kegiatan dan
memberikan bimbingan sesuai dengan
kebutuhan anak. Ketiga, guru dapat
melaksanakan penilaian terhadap proses dan
hasil pendidikan, pengasuhan, dan
perlindungan yang ditandai dengan
kemampuan guru dalam memilih cara-cara
penilaian yang sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai, melalukan kegiatan penilaian
sesuai dengan cara-cara yang telah
ditetapkan, mengolah hasil penilaian,
menggunakan hasil-hasil penilaian untuk
berbagai kepentingan pendidikan dan dapat
mendokumentasikan hasil-hasil penilaian
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah sebuah
penelitian kualitatif dengan metode tindakan
kolaboratif. Penelitian dilakukan karena
dibutuhkannya perubahan, atau munculnya
keinginan untuk adanya perbaikan
khususnya dalam pembelajaran. Naughton
dan Hughes (2009) mengatakan bahwa
penelitian tindakan kolaboratif diawali
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
144
dengan keinginan untuk adanya perubahan
dan peningkatan yang diawali dengan proses
berfikir dan proses pengamatan keadaan
yang terjadi di kelas dan diikuti dengan
‘tindakan’ untuk merubah atau memperbaiki
keadaan yang dirasa perlu. Penelitian
tindakan kolaboratif ini memiliki empat
karakteristik yaitu: bertujuan untuk
memperbaiki atau merubah keadaan,
peningkatan praktek sosial, menciptakan
pengetahuan baru dan tetap relevan dengan
karifan lokal.
Ada empat tahap dalam penelitian
tindakan kolaboratif pada model Kemmis &
McTaggart (dalam McNiff & Whitehead,
2002). Tahapan yang pertama yaitu (a)
Perencanaan, pada tahap perencanaan ini
dijelaskan alasan penelitian dilakukan,
subjek penelitian dan bagaimana proses
penelitian akan dilakukan. Tahapan yang
kedua adalah (b) Pelaksanaan tindakan atau
dilaksanakannya perencanaan yang sudah
dilakukan ditahap pertama. Tahapan yang
ketiga adalah (c) Pengamatan, dimana
pengamat mengamati bagaimana proses
tindakan yang dilakukan oleh guru. Tahapan
yang keemapat adalah (d) Refleksi, pada
tahap ini pengamat dan guru bersama- sama
mengevalusi kembali proses tindakan yang
sudah dilakukan dan menjadi bahan untuk
tahapan perencanaan siklus selanjutnya.
Penjelasan mengenai tahapan- tahapan
dalam siklus dapat dilihat dari penjelasan
dibawah ini:
a. Perencanaan
Pada tahapan ini, penulis melakukan
persiapan dan perencanaan terkait dengan
penelitian ini. Penulis menghubungi Kepala
Sekolah dan juga guru terkait untuk
mengkoordinasikan penelitian yang akan
dilakukan. Pada kegiatan koordinasi ini,
penulis melakukan observasi dan
wawancara untuk mengidentifikasi masalah
yang dialami oleh guru dan kemudian
melakukan pengenalan mengenai GROW
ME dan juga mengenai flashcards kepada
guru. Penulis juga mewawancarai guru
mengenai lesson plan dan materi
pembelajaran. Hasil dari observasi dan
wawancara dengan guru disepakati
mengenai tema pembelajaran yang akan
dipilih, pembuatan lesson plan, media dan
juga bagaimana proses coaching GROW
ME.
b. Pelaksanaan
Setelah melakukan koordinasi,
observasi dan wawancara dengan guru dan
kepala sekolah, penulispun melanjutkan
tahapan yang selanjutnya yaitu pelaksanaan.
Pada tahapan ini, proses GROW dilakukan
dengan diawali dengan wawancara penulis
dengan guru, format wawancara GROW ME
dapat dilihat pada instrumen penelitian.
Setelah wawancara GROW dilakukan, guru
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
145
dapat melakukan pengajaran sesuai dengan
wawancara yang sudah dilakukan.
c. Observasi
Tahapan yang selanjutnya setelah
perencanaan dan pelaksanaan adalah
observasi atau pengamatan. Tahapan ini
dilakukan ketika guru melakukan
pembelajaran di kelas. Data dari observasi
ini didapat dengan menggunakan catatan
lapangan.
d. Refleksi
Setelah observasi dilakukan, guru
dan penulis melakukan refleksi secara
bersama- sama. Pada tahap ini, dilakukan
analisis mengenai pembelajaran yang sudah
dilakukan, kesulitan apa yang dialami guru,
mencari jalan keluar yang perlu diambil
untuk perbaikan pada pembelajaran
selanjutnya.
Lokasi dan Partisipan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sebuah
TK Bilingual di Bandung. Sekolah ini
berlokasi di Antapani dan merupakan sebuah
sekolah yang baru saja berdiri pada tahun
2014. Sekolah ini dipilih karena
pembelajaran di sekolah ini menggunakan
Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
utama, dimana penambahan kosakata
merupakan salah satu bagian dari
pembelajarannya.
Subjek penelitian pada penelitian ini
adalah seorang guru K1 (TK A). Guru ini
berjenis kelamin wanita, merupakan seorang
guru baru dan tidak berlatar pendidikan
keguruan. Guru ini mengajar sebuah kelas
yang berisi 15 anak, 7 perempuan dan 6 laki-
laki.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengetahui bagaimana proses
guru dan coach ketika mengaplikasikan
metode coaching dan untuk mengetahui
perbedaan yang terjadi antara sebelum dan
sesudah dilakukannya coaching, beberapa
data dan informasi tentu saja harus
dikumpulkan dan dianalisa. Data- data
tersebut didapatkan dengan cara observation
dan interaction (Naughton dan Hughes,
2009)
a. Observasi
Observasi merupakan jantung dari
pengumpulan data pada penelitian tindakan.
Seperti yang dikatakan oleh Nadelman
(2004) observasi bukan saja salah satu cara
yang memiliki peranan penting dalam
penelitian tindakan akan tetapi peranan
observasi juga penting bagi kemajuan
perkembangan keahlian guru dan kemajuan
sekolah. Dari tiga jenis pendekatan
observasi yang dicetuskan olehnya,
pendekatan observasi bebas (open
observation) adalah pendekatan obsservasi
digunakan pada penelitian ini. Pada
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
146
pendekatan ini, peneliti dapat mencatat atau
mendokumentasikan hal- hal penting yang
terjadi ketika pembelajaran berlangsung
selain itu peneliti juga dapat mendapatkan
gambaran runtut bagaimana pembelajaran
berlangsung. Pada penelitian ini, observasi
dilakukan untuk melihat bagaimana cara
guru mengajar kosakata menggunakan
flashcards setelah mendapatkan bimbingan
dari coach dan bagaimana reaksi anak
terhadap pengajaran guru.
b. Wawancara
Wawancara akan dilakukan disetiap
awal siklus dan akhir siklus. Pada
wawancara ini, instrumen GROW ME
digunakan. Guru akan diberi beberapa
pertanyaan yang sudah ada pada instrument
tetapi pertanyaan- pertanyaan yang tidak
tertulis namun berkaitan.
c. Dokumentasi
Selain melakukan wawancara,
peneliti juga akan melakukan studi
dokumentasi. Peniliti akan melihat rencana
pembelajaran yang dibuat oleh
guru,penilaian guru dan segala bentuk
catatan- catatan guru yang berkaitan dengan
pembelajaran dan anak.
Hasil dan Pembahasan
Setelah guru melakukan proses
coaching, terdapat beberapa perubahan pada
penguasaan mengajar kosakata guru. Ada
tiga aspek utama yang berkembang yaitu:
mengenai persiapan pembelajaran,
penggunaan media dan penerapan
permainan.
Hal pertama yang guru lakukan
adalah menguraikan lesson plan persemester
menjadi lesson plan untuk tiap pertemuan.
Hal ini membantu guru untuk dapat lebih
merencanakan tahapan pembelajaran
dengan lebih matang. Selain itu, dengan
adanya lesson plan ini, guru juga jadi
mengetahui pentingnya menyusun strategi
pembelajaran, tujuan apa yang hendak
dicapai, bagaimana caranya, berapa waktu
yang dibutuhkan juga berbagai hal lain yang
berkaitan dengan pembelajaran.
Penggunaan lesson plan dan
flashcards juga menyadarkan guru akan
pentingnya pengaturan menejemen kelas.
Dengan adanya lesson plan dan flashcards
mau tidak mau guru perlu untuk
menyesuaikan pengaturan waktu juga
pengaturan tempat duduk. Setelah
bimbingan dimulai dan guru mulai
menggunakan flashcards, guru juga
merubah posisi tempat duduk anak.
Awalnya anak duduk berbaris menhgadap
papan tulis, yang kemudian dirubah
posisinya menjadi duduk melingkar. Untuk
menghemat waktu pembelajaran, gurupun
belajar untuk mempersiapkan kondisi fisik
kelas, materi pembelajaran, bahan- bahan
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
147
untuk games dan hal lain yang berhubungan
dengan pembelajaran sebelum pembelajaran
dimulai.
Hal kedua adalah penggunaan
media. Sebelum proses bimbingan dimulai,
guru tidak menggunakan media apapun, dan
hanya mengaitkan pembelajaran dengan
lagu, apabila ada lagu yang sesuai. Sejalan
dengan proses bimbingan ini, guru
menggunakan flashcards sebagai media
pembelajaran. Penggunaan flashcards guru
berganti- ganti strategi sampai guru merasa
menemukan strategi yang dianggapnya baik.
Pertama guru menggunakan flashcards yng
berbentuk kecil kemudian diubah menjadi
ukuran A3 karena tidak semua anak dapat
melihat flashcards tersebut dengan jelas.
Sayangnya flashcards ini terlalu besar
sehingga guru kesulitan ketika sedang
menggunakannya. Pada akhirnya, guru
membuat dua set flashcards, satu set besar
ditempel di papan tulis dan satu set ukuran
lebih kecil untuk dipegang oleh anak- anak.
Perubahan lainnya terlihat pada
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Setelah proses bimbingan dilakukan, guru
mulai mengaitkan kehidupan sehari- hari
anak dengan materi pembelajaran. Guru juga
dapat mulai memberikan dorongan kepada
anak dengang mengatakan ‘very good’ atau
‘good job’. Selain itu, guru juga mulai
menyadari pentingnya pembelajaran yang
menyenangkan, oleh karena itu guru
menggunakan games untuk mengevaluasi
anak dan mengevaluasi keberhasilan
mengajarnya.
Proses coaching GROW ME yang
dilakukan oleh peneliti dan guru tampaknya
sudah sesuai dengan tujuan coaching yang
diusulkan oleh Pak Tee (), yaitu goal untuk
menentukan tujuan pembelajaran, reality
untuk menganalisa situasi/keadaan yang
ada, options untuk menimbang- nimbang
opsi apa yang dapat dilakukan, will untuk
penentuan rencana, monitoring untuk
mengawasi perkembangan pembelajaran
dan evaluation untuk mereview
pembelajaran dan kinerja guru. Proses ini
dilakukan untuk tiap pertemuannya. Pada
tahapan persiapan, peneliti dan guru
melakukan wawancara menggunakan
format wawancara GROW, sedangkan
format wawancara ME dilakukan pada tahap
refleksi setelah guru melakukan
pembelajaran dan peneliti smelakukan
observasi.
Proses coaching ini menitik beratkan
guru sebagai sumber utama perubahan. Dari
awal proses, Guru diminta untuk bertanya
kepada dirinya sendiri, mencari solusi
permasalahan yang ditemukannya sendiri
dan mengevalusi pilihan- pilihannya sendiri.
Pada akhirnya, keterampilan guru dalam
mengajar bertambah dan sangat berkesan
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
148
karena guru melewati tahapan- tahapan
tersebut dengan dirinya sebagai pusat.
Proses ini sesuai dengan tujuan coaching
yang dikemukakan oleh Boyd (2000) yang
mengatakan bahwa coaching ini
memfasilitasi guru untuk meninjau kembali
kemampuan dan keterampilan dirinya dalam
mengajar. Hasil dari coaching ini adalah
matangnya keterampilan mengajar yang
diinginkan (Doyle, 1999; Dunst, Herter, &
Shields,2000). Coaching dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan yang sudah ada,
mengembangkan keterampilan baru, agar
guru memiliki kemampuan untuk menilai
diri sendiri (Flaherty, 1999 dan Kinlaw,
1999).
Ketka melakukan coacahing
mengenai persiapan pembelajaran, guru
melakukan dua hal: melakukan perencanaan
pembelajaran dan melakukan pengaturan
kelas. Guru menyusun ulang lesson plan
yang sudah ada dari yang dibuat untuk satu
semester menjadi lesson plan untuk setiap
pertemuan. Guru juga melakukan berbagai
perubahan dalam pengaturan kelas, yang
bertujuan untuk mengeliminasi masalah-
masalah yang mungkin timbul seperti anak
gaduh atau habisnya waktu karena
pengaturan waktu yang keteteran dan
menyiapkan seluruh hal yang diperlukan
pada saat pembelajaran berlangsung
sebelum pembelajaran dimuali.. Hal ini
sejalan dengan pendapat Shrawder &
Warner (2006) yang mengatakan bahwa
sebuah lesson plan yang baik dapat
membantu guru dalam merencanakan tujuan
yang ingin guru capai dan bagaimana cara
mendapatkanya. Sebuah lesson plan adalah
sebuah map atau peta petunjuk dari awal
pembelajaran hingga berakhirnya
pembelajaran, lesson plan juga memastikan
guru merencanakan pembelajaran secara
runtut. Perubahan- perubahan yang
dilakukan guru terkena masalah pengaturan
kelas ternyata erat kaitannya dengan
keberhasilan guru dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Seperti yang dikemukakan
oleh Muhtar (1997:10) bahwa sebaiknya
seorang guru mampu untuk merumuskan
pembelajaran, merancang bahan
pembelajaran dan melakukan penilaian dan
juga pengelolaan kelas. Salah satu definisi
dari pengelolaan kelas menurut Dirjen
PUOD dan Dirjen Dikdasman (1996) adalah
guru mampu menghilangkan hambatan yang
mungkin akan mengganggu pembelajaran
dan mampu menyediakan dan mengatur
fasilitas serta bahan ajar yang dibutuhkan
sehingga Suryana (2006) menambahkan
tujuan pembelajaran dapat dicapai
Proses coaching yang kedua
berkaitan dengan penggunaan media. Media
yang dipilih guru dan peneliti adalah
flashcards. Flashcards dipilih karena
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
149
pengajaran vocabulary menggunakan
gambar lebih efektif daripada hanya dengan
teks saja. Koren (1997) mengatakan bahwa
belajar bahasa asing menggunakan gambar
bisa lebih memudahkan dan gampang
diingat dibandingkan dengan menghafal
kosakata hanya denga teks atau tulisan saja.
Tomlinson (1998) juga menambahkan
bahwa vocabulary sebaiknya diajarkan
menggunakan material yang dapat menarik
minat anak baik lewat gambar, suara atau
cerita, selain itu Pikulski dan Templeton
(2004) juga menambahkan dengan
menggunakan flashcards anak akan belajar
bagaimana menuliskan bunyi ke dalam
bentuk huruf cetak yang lama kelamaan
akan berbentuk sebuah kata.
Terakhir,guru juga mulai menyadari
pentingnya pembelajaran yang
menyenangkan, oleh karena itu guru
menggunakan games untuk mengevaluasi
anak dan mengevaluasi keberhasilan
mengajarnya. Hal ini sesuai dengan Buku
Panduan Pendidik Kurikulum 2013 PAUD
juga mengatakan bahwa anak belajar lewat
bermain, anak belajar sesuai
perkembangannya, dimana anak sedang
belajar pada tahapan konkrit sehingga
belajar menggunakan flashcards dapat
mewakili hal ini, dengan dibuatnya
flashcards menjadi dua set, dimana anak
dapat memegang satu setnya adalah sebagai
salah satu usaha guru agar anak belajar
dengan mengoptimalkan panca indra. Buku
ini juga menyebutkan bahwa guru dapat
memulai pembelajaran dengan bernyanyi,
bercerita dan berdiskusi dengan anak
mengenai tema dan kehidupan anak sehari-
hari.
Pemerintah sudah menentukan
standar kompetensi guru PAUD dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor : 58 Tahun 2009 yang
mengamanatkan bahwa setiap guru pada
satuan pendidikan Taman kanak-
kanak/PAUD harus memiliki standar
kompetensi guru. Adapun standar
kompetensi guru Taman Kanak-
Kanak/PAUD meliputi : Kompetensi
Kepribadian,Kompetensi profesional,
Kompetensi pedagogik, dan Kompetensi
Sosial. Hal- hal yang dilakukan oleh guru
pada penelitian ini, banyak berkaitan dengan
kompetensi pedagogik guru dimana
pertama, guru diharapkan untuk dapat
merencanakan kegiatan program
pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan,
guru dapat menyusun rencana kegiatan
tahunan, semesteran, bulanan, mingguan,
dan harian, guru dapat menetapkan kegiatan
bermain yang mendukung tingkat
pencapaian perkembangan anak dan guru
dapat merencanakan kegiatan yang disusun
berdasarkan kelompok usia. Kedua, guru
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
150
dapat melaksanakan proses pendidikan,
pengasuhan, dan perlindungan, yang
ditandai dengan kemampuan guru dalam:
mengelola kegiatan sesuai dengan rencana
yang disusun berdasarkan kelompok usia,
menggunakan metode pembelajaran melalui
bermain sesuai dengan karakteristik anak,
memilih dan menggunakan media yang
sesuai dengan kegiatan dan kondisi anak,
memberikan motivasi untuk meningkatkan
keterlibatan anak dalam kegiatan dan
memberikan bimbingan sesuai dengan
kebutuhan anak. Ketiga, guru dapat
melaksanakan penilaian terhadap proses dan
hasil pendidikan, pengasuhan, dan
perlindungan yang ditandai dengan
kemampuan guru dalam memilih cara-cara
penilaian yang sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai, melalukan kegiatan penilaian
sesuai dengan cara-cara yang telah
ditetapkan, mengolah hasil penilaian,
menggunakan hasil-hasil penilaian untuk
berbagai kepentingan pendidikan dan dapat
mendokumentasikan hasil-hasil penilaian.
Referensi:
Setelah guru melakukan proses
coaching, terdapat beberapa perubahan pada
penguasaan mengajar kosakata guru. Ada
tiga aspek utama yang berkembang yaitu:
mengenai persiapan pembelajaran,
penggunaan media dan penerapan
permainan.
Hal pertama yang guru lakukan
adalah menguraikan lesson plan persemester
menjadi lesson plan untuk tiap pertemuan.
Hal ini membantu guru untuk dapat lebih
merencanakan tahapan pembelajaran
dengan lebih matang. Selain itu, dengan
adanya lesson plan ini, guru juga jadi
mengetahui pentingnya menyusun strategi
pembelajaran, tujuan apa yang hendak
dicapai, bagaimana caranya, berapa waktu
yang dibutuhkan juga berbagai hal lain yang
berkaitan dengan pembelajaran.
Penggunaan lesson plan dan
flashcards juga menyadarkan guru akan
pentingnya pengaturan menejemen kelas.
Dengan adanya lesson plan dan flashcards
mau tidak mau guru perlu untuk
menyesuaikan pengaturan waktu juga
pengaturan tempat duduk. Setelah
bimbingan dimulai dan guru mulai
menggunakan flashcards, guru juga
merubah posisi tempat duduk anak.
Awalnya anak duduk berbaris menhgadap
papan tulis, yang kemudian dirubah
posisinya menjadi duduk melingkar. Untuk
menghemat waktu pembelajaran, gurupun
belajar untuk mempersiapkan kondisi fisik
kelas, materi pembelajaran, bahan- bahan
untuk games dan hal lain yang berhubungan
dengan pembelajaran sebelum pembelajaran
dimulai.
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
151
Hal kedua adalah penggunaan
media. Sebelum proses bimbingan dimulai,
guru tidak menggunakan media apapun, dan
hanya mengaitkan pembelajaran dengan
lagu, apabila ada lagu yang sesuai. Sejalan
dengan proses bimbingan ini, guru
menggunakan flashcards sebagai media
pembelajaran. Penggunaan flashcards guru
berganti- ganti strategi sampai guru merasa
menemukan strategi yang dianggapnya baik.
Pertama guru menggunakan flashcards yng
berbentuk kecil kemudian diubah menjadi
ukuran A3 karena tidak semua anak dapat
melihat flashcards tersebut dengan jelas.
Sayangnya flashcards ini terlalu besar
sehingga guru kesulitan ketika sedang
menggunakannya. Pada akhirnya, guru
membuat dua set flashcards, satu set besar
ditempel di papan tulis dan satu set ukuran
lebih kecil untuk dipegang oleh anak- anak.
Perubahan lainnya terlihat pada
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Setelah proses bimbingan dilakukan, guru
mulai mengaitkan kehidupan sehari- hari
anak dengan materi pembelajaran. Guru juga
dapat mulai memberikan dorongan kepada
anak dengang mengatakan ‘very good’ atau
‘good job’. Selain itu, guru juga mulai
menyadari pentingnya pembelajaran yang
menyenangkan, oleh karena itu guru
menggunakan games untuk mengevaluasi
anak dan mengevaluasi keberhasilan
mengajarnya.
Pembahasan
Proses coaching GROW ME yang
dilakukan oleh peneliti dan guru tampaknya
sudah sesuai dengan tujuan coaching yang
diusulkan oleh Pak Tee (), yaitu goal untuk
menentukan tujuan pembelajaran, reality
untuk menganalisa situasi/keadaan yang
ada, options untuk menimbang- nimbang
opsi apa yang dapat dilakukan, will untuk
penentuan rencana, monitoring untuk
mengawasi perkembangan pembelajaran
dan evaluation untuk mereview
pembelajaran dan kinerja guru. Proses ini
dilakukan untuk tiap pertemuannya. Pada
tahapan persiapan, peneliti dan guru
melakukan wawancara menggunakan
format wawancara GROW, sedangkan
format wawancara ME dilakukan pada tahap
refleksi setelah guru melakukan
pembelajaran dan peneliti smelakukan
observasi.
Proses coaching ini menitik beratkan
guru sebagai sumber utama perubahan. Dari
awal proses, Guru diminta untuk bertanya
kepada dirinya sendiri, mencari solusi
permasalahan yang ditemukannya sendiri
dan mengevalusi pilihan- pilihannya sendiri.
Pada akhirnya, keterampilan guru dalam
mengajar bertambah dan sangat berkesan
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
152
karena guru melewati tahapan- tahapan
tersebut dengan dirinya sebagai pusat.
Proses ini sesuai dengan tujuan coaching
yang dikemukakan oleh Boyd (2000) yang
mengatakan bahwa coaching ini
memfasilitasi guru untuk meninjau kembali
kemampuan dan keterampilan dirinya dalam
mengajar. Hasil dari coaching ini adalah
matangnya keterampilan mengajar yang
diinginkan (Doyle, 1999; Dunst, Herter, &
Shields,2000). Coaching dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan yang sudah ada,
mengembangkan keterampilan baru, agar
guru memiliki kemampuan untuk menilai
diri sendiri (Flaherty, 1999 dan Kinlaw,
1999).
Ketka melakukan coacahing
mengenai persiapan pembelajaran, guru
melakukan dua hal: melakukan perencanaan
pembelajaran dan melakukan pengaturan
kelas. Guru menyusun ulang lesson plan
yang sudah ada dari yang dibuat untuk satu
semester menjadi lesson plan untuk setiap
pertemuan. Guru juga melakukan berbagai
perubahan dalam pengaturan kelas, yang
bertujuan untuk mengeliminasi masalah-
masalah yang mungkin timbul seperti anak
gaduh atau habisnya waktu karena
pengaturan waktu yang keteteran dan
menyiapkan seluruh hal yang diperlukan
pada saat pembelajaran berlangsung
sebelum pembelajaran dimuali.. Hal ini
sejalan dengan pendapat Shrawder &
Warner (2006) yang mengatakan bahwa
sebuah lesson plan yang baik dapat
membantu guru dalam merencanakan tujuan
yang ingin guru capai dan bagaimana cara
mendapatkanya. Sebuah lesson plan adalah
sebuah map atau peta petunjuk dari awal
pembelajaran hingga berakhirnya
pembelajaran, lesson plan juga memastikan
guru merencanakan pembelajaran secara
runtut. Perubahan- perubahan yang
dilakukan guru terkena masalah pengaturan
kelas ternyata erat kaitannya dengan
keberhasilan guru dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Seperti yang dikemukakan
oleh Muhtar (1997:10) bahwa sebaiknya
seorang guru mampu untuk merumuskan
pembelajaran, merancang bahan
pembelajaran dan melakukan penilaian dan
juga pengelolaan kelas. Salah satu definisi
dari pengelolaan kelas menurut Dirjen
PUOD dan Dirjen Dikdasman (1996) adalah
guru mampu menghilangkan hambatan yang
mungkin akan mengganggu pembelajaran
dan mampu menyediakan dan mengatur
fasilitas serta bahan ajar yang dibutuhkan
sehingga Suryana (2006) menambahkan
tujuan pembelajaran dapat dicapai
Proses coaching yang kedua
berkaitan dengan penggunaan media. Media
yang dipilih guru dan peneliti adalah
flashcards. Flashcards dipilih karena
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
153
pengajaran vocabulary menggunakan
gambar lebih efektif daripada hanya dengan
teks saja. Koren (1997) mengatakan bahwa
belajar bahasa asing menggunakan gambar
bisa lebih memudahkan dan gampang
diingat dibandingkan dengan menghafal
kosakata hanya denga teks atau tulisan saja.
Tomlinson (1998) juga menambahkan
bahwa vocabulary sebaiknya diajarkan
menggunakan material yang dapat menarik
minat anak baik lewat gambar, suara atau
cerita, selain itu Pikulski dan Templeton
(2004) juga menambahkan dengan
menggunakan flashcards anak akan belajar
bagaimana menuliskan bunyi ke dalam
bentuk huruf cetak yang lama kelamaan
akan berbentuk sebuah kata.
Terakhir, guru juga mulai menyadari
pentingnya pembelajaran yang
menyenangkan, oleh karena itu guru
menggunakan games untuk mengevaluasi
anak dan mengevaluasi keberhasilan
mengajarnya. Hal ini sesuai dengan Buku
Panduan Pendidik Kurikulum 2013 PAUD
juga mengatakan bahwa anak belajar lewat
bermain, anak belajar sesuai
perkembangannya, dimana anak sedang
belajar pada tahapan konkrit sehingga
belajar menggunakan flashcards dapat
mewakili hal ini, dengan dibuatnya
flashcards menjadi dua set, dimana anak
dapat memegang satu setnya adalah sebagai
salah satu usaha guru agar anak belajar
dengan mengoptimalkan panca indra. Buku
ini juga menyebutkan bahwa guru dapat
memulai pembelajaran dengan bernyanyi,
bercerita dan berdiskusi dengan anak
mengenai tema dan kehidupan anak sehari-
hari.
Pemerintah sudah menentukan
standar kompetensi guru PAUD dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor : 58 Tahun 2009 yang
mengamanatkan bahwa setiap guru pada
satuan pendidikan Taman kanak-
kanak/PAUD harus memiliki standar
kompetensi guru. Adapun standar
kompetensi guru Taman Kanak-
Kanak/PAUD meliputi : Kompetensi
Kepribadian,Kompetensi profesional,
Kompetensi pedagogik, dan Kompetensi
Sosial. Hal- hal yang dilakukan oleh guru
pada penelitian ini, banyak berkaitan dengan
kompetensi pedagogik guru dimana
pertama, guru diharapkan untuk dapat
merencanakan kegiatan program
pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan,
guru dapat menyusun rencana kegiatan
tahunan, semesteran, bulanan, mingguan,
dan harian, guru dapat menetapkan kegiatan
bermain yang mendukung tingkat
pencapaian perkembangan anak dan guru
dapat merencanakan kegiatan yang disusun
berdasarkan kelompok usia. Kedua, guru
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
154
dapat melaksanakan proses pendidikan,
pengasuhan, dan perlindungan, yang
ditandai dengan kemampuan guru dalam:
mengelola kegiatan sesuai dengan rencana
yang disusun berdasarkan kelompok usia,
menggunakan metode pembelajaran melalui
bermain sesuai dengan karakteristik anak,
memilih dan menggunakan media yang
sesuai dengan kegiatan dan kondisi anak,
memberikan motivasi untuk meningkatkan
keterlibatan anak dalam kegiatan dan
memberikan bimbingan sesuai dengan
kebutuhan anak. Ketiga, guru dapat
melaksanakan penilaian terhadap proses dan
hasil pendidikan, pengasuhan, dan
perlindungan yang ditandai dengan
kemampuan guru dalam memilih cara-cara
penilaian yang sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai, melalukan kegiatan penilaian
sesuai dengan cara-cara yang telah
ditetapkan, mengolah hasil penilaian,
menggunakan hasil-hasil penilaian untuk
berbagai kepentingan pendidikan dan dapat
mendokumentasikan hasil-hasil penilaian.
Referensi:
Adams, Deborah Sue. (2011). Coaching to
Support Preschool Profesional
Development. Proquest LLC: United
States. Diunduh dari:
http://media.proquest.com/media/pq
/classic/doc/2422747691/fmt/ai/rep/
SPDF?_s=GtYZbzoc16v8tvdft5RlH
TvCL4k%3D
Alhojailan, Mohammed Ibrahim( 2012).
Thematic Analysis: A Critical
Review Of Its Process And
Evaluation. West East Journal of
Social Sciences-December 2012
Volume 1 Number 1
AL-Qahtani, Hind M. (2015). Teachers’
Voice: A Needs Analysis of
Teachers’ Needs for Professional
Development with the Emergence of
the Current English Textbooks.
English Language Teaching; Vol. 8,
No. 8 128-141
Anghelache, Valerica. (2014). Professional
Satisfaction Of Teachers From
Kindergarten. Preliminary Study.
Acta Didactica Napocensia Volume
7, Volume 4 pp 37-42
Arka, I Ketut. Dantes, Nyoman dan
Natajaya, Nyoman. (2015). Pengaruh
Supervisi Akademik Model
Coaching GROW ME terhadap
Kemampuan Guru dalam Mengelola
Pembelajaran Tematik Terpadu
Setelah Mengontrol Konsep Diri
pada Guru SD Gugus III dan IV
Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten
Badung. Jurnal Penelitian
UNDIKSHA vol.6 No. 1
Azabdaftari, behrooz dan mozaheb,
Mohammad Amin. (2012).
Comparing vocabulary learning of
EFL learners by using two different
strategies: mobile learning vs.
Flashcards. The EUROCALL
Review, Volume 20. No. 2 p47- 59
Banisaeid, Maryam. (2013).Comparative
Effect of Memory and Cognitive
Strategies Training on EFL
Intermediate Learners’ Vocabulary
Learning. English Language
Teaching; Vol. 6, No. 8 pp108- 118
Braun, V. and Clarke, V. (2006) Using
thematic analysis in psychology.
Qualitative Research in Psychology,
3 (2). pp. 77-101
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
155
Bromley, Karen (2004).Rethinking
Vocabulary Instruction. The
Language And Literacy Spectrum.
Vol 14, Spring PP 3-12
Brown, H. D. (2007). Principles Of
Language Learning And Teaching.
White Plains, NY: Pearson.
Buku Panduan Pendidik Kurikulum 2013
PAUD Usia 5-6 Tahun/Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.--
.Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2013.
Cameron, L. (2001). Teaching Languages
To Young Learners. Cambridge:
Cambridge University Press.
Charmaz, Kathy (2006). Constructing
Grounded Theory A Practical Guide
Through Qualitative Analysis. SAGE
Publications: London
Chien, Chin-Wen. (2015). Analysis the
Effectiveness of Three Online
Vocabulary Flashcard Websites on
L2 Learners’ Level of Lexical
Knowledge. English Language
Teaching; Vol. 8, No. 5
Christ, Tanya and Wang, X. Christine .
(2012).Supporting Preschoolers’
Vocabulary Learning Using a
Decision-Making Model to Select
Appropriate Words and Methods.
Young Children March 2012 P 74-
80
Chu, Yu-wei. (2014). Teachers’ Beliefs in
Teaching English for Kids at a
Kindergarten: A Case Study of
Students from the Department of
Applied English. English Language
Teaching; Vol. 7, No. 10 pp 100-112
Clarke, Priscilla. (2009). Supporting
Children Learning English as a
Second Language in the Early Years
(birth to six years). Victorian
Curriculum and Assessment
Authority
Clarkson, Elizabeth Rochelle. (2013). The
Relationship Between Coaching
Hours And Children’s Literacy
Outcomes, Teacher Practices,
And/Or Changes In The Preschool
Classroom Environment. The
University of Georgia
Creswell, J. W. (2014). Research Design
Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches (4th ed., p.
304). Thousand Oaks, CA: SAGE
Publications.
Djanuardi, Monica L. (2011). Pelayanan
Christian Coaching Metode GROW
ME Terhadap Anak Usia 10-12
Tahun Di Sekolah Minggu. Veritas
12/1 61-82
Dunst, C.J. & Trivette, C.M. (1996).
Empowerment, effective helpgiving
practices and family-centered
care. Pediatric Nursing, 22, 334-337,
343.
Dunst, C.J., Trivette, C.M., & LaPointe, N.
(1992). Toward clarification of the
meaning and key elements of
empowerment.Family Science
Review, 5, 111-130.
Epstein, Ann dan Willhite, Gary L. (2015).
Teacher efficacy in an early
childhood professional development
school. International Electronic
Journal of Elementary Education,
2015, 7(2), 189-198
Fitting, Elizabeth et all. (2013).The Effects
Of Di Flashcards With A Di
Discrimination And Match To
Sample On Letter Identification For
Four Preschool Students With
Documented Developmental Delays.
International Journal of English and
Education Volume:2, Issue:2
Garcés, Angela Yicely Castro and Granada,
Liliana Martínez . (2016).The Role
of Collaborative Action Research in
Teachers’ Professional
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
156
Development.PROFILE Vol. 18,
No.1 39-54
Gemeda, Fekede Tuli and Tynjälä, Päivi.
(2010) Professional Learning of
Teachers in Ethiopia: Challenges and
Implications for Reform. Australian
Journal of Teacher Education Vol
40, 5 pp1-26
Goldenberg, C. Hicks, J., and Ira Lit. (2013).
Dual Language Learners Effective
Instruction In Early Childhood
American Educator . Phi Delta
Kappan P. 26-29
Grant, Anthony M. (2012). An Integrated
Model Of Goal-Focused Coaching:
An Evidence Based Framework For
Teaching And Practice. International
Coaching Psychology Review Vol. 7
No.2
Gürsoy, Esim. (2010). Investigating
Language Learning Strategies of
EFL Children for the Development
of a Taxonomy. English Language
Teaching Vol. 3, No. 3 164- 175
Han, Myae et all.(2010). Does Play Make a
Difference? How Play Intervention
Affects the Vocabulary Learning of
At-Risk Preschoolers. American
Journal of Play Summer p 82- 105
Hemphil, Lowry and Tivnan, Terrence.
(2008). The Importance of Early
Vocabulary for Literacy
Achievement in High-Poverty
Schools. Journal of Education for
Students Placed at Risk, 13:426–451
Hoffman, Jessica L., Teale, William H and
Paciga, Kathleen A. (2013).
Assessing vocabulary learning in
early childhood. Journal of Early
Childhood Literacy. Journal of Early
Childhood Literacy P 1-23
Hooker, Tracey, (2014). The benefits of peer
coaching as a support system for
early childhood education students.
International Journal of Evidence
Based Coaching and Mentoring Vol.
12, No. , February 2014
Hsiu-Ting Hung. (2015). Intentional
Vocabulary Learning Using Digital
Flashcards. English Language
Teaching. Vol. 8, No. 10
Hurlock, Elizabeth B. (1978). Child
Development ( Perkembangan Anak)
Sixth Edition. Jakarta: Erlangga.
Jose, G. Rexlin. (2015).Acquisition Of
Vocabulary By Dint Of Unique
Strategies: Indispensible For
Fostering English Language Skills.
Journal on English Language
Teaching Vol. No. 2 7-18
Kemmis, S. & McTaggart. (2005).
Participatory Action Research:
communicative action and the public
sphere. Sage Publication: London
Kindle, Karen J. (2010).Vocabulary
Development During Read-Alouds:
Examining the Instructional
Sequence. Literacy Teaching and
Learning Volume 14,Numbers
1&2 65–88
Komachali, Maryam E. & Khodareza,
Mohammadreza. (2012). The Effect
of Using Vocabulary Flash Card on
Iranian Pre-University Students‟
Vocabulary Knowledge.
International Education Studies Vol.
5, No. 3; June 2012
Krashen D.S. (1982). Principles and
Practice in Second Language
Acquisition. Pergamon Press Inc
Kupzyk,Edward J. Daly, Iii, And Melissa N.
Andersen. (2011). A Comparison Of
Two Flash-Card Methods For
Improving Sight-Word Reading
Sara. Journal Of Applied Behavior
Analysis,, 44, 781–792 Number 4
Lee, Jon et all. (2014).Motivational
interviewing as a framework to guide
school-based coaching. Advances in
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
157
School Mental Health Promotion,
Vol. 7, No. 4, 225–239
Lefebvre, Pascal. et all. (2015). Pilot Study
on Kindergarten Teachers’
Perception of Linguistic and Musical
Challenges in Nursery Rhymes.
Journal for Learning through the
Arts, 11(1) 1-17
Lindsey-Glenn, Pam F. dan Gentry, James
E. (2008).Improving Vocabulary
Skills Through Assistive
Technology: Rick’s Story.
TEACHING Exceptional Children
Plus.Volume 5, Issue 2,
Llach, Agustin P & Gomez, B. A. (2007).
Children’s Characteristic In
Vocabulary Acquisation And Use In
The Written Produaction. RESLA 20
(2007) 9-26
Lloyd, Christina et all. (2012).Coaching as a
Key Component in Teachers’
Professional Development
.Improving Classroom Practices in
Head Start Settings. OPRE Report
2012-2014
Mac Naughton, Glenda and Hughes, Patrick.
(2009). Doing action research in
early childhood studies A step by step
guide. Open University Press: UK
Mahmood, Sehba. (2013).First-Year
Preschool and Kindergarten
Teachers: Challenges of Working
With Parents. School Community
Journal Vol. 23, No. 2 55-86
Mansor, Azlin N. Et all. ( 2012). Effective
Classroom Management.
International Education Studies;
Vol. 5, No. 5 p 35- 42
Mclean, Stuart et all.(2015). Vocabulary
learning through an online
computerized flashcard site.
Frontline Learning Research Vol.3
No. 1 55 - 77
McNiff, J. with J. Whitehead (2002) Action
Research: Principles and Practice
(Second Edition). London,
Routledge.
Millington, Neil T. (2011). Using Songs
Effectively to Teach English to
Young Learners. Language
Education in Asia, 2(1), 134-141
Mojarradi, Saeed. (2014). The effect of
using flashcards on ESL (English as
a Second Language) students’ ability
to learn vocabulary. International
Journal of Scientific World, 2 (2) 56-
61
Mudri, Walid M. (2010). KOMPETENSI
DAN PERANAN GURU DALAM
PEMBELAJARAN. JURNAL
FALASIFA Vol. 1 No.1 111- 124
Murdoch, Jane P. and Morrison, Chad.
(2011). Teacher Identity and Early
Career Resilience: Exploring the
Links. Australian Journal of Teacher
Education Issue 1 Volume 36 Article
4 47-59
Nadelman, Lorraine. (2004). Research
Manual in Children Development.
Lawrence Erlbaum Associates,
Publishers: London
Natawidjaja, Rochman. (1997). Konsep
Dasar Penelitian Tindakan (Action
Research). Bandung: IKIP Bandung
National Association for The Educationalof
Young Children. (2011). Early
Childhood Education Professional
Development:Training And
Technical Assistance Glossary.
Diunduh dari:
http://www.naeyc.org/GlossaryTrain
ing_TA.pdf
Naughton, Glenda M. & Hughes,
Patrick.(2009). Doing Action
Research in Early Childhood
Studies: a step by step guide. Open
Universuty Press.
Neuman, Susan B and Roskos, Kathleen.
(2005). Whatever Happened TO
Developmentally Appropriate
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
158
Practice in Early Literacy? Beyond
the Journal Young Children on the
Web P1-6.
Neuman, Susan B. & Wright, Tanya S.
(2014). The Magic Of Words
Teaching Vocabulary to Young
Learners. American Educator p 4-10.
Ng Pak Tee. (2005). GROW ME: Coaching
For School. Pearson: Singapore
Nishimura, Trisha. (2014). Effective
Professional Development of
Teachers: A Guide to Actualizing
Inclusive Schooling. International
Journal Of Whole Schooling. Vol. 10,
No. 1, Pp 19- 42
Papalia, et all. (2008). Human Development
(Psikologi Perkembangan). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Park, Minjeong dan So, Kyunghee. (2014).
Opportunities and Challenges for
Teacher Professional Development:
A Case of Collaborative Learning
Community in South Korea.
International Education Studies;
Vol. 7, No. 7 pp 96-108
Petchprasert, Anongnad. (2014). The
Influence of Parents’ Backgrounds,
Beliefs about English Learning, and
a Dialogic Reading Program on Thai
Kindergarteners’ English Lexical
Development. English Language
Teaching; Vol. 7, No. 3 50-62
Phillips,William E. & Feng Jay. (2012).
Methods for Sight Word Recognition
in Kindergarten: Traditional
Flashcard Method vs. Multisensory
Approach. Paper presented at the
2012 Annual Conference of Georgia
Educational Research Association,
October 18-20, 2012. Savannah,
Georgia
Press, Marlyn dan Epstein, Linda. (2007).
Nine Ways to Use Visual Art as a
Prewriting Strategy. The Language
And Literacy Spectrum VOLUME 17
pp 31-39
Reinke, Wendy M. Et all. (2012). The
Incredible Years Teacher Classroom
Management Program: Using
Coaching To Support Generalization
To Real-World Classroom Settings.
Psychology in the Schools, Vol. 49(5)
pp 416-428
Rokni S, J. Abdolmanafi & Karimi, Neda.
(2013). Visual Instruction: An
Advantage Or A Disadvantage?
What About Its Effect On Efl
Learners’ Vocabulary Learning?.
Asian Journal Of Social Sciences &
Humanities. Vol. 2 No. 4 November
2013.
Saldana, J. (2009). The coding manual for
qualitative researchers. Los
Angeles, CA: SAGE.
Sarifudin, agus. (2015). Supervisi Klinis-
Grow Me Sebagai Model Supervisi
Yang Efektif Di Sma N 1 Jasinga
Kabupaten Bogor. Edukasi Islami
Jurnal Pendidikan Islam Vol. 04
1156- 1174
Schindler, Andrea. (2006).Channeling
Children’s Energy through
Vocabulary Activities. English
Teaching Forum Number 2 8-12
Scott, Victoria dan Miner, Craig. (2008)
Peer Coaching: Implication for
Teaching and Program Improvment.
Transformative Dialogues.Teaching
& Learning Journal Volume 1, Issue
3
Seiza, Johanna et all. (2015). When
Knowing is not Enough – the
Relevance of Teachers’ Cognitive
and Emotional Resources for
Classroom Management. Frontline
Learning Research Vol.3 No. 1 55-
77
Sempowicz, Tracey dan Hudson, Peter.
(2011).Analysing mentoring
Vol.3 | No.2 | Oktober 2017 Tunas Siliwangi Halaman 135 – 159
159
dialogues for developing a preservice
teacher’s classroom management
practices . Australian Journal of
Teacher Education Vol 36 pp 1-16
Sitthitikul, Pragasit. (2014). Theoretical
Review of Phonics Instruction for
Struggling/Beginning Readers of
English. PASAA Volume 48 113-126
Skiffington, Sheila et all. (2011).
Instructional Coaching Helping
Preschool Teachers Reach Their Full
Potential. Young Children May
State Board of Education Connecticut.
(2007). A Guide To Early Childhood
Program Development A Guide To
Early Childhood Program
Development. Diunduh dari:
http://www.sde.ct.gov/sde/lib/sde/P
DF/DEPS/Early/early_childhood_gu
ide.pdf
Templeton, Shane. (2014).Foundational and
Vocabulary Knowledge in the
Common Core, K8:
Developmentally-Grounded
Instruction about Words. The
Language And Literacy Spectrum
Volume 25 7-27
Teo, Adelline et all.(2016) Using Concept
Mapping to Teach Young EFL
Learners Reading Skills. ENGLISH
TEACHING FORUM 20- 26
Thomas, Earl E. et all.(2015).The Growth of
Instructional Coaching Partner
Conversations in a PreK-3rd Grade
Teacher Professional Development
Experience. Journal of Adult
Education Volume 44, Number 2 pp
1-6
Timur, Betul. (2012). Determination of
Factors Affecting Preschool Teacher
Candidates’ Attitudes towards
Science Teaching. Educational
Sciences: Theory & Practice -
Special Issue pp 2997-3009
Utami, Ade D. Dkk. (2013). MODUL PLPG
Pendidikan Anak Usia Dini.
KONSORSIUM SERTIFIKASI
GURU 2013. UNJ: Jakarta
Uysal, Hatice et all. (2014)Preschool
Education and Primary School Pre-
service Teachers’ Perceptions about
Classroom Management: A
Metaphorical Analysis. International
Journal of Instruction Vol.7, No.2 PP
165-180
Wasik, Barbara A. (2010). What Teachers
Can Do to Promote Preschoolers'
Vocabulary Development: Strategies
From an Effective Language and
Literacy Professional Development
Coaching Model Author(s).The
Reading Teacher, Vol. 63, No. 8 pp.
621-633.
Whitmore, Jhon. (2009). Coaching for
Performance. London: Nicholas
Brealey Publishing.
Isner, et all. (2011). Coaching in Early Care
and Education Programs and
Quality Rating and Improvement
Systems (QRIS): Identifying
Promising Features. Report
Submitted to: Children’s Services
Council of Palm Beach County. Di
unduh dari:
http://www.childtrends.org/wp-
content/uploads/2013/05/2011-35
CoachingQualityImprovement.pdf